EFEKTIVITAS PIPA BERPROFIL SEGIEMPAT DENGAN SIRIP DI BAGIAN DALAM PADA KASUS 2 DIMENSI KEADAAN TAK TUNAK Tugas Akhir Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Program Studi Teknik Mesin Disusun oleh : Yohanes Johan Cahyadi NIM 055214002 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
EFEKTIVITAS
PIPA BERPROFIL SEGIEMPAT DENGAN SIRIP DI BAGIAN DALAM
PADA KASUS 2 DIMENSI KEADAAN TAK TUNAK
Tugas Akhir
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Program Studi Teknik Mesin
Disusun oleh :
Yohanes Johan Cahyadi
NIM 055214002
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
ii
THE EFFECTIVENESS
OF INNER-FINNED RECTANGULAR TUBE
IN 2 DIMENSIONAL UNSTEADY STATE CASES
Final Project
Presented As Partial Fulfillment Of The Requirement
As To Obtain The Sarjana Teknik Degree in Mechanical Engineering
Disusun oleh :
Yohanes Johan Cahyadi
Student Number: 055214030
MECHANICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM SCIENCE AND TECHNOLOGY FACULTY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
2009
iii
iv
v
PERNYATAAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa dalam Tugas Akhir berjudul
"Efektivitas Pipa Berprofil Segiempat Dengan Sirip Di Bagian Dalam Pada Kasus
2 Dimensi Keadaan Tak Tunak" tidak terdapat karya yang pernah diajukan dan
dibuat di perguruan tinggi manapun. Sepanjang pengetahuan penulis tidak
terdapat pula karya atau pendapat yang pernah diterbitkan, ditulis, atau cara
publikasi lain, kecuali mengambil atau mengutip data yang disebutkan di
dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 8 Juni 2009
Penulis
Yohanes Johan Cahyadi
vi
INTISARI
Perkembangan teknologi perpindahan panas sering melibatkan sirip sebagai media penghantar panas karena kemampuannya dalam meningkatkan laju aliran panas. Pada saluran penukar panas, sirip biasa dipasang pada bagian luar permukaan pipa. Penelitian ini bertujuan membandingkan panas yang dilepas keluar saluran pada pipa segiempat bersirip di bagian dalamnya dengan pipa segiempat tanpa sirip dari waktu ke waktu, serta mengetahui pengaruh harga koefisien konveksi dalam saluran hD terhadap efektivitas saluran. Benda uji pertama adalah model pipa segiempat bersirip dalam dengan dimensi 40 mm 40 mm, ketebalan 4 mm, sepanjang 1 meter. Sirip berdimensi 4 mm 10 mm terletak pada tiap sisi dalam saluran. Benda uji kedua adalah pipa dengan dimensi yang sama namun tanpa sirip di dalamnya. Dengan x = 1 mm. Saluran berbahan aluminium, fluida panas mengalir di dalam saluran dengan hD = 200 W/m2 oC, fluida dingin di luar saluran dengan hL = 200 W/m2 oC. Mula-mula pipa bersuhu = Ti, secara tiba-tiba dikondisikan dalam lingkungan dengan suhu fluida dalam = Tf dan suhu fluida luar = T. Sifat-sifat bahan seperti massa jenis massa jenis (ρ), panas jenis (c) dan konduktivitas termal (k) diasumsikan seragam (tidak merupakan fungsi posisi) dan tetap (tidak berubah terhadap waktu). Benda tidak mengalami perubahan bentuk dan volume selama proses berlangsung. Perpindahan panas konduksi yang terjadi di dalam sirip berlangsung dalam 2 arah yaitu x dan y. Tidak terdapat pembangkitan energi pada pipa. Nilai hD dan hL tetap dan merata. Suhu fluida di dalam dan di luar saluran nilainya tetap (Tf dan T∞ tetap) dan seragam. Metode yang digunakan adalah metode beda hingga cara eksplisit, yang dipermudah perhitungan dengan membagi benda uji menjadi 1/8 bagian. Penyelesaian dengan membandingkan panas yang dilepas saluran bersirip terhadap saluran tanpa sirip dari waktu ke waktu dengan variasi pengkondisian harga hD saja, hL saja, dan bahan saja terhadap kondisi standar, juga membuktikan pengaruh variasi harga hD terhadap efektivitas saluran.
Diperoleh kesimpulan bahwa besar laju perpindahan panas pada saluran bersirip lebih besar harganya daripada saluran tanpa sirip. Pada saat tunak untuk kondisi awal, hD = 50 W/m2 oC, hD = 500 W/m2 oC, hL = 50 W/m2 oC, hL = 500 W/m2 oC, pipa bahan besi murni, pipa bahan tembaga, n
finQ berturut-turut 1897,2 watt/m, 1239,1 watt/m, 2122,4 watt/m, 552,1 watt/m, 3697,2 watt/m, 1859,8 watt/m, 1907,7 watt/m, sedangkan n
nofinQ berturut-turut 1035,1 watt/m, 388,9 watt/m, 1551,3 watt/m, 444,4 watt/m, 1410,8 watt/m, 1030,8 watt/m, 1036,3 watt/m. Efektivitas saluran akan semakin turun seiring bertambahnya harga hD. Saat t = 180 detik, efektivitas saluran menurun sesuai dengan pendekatan persamaan = 2E-08(hD)4 – 7E-06(hD)3 – 0,060(hD) + 4,755 untuk rentang hD = 10 – 100 W/m2 oC dan = 11,93(hD)-0.35 untuk rentang hD = 100 – 500 W/m2 oC.
vii
viii
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan atas segala rahmat dan bimbingan-Nya penulis mampu
menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “Efektivitas Pipa Berprofil Segiempat
Dengan Sirip Di Bagian Dalam Pada Kasus 2 Dimensi Keadaan Tak Tunak”.
