Top Banner
1 TUGAS MIKROBIOLOGI FARMASI “RESISTENSI Propionibacterium acnes” Oleh DITTA RIA ARINI 260110110087 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN
21

Propionibacterium Acnes

Dec 18, 2015

Download

Documents

Ditta Ria Arini

Mikrobiologi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

1

TUGAS MIKROBIOLOGI FARMASIRESISTENSI Propionibacterium acnes

OlehDITTA RIA ARINI260110110087

FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS PADJADJARAN2015

Propionibacterium acnes Klasifikasi bakteri Propionibacterium acnes adalah:Orde: ActinomycetalesFamily: PropionibacteriaceaeGenus: PropionibacteriumSpesies: Propionibacterium acnes (Khan et al., 2009; Sugita et al., 2010)Propionibacterium acnes merupakan salah satu bakteri gram positif berbentuk basil dan bersifat anaerob obligat. P. acne merupakan mikrobiota kulit yang biasanya sering ditemukan pada kulit yang kaya akan kelenjar sebasea seperti di kulit kepala dan muka. Jumlah P. acnes pada kulit terkait dengan aktivitas kelenjar sebasea, atau dengan kata lain jumlahnya meningat setelah adanya pematangan fungsi kelenjar sebasea yaitu seiring masa pubertas (Khan et al., 2009; Sugita et al., 2010).Propionibacterium acnes (P. acnes) merupakan bakteri anaerob yang terlibat dalam patogenesis acne vulgaris. Ada empat faktor primer patogen: produksi sebum berlebih, kolonisasi bakteri, inflamasi, dan abnormal keratinisasi. Target pengobatan harus menyeimbangi banyak faktor patogen dan memungkinkan dilakukan kombinasi dari agen topikal dan sistemik. Antibiotik yang bekerja sebagai anti-inflamasi dan antimikroba dan bekerja pada dua tingkatan: pertama untuk mengurangi jumlah P. acnes flora normal yang ditemukan dalam jumlah yang abnormal dalam folikel sebaceous pasien dengan jerawat yang merupakan faktor utama dalam pengembangan inflamasi dan kedua untuk menghambat produksi P. acnes terkait mediator inflamasi (Swanson, 2003).P. acnes merupakan agen utama etiologi inflamasi jerawat dengan merangsang pelepasan interleukin-1 (IL-1), IL-8, dan tumor necrosis factor- (TNF-) dan mengaktifkan sistem komplemen. Mikroorganisme ini juga menghasilkan asam lemak bebas melalui hidrolisis trigliserida kelanjar sebasea oleh lipase-nya. Asam lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi jaringan ketika berhubungan dengan sistem imun dan mendukung terjadinya jerawat (Khan et al., 2009; Sugita et al., 2010).

PENGOBATANPropionibacerium acnes, dan juga spesies Propionibacterium spp., lainnya secara umum peka terhadap antibiotik benzilpenisilin, amoksisilin, cefazolin, cefotetan, generasi ketiga sefalosporin, kloramfenikol, klindamisin (CL), eritromisin (EM), imipenem, meropenem, tetrasiklin (TET), vankomisin, rifampisin, fluoroquinolon, linezolid (LIN) dan kombinasi antara penisilin dan inhibitor betalaktamase. Propionibacterium spp., umumnya resisten terhadap 5-nitronidazol (metronidazol, tinidazol dan ornidazol), aminoglikosida, dan mupirosin (Oprica, 2006). A. Pengobatan Acne dengan Agen AntibakteriA. 1) Pengobatan OralBeberapa contoh antibakteri yang digunakan oral untuk pengobatan penyakit ini yaitu Golongan Siklin, Makrolida, Klindamisin, Kombinasi Trimetoprim dan Co-trimoxazole, dan Levofloksasin. Antibiotik golongan siklin merupakan antibiotik pilihan berdasarkan efikasi, kejadian resistensi antibiotik, dan keamanannya.Antibiotik golongan makrolida jarang digunakan karena banyaknya kasus resistensi dan resistensi silang dengan klindamisin. Klindamisisn juga jarang digunakan karena adanya efek samping yang terjadi yaitu pseudomembranous colitis dimana antibiotik tersebut menekan flora normal dan memberikan kesempatan bagi Clostridium difficile untuk tumbuh dan memproduksi toksin (Oprica, 2006).Mekanisme kerja antibiotik yang diberikan secara oral :i. Mengurangi jumlah P. acnes dengan ; Menghambat sintesis protein. Antibiotik golongan siklin terikat secara reversibel pada ribosom subunit 30S dan mencegah asosiasi aminoasil-tRNA dengan kodon pada mRNA serta mencegah translasi dan sintesis protein; antibiotik golongan makrolida dan klindamisin sendiri mengikat ribosom 50S pada atau dekat situs yang sama di domain II dan V dari rRNA 23S dan mencegah elongasi (perpanjangan rantai peptida). Menghambat enzim yang bekerja pada pembentukan asam tetrahidrofolat bakteri Menghambat enzim gyrase bakteri ii. Inhibisi produksi mediator pro-inflamasi (oleh antibiotik golongan siklin, makrolida, dan klindamisin) iii. Inhibisi mitosis limfosit, inhibisi fagositosis, menurunkan produksi sitokin (TNF-, IL-1, dan IL-6) dan meningkatkan sekresi sitokin anti-inflamasi (IL-10), inhbisi leutaksis, inhibisi ROS (Reactive Oxygen SpeciesI) iv. Menurunkan aktivasi C3 dan inhibisi kolagen dan MMPs (golongan siklin) (Oprica, 2006).

