A. Judul Jurnalisme Lingkungan Hidup Surat Kabar Harian Jogja dan Kompas Jogja (Studi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough Mengenai Rencana Pembangunan Penambangan Pasir Besi Kulonprogo dalam Berita dan Tajuk Rencana di Surat Kabar Harian Jogja dan Kompas Jogja periode November 2008- 2009) B. Latar Belakang Potret persoalan lingkungan hidup di Indonesia: realitas pertambangan. Indonesia memiliki catatan buruk seputar penyelesaian berbagai persoalan lingkungan hidup. Persoalan tata ruang, pertumbuhan penduduk, polusi, sampah, pembalakan hutan, bencana alam dan limbah hanyalah sedikit contoh dari banyaknya kasus lingkungan hidup yang belum terurai atau terselesaikan. Dari sekian persoalan lingkungan hidup tersebut, persoalan pertambangan adalah salah satu yang paling dilematis. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
A. Judul
Jurnalisme Lingkungan Hidup Surat Kabar Harian Jogja dan Kompas Jogja
(Studi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough Mengenai Rencana
Pembangunan Penambangan Pasir Besi Kulonprogo dalam Berita dan Tajuk
Rencana di Surat Kabar Harian Jogja dan Kompas Jogja periode November
2008-2009)
B. Latar Belakang
Potret persoalan lingkungan hidup di Indonesia: realitas pertambangan.
Indonesia memiliki catatan buruk seputar penyelesaian berbagai persoalan
lingkungan hidup. Persoalan tata ruang, pertumbuhan penduduk, polusi, sampah,
pembalakan hutan, bencana alam dan limbah hanyalah sedikit contoh dari
banyaknya kasus lingkungan hidup yang belum terurai atau terselesaikan. Dari
sekian persoalan lingkungan hidup tersebut, persoalan pertambangan adalah salah
satu yang paling dilematis.
Dalam catatan studi yang dilakukan Direktorat Sumber Daya Mineral Dan
Pertambangan (2008:1), industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor
pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan
memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).
Namun dari sisi dampak lingkungan hidup, pertambangan dianggap paling merusak
dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya. Direktorat
Sumber Daya Mineral Dan Pertambangan menyebut beberapa dampak yang dapat
diakibatkan sektor pertambangan yaitu: dapat mengubah bentuk bentang alam,
merusak dan atau menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing, maupun
1
batuan limbah, serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak
direhabilitasi, lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan
raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam (2008:1).
Tak hanya itu, Siti Maimunah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang
(JATAM) menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan (baik tambang skala besar
maupun kecil) pada dasarnya memiliki daya rusak bagi lingkungan yang sulit
dipulihkan (Maimunah,2007). Pemiskinan adalah salah satu dampak sosial yang
disebut sebagai akibat kegiatan pertambangan. Maimunah menyatakan bahwa
proses pemiskinan terjadi bahkan sejak awal pertambangan masuk. Sejak hak
penguasaan dan kelola rakyat atas tanah diingkari. Pemiskinan disekitar
pertambangan terjadi karena pengurus negara dan perusahaan mengingkari daya
rusak sektor pertambangan. Perizinan pertambangan seringkali dikeluarkan secara
sepihak. Terbukti tak ada satu pun Kontrak Karya (KK) Pertambangan dan Kuasa
Pertambangan yang mendapatkan persetujuan rakyat sebelum diberikan
(Maimunah, 2007).
Jika ditinjau dari aspek kebijakan, arah pengelolaan pertambangan
Indonesia dengan gamblang diarahkan oleh UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing. Tak lama setelah disahkannya UU PMA tersebut,
pemerintah melakukan penandatanganan Kontrak Karya generasi pertama dengan
PT. Freeport Indonesia (Maimunah, 2007). Kemudian setelahnya pemerintah
menerbitkan UU No. 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan Umum.
Sejak itu, pemerintah seolah membuka lebar ijin pendirian usaha pertambangan
bagi perusahaan-perusahaan asing. Sonny Keraf dalam bukunya Etika Lingkungan
2
mengartikan sikap pemerintah ini terkait erat dengan pola developmentalisme
yang mengutamakan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi (Keraf, 2006:169).
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dijadikan patokan majunya sebuah
Negara. Namun kenyataannya, kemajuan ekonomi yang dicapai selama ini telah
membawa kerugian yang sangat mahal di sisi sosial-budaya dan lingkungan
hidup. Jika diukur secara kuantitatif, apa yang terlihat sebagai pertumbuhan
ekonomi positif 7 persen, misalnya, sesungguhnya pertumbuhan negatif (Keraf,
2006:171). Sebab biaya untuk kerugian sosial-budaya dan lingkungan ternyata
sangat mahal.1
Namun hingga saat ini, pemerintah tak melakukan apapun untuk mengkaji
ulang Kontrak Karya (KK) kesepakatan pertambangan antara pemerintah dengan
korporasi asing. Amien Rais menunjukkan bahwa keseluruhan kontrak karya antara
pemerintah Indonesia dengan korporasi asing lebih menguntungkan pihak asing dan
merugikan bangsa sendiri (2008:46). Hal tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa
pemerintah memegang teguh doktrin pacta sunt survanda, perjanjian yang sudah
disetujui tak boleh diotak-atik (Rais, 2008:46). Alasannya karena Indonesia bisa
dikucilkan oleh para investor internasional. "Pernyataan itu sungguh tidak beralasan,
kecuali karena kekurangpahaman terhadap masalah, kepicikan informasi internasional
mutakhir atau ketakutan yang sulit diterangkan" (Rais, 2008: 47). UU No. 77 Tahun 1967
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan memiliki kelemahan antara lain:
tidak memuat ketentuan yang menyebutkan bahwa Kontrak Karya sewaktu-waktu dapat
diubah jika bertentangan dengan UU itu sendiri (Rais, 2008:196). Karena itu dapat
1 PT. Freeport adalah contoh perusahaan pertambangan asing yang paling berkonflik sepanjang sejarah pertambangan Indonesia. Selain memicu konflik dengan warga asli, pembuangan limbah tailing PT. Freeport ke sungai telah terbukti merusak lingkungan dan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat sekitar. Lihat Maimunah (2007) Bahkan Walhi sudah menuntut agar Freeport ditutup dan dilakukan audit total. Lihat Rais (2008:161)
3
ditafsirkan, sekali Kontrak Karya ditandatangani, kontrak itu berjalan terus sekalipun
bertentangan dengan UU maupun kepentingan Nasional.2
Kasus Penambangan Pasir Besi Kulonprogo
Kasus ini berawal dari kesepakatan pengadaan kontrak kerjasama yang
dilakukan pemerintah Kabupaten Kulonprogo dengan sebuah perusahaan
pertambangan, PT. Jogja Magasa Iron untuk menambang kandungan biji besi di
kawasan pasir pantai selatan daerah Kulonprogo sekaligus mendirikan pabrik baja
disana.3 Penandatanganan kesepakatan dalam sebuah Kontrak Karya itu sendiri
telah dilakukan pada tanggal 4 November 2008 antar pemerintah pusat dan PT.
