KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan judul “Penerapan Prinsip Akuntabilitas, Transparansi, Dan Partisipasi Publik Dalam Mewujudkan Good Governance Di Pemerintahan Lokal (Studi Deskriptif Kualitatif Di Kec.Wiyung Surabaya) ”. Penyusunan proposal penelitian ini dapat selesai tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini saya dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Seluruh jajaran dosen PMPKn program studi S1 Ilmu Administrasi Negara yang telah memberikan bekal ilmu, dukungan, serta banyak membantu dalam kelancaran penyusunan proposal penelitian ini. 2. Teman-teman program studi S1 Ilmu Administrasi Negara yang memberikan dukungan, sehingga saya bisa menyelesaikan proposal penelitian ini. 3. Semua pihak yang telah membantu dari awal hingga akhir penyusunan proposal ini yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Saya menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat saya nantikan demi perbaikan dan kesempurnaan proposal saya selanjutnya. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan proposal
penelitian dengan judul “Penerapan Prinsip Akuntabilitas, Transparansi, Dan
Partisipasi Publik Dalam Mewujudkan Good Governance Di Pemerintahan Lokal
(Studi Deskriptif Kualitatif Di Kec.Wiyung Surabaya) ”.
Penyusunan proposal penelitian ini dapat selesai tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini saya dengan segala kerendahan hati
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Seluruh jajaran dosen PMPKn program studi S1 Ilmu Administrasi Negara
yang telah memberikan bekal ilmu, dukungan, serta banyak membantu dalam
kelancaran penyusunan proposal penelitian ini.
2. Teman-teman program studi S1 Ilmu Administrasi Negara yang memberikan
dukungan, sehingga saya bisa menyelesaikan proposal penelitian ini.
3. Semua pihak yang telah membantu dari awal hingga akhir penyusunan
proposal ini yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
Saya menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
segala kritik dan saran yang membangun sangat saya nantikan demi perbaikan dan
kesempurnaan proposal saya selanjutnya.
Surabaya, 07 Februari 2011
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………… 1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………… 3
B. Rumusan Masalah …………………………………………………… 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………..………………………… 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dan Asas Pemerintah Daerah ……………………………… 8
1. Konsep pembentukan pemerintah daerah ……………………….. 8
2. Asas penyelenggaraan pemerintah daerah ………………………. 9
B. Good Governance dalam Pemerintahan Lokal ……………………… 12
1. Good govenance …………………………………………………. 12
2. Pewujudan good governance dalam pemerintahan lokal ………… 16
C. Prinsip Akuntabilitas, Transparansi, dan Partisipasi Publik ………… 19
1. Akuntabilitas ……………………………………………………. . 19
2. Transparansi ……………………………………………………… 21
3. Partisipasi Publik ………………………………………………… 23
D. Penelitian Terdahulu …………………………………………………. 25
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………. . 27
B. Jenis Penelitian ……………………………………………………… 27
C. Populasi dan Sampel ………………………………………………… 27
D. Sumber Data ………………………………………………………… 28
E. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………. 28
F. Definisi Operasional Variabel ………………………………………. 29
G. Instrumen Pengumpulan Data………………………………………. 30
H. Teknik Analisis Data ………………………………………………. 30
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 31
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 yang lalu
memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintah menyadari bahwa terpuruknya Indonesia dalam krisis ini disebabkan oleh
berbagai faktor, yang salah satunya adalah penyelenggaraan negara yang buruk (poor
governance) atau populer dengan sebutan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Akses pada sumberdaya ekonomi yang tersedia hanya terbatas pada segelintir
komponen masyarakat, sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi (sebelum krisis)
pada kenyataannya hanya dinikmati sebagian kecil penduduk. Hal ini menyadarkan
kita akan pentingnya reorientasi terhadap tata kehidupan bernegara (governance)
untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis, yaitu yang menjamin berlakunya
mekanisme check and balance, distribusi kekuasaan secara sehat dan fair, adanya
akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia
(HAM), serta struktur ekonomi yang adil dan berorientasi kepada masyarakat luas.
Salah satu aspek reformasi yang mendapat perhatian hingga kini adalah
persoalan kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan proses demokratisasi yang
tengah berlangsung pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan desentralisasi (politik
dan fiskal) dengan mengunakan kerangka hukum Undang - Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang - Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian
direvisi dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang - Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan landasan tersebut membawa perubahan
yang cukup berarti terhadap hubungan pusat dan daerah.