Banyak suka dan duka yang penulis alami selama penulisan Tugas Akhir
ini dan semuanya memunculkan kesan berharga. Betapa waktu itu berharga,
betapa peran orang tua itu berharga, dan betapa kehadiran teman serta saudara
berharga dalam pembentukan pribadi. Karenanya penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Yosef Agung Cahyanta S.T., M.T., selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Sanata Dharma.
2. Budi Sugiharto S.T, M.T., selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin dan
Dosen Pembimbing Akademik.
3. Ir. P. K. Purwadi, M.T., selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir yang telah
memberikan bimbingan, motivasi, dan pandangan hidup yang positif kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.
4. Ayahku, Stefanus Bandono; dan Ibuku, Lie Fong Ing; dan kakak perempuanku
yang tercinta, Christie Maria; yang selalu mendoakan, memberi semangat, dan
dorongan untuk selalu menjadi yang terbaik.
Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam penyusunan karya
ilmiah ini, namun penulis berharap karya tulis ini bisa membawa manfaat bagi
ix
banyak orang terutama perkembangan teknologi di Indonesia. Dengan rendah hati
penulis akan menerima setiap kritik dan saran yang membangun serta
mengucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 8 Juni 2009
Yohanes Johan Cahyadi
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................ v
INTISARI ............................................................................................................. vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN .................................................. vii
KATA PENGANTAR .........................................................................................viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK .................................................................. xv
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah ...................................................................................... 5
1.2.1 Bentuk Geometri ............................................................................ 5
1.2.2 Model Matematik ........................................................................... 6
1.2.3 Kondisi Awal ................................................................................. 6
1.2.4 Kondisi Batas ................................................................................. 6
Kuarsa 41,6 820 Magnesit 4,15 1130 Batu pasir 1,83 710
Kaca 0,78 880 Kayu mapel 0,17 240
zat cair
Air raksa 8,21 1430 Air 0,556 4225
Gas
H 0,175 14314 He 0,141 5200
Udara 0,024 1005 Uap air jenuh 0,0206 2060
(J.P. Holman, 1997, hal.7)
13
2.2.2 Difusivitas Termal
Difusivitas termal atau kebauran termal merupakan sebuah parameter yang
cukup penting dalam perpindahan panas konduksi. Makin besar angka difusivitas
termal dalam sebuah medium maka makin cepat panas membaur dalam medium
tersebut.
ck.
………………………………………………………...….......(2.2)
Dimana :
α = difusivitas termal bahan (m2/s)
k = konduktivitas termal bahan (W/m.°C)
ρ = densitas (kg/m3)
c = panas jenis medium (J/kg.°C)
Nilai α yang besar dapat berarti 2 hal : pertama, nilai konduktivitas termal
yang tinggi menunjukkan laju perpindahan panas yang pesat; atau yang kedua,
nilai kapasitas panas termal (thermal heat capacity) ρc yang rendah. Nilai
kapasitas panas termal yang rendah berarti energi yang berpindah melalui bahan
tersebut yang digunakan untuk menaikkan suhu jumlahnya lebih sedikit, sehingga
energi yang dapat dipindahkan lebih banyak.
14
2.3 Perpindahan Panas Konveksi
Perpindahan panas konveksi merupakan transpor energi dengan kerja
gabungan dari konduksi panas, penyimpanan energi, dan gerakan campuran.1
Konveksi sangat penting sebagai mekanisme perpindahan energi antara
permukaan benda padat, cair, atau gas. Perpindahan panas konveksi dapat dilihat
seperti pada gambar (2.2). Persamaan perpindahan panas konveksi dapat dilihat
dari persamaan (2.2), persamaan ini merupakan persamaan umum untuk setiap
kondisi perpindahan panas konveksi.
TTh.A.q w ...……………...…………….……….……..…….....(2.3)
Keterangan :
q = Laju perpindahan panas (Watt)
h = Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2 oC)
A = Luasan permukaan benda yang bersentuhan dengan fluida (m2)
T∞ = Suhu fluida (oC)
Tw = Suhu permukaan benda (oC)
Gambar 2.2. Perpindahan Panas Konveksi
1 R. Fernando Wisnu Wardana, Laju Perpindahan Kalor Dan Efektivitas Sirip Kasus 1 Dimensi, Bentuk Geometri Sirip Benda Putar Dengan Fungsi y = 1/x Nilai k = k (t), 13
15
Perpindahan panas konveksi dapat terjadi apabila ada medium yang
bersifat bergerak, misal: angin, air, minyak, dan lain-lain. Suatu peristiwa
perpindahan panas konveksi akan menjadi bervariasi, tergantung dari beberapa
faktor antara lain kecepatan aliran fluida, jenis fluida yang mengalir, dan kondisi
aliran (bebas atau paksa), serta bentuk dari benda yang bersinggungan dengan
fluida.
2.3.1 Angka Reynolds
Angka Reynolds merupakan suatu bilangan tak berdimensi yang mewakili
karakteristik fluida yang terlibat perpindahan panas konveksi. Dalam berbagai
kasus konveksi paksa, angka Reynolds ini digunakan sebagai penentu jenis aliran
yang terjadi, apakah laminar atau turbulen.