A. 2) Pengobatan TopikalMekanisme kerja antibiotik topikal sebagai berikut; Sebagai anti-inflamasi dengan supresi kemotaksis leukosit, aktivitas anti-lipase, dan reduksi pro-inflammatory asam lemak bebas. Sebagai antibakteri eritromisisn dan klindamisin mempunyai efek untuk mereduksi jumlah bakteri. Reduksi lesi non-inflamasi dengan mengurangi perifolikular limfosit yang terlibat dalam comedogenesis. (Oprica, 2006).

i. Klindamisin dan EritromisinKlindamisin dan eritromisin menghambat sintesis protein dengan pengikatan ribosomal 50S unit P secara ireversibel (Dokter Desk Reference, 2001). Eritromisin bersifat bakterisida, sedangkan klindamisin adalah bakterisida dan bakteriostatik. Klindamisin tersedia sebagai gel 1%, 1% lotion, atau 1% larutan dan eritromisin baik sebagai konsentrasi 2% atau 3% di berbagai sediaan. Klindamisin dan eritromisin keduanya unggul dengan plasebo pada penurunan jumlah lesi jerawat. Perbandingan eritromisin 2% gel dengan klindamisin 1% larutan dalam 12 minggu, studi kelompok paralel acak menemukan keduanya berkhasiat (Swanson, 2003). ii. Sodium sulfacetamideSodium sulfacetamide efektif terhadap P. acnes. Hal ini biasanya dikombinasikan dengan sulfur dalam pengobatan jerawat. Natrium sulfacetamide sebagai antagonis kompetitif untuk para-aminobenzoic acid (PABA), komponen penting untuk pertumbuhan bakteri. Sulfur, selain bertindak sebagai keratolitik yang menghambat pertumbuhan P. acnes dan pengembangan asam lemak bebas. Meskipun resistensi P. acnes terhadap natrium sulfacetamide belum diakui dalam literatur, ketahanan terhadap berbagai isolat staphylococcal dengan topikal natrium sulfacetamide telah diidentifikasi dalam pengobatan konjungtivitis (Swanson, 2003).iii. Kombinasi Terapi Topikal Salah satu pendekatan pada penurunan resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah untuk menggabungkan benzoil peroksida dengan agen topikal lain dengan mekanisme yang saling melengkapi namun berbeda dari aksi antibakteri, seperti klindamisin atau eritromisin. Penelitian telah menunjukkan bahwa kombinasi 5% benzoyl peroxide dan 1% clindamycin gel topikal lebih unggul daripada monoterapi clindamycin dan secara signifikan mengurangi jumlah jerawat dan resistensi P. acnes. Satu studi mengidentifikasi kombinasi 5% benzil peroksida dengan 3% eritromisin gel topikal lebih efektif daripada eritromisin saja, mengakibatkan penurunan 3 log total P. acnes dan penurunan yang signifikan dalam strain eritromisin tahan dengan kombinasi gel topikal, dibandingkan hanya penurunan 1,5 log total P. acnes dan ada pengurangan strain eritromisin yang tahan dengan eritromisin tunggal. Meskipun tidak signifikan, sebuah penelitian menunjukkan kecenderungan untuk keberhasilan yang lebih besar dengan persiapan benzoil peroksida dan klindamisin dibandingkan dengan benzoil kombinasi peroksida dan eritromisin gel topikal (Swanson, 2003).RESISTENSIAntibiotik topikal dan oral telah menjadi andalan pengobatan jerawat selama lebih dari 50 tahun. Meluasnya penggunaan tetrasiklin dan eritromisin terjadi selama lebih dari 25 tahun sebelum ditemukannya resistensi terhadap penggunaan antibiotik tersebut. Akan tetapi beberapa dekade terakhir ini resistensi terhadap P. acnes semakin meningkat. Pada akhir 1970-an, beberapa strain P. acnes yang relatif sensitif terhadap eritromisin dan klindamisin pertama kali dilaporkan dan tidak signifikan. Pada awal 1980-an, tak lama setelah pengenalan formulasi topikal eritromisin dan klindamisin, secara klinis strain kurang sensitif dilaporkan dari beberapa