Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan melalui lorong depan sekolah. Menuju ke kelas, dengan menggendong tas dibelakang dan menenteng tas laptop. Sekolah memang sepi. Bukan berarti ini masih pagi. Tidaak, ini tidaklah pagi lagi. Aku sudah telat sepuluh menit. Aku memegang erat tas laptopku sambil terus berjalan tergesa gesa. Sesekali tas itu menyenggol tulang keringku karena aku terlalu cepat berjalan. ððð Aku tersentak melihat jam dinding yang menunjukkan angka tujuh kurang lima belas menit. Aku sama sekali belum bersiap, jangankan mandi. Melepas seragam saja, belum ku lakukan Aku mengecek HP –ku. Sembilan panggilan tak terjawab dari Nauval. Dan tiga pesan masuk, salah satunya dari ‘Mama’. ”Ctek ctek ctek”
140
Embed
Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Prolog
Aku mengenakan almamater sekolah ini.
Berjalan melalui lorong depan sekolah. Menuju
ke kelas, dengan menggendong tas dibelakang
dan menenteng tas laptop.
Sekolah memang sepi. Bukan berarti ini masih
pagi. Tidaak, ini tidaklah pagi lagi. Aku sudah
telat sepuluh menit.
Aku memegang erat tas laptopku sambil terus
berjalan tergesa gesa. Sesekali tas itu
menyenggol tulang keringku karena aku terlalu
cepat berjalan.
ððð
Aku tersentak melihat jam dinding yang
menunjukkan angka tujuh kurang lima belas
menit. Aku sama sekali belum bersiap,
jangankan mandi. Melepas seragam saja, belum
ku lakukan
Aku mengecek HP –ku. Sembilan panggilan
tak terjawab dari Nauval. Dan tiga pesan
masuk, salah satunya dari ‘Mama’.
”Ctek ctek ctek”
Suara saklar berbunyi bergantian.
Aku bergegas menuju garasi setelah semua
lampu telah ku nyalakan.
ððð
“Unit Gawat Darurat”
Tangan kiriku sekarang tidak lagi kosong, ada
sebuah selang teransparan yang di tancapkan
pada pembuluh darah ku. Aku semakin
bingung, perasaanku kacau balau. Aku sama
sekali tak ingat apa yang sedang terjadi.
Otakku penuh dengan segudang pertanyaan.
ððð
Ku buka pintu ruang UGD. Kebetulan hanya
ada satu pasien disana, yaitu pasien tabrak lari
yang kubawa kesini tadi.
Di dipan perawatan itu, ku lihat ia belum
sadarkan diri. Luka luka nya telah dibersihkan
dan diperban. Kulit tangannya yang kuning
langsat terlihat sebagian.
Cukup banyak luka goresan ditubuhnya. Kaos
bagian siku nya robek, dahinya pun diberi
perban membalut melingkar dikepala. Warna
obat merah tembus samar samar pada
perbannya.
ððð
Satu
“Apa?!”
Suasana kelas lengang, semua menatap
kearahku.
“Kamu nggak apa apa kan El?” Salah satu
temanku akhirnya angkat bicara.
Pukul enam lewat lima puluh menit. Tepat saat
itu juga bel masuk kelas berbunyi. Pertanyaan
yang masih menggantung. Belum ku jawab,
Reyhan pun akhirnya memilih untuk
menyiapkan berdo’a, tanda dimulai nya
pelajaran. Daripada harus mendengar teguran
dari guru.
Sepuluh menit kemudian, setelah kami semua
selesai berdo’a dan membaca qur’an. Seperti
rutinitas yang biasa kami lakukan, guru pun
masuk.
Hari pertama resmi ku mulai.
Hari ini sebenarnya bukan hari menyebalkan,
mungkin sikapku yang membuat semuanya
menjadi menyebalkan.
“Elsa!”
Satu temanku memanggil dan menepuk
pundakku.
“Ada apa?”
“Kamu ada masalah?”
Ia bertanya dengan lebih serius.
Bagaimanapun juga aku tidak bisa membohongi
diriku sendiri. Hatiku terluka. Mungkin bukan
hal besar. Tapi tak bisa dikatakan sepele juga.
ððð
Aku berjalan menyusuri lorong demi lorong
sekolah ini. Sendiri. Berjalan menuju suatu
tempat yang sepi. Yang biasanya ditempat
itulah aku bisa lebih tenang.
Perpustakaan. Dimana lagi kalau bukan disitu.
Perpustakaan sekolah ini tidak terlalu ramai.
Bukan berarti peminat pembaca tidak banyak.
Tetapi, mereka biasanya meminjam untuk
dibaca dibaca dirumah atau dikelas. Jarang ada
anak yang membaca di perpustakaan. Jikalau
ada, mungkin hanya satu atau dua siswa saja.
“Permisi”
Sapa ku disambut baik oleh seorang
pustakawan tersebut. Kami sudah sangat akrab.
Karena hampir tiap hari aku menghampirinya
untuk meminjam buku.
“Eh El? Kok telat?”
Memang aku telat hari ini. Bel istirahat sudah
berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu.
“Hehe. Iya pak. Mau pinjam novel lagi ya pak”
Tanpa beliau sebutkan tempatnya aku pun
sudah tahu tempat rak nya. Selain karena aku
lebih senang dan sering meminjam buku novel
daripada buku lain, rak novel pun berada paling
depan dekat pintu masuk perpustakaan. Jadi,
setiap ke perpustakaan, yang orang lihat
pertama adalah rak khusus buku novel.
Hari ini kuputuskan meminjamnya untuk aku
bawa pulang. Karena sebentar lagi bel masuk
akan berbunyi.
Suasana diluar perpustakaan sangat ramai.
Banyak yang sedang berlarian menuju kantin,
membawa peralatan shalat untuk shalat dhuha
di mushola. Banyak juga siswa yang saling
bersenda gurau di teras kelas nya.
Aku Elsa. Salah satu siswi junior yang baru satu
bulan menduduki kelas delapan. Aku bukanlah
anak pendiam. Bukan pula misterius. Hanya
saja, saat ini bukan waktunya untuk menjadi
seperti sedia kala.
Liburan hari raya sudah berakhir enam minggu
yang lalu. Banyak meninggalkan cerita. Hanya
saja dari sekian ‘banyak’ cerita tersebut aku
hanya mengingat ‘satu’ yang belum dapat aku
lupakan hingga saat ini.
Tanpa kusadari aku berhenti ditengah lorong
sekolah. Bel telah berbunyi lima menit yang
lalu. Semua pintu kelas telah tertutup.
Guru sudah memasuki kelas tujuannya masing
masing. Spontan aku berlari kencang dengan
menenteng buku yang telah aku pinjam tadi.
Dua menit berlalu. Aku sudah mendekati
kelasku. Dan benar saja, guru ku sudah masuk
kedalam kelas.
Tanpa berpikir panjang aku langsung membuka
pintu kelas. Tak peduli akibatnya setelah aku
melakukan ini.
Aku memberanikan diri untuk berbicara
kepadanya sesaat setelah aku masuk kedalam
ruangan kelasku.
“Bu maaf saya terlambat.”
Seketika itu beliau menatap tajam kearahku.
Guru itu tidak galak sebenarnya, tetapi memang
ia menjunjung tinggi kedisiplinan. Seperti
mantan anggota TNI. Hehe.
“Dari mana?”
Tanpa aku sempat menjawab, beliau langsung
menambahi kalimatnya.
“Sudah saya jelaskan berkali kali, saya tidak
suka ada anak yang tidak disiplin disini. Kalau
tidak suka pelajaran saya, silahkan keluar”
Aku terdiam. Hanya bisa menunduk. Sesekali
ingin tertawa jika aku tak sedang diposisi
sekarang. Karena melihat rok guru tersebut
yang kependekan.
“Kali ini saya maafkan”
Akhirnya kata kata itu muncul lirih dari bibir
guruku setelah kurang lebih lima menit
membiarkan ku berdiri didepan kelas.
Dua
"Kamu dari mana aja el?" Suara bisikan itu pun
terdengar dari semua sudut.
"Nanti saja ku jelaskan, eh halaman berapa?"
"Yaah elsa, kamu dari mana sih?”
Riza terus saja memaksaku untuk bercerita.
Karena aku sudah merasa kapok aku
menghiraukan paksaannya. ‘Biarkan saja, lama
lama pasti capek sendiri’ batinku.
Dua jam pelajaran terasa lama sekali selesai.
Memang ya, kalau guru yang mengajar tidak
terlalu disukai terasa lama.
Setelah selesai menerangkan, beliau selalu
menyuruh kami mengerjakan tugas tugas. Dan
setelah itu, pasti akan dipanggil satu persatu
kedepan.
Tapi yang menjadi favorit temanku, guru ini
selalu keluar dahulu sebelum jam pelajaran
habis. Hehe. Jadi kami bisa memanfaatkan
waktu, entah itu tidur, bermain game dilaptop
masing masing, mengerjakan PR yang belum
dikerjakan. Semuanya bisa kami kerjakan
setelah guru ini keluar kelas.
Akhirnya jam menunjukkan pukul sebelas lebih
dua puluh menit. Artinya pelajaran ke enam
habis dan pelajaran ke tujuh akan segera
dimulai. Entah mengapa hari ini terasa sangat
membosankan.
Aku meletakkan kepala ke bangku, ingin
mencoba tidur sebentar. Guru mata pelajaran ku
belum juga datang.
Belum ada satu menit aku mencoba
memejamkan mataku, terdengar pengumuman
dispeaker sekolah.
"El! Elsaaaa!"
Bukaan, itu bukan suara speaker. Melainkan
suara Yudha yang terdengar meneriaki ku.
"Apa sih?!" Aku yang memang tak
memperhatikan pengumuman tadi merasa
bingung.
"Nggak ndengerin pengumuman ya? OSIS
kumpul tuh!"
Aku akhirnya dengan sangat terpaksa
meninggalkan bangku ku yang terletak didekat
jendela dibawah AC menuju tempat kumpul
OSIS. Lagi lagi disini aku juga tak bisa
menemukan mood ku. Cuma senang saja bisa
terbebas dari jam pelajaran guru killer.
Rapat OSIS kali ini membahas soal kemah
MOS. Memang, setiap tahun Dewan Galang
selalu bekerja sama dengan OSIS jika ada
kemah ini.
Kali ini seluruh anggota OSIS terlibat.
Pembagian tugas telah selesai. Rapat pun
diakhiri dengan pembagian tugas tersebut.
Masing masing kami akhirnya kembali ke
kelas. Masih ada sekitar 20 menit mengikuti
pelajaran. Aku melihat Yudha, Dimas, dan
Restu masih duduk santai.
"Kalian ngga ke kelas?"
"Masih males, mending disini saja. Gurunya
kan juga ngga enak" Yudha menjawab dengan
entengnya.
"Tapi nanti ketinggalan pelajaran lho"
"Sekali aja nggapapa kan" kali ini Dimas yang
menjawab.
Karna sebal aku langsung menuju ke kelas. Di
kelasku, hanya empat anak yang menjadi
anggota OSIS. Memang pembagian diratakan.
Setiap kelas tiga sampai empat anak saja.
Sesampainya didepan kelas, aku tak melihat
sepatu guruku. Seperti nya gurunya sudah
keluar.
"Assalamualaikum. Loh? Kok udah nggak ada
gurunya?"
"Iyaa, tadi bu Siti emang pamit duluan" Riza
menjawab singkat, sambil terus menulis.
"Ada tugas ya za?" Aku mendekati riza.
"Engga el, nggak ada kok. Eh, gimana tadi
rapatnya?" Tanya riza sambil menutup bukunya
sembari menatap kearahku.
"Minggu depan kemah. Yaa seperti biasa. OSIS
juga ikut." Aku menghela napas.
Riza tidak menjawab. Hanya menunjukkan
wajah setengah mengejek sambil tertawa
cekikikan. Aku melotot ke arahnya
menunjukkan wajah kesal.
"Iya iyaa. Maaf el, semangat kerja nya lo ya.
Tunjukkan kalau kamu anggota OSIS yang
baik. Wkwk"
"Lagian disana enak kok, nanti kan bareng
bareng. Biar ngga kesepian juga weeelk"
Riza terus saja meledekku, aku ganti
meledeknya. Tawa antara aku dan riza pun
pecah, sampai akhirnya terdengar bel istirahat
yang menghentikan kita berdua.
Aku mengenakan almamater sekolah ini.
Berjalan melalui lorong depan sekolah. Menuju
ke kelas, dengan menggendong tas dibelakang
dan menenteng tas laptop.
Sekolah memang sepi. Bukan berarti ini masih
pagi. Tidaak, ini tidaklah pagi lagi. Aku sudah
telat sepuluh menit.
Aku memegang erat tas laptopku sambil terus
berjalan tergesa gesa. Sesekali tas itu
menyenggol tulang keringku karena aku terlalu
cepat berjalan.
"Kamu tau ini jam berapa?" Suara lirih tapi
tegas itu tak asing lagi bagiku. Pak hari. Aku
sudah beberapa kali mendapatkan tanda tangan
darinya. Hehe. Karena aku terlambat. Bukan
karena aku memintanya.
"Maaf pak, tadi—" Belum selesai aku bicara
menjelaskan, beliau langsung memberi aba aba
yang jelas saja aku mengerti tanpa harus
diulangi.
Pertanda baik. Aku hanya disuruh menghafal
surat surat pendek. Tidak perlu mengepel atau
membersihkan bagian disekolah ini. Tak apa
lah. Yang penting tidak terlalu malu didepan
guru. Syukurlah.
Tiga
Aku terus menaiki anak tangga satu persatu.
Teras kelas sudah terlihat sepi semua.
Hanya ada sepatu guru yang terletak didepan
pintu. Mungkin hanya satu dua kelas yang guru
mapel nya belum datang. Great! Kelasku salah
satunya. Aku semakin dekat ke arah kelas.
Meletakkan sepatu ke rak. Dan hendak masuk
ke dalam ruangan.
"Eh el el?"
Dia memanggilku tepat saat aku hampir
membuka tuas pintu. Kuurungkan niatku untuk
membukanya, membiarkan 'Dia' melanjutkan
berbicara. Ada apa? Aku tak menjawab dengan
suara keras, tapi dia paham betul apa
jawabanku.
