1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi masih cukup rawan terutama pada pasien yang mengalami gangguan dalam pencernaan, dimana kondisi masyarakat tersebut banyak yang kekurangan gizi atau gizi buruk. Gizi buruk / gizi kurang sering terjadi karena makanan yang tidak seimbang, terutama dalam hal protein. Kekurangan protein juga akan menimbulkan penyakit, seperti kwashiorkor, marasmus, dan obesitas. Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh setelah air (Alimul H, A. Aziz.2009). Protein tersusun atas senyawa organik yang mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Unsur nitrogen (N) adalah ciri protein yang membedakan dari karbohidrat dan lemak. Protein merupakan bahan baku sel dan jaringan karena merupakan komponen penting dari otot, kulit, dan tulang. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak
pada pasien pasca bedah dibutuhkan protein dan zat besi untuk membantu proses penyembuhan luka. gambaran konsumsi protein dan zat besi pasien pasca bedah digestif.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah gizi masih cukup rawan terutama pada pasien yang
mengalami gangguan dalam pencernaan, dimana kondisi masyarakat
tersebut banyak yang kekurangan gizi atau gizi buruk. Gizi buruk / gizi
kurang sering terjadi karena makanan yang tidak seimbang, terutama
dalam hal protein. Kekurangan protein juga akan menimbulkan
penyakit, seperti kwashiorkor, marasmus, dan obesitas. Protein adalah
bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh
setelah air (Alimul H, A. Aziz.2009).
Protein tersusun atas senyawa organik yang mengandung unsur-
unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Unsur nitrogen (N)
adalah ciri protein yang membedakan dari karbohidrat dan lemak.
Protein merupakan bahan baku sel dan jaringan karena merupakan
komponen penting dari otot, kulit, dan tulang. Protein mempunyai fungsi
khas yang tidak dapat digantikan oleh zat kimia lain, yaitu membangun
serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Protein merupakan zat gizi
yang paling penting, karena yang paling erat hubungannya dengan
proses kehidupan. Didalam sel protein terdapat protein struktural
maupun protein metabolik, molekul protein mengandung unsur-
unsur C,H,O dan unsur khusus yang terdapat didalam protein dan tidak
terdapat didalam molekul karbohidrat maupun lemak yaitu nitrogen (N).
Protein adalah senyawa kompleks yang tersusun atas unsur-unsur C,
2
H, O dan N, namun demikian ada pula protein yang mengandung unsur
S dan P. Setiap sel yang hidup tersusun oleh protein, protein
merupakan bahan pembangun tubuh yang utama (Almatsier, S. 2009).
Pada kasus pembedahan digestif akan mengalami hambatan
dalam proses absorbsi makanan terutama protein sehingga kebutuhan
protein perlu diperhatikan. Fungsi protein didalam tubuh sangat erat
hubungannya dengan kehidupan sel, selain itu, protein juga berfungsi
sebagai zat pertahanan tubuh melawan berbagai mikroba dan zat
toksik lain yang datang dari luar dan masuk kedalam lingkungan
internal tubuh. Protein juga sebagai zat pengatur proses-proses
metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon. Protein dalam bahan
makanan yang dikonsumsi manusia akan diserap oleh usus dalam
bentuk asam amino, protein mengandung asam amino essensial dan
non essensial (Alimul H, A. Aziz, 2009).
Kebutuhan protein untuk orang dewasa adalah 1 gram/kg.BB/hari
dan untuk pasien yang mengalami stress fisik, infeksi berat,
pembedahan maka kebutuhan proteinya ditambah sepertiga
kebutuhan. Jika kebutuhan tersebut berlebih, maka kelebihannya akan
dibuang melalui ginjal dalam bentuk urea, inilah yang disebut Nitrogen
Balans (Murwani, 2010).
Kebutuhan zat besi tergantung kepada jenis kelamin dan umur,
kecukupan yang dianjurkan untuk laki-laki dewasa sebesar 13 mg/hari
dan wanita dewasa sebesar 26 mg/hari. Zat besi dalam makanan dapat
berasal dari sumber nabati dengan ketersediaan hayati 2-3% dan
pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sumber
energi (Almatsier, S. 2009).
c. Kebutuhan protein
Memperkirakan kebutuhan protein dapat dilakukan secara
sederhana dengan pemeriksaan balans nitrogen. Pada orang
dewasa yang sehat umumnya terdapat keseimbangan nitrogen
sedangkan dalam keadaan sakit yang berat atau kronis, akan
terdapat balans nitrogen yang negatif (Hartono A, 2006).
