BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali kaya akan keragaman budaya dengan kentalnya nilai adat dan dijiwai oleh agama Hindu sebagai dasar. Pulau Bali terkenal sampai ke luar negeri karena keunikannya dan keramah tamahan masyarakat yang membuat nyaman. Hal ini menjadi nilai tambah untuk Pulau Bali dan kepariwisataannya. ”Pulau Bali merupakan pintu gerbang utama pariwisata Indonesia bisa dipastikan sangat merangsang perkembangan seni pertunjukannya” (Pendit, 2001 : 3) Gorda (1996:64) menyatakan: Seni pertunjukan itu banyak meliputi: (1) Seni arca adalah seni tentang arca dilihat dari segi tekniknya (gaya cara dan ketentuan pembuatannya), (2) Seni drama adalah seni mengenai pelakonan di pentas, (3) Seni kriya adalah seni kerajinan tangan, (4) Seni lukis adalah seni mengenai gambar-menggambar dan lukis melukis, (5) Seni pahat adalah seni tentang pahat dan memahat dalam pembuatan patung, (6) Seni sastra adalah seni mengenai karang mengarang, (7) Seni suara adalah seni olah suara atau bunyi, (8) Seni tari adalah seni mengenai tari menari. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Bali kaya akan keragaman budaya dengan kentalnya nilai adat dan
dijiwai oleh agama Hindu sebagai dasar. Pulau Bali terkenal sampai ke luar negeri
karena keunikannya dan keramah tamahan masyarakat yang membuat nyaman.
Hal ini menjadi nilai tambah untuk Pulau Bali dan kepariwisataannya. ”Pulau Bali
merupakan pintu gerbang utama pariwisata Indonesia bisa dipastikan sangat
merangsang perkembangan seni pertunjukannya” (Pendit, 2001 : 3)
Gorda (1996:64) menyatakan: Seni pertunjukan itu banyak meliputi:
(1) Seni arca adalah seni tentang arca dilihat dari segi tekniknya (gaya cara dan ketentuan pembuatannya), (2) Seni drama adalah seni mengenai pelakonan di pentas, (3) Seni kriya adalah seni kerajinan tangan, (4) Seni lukis adalah seni mengenai gambar-menggambar dan lukis melukis, (5) Seni pahat adalah seni tentang pahat dan memahat dalam pembuatan patung, (6) Seni sastra adalah seni mengenai karang mengarang, (7) Seni suara adalah seni olah suara atau bunyi, (8) Seni tari adalah seni mengenai tari menari.
Dari uraian di atas terlihat Bali dengan berbagai aspek seni dan
kebudayaannya seperti seni tari, seni pahat, seni ukir, seni tabuh, dan seni suara
tidak kalah menariknya untuk menikmati seni sastranya. Dalam naskah seni sastra
ini terkandung tentang nilai-nilai kemanusiaan, problematika kehidupan manusia,
dan sarat dengan nilai pendidikan agama.
Seni sastra pada saat ini tumbuh subur di dalam masyarakat yang religius
dan tetap dipelihara dari dulu sampai sekarang. Tim Penyusun Sejarah Bali
(1986 : 140-147) menyebutkan bahwa setelah runtuhnya kerajaan Majapahit pada
abad ke 15, perkembangan seni sastra di Bali merupakan kelanjutan tradisi Jawa
1
Kuno yang berkembang cukup pesat. Hal ini dilihat dari banyaknya kemunculan
hasil karya sastra pada masa jayanya Kerajaan Gelgel di Klungkung abad ke 15.
Esten (1987:8) menyatakan “melalui cipta sastra, pengarang mampu
memperlihatkan nilai yang lebih tinggi, dan menafsirkan makna hidup, serta
hakikat hidup.” Naskah merupakan salah satu unsur budaya yang sangat erat
kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat di tempat naskah tersebut
lahir dan berkembang. Naskah-naskah sastra di Bali memiliki fungsi kultural
dalam masyarakat.
Di dalam naskah terdapat ide-ide, ajaran moral, agama, filsafat,
pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat
bersangkutan. Untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra,
maka upaya pemahaman unsur-unsur dalam karya sastra tidak dapat dilepaskan
dari masalah membacanya. Oleh karena itu sebelum melaksanakan kegiatan
dalam rangka memahami isi amanat yang terkandung dalam isi karya sastra,
masalah membaca sedikit banyak harus dipahami oleh calon penilai. Memahami
dan menilai karya sastra merupakan salah satu usaha kearah pengembangan dan
kegunaan sastra itu sendiri bukan hanya dari aspek bentuk dan aspek teknik akan
tetapi lebih menonjolkan aspek isi, yaitu nilai atau ide yang terkandung dalam seni
khususnya seni sastra. Y. Sumandiyo Hadi (2006:263) menyatakan bahwa:
Seni menunjuk pada keteraturan susunan bagian dari bentuk seni atau aspek bentuk keselarasan unsure ataupun pola yang mempersatukan bagian-bagiannya atau “aspek teknik”. Tetapi di samping itu yang lebih penting adalah sesuatu yang bersangkutan dengan “aspek isi” atau makna maupun pesan-pesan yang dikandungnya.
2
Karya sastra tidak hanya menekankan pada keteraturan bentuk, teknik
bagiannya akan tetapi lebih dutekankan pada aspek isi atau nilai yang terkandung
di dalamnya. Sebagaimana dikatakan Horace (dalam Pradopo, 1997 : 2-3) bahwa :
fungsi Seni Sastra adalah Pulce et Uttle (menyenangkan dan berguna), ini berarti karya sastra Bali diharapkan dapat memberikan tuntunan-tuntunan hidup. Karena sifat berguna dan menyenangkan itulah sebuah karya sastra harus dianalisis untuk mengetahui isi kandungannya itu. Hakikat fungsi dari seni sastra tersebut dapat dilihat pada salah satu sastra tradisional yaitu gaguritan.
Selanjutnya pandangan senada mengenai karya sastra utamanya gaguritan
diungkapkan oleh Agastya (1980 : 25), yang menyatakan bahwa : ”Karya sastra
gaguritan mempunyai peranan penting dalam usaha pembinaan mental dan
spiritual masyarakat Bali dalam rangka mengembangkan kesenian khususnya dan
kebudayaan Bali pada umumnya”.