"Bantuin aku mau?" Menyodorkan kertas A4
buram yang entah apa isinya. Aku pun belum
tau persis.
Aku membaca nya sekali lagi. Melumatnya
dalam dalam. Belum juga memahami penuh
tiba tiba dia menarikku dengan cepat.
"Udah ah cepet. Nanti aja aku jelasin"
ððð
Bilingual Office. Begitulah tulisan yang tertera
dipintu depan ruangan ini. Ruangan yang tidak
terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil ini
sekarang sedang sepi. Tak ada satupun guru
yang berjaga. Lengang. Hanya ada suara mesin
AC yang menyala. Kami bertatapan. Seperti
sama sama bingung apa yang harus dikerjakan.
"Ngapain sih?!" Aku akhirnya memulai
percakapan. Sambil membenarkan tasku. Ya,
Dimas tadi menarikku saat aku belum sempat
menaruh tas ku di dalam kelas.
"Nggausah gitu juga kali lihatnya. Serem amat"
ia mencoba mengajakku bercanda, lalu berhenti
sebentar, membenarkan posisi duduknya, lantas
berbicara serius. "Aku tadi disuruh buat
ngumumin ini, buat kemah minggu depan."
"Trus? Kenapa harus sama aku"
"Nggak inget ya? Kan kita koordinator."
Aku baru teringat, dari hasil rapat yang
dilakukan kemarin aku mendapat tugas sebagai
koordinator. Payah. Disaat semua orang bisa
menikmati libur akhir pekan, mengapa aku
malah yang akan mengurus semua kegiatan ini.
Yang akan paling sibuk jika semua santai.
"Lagian kalo kamu ngga aku seret kesini, kamu
bakal kena marah guru lo."
"Maksudnya?" Jawabku setengah melamun.
"Kan kamu terlambat sepuluh menit. Tadi udah
ada guru di dalem. Nanti kita habis ini mau
rapat lagi."
Aku sedikit memberontak. Bagaimana tidak?
Aku masih membawa tas laptop dan juga tas
yang berat ini. Apa aku juga harus
membawanya kesana kemari? Dimas hanya
cuek saja. Terus mengetik, perhatiannya tertuju
penuh pada monitor dan kertas kecil itu, tanpa
memperhatikan ke arah ku yang sedang
mengomel.
Ya jelas saja ia cuek, ia sama sekali tidak
merasakan harus membawa tas ini. Aargh. Kali
ini, Dimas yang membuat pagiku sangat
menyebalkan.
"Dim bisa pelan dikit ngga sih!"
Aku sebal, Dimas dari tadi memang menguji
kesabaranku. Bagaimana tidak? Ia berjalan
sangat cepat layaknya ia berjalan seorang diri.
Sebenarnya ia sama sekali tidak menyuruhku
berjalan cepat sepertinya, hanya saja aku yang
malu kalau aku berjalan sendiri sambil
membawa tas seperti ini di jam segini.
"Nggausah marah marah deh ah, sini aku
bawain."
Dimas membalikkan badan menuju ke arahku.
Dengan cepat tangannya menyambar tas ku.
Aku melotot. Apaan sih Dimas. Ngga lucu tau.
Wajahku memerah, sedikit malu dan marah
pada Dimas. Ada guru yang memperhatikan
kami berdua. Aku semakin malu. Berlari
mengejar Dimas yang sudah didepan ku lima
langkah.
Sebagai sekretaris OSIS, ia harus sangat
cekatan. Menerima informasi, mengetiknya
ulang, mencetaknya menjadi berlembar lembar,
lalu menyebarkannya.
Dia memang sudah sangat terlatih. Selain
memang sudah dituntut agar selalu on time,
informasinya sendiri pun sangat penting bagi
siapa saja dalam kegiatan ini. Jika tidak
disampaikan dengan cepat, pasti ada sebagian
yang tidak mendapatkan informasi.
Ditempat rapat, sudah ada anggota OSIS lain
yang menunggu. Banyak yang menatapku aneh.
Jelas saja. Jika diperhatikan, aku memang
seperti orang aneh, membawa tas kesana kemari
padahal sudah lewat jam setengah delapan.
Orang orang pasti berfikir aku telat.
Empat
"Kamu kenapa?"
Pertanyaan itu yang kudengar pertama kali
setelah rapat sudah lima menit berjalan. 'aku
kenapa?' bahkan pertanyaan itu yang ingin
kulontarkan pada diriku sendiri. Aku benar
benar tidak tau mengapa.
"Kamu kenapa El?"
Ia mengeraskan suaranya. Kali ini sambil
menggerak gerakkan tangannya kedepan
mataku. Aku melamun. Seketika itu aku sadar
karena semua orang tengah memperhatikanku.
Wajahku memerah, merasa malu sedang dilihati
oleh satu ruangan. Mbak Iffa yang berada
disampingku pun menepuk pundaku sambil
menahan tawa.
Meski sempat berhenti sejenak gara gara aku,
rapat berjalan normal. Rapat selesai tepat pukul
setengah sembilan. Satu jam berlalu begitu
khusyu'. Tidak begitu banyak permasalahan
yang terjadi.
Hanya ada kesulitan dari bagian seksi
kesehatan. Anggota nya kurang, dari Dewan
Galang sendiri hanya ada empat orang seksi
kesehatan. Sedangkan anggota OSIS
dikerahkan untuk bagian koordinator saja.
Tidak akan mencampuri urusan inti Dewan
Galang. Begitu pun sebaliknya.
Akhirnya, hasil keputusan rapat kali ini, seksi
UKS ditambah dari sebagian anggota OSIS.
Meskipun sebelumnya ada yang keberatan,
akhirnya Restu dapat menjelaskan dengan baik.
Keputusan itu diterima.
Rapat Selesai. Banyak anak yang kembali ke
kelas, tapi ada pula yang meneruskan
pekerjaannya. Tak terkecuali Aku, Dimas, Izza,
Mbak Vira, dan seluruh Bagian koordinator
satu.
"Eh, dim. Pengumumannya udah dibuat? Udah
selesai?"
Dimas dengan mantap menjawab sudah dengan
menyerahkan hasil ketikannya pagi tadi. Mbak
Vira mengangguk-angguk sambil membalik
lembaran lembaran itu. Meneliti satu persatu.
"Gini, masih banyak banget yang harus kita
kerjakan. Jelas saja kita nggak mungkin harus
bersama sama ngerjain semua nya kan?
Sekarang kita bagi tugas saja ya? Dimas, Elsa
sama Mela fotocopy pemberitahuan ini,
jumlahnya aku kurang tau, kalian cari aja Restu
atau nggak Reza aja ya yang tau jumlah peserta
yang bakal ikut Kemah. Nanti biar yang lainnya
dijelasin mereka aja."
Sesuai perintah dari Mbak Vira kami bertiga
mencari Restu. Menjumlah keseluruhan peserta
kemah. Setelah itu, barulah kami bertiga
kesebuah tempat foto copy an yang tidak jauh
dari sekolah. Karena jumlah edaran yang
sangat banyak, kami harus sabar menunggu
selesainya proses foto copy, ya walaupun kami
terus di kejar waktu.
Setelah kurang lebih dua puluh menit
menunggu beratus-ratus lembar foto copy an
itu, akhirnya proses foto copy telah selesai.
Kami membawa satu kantong plastik penuh
berisi lembaran lembaran yang siap diedarkan
diseluruh kelas.
Nafas Mela tersenggal senggal, ia tertinggal
tiga langkah dari ku. Ya Rabbi, yang benar saja
Mbak Vira menyuruh membawa tumpukan
ratusan kertas seperti ini kepada tiga orang
adik kelas saja? Yang dari ketiga orang tersebut
perempuannya lebih banyak.
Perjalanan pulang berasa lebih berat, jelas saja.
Yang sebelumnya membawa hanya lima lembar
kertas bolak balik, dan pulangnya harus
membawa beratus ratus lembar.
Lima menit berlalu hanya untuk perjalanan
tempat foto copy an ke Sekolah. Waktu yang
relatif lama untuk berjalan sekitar 100 meter.
Lima
Suasana sekolah terlihat ramai, saat ini memang
H-1 pelaksanaan kemah dalam rangka Masa
Orientasi Siswa sekaligus menjadi penutupan
MOS kali ini. Seluruh panitia terlihat lalu lalang
untuk mempersiapkan acara itu.
Awalnya aku sama sekali tidak berniat masuk
sekolah berbasis islam. Tidak sedikitpun. Aku
punya banyak bakat yang bisa mendorongku
masuk sekolah negeri lain.
Aku penyuka olahraga dari umur tujuh tahun.
Bahkan saat di Sekolah Dasar, aku selalu
diikutkan berbagai macam lomba yang
berkaitan dengan olahraga. Tak jarang pula aku
memenangkannya.
Hari ini sangat terik, bagaimana bisa seluruh
panitia begitu cepat mengerjakan tugasnya.
Mereka begitu cekatan melangkah kesana
kemari.
Kelasku memang tak jauh dari ruang OSIS. Aku
bisa bebas melihat kesibukan mereka dari balik
candela panjang bertirai biru ini. Ditambah lagi
guruku sedang ditugaskan diluar kota selama
sembilan hari. Kelas kami hanya diberi
beberapa tugas uraian dan diminta
mengumpulkannya. Itu saja.
“Rangga!”
Seseorang dengan perawakan sedang,
memanggilku dari kejauhan. Aku berhenti tepat
satu langkah didepan ruang guru.
Ia terlihat cepat cepat berlari kearahku.
Kemungkinan, ada hal penting yang ingin ia
sampaikan padaku. Ia semakin dekat. Raut
wajahnya semakin jelas. Seorang kakak kelas
yang juga panitia dari acara besok menyerahkan
selembar kertas. Entahlah, belum sempat aku
membukanya, ia langsung pergi begitu saja.
Aku mencoba menghiraukannya. Melipat
kembali kertas tersebut, lalu memasukkannya
kedalam saku celana. Sebelum akhirnya aku
meneruskan langkah menuju kantor guru yang
tertunda karena ‘dia’ memanggilku.
Kegiatan Belajar Mengajar hari ini berjalan
normal. Meski diluar panitia sangat sibuk,
tetapi tidak ada satupun KBM yang terganggu.
Panduan panduan tentang perkemahan mulai
dari alat yang dibawa, dan lain lain telah
dijelaskan saat MOS hari pertama.
Panitia sengaja mempersiapkan dari awal,
tujuannya memang menghindari terganggu nya
jam pelajaran siswa.
Sesekali, suara sepatu diluar terdengar dari
ruang kelasku. Sempat membuyarkan
konsentrasi, karena percakapan mereka pun
terdengar jelas dari sini.
Tepat sebelum istirahat, pintu diketuk pelan.
Satu panitia masuk untuk membagikan edaran
rangkaian acara untuk besok.
Aku tak mengenalnya. Saat MOS pun, ia tidak
terlihat membimbing kelas manapun. Entahlah,
aku tak terlalu memikirkannya.
Seluruh temanku, tak terkecuali aku telah
menerima kurang lebih tiga lembar kertas
buram berisi schedule acara dari awal hingga
akhir. Setelah edaran terbagi, panitia itu pergi.
Kembali menutup pintu kelasku. Dan berjalan
menuju kelas kelas selanjutnya.
ððð
“Assalamualaikum”
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur
berukuran sedang yang hanya dapat
menampung dua kali besar tubuhku. Merangkai
handphone ku. Mengaktifkannya setelah kurang
lebih delapan jam tidak terjamah oleh tanganku.
Disekolahku memang memiliki peraturan tidak
diperbolehkan membawa handphone. Entahlah,
tetap saja banyak sekali yang masih melanggar.
Belum lengkap lima menit aku mengotak atik
HP, tiba tiba nada panggilan terdengar nyaring
ditelinga ku.
“Nauval” Nama itu yang tertera di layarku.
“Mungkin akan membahas tentang futsal” aku
membatin.
Tanpa berfikir panjang, aku mengangkat telefon
darinya.
“Ngga, latihan futsal nanti malem ya”
“Loh? Bukannya senin ya?”
Aku terkejut mendengarnya. Hasil kesepakatan
diganti secara mendadak. Bagaimana aku bisa
menolak, aku adalah seorang captain.
Sementara bulan depan sudah masuk waktu
pertandingan. Disisi lain, aku memikirkan
tentang barang barang yang akan kubawa
besok. Sama sekali belum ku siapkan.
“Ngga? Rangga? Kamu denger aku kan?”
Nauval mengeraskan suaranya yang
membuatku tersadar dari lamunan.
“Oke. Jam tujuh aku kesana”
Pikirku, aku tidak akan kemalaman kalau
latihan dimulai lebih awal. Lagipula, sore ini
bisa ku pakai untuk mempersiapkan barang
untuk esok hari.
Nauval mengakhiri panggilannya dengan salam.
Kembali ku letakkan handphone ku.
Menghembuskan nafas perlahan.
ððð
Aku berjalan ke sudut dapur. Mereka tidak juga
ada. Berjalan kembali kearah ruang keluarga.
Hanya ada sisa sisa majalah yang sepertinya
baru saja dibaca. Sepi sekali rumah ini.
Kuintip depan rumah lewat jendela ruang tamu.
Hanya ada motor mama yang terparkir rapi di
garasi, dan juga sepeda ku yang baru saja
beristirahat setelah ku kayuh pulang dari
sekolah tadi.
“Sepertinya papa sama mama memang nggak
dirumah” Gumamku dalam hati, melihat mobil
tidak ada di garasi.
Aku memutuskan untuk kembali ke lantai atas
karena aku belum juga mengganti seragamku.
Enam
Lima menit yang lalu…
“El, bawain kertas ini ya. Aku ada keperluan
penting.”
Kata dimas dengan menyerahkan seluruh
tumpukan kertas yang semula dibawanya
kepadaku.
“Eh dim! Awas ya!” Aku berteriak kesal, tetapi
nihil. Ia malah semakin kencang berlari jauh
dari ku.
Wajah Mela merah pada. Ia tak lagi terlihat
kelelahan, justru ia seperti penuh tenaga secara
tiba tiba. Tangannya yang seakan akan siap
menghantam Dimas, alisnya yang bersungut-
sungut membuatku lupa akan perlakuan
menyebalkan yang dilakukan Dimas.