2.3.1.1 Angka Reynolds untuk Kondisi Plat Datar
Penggambaran sederhana peristiwa konveksi dapat diambil contoh pada
aliran konveksi plat datar. Daerah aliran yang terbentuk dari tepi depan plat itu,
dimana terlihat pengaruh viskositas, disebut lapisan batas (boundary layer). Pada
permulaan, pembentukan lapisan batas itu laminar, tetapi pada suatu jarak kritis
dari tepi depan, bergantung dari medan aliran dan sifat-sifat fluida, gangguan-
gangguan kecil tersebut membesar dan mulailah terjadi proses transisi hingga
aliran menjadi turbulen. Daerah aliran turbulen dapat digambarkan sebagai
kocokan rambang di mana gumpalan fluida bergerak ke sana ke mari di segala
arah.
16
Gambar 2.3. Berbagai Daerah Aliran Lapisan Batas di Atas Plat Rata
Dalam kondisi umum, aliran fluida bertransisi dari laminar menjadi
turbulen terjadi apabila :
5105.
xu
υxu
…………………………………………..…….(2.4)
Dimana
u∞ = kecepatan aliran bebas (m/s)
x = jarak dari tepi depan (m)
υ = µ/ρ = viskositas kinematik (m2/s)
Pengelompokan khas di atas disebut angka Reynolds, dan angka ini tak
berdimensi apabila untuk semua sifat-sifat di atas digunakan perangkat satuan
yang konsisten.
υxu
xRe …………………………………………………………...(2.5)
Dengan Rex adalah angka Reynolds pada aliran konveksi plat datar.
17
2.3.1.2 Angka Reynolds untuk Kondisi Aliran Dalam Saluran
Pada beberapa kasus perpindahan panas konveksi melibatkan aliran fluida
dalam saluran pipa, misalnya pada alat penukar panas. Pada kondisi aliran fluida
dalam saluran parameter jarak yang berpengaruh terhadap perhitungan adalah
diameter saluran.
υdu
dRe ……………………………………………..…………….(2.6)
Dimana :
Red = Angka Reynolds pada aliran dalam saluran
u∞ = kecepatan aliran bebas (m/s)
d = diameter saluran (m)
υ = µ/ρ = viskositas kinematik (m2/s)
Gambar 2.4. Profil Kecepatan Aliran Dalam Tabung
(A) Aliran Laminar dan (B) Aliran Turbulen
18
Pada gambar tampak suatu model aliran dalam tabung. Terlihat pada
waktu masuk, terbentuk suatu lapisan batas. Lama-kelamaan, lapisan batas ini
memenuhi seluruh tabung, dan kita katakan aliran itu sudah berkembang penuh.
Jika aliran itu laminar, profil kecepatan itu terbentuk parabola, bila aliran turbulen
maka profil aliran berbentuk tumpul.
Angka Reynolds ini digunakan sebagai kriteria untuk menunjukkan apakah
aliran dalam tabung atau pipa itu laminar atau turbulen. Pada :
2300Re
υdu
d …………………………………………………..(2.7)
aliran itu biasanya turbulen (Holman, 1997, hal. 195).
2.3.1.3 Angka Reynolds untuk Kondisi Aliran di Luar Saluran
Pada beberapa kasus, aliran fluida terdapat di luar benda (pipa saluran,
tabung, atau silinder). Kasus ini tidak beda jauh dengan kasus aliran dalam pipa
saluran, perhitungan angka Reynolds serupa.
υdu
dfRe ……………………………………………………..……(2.8)
Dimana :
Redf = Angka Reynolds pada aliran di luar saluran
u∞ = kecepatan aliran bebas (m/s)
d = diameter saluran (m)
υ = µ/ρ = viskositas kinematik (m2/s)
19
2.3.2 Angka Prandtl
Angka Prandtl merupakan perbandingan antara besar viskositas dinamik
fluida dengan konstanta α. Angka ini muncul dari penerapan kondisi batas δt = 0
dan x = 0 pada persamaan diferensial linear orde pertama dari ζ. ζ adalah rasio
ketebalan lapisan batas termal terhadap ketebalan lapisan batas hidrodinamik.
Teori lapisan batas ini diperkenalkan oleh Ludwig Prandtl, seorang ahli
kebangsaan Jerman. Angka Prandtl adalah besaran tak berdimensi apabila kita
menggunakan perangkat satuan yang konsisten.
ff kµ
ρkμ/ρ
αυ Cp.
Cp./Pr ……………………………………………(2.9)
Dengan :
Pr = angka Prandtl
υ = viskositas kinematik (m2/s)
α = difusivitas termal bahan (m2/s)
kf = konduktivitas termal fluida (W/m.°C)
µ = viskositas dinamik (kg/m.s)
ρ = densitas fluida (kg/m3)
Cp = panas jenis fluida pada tekanan konstan ( kJ/kg.°C)
Angka Prandtl ini juga merupakan parameter yang menghubungkan
ketebalan relatif antara lapisan batas hidrodinamik dan lapisan batas termal.
Viskositas kinematik fluida memberikan informasi tentang laju difusi momentum
dalam fluida karena gerakan molekul. Difusivitas termal bahan memberi petunjuk
tentang hal yang serupa mengenai difusi panas dalam fluida. Jadi perbandingan
20
antara keduanya menunjukkan besaran relatif antara difusi momentum dan difusi
panas dalam fluida.