Jogja Magasa Iron (PT. JMI). Melalui situs resmi milik pemerintah kabupaten
=051120080800051. Akses: 25 November 2009 jam 22.45 WIB), dijelaskan
bahwa naskah Kontrak Karya tersebut telah mendapat rekomendasi dari Badan
Koordinasi Penanaman Modal dan telah dikonsultasikan dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. PT. JMI rencananya akan memulai
kegiatan penambangan pada tahun 2011 dan mulai memproduksi pig iron pada
2 Siti Maimunah seperti yang dikutip oleh Tempointeraktif menyebut Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang baru disahkan pemerintah sebagai “ular yang berganti kulit”, ada delapan pokok permasalahan utama dalam UU tersebut. Salah satunya adalah tidak ada peluang untuk melakukan kaji ulang dan renegosiasi terhadap Kontrak Karya. Lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/12/18/brk,20081218-151668,id.html Akses 2 Juni 2010 jam 20.08 WIB3 Jumlah pasti kandungan bijih besi di kawasan tersebut masih simpang siur. Dalam rilis resmi pemerintah kabupaten Kulonprogo, disebutkan jumlah kandungan bijih besi sebesar 33,6 juta ton Fe dengan rencana produksi sekitar 1 juta ton per tahun. Sementara sumber dari Walhi menyebutkan ada kandungan 605 juta ton biji besi. Lihat Laporan Publik Walhi 2005-2006 dan http://www.kulonprogokab.go.id/main.php?what=berita/berita_lengkap&id_berita=051120080800202 (akses: 25 November 20109. 22.45 WIB)
tahun 2012. Selain itu pihak JMI juga telah memiliki kesepakatan untuk menyerap
tenaga kerja lokal.4
Namun rencana tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra terutama
dari kalangan masyarakat sekitar pantai yang bekerja sebagai petani. Didukung
oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), para petani tersebut
membentuk kelompok Paguyuban Petani Lahan Pantai (PLPP) dan menentang
pelaksanaan rencana pendirian industri berat di kawasan tersebut. Pasalnya, lahan
sekitar pantai tersebut sudah bertahun-tahun diubah menjadi lahan pertanian
seperti cabai, semangka, atau melon dan hasilnya cukup sukses. Jika pasir
diambil, air di lahan pertanian menjadi asin, merusak tanaman dan mencemari
sumur dengan air laut.5 Sementara alasan lain yang dikhawatirkan warga sekitar
adalah penggusuran.6 Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta (LBH-Yogya) selaku
pihak advokasi hukum PLPP, mengatakan ada potensi pelanggaran atas Hak Asasi
manusia salah satunya adalah persoalan hak atas tanah.7 Pada persoalan ini,
Pakualaman mengklaim tanah yang akan dijadikan lahan penambangan pasir
tersebut sebagai miliknya berdasarkan tinjauan sejarah (PA ground) sementara
menurut LBH-Yogya, klaim tersebut gugur berdasarkan UU Pokok Agraria Tahun
1960 tanah tersebut sudah beralih menjadi milik negara dan menurut Peraturan
4 Direktur PT. JMI, Lutfi Heyder mengklaim proyek yang menelan dana US$ 600-700 juta ini akan memberi pemasukan devisa sebesar 6 persen per tahun dari royalti sebesar US$ 425 juta. Selain keuntungan pendapatan pemerintah, lapangan kerja yang terserap pada proyek ini sebanyak 3.000-4.000 karyawan--70 persen penduduk Kulonprogo. Lihat berita UGM Terima Dana Riset Penambangan Pasir Kulonprogo. Koran Tempo, 27 Mei 2008. 5 Hal ini diungkapkan Widodo, aktivis PLPP. Lihat berita Petani Pantai Kulon Progo Protes UGM. Koran Tempo, 3 Juni 20086 Lihat berita Sejumlah Petani Lahan Pantai di Kulon Progo Gelisah. Kompas, Rabu, 22 Oktober 2008, Penambangan Pasir Besi Ancam Eksistensi Petani Kulonprog. Tempointeraktif, Selasa, 24 Maret 2009 | 15:24 WIB (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html) 7 Wawancara penulis dengan Kepala Divisi Ekonomi Sosial dan Budaya LBH Yogyakarta, Samsudin Nurseha. Rabu, 19 Mei 2010
180670,id.html. Akses: 11 Mei 2010 jam 14.20 WIB), Purnomo Yusgiantoro,
8 Untuk referensi lihat berita Pendataan Tak Terkait Penambangan, Kompas Jogja, Rabu 13Mei 2009 dan boks berita Menimbang Akar konflik Tanah Pakualaman, Kompas Yogyakarta, 13 Mei 2009 Hal.1dan Belanda Wariskan Sengketa Tanah Sultan dan Pakualam, Tempointeraktif.: http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/05/20/brk,20090520-177248,id.html Rabu, 20 Mei 2009 | 05:49 WIB9 Lihat juga berita di Harian Pikiran Rakyat, Jumat, 11 April 2008 seperti dikutip dalam http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=329. Akses: 19 Mei 2010 jam 15.30 WIB
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menyatakan bahwa Pemerintah pusat
menyerahkan pro-kontra rencana penambangan pasir besi di pantai selatan Kulon
Progo, Yogyakarta, kepada pemerintah daerah. "Kuasa Pertambangan diserahkan
kepada pemerintah daerah. Pusat tidak memiliki otoritas lagi,"
Sementara menyikapi kasus pro-kontra ini, Sultan Hamengku Buwono X
selaku Gubernur Provinsi DIY mengharapkan proyek ini diteruskan. Alasannya
proyek jangka panjang semacam ini yang bisa meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Yogyakarta.10 Beberapa pihak menilai, sikap Sultan semacam ini
memiliki kaitan kepentingan politis dan ekonomis sebab dikabarkan salah satu
komisaris PT JMM ternyata adalah GBPH Joyokusumo (adik Sultan Hamengku
Buwono X) dan GKR Pembayun (putri sulung Sultan), sedangkan direktur utama
perusahaan tersebut adalah BRMH Haryo Seno.11
Proyek ini juga sempat memicu terjadinya bentrokan antara warga yang
berdemonstrasi dengan aparat keamanan pada 20 Oktober 2009.12
Jurnalisme Lingkungan Hidup dan Peran Media Lokal
10 Lihat berita Sultan: Penambangan Pasir Besi dan Bandara Adisutjipto Harus Terealisasi. Tempointeraktif, Senin, 30 Maret 2009 | 17:49 WIB (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/30/brk,20090330-167337,id.html Akses 10 Mei 2010 jam 12.40 WIB), Sultan: Beri Kesempatan Pada Investor Pasir Besi. Republik, Rabu, 05 Agustus 2009 (http://koran.republika.co.id/berita/67225/Sultan_Beri_Kesempatan_Pada_Investor_Pasir_Besi. Akses 11 Mei 2010 jam 14.25 WIB) dan Sultan: Proyek Penambangan Pasir Besi Ditentukan Amdal. Kompas.com, Selasa, 28 Juli 2009 | 20:13 WIB (http://regional.kompas.com/read/2009/07/28/20133357/Sultan:.Proyek.Penambangan.Pasir.Besi.Ditentukan.Amdal. Akses 11 Mei 2010 jam 16.45 WIB)11 Lihat artikel Cahyadi, Firdaus. Ganjalan Pertama Sultan X. Opini dalam Koran TEMPO, 12 Nopember 2008. Firdaus Cahyadi adalah Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia(http://www.satudunia.net/content/ganjalan-pertama-sultan-x. Akses 11 Mei 2010 jam 13.10 WIB), Lihat juga Aditjondro, George Junus. 2009. Jejak Rekam Para Capres Di Bidang Lingkungan & Pilihan Bagi Gerakan Lingkungan di Indonesia. Jatam12 Lihat laporan Kronologis Demonstrasi Menolak Tambang Pasir Besi Kulon Progo. 2009. Jatam, lihat juga Korban Luka Minta Polisi Tanggung Jawab. Kompas Jogja, Jumat, 23 Oktober 2009 Hal. 1
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat menyebutkan salah
satu fungsi pertama pers yang bertanggung jawab adalah fungsi informatif, yaitu
memberikan informasi, atau berita, kepada khalayak ramai dengan cara yang
teratur (Kusumaningrat, 2005:27). Informasi atau berita tersebut diangkat
berdasarkan realitas sosial yang tengah terjadi di masyarakat. Persoalan
lingkungan hidup adalah bagian dari realitas tersebut, maka media massa memiliki
kewajiban pula untuk mengangkat persoalan lingkungan hidup dalam
pemberitaannya. Namun, ada permasalahan bahwa tak semua berita yang
menyangkut persoalan lingkungan hidup dapat dimuat di media massa. Hal ini,
menurut Ana Nadya Abrar (1993:8), disebabkan karena berita semacam itu
biasanya mengundang konflik kepentingan berbagai pihak. Adanya berbagai
macam benturan kepentingan itulah yang membuat berita lingkungan hidup tak
pernah bisa memuaskan semua pihak, “Selalu saja ada yang diuntungkan. Sayang
pengalaman menunjukkan yang sering diuntungkan adalah pihak yang berkuasa
atau yang kaya” (Abrar, 1993:8-9). Berangkat dari kenyataan inilah, lanjut Abrar,
timbul gagasan dari para ahli untuk memperkenalkan jurnalisme lingkungan hidup
yang berpihak pada kesinambungan lingkungan hidup. Artinya, penelitian
beritanya diorientasikan kepada pemeliharaan lingkungan hidup sekarang agar
bisa diwarisi oleh generasi berikutnya dalam keadaan yang sama, bahkan kalau
bisa lebih baik lagi (Abrar, 1993:9).
