Proses Perjuangan Kemerdekaan di Surabaya “Soemarsono — Revolusi Agustus”, Hasta Mitra, Jkt 2008, Hlm. 30-55. Yang saya maksud dengan ideologi cita-cita kemerdekaan itu yalah kesediaan berkorban dengan tekad “merdeka atau mati” seperti yang saya alami di Surabaya itu dan sebelumnya sudah disiapkan. Satu tahun lamanya kita menyiapkan secara ideologis karena kita sudah mempunyai ancer-ancer, yang namanya momen itu, yaitu kalau nanti Jepang menyerah, itulah saatnya proklamasi kemerdekaan dan kita bersedia mati untuk perjuangan kemerdekaan itu. Inilah suatu kampanye yang memberikan dan mengusahakan kesedaran kepada rakyat seperti mau lompat jauh, ancang-ancang dengan ancer-ancernya yang jelas, yaitu kalau Jepang menyerah, menyatakan proklamasi dan kita bersedia mempertahankan proklamasi itu sampai mati. Ancer-ancer itu lama sebelumnya dipersiapkan dan kita memperoleh dukungan dari anak-anak muda yang memang sudah tidak mau dijajah lagi. Itu kampanye ideologis untuk menciptakan semangat perjuangan dan perlawanan menentang penjajahan nanti. Gerakan Pemuda Pada zaman tahun ‘45, bahkan sebelum itu, tapi yang menonjol sesudah Proklamasi ’45, yang memegang peranan adalah gerakan pemuda. Gerakan pemuda itu, kalau menurut Bung Karno adalah tulang-punggungnya gerakan. Jadi tanpa gerakan pemuda tidak ada gerakan rakyat. Dalam partai-partai politik, di kalangan orang-orang senior pergerakan, mereka mempunyai teori, tapi teori ini tidak akan ada artinya kalau tidak ada gerakan fisik yang menjalankan teori itu. Nah, seperti Revolusi Agustus tahun 1945 itu, karena cetusan semangat pemuda dengan semboyan “hidup atau mati untuk kemerdekaan Indonesia” itu, lahirlah gerakan pemuda, laskar-laskar rakyat bersenjata, termasuk Badan Keamanan Rakyat – BKR yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat – TKR. Dari TKR menjadi Tentara Republik Indonesia - TRI dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia – T.N.I. Jadi waktu zaman tahun 45 itu belum ada tentara, tetapi yang ada pemuda, oleh sebab itu adanya tentara juga berasal dari gerakan pemuda. Karena itu yang doorslaggevend, artinya yang paling menentukan adalah gerakan pemuda. Bung Karno selalu dalam agitasinya itu bilang: “Berilah pilihan kepadaku 10.000 orang tua
22
Embed
Proses Perjuangan Kemerdekaan di Surabaya - gelora45.comgelora45.com/news/Soemarsono_ProsesPerjuanganKemerdekaanDiSurabaya.pdf · Proses Perjuangan Kemerdekaan di Surabaya ... Republik
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Proses Perjuangan Kemerdekaan di Surabaya
“Soemarsono — Revolusi Agustus”,
Hasta Mitra, Jkt 2008, Hlm. 30-55.
Yang saya maksud dengan ideologi cita-cita kemerdekaan itu yalah kesediaan
berkorban dengan tekad “merdeka atau mati” seperti yang saya alami di Surabaya
itu dan sebelumnya sudah disiapkan. Satu tahun lamanya kita menyiapkan secara
ideologis karena kita sudah mempunyai ancer-ancer, yang namanya momen itu, yaitu
kalau nanti Jepang menyerah, itulah saatnya proklamasi kemerdekaan dan kita
bersedia mati untuk perjuangan kemerdekaan itu. Inilah suatu kampanye yang
memberikan dan mengusahakan kesedaran kepada rakyat seperti mau lompat jauh,
ancang-ancang dengan ancer-ancernya yang jelas, yaitu kalau Jepang menyerah,
menyatakan proklamasi dan kita bersedia mempertahankan proklamasi itu sampai
mati. Ancer-ancer itu lama sebelumnya dipersiapkan dan kita memperoleh dukungan
dari anak-anak muda yang memang sudah tidak mau dijajah lagi. Itu kampanye
ideologis untuk menciptakan semangat perjuangan dan perlawanan menentang
penjajahan nanti.
