BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting, seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC /diseminated intravascular coagulation) (Sjamsuhidajat, de jong. 2010). Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera cenderung meningkat dan akan mengancam kehidupan kita. Cedera dapat menyebabkan kematian dan juga dapat menimbulkan penderitaan fisik, stress mental dan kehilangan banyak waktu. Jadi dalam hal ini, cedera dapat meningkatkan angka kejadian morbiditas dan angka kejadian mortalitas (Rasjad C,2003). Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja
sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang
didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi
organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi
sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal
berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting,
seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan
sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC
/diseminated intravascular coagulation) (Sjamsuhidajat, de jong. 2010).
Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera berupa fraktur,
dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera cenderung meningkat dan akan
mengancam kehidupan kita. Cedera dapat menyebabkan kematian dan juga dapat
menimbulkan penderitaan fisik, stress mental dan kehilangan banyak waktu. Jadi
dalam hal ini, cedera dapat meningkatkan angka kejadian morbiditas dan angka
kejadian mortalitas (Rasjad C,2003). Trauma kepala merupakan kedaruratan
neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala merupakan pusat
kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang mempengaruhi segala
aktivitas manusia, bila terjadi kerusakan akan mengganggu semua sistem tubuh.
Penyebab trauma kepala yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh
(21%) dan cedera olahraga (10%). Angka kejadian trauma kepala yang dirawat di
rumah sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%)
setelah stroke, dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit
terbanyak yang dirawat di rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2007).
Pada cedera fisik yang memerlukan tindakan pembedahan akut didapatkan
bahwa 10% diantaranya adalah akibat dari trauma tumpul didaerah abdomen.
Trauma tumpul abdomen dapat menyebabkan cedera organ intra abdomen berupa
ruptura organ padat seperti hepar dan lien atau perforasi organ berongga seperti
lambung dan usus. Cedera intra abdomen pada pemeriksaan awal sulit untuk
1
dideteksi. Apalagi bila penderita datang dalam keadaan tak sadar akibat trauma
didaerah kepala atau akibat intoksikasi alkohol (Soemarko, 2004). Menurut
National Consultant for Injury dari WHO Indonesia (dikutip dari data kepolisian
RI) terdapat kecelakaan selama tahun 2007 memakan korban sekitar 16.000 jiwa
dan di tahun 2010 meningkat menjadi 31.234 jiwa di Indonesia.
Dengan demikian masalah trauma memerlukan perhatian yang serius dan
sangat penting untuk diketahui oleh mahasiswa kedokteran, maka dari itu kami
akan melakukan Tugas Pengenalan Profesi yaitu Observasi pasien trauma/pasca
trauma di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis trauma pada pasien yang dijumpai di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang?
2. Apa etiologi trauma yang dialami pasien trauma/ pasca trauma yang
dijumpai di IGD Sakit Bhayangkara Palembang?
3. Apa saja manifestasi klinis pada pasien trauma/ pasca trauma yang dijumpai
di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien trauma/ pasca trauma yang
dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang pasien trauma/ pasca trauma yang dijumpai
di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?
6. Apa saja kasus yang paling sering terjadi di IGD Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang?
2
1.3. Tujuan Pelaksanaan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk Mengatahui jenis trauma¸ etiologi trauma, manifestasi klnis,
penatalaksaan, dan pemeriksaan penunjang pada pasien yang mengalami trauma/
pasca trauma yang dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
1.3.2.Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui jenis trauma yang dijumpai di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang.
2. Untuk mengetahui etiologi trauma pada pasien trauma/pasca trauma yang
dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis pasien yang mengalami trauma/ pasca
trauma yang dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien trauma/ pasca trauma yang
dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pasien trauma/ pasca trauma yang
dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
6. Untuk mengetahui kasus yang paling sering terjadi di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang?
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari Tugas Pengenalan Profesi kali ini, adalah sebagai berikut.
1. Untuk penulis dapat menambah ilmu pengetahuan dan sebagai bahan
pembanding antara teori yang di dapat selama kuliah dan praktek di lapangan.