IGG Maha Adi13 menyebut jurnalisme lingkungan hidup di Indonesia mulai
berkembang bersamaan dengan institusionalisasi masalah-masalah lingkungan
13 IGG Maha Adi adalah ketua Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ). Pernyataan ini didapat dalam wawancara penulis melalui surat elektronik tanggal 4 Juni 2010
8
hidup melalui penetapan Kementrian Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan
Hidup (PPLH) tahun 1978 yang kemudian menjadi Kementrian Kependudukan
dan Lingkungan HIdup dan sekarang menjadi Kementrian Lingkungan HIdup
(KLH). Karena perkembangan yang cukup lama—sekitar 28 tahun—hingga para
wartawan lingkungan menyadari pentingnya berkumpul dan berorganisasi untuk
meningkatkan kualitas peliputan berita Lingkungan Hidup (LH), maka menurut
Adi ada beberapa gambaran ideal yang seharusnya bisa dicapai oleh praktik
Jurnalisme Lingkungan Hidup (JLH) di Indonesia. Yang pertama, dari faktor
pelaksana yaitu para Jurnalis. Ia menyebutkan bahwa jurnalis LH sebaiknya
memahami dasar-dasar ilmu lingkungan (kredibel), independen, spesialis
sehingga menghasilkan liputan berkualitas tinggi. Kedua, faktor Pengelola Media
yaitu para redaktur, pemimpin redaksi atau pemilik media. Pengelola media yang
ideal adalah mereka yang memahami dan mengerti bahwa masalah lingkungan
hidup merupakan masalah yang berdampak sirkuler (dapat berbalik) yang akan
mempengaruhi peri kehidupan manusia. Sehingga bagi media massa, isu-isu
lingkungan menjadi isu arus utama (mainstream issue) seperti juga politik dan
ekonomi. Sedangkan yang terakhir, faktor Kultur Partisipasi Publik. Faktor ini
merupakan pendukung yang penting ketika wartawan lingkungan bekerja di
lapangan. Partisipasi masyarakat juga telah diatur dengan UU No.32 tahun 2009
tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Partisipasi ini bisa
membantu wartawan bila masyarakat ikut mengawasi pelaksanaan berbagai
kebijakan lingkungan hidup, pengawasan kegiatan berdampak lingkungan, serta
membantu memberikan informasi kepada wartawan.
9
Salah satu unsur nilai berita adalah proximity atau faktor kedekatan wilayah.
Maka, dalam memberitakan sebuah persoalan lingkungan hidup, media lokal
memiliki potensi dari segi kedekatan untuk memberikan informasi yang lebih
memadai bagi khalayak lokal. Proporsi berita lokal pada surat kabar lokal
biasanya memiliki bagian yang lebih besar dibandingkan dengan pemuatan isu
nasional.14 Sehingga, ada kesempatan bagi persoalan lingkungan hidup diangkat
lebih sering terutama yang memiliki kaitan langsung dengan masyarakat setempat
dimana surat kabar tersebut diproduksi dan dikonsumsi. Selain itu, surat kabar
sebagai salah satu bentuk media massa memiliki jangkauan khalayak yang lebih
luas dan menyeluruh dibandingkan dengan media khusus seperti film. Dengan
kelebihan itu, surat kabar memiliki potensi untuk lebih banyak dikonsumsi
sehingga memungkinkan informasi mengenai lingkungan hidup juga lebih
menjangkau khalayak yang lebih luas.
Sebagai salah satu surat kabar harian lokal yang terbit di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta, Harian Jogja memang masih tergolong sangat muda. Ia
terbit perdana pada Mei 2008 silam dan terjun dalam persaingan industri pers
daerah Yogyakarta yang sudah terbilang cukup ramai. Menurut data oplah koran
lokal tahun 2009, Harian Jogja memiliki tiras sebanyak 11.000 eksemplar untuk
distribusi DIY dan sekitarnya.15 Dari segi usia, Harian Jogja belum dapat
14 George Junus Aditjondro menggambarkan bahwa pemberitaan masalah lingkungan di Indonesia sangat diwarnai tingginya oplah dan luasnya daya jangkau tiga kelompok pers terbesar Indonesia, yakni Kelompok Kompas Gramedia, Kelompok Grafiti Pers (Tempo dan 12 Koran Daerah), serta Kelompok Sinar Kasih. Hal ini menjelaskan mengapa permasalahan lingkungan di daerah lebih kecil kemungkinannya diberitakan dengan gencar sehingga menjadi isu nasional (Aditjondro, 2003:64). Penulis menarik kesimpulan bahwa pemberitaan masalah lingkungan yang sifatnya lokal, haruslah menjadi perhatian utama media lokal sebab jika tidak, maka akan kecil kemungkinan isu tersebut diketahui masyarakat.15 data diambil dari skripsi Lidwina Chometa Halley Eprilianty “Framing Opini Masyarakat tentang Polemik Jabatan Gubernur DIY dalam Koran Lokal DIY (Analisis Framing Media atas
10
dikatakan “berpengalaman”, namun justru sebagai sebuah media baru, tentunya ia
memiliki kelebihan yang ditawarkan baik dari segi tampilan maupun isi sehingga
berani berhadapan langsung dengan pemain lama seperti Kedaulatan Rakyat atau
Bernas. Selain itu, peneliti tertarik untuk menganalisis harian ini sebab masih
belum banyak pihak yang mengupasnya sebagai sebuah media lokal. Sementara
Kompas Jogja merupakan harian suplemen dari surat kabar nasional Kompas yang
sudah memiliki nama di kancah media nasional. Tentunya faktor kedekatan
wilayah juga turut menjadi bahan pertimbangan media nasional agar dapat
menjangkau lebih banyak audiens di wilayah tertentu. Dari segi historis, Kompas
juga dikenal sebagai media yang humanis atau mengedepankan unsur-unsur
kepedulian sosial dalam pemberitaannya. Maka, asumsi peneliti adalah Kompas
Jogja setidaknya juga memiliki standar kinerja seperti induknya di level nasional
namun bergerak pada isu-isu lokal.
Dengan melihat persoalan rencana penambangan pasir besi yang merupakan
isu lingkungan hidup, khususnya pertambangan, maka penulis tertarik untuk
mengetahui bagaimana wacana persoalan kasus tersebut direpresentasikan dalam
media lokal, khususnya surat kabar harian lokal. Penulis ingin tahu bagaimana
wacana dominan persoalan lingkungan hidup--dalam contoh kasus ini rencana
penambangan pasir besi Kulonprogo—direpresentasikan oleh Harian Jogja dan
Kompas Jogja. Representasi atau reproduksi atas wacana tersebut akan
diasumsikan sebagai ideologi media melihat persoalan lingkungan hidup yang
akan menunjukkan pada kita, bagaimana jurnalisme lingkungan hidup
Opini Narasumber sebagai Representasi Masyarakat tentang Polemik Pengisian Jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 2008 – 2013 dalam SKH Kedaulatan Rakyat dan SKH Bernas Jogja”) (2009: 41)
11
direpresentasikan oleh media lokal.
Studi mengenai pemberitaan lingkungan hidup
Studi mengenai peliputan atau pemberitaan persoalan lingkungan hidup
memang bukanlah hal yang baru. Penulis setidaknya menemukan lebih dari dua
studi yang memiliki ketertarikan yang sama dalam melihat sikap dan
profesionalitas media dalam mengangkat persoalan lingkungan hidup. Namun,
sejauh yang peneliti amati, analisis yang dilakukan lebih sering berkaitan dengan
analisis isi dan dengan metode kuantitatif. Salah satunya Yunie Henoek tahun
2008 dalam skripsi berjudul ”Pemberitaan Pemanasan Global Pada Surat Kabar
Kompas Tahun 2007”. Konsep jurnalisme lingkungan disoroti sebagai tugas
media massa dalam melaksanakan tugasnya sebagai kontrol sosial terhadap isu-isu
pemanasan global. Penelitian tersebut menganalisis performa media (media
performance) Surat Kabar Harian Kompas sepanjang tahun 2007.
Penelitian lain dilakukan oleh, Eusebius D. Hariyadi, 2005, berjudul
“Kerusakan Lingkungan Hidup dalam Surat Kabar: Studi Analisis
Isi Berita Kerusakan Lingkungan Hidup pada Surat kabar Harian Kedaulatan
Rakyat dan Harian Bernas periode 1 November - 30 November 2004”. Penelitian
tersebut juga menggunakan metode analisis isi. Kesimpulan dari penelitian
tersebut, kedua media masih belum memenuhi syarat jurnalisme lingkungan hidup
yang baik. Penelitian ini memiliki kelemahan karena hanya menganalisa dari segi
kuantitas pemberitaan yang muncul.
Penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana kritis, peneliti
temukan pada disertasi master karya Njord V. Svendsen berjudul “Reporting Air
12
Pollution In South Durban: A Case Study Of Environmental Journalism In
Durban Newspapers From 1985 – 2000”. Penelitian tersebut sangat kompleks
sebab menganalisis pemberitaan mengenai polusi udara dalam rentang waktu yang
cukup lama dan memadukan dua jenis pendekatan penelitian yakni kuantitatif dan
kualitatif. Dalam penelitian ini, penulis memilih untuk melakukan pendekatan
metode kualitatif namun menggunakan analisis wacana kritis yang dikemukakan
oleh Norman Fairclough, sementara Svendsen lebih menggunakan pendekatan
Van Dijk pada level analisis teks.
C. Rumusan Masalah
Bagaimana representasi wacana dominan persoalan lingkungan hidup yang
muncul dari rencana pembangunan tambang pasir besi Kulonprogo dalam berita
dan tajuk rencana Harian Jogja dan Kompas Jogja?
D. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui representasi wacana dominan persoalan lingkungan
hidup yang muncul dari rencana pembangunan tambang pasir besi Kulonprogo
dalam berita dan tajuk rencana Harian Jogja dan Kompas Jogja.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademis
Sebagai tambahan referensi studi analisis wacana kritis pemberitaan mengenai
persoalan lingkungan hidup pada Program Studi Ilmu Komunikasi.
2. Manfaat praktis
a. Menambah pengetahuan penulis tentang bagaimana cara media
merepresentasikan wacana persoalan lingkungan hidup dalam pemberitaan.
13
b. Menjadi tambahan referensi bagi peneliti lain yang akan menggunakan
metode analisis wacana kritis atau topik mengenai jurnalisme lingkungan
hidup.
F. Kerangka Teori
F.1 Konseptualisasi wacana persoalan lingkungan hidup
F.1.1 Wacana
Untuk memperjelas tema dan ruang lingkup penelitian, penulis mencoba
menggambarkan apa yang disebut sebagai wacana persoalan lingkungan hidup.
Pertama, yang terlebih dahulu harus dipahami adalah konseptualisasi wacana itu
sendiri.
Ada beragam konsep mengenai wacana. Dalam pengertian linguistik
misalnya, wacana dipahami sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat
(Eriyanto, 2001:3). Sedangkan konsep wacana yang diperkenalkan Michael
Foucault (dalam Eriyanto, 2001:63), wacana tak dipahami sebagai rangkaian kata
atau proposisi dalam teks melainkan sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah
gagasan, konsep atau efek). Norman Fairclough seperti dikutip oleh Marianne
Jorgensen dan Louise j. Phillips mengaplikasikan konsep wacana dalam tiga cara
berbeda:
In the most abstract sense, discourse refers to language use as social practice.16…Secondly, discourse is understood as the kind of language used within a specific field, such as political or scientific discourse. And thirdly, in the most concrete usage, discourse is used as a count noun (a discourse, the discourse, the discourses, discourses) referring to a way of speaking which gives meaning to experiences from a particular perspective. (2002: 66-67)
16 Kutipan aslinya sesuai tercantum dalam buku Media Discourse adalah “ A discourse is the language used in representing a given social practice from a particular point of view” (Fairclough, 1995:56). Penulis menerjemahkannya sebagai pemakaian bahasa dalam merepresentasikan sebuah praktik sosial (social practice) dari sudut pandang tertentu.
14
Merujuk pada pemahaman ketiga, Jorgensen dan Phillips menyimpulkan
konsep discourse mengacu “to any discourse that can be distinguished from other
discourses such as, for example, a feminist discourse, a neoliberal discourse, a
Marxist discourse, a consumer discourse, or an environmentalist discourse”
(2002:67)17
F.1.2 Persoalan lingkungan hidup
Menurut pemahaman yang tercantum dalam UU No.23/1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Sementara Lynton Caldwell seperti dikutip
oleh Aditjondro mendefinisikan persoalan atau masalah lingkungan hidup
sebagai:
“Masalah lingkungan merupakan hasil dari perubahan yang terjadi dalam lingkungan, yang disebabkan atau dipengaruhi oleh aktivitas manusia, dengan konsekuensi menimbulkan keprihatinan sosial dn menciptakan problema yang mengarah kepada perlunya tindakan politik.” (2003:164)
F.2 Paradigma dan Gerakan Lingkungan Hidup
Setiap persoalan lingkungan hidup yang terjadi di suatu wilayah atau negara
tak dapat dilepaskan dari cara pandang (paradigma) yang mempengaruhi
pembuatan kebijakan, peraturan dan perundang-undangan negara tersebut.
Paradigma ini tercermin dari kebijakan dan undang-undang yang dikeluarkan dan
dijalankan oleh pemerintah. Pemahaman akan paradigma lingkungan hidup dan 17 Secara sederhana--berdasarkan keseluruhan pemahaman yang dikemukakan di atas--penulis mengasumsikan wacana sebagai sebuah percakapan atau pembicaraan mengenai suatu masalah dalam tema tertentu.
15
gerakan lingkungan juga akan membantu menjelaskan bagaimana proses
terbentuknya wacana persoalan lingkungan hidup sehingga selanjutnya kita akan
lebih mudah memahami bagaimana terbentuknya wacana persoalan lingkungan
hidup yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Secara umum, akar dari keseluruhan gerakan lingkungan hidup (ecological
movement) dapat disebut sebagai bagian dari environmentalism atau ideologi
politik “that inform activity aimed at preventing damage to the natural
environment by working in consensual ways” (Sutton, 2007:166) yang
dilatarbelakangi kesadaran masyarakat akan kedudukan planet bumi, politik
lingkungan dan gerakan sosial.18 Dalam perkembangannya, muncul gerakan-
gerakan lingkungan yang dipengaruhi filosofi atau paradigma lingkungan hidup
yang memiliki orientasi masing-masing sebagai berikut:
a. Eco-developmentalism
18 Neil Carter dalam bukunya The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy (2007:xix) mendefinisikan environmentalisme modern (modern environmentalism) sebagai “the emergence, from the late 1960s, of growing public concern about the state of the planet, new political ideas about the environment and a mass political movement” disini dapat diasumsikan bahwa Carter mendefinisikan gerakan lingkungan juga sebagai gerakan politik yang berorientasi pada lingkungan.
16
Fokus gerakan lingkungan ini adalah mengupayakan kelestarian lingkungan
demi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan pemupukan modal (Fakih
dalam Dietz, 1998: x). Alasan pelestarian lingkungan yang dipahami kelompok ini
adalah demi kontinyuitas pasokan bahan baku industri sehingga pertumbuhan
ekonomi akan terus berlangsung.19 Mansour Fakih juga menjabarkan bagaimana
praktik kapitalisme ini berlangsung:
“Dalam praktik kapitalisme--sebagai ideologi yang bertujuan melakukan pemupukan modal (capital accumulation) melalui proses-proses penanaman modal (capital investment)-- mendorong dan mengharuskan adanya ekspansi keluar dalam bentuk penguasaan pasar, sumber pasokan bahan baku dan tenaga kerja semurah mungkin”. (Fakih dalam Dietz, 1998:vi)
Proses ini jugalah yang dianggap sebagai penyebab munculnya sejarah
imperialisme (penaklukan) dan kolonialisme (penjajahan) (Fakih dalam Dietz,
1998l: vi). Sebab dengan mengutamakan sumberdaya alam sebagai aset produksi,
kelestarian lingkungan hidup hanya diusahakan sepanjang memiliki manfaat bagi
pertambahan ekonomi atau modal.
Bisa dikatakan gerakan lingkungan yang merupakan perwujudan
kapitalisme ini lahir dari pandangan antroposentrisme, sebuah paradigma yang
diartikan Carter Neil sebagai paradigma “that regards humans as the source of all
value and its predominantly concerned with human interest” (Neil, 2007:14).
Paradigma ini mengukuhkan keberadaan manusia sebagai makhluk tertinggi
dalam hubungannya dengan alam, sehingga dengan demikian, memiliki hak untuk
mengelola dan mengeksploitasi alam ini.20
19 Manosur Fakih (dalam Dietz, 1998: v-x) dengan tegas menyatakan bahwa gerakan ini memiliki akar kapitalisme “…sumber daya alam telah menjadi faktor penting sejak awal perkembangan kapitalisme. Dalam teori ekonomi kapitalis, sumber daya alam dianggap salah satu dari tiga faktor produksi yang utama, selain sumber daya manusia dan sumber daya dana”20 Sonny Keraf, dalam bukunya Etika Lingkungan secara jelas menyebut antroposentrisme sebagai biang keladi sikap manusia saat ini, “…Krisis lingkungan dianggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris…menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya,tanpa cukup member perhatian pada kelestarian alam.” (2002: 33-35)
17
Ide tentang pembengunan berkelanjutan atau sustainable development yang
saat ini merupakan pedoman utama arah pembangunan negara-negara
berkembang sesuai pedoman Bank Dunia (World Bank) disebut-sebut sebagai
produk turunan dari paradigma ini.21
b. Eco-Fascism
Paradigma ini justru berkebalikan dengan Eco-developmentalism. Pusat dari
paradigma ini adalah alam, sehingga tujuan utamanya adalah kelestarian alam
dengan mengabaikan keberadaan manusia yang juga bagian dari alam. Ton Dietz
mengatakan bahwa penganut ekofasisme cenderung melakukan cara-cara
kekerasan untuk memperjuangkan kelestarian lingkungan. “Kaum ekofasis
menganggap konservasi lingkungan jauh lebih penting daripada kehidupan rakyat,
khususnya kehidupan rakyat miskin” (Dietz, 1993:22). George Junus Aditjondro
mencontohkan pelarangan yang dilakukan pemerintah pada warga yang digusur di
sekitar Kedungombo untuk menggarap “sabuk hijau” waduk itu dengan
menggunakan retorika hukum (legalistik) dan saintifik.22
c. Eco-Populism
Berbeda dengan kelompok dalam dua paradigm di atas, kelompok yang
21 Mansour Fakih adalah salah satu yang menyebut sustainable development sebagai kamuflase untuk melestarikan kapitalisme.“Semboyan seperti pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan untuk mengabsahkan (melegitimasi) pertumbuhan dan pembangunan kapitalis” (Fakih dalam Dietz, 1993;x)22 Dalam contoh kasus penggusuran warga pada proyek waduk Kedungombo, Aditjondro menyebutkan bahwa pemerintah menggunakan retorika (wacana) legalistik dan saintifik untuk mengabsahkan keputusannya. Dikatakan, pemerintah menggunakan UU Pokok Pengairan No. 11 th. 1974 untuk memutuskan bahwa keberadaan pemukiman rakyat di sekitar sabuk hijau waduk tersebut harus digusur. Selain itu pejabat PU dan pemerintah daerah mengatakan, keberadaan rakyat di kawasan periferi waduk tersebut akan menimbulkan erosi yang akan menimbulkan sedimentasi. Aditjondro sendiri sudah mengkaji ulang kedua wacana tersebut dan membuktikan sebaliknya. (Lihat Aditjondro, 2003:52-53) Meskipun dikatakan tindakan pemerintah itu adalah bukti dari ekofasisme “lunak” seperti yang dikatakan Aditjondro, penulis cenderung melihatnya sebagai salah satu dalih pemerintah yang mengkamuflasekan “penghijauan” sebagai alasan kepentingan yang sifatnya ekonomis.