Gerakan Pemuda
Pada zaman tahun ‘45, bahkan sebelum itu, tapi yang menonjol sesudah
Proklamasi ’45, yang memegang peranan adalah gerakan pemuda. Gerakan pemuda
itu, kalau menurut Bung Karno adalah tulang-punggungnya gerakan. Jadi tanpa
gerakan pemuda tidak ada gerakan rakyat. Dalam partai-partai politik, di kalangan
orang-orang senior pergerakan, mereka mempunyai teori, tapi teori ini tidak akan
ada artinya kalau tidak ada gerakan fisik yang menjalankan teori itu. Nah, seperti
Revolusi Agustus tahun 1945 itu, karena cetusan semangat pemuda dengan
semboyan “hidup atau mati untuk kemerdekaan Indonesia” itu, lahirlah gerakan
pemuda, laskar-laskar rakyat bersenjata, termasuk Badan Keamanan Rakyat – BKR
yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat – TKR. Dari TKR menjadi Tentara
Republik Indonesia - TRI dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia – T.N.I.
Jadi waktu zaman tahun 45 itu belum ada tentara, tetapi yang ada pemuda, oleh
sebab itu adanya tentara juga berasal dari gerakan pemuda. Karena itu yang
doorslaggevend, artinya yang paling menentukan adalah gerakan pemuda. Bung
Karno selalu dalam agitasinya itu bilang: “Berilah pilihan kepadaku 10.000 orang tua
atau kasih kepadaku 100 pemuda, tapi aku pilih yang 100 pemuda itu!” Selanjutnya
dia bilang: ”Kasih kepadaku 100 pemuda, aku akan pindahkan Gunung Semeru!”. Jadi
maksudnya memang dia butuh pemuda, sebab pemuda ini pelaksana dan pemuda ini
powerful. Nah, sekarang yang penting yalah kita membangkitkan mereka itu untuk
berjuang dan ini mereka yang mau berjuang ini tidak terbatas pada yang muda saja,
yang tua-tua pun dengan berbagai bentuk bisa memberikan sumbangan, bisa
membantu supaya ada perjuangan rakyat, perjuangan bangsa. Saya mengemukakan
perjuangan ini, kalau tidak ada pemuda, tidak ada yang muda-muda, tidak ada
perjuangan fisik, itu hanyalah dari teori ke teori saja, tidak ada yang melaksanakan.
Jangankan kok berjuang begitu, untuk angkat-junjung kursi itu saja kalau nggak ada
tenaganya yang muda-muda ini juga tidak bisa.
Apa lagi untuk perjuangan. Oleh sebab itu menurut saya, kita jangan meninggalkan
pengertian perjuangan itu dari kekuatan fisik. Dalam proses Revolusi Agustus ’45,
ada pandangan harus ada partai komunis, partai pelopor, ada partai yang harus
memimpin, yang memberikan komando atau arah pada perjuangan. Pandangan ini
memang benar. Tetapi ada kebenaran yang lain lagi, yaitu kalau tidak ada kekuatan
lain, kekuatan fisik, power fisik, physical power, itu hanyalah perjuangan dari teori
ke teori saja. Tidak ada yang melaksanakan. Pada waktu itu pemuda memang
mempunyai peranan jadi tulang punggung, mempunyai peranan yang menentukan juga.
Tetapi kalau dikatakan revolusi pemuda, itu tidak ada.
Revolusi itu mempunyai watak nasional-demokrasi dan ada klas-klas yang menjadi
pendorong untuk lahirnya revolusi. Pemuda ini sebenarnya kelompok yang tidak bisa
disamakan dengan klas. Dalam semua klas ada kelompok pemudanya. Kalau pemuda
itu bisa bersatu, karena ada satu cirinya, yaitu karena umurnya yang masih muda,
maka heroismenya tinggi, romantik, romantik heroisme pemuda. Itulah gerakan
pemuda periode tahun ‘45 dan saya mengalaminya. Kalau tahun ‘45 itu tidak ada
gerakan pemuda dari berbagai-bagai klas dengan romantik heroismenya itu, tidak
akan terjadi Revolusi 17 Agustus 1945 itu. Saya bukan mengecilkan peranan
perjuangan dari orang tua, sekarang ini juga saya sudah termasuk yang paling tua.
Kalau saya, sampai nanti masuk liang kubur, selama saya masih mampu dengan
ingatan saya, saya yah masih ingin membantu perjuangan. Itulah keinginan saya.
Tapi kalau namanya berjuang, yang jadi soal adalah fisik saya. Kalau saya naik
tangga, meskipun pelan-pelan, sudah menggèh-menggèh, terengah-engah juga.
Apalagi kalau disuruh kayak pemuda, sebab revolusi itu membutuhkan gerak yang
militan. Nah itu hanya bisa dilakukan oleh anak-anak muda, tetapi tidaklah berarti
semua anak-anak muda itu semua harus melaksanakan gerak fisik kayak begitu.