pasien di Amerika Serikat (Zouboulis et al., 2003). Resistensi antibiotik mengacu pada konsentrasi hambat minimum dimana konsentrasi terendah suatu antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri lebih besar dari konsentrasi yang diperoleh secara in vivo. Perkembangan resistensi antibiotik adalah multifaktorial. Meskipun struktur antibiotik itu sendiri merupakan faktor utama dalam pengembangan resistensi, ada banyak faktor lain yang terlibat termasuk cara kerja bakteri melawan antibiotik, bagaimana antibiotik tersebut digunakan, karakteristik host dan faktor lingkungan. Indikasi pertama resistensi antibiotik untuk Propionibacteria muncul pada tahun 1979 dengan penggunaan eritromisin topikal dan klindamisin (Oprica, 2006).Umumnya perolehan gen resisten antibiotik oleh bakteri terjadi ketika unsur-unsur genetik, seperti transposon dan plasmid ditransfer ke strain atau spesies lain dalam flora normal kulit. Beberapa bakteri mungkin bawaan resisten terhadap antibiotik tertentu. Namun dengan eritromisin, klindamisin, dan tetrasiklin, tingkat resistensi dikaitkan dengan mutasi titik di rRNA (Ross et al., 2001). Bakteri yang resisten terhadap tetrasiklin dan eritromisin, mempunyai plasmid dan transposon yang mengkode protein pump yang dapat meng-efflux antibiotik keluar dari ribososom dan pada beberapa kasus terjadi inaktivasi enzim. Dalam kasus klinis strain yang relevan dengan propionibacterium acnes, komponen resistensi genetik belum ditemukan. Sebaliknya, mutasi titik dalam gen pengkode 23S rRNA (eritromisin) dan 16S rRNA (tetrasiklin) telah diidentifikasi (Zouboulis et al., 2003).Mutasi pada komponen 23SrRNA dari E. coli basa nukleotida memberikan berbagai tingkat resistensi terhadap eritromisin dan klindamisin. Misalnya, mutasi titik pada E. coli basa nukleotida 2057 membuat rendahnya tingkat resistensi terhadap eritromisin dan tidak terjadinya resistensi terhadap klindamisin. Sebaliknya, mutasi titik E. coli basa nukleotida 2058 menghasilkan berbagai tingkat resistensi terhadap kedua eritromisin dan klindamisin, sedangkan mutasi titik E. coli basa nukeotida 2059 menghasilkan tingkat resistensi tinggi terhadap eritromisin dan rendah untuk klindamisin (Coates et al., 2002). Oleh karena itu, kebanyakan P. acnes resisten terhadap eritromisin dan resistensi silang terhadap klindamisin (Coates et al., 2002). Dalam sebuah penelitian, pasien yang diobati dengan klindamisin topikal memiliki peningkatan Propionibacteria yang tahan terhadap eritromisin pada 64% dari pasien yang sebelumnya telah diobati dengan eritromisin oral dibandingkan dengan hanya 20% dari pasien tanpa pengobatan sebelumnya (Eady et al., 1989).Tiga fenotipe untuk P. acnes yang resisten terhadap eritromisin telah diklasifikasikan pada tabel 1. Kelompok I dikaitkan dengan transisi A G pada Escherichia coli equivalent base 2058 dan memberikan resistensi terhadap antibiotik eritromisin dan semua macrolide, lincosamide dan streptogramin B (MLS) dengan MIC bervariasi pada kedua obat dan strain. Kelompok fenotip III dikaitkan dengan transisi G A pada Escherichia coli equivalent base 2057 dan menimbulkan tingkat perlawanan rendah terhadap eritromisin saja. Kelompok IV memiliki mutasi A G pada Escherichia coli equivalent base 2059 dan memberikan resistensi tingkat tinggi untuk semua makrolida yang beranggotakan 14, 15 dan 16 cincin. Dalam kasus tetrasiklin, resistensi dikaitkan dengan mutasi (transisi G C) pada 16S rRNA dari subunit ribosom kecil pada Escherichia coli equivalent base 1058 (Zouboulis et al., 2003).