Suatu perubahan selalu ada sisi positif dan negatifnya, demikian juga dengan
desentralisasi. Diharapkan melalui kebijakan desentralisasi tersebut dapat
menyuburkan reformasi pada tingkat lokal dan memberi ruang gerak pada bidang
politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber-sumber daya daerah
untuk kepentingan masyarakat lokal. Sehingga tercipta corak pembangunan baru di
daerah. (Alfitra Salamm, 2005. hal v)
3
Selain keuntungan sebagaimana tersebut di atas desentralisasi juga
mempunyai kecenderungan atau efek kurang baik. Sadu Wasistiono (2003) mencatat
paling sedikit ada lima gejala umum dampak negatif dari desentralisasi yang nampak
yaitu; Pertama, menguatnya rasa kedaerahan yang sempit dalam pemanfaatan sumber
daya alam, penyusunan rencana pembangunan, pemberian layanan umum kepada
masyarakat maupun dalam pengisian jabatan birokrasi daerah. Kedua, munculnya
gejala ekonomi biaya tinggi sebagai akibat daerah hanya mengejar kepentingan
jangka pendek untuk meningkatkan APBD. Ketiga, otonomi daerah masih dipahami
secaras sempit sehingga hanya pemerintah daerah yang aktif, sedangkan peran serta
masyarakat luas belum nampak. Keempat, adanya gejala ketidakpatuhan daerah dan
atau penafsiran secara sepihak terhadap berbagai perundang-undangan yang
dikeluarkan pemerintah pusat, padahal demokrasi memerlukan ketaatan hukum yang
tinggi. Kelima dengan diberlakukanya Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 ada
kecenderungan pergeseran titik pusat kekuasaan di daerah daerah dari eksekutif
(executive heavy) ke tangan legislatif (legislative heavy) yang diikuti dengan
pergeseran pusat-pusat korupsinya.
Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa desentralisasi kewenangan kepada
pemerintah daerah akan menciptakan raja-raja kecil dan memindahkan praktek KKN
ke daerah, jika tidak ditempatkan dalam kerangka demokratisasi (“Otonomi Daerah
Ciptakan Raja Kecil". KOMPAS, 19 Februari 2000). Dengan kata lain, otonomi daerah belum
tentu menjanjikan keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat,
apabila agenda demokratisasi diabaikan di dalamnya. Oleh karena itu, diperlukan
adanya berbagai upaya agar desentralisasi ini tidak berimplikasi pemindahan
kekuasaan yang otoriter (disertai korupsi, kolusi, nepotisme – KKN) dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, salah satunya yaitu dengan berpegang teguh pada
prinsip pemerintahan yang demokratis serta berorientasi terhadap terwujudnya tata
pemerintahan yang baik (good governance).
Konsep good governance tentunya tidak hanya perlu diaplikasikan di tingkat
nasional, tetapi bahkan lebih penting lagi adalah di tingkat lokal. Undang-undang
(UU) nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah merupakan
perwujudan salah satu prasyarat yang dibutuhkan (necessary), tetapi bukan berarti
bahwa regulasi ini sudah mencukupi (sufficient) bagi terwujudnya tata pemerintahan
yang baik. Oleh karena itu, pemerintah daerah juga harus dapat membuka ruang bagi
4
seluruh komponen masyarakat untuk dapat terlibat dalam seluruh proses
pembangunan. Pelibatan tersebut membutuhkan beberapa prasyarat awal yang harus
diimplementasikan oleh pemerintah daerah sendiri, khususnya dalam hal transparansi
dan akuntabilitas. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan
penerapan sistem pertanggungajwaban pemerintah yang tepat, jelas dan nyata
sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berdaya guna,
berhasil guna dan bertanggungjawab serta bebas KKN. Menurut Sedarmayanti
(2003), perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas
pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat peran dan kapasitas parlemen serta
tersedianya akses yang sama pada informasi masyarakat luas.