Pikirannya yang militan itu juga bisa ditulis, itu juga sama artinya. Yang penting itu
tekad kita. Kalau tekad kita memang mau berjuang, itu banyak bidangnya. Contoh
waktu di Surabaya itu. Kalau tidak ada gerakan pemuda ini, orang-orang seperti
Roeslan Abdulgani itu tidak akan bisa berjuang. Ketika saya di Surabaya, dia itu
masih di Angkatan Muda Indonesia – AMI ( Lihat Memoar Hario Kecik, hlm. 84,
Yayasan Obor Indonesia, 1995 Jkt: Angkatan Muda Indonesia (AMI) dibentuk
dengan restu pemerintah Jepang … Dengan dibentuknya AMI, Jepang berharap
bisa memantau perkembangan para pemuda itu dan menggunakannya untuk
kepentingan Jepang.), yang dikenal dengan nama Bung Tomo juga di Angkatan Muda
Indonesia, organisasi pemuda yang diizinkan oleh fasis Jepang ketika itu. Tetapi
mereka yang ilegal itulah yang berjuang bertaruh nyawa. Itu pilihan. Itulah kualitas.
Apakah selanjutnya mereka semua ikut berjuang? Kalau kita nanti berhasil, mereka
keroyokan rame-rame mencari kedudukan. Hukumnya memang begitu. Nah, di sini
saya ingin mengemukakan bagaimana supaya pemuda-pemuda jangan sampai
tergantung saja kepada yang tua-tua itu.
Yang tua-tua ini ada yang baik dan ada yang kurang baik. Orang yang berjuang itu
ada kalanya sudah tidak boleh kepalang tanggung. Saya berjuang dari umur delapan
belas tahun dan sekarang umur saya sudah delapan puluh satu, kalau saya tidak
berjuang lagi saya sudah melanggar kehormatan saya sendiri. Sampai liang kubur
pun saya sudah bertekad dan ketika itu saya sudah mendapat ijin dari istri saya.
Pokoknya kalau mati untuk perjuangan diikhlaskan. Ada di antara yang tua-tua itu
sudah kapok, sesudah ditahan, digebuki menjadi kapok atau jera, itu juga ada.
Tetapi kita tidak perlu mengutuk mereka, karena mereka sudah berjuang, cuma
kapok. Tetapi ada yang jelek, pernah berjuang, tapi kemudian berkhianat. Pada
waktu zaman Jepang juga ada yang begitu, sama saja, yang ilegal ada juga yang
begitu. Zaman G30S kemarin lebih banyak lagi yang berkhianat. Misalnya dari
seluruh pimpinan sentral itu ada puluhan orang yang mengkhianat. Maka itu perlu
berhati-hati, jangan mudah ikut-ikutan saja, karena kita harus melihat dan
perhatikan betul siapa yang menjadi pimpinan. Sebab kalau kita sudah masuk dalam
organisasi, pimpinan itu menentukan sekali. Nah, itulah yang saya maksud agar kaum
muda jangan sampai tergantung saja dengan yang tua-tua. Yang tua-tua banyak yang
mau berjuang bersama kalian, membantu kalian, tetapi yang muda-muda ini agar
percaya pada diri sendiri, percaya pada ideologi keyakinan perjuangan, inilah
dasarnya untuk berrevolusi. Revolusi itu bukan berontak. Berontak itu dari atas,
berontak bukan dari bawah dan berontak itu bisa dikomandoi. Tetapi kalau
kesadaran itu dari bawah.
Nah yang saya alami di Surabaya dan yang saya ingin ceritakan kepada teman-teman
pemuda, yalah, bahwa pemuda-pemuda dengan kesadaran dari bawah itulah yang
berjuang. Pemuda-pemuda Surabaya itu kesadarannya sangat luar biasa. Memang
kesadaran pemuda-pemuda itu bukan seperti orang-orang keluaran sekolah
Marx-House, (Marx House didirikan a.l. di Solo, Madiun, Magelang, Yogyakarta dll.
Lih. Kronik Revolusi Indonesia Jilid III, hlm. 203.) tetapi mereka yang memiliki
kesadaran mau melawan penjajah, mau mati untuk kemerdekaan itulah yang
berkorban dan itulah yang mewarnai Pertempuran 10 November 1945. Dalam
pertempuran itu yang mati bukan saja ratusan, tapi puluhan ribu. Saya ketika keluar
dari kota Surabaya terpaksa melangkahi mayat teman-teman itu - memilukan sekali.
Tetapi itulah bukti kesadaran dari bawah dan tidak ada yang menyesal dalam arti
sudah menjalani pengorbanan dan inilah revolusi dan revolusi anak-anak muda pada
waktu itu dan bukan sekedar mengikuti yang tua-tua saja. Yang tua-tua bahkan ada
kalanya diculik.