18
memiliki pandangan ini adalah aktivis gerakan lingkungan yang memihak kepada
kepentingan rakyat banyak (Fakih dalam Dietz, 1993:xi). Sehingga, kelompok ini
juga dapat dinamai sebagai kelompok lingkungan kerakyatan. Kepentingan utama
paradigm ini adalah memikirkan secara kritis siapa yang berhak atas lingkungan
atau sumber daya alam dalam kawasan tersebut, siapa yang mendapat manfaat
dari lestarinya alam di sana. Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut secara
perlahan kelompok paradigm ini mentransformasikan dirinya menjadi gerakan
politik (Fakih dalam Dietz, 1993: xi).
(MODEL) Segitiga hubungan antara ketiga paradigma :
Developmentalism (ekonomi), Ecocentrism (Nature), dan Environmentalism
(social)
F.3. Ideologi dan Kekuasaan
Implementasi paradigma lingkungan hidup bersinergi dengan ideologi dan
kekuasaan yang mempengaruhinya. Maka untuk memahami bagaimana ideologi
dan kekuasaan mempengaruhi terjadinya atau tindakan penyelesaian persoalan
lingkungan hidup, terlebih dulu kita perlu memahami bagaimana pihak penguasa,
dalam hal ini pemerintah, mengimplementasikan ideologi tersebut dalam
kebijakan-kebijakan dan undang-undang.
Jika bicara tentang kekuasaan, pasti ada ideologi yang menentukan
bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Norman Fairclough sendiri memahami
ideologi sebagai “meaning in the service of power” (Fairclough 1995b: 14 dalam
Jorgensen and Phillips, 2002:75). Lebih tepat lagi, Fairclough memahami ideologi
“as constructions of meaning that contribute to the production, reproduction and
19
transformation of relations of domination” (Fairclough 1992b: 87; cf. Chouliaraki
and Fairclough 1999: 26f. dalam Jorgensen and Phillips, 2002:75)
Ada pasal dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang mengatur tentang
pengelolaan sumber daya lingkungan hidup yaitu pasal 33 ayat 3yang berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ada makna
tertentu yang dapat ditafsirkan dari penggunaan kata “dikuasai” disitu. Sesuai apa
yang tercantum dalam undang-undang, negara dalam hal ini bisa disebut diwakili
oleh pemerintah berhak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang
terdapat di Indonesia.23 Berarti, arah pengelolaan sumber daya alam sangat
ditentukan oleh ideologi yang berkembang dan dijalankan. Misalnya dalam
ideologi kapitalisme, seperti yang sudah disebutkan di atas, sumber daya alam
dianggap sebagai salah satu unsur produksi. Dengan demikian, negara berhak
mengeruk sumber daya alam atau bekerja sama dengan pihak lain dalam
mengeksploitasi sumber daya alam bagi kepentingan ekonomi.
F.4 Ekonomi Politik Media
Konsep ideologi dan kekuasaan juga terjadi dalam media massa. Untuk
menggambarkan hal ini, penulis akan menggunakan konsep Ekonomi Politik
Media untuk dasar analisa dalam tahap analisis ideologi media.
Vincent Mosco menggambarkan pendekatan ekonomi politik media secara
umum dimulai dengan segi produksi proses komunikasi dengan
mempertimbangkan pertumbuhan bisnis dan hubungannya dengan ekonomi
23 Lihat pendapat Amien Rais (2008). Ia menilai terminologi tersebut lebih memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dalam mengelola sumber daya alam Indonesia (hutan, tambang, air, dan lain-lain)
20
politik yang lebih luas (1996:74). Studi ekonomi politik mengambil pendekatan
Marxist (Shoemaker and Reese, 1996:230). “Using the Marxist
base/superstructure metaphor, ideology is regardes as part of the superstructure”
(hal.230). Mengacu pada pendapat Curran, Gurevitch dan Woolacott dalam
Shoemaker, media dikatakan memiliki peran “ that of legitimation through the
production of false consciousness, in the interest of the class which own and
control the media” (1996:230). Dengan demikian, media harus menyamarkan atau
mengaburkan “class antagonism that are the heart of a Marxist view of society”.
Faktor kepemilikan media, oleh Shoemaker, dipertimbangkan sebagai cara
utama yang digunakan oleh pihak yang memiliki kuasa untuk mengontrol melalui
institusi media. Pada akhirnya, pendekatan ekonomi politik mengantar kita pada
anggapan bahwa “capitalist-owned media decisions and content will tend to favor
those with economic power” (Shoemaker and Reese, 1996:230).
Vincent Mosco mengembangkan sebuah pemetaan substantive ekonomi
politik dengan tiga tahapan proses (1996:138-139) yaitu Komodifikasi (
commodification), Spasialisasi (spatialization) dan Strukturisasi (structurization).
Komodifikasi merupakan cara kapitalisme dalam mengakumulasikan modal atau
merealisasikan nilai melalui transformasi dari penggunaan nilai-nilai ke dalam
sistem pertukaran (Mosco, 1996:140). Komodifikasi mengacu pada proses
mengubah nilai guna ke dalam nilai tukar, mengubah produk yang memiliki nilai
yang ditentukan oleh kemampuannya memenuhi kebutuhan individu dan sosial ke
dalam produk yang memiliki nilai yang ditentukan oleh apa yang dapat
21
dibawanya di pasar.24 Dalam kaitannya dengan media, komodifikasi bisa
dicontohkan dalam usaha media menarik iklan untuk menambah akumulasi
modal. Salah satu contohnya adalah dengan membuat rubrik khusus advertorial
pada harian Kompas. Rubrik ini tak hanya menyajikan iklan produk atau jasa
secara konvensional namun juga mengemasnya dalam susunan cerita feature
dengan satu tema tertentu. Misalnya, saat bicara mengenai kesehatan, Kompas
menyelipkan beberapa iklan produk kesehatan atau bahkan membahas kelebihan
produk tersebut tanpa terlihat terlalu beriklan sehingga pembaca lebih tertarik
untuk menyimaknya.
Spasialisasi merupakan suatu proses “of overcoming the constraints of space
and time in social life” (Lefebvre, 1979 dalam Mosco, 1996:173). Spasialisasi
lebih merujuk pada kepemilikan (ownership) atau konglomerasi media. Disini
sebagai gambaran, media melakukan diversifikasi usaha atau penggabungan usaha
lain sebagai bagian dari industri media. Contohnya Kelompok Kompas Gramedia
juga memiliki usaha di bidang event organizer (Dyandra), hotel dan resor
(Santika), radio (Sonora), pendidikan (Universitas Multimedia Nusantara)selain di
bidang surat kabar (harian Kompas dan media-media daerah lainnya).
Strukturisasi didefinisikan sebagai “a process to by which structures are
constituted out of human agency, even as they provide the very ‘medium’ of that
constitution” (Mosco, 1996:212). Teori strukturisasi dapat digabungkan dengan
proses komodifikasi dan spasialisasi untuk memajukan ekonomi politik
24 Penulis menerjemahkan dari kalimat “Commodifications refer to the process of turning use values into exchange values, of transforming products whose value is determined by their ability to meet individual and social need into products whose value is set by what they can bring in the marketplace” (Mosco, 1996: 143-144)
22
5
4
3
2
1
komunikasi (Mosco, 1996:213). Strukturisasi adalah proses pembentukan struktur
organisasional yang menyertakan sejarah institusi, aktivitas birokratis secara
sosial, teknologi, dan pengaruhnya terhadap kebiasaan sosial, hukum dan kultur
pada konstruksi sosial. Sebagai contoh dalam media, terdapat level struktur yang
mempengaruhi wartawan dalam melakukan liputan dan pemilihan angle berita.