2. Untuk masyarakat dapat berguna sebagai sumber bacaan untuk meningkatkan
ilmu pengetahuan terutama dalam bidang kesehatan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Trauma
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja
sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang
didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi
organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga
terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai
organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting, seperti
kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem
imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh
(DIC /diseminated intravascular coagulation) (Sjamsuhidajat, de jong. 2010).
Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh
salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta penduduk
Amerika Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis. 3,6 juta
membutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Didapatkan 300 ribu di antaranya
mendapatkan kecacatan yang bersifat menetap (1%) dan 8,7 juta menderita
kecacatan sementara ( 30% ) dan menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang
per tahun (0,5%). Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas lebih kurang
12 ribu orang per tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma dapat
menyebabkan :
1. Angka kematian yang tinggi.
2. Hilangnya waktu kerja yang banyak sehingga biaya perawatan yang besar.
3. Kecacatan sementara dan permanen.
Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera musculoskeletal
berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera sistem musculoskeletal
cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan mengancam kehidupan kita
(Rasjad C,2003).
4
2.2. Klasifikasi Trauma
2.2.1. Trauma Kapitis
A. Definisi
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen (Asrini, 2008).
B. Mekanisme Trauma Kapitis
a. Akseleras
Bila kepala yang bergerak ke suatu arah atau kepala sedang dalam
keadaan tidak bergerak , tiba-tiba mendapat gaya yang kuat searah dengan
gerakan kepala maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada
arah tersebut. Mula-mula tulang tengkorak yang bergerak lebih cepat,
jaringan otak masih diam, kemudian jaringan otak ikut bergerak ke arah
yang sama. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang sangat
singkat. Pada peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar
tengkorak serta terjadi benturan antara jaringan otak dan dinding
tengkorak.
Mekanisme akselerasi dapat menyebabkan laserasi pada bagian
bawah jaringan otak dan memar pada jaringan otak serta putusnya vena–
vena kecil yang berjalan dari permukaan otak ke duramater (bridging
veins) (Anonim, 2013).
b. Deselerasi.
Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan
oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba
akan terhenti gerakannya. Kepala mengalami deselerasi (perlambatan)
secara mendadak. Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya,
jaringan otak masih bergerak kemudian jaringan otak terhenti gerakannya
karena menabrak tengkorak. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu
yang sangat singkat. Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan kelainan
serupa seperti pada mekanisme akselerasi (Anonim, 2013).
c. Rotasi
5
Batang otak (brain stem) terletak di bagian tengah jaringan otak dan
berjalan vertikal ke arah foramen magnum sehinga otak seolah-olah
terletak pada sebuah sumbu (axis). Bila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya
mendadak yang membentuk sudut terhadap arah gerak kepala, misalnya
pada bagian frontal atau pada bagian oksipital maka otak akan terputar
pada sumbunya. Mekanisme rotasi dapat menyebabkan laserasi dari bagian
bawah jaringan otak dan kerusakan pada batang otak (Anonim, 2013).
C. Klasifikasi Trauma Kapitis
Cidera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yaitu
berdasarkan mekanisme, beratnya dan morfologi (ATLS, 2004).
a. Mekanisme cidera kepala
Cidera otak dibagi atas cidera tumpul dan cidera tembus. Cidera
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh atau pukulan benda tumpul. Sedangkan cidera tembus
disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan (Asrini, 2008).
b. Beratnya cidera kepala
GCS atau Glasgow Coma Scale digunakan secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cidera otak (Asrini, 2008). Berdasarkan
beratnya cidera kepala dibagi menjadi 3 yaitu :
1) Cidera kepala ringan
GCS antara 15-13, pasien stabil dan sadar, tidak ada
muntah, dapat mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala
dan pemeriksaan lainnya normal (Asrini, 2013).
2) Cidera kepala sedang
GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai
24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan, dua
atau lebih episode muntah, sakit kepala persisten, kejang singkat
(kurang dari 2menit) satu kali segera setelah trauma, dapat
mengalami luka lecet, hematoma, atau laserasi di kulit kepala
dan pemeriksaan lainnya normal (Asrini, 2013).