Dengan demikian karya sastra seperti gaguritan selain sebagai kesatuan
aspek seni sekaligus memberikan tuntunan hidup. Gaguritan juga memiliki peran
penting dalam usaha pembinaan mental dan spiritual manusia. Untuk itu,
masyarakat diharapkan tetap mengembangkan kesenian sastra ini khususnya dan
budaya Bali pada umumnya.
Sebagai kesatuan seni gaguritan memiliki keteraturan susunan bagian atau
bentuk puisi yang khas. Hal ini dikemukakan oleh Granoko (1982 : 12) bahwa :
“Gaguritan dikemas dalam pada lingsa pupuh, yaitu banyaknya baris dalam tiap-
tiap bait”. Teori puisi modern bukanlah teori yang satu-satunya disajikan
menganalisis dari aspek bentuk dalam gaguritan karena pengkajian terhadap
karya sastra tardisional khususnya gaguritan tidak hanya terletak pada pandangan
yang membatasi analisis bunyi pada bunyi kata. Unsur-unsur lain yang
3
memaparkan bunyi kata, sebagai suatu sistem pada lingsa, yang membedakan
identitas bentuk yang lain sangat penting diungkap.
Dinas Pendidikan Pusat Dati I Bali (1991 : 254) menyatakan bahwa
gaguritan juga disebut dengan pupuh. Dalam satu bait diikat oleh bunyi akhir
masing-masing baris atau disebut padalingsa.
Dengan demikian, dalam melagukan suatu gaguritan tersebut akan
menghasilkan irama indah yang menghibur dan menyenangkan hati sekaligus
menanamkan petuah serta nilai-nilai agama dan nilai budaya yang luhur yang
terkandung dalam gaguritan.
Sehubungan dengan pernyataan di atas yaitu adanya suatu petuah-petuah
dan nilai-nilai budaya Bali khususnya dan nilai Agama Hindu pada umumnya.
Dalam penelitian ini dipakai kajian adalah Gaguritan Widura Niti Wakya.
Gaguritan Widura Niti Wakya adalah karangan yang diangkat dari karya sastra
atau epos besar Agama Hindu yaitu Mahabharata atu Bharatayudha.
Nilai yang terdapat dalam Gaguritan Widura Niti Wakya cukup menarik
dan memberikan teladan pada masyarakat Bali, khususnya bagi yang beragama
Hindu. Keteladanan tersebut berupa berbagai aspek seperti : nilai tattwa, nilai
etika, nilai susila. Agastya (1980 : 2) menyatakan bahwa : ”secara umum karya
sastra tradisional (gaguritan) memiliki isi sebagai satu kesatuan sastra dengan
nilai-nilai spiritual, kemanusiaan, dan kebenaran yang universal dan hakiki”.
Semua ini memang tergambar dalam karya sastra Gaguritan Widura Niti Wakya.
Karya sastra tradisional masih banyak perlu digali isinya., dan masih
relevan diterapkan dalam kehidupan saat ini. Sebagai suatu upaya nyata dalam
pelestarian naskah karya sastra pada khususnya dan kebudayaan Bali pada
4
umumnya. Karena itulah karya sastra Gaguritan Widura Niti Wakya sebagai salah
satu jenis karya sastra tradisional yang berbentuk tembang, sampai sekarang
mendapatkan tempat di hati masyarakat dengan nilai-nilai yang bersifat universal
yang terkandung di dalamnya. Nilai pendidikan Agama Hindu dalam Gaguritan
Widura Niti Wakya menarik untuk dibaca sehingga aspek-aspek yang membangun
gaguritan ini dapat dipahami secara mendalam.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas muncul beberapa
masalah yang akan diangkat dalam kajian terhadap Gaguritan Widura Niti Wakya.
Adapun permasalahan-permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai
berikut :
1.2.1 Masyarakat ada yang belum mengetahui isi cerita Gaguritan
Widura Niti Wakya.
1.2.2 Sebagian masyarakat belum mengetahui pupuh yang ada dalam
Gaguritan Widura Niti Wakya.
1.2.3 Masyarakat belum keseluruhan mengetahui struktur yang
membangun kesatuan cerita dalam Gaguritan Widura Niti Wakya.
1.2.4 Sebagian masyarakat belum mengetahui nilai pendidikan yang
terkandung dalam Gaguritan Widura Niti Wakya.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Mengingat keterbatasan kemampuan serta luasnya lingkup masalah
gaguritan, maka dalam hal ini penulis hanya membatasi kajian tentang struktur
5
forma dan nilai pendidikan Agama Hindu dalam Gaguritan Widura Niti Wakya
yang mencakup nilai pendidikan tattwa, susila, dan budhi pekerti.
1.4 Rumusan Masalah
Dalam menyusun karya ilmiah ada beberapa hal pokok yang perlu dikaji.
Bertitik tolak dari masalah pokok di atas, maka dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1.4.1 Bagaimana struktur forma Gaguritan Widura Niti Wakya?
1.4.2 Apa saja nilai pendidikan Agama Hindu dalam Gaguritan Widura
Niti Wakya?
1.5 Tujuan Penelitian
Melaksanakan sesuatu hal pasti mempunyai suatu tujuan. Penetapan tujuan
merupakan hal mutlak sebab kegiatan apapun tanpa memiliki tujuan yang jelas
dikatakan sebagai sesuatu yang sia-sia. Tujuan yang ingin dicapai mengenai nilai
pendidikan Agama Hindu dalam Gaguritan Widura Niti Wakya adalah tidak jauh
dari masalah yang berkembang di atas berdasarkian teori yang ada. Tujuan yang
dicapai hendaknya dirumuskan dengan jelas, karena tujuan yang jelas dan
langkah-langkah yang tepat, peneliti dapat meyelesaikan penelitiannya dengan
baik. Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah :
1.5.1 Untuk mengetahui struktur forma Gaguritan Widura Niti Wakya.
1.5.2 Untuk mengetahui nilai pendidikan Agama Hindu dalam
Gaguritan Widura Niti Wakya.
6
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi
dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal gaguritan,
meningkatkan wawasan civitas akademika dan penelitian ini diharapkan
dapat menambah khasanah pengetahuan masyarakat, khususnya tentang
Gaguritan Widura Niti Wakya.