Tabel 1. Resistensi Propionibacterium acnes

Tabel 2. Resistensi Propionibacterium acnes dari isolat pasien acne yang diisolasi dari Eropa, US, Jepang, dan Australia. Berdasarkan survey, strain resisten yang diisolasi di Perancis, Jerman, Jepang, Australia dan Amerika Serikat dibandingkan dengan strain Inggris (tabel 2); dari total 73 strain, 35 strain resisten hanya terhadap eritromisin, 15 strain resisten hanya pada tetrasiklin dan 23 strain resisten terhadap keduanya. Menariknya, hanya strain dari Jerman dan Jepang yang resisten terhadap eritromisin dan strain Australia didominasi oleh strain resisten terhadap tetrasiklin. Fenotipe I resistensi eritromisin ditemukan pada 24 strain, tipe III pada 3 strain dan tipe IV sebanyak 22 strain dan 9 strain dengan mutasi tak dikenal. Dalam kasus tetrasiklin, 34 dari 38 strain menunjukkan mutasi pada basa nitrogen 1058. Sembilan isolat yang resisten terhadap eritromisin dari Jerman tidak memiliki mutasi pada 23S rRNA tapi memang menunjukkan pola resistensi ditemukan dengan fenotipe I (Zouboulis et al., 2003).Urutan domain V pada 23S rRNA mengungkapkan bahwa 49 dari 58 genom dari strain yang resisten terhadap eritromisin mengalami mutasi titik pada peptidil tranferase. Tiga isolat yang berasal dari Inggris menunjukkan tingkat resistensi yangr endah terhadap eritromisin dengan ditandai adanya transisi G A pada E. coli basa nukleotida 2057. Seperti dapat dilihat dari Tabel 4, strain ini tetap sensitif terhadap antibiotik lain MLS (Makrolida-Linkosamida-Streptogramin B). Dua Puluh Empat isolat, termasuk satu atau lebih strain dari masing-masing negara kecuali Jerman mengalami transisi A G pada E. coli basa ekuivalen 2058. Strain ini sangat resisten terhadap eritromisin, azitromisin, tylosin dan IA pristinamycin. MIC dari spiramisin, josamycin dan klindamisin agak rendah. Dua puluh dua isolat, dan khususnya 10 dari 11 berasal dari Perancis, menunjukkan transisi A G pada E. coli basa ekuivalen 2059. Strain ini sangat resisten terhadap semua makrolida (Ross et al., 2001). Sembilan isolat yang resisten terhadap eritromisin, semua berasal dari Jerman dan tidak terjadi mutasi pada domain V dari 23S rRNA. Pada beberapa kasus, pola resistensi silang sepenuhnya konsisten dengan mutasi pada 2058 tetapi tidak ada mutasi yang terdeteksi. Namun lima dari sembilan isolat, MIC untuk azitromisin jauh lebih rendah daripada strain yang mengalami mutasi pada basa nykleotida 2058 atau 2059. Berdasarkan sequencing gen 16S rRNA, terjadi transisi CG pada E. coli basa ekuivalen 1058 terjadi pada 34 dari 38 strain yang resisten terhadap tetrasiklin (Ross et al., 2001). Penelitian Rose et al. (1997) menunjukkan bahwa basa genetika yang resisten terhadap eritromisin dan klindamisin pada P. acnes dan telah diklasifikasikan menurut pola resistensi silang terhadap antibiotika MLS (Makrolida-Linkosamida-Streptogramin B). Meknisme yang sering terjadi yaitu karena adanya tiga mutasi titik berbeda pada gen yang mengkode domain V, untaian peptidiltransferase 23S rRNA, dan telah dibuktikan bahwa setiap mutasi tersebut terkait dengan fenotipe resistensi silang terhadap antibiotik MLS. Transposon corynebacterial Tn 5432 membawa gen resistensi erm(X) yang dideteksi pada strain P. acnes yang resisten terhadap antibiotik MLS (Ross et al., 2002). Gen Erm (eriythromycin ribosome methylase) mengkode metil transferase yang dapat memetilasi posisi N6 Escherichia coli A2058 pada 23S rRNA. Posisi tersebut menunjukkan adanya overlapping sisi aktif untuk antibiotik MLS sehingga terjadi resistensi silang terhadap antibiotik tersebut (Tabel 3) (Leclercq, 2002). Gen Erm(X) membuat adanya resistensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mutasi titik yang terjadi. Sehingga sangat memungkinkan apabila munculnya transposon dapat meningkatkan jika antibiotik topikal sering digunakan dan resistensi mutasi tidak cukup melindungi secara in vivo terhadap zat antibiotik (Ross et al., 2002).