Lapisan struktur tersebut digambarkan oleh Pamela Shoemaker dan Stephen
Reese dalam bagan berikut:
Keterangan:
1. individual level
2. media routine level
3. organization level
4. extramedia level
5. ideological level
Pada tingkatan individual level, wartawan memiliki ideologi dan cara
pandang sendiri dalam melihat realitas dan peristiwa kemudian mengemas sebuah
berita. Namun ada level-level di luar dirinya yang mempengaruhi nilai-nilai dan
ideologi yang ia miliki yaitu media routine (rutinitas kinerja redaksi),
organization level (institusi media dimana wartawan tersebut bekerja), extramedia
level (faktor-faktor di luar institusi media) dan ideological level (level ideologi
yang lebih luas).
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa proses produksi atas wacana media
23
Sumber: Shoemaker and Reese (1996:141)
(berita) tak semata-mata ditentukan oleh faktor individu (wartawan) dan institusi
media saja namun juga banyak lapisan lain seperti pemerintah, masyarakat,
undng-undang dan lain-lain seperti yang diutarakan oleh Vincent Mosco dalam
konsep “decenter the media” (1996: 71). Ia menjelaskan, decentering the media
berarti melihat sistem komunikasi sebagai bagian yang melengkapi ekonomi
fundamental, politik, sosial, dan proses kebudayaan (cultural process) dalam
masyarakat. Dapat disederhanakan pula bahwa posisi media berada di tengah tiga
elemen yaitu negara, masyarakat dan pasar yang memiliki hubungan timbal balik
dan saling mempengaruhi.
Konsep ekonomi politik media akan dipakai dalam melihat bentuk struktur
kekuasaan yang terjadi di dalam dan luar media. Analisa ini akan dilakukan dalam
tahap discourse practice dan sociocultural practice.
F.5. Media Massa dan Konstruksi Realitas Lingkungan Hidup
F.5.1 Media Massa dan konstruksi realitas
Menurut Ibnu Hamad (2004:11), proses konstruksi realitas pada prinsipnya
adalah upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau
benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha
mengkonstruksikan realitas.25 Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media
massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media
massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas. “Pembuatan berita di media
pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah
cerita atau wacana yang bermakna (Hamad, 2004:11).
25 Hamad mencontohkan laporan mengenai kegiatan orang banyak berkumpul di lapangan terbuka mendengarkan pidato politik pemilu sebagai hasil konstruksi realitas atas apa yang lazim disebut sebagai kampanye pemilu. Lihat Hamad (2004:11)
24
F. 5.2 Strategi Media Massa melakukan konstruksi realitas
Ibnu Hamad menyebutkan bahwa elemen dasar seluruh isi media massa
adalah bahasa (Hamad,2004:15). Isi media cetak adalah bahasa tertulis baik
berbentuk kata, angka, gambar ataupun grafis. Dengan bahasa, para pekerja media
mengkonstruksikan setiap realitas yang diliputnya (Hamad, 2003:15). Maka
dengan demikian, bahasa adalah nyawa kehidupan media massa.26
Lebih lanjut, Hamad mengutarakan bahwa dalam melakukan pembingkaian
(framing) peristiwa tertentu (lingkungan hidup misalnya,-penulis) media memiliki
beberapa batasan seperti keterbatasan ruang kolom dan halaman. Sehingga yang
terjadi, media massa kemudian menyederhanakan peristiwa yang panjang, lebar
dan rumit melalui mekanisme pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk
berita sehingga layak terbit atau layak tayang.27
Untuk kepentingan tujuan penelitian, mengacu pada pendapat Ibnu Hamad
(2003:21), framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas
sedemikian rupa, sehingga dihasilkan sebuah wacana (discourse) yang di dalam
media massa wacana ini paling banyak mengambil bentuk dalam wujud berita.28
Teori framing juga bisa dipakai sebagai salah satu metode untuk memahami
"information strategy" dalam sebuah wacana. "Sebagai kebalikan dari "strategi
26 Dalam penelitiannya, Hamad mengkombinasikan metode semiotika sebagai alat analisis simbol-simbol politik yang muncul dalam pemakaian bahasa oleh media massa. Penelitian ini tidak memakai metode tersebut sebab konteks realitas lingkungan hidup sangat luas bahkan mencakup aspek sosial politik. Karena itu, analisa atas simbol-simbol bahasa kurang dapat diterapkan disini sebab tidak cukup komprehensif untuk menganalisa realitas lingkungan hidup27Disarikan dari pendapat Hamad (2003:21) sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dalam argumennya, Hamad mencurigai bahwa dengan proses seleksi fakta dan pembingkaian yang dilakukan oleh media massa ini, konstruksi realitas sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan. Kepentingan tersebut bisa dimiliki oleh media atau pihak yang memiliki relasi khusus dengan media tersebut. lihat juga Aditjondro (2003: 43-69)28 Seperti dikutip oleh Ibnu Hamad (2003:22), Van Dijk jelas-jelas menyatakan berita sebagai wacana lihat Van Dijk, Teun A "News as Disourse". Hillsdale, New Jersey:LEA Publisher
25
penyusunan realitas" maka analisis framing berfungsi untuk "membongkar
muatan wacana" (Hamad, 2003:22). Hamad juga menyebutkan bahwa pembuatan
sebuah wacana tidak saja mengindikasikan adanya kepentingan-kepentingan
(teknis, ekonomis, politis maupun ideologis), tetapi juga bisa mengarahkan:
hendak dibawa kemana issue yang diangkat dalam wacana tersebut (Hamad,
2003:22)29
Maka, sasaran dari analisis framing,sebagai salah satu metode analisis
wacana, adalah menemukan "aturan dan norma" yang tersembunyi di balik sebuah
teks.
F.5.3 Representasi wacana dalam media sebagai hasil konstruksi realitas
Istilah representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok,
gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2001:
113-114). Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau
objek tersebut ditampilkan. John Fiske seperti yang dikutip oleh Eriyanto (2001
:114-115) ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan dalam menampilkan
objek, gagasan, kelompok atau seseorang yaitu:
1. Realitas
Wartawan mengkonstruksi sebuah peristiwa sebagai suatu realitas.
2. Representasi realitas secara teknis
Wartawan menggunakan kemampuan teknis untuk menggambarkan realitas
29 Hamad menjelaskan bahwa cara membentuk wacana di media massa adalah dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga sebuah issue mempunyai makna. Dalam struktur tersebut terhimpun sejumlah fakta pilihan yang diperlakukan sedemikian rupa--atas dasar frame tertentu--sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan bahkan bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita yang mempunyai makna. Setiap kemasan wacana memiliki struktur internalnya sendiri dengan sebuah gagasan inti atau frame di dalamnya. Lihat Hamad, (2003: 22-23)
26
tersebut. Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat, grafik dan
sebagainya.
3. Ideologi
Wartawan mengorganisir peristiwa ke dalam konvensi-konvensi yang
diterima secara ideologis seperti kelas sosial dan kepercayaan dominan dalam
masyarakat (patriarki, kapitalisme, dan sebagainya).
Misrepresentasi
Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi: ketidakbenaran
penggambaran, kesalahan penggambaran seseorang, suatu kelompok, suatu
pendapat, atau sebuah gagasan. Paling tidak ada empat hal misrepresentasi yang
mungkin terjadi dalam pemberitaan seperti uraian berikut (Eriyanto. 2001: 121-
129):
1. Ekskomunikasi (Excommunication)
Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu
kelompok atau gagasan dikeluarkan dari pembicaraan publik. Salah satu
strategi utama dalam pemberitaan dan bagaimana ekskomunikasi dilakukan
adalah dengan penghadiran dan penghilangan (presence and absence) suatu
kelompok dan berbagai identitasnya. Umumnya terjadi penggambaran yang
simplifistik dan menggambarkan pihak atau gagasan lain selalu dalam kerangka
kepentingan pihak kita.
2. Eksklusi (Exclusion)
Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam
pembicaraan. Pengucilan itu dapat dilakukan dengan melakukan pembatasan apa
27
yang bisa dan tidak bisa didiskusikan. Contoh yang paling umum adalah dalam
hal praktek kedokteran, eksklusi dilakukan pada pengobatan tradisional dimana
praktik dukun direpresentasikan sebagai tidak ilmiah dan sebagainya.