1.6.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman
atau petunjuk pelaksanaan tentang nilai pendidikan Agama Hindu yang
tersirat dalam Gaguritan Widura Niti Wakya guna meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat guna mencapai Moksartham Jagadhita.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur Forma Gaguritan
Struktur adalah susunan yang memperlihatkan tata hubungan antara unsur
pembentuk karya sastra atau rangkaian unsur yang tersusun secara terpadu
(Zaidan, 2007: 194). Selanjutnya Wisnu (2001 : 33) menyatakan bahwa : “struktur
forma adalah salah satu bagian dari keseluruhan struktur karya sastra yang
mengulas tentang bentuk atau kemasan dalam menampilkan karya sastra itu
sendiri, dan memiliki hubungan yang signifikan dengan isi yang dikandungnya.”
Selanjutnya Teeuw (1984:154) menjelaskan bahwa:
Struktur adalah suatu tahapan dalam penelitian yang sulit dihindari. Sebab teori struktur bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, seteliti, semendetail, semendalam mungkin yang berkaitan semua ansir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan karya yang menyeluruh.
Dari pengertian di atas maka struktur forma Gaguritan Widura Niti Wakya
adalah rangkaian unsur yang terpadu dari struktur karya sastra untuk memaparkan
secara cermat aspek karya sastra dalam bentuk puisi berupa tembang yang terikat
oleh pada lingsa. Struktur forma terdiri atas: sinopsis, tema, latar, tokoh, alur,
bahasa, dan tembang.
2.1.1 Sinopsis
Sinopsis menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu “kata benda abstraksi,
ringkasan sebuah tulisan atau karangan yang diterbitkan bersama-sama dengan
keterangan asli, ringkasan cerita yang ditampilkan di depan cerita yang utuh”
8
(Tim Prima Pena, tt : 598). Selanjutnya menurut Hardaniwati (2003 : 634) :
”sinopsis adalah ikhtisar karangan, biasanya diterbitkan bersama karangan
aslinya”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menambahkan bahwa sinopsis
berarti “ikhtisar karya ilmiah yang biasanya diterbitkan bersama-sama dengan
karangan asli yang menjadi dasar sinopsis itu; ringkasan abstraksi” (Tim
Penyusun, 1996: 946). Dengan adanya sinopsis, pembaca dapat mengetahui isi
pokok sebuah cerita atau karangan tanpa harus membaca cerita atau karangan
tersebut secara menyeluruh.
Dapat dijelaskan bahwa sinopsis yaitu ringkasan cerita, yang
menggambarkan secara umum cerita yang sebenarnya dalam karya sastra.
Sinopsis juga sebagai bahan acuan awal dalam menjelaskan keterkaitan cerita dari
awal sampai akhir. Sinopsis memberi gambaran secara umum yang jelas terhadap
satu jalan cerita dan mempermudah pembaca memahami apa yang disajikan
dalam penulisan selanjutnya.
2.1.2 Tema
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa tema berarti
”pokok pikiran ; dasar cerita (yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar
mengarang, mengubah sajak, dsb.)” (Departemen Pendidikan Nasional, 2005 :
104). Lebih lanjut Sukada (1987 : 70) berpendapat bahwa : ”tema tidak lain dari
ide pokok, ide sentral atau ide yang dominan dalam karya sastra.”. Sedangkan
Sudjiman (1988 : 50) menyatakan bahwa : ”gagasan, ide, atau pikiran utama yang
mendasar dalam suatu karya sastra disebut tema”.
9
Berdasrkan lutipan di atas dapat dijelaskan bahwa tema adalah gagasan
utama, atau ide pokok yang dijadikan dasar atau pedoman dalam membangun
sebuah karya sastra.
2.1.3 Latar
Idrus (tt : 404) menyatakan bahwa latar adalah keterangan mengenai ruang
dan waktu suasananya saat berlangsungnya peristiwa (dalam karya sastra).
Selanjutnya Nurgiantoro (2000 : 227) mengemukakan bahwa : ”unsur latar dapat
dibedakan ke dalam unsur pokok, yaitu tempat dan sosial. Semua unsur itu,
walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berada dan dapat
dibicarakan secara tersendiri, pada kenyataan saling berkaitan dan saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya”.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa:
Latar berarti: (1) permukaan, (2) halaman, (3) rasa, datar, (4) dasar warna, (5) keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakon dalam karya sastra, (6) keadaan atau situasi (yang menyertai ajaran dan percakapan), (7) dekor, pemandangan yang dipakai dalam pementasan drama seperti pengaturan tempat kejadian, perlengkapan, pencahayaan. (Alwi, 2007: 643). Dapat disimpulkan bahwa latar adalah keterangan mengenai ruang, waktu,
tempat dan situasi terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra yang memiliki
suatu keterkaitan dengan gambaran umum dari cerita yang dimaksud.
2.1.4 Tokoh
Idrus (tt : 643), Tim Prima Pena (tt : 652) mengatakan bahwa tokoh adalah
wujud atau keberadaan, bentuk dan potongan, orang yang terkemuka dan
kenamaan, pemegang peran utama dalam cerita. Sedangkan menurut Sudjiman
10
(1986 : 16) menyatakan bahwa : ”tokoh adalah individu-individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau perlakuan dalam cerita sedangkan watak digunakan
dalam arti tabiat, sifat dan kepribadian”.
Dapat dijelaskan bahwa tokoh adalah wujud pelakon dalam cerita dengan
bentuk individu-individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan serta
memegang peranan dalam cerita, yang memiliki watak tertentu sebagai
penggambaran sifat masing-masing tokoh dalam cerita. Biasanya dalam cerita,
penokohan terdiri dari peran utama, peran sampingan atau peran pembantu.
2.1.5 Alur
Dalam Bahasa Inggris kata alur disebut plot, dan dalam bahasa Prancis
disebut intrique yang artinya jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai
efek tertentu (Hasanuddin, 2007: 43). Sedangkan menurut Beneton (dalam
Sudjiman, 1988 : 29) menyatakan bahwa : ”alur adalah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sutau cerita yang
dihadirkan para pelaku dalam cerita”. Selanjutnya Retnoningsih (1985 : 12)
mengatakan bahwa alur adalah ”suatu rentetan kejadian antara satu dengan yang
lainnya, sehingga menimbulkan terjadinya sebab dan akibat”.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa alur adalah
rangkaian kejadian atau jalinan peristiwa yang dihadirkan oleh para pelaku yang
menimbulkan suatu efek atau akibat dari suatu sebab yang dirangkaikan dalam
jalan cerita.