Kebutuhan protein dalam kondisi sakit dengan
mempertimbangkan faktor stres tertera dalam tabel berikut:
Tabel 1. Perkiraan Kebutuhan Protein
Tingkat stres Kebutuhan protein (g/kg BB Ideal/hari
AKG 0,8Stres ringanPembedahan elektifInfeksi lokalDemam derajat rendah
1-1,2
Stres sedangKesembuhan pasca bedah yang lambatPankreatitisDemam yang bermakana (>39oC)Pembedahan
1,5-1,75
Stres beratTransplantasi sum-sum tulangLuka bakarSakit yang kritisMultitraumaPembedahan dengan malnutrisi prabedahInfeksi sistemik/sepsis
1,5-2,0
Sumber: Hartono, A. 2006.
16
Dalam keadaan normal, tubuh akan menggunakan protein
sebagai sumber energi pada dua keadaan: 1) asupan energi
dari karbohidrat dan lemak yang tidak mencukupi kebutuhan,
dan 2) asupan protein yang berlebihan. Pada pasien bedah,
penggunaan protein sebagai sumber energi terjadi karena
perubahan dalam metabolisme karbohidrat dan lemak.
Kebutuhan protein bisa diukur berdasarkan rasio kalori:nitrogen
150:1 untuk terapi diet yang standar, sedangkan untuk pasien
bedah dapat digunakan rasio 75-100:1 asalkan fungsi ginjalnya
normal (Hartono, A. 2006).
4. Zat Besi (Fe)
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di
dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di
dalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi
esensial di dalam tubuh:sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru
ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan
sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan
tubuh (AlmatsierS,2009).
a. Absorpsi, transportasi dan penyimpanan besi (Fe)
Tubuh sangat efisien dalam penggunaan besi, sebelum
diabsorpsi, di dalam lambung besi dibebaskan dari ikatan
organik, seperti protein. Sebagian besar besi dalam bentuk feri
direduksi menjadi bentuk fero. Hal ini terjadi dalam suasana
17
asam di dalam lambung dengan adanya HCl dan vitamin C yang
terdapat di dalam makanan (Almatsier S, 2009).
Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus halus
(duodenum) dengan bantuan alat angkut protein khusus. Ada
dua jenis alat angkut-protein di dalam sel mukosa usus halus
yang membantu penyerapan besi, yaitu transferin dan feritin.
Transferin, protein yang disintesis di dalam hati, terdapat dalam
dua bentuk.Transferin mukosa mengangkut besi dari saluran
cerna ke dalam sel mukosa dan memindahkannya ke transferin
reseptor yang ada di dalam sel mukosa. Transferin mukosa
kemudian kembali ke rongga saluran cerna untuk mengikat besi
lain, sedangkan transferin reseptor mengangkut besi melalui
darah untuk dibawa ke semua jaringan tubuh. Dua ion feri
diikatkan pada transferin untuk dibawa ke jaringan-jaringan
tubuh. Banyaknya reseptor transferin yang terdapat pada
membran sel bergantung pada kebutuhan tiap sel. Kekurangan
besi pertama dapat dilihat pada tingkat kejenuhan transferin
(Almatsier S,2009).
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi-hem seperti
terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan
besi-nonhem dalam makanan nabati. Besi-hem diabsorpsi ke
dalam sel mukosa sebagai kompleks porfirin utuh. Cincin porfirin
di dalam sel mukosa kemudian dipecah oleh enzim khusus
(hemoksigenase) dan besi dibebaskan. Besi-hem dan nonhem
18
kemudian melewati alur yang sama dan meninggalkan sel
mukosa dalam bentuk yang sama dengan menggunakan alat
angkut yang sama. Absorpsi besi-hem tidak banyak dipengaruhi
oleh komposisi makanan dan sekresi saluran cerna serta oleh
status besi seseorang. Besi-hem hanya merupakan bagian kecil
dari besi yang diperoleh dari makanan (kurang lebih 5% dari besi
total makanan), terutama di Indonsia, namun yang dapat
diabsorpsi dapat mencapai 25% sedangkan nonhem hanya 5%
(Almatsier S, 2009).
