Top Banner
Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan melalui lorong depan sekolah. Menuju ke kelas, dengan menggendong tas dibelakang dan menenteng tas laptop. Sekolah memang sepi. Bukan berarti ini masih pagi. Tidaak, ini tidaklah pagi lagi. Aku sudah telat sepuluh menit. Aku memegang erat tas laptopku sambil terus berjalan tergesa gesa. Sesekali tas itu menyenggol tulang keringku karena aku terlalu cepat berjalan. ððð Aku tersentak melihat jam dinding yang menunjukkan angka tujuh kurang lima belas menit. Aku sama sekali belum bersiap, jangankan mandi. Melepas seragam saja, belum ku lakukan Aku mengecek HP ku. Sembilan panggilan tak terjawab dari Nauval. Dan tiga pesan masuk, salah satunya dari ‘Mama’. ”Ctek ctek ctek”
140

Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Feb 21, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Prolog

Aku mengenakan almamater sekolah ini.

Berjalan melalui lorong depan sekolah. Menuju

ke kelas, dengan menggendong tas dibelakang

dan menenteng tas laptop.

Sekolah memang sepi. Bukan berarti ini masih

pagi. Tidaak, ini tidaklah pagi lagi. Aku sudah

telat sepuluh menit.

Aku memegang erat tas laptopku sambil terus

berjalan tergesa gesa. Sesekali tas itu

menyenggol tulang keringku karena aku terlalu

cepat berjalan.

ððð

Aku tersentak melihat jam dinding yang

menunjukkan angka tujuh kurang lima belas

menit. Aku sama sekali belum bersiap,

jangankan mandi. Melepas seragam saja, belum

ku lakukan

Aku mengecek HP –ku. Sembilan panggilan

tak terjawab dari Nauval. Dan tiga pesan

masuk, salah satunya dari ‘Mama’.

”Ctek ctek ctek”

Page 2: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Suara saklar berbunyi bergantian.

Aku bergegas menuju garasi setelah semua

lampu telah ku nyalakan.

ððð

“Unit Gawat Darurat”

Tangan kiriku sekarang tidak lagi kosong, ada

sebuah selang teransparan yang di tancapkan

pada pembuluh darah ku. Aku semakin

bingung, perasaanku kacau balau. Aku sama

sekali tak ingat apa yang sedang terjadi.

Otakku penuh dengan segudang pertanyaan.

ððð

Ku buka pintu ruang UGD. Kebetulan hanya

ada satu pasien disana, yaitu pasien tabrak lari

yang kubawa kesini tadi.

Di dipan perawatan itu, ku lihat ia belum

sadarkan diri. Luka luka nya telah dibersihkan

dan diperban. Kulit tangannya yang kuning

langsat terlihat sebagian.

Cukup banyak luka goresan ditubuhnya. Kaos

bagian siku nya robek, dahinya pun diberi

perban membalut melingkar dikepala. Warna

Page 3: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

obat merah tembus samar samar pada

perbannya.

ððð

Page 4: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Satu

“Apa?!”

Suasana kelas lengang, semua menatap

kearahku.

“Kamu nggak apa apa kan El?” Salah satu

temanku akhirnya angkat bicara.

Pukul enam lewat lima puluh menit. Tepat saat

itu juga bel masuk kelas berbunyi. Pertanyaan

yang masih menggantung. Belum ku jawab,

Reyhan pun akhirnya memilih untuk

menyiapkan berdo’a, tanda dimulai nya

pelajaran. Daripada harus mendengar teguran

dari guru.

Sepuluh menit kemudian, setelah kami semua

selesai berdo’a dan membaca qur’an. Seperti

rutinitas yang biasa kami lakukan, guru pun

masuk.

Hari pertama resmi ku mulai.

Hari ini sebenarnya bukan hari menyebalkan,

mungkin sikapku yang membuat semuanya

menjadi menyebalkan.

“Elsa!”

Page 5: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Satu temanku memanggil dan menepuk

pundakku.

“Ada apa?”

“Kamu ada masalah?”

Ia bertanya dengan lebih serius.

Bagaimanapun juga aku tidak bisa membohongi

diriku sendiri. Hatiku terluka. Mungkin bukan

hal besar. Tapi tak bisa dikatakan sepele juga.

ððð

Aku berjalan menyusuri lorong demi lorong

sekolah ini. Sendiri. Berjalan menuju suatu

tempat yang sepi. Yang biasanya ditempat

itulah aku bisa lebih tenang.

Perpustakaan. Dimana lagi kalau bukan disitu.

Perpustakaan sekolah ini tidak terlalu ramai.

Bukan berarti peminat pembaca tidak banyak.

Tetapi, mereka biasanya meminjam untuk

dibaca dibaca dirumah atau dikelas. Jarang ada

anak yang membaca di perpustakaan. Jikalau

ada, mungkin hanya satu atau dua siswa saja.

“Permisi”

Sapa ku disambut baik oleh seorang

pustakawan tersebut. Kami sudah sangat akrab.

Karena hampir tiap hari aku menghampirinya

untuk meminjam buku.

Page 6: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Eh El? Kok telat?”

Memang aku telat hari ini. Bel istirahat sudah

berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu.

“Hehe. Iya pak. Mau pinjam novel lagi ya pak”

Tanpa beliau sebutkan tempatnya aku pun

sudah tahu tempat rak nya. Selain karena aku

lebih senang dan sering meminjam buku novel

daripada buku lain, rak novel pun berada paling

depan dekat pintu masuk perpustakaan. Jadi,

setiap ke perpustakaan, yang orang lihat

pertama adalah rak khusus buku novel.

Hari ini kuputuskan meminjamnya untuk aku

bawa pulang. Karena sebentar lagi bel masuk

akan berbunyi.

Suasana diluar perpustakaan sangat ramai.

Banyak yang sedang berlarian menuju kantin,

membawa peralatan shalat untuk shalat dhuha

di mushola. Banyak juga siswa yang saling

bersenda gurau di teras kelas nya.

Aku Elsa. Salah satu siswi junior yang baru satu

bulan menduduki kelas delapan. Aku bukanlah

anak pendiam. Bukan pula misterius. Hanya

saja, saat ini bukan waktunya untuk menjadi

seperti sedia kala.

Page 7: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Liburan hari raya sudah berakhir enam minggu

yang lalu. Banyak meninggalkan cerita. Hanya

saja dari sekian ‘banyak’ cerita tersebut aku

hanya mengingat ‘satu’ yang belum dapat aku

lupakan hingga saat ini.

Tanpa kusadari aku berhenti ditengah lorong

sekolah. Bel telah berbunyi lima menit yang

lalu. Semua pintu kelas telah tertutup.

Guru sudah memasuki kelas tujuannya masing

masing. Spontan aku berlari kencang dengan

menenteng buku yang telah aku pinjam tadi.

Dua menit berlalu. Aku sudah mendekati

kelasku. Dan benar saja, guru ku sudah masuk

kedalam kelas.

Tanpa berpikir panjang aku langsung membuka

pintu kelas. Tak peduli akibatnya setelah aku

melakukan ini.

Aku memberanikan diri untuk berbicara

kepadanya sesaat setelah aku masuk kedalam

ruangan kelasku.

“Bu maaf saya terlambat.”

Seketika itu beliau menatap tajam kearahku.

Guru itu tidak galak sebenarnya, tetapi memang

Page 8: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

ia menjunjung tinggi kedisiplinan. Seperti

mantan anggota TNI. Hehe.

“Dari mana?”

Tanpa aku sempat menjawab, beliau langsung

menambahi kalimatnya.

“Sudah saya jelaskan berkali kali, saya tidak

suka ada anak yang tidak disiplin disini. Kalau

tidak suka pelajaran saya, silahkan keluar”

Aku terdiam. Hanya bisa menunduk. Sesekali

ingin tertawa jika aku tak sedang diposisi

sekarang. Karena melihat rok guru tersebut

yang kependekan.

“Kali ini saya maafkan”

Akhirnya kata kata itu muncul lirih dari bibir

guruku setelah kurang lebih lima menit

membiarkan ku berdiri didepan kelas.

Page 9: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Dua

"Kamu dari mana aja el?" Suara bisikan itu pun

terdengar dari semua sudut.

"Nanti saja ku jelaskan, eh halaman berapa?"

"Yaah elsa, kamu dari mana sih?”

Riza terus saja memaksaku untuk bercerita.

Karena aku sudah merasa kapok aku

menghiraukan paksaannya. ‘Biarkan saja, lama

lama pasti capek sendiri’ batinku.

Dua jam pelajaran terasa lama sekali selesai.

Memang ya, kalau guru yang mengajar tidak

terlalu disukai terasa lama.

Setelah selesai menerangkan, beliau selalu

menyuruh kami mengerjakan tugas tugas. Dan

setelah itu, pasti akan dipanggil satu persatu

kedepan.

Tapi yang menjadi favorit temanku, guru ini

selalu keluar dahulu sebelum jam pelajaran

habis. Hehe. Jadi kami bisa memanfaatkan

waktu, entah itu tidur, bermain game dilaptop

masing masing, mengerjakan PR yang belum

dikerjakan. Semuanya bisa kami kerjakan

setelah guru ini keluar kelas.

Page 10: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Akhirnya jam menunjukkan pukul sebelas lebih

dua puluh menit. Artinya pelajaran ke enam

habis dan pelajaran ke tujuh akan segera

dimulai. Entah mengapa hari ini terasa sangat

membosankan.

Aku meletakkan kepala ke bangku, ingin

mencoba tidur sebentar. Guru mata pelajaran ku

belum juga datang.

Belum ada satu menit aku mencoba

memejamkan mataku, terdengar pengumuman

dispeaker sekolah.

"El! Elsaaaa!"

Bukaan, itu bukan suara speaker. Melainkan

suara Yudha yang terdengar meneriaki ku.

"Apa sih?!" Aku yang memang tak

memperhatikan pengumuman tadi merasa

bingung.

"Nggak ndengerin pengumuman ya? OSIS

kumpul tuh!"

Aku akhirnya dengan sangat terpaksa

meninggalkan bangku ku yang terletak didekat

jendela dibawah AC menuju tempat kumpul

OSIS. Lagi lagi disini aku juga tak bisa

menemukan mood ku. Cuma senang saja bisa

terbebas dari jam pelajaran guru killer.

Page 11: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Rapat OSIS kali ini membahas soal kemah

MOS. Memang, setiap tahun Dewan Galang

selalu bekerja sama dengan OSIS jika ada

kemah ini.

Kali ini seluruh anggota OSIS terlibat.

Pembagian tugas telah selesai. Rapat pun

diakhiri dengan pembagian tugas tersebut.

Masing masing kami akhirnya kembali ke

kelas. Masih ada sekitar 20 menit mengikuti

pelajaran. Aku melihat Yudha, Dimas, dan

Restu masih duduk santai.

"Kalian ngga ke kelas?"

"Masih males, mending disini saja. Gurunya

kan juga ngga enak" Yudha menjawab dengan

entengnya.

"Tapi nanti ketinggalan pelajaran lho"

"Sekali aja nggapapa kan" kali ini Dimas yang

menjawab.

Karna sebal aku langsung menuju ke kelas. Di

kelasku, hanya empat anak yang menjadi

anggota OSIS. Memang pembagian diratakan.

Setiap kelas tiga sampai empat anak saja.

Sesampainya didepan kelas, aku tak melihat

sepatu guruku. Seperti nya gurunya sudah

keluar.

Page 12: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

"Assalamualaikum. Loh? Kok udah nggak ada

gurunya?"

"Iyaa, tadi bu Siti emang pamit duluan" Riza

menjawab singkat, sambil terus menulis.

"Ada tugas ya za?" Aku mendekati riza.

"Engga el, nggak ada kok. Eh, gimana tadi

rapatnya?" Tanya riza sambil menutup bukunya

sembari menatap kearahku.

"Minggu depan kemah. Yaa seperti biasa. OSIS

juga ikut." Aku menghela napas.

Riza tidak menjawab. Hanya menunjukkan

wajah setengah mengejek sambil tertawa

cekikikan. Aku melotot ke arahnya

menunjukkan wajah kesal.

"Iya iyaa. Maaf el, semangat kerja nya lo ya.

Tunjukkan kalau kamu anggota OSIS yang

baik. Wkwk"

"Lagian disana enak kok, nanti kan bareng

bareng. Biar ngga kesepian juga weeelk"

Riza terus saja meledekku, aku ganti

meledeknya. Tawa antara aku dan riza pun

pecah, sampai akhirnya terdengar bel istirahat

yang menghentikan kita berdua.

Page 13: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku mengenakan almamater sekolah ini.

Berjalan melalui lorong depan sekolah. Menuju

ke kelas, dengan menggendong tas dibelakang

dan menenteng tas laptop.

Sekolah memang sepi. Bukan berarti ini masih

pagi. Tidaak, ini tidaklah pagi lagi. Aku sudah

telat sepuluh menit.

Aku memegang erat tas laptopku sambil terus

berjalan tergesa gesa. Sesekali tas itu

menyenggol tulang keringku karena aku terlalu

cepat berjalan.

"Kamu tau ini jam berapa?" Suara lirih tapi

tegas itu tak asing lagi bagiku. Pak hari. Aku

sudah beberapa kali mendapatkan tanda tangan

darinya. Hehe. Karena aku terlambat. Bukan

karena aku memintanya.

"Maaf pak, tadi—" Belum selesai aku bicara

menjelaskan, beliau langsung memberi aba aba

yang jelas saja aku mengerti tanpa harus

diulangi.

Pertanda baik. Aku hanya disuruh menghafal

surat surat pendek. Tidak perlu mengepel atau

membersihkan bagian disekolah ini. Tak apa

lah. Yang penting tidak terlalu malu didepan

guru. Syukurlah.

Page 14: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Tiga

Aku terus menaiki anak tangga satu persatu.

Teras kelas sudah terlihat sepi semua.

Hanya ada sepatu guru yang terletak didepan

pintu. Mungkin hanya satu dua kelas yang guru

mapel nya belum datang. Great! Kelasku salah

satunya. Aku semakin dekat ke arah kelas.

Meletakkan sepatu ke rak. Dan hendak masuk

ke dalam ruangan.

"Eh el el?"

Dia memanggilku tepat saat aku hampir

membuka tuas pintu. Kuurungkan niatku untuk

membukanya, membiarkan 'Dia' melanjutkan

berbicara. Ada apa? Aku tak menjawab dengan

suara keras, tapi dia paham betul apa

jawabanku.

"Bantuin aku mau?" Menyodorkan kertas A4

buram yang entah apa isinya. Aku pun belum

tau persis.

Aku membaca nya sekali lagi. Melumatnya

dalam dalam. Belum juga memahami penuh

tiba tiba dia menarikku dengan cepat.

"Udah ah cepet. Nanti aja aku jelasin"

Page 15: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

ððð

Bilingual Office. Begitulah tulisan yang tertera

dipintu depan ruangan ini. Ruangan yang tidak

terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil ini

sekarang sedang sepi. Tak ada satupun guru

yang berjaga. Lengang. Hanya ada suara mesin

AC yang menyala. Kami bertatapan. Seperti

sama sama bingung apa yang harus dikerjakan.

"Ngapain sih?!" Aku akhirnya memulai

percakapan. Sambil membenarkan tasku. Ya,

Dimas tadi menarikku saat aku belum sempat

menaruh tas ku di dalam kelas.

"Nggausah gitu juga kali lihatnya. Serem amat"

ia mencoba mengajakku bercanda, lalu berhenti

sebentar, membenarkan posisi duduknya, lantas

berbicara serius. "Aku tadi disuruh buat

ngumumin ini, buat kemah minggu depan."

"Trus? Kenapa harus sama aku"

"Nggak inget ya? Kan kita koordinator."

Aku baru teringat, dari hasil rapat yang

dilakukan kemarin aku mendapat tugas sebagai

koordinator. Payah. Disaat semua orang bisa

menikmati libur akhir pekan, mengapa aku

Page 16: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

malah yang akan mengurus semua kegiatan ini.

Yang akan paling sibuk jika semua santai.

"Lagian kalo kamu ngga aku seret kesini, kamu

bakal kena marah guru lo."

"Maksudnya?" Jawabku setengah melamun.

"Kan kamu terlambat sepuluh menit. Tadi udah

ada guru di dalem. Nanti kita habis ini mau

rapat lagi."

Aku sedikit memberontak. Bagaimana tidak?

Aku masih membawa tas laptop dan juga tas

yang berat ini. Apa aku juga harus

membawanya kesana kemari? Dimas hanya

cuek saja. Terus mengetik, perhatiannya tertuju

penuh pada monitor dan kertas kecil itu, tanpa

memperhatikan ke arah ku yang sedang

mengomel.

Ya jelas saja ia cuek, ia sama sekali tidak

merasakan harus membawa tas ini. Aargh. Kali

ini, Dimas yang membuat pagiku sangat

menyebalkan.

"Dim bisa pelan dikit ngga sih!"

Aku sebal, Dimas dari tadi memang menguji

kesabaranku. Bagaimana tidak? Ia berjalan

sangat cepat layaknya ia berjalan seorang diri.

Page 17: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Sebenarnya ia sama sekali tidak menyuruhku

berjalan cepat sepertinya, hanya saja aku yang

malu kalau aku berjalan sendiri sambil

membawa tas seperti ini di jam segini.