11
2.1.6 Bahasa
Menurut Idrus (tt : 60) bahasa adalah “sistem lambang bunyi yang arbiter,
yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama,
berinteraksi dan mengidentifikasikan diri, percakapan (perkataan) yang baik,
tingkah laku yang baik, sopan santun”. Senada dengan itu Departemen Pendidikan
Nasional (2005 : 30) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi
dan mengidentifikasi dirinya. Selanjutnya Hardaniwati (2003 : 39) menyatakan
bahwa : ”bahasa adalah alat berhubungan manusia yang dihasilkan alat ucap
manusia dan setiap karya sastra yang isi ceritanya merupakan maksud yang
disampaikan pengarang melalui cerita dengan bahasa tulisan”.
Dapat dijelaskan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipakai
sebagai alat berhubungan anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri. Dalam karya sastra bahasa merupakan unsur yang
dipakai untuk menyampaikan maksud pengarang yaitu dengan bahasa tulisan.
2.1.7 Tembang
Tembang dapat diartikan sebagai lantunan lagu. Isi sebuah karya sastra
Gaguritan dalam penyampaiannya umumnya diucapkan dengan dinyanyikan atau
ditembangkan. Menurut Hardaniwati (2003 : 691) menyatakan bahwa : “tembang
adalah syair-syair yang berirama atau lagu untuk dinyanyikan”. Selanjutnya
Budiyasa (1997 : 1) menerangkan bahwa : ”Tembang merupakan bagian seni yang
dituangkan dalam alunan suara, irama, dan ritme.”
12
Jadi dapat dijelaskan bahwa tembang adalah penyampaian isi dari sebuah
karya sastra dalam bentuk alunan suara, syair-syair yang berirama atau lagu untuk
dinyanyikan dengan ritme tertentu.
2.2 Pengertian Nilai
Nilai memiliki arti yang beragam tergantung dari aspek yang dibicarakan.
Horton (dalam Narwoko, 2006 : 55) mengemukakan bahwa :
Nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakekatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia dapat menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Nilai yang dianggap sah – artinya secara moral dapat diterima – kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan itu dilakukan.
Selanjutnya Koentjaraningrat (1977 : 677) menyatakan bahwa : ”nilai
adalah suatu hal yang berisikan, yang mengkonsepsikan hal-hal penting, berguna
dalam kehidupan masyrakat”. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2001 : 783) menyatakan bahwa kata nilai mengandung arti : “ (1) sifat-sifat (hal-
hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; (2) sesuatu yang
menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa nilai adalah suatu
gagasan yang mengkonsepsikan hal-hal yang penting atau berguna dalam bentuk
prilaku pada kehidupan masyarakat.
2.3 Pendidikan Agama Hindu
Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha untuk membentuk sikap mental,
membina pribadi dan akhlak anak didik. Mahfud (2006 : 32) menyatakan bahwa :
“secara sederhana dan umum, pendidikan bermakna sebagai usaha untuk
13
menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani
maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan
kebudayaannya”. Selanjutnya John Dewey (dalam Ahmadi, 2001 : 69)
menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
Syah (2005 : 10) berpendapat bahwa : ”pendidikan berasal dari kata
“didik”, lalu kata ini mendapat awalan me- sehingga menjadi mendidik artinya
memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan,
diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan
kecerdasan fikiran”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa pendidikan adalah
usaha untuk mengembangkan dan menumbuhkan potensi-potensi yang ada di
dalam masyarakat dan kebudayaannya, dengan memelihara dan memberi latihan
melalui suatu ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran.
Pudja (1985 : 9) menyatakan bahwa pendidikan Agama Hindu adalah :
”suatu pendidikan untuk pembentukan watak, sikap dan pribadi seseorang untuk
meningkatkan ketaqwaan dan mendorong perkembangan ilmu”. Selanjutnya
dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu
I-VI (2005 : 23 – 24) dinyatakan bahwa :
(1) Pengertian pendidikan Agama Hindu di dalam sekolah ialah suatu upaya dalam rangka membina pertumbuhan jiwa raga anak didik, sesuai dengan ajaran agama Hindu, (2) Pengertian pendidikan Agama Hindu di luar sekolah adalah merupakan suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa masyarakat dengan agama Hindu itu sendiri sebagai pokok materinya.
14
Dari rujukan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Agama Hindu
ialah usaha untuk mengembangkan watak, sikap dan pribadi anak maupun jiwa
masyarakat untuk meningkatkan ketaqwaan dan mengembangkan ilmu berdasrkan
ajaran Agama Hindu.
2.4 Pengertian Nilai Pendidikan Agama Hindu
Nilai pendidikan Agama Hindu semestinya dapat diamalkan umatnya
dengan sebaik-baiknya. Zutan (1994 : 2) menyatakan bahwa : ”pendidikan dalam
karya sastra tidak hanya berarti penyampaian pengetahuan, akan tetapi
merekomendasikan apa yang baik, nilai-nilai dimana pengetahuan itu diperiksa
dan diarahkan pemanfaatannya dalam kehidupan”.
Selanjutnya Gorda (1996 : 36) mengemukakan bahwa :
Nilai Agama Hindu dikenal, dipahami dan dihayati masyarakat Hindu di Bali, sejak mereka masih kanak-kanak melalui dua cara : pertama ; melalui penuturan (lisan) dengan mengambil bentuk cerita, terutama cerita-cerita yang berasal dari bentuk Ramayana dan Mahabrata. Dalam pandangan umat Hindu cerita-cerita keagamaan dalam kedua sumber tersebut disajikan dan diperkenalkan melalui berbagai pertunjukan tradisional melalui berbagai pertunjukan tradisional melalui berbagai media pertunjukan, seperti wayan kulit, arja, topeng dan drama gong. Yang kedua ; pengenalan dan penghayatan nilai-nilai Agama Hindu melalui kegiatan lahir yang mencakup beragam upacara keagamaan.
Sedangkan BMPS (2007:1) menyatakan bahwa nilai yang terkandung
dalam Pendidikan Agama Hindu dimaksudkan untuk menumbuh kembangkan dan
meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan,
penghayatan dan pengamalan ajaran agama.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa nilai pendidikan
Agama Hindu adalah suatu nilai yang direkomendasikan melalui perbuatan yang
sesuai ajaran Agama Hindu dengan maksud untuk menumbuh kembangkan dan
15
meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan,
penghayatan dan pengamalan ajaran agama.