Wedana, bupati, walikota yang tidak memihak kemerdekaan ada yang diculik oleh
anak-anak muda karena bertentangan pikiran. Jadi kesadaran dari bawah ini,
artinya musti memihak Republik Indonesia.
Insiden Bendera
Pada tanggal 19 September 1945 terjadi peristiwa Insiden Bendera, dikenal juga
dengan istilah “Vlag Incident” - Insiden Bendera – di Jalan Tunjungan Surabaya.
Pada waktu itu di atas Gedung Yamato Hotel, yang pada zaman penjajahan Belanda
bernama Oranje Hotel, berkibar bendera Belanda merah-putih-biru. Setelah
melihat itu, pemuda-pemuda kampung datang ke rumah saya untuk menyampaikan
peristiwa itu. Ketika itu Roeslan Widjajasastra juga ada di tempat saya dan
pemuda-pemuda lainnya termasuk Soekarno (Salah seorang dari 11 kawan yang
dieksekusi oleh Rezim Hatta pada tanggal 19 Desember 1948 di desa Ngalian,
Keresidenan Surakarta.) juga ada di situ. Saya segera mengajak mereka:
“Mari kita turunkan bendera itu!” Waktu itu memang saya sudah dikenal juga
sebagai Pimpinan Pemuda Angkatan Muda Minyak Indonesia. Kira-kira 15 orang
segera berangkat dari rumah saya beramai-ramai menuju ke Jalan Tunjungan,
karena ada laporan bendera merah-putih-biru berkibar di sana. Di jalan-jalan kami
berteriak-teriak: “Ayo ikut kami, turunkan bendera merah-putih-biru!” Makin lama
makin banyak yang ikut kita, dengan jumlah lima puluhan kita tiba di tempat
bendera dikibarkan itu.
Kita mulai dengan modal pemuda 50 orang itu berteriak-teriak di bawah Oranje
Hotel itu: “Turunkan bendera!”, tetapi sersan penjaga itu tidak mengerti, dia orang
Inggris tidak mengerti arti “Turunkan bendera”.
Kita lalu teriak dalam bahasa Inggris: “Put down the flag, put down the flag!”, kita
teriak-teriak dalam bahasa Inggris, tetapi juga tidak diturunkan. Pada saat itu
orang yang bernama Mr. W.V.Ch. Ploegman, Walikota yang sudah diangkat oleh
Belanda keluar ke halaman Hotel sambil membawa kayu hitam yang diobat-abitkan.
Dia itu boxer, orangnya gede tinggi kayak Simson. Kita lempari dia dengan batu dan
kereweng - pecahan atap genting - dan kita berlari-lari, mundur. Sampai kira-kira
jarak 100 meter kita berhenti. Wah ini perjuangan, kita maju lagi berlawan sambil
berteriak: “Maju lagi, maju lagi, majuu, majuu, put down the flag!” Waktu itu sudah
bukan 50 lagi, tapi sudah ratusan orang. Ketika Ploegman keluar lagi dengan
membawa kayu yang diobat-abitkan, tiba-tiba dia ditikam perutnya sampai
mancurlah darah dan jatuh mati seketika. Tidak tahu siapa yang menusuk. Kalau
menurut perasaan saya banyak orang di sektar itu, termasuk pengendara becak juga
banyak yang ikut di situ. Begitulah terjadinya peristiwa matinya Ploegman pada
tanggal 19 September 1945 itu. Bersama dengan orang-orang yang ada di situ dan
para pengendara becak juga banyak yang ikut, kita lalu pasang tangga untuk naik ke
atas Hotel Oranje. Bukan satu orang saja, tapi dua, tiga orang sampai lebih dari
sepuluh orang yang naik ke atas, naik lagi terus sampai ke tempat bendera itu, lalu
dirobek birunya menjadi merah-putih dan berkibar dengan megah.
Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari Surabaya
Sebelum tanggal 19 September 1945 di Surabaya datang Aidit menemui saya. Kami
ada hubungan dalam perjuangan, karena waktu itu saya juga turut dalam gerakan
pemuda proklamasi. Dalam pertemuan itu dia minta supaya di Surabaya juga
diadakan momen aksi, dengan menyelenggarakan Rapat Samudra pada tanggal 19
September 1945. Dalam mempersiapkan rapat raksasa 19 September 1945 ini saya
clash dengan Roeslan Abdulgani. Pada waktu itu Roeslan Abdulgani masih pimpinan
Angkatan Muda Indonesia di Surabaya, lengkap dengan para pengurusnya termasuk