Agar dapat diabsorpsi, besi-nonhem di dalam usus halus
harus berada dalam bentuk terlarut. Besi-nonhem diionisasi oleh
asam lambung, direduksi menjadi bentuk fero dan dilarutkan
dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula dan asam
amino yang mengandung sulfur. Pada suasana pH hingga 7 di
dalam duodenum, sebagian besar besi dalam bentuk feri akan
mengendap, kecuali dalam keadaan terlarut seperti disebutkan
diatas. Besi fero lebih mudah larut pada pH 7, oleh karena itu
dapat diabsorpsi (Almatsier S, 2009).
Taraf absorpsi besi diatur oleh mukosa saluran cerna yang
ditentukan oleh kebutuhan tubuh. Transferin mukosa yang
dikeluarkan kedalam empedu berperan sebagai alat angkut
protein yang bolak-balik membawa besi ke permukaan usus
halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga
saluran cerna untuk mengangkut besi lain. Sel mukosa besi
19
dapat mengikat apoferitin dan membentuk feritin sebagai
simpanan besi sementara dalam sel. Sel mukosa apoferitin dan
feritin membentuk pool besi (Almatsier, S, 2009).
b. Peran besi (Fe) dalam Hemoglobin
Sebagai suatu senyawa yang berperan dalam pengikatan
dan pelepasan oksigen, hemoglobin bukanlah senyawa yang
hanya berupa protein saja. Hemoglobin merupakan suatu protein
yang kompleks, yang tersusun dari protein globin dan suatu
senyawa bukan protein yang dinamai hem. Hem adalah suatu
senyawa yang tersusun dari suatu senyawa lingkar yang
bernama porfirin, yang bagian pusatnya ditempati oleh logam
besi (Fe). Jadi, hem adalah senyawa porfirin besi (Fe-porfirin),
sedangkan hemoglobin adalah kompleks antara globin-hem.
Satu molekul hem mengandung 1 atom besi, demikian pula 1
protein globin hanya mengikat 1 molekul hem. Sebaliknya, 1
molekul hem terdiri atas 4 buah kompleks molekul globin dengan
hem.Jadi, dalam tiap molekul hemoglobin terkandung 4 atom
besi (Sadikin, M. 2001).
Besi yang berada di dalam molekul hemoglobin sangat
penting untuk menjalankan fungsi pengikatan dan pelepasan
oksigen. Sebenarnya, hanya dengan molekul besi yang ada di
dalam hemoglobin itulah oksigen diikat dan dibawa. Bila terjadi
kekurangan besi, jumlah hemoglobin akan berkurang pula. Hal
ini tampak jelas, misalnya dalam keadaan kekurangan
20
(defisiensi) besi, yang menimbulkan keadaan kurang darah atau
anemia, yang lebih tepat disebutkan sebagai kekurangan
hemoglobin (Sadikin, M. 2001).
5. Status Gizi
Status gizi (Nutrition Status) merupakan ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan
dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2002).
a. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi
empat penilaian yaitu antropometri, fisik klinis, dan biokimia.
1) Penilaian Antropometri
Penilaian antropometri yaitu suatu metode penilaian
status gizi dengan cara menilai ukuran tubuh manusia.
Ukuran tubuh manusia sangat erat kaitannya dengan status
gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidak seimbangan asupan protein dan gizi. Ketidak
seimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan
proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air
dalam tubuh. Atas dasar hal tersebut, ukuran-ukuran
antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat
diandalkan bagi penentuan status gizi (Wahyuningsih,
Retno, 2013).
Evaluasi hasil pengukuran antropometri yaitu dengan
cara membandingkan hasil yang diperoleh dengan
21
reference values atau dengan menggunakan angka
pembatas/cut off points (Wahyuningsih, Retno, 2013).
2) Pengukuran Berat Badan
Berat badan adalah salah satu parameter yang
memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat
sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak.
Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat
labil. Dalam keadaan normal, dimana kesehatan baik dan
keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi
terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan
umur. Sebaliknya, dalam keadaan yang abnormal, terdapat
2 kemungkinan perubahan berat badan, yaitu dapat
berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal
(Anggraeni,2012).
a) Pengukuran berat badan pada orang normal
Dalam pengukuran berat badan pada orang normal, alat
yang biasa digunakan yaitu timbangan injak. Timbangan
injak biasa digunakan untuk mengetahui berat badan
pada orang normal remaja dan dewasa
(Anggraeni,2012).
22
b) Perkiraan Berat Badan Ideal (BBI)
Tabel 2. Rumus Berat Badan Ideal dalam
Wahyuningsih, Retno 2013.
Usia Rumus Berat Badan ideal0-11 Bulan
DBW = atau + 3 s/d 4
(n adalah usia dalam bulan)DBW = Desirable Body Weight/Berat badan yang diinginkan
1-6 tahun BBI = 2n+8 (n adalah usia dalam tahun)
7-12 tahunBBI = (n adalah usia dalam tahun)
>12 tahun Rumus Brocca:BBI = (TB-100) – 10% atau 0,9 x (TB-100)Apabila tinggi badan (TB) pasien wanita <150 cm, dan apabila tinggi badan (TB) pasien pria < 160 cm, maka menggunakan rumus modifikasi Brocca: BBI= (TB - 100) x 1 kg)
3) Pengukuran Tinggi Badan
Tinggi/panjang badan merupakan salah satu parameter
yang dapat melihat keadaan status gizi sekarang dan
keadaan yang telah lau. Pertumbuhan tinggi/panjang badan
tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif pada
masalah kekurangan gizi dalam waktu singkat. Pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap tinggi/panjang badan akan
nampak dalam waktu yang relatif lama.
Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan alat
pengukur tinggi badan yaitu microtoise (mikrotoa) yang
mempunyai ketelitian 0,1 cm(Murwani, 2010).
23
4) Penentuan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari
perhitungan antara berat badan dibandingkan dengan tinggi
badan. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang
dewasa berumur diatas 18 tahun. IMT tidak dapat
diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan
olahragawan. Disamping itu, IMT juga tidak bisa diterapkan
pada keadaan khusus (penyakit) seperti adanya oedema,
ascites, dan hepatomegali.
Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
IMT =
Kriteria penilaian IMT untuk orang Eropa, Asia, dan
Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Kriteria penilaian IMT untuk orang Eropa, Asia, dan Indonesia
Eropa Asia IndonesiaStatus Gizi IMT
(kg/m2)Status Gizi IMT
(kg/m2)Status Gizi IMT
(kg/m2)KurusNormalKegemukanPre ObesObes IObes IIObes III
≤18,518,5-24,9≥2525,0-29,930,0-34,935,0-39,9≥40
BB KurangBB NormalBB LebihDengan ResikoObes IObes II
<18,518,5-22,9≥23,023,0-24,9
25,0-29,9>30
Kurus SekaliKurusNormalGemukGemuk Sekali
<17,017,0-18,418,5-25,025,1-27,0>27,0
Sumber: WHO,1995 Sumber: WHO/WPR/IASO/ IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its Treatment
Sumber: Depkes RI, 2003
24
(Wahyuningsih, Retno 2013)
5) Penilaian Fisik dan Klinis
Penilaian fisik yaitu suatu metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan),
dan melihat perubahan struktur dan jaringan. Penilaian
klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai
status gizi masyarakat, dimana didasarkan atas perubahan-
perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan
epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata,
rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang
dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid
(Wahyuningsih, Retno 2013).
Penggunaan metode ini umumnya untuk survey klinis
secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan
salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan
untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan
melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala
(symptom) atau riwayat penyakit.Evaluasi hasil pengukuran
fisik dan klinis yaitu dengan cara membandingkan hasil
yang diperoleh dengan reference values atau dengan
menggunakan angka pembatas/ cut off points untuk
beberapa pemeriksaan pada klinis misalnya pada
25
pemeriksaan tekanan darah, suhu, nadi, dan pernafasan
(Wahyuningsih, Retno, 2013).
6) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah penilaian
status gizi dengan cara melakukan pemeriksaan spesimen
yang diuji secara labolatoris yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh, antara lain darah, urin, tinja dan
juga berbagai jaringan tubuh seperti hati dan otot
(Wahyuningsih, Retno, 2013).
Evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium yaitu dengan
cara membandingkan hasil yang diperoleh dengan
reference values atau dengan menggunakan angka
pembatas/cut off points(Murwani, 2010).
7) Penilaian konsumsi makan
Penilaian konsumsi makan yaitu suatu metode
penentuan status gizi secara tidak langsung dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi, sehingga
dapat memberikan gambaran tentang konsumsi zat gizi
pasien apakah dalam kondisi kekurangan atau kelebihan
zat gizi (Wahyuningsih, Retno, 2013).
Metode yang digunakan dalam penilaian konsumsi
makan pasien yaitu:
a) Metode recall 24 jam
b) Metode pencatatan perkiraan makanan
26
c) Food frequency questionaire/FFQ (Kuesioner frekuensi
makanan)
d) Food Weighing method (Metode penimbangan
makanan)
Metode penimbangan makanan ini bertujuan untuk
menentukan seberapa banyak makanan atau minuman
yang benar-benar dikonsumsi oleh seseorang atau
sekelompok masyarakat. Dalam metode ini, petugas
menimbang dan mencatat seluruh makanan yang
dikonsumsi pasien selama 1 (satu) hari (Widajanti,
Laksmi, 2009).
Dalam kasus tertentu dengan pendekatan pengambilan
data makanan di suatu institusi atau tempat kerja, maka
metode ini sangat membantu dalam menetapkan
konsumsi zat gizi seseorang atau masyarakat secara
tepat, termasuk dalam hal ingin menghubungkan
asupan zat gizi dengan biomarker tertentu (Widajanti,
Laksmi, 2009).
e) Dietary history method (Metode riwayat makanan)
f) Visual plate waste/comstock
27
B. KERANGKA KONSEP
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Konsep
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang diteliti
: Hubungan yang tidak diteliti
(Almatsier S, 2009).
konsumsi makanan
Faktor-faktor
penyebab :
a. Infeksi
b. Penyakit kronik
c. Genetik
d. Trauma/ injuri
Konsumsi Protein
Konsumsi zat besi
Bedah digestive: Status Gizi
28
C. ALUR PENELITIAN
Bedah Digestive
a. Herniab. Appendicitisc. Trauma
abdomend. Illeus
obstruktif
Status Gizi
Jenis Penyakit
Sebelum Pembedahan
Setelah Pembedahan
1. Zat Gizi Makro (Protein)
2. Zat Gizi Mikro (Fe)
1. Zat Gizi Makro (Protein)
2. Zat Gizi Mikro (Fe)
Status Gizi
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di ruang rawat inap pasien
pasca bedah digestif yaitu Ruang Perawatan Rumah Sakit Umum
Kota Mataram. Jumlah pasien yang menjalani pembedahan digestif
pada bulan Januari sampai Desember tahun 2014 di Rumah Sakit
Umum Kota Mataram yaitu sebanyak 204 orang.
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai
dengan Mei tahun 2015.
B. Rancangan penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif observasional dengan pendekatan survei yang ingin
memberikan gambaran mengenai konsumsi protein dan Fe pada
pasien bedah digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram.
C. Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau subyek yang
diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien bedah digestif yang dirawat inap di Rumah Sakit
Umum Kota Mataram yang tercatat pada bulan Maret sampai
dengan Mei tahun 2015.
30
2. Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel
dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan
pertimbangan atau kriteria tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
berdasarkan karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya.
Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Pasien pra bedah digestif yang dirawat inap dan masih
mendapatkan diet oral.
2) Pasien pasca bedah digestif yang dirawat inap dan mulai
mendapatkan diet oral.
3) Pasien bersedia menjadi sampel penelitian.
D. Data yang dikumpulkan
1) Data primer
a. Data identitas sampel yang meliputi umur dan jenis kelamin
b. Data antropometri sampel yang meliputi berat badan dan tinggi
badan untuk pasien yang bisa diukur dengan berdiri,
sedangkan untuk pasien yang tidak bisa diukur dengan berdiri
dilakukan pengukuran LILA dan panjang depa untuk
memperikan berat badan dan tinggi badannya. Data
antropometri ini akan digunakan untuk menentukan status gizi
sampel dan data berat badan akan digunakan untuk
menghitung kebutuhan Protein dan Fe sampel.
31
c. Konsumsi protein dan Fe sampel
2) Data sekunder
a. Gambaran umum lokasi penelitian
b. Data jumlah sampel di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB dan
Rumah Sakit Umum Kota Mataram.
c. Data catatan medik sampel meliputi: jenis pembedahan, jenis
pengobatan dan hasil pemeriksaan laboratorium.
E. Cara Pengumpulan Data
1. Data primer
a. Data identitas sampel yang meliputi umur dan jenis kelamin
diperoleh dengan melakukan wawancara langsung pada sampel
dengan alat bantu form identitas.
b. Data antropometri dikumpulkan dengan cara :
1) Pengukuran pada pasien yang bisa diukur secara berdiri,
meliputi:
a) Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan
timbangan digital dengan ketelitian 0,1 kg.
b) Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan
mikrotoa (microtoise) dengan ketelitian 0,1 cm
2) Pengukuran pada pasien yang tidak bisa diukur secara
berdiri, meliputi:
a) Pengukuran LILA dilakukan dengan menggunakan Pita
LILA dengan ketelitian 0,1 cm.
32
b) Pengukuran Panjang Depa dilakukan dengan
menggunakan metline dengan ketelitian 0,1 cm.
c. Data konsumsi protein dan Fe sampel diperoleh dengan cara
melakukan food weighing (penimbangan makanan) Metode
penimbangan makanan dilakukan untuk memperoleh data
konsumsi yang lebih akurat dan teliti sehingga diketahui
seberapa banyak makanan atau minuman yang benar-benar
dikonsumsi oleh sampel.
Tahapan pelaksanaan metode penimbangan makanan yaitu:
1) Peneliti menimbang makanan dan minuman sampel sebelum
makan.
2) Setelah selesai makan dan minum sisa makanan dan
minuman ditimbang kembali. Selisih makanan dan minuman
awal adalah berat makanan yang dikonsumsi.
3) Hasil penimbangan dicatat dalam lembar kuesioner
penimbangan makanan yang telah dipersiapkan.
Penimbangan makanan dilakukan selama 2 hari setiap kali
pasien mengkonsumsi makanan dan minuman.
(Catatan : Bagi pasien mendapatkan nutrisi parenteral dan
suplementasi yang dapat meningkatkan konsumsi protein dan Fe
dicatat jenis dan jumlah nutrisi parenteral dan suplementasi yang
diberikan).
2. Data sekunder
33
a. Data gambaran umum Rumah Sakit Umum Kota Mataram
diperoleh dengan cara mencatat dari profil rumah sakit yang
kemudian dicatat pada log book penelitian.
b. Data jumlah sampel di Rumah Sakit Umum Kota Mataram
diperoleh dengan cara mencatat dari data rekam medik rumah
sakit yang kemudian dicatat pada log book penelitian.
c. Data catatan medik sampel meliputi: jenis pembedahan, jenis
pengobatan dan hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh
dengan cara mencatat dari buku rekam medik pasien yang
menjadi sampel penelitian yang kemudian dicatat pada log book
penelitian.
F. Cara Pengolahan dan Analisis Data
1. Data primer
a. Data identitas sampel yang meliputi umur dan jenis kelamin
diolah dengan cara mengelompokkan data sebagai berikut :
1) Data umur dikelompokkan menjadi :
a) Masa balita =0 - 5 tahun
b) Masa kanak-kanak =5 - 11 tahun
c) Masa remaja awal =12 - 16 tahun
d) Masa remaja akhir =17 - 25 tahun
e) Masa dewasa awal =26 - 35 tahun
f) Masa dewasa akhir =36- 45 tahun
g) Masa lansia awal = 46- 55 tahun
h) Masa Lansia Akhir = 56 - 65 tahun
34
i) Masa Manula = > 65 tahun
2) Data jenis kelamin dikelompokan menjadi :
1. Laki-laki
2. Perempuan
Data tersebut kemudian ditabulasikan dan disajikan secara
deskriptif dalam Ms. Word.
b. Data antropometri meliputi data berat badan dan tinggi badan
akan diolah menjadi status gizi berdasarkan IMT. Adapun rumus
dari perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
(Sumber : Prinsip Dasar Ilmu Gizi oleh Sunita Almatsier, 2009)
Tabel 4. Kategori status gizi berdasarkan IMT
Status Gizi IMT (kg/m2)BB Kurang <18,5BB Normal 18,5 – 22,9BB Lebih
Dengan risiko Obes I Obes II
≥23,023,0-24,924,9-29,9
>30,0
Pada pasien yang tidak bisa diukur berat badan dan tinggi badan
secara langsung, digunakan hasil pengukuran LILA sebagai
parameter untuk menentukan nilai IMT dengan rumus sebagai
berikut:
35
(Sumber : Powell-Tuck dan Hennessy, 2003 dalam UGM, 2013)
Tinggi badan pasien yang tidak bisa diukur secara langsung
diestimasi menggunakan hasil pengukuran panjang depa dengan
rumus :
Laki-
laki
Perempu
an
(Sumber : Fatmah, 2010)
Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan selain untuk
menentukan status gizi, digunakan pula untuk menentukan
kebutuhan protein dan Fe sampel. Berat badan yang digunakan
adalah Berat Badan Ideal (BBI) yang diperoleh dengan rumus
Brocca yaitu, sebagai berikut:
(Sumber : Retno Wahyuningsih, 2013)
(Catatan : Apabila tinggi badan (TB) pasien wanita <150 cm, dan
apabila tinggi badan (TB) pasien pria < 160 cm, maka menggunakan
rumus modifikasi Brocca: BBI= (TB - 100) x 1 kg)
c. Data Konsumsi Protein dan Fe Sampel
Data konsumsi protein dan Fe diperoleh dari hasil analisa
asupan berdasarkan hasil penimbangan makanan selama 1 hari
dengan menggunakan program Nutrisurvey 2007. Hasil analisa
asupan protein dan Fe kemudian dibandingkan dengan
kebutuhan protein dan Fe sampel dengan rumus:
36
Kategori Tingkat Konsumsi :
≥ 80% : pasien dinilai memiliki asupan yang normal
< 80% : pasien dinilai memiliki asupan yang kurang
(sumber : SK kemenkes no.129/menkes/SK/II/2008 tentang
standar pelayanan minimal rumah sakit, dengan indikator sisa
makanan yang tidak termakan oleh pasien).
(Catatan : Bagi pasien yang mendapatkan asupan protein dan
Fe dari nutrisi parenteral dan suplementasi maka total konsumsi
protein dan Fe adalah hasil penjumlahan dari asupan oral dan
parenteral dan suplementasi).
Kebutuhan protein sampel diperoleh dari hasil perhitungan
menggunakan rumus kebutuhan protein berdasarkan tingkat
stres, yaitu:
Tabel 5. Perkiraan Kebutuhan Protein
No. Tingkat stresKebutuhan Protein (g/kg
BB Ideal/hari1 Stres ringan
Pembedahan elektif1,0 -1,2
2 Stres sedang Kesembuhan pasca
bedah yang lambat 1,5 - 1,75
3 Stres berat Pembedahan dengan
malnutrisi prabedah 1,5 - 2,0
Sumber: Hartono, A. 2006.
37
Kebutuhan Fe ditentukan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) tahun 2013 yaitu:
Tabel 6. Angka Kecukupan Zat Besi (Fe)
Kelompok UmurKecukupanFe
(mg/hari)7-11 bulan 71-3 tahun 84-6 tahun 97-9 tahun 10
Pria 10-12 tahun 1313-15 tahun 1916-18 tahun 1519-29 tahun 1330-49 tahun 1350-64 tahun 1365-80 tahun 1380+ tahun 13
Wanita10-12 tahun 2013-15 tahun 2616-18 tahun 2619-29 tahun 2630-49 tahun 2650-64 tahun 1265-80 tahun 1280+ tahun 12
(Sumber : Kemenkes RI, 2013)
2. Data Sekunder
Data sekunder yang meliputi : gambaran umum Rumah Sakit
Umum Kota Mataram, jumlah pasien bedah digestif di Rumah Sakit
Umum Kota Mataram serta catatan medik sampel diolah secara
diskriptif yang dilengkapi dengan tabel atau grafik untuk
memperjelas data yang disajikan.
38
G. Alur Penelitian
Alur dalam penelitian ini yaitu :
1. Peneliti mendatangi bagian Rekam Medik Rumah Sakit Umum Kota
Mataram untuk memperoleh data tentang identitas pasien yang
akan menjalani pembedahan.
2. Peneliti menentukan pasien yang dijadikan sampel dan
mengunjungi sampel ke ruang perawatan sampel.
3. Peneliti melakukan rapport dengan sampel dan menjelaskan
maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan dengan cara
menyerahkan lembar informed consent yang selanjutnya
ditandatangani oleh sampel yang bersedia menjadi sampel
(Lampiran 1).
4. Peneliti mengumpulkan data sampel yang terdiri dari data tentang
karakteristik meliputi nama, umur, jenis kelamin, riwayat obat-
obatan yang dikonsumsi, dan riwayat konsumsi pasien.
Pengukuran antropometri dilakukan pada hari pertama visit.
5. Peneliti melakukan penimbangan makanan kemudian mencatat
makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam sehari ke dalam
formulir penimbangan makanan.
6. Setelah mengumpulkan semua data, mulai dari data identitas, data
antropometri, data konsumsi protein dan Fe, serta data catatan
rekam medik pasien, semua data kemudian diolah sesuai dengan
langkah yang terdapat pada cara pengolahan dan analisis data.
39
7. Peneliti melakukan proses tabulasi, cleaning dan editing dari data
hasil penelitian, kemudian melakukan pembahasan secara diskriptif
dan terstruktur agar mempermudah pemahaman pembaca
mengenai hasil penelitian.
H. Definisi Operasional
Tabel 7. Definisi Operasional
No.Variebel
PenelitianDefinisi
OperasionalAlat Ukur Hasil Ukur
Skala Ukur
1 Bedah digestive
Gangguan dalam sistem pencernaan dan memerlukan tindakan pembedahan antara lain: colonoscopy, herniotomy, laparatomy, appendictomy, hemoroidectomy, vesicolithomy, laparascopy, laparatomy appendikoloni, colostomy, dan visicolisiasis.
Diukur dengan menggunakan lembar ceklist yang sudah disediakan dengan melihat rekam medik sampel
a. Hernia b. Trauma
abdomenc. Appendicitisd. Illeus
obstruktif
Nominal
2 Status Gizi Ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi yang diindikasikanoleh berat badan dan tinggi badan.
Pengukuran BB dengan timbangan digital.
Pengukuran TB dengan mikrotoa.
Hasil pengukuran BB dan TB akan dijadikan Indeks nilai IMT untuk menentukan status gizi dengan kategori disamping.
(Apabila tidak bisa diukur langsung,
BB Kurang : <18,5
BB Normal : 18,5-22,9
BB Lebih : ≥23,0 Dgn risiko :
23,0-24,9 Obes I :
25,0-29,9 Obes II :
≥30,0
Ordinal
40
digunakan pengukuran LILA dengan Pita LILA sebagai estimasi BB dan pengukuran panjang depa dengan Metline untuk estimasi TB)
3 Konsumsi protein
Asupan protein dari makanan dan minuman yang dikonsumsi selama 1 hari.
Food Weighing dengan timbangan bahan makanan dengan ketelitian 1 gram
≥ 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang normal < 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang kurang
Nominal
4 Konsumsi Fe
Asupan Fe dari makanan dan minuman yang dikonsumsi selama 1 hari.
Food Weighing dengan timbangan bahan makanan dengan ketelitian 1 gram
≥ 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang normal < 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang kurang
Nominal
41
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Anggraeni, Adisty Cynthia. 2012. Asuhan Gizi Nutritional Care Process.
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Baradero, M, dkk. 2009. Prinsip dan Praktik Keperawatan Perioperatif.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Dahlan,M. Sofiyudin. 2008. Langkah-langkah Membuat Proposal
Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan. CV Sagung Seto.
Jakarta.
Djalinz, Misbah.1992. Pemberian Dini Makanan lewat Pipa pada Pasien
Postoperasi Bedah Digestif. Laboratorium Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas, Padang Cermin Dunia Kedokteran