2.5 Tujuan Pendidikan Agama Hindu
Tujuan pendidikan Agama Hindu selaras dengan tujuan Agama Hindu.
Sudibya (1994 : 85) menyatakan bahwa : ”tujuan dari Pendidikan Agama Hindu
adalah kesejahteraan rohani, jasmani di dunia dan di akhirat”. Sependapat dengan
hal tersebut, di dalam buku Upanisad dinyatakan bahwa: “tujuan pendidikan
Agama Hindu atau tujuan Agama Hindu ialah untuk mencapai kedamaian rohani
(moksa) dan kesejahteraan hidup jasmani (jagadhita)” (Parisada Hindu Dharma,
2003 : 13).
Kemudian dalam buku Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir
terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XX dinyatakan bahwa tujuan pendidikan
Agama Hindu adalah membentuk manusia yang astiti bhakti kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dan membentuk moral, etika, spiritual anak didik sesuai
dengan ajaran Agama Hindu. (Parisadha Hindu Dharma Pusat, 2005 : 13-24)
Dari beberapa pandangan di atas, dapat dujelaskan bahwa tujuan
pendidikan Agama Hindu adalah membentuk manusia astiti bhakti, kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, dan membentuk moral, etika, spiritual anak didik sesuai
ajaran Agama Hindu, guna mencapai kesejahteraan hidup jasmani dan kedamaian
rohani (Moksartham Jagadhita).
16
2.6 Gaguritan Widura Niti Wakya
2.6.1 Pengertian Gaguritan
Agastya (1980 : 17) menyatakan bahwa : “gaguritan adalah suatu karya
tradisional atau klasik yang dibangun oleh beberapa pupuh dan tiap-tiap pupuh
diikat oleh padalingsa yaitu bunyi akhir masing-masing baris”.
Senada dengan hal tersebut Dinas Pendidikan Dati I Bali (1991 : 254)
mendifinisikan arti dari Gaguritan yakni.
Secara etimologi Gaguritan berasal dari kata ”gurit” yang mengandung arti karang atau sadur. Kemudian kata ”gurit” mendapatkan akhiran –an sehingga menjadi guritan yang berarti gubahan, saduran atau karangan cerita dalam bentuk tembang. Kata guritan mengalami pengulangan dwi purwa sehingga menjadi kata Gaguritan yang berarti sebuah karangan cerita dalam bentuk tembang. Gaguritan juga disebut dengan pupuh. Dalam satu bait diikat oleh masing-masing Pupuh diikat oleh bunyi akhir masing-masing baris atau disebut padalingsa.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 118) menyatakan
bahwa gaguritan berasal dari kata gurit, dimana gurit berarti sajak atau syair.
Sedangkan dalam Kamus Indonesia-Bali dinyatakan bahwa Gaguritan berasal
dari kata gurit, artinya goresan, dituliskan (Tim Penyusun Kamus, 1996: 118).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa Gaguritan adalah
sebuah karya tulis berbentuk cerita yang dikemas dalam bentuk tembang atau
pupuh dan terikat oleh padalingsa atau bunyi akhir masing-masing baris.
2.6.2 Tembang Dalam Gaguritan
Tembang dalam gaguritan berbentuk pupuh atau sekar alit. Budiyasa
(1997 : 5) menyatakan bahwa : “gaguritan menggunakan tembang macepat atau
sekar alit. Istilah tembang macepat diambil dari Bahasa Jawa yang berarti suatu
sistem untuk membaca syair tembang atas empat-empat suku kata”.
17
Lebih lanjut Budiyasa menjabarkan skema atau ortenan pupuh adalah
Selanjutnya dalam buku Dharma Gita dipaparkan sifat, watak, dan fungsi
pupuh (macepat) sebagai berikut:
(1)Pupuh Mijil, wataknya melahirkan perasaan. Sepatutnya untuk menguraikan nasehat, tetapi dapat juga digubah untuk orang yang mabuk asmara. (2) Pupuh Pucung, wataknya kendor, tanpa perasaan yang memuncak. Sepatutnya untuk cerita yang seenaknya tanpa kesungguhan. (3) Pupuh Maskumambang, wataknya nelangsa, sedih/ merana. Sepatutnya untuk melahirkan perasaan sedih, hati yang merana atau menangis. (4) Pupuh Ginada, melukiskan kesedihan, merana atau kecewa. (5) Pupuh Kinanti (Ginanti) senang, kasih cinta. Sepatutnya untuk menguraikan ajaran, filsafat, cerita yang bersuara asmara, keadaan mabuk cinta. (6) Pupuh Semarandana (Asmarandana) wataknya memikat hati, sedih, kesedihan karena asmara. Sepatutnya untuk menceritakan cerita asmara. (7) Pupuh Sinom, wataknya ramah tamah, meresap sedap. Patutnya untuk menyampaikan amanat, nasehat, atau bercakap-cakap secara bersahabat. (8) Pupuh Durma, wataknya keras, bengis, marah, atau untuk cerita perang, saling menantang, dan sebagainya. (9) Pupuh Pangkur, wataknya perasaan hati memuncak. Sepatutnya untuk cerita yang mengandung maksud kesungguhan. Jika nasehat yang bersungguh-sungguh, jika mabuk asmara yang sampai puncaknya. (10) Pupuh Dangdang gula, wataknya halus, lemas, umumnya melahirkan suatu ajaran, berkasih kasihan, juga untuk penutup suatu karangan Warjana (1996:31).
Gaguritan Widura Niti Wakya terdiri atas 106 (seratus enam) pada (bait)
dan terdiri atas 8 (delapan) pupuh yakni: Pupuh Sinom dua kali (2x) yang terdiri
18
dari 26 (dua puluh enam) pada, Pupuh Durma satu kali (1x) yang terdiri dari 18
(delapan belas) pada, Pupuh Ginada satu kali (1x) terdiri dari 20 (dua puluh)
pada, Pupuh Mijil satu kali (1x) terdiri dari 7 (tujuh) pada, Pupuh Semarandana
satu kali (1x) terdiri dari 10 (sepuluh) pada, Pupuh Dangdang Gula satu kali (1x)
terdiri dari 10 (sepuluh) pada, Pupuh Ginanti satu kali (1x) terdiri dari 12 (dua
belas) pada, Pupuh Pangkur satu kali (1x) terdiri dari 3 (tiga) pada. Tiap-tiap
pupuh menunjukkan episode tertentu menceritakan peristiwa yang membangun
keutuhan gaguritan secara keseluruhan.