2.3.3 Konveksi Bebas
Konveksi bebas atau konveksi alamiah adalah konveksi yang terjadi
karena fluida yang mengalami proses pemanasan atau pendinginan berubah
densitasnya (kerapatannya). Perbedaan kerapatan mengakibatkan fluida yang
berat akan mengalir ke bawah dan fluida yang ringan mengalir ke atas. Gerakan
fluida dalam konveksi bebas terjadi akibat gaya apung (buoyancy force) yang
dialaminya, apabila kerapatan fluida di dekat permukaan perpindahan panas
berkurang sebagai akibat proses pemanasan. Gaya apung itu tidak akan terjadi
apabila fluida tersebut tidak mengalami suatu gaya dari luar, misalnya gaya
gravitasi, walaupun gravitasi bukanlah satu-satunya medan gaya luar yang dapat
menghasilkan arus konveksi bebas. Gaya apung yang menyebabkan arus konveksi
bebas disebut gaya badan (body force).2
2 Bdk. Koestoer, Raldi A., Dr. Ir.. “PERPINDAHAN KALOR Untuk Mahasiswa Teknik”. Salemba Teknika, Jakarta 2002. 85-86.
21
Gambar 2.5. Konveksi Bebas Pada Lapisan Batas Di Atas Plat Rata Vertikal
Pada sistem konveksi bebas kita akan sering bertemu dengan bilangan tak
berdimensi yang disebut angka Grashof (Gr). Bilangan ini merupakan penurunan
angka Prandtl yang didefinisikan sebagai :
2
3
υLTTgβGr w
……………………………………………….....(2.10)
Dengan :
g = percepatan gravitasi (m/s2)
L = dimensi karakteristik (m)
υ = viskositas kinematik (m2/s)
β = koefisien ekspansi volume (K-1)
= µl
υυ
1 = T
1 (khusus gas ideal); T adalah suhu mutlak
22
Angka Grashof (Gr) dapat ditafsirkan secara fisis sebagai suatu gugus tak
berdimensi yang menggambarkan perbandingan antara gaya apung dengan gaya
viskos di dalam sistem aliran konveksi bebas. Peranannya sama dengan angka
Reynolds dalam sistem konveksi paksa dan merupakan variabel utama yang
digunakan sebagai kriteria transisi dari aliran batas laminar menjadi turbulen.
2.3.4 Konveksi Paksa
Proses perpindahan panas konveksi paksa ditandai dengan adanya fluida
yang bergerak dikarenakan adanya alat bantu. Alat bantu tersebut dapat berupa
kipas angin, fan, blower, pompa, dll. Dalam praktiknya konveksi paksa ini
diaplikasikan untuk mempercepat aliran fluida (U∞).
Gambar 2.6. Aliran Fluida pada Bidang Datar
2.3.5 Angka Nusselt
Seorang ilmuwan bernama Wilhelm Nusselt, yang memberikan banyak
sumbangan dalam teori perpindahan panas konveksi, menemukan sebuah
persamaan yang termasuk kelompok tak berdimensi. Dalam praktiknya angka ini
23
dipakai dalam pencarian harga koefisien konveksi untuk setiap kasus tertentu,
sebab setiap kasus mempunyai bilangan Nusselt tersendiri.
fkxh.Nu ……………………………………………………………..(2.11)
Dimana :
h = koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2.°C)
x = parameter jarak (m)
kf = konduktivitas termal fluida (W/m.°C)
Pada konveksi bebas, aliran fluida terjadi karena berubah densitasnya
akibat mengalami pemanasan atau pendinginan. Angka Nusselt pada kasus aliran
konveksi merupakan fungsi dari bilangan Reynolds dan Grashof.
mfff C PrGrNu ……………………………………………….(2.12)
Dimana :
fNu = harga Nusselt rata-rata untuk berbagai situasi konveksi bebas
C & m = konstanta yang ditentukan dari data percobaan
Subskrip f menunjukkan bahwa sifat-sifat untuk gugus tak berdimensi dievaluasi
pada suhu film.
2w
fTTT
…………………………………………………………(2.13)
Dimana :
Tf = suhu film (°C)
24
T∞ = suhu fluida sekitar benda (°C)
Tw = suhu benda yang bersinggungan dengan fluida (°C)
Produk perkalian antara angka Grashof dan angka Prandtl disebut angka Rayleigh.
Ra = Gr Pr ……………………………………………………………(2.14)
Pada konveksi paksa, aliran fluida yang terjadi adalah akibat dari adanya
alat bantu. Pada konveksi paksa, angka Nusselt merupakan fungsi dari angka
Reynold dan Prandtl.
nmC PrReNu ……………………………………………………..(2.15)
Dimana C, m, dan n adalah konstanta yang ditentuan dari percobaan.
2.3.5.1 Angka Nusselt pada Kasus Plat Datar
Pada teori perpindahan panas konveksi plat datar, Wilhelm Nusselt
memberikan rumus berikut :
31
43
031
21
1PrRe332,0Nu
xx
xx ……………………………..(2.16)
Atau, untuk kondisi plat yang dipanaskan pada keseluruhan panjangnya,
x0 = 0
31
21
PrRe332,0Nu xx ……………………………………………...(2.17)
31
21
Cp332,0.
ff
x
kυxu
kxh ……………………………………...(2.18)
25
Dimana :
Nux = angka Nusselt untuk kondisi aliran konveksi plat datar
Rex = angka Reynolds pada aliran konveksi plat datar
Pr = angka Prandtl
hx = koefisien konveksi rata-rata pada plat datar (W/m2.°C)
x = posisi aliran (m)
kf = konduktivitas termal fluida (W/m.°C)
2.3.5.2 Angka Nusselt pada Aliran Dalam Saluran
Aliran dalam saluran tertutup melibatkan suhu limbak (bulk temperature),
yaitu suhu fluida yang dirata-ratakan energinya di seluruh penampang tabung.