3. Marjinalisasi
Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran buruk kepada pihak.kelompok
lain. Strategi marjinalisasi dapat dilakukan dengan praktik bahasa seperti
penghalusan makna (eufemisme), pengasaran (disfemisme), labelisasi dan
stereotipe.
4. Delegitimasi
Delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu
kelompok dianggap tidak absah. Legitimasi berhubungan dengan pertanyaan
apakah seseorang merasa absah, merasa benar, dan mempunyai dasar pembenar
tertentu ketika melakukan suatu tindakan. Umumnya, wacana yang dianggap
legitimate adalah pernyataan yang didukung oleh alasan formal, yuridis, atau
berbau ilmiah.
F.6. Koalisi Wacana
Maarten Hajer seperti dikutip oleh Heidi Wittmer and Regina Birner
(2005:3) menganalisa peran story-lines dan koalisi wacana (discourse coalitions)
dalam mempengaruhi kebijakan lingkungan (environmental policies). Ia
mendefinisikan sebuah story-line sebagai turunan naratif dalam realitas sosial
“through which elements from many different domains are combined and that
provide actors with a set of symbolic references that suggest a common
understanding” (Hajer, 1995: 62 dalam Wittmer and Birner,2005:3-4).
28
Hajer menunjukkan bahwa sebuah story-line pada dasarnya bekerja sebagai
sebuah metafor, “because by uttering a specific element, the speaker can
effectively invoke the storyline as a whole” (dalam Wittmer and Birner 2005:5).
Pemakaian dari instrument politik yang ditunjukkan oleh story-line tertentu dan
kebutuhan para aktor (pelibat wacana) untuk, berdasarkan story-line tersebut,
melegitimasi argument mereka dilihat sebagai indikasi hegemoni diskursif.30
Sebagaimana yang dikemukakan Hajer (1995: 59 dalam Wittmer and Birner
2005:5-6) pertarungan untuk hegemoni diskursif, dimana para actor (pelibat
wacana) mencoba untuk melindungi interpretasi mereka atas realitas, ditentukan
oleh tiga faktor: (1) kredibilitas (credibility), (2) penerimaan (acceptability), dan
(3) kepercayaan (trust). Kredibilitas tak hanya tergantung pada hal-hal masuk akal
dalam argument, tapi juga otoritas sang pelantun wacana.31 Penerimaan
(acceptability) menunjukkan secara tak langsung bahwa posisi dipertimbangkan
sebagai hal yang menarik atau diperlukan. Kepercayaan (trust) “the suppression
of doubts and can be derived, for example, by referring to the procedure by which
a definition of reality was reached”.
Konsep koalisi wacana ini akan membantu peneliti saat menganalisa
wacana-wacana yang muncul pada teks berita untuk mengelompokkannya ke
dalam koalisi-koalisi wacana yang memiliki kesatuan idea tau proses.
F.6 Jurnalisme lingkungan hidup
30 Penulis menerjemahkan dari pernyataan Hajer “The adoption of policy instruments implied by a certain story-line and the need of actors to refer to this story-line to legitimize their arguments are seen as indications of discursive hegemony” Lihat Wittmer and Birner (2005:5)31 kutipan aslinya adalah “…but also on the authority of the authors”, disini penulis mengasumsikan “author” bukan merujuk pada pengarang atau penulis namun pihak yang mengeluarkan statemen atau wacana, dengan kata lain pelantun/pelibat wacana.
29
M. Frome seperti yang dikutip oleh Lisa Rademakers dalam tesisnya,
mendefinisikan jurnalisme lingkungan hidup sebagai “writing with a purpose,
designed to present the public with sound, accurate data as the basis of informed
participation in the process of decision making on environmental issues” (Frome,
1998:ix, dalam Rademakers,2004:6) 32. Bagi Frome, jurnalisme lingkungan hidup
berbeda dengan jurnalisme tradisional. Jurnalisme lingkungan hidup lebih dari
sekedar meliput dan menulis, namun juga mewakili sebuah cara hidup, cara
memandang dunia dan diri sendiri. Jurnalisme lingkungan hidup diawali dengan
konsep pelayanan publik, memberikan dukungan pada perjuangan dan kebutuhan
dan didasari dengan kejujuran, kredibilitas dan tujuan.33
G. Metodologi Penelitian
G.1. Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis berakar dari paradigma kritis dimana terminologi
“kritis” menjadi fokus utamanya. Paradigma kritis melihat pesan sebagai
pertarungan kekuasaan, sehingga teks berita dipandang sebagai bentuk dominasi
dan hegemoni satu kelompok pada kelompok yang lain (Eriyanto, 2001:18). Dalam
kajian paradigma kritis seperti yang dikatakan Eriyanto, realitas sosial tak hanya
dipahami sebagai seperangkat fakta, tetapi hasil dari pandangan tertentu dari
pembentukan realitas (Eriyanto, 2001:290). Dalam hal tersebut, media dinilai
memiliki peranan penting. Stuart Hall menyebutkan bahwa media tidaklah secara
sederhana dipandang refleksi dari konsensus, tetapi media mereproduksi dan
32 Frome, M. (1998). Green ink: An introduction to environmental journalism. Salt Lake City: University of Utah Press., p.ix dalam Rademakers, Lisa. 2004. Thesis. "Examining the Handbooks on Environmental Journalism: A Qualitative Document Analysis and Response to the Literature” . USA: University of South Florida p.1633 “Environmental journalism differs from traditional journalism. It plays by a set of rules based on a consciousness different from the dominant in modern American society. It is more than a way of reporting and writing, but a way of living, of looking at the world, and at oneself. It starts with a concept of social service, gives voice to struggle and demand, and comes across with honesty, credibility, and purpose. It almost always involves somehow, somewhere, risk and sacrifice” (Frome, 1998: 21 dalam Rademakers, 2004:16)
30
memapankan definisi dari situasi yang mendukung dan melegitimasi suatu
struktur, mendukung suatu tindakan, dan mendelegitimasi tindakan lain (Eriyanto,
2001:28).
Konstruksi realitas lewat media, menurut Eriyanto, menempatkan masalah
representasi sebagai isu utama dalam penilaian kritis.
Salah satu kriteria yang berlaku bagi sebuah studi kritis, seperti yang
diungkapkan Dedy N. Hidayat adalah sifat holistik dan kontekstual (dalam
Eriyanto. 2001: xi). Kualitas sebuah analisis wacana kritis akan selalu dinilai dari
segi kemampuan untuk menempatkan teks dengan analisis terhadap konteks pada
jenjang-jenjang yang lebih tinggi. Karena itu menurut Hidayat, metode analisis
wacana kritis menekankan multilevel analysis.
G.1.1. Karakteristik Analisis Wacana Kritis
Berikut adalah karakteristik penting dari analisis wacana kritis seperti yang
dirangkum Eriyanto dari tulisan Teun A. van Dijk, Norman Fairclough, dan Ruth
Wodak (Eriyanto, 2001:8-14):
1. Tindakan
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Orang melakukan
segala sesuatu dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan orang lain.
Karena itu, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk
mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi dan sebagainya.
Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan
terkontrol.
2. Konteks
31
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti
latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana disini dipandang diproduksi,
dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Guy Cook, dalam Eriyanto,
menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan
wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak
di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik,
gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan
hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti
partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang
dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks
dan konteks bersama-sama.
3. Historis
Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa
memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Saat melakukan analisis
perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau
dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan
seterusnya.
4. Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power)
dalam analisisnya. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara
wacana dengan masyarakat. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana,
penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah
harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental
32
atau psikis. Seseorang yang mempunyai lebih besar kekuasaan bukan hanya
menentukan bagian mana yang perlu ditampilkan dan mana yang tidak tetapi juga
bagaimana ia harus ditampilkan. Misalnya dapat dilihat dari penonjolan atau
pemakaian kata-kata tertentu.
5. Ideologi
Teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau
pencerminan dari ideologi tertentu. Wacana dalam pendekatan semacam ini
dipandang sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi
dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang
mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Ideologi mempunyai beberapa
implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal
atau individual: ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi
atau kolektivitas dengan orang lainnya. Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial,
ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas.
G.1.2. Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kerangka analisis Norman
Fairclough. Ia membagi analisis wacana kritis dalam tiga tahap analisis: teks,
discourse practice, dan sociocultural practice.
Berikut adalah gambar model dari konsep tersebut:
33
produksi teks
konsumsi teks
Dari model tersebut terlihat bahwa pembentukan teks dipengaruhi oleh
praktik diskursus (discourse practice) yakni saat proses produksi berita
(pencarian, pengolahan dan pencetakan) sampai pada pendistribusian pada
masyarakat/konsumsi. Selain itu, discourse practice juga dipengaruhi praktik
sosiokultural (situational, institutional, dan sosial).