Untuk mencegah agar kekuasaan politik, ekonomi, sosial dan budaya tidak
dipegang oleh sekelompok elit daerah saja, maka dibutuhkan peranan media massa,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan masyarakat pada umumnya
untuk memantau proses pengambilan keputusan, mempedulikan pekerjaan serta
kinerja pemerintahan daerah, menuntut adanya transparansi, dan meminta aparat
pemerintah daerah untuk dapat mempertanggungjawabkan amanat yang diembannya.
Dalam mewujudkan pertanggungjawaban pemerintah terhadap warganya salah
satu cara dilakukan dengan menggunakan prinsip transparansi (keterbukaan). Melalui
transparansi penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat diberikan kesempatan untuk
mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah. Juga melalui
transparansi penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan
feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.
(BKSI, 2001)
Dari sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana
pemerintah menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi lebih penting lagi
adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk
menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable). Karenanya, seringkali
tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai “sebuah bangunan dengan 3 tiang”.
Ketiga tiang penyangga itu adalah transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.
Secara konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang
baik itu mutualistik dan saling mendukung. Efektivitas dan efisiensi sumber daya
dalam mencapai tujuannya mensejahterakan bangsa menuntut tingkat akuntabilitas
penyelenggara negara (pemerintah) yang relatif tinggi. Tanpa adanya partisipasi
publik untuk mengamankan (safeguard) proses penyelenggaraan negara, sulit
5
diharapkan akuntabilitas dan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Di lain
pihak, partisipasi publik tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya
hak publik untuk mengakses informasi yang dimilik oleh pemerintah. Sebaliknya,
transparansi sendiri tidak mungkin tercipta jika pemerintah tidak bertanggunggugat
dan tidak ada jaminan hukum atas hak publik untuk mengakses berbagai informasi
tersebut. Jadi, ketiganya saling mengkait dan sulit untuk dapat berjalan sendiri tanpa
adanya dukungan dari komponen lainnya. (Max Pohan, 2000)
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam skripsi ini penulis mengambil
judul: “Penerapan Prinsip Akuntabilitas, Transparansi, dan Partisipasi Publik
Dalam Mewujudkan Good Governance di Pemerintahan Lokal (Studi Deskriptif
Kualitatif di Kec.Wiyung Surabaya) “.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Amin Rahmanurrasjid
(2008) dengan judul “Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pertanggungjawaban
Pemerintah Daerah untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di Daerah”
menekankan implementasi good governance yang mengacu pada PP Nomor 3 Tahun
2007, bahwa perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik dalam otomoni daerah
adalah dengan melakukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban
pemerintah yang akuntabel dan transparan.
Hal tersebut merupakan salah satu pendorong penulis melakukan penelitian
lebih lanjut mengenai perwujudan good governance di pemerintahan lokal/daerah
dengan mengkaitkan prinsip “partisipasi publik” didalamnya, karena penulis
memandang bahwa partisipasi masyarakat juga merupakan salah satu faktor penting
yang dapat menjaga agar otonomi daerah ini dapat memberikan manfaat (benefits)
yang besar bagi masyarakat itu sendiri. Tetapi, tanpa adanya pemerintah lokal yang
transparan, akuntabel (bertanggunggugat), dan responsif terhadap keluhan serta
masukan masyarakatnya, sulit diharapkan juga good governance dapat berjalan.
Sebaliknya, tanpa adanya partisipasi dan kontrol publik, pemerintah pun sulit dapat
menjadi accountable dengan sendirinya.
Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian dan pengamatan
mendalam di wilayah Kecamatan Wiyung Surabaya, karena di wilayah ini
masyarakatnya tergolong cukup reaktif dan responsif terhadap segala keputusan
maupun tindakan penyelenggara pemerintahan, sehingga hal tersebut dapat menjadi
feedback dari masyarakat agar pemerintah dapat lebih akuntabel (bertanggunggugat)
terhadap tuntutan publik. Selain itu, dengan kondisi masyarakat yang demokratis
6
tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran bagi penulis mengenai penerapan
prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik di wilayah tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari latar belakang masalah diatas dan untuk membatasi ruang
lingkup pembahasan dalam penelitian ini, maka masalah penelitian dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan tiga pilar penting good governance (akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi publik) di pemerintahan tingkat lokal khususnya
di Kecamatan Wiyung Surabaya ?
2. Faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung penerapan prinsip akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi publik dalam mewujudkan good governance di
Kecamatan Wiyung Surabaya ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian :
1. Untuk mengetahui penerapan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan
partisipasi publik di pemerintahan tingkat lokal khususnya di Kecamatan
Wiyung Surabaya.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung penerapan
prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik dalam mewujudkan
good governance di Kecamatan Wiyung Surabaya.
Manfaat Penelitian :
1. Diharapkan dapat memberikan input kepada kepala instansi atau aparatur
pemerintahan yang terkait terutama dalam mewujudkan good governance di
pemerintahan tingkat lokal.
2. Memperkaya khasanah ilmu administrasi secara umum dan administrasi
pemerintahan secara khusus.
3. Dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat
terhadap masalah penyelenggaraan pemerintah daerah.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DAN ASAS PEMERINTAH DAERAH
1. Konsep Pembentukan Pemerintah Daerah
Sebelum memasuki pembahasan tentang konsep pemerintahan daerah,
terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan istilah pemerintahan itu
sendiri. Pemerintahan adalah kegiatan penyelenggaraan negara guna memberikan
pelayanan dan perlindungan bagi segenap warga masyarakat, melakukan
pengaturan, mobilisasi semua sumber daya yang diperlukan, serta membina
hubungan baik di dalam lingkungan negara ataupun dengan negara lain. Di tingkat
lokal tentu saja membina hubungan dengan pemerintahan nasional dan
pemerintahan daerah yang lainya (Syaukani HR, 2002:233).
Definisi tersebut tampak masih sangat umum, sehingga sulit untuk
menentukan maksud dari kegiatan penyelenggaraan negara yang mana atau siapa
yang dimaksud dengan pemerintahan nasional. Oleh karena itu, Syaukani
menambahkan bahwa arti pemerintahan tersebut termuat dalam dua bentuk, yaitu
pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan
dalam arti luas menyangkut kekuasaan bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah pemerintahan dalam arti
lembaga eksekutif saja, yang berfungsi to execute atau melaksanakan apa yang
sudah disepakati atau diputuskan oleh pihak legislatif dan yudikatif.
Pengertian pemerintahan tersebut, berlaku juga ketika memahami konsep
pemerintahan daerah, baik dalam arti luas maupun sempit. Dalam arti luas,
pemerintahan daerah merupakan penyelenggaraan pemerintahan oleh lembaga-
lembaga kekusaan di daerah, yang dalam perkembanganya di Indoenesia terdiri
dari Kepala Daerah dan DPRD. Sedangkan dalam arti sempit adalah hanyalah
penyelenggaraan oleh kepala daerah saja.
Pelaksanaan Pemerintahan daerah merupakan salah satu aspek struktural
dari suatu negara sesuai dengan pandangan bahwa negara sebagai sebuah
organisasi, jika dilihat dari sudut ketatanegaraan. Sebagai sebuah organisasi,
pelaksanaan pemerintahan daerah diharapkan dapat memperlancar mekanisme
roda kegiatan organisasi. Pendelegasian sebagian wewenang dari seseorang atau
8
instansi atau suatu organisasi merupakan salah satu azas yang berlaku universal
bagi setiap organisasi, yaitu dengan tujuanya agar kebijakan dapat terlaksana
dengan efektif, meringankan beban kerja pimpinan, memencarkan peranan pim
pinan sehingga terjadi demokratisasi dalam kegiatan organisasi (Mustamin,
1999:24-26).
Secara umum pemerintahan daerah dapat dibedakan menjadi dua tipe,
yaitu pemerintahan perwakilan daerah (local self-government ) dan pemerintahan
non perwakilan daerah (local state-government). Namun apabila kedua tipe
tersebut digabungkan maka akan diperoleh empat jenis pemerintahan daerah
yaitu: a. unit perwakilan dengan tujuan umum, b. unit non perwakilan dengan
tujuan umum, c. unit perwakilan dengan tujuan khusus, dan d. unit non perwakilan
daerah dengan tujuan khusus. Oleh karena itu, dalam implementasinya telah
dikenal dua bentuk daerah yaitu daerah dalam arti otonom dan daerah dalam arti
wilayah. Daerah dalam arti otonom yaitu daerah sebagai pelaksana asas
desentralisasi. Daerah otonom merupakan daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri menurut undang-undang. Sedangkan daerah
dalam arti wilayah, yakni daerah sebagai pelasksana asas dekosentrasi. Daerah
wilayah yang dimaksud adalah daerah wilayah administratif, yaitu wilayah jabatan
atau wilayah kerja (ambtressort) menurut undang-undang (Irawan Soejito,
1990:25).
2. Asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, ada beberapa asas yang digunakan yaitu : desentralisasi,
dekosentrasi dan tugas pembantuan.
a. Desentralisasi
Keberadaan dan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi penting
ketika kekuasaan pusat menyadari semakin sulit untuk mengendalikan sebuah
negara secara penuh dan efektif. Desentralisasi sendiri berasal dari bahasa
latin yaitu de yang berarti lepas dan Centrum yang berarti pusat. Dengan
demikian maka desentralisasi berarti melepas atau menjauh dari pusat.
Hoogerwerf sebagaimana dikutip oleh Sarundajang (2001) mengemukakan
bahwa :
9
“Desentralisasi adalah sebagai pengakuan atau penyerahan
wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-
badan umum yang lebih rendah yang secara mandiri dan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sendiri mengambil keputusan pengaturan
dan pemerintahan, serta struktur kewenangan yang terjadi dari hal
itu”
Sedangkan tentang ciri dari desentralisasi, Smith sebagaimana dikutip oleh
Josef Riwu Kaho (2001) menyebutkan sebagai berikut :
1) penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan
tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
2) Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang
tersisa (residual functions)
3) Penerima wewenang adalah daerah otonom
4) Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan, wewenang mengatur dan mengurus
(regelling en bestur) kepentingan yang bersifat lokal
5) Wewenag mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma
hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak
6) Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma
hukum yang bersifat individual dan konkret
7) Keberadaan daerah otonom adalah di luar hierarki organisasi
pemerintahan pusat
8) Menunjukan pola hubungan antar organisasi
9) Menciptakan political variety dan diversity of structure dalam sistem
politik.
b. Dekosentrasi
Dekosentrasi sebenarnya sentralisasi juga tapi lebih halus daripada
sentralisasi. Dekosentralisasi adalah pelimpahan wewenang administratif dari
pemerintah pusat kepada pejabatnya yang berada pada wilayah negara di luar
kantor pusatnya. Dalam konteks ini yang dilimpahkan adalah wewenang
administrasi belaka bukan wewenang politis. Wewenang politis tetap dipegang
oleh pemerintah pusat (Hanif Nurcholis, 2005:14).
Dalam dekosentrasi yang dilimpahkan hanya kebijakan administrasi saja,
sedangkan kebijakan politiknya tetap berada pemerintah pusat. Oleh karena itu
10
pejabat yang diserahi pelimpahan wewenang tersebut adalah pejabat yang
mewakili pemerintah pusat di wilayah kerja masing-masing atau pejabat pusat
yang ditempatkan di luar kantor pusatnya. Pejabat tersebut adalah pejabat
pusat yang bekerja di daerah, yang bersangkutan diangkat oleh pemerintah
pusat, bukan dipilih oleh rakyat yang dilayani. Oleh karena itu, pejabat
tersebut bertanggungjawab kepada pejabat yang mengangkatnya.
Konsekuensinya, pejabat daerah yang dilimpai wewenang bertindak atas nama
pemerintah pusat.
Sedangkan tentang ciri dari dekosentrasi, Smith sebagaimana dikutip oleh
Hanif Nurcholis (2005) menyebutkan sebagai berikut :
1) Pelimpahan wewenang untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu
yang dirinci dari pemerintah pusat kepada pejabat pemerintah pusat
yang ada di daerah.
2) Penerima wewenang adalah pejabat pemerintah pusat yang ada di
daerah
3) Tidak mencakup kewenangan untuk menetapkan kebijakan dan
wewenang yang mengatur
4) Tidak menciptakan otonomi dan daerah otonom tetapi menciptakan
wilayah administrasi.
5) Keberadaan field administration berada di dalam hirarki organisasi
pemerintah pusat.
6) Menunuukan pola hubungan kekuasaan intra organisasi.