3) Cidera kepala berat
6
GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam,
biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematoma dan
edema serebral. terdapat kebocoran LCS dari hidung atau
telinga, tanda-tanda neurologis lokal (pupil anisokoria), terdapat
tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial berupa herniasi
unkus yaitu dilatasi pupil ipsilateral akibat kompresi nervus
okulomotor, herniasi sentral yaitu kompresi batang otak
menyebabkan bradikardi dan hipertensi, trauma kepala yang
berpenetrasi dan dapat terjadi kejang (selain kejang singkat satu
kali segera setelah trauma) (Asrini, 2013).
Tabel 1. Glasgow Coma Scale (GCS)
Eye Opening Score
Mata terbuka dengan
spontan
4
Mata membuka setelah
diperintah
3
Mata membuka setelang
diberi rangsang nyeri
2
Tidak membuka mata
dengan rangsang apapun
1
Best Motor Response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (decorticate) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
7
Tidak ada gerakan
dengan rangsang apapun
1
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan
dengan benar
5
Salah menjawab
pertanyaan
4
Mengeluarkan kata-kata
yg tidak sesuai
3
Mengeluarkan suara yg
tidak ada artinya
2
Tidak ada jawaban 1
Jumlah 15
c. Morfologi cidera kepala
1) Fraktur Cranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linier atau bintang/stelata dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Untuk memastikannya harus dilakukan CT scan dengan
teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Tanda-
tandanya antara lain raccoon eyes, ekimosis retroaurikule (battle
sign), rhinorrhea, otorrhea, paresis nervus facialis dan gangguan
pendengaran (Asrini, 2008).
2) Lesi intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau difus,
walaupun kedua jenis ini sering terjadi bersamaan. Yang
termasuk lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan
subdural dan perdarahan intracerebral (Asrini, 2013).
8
a) Perdarahan Epidural (Epidural Hemorrhage–EDH)
Perdarahan ini disebabkan karena fraktur di daerah
temporal yang memutuskan arteri meningea. Darah dengan
segera akan terkumpul di rongga di antara duramater dan
tulang tengkorak. Darah ini akan menekan jaringan otak ke
arah medial dan menyebabkan penekanan terhadap nervus III
sehingga pupil akan melebar (midriasis) dan perangsangan
cahaya pada pupil mata ini tidak akan menggerakkan
musculus ciliaris (rangsang cahaya negatif). Epidural
hematoma harus segera di operasi (craniotomy) (Asrini,
2013). Riwayat penyakit yang khas pada epidural hematoma
ialah adanya lucid interval. Pada waktu baru terjadi trauma
kapitis, penderita tetap berada dalam keadaan sadar bahkan
masih mampu menolong dirinya sendiri, baru beberapa jam
kemudian (biasanya antara 6 – 8 jam) kesadaran mulai
menurun, kedua pupil akhirnya berdilatasi penuh dan
rangsang cahaya pada kedua mata menjadi negatif dan
penderita meninggal (Asrini, 2013). Tenggang waktu antara
kejadian trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan
kesadaran disebut lucid interval. Kedua pupil yang berdilatasi
penuh dengan rangsang cahaya yang negatif menujukkan
keadaan yang disebut herniasi tentorial. Herniasi tentorial
terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial dimana batang
otak terdesak kearah caudal dan akhirnya terperangkap oleh
tentorium (Asrini, 2013).
b) Perdarahan Subdural (Subdural Hemorrhage–SDH)
Perdarahan ini terletak diantara permukaan jaringan
otak dan di bawah duramater biasanya di daerah parietal.
Perdarahan ini dapat terjadi karena mekanisme rotasi maupun
mekanisma aselerasi–deselerasi kepala sehingga memutuskan
bridging veins (vena-vena yang menghubungkan permukaan
jaringan otak dan duramater) atau pecahnya pembuluh–
9
pembuluh cortical jaringan otak baik arteri maupun vena
yang berada pada permukaan otak (Asrini, 2013).
Bila terjadi akut segera setelah trauma kapitis ini
menunjukkan suatu trauma kapitis yang cukup berat. Kasus
perdarahan subdural akut (acute SDH) memerlukan tindakan
operasi segera (Asrini, 2013).