Aku tertawa kecil melihat Mela.
“Udah Mel, sabar. Dimas emang gitu dari dulu
kata ku menenangkan Mela.
Ia tetap pada posisi yang sama. Alisnya
menggambarkan kejengkelannya pada Dimas.
Entah apa yang akan ia lakukan setalah bertemu
dengan Dimas.
“Udah udah, yuk lanjut jalan Mel?” Kata ku.
Kali ini tanpa menggandeng atau menariknya.
Karena tanganku telah penuh dengan kertas
kertas fotocopy-an.
ððð
Mbak Vira sudah menanti didepan Ruang
OSIS. Pekerjaan lain pun juga siap menanti
didepan mata.
Koordinator acara memang paling sibuk, yang
harus mondar mandir mengurus segala
keperluan, mendata seluruh schedule dari awal
hingga akhir.
Bahkan dari sebelum acara dimulai,
Koordinatorlah yang paling sibuk diantara
kesibukan kesibukan yang lain. Tetapi ini
adalah tanggung jawab, dari sini kami dapat
berlatih rasa tanggung jawab, dan jugaa..
Melatih menyibukkan diri agar tidak teringat
hal yang membuat ku terpuruk dua minggu lalu.
ððð
Hari ini benar benar hari sibuk. Seluruh panitia
dilibatkan oleh persiapan persiapan untuk
besok. Dispensasi telah ditulis jam delapan tadi.
Panitia terus bekerja, tidak ada satupun yang
menganggur.
Seusai shalat Dhuhur, panitia kembali
melakukan rapat penutupan. Menutup persiapan
hari ini dan tinggallah mempersiapkan fisik
untuk esok. Semua panitia harus hadir sebelum
jam enam pagi. Karena upacara pembukaan
dilakukan pukul setengah tujuh tepat.
Rapat berakhir tepat saat siswa siswi
berhamburan menuju mushola untuk sholat
Dhuhur. Aku kembali ke kelas dengan Maha,
sedangkan Restu masih sibuk mengurus
kekurangan dengan anggota lain.
Entah apa aku tidak begitu memperhatikan. Tas
laptop dan tas buku masih melekat
dipunggungku, sedari pagi aku sama sekali
tidak masuk kelas, hanya Dimas yang kembali
ke kelas untuk meminta Dispensasi, tetapi saat
itu aku lupa menitipkan tasku kepadanya.
Ah sudahlah, hari ini semua buku ku sia sia ku
bawa, aku sama sekali tidak mengikuti
pelajaran. Bahkan laptop ku pun sama sekali
tidak tersentuh tangan.
Riza menyambutku riang didepan pintu kelas,
walaupun aku masih jauh dari nya, mungkin
saja malah wajahku terlihat buram di matanya.
Tapi ia tetap saja terlihat menyeringai bahagia
melihatku dari kejauhan.
"Elsaaaa"
Ia berteriak seakan akan hanya ada aku dan dia
disekolah ini. Aku sedikit kegelian melihat
tingkah nya yang suka menirukan gaya gaya
Drama Korea kesukaannya. Berlaku seolah olah
ia sedang bermain akting di dalamnya.
Kadang aku sebal juga, bahkan sering
menegurnya jika sedang over baper. Bagaimana
tidak? Riza selalu terbawa perasaan diwaktu
dan tempat yang sama sekali tidak cocok.
Bahkan saat itu ia hampir menabrak guru
karena akting nya. Untung saja guru itu tidak
marah.
Tetapi bagaimana pun juga, dia lah sahabat ku.
Yang selama ini menemaniku. Aku akhirnya
semakin dekat dengan ruang kelas, serta Riza
yang mungkin telah menungguku dari tadi.
Belum sempat aku menyapanya ia sudah
memelukku, benar benar over drama. Mungkin
saja ia habis nonton 'Dramkor' kesayangannya.
Karena aku hafal betul, kalau Riza benar benar
sedang dipuncak kebaperannya, berarti dia
habis nonton Drama Korea.
Kami memang berbeda sangat jauh. Dari segi
fisik, ia begitu minimalis. Maksudku, kecil.
Atau kurus. Ya begitulah.
Berat badannya yang hanya terbilang empat
puluh lima dengan tinggi seratus lima puluh
tujuh membuat badannya terlihat ramping dari
segi manapun, dia sering juga aku juluki
sebagai si kurus, atau si cilik. Yang dalam
bahasa indonesia cilik artinya kecil. Memang
julukan yang cocok untuknya.
Serta dari segi hobbi pun kami sangat berbeda,
aku sangat suka menghabiskan waktu ku
dengan menulis, dan membaca novel.
Sedangkan Riza, ia sangat suka dengan Drama
Korea. Isi laptopnya tidak lain dan tidak bukan
adalah kumpulan Dramkor dengan berbagai
judul.
Meskipun begitu kami tak pernah membeda
bedakan, justru dari situlah kami dapat saling
memahami. Karena perbedaan tidak membuat
kami merasa saling beda, dari perbedaan itu
sendiri kami menjadi saling melengkapi dan
memahami
ððð
Riza yang mendengarkan cerita tentang Dimas
tertawa sambil mengejek. Kemudian berhenti
tertawa dan berubah menjadi wajah serius. Aku
yang melihat perubahan raut wajahnya genti
tertawa dan mengejeknya. Tetapi terhenti
karena Riza menampakkan wajah yang sangat
meyakinkan.
“Ituu….”
Riza menatap dan menunjuk kearah pintu.
Aku yang penasaran langsung membalikkan
badanku dan melihat pintu kelas.
Suara tawa Riza kemudian terdengar kembali.
“Ahaha. Satu-Kosong El” Sambil terus tertawa.
“Apaan sih, nggak lucu”
Wajahku kesalku tampat jelas tersirat pada
Riza. Dua menit berlalu, ia masih juga tertawa
tentang hal yang sama. Karena jengkel aku pun
meninggalkannya.
Matanya yang tertutup karena tawa
membuatnya tak sadar bahwa aku sudah lima
langkah menjauh darinya.
Aku mengendap endap mundur menuju pintu
kelas. Suara ku terdengar lirih, mungkin hanya
aku yang mendengarnya karena suara Riza jauh
lebih kencang memenuhi ruangan kelas.
Saat kaki ku hampir menuju satu langkah
keluar,..
“Sst.. Ngapain?”
Dahi ku mengernyit, aku menatap kebawah.
Nampak satu pasang sepatu kulit berwarna
hitam, tak jauh dari tempat berdiriku.
Jelas aku kenal ciri ciri sepatu ini. ‘Sepatu
Guru!’
Rasanya ingin kupukul sendiri dahiku.
Aku membalikkan badan, mencoba
menertawaiku sendiri.
“Hehe pak. Mmm saya izin mau—“
“Mau apa?” ucapnya tegas sambil membenahi
kacamata nya dengan tangan kiri, karena tangan
kanannya sudah penuh untuk menenteng buku-
bukunya”
“Mau itu lo pak—”
“Rapat OSIS pak” Seseorang dibelakang pak
Doni mengagetkan ku. Aku yang semula
menyeringai malu menjadi melotot kaget.
Wajahnya kalah dengan sinar matahari diluar
ruangan, tetapi aku hafal betul oleh suaranya.
Sesorang itu tersenyum saat pak doni
membalikkan badan untuknya. Ia member kode
padaku agar aku berdiri disampingnya. Pak
doni dengan mudah memberikan izin pada kami
ððð
“Kamu nggak terimakasih sama aku?”
Aku menunjukkan muka masam kepadanya.
Masih kesal dengannya saat ia meninggalkan
aku dan Mela dijalanan dengan beratnya kertas
fotocopy an yang seenaknya ia berikan kepada
kami.
“Masih marah ya el?” Dimas terus saja
menggodaku.
Aku yang saat ini tak ingin diganggu hanya
diam daripada aku mengeluarkan omelanku.
Dimas mengajakku untuk ke ruang OSIS.
Mengecek apakah sudah lengkap seluruhnya.
Tujuh
”Astaghfirullah!”
Aku tersentak melihat jam dinding yang
menunjukkan angka tujuh kurang lima belas
menit. Aku sama sekali belum bersiap,
jangankan mandi. Melepas seragam saja, belum
ku lakukan
Aku mengecek HP –ku. Sembilan panggilan tak
terjawab dari Nauval. Dan tiga pesan masuk,
salah satunya dari ‘Mama’.
Aku cepat cepat beranjak dari tempat tidur.
Segera bergegas mandi dan menyiapkan kaos
serta sepatu futsalku.
Dari luar kamar mandi, suara dering panggilan
terus berbunyi. Nauval mungkin telah
menungguku lama beserta temanku lainnya.
ððð
Lima menit kemudian aku keluar dari kamar
mandi. Cepat cepat memasukkan sepatu dan
juga handphone kedalam tas. Lalu bergegas
menyalakan satu persatu lampu dan ruang atas
keruang bawah secara cepat.
”Ctek ctek ctek”
Suara saklar berbunyi bergantian.
Aku bergegas menuju garasi setelah semua
lampu telah ku nyalakan.
Orang tuaku belum juga pulang. Pembantuku
sedang ambil cuti selama tujuh hari kedepan.
Keluarganya sedang berduka. Tak heran bila
hari ini rumahku sangat sepi.
“Oh iya!” Aku baru teringat pesan dari mama
yang belum sempat aku baca. “Ah, nanti saja”
Aku menggagalkan rencanaku yang ingin
mengambil handphone dari dalam tas karena
teringat akan Nauval yang pasti sudah
menungguku terlalu lama.
Letak GOR tidak terlalu jauh dari pusat kota.
Sekitar satu kilometer. Aku bisa menempuhnya
selama tiga menit dengan kecepatan 80 km/jam.
Angin malam menghempaskan tubuhku
perlahan. Sesekali membuat bulu kuduk ku
berdiri karena udara yang dingin.
Kafe kafe dipenuhi remaja seumuran denganku,
banyak juga mahasiswa. Wajar saja, ini adalah
weekend days. Setiap sabtu dan minggu,
suasana kota selalu ramai seperti hari ini.
Mereka lebih suka mencari tempat nongkrong
yang mempunyai fasilitas Wi-fi. Tak heran jika
sekarang kafe dan restoran banyak yang
menyajikan fasilitas Wi-fi-nya serta dekorasi
ruangan yang indah.
Jalanan kota dipenuhi oleh kendaraan bermotor.
Sesekali juga terlihat beberapa pengendara
sepeda. Beginilah suasana dipusat kota ketika
malam hari. Tak jarang juga kereta kuda
melintas dihadapanku sambil membawa
penumpang. Ini bukan kereta kuda biasa.
Pak kusir satu ini sangat pandai dalam
menghias delman nya agar membuat para
penumpang tertarik. Berbagai lampu kerlap-
kerlip dihiaskan melingkari kereta kuda itu.
Tempat duduknya juga dibuat layaknya sebuah
singgasana nan indah dan mempesona.
“Tin.. tin..” Klakson mobil mengagetkanku.
Ternyata lampu merah lalu lintas sudah berubah
menjadi hijau. Aku segerap menancap gas
motorku dan bergegas menuju tujuan utamaku.
ððð
“Dari mana aja ngga?” Nada suara Reza sedikit
keras, wajar saja jika ia kesal. Memang ini
salahku.
“Maaf za, ceritanya panjang” Aku berkata
sambil mengatur nafas ku yang tersenggal
senggal, tak beraturan.
“Udah udah, ayo dimulai aja. Keburu malam”
Nauval menangkan Reza yang hampir
memarahiku.
ððð
Dua kali permainan pun berakhir. Jam
menunjukkan pukul delapan malam. Aku
meminum satu botol air mineral tanggung yang
sudah disiapkan Nauval karena aku sama sekali
tidak sempat menyiapkan minum.
Keringat segar bercucuran dimana mana.
Membuat angin malam tak lagi terasa dingin.
Sebelum masing masing dari kami pulang,
obrolan terjadi diantara kami.
Salingmemberikanmotivasisatusama lain agar
terusbersemangat.
Setelah air minum habis dan keringat mulai
mengering, kami pun bergegas pulang. Reza tak
lagi terlihat kesal padaku, kami bahkan sudah
saling canda, mengejek satu sama lain.
“Aku duluan ya” Kataku sambil menepuk
pundak Reza.
“Oke, hati hatiNgga”
Ia pun melambaikan tangan. Lalu berjalan
keseberang GOR. Rumahnya yang tak jauh dari
GOR membuatnya memilih berjalan kaki
menuju GOR. Tak perlu menggunakan sepeda,
apalagi motor.
Suasana kota belum juga sepi. Jauh dari kata
sepi. Malah semakin banyak angkiran yang
mulai buka dasar. Aku teringat sesuatu saat
memperhatikan salah satu warung nasi pecel
tepi jalan. Perutku kosong. Aku bahkan belum
menyuap nasi sedikitpun sedari tadi.
“Sebelum aku tertidur pulas tadi, aku hanya
meminum segelas air putih dingin yang
kuambil dari cerek didalam kulkas. Setelah itu
menuju kekamar lagi, dan tertidur.”
Aku berusaha mengingat kejadian tadi sore dan
menyingkir ditepi jalan kearah warung
sederhana tersebut.
Tiba tiba..
“Ciiiiiit…”Suara lengkingan rem terdengar
kencang membuat seluruh pengunjung warung
nasi pecel berlari keluar ingin tahu apa yang
sedang terjadi.
Delapan
“Aduh, udah dim, aku capek!”
Payah, kegiatan utama belum dilaksanakan
badanku sudah terombang ambing karena
pikiranku juga sudah lelah. Bagaimana tidak?
Seluruh tenaga ku terkuras habis karena
persiapan sedari tadi pagi.
Kegiatan belajar mengajar sudah berakhir satu
jam yang lalu. Tetapi aku belum juga pulang
dari sekolah, seragam sekolahku saja masih
melekat lengkap dengan atributnya.
Lima menit kemudian
“Udah jam empat nih” Ia mengangkat
pergelangan tangan nya untuk melihat jam
tangan ungu miliknya.
“Kalian boleh pulang” Kata mbak Vira
“Akhirnyaa” Aku mencoba duduk dan
mengatur nafasku
“Capek?”