"Nggausah marah marah deh ah, sini aku

bawain."

Dimas membalikkan badan menuju ke arahku.

Dengan cepat tangannya menyambar tas ku.

Aku melotot. Apaan sih Dimas. Ngga lucu tau.

Wajahku memerah, sedikit malu dan marah

pada Dimas. Ada guru yang memperhatikan

kami berdua. Aku semakin malu. Berlari

mengejar Dimas yang sudah didepan ku lima

langkah.

Sebagai sekretaris OSIS, ia harus sangat

cekatan. Menerima informasi, mengetiknya

ulang, mencetaknya menjadi berlembar lembar,

lalu menyebarkannya.

Dia memang sudah sangat terlatih. Selain

memang sudah dituntut agar selalu on time,

informasinya sendiri pun sangat penting bagi

siapa saja dalam kegiatan ini. Jika tidak

disampaikan dengan cepat, pasti ada sebagian

yang tidak mendapatkan informasi.

Page 18: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Ditempat rapat, sudah ada anggota OSIS lain

yang menunggu. Banyak yang menatapku aneh.

Jelas saja. Jika diperhatikan, aku memang

seperti orang aneh, membawa tas kesana kemari

padahal sudah lewat jam setengah delapan.

Orang orang pasti berfikir aku telat.

Page 19: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Empat

"Kamu kenapa?"

Pertanyaan itu yang kudengar pertama kali

setelah rapat sudah lima menit berjalan. 'aku

kenapa?' bahkan pertanyaan itu yang ingin

kulontarkan pada diriku sendiri. Aku benar

benar tidak tau mengapa.

"Kamu kenapa El?"

Ia mengeraskan suaranya. Kali ini sambil

menggerak gerakkan tangannya kedepan

mataku. Aku melamun. Seketika itu aku sadar

karena semua orang tengah memperhatikanku.

Wajahku memerah, merasa malu sedang dilihati

oleh satu ruangan. Mbak Iffa yang berada

disampingku pun menepuk pundaku sambil

menahan tawa.

Meski sempat berhenti sejenak gara gara aku,

rapat berjalan normal. Rapat selesai tepat pukul

setengah sembilan. Satu jam berlalu begitu

khusyu'. Tidak begitu banyak permasalahan

yang terjadi.

Hanya ada kesulitan dari bagian seksi

kesehatan. Anggota nya kurang, dari Dewan

Galang sendiri hanya ada empat orang seksi

Page 20: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

kesehatan. Sedangkan anggota OSIS

dikerahkan untuk bagian koordinator saja.

Tidak akan mencampuri urusan inti Dewan

Galang. Begitu pun sebaliknya.

Akhirnya, hasil keputusan rapat kali ini, seksi

UKS ditambah dari sebagian anggota OSIS.

Meskipun sebelumnya ada yang keberatan,

akhirnya Restu dapat menjelaskan dengan baik.

Keputusan itu diterima.

Rapat Selesai. Banyak anak yang kembali ke

kelas, tapi ada pula yang meneruskan

pekerjaannya. Tak terkecuali Aku, Dimas, Izza,

Mbak Vira, dan seluruh Bagian koordinator

satu.

"Eh, dim. Pengumumannya udah dibuat? Udah

selesai?"

Dimas dengan mantap menjawab sudah dengan

menyerahkan hasil ketikannya pagi tadi. Mbak

Vira mengangguk-angguk sambil membalik

lembaran lembaran itu. Meneliti satu persatu.

"Gini, masih banyak banget yang harus kita

kerjakan. Jelas saja kita nggak mungkin harus

bersama sama ngerjain semua nya kan?

Sekarang kita bagi tugas saja ya? Dimas, Elsa

sama Mela fotocopy pemberitahuan ini,

Page 21: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

jumlahnya aku kurang tau, kalian cari aja Restu

atau nggak Reza aja ya yang tau jumlah peserta

yang bakal ikut Kemah. Nanti biar yang lainnya

dijelasin mereka aja."

Sesuai perintah dari Mbak Vira kami bertiga

mencari Restu. Menjumlah keseluruhan peserta

kemah. Setelah itu, barulah kami bertiga

kesebuah tempat foto copy an yang tidak jauh

dari sekolah. Karena jumlah edaran yang

sangat banyak, kami harus sabar menunggu

selesainya proses foto copy, ya walaupun kami

terus di kejar waktu.

Setelah kurang lebih dua puluh menit

menunggu beratus-ratus lembar foto copy an

itu, akhirnya proses foto copy telah selesai.

Kami membawa satu kantong plastik penuh

berisi lembaran lembaran yang siap diedarkan

diseluruh kelas.

Nafas Mela tersenggal senggal, ia tertinggal

tiga langkah dari ku. Ya Rabbi, yang benar saja

Mbak Vira menyuruh membawa tumpukan

ratusan kertas seperti ini kepada tiga orang

adik kelas saja? Yang dari ketiga orang tersebut

perempuannya lebih banyak.

Perjalanan pulang berasa lebih berat, jelas saja.

Yang sebelumnya membawa hanya lima lembar

Page 22: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

kertas bolak balik, dan pulangnya harus

membawa beratus ratus lembar.

Lima menit berlalu hanya untuk perjalanan

tempat foto copy an ke Sekolah. Waktu yang

relatif lama untuk berjalan sekitar 100 meter.

Page 23: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Lima

Suasana sekolah terlihat ramai, saat ini memang

H-1 pelaksanaan kemah dalam rangka Masa

Orientasi Siswa sekaligus menjadi penutupan

MOS kali ini. Seluruh panitia terlihat lalu lalang

untuk mempersiapkan acara itu.

Awalnya aku sama sekali tidak berniat masuk

sekolah berbasis islam. Tidak sedikitpun. Aku

punya banyak bakat yang bisa mendorongku

masuk sekolah negeri lain.

Aku penyuka olahraga dari umur tujuh tahun.

Bahkan saat di Sekolah Dasar, aku selalu

diikutkan berbagai macam lomba yang

berkaitan dengan olahraga. Tak jarang pula aku

memenangkannya.

Hari ini sangat terik, bagaimana bisa seluruh

panitia begitu cepat mengerjakan tugasnya.

Mereka begitu cekatan melangkah kesana

kemari.

Kelasku memang tak jauh dari ruang OSIS. Aku

bisa bebas melihat kesibukan mereka dari balik

candela panjang bertirai biru ini. Ditambah lagi

guruku sedang ditugaskan diluar kota selama

sembilan hari. Kelas kami hanya diberi

Page 24: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

beberapa tugas uraian dan diminta

mengumpulkannya. Itu saja.

“Rangga!”

Seseorang dengan perawakan sedang,

memanggilku dari kejauhan. Aku berhenti tepat

satu langkah didepan ruang guru.

Ia terlihat cepat cepat berlari kearahku.

Kemungkinan, ada hal penting yang ingin ia

sampaikan padaku. Ia semakin dekat. Raut

wajahnya semakin jelas. Seorang kakak kelas

yang juga panitia dari acara besok menyerahkan

selembar kertas. Entahlah, belum sempat aku

membukanya, ia langsung pergi begitu saja.

Aku mencoba menghiraukannya. Melipat

kembali kertas tersebut, lalu memasukkannya

kedalam saku celana. Sebelum akhirnya aku

meneruskan langkah menuju kantor guru yang

tertunda karena ‘dia’ memanggilku.

Kegiatan Belajar Mengajar hari ini berjalan

normal. Meski diluar panitia sangat sibuk,

tetapi tidak ada satupun KBM yang terganggu.

Panduan panduan tentang perkemahan mulai

dari alat yang dibawa, dan lain lain telah

dijelaskan saat MOS hari pertama.

Page 25: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Panitia sengaja mempersiapkan dari awal,

tujuannya memang menghindari terganggu nya

jam pelajaran siswa.

Sesekali, suara sepatu diluar terdengar dari

ruang kelasku. Sempat membuyarkan

konsentrasi, karena percakapan mereka pun

terdengar jelas dari sini.

Tepat sebelum istirahat, pintu diketuk pelan.

Satu panitia masuk untuk membagikan edaran

rangkaian acara untuk besok.

Aku tak mengenalnya. Saat MOS pun, ia tidak

terlihat membimbing kelas manapun. Entahlah,

aku tak terlalu memikirkannya.

Seluruh temanku, tak terkecuali aku telah

menerima kurang lebih tiga lembar kertas

buram berisi schedule acara dari awal hingga

akhir. Setelah edaran terbagi, panitia itu pergi.

Kembali menutup pintu kelasku. Dan berjalan

menuju kelas kelas selanjutnya.

ððð

“Assalamualaikum”

Aku merebahkan tubuhku diatas kasur

berukuran sedang yang hanya dapat

Page 26: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

menampung dua kali besar tubuhku. Merangkai

handphone ku. Mengaktifkannya setelah kurang

lebih delapan jam tidak terjamah oleh tanganku.

Disekolahku memang memiliki peraturan tidak

diperbolehkan membawa handphone. Entahlah,

tetap saja banyak sekali yang masih melanggar.

Belum lengkap lima menit aku mengotak atik

HP, tiba tiba nada panggilan terdengar nyaring

ditelinga ku.

“Nauval” Nama itu yang tertera di layarku.

“Mungkin akan membahas tentang futsal” aku

membatin.

Tanpa berfikir panjang, aku mengangkat telefon

darinya.

“Ngga, latihan futsal nanti malem ya”

“Loh? Bukannya senin ya?”

Aku terkejut mendengarnya. Hasil kesepakatan

diganti secara mendadak. Bagaimana aku bisa

menolak, aku adalah seorang captain.

Sementara bulan depan sudah masuk waktu

pertandingan. Disisi lain, aku memikirkan

tentang barang barang yang akan kubawa

besok. Sama sekali belum ku siapkan.

Page 27: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Ngga? Rangga? Kamu denger aku kan?”

Nauval mengeraskan suaranya yang

membuatku tersadar dari lamunan.

“Oke. Jam tujuh aku kesana”

Pikirku, aku tidak akan kemalaman kalau

latihan dimulai lebih awal. Lagipula, sore ini

bisa ku pakai untuk mempersiapkan barang

untuk esok hari.

Nauval mengakhiri panggilannya dengan salam.

Kembali ku letakkan handphone ku.

Menghembuskan nafas perlahan.

ððð

Aku berjalan ke sudut dapur. Mereka tidak juga

ada. Berjalan kembali kearah ruang keluarga.

Hanya ada sisa sisa majalah yang sepertinya

baru saja dibaca. Sepi sekali rumah ini.

Kuintip depan rumah lewat jendela ruang tamu.

Hanya ada motor mama yang terparkir rapi di

garasi, dan juga sepeda ku yang baru saja

beristirahat setelah ku kayuh pulang dari

sekolah tadi.

Page 28: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Sepertinya papa sama mama memang nggak

dirumah” Gumamku dalam hati, melihat mobil

tidak ada di garasi.

Aku memutuskan untuk kembali ke lantai atas

karena aku belum juga mengganti seragamku.

Page 29: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Enam

Lima menit yang lalu…

“El, bawain kertas ini ya. Aku ada keperluan

penting.”

Kata dimas dengan menyerahkan seluruh

tumpukan kertas yang semula dibawanya

kepadaku.

“Eh dim! Awas ya!” Aku berteriak kesal, tetapi

nihil. Ia malah semakin kencang berlari jauh

dari ku.

Wajah Mela merah pada. Ia tak lagi terlihat

kelelahan, justru ia seperti penuh tenaga secara

tiba tiba. Tangannya yang seakan akan siap

menghantam Dimas, alisnya yang bersungut-

sungut membuatku lupa akan perlakuan

menyebalkan yang dilakukan Dimas.

Aku tertawa kecil melihat Mela.

“Udah Mel, sabar. Dimas emang gitu dari dulu

kata ku menenangkan Mela.

Ia tetap pada posisi yang sama. Alisnya

menggambarkan kejengkelannya pada Dimas.

Entah apa yang akan ia lakukan setalah bertemu

dengan Dimas.

Page 30: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Udah udah, yuk lanjut jalan Mel?” Kata ku.

Kali ini tanpa menggandeng atau menariknya.

Karena tanganku telah penuh dengan kertas

kertas fotocopy-an.

ððð

Mbak Vira sudah menanti didepan Ruang

OSIS. Pekerjaan lain pun juga siap menanti

didepan mata.

Koordinator acara memang paling sibuk, yang

harus mondar mandir mengurus segala

keperluan, mendata seluruh schedule dari awal

hingga akhir.

Bahkan dari sebelum acara dimulai,

Koordinatorlah yang paling sibuk diantara

kesibukan kesibukan yang lain. Tetapi ini

adalah tanggung jawab, dari sini kami dapat

berlatih rasa tanggung jawab, dan jugaa..

Melatih menyibukkan diri agar tidak teringat

hal yang membuat ku terpuruk dua minggu lalu.

ððð

Hari ini benar benar hari sibuk. Seluruh panitia

dilibatkan oleh persiapan persiapan untuk

besok. Dispensasi telah ditulis jam delapan tadi.

Page 31: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Panitia terus bekerja, tidak ada satupun yang

menganggur.

Seusai shalat Dhuhur, panitia kembali

melakukan rapat penutupan. Menutup persiapan

hari ini dan tinggallah mempersiapkan fisik

untuk esok. Semua panitia harus hadir sebelum

jam enam pagi. Karena upacara pembukaan

dilakukan pukul setengah tujuh tepat.

Rapat berakhir tepat saat siswa siswi

berhamburan menuju mushola untuk sholat

Dhuhur. Aku kembali ke kelas dengan Maha,

sedangkan Restu masih sibuk mengurus

kekurangan dengan anggota lain.

Entah apa aku tidak begitu memperhatikan. Tas

laptop dan tas buku masih melekat

dipunggungku, sedari pagi aku sama sekali

tidak masuk kelas, hanya Dimas yang kembali

ke kelas untuk meminta Dispensasi, tetapi saat

itu aku lupa menitipkan tasku kepadanya.

Ah sudahlah, hari ini semua buku ku sia sia ku

bawa, aku sama sekali tidak mengikuti

pelajaran. Bahkan laptop ku pun sama sekali

tidak tersentuh tangan.

Riza menyambutku riang didepan pintu kelas,

walaupun aku masih jauh dari nya, mungkin

Page 32: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

saja malah wajahku terlihat buram di matanya.

Tapi ia tetap saja terlihat menyeringai bahagia

melihatku dari kejauhan.

"Elsaaaa"

Ia berteriak seakan akan hanya ada aku dan dia

disekolah ini. Aku sedikit kegelian melihat

tingkah nya yang suka menirukan gaya gaya

Drama Korea kesukaannya. Berlaku seolah olah

ia sedang bermain akting di dalamnya.

Kadang aku sebal juga, bahkan sering

menegurnya jika sedang over baper. Bagaimana

tidak? Riza selalu terbawa perasaan diwaktu

dan tempat yang sama sekali tidak cocok.

Bahkan saat itu ia hampir menabrak guru

karena akting nya. Untung saja guru itu tidak

marah.

Tetapi bagaimana pun juga, dia lah sahabat ku.

Yang selama ini menemaniku. Aku akhirnya

semakin dekat dengan ruang kelas, serta Riza

yang mungkin telah menungguku dari tadi.

Belum sempat aku menyapanya ia sudah

memelukku, benar benar over drama. Mungkin

saja ia habis nonton 'Dramkor' kesayangannya.

Karena aku hafal betul, kalau Riza benar benar

Page 33: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

sedang dipuncak kebaperannya, berarti dia

habis nonton Drama Korea.

Kami memang berbeda sangat jauh. Dari segi

fisik, ia begitu minimalis. Maksudku, kecil.

Atau kurus. Ya begitulah.

Berat badannya yang hanya terbilang empat

puluh lima dengan tinggi seratus lima puluh

tujuh membuat badannya terlihat ramping dari

segi manapun, dia sering juga aku juluki

sebagai si kurus, atau si cilik. Yang dalam

bahasa indonesia cilik artinya kecil. Memang

julukan yang cocok untuknya.

Serta dari segi hobbi pun kami sangat berbeda,

aku sangat suka menghabiskan waktu ku

dengan menulis, dan membaca novel.

Sedangkan Riza, ia sangat suka dengan Drama

Korea. Isi laptopnya tidak lain dan tidak bukan

adalah kumpulan Dramkor dengan berbagai

judul.

Meskipun begitu kami tak pernah membeda

bedakan, justru dari situlah kami dapat saling

memahami. Karena perbedaan tidak membuat

kami merasa saling beda, dari perbedaan itu

sendiri kami menjadi saling melengkapi dan

memahami

Page 34: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

ððð

Riza yang mendengarkan cerita tentang Dimas

tertawa sambil mengejek. Kemudian berhenti

tertawa dan berubah menjadi wajah serius. Aku

yang melihat perubahan raut wajahnya genti

tertawa dan mengejeknya. Tetapi terhenti

karena Riza menampakkan wajah yang sangat

meyakinkan.

“Ituu….”

Riza menatap dan menunjuk kearah pintu.

Aku yang penasaran langsung membalikkan

badanku dan melihat pintu kelas.

Suara tawa Riza kemudian terdengar kembali.

“Ahaha. Satu-Kosong El” Sambil terus tertawa.

“Apaan sih, nggak lucu”

Wajahku kesalku tampat jelas tersirat pada

Riza. Dua menit berlalu, ia masih juga tertawa

tentang hal yang sama. Karena jengkel aku pun

meninggalkannya.