Pada perdarahan subdural manifestasi klinik timbul
setelah 2–3 minggu setelah trauma kapitis, terdapat sakit
kepala, kelemahan anggota gerak sesisi dan bahkan
penurunan kesadaran. Keadaan ini disebut perdarahan
subdural kronis (chronic SDH). Dengan melakukan operasi
membuang darah tersebut, penderita akan segera pulih
kembali (Asrini, 2013).
c) Perdarahan Intracerebral (Intracerebral Hemorrhage–ICH)
Perdarahan ini terjadi karena putusnya pembuluh darah
di dalam jaringan otak. Penderita akan cepat kehilangan
kesadaran . Tergantung dimana letak perdarahan, operasi
dapat menolong penderita tetapi biasanya dengan cacat yang
menetap (Asrini, 2013). Perdarahan juga dapat terjadi di
dalan sistem ventrikel disebut perdarahan intraventrikular
(Intraventricular Hemorrhage–IVH). Darah akan menyumbat
sistem ventrikel sehingga liquor cerebrospinal tidak dapat
mengalir dan terkumpul di dalam sistem ventrikel dan
menyebabkan sistem ventrikel melebar dan mengandung
banyak cairan sehingga terjadi hydrocephalus. Bila
perdarahan cukup banyak maka seluruh fungsi jaringan otak
akan terganggu (Asrini, 2013).
Sedangkan yang termasuk lesi difus adalah sebagai berikut :
a) Diffused Axonal Injury (DAI)
Tekanan yang berkurang menyebabkan kerusakan
mekanik akson secara cepat. Lebih dari 48 jam
kerusakan lebih lanjut terjadi melalui pelepasan
10
neurotransmiter eksitotoksik yang menyebabkan
influís Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade
fosfolipid. Kemungkinan genetik diketahui dapat
berperanan dalam hal ini. Dengan adanya gen APOE
tergantung dari tingkat keparahan dari luka, efek
dapat bervariasi dari koma ringan sampai kematian
(Asrini, 2013). DAI terjadi pada 10-15% CKB. 60%
DAI berakhir dengan kecacatan menetap dan
vegetative state, 35-50% berakhir dengan kematian.
Dalam proses biomekanis DAI terjadi karena adanya
proses deselerasi (Asrini, 2013).
b) Iskemia serebral
Iskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera
kepala berat dan disebabkan baik karena hipoksia atau
perfusi serebral yang terganggu/rusak. Pada orang
normal, tekanan darah yang rendah tidak
mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena
adanya autoregulasi, Penyebab iskemia serebral
adalah lesi massa yang menyebabkan herniasi
tentorial, traksi atau perforasi pembuluh darah,
spasme arterial, dan kenaikan TIK karena edema otak.
Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks,
hipokampus, ganglion basalis dan batang otak (Asrini,
2013).
c) Komusio serebri
Komusio serebri merupakan bentuk trauma kapitis
ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit).
Gejala lain mungkin termasuk pusing. Berdasarkan
atas lokasi benturan, lesi dibedakan atas koup
kontusio dimana lesi terjadi pada sisi benturan dan
tempat benturan. Pada kepala yang relatif diam
biasanya terjadi lesi koup, sedang bila kepala dalam
11
keadaan bebas bergerak akan terjadi kontra koup
(Asrini, 2013).
D. Pembagian Trauma Kapitis
a. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan ada
riwayat trauma kapitis, tidak pingsan, gejala sakit kepala dan pusing
dan umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi
obat simptomatik dan cukup istirahat.
b. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala yang
tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh
nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat. Vertigo
dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio
cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde yaitu hilangnya
ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya
kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman
kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu
dibuat adalah foto tengkorak, EEG dan pemeriksaan memori.
c. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-
perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan
yang kasat mata meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau
terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya
akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran
otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi
yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak
membentang batang otak terlalu kuat sehingga menimbulkan
blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus.
Akibat blockade itu otak tidak mendapat input aferen dan karena itu
kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.
12
Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup dan
intermediate menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa
berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah
kesadaran puli kembali penderita biasanya menunjukkan organic
brain syndrome.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme
yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi
pembuluh darah cerebral terganggu sehingga terjadi vasoparalitis.