“Capek” Jawabku singkat.
Ia kemudian tertawa kecil, lalu mengambil
sesuatu yang ada di tas nya.
“Ini, minum dulu El” Ia menyerahkan satu
botol air putih sedang. Aku baru menatapnya
saat ia memberiku minum.
“Makasih” aku kembali tersenyum.
“Ngapain sih?” Tanyaku sambil mengernyitkan
dahi.
“Dim jangan liatin kayak gitu ah” aku sebal,
lantas memukulinya dengan botol air minum
tadi.
“Eh eh sakit El udah”
Kami pun sama sama terdiam sejenak, lalu
tertawa di keheningan sekolah berwarna biru
tersebut.
“Pulang yuk El?”
Tinggal kamu berdua yang masih ada disini,
mbak Vira, Restu dan yang lain sudah pamit
pulang terlebih dahulu.
“Yuk, udah hampir jam setengah lima juga”
Aku menjawabnya sambil berdiri mengangkat
tas ransel milikku.
ððð
Aku mengambil telephone genggam ku diatas
meja kecil tempat tidur. Melangkah menuju
tiraitanpa mengalihkan pandangan handphone
ku.
Kamar berukuran 5 x 6 meter itu memang
sengaja aku desain sesuai dengan keinginanku.
Waktu kecil, aku sudah bercita cita memiliki
kamar yang kuinginkan, bahkan saat ayahku
menggambar pola rumah aku yang pertama kali
berteriak “Ayah! Kamarku pakai dua jendela!”
Aku selalu tersenyum saat mengingat masa itu.
Bagaimana bisa anak kecil yang waktu itu tak
tahu menahu akan sebuah bangunan, saat minta
dua jendela langsung dituruti ? Aah... itu sudah
terjadi sebelas tahun lalu, saat aku masih duduk
di bangku playgroup.
ððð
‘’Unit Gawat Darurat”
Mataku masih belum sepenuhnya terbuka.
Sedikit kacau saat melihat tulisan tersebut,
hanya ada sosok pria dengan perawakan tinggi
sedang berdiri membelakangiku.
Aku tak tahu siapa dia, yang aku tau ia sedang
panik. Berkali – kali memegangi handphone
sambil mencari sesuatu di dalam tas nya,
sesekali ia juga mencoba menelfon seseorang,
tapi tidak mendapat balasan.
Entah mengapa banyak sekali alat alat medis
disini. Tangan kiriku sekarang tidak lagi
kosong, ada sebuah selang teransparan yang di
tancapkan pada pembuluh darah ku. Aku
semakin bingung, perasaanku kacau balau. Aku
sama sekali tak ingat apa yang sedang terjadi.
Otakku penuh dengan segudang pertanyaan.
Lelaki itu pergi meninggalkan ku sendiri
diruangan ini.
Apa yang bisa kulakukan , aku sama sekali tak
dapat berbuat apa apa.
Dua orang dengan baju putih masuk, satu yang
membawa alat pengukur tensi darah dan juga
detak jantung, satunya lagi dengan tangan
kosong.
Tetapi begitu ia sampai, tangannya dengan
sigap memeriksa infusku, Begitu pula satunya.
Saat 2 orang itu pergi, aku mencoba
memaksakan diriku untuk bangun dari tanjang
tersebut,
‘’Aah!’’ aku berteriak, entah mengapa nyeri
sekali dibagian siku dan lututku.
Saat itu pula pintu ruanganku di buka dengan
cepat, seseorang dengan perawakan tinggi yang
tadi sedang kepanikan menghampiriku sekarang
bukan lagi handphone yang ia bawa, tetapi
segelas susu putih.
Sembilan
Gadis itu terkapar lemas di depanku. Suasana
ramai karena orang orang saling menyalahkann
terdengar jelas di telingaku. Spontan aku
langsung memarkirkan motor ditempat itu juga.
“Pak pak, ayo kita bawa kerumah sakit
sekarang saja”
Awalnya bapak bapak itu menolak karena
berfikir siapa uang akan membayar biaya
Rumah Sakit nya nanti.
Tetapi saat aku berkata kalau aku keluarga
gadis itu, mereka semua dengan cepat
mengangkat gadis berkrudung merah yang
terkapar lemas kedalam mobil salah seorang
warga relawan.
Badan lemas berlumuran darah segar itu tepat
berada disampingku. Ia tak sadarkan diri.
Berkali kali kuingatkan agar supir
mengendalikan mobil dengan lebih cepat.
Supir tersebut langsung meng-iya kan kalimat
ku. Dengan cepat menancap gas nya dan
memainkan setirnya. Ia tak tahu bahwa orang
yang mengomandonya sedari tadi adalah anak
yang masih kelas tujuh Sekolah Menengah
Pertama.
Tiba tiba, terdengar bunyi nada dering
handphone. Tidaak. Itu bukan milikku. Sumber
suara sepertinya muncul dari tas coklat gadis
ini. Aku hampir membukanya, tetapi saat itu
juga. Panggilan langsung diakhiri.
Delapan menit berlalu di mobil itu, membuatku
tak sadarkan diri. Aku sudah sampai disebuah
rumah sakit yang cukup ternama dikota ini.
Aku segera masuk ke Loket Rumah Sakit.
Meminta pada perawat agar menjemput gadis
tadi menggunakan tandu pasien darurat.
Dua orang perawat laki laki dengan cepat
berlari mengikuti langkahku. Langsung
mengambil satu tandu orange. Mengangkat
gadis berkerudung merah itu dan dibawanya ke
ruang UGD.
Entahlah, perawatan medis apa yang dilakukan,
aku tak boleh masuk. Hanya diperkenankan
menunggu hingga proses selesai.
Setengah jam berlalu, pintu kaca UGD dibuka.
Aku berdiri layaknya memang anggota
keluarganya. Dokter dengan tanda nama Faris
tersebut menghampiriku. Tersenyum, sembari
berkata
“Adeknya sudah tidak apa apa, hanya shock
akibat benturan kecil dikepalanya. Sebentar lagi
ia akan siuman”
Aku hanya meng-iya kan nya.
“Silahkan kalau mau kedalam” kata dokter
faris, yang kemudian pergi meninggalkan ku.
Aku hampir tertawa, sekali lagi mengingat apa
yang baru saja diucapkan dokter faris.
“Adek?” aku membatin. “Apakah wajahku
terlalu tua untuk dijadikan seorang kakaknya”
ððð
Ku buka pintu ruang UGD. Kebetulan hanya
ada satu pasien disana, yaitu pasien tabrak lari
yang kubawa kesini tadi.
Di dipan perawatan itu, ku lihat ia belum
sadarkan diri. Luka luka nya telah dibersihkan
dan diperban. Kulit tangannya yang kuning
langsat terlihat sebagian.
Cukup banyak luka goresan ditubuhnya. Kaos
bagian siku nya robek, dahinya pun diberi
perban membalut melingkar dikepala. Warna
obat merah tembus samar samar pada
perbannya.
Sudah lewat jam setengah sembilan. Aku
berfikir untuk menghubungi orang yang bisa
kuhubungi. Baru teringat satu hal, saat Dimas,
kakak kelasku memberikan lembaran kertas
berisi nomor telephone nya tadi pagi.
Aku mencoba mencarinya didalam tasku,
mengaduk isi perut tas hitam itu. Pikiranku
mulai kacau saat sobekan kertas dari Dimas tak
kutemukan.
Aku mencoba mengutak atik handphoneku.
Berharap menemukan satu nomor yang dapat
kuhubungi untuk memberi kabar bahwa gadis
ini bersamaku.
Aku memutuskan mencari nya diluar ruangan
UGD, agar suara gaduhku tak mengganggu
istirahatnya. Tepat saat aku duduk dan
meluruskan kaki ku, pintu UGD dibuka oleh
dua perawat perempuan, ia sempat menyapaku
dengan senyuman. Lalu tanpa banyak basa basi,
mereka langsung masuk dalam ruangan
bertuliskan UGD tersebut.
Entah mengapa aku mengingat sesuatu dari
rumah sakit ini. Saat kecil, aku sering diajak
mama untuk menengok sahabat mama yang
sakit. Tante Mira namanya.
Mama sering bercerita tentang tante Mira, tetapi
tak pernah menceritakan apa penyakit yang
dideritanya.
Saat itu, tante mira belum sakit parah. Beliau
sering kerumah, kadang membawakan buah
untukku, tak jarang juga sebuah mainan ia
berikan padaku.
Mama sering bercerita pula, saat aku masih
dikandungan, tante mira lah yang paling sering
mengantarkan mama ke dokter kandungan. Saat
itu, ayahku sangat sering dinas diluar pulau
jawa. Mama tak bisa ikut, ayah khawatir Mama
tidak betah disana. Karena ayahku ditugaskan
didaerah terpencil yang kekurangan tenaga
medis. Lagipula, saat itu belum banyak
transportasi udara yang dipakai. Negara hanya
menyediakan Kapal Laut untuk keperluan ini.
Tante mira sudah dianggap keluarga oleh
Mama dan ayahku, begitupun aku.
Sampai akhirnya, ia benar benar menyerah
dengan penyakitnya. Satu tahun enam bulan ia
bertahan. Benar benar wanita yang sangat
tabah. Ia mampu menyembunyikan rasa sakit
nya dengan sebuah senyuman.
Saat itu aku dan keluargaku amat sangat
kehilangan tante mira. Walaupun aku masih
duduk dibangku taman kanak kanak.
Aku mencoba berjalan menyusuri lorong lorong
Rumah Sakit ini. Sambil meniti apakah berbeda
dengan tujuh tahun silam.
Dari segi kerapian, Rumah Sakit ini sudah
banyak berubah. Sudah tidak ada lagi sandal
berserakan didepan ruang rawat inap. Bahkan
sekarang pun sudah disediakan rak rak sepatu
didepan ruang masing masing.
Aku teringat kembali akan satu hal yang
membuatku malu jika mengingatnya. Saat aku
menjenguk tante mira dulu, aku pernah
kehilangan satu sandal bergambar iron man
yang sangat aku sukai. Karena aku begitu kecil
dan tidak dapat mengontrol emosi, aku
menangis sejadi jadinya.
ððð
Satu anak perempuan kecil berumuran sepertiku
mendatangi tempat dimana aku menangis
kencang saat itu.
Aku mana peduli. Tetap saja menangis.
"Ini sandal kamu?" Sambil memperlihatkan
sandal yang jelas aku kenal itu.
"Kamu nyolong ya!"
Dasar anak kecil, sudah dibantu mencari, malah
menuduh orang lain mencuri sandalku. Hampir
bertengkar dilobby rumah sakit. Sampai
akhirnya orangtua ku datang. Melerai kami
berdua.
ððð
Disudut lorong, kulihat ada kantin rumah sakit
yang masih buka, bahkan masih ramai oleh
pengunjung. Aku berniat membeli satu gelas
susu hangat dan juga sedikit camilan atau roti
agar bisa kumakan. Perutku sudah mulai
berbunyi saat aku dimobil tadi. Niatku membeli
nasi pecel batal karena adanya sebuah
kecelakaan kecil yang mengakitbatkan aku
sekarang berada disini.
Aku tak banyak bicara, setelah memesan dan
menunggu, aku langsung membayarnya,
mengucap terimakasih lantas pergi, kembali ke
lobby depan UGD, ruang terdepan yang kita
temui pada rumah sakit.
Aku membuka pintu UGD dengan tangan kiri,
tangan kanan ku membawa gelas berisikan susu
hangat dan beberapa roti. Aku mendapati gadis
didepanku sudah sadarkan dirinya. Menatapku
dengan tatapan aneh, semakin aneh saat aku
sudah dekat sekali dengannya.
Ia memanggilku lirih. Sekali lagi ia
memanggilku, masih dengan tatapan anehnya.
Setengah sadar dan tidak sadar, percaya dan
tidak percaya.
Gadis bermata sipit dengan wajah asia nya yang
khas tersebut terus menatapku. Seperti ada
keraguan dan kegelisahan dimatanya.
“Ini, minum dulu”
Menyodorkan segelas susu hangat yang
sebenarnya kuniatkan untuk kuminum.
Ia sudah semakin tenang, tak lagi menatapku
dengan aneh. Kali ini ia menatapku dengan
senyuman.
Sepuluh
“Gitu ceritanya” Aku menceritakan semua hal
yang membuat ku berangkat bersama bagas
pagi ini.
Semua panitia pagi ini bukan malah sibuk
mempersiapkan pembukaan acara, tapi malah
semuanya sibuk mendengarkan ceritaku,
terheran heran.
“Elsa!”
Seseorang membuka ruang panitia. Berlari
menuju tempat ku dan panitia lain berada.
“Kamu kemana aja sih!” Mengatur nafasnya
lalu melihat kearahku.
“Eh itu kenapa luka luka kayak gitu? Kamu
kenapa?” Ia sekarang mirip detektif. Kalimat
yang ia ucapkan tidak memakai spasi sama
sekali.
“Dim” Aku melotot kearahnya, walaupun
banyak yang bilang aku selamanya tidak akan
bisa melotot.
“Udah, nyiapin pembukaan dulu yuk?” Aku
berdiri mencoba membubarkan teman teman ku
yang masih menggeromboli ku.
“El, kamu beneran nggak apa apa?” Dimas
mengikuti langkahku yang sedikit terpincang
pincang.
“Udahlah dim, aku nggak apa apa kok”
Aku berusaha menyakinkannya.
“Bentar aku mau cari mbak Vira dulu ya dim,
aku bisa sendiri kok, aku udah ngga kenapa
napa” Aku nyengir, lalu menjauh dari nya.
Mencari mbak Vira yang dari tadi tidak
kelihatan. Ini masih setengah enam, belum
terlalu ramai. Hanya ada panitia yang sibuk.
Setelah Bagas mengantarku dia kembali pulang.
Katanya karna ia belum memilih baju untuk
kemah hari ini.
Tadi malam, Bagaslah yang menungguku di
Rumah Sakit hingga jam sepuluh. Lalu
mengantarku pulang hingga sampai depan
rumah.
Aku sama sekali tak memberi tahu orang tua ku
akan hal ini. Mereka sedang di luar
kota,mengantar kakak sepupuku wisuda S-3
nya.