Matanya yang tertutup karena tawa

membuatnya tak sadar bahwa aku sudah lima

langkah menjauh darinya.

Page 35: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku mengendap endap mundur menuju pintu

kelas. Suara ku terdengar lirih, mungkin hanya

aku yang mendengarnya karena suara Riza jauh

lebih kencang memenuhi ruangan kelas.

Saat kaki ku hampir menuju satu langkah

keluar,..

“Sst.. Ngapain?”

Dahi ku mengernyit, aku menatap kebawah.

Nampak satu pasang sepatu kulit berwarna

hitam, tak jauh dari tempat berdiriku.

Jelas aku kenal ciri ciri sepatu ini. ‘Sepatu

Guru!’

Rasanya ingin kupukul sendiri dahiku.

Aku membalikkan badan, mencoba

menertawaiku sendiri.

“Hehe pak. Mmm saya izin mau—“

“Mau apa?” ucapnya tegas sambil membenahi

kacamata nya dengan tangan kiri, karena tangan

kanannya sudah penuh untuk menenteng buku-

bukunya”

“Mau itu lo pak—”

Page 36: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Rapat OSIS pak” Seseorang dibelakang pak

Doni mengagetkan ku. Aku yang semula

menyeringai malu menjadi melotot kaget.

Wajahnya kalah dengan sinar matahari diluar

ruangan, tetapi aku hafal betul oleh suaranya.

Sesorang itu tersenyum saat pak doni

membalikkan badan untuknya. Ia member kode

padaku agar aku berdiri disampingnya. Pak

doni dengan mudah memberikan izin pada kami

ððð

“Kamu nggak terimakasih sama aku?”

Aku menunjukkan muka masam kepadanya.

Masih kesal dengannya saat ia meninggalkan

aku dan Mela dijalanan dengan beratnya kertas

fotocopy an yang seenaknya ia berikan kepada

kami.

“Masih marah ya el?” Dimas terus saja

menggodaku.

Aku yang saat ini tak ingin diganggu hanya

diam daripada aku mengeluarkan omelanku.

Dimas mengajakku untuk ke ruang OSIS.

Mengecek apakah sudah lengkap seluruhnya.

Page 37: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Tujuh

”Astaghfirullah!”

Aku tersentak melihat jam dinding yang

menunjukkan angka tujuh kurang lima belas

menit. Aku sama sekali belum bersiap,

jangankan mandi. Melepas seragam saja, belum

ku lakukan

Aku mengecek HP –ku. Sembilan panggilan tak

terjawab dari Nauval. Dan tiga pesan masuk,

salah satunya dari ‘Mama’.

Aku cepat cepat beranjak dari tempat tidur.

Segera bergegas mandi dan menyiapkan kaos

serta sepatu futsalku.

Dari luar kamar mandi, suara dering panggilan

terus berbunyi. Nauval mungkin telah

menungguku lama beserta temanku lainnya.

ððð

Lima menit kemudian aku keluar dari kamar

mandi. Cepat cepat memasukkan sepatu dan

juga handphone kedalam tas. Lalu bergegas

menyalakan satu persatu lampu dan ruang atas

keruang bawah secara cepat.

Page 38: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

”Ctek ctek ctek”

Suara saklar berbunyi bergantian.

Aku bergegas menuju garasi setelah semua

lampu telah ku nyalakan.

Orang tuaku belum juga pulang. Pembantuku

sedang ambil cuti selama tujuh hari kedepan.

Keluarganya sedang berduka. Tak heran bila

hari ini rumahku sangat sepi.

“Oh iya!” Aku baru teringat pesan dari mama

yang belum sempat aku baca. “Ah, nanti saja”

Aku menggagalkan rencanaku yang ingin

mengambil handphone dari dalam tas karena

teringat akan Nauval yang pasti sudah

menungguku terlalu lama.

Letak GOR tidak terlalu jauh dari pusat kota.

Sekitar satu kilometer. Aku bisa menempuhnya

selama tiga menit dengan kecepatan 80 km/jam.

Angin malam menghempaskan tubuhku

perlahan. Sesekali membuat bulu kuduk ku

berdiri karena udara yang dingin.

Kafe kafe dipenuhi remaja seumuran denganku,

banyak juga mahasiswa. Wajar saja, ini adalah

weekend days. Setiap sabtu dan minggu,

Page 39: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

suasana kota selalu ramai seperti hari ini.

Mereka lebih suka mencari tempat nongkrong

yang mempunyai fasilitas Wi-fi. Tak heran jika

sekarang kafe dan restoran banyak yang

menyajikan fasilitas Wi-fi-nya serta dekorasi

ruangan yang indah.

Jalanan kota dipenuhi oleh kendaraan bermotor.

Sesekali juga terlihat beberapa pengendara

sepeda. Beginilah suasana dipusat kota ketika

malam hari. Tak jarang juga kereta kuda

melintas dihadapanku sambil membawa

penumpang. Ini bukan kereta kuda biasa.

Pak kusir satu ini sangat pandai dalam

menghias delman nya agar membuat para

penumpang tertarik. Berbagai lampu kerlap-

kerlip dihiaskan melingkari kereta kuda itu.

Tempat duduknya juga dibuat layaknya sebuah

singgasana nan indah dan mempesona.

“Tin.. tin..” Klakson mobil mengagetkanku.

Ternyata lampu merah lalu lintas sudah berubah

menjadi hijau. Aku segerap menancap gas

motorku dan bergegas menuju tujuan utamaku.

ððð

Page 40: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Dari mana aja ngga?” Nada suara Reza sedikit

keras, wajar saja jika ia kesal. Memang ini

salahku.

“Maaf za, ceritanya panjang” Aku berkata

sambil mengatur nafas ku yang tersenggal

senggal, tak beraturan.

“Udah udah, ayo dimulai aja. Keburu malam”

Nauval menangkan Reza yang hampir

memarahiku.

ððð

Dua kali permainan pun berakhir. Jam

menunjukkan pukul delapan malam. Aku

meminum satu botol air mineral tanggung yang

sudah disiapkan Nauval karena aku sama sekali

tidak sempat menyiapkan minum.

Keringat segar bercucuran dimana mana.

Membuat angin malam tak lagi terasa dingin.

Sebelum masing masing dari kami pulang,

obrolan terjadi diantara kami.

Salingmemberikanmotivasisatusama lain agar

terusbersemangat.

Setelah air minum habis dan keringat mulai

mengering, kami pun bergegas pulang. Reza tak

lagi terlihat kesal padaku, kami bahkan sudah

saling canda, mengejek satu sama lain.

Page 41: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Aku duluan ya” Kataku sambil menepuk

pundak Reza.

“Oke, hati hatiNgga”

Ia pun melambaikan tangan. Lalu berjalan

keseberang GOR. Rumahnya yang tak jauh dari

GOR membuatnya memilih berjalan kaki

menuju GOR. Tak perlu menggunakan sepeda,

apalagi motor.

Suasana kota belum juga sepi. Jauh dari kata

sepi. Malah semakin banyak angkiran yang

mulai buka dasar. Aku teringat sesuatu saat

memperhatikan salah satu warung nasi pecel

tepi jalan. Perutku kosong. Aku bahkan belum

menyuap nasi sedikitpun sedari tadi.

“Sebelum aku tertidur pulas tadi, aku hanya

meminum segelas air putih dingin yang

kuambil dari cerek didalam kulkas. Setelah itu

menuju kekamar lagi, dan tertidur.”

Aku berusaha mengingat kejadian tadi sore dan

menyingkir ditepi jalan kearah warung

sederhana tersebut.

Tiba tiba..

“Ciiiiiit…”Suara lengkingan rem terdengar

kencang membuat seluruh pengunjung warung

Page 42: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

nasi pecel berlari keluar ingin tahu apa yang

sedang terjadi.

Page 43: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Delapan

“Aduh, udah dim, aku capek!”

Payah, kegiatan utama belum dilaksanakan

badanku sudah terombang ambing karena

pikiranku juga sudah lelah. Bagaimana tidak?

Seluruh tenaga ku terkuras habis karena

persiapan sedari tadi pagi.

Kegiatan belajar mengajar sudah berakhir satu

jam yang lalu. Tetapi aku belum juga pulang

dari sekolah, seragam sekolahku saja masih

melekat lengkap dengan atributnya.

Lima menit kemudian

“Udah jam empat nih” Ia mengangkat

pergelangan tangan nya untuk melihat jam

tangan ungu miliknya.

“Kalian boleh pulang” Kata mbak Vira

“Akhirnyaa” Aku mencoba duduk dan

mengatur nafasku

“Capek?”

“Capek” Jawabku singkat.

Ia kemudian tertawa kecil, lalu mengambil

sesuatu yang ada di tas nya.

Page 44: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Ini, minum dulu El” Ia menyerahkan satu

botol air putih sedang. Aku baru menatapnya

saat ia memberiku minum.

“Makasih” aku kembali tersenyum.

“Ngapain sih?” Tanyaku sambil mengernyitkan

dahi.

“Dim jangan liatin kayak gitu ah” aku sebal,

lantas memukulinya dengan botol air minum

tadi.

“Eh eh sakit El udah”

Kami pun sama sama terdiam sejenak, lalu

tertawa di keheningan sekolah berwarna biru

tersebut.

“Pulang yuk El?”

Tinggal kamu berdua yang masih ada disini,

mbak Vira, Restu dan yang lain sudah pamit

pulang terlebih dahulu.

“Yuk, udah hampir jam setengah lima juga”

Aku menjawabnya sambil berdiri mengangkat

tas ransel milikku.

ððð

Aku mengambil telephone genggam ku diatas

meja kecil tempat tidur. Melangkah menuju

tiraitanpa mengalihkan pandangan handphone

ku.

Page 45: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Kamar berukuran 5 x 6 meter itu memang

sengaja aku desain sesuai dengan keinginanku.

Waktu kecil, aku sudah bercita cita memiliki

kamar yang kuinginkan, bahkan saat ayahku

menggambar pola rumah aku yang pertama kali

berteriak “Ayah! Kamarku pakai dua jendela!”

Aku selalu tersenyum saat mengingat masa itu.

Bagaimana bisa anak kecil yang waktu itu tak

tahu menahu akan sebuah bangunan, saat minta

dua jendela langsung dituruti ? Aah... itu sudah

terjadi sebelas tahun lalu, saat aku masih duduk

di bangku playgroup.

ððð

‘’Unit Gawat Darurat”

Mataku masih belum sepenuhnya terbuka.

Sedikit kacau saat melihat tulisan tersebut,

hanya ada sosok pria dengan perawakan tinggi

sedang berdiri membelakangiku.

Aku tak tahu siapa dia, yang aku tau ia sedang

panik. Berkali – kali memegangi handphone

sambil mencari sesuatu di dalam tas nya,

sesekali ia juga mencoba menelfon seseorang,

tapi tidak mendapat balasan.

Page 46: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Entah mengapa banyak sekali alat alat medis

disini. Tangan kiriku sekarang tidak lagi

kosong, ada sebuah selang teransparan yang di

tancapkan pada pembuluh darah ku. Aku

semakin bingung, perasaanku kacau balau. Aku

sama sekali tak ingat apa yang sedang terjadi.

Otakku penuh dengan segudang pertanyaan.

Lelaki itu pergi meninggalkan ku sendiri

diruangan ini.

Apa yang bisa kulakukan , aku sama sekali tak

dapat berbuat apa apa.

Dua orang dengan baju putih masuk, satu yang

membawa alat pengukur tensi darah dan juga

detak jantung, satunya lagi dengan tangan

kosong.

Tetapi begitu ia sampai, tangannya dengan

sigap memeriksa infusku, Begitu pula satunya.

Saat 2 orang itu pergi, aku mencoba

memaksakan diriku untuk bangun dari tanjang

tersebut,

‘’Aah!’’ aku berteriak, entah mengapa nyeri

sekali dibagian siku dan lututku.

Saat itu pula pintu ruanganku di buka dengan

cepat, seseorang dengan perawakan tinggi yang

tadi sedang kepanikan menghampiriku sekarang

Page 47: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

bukan lagi handphone yang ia bawa, tetapi

segelas susu putih.

Page 48: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Sembilan

Gadis itu terkapar lemas di depanku. Suasana

ramai karena orang orang saling menyalahkann

terdengar jelas di telingaku. Spontan aku

langsung memarkirkan motor ditempat itu juga.

“Pak pak, ayo kita bawa kerumah sakit

sekarang saja”

Awalnya bapak bapak itu menolak karena

berfikir siapa uang akan membayar biaya

Rumah Sakit nya nanti.

Tetapi saat aku berkata kalau aku keluarga

gadis itu, mereka semua dengan cepat

mengangkat gadis berkrudung merah yang

terkapar lemas kedalam mobil salah seorang

warga relawan.

Badan lemas berlumuran darah segar itu tepat

berada disampingku. Ia tak sadarkan diri.

Berkali kali kuingatkan agar supir

mengendalikan mobil dengan lebih cepat.

Supir tersebut langsung meng-iya kan kalimat

ku. Dengan cepat menancap gas nya dan

memainkan setirnya. Ia tak tahu bahwa orang

yang mengomandonya sedari tadi adalah anak

Page 49: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

yang masih kelas tujuh Sekolah Menengah

Pertama.

Tiba tiba, terdengar bunyi nada dering

handphone. Tidaak. Itu bukan milikku. Sumber

suara sepertinya muncul dari tas coklat gadis

ini. Aku hampir membukanya, tetapi saat itu

juga. Panggilan langsung diakhiri.

Delapan menit berlalu di mobil itu, membuatku

tak sadarkan diri. Aku sudah sampai disebuah

rumah sakit yang cukup ternama dikota ini.

Aku segera masuk ke Loket Rumah Sakit.

Meminta pada perawat agar menjemput gadis

tadi menggunakan tandu pasien darurat.

Dua orang perawat laki laki dengan cepat

berlari mengikuti langkahku. Langsung

mengambil satu tandu orange. Mengangkat

gadis berkerudung merah itu dan dibawanya ke

ruang UGD.

Entahlah, perawatan medis apa yang dilakukan,

aku tak boleh masuk. Hanya diperkenankan

menunggu hingga proses selesai.

Setengah jam berlalu, pintu kaca UGD dibuka.

Aku berdiri layaknya memang anggota

keluarganya. Dokter dengan tanda nama Faris

Page 50: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

tersebut menghampiriku. Tersenyum, sembari

berkata

“Adeknya sudah tidak apa apa, hanya shock

akibat benturan kecil dikepalanya. Sebentar lagi

ia akan siuman”

Aku hanya meng-iya kan nya.

“Silahkan kalau mau kedalam” kata dokter

faris, yang kemudian pergi meninggalkan ku.

Aku hampir tertawa, sekali lagi mengingat apa

yang baru saja diucapkan dokter faris.

“Adek?” aku membatin. “Apakah wajahku

terlalu tua untuk dijadikan seorang kakaknya”

ððð

Ku buka pintu ruang UGD. Kebetulan hanya

ada satu pasien disana, yaitu pasien tabrak lari

yang kubawa kesini tadi.

Di dipan perawatan itu, ku lihat ia belum

sadarkan diri. Luka luka nya telah dibersihkan

dan diperban. Kulit tangannya yang kuning

langsat terlihat sebagian.

Cukup banyak luka goresan ditubuhnya. Kaos

bagian siku nya robek, dahinya pun diberi

perban membalut melingkar dikepala. Warna

Page 51: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

obat merah tembus samar samar pada

perbannya.

Sudah lewat jam setengah sembilan. Aku

berfikir untuk menghubungi orang yang bisa

kuhubungi. Baru teringat satu hal, saat Dimas,

kakak kelasku memberikan lembaran kertas

berisi nomor telephone nya tadi pagi.

Aku mencoba mencarinya didalam tasku,

mengaduk isi perut tas hitam itu. Pikiranku

mulai kacau saat sobekan kertas dari Dimas tak

kutemukan.

Aku mencoba mengutak atik handphoneku.

Berharap menemukan satu nomor yang dapat

kuhubungi untuk memberi kabar bahwa gadis

ini bersamaku.

Aku memutuskan mencari nya diluar ruangan

UGD, agar suara gaduhku tak mengganggu

istirahatnya. Tepat saat aku duduk dan

meluruskan kaki ku, pintu UGD dibuka oleh

dua perawat perempuan, ia sempat menyapaku

dengan senyuman. Lalu tanpa banyak basa basi,

mereka langsung masuk dalam ruangan

bertuliskan UGD tersebut.

Entah mengapa aku mengingat sesuatu dari

rumah sakit ini. Saat kecil, aku sering diajak

Page 52: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

mama untuk menengok sahabat mama yang

sakit. Tante Mira namanya.

Mama sering bercerita tentang tante Mira, tetapi

tak pernah menceritakan apa penyakit yang

dideritanya.

Saat itu, tante mira belum sakit parah. Beliau

sering kerumah, kadang membawakan buah

untukku, tak jarang juga sebuah mainan ia

berikan padaku.

Mama sering bercerita pula, saat aku masih

dikandungan, tante mira lah yang paling sering

mengantarkan mama ke dokter kandungan. Saat

itu, ayahku sangat sering dinas diluar pulau

jawa. Mama tak bisa ikut, ayah khawatir Mama

tidak betah disana. Karena ayahku ditugaskan

didaerah terpencil yang kekurangan tenaga

medis. Lagipula, saat itu belum banyak

transportasi udara yang dipakai. Negara hanya

menyediakan Kapal Laut untuk keperluan ini.