Dalam aliran tabung, koefisien perpindahan panas konveksi biasanya
didefinisikan sebagai fluks panas lokal.
bw TThq" lokal panas Fluks …………………………………(2.19)
Dimana :
Tw = suhu dinding (°C)
Tb = suhu limbak (°C)
Suhu limbak ini digunakan dalam perumusan koefisien perpindahan panas
konveksi dalam aliran tabung dengan alasan dalam aliran tabung tidak terdapat
kondisi aliran bebas yang jelas seperti pada aliran di atas plat rata. Untuk
kebanyakan soal perpindahan panas pada aliran tabung atau aliran saluran,
masalah yang menjadi pokok perhatian ialah energi total yang dipindahkan ke
26
fluida, baik dalam panjang unsuran saluran tabung maupun panjang keseluruhan
saluran. Namun pada dasarnya suhu limbak dapat dicapai saat dibiarkan mencapai
keseimbangan.
Untuk aliran turbulen yang sudah jadi atau berkembang penuh (fully
developed turbulent flow) dalam tabung licin, oleh Dittus dan Boelter disarankan
persamaan berikut :
ndd Pr.Re023,0Nu 8.0 ……………………………………………….(2.20)
Untuk persamaan ini sifat-sifat ditentukan pada suhu fluida limbak dan nilai
eksponen n adalah sebagai berikut.
n anasan untuk pem,
dinginan untuk pen, 4030
Untuk kondisi aliran dalam saluran, angka Nusselt dapat dinyatakan dalam
persamaan koefisien konveksi.
f
d kdh 0.Nu …………………………………………………………..(2.21)
Sehingga
nd
fkdh
Pr.Re023,0. 8.00 ……………………………………………….(2.22)
Dimana :
Nud = angka Nusselt pada aliran dalam saluran
h = koefisien konveksi rata-rata (W/m2.°C)
d0 = diameter dalam saluran
27
kf = konduktivitas termal fluida (W/m.°C)
2.3.5.3 Diameter Hidraulik
Penampang dalam saluran tidak selalu berbentuk lingkaran, oleh sebab itu
korelasi perpindahan panas tersebut didasarkan atas diameter hidraulik DH, yang
didefinisikan sebagai :
PADH
4 ……………………………………………………………..(2.23)
Dengan :
A = luas penampang aliran (m2, mm2)
P = perimeter basah/keliling penampang saluran saluran (m, mm)
Pengelompokan ini dilakukan karena menghasilkan diameter fisis yang
sebenarnya apabila diterapkan pada penampang berbentuk lingkaran. Diameter
hidraulik harus digunakan dalam menghitung angka Nusselt dan angka Reynolds,
dan dalam menentukan koefisien gesek yang akan dipergunakan dalam analogi
Reynolds. Dengan adanya perhitungan diameter hidraulik ini maka perbedaan
profil penampang saluran dapat disesuaikan.
Dalam kasus aliran dalam saluran yang turbulen pada saluran non-silindris,
rumus Nusselt menjadi :
f
Hd k
Dh.Nu ………………………………………………………….(2.24)
Variabel diameter hidraulik menggantikan parameter diameter dalam perhitungan.
28
Sedang untuk kasus aliran dalam saluran yang laminer pada saluran non-
silindris perhitungan angka Nusselt telah disederhanakan oleh Shah dan London.
Mereka telah menghimpun informasi tentang gesekan fluida dan perpindahan
panas untuk aliran laminar berkembang penuh di dalam saluran dengan berbagai
bentuk penampang. Berikut daftar berbagai bentuk penampang tersebut.
Tabel 2.2. Perpindahan Panas dan Gesekan Fluida untuk Aliran Laminar
yang Berkembang Penuh dalam Saluran dengan Berbagai Penampang.
Geometri (L/DH > 100) NuH1 NuH2 NuT f Re
3,111 1,892 2,47 13,333
3,608 3,091 2,976 14,227
4,002 3,862 3,34 15,054
4,123 3,017 3,391 15,548
4,364 4,364 3,657 16
5,099 4,35 3,66 18,7
6,490 2,904 5,597 20,585
29
Geometri
(L/DH > 100) NuH1 NuH2 NuT f Re
8,235 8,235 7,541 24
5,385 - 4,861 24
(J.P. Holman, 1997, hal.258)
Dengan :
NuH1 = angka Nusselt rata-rata untuk fluks panas seragam dalam arah aliran
dan suhu dinding seragam pada penampang aliran tertentu.
NuH2 = angka Nusselt rata-rata untuk fluks panas seragam baik pada arah aliran
maupun sekeliling saluran.
NuT = angka Nusselt rata-rata untuk suhu dinding seragam.
f Re = produk perkalian faktor gesek dengan angka Reynolds.