7) Menciptakan keseragaman dalam struktur politik.
c. Tugas Pembantuan
Selain asas desentralisasi dan dekosentrasi, dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah di Indonesia dikenal juga apa yang disebut dengan asas
pembantuan (medebewind). Menurut Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa tugas
pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa
dari propinsi kepada kabauapaten/kota dan /atau desa serta dari pemerintah
kabupaten kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dalam sistem medebewind pemerintah pusat atau pemerintah daerah otonom
yang lebih tinggi menyerahkan urusan yang menurut peraturan perundang-
undangan merupakan kewenanganya kepada daerah otonom di bawahnya.
11
Daerah otonom yang dserahi ini lalu melaksanakan melalui perangkatnya
(dinas-dinas). Dalam melaksanakan tugas tersebut, aparat pelaksana tidak
bertanggungjawab kepada pemerintah pusat atau daerah lebih tinggi tapi
kepada kepala daerah.
B. GOOD GOVERNANCE DALAM PEMERINTAHAN LOKAL
1. Good Governance
Good governance adalah sebuah bentuk ideal mekanisme, praktik dan tata
cara pemerintah dalam mengatur dan memecahkan masalah-masalah publik.
Adapun beberapa pengertian lain mengenai good governance, antara lain :
Suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih,
demokratis, dan efektif.
Suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah,
dunia usaha swasta, dan masyarakat.
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu sentral yang
paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Menurut
Sedarmayanti (2003) hal ini dikarenakan adanya tuntutan gencar yang dilakukan
oleh masyarakat kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan dan pendidikan
masyarakat, selain adanya pengaruh globalisasi.
Menurut United Nation Development Program (UNDP), governance atau
tata pemerintahan memiliki tiga domain yaitu ;
a. Negara atau tata pemerintahan (state)
menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil;
membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;
menyediakan public service yang efektif dan accountable;
menegakkan HAM;
melindungi lingkungan hidup;
mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik
b. Sektor swasta atau dunia usaha dan (private sector)
Menjalankan industri;
Menciptakan lapangan kerja;
Menyediakan insentif bagi karyawan;
Meningkatkan standar kehidupan masyarakat;
12
STAKEHOLDERS
B U S I N E S S
Small / medium / large enterprises
Multinational CorporationsFinancial institutions
Stock exchange
C I T I Z E N S
organized into:Community-based
organizationsNon-governmental
organizationsProfessional Associations
Religious groupsWomen’s groups
Media
S T A T E
ExecutiveJudiciary
LegislaturePublic serviceMilitaryPolice
Memelihara lingkungan hidup;
Menaati peraturan;
Melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat;
Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM
c. Masyarakat (society)
Manjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;
Mempengaruhi kebijakan;
Berfungsi sebagai sarana checks and balances pemerintah;
Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;
Mengembangkan SDM;
Berfungsi sebagai sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.
Ketiga domain tersebut berada dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Sektor pemerintahan lebih banyak memainkan peranan sebagai
pembuat kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta lebih banyak
berkecipung dan menjadi penggerak aktifitas di bidang ekonomi. Sedangkan
sektor masyarakat merupakan objek sekaligus subjek dari sektor pemerintahan
13
maupun swasta. Karena di dalam masyarakatlah terjadi interaksi di bidang politik,
ekonomi, maupun sosial budaya.
UNDP sebagaimanan yang dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara
(LAN) mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut :
a. Partisipasi (Participation) : setiap warga masyarakatmempunyai suara dalam
pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi
institusi legitimasi yang mewakili kepentinganya. Partisipasi ini dibangun atas
dasar kebeasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
b. Aturan hukum (Rule of law) : kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan
tanpa pandang buku, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
c. Transparansi (Transparency) : Transparansi dibangun atas dasar kebebasan
arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara
langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus
dapat dipahami dan dapat dimonitor.
d. Daya tangkap (responsiveness) : Lembaga-lembaga dan proses-proses harus
mencoba untuk melayani setiap “stakeholders”
e. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation) : Good governance menjadi
perantara kepentingan yang berbeda utki memperoleh pilihanpilihan terbaik
bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun
prosedur-prosedur.
f. Berkeadilan (Equity) : Semua warga negara, baik laki-laki maupun
perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga
kesejahteraan mereka.
g. Efektivitas dan efisien (Efektiveness and dan efisiency) : Proses-proses dan
lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang
digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
h. Akuntabilitas (Accountability) : Para pembuat keputusan dalam pemerintahan,
sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggungjawab) kepada publik
dan lembaga-lembaga. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat
keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal
atau eksternal organisasi
i. Visi Strategi (Strategi Vision) : Para pemimpin dan masyarakat memiliki
perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh
14
ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam
ini.