Tante mira sudah dianggap keluarga oleh

Mama dan ayahku, begitupun aku.

Sampai akhirnya, ia benar benar menyerah

dengan penyakitnya. Satu tahun enam bulan ia

bertahan. Benar benar wanita yang sangat

Page 53: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

tabah. Ia mampu menyembunyikan rasa sakit

nya dengan sebuah senyuman.

Saat itu aku dan keluargaku amat sangat

kehilangan tante mira. Walaupun aku masih

duduk dibangku taman kanak kanak.

Aku mencoba berjalan menyusuri lorong lorong

Rumah Sakit ini. Sambil meniti apakah berbeda

dengan tujuh tahun silam.

Dari segi kerapian, Rumah Sakit ini sudah

banyak berubah. Sudah tidak ada lagi sandal

berserakan didepan ruang rawat inap. Bahkan

sekarang pun sudah disediakan rak rak sepatu

didepan ruang masing masing.

Aku teringat kembali akan satu hal yang

membuatku malu jika mengingatnya. Saat aku

menjenguk tante mira dulu, aku pernah

kehilangan satu sandal bergambar iron man

yang sangat aku sukai. Karena aku begitu kecil

dan tidak dapat mengontrol emosi, aku

menangis sejadi jadinya.

ððð

Satu anak perempuan kecil berumuran sepertiku

mendatangi tempat dimana aku menangis

kencang saat itu.

Page 54: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku mana peduli. Tetap saja menangis.

"Ini sandal kamu?" Sambil memperlihatkan

sandal yang jelas aku kenal itu.

"Kamu nyolong ya!"

Dasar anak kecil, sudah dibantu mencari, malah

menuduh orang lain mencuri sandalku. Hampir

bertengkar dilobby rumah sakit. Sampai

akhirnya orangtua ku datang. Melerai kami

berdua.

ððð

Disudut lorong, kulihat ada kantin rumah sakit

yang masih buka, bahkan masih ramai oleh

pengunjung. Aku berniat membeli satu gelas

susu hangat dan juga sedikit camilan atau roti

agar bisa kumakan. Perutku sudah mulai

berbunyi saat aku dimobil tadi. Niatku membeli

nasi pecel batal karena adanya sebuah

kecelakaan kecil yang mengakitbatkan aku

sekarang berada disini.

Aku tak banyak bicara, setelah memesan dan

menunggu, aku langsung membayarnya,

mengucap terimakasih lantas pergi, kembali ke

Page 55: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

lobby depan UGD, ruang terdepan yang kita

temui pada rumah sakit.

Aku membuka pintu UGD dengan tangan kiri,

tangan kanan ku membawa gelas berisikan susu

hangat dan beberapa roti. Aku mendapati gadis

didepanku sudah sadarkan dirinya. Menatapku

dengan tatapan aneh, semakin aneh saat aku

sudah dekat sekali dengannya.

Ia memanggilku lirih. Sekali lagi ia

memanggilku, masih dengan tatapan anehnya.

Setengah sadar dan tidak sadar, percaya dan

tidak percaya.

Gadis bermata sipit dengan wajah asia nya yang

khas tersebut terus menatapku. Seperti ada

keraguan dan kegelisahan dimatanya.

“Ini, minum dulu”

Menyodorkan segelas susu hangat yang

sebenarnya kuniatkan untuk kuminum.

Ia sudah semakin tenang, tak lagi menatapku

dengan aneh. Kali ini ia menatapku dengan

senyuman.

Page 56: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Sepuluh

“Gitu ceritanya” Aku menceritakan semua hal

yang membuat ku berangkat bersama bagas

pagi ini.

Semua panitia pagi ini bukan malah sibuk

mempersiapkan pembukaan acara, tapi malah

semuanya sibuk mendengarkan ceritaku,

terheran heran.

“Elsa!”

Seseorang membuka ruang panitia. Berlari

menuju tempat ku dan panitia lain berada.

“Kamu kemana aja sih!” Mengatur nafasnya

lalu melihat kearahku.

“Eh itu kenapa luka luka kayak gitu? Kamu

kenapa?” Ia sekarang mirip detektif. Kalimat

yang ia ucapkan tidak memakai spasi sama

sekali.

“Dim” Aku melotot kearahnya, walaupun

banyak yang bilang aku selamanya tidak akan

bisa melotot.

“Udah, nyiapin pembukaan dulu yuk?” Aku

berdiri mencoba membubarkan teman teman ku

Page 57: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

yang masih menggeromboli ku.

“El, kamu beneran nggak apa apa?” Dimas

mengikuti langkahku yang sedikit terpincang

pincang.

“Udahlah dim, aku nggak apa apa kok”

Aku berusaha menyakinkannya.

“Bentar aku mau cari mbak Vira dulu ya dim,

aku bisa sendiri kok, aku udah ngga kenapa

napa” Aku nyengir, lalu menjauh dari nya.

Mencari mbak Vira yang dari tadi tidak

kelihatan. Ini masih setengah enam, belum

terlalu ramai. Hanya ada panitia yang sibuk.

Setelah Bagas mengantarku dia kembali pulang.

Katanya karna ia belum memilih baju untuk

kemah hari ini.

Tadi malam, Bagaslah yang menungguku di

Rumah Sakit hingga jam sepuluh. Lalu

mengantarku pulang hingga sampai depan

rumah.

Aku sama sekali tak memberi tahu orang tua ku

akan hal ini. Mereka sedang di luar

kota,mengantar kakak sepupuku wisuda S-3

nya.

Page 58: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

ððð

“El?” Kamu sekolahnya izin aja ya?” Kata ayah

sambil melipat koran yang baru saja ia baca.

“Enggak Yah, aku nggak bisa. Dua hari lagi

aku jadi panitia MOS” kataku sambil

merapikan meja belajarku.

“Halah paling cuma empat hari, masa kamu

ngga pengen nganter mbak Zahra sih ? Lagi

pula kamu sendiri lo yang dirumah. Ayah

nggak tega”

ððð

Dua hari lalu aku memang sempat diajak, ayah

ku tidak tega jarena hanya aku yang ada di

rumah. Tapi aku menolak, tanggung jawabku

menjadi panitia belum usai. Aku menjelaskan

padanya dengan baik baik, awalnya ia ragu, tapi

aku mencoba meyakinkan nya.

“Ngga apa apa ayah, aku dirumah nya cuma

sehari kok yang tiga hari aku ada di BUMPER”

Kataku sambil mengedip ngedipkan mataku.

“Emang ya. Anak ayah ini paling bisa kalau

soal bujuk membujuk” Aku nyengir “Tapi

kamu hati hati ya, jangan pulang malem malem

lo, kan biasanya kamu kalau kerja kelompok

Page 59: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

pasti malem’’

“Siap ayah!”

ððð

Aku hanya tidak ingin membebani pikirannya,

dengan memberi tahu keadaan ku sekarang.

Riza sahabatku pun juga tak tahu, sama sekali.

Sudah jam enam rupanya. Mulai banyak peserta

yang ada di BUMPER. Sibuk meneliti

barangnya, apakah sudah lengkap atau belum,

sesekali aku menghampiri salah satu mereka.

Hanya untuk sekedar bertanya. Karena seluruh

panitia melarangku mengerjakan pekerjaan

yang berat berat.

Tepat pukul tujuh. Kegiatan utama resmi

dimulai. OSIS tidak mengikuti upacara, hanya

sebagian anak, mayoritas mengurus kegiatan

yang akan dilakukan setelah upacara.

Sebelum upacara dimulai, aku sempat dimarahi

oleh Dimas. Tetapi aku menghiraukannya. Dan

membuat ia semakin marah. Entahlah dimana

ia sekarang, sebenarnya maksud dimas

memarahiku baik. Hanya tak ingin terjadi apa

apa lagi dengan ku.

Page 60: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Tapi jika aku harus bermalas malasan di UKS,

itu yang membuatku membantah kata kata

dimas.

Aku rasa , ini bukan pertengkaran pertamaku

dengan dimas. Sudah sering sekali aku dan

dimas berbeda pendapat. Kadang ia yang

marah, seperti sekarang. Kadang juga aku.

Kalau hari ini ego ku tak lebih besar di sabarku,

aku dan dimas tak akan bertengkar.

Tapi menurutku, sikap ini wajar dimiliki setiap

orang, malah yang tidak memiliki ego itu yang

disebut tidak wajar, setiap orang memiliki

perbedaan. Memiliki pemikiran yang berbeda

beda. Tetapi, jangan menyalah artikan,

perbedaan tidak diperuntukkan untuk memilih

salah satu pihak, saling ejek, dan akhirnya

bertengkar.

Tuhan tidak menciptakan perbedaan untuk

semua itu. Tidak ada yang diciptakan tuhan

hanya menciptakan kemudharatan saja. Bahkan,

jika di telusuri, jika dikaji dengan baik, diterima

dengan baik,suatu perbedaan akan menciptakan

keaneka ragaman.

Begitu indah, daripada harus bertengkar hanya

karena masalah sepele. Tidak setuju itu hal

biasa. Tetapi, jangan biarkan dendam bersarang

Page 61: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

dalam hati karena ketidak setujuan itu tadi.

“Dimas”

Aku memanggilnya lirih, ia memang berhenti

berjalan saat aku memanggilnya, sedikit

menengok, tapi ia menghiraukan dan kembali

melanjutkan jalannya mungkin ia memang

belum bisa memaafkanku.

Karena acara pagi ini belum terlalu padat,

panitia juga belum terlihat sibuk. Nanti sore

setelah istirahat siang, mulai banyak kegiatan.

Pagi ini hanya pembukaan dan melanjutkan

menata tenda regu masing masing.

Tugasku pagi ini hanya mendata peserta yang

hadir, mendata seluruh regu yang telah di buat

tiga hari lalu. Ditemani Natasya yang juga

sebagai koordinator kegiatan.

“Ini jumlah seluruh regu berapa sih, Sya?” Aku

bertanya sambil membolak balikkan kertas

daftar hadir yang kupegang.

“Kurang tau juga, sekitar dua puluh empat regu

mungkin El” Jawab Natasya dengan membolak

balikkan kertas sepertiku.

“Yaudah, pembagian tugas aja gimana? Kamu

data seluruh siswa yang tendanya disebelah

Page 62: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

selatan, aku yang utara”

Setelah itu kami mulai mendata satu persatu

peserta yang hadir dengan pembagian yang

telah disepakati.

Pukul sembilan tadi, pembentukan masing

masing tenda telah selesai, didampingi oleh

panitia. Peserta belum terlalu aktif dalam

kegiatan, memang jadwal dimulai nya kegiatan

peserta nanti siang seusai sholat dhuhur.

Page 63: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Sebelas

Hari ini, aku sama sekali tak bersama dimas. Ia

terlihat sibuk dengan panitia lain. Sama sekali

tidak menghiraukanku bahkan saat aku

mencoba mendekatinya.

11.50

Dapur panitia sangat ramai, beberapa orang

sedang memasak disebuah panci raksasa,

mereka serius memainkan SOTEL dan SEROK

nya. Dengan cekatan mengaduk mie sayur yang

hampir matang. Beberapa orang lagi sedang

menyiapkan api untuk memasak nasi.

Panas nya matahari tak membuat semangat

panitia luntur, justeru semakin membara. Kali

ini aku hanya luntang lantung berkeliling Bumi

Perkemahan. Berniat mencari pekerjaan yang

dapat aku lakukan.

ððð

“Dim” Aku mendekatinya.

“Dimas” Duduk disebelahnya yang sedang

terdiam.

“Aku minta maaf” Ia masih saja terdiam.

Menatap sudut ruang panitia.

Page 64: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Yaudah kalo nggak mau maafin” Aku

tersenyum, hendak beranjak dari sampingnya.

“Iya El”

Saat aku sudah satu langkah menjauh darinya,

ia menjawab. Singkat. Hanya kata iya yang

keluar dari mulutnya.

“Ikhlas nggak maafinnya?” Kataku setengah

menggoda, kembali mengajak nya bercanda.

“Ikhlas. Nggak usah cerewet deh”

ððð

Malam ini, satu kenangan pahit teringat

kembali. Enam minggu lalu, saat aku mencoba

untuk melupakannya. Mencari kesibukan agar

aku bisa benar benar tidak lagi

membayangkannya, dengan sekejap perjuangan

itu lenyap begitu cepat malam ini.

Aku seperti tertipu oleh janjiku sendiri. Janji

untuk akan segera melupakan itu semua. Aku

kira, semuanya sudah hilang, purna, membuka

lembaran baru. Tidak. Jauh dari itu semua.

Ternyata puing puing sakit hati masih ada yang

tertinggal.

Page 65: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Saat itulah ia semakin dekat menuju kearah

ruangan panitia. Menatapku. Aku tak kuasa

kembali. Berlari menuju dalam ruangan panitia.

Dua Menit lalu listrik padam. Tetapi keadaan

masih cukup terang karena ada api unggun yang

menyala besar. Tak ada satu panitia pun yang

tahu bahwa aku sedang menangis didalam

ruangan. Panitia mengurus padam nya listrik

dan menenangkan peserta.

Aku semakin tak berkuasa karena mendengar

suaranya dari dalam ruang panitia. Setelah

listrik menyala, aku mencoba berlari menjauh

dari keramaian. Aku berlari menuju kamar

mandi. Menangis sejadi jadinya disana.

'Wahai hati? Apakah yang engkau harapkan

kembali? Sudah puaskah engkau berharap pada

ketidakpastian yang berujung pada

keterpurukan? Tidakkah engkau berfikir untuk

pergi? Jauh melupakan sebuah kenangan.

Tidakkah lelah engkau dalam sakit yang terus

menerus datang tanpa sebuah akhir.'

Aku mencoba menyeka air mata ku. Sudah

merasa lelah menangis. Hampir dua puluh

menit didalam sebuah kamar mandi hanya

untuk menangisi hal seperti ini.

Page 66: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku mencoba bangkit, berjalan menuju ruang

panitia. Banyak sekali yang harus ku kerjakan.

Waktuku terkuras hanya untuk semacam ini.

"El"

Hatiku seperti tercekam. Suara itu... Sangat

pelan sambil menepuk pundakku perlahan dari

belakang.

Ya Rabbi. Hatiku semakin tak karuan ketika

mengetahui bahwasannya itu Dimas. Ia bahkan

lebih menyeramkan daripada yang aku

bayangkan. Hantu bumi perkemahan misal.

Biasanya, dari cerita cerita anak Dewan Galang,

disetiap kemah itu pasti ada satu orang yang

diganggu, tentunya anak itu yang paling bandel

sama peraturan. Dan akhirnya aku mulai merasa

bahwasannya aku lah orang yang telah

terganggu makhluk seperti Dimas ini.

Mana ada anak yang kelakuannya iseng dan

celuntingan kayak Dimas, suka mbuntutin

orang, misterius dan juga menegangkan.

"Kamu ngapain coba di kamar mandi lama

banget?"

"Kamu juga! Ngapain coba mbuntutin orang

nggak jelas pakek acara mata mata in aku."

Page 67: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

"Yaelah siapa juga yang mata mata in kamu" Ia

berjalan mendahuluiku. "eh?" ia melihat

mataku yang sembab, seketika itu aku langsung

salah tingkah, mencoba meyakinkannya.

"Kamu nangis?"

Berbagai penolakan dan pembelaan diriku telah

terucap. Karena teringat kejadian pagi tadi yang

membuat kami berdua bertengkar, ia akhirnya

mengalah walau dari raut muka nya ia masih

menyimpan keraguan.

Aku kembali menuju ruang panitia. Sedang

Dimas memilih diluar berbincang dengan

panitia lain. Aku meletakkan panggungku ke

kursi yang ada diruang panitia, menghela nafas

panjang. Mengingat bahwa nanti malam aka

nada kegiatan kembali.

Tiba tiba Dimas memasuki ruang panitia,

dengan cepat menyambar tanganku sama

seperti yang ia lakukan saat akan mengajakku

ke Bilingual Office hari itu.

Aku yang tengah bersantai, sangat terkejut saat

Dimas membuka tuas pintu dengan cepat. Ia

hanya mengisyaratkan agar aku mengikutinya.

Tanpa banyak bicara aku segera mengikutinya.

Kali ini tidak kesal seperti waktu ia menarikku

Page 68: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

untuk ke Bilingual Office saat itu. Aku justeru

memperhatikannya dengan seksama.

ððð

Page 69: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Dua Belas

Aku terduduk diatas sofa merah dengan

sandaran hitam—abu abunya. Menggambarkan

kesan gelap diatas terang. Sambil memandang

hiruk-pikuk kota melalui kaca jendela kamarku

yang bertirai coklat.

Bimbang menghantuiku. Sesuatu yang akhir

akhir ini selalu ada dalam fikiran ku.

Hanya ada suara suara mesin mesin mobil dan

motor yang berderu kencang dari luar rumah.

Sesekali klakson melengkapi bisingnya suasana

malam ini.

Begitu banyak kata kata yang terangkai dalam

fikiran, tetapi tak ada satupun yang dapat

kutuliskan.

Aku mencoba bangkit dari sofa, mencoba untuk

terus melupakan hal yang membuatku bimbang

hari ini.