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat atau
menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat maka
rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul (Harsono,
2005). Pemeriksaan penunjang seperti CT-scan berguna untuk
melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka
pendek. Terapi dengan antiserebral edema, anti perdarahan,
simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
d. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai
dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan
adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan
intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan
tidak langsung (Harsono, 2005). Laceratio langsung disebabkan oleh
luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi
fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan
laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang
hebat akibat kekuatan mekanis.
e. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media
dan fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau
fossa mana yang terkena.
1) Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala hematom
kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding, epistaksis
dan rhinorrhoe.
13
2) Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala hematom
retroaurikuler, ottorhoe dan perdarahan dari telinga
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio,
jadi terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi
untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe
yang berlangsung lebih dari 6 hari (Asrini, 2013).
E. Manifestasi Klinis Trauma Kapitis
a. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cidera kepala ringan
Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama
beberapa saat, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan,
mual dan muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang
menurun, perubahan kepribadian diri dan letargi (Anonim, 2013).
b. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cidera kepala berat
Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan
peningkatan di otak menurun atau meningkat, perubahan ukuran
80x/menit, Temperatur : 36,9 C, pada anak kami tidak melakukan pemeriksaan
tekanan darah, hal ini disebabkan tidak tersedianya sfigmomanometer anak-
anak. Selanjutnya dokter IGD melihat airway, breathing, circulation, disability
dalam batas normal. Sebelum dilakukan tatalaksana dilakukan pengukuran luka
dengan menggunakan alat ukur didapatkan Vulnus laseratum dorsum pedis (luka
robek) dengan Lebar : 1 cm, Panjang 2,5 cm.Vulnus ekskoriatum deltoid (luka
46
lecet) didapatkan dengan Lebar : 1 cm Panjang : 2 cm. Vulnus ekskoriatum
infraorbital didapatkan, Lebar : 3cm, Panjang 1cm.
Setelah melihat airway, breathing, dan circulation dokter memberikan
tatalaksana pada Vulnus laseratum dengan melakukan cuci luka menggunakan
Nacl 0.9% + Gentamicin lalu berikan betadine di daerah luka. Setelah itu
dilakukan anastesi lokal untuk melakukan penjahitan luka. Sebelumnya siapkan
alat jahit luka. Pada pasien R didapatkan luka jahitan sebanyak 4 jahitan. Lalu
tutup luka dengan perban yang diberikan betadine lalu berikan framycetin
sulphate untuk mempercepat pengeringan luka dengan berbentuk kasa steril
lengket. Untuk Vulnus ekskoriatum , Luka lecet di bersihkan dengan Nacl 0.9%
+ Gentamicin. Lalu oleskan betadine di sekitar luka. Setelah di tatalaksana
pasien di berikan obat antibiotik untuk mencegah infeksi lebih lanjut dan
analgetik untuk meringankan nyeri.
Pasien 4
Nama pasien : A
Umur :14 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
A, 14 tahun, datang dengan keluhan luka lecet pada tangan dan kaki serta
nyeri pada atas pergelangan tangan kiri ke UGD RS bhayangkara akibat
kecelakaan lalu lintas. Pada pergelangan tangan kiri terlihat tonjolan tulang. Saat
diperiksa tanda vitalnya didapatkan data yaitu kesadaran (GCS) : 14, RR : 23
x/menit, HR : 95x/menit, Temperatur : 36,90 C, , pada anak kami tidak
melakukan pemeriksaan tekanan darah, hal ini disebabkan tidak tersedianya
sfigmomanometer anak-anak. Lalu dokter igd melihat airway, breathing,
circulation, disability dalam batas normal.
Setelah melihat airway, breathing, dan circulation dokter memberikan
tatalaksana pada Vulnus ekskoriatum dengan pembersihan vulnus dengan
menggunakan NaCl 0,9% + Gentamicin lalu memberikan betadine di daerah
luka. Setelah di lakukan tatalaksana pasien di bawah ke ruang radiologi untuk di
lakukan foto rontgen daerah radius dan ulna pada pergelangan tangan kiri yang
47
terdapat tonjolan karena dicurigai dadanya fraktur, setelah dilakukan
pemeriksaan radiologi didapatkan hasil yaitu terjadi fraktur tertutup os radius
distal sinistra dan dokter melakukan tatalaksana yaitu pemasangan bidai
melibatkan 2 articulatio pada lengan atas dan lengan bawah setelah itu diberikan
antibiotik untuk mencegah infeksi lebih lanjut dan analgetik untuk meringankan
nyeri. Setelah itu dokter memberikan penjelasan kepada orangtua A. Dokter IGD
menyarankan A untuk di rujuk ke dokter spesialis ortopedi dan bedah tulang
untuk penatalaksanaan selanjutnya.