Adapun beberapa manfaat apabila good governace diterapkan secara baik,
yakni antara lain:
a.Berkurangnya secara nyata praktik KKN di birokrasi yang antara lain
ditunjukkan hal-hal berikut ini:
Tidak adanya manipulasi pajak;
Tidak adanya pungutan liar;
Tidak adanya manipulasi tanah;
Tidak adanya manipulasi kredit ;
Tidak adanya penggelapan uang negara;
Tidak adanya pemalsuan dokumen;
Tidak adanya pembayaran fiktif;
Proses pelelangan (tender) berjalan dengan fair;
Tidak adanya penggelembungan nilai kontrak (mark-up);
Tidak adanya uang komisi;
Tidak adanya penundaan pembayaran kepada rekanan;
Tidak adanya kelebihan pembayaran;
Tidak adanya ketekoran biaya.
b. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang
bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel.
Sistem kelembagaan lebih efektif, ramping, fleksibel;
Kualitas tata laksana dan hubungan kerja antarlembaga di pusat
dan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota lebih baik;
Sistem administrasi pendukung dan kearsipan lebih efektif dan
efisien;
Dokumen/arsip negara dapat diselamatkan, dilestarikan, dan
terpelihara.
c.Terhapusnya peraturan perUU-an dan tindakan yang bersifat diskriminatif
terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat.
Kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha swasta
meningkat;
SDM, prasarana dan fasilitas pelayanan menjadi lebih baik;
15
Berkurangnya hambatan terhadap penyelenggaraan pelayanan
publik;
Prosedur dan mekanisme serta biaya yang diperlukan dalam
pelayanan publik lebih baku dan jelas;
Penerapan sistem merit dalam pelayanan;
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan
publik;
Penanganan pengaduan masyarakat lebih intensif.
d. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.
Berjalannya mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan
masyarakat dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik
(seperti forum konsultasi publik).
e.Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan perundang-
undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Hukum menjadi landasan bertindak bagi aparatur pemerintahan
dan masyarakat untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik.
Kalangan dunia usaha swasta akan merasa lebih aman dan terjamin
ketika menanamkan modal dan menjalankan usahanya karena ada aturan
main (rule of the game) yang tegas, jelas, dan mudah dipahami oleh
masyarakat.
Tidak akan ada kebingungan di kalangan pemerintah daerah dalam
melaksanakan tugasnya serta berkurangnya konflik antarpemerintah
daerah serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
2. Perwujudan Good Governance dalam Pemerintahan Lokal
Dari beberapa pengertian good governance dan karakteristiknya, Joko
Widodo (2001) menyimpulkan bahwa pemerintahan yang baik adalah
pemerintahan yang mampu mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku dan
kebijakan yang dibuat secara politik, hukum, maupun ekonomi dan
diinformasikan secara terbuka kepada publik, serta membuka kesempatan publik
untuk melakukan pengawasan (kontrol) dan jika dalam prakteknya telah
merugikan rakyat, dengan demikian harus mampu mempertanggungjawabkan dan
menerima tuntutan hukum atas tindakan tersebut. Sedang sebagai perwujudan
16
konkrit dari implementasi good governance di daerah adalah (Joko Widodo,
2001:30) :
a. Pemerintah daerah administrasi publik diharapkan dapat berfungsi dengan
baik dan tidak memboroskan uang rakyat
b. Pemerintah daerah dapat menjalankan fungsinya berdasarkan norma dan etika
moralitas pemerintahan yang berkeadilan
c. Aparatur pemerintah daerah mampu menghormati legitimasi konvensi
konstitusional yang mencerminkan kedaulatan rakyat
d. Pemerintah daerah memiliki daya tanggap terhadap berbagai variasi yang
berkembang dalam masyarakat.
Untuk mengaplikasikan pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya,
dibutuhkan pengembangan kelembagaan di pemerintahan lokal (baik ditingkat
desa maupun ditingkat kabupaten/kota) secara menyeluruh yang mencakup
beberapa aspek berikut: a. proses pembangunan, yang meliputi formulasi