Aku melempar badanku kekasur. Mengambil

handphone, mematikan notifikasi, lalu

mendengarkan lagu yang biasanya ku dengar

demi mengusir kejenuhan.

Page 70: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Sungguh, malam ini. Aku benar benar dipuncak

jenuhku. Entah apa yang terjadi. Aku terjebak.

Jauh kedalam pola pikiran yang mengharuskan

aku untuk terus memikirkan hal ini.

Mencoba berulang kali untuk melupakan bukan

solusi. Malah ini yang membuatku semakin

berfikir akan hal itu.

ððð

“Makasih ya”

Ia membuat langkahku terhenti sesaat sebelum

aku meninggalkan halaman rumahnya. Aku

mengangguk. Lantas melangkah pergi darinya.

“Eh” Ucapnya lirih

Gadis dengan kulit kuning langsat yang samar

samar tercampur cahaya lampu penerangan kota

itu kembali membuatku menengok kearahnya.

Kali ini aku sudah lumayan jauh darinya.

“Maaf aku ngrepotin kamu”

Entah apa yang sekarang ada diotakku.

Perasaan yang tak karuan.

Page 71: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Gadis itu baru masuk halaman rumahnya saat

aku sudah mentancapkan gas motorku. Ia

melambaikan tangannya padaku.

ððð

Dengan perasaan gelisah serta bimbang, aku

mengingat pertemuan singkat ku dengannya.

Bagaimana saat kulihat ia terkapar lemas

dihadapanku, bagaimana saat aku menunggui

nya dilobby rumah sakit, bagaimana saat aku

dan dia saling bercerita diatas motor yang sama.

ððð

”Oh, jadi kamu habis futsal, memangnya selalu

malam hari?”

Sambil berjalan keluar dari rumah sakit. Kaki

nya masih sedikit terpincang pincang saat

berjalan, seperti menahan sakit.

“Kebetulan bulan depan udah tanding” Aku

tersenyum “Jadi lebih sering latihannya”

Kami sudah mulai akrab, obrolan obrolan

sederhana pun kami lakukan, demi memecah

suasana.

“Oh ya? Tanding dimana? Aku sering lihat

kamu tanding, lebih tepatnya, nggak sengaja” Ia

berhenti, lalu menatapku.

Page 72: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Kali ini tanding tingkat provinsi. Perwakilan

dari kota” Aku tersenyum simpul “Bentar, aku

ambil motor dulu ya”

Ia mengangguk.

Motorku telah dibawa mengikuti ku tadi, oleh

salah seorang warga. Setelah itu mereka pergi,

pamitan padaku.

“Rangga, handphone kamu bunyi deh

kayaknya”

Suara mesin motorku ditambah kendaraan lain

membuatku tidak mendengar jelas suara nya.

Aku memintanya untuk mengulangi.

“HP kamu bunyi” Kali ini ia berbicara lebih

keras daripada yang tadi.

“Udah, biarin aja.”

“Nggak mau dilihat dulu? Siapa tahu penting”

Aku tak menjawabnya, terus mengendalikan

motorku.

ððð

Aku menatapnya yang ada dibelakangku lewat

kaca spion. Krudungnya sayup sayup terkena

angin. Ia terlihat sibuk menatap kerumunan

orang di kafe, seperti terpesona dengan

pemandangan tersebut.

Page 73: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Kamu kenapa?”

“Kenapa apanya?” Jawabnya yang balik

bertanya tanpa mengalihkan pendangan dari

kafe yang berejer rapi dipinggir jalan.

“Sibuk banget lihatinnya, emang kamu nggak

pernah keluar malem?” aku melihatnya dari

kaca spion lagi.

“Enggak. Nggak pernah malah”

“Serius? Main sama siapa gitu?”

Ia tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Kata

siapa dalam pertanyaanmu masih jadi tanda

tanya besar lho”

“Maksudnya?” Aku tak faham

“Memang nya siapa yang mau ajak main Ngga”

Kali ini ia berbicara lebih serius.

“Eh Rangga! Rumah aku kelewatan!”

Spontan kami pun menepi kekiri jalan karena

sama sama baru tersadar rumah gadis ini telah

tertinggal jauh dibelakang.

ððð

“Rangga!”

“Ranggaaa!”

Suara ibu dari lantai satu mengagetkanku. Aku

baru teringat lima menit yang lalu sebelum ibu

Page 74: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

pergi, aku diminta turun menyiapkan meja

makan, untuk makan malam bersama.

Rasanya malam ini tak terkontrol karena

fikiranku juga tak karuan. Aku menghela nafas

panjang sembari bangkit dari tempat tidurku.

Page 75: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Tiga Belas

Ternyata bukan hanya aku, ada banyak panitia

yang mengikuti Dimas. Aku segera faham akan

situasi yang terjadi. Pasti sedang terjadi sesuatu,

entah apa.

Dimas menggiring kami pada sebuah lorong

kecil belakang sekolah yang tembus dengan

lapangan. Gelap. Jujur saja aku sangat takut.

Tetapi, demi mengetahui apa yang sedang

terjadi, aku memberanikan diri untuk terus

berjalan. Tentunya tidak dibarisan belakang.

Aku berada dibelakang Dimas yang memainkan

senter nya. Mengarahkan pada setiap langkah

yang akan kami lewati dilorong kecil ini.

Disana, ujung lorong kecil belakang sekolah.

Kami berempat mengambil posisi. Semua

sudah siap dengan senter masing masing.

Kegiatan renungan malam akan segera dimulai

lima menit lagi. Seluruh panitia diminta berjaga

di pos masing masing. Ada sekitar sepuluh pos

seluruhnya. Kebetulan, lorong kecil ini menjadi

pos kedua.

Page 76: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Ini sudah larut malam. Bulu kuduk ku

merinding sesaat. Suasana gelap mencekam

hatiku. Tak henti hentinya aku berprasangka

buruk pada hal yang akan terjadi.

Dimas tak tahu ekspresiku saat ini. Bila saja ia

tahu, pasti sudah mengejek sedari tadi. Kini ia

sedang mengomando kami. Menjelaskan tugas

yang akan dikerjakan disini, dengan tegas dan

pasti.

ððð

Jam menunjukkan pukul sembilan malam.

Panggung utama telah sepi, sound speaker telah

dimatikan. Hening. Kali ini aku tidak berjaga

disana. Aku ikut Dimas. Menjaga pos untuk

kegiatan berikutnya.

Satu kode dari pos pertama telah terdengar.

Artinya kegiatan ini resmi dimulai.

Panitia yang menjaga BUMPER sudah

mengirimkan sinyal aman. Peserta telah masuk

seluruhnya kedalam tenda masing masing.

Satu suara dari belakang kami membuat

semuanya menengok. Ada apa?

Page 77: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Empat Belas

Dari belakangku terdengar suara jejak kaki

yang tergesa gesa. Aku menoleh. Sama sekali

tidak mengetahui siapa orang tersebut karena

disini sangat gelap. Yang aku tau hanyalah satu

perempuan dan satu laki laki.

Mereka tanpa banyak bicara menarikku keluar

dari lapangan. Karena disini kami tidak

diperbolehkan bersuara kecuali hanya kakak

dewan galang yang bertugas.

Setelah sampai diseberang jalan. Barulah

terlihat mereka yang menarikku. Mbak Jessi

dan Mas Farhan. Mereka terlihat panik. Tergesa

gesa.

Belum sempat aku bertanya, mereka sudah

menjelaskan. Ada kejadian aneh yang terjadi

tepat saat pemberangkatan kurang lebih lima

belas menit lalu.

Kami bertiga berjalan menyusuri jalan yang

sepi. Sama sekali tidak ada kendaraan yang

lewat. Hening. Padahal waktu siang, jalan ini

adalah jalur utama menuju pusat kota. Sangat

ramai.

Page 78: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Diperjalanan, kami membicarakan kejadian

yang terjadi di Bumi Perkemahan. Aku hanya

mendengarkan, karena aku tidak tau sama

sekali awal kejadiannya.

Kurang dari tiga menit kami sampai di UKS.

Banyak sekali orang berkerumun.

Rasyid, dia seperti tidak sadarkan diri. Allah,

Cobaan apalagi ini. Kami semua ketakutan.

Mata Rasyid merah, napas nya tersenggal

senggal seperti menahan amarah. Entahlah.

Kami belum tau persis.

Aku menyuruh agar yang lain menepi. Memberi

jarak agar tidak terlalu dekat dengan Rasyid.

Mas Farhan mendekati Rasyid. Rasyid berhasil

ditenangkan olehnya. Ia tergeletak seperti orang

tak mempunyai tenaga.

Sebelum kejadian ini, aku melihat Rasyid saat

aku akan sholat Isya'. Ia terlihat sendirian

didekat mushola. Setelah itu aku tak terlalu

menghiraukannya karena acara inti akan segera

dimulai. Aku pikir ia baik baik saja.

UKS hening. Dipojok depan ada dua anak laki

laki yang terlihat ketakutan, Dimas

menyuruhnya agar bersikap biasa.

Page 79: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Sekarang barulah aku dan Mbak Jessi yang

mencoba mendekati. Tidak banyak panitia

disana. Hanya dua petugas UKS, Aku, Dimas,

Mbak Jessi dan Mas Farhan.

Jelas saja, semua panitia telah terlibat acara

renungan malam di Lapangan. Sebagian besar

mereka tidak mengetahui apa yang sedang

terjadi disini.

Aku pelan pelan mengajak bicara Rasyid.

Pertanyaan pertama yang kulontarkan sia sia.

Tidak dijawab. Matanya yang merah ditutup

oleh topi nya. Keringat bercucuran

dikeningnya. Aku mencobanya sekali lagi.

Bertanya dengan pertanyaan yang sama.

"Ada apa sebenarnya, ceritakan pada kami".

Yang kedua ini, ada respon walau hanya

gelengan. Mbak Jessi yang terlihat tidak sabar

juga ingin bertanya. Tapi Mas Farhan berhasil

menahannya.

Sampai pada pengulanganku yang ke lima, ia

akhirnya mau menjawab. Ia sudah merasa lebih

tenang. Lalu menceritakan ketakutannya tadi.

Bercerita panjang walau tersendat sendat karena

menahan tangis. Dua anak laki laki di sudut

depan terlihat gemetaran dan saling berpelukan.

Page 80: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku ingin tertawa rasanya. Tetapi untung saja

dapat ku cegah.

Ruangan dekat mushola yang disebut sebut

memang banyak yang mengaku digoda

makhluk tak terlihat disana. Mungkin memang

karena ulah anak itu yang tidak senonoh.

Kali ini aku tetap berjaga di ruang UKS

bersama Dimas, Mbak Jessi dan Mas Farhan.

Kita tidak bisa meninggalkan Rasyid sendiri.

Kalaupun dia tidak sendiri artinya banyak anak

di UKS, aku pun tak bisa meninggalkannya.

Aku harus tetap menemaninya. Ini perintah dari

Mas Farhan. Ia takut kalau akan terjadi

kembali.

Aku tertidur sebentar karena sedari tadi aku

belum juga tidur. Angin malam yang

menghempas masuk kedalam ruangan UKS

perlahan masuk menambahi suasana kantuk

pada diriku.

Rasyid sudah tidur, pun peserta yang sedang

sakit. Sudah tidak semenegangkan tadi. Lagi

lagi Dimas tidak ada. Entahlah kemana. Aku

mencoba tidur dengan posisi duduk. Mencoba

senyaman mungkin walaupun tidak akan

senyaman tidur di kamar pribadiku.

Page 81: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Elsa? Kamu mimisan?” Mbak Jessi berbicara

dengan berbisik bisik. Takut jika yang lain

terganggu.

Aku mengusap hidungku. Darah. Ada apa?

“Kayaknya kecapekan deh mbak.” Sambil

mengambil tisyu UKS.

“Enggak enggak, kamu pulang aja deh el. Biar

aku yang bilang sama panitia lain” Mbak Jessi

terus memaksaku.

“Aku dirumah sendirian mbak, ayah ku nggak

ada. Aku malah nggak ada yang jagain kalau

disana” Aku tersenyum. Sekali lagi mengusap

hidungku dengan tisyu.

“Tapi bener kamu nggak apa apa?”

“Bener mbak jes.” Jawabku yang sebenarnya

aku sendiri ragu, aku juga tak tahu ada apa

dengan tubuhku.

Krudungku terkena darah sebagian. Entahlah,

apa yang terjadi padaku. Aku mencuci daerah

yang terkena darah, menguceknya dengan air.

Kaos panitia ku pun ikut terkena darah.

Page 82: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku memutuskan untuk berganti baju dan

krudung, karena sebentar lagi masuk waktu

subuh.

Page 83: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Lima Belas

Agustus, 2014

Aku menatap sebal pada seluruh temanku.

Istirahat kali ini tak jauh berbeda dari istirahat

sebelumnya. Duduk berkerumun didepan kelas,

sambil menenteng jajanan yang telah ia beli,

lalu membicarakan orang yang setiap hari

mereka bicarakan

ððð

Agustus, 2015

”Inget waktu itu nggak El?” Riza

menertawakanku.

“Apaan sih za” Aku membiarkannya

menggodaku.

“Angga, angga, angga. Nggak ada yang lain

apa?” Riza menirukan gaya bicaraku dulu.

“Za udah deh”

Hampir sepuluh menit aku mendengar ia

mengoceh menggodaku. Ia baru berhenti saat

pelayan laki laki kafe ini memberikan pesanan

ke meja kami.

Agustus, 2014

Page 84: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Udah deh, kalian itu nggak ada gunanya

ngomongin orang yang sama tiap hari kayak

gini”

Aku benar benar sebal, hampir dua bulan

bersekolah disini, tetapi tak ada topik lain yang

dibicarakan selain itu. Padahal ia bukan siswa

disini.

“Lagian belum tentu dia disana juga nyanjung-

nyanjung kalian sama seperti yang kalian lakuin

sekarang”

Setelah itu aku masuk kedalam kelas dan

menutup pintunya. Entah apa yang mereka

kerjakan diluar, masihkah membicarakan hal

yang sama, masa bodoh. Aku tak

memikirkannya.

Kelas lengang, hanya ada teman laki laki ku,

yang perempuan sedang terobsesi oleh satu

orang pemain futsal yang aku sendiri tak tahu

tentangnya.

Agustus, 2015

“Aku belum bisa lupa, Za”

Kami terdiam, Riza tak lagi mengejekku. Ia ikut

larut dalam kata kataku.

Page 85: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Kenangan itu tetap ada, walau sudah berulang

kali kucoba untuk melupakannya”

Riza mengangguk. Matanya berkaca kaca.

“Aku belum bisa lupa, Za” aku mengulangi

kata kata itu.

Tidak ada gunanya, semua usahaku untuk

mencoba melupakannya hanya berakhir satu

kata, sia sia. Melupakan tidak akan semuda

mengingat. Pun merelakan. Ia juga tidak akan

semudah saat kita merelakan hati kita untuk

terjatuh begitu dalam oleh cinta.

Semenit kemudian, Dimas datang bersamaan

dengan Bayu. Langsung mengambil posisi

masing masing. Dimas berada dikanan ku, bayu

didepanku. Meja bundar itu menjadi saksi bisu

diskusi kami ber-empat hari itu.

ððð

Tiga jam membuat konsep untuk drama

musikalisasi minggu depan akhirnya berbuah

manis. Kami mendapat konsep yang sangat

cocok dengan kepribadian masing masing.

Konsep ini siap diprint besok dan didiskusikan

kembali bersama wali kelas kami.

Page 86: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Bayu dan Dimas telah pamit duluan. Ada

keperluan katanya. Aku dan Riza hanya

mempersilahkannya pergi tanpa menghalang

halangi mereka berdua.

Setelah dimas dan bayu pergi, aku dan riza

sama sama terdiam, rioza seperti teringat akan

ucapanku tadi. Ia kembali tertunduk.

“Kau harus tetap melupakannya, El. Ia jelas

jelas sudah mengacuhkanmu”

Itu kata kata riza pertama setelah beberapa saat

kami sama sama terdiam.

Ia benar, aku harus melupakannya. Aku harus

sesegera mungkin melupakannya. Tetapi aku

tak dapat menerima, sudah berulang kali

bimbang menghantuiku. Bayangnya tetap ada,

janji manisnya pun selalu ku ingat. Walau

kelakuan buruknya lebih sering terlintas.

Agustus, 2014

Nada pesan HP ku berbunyi saat aku masih

mengerjakan beberapa PR untuk esok. Aku

menghiraukannya, mencoba fokus bpada

pekerjaanku terlebih dahulu.

Page 87: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Nada pesan itu semakin sering berbunyi, kerena

merasa risih, aku membuka HP ku. Berniat

mematikan deringnya agar aku bisa

melanjutkan belajrku yang tertunda.

Niatku gugur seketika saat itu. Satu akun BBM

mengirimi pesan beruntun kepada ku. Aku tak

tahu persis tentangnya. Yang aku tahu ia adalah

seniorku, itu saja.

Aku membuka pesan darinya. Mulai saat itu,

kami sering berbalas pesan. Dan, mulai dari itu

pula luka ini timbul. Kecerobohan yang

membuat ini semua terjadi. Dan sekarang hanya

sebuah penyesalan yang tersisa dalam diriku.

ððð

“Bukankan sudah saat nya untuk move on?