4.2 Pembahasan
Pada pelaksanaan TPP yang dilakukan pada hari Minggu tanggal 11 Oktober
2015 di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang pukul 08.00 WIB sampai 20.00
WIB kami mendapatkan 4 pasien trauma/pasca trauma yang terdiri dari 3 trauma
tumpul dan 1 trauma tajam.
Berdasarkan hasil observasi pada pasien pertama, Tn. Y, 23 tahun, datang ke
IGD RS. Bhayangkara Palembang karena mengalami vulnus laseratum di regio
brachialis dengan ukuran panjang ± 5 cm, lebar ± 2 cm dan kedalaman luka ± 1 cm
dengan jenis luka terbuka. Sebelumnya luka tersebut hanya diberi kopi oleh seorang
temannya pasca kejadian. Dokter IGD hanya melakukan visum atas permintaan Tn.
Y karena ia menolak untuk dilakukan tatalaksana oleh dokter IGD dengan alasan
takut disuntik dan dijahit. Dokter IGD telah menyarankan untuk membersihkan
luka dan penjahitan luka. Dokter IGD juga telah menjelaskan komplikasi yang akan
terjadi apabila luka tersebut tidak segera ditatalaksana, yaitu terjadi infeksi pada
luka, kejang, sepsis hingga kematian. Berdasarkan teori, seharusnya
penatalaksanaan pada luka terbuka adalah dilakukan pembersihan pada daerah luka
untuk kemudian dilakukan penjahitan pada luka tersebut agar tidak terjadi infeksi
dan komplikasi lainnya yang lebih berat.
Pada pasien kedua, Ny. D, 59 tahun mengalami trauma capitis dan trauma
ekstremitas akibat kecelakaan lalu lintas berupa vulnus ekskoriatum di regio genue
dextra et sinistra, vulnus ekskoriatum di regio manus sinistra, vulnus insivum di
regio halux dextra, vulnus ekskoriatum di regio gluteus dextra et sinistra, vulnus
ekskoriatum di regio frontalis, vulnus contusio di regio frontalis dan Vulnus
48
ekskoriatum di Regio zygomatica. Dokter IGD memberikan tatalaksana
berupa manejemen luka yaitu pertama luka dibersihkan dahulu dengan
menggunakan kasa yang diberi Nacl 0,9 % Gentamisin. Kemudian jaringan yang
rusak atau nekrosis dibuang (debridement). Selanjutnya luka tersebut diberi
betadine. Lalu luka ditutup dengan framycetin sulfate 1% sesuai dengan ukuran
luka. Setelah itu luka ditutup dengan menggunakan kasa dan kemudian difiksasi
dengan plester. Berdasarkan tatalaksana yang dilakukan dokter IGD sudah sesuai
dengan teori Lindsay (1997). Tatalaksana pada luka adalah:
a) Mencuci luka
1. Luka diirigasi dengan cairan saline (NaCl 0,9%).
2. Bersihkan jaringan nekrotik dan benda asing yang terdapat pada luka.
b) Menjahit luka
1. Luka yang telah dicuci diolesi dengan cairan antiseptic (betadine) dari
bagian tengah memutar ke perifer.
2. Siapkan alat-alat menjahit
3. Bersihkan luka dan alat-alat setelah selesai menjahit.
c) Membungkus luka
1. Luka yang telah dijahit diolesi antiseptik kembali.
2. Bungkus luka dengan kasa steril dengan agak kencang.
3. Kasa bisa diikat dengan simpul atau direkatkan dengan plester.
Pada responden ini tidak dilakukan penjahitan pada luka dikarenakan
responden tidak memiliki biaya dan takut untuk dijahit. Berdasarkan ATLS
2004,pada luka laceratum yang tidak dilakukan penjahitan dapat memperlambat
penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi dan penutupan luka yang tidak
sempurna.