ððð
“El?” Kamu sekolahnya izin aja ya?” Kata ayah
sambil melipat koran yang baru saja ia baca.
“Enggak Yah, aku nggak bisa. Dua hari lagi
aku jadi panitia MOS” kataku sambil
merapikan meja belajarku.
“Halah paling cuma empat hari, masa kamu
ngga pengen nganter mbak Zahra sih ? Lagi
pula kamu sendiri lo yang dirumah. Ayah
nggak tega”
ððð
Dua hari lalu aku memang sempat diajak, ayah
ku tidak tega jarena hanya aku yang ada di
rumah. Tapi aku menolak, tanggung jawabku
menjadi panitia belum usai. Aku menjelaskan
padanya dengan baik baik, awalnya ia ragu, tapi
aku mencoba meyakinkan nya.
“Ngga apa apa ayah, aku dirumah nya cuma
sehari kok yang tiga hari aku ada di BUMPER”
Kataku sambil mengedip ngedipkan mataku.
“Emang ya. Anak ayah ini paling bisa kalau
soal bujuk membujuk” Aku nyengir “Tapi
kamu hati hati ya, jangan pulang malem malem
lo, kan biasanya kamu kalau kerja kelompok
pasti malem’’
“Siap ayah!”
ððð
Aku hanya tidak ingin membebani pikirannya,
dengan memberi tahu keadaan ku sekarang.
Riza sahabatku pun juga tak tahu, sama sekali.
Sudah jam enam rupanya. Mulai banyak peserta
yang ada di BUMPER. Sibuk meneliti
barangnya, apakah sudah lengkap atau belum,
sesekali aku menghampiri salah satu mereka.
Hanya untuk sekedar bertanya. Karena seluruh
panitia melarangku mengerjakan pekerjaan
yang berat berat.
Tepat pukul tujuh. Kegiatan utama resmi
dimulai. OSIS tidak mengikuti upacara, hanya
sebagian anak, mayoritas mengurus kegiatan
yang akan dilakukan setelah upacara.
Sebelum upacara dimulai, aku sempat dimarahi
oleh Dimas. Tetapi aku menghiraukannya. Dan
membuat ia semakin marah. Entahlah dimana
ia sekarang, sebenarnya maksud dimas
memarahiku baik. Hanya tak ingin terjadi apa
apa lagi dengan ku.
Tapi jika aku harus bermalas malasan di UKS,
itu yang membuatku membantah kata kata
dimas.
Aku rasa , ini bukan pertengkaran pertamaku
dengan dimas. Sudah sering sekali aku dan
dimas berbeda pendapat. Kadang ia yang
marah, seperti sekarang. Kadang juga aku.
Kalau hari ini ego ku tak lebih besar di sabarku,
aku dan dimas tak akan bertengkar.
Tapi menurutku, sikap ini wajar dimiliki setiap
orang, malah yang tidak memiliki ego itu yang
disebut tidak wajar, setiap orang memiliki
perbedaan. Memiliki pemikiran yang berbeda
beda. Tetapi, jangan menyalah artikan,
perbedaan tidak diperuntukkan untuk memilih
salah satu pihak, saling ejek, dan akhirnya
bertengkar.
Tuhan tidak menciptakan perbedaan untuk
semua itu. Tidak ada yang diciptakan tuhan
hanya menciptakan kemudharatan saja. Bahkan,
jika di telusuri, jika dikaji dengan baik, diterima
dengan baik,suatu perbedaan akan menciptakan
keaneka ragaman.
Begitu indah, daripada harus bertengkar hanya
karena masalah sepele. Tidak setuju itu hal
biasa. Tetapi, jangan biarkan dendam bersarang
dalam hati karena ketidak setujuan itu tadi.
“Dimas”
Aku memanggilnya lirih, ia memang berhenti
berjalan saat aku memanggilnya, sedikit
menengok, tapi ia menghiraukan dan kembali
melanjutkan jalannya mungkin ia memang
belum bisa memaafkanku.
Karena acara pagi ini belum terlalu padat,
panitia juga belum terlihat sibuk. Nanti sore
setelah istirahat siang, mulai banyak kegiatan.
Pagi ini hanya pembukaan dan melanjutkan
menata tenda regu masing masing.
Tugasku pagi ini hanya mendata peserta yang
hadir, mendata seluruh regu yang telah di buat
tiga hari lalu. Ditemani Natasya yang juga
sebagai koordinator kegiatan.
“Ini jumlah seluruh regu berapa sih, Sya?” Aku
bertanya sambil membolak balikkan kertas
daftar hadir yang kupegang.
“Kurang tau juga, sekitar dua puluh empat regu
mungkin El” Jawab Natasya dengan membolak
balikkan kertas sepertiku.
“Yaudah, pembagian tugas aja gimana? Kamu
data seluruh siswa yang tendanya disebelah
selatan, aku yang utara”
Setelah itu kami mulai mendata satu persatu
peserta yang hadir dengan pembagian yang
telah disepakati.
Pukul sembilan tadi, pembentukan masing
masing tenda telah selesai, didampingi oleh
panitia. Peserta belum terlalu aktif dalam
kegiatan, memang jadwal dimulai nya kegiatan
peserta nanti siang seusai sholat dhuhur.
Sebelas
Hari ini, aku sama sekali tak bersama dimas. Ia
terlihat sibuk dengan panitia lain. Sama sekali
tidak menghiraukanku bahkan saat aku
mencoba mendekatinya.
11.50
Dapur panitia sangat ramai, beberapa orang
sedang memasak disebuah panci raksasa,
mereka serius memainkan SOTEL dan SEROK
nya. Dengan cekatan mengaduk mie sayur yang
hampir matang. Beberapa orang lagi sedang
menyiapkan api untuk memasak nasi.
Panas nya matahari tak membuat semangat
panitia luntur, justeru semakin membara. Kali
ini aku hanya luntang lantung berkeliling Bumi
Perkemahan. Berniat mencari pekerjaan yang
dapat aku lakukan.
ððð
“Dim” Aku mendekatinya.
“Dimas” Duduk disebelahnya yang sedang
terdiam.
“Aku minta maaf” Ia masih saja terdiam.
Menatap sudut ruang panitia.
“Yaudah kalo nggak mau maafin” Aku
tersenyum, hendak beranjak dari sampingnya.
“Iya El”
Saat aku sudah satu langkah menjauh darinya,
ia menjawab. Singkat. Hanya kata iya yang
keluar dari mulutnya.
“Ikhlas nggak maafinnya?” Kataku setengah
menggoda, kembali mengajak nya bercanda.
“Ikhlas. Nggak usah cerewet deh”
ððð
Malam ini, satu kenangan pahit teringat
kembali. Enam minggu lalu, saat aku mencoba
untuk melupakannya. Mencari kesibukan agar
aku bisa benar benar tidak lagi
membayangkannya, dengan sekejap perjuangan
itu lenyap begitu cepat malam ini.
Aku seperti tertipu oleh janjiku sendiri. Janji
untuk akan segera melupakan itu semua. Aku
kira, semuanya sudah hilang, purna, membuka
lembaran baru. Tidak. Jauh dari itu semua.
Ternyata puing puing sakit hati masih ada yang
tertinggal.
Saat itulah ia semakin dekat menuju kearah
ruangan panitia. Menatapku. Aku tak kuasa
kembali. Berlari menuju dalam ruangan panitia.
Dua Menit lalu listrik padam. Tetapi keadaan
masih cukup terang karena ada api unggun yang
menyala besar. Tak ada satu panitia pun yang
tahu bahwa aku sedang menangis didalam
ruangan. Panitia mengurus padam nya listrik
dan menenangkan peserta.
Aku semakin tak berkuasa karena mendengar
suaranya dari dalam ruang panitia. Setelah
listrik menyala, aku mencoba berlari menjauh
dari keramaian. Aku berlari menuju kamar
mandi. Menangis sejadi jadinya disana.
'Wahai hati? Apakah yang engkau harapkan
kembali? Sudah puaskah engkau berharap pada
ketidakpastian yang berujung pada
keterpurukan? Tidakkah engkau berfikir untuk
pergi? Jauh melupakan sebuah kenangan.
Tidakkah lelah engkau dalam sakit yang terus
menerus datang tanpa sebuah akhir.'
Aku mencoba menyeka air mata ku. Sudah
merasa lelah menangis. Hampir dua puluh
menit didalam sebuah kamar mandi hanya
untuk menangisi hal seperti ini.
Aku mencoba bangkit, berjalan menuju ruang
panitia. Banyak sekali yang harus ku kerjakan.
Waktuku terkuras hanya untuk semacam ini.
"El"
Hatiku seperti tercekam. Suara itu... Sangat
pelan sambil menepuk pundakku perlahan dari
belakang.
Ya Rabbi. Hatiku semakin tak karuan ketika
mengetahui bahwasannya itu Dimas. Ia bahkan
lebih menyeramkan daripada yang aku
bayangkan. Hantu bumi perkemahan misal.
Biasanya, dari cerita cerita anak Dewan Galang,
disetiap kemah itu pasti ada satu orang yang
diganggu, tentunya anak itu yang paling bandel
sama peraturan. Dan akhirnya aku mulai merasa
bahwasannya aku lah orang yang telah
terganggu makhluk seperti Dimas ini.
Mana ada anak yang kelakuannya iseng dan
celuntingan kayak Dimas, suka mbuntutin
orang, misterius dan juga menegangkan.
"Kamu ngapain coba di kamar mandi lama
banget?"
"Kamu juga! Ngapain coba mbuntutin orang
nggak jelas pakek acara mata mata in aku."
"Yaelah siapa juga yang mata mata in kamu" Ia
berjalan mendahuluiku. "eh?" ia melihat
mataku yang sembab, seketika itu aku langsung
salah tingkah, mencoba meyakinkannya.
"Kamu nangis?"
Berbagai penolakan dan pembelaan diriku telah
terucap. Karena teringat kejadian pagi tadi yang
membuat kami berdua bertengkar, ia akhirnya
mengalah walau dari raut muka nya ia masih
menyimpan keraguan.
Aku kembali menuju ruang panitia. Sedang
Dimas memilih diluar berbincang dengan
panitia lain. Aku meletakkan panggungku ke
kursi yang ada diruang panitia, menghela nafas
panjang. Mengingat bahwa nanti malam aka
nada kegiatan kembali.
Tiba tiba Dimas memasuki ruang panitia,
dengan cepat menyambar tanganku sama
seperti yang ia lakukan saat akan mengajakku
ke Bilingual Office hari itu.
Aku yang tengah bersantai, sangat terkejut saat
Dimas membuka tuas pintu dengan cepat. Ia
hanya mengisyaratkan agar aku mengikutinya.
Tanpa banyak bicara aku segera mengikutinya.
Kali ini tidak kesal seperti waktu ia menarikku
untuk ke Bilingual Office saat itu. Aku justeru
memperhatikannya dengan seksama.
ððð
Dua Belas
Aku terduduk diatas sofa merah dengan
sandaran hitam—abu abunya. Menggambarkan
kesan gelap diatas terang. Sambil memandang
hiruk-pikuk kota melalui kaca jendela kamarku
yang bertirai coklat.
Bimbang menghantuiku. Sesuatu yang akhir
akhir ini selalu ada dalam fikiran ku.
Hanya ada suara suara mesin mesin mobil dan
motor yang berderu kencang dari luar rumah.
Sesekali klakson melengkapi bisingnya suasana
malam ini.
Begitu banyak kata kata yang terangkai dalam
fikiran, tetapi tak ada satupun yang dapat
kutuliskan.
Aku mencoba bangkit dari sofa, mencoba untuk
terus melupakan hal yang membuatku bimbang
hari ini.
Aku melempar badanku kekasur. Mengambil
handphone, mematikan notifikasi, lalu
mendengarkan lagu yang biasanya ku dengar
demi mengusir kejenuhan.
Sungguh, malam ini. Aku benar benar dipuncak
jenuhku. Entah apa yang terjadi. Aku terjebak.
Jauh kedalam pola pikiran yang mengharuskan
aku untuk terus memikirkan hal ini.
Mencoba berulang kali untuk melupakan bukan
solusi. Malah ini yang membuatku semakin
berfikir akan hal itu.
ððð
“Makasih ya”
Ia membuat langkahku terhenti sesaat sebelum
aku meninggalkan halaman rumahnya. Aku
mengangguk. Lantas melangkah pergi darinya.
“Eh” Ucapnya lirih
Gadis dengan kulit kuning langsat yang samar
samar tercampur cahaya lampu penerangan kota
itu kembali membuatku menengok kearahnya.
Kali ini aku sudah lumayan jauh darinya.
“Maaf aku ngrepotin kamu”
Entah apa yang sekarang ada diotakku.
Perasaan yang tak karuan.
Gadis itu baru masuk halaman rumahnya saat
aku sudah mentancapkan gas motorku. Ia
melambaikan tangannya padaku.
ððð
Dengan perasaan gelisah serta bimbang, aku
mengingat pertemuan singkat ku dengannya.
Bagaimana saat kulihat ia terkapar lemas
dihadapanku, bagaimana saat aku menunggui
nya dilobby rumah sakit, bagaimana saat aku
dan dia saling bercerita diatas motor yang sama.
ððð
”Oh, jadi kamu habis futsal, memangnya selalu
malam hari?”
Sambil berjalan keluar dari rumah sakit. Kaki
nya masih sedikit terpincang pincang saat
berjalan, seperti menahan sakit.
“Kebetulan bulan depan udah tanding” Aku
tersenyum “Jadi lebih sering latihannya”
Kami sudah mulai akrab, obrolan obrolan
sederhana pun kami lakukan, demi memecah
suasana.
“Oh ya? Tanding dimana? Aku sering lihat
kamu tanding, lebih tepatnya, nggak sengaja” Ia
berhenti, lalu menatapku.
“Kali ini tanding tingkat provinsi. Perwakilan
dari kota” Aku tersenyum simpul “Bentar, aku
ambil motor dulu ya”
Ia mengangguk.
Motorku telah dibawa mengikuti ku tadi, oleh
salah seorang warga. Setelah itu mereka pergi,
pamitan padaku.
“Rangga, handphone kamu bunyi deh
kayaknya”
Suara mesin motorku ditambah kendaraan lain
membuatku tidak mendengar jelas suara nya.