Tidak baik terus bertahan dalam sebuah

kesedihan. Itu hanya memperburuk keadaan,

pun perasaan.” Suara lirih Riza mengakhiri

kisah hari ini.

Page 88: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Enam Belas

“Kamu dari mana aja Ngga? Udah tidur?”

Itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut

Mama saat aku turun dari tangga. Aku

meringai malu, melangkah menuju kearah nya.

“Nggak, ma. Tadi Rangga ke kamar mandi.”

Sambil tersenyum tanpa menatapnya.

“Oh iya ma? Kebab pesenan Rangga mana?”

aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Itu, dimeja tamu. Makan dulu baru kebabnya

Ngga”

“Rangga udah kenyang Ma, rangga ke kamar

dulu ya”

Aku meninggalkan mereka diruang makan,

menuju ruang tamu mengambil kebab yang ku

pesan pada ibu sebelum ia pergi, lantas menuju

lantai dua dengan cepat.

Lantai dua memang dikhususkan untuk

ruanganku. Tidak terlalu luas, cukup satu kamar

dengan kamar mandi didalamnya serta ruangan

santai, biasanya aku membaca buku atau hanya

sekedar duduk disana. Ada pula yang paling

aku sukai dari lantai dua ini, yaitu teras luar.

Page 89: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku sering sekali berolahraga pagi hari disana.

Karena ruangan itu ruangan terbuka, tak ada

atap dibagian atasnya, aku hanya sering

menggunakan ruangan itu jika pagi hari, karena

udaranya belum terlalu panas.

Langit memang sudah gelap, tetapi ramainya

lalu lintas membuat kegelapan itu tak berarti.

Aku membuka pintu yang menghubungkan

ruangan santai kamarku dengan teras luar. Ada

satu kursi panjang disana.

Aku membaringkan badanku, dengan samar

samar

angin menghempas kaos yang kukenakan.

Tidak dingin, karena hawanya masih tercampur

panas udara sore tadi.

Aku menatap langit dengan sejuta indahnya

malam ini. Aku tak sendiri, dua bungkus kebab

telah menemaniku. Ada satu lagi, walaupun

hanya lewat chat. Gadis yang menemaniku

keliling kota malam itu.

Kami tak banyak basa basi. Chat kami tidak

lebih dari sepuluh balasan. Ia bahkan sudah

pamit tidur saat aku ingin mengajaknya

membahas sesuatu. Mana bisa aku

mencegahnya. Aku hanya meng iya kan,

mempersilahkannya tidur.

Page 90: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Sayup sayup angin yang sejuk membuat ku

meresakan kantuk yang luar biasa. Mata ku

sudah hampir terpejam, sedikit lagi memasuki

klimaks, memasuki alam mimpi.

Aku membuka mataku yang setengah tak

sadarkan diri. Bulan tak lagi ada ditempat

semula. Bintang pun telah hilang, bak ditelan

bumi dengan begitu cepat. Angin yang mula

nya bersahabat sekarang seperti musuh. Berkali

kali menyambar tubuhku.

Aku segera masuk kedalam ruanganku.

Menutup rapat rapat pintu nya. gelegar dari luar

membuatku tak lagi merasakan kantuk.

Kulihat keramaian kota dari jendela kamarku.

Semua orang berlarian mencari tempat

berteduh. Mobil mobil mulai menghidupkan

pembersih kaca nya. Klakson klakson mereka

tujukan pada kendaraan lain yang berjalan

dengan tidak fokus.

Hujan deras mengguyur pusat kota dimalam

minggu kali ini. Semua orang yang berniat akan

me-refresh fikirannya harus rela menggagalkan

niatnya demi tak terkena basah air hujan.

Page 91: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Kulempar badanku kekasur kamarku.

Merebahkan badanku yang sungguh terasa

penat sedari tadi. Gelisah tak kunjung berhenti,

malah semakin terasa jika sudah seperti ini. Tak

pedulikan rasa kantukku yang luar biasa.

Page 92: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Tujuh Belas

Hasil rontgen telah ada ditangan ayah. tubuhku

sudah lebih baik. Entahlah, akhir akhir ini aku

merasa lebih cepat lelah dan sering pusing.

Selama ini aku hanya memendamnya sendirian.

Aku berfikir bahwa aku kurang istirahat.

Karena minggu ini banyak sekali kegiatan yang

kujalani.

Sebelum aku dan ayah meninggalkan ruang

praktik dokter, ayah sempat berbincang dengan

dokter bram dimeja kerjanya yang terdapat

disudut ruangan praktik.

Sudah sering sekali kami datang kemari, selain

karena dokter bram adalah sahabat ayahku saat

SMA, ia adalah dokter yang biasa menangani

penyakit keluargaku, bahkan sejak aku kecil.

Bunda juga. Ia selalu datang kemari bersama

ayah bila badannya berasa tidak enak.

Setelah kurang lebih lima belas menit, ayah

akhirnya beranjak dari kursi dihadapan dokter

bram. Aku pun turun dari dipan pasien karena

melihat ayah berpamitan. Aku memberikan

salam pada dokter bram sambari tersenyum. Ia

membalas senyumku.

Page 93: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

ððð

"Ayah?" Aku memanggilnya lirih.

"Iya El?" Jawabnya tanpa mengalihkan

pandangan.

"Ayah, Elsa sakit apa sih?"

Ayah tersenyum tipis, melihat kearahku

sebentar lalu fokus lagi kesetirnya. Ayah

bahkan tak menjawab pertanyaanku, ia sudah

sibuk membicarakan hal yang lain.

"Mau makan siang dimana El?" berhenti

sebentar, "Nasi padang yuk? Gimana?"

Tanpa menunggu persetujuan ku ia sudah

memutuskannya sendiri. Saat itu juga aku

bertanya pada diriku sendiri 'Lantas, ayah

kenapa nanya kalo udah punya jawaban sendiri'

aku menggeleng kepalaku pelan.

ððð

Cuaca cerah, meskipun sedikit berawan.

Matahari terus bersinar, menampakkan cahaya

nya yang sangat indah disore hari.

Ini sudah hari kelima setelah rontgen itu keluar.

Tapi ayah belum juga member tahu ku satu hal

apapun tentang apa sebenarnya yang terjadi.

Page 94: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku mulai melupakannya. Aku sudah agak

baikan. Rutin meminum obat yang dokter bram

berikan.

“Elsaaa!”

Suara ayah melengkapi sore ku yang masih

setengah malas. Ayah memanggilku saat aku

tengah serius memainkan tangan dan kakiku.

Memutar pergelangan tangan, kaki ku

meloncat. Begitu seterusnya.

Aku menghentikan kegiatan ku sebentar.

Menuruni tangga perlahan, lalu menghampiri

ayah yang memanggilku. “Ada a—?”

Aku terdiam. Aku sangat mengenali tamu hari

ini.

“Rangga?” kataku lirih. Aku tersentak kaget

karena yang datang adalah Rangga. Kemarin

malam, ayah sempat bicara padaku, besok ia

akan kedatangan tamu, yaitu teman dekat ayah.

Aku sama sekali tidak menyangka bahwa teman

dekat ayah adalah papa rangga. Seketika itu aku

sangat malu.

Page 95: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Loh? Kalian udah saling kenal?” Kata papa

Rangga.

Kami sama sama mengangguk pelan.

“Gimana El, masih sering pusing?” Tanya papa

Rangga lagi. Ia adalah dokter Bram yang

kemarin memeriksa ku, dan memberikan

senyuman.

Aku menggelengkan kepalaku. Bertanda tidak

atas pertanyaan yang om bram berikan.

Rangga yang berada disebelah Om Bram kali

ini tertunduk. Sepertinya malu melihatku.

“Rangga saiki wis gedhe ya!”

Ayah ku berbicara dengan logat jawa nya yang

khas, yang artinya “Rangga sekarang udah

besar ya!”

“Om Bram mau dibuatkan kopi atau teh?” Aku

menawari tamu spesial ini.

“Teh saja Elsa, terimakasih” Ia tersenyum sama

persis ketika tersenyum diruang praktiknya

kemarin.

“Rangga mau minum apa?” Aku berkata lirih.

Page 96: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Ia hanya tersenyum tipis, tak seperti malam itu.

Bahkan kali ini ia tidak lagi mengajakku

bercanda. Pandangannya tertuju pada karpet

lembut dilantai ruang tamu.

Aku menuju ke dapur, membuatkan mereka teh

manis disebuah cangkir kecil yang berada di rak

dapur. Suara tawa ayah dan om bram yang khas

terdengar jelas dari dapur. Membicarakan

berbagai topik hingga aku kembali ke ruang

tamu dengan membawa berbagai makanan,

mereka tetap saja seru dengan topiknya.

Aku dan rangga jelas jelas hanya bisa

tersenyum, saling tatap. Tak tahu harus

bagaimana lagi karena kami tak cukup mengerti

apa yang sedang mereka bahas.

Ayah dan dokter bram tertawa kembali. Bak

seorang sahabat yang lama tak berjumpa.

Padahal tidak. Ayah sering sekali mengunjungi

dokter bram. Tak jarang pula aku diajaknya.

“Bram, gimana bisnis kamu di samarinda yang

kamu tawarkan kepadaku kemarin?”

Mereka kini membicarakan hal yang lebih

serius. Lagi lagi aku dan Rangga hanya bias

bertatapan tanpa berkata satu kata pun.

Page 97: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Ia menghembuskan nafasnya perlahan, seperti

menujukkan kekesalannya saat ditanyai hal itu.

“Ternyata bisnis disana banyak susahnya. Aku

rugi besar”

Om bram terdiam sebentar. Membenarkan

posisi duduknya. Berubah menjadi serius.

“Yaa bagaimana tidak? Kita dijawa, orang yang

kita percayai jelas jelas bukan orang jawa.

Tentu aku juga tidak bisa ke samarinda tiap

minggu. Kita hanya bisa mengawasinya lewat

pesan. Belum tentu juga mereka mengerjakan

apa yang kita suruh.”

“Dua bulan pertama bisnis ini sukses. Banyak

untungnya. aku hampir saja mentransfer uang

lebih banyak lagi, untung saja istri ku

mengingatkan. Kalau tidak aku tak tahu

bagaimana nasibku sekarang”

Om bram yang tadi tertawa tawa, saling

becanda dengan ayah sekarang berubah drastis.

Tatapan nya begitu tajam kesalah satu sudut

ruang tamu ku. Aku rasa ia benar benar kesal.

“Bulan bulan berikutnya, aku menyadari

adanya kerugian. Yang pertama memang tidak

terlalu besar. Saat itu aku memakluminya. Aku

berfikir wajar. Bisnis pasti ada pasang surut”

Page 98: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Tetapi, saat bulan ke empat, setelah ia

meminta bayarannya. Entah mengapa nomor

ponselnya benar benar tidak aktif.”

“Aku benar benar kesal waktu itu. Ini adalah

kesalahan terbesarku, tidak ingin mendengarkan

apa kata istriku terlebih dahulu. Padahal ia

sudah berulang kali mengingatkanku.”

“Jika saja aku menemuinya lagi, aku akan

melaporkannya kepada polisi. Ini benar benar

penipuan”

Om bram benar benar sudah dipuncak

kemarahannya. Teh yang baru saja aku letakkan

didepannya, kini sudah tak ada bekas bekas

keberadaannya. Habis ia minum seluruhnya.

Entah itu panas sekalipun, ia mana peduli.

Ayah mencoba menenangkan om bram. Rangga

menyingkir dari papa nya karena diminta oleh

ayah. Sekarang ia ada disampingku.

“Sudahlah Bram, anggap saja ini adalah

cobaan. Jadikan semua ini pelajaran. Masih

mending daripada orang lain Bram. Kau hanya

kehilangan tak lebih dari dua puluh juta rupiah,

dalam waktu yang relatif lama. Itu masih bisa

dikategorikan untung”

Page 99: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Setelah hampir lima menit mereka berdebat,

akhirnya om bram juga melapangkan keadaan

nya yang sempat terpuruk. Ia sudah mulai

mengikhlaskan. Aku dan rangga menghela

nafas panjang. “Akhirnyaa..”

Kami masih terus terdiam, hanya

mendengarkan ayah serta papa rangga

berbicara. Sesekali saling lirik. Salah tingkah

dan begitu seterusnya.

Page 100: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Delapan Belas

Langkah demi langkah kami lewati. Entah

mengapa hari ini tidak seperti malam itu. Kami

banyak diam. Hanya angin kecil yang menjadi

saksi bisu kami sedang bersama.

Papa dan ayah elsa ada dirumah, sibuk

membahas urusannya. Lima menit yang lalu,

elsa diminta ayahnya untuk mengantarku

berkeliling tempat tinggalnya.

Satu kabar baik bagi kami, akhirnya kami bisa

keluar dan mencari topik sendiri daripada terus

terusan mendengarkan perbincangan mereka

berdua yang sama sekali aku dan elsa tak

faham.

ððð

Pagi tadi, setelah aku selesai berutinitas.

Melakukan lari larian kecil untuk menguatkan

otot kaki, push up, sit up dan sebagainya, papa

mengajakku untuk pergi nanti sore. Kerumah

teman katanya.

Aku yang awalnya menolak, mengurungkan

niatku karena hari ini aku sedang tidak ada

jadwal sama sekali.

Page 101: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Benar saja, sore ini aku dimintanya berdandan

rapi. Ia bahkan sempat menyegerakanku.

“Rangga! Lama banget sih!” teriak papa dari

lantai satu.

Mama sedang tidak dirumah, kemarin beliau

berangkat menuju Singapore untuk keperluan

pengamatannya. Hanya ada empat orang

dirumah. Aku, papa, bibi ijah dan mang oman,

suami bibi ijah.

Aku menyiapkan baju yang akan kukenakan

sore ini tadi siang. Papa yang meminta aku

untuk ekstra siap siap. Entahlah. Tak biasanya

papa seperti ini. Tapi aku cuek saja, menuruti

segala perintah papaku.

ððð

Satu hal yang tak akan pernah aku bisa lupakan.

Ternyata ia anak dari teman baik papaku.

“Ranggaa” Ucapnya pelan sambil terus

melangkahkan kaki nya perlahan.

“Iya?”

Ia tersenyum. Berhenti melangkah, kali ini

membalikkan badannya kearahku.

Page 102: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Kami terhenti ditaman yang cukup luas. Ada

sebuah kaca cembung disudut jalan. badan kami

terlihat jelas sedang berdiri dibawahnya.

“Duduk disana yuk?”

Elsa, gadis manis dengan mata sipit berwajah

khas asia itu mengajakku singgah ke sebuah

gubuk kecil seperti pos, didekat taman

perumahan ini.

Kami berbincang seperti yang kami lakukan

malam itu. Sampai pada pertanyaanku yang

terakhir.

“Elsa, ibu kamu nggak dirumah ya? Aku sama

sekali nggak lihat beliau”

Matanya seketika berkaca kaca. Ia menangis,

entah lah. Aku tak faham. Ada apa? Adakah

yang salah dengan ucapanku? ‘Elsa, Ada apa?’

batinku.

Tangisannya tak bisa dibendung, air matanya

kini telah membasahi sebagian kerudung yang

ia kenakan. Tangannya terus menutupi bagian

matanya. Sesegukan keras.

Page 103: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku semakin bingung. Berulang kali

kutenangkan ia. Tak ada respon. Ia tetap saja

menangis.

“Bunda aku udah nggak ada, rangga” Ia

menyeka ujung matanya yang basah.

“Bunda sudah meninggal, saat aku kecil” Elsa

menatap langit. Tatapan kosong.

Ya tuhan, lihatlah. Lihatlah gadis yang bersedih

ini. Lihatlah gadis yang merindukan sosok

ibunya ini. Hari itu aku kira ialah gadis yang

sangat ceria. Tak memiliki masalah yang

banyak.

Aku salah, aku bahkan lebih beruntung darinya.

“Bunda ku punya penyakit hemophilia ngga,

aku dari kecil cuma sama ayah. Terakhir aku

keluar malem, waktu aku umur enam tahun.

Makannya kemarin waktu sama kamu aku

kelihatan takjub banget lihat kafe.”

Aku ikut larut dalam cerita elsa. Aku tahu

bahwa Elsa masih bersedih walau ia berusaha

menyembunyikannya.

“Aku kadang mikir, kenapa tuhan selalu tak

adil? Mengapa harus aku yang kehilangan kasih

Page 104: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

sayang dari seorang ibu? Mereka tidak.”

Tangisnya semakin kencang.

Mengapa aku ini? Bodohnya aku. Seharusnya

aku tak membicarakan hal ini. Mengapa kata

kata itu spontan muncul dari mulutku tadi

Rasanya, ingin sekali kutinju sediri diriku. Aku

merasa orang paling salah. aku yang membuat

elsa menjadi bersedih.

Seribu kata maaf bahkan tak dapat

menghilangkan kesedihan elsa. Mengapa aku

melukai orang yang aku sayang?

Kami sama sama terdiam. Elsa sudah menyeka

matanya sedari tadi. Ganti aku yang melamun,

menatap rumput hijau taman ini.

Kami berdua kembali kerumah elsa, ia yang

meminta. Matanya sembab. Terlalu lama

menutup matanya saat menangis mungkin

faktornya. Kelihatan sekali jika ia habis

menangis.