Tabel 3. Mekanisme genetik pada isolat yang resisten terhadap antibiotik MLS. Resistensi bakteri terhadap makrolida dan linkosamida melalui modifikasi sisi target dengan metilasi atau mutasi yang menyebabkan antibiotik berikatan dengan sisi aktif pada ribosom target, melalui efflux antibiotik dan inaktivasi obat (Leclercq, 2002). Modifikasi target ribosom menyebabkan resistensi terhadap kedua antibiotik (eritromisin dan klindamisin) namun mekanisme terakhir hanya menyebabkan resistensi terhadap salah satunya. Mekanisme resistensi yang sering terjadi yaitu mutasi titik (pada genotipe I dan IV) (Ross et al., 2001). Efek fenotipe mutasi daerah phylogenetic pada ribosomal subunit (pusat peptidiltransferase) pada domain V dari 23S rRNA dapat disebabkan karena kondisi lingkungan. Mutasi kedua pada rRNA memungkinkan untuk menjaga mutasi pertama pada P. acnes. Posisi A2058 merupakan nukleotida kunci yang termasuk pada interaksi makrolida pada ribosom. Pada strain P. acnes , substitusi pada A2058G menunjukkan bahwa terjadinya resistensi tinggi pada semua antibiotik kelompok MLS, dan tingkat resistensi tertinggi pada makrolida beranggotakan 14 cincin (Vester et al., 2001). Posisi A2057 hanya terbatas untuk propionibacteria dan Helicobacter pylori yang resisten terhadap clarithromisin dan menunjukkan adanya resistensi rendah terhadap makrolida beranggotakan 14 cincin namun tidak terjadi resistensi pada makrolida beranggotakan 16 cincin. Posisi A2059 menunjukkan adanya resistensi terhadap makrolida yang beranggotakan 14 dan 16 cincin, namun terjadi resistensi lebih tinggi pada josamisin (makrolida beranggotakan 16 cincin) dibandingkan pada mutasi A2058G (Oprica, 2006). 40 gen erm telah ditemukan, namun hanya gen erm(X) yang ditemukan pada Propionibacterium acnes. Untuk strain yang resisten terhadap klindamisin-eritromisin yang tidak terjadi mutasi namun termasuk ke dalam fenotipe resisten, terjadi mekanisme resistensi lainnya seperti mutasi protein ribosomal (L4 atau L22); transisi pada posisi 2611 domain V dari 23S rRNA atau delesi pada domain II dari 23S rRNA. Mekanisme yang mungkin terjadi tersebut ditunjukkan dengan adanya resistensi pada makrolida (Oprica, 2006).Terdapat tiga mekanisme resistensi tetrasiklin pada Propionibacterium acnes. Pertama, efflux obat yang bergantung pada energi. Kesua yaitu mekanisme proteksi atau pengubahan ribosom dan yang ketiga yaitu inaktivasi enzimatik oleh produk tet(X). Mutasi pada 16S rRNA menyebabkan perubahan binding site pada ribosom yang ditemukan pada 12 dari 27 strain P. acnes (Ross et al., 2001). Dilihat dari beberapa bukti yang ada, jelas bahwa strain resisten antibiotik dari P. acnes ditemukan di seluruh dunia. Tingkat resistensi terbesar untuk erythromycin, namun terkadang resistensi tetrasiklin termasuk minocycline juga terjadi, dan juga pengurangan sensitivitas untuk klindamisin. Peggunaan antibiotika jangka panjang sekarang ini sulit diandalkan kecuali diresepkannya benzoil peroksida untuk menekan munculnya strain resisten. Strategi lain adalah penggunaan retinoid topikal untuk mempertahankan penghilangan propionibacterium acnes setelah antibiotik terapi telah menekan fase inflamasi jerawat dan mungkin dapat dipertimbangkan isotretinoin sistemik sebagai pengobatan pilihan bagi yang inflamasinya tidak dapat diobati dengan penggunaan antbiotik jangka panjang. Berikut beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan kedepannya seperti;Langkah Strategis kedepannya