Secara keseluruhan, model analisis Norman Fairclough menuntut
pemahaman teks secara utuh dengan melibatkan level praktik diskursus dan
praktik sosiokultural, maka intertekstualitas akan digunakan untuk
menghubungkan teks-teks pada level mikro (teks berita yang dikaji) dengan meso
(discourse practice, produksi yang dilakukan oleh media), dan level meso dengan
level makro (sosiokultural)
Maka jika digambarkan secara keseluruhan, model tersebut akan menjadi
seperti ini:
34
Sociocultural Practice
Discourse practice
Teks
sumber: Eriyanto, 2001:288
produksi teks
konsumsi teks
Sumber: Ibnu Hamad, 2004:47
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menggambarkan kerangka analisis
yang dipakai dalam penelitian sebagai berikut:
Level Masalah Level Analisis Metode
teksmikro
Analisis framing Gamson dan
Modigliani
discourse practice meso
Wawancara mendalam dengan
pengelola media dibantu literatur
sociocultural practice
makro
Studi pustaka, penelusuran data
pendukung dan wawancara dengan
sejumlah pakar lingkungan hidup
dan sosial.
Sumber: Ibnu Hamad, 2004: 48
G.2. Kerangka Analisis Teks dengan Metode Framing Gamson dan
Modigliani
Bagi Gamson, frame tidaklah sama dengan sekedar sikap setuju atau tidak
setuju. Framing tidak berhubungan dengan apakah suatu berita setuju atau tidak
setuju dengan suatu hal tertentu. Yang dipersoalkan dan menjadi titik perhatian
dari framing adalah bagaimana suatu peristiwa tersebut dibingkai atau disajikan
kepada khalayal (catatan kaki dalam Eriyanto, 2002:223).
Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame
dipandang sebagai cara bercerita (story-line) atau gugusan ide-ide yang tersusun
sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang
berkaitan dengan suatu wacana (dalam Eriyanto, 2002:223). Gamson melihat
wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui
mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Kemasan itu merupakan skema
atau struktur pemahaman yang dipakai oleh seseorang ketika mengkonstruksi
pesan-pesan yang dia sampaikan, dan menafsirkan pesan yang dia terima
(Eriyanto, 2002:223-224).
Berdasarkan pemahaman tersebut, penulis memilih metode framing Gamson
dan Modigliani sebagai alat analisa teks. Ibnu Hamad juga menggunakan metode
ini dalam analisis wacana kritis terhadap pemberitaan partai politik sekaligus
menggabungkannya dengan metode semiotika visual sebab ia juga menganalisa
berita foto (Hamad, 2004:49).
Berikut adalah kerangka analisis framing Gamson dan Modigliani:
Frame
Central organizing idea for making sense of relevant events, suggesting what is at
issues
Framing Devices
(Perangkat framing)
Reasoning Devices
(Perangkat penalaran)
Metaphors
Perumpamaan atau pengandaian
Roots
Analisis kausal atau sebab akibat
Catchphrases Appeals to principle
36
Frase yang mnarik, kontras, menonjol
dalam suatu wacana. umumnya berupa
jargon atau slogan
Premis dasar, klaim-klaim moral
Exemplaar
Mengaitkan bingkai dengan contoh
uraian yang memperjelas bingkai
Consequences
Efek atau konsekuensi yang didapat dari
bingkai.
Depiction
Penggambaran atau pelukisan suatu isu
yang bersifat konotatif.
Visual images
Gambar, grafik, citra yang mendukung
bingkai secara keseluruhan.
Sumber: Eriyanto, 2002:225
G.3. Jenis dan sifat penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Rachmat
Kriyantono (2006:69), jenis riset deskriptif ”...bertujuan membuat deskripsi
secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi
atau objek tertentu”. Sementara sifat penelitian kualitatif menekankan pada
persoalan kedalaman atau kualitas data bukan pada banyaknya atau kuantitas data.
Maka hasil penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk membuat generalisasi dan
juga lebih bersifat fleksibel (Kriyantono, 2006:86).
G.4. Objek penelitian
Fokus penelitian utama dalam penelitian ini wacana rencana penambangan
pasir besi Kulonprogo yang direpresentasikan dalam pemberitaan Harian Jogja
dan Kompas Jogja. Maka, objek penelitian ini adalah teks berita dan tajuk rencana
di media Harian Jogja dan Kompas Jogja yang memuat tentang pemberitaan
37
rencana pembangunan pasir besi Kulonprogo selama periode waktu 1 November
2008 – 30 November 2009. Periode ini dipilih peneliti karena bulan November
2008 adalah bulan dimana Kontrak Karya (KK) kesepakatan antara Pemerintah
Kabupaten Kulonprogo dan PT. Jogja Magasa Iron ditandatangani. Dengan
demikian, reaksi berbagai pihak antara yang pro dan kontra pun semakin
memuncak setelah periode tersebut. Periode setahun dipilih peneliti agar dapat
memaparkan wacana persoalan rencana penambangan pasir besi secara lebih
komperehensif.
G.5. Jenis dan metode pengumpulan data
Berdasarkan sumbernya, Kriyantono (2006: 43-44) membagi jenis data
menjadi dua, yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti di
lapangan. Dalam penelitian ini, data primer adalah dokumentasi berita-berita SKH
Harian Jogja dan Kompas Jogja dalam rentang waktu 1 November 2008 – 30
November 2009 mengenai masalah rencana penambangan pasir besi Kulonprogo
serta hasil wawancara (pada level discourse practice) dengan pekerja media
Harian Jogja dan Kompas Jogja serta pendapat dari pihak-pihak di luar media
tersebut.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain yang
dapat digunakan sebagai data atau informasi tambahan oleh peneliti dalam
melakukan penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini berupa profil
38
perusahaan, penelitian lain, berbagai artikel, jurnal dan publikasi terkait persoalan
penambangan pasir Kulonprogo, serta studi literatur yang berkaitan dengan
wacana jurnalisme lingkungan hidup.
Sementara itu, proses pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi
tiga, yaitu pada level teks, praktik wacana (discourse practice), dan level wacana
sosiokultural (sociocultural practice). Dalam penelitian ini metode pengumpulan
data untuk level teks adalah kliping artikel berita dari Harian Jogja dan Kompas
Jogja sesuai periode dan pembagian tema yang telah ditentukan. Sementara pada
level praktik wacana yakni proses produksi teks, peneliti juga akan menggunakan
metode wawancara mendalam dan untuk level praktik wacana sosiokultural
peneliti akan menggunakan studi literatur dan wawancara dengan pihak lain di
luar media.
39
Lampiran 1: Alur kerja Penelitian
40
Tahap 1Pra Penelitian
Pengumpulan data: Berita dan Tajuk Rencana pemberitaan pasir besi KP di Harjo dan Kompas Jogja periode November 2008 – 2009
Pemilahan Tema: Analisa tema-tema utama yang muncul sepanjang time frame pemberitaan
Pemilihan teks: Pengkategorian teks-teks berita ke dalam tema-tema yang sudah ditentukan lalu memilih satu dari masing-masing tema yang dianggap paling mewakili tema untuk kemudian dianalisis.
Interview Guide: Menyiapkan daftar interview guide untuk persiapan wawancara dengan pihak media terkait dan pihak-pihak lain yang terkait.
Tahap 2Penelitian
Analisis Realitas Sosiologis: Melakukan analisa realitas sosiologis pasir besi KP dengan melakukan studi literatur dari media lain, wawancara pihak-pihak di lapangan dan pendapat masyarakat.Mendapatkan wacana dominan yang tampak dari kasus pasir besi KP dari realitas sosiologis yang ada
Analisis Teks: Analisis teks berita-berita yang sudah dipilih dengan metode framing.
Analisis Discourse Practice: Melakukan wawancara dengan pihak media terkait proses produksi berita yang telah dianalisis.
Analisis Sociocultural Practice: Melakukan studi literatur dan wawancara dengan pakar atau pihak-pihak masyarakat.
Tahap 3Pasca penelitian
Menganalisa hubungan dari setiap level: teks, discourse practice dan sociocultural practice.
Melakukan kesimpulan atas representasi wacana dominan yang muncul dari pemberitaan pasir besi KP yang dilakukan oleh Harjo dan Kompas Jogja
Melakukan perbandingan dari wacana dominan pemberitaan pasir besi KP di Harjo dan Kompas Jogja dengan wacana dominan yang muncul dari realitas sosiologis persoalan pasir besi KP.
Daftar Pustaka
Buku
Abrar, Ana Nadya. 1993. Mengenal Jurnalisme Lingkungan Hidup. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Aditjondro, George Junus. 2003. Kebohongan-kebohongan Negara Perihal
Kondisi Obyektif Lingkungan Hidup di Nusantara. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Carter, Neil. 2007. The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy. 2nd
Edition. USA: Cambridge University Press
Dietz, Ton. 1998. Hak Atas Sumber Daya Alam Kontur Geografi Lingkungan
Politik. Edisi 1: terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar