1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka mengurangi mortalitas dan morbiditas anak, World Health Organization (WHO) merekomendasikan agar ASI eksklusif diberikan kepada bayi yang baru lahir minimal selama enam bulan. Makanan pendamping ASI (MP- ASI) seharusnya diberikan setelah bayi berumur 6 bulan dan pemberian ASI disarankan untuk dilanjutkan hingga bayi berumur 2 tahun. 1 Pada tahun 2003, pemerintah Indonesia menganjurkan agar pemberian ASI eksklusif diganti dari empat bulan menjadi enam bulan. 2 Seperti yang kita ketahui bersama, air susu ibu (ASI) lebih baik daripada susu formula. Karena ASI mengandung nutrisi yang tinggi yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. ASI juga meningkatkan imunitas anak yang berguna sebagai anti infeksi, anti alergi dan anti diare. 3 Di Indonesia, persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 54,3%, sedikit meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 48,6%. Persentase pemberian ASI eksklusif tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Barat sebesar 79,74%, diikuti oleh Sumatera Selatan sebesar 74,49%, dan Nusa Tenggara Timur sebesar Universitas Sumatera Utara
Pengenalan lebih lanjut mengenai pentingnya ASI Eksklusif
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam rangka mengurangi mortalitas dan morbiditas anak, World Health
Organization (WHO) merekomendasikan agar ASI eksklusif diberikan kepada
bayi yang baru lahir minimal selama enam bulan. Makanan pendamping ASI
(MP-ASI) seharusnya diberikan setelah bayi berumur 6 bulan dan pemberian ASI
disarankan untuk dilanjutkan hingga bayi berumur 2 tahun.1 Pada tahun 2003,
pemerintah Indonesia menganjurkan agar pemberian ASI eksklusif diganti dari
empat bulan menjadi enam bulan.2
Seperti yang kita ketahui bersama, air susu ibu (ASI) lebih baik daripada
susu formula. Karena ASI mengandung nutrisi yang tinggi yang berguna untuk
pertumbuhan dan perkembangan anak. ASI juga meningkatkan imunitas anak
yang berguna sebagai anti infeksi, anti alergi dan anti diare.3
Di Indonesia, persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan di
Indonesia pada tahun 2013 sebesar 54,3%, sedikit meningkat bila dibandingkan
dengan tahun 2012 yang sebesar 48,6%. Persentase pemberian ASI eksklusif
tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Barat sebesar 79,74%, diikuti oleh Sumatera
Selatan sebesar 74,49%, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 74,37%. Sedangkan
persentase pemberian ASI eksklusif terendah terdapat di Provinsi Maluku sebesar
25,21%, diikuti oleh Jawa Barat sebesar 33,65% dan Sulawesi Utara sebesar
34,67%.4
Menurut Saputra5, alasan ibu tidak mau menyusui adalah bukan karena
permasalahan ekonomi tetapi karena rasa kurang percaya diri, kekhawatiran
bentuk payudara akan rusak akibat menyusui, pemberian susu formula dianggap
jauh lebih praktis, dan terbatasnya fasilitas ruang laktasi di tempat umum. Studi
kualitatif Fikawati & Syafiq6 melaporkan faktor predisposisi kegagalan ASI
eksklusif adalah karena faktor pengetahuan dan pengalaman ibu yang kurang.
Faktor lain yang juga menyebabkan terjadinya kegagalan adalah karena ibu tidak
difasilitasi melakukan inisiasi menyusui dini (IMD).
Universitas Sumatera Utara
2
Lain halnya di kota Medan, angka cakupan persentase bayi yang diberi
ASI Eksklusif dari tahun 2004-2012 cenderung menurun secara signifikan, hanya
pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 10,33% dibandingkan tahun
2007. Dan pencapaian pada tahun 2012 sebesar 20,33% merupakan pencapain
terendah selama kurun waktu 2004- 2012. Terdapat 8 Kab/Kota yang pencapaian
ASI Ekslusif 0% yaitu Kabupaten Tapanuli Tengah, Dairi, Karo, Langkat, Pakpak
Bharat, Padang Lawas, Kota Medan dan Gunung Sitoli. Pencapaian tertinggi ada
di Kabupaten Labuhan Batu Utara yaitu 68,81%.7 Menurut Anggrita8, tingkat
pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Medan Amplas berkisar
sekitar 34% dari seluruh responden yang berjumlah 50 orang.
Setiap tahun lebih dari sepertiga kematian anak di dunia berkaitan
dengan masalah kurang gizi, yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terhadap
penyakit. Ibu yang mengalami kekurangan gizi pada saat hamil, atau anaknya
mengalami kekurangan gizi pada usia 2 tahun pertama, pertumbuhan serta
perkembangan fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan
yang dinilai pencapaiannya dalam MDGs adalah status gizi balita. Status gizi anak
balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB).7
Variabel umur, BB dan TB ini disajikan dalam bentuk tiga indikator
antropometri, yaitu : berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut
umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indikator status
gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum.
Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis
ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi
badan. Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena
pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi
lain (masalah gizi akut).4
Adapun hal pemberian ASI eksklusif ini berpengaruh pada status gizi
bayi di mana terjadi penurunan angka kecukupan gizi pada bayi dari tahun 2007
hingga 2013 meningkat dari 18,4% menjadi 19,6%.9 Kecenderungan prevalensi
status gizi anak balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Terlihat
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013.
Universitas Sumatera Utara
3
Prevalensi sangat pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensi
pendek naik 1,2 persen dari tahun 2007. Prevalensi sangat kurus turun 0,9 persen
tahun 2007. Prevalensi kurus turun 0,6 persen dari tahun 2007. Prevalensi gemuk
turun 2,1 persen dari tahun 2010 dan turun 0,3 persen dari tahun 2007.9
Atas latar belakang tersebut, peneliti berniat untuk mencari hubungan
antara pemberian ASI eksklusif terhadap perkembangan status gizi bayi di
puskesmas dengan wilayah kerja Medan Amplas.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan
masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana hubungan antara pemberian ASI
eksklusif dengan status gizi bayi.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pemberian ASI
eksklusif dengan status gizi bayi.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang pemberian ASI
Eksklusif
2. Untuk mengetahui gambaran praktik pemberian ASI Eksklusif pada ibu
menyusui
3. Untuk mengetahui gambaran cakupan pemberian ASI Eksklusif pada ibu
menyusui
4. Untuk mengetahui gambaran status gizi bayi yang mendapat ASI
Ekslusif dan yang tidak mendapat ASI Ekslusif
5. Untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI Ekslusif dengan
status gizi bayi
Universitas Sumatera Utara
4
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi kepada masyarakat luas khususnya ibu yang sedang
dalam masa menyusui mengenai hubungan antara pemberian ASI
eksklusif dengan status gizi bayi.
2. Bagi Peneliti
Untuk pengembangan wawasan bagi peneliti dalam melaksanakan
penelitian.
3. Bagi Pendidikan
Sebagai bahan rujukan atau referensi untuk penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan
2.1.1. Definisi
Menurut Notoatmodjo10, pengetahuan adalah hasil dari “tahu”, dan ini
terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Pengindraan terjadi dengan menggunakan pancaindra manusia, yakni: indra
penglihatan, pendengaran, pembau, pengecap, dan peraba. Sebagian besar
pengetahuan manusia didapat melalui indra penglihatan dan indra pendengaran.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
mendasari terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Menurut
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih tahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.10
Proses adopsi perilaku, menurut Notoatmodjo yang mengutip pendapat Rogers
adalah sebagai berikut:10
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui tentang stimulus (objek) terlebih dahulu.
b. Interest (merasa tertarik), merasa tertarik terhadap stimulus atau objek
tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun dari penelitian selanjutnya, Rogers menyimpulkan bahwa perubahan
perilaku seseorang tidak selalu melalui tahap-tahap yang disebut diatas. Apabila
proses adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang
postif, maka perilaku baru tersebut akan bersifat lebih tahan lama (long lasting).
Universitas Sumatera Utara
6
Sebaliknya, apabila perilaku baru tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran maka perilaku baru tesebut tidak akan berlangsung lama. Contohnya
ibu-ibu yang baru melahirkan dihimbau oleh petugas kesehatan atau pemerintah
untuk menjalani program ASI eksklusif, tetapi jika ibu-ibu tersebut tidak
mengetahui makna dan tujuan dari program ASI eksklusif maka ibu-ibu tersebut
tidak akan mau menjalani program ASI eksklusif setelah beberapa saat himbauan
tersebut diterima.
Tingkat Pengetahuan di dalam domain kognitif, terbagi atas 6 tingkatan
yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu adalah suatu proses mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Yang termasuk kedalam pengetahuan pada tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang telah dipelajari atau rangsangan yang pernah diterima. Oleh sebab itu,
“tahu” ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja
yang digunakan untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang telah
dipelajari antara lain: mendefinisikan, menyatakan, menyebutkan,
menguraikan, dan sebagainya. Contoh: Dapat menyebutkan manfaat
pemberian ASI eksklusif.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.
Orang yang telah memahami suatu objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan sebagainya terhadap objek yang
telah dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa bayi harus
mendapatkan ASI eksklusif.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi yang nyata. Aplikasi di sini diartikan
sebagai suatu proses penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat
Universitas Sumatera Utara
7
menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penitian,
dapat menggunakan prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving
cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat
Prevalensi TB normal-gemuk : (Σ Balita normal-gemuk/Σ Balita) x 100%
Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu: 19
Berat kurang : istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang
(underweight)
Pendek : istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek
(stunting)
Kurus : istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting)
Sifat-sifat indikator status gizi
Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi
masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang
masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi
positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat
disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau
penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). 19
Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi
masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung
lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan asupan makanan
kurang dalam jangka waktu lama sejak usia bayi sehingga mengakibatkan anak
menjadi pendek. 19
Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi
masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam
waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan
kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus.
Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan
gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko
Universitas Sumatera Utara
24
berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa. 19 Masalah gizi akut-kronis adalah
masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis. Sebagai contoh
adalah anak yang kurus dan pendek.19
Status gizi balita menurut indikator BB/U
Gambar 2.12.1. menyajikan prevalensi berat-kurang (underweight)
menurut provinsi dan nasional. Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada
tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen
gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007
(18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat.19
Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007,
4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi
kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan 2013. Untuk mencapai sasaran
MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi gizi buruk-kurang secara
nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode 2013 sampai 2015.19
Diantara 33 provinsi di Indonesia,18 provinsi memiliki prevalensi gizi
buruk-kurang di atas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen
sampai dengan 33,1 persen. Urutan ke 19 provinsi tersebut dari yang tertinggi
sampai terendah adalah (1) Nusa Tenggara Timur; (2) Papua Barat; (3) Sulawesi
Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan; (6) Kalimantan Barat; (7) Aceh; (8)
Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi Selatan; (11) Maluku Utara;
(12) Sulawesi Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan Tengah; (15)
Riau; (16) Sumatera Utara; (17) Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi. Atas
dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi gizi
buruk-kurang sudah mencapai sasaran yaitu: (1) Bali, (2) DKI Jakarta, (3) Bangka
Belitung. Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi
buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila
≥30 persen. Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada
anak balita sebesar 19,6 persen, yang berarti masalah gizi berat-kurang di
Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi
Universitas Sumatera Utara
25
tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi termasuk kategori prevalensi
sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.19
Gambar 2.12.1. Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD
menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013. 19
Status gizi anak balita berdasarkan indikator TB/U
Gambar 2.12.2. menyajikan prevalensi pendek (stunting) menurut
provinsi dan nasional. Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2
persen, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan
2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen
sangat pendek dan 19,2 persen pendek. Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek
menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen tahun
2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun 2007 menjadi
19,2 persen pada tahun 2013. 19
Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan urutan dari
prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu:(1) Nusa Tenggara Timur, (2)
Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4) Papua Barat, (5) Kalimantan
Universitas Sumatera Utara
26
Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi Tenggara, (8) Sumatera Utara, (9) Aceh, (10)
Kalimantan Tengah, (11) Maluku Utara, (12) Sulawesi Tengah, (13) Sulawesi
Selatan, (14) Maluku, (15) Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18)
Gorontalo, (19) Kalimantan Barat dan (20) Jambi. 19
Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek
sebesar 30 – 39 persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010).
Sebanyak 14 provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk
kategori serius. Ke 15 provinsi tersebut adalah: (1) Papua, (2) Maluku, (3)
Sulawesi Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi Tengah, (6) Kalimantan
Tengah, (7) Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi Tenggara, (10) Lampung,
(11). Kalimantan Selatan, (12). Papua Barat, (13). Nusa Tenggara Barat, (14).
Sulawesi Barat dan (15) Nusa Tenggara Timur. 19
Gambar 2.12.2. Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2SD
menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013.19
Universitas Sumatera Utara
27
Status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/TB
Gambar 2.12.3. menyajikan prevalensi kurus menurut provinsi dan
nasional. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam
manajemen gizi buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai
Zscore <-3,0 SD. Prevalensi sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup
tinggi yaitu 5,3 persen, terdapat penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan
tahun 2007 (6,2 %). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8
persen juga menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun 2010) dan 7,4
persen (tahun 2007). Secara keseluruhan prevalensi anak balita kurus dan sangat
kurus menurun dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 12,1 persen pada tahun
2013 (Gambar 2.12.4.). 19
Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi kurus diatas angka nasional,
dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, adalah: Kalimantan
Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sumatera Utara,
Bengkulu, Papua, Banten, Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Maluku Utara. 10
Pada tahun 2013 prevalensi gemuk secara nasional di Indonesia adalah
11,9 persen, yang menunjukkan terjadi penurunan dari 14,0 persen pada tahun
2010. Terdapat 12 provinsi yang memiliki masalah anak gemuk di atas angka
nasional dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah,yaitu: (1) Lampung,
(2) Sumatera Selatan, (3) Bengkulu, (4) Papua, (5) Riau, (6) Bangka Belitung, (7)
Jambi, (8) Sumatera Utara, (9) Kalimantan Timur, (10) Bali, (11) Kalimantan
Barat, dan (12) Jawa Tengah.(Gambar 2.12.3.) 19
Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi
kurus antara 10,0 14,0 persen, dan dianggap kritis bila ≥15,0 persen. Pada tahun
2013, secara nasional prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang
artinya. masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 16 provinsi yang masuk
Universitas Sumatera Utara
28
kategori serius, dan 4 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu Kalimantan Barat,
Maluku, Aceh dan Riau. 19
Gambar 2.12.3. Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <-2SD
menurut provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013.10
Kecenderungan prevalensi status gizi anak balita tahun 2007- 2013
Gambar 2.12.4. menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi anak
balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi
buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi
sangat pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensi pendek naik 1,2
persen dari tahun 2007. Prevalensi sangat kurus turun 0,9 persen tahun 2007. 10
Prevalensi kurus turun 0,6 persen dari tahun 2007. Prevalensi gemuk turun 2,1
persen dari tahun 2010 dan turun 0,3 persen dari tahun 2007. 19
Universitas Sumatera Utara
29
Gambar 2.12.4. Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek,
kurus, dan gemuk pada balita, Indonesia 2007, 2010, dan 2013.19
Status gizi anak balita berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB
Gambar 2.12.5. menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi
gabungan indikator TB/U dan BB/TB secara nasional. Berdasarkan Riskesdas
2007, 2010 dan 2013 terlihat adanya kecenderungan bertambahnya prevalensi
anak balita pendek-kurus, bertambahnya anak balita pendek-normal (2,1%) dan
normal-gemuk (0,3%) dari tahun 2010. Sebaliknya, ada kecenderungan penurunan
prevalensi pendek-gemuk (0,8 %), normal-kurus (1,5 %) dan normal (0,5 %) dari
tahun 2010. 19
Universitas Sumatera Utara
30
Gambar 2.12.5. Kecenderungan prevalensi status gizi balita menurut
gabungan indikator TB/U dan BB/TB, Indonesia 2007, 2010, dan
2013. 10
2.13. Antropometri
Antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh manusia dalam hal ini
dimensi tulang, otot dan jaringan lemak. Di dalam klinik, selain digunakan untuk
menentukan status nutrisi anak, antropometri juga dapat digunakian untuk
memantau tumbuh kembang seorang anak. Oleh pengambil kebijakan
pemeriksaan ini sering digunakan untuk menenrukan bagaimana status nutrisi di
suatu daerah, khususnya untuk mengidentifikasi adanya gizi buruk untuk
selanjutnya digunakan untuk melakukan intervensi nutrisi.20
Pengukuran antropometri minimal pada anak umumnya meliputi
pengukuran berat badan/ BB, panjang badan atau tinggi badan/ TB, dan lingkar
kepala/ LK (dari lahir sampai umur 3 tahun). Pengukuran ini dilakukan berulang
secara berkala untuk mengkaji pertumbuhan jangka pendek, jangka panjang, dan
status nutrisi. Untuk anak-anak dengan penyakit kronik, pengukuran lingkar
Universitas Sumatera Utara
31
lengan atas (LILA) dan tebal lipatan kulit (TLK) merupakan bagian dari
pengkajian untuk menentukan lemak tubuh dan simpanan protein. Pelatihan dalam
teknik pengukuran antropometri sangat ditekankan. Semuapengukuran variabel
pertumbuhan harus diulang tiga kali dan diambil nilai reratanya. Kualitas bdata
akan mempengaruhi hasil pengkajian dokter untuk menegakkan diagnosis anak
yang diukur pertumbuhannya. 20
a. Berat Badan
Berat badan merupakan perhitungan rerataa dari status nutrisi secara umum yang memerlukan data lain seperti umur, jenis kelamin, dan PB/TB untuk menginterpretasikan data tersebut secara optimal. Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan digital atau timbangan dacin. Sampai anak berumur kurang lebih 24 bulan atau dapat bekerjasama dan berdiri tanpa dibantu di atas timbangan, penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan bayi. Berat badan anak sebaiknya diukur dengan baju minimal atau tanpa baju dan tanpa popok pada bayi. Sebelum menimbang seharusnya timbangan dikalibrasi dengan mengatur jarum timbangan ke titik nol. Berat badan dicatat dengan ketelitian sampai 0,01 kg pada bayi dan 0,1 kg pada anak yang lebih besar. 20
b. Panjang Badan atau Tinggi Badan
Panjang badan atau tinggi badan mencerminkan status nutrisi jangka panjang seorang anak. Panjang badan diukur dengan menggunakan papan pengukur panjang untuk anak dibawah umur 2 tahun atau PB kurang dari 85 cm. Pengukuran panjang badan dilakukan oleh dua orang pengukur. Pengukur pertama memposisikan bayi agar lurus di papan pengukur sehungga kepala sang bayi menyentuh papan penahan kepala dalam posisi bidang datar Frankfort (Frankfort horizontal plane). Bidang datar Frankfort merupakan posisi anatomis saat batas bawah orbita dan batas atas meatus auditorius berada segaris. Pengukur kedua menahan agar lutut dan tumit sang bayi secara datar menempel dengan papan penahan kaki. 20
Untuk anak yang dapat berdiri tanpa bantuan dan kooperatif, tinggi badan diukur dengan menggunakan stadiometer yang memiliki penahan kepala bersudut 900 terhadap stadiometer yang dapat digerakkan. Anak diukur dengan telanjang kaki atau dengan kaus kaki tipis dan dengan pakaian seminimal mungkin agar pengukur dapat memeriksa apakah posisi anak tersebut sudah benar. Saat pengukuran anak harus berdiri tegak, kedua kaki menempel, tumut, bokong dan
Universitas Sumatera Utara
32
belakang kepala menyentuh stadiometer dan menatap kedepan pada bidang datar Frankfort. 20
Pengukuran PB lebih panjang 0,5 sampai 1,5 cm daripada pengukuran TB. Bila anak di atas umur 2 tahun atau lebih dari 85 cm diukur dalam posisi berbaring maka hasilnya perlu dikurangi 1 cm sebelum diplot pada grafik pertumbuhan. 20
Anak dengan keterbatasan fisik misalnya kontraktur tidak memungkinkan pengukuran PB/TB, sehingga memerlukan cara pengukuran alternatif. Rentang lengan (arm span), panjang lengan atas (upper arm length) dan panjang tungkai bawah (knee height) merupakan indeks yang dapat dipercaya dan sahih dalam pengukuran PB/TB anak. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan kaliper geser (sliding caliper) pada bayi dan antropometer besar (large anthropometer) pada anak. Semua pengukuran di atas dilakukan dengan ketelitian sampai 0,1 cm. 20
c. Lingkar Kepala
Pengukuran rutin LK (lingkar frontal oksipital) merupakan komponen dari pengkajian nutrisi pada anak sampai umur 3 tahun dan dikerjakan terutama pada anak yang mempunyai risiko tinggi gangguan status nutrisi. Lingkar kepala bukan merupakan indikator baik untuk status nutrisi jangka pendek dibandingkan dengan BB karena pertumbuhan otak umumnya dipertahankan oleh tubuh saat terjadi masalah nutrisi. Lingkar kepala tidak dapat digunakan sebagai pengukuran status nutrisi pada anak dengan hidrosefalus, mikrosefali, dan makrosefali. 20
Lingkar kepala diukur dengan menggunakan pita pengukur fleksibel yang tidak dapat diregangkan. Panjang lingkar sebaiknya diambil dari lingkar maksimum dari kepala, yaitu di atas tonjolan supraorbita dan melingkari oksiput. Saat pengukuran harus diperhatikan agar pita pengukur tetap datar pada permukaan kepala dan paralel di kedua sisi. Pengukuran dicatat dengan ketelitian sampai 0,1 cm. 20
d. Lingkar Lengan Atas (LILA)
LILA dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan, sebuah penanda cadangan energi dan protein, dan dapat memberikan informasi akan kadar lemak tubuh. Pengukuran dilakukan dititik tengan lengan atas, ditengah antara ujung lateral akromion dan olekranon bila tengah dalam posisi fleksi dengan sudut 900
(diukur dan diberi tanda). Untuk pengukuran LILA, anak harus berdiri tegak lurus
Universitas Sumatera Utara
33
dengan lengan dilemaskan disisi tubuh. Pita ukur yang fleksibel dan yang tidak dapat meregang diletakkan tegak lurus dengan aksis panjang dari lengan, dirapatkan melingkari lengan dan dicatat dengan ketelitian sampai ke 0,1 cm. Pengukuran ini sebaiknya dilakukan 3 kali dan nilai akhir diambil dari rerata ketiga hasil pengukuran tersebut. 20
e. Tebal Lipatan Kulit triceps (TLK)
Tebal lipatan kulit trisep (triceps skinfold thickness) (TLK) adalah sebuah penanda cadangan lemak subkutanj (energi) dan lemak tubuh total, dan memberi informasi mengenai pola lemak tubuh (fat patterning). Dalam mengukur, seoranganak harus dalam posisi tegak dengan lengan disisi tubuh. TLK diukur dipertengahan lengan atas, tepat ditengah otot trisep di lengan bagian belakang (diukur dan diberi tanda sebelumnya). Pengukur mencubit lemak dengan ibu jari dan jari telunjuk, sekitar 1 cm diatas titik tengah yang telah ditandai, dan menempatkan kaliper tepat diatas titik yang ditandai. Empat detik setelah lengan kaliper dilepaskan, hasil pengukuran diambil lalu kaliper dilepaskan. Pengukuran ini sebaiknya dilakukan tiga kali, diambil reratantya dan dicatat dalam pembulatan 0,1 cm. 20
Pengkajian Data Antropometri
Indikator status nutrisi sangat esensial dalam interpretasi klinik dari pengukuran pertumbuhan. Setiap pengkajian nutrisi memerlukan satu atau lebih dari indikator berikut untuk interpretasi, antara lain: 20
a. Persentil menurut umur dan jenis kelamin