Kurangi penggunaan antbiotik jangka waktu lama

Hentikan penggunaan antibiotik ketika inflamasi telah berhenti

Penggunaan terapi kombinasi

Maintenance therapy ( retinoid topikal; benzoil peroksida atau gabungan benzoil peroksida dan antibiotik terapi)

Pemberian sistemik isotretinoin untuk kasus resistensi

(Zouboulis et al., 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Coates, P.,Vyakrnam S.,Eady EA.,Jones CE.,Cove JH.,Cunliffe WJ. 2002. Prevalence of antibiotic-resistant propionibacteria on the skin of acne patients: 10-year surveillance data and snapshot distribution study.Br J Dermatol. 146:840848.Eady, E. A., J. H. Cove, K. T. Holland, and W. J. Cunliffe.1989. Erythromycin resistant propionibacteria in antibiotic treated acne patients: association with therapeutic failure.Br. J. Dermatol.121:51-57.Khan, Z.Z., Assi, M., Moore, T.A. 2009. Recurrent Epidural Abscess Caused by Propionibacterium acnes. Kansas Journal of Medicine. 92-95.Leclercq, R. 2002. Mechanism of Resistance to Macrolode and Lincosamide: Nature of The Resistance Elements and Their Clinical Implications. Clin Infect Dis. 34:482-492.Oprica, C. 2006.Characterisation of Antibiotic Resistant Propionibacterium acnes from Acne Vulgaris and Other Diseases. Karolinska University Press. Stockholm.Ross, JI., Eady, EA., Cove, JH., et al. 1997. Clinical Resistance to Eritromycin and Clindamycin in Cutaneous Propionibacteria Isolated from Acne Patients is Associated with mutations in 23S rRNA. Antimicrob Agents Chemother. 41: 1162-1165.Ross et al.,. 2001. Phenotypic and genotypic characterization of antibiotic-resistant Propionibacterium acnes isolated from acne patients attending dermatology clinics in Europe, the U.S.A., Japan and Australia. British Journal of Dermatology. 144: 339-346. Ross, JI., Eady, EA., Carnegie, E., et al. 2002. Detection of Transposon Tn5432-Mediated Macrolide-Lincosamide-Streptogramin B (MLSB) Resistance in Cutaneous Propionibacteria from Six European Cities. J Antimicrob Chemother. 49: 165-168. Sugita, T., Miyamoto, M., Tsuboi, R., Takatori, K., Ikeda, R., Nishikawa, A. 2010. In Vitro Activities of Azole Antifungal Agents against Propionibacterium acnes Isolated from Patients with Acne Vulgaris. Biol Pharm Bull. 33(1): 125-12. Swanson, J.K. 2003. Antibiotic Resistance of Propionibacterium acnes in Acne Vulgaris. Available online at http://www.medscape.com/viewarticle/460620 [diakses 12 April 2015]. Vester, B., Douthwaite, S. 2001. Macrolide Resistance Conferred by Base Substitution in 23S rRNA. Antimicrob Agents Chemother. 45: 1-12. Zoubulis, Ch. C., Herane, M.I., Thiboutot, D. 2003. Acne.Symposium at the World Congress of Dermatology. Vol. 206.