Pada pasien ketiga, adalah pasien A, laki-laki, 14 tahun, yang mengalami
Vulnus laceratum pada region antebrachii et region genue sinistra et dextra dan
fraktur tertutup pada os radius distal sinistra yang disebabkan trauma tumpul
sehingga menyebabkan inkontinuitas pada jaringan (ATLS, 2004). Dokter IGD
melakukan tatalaksana dengan memberikan NaCl 0.9% + Gentamisin sebagai
49
antiseptik pada luka tersebut, serta dilakukan pemasangan bidai pada regio
antebrachii sinistra dengan tujuan imobilisasi pada fraktur os radius distal sinistra.
Kemudian dokter memeberikan tatalaksana farmakologi berupa obat
antibiotik untuk mencegah infeksi serta memberikan analgetik untuk mengurangi
rasa nyeri. Setelah itu dokter IGD menyarankan untuk dirujuk ke dokter spesialis
orthopedi. Tatalaksana yang dilakukan oleh dokter IGD sudah sesuai dengan teori
ATLS (2004), pada pasien yang mengalami vulnus ekskoriatum dan laceratum
diberi antiseptik untuk mencegah terjadinya infeksi, dan diberikan juga analgetik
untuk mengurangin rasa nyeri. Pada pasien yang mengalami fraktur dilakukan
tatalakasana berupa imobilisasi dengan menggunakan bidai untuk mencegah
fragmen tulang fraktur mencederai daerah sekitar dan untuk mengurangi rasa nyeri
pada daerah fraktur.
Pada pasien keempat, pasien R, laki-laki, 14 tahun, mengalami Vulnus
laceratum pada regio dorsum pedis dan pada regio deltoidea yang disebabkan oleh
gesekan pada aspal di jalan raya ini merupakan jenis trauma tumpul. Pada pasien ini
Airway, Breathing, Circulation, dan Disability dalam batas normal. Berikutnya
dokter IGD melakukan tatalaksana antiseptik dengan NaCl 0,9% + Gentamisin dan
diberikan betadine pada Vulnus laseratum dorsum pedis, Vulnus ekskoriatum
deltoidea, dan Vulnus eskoriatum infraorbital. Selanjutnya dokter memberikan
anastesi lokal pada regio dorsum pedis dan melakukan penjahitan pada Vulnus
laceratum sebanyak empat jahitan, kemudian luka ditutup dengan perban dan
diberikan betadine serta framycetin sulphate 1% untuk mempercepat pengeringan
luka. Setelah dilakukan tatalaksana pasien diberikan antibiotik dan analgetik untuk
meringankan rasa nyeri. Tatalaksana yang dilakukan oleh dokter IGD sudah sesuai
dengan teori ATLS (2004), pada pasien yang mengalami vulnus ekskoriatum dan
laceratum diberi antiseptik untuk mencegah terjadinya infeksi, dan diberikan juga
analgetik untuk mengurangin rasa nyeri.
Kasus yang banyak terjadi di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang
pada tahun 2013 berdasarkan data yang diperoleh adalah ISPA (Infeksi Saluran
Pernapasan Atas) sebanyak 1079 kasus, gastritis sebanyak 610 kasus,
gastroenteritis sebanyak 410 kasus, hipertensi sebanyak 360 kasus, asma bronkialis
50
sebanyak 249 kasus, vertigo sebanyak 303, thypoid sebanyak 255 kasus, DBD
sebanyak 54 kasus, diabetes mellitus sebanyak 83 kasus dan TBC sebanyak 19
kasus. Dari data tersebut tidak ditemukan data untuk kasus trauma, hal ini
kemungkinan kasus trauma tidak terlalu banyak terjadi di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang.
51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Dari hasil observasi pasien trauma di IGD RS. Bhayangkara Palembang kami
mendapatkan empat orang pasien yaitu satu orang dengan trauma tajam dan 3
orang lainnya trauma tumpul. Jenis trauma pada keempat pasien adalah trauma
capitis dan trauma ekstremitas.