Jika setiap ukuran perkembangan digambarkan ke grafik pertumbuhan (growth chart), persentil individu seorang anak akan dapar dibandingkan dengan populasi acuan (reference population).grafik pertumbuhan menyediakan acuan grafik pertumbuhan anak antara persentil -5 dan 95, dan sekarang persentil -3 dan 97. Grafik pertumbuhan dengan persentil -5 dan 95 masih digunakan untuk skrining dan follow-up anak sehat, sedangkan growth chart dengan persentil -3 dan 97 digunakan untuk anak dengan penyakit kronis atau dengan risiko pada status gizi. Persentil BB menurut umut (BB/U) dan TB menurut umur (TB/U) juga dapat digunakan untuk skrining malnutrisi. 20
Persentase BB ideal, sesuai dengan Tb dan BB menurut umur, seringkali digunakan sebagai penanda wasting (kurus) maupun obesitas. Persentil TB
Universitas Sumatera Utara
34
menurut umur dianggap cukup untuk menilai status gizi jangka panjang dan digunakan untuk skrining anak sehat dengan perawakan pendek (stunting). Tinggi badan menurut umur diinterpretasikan sebagai berikut: pendek (<persentil -3), normal (-3 sampai 97), dan tinggi (.persentil -97) 20
b. Berat Badan merurut Tinggi Badan
Berat badan secara relatif dengan TB (BB/TB) memberi berbagai informasi akan pertumbuhan dan status gizi pada seorang anak dibandingkan dengan hanya salah satu dari BB menurut umur maupun TB menurut umur. Berat badan menurut TB lebih akurat dalam menetapkan dan mengklasifikasikan status gizi pada seorang anak. Pada anak berusia 0 sampai 6 tahun BB/TB paling sering dinilai dengan menentukan sebuah persentil di grafik pertumbuhan CDC. Berat menurut TB diinterpretasikan sebagai berikut: BB kurang (< persentil -5), BB normal ( persentil -5 sampai 95), dan BB lebih (> persentil 95). Berat badan menurut TB juga dipakai untuk skrining klasifikasi malnutrisi energi protein. 20
Indeks massa tubuh (IMT) juga merupakan pengukuran BB/TB. Pada grafik pertumbuhan CDC tersedia IMT untuk umur dan jenis kelamin mulai umur 2 sampai dengan 20 tahun. Karena BB dan TB anak berubah dari waktu ke waktu maka titik potong IMT untuk mendiagnosis obesitas tidak menggunakan nilai absolut IMT (contoh: IMT ≥ 30), tetapi menggunakan persentil IMT dalam menginterpretasikannya. 20
Grafik Pertumbuhan
Terdapat berbagai grafik pertumbuhan baik untuk anak normal, bayi prematur maupun grafik pertumbuhan khusus seperti anak dengan sindrom down. Beberapa jenis grafik pertumbuhan tersedia untuk membandingkan BB, TB dan LK dalam suatu populasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Berat badan juga dikaji dan dibandingkan dengan TB (BB/TB, BB/TB2 atau IMT). 20
Grafik Pertumbuhan Anak Normal
a. Grafik pertumbuhan CDC 2000
Pada tahun 2000, Centre for Disease Control (CDC) dan National Centre for Health Statistic (NCHS) di Amerika Serikat menerbitkian grafik pertumbuhan yang telah direvisi dari grafik pertumbuhan sebelumnya (NCHS) yang disebut
Universitas Sumatera Utara
35
grafik pertumbuhan CDC. Perubahan dari grafik pertumbuhan NCHS tahun 1977 termasuk: 20
1. Grafik IMT (kg/m2) untuk anak lelaki dan perempuan (umur 2 sampai
20 tahun
2. Persentil ke -3 dan ke -97 untuk semua jenis grafik dan persentil ke -85
untuk BB/TB ndan grafik IMT menurut umur
3. Grafik TB untuk transisi dari pengukuran PB menjadi TB
4. Penambahan kisaran umur dari 18 tahun menjadi 20 tahun
5. Penggunaan kombinasi pola pertumbuhan dari bayi yang diberi susu
formula dan air susu ibu untuk sebagai referensi pola pertumbuhan.
Grafik-grafik ini tersedia untuk anak lelaki dan perempuan mulai umur 0
sampai 36 bulan untuk BB, PB, dan LK. Disamping itu juga grafik berdasarkan
umur dan BB/TB mulai umur 2 sampai 20 tahun untuk BB, TB, dan IMT menurut
umur dan BB/TB. 20
Universitas Sumatera Utara
36
Gambar 2.13.1. Grafik persentil BB menurut umur dan TB menurut umur
dari CDC 2000.20
b. Grafik pertumbuhan WHO 2006
Pada tahun 2006 Badan Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan grafik pertumbuhan terbaru berdasarkan studi antropometri yang dilakukan di beberapa negara maju dan negara berkembang. Standar referensi 2006 yang baru ini mempunyai PB/TB menurut umur, BB menurut umur, BB/TB, dan IMT menurut umur dari lahir sampai usia 60 bulan. Terdapat perbedaan antara grafik pertumbuhan CDC tahun 2000 dengan grafik pertumbuhan WHO tahun 2006 grafik pertumbuhan CDC merefleksikan subjek penelitian yang lebih berat dan lebih pendek dari grafik WHO, sehingga menyebabkan prevalens kasus gizi kurang yang lebih sedikit (kecuali dalam 6 bulan pertama kehidupan), dan penemuan jumlah kasus kelebihan BB yang lebih besar (saat dibandingkan dengan standar WHO).20
Perbedaan metodologi dan jumlah subjek yang diambil pada umur muda dalam pembuatan grafik pertumbuhan WHO bila dibandingkan dengan grafik pertumbuhan CDC mengakibatkan anak-anak sehat yang diberi ASI mengikuti garis pertumbuhan sesuai dengan BB menurut Z-scores umur rerata pada grafik WHO, namun tampak seperti pertumbuhannya terganggu pada grafik CDC, mulai dari umur 2 bulan dan seterusnya. Beberapa perbedaan penting lainnya dengan melihat grafik BB/TB; grafik pada grafik WHO mulai lebih cepat dan lebih panjang dibandingkan grafik CDC. Simpulannya, grafik pertumbuhan WHO tampaknya dapat mengikuti pola perubahan pertumbuhan yang cepat berubah pada bayi. 20
Gambar 2.13.2. Grafik BB menurut PB dari WHO 2006. 11
Universitas Sumatera Utara
37
Grafik Pertumbuhan Bayi Prematur
Pengukuran pertumbuhan dicatat berdasarkan umur gestasi yang telah dikoreksi ke awal 12 bulan pertama kehidupan. Dalam praktek klinik, penggunaan umur gestasi yang telah dikoreksi dapat berlanjut selama 24 sampai 36 bulan, tergantung dari ukuran dan pertumbuhan anak. Grafik untuk BB, TB dan LK yang telah dibuat menampilkan interval umur mingguan serta persentil 3 sampai 97 pertumbuhan. Setelah bayi prematur mencapai umur 40 minggu yang telah dikoreksi untuk umur gestasi, disarankan untuk memonitor pertumbuhan dengan menggunakan grafik pertumbuhan CDC yang baru. 20
Bayi bekas lahir prematur dicatat dan ditelusuri dalam grafik ini berdasarkan umur mereka yang telah dikoreksi dengan umur gestasinya. Disamping itu untuk memantau pertumbuhan bayi berat lahir rendah dan bayi berat lahir sangat rendah dapat digunakan grafik pertumbuhan Infant Health and Development Program (IHDP) dan tabel pertumbuhan National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) Neonatal Research Network Growth Observational Study. Grafik-grafik ini menampilkan perbandingan antara pertumbuhan bayi prematur dengan berat badan rendah atau berat badan sangat rendah dengan dua populasi referensi dari bayi-bayi yang serupa. 20
Gambar 2.13.3. Grafik pertumbuhan janin-bayi untuk bayi prematur.20
Universitas Sumatera Utara
38
Grafik Pertumbuhan Khusus
Pada saat ini telah tersedia beberapa grafik pertumbuhan untuk anak yang mengalami kelainan/penyakit tertentu seperti akondoplasia, sindrom Brachmann-de Lange, cerebral palsy, sindrom down, sindrom marfan, sindrom sindrom-russel, dan lain-lain. Untuk grafik sindrom down dapat digunakan untuk memantau pertumbuhan BB dan TB menurut umur untuk anak lelaki dan perempuan mulai umur 0 sampai 36 bulan, disamping untuk anak usia 2 sampai 18 tahun. Grafik ini dibuat berdasarkan subjek penelitian besar dari anak dengan sindrom down. Pada keadaan tertentu disarankan untuk membandingkan pertumbuhan penyakit dengan grafik pertumbuhan. 20
Gambar 2.13.4. Grafik pertumbuhan khusus sindrom Russel-Silver. 20
Universitas Sumatera Utara
39
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif
dengan Status Gizi Bayi
3.2. Variabel dan Definisi Operasional
3.2.1. Variabel Independen
No. Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur1. Pengetahuan Ibu :
pengetahuan wanita yang sedang dalam menyusui tentang ASI eksklusif seperti definisi ASI eksklusif, manfaat ASI eksklusif, dan lain-lain
Wawancara Kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan.
Baik : total skor 28-40 (≥ 70%)
Kurang Baik : total skor ≤ 27 (< 70%)
Skala Ordinal
2. Karakteristik Ibu adalah keadaan demografi Ibu yang mencakup usia Ibu, pendidikan Ibu,
Wawancara Kuesioner yang terdiri dari 4 pertanyaan
- -
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan Ibu
Karakteristik Ibu
Praktik Pemberian ASI
Pemberian ASI Eksklusif
Status Gizi Bayi
40
pekerjaan Ibu, dan jumlah anak
3. Praktik Pemberian ASI mencakup tentang pemberian ASI eksklusif, frekuensi pemberian ASI, durasi pemberian ASI, waktu antara pemberian ASI
Wawancara Kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan
Praktik Pemberian ASI:- Baik- Kurang Baik
Pemberian ASI Eksklusif:- Ya - Tidak
Skala ordinal
3.2.2. Variabel Dependen
No. Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur1. Status gizi bayi adalah
keadaan tubuh bayi sebagai akibat konsumsi makanan yang ditentukan dengan antropometri yang menggunakan indikator berat badan, panjang badan, dan umur (Almatsier, 2000)
Mengukur Berat Badan (BB) dalam kg dan Panjang Badan (PB) dalam cm kemudian hasil pengukuran diplot ke dalam WHO-NCHS Growth Charts sesuai dengan jenis kelamin dan umur bayi
Menggunakan timbangan bayi untuk mengukur Berat Badan (BB) bayi dan meteran kain untuk mengukur Panjang Badan (PB) bayi
Klasifikasi status gizi menurut WHO-NCHS:
Gizi lebih: bila nilai Z score ≥ +2 SD
Gizi baik: bila nilai Z score terletak antara -2 SD ≤ Z < +2 SD
Gizi kurang: bila nilai Z score terletak antara 3 SD ≤ Z < -2 SD
Gizi buruk: bila nilai Z score < -3 SD
Skala Ordinal
3.3. Hipotesis
Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan antara
pemberian ASI eksklusif dengan status gizi bayi.
Universitas Sumatera Utara
41
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
analitik yang akan menilai hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan
status gizi bayi usia 0-6 bulan. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian
ini adalah cross sectional study. Penelitian analitik merupakan penelitian yang
mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi dan
melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena atau antara faktor risiko
dengan faktor efek. Cross sectional study adalah suatu penelitian untuk
mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan
cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat
(point time approach) (Notoatmodjo, 2010).
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November s.d. Desember 2014.
4.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan Medan Amplas.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti.9
Populasi pada penelitian ini adalah ibu yang sedang dalam masa menyusui dan
bayinya yang berusia 0-6 bulan yang berjumlah.
Universitas Sumatera Utara
42
4.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari seluruh objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi penelitian.9 Teknik penarikan sampel yang digunakan
adalah teknik consecutive sampling, yaitu penarikan sampel berdasarkan kriteria-
kriteria yang telah ditetapkan.9 Sampel yang diambil pada penelitian ini harus
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, yaitu:
Kriteria inklusi:
- Bersedia mengikuti penelitian
- Ibu yang sedang dalam masa menyusui
- Bayi yang berusia 0-6 bulan
Kriteria eksklusi:
- Ibu yang memiliki penyakit yang tidak memungkinkan untuk
menyusui
- Bayi yang memiliki penyakit bawaan lahir
Jumlah sampel pada penelitian ini ditentukan dengan teknik total sampling.9
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan jenis data primer. Data primer adalah data
yang diperoleh langsung dari sumber data. Data primer penelitian ini
dikumpulkan melalui pemeriksaan fisik dan wawancara. Pertama, responden bayi
dilakukan pemeriksaan fisik, yaitu pengukuran berat badan dengan menggunakan
timbangan bayi serta panjang badan dengan menggunakan meteran kain.
Kemudian ibu dari bayi diwawancara dengan menggunakan media kuesioner.
4.5. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari jawaban kuesioner responden akan diolah
dengan menggunakan program komputer dengan tahap-tahap sebagai berikut9:
Universitas Sumatera Utara
43
1. Editing
Mengecek nama dan kelengkapan identitas responden serta memastikan
bahwa semua jawaban telah diisi dengan lengkap.
2. Coding
Memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah
tabulasi dan analisa data.
3. Entry
Memasukkan data ke dalam program komputer dengan menggunakan
program SPSS versi 17.0.
4. Cleaning
Melakukan pembersihan data dengan cara mengecek kembali data yang
telah di-entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.
Setelah tahap-tahap pengolahan data selesai, selanjutnya dilakukan
analisis bivariat terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi.
Dalam analisis bivariat ini dilakukan beberapa tahap, antara lain9:
1. Analisis proporsi atau persentase
Dengan membandingkan distribusi silang antara dua variabel yang
bersangkutan.
2. Analisis dari hasil uji statistik
Dengan menggunakan uji chi square dan melihat hasil uji statistik
hubungan antara dua variabel tersebut bermakna atau tidak bermakna.
3. Analisis keeratan hubungan antara dua variabel tersebut
Dengan melihat nilai Odds Ratio (OR). Besar kecilnya nilai OR
menunjukkanbesarnya keeratan hubungan antara dua ariable yang diuji.
Universitas Sumatera Utara
44
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Guiding Principles on Feeding Nonbreastfed
Children 6 to 24 Months of Age. Geneva: World Health Organization.2005.
2. Ministry of Health (MOH) [Indonesia]. Balanced Nutrition for Under Five Healthy Living Children. Jakarta, Indonesia: MOH.2002
3. Titi, S., Sekartini, R., Soedjatmiko, Gunardi, H., and Wawolumaya, C.. Knowledge and Behavior of Mothers About the Way of Suckling Their Babies, Paediatrica Indonesiana, 2002; 42(9-10), September –
October, pp.201-204.
4. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2013. (diunduh 26 November
2014) Tersedia dari http :// www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KESEHATAN_INDONESI IA_2013.pdf
6. Fikawati, S. and Syafiq, A. Praktik Pemberian ASI Eksklusif, Penyebab-
Penyebab Keberhasilan dan Kegagalannya, Jurnal Kesmas Nasional, 2009; 4(3), pp.120-131.
7. Dinkes Provinsi Sumatera Utara. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2012.(diunduh 26 November 2014) Tersedia dari : http://id.scribd.com/doc/230256418/02-Profil-Kes-Prov- sumateraUtara-2012
8. Anggrita, Kiki. Hubungan Karakterisitk Ibu Menyusui Terhadap Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Amplas Tahun 2009. 2009 (diunduh 28 Oktober 2011). Tersedia dari
9. Kemenkes. Riset Kesehatan Dasar: Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013
10. Notoatmodjo, S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2003.
11. World Health Organization. Exclusive Breastfeeding, Geneva: World Health Organization. 2012. Available from: http://www.who.int/nutrition/ topics/exclusive_breastfeeding/en/ index.htm. [Accesed 20 November 2014].
12. Wardlaw, G.M., Hampl, J.S. and Disilvestro, R.A. Perspectives in Nutrition. 6th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2004.
13. Nelson, W.E., Behrman, R.E., Kliegman, R. and Arvin, A.M. Nelson Textbook of Pediatrics. 15th ed. Philadelphia,Pennsylvania: W.B. Saunders Company. 1996.
14. Brown, J.E. Nutrition and Pregnancy : a Complete Guide from Preconception to Postdelivery. Illinois: NTC / Contemporary Publishing Group, Inc. 1998.
15. Sulistyawati, A. Buku Ajar Kebidanan Masa Nifas, Yogyakarta: Andi. 2009.
17. Tortora, G.J. and Derrickson, B.H. Principles of Anatomy and Physiology. Asia: John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd. 2009.
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Jakarta. Bedah ASI – Kajian dari Berbagai Sudut Pandang Ilmiah. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008.
19. Irawati, et al. Status gizi anak balita. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.. 2013.
20. Hendarto, A. and Sjarif, D.R. Anttropometri Anak dan Remaja. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.