2.3.5.4 Angka Nusselt pada Aliran Silang Silinder
Pada model aliran konveksi pada silinder, kasus aliran silang adalah yang
paling sering ditemui. Pada kasus ini proses pemisahan aliran bersifat rumit, maka
perhitungan koefisien perpindahan panas rata-rata tidak mungkin didapatkan dari
cara analitis. Namun data eksperimental Hilpert untuk gas dan dari Knudsen –
Katz untuk zat cair menunjukkan bahwa koefisien perpindahan panas rata-rata
dapat dihitung dari :
31
Pr..n
ff υduC
kdh
………………………………………………...(2.25)
30
Dimana konstanta C dan n sesuai dengan (Tabel 2.3.) berikut.
Pada tabel di atas arah panah naik dan turun menunjukkan perubahan
harga untuk parameter yang divariasikan (k, h, α). Panah turun (↓) berarti harga
parameter turun terhadap standar, sedangkan panah naik (↑) menunjukkan harga
parameter naik terhadap standar.
Secara umum dari berbagai pengkondisian terlihat bahwa peran sirip
dalam menangkap panas mempengaruhi besar laju perpindahan panas yang
terjadi. Ditunjukkan lewat saluran bersirip yang mampu melepas energi panas
81
lebih besar dibandingkan dengan saluran tanpa sirip untuk setiap pengkondisian.
Hal ini berarti peran sirip untuk rentang hD = 50 – 500 W/m2 oC dan hL pada
rentang 50 – 500 W/m2 oC meningkatkan laju perpindahan panas pada pipa. Pada
penggantian bahan pipa dengan besi murni dan tembaga juga terjadi perpindahan
panas yang serupa. Dari data di atas nampak bahwa pipa bersirip memiliki laju
perpindahan panas yang lebih besar dibanding pipa tanpa sirip.
Pada kondisi standar terjadi laju perpindahan panas yang lebih besar pada
pipa bersirip dibanding pipa tanpa sirip saat t > 0. Besar laju perpindahan panas
yang terjadi mencapai 1897,2 watt/m untuk pipa bersirip dan 1035,1 watt/m untuk
saluran tanpa sirip. Untuk pencapaian waktu tunak keduanya memiliki waktu yang
berdekatan, yaitu 182,5 detik untuk pipa bersirip dan 182,1 detik untuk pipa tanpa
sirip. Dengan membandingkan laju perpindahan panas keduanya saat tunak maka
didapat bahwa laju perpindahan panas pipa bersirip mencapai 1,83 kalinya
dibandingkan dengan pipa tanpa sirip.
Pada pengkondisian dengan variasi hD ada beberapa parameter yang
berubah. Laju perpindahan panas meningkat seiring kenaikan harga hD dan turun
seiring turunnya harga hD. Untuk parameter waktu tunak terjadi hal yang
sebaliknya. Waktu tunak untuk kedua model pipa menjadi lebih singkat seiring
kenaikan harga hD. Pada selisih laju perpindahan panas (Q) terjadi hal yang
serupa dengan waktu tunak. Pada kondisi standar Q mencapai 862,1 watt/m,
angka ini justru menurun menjadi 571,1 saat harga hD naik dari 200 W/m2 oC
menjadi 500 W/m2 oC. Dengan membandingkan besar laju perpindahan panas
kedua model saluran maka didapat laju perpindahan panas pada pipa bersirip
82
mencapai 3,17 kalinya dari pipa tanpa sirip untuk hD = 50 W/m2 oC pada saat
tunak dan 1,37 kalinya dari pipa tanpa sirip untuk hD = 500 W/m2 oC pada saat
tunak.
Dari variasi harga hD ini terlihat bahwa harga koefisien konveksi dalam
saluran hD sebanding dengan laju perpindahan panas (Q), namun berbanding
terbalik dengan waktu tunak (ttunak) dan selisih laju perpindahan panas (Q).
Pengkondisian pipa dengan variasi hL terlihat berpengaruh secara
signifikan pada perubahan harga laju perpindahan panas (Q) yang terjadi.
Kenaikan harga hL akan membawa pengaruh naiknya harga Q, begitu juga
sebaliknya, penurunan harga hL akan menyebabkan turunnya harga Q. Dilihat dari
waktu tunaknya, penurunan harga hL menyebabkan naiknya waktu tunak untuk
kedua model pipa, sebaliknya kenaikan harga hL akan mempersingkat waktu
tunak. Sedangkan untuk Q yang terjadi, turunnya harga hL menurunkan secara
drastis harga Q, namun memberikan kenaikan harga Q yang tinggi seiring
naiknya harga hL. Dengan membandingkan besar laju perpindahan panas kedua
model saluran maka didapat laju perpindahan panas pada pipa bersirip mencapai
1,24 kalinya dari pipa tanpa sirip untuk hL = 50 W/m2 oC pada saat tunak dan 2,62
kalinya dari pipa tanpa sirip untuk hL = 500 W/m2 oC pada saat tunak.
Dari data tersebut terlihat bahwa harga koefisien konveksi luar saluran hL
sebanding dengan laju perpindahan panas (Q), namun berbanding terbalik dengan
waktu tunak (ttunak) dan selisih laju perpindahan panas (Q).
Variasi bahan pipa turut memberikan perubahan yang besar terhadap
perpindahan panas yang terjadi. Dengan mengganti bahan pipa dari aluminium
83
menjadi besi murni terjadi perpindahan panas yang lebih lama dalam pencapaian
waktu tunaknya. Bahan aluminium mencapai 1897,2 watt/m saat ttunak = 182,5
detik untuk saluran bersirip dan 1035,1 watt/m saat ttunak = 182,1 detik untuk
saluran tanpa sirip, sedangkan pada bahan besi murni mencapai 1859,8 watt/m
saat ttunak = 339,7 detik untuk saluran bersirip dan 1030,8 watt/m saat ttunak = 333,1
detik untuk saluran tanpa sirip. Pada bahan besi murni terjadi selisih laju
perpindahan panas yang lebih rendah. Pada aluminium Q hingga 862,1 watt/m,
sedangkan pada bahan besi murni Q yang terjadi hanya mancapai 829 watt/m.