2.6.3 Bahasa Gaguritan
Penggunaan bahasa dalam karya sastra sangat penting sebagai
penyampaian ide yang dimaksudkan oleh pengarang. Medera (1989: 23)
menyatakan bahwa: “bahasa yang sering digunakan dalam karya sastra Hindu
pada umumnya Bahasa Jawa Kuno (Bahasa Kawi), tetapi kadang-kadang yang
dipakai bahasa campuran yaitu Bahasa Jawa Kuno dengan Bahasa Bali”.
Selanjutnya Jenek (1996: 42) menyatakan bahwa: “ada gaguritan yang memakai
bahasa Melayu (bahasa Indonesia) seperti gaguritan Pan Balang Tamak, dan
gaguritan I Nengah Jimbaran. Bahasa Jawa Kuno (Kawi) seperti gaguritan Bima
Swarga. Bahasa campuran yakni bahasa Bali-Kawi, yaitu gaguritan Salya”.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa yang
digunakan dalam gaguritan umumnya menggunakan bahasa Jawa Kuno dan
campuran Bahasa Jawa Kuno dengan bahasa Bali. Dalam hal ini bahasa yang
digunakan dalam gaguritan Widura Niti Wakya adalah bahasa campuran antara
bahasa Bali dengan bahasa Jawa Kuno (Kawi).
19
2.6.4 Gaguritan Widura Niti Wakya
Widura Niti Wakya berasal dari kata Widura, niti dan wakya. Widura
adalah saudara tiri dari Dhrtarastra dan Pandu atau paman dari Korawa dan
Pandawa.
Dalam Kamus Bahasa Bali, niti berarti ilmu kenegaraan (Gautama dan
Sariani, 2009: 429). Sedangkan Zoetmulder (1995: 707) menyatakan bawa niti
berarti “cara bekerja/ menjalankan yang betul/ baik/ benar, tabiat/ sikap/ tingkah
laku yang baik/ benar atau bijaksana, ilmu tata negara atau politik, kebijaksanaan
politik, kebijaksanaan duniawi, taktik/ siasat atau rencana yang ditimbang-
timbang dengan baik, garis perbuatan, rencana”.
Dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia dinyatakan bahwa wakya berarti cara
Dapat disimpulakan bahwa Widura Niti Wakya adalah kata-kata atau
pengajaran tentang ilmu kenegaraan, ilmu tata negara atau politik, kebijaksanaan
politik, taktik, siasat atau rencana yang diajarkan oleh Widura.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Gaguritan Widura Niti
Wakya adalah sebuah karya tulis berbentuk cerita yang dikemas dalam bentuk
tembang atau pupuh yang menceritakan tentang wejangan atau pengajaran tentang
ilmu kenegaraan, ilmu tata negara atau politik, kebijaksanaan politik, taktik, siasat
atau rencana yang diajarkan oleh Widura kepada Dhrtarastra sebelum terjadinya
perang Mahabaratha.
20
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam penulisan karya ilmiah, penggunaan metode sangat penting agar
hasil penelitian mengandung nilai ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan metode yang tepat, peneliti memperoleh data yang dapat digunakan
menjawab masalah dalam penelitian. Dengan kata lain, keberhasilan suatu
penelitian sangat tergantung pada penggunaan metode.
3.1 Pengertian Metode Penelitian
Usman dan Akbar (2004 : 42) menyatakan bahwa : “metode ialah suatu
prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah
sistematis”. Kemudian Mardalis (2006: 24) menyatakan bahwa: “metode adalah
sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian.”
Sedangkan Nurbuko dan Achmadi (2001: 1) menyatakan bahwa: “metode artinya
cara yang tepat untuk melakukan sesuatu.”
Dapat dijelaskan yang dimaksud metode adalah suatu cara atau teknis
dengan langkah-langkah sistematis untuk melakukan sesuatu utamanya dalam
suatu penelitian.
Selanjutnya Bungin (2007 : 75) menyatakan bahwa : “penelitian
merupakan suatu kegiatan (ilmiah) yang ditempuh melalui serangkaian proses
panjang.” Kemudian Azwar (1999 : 1) menyatakan bahwa : “penelitian (research)
merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu
permasalahan”. Nurbuko dan Achmadi (2001 : 1) memberikan pengertian tentang
21
penelitian bahwa : “penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat,
merumuskan dan menganalisis sampai penyusunan laporan”.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa penelitian adalah suatu
kegiatan ilmiah untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis yang
dilakukan dengan suatu metode tertentu untuk memecahkan suatu permasalahan.
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara
atau jalan dengan langkah-langkah sistematis untuk memecahkan suatu
permasalahan secara ilmiah.
3.2 Metode Pendekatan Penelitian
Menurut Arikunto (2006: 25) bahwa : “yang dimaksud dengan pendekatan
adalah metode atau cara mengadakan penelitian seperti halnya eksperimen atau
non eksperimen.”. Ini berarti, menurut Arikunto pendekatan penelitian dapat
dibagi dua yaitu pendekatan eksperimen dan non eksperimen. Selanjutnya
Sugiyono (2007 : 11) menyatakan metode pendekatan dapat dibagi tiga yaitu
metode eksperimen, survey dan naturalistik / kualitatif yang ditekankan sebagai
berikut :
Metode penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh treatment (perlakuan) tertentu. Misalnya : pengaruh ruang kelas ber AC terhadap efektifitas terhadap pembelajaran. Metode Survey digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu yang alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan data, misalnya dengan mengedarkan kuesioner, tes, wawancara tersetruktur dan sebagainya (perlakuan tidak seperti dalam eksperimen). Metode penelitian naturalistik / kualitatif, digunakan untuk meneliti pada tempat yang bukan alamiah, dan penelitian tidak membuat perlakuan karena peneliti dalam mengumpulkan data bersifat emic, yaitu berdasarkan pandangan dari sumber data, bukan pandangan peneliti.
22
Dari pandangan di atas dapat dijelaskan bahwa penelitian dapat dibagi
menjadi dua yaitu pendekatan eksperimen dan non eksperimen. Pendekatan
eksperimen adalah suatu cara untuk mencari hubungan sebab akibat antara dua
faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti yaitu dengan melakukan perlakuan.
Metode pendekatan non eksperimen yaitu metode pendekatan dengan tanpa
melakukan perlakuan karena hal yang diteliti sudah ada. Metode pendekatan non
eksperimen dibagi menjadi dua yaitu metode pendekatan survey dan naturalistik.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan non eksperimen. Adapun
metode pendekatan non eksperimen yang digunakan yakni metode naturalistik /
kualitiatif, karena peneliti memperoleh hasil penelitian berdasarkan pandangan
dari sumber data, bukan pandangan peneliti. Adapun yang dijadikan kajian
penelitian yaitu nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang terkandung dalam
Gaguritan Widura Niti Wakya.
3.3 Penentuan Subjek Penelitian
Dalam penelitian, metode penentuan subjek penelitian harus dilakukan
untuk menentukan siapa yang akan menjadi subjek penelitian sebagai sumber
data. Azwar (1997: 34) menyatakan bahwa: “subjek penelitian adalah sumber
utama data penelitian yaitu yang memiliki data mengenai variabel yang diteliti”.
Sedangkan Dwija (2006: 14) menyatakan bahwa: “subjek penelitian adalah setiap
individu yang mendukung gejala penelitian, ke dalam pengertian individu
termasuk : manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda anorganis”.
23
Jadi dapat dijelaskan bahwa subjek penelitian adalah setiap individu yang
mendukung gejala penelitian, dalam pengertian individu termasuk: manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda anorganis yang memiliki data
mengenai variabel yang diteliti.
Untuk menentukan jumlah yang akan dijadikan subjek penelitian, ada
empat metode penentuan subjek yaitu: (a)Metode Longitudinal (Longitudinal
Method) adalah suatu cara pengambilan subjek yang subjeknya hanya berjumlah
satu individu, (b)Metode Krosseksional (Crossectional Method) adalah suatu cara
pengambilan subjek penelitian yang terdiri dari beberapa individu yang jumlahnya
terbatas, misalnya dua, tiga, empat dan paling banyak lima, (c)Study Populasi
adalah penelitian yang melibatkan individu secara keseluruhan, dan (d)Metode
Sampling (Sampling Method) adalah suatu cara penentu subjek penelitian terdiri
dari sebagian individu yang mewakili jumlah individu yang lebih besar atau
sering disebut populasi (Sugiyono, 2006: 20-22).
Sehubungan dengan uraian di atas maka dalam penelitian ini, penentuan
subjek penelitian menggunakan Metode Sampling yaitu Non Probability Sampling
kategori Purposive Sampling. Non Probability Sampling adalah suatu teknik
pengambilan sample yang tidak menggunakan teori-teori probability, sedangkan
Purposive Sampling adalah suatu teknik pengambilan sample terhadap anggota
populasi yang bersifat khusus dan mempunyai kompetensi tertentu dengan
maksud agar informasi yang tergali sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam
penelitian ini yang dimaksud adalah orang yang memiliki kompetensi di bidang
gaguritan yang termasuk di dalamnya adalah penulis dan pengarang daripada
Gaguritan Widura Niti Wakya.
24
3.4 Sumber dan Jenis Data
3.4.1 Pengertian Data
Dalam penelitian ilmiah data merupakan bahan mentah yang akan diolah
atau dianalisis. Tanpa diolah atau dianalisis data tidak mempunyai arti apa-apa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dicantumkan bahwa : ”data - keterangan
yang benar dan nyata” (Tim Penyusun, 2001 : 239). Arikunto (2006 : 118)
menyatakan bahwa : “data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta
maupun angka”. Selanjutnya Kerlinger (2004 : 218) menyatakan bahwa : “data
adalah hasil-hasil penelitian yang darinya ditarik inferensi : biasanya hasil
numerikal seperti skor tes dan statistik-statistik”. Senada dengan itu Sudarmayanti
(2002 : 177) mendefinisikan bahwa : “data adalah kumpulan angka-angka yang
berhubungan dengan observasi”.
Dari beberapa rujukan di atas dapat disimpulkan bahwa data adalah bahan
mentah yang berupa keterangan nyata dalam bentuk fakta maupun angka yang
digunakan dalam sebuah observasi.
3.4.2 Sumber Data
Subagyo (1997 : 129) menyatakan bahwa: “sumber data dalam penelitian
dalam penelitian adalah subjek darimana data diperoleh”.
Selanjutnya Azwar (1999 : 91), menyatakan bahwa:
menurut sumbernya data penelitian dapat digolongkan sebagai data primer dan data sekunder. Data primer atau data tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Sedangkan data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya. Data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang tersedia.
25
Sedangkan Hasan (2002: 167), menyatakan bahwa: “data primer adalah
data murni yang akan diolah yang diperoleh langsung dari informan”. Selanjutnya
Iqbal (2002: 16), menyatakan bahwa: “data sekunder adalah data yang diperoleh
atau dikumpulkan dari sumber-sumber yang ada, data ini biasanya diperoleh dari
perpustakaan atau dari penelitian-penelitian”.
Dari pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa sumber data adalah subjek
dari data yang dapat dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data mentah atau data murni yang diperoleh secara langsung
contohnya melalui wawancara dan observasi, sedangkan data sekunder adalah
data yang diperoleh dari pihak lain atau sumber yang telah ada dapat berasal dari
dokumentasi atau kepustakaan.
Dalam penelitian ini, sumber data yang dipakai adalah data primer dan
data sekunder. Data primernya yaitu berupa data yang diperoleh dari teks
Gaguritan Widura Niti Wakya dan wawancara yang dilakukan. Sedangkan data
sekundernya adalah data yang diperoleh dari kepustakaan sekolah berupa teks
atau kepustakaan yang terkait dengan Gaguritan Widura Niti Wakya dan berbagai
pengertian mengenai kajian penelitian.
3.4.3 Jenis Data
Moleong (2006: 157) menyatakan bahwa jenis data dalam penelitian dapat
berupa kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistik. Selanjutnya
Subagyo (1997 : 97) menyatakan data menurut jenis atau wujudnya dapat
dibedakan menjadi dua yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa data kualitatif adalah data dalam bentuk uraian, sedangkan data
26
kuantitatif diwujudkan dalam bentuk angka-angka. Senada dengan itu Azwar
(1999 : 91), menyatakan bahwa : “data primer dan data sekunder dapat pula
digolongkan menurut jenisnya sebagai data kuantitatif yang berupa angka-angka
dan data kualitatif yang berupa kategori-kategori”.
Jadi dapat dijelaskan bahwa menurut jenisnya, data dapat dibagi menjadi
dua yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif yaitu data dalam
bentuk uraian-uraian atau kategori-kategori, sumber data tertulis dan foto.
Sedangkan data kuantitatif data yang diwujudkan dengan angka-angka dan
statistik.
Dalam penelitian ini, jenis data yang dipakai adalah data kualitatif berupa
uraian dalam wawancara, teks asli Gaguritan Widura Niti Wakya dan sumber data
tertulis lain yang berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan Agama Hindu dalam
Gaguritan Widura Niti Wakya.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Menurut Subagyo (2004 : 37) “pengumpulan data pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan operasional agar tindakannya masuk pada penelitian
sebenarnya”. Sedangkan Arikunto (2003 : 134), dan Sukmadinata (2007 : 215)
menyatakan bahwa metode pengumpulan data yaitu cara yang digunakan untuk
memperoleh data yang dijadikan dasar kajian, dianalisis dan disimpulkan.
Selanjutnya Suryabrata (2004 : 41) menyatakan bahwa : “metode pengumpulan
data adalah suatu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, yaitu : tes,
observasi, wawancara, angket, sosiometri, dan pencatatan dokumen”.
27
Jadi dapat dijelaskan bahwa metode pengumpulan data adalah kegiatan
operasional atau cara yang dilakukan untuk memperoleh data dalam penelitian
yang dijadikan dasar kajian, yang selanjutnya dianalisis dan disimpulkan. Adapun
metode pengumpulan data yang dipakai yaitu:
3.5.1 Metode Wawancara
Esterberg (dalam Sugiyono, 2006 : 260), dan Saebani (2008: 190)
menyatakan bahwa wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik. Usman dan Akbar menyebutkan bahwa “wawancara adalah
tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung” (2004 : 57).
Jadi dapat disimpulkan bahwa metode wawancara adalah pertemuan antara
dua orang atau lebih secara langsung untuk bertukar informasi dan ide melalui
tanya jawab. Maksud dari penggunaan metode wawancara adalah untuk
memperoleh keterangan atau penjelasan dari informan.
3.5.2 Metode Pencatatan Dokumen
Usman dan Akbar (2004 : 73) menyatakan bahwa: ”metode pencatatan
dokumen adalah teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi yaitu
pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen”. Selanjutnya
Moleong (1996 : 161), “metode pencatatan dokumen adalah suatu cara untuk
memperoleh suatu data efigrafis dalam sumber-sumber tertulis berupa : buku,
lontar, transkripsi lontar, majalah, surat kabar dan dokumen-dokumen lainnya”.
Senada dengan itu Arikunto (2006: 231) menyatakan bahwa: “pencatatan
28
dokumen atau dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
lenggur, agenda dan sebagainya.”
Jadi dapat dijelaskan bahwa metode pencatatan dokumen yaitu teknik
pengumpulan data dengan mengkaji bahan-bahan pustaka atau dokumen dengan
tujuan untuk mendapatkan informasi secara lengkap dalam kegiatan ilmiah.
Adapun dokumen-dokumen yang dapat dikumpulkan seperti catatan, lontar,
transkripsi lontar, buku-buku, majalah-majalah, jurnal, surat kabar, prasasti,
notulen rapat maupun agenda yang ada kaitannya dengan materi penelitian.
Dalam penelitian ini pencatatan dokumen yang dilakukan dengan
mengkaji teks daripada Gaguritan Widura Niti Wakya.
3.6 Metode Pengolahan Data
Untuk dapat memberikan gambaran sesuai dengan tujuan penelitian maka
data yang terkumpul perlu diolah. Saebani (2008 : 199) menyatakan bahwa
pengolahan data adalah melakukan analisa terhadap data dengan metode dan cara-
cara tertentu yang berlaku dalam penelitian.
Riyanto, (2001 : 105) menambahkan ada tiga metode pengolahan data:
(1) Metode Deskriptif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan secara umum, (2) Metode Komparatif adalah suatu cara pengolahan data dengan jalan mengadakan bandingan secara sistematis serta terus menerus sehingga diperoleh kesimpulan umum, (3) Metode Analisa adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan mempergunakan suatu teknik analisa tertentu sehingga diperoleh tesa.
Jadi dapat dijelaskan bahwa metode pengolahan data untuk data kualitatif
dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
29
1. Metode deskriptif
Metode deskriptif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan
dengan jalan menyusun secara sistematis data hasil penelitian sehingga
diperoleh suatu kesimpulan umum.
2. Metode komparatif
Metode komparatif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan
dengan mengadakan perbandingan secara sistematis serta terus-menerus
sehingga diperoleh suatu kesimpulan.
3. Metode analisis
Metode analisis adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan
dengan jalan mempergunakan suatu teknik analisis tertentu sehingga
diperoleh suatu dugaan atau kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dalam penelitian ini dipergunakan Metode
Deskriptif yaitu cara pengolahan data dengan jalan menyusun secara sistematis
sehingga diperoleh suatu kesimpulan secara umum.
Di dalam penggunaan metode ini dipergunakan beberapa teknik. Menurut
Azwar (1999: 99 – 100) ada tiga teknik yang bisa digunakan dalam pengolahan
data, yakni :
(1) Teknik Induksi adalah terlebih dahulu dikemukakan fakta-fakta yang bersifat khusus, atas dasar fakta tersebut ditarik suatu kesimpulan, (2) Argumentasi yaitu memberikan komentar dan alasan yang rasional terhadap informasi yang tergali lewat penelitian selanjutnya ditarik simpulan yang logis, (3) Teknik spekulasi yaitu menarik kesimpulan yang semata-mata didasarkan atas ketajaman rasio peneliti
Selanjutnya Netra (1974 : 75) menyatakan bahwa ada tiga teknik analisa
data yaitu :
30
(1) Teknik induksi yaitu dilakukan dengan mengungkapkan fakta-fakta khusus. Atas dasar fakta-fakta ini ditarik suatu kesimpulan. (2) Teknik argumentasi yaitu dengan memberikan komentar-komentar atau alasan-alasan pada setiap penarikan kesimpulan. (3) Teknik spekulasi yaitu dengan menggunakan ketajaman rasio atau akal pada setiap penarikan kesimpulan.
Dari uraian di atas teknik yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
teknik induksi dan argumentasi yaitu dengan cara terlebih dahulu mengemukakan
fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan dan memberikan