2. Manifestasi klinis pada keempat pasien adalah nyeri, hematom, penurunan
kesadaran dan perdarahan.
3. Penatalaksanaan yang dilakukan dokter IGD sudah sesuai dengan teori, yaitu
untuk luka dilakukan manajemen luka berupa irigasi dan debridement pada
luka. Untuk nyeri diberikan analgesic, serta antibiotic untuk pencegahan
infeksi.
4. Dari keempat pasien, pasien A dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu foto
rontgent pada antebrachii sinistra. Pada pasien Y, dia meminta dilakukan
visum. Sedangkan pada pasien D dan pasien R tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang.
5. Menurut data yang didapatkan pada penatalaksanaan TPP kasus terbanyak
yang ditemukan pada tahun 2013 adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan
Atas) yaitu sebanyak 1079 kasus, Gastritis kurang lebih 600 kasus, gastro
entritis kurang lebih 400 kasus, hipotermi kurang lebih 370 kasus, asma kurang
lebih 300 kasus, vertigo kurang lebih 300 kasus, Thypoid kurang lebih 300
kasus, DBD kurang lebih 270kasus, DM kurang lebih 150 kasus, dan TBC
kurang lebih 100 kasus. Dalam hal ini kasus trauma tidak termasuk di antara
10 kasus terbanyak di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
52
4.2 Saran
Adapun saran setelah melakukan Tugas Pengenalan Profesi, sebagai berikut:
1) Untuk Tugas Pengenalan Profesi berikutnya diharapkan mahasiswa mampu
memaksimalkan sarana dan alat dalam memperoleh pengetahuan dan
pengalaman khususnya segala hal yang berkaitan dengan kasus pasien
trauma/pascatrauma pada keadaan kegawatdarurat.
2) Sebaiknya dilakukan tatalaksana pada luka agar tidak terjadi infeksi dan
komplikasi lebih lanjut.
53
Lampiran dokumentasi
Gambar 1. Vulnus Laceratum pada region dorsum pedis.
Gambar 2. Fraktur tertutup regio antebrachii sinistra
54
Gambar 3. Pembidaian pada pasien A
Gambar 4. Vulnus Ekskoriatum
Gambar 5. Nacl 0.9%+ Gentamicin
55
Gambar 6: Vulnus Iaceratum (luka robek)
Gambar 7 : Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio frontalis, Vulnus contusio (luka memar)
di regio frontalis, Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di Regio zygomatica.
56
Gambar 8: Vulnus incivum (luka sayat) di regio halux dextra.
Gambar 9: Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio genue dextra et sinistra.
Gambar 10: 10 Penyakit Terbanyak di IGD RS Bhayangkara Palembang Tahun 2013
57
Gambar 11: Foto bersamadr. IGD dan kelompok 6
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons Commite On Trauma 2004. ATLS 7th edition ; 4. Diakses pada 20 September 2013.
Anonim. 2013. Cedera kepala. Diakses 20 September 2013
Anonim. 2013. Trauma Kepala. Medan : Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 20 September 2013.
Asrini. 2008. Trauma Kapitis. Medan : Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 20 September 2013.
Dorland, W.A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. ed.31. penerbit EGC. Jakarta, Indonesia
Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Harjadi, W. 2008. Anatomi Abdomen. Penerbit EGC. Jakarta, Indonesia
Lindsay, Kenneth. 1997. Section IV localised Neurological Disease and Its management A Intracranial “Head Injury” Neurology and Neurosurgery Illustrated, Third Edition. Churcil Livingston. Diakses pada 20 September 2013.
M, Mardjono.2008. Neurologi klinis dasar. Edisi 5. Jakarta: Dian Rakyat
Rasjad. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Trauma, 12th Edition. Makassar : Bintang Lamupatue.
58
Soemarko, M. 2004. Hubungan Peningkatan tekanan Intravesika Urinaria dengan Perdarahan Intraperitoneal akibat Trauma Tumpul Abdomen. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol.20, No. 1
Sjamsuhidajat, de jong. 2010. Buku ajar ilmu bedah.ed.3.penerbit EGC. Jakarta, Indonesia
Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta : EGC.
Usman. 2013. Trauma ekstremitas. Diakses pada 23 Oktober 2013.