PENERJEMAHAN PUISI-PUISI NASIONALISME KARYA ABDUL WAHAB AL-BAYATI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) Oleh: Khusnul Ma’arif NIM: 11150240000020 PROGRAM STUDI TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M
175
Embed
PROGRAM STUDI TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50513/1/ST19015.pdf · Puisi-Puisi Nasionalisme Karya Abdul Wahab Al-Bayati”. Skirpsi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENERJEMAHAN PUISI-PUISI NASIONALISME
KARYA ABDUL WAHAB AL-BAYATI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Humaniora
(S. Hum)
Oleh:
Khusnul Ma’arif
NIM: 11150240000020
PROGRAM STUDI TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
ABSTRAK
Khusnul Ma‟arif, 11150240000020 “Penerjemahan
Puisi-Puisi Nasionalisme Karya Abdul Wahab Al-Bayati”.
Skirpsi Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019.
Penelitian ini bertujuan untuk menghadirkan
penerjemahan adaptasi terhadap empat antologi puisi karya
Abdul Wahab al-Bayati dengan tema nasionalisme, yaitu al-
Majdu li al-`Atfâl wa al-Zaitûn, Alladzî Ya`tî wa lâ ya‘tî, Abârîq
Muhassyamah, dan Kitâb al-Bahr. Proses penerjemahan puisi
melalui identifikasi pemarkah budaya bahasa sumber (BSu) pada
tataran kata dan frasa, kemudian dituliskan dalam kartu data dan
diklasifikasikan berdasarkan kategori. Kemudian pemarkah
budaya tersebut dipadankan dengan pemarkah budaya dalam
bahasa sasaran (BSa).
Hasil penelitian ini mengungkapkan dua hal terkait penerjemahan
adaptasi puisi Abdul Wahab al-Bayati. Pertama, metode
penerjemahan adaptasi sangat efektif diterapkan dalam teks
sastra. Kedua, penerjemahan menggunakan strategi domestikasi
budaya (domestication) sangat memudahkan pembaca karena
pemarkah budaya BSu dipadankan dengan pemarkah budaya BSa
sedekat mungkin sehingga mempunyai tingkat keterbacaan yang
tinggi, serta penggunaan bahasa asing (foreignization) yang
membantu pembaca menemukan wawasan baru terkait pemarkah
budaya dalam BSu ketika membaca teks terjemahan. Hasil
penelitian ini juga menemukan pemarkah budaya yang terdiri dari
kata dan frasa serta terklasifikasi dalam 19 kategori ekologi, 17
kategori budaya materi dan teknologi, 9 kategori organisasi
sosial, dan 10