Lihatlah, mengapa disaat seperti ini aku hanya

dapat terdiam? Betapa bodohnya. Mengapa aku

tak bisa menenangkannya seperti aku

meyakinkannya bahwa aku bukan orang jahat

saat di rumah sakit? Mengapa aku hanya diam

Page 105: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

membisu. Bahkan jika burung menatap ku, ia

pasti sudah menertawakan.

“Brukk”

Elsa terjatuh. Ia tak sadarkan diri.

“Allah, non elsa kenapa” mang oman yang

mengetahui ini langsung berlari kearah kami.

Mengangkat elsa masuk kerumah.

ððð

“Rangga? Elsa kenapa?” ayah elsa panik, papa

ku juga.

Diletakkannya elsa disofa ruang tamunya.

Berbaring tanpa diberi bantal agar aliran

darahnya mengalir.

Papaku memeriksa elsa sebentar. Mang oman

menyiapkan mobil atas perintah papa, elsa akan

segera dibawa kerumah sakit.

Aku yang benar benar belum mengetahui

sebabnya hanya mengikuti, dibopongnya elsa

masuk kedalam mobil. Rok elsa terbuka sedikit,

menunjukkan telapak kaki dan pergelangannya.

Ada satu luka yang aku tak bisa hiraukan.

Kakinya biru, seperti lebam. Entah luka apa itu.

Page 106: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Ayah elsa menangis. Ini sama seperti yang

dilakukan mamaku saat melihat tante mira

terkapar lemas.

Tangannya menggenggam tangan elsa yang

putih. Air mata nya jatuh saat ia harus

merelakan elsa masuk diruang UGD tanpa

boleh ditunggui siapapun, bahkan papaku yang

seorang dokter.

“Apa ini yang kamu bilang hemofilia keturunan

bram?”

Ayah elsa tak henti hentinya menangis.

‘Hemofilia?’ aku membatin.

“Aku hanya punya elsa bram, apakah aku akan

kehilangan elsa seperti aku kehilangan mira,

istriku?” Ayah elsa lost control. Hampir saja

menendang kursi depan UGD yang dahulu

kubuat merebahkan tubuhku saat menunggui

elsa.

‘Mira? Tante mira istri ayah elsa?’ aku tak

henti hentinya membatin. Menanyai diriku

sendiri.

Page 107: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Ayahku terdiam, tertunduk tanpa menjawab

satu katapun.

“Katamu penyakit itu bisa dicegah dengan obat

obat yang kau berikan! Kau berbohong bram!

Kau bahkan lebih kejam dari yang kufikirkan.”

Ayah elsa membentak. Suasana kacau balau.

Pikiranku terus terusan tertuju pada kata kata

ayah elsa.

Mang oman yang disampingku akhirnya

berpindah dan menenangkan ayah elsa. Lagi

lagi aku hanya terdiam. Tak ada satu katapun

yang dapat aku keluarkan.

ððð

Pintu UGD dibuka kasar. Dokter yang

memeriksa elsa didalam langsung menemui

dokter bram, papaku. Ia terlihat tergesa gesa.

Seperti ada yang akan dibicarakan serius.

Mereka tak terkecuali ayah elsa dan aku pun

masuk dalam ruangan dokter. Disinilah,

semuanya terjawab.

Page 108: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Sembilan Belas

“Hemofilia, satu dari kelompok gangguan

perdarahan bawaan yang menyebabkan

perdarahan abnormal atau berlebihan, dan

pembekuan darah yang buruk. Istilah ini paling

sering digunakan untuk merujuk kepada dua

kondisi tertentu yang dikenal sebagai hemofilia

A dan hemofilia B.”

“Hemofilia adalah suatu penyakit yang

diturunkan, yang artinya diturunkan dari ibu

kepada anaknya pada saat anak tersebut

dilahirkan. Darah pada seorang penderita

hemofilia tidak dapat membeku dengan

sendirinya secara normal. Proses pembekuan

darah pada seorang penderita hemofilia tidak

secepat dan sebanyak orang lain yang normal.”

“ Jika terjadi luka, darah akan terus keluar

karena darah yang seharusnya membeku tidak

jadi membeku atau bisa membeku tetapi dalam

waktu yang lebih panajang di bandingkan

dengan orang yang normal.”

“Penderita hemofilia kebanyakan mengalami

gangguan perdarahan di bawah kulit, seperti

luka memar jika sedikit mengalami benturan

Page 109: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

atau luka memar timbul dengan sendirinya jika

penderita telah melakukan aktifitas yang berat.”

“Pembengkakan pada persendian, seperti lutut,

pergelangan kaki atau siku tangan. Penyakit

hemofilia dapat membahayakan penderitanya

jika perdarahan terjadi pada bagian organ tubuh

yang vital seperti perdarahan pada otak.”

Dokter faris menjelaskan dengan runtut sambil

menunjukkan satu gambar silsilah penyakit

hemofilia kepada ayah elsa.

“Tapi mengapa penyakit ini baru dapat

dipresiksi saat elsa besar dok?”

Ayah elsa terus menunduk, masih belum

percaya akan keadaan elsa yang sekarang.

“Sebenarnya, jika memang ia mewarisi gen

ibunya, tanda tanda hemofilia pasti sudah

nampak saat ia masih belajar merangkak.”

Sayangnya, saat elsa balita. Ia lebih sering

diasuh oleh neneknya. Ayah elsa selalu keluar

jawa saat itu. Bundanya, rutin bolak balik ke

rumah sakit. Rawat inap berhari hari.

Page 110: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Neneknya tidak terlalu peka akan keadaan elsa,

tidak juga menyampaikan apa yang terjadi.

“Tidak usah gelisah pak, saya dan bram akan

berusaha semaksimal mungkin untuk elsa, kami

akan menjadwal terapi elsa setelah ini.”

‘Lakukan apa yang terbaik untuk nya. Lakukan

yang seharusnya kau lakukan’

ððð

Satu cahaya terang disusul gemuruh keras dari

langit membuat seluruh penjenguk pasien di

lobby rumah sakit segera merapat, berebut

tempat duduk agar tidak terus berdiri.

Lantai depan rumah sakit seketika kotor dengan

jejak kaki para pengunjung. Juru parkir pun

telah ada diteras rumah sakit yang tertutup

kanopi. Memasukkan kresek hitam berisi

recehan uang yang ia dapatkan dari hasil jerih

payahnya sehari penuh ini kedalam sakunya.

Satu dua orang yang masih diparkiran segera

berlari menuju arah kami— penunggu pasien

dilobby rumah sakit.

Berlari sambil menutupi kepalamya agar tidak

terkena guyuran air hujan. Tetapi usaha nya sia

Page 111: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

sia, jilbab jilbab mereka masih saja basah walau

sedikit.

Elsa masih dalam perawatan. Aku bahkan

belum melihatnya. Dua jam disini, membuatku

gelisah. Ayah elsa pulang sebentar, mengambil

baju ganti untuk putrinya.

Mang oman sudah dari tadi kembali. Kasihan

bibi ijah sendiri dirumah, ia pasti khawatir. Aku

menyuruhnya pulang atas izin papa. Besok pagi

ia akan kesini.

Matahari hampir terbenam diujung langit barat.

Walau tak menampakkan warna kemerah

merahan nya, karena tertutup mendung hujan.

Sesaat kemuadian, suara adzan maghrib

bersahutan.

Ayah elsa datang tepat saat hujan telah

berhenti. Kali ini ia lebih terkesan rapi, dengan

menenteng satu tas merah yang dapat kutebak

isinya, yaitu baju ganti elsa.

Kulihat pula dari ruang dokter, dokter faris

segera menemui ayah elsa. Mengajaknya

berbicara kembali, sama seperti yang dilakukan

tadi siang.

“Ada fakta baru terkait penyakit elsa.”

Page 112: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Maksudnya?” Ayah elsa tak faham akan kata

kata dokter faris. Memintanya untuk

mengulangi kembali.

“Sepertinya elsa tidak mewarisi gen ibunya.

Elsa bebas dari diagnosa penyakit hemofilia

yang tadi saya jelaskan”

Ruangan itu lengang sejenak.. Jika elsa tidak

mewarisi gen bu mira, ini adalah kabar baik. Ia

tidak jadi mempunyai penyakit hemofilia.

Ayah elsa mendongak, kaget. Berharap itu

adalah kabar baik. Tapi tidak dengan dokter

faris dan dokter bram. Mereka justru seperti

berat akan mengatakan hal ini.

“Karena ciri ciri hemofilia hampir sama dengan

penyakit darah lain, yaitu darah sulit membeku,

kita diagnosa bahwa elsa menuruni gen ibunya,

yaitu hemofilia.” Dokter faris berbicara dengan

perlahan lahan.

“ Tetapi, ternyata setelah sampel yang telah

kami amati lebih dalam lagi, ini bukan

hemofilia. Ada ciri ciri lain yang menguatkan

kalau penyakit ini adalah leukimia, atau kanker

darah”

Page 113: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

ððð

“Mau tidak mau, tindakan ini harus dilakukan

bram!” dokter faris yang dahulu memeriksa elsa

membentak papaku.

“Tapi itu bisa menimbulkan efek samping yang

sungguh luar biasa faris! Bahkan jika kondisi

tubuh elsa tidak memungkinkan, tindakan ini

juga akan mengancam nyawanya!” papa

menggeram.

“Jika ini tidak dilakukan, kau bahkan hanya

bisa melihat elsa mati sia sia. Terus terusan

meminum obat! Itu lebih menyakiti elsa

daripada kita melakukan tindakan ini.

Sedangkan tubuh elsa sekarang sudah tidak

memungkinkan untuk terus diberikan obat. Kita

harus melakukan tindakan! Sekarang.”

Perdebatan terjadi diruangan kecil dekat UGD.

Ayah elsa hanya terdiam, mungkin ia menangis.

“Tidak” papaku menjawab lirih, terus

menunduk.

“Bram, tolonglah. Kita hanya punya waktu

sedikit. Kita harus cepat menentukan pilihan”

dokter faris terdiam. “Pikirkan sekali lagi,

Page 114: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Bram. Bila ini yang terbaik untuk elsa kenapa

kau harus takut?”

“Aku sudah mengetahui beberapa kasus seperti

ini faris! Banyak pasien tak selamat karena

dokter salah mengambil langkah. Aku tak mau

elsa seperti itu.”

Ujung mata papaku basah oleh air matanya.

Lihatlah, sosok yang selama ini aku kenal

dengan sifat yang gagah beraninya, berpuluh

puluh bahkan beratus ratus orang sudah ia

tolong nyawanya. Kali ini, ia bahkan seperti

bisu. Tak bisa menentukan pilihan seperti yang

biasa ia lakukan untuk pasien lain.

“Kita tak akan salah langkah bram, aku

berkeahlian oleh penyakit ini, dan kau juga.

Apa yang sebenarnya kita takutkan?”

Dokter faris terus mendesak papaku,

membujuknya agar mengatakan kata ‘iya’

Papaku terdiam, tak menjawab apapun.

“Bram, apa salahnya kita mencoba?”

“Salah! Apa maksud mu mencoba? Kita jadikan

elsa bahan percobaan? Jika ini mengancam elsa,

Page 115: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

kau akan bertanggung jawab?!” Papaku terus

saja bersikeras mempertahankan alasannya.

“Tapi kau akan menyakiti elsa jika tindakan ini

tidak kita lalui. Pikirkan kata kata ku ini sekali

lagi. Tolonglah bram.”

Dokter faris hampir menyerah membujuk

papaku yang sangat keras kepala.

“Bram, yakinlah. Jika kita berusaha tidak akan

sia sia. Aku akan berusaha semaksimal

mungkin sebisaku, demi meminimalisir apa

yang kau takutkan. Aku akan mencobanya.”

“Lakukan jika itu memang untuk elsa, dokter

faris” aku yang dari tadi diam akhirnya ikut

bicara. Mantap mengatakan sedemikian pada

dokter faris.

Dokter faris tersenyum. Menepuk bahu papaku.

Sesegera mungkin ia cepat cepat berjalan

menuju ruang UGD tempat elsa beristirahat.

ððð

“Radioterapi, dinamakan demikian karena

proses pengobatan dibantu dengan

menggunakan peralatan yang mampu

Page 116: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

memancarkan radiasi dari sumber energi

radioaktif. Kadang kala jenis pengobatan ini

juga dikombinasikan dengan penanganan medis

seperti kemoterapi ataupun metode operasi.”

“Tujuan dari pengobatan ini adalah

menghancurkan jaringan sel kanker yang telah

terbentuk sehingga dapat menghambat

pertumbuhan, mengurangi ukuran dari sel

kanker juga mengurangi dampak dari serangan

kanker itu sendiri. Biasanya metode ini

dilakukan untuk tindakan pencegahan.”

“Radiasi mampu menghancurkan materi

genetika sel sehingga sel kanker tersebut tidak

dapat membelah diri dan berkembang.”

“Seperti yang ditakutkan bram sebelumnya,

tindakan dengan metode ini tidak hanya

menghancurkan jaringan sel kanker tapi juga

dapat merusak bahkan menghancurkan sel yang

sehat diarea yang terkena radiasi tersebut.”

“Apakah berakibat fatal bila sel sehat ikut

dihancurkan dok?” Ayah elsa bertanya,

penasaran.

Page 117: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Tentunya. Karena semua sel ikut

dihancurkan.”

“Tetapi tidak perlu khawatir, kami memiliki

tenaga ahli yang benar-benar kompeten

dibidangnya guna menghindari perluasan

radiasi kearea sel yang sehat. Kami akan

mengupayakan untuk memberantas sebanyak

mungkin sel kanker dan sebisa mungkin

menghindari sel yang sehat.”

Page 118: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Dua Puluh

Aku terdiam didipan ruangan ini. Terbaring

lemah, setelah sekian banyak darah yang keluar

dari hidungku. Aku mimisan kembali. Entah

mengapa aku hanya bisa meratapi nya. Ayahku

masih disampingku, dan juga dokter faris, om

bram. Ia masih diruangan ini. Dengan memakai

jas putih yang menandakan ia seorang dokter

dirumah sakit ini.

Seingatku, tadi masih siang. Mengapa sekarang

langit sudah gelap. Seingatku, tadi aku disebuah

taman dengan kupu kupu dan bunga nya yang

menawan, mengapa kini aku berada dalam

sebuah lingkup ruangan yang sesak dan tak

menarik. Seingatku, siang tadi aku baru saja

merasakan kegembiraan, mengapa kini aku

dalam keterpurukan?

“Ayah elsa sakit apa?”

“Elsa sakit apa yah?”

Mengapa jawaban kali ini berbeda? Ayah tidak

lagi menjawab dengan senyumannya seperti

saat ia menyetir mobil beberapa hari yang lalu?

Mengapa jawaban kali ini dijawab oleh dokter

faris. Mengapa ayah menangis?

Page 119: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

“Elsa harus sabar ya” Dokter faris tersenyum

dalam kekecewaan.

“Elsa terima semua yang Allah beri buat elsa.

Dokter, tolong. Tolong beri tahu elsa, elsa sakit

apa” aku berkaca kaca.

Itu pula yang dikatakan bunda saat ia tahu apa

sakitnya.

“Penyakit leukemia, seperti kebanyakan

penyakit keganasan atau kanker lainnya,

diakibatkan oleh kelainan kromosom sel yang

dapat diakibatkan oleh paparan zat radiasi, zat

karsinogenik zat penyebab kanker atau kelainan

genetik yang diturunkan dari orang tua.”

“Ciri-ciri penyakit leukimia pada stadium awal

yang mudah dikenali adalah saat penderita

terluka dan lukanya berdarah. Jika yang terluka

adalah orang normal, darah yang keluar dari

tubuh akan segera menggumpal dan aliran

darah yang keluar pun akan segera berhenti.

Akan tetapi jika yang terluka dan berdarah

adalah penderita leukimia atau kanker darah,

aliran darah akan sangat sulit dihentikan. Gejala

tersebut membuat penderita akan mengalami

kekurangan sel darah merah atau anemia. Dan

jika dilihat, darah yang dikeluarkan pun tidak

Page 120: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

berwarna merah pekat, melainkan berwarna

merah muda.”

Aku terdiam. Dokter faris melanjutkan

penjelasannya.

“Penderita leukimia saat masih dalam stadium

awal biasanya akan sering mengalami mimisan

atau pendarahan dari hidung. Penyebab

mimisannya pun berbeda dengan yang dialami

oleh orang normal yang tidak sakit leukimia.

Pada umumnya mimisan bisa diakibatkan

karena suhu badan yang sangat tinggi. Waktu

terjadinya pun biasanya hanya singkat dan

darahnya akan segera berhenti keluar. Akan

tetapi pada penderita leukimia, mimisan akan

sering terjadi dan tidak cepat berhenti, selain itu

peristiwa mimisan ini akan disertai dengan rasa

pusing yang sangat luar biasa.”

“Apa elsa sering merasakan pusing?” Ayah

bertanya padaku, dengan matanya yang

sembab. Setelah sekian lama ia menunduk.

Aku mengangguk pelan, tidak menjawab

dengan kalimat. Tetapi anggukanku sudah

menunjukkan jawaban yang jelas.

Ayah terlihat kecewa. Mengapa kamu

menyembunyikannya dari ayah? Itu mungkin

Page 121: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

yang dipertanyakan ayah kepadaku. Aku tidak

bermaksud seperti itu ayah, maafkanlah.

“Kanker darah akut berkembang dengan cepat

akibat penambahan jumlah sel darah putih yang

abnormal atau sel yang belum matang sehingga

tidak dapat berfungsi secara normal.

Pertumbuhan ini sangat pesat begitu pun

penyebarannya ke dalam aliran darah. Jenis ini

harus ditangani dengan segera. Jika dibiarkan,

tubuh akan kekurangan oksigen dan kekebalan

tubuh terhadap penyakit atau infeksi menurun.”

Dokter faris terus menjelaskan kepadaku.

“Sementara itu, kanker darah kronis

berkembang secara perlahan-lahan dan dalam

jangka panjang. Sel-sel darah putih yang

seharusnya sudah mati akan tetap hidup dan

menumpuk dalam aliran darah, sumsum tulang,

serta organ-organ lain yang terkait. Sel-sel ini

lebih matang sehingga dapat berfungsi dengan

baik untuk beberapa saat, Oleh karena itu,

gejalanya cenderung tidak segera dirasakan

sehingga baru terdiagnosis setelah bertahun-

tahun.”

“Kanker darah juga dapat dikategorikan

menurut jenis sel darah putih yang diserang.

Kanker darah yang menyerang sel-sel limfa

Page 122: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

dikenal dengan istilah leukemia limfotik dan

yang menyerang sel-sel mieloid disebut

leukemia mielogen.”

“Dokter, katakan saja elsa masuk kategori yang

mana” Aku tersenyum tipis dikelilingi orang

orang ini.

“Leukemia limfotik kronis atau chronic

lymphocytic leukemia, biasa disebut CLL.

Leukimia ini umumnya baru terdeteksi pada

stadium lanjut karena pasien cenderung tidak

merasakan gejala-gejalanya untuk waktu yang

lama.”

“Laa ilaa ha ilallah.” Aku tahu semua ini pasti

ada hikmahnya. Aku mengusap ujung mataku

yang basah. Tetap tersenyum. Meyakinkan ayah

bahwa aku tidak akan kenapa napa.

“Tidak usah risau elsa, leukimia bukanlah

penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Kami

akan melakukan Radioterapi, yaitu terapi

khusus untuk elsa agar dapat menghambat

pertumbuhan sel sel kanker ditubuh elsa”

Dokter bram dan dokter faris menyemangatiku.

Aku mengangguk, segera berterimakasih

kepadanya.

Page 123: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

ððð

“Sudahlah ayah, ini semua tidak untuk disesali.

Elsa tidak apa apa. Bunda sudah mengajarkan

elsa bagaimana elsa harus tabah dalam segala

hal.”

“Elsa yakin, dibalik semua ini, tuhan telah

mempersiapkan yang baik untuk elsa. Elsa

yakin.” Kataku sambil menggenggam tangan

ayah. Berkali kali meyakinkannya.

Page 124: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Dua Puluh Satu

Hari ini aku sudah boleh pulang, tidak lagi

didalam ruang perawatan yang sesak tersebut.

Aku sudah bisa berkumpul bersama teman

temanku. Dokter faris berpesan agar aku tidak

melakukan hal hal yang terlalu berat.

Rangga, masih sama. Hari ini, ia berangkat

bersama denganku. Kami sudah lumayan dekat

sejak saat ia mengantarku ke rumah sakit

malam itu. Ditambah lagi, ternyata ia anak

teman ayah.

Aku sudah tidak mengkritiknya seperti saat aku

kelas tujuh, semua kritikan ku tentangnya

ternyata salah. Ia anak yang baik, aku nyaman

berteman dengannya.

Aku berniat untuk minta maaf dengannya

setelah ini, berharap Rangga akan

memaafkanku setelah aku mengecamnya

dengan perkataan ku yang bisa dianggap tidak

pantas.

Badanku merasa baik, sudah tidak sering

mimisan seperti biasa. Hanya saat saat tertentu

kepala ku merasa pusing.

Page 125: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Hari ini jadwal ku untuk terapi yang pertama

kali. Terapi itu dilakukan dengan menggunakan

sinar X.

Seperti biasanya. Riza terus saja berceloteh

layaknya ia seorang burung beo yang sedang

kelaparan. Bertanya mengapa aku tidak masuk

kemarin, mengapa tidak menghubunginya. Ia

bertanya seakan akan ia khawatir sekali dengan

ku.

Tetapi semenit kemudian, ia menceritakan hal

yang berbeda. Tak lagi khawatir kepadaku.

Tentang apa kegiatannya saat aku menjadi

panitia kemah kemarin. Saat ia menonton

dramkor kesayangannya, menghabiskan

berpuluh puluh episode. Itu semua ia ceritakan

kepadaku.

Aku hanya menjawab datar iya? terus? seperti

itu hingga ia lelah bercerita.

Ia memang tidak mengetahui bila kemarin aku

masuk rumah sakit, melakukan rawat inap

sekitar satu hari disana.

“Dimas mana?” Aku melihat sekeliling

ruangan, ia tidak ada dari tadi.

Page 126: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Riza hanya menggerakkan bahunya, dan disusul

gelengan pelan dengan memasang wajah tak

tahu.

“Cari dimas yuk zaa” aku menarik tangan riza,

memaksa agar ia mau berdiri. Tetapi, karena ia

sudah menghadap laptop kesayangannya, dan

nyaris membuka folder dramkor ia benar benar

tak mau tahu apa yang akan kulakukan. Al

hasil, aku harus pergi sendiri mencari dimas

hari ini.

ððð

“Ada yang tahu dimas nggak?” aku menanyai

satu persatu orang yang kulewati. Dari lantai ke

lantai, hingga berjalan mondar mandir antar

lantai. Tidak ada satu orangpun yang

mengetahui dimas.

Pandanganku terpusat pada satu orang siswa

yang ada disudut lantai dua. Ia sedang berdiri

membelakangiku.

“Dimas?” aku berbicara degan suara lirih,

memastikan jika itu benar benar dimas.

Siswa itu menengok “Dimas!” aku tersenyum,

berlari kearahnya. Disaat itulah, pening

Page 127: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

dikepalaku semakin terasa. Aku merasakan nya

sangat dahsyat berbeda dengan biasanya.

“Elsaa!” siswa itu yang ganti berlari kearahku.

Menangkapku yang hampir saja terguling.

“Dimas kamu kemana aja?” Kataku yang masih

didekapan dimas.

“Itu nggak penting elsaa. Kamu sakit apa, ayo

kita kerumah sakit.” Dimas hampir menangis,

tak ada satu orang pun diloteng ini kecuali

kami.

Darah segar kembali keluar dari hidungku. Aku

semakin merasakan pusing yang luar biasa.

Akhirnya aku meng iya kan kalimat dimas. Kita

segera menuju rumah sakit.

ððð

Dimas menelfon ayahku sesegera mungkin,

memakai telefonku. Aku diantarnya pulang,

niat untuk menemui ayahku gagal. Karena

ayahku tidak ada dirumah.

Dimas yang mengetahui aku lemas tak berdaya

sesegera mungkin meminjam telephone

genggam ku.

Page 128: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Dimas panik, karena semakin banyak darah

yang keluar dari hidungku. Krudung sekolah

yang putih kini sudah tercampur dengan darah

segar yang terus mengalir dari hidungku.

“Elsa are you okay?” dimas sangat cemas. Aku

hanya mengangguk pelan, kepalaku pusing

sedari tadi. Belum berhenti.

Suara mesin mobil ayah terdengar setelah nya.

Sesegera mungkin ayah mengangkatku yang

saat itu masih memakai seragam lengkap.

Dimas juga ikut masuk kedalam mobil.

Motornya ia tinggal digarasi rumahku.

ððð

Aku masih tersadar ketika aku digledek masuk

dalam ruangan perawatan. Suster suster

menyuruhku sedikit mendongak, bertujuan

untuk menghambat darahnya agar tidak terlalu

keluar banyak.

Ayah sudah diluar, hanya ada aku dan beberapa

suster didalam ruangan. Menunggu dokter faris

masuk menanganiku.

Radioterapi akan segera dimulai. Tidak ada

persiapan khusus untukku. Hanya dari dokter

Page 129: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

dan perawat yang sibuk mengurus berbagai

alatnya.

Disudut ruangan, kulihat ada satu benda

berukuran lumayan besar. Mungkin itu yang

akan menjadi alat radioterapiku.

Aku memejamkan mata, sungguh takut melihat

alatnya yang besar. Entah apa yang akan

dilakukan dokter faris. Bibirku tak henti

hentinya mengucap Laa ilaa ha ilallah. Sama

persis seperti yang bunda ajarkan padaku.

Page 130: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Dua Puluh Dua

Satu tahun kemudian...

Rambutku semakin tipis, radioterapi yang

dilakukan padaku menyebabkan aku menjadi

seperti sekarang. Tak masalah, aku masih

memakai krudung. Aku tetap cantik kata ayah,

walau tak memiliki rambut selebat dulu.

Kulitku pun banyak yang lebam. Hitam legam.

Untungnya aku memakai baju panjangku yang

menutupi aurat serta menutupi hitam hitam

pada tubuhku.

Aku tidak malu dengan kondisi tubuhku,

sedikitpun tak pernah merasa seperti itu.

Dukungan dari berbagai pihak yang

menguatkan ku.

Tetapi berkali kali aku rapuh, merasakan lara

yang luar biasa. Air mataku terjatuh. Keputus

asaan sering sekali kutemui ditengah jalan.

Riza kini telah mengetahui apa sakitku. Ia

sudah tidak pernah lagi mengomel dalam hal

yang tidak penting. Ia sekarang sering

menjemputku ketika sekolah. Menjaga ku

ketika dikelas. Sekarang, omelannya muncul

Page 131: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

ketika aku melakukan hal yang memberatkan

tubuhku.

Ia selalu memintanya dariku. Dengan alis yang

bersungut sungut tanda mengancam bila aku

tidak patuh kepadanya.

Aku, dimas dan riza terus bersahabat hingga

kami duduk dikelas sembilan sekarang.

Meskipun kelas ku dan dimas berbeda, dimas

sering mengunjungiku. Membawakan makanan

ringan yang ia beli dikantin.

Rangga, hampir setiap hari kami chatting-an.

Menanyakan hal hal dari yang penting sampai

sama sekali tidak penting. Bercanda bersama.

Aku sudah meminta maaf padanya atas kata

kataku. Dulu saat aku kelas delapan. Rangga

bahkan hanya tertawa ketika aku menceritakan

nya.

Ia orang yang santai dan pemaaf. Itu yang aku

sukai darinya.

Bulan bulan berikutnya terus aku jalani.

Sekarang, tidak ada rambutku yang tersisa.

Kata riza, aku akan merasakan sejuk jika seperti

ini. Benar saja, aku malah lebih nyaman dengan

Page 132: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

ini semua. Toh, aku dapat menutupinya dengan

krudungku.

Langit senja dibulan november ini membuatku

bahagia. Alangkah indahnya perjalanan

sederhana ku dari awal. Walau banyak

rintangan yang kutemukan.

Aku bersyukur, memiliki sahabat seperti dimas

dan riza. Bersyukur pula bertemu rangga, orang

pertama yang mengajariku tertawa atas ejekan

orang lain.

Aku belajar banyak dari mereka semua. Tanpa

mereka hidup ku tidak akan sekuat sekarang.

Rindu pada bunda sering sekali kurasakan.

Kemarin, aku dan ayah berziarah ke makam

bunda. Rangga dan keluarga nya pun ikut.

Kini aku tahu. Mengapa bunda selalu

mengajariku tabah dalam segala hal. Kini aku

tahu, mengapa bunda selalu tersenyum kala ia

bersedih sekalipun.

Menangis tidak akan mengurangi kesedihan

yang kita miliki. Justru itu semua menambah

kegelisahan dalam hati.

Page 133: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku bersyukur, dikenalkan dengan penyakit

leukimia. Bersyukur dapat berjuang

mempertahankan hidup dan matiku disitu.

Dokter faris terus bersabar dalam menanganiku.

Om bram, selalu memberikan semangat padaku.

Berkali kali masuk rumah sakit tidak

membuatku risau. Aku bertemu orang banyak

disini. aku bahkan lebih beruntung dari nya.

Tuhan menganugerahkan semuanya ini

kepadaku.

Terimakasih, tuhan.

Aku akan berjuang lagi setelah ini.

ððð

Page 134: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Aku bahagia,

Bisa mengenalmu dan belajar mengertimu

Walau akhirnya aku berusaha

mengikhlaskanmu

Aku bahagia,

Mempunyai sahabat yang sangat baik

Bagiku itu cukup

Aku bahagia,

Karena dari perjalanan sederhana ini

Aku menemukan banyak orang luar biasa disini

Aku bahagia,

Bahagia bukan tergantung oleh seberapa

banyak hartamu, cintamu, tahtamu

Tapi bahagia itu timbul dari bagaimana kamu

dapat mensyukuri apa yang kamu miliki

sekarang

Terimakasih

Orang orang terindah dalam hidupku

Membuat aku sekuat sekarang

Terimakasih

Orang orang terindah dalam hidupku

Membuat aku sebahagia sekarang

Page 135: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Epilog

Hari ini aku bersiap untuk tanding tingkat

nasional. Persiapan fisik yang ku jalani selama

kurang lebih tiga bulan berbuah memuaskan.

Aku dan tim ku lolos seleksi tingkat provinsi,

berhasil membawa nama baik kota ku.

Elsa, ayahnya, serta mama papa ku melihatku

bangga dari tribun. Bersorak menyemangatiku.

Elsa, gadis yang sebenarnya pertama kutemui

saat aku masih kecil, yang memberikan sandal

iron man ku yang hilang dirumah sakit, tak

pernah kusangka bahwa aku akan

mengaguminya hingga sekarang.

Tante mira yang sangat aku sayang, ternyata

bunda elsa. Elsa persis seperti ibunya, sangat

tabah meski dihadang oleh berbagai cobaan.

Aku bahagia tuhan. Dengan apa yang telah kau

beri selama ini padaku. Aku tidak lagi menyesal

bersekolah disekolahku, bisa bertemu orang

sehebat elsa, itu adalah anugerah yang luar

biasa. Aku mensyukuri apa yang telah engkau

beri.

Page 136: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Elsa mengajarkan banyak padaku. Mengubah

banyak akan sikapku. Terimakasih, tuhan.

ððð

Keadaanku mulai membaik, berkat dukungan

yang orang orang berikan. Bahkan hari ini, aku

diizinkan ayah untuk melihat rangga tanding.

Kami berangkat berempat. Mama papa rangga,

aku dan ayah.

Dokter faris tetap berpesan, aku tidak boleh

melakukan aktivitas yang memberatkan

tubuhku sendiri.

Besok lusa, terapi itu akan diberikan lagi

padaku. Semoga tuhan selalu melimpahkan

kesehatan kepadaku.

ððð

Page 137: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Ucapan Terimakasih

• Allah SWT yang telah melimpahkan segala

nikmatnya kepada saya, memberikan kesehatan

lahir dan batin hingga saat ini sehingga saya

dapat menulis novel ini dengan baik.

• Bapak Sunaryadi, selaku pembimbing dalam

pembuatan karya ini.

• Semua pihak yang selalu membantu dan

menyemangatiku.

• Ayah dan Mama, yang selalu bersedia

menjawab pertanyaan pertanyaanku tentang

penyakit hemofilia, memberikan gambaran luas

bahaya serta gejala gejalanya.

• Bagas, yang tak henti hentinya memberikan

dukungan kepadaku. Bantuan inspirasi dan

motivasi. Jujur, tanpa nya aku mungkin tidak

akan mengerjakan novel ini dengan baik, karena

keputus asaanku.

• Dara pramesta, adik kelas yang selalu menerima

segala curhatanku.

• Teman teman 9A, yang terus menghiburku.

Menjadi pelepas penat yang paling ampuh. Love

you both

• Tak lupa ibu aning hidayati, dan bpk turaji.

Mbah uti dan mbah kakungku yang sangat aku

cintai. Semoga Allah selalu memberikan

rahmatnya untukmu. Semoga engkau tenang

disisi Allah. Alfaatihah...

Page 138: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

• Dan juga para pembaca, terimakasih banyak.

Tulisan sederhana ini untuk kalian semua, semoga

dapat menginspirasi .

Page 139: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Tentang Penulis

Aghnia Setya. Lahir di Ponorogo pada 28

september 2001. Hobinya jauh dari kata

menulis, bahkan sedari kecil ia tak pernah

menyukai menulis. Ia baru tertarik pada sastra

saat menduduki kelas 9. Mulai dari menulis

beberapa cerita pendek, menulis berbagai

macam opini dan lain lain. Ia juga pernah

menjadi Finalist NEO (National English

Olympiad) pada tahun 2015 yang

diselenggarakan di UNIBRAW Malang. Pernah

juga mengikuti Speech Contest National di

Page 140: Prolog Aku mengenakan almamater sekolah ini. Berjalan ...

Universitas Negeri Solo atau Universitas

Sebelas Maret pada tahun 2014. Walaupun

belum pernah meraih juara atas itu semua, ia

tidak pernah putus asa. Ibunya selalu

meyakinkannya, bahwa kegagalan adalah

sukses yang tertunda. Novel ini adalah karya

pertama penulis, masih banyak kekurangan

tentunya.

Kritik & Saran bisa dikirim via

e-mail [email protected]

instagram @aghniaa__