Dengan membandingkan besar laju perpindahan panas kedua model saluran maka
didapat laju perpindahan panas pada pipa bersirip mencapai 1,8 kalinya dari pipa
tanpa sirip untuk bahan besi murni.
Bahan lain yang digunakan adalah tembaga. Pada pipa berbahan tembaga
terjadi laju perpindahan panas Q yang lebih besar dibandingkan dengan
aluminium. Laju perpindahan panas pada pipa tembaga mencapai 1907,7 watt/m
untuk saluran bersirip dan 1036,3 watt/m untuk saluran tanpa sirip. Sekalipun
tembaga memiliki potensi untuk mengalirkan energi panas lebih besar dari
aluminium namun justru memiliki waktu tunak yang lebih lama. Pada pipa
berbahan aluminium waktu tunak pada saluran bersirip dicapai dalam waktu 182,5
detik dan pada saluran tanpa sirip dicapai dalam 182,1 detik, sedangkan pada
bahan tembaga waktu tunak yang dicapai untuk kondisi pipa bersirip pada 258,7
detik dan 285,6 detik untuk saluran tanpa sirip. Dengan membandingkan besar
laju perpindahan panas kedua model saluran maka didapat laju perpindahan panas
84
pada pipa bersirip mencapai 1,84 kalinya dari pipa tanpa sirip untuk bahan
tembaga.
Dari data perhitungan di atas terlihat bahwa kenaikan harga k bahan
sebanding dengan laju perpindahan panas (Q) dan selisih laju perpindahan panas
(Q).
Pada mulanya penulis menduga bahwa bahan yang memiliki harga
konduktivitas termal yang tinggi selain mempunyai potensi lebih tinggi dalam laju
aliran panasnya juga mencapai waktu tunak dengan lebih cepat. Namun hasil
percobaan numeris menghasilkan fakta yang berbeda. Harga konduktivitas termal
tidak selalu berbanding terbalik dengan waktu tunak. Waktu tunak ini lebih
ditentukan oleh variabel difusivitas termal bahan, yang melibatkan harga
konduktivitas termal k, densitas ρ, dan panas jenis bahan c secara keseluruhan.
5.4 Pembahasan Efektivitas Saluran
Grafik efektivitas di atas menunjukkan tingkat efektivitas saluran pada
berbagai pengkondisian hD. Ditunjukkan bahwa setiap kenaikan harga hD maka
akan terjadi penurunan efektivitas saluran. Pada harga hD = 10 W/m2 oC terjadi
efektivitas saluran hingga melewati angka 4 pada detik > 150, kemudian angka ini
akan semakin turun dalam kurun waktu yang sama seiring bertambahnya harga hD
menjadi 20 W/m2 oC, 50 W/m2 oC, dan seterusnya. Secara sederhana diperlihatkan
lewat grafik Efektivitas – hD saat t = 180 detik di atas. Perubahan harga efektivitas
saat t = 180 detik ini dapat dinyatakan dengan pendekatan persamaan polynomial
orde 4 sebagai = 2E-08(hD)4 – 7E-06(hD)3 – 0,060(hD) + 4,755 untuk rentang hD
85
= 10 – 100 W/m2 oC dan persamaan daya (power) sebagai = 11,93(hD)-0.35 untuk
rentang hD = 100 – 500 W/m2 oC
Pada rentang hD 100 W/m2 oC terlihat kenaikan nilai efektivitas seiring
bertambahnya waktu hingga pembacaan t = 186,2 detik. Apabila dikaitkan dengan
grafik laju perpindahan panas di atas maka akan terlihat hubungan yang serupa
antara kedua model grafik. Semakin tunak laju perpindahan panas maka makin
tinggi angka efektivitas yang dicapai sirip.
Fenomena lain terjadi pada rentang hD 200 W/m2 oC. Pada rentang ini
terlihat nilai efektivitas saluran naik, hingga waktu tertentu mencapai titik
maksimum, kemudian menurun sampai pada kondisi tunaknya. Ditunjukkan pada
grafik, angka efektivitas maksimum untuk hD = 200 W/m2 oC dicapai hingga 1,88
pada saat t = 29,3 detik, kemudian menurun hingga 1,83 pada saat ttunak = 135,5
detik. Sedangkan pada hD = 500 W/m2 oC angka efektivitas maksimum dicapai
hingga 1,69 pada saat t = 5,8 detik, kemudian menurun hingga 1,368 pada saat
ttunak = 119,1 detik.
Dari kedua paparan data dan fenomena efektivitas saluran di atas nampak
bahwa semakin tinggi harga koefisien konveksi fluida yang bersinggungan dengan
sirip maka efektivitas sirip dalam menyerap energi panas justru akan semakin
turun. Dengan kata lain keberadaan sirip makin tidak efektif dalam kondisi aliran
fluida yang cepat (harga koefisien konveksi tinggi).
Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh J.P Holman dalam
bukunya “Perpindahan Kalor” (hal. 46) yang menjelaskan bahwa ada kondisi
dimana keberadaan sirip tidak membantu. Tingginya harga koefisien konveksi
86
menyebabkan tahanan konduksi menjadi lebih besar dibandingkan dengan
tahanan konveksi pada sirip. Keadaan tahanan konduksi yang berbanding lebih
besar ini menyebabkan laju aliran panas terhambat. Akibatnya adalah besar laju
perpindahan panas pada saluran tanpa sirip ( nnofinQ ) semakin mendekati besar laju
perpindahan panas pada saluran bersirip ( nfinQ ) seiring kenaikan harga koefisien
konveksi dalam saluran (hD).
87
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil perhitungan dan pembahasan yang telah dilakukan selama
penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Pembuatan program komputasi untuk menghitung laju perpindahan panas dan
efektivitas sirip yang terjadi pada pipa saluran segiempat menggunakan
metode beda hingga cara eksplisit memakai Microsoft Excel, berjalan dengan
baik.
b. Pada kondisi standar, variasi harga hD pada rentang 50 – 500 W/m2 oC dan
waktu t >0 menunjukkan bahwa nfinQ > n
nofinQ . Untuk Harga hD = 50 W/m2 oC,
500 W/m2 oC saat tunak berturut-turut berbanding 3,17 dan 1,37 kalinya.
c. Pada kondisi standar, variasi harga hL pada rentang 50 – 500 W/m2 oC dan
waktu t >0 menunjukkan bahwa nfinQ > n
nofinQ . Untuk Harga hL = 50 W/m2 oC,
500 W/m2 oC saat tunak berturut-turut berbanding 1,24 dan 2,62 kalinya.
d. Pada kondisi standar, variasi bahan saluran terkait harga α waktu t >0
menunjukkan bahwa nfinQ > n
nofinQ . Untuk bahan besi murni dan tembaga saat
tunak berturut-turut berbanding 1,8 dan 1,84 kalinya.
e. Semakin besar harga koefisien konveksi dalam saluran (hD) maka efektivitas
saluran semakin kecil. Ditunjukkan lewat pendekatan persamaan = 2E-
08(hD)4 – 7E-06(hD)3 – 0,060(hD) + 4,755 untuk rentang hD = 10 – 100 W/m2
88
oC dan = 11.93(hD)-0.35 untuk rentang hD = 100 – 500 W/m2 oC saat t = 180
detik.
6.2 Saran
Beberapa saran yang perlu dikemukakan untuk penelitian lebih lanjut
tentang pipa saluran bersirip dengan menggunakan metode komputasi adalah:
a. Bentuk geometri pipa saluran dapat dikembangkan. Dalam penelitian secara
komputasi ini bentuk geometri pipa saluran berpenampang segiempat dengan
sirip memanjang di dalam saluran, sehingga dimungkinkan untuk melakukan
penelitian lebih lanjut pada geometri lain atau dengan variasi sirip.
b. Sebagian besar dari perhitungan secara komputasi ini memerlukan iterasi
yang tergolong banyak, yaitu lebih dari 1 sheet. Untuk mendukung
perhitungan ini maka spesifikasi komputer dari segi processor dan memory
RAM yang tinggi akan sangat membantu pengolahan data.
c. Bagi para peneliti atau pengembang teknologi perpindahan panas diharapkan
dapat selalu mengambil sisi positif dari setiap penelitian, karena sekecil
apapun informasi yang didapat suatu saat akan membawa pengaruh dalam
perkembangan teknologi secara nyata.
89
DAFTAR PUSTAKA
Agustinus, Henry. 2005. Laju Perpindahan Kalor, Efisiensi, Dan Efektivitas Sirip Kerucut Pada Keadaan Tak Tunak. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Bejan, Adrian, dan Allan D. Kraus. 2003. Heat Transfer Handbook. Amerika
Serikat: John Wiley & Sons, Inc.
Cengel, Yunus A.. 2002. Heat Transfer a Practical Approach. New York: The Mc Graw-Hill.
Fernando W.W., Ricky. 2008. Laju Perpindahan Kalor dan Efektivitas Sirip Kasus 1 Dimensi, Bentuk Geometri Sirip Benda Putar Dengan Fungsi y=1/x Nilai k = k (T). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Koestoer, Dr. Ir. Raldi Artono. 2002. Perpindahan Kalor Untuk Mahasiswa Teknik. Jakarta : Salemba Teknika.
Kraus, Alan, D., Abdul Aziz, dan James Welty. 2001. Extended Surface Heat
Transfer, Amerika Serikat: John Wiley & Sons, Inc.
Ramos, Acadêmico Hélio dan Freire, Luiz Prof.. An Axisymmetric Finite Volume Formulation For The Solution Of Heat Conduction Problems Using Unstructured Meshes. www.scielo.br ; diakses tanggal 3 Februari 2009, 08:57 WIB.
Susanto, Agustinus Hari. 2006. Efektivitas Sirip pada Keadaan tak Tunak. Yogya
karta: Universitas Sanata Dharma.
Winarno, Joko. Analisis Perpindahan Kalor Sirip Radial Berprofil Segiempat Menggunakan Rancangan Model Komputasi. Janateknika Edisi Dies Natalis 49/Oktober 2007. Universitas Janabadra.
Yohana, Shirleen. 2008. Laju Perpindahan Kalor dan Efektivitas Sirip pada
Kasus 3 Dimensi Keadaan tak Tunak. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
90
LAMPIRAN
91
L.1. Tabel Sifat-sifat Air / Zat Cair Jenuh (Holman, 1997, hal 593)