Aku memintanya untuk mengulangi.
“HP kamu bunyi” Kali ini ia berbicara lebih
keras daripada yang tadi.
“Udah, biarin aja.”
“Nggak mau dilihat dulu? Siapa tahu penting”
Aku tak menjawabnya, terus mengendalikan
motorku.
ððð
Aku menatapnya yang ada dibelakangku lewat
kaca spion. Krudungnya sayup sayup terkena
angin. Ia terlihat sibuk menatap kerumunan
orang di kafe, seperti terpesona dengan
pemandangan tersebut.
“Kamu kenapa?”
“Kenapa apanya?” Jawabnya yang balik
bertanya tanpa mengalihkan pendangan dari
kafe yang berejer rapi dipinggir jalan.
“Sibuk banget lihatinnya, emang kamu nggak
pernah keluar malem?” aku melihatnya dari
kaca spion lagi.
“Enggak. Nggak pernah malah”
“Serius? Main sama siapa gitu?”
Ia tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Kata
siapa dalam pertanyaanmu masih jadi tanda
tanya besar lho”
“Maksudnya?” Aku tak faham
“Memang nya siapa yang mau ajak main Ngga”
Kali ini ia berbicara lebih serius.
“Eh Rangga! Rumah aku kelewatan!”
Spontan kami pun menepi kekiri jalan karena
sama sama baru tersadar rumah gadis ini telah
tertinggal jauh dibelakang.
ððð
“Rangga!”
“Ranggaaa!”
Suara ibu dari lantai satu mengagetkanku. Aku
baru teringat lima menit yang lalu sebelum ibu
pergi, aku diminta turun menyiapkan meja
makan, untuk makan malam bersama.
Rasanya malam ini tak terkontrol karena
fikiranku juga tak karuan. Aku menghela nafas
panjang sembari bangkit dari tempat tidurku.
Tiga Belas
Ternyata bukan hanya aku, ada banyak panitia
yang mengikuti Dimas. Aku segera faham akan
situasi yang terjadi. Pasti sedang terjadi sesuatu,
entah apa.
Dimas menggiring kami pada sebuah lorong
kecil belakang sekolah yang tembus dengan
lapangan. Gelap. Jujur saja aku sangat takut.
Tetapi, demi mengetahui apa yang sedang
terjadi, aku memberanikan diri untuk terus
berjalan. Tentunya tidak dibarisan belakang.
Aku berada dibelakang Dimas yang memainkan
senter nya. Mengarahkan pada setiap langkah
yang akan kami lewati dilorong kecil ini.
Disana, ujung lorong kecil belakang sekolah.
Kami berempat mengambil posisi. Semua
sudah siap dengan senter masing masing.
Kegiatan renungan malam akan segera dimulai
lima menit lagi. Seluruh panitia diminta berjaga
di pos masing masing. Ada sekitar sepuluh pos
seluruhnya. Kebetulan, lorong kecil ini menjadi
pos kedua.
Ini sudah larut malam. Bulu kuduk ku
merinding sesaat. Suasana gelap mencekam
hatiku. Tak henti hentinya aku berprasangka
buruk pada hal yang akan terjadi.
Dimas tak tahu ekspresiku saat ini. Bila saja ia
tahu, pasti sudah mengejek sedari tadi. Kini ia
sedang mengomando kami. Menjelaskan tugas
yang akan dikerjakan disini, dengan tegas dan
pasti.
ððð
Jam menunjukkan pukul sembilan malam.
Panggung utama telah sepi, sound speaker telah
dimatikan. Hening. Kali ini aku tidak berjaga
disana. Aku ikut Dimas. Menjaga pos untuk
kegiatan berikutnya.
Satu kode dari pos pertama telah terdengar.
Artinya kegiatan ini resmi dimulai.
Panitia yang menjaga BUMPER sudah
mengirimkan sinyal aman. Peserta telah masuk
seluruhnya kedalam tenda masing masing.
Satu suara dari belakang kami membuat
semuanya menengok. Ada apa?
Empat Belas
Dari belakangku terdengar suara jejak kaki
yang tergesa gesa. Aku menoleh. Sama sekali
tidak mengetahui siapa orang tersebut karena
disini sangat gelap. Yang aku tau hanyalah satu
perempuan dan satu laki laki.
Mereka tanpa banyak bicara menarikku keluar
dari lapangan. Karena disini kami tidak
diperbolehkan bersuara kecuali hanya kakak
dewan galang yang bertugas.
Setelah sampai diseberang jalan. Barulah
terlihat mereka yang menarikku. Mbak Jessi
dan Mas Farhan. Mereka terlihat panik. Tergesa
gesa.
Belum sempat aku bertanya, mereka sudah
menjelaskan. Ada kejadian aneh yang terjadi
tepat saat pemberangkatan kurang lebih lima
belas menit lalu.
Kami bertiga berjalan menyusuri jalan yang
sepi. Sama sekali tidak ada kendaraan yang
lewat. Hening. Padahal waktu siang, jalan ini
adalah jalur utama menuju pusat kota. Sangat
ramai.
Diperjalanan, kami membicarakan kejadian
yang terjadi di Bumi Perkemahan. Aku hanya
mendengarkan, karena aku tidak tau sama
sekali awal kejadiannya.
Kurang dari tiga menit kami sampai di UKS.
Banyak sekali orang berkerumun.
Rasyid, dia seperti tidak sadarkan diri. Allah,
Cobaan apalagi ini. Kami semua ketakutan.
Mata Rasyid merah, napas nya tersenggal
senggal seperti menahan amarah. Entahlah.
Kami belum tau persis.
Aku menyuruh agar yang lain menepi. Memberi
jarak agar tidak terlalu dekat dengan Rasyid.
Mas Farhan mendekati Rasyid. Rasyid berhasil
ditenangkan olehnya. Ia tergeletak seperti orang
tak mempunyai tenaga.
Sebelum kejadian ini, aku melihat Rasyid saat
aku akan sholat Isya'. Ia terlihat sendirian
didekat mushola. Setelah itu aku tak terlalu
menghiraukannya karena acara inti akan segera
dimulai. Aku pikir ia baik baik saja.
UKS hening. Dipojok depan ada dua anak laki
laki yang terlihat ketakutan, Dimas
menyuruhnya agar bersikap biasa.
Sekarang barulah aku dan Mbak Jessi yang
mencoba mendekati. Tidak banyak panitia
disana. Hanya dua petugas UKS, Aku, Dimas,
Mbak Jessi dan Mas Farhan.
Jelas saja, semua panitia telah terlibat acara
renungan malam di Lapangan. Sebagian besar
mereka tidak mengetahui apa yang sedang
terjadi disini.
Aku pelan pelan mengajak bicara Rasyid.
Pertanyaan pertama yang kulontarkan sia sia.
Tidak dijawab. Matanya yang merah ditutup
oleh topi nya. Keringat bercucuran
dikeningnya. Aku mencobanya sekali lagi.
Bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Ada apa sebenarnya, ceritakan pada kami".
Yang kedua ini, ada respon walau hanya
gelengan. Mbak Jessi yang terlihat tidak sabar
juga ingin bertanya. Tapi Mas Farhan berhasil
menahannya.
Sampai pada pengulanganku yang ke lima, ia
akhirnya mau menjawab. Ia sudah merasa lebih
tenang. Lalu menceritakan ketakutannya tadi.
Bercerita panjang walau tersendat sendat karena
menahan tangis. Dua anak laki laki di sudut
depan terlihat gemetaran dan saling berpelukan.
Aku ingin tertawa rasanya. Tetapi untung saja
dapat ku cegah.
Ruangan dekat mushola yang disebut sebut
memang banyak yang mengaku digoda
makhluk tak terlihat disana. Mungkin memang
karena ulah anak itu yang tidak senonoh.
Kali ini aku tetap berjaga di ruang UKS
bersama Dimas, Mbak Jessi dan Mas Farhan.
Kita tidak bisa meninggalkan Rasyid sendiri.
Kalaupun dia tidak sendiri artinya banyak anak
di UKS, aku pun tak bisa meninggalkannya.
Aku harus tetap menemaninya. Ini perintah dari
Mas Farhan. Ia takut kalau akan terjadi
kembali.
Aku tertidur sebentar karena sedari tadi aku
belum juga tidur. Angin malam yang
menghempas masuk kedalam ruangan UKS
perlahan masuk menambahi suasana kantuk
pada diriku.
Rasyid sudah tidur, pun peserta yang sedang
sakit. Sudah tidak semenegangkan tadi. Lagi
lagi Dimas tidak ada. Entahlah kemana. Aku
mencoba tidur dengan posisi duduk. Mencoba
senyaman mungkin walaupun tidak akan
senyaman tidur di kamar pribadiku.
“Elsa? Kamu mimisan?” Mbak Jessi berbicara
dengan berbisik bisik. Takut jika yang lain
terganggu.
Aku mengusap hidungku. Darah. Ada apa?
“Kayaknya kecapekan deh mbak.” Sambil
mengambil tisyu UKS.
“Enggak enggak, kamu pulang aja deh el. Biar
aku yang bilang sama panitia lain” Mbak Jessi
terus memaksaku.
“Aku dirumah sendirian mbak, ayah ku nggak
ada. Aku malah nggak ada yang jagain kalau
disana” Aku tersenyum. Sekali lagi mengusap
hidungku dengan tisyu.
“Tapi bener kamu nggak apa apa?”
“Bener mbak jes.” Jawabku yang sebenarnya
aku sendiri ragu, aku juga tak tahu ada apa
dengan tubuhku.
Krudungku terkena darah sebagian. Entahlah,
apa yang terjadi padaku. Aku mencuci daerah
yang terkena darah, menguceknya dengan air.
Kaos panitia ku pun ikut terkena darah.
Aku memutuskan untuk berganti baju dan
krudung, karena sebentar lagi masuk waktu
subuh.
Lima Belas
Agustus, 2014
Aku menatap sebal pada seluruh temanku.
Istirahat kali ini tak jauh berbeda dari istirahat
sebelumnya. Duduk berkerumun didepan kelas,
sambil menenteng jajanan yang telah ia beli,
lalu membicarakan orang yang setiap hari
mereka bicarakan
ððð
Agustus, 2015
”Inget waktu itu nggak El?” Riza
menertawakanku.
“Apaan sih za” Aku membiarkannya
menggodaku.
“Angga, angga, angga. Nggak ada yang lain
apa?” Riza menirukan gaya bicaraku dulu.
“Za udah deh”
Hampir sepuluh menit aku mendengar ia
mengoceh menggodaku. Ia baru berhenti saat
pelayan laki laki kafe ini memberikan pesanan
ke meja kami.
Agustus, 2014
“Udah deh, kalian itu nggak ada gunanya
ngomongin orang yang sama tiap hari kayak
gini”
Aku benar benar sebal, hampir dua bulan
bersekolah disini, tetapi tak ada topik lain yang
dibicarakan selain itu. Padahal ia bukan siswa
disini.
“Lagian belum tentu dia disana juga nyanjung-
nyanjung kalian sama seperti yang kalian lakuin
sekarang”
Setelah itu aku masuk kedalam kelas dan
menutup pintunya. Entah apa yang mereka
kerjakan diluar, masihkah membicarakan hal
yang sama, masa bodoh. Aku tak
memikirkannya.
Kelas lengang, hanya ada teman laki laki ku,
yang perempuan sedang terobsesi oleh satu
orang pemain futsal yang aku sendiri tak tahu
tentangnya.
Agustus, 2015
“Aku belum bisa lupa, Za”
Kami terdiam, Riza tak lagi mengejekku. Ia ikut
larut dalam kata kataku.
“Kenangan itu tetap ada, walau sudah berulang
kali kucoba untuk melupakannya”
Riza mengangguk. Matanya berkaca kaca.
“Aku belum bisa lupa, Za” aku mengulangi
kata kata itu.
Tidak ada gunanya, semua usahaku untuk
mencoba melupakannya hanya berakhir satu
kata, sia sia. Melupakan tidak akan semuda
mengingat. Pun merelakan. Ia juga tidak akan
semudah saat kita merelakan hati kita untuk
terjatuh begitu dalam oleh cinta.
Semenit kemudian, Dimas datang bersamaan
dengan Bayu. Langsung mengambil posisi
masing masing. Dimas berada dikanan ku, bayu
didepanku. Meja bundar itu menjadi saksi bisu
diskusi kami ber-empat hari itu.
ððð
Tiga jam membuat konsep untuk drama
musikalisasi minggu depan akhirnya berbuah
manis. Kami mendapat konsep yang sangat
cocok dengan kepribadian masing masing.
Konsep ini siap diprint besok dan didiskusikan
kembali bersama wali kelas kami.
Bayu dan Dimas telah pamit duluan. Ada
keperluan katanya. Aku dan Riza hanya
mempersilahkannya pergi tanpa menghalang
halangi mereka berdua.
Setelah dimas dan bayu pergi, aku dan riza
sama sama terdiam, rioza seperti teringat akan
ucapanku tadi. Ia kembali tertunduk.
“Kau harus tetap melupakannya, El. Ia jelas
jelas sudah mengacuhkanmu”
Itu kata kata riza pertama setelah beberapa saat
kami sama sama terdiam.
Ia benar, aku harus melupakannya. Aku harus
sesegera mungkin melupakannya. Tetapi aku
tak dapat menerima, sudah berulang kali
bimbang menghantuiku. Bayangnya tetap ada,
janji manisnya pun selalu ku ingat. Walau
kelakuan buruknya lebih sering terlintas.
Agustus, 2014
Nada pesan HP ku berbunyi saat aku masih
mengerjakan beberapa PR untuk esok. Aku
menghiraukannya, mencoba fokus bpada
pekerjaanku terlebih dahulu.
Nada pesan itu semakin sering berbunyi, kerena
merasa risih, aku membuka HP ku. Berniat
mematikan deringnya agar aku bisa
melanjutkan belajrku yang tertunda.
Niatku gugur seketika saat itu. Satu akun BBM
mengirimi pesan beruntun kepada ku. Aku tak
tahu persis tentangnya. Yang aku tahu ia adalah
seniorku, itu saja.
Aku membuka pesan darinya. Mulai saat itu,
kami sering berbalas pesan. Dan, mulai dari itu
pula luka ini timbul. Kecerobohan yang
membuat ini semua terjadi. Dan sekarang hanya
sebuah penyesalan yang tersisa dalam diriku.
ððð
“Bukankan sudah saat nya untuk move on?
Tidak baik terus bertahan dalam sebuah
kesedihan. Itu hanya memperburuk keadaan,
pun perasaan.” Suara lirih Riza mengakhiri
kisah hari ini.
Enam Belas
“Kamu dari mana aja Ngga? Udah tidur?”
Itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut
Mama saat aku turun dari tangga. Aku
meringai malu, melangkah menuju kearah nya.
“Nggak, ma. Tadi Rangga ke kamar mandi.”
Sambil tersenyum tanpa menatapnya.
“Oh iya ma? Kebab pesenan Rangga mana?”
aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Itu, dimeja tamu. Makan dulu baru kebabnya
Ngga”
“Rangga udah kenyang Ma, rangga ke kamar
dulu ya”
Aku meninggalkan mereka diruang makan,
menuju ruang tamu mengambil kebab yang ku
pesan pada ibu sebelum ia pergi, lantas menuju
lantai dua dengan cepat.
Lantai dua memang dikhususkan untuk
ruanganku. Tidak terlalu luas, cukup satu kamar
dengan kamar mandi didalamnya serta ruangan
santai, biasanya aku membaca buku atau hanya
sekedar duduk disana. Ada pula yang paling
aku sukai dari lantai dua ini, yaitu teras luar.
Aku sering sekali berolahraga pagi hari disana.
Karena ruangan itu ruangan terbuka, tak ada
atap dibagian atasnya, aku hanya sering
menggunakan ruangan itu jika pagi hari, karena
udaranya belum terlalu panas.
Langit memang sudah gelap, tetapi ramainya
lalu lintas membuat kegelapan itu tak berarti.
Aku membuka pintu yang menghubungkan
ruangan santai kamarku dengan teras luar. Ada
satu kursi panjang disana.
Aku membaringkan badanku, dengan samar
samar
angin menghempas kaos yang kukenakan.
Tidak dingin, karena hawanya masih tercampur
panas udara sore tadi.
Aku menatap langit dengan sejuta indahnya
malam ini. Aku tak sendiri, dua bungkus kebab
telah menemaniku. Ada satu lagi, walaupun
hanya lewat chat. Gadis yang menemaniku
keliling kota malam itu.
Kami tak banyak basa basi. Chat kami tidak
lebih dari sepuluh balasan. Ia bahkan sudah
pamit tidur saat aku ingin mengajaknya
membahas sesuatu. Mana bisa aku
mencegahnya. Aku hanya meng iya kan,
mempersilahkannya tidur.
Sayup sayup angin yang sejuk membuat ku
meresakan kantuk yang luar biasa. Mata ku
sudah hampir terpejam, sedikit lagi memasuki
klimaks, memasuki alam mimpi.
Aku membuka mataku yang setengah tak
sadarkan diri. Bulan tak lagi ada ditempat
semula. Bintang pun telah hilang, bak ditelan
bumi dengan begitu cepat. Angin yang mula
nya bersahabat sekarang seperti musuh. Berkali
kali menyambar tubuhku.
Aku segera masuk kedalam ruanganku.
Menutup rapat rapat pintu nya. gelegar dari luar
membuatku tak lagi merasakan kantuk.
Kulihat keramaian kota dari jendela kamarku.
Semua orang berlarian mencari tempat
berteduh. Mobil mobil mulai menghidupkan
pembersih kaca nya. Klakson klakson mereka
tujukan pada kendaraan lain yang berjalan
dengan tidak fokus.
Hujan deras mengguyur pusat kota dimalam
minggu kali ini. Semua orang yang berniat akan
me-refresh fikirannya harus rela menggagalkan
niatnya demi tak terkena basah air hujan.
Kulempar badanku kekasur kamarku.
Merebahkan badanku yang sungguh terasa
penat sedari tadi. Gelisah tak kunjung berhenti,
malah semakin terasa jika sudah seperti ini. Tak
pedulikan rasa kantukku yang luar biasa.
Tujuh Belas
Hasil rontgen telah ada ditangan ayah. tubuhku
sudah lebih baik. Entahlah, akhir akhir ini aku
merasa lebih cepat lelah dan sering pusing.
Selama ini aku hanya memendamnya sendirian.
Aku berfikir bahwa aku kurang istirahat.
Karena minggu ini banyak sekali kegiatan yang
kujalani.
Sebelum aku dan ayah meninggalkan ruang
praktik dokter, ayah sempat berbincang dengan
dokter bram dimeja kerjanya yang terdapat
disudut ruangan praktik.
Sudah sering sekali kami datang kemari, selain
karena dokter bram adalah sahabat ayahku saat
SMA, ia adalah dokter yang biasa menangani
penyakit keluargaku, bahkan sejak aku kecil.
Bunda juga. Ia selalu datang kemari bersama
ayah bila badannya berasa tidak enak.
Setelah kurang lebih lima belas menit, ayah
akhirnya beranjak dari kursi dihadapan dokter
bram. Aku pun turun dari dipan pasien karena
melihat ayah berpamitan. Aku memberikan
salam pada dokter bram sambari tersenyum. Ia
membalas senyumku.
ððð
"Ayah?" Aku memanggilnya lirih.
"Iya El?" Jawabnya tanpa mengalihkan
pandangan.
"Ayah, Elsa sakit apa sih?"
Ayah tersenyum tipis, melihat kearahku
sebentar lalu fokus lagi kesetirnya. Ayah
bahkan tak menjawab pertanyaanku, ia sudah
sibuk membicarakan hal yang lain.
"Mau makan siang dimana El?" berhenti
sebentar, "Nasi padang yuk? Gimana?"
Tanpa menunggu persetujuan ku ia sudah
memutuskannya sendiri. Saat itu juga aku
bertanya pada diriku sendiri 'Lantas, ayah
kenapa nanya kalo udah punya jawaban sendiri'
aku menggeleng kepalaku pelan.
ððð
Cuaca cerah, meskipun sedikit berawan.
Matahari terus bersinar, menampakkan cahaya
nya yang sangat indah disore hari.
Ini sudah hari kelima setelah rontgen itu keluar.
Tapi ayah belum juga member tahu ku satu hal
apapun tentang apa sebenarnya yang terjadi.
Aku mulai melupakannya. Aku sudah agak
baikan. Rutin meminum obat yang dokter bram
berikan.
“Elsaaa!”
Suara ayah melengkapi sore ku yang masih
setengah malas. Ayah memanggilku saat aku
tengah serius memainkan tangan dan kakiku.
Memutar pergelangan tangan, kaki ku
meloncat. Begitu seterusnya.
Aku menghentikan kegiatan ku sebentar.
Menuruni tangga perlahan, lalu menghampiri
ayah yang memanggilku. “Ada a—?”
Aku terdiam. Aku sangat mengenali tamu hari
ini.
“Rangga?” kataku lirih. Aku tersentak kaget
karena yang datang adalah Rangga. Kemarin
malam, ayah sempat bicara padaku, besok ia
akan kedatangan tamu, yaitu teman dekat ayah.
Aku sama sekali tidak menyangka bahwa teman
dekat ayah adalah papa rangga. Seketika itu aku
sangat malu.
“Loh? Kalian udah saling kenal?” Kata papa
Rangga.
Kami sama sama mengangguk pelan.
“Gimana El, masih sering pusing?” Tanya papa
Rangga lagi. Ia adalah dokter Bram yang
kemarin memeriksa ku, dan memberikan
senyuman.
Aku menggelengkan kepalaku. Bertanda tidak
atas pertanyaan yang om bram berikan.
Rangga yang berada disebelah Om Bram kali
ini tertunduk. Sepertinya malu melihatku.
“Rangga saiki wis gedhe ya!”
Ayah ku berbicara dengan logat jawa nya yang
khas, yang artinya “Rangga sekarang udah
besar ya!”
“Om Bram mau dibuatkan kopi atau teh?” Aku
menawari tamu spesial ini.
“Teh saja Elsa, terimakasih” Ia tersenyum sama
persis ketika tersenyum diruang praktiknya
kemarin.
“Rangga mau minum apa?” Aku berkata lirih.
Ia hanya tersenyum tipis, tak seperti malam itu.
Bahkan kali ini ia tidak lagi mengajakku
bercanda. Pandangannya tertuju pada karpet
lembut dilantai ruang tamu.
Aku menuju ke dapur, membuatkan mereka teh
manis disebuah cangkir kecil yang berada di rak
dapur. Suara tawa ayah dan om bram yang khas
terdengar jelas dari dapur. Membicarakan
berbagai topik hingga aku kembali ke ruang
tamu dengan membawa berbagai makanan,
mereka tetap saja seru dengan topiknya.
Aku dan rangga jelas jelas hanya bisa
tersenyum, saling tatap. Tak tahu harus
bagaimana lagi karena kami tak cukup mengerti
apa yang sedang mereka bahas.
Ayah dan dokter bram tertawa kembali. Bak
seorang sahabat yang lama tak berjumpa.
Padahal tidak. Ayah sering sekali mengunjungi
dokter bram. Tak jarang pula aku diajaknya.
“Bram, gimana bisnis kamu di samarinda yang
kamu tawarkan kepadaku kemarin?”
Mereka kini membicarakan hal yang lebih
serius. Lagi lagi aku dan Rangga hanya bias
bertatapan tanpa berkata satu kata pun.
Ia menghembuskan nafasnya perlahan, seperti
menujukkan kekesalannya saat ditanyai hal itu.
“Ternyata bisnis disana banyak susahnya. Aku
rugi besar”
Om bram terdiam sebentar. Membenarkan
posisi duduknya. Berubah menjadi serius.
“Yaa bagaimana tidak? Kita dijawa, orang yang
kita percayai jelas jelas bukan orang jawa.
Tentu aku juga tidak bisa ke samarinda tiap
minggu. Kita hanya bisa mengawasinya lewat
pesan. Belum tentu juga mereka mengerjakan
apa yang kita suruh.”
“Dua bulan pertama bisnis ini sukses. Banyak
untungnya. aku hampir saja mentransfer uang
lebih banyak lagi, untung saja istri ku
mengingatkan. Kalau tidak aku tak tahu
bagaimana nasibku sekarang”
Om bram yang tadi tertawa tawa, saling
becanda dengan ayah sekarang berubah drastis.
Tatapan nya begitu tajam kesalah satu sudut
ruang tamu ku. Aku rasa ia benar benar kesal.
“Bulan bulan berikutnya, aku menyadari
adanya kerugian. Yang pertama memang tidak
terlalu besar. Saat itu aku memakluminya. Aku
berfikir wajar. Bisnis pasti ada pasang surut”
“Tetapi, saat bulan ke empat, setelah ia
meminta bayarannya. Entah mengapa nomor
ponselnya benar benar tidak aktif.”
“Aku benar benar kesal waktu itu. Ini adalah
kesalahan terbesarku, tidak ingin mendengarkan
apa kata istriku terlebih dahulu. Padahal ia
sudah berulang kali mengingatkanku.”
“Jika saja aku menemuinya lagi, aku akan
melaporkannya kepada polisi. Ini benar benar
penipuan”
Om bram benar benar sudah dipuncak
kemarahannya. Teh yang baru saja aku letakkan
didepannya, kini sudah tak ada bekas bekas
keberadaannya. Habis ia minum seluruhnya.
Entah itu panas sekalipun, ia mana peduli.
Ayah mencoba menenangkan om bram. Rangga
menyingkir dari papa nya karena diminta oleh
ayah. Sekarang ia ada disampingku.
“Sudahlah Bram, anggap saja ini adalah
cobaan. Jadikan semua ini pelajaran. Masih
mending daripada orang lain Bram. Kau hanya
kehilangan tak lebih dari dua puluh juta rupiah,
dalam waktu yang relatif lama. Itu masih bisa
dikategorikan untung”
Setelah hampir lima menit mereka berdebat,
akhirnya om bram juga melapangkan keadaan
nya yang sempat terpuruk. Ia sudah mulai
mengikhlaskan. Aku dan rangga menghela
nafas panjang. “Akhirnyaa..”
Kami masih terus terdiam, hanya
mendengarkan ayah serta papa rangga
berbicara. Sesekali saling lirik. Salah tingkah
dan begitu seterusnya.
Delapan Belas
Langkah demi langkah kami lewati. Entah
mengapa hari ini tidak seperti malam itu. Kami
banyak diam. Hanya angin kecil yang menjadi
saksi bisu kami sedang bersama.
Papa dan ayah elsa ada dirumah, sibuk
membahas urusannya. Lima menit yang lalu,
elsa diminta ayahnya untuk mengantarku
berkeliling tempat tinggalnya.
Satu kabar baik bagi kami, akhirnya kami bisa
keluar dan mencari topik sendiri daripada terus
terusan mendengarkan perbincangan mereka
berdua yang sama sekali aku dan elsa tak
faham.
ððð
Pagi tadi, setelah aku selesai berutinitas.
Melakukan lari larian kecil untuk menguatkan
otot kaki, push up, sit up dan sebagainya, papa
mengajakku untuk pergi nanti sore. Kerumah
teman katanya.
Aku yang awalnya menolak, mengurungkan
niatku karena hari ini aku sedang tidak ada
jadwal sama sekali.
Benar saja, sore ini aku dimintanya berdandan
rapi. Ia bahkan sempat menyegerakanku.
“Rangga! Lama banget sih!” teriak papa dari
lantai satu.
Mama sedang tidak dirumah, kemarin beliau
berangkat menuju Singapore untuk keperluan
pengamatannya. Hanya ada empat orang
dirumah. Aku, papa, bibi ijah dan mang oman,
suami bibi ijah.
Aku menyiapkan baju yang akan kukenakan
sore ini tadi siang. Papa yang meminta aku
untuk ekstra siap siap. Entahlah. Tak biasanya
papa seperti ini. Tapi aku cuek saja, menuruti
segala perintah papaku.
ððð
Satu hal yang tak akan pernah aku bisa lupakan.
Ternyata ia anak dari teman baik papaku.
“Ranggaa” Ucapnya pelan sambil terus
melangkahkan kaki nya perlahan.
“Iya?”
Ia tersenyum. Berhenti melangkah, kali ini
membalikkan badannya kearahku.
Kami terhenti ditaman yang cukup luas. Ada
sebuah kaca cembung disudut jalan. badan kami
terlihat jelas sedang berdiri dibawahnya.
“Duduk disana yuk?”
Elsa, gadis manis dengan mata sipit berwajah
khas asia itu mengajakku singgah ke sebuah
gubuk kecil seperti pos, didekat taman
perumahan ini.
Kami berbincang seperti yang kami lakukan
malam itu. Sampai pada pertanyaanku yang
terakhir.
“Elsa, ibu kamu nggak dirumah ya? Aku sama
sekali nggak lihat beliau”
Matanya seketika berkaca kaca. Ia menangis,
entah lah. Aku tak faham. Ada apa? Adakah
yang salah dengan ucapanku? ‘Elsa, Ada apa?’
batinku.
Tangisannya tak bisa dibendung, air matanya
kini telah membasahi sebagian kerudung yang
ia kenakan. Tangannya terus menutupi bagian
matanya. Sesegukan keras.
Aku semakin bingung. Berulang kali
kutenangkan ia. Tak ada respon. Ia tetap saja
menangis.
“Bunda aku udah nggak ada, rangga” Ia
menyeka ujung matanya yang basah.
“Bunda sudah meninggal, saat aku kecil” Elsa
menatap langit. Tatapan kosong.
Ya tuhan, lihatlah. Lihatlah gadis yang bersedih
ini. Lihatlah gadis yang merindukan sosok
ibunya ini. Hari itu aku kira ialah gadis yang
sangat ceria. Tak memiliki masalah yang
banyak.
Aku salah, aku bahkan lebih beruntung darinya.
“Bunda ku punya penyakit hemophilia ngga,
aku dari kecil cuma sama ayah. Terakhir aku
keluar malem, waktu aku umur enam tahun.
Makannya kemarin waktu sama kamu aku
kelihatan takjub banget lihat kafe.”
Aku ikut larut dalam cerita elsa. Aku tahu
bahwa Elsa masih bersedih walau ia berusaha
menyembunyikannya.
“Aku kadang mikir, kenapa tuhan selalu tak
adil? Mengapa harus aku yang kehilangan kasih
sayang dari seorang ibu? Mereka tidak.”
Tangisnya semakin kencang.
Mengapa aku ini? Bodohnya aku. Seharusnya
aku tak membicarakan hal ini. Mengapa kata
kata itu spontan muncul dari mulutku tadi
Rasanya, ingin sekali kutinju sediri diriku. Aku
merasa orang paling salah. aku yang membuat
elsa menjadi bersedih.
Seribu kata maaf bahkan tak dapat
menghilangkan kesedihan elsa. Mengapa aku
melukai orang yang aku sayang?
Kami sama sama terdiam. Elsa sudah menyeka
matanya sedari tadi. Ganti aku yang melamun,
menatap rumput hijau taman ini.
Kami berdua kembali kerumah elsa, ia yang
meminta. Matanya sembab. Terlalu lama
menutup matanya saat menangis mungkin
faktornya. Kelihatan sekali jika ia habis
menangis.
Lihatlah, mengapa disaat seperti ini aku hanya
dapat terdiam? Betapa bodohnya. Mengapa aku
tak bisa menenangkannya seperti aku
meyakinkannya bahwa aku bukan orang jahat
saat di rumah sakit? Mengapa aku hanya diam
membisu. Bahkan jika burung menatap ku, ia
pasti sudah menertawakan.
“Brukk”
Elsa terjatuh. Ia tak sadarkan diri.
“Allah, non elsa kenapa” mang oman yang
mengetahui ini langsung berlari kearah kami.
Mengangkat elsa masuk kerumah.
ððð
“Rangga? Elsa kenapa?” ayah elsa panik, papa
ku juga.
Diletakkannya elsa disofa ruang tamunya.
Berbaring tanpa diberi bantal agar aliran
darahnya mengalir.
Papaku memeriksa elsa sebentar. Mang oman
menyiapkan mobil atas perintah papa, elsa akan
segera dibawa kerumah sakit.
Aku yang benar benar belum mengetahui
sebabnya hanya mengikuti, dibopongnya elsa
masuk kedalam mobil. Rok elsa terbuka sedikit,
menunjukkan telapak kaki dan pergelangannya.
Ada satu luka yang aku tak bisa hiraukan.
Kakinya biru, seperti lebam. Entah luka apa itu.
Ayah elsa menangis. Ini sama seperti yang
dilakukan mamaku saat melihat tante mira
terkapar lemas.
Tangannya menggenggam tangan elsa yang
putih. Air mata nya jatuh saat ia harus
merelakan elsa masuk diruang UGD tanpa
boleh ditunggui siapapun, bahkan papaku yang
seorang dokter.
“Apa ini yang kamu bilang hemofilia keturunan
bram?”
Ayah elsa tak henti hentinya menangis.
‘Hemofilia?’ aku membatin.
“Aku hanya punya elsa bram, apakah aku akan
kehilangan elsa seperti aku kehilangan mira,
istriku?” Ayah elsa lost control. Hampir saja
menendang kursi depan UGD yang dahulu
kubuat merebahkan tubuhku saat menunggui
elsa.
‘Mira? Tante mira istri ayah elsa?’ aku tak
henti hentinya membatin. Menanyai diriku
sendiri.
Ayahku terdiam, tertunduk tanpa menjawab
satu katapun.
“Katamu penyakit itu bisa dicegah dengan obat
obat yang kau berikan! Kau berbohong bram!
Kau bahkan lebih kejam dari yang kufikirkan.”
Ayah elsa membentak. Suasana kacau balau.
Pikiranku terus terusan tertuju pada kata kata
ayah elsa.
Mang oman yang disampingku akhirnya
berpindah dan menenangkan ayah elsa. Lagi
lagi aku hanya terdiam. Tak ada satu katapun
yang dapat aku keluarkan.
ððð
Pintu UGD dibuka kasar. Dokter yang
memeriksa elsa didalam langsung menemui
dokter bram, papaku. Ia terlihat tergesa gesa.
Seperti ada yang akan dibicarakan serius.
Mereka tak terkecuali ayah elsa dan aku pun
masuk dalam ruangan dokter. Disinilah,
semuanya terjawab.
Sembilan Belas
“Hemofilia, satu dari kelompok gangguan
perdarahan bawaan yang menyebabkan
perdarahan abnormal atau berlebihan, dan
pembekuan darah yang buruk. Istilah ini paling
sering digunakan untuk merujuk kepada dua
kondisi tertentu yang dikenal sebagai hemofilia
A dan hemofilia B.”
“Hemofilia adalah suatu penyakit yang
diturunkan, yang artinya diturunkan dari ibu
kepada anaknya pada saat anak tersebut
dilahirkan. Darah pada seorang penderita
hemofilia tidak dapat membeku dengan
sendirinya secara normal. Proses pembekuan
darah pada seorang penderita hemofilia tidak
secepat dan sebanyak orang lain yang normal.”
“ Jika terjadi luka, darah akan terus keluar
karena darah yang seharusnya membeku tidak
jadi membeku atau bisa membeku tetapi dalam
waktu yang lebih panajang di bandingkan
dengan orang yang normal.”
“Penderita hemofilia kebanyakan mengalami
gangguan perdarahan di bawah kulit, seperti
luka memar jika sedikit mengalami benturan
atau luka memar timbul dengan sendirinya jika
penderita telah melakukan aktifitas yang berat.”
“Pembengkakan pada persendian, seperti lutut,
pergelangan kaki atau siku tangan. Penyakit
hemofilia dapat membahayakan penderitanya
jika perdarahan terjadi pada bagian organ tubuh
yang vital seperti perdarahan pada otak.”
Dokter faris menjelaskan dengan runtut sambil
menunjukkan satu gambar silsilah penyakit
hemofilia kepada ayah elsa.
“Tapi mengapa penyakit ini baru dapat
dipresiksi saat elsa besar dok?”
Ayah elsa terus menunduk, masih belum
percaya akan keadaan elsa yang sekarang.
“Sebenarnya, jika memang ia mewarisi gen
ibunya, tanda tanda hemofilia pasti sudah
nampak saat ia masih belajar merangkak.”
Sayangnya, saat elsa balita. Ia lebih sering
diasuh oleh neneknya. Ayah elsa selalu keluar
jawa saat itu. Bundanya, rutin bolak balik ke
rumah sakit. Rawat inap berhari hari.
Neneknya tidak terlalu peka akan keadaan elsa,
tidak juga menyampaikan apa yang terjadi.
“Tidak usah gelisah pak, saya dan bram akan
berusaha semaksimal mungkin untuk elsa, kami
akan menjadwal terapi elsa setelah ini.”
‘Lakukan apa yang terbaik untuk nya. Lakukan
yang seharusnya kau lakukan’
ððð
Satu cahaya terang disusul gemuruh keras dari
langit membuat seluruh penjenguk pasien di
lobby rumah sakit segera merapat, berebut
tempat duduk agar tidak terus berdiri.
Lantai depan rumah sakit seketika kotor dengan
jejak kaki para pengunjung. Juru parkir pun
telah ada diteras rumah sakit yang tertutup
kanopi. Memasukkan kresek hitam berisi
recehan uang yang ia dapatkan dari hasil jerih
payahnya sehari penuh ini kedalam sakunya.
Satu dua orang yang masih diparkiran segera
berlari menuju arah kami— penunggu pasien
dilobby rumah sakit.
Berlari sambil menutupi kepalamya agar tidak
terkena guyuran air hujan. Tetapi usaha nya sia
sia, jilbab jilbab mereka masih saja basah walau
sedikit.
Elsa masih dalam perawatan. Aku bahkan
belum melihatnya. Dua jam disini, membuatku
gelisah. Ayah elsa pulang sebentar, mengambil
baju ganti untuk putrinya.
Mang oman sudah dari tadi kembali. Kasihan
bibi ijah sendiri dirumah, ia pasti khawatir. Aku
menyuruhnya pulang atas izin papa. Besok pagi
ia akan kesini.
Matahari hampir terbenam diujung langit barat.
Walau tak menampakkan warna kemerah
merahan nya, karena tertutup mendung hujan.
Sesaat kemuadian, suara adzan maghrib
bersahutan.
Ayah elsa datang tepat saat hujan telah
berhenti. Kali ini ia lebih terkesan rapi, dengan
menenteng satu tas merah yang dapat kutebak
isinya, yaitu baju ganti elsa.
Kulihat pula dari ruang dokter, dokter faris
segera menemui ayah elsa. Mengajaknya
berbicara kembali, sama seperti yang dilakukan
tadi siang.
“Ada fakta baru terkait penyakit elsa.”
“Maksudnya?” Ayah elsa tak faham akan kata
kata dokter faris. Memintanya untuk
mengulangi kembali.
“Sepertinya elsa tidak mewarisi gen ibunya.
Elsa bebas dari diagnosa penyakit hemofilia
yang tadi saya jelaskan”
Ruangan itu lengang sejenak.. Jika elsa tidak
mewarisi gen bu mira, ini adalah kabar baik. Ia
tidak jadi mempunyai penyakit hemofilia.
Ayah elsa mendongak, kaget. Berharap itu
adalah kabar baik. Tapi tidak dengan dokter
faris dan dokter bram. Mereka justru seperti
berat akan mengatakan hal ini.
“Karena ciri ciri hemofilia hampir sama dengan
penyakit darah lain, yaitu darah sulit membeku,
kita diagnosa bahwa elsa menuruni gen ibunya,
yaitu hemofilia.” Dokter faris berbicara dengan
perlahan lahan.
“ Tetapi, ternyata setelah sampel yang telah
kami amati lebih dalam lagi, ini bukan
hemofilia. Ada ciri ciri lain yang menguatkan
kalau penyakit ini adalah leukimia, atau kanker
darah”
ððð
“Mau tidak mau, tindakan ini harus dilakukan
bram!” dokter faris yang dahulu memeriksa elsa
membentak papaku.
“Tapi itu bisa menimbulkan efek samping yang
sungguh luar biasa faris! Bahkan jika kondisi
tubuh elsa tidak memungkinkan, tindakan ini
juga akan mengancam nyawanya!” papa
menggeram.
“Jika ini tidak dilakukan, kau bahkan hanya
bisa melihat elsa mati sia sia. Terus terusan
meminum obat! Itu lebih menyakiti elsa
daripada kita melakukan tindakan ini.
Sedangkan tubuh elsa sekarang sudah tidak
memungkinkan untuk terus diberikan obat. Kita
harus melakukan tindakan! Sekarang.”
Perdebatan terjadi diruangan kecil dekat UGD.
Ayah elsa hanya terdiam, mungkin ia menangis.
“Tidak” papaku menjawab lirih, terus
menunduk.
“Bram, tolonglah. Kita hanya punya waktu
sedikit. Kita harus cepat menentukan pilihan”
dokter faris terdiam. “Pikirkan sekali lagi,
Bram. Bila ini yang terbaik untuk elsa kenapa
kau harus takut?”
“Aku sudah mengetahui beberapa kasus seperti
ini faris! Banyak pasien tak selamat karena
dokter salah mengambil langkah. Aku tak mau
elsa seperti itu.”
Ujung mata papaku basah oleh air matanya.
Lihatlah, sosok yang selama ini aku kenal
dengan sifat yang gagah beraninya, berpuluh
puluh bahkan beratus ratus orang sudah ia
tolong nyawanya. Kali ini, ia bahkan seperti
bisu. Tak bisa menentukan pilihan seperti yang
biasa ia lakukan untuk pasien lain.
“Kita tak akan salah langkah bram, aku
berkeahlian oleh penyakit ini, dan kau juga.
Apa yang sebenarnya kita takutkan?”
Dokter faris terus mendesak papaku,
membujuknya agar mengatakan kata ‘iya’
Papaku terdiam, tak menjawab apapun.
“Bram, apa salahnya kita mencoba?”
“Salah! Apa maksud mu mencoba? Kita jadikan
elsa bahan percobaan? Jika ini mengancam elsa,
kau akan bertanggung jawab?!” Papaku terus
saja bersikeras mempertahankan alasannya.
“Tapi kau akan menyakiti elsa jika tindakan ini
tidak kita lalui. Pikirkan kata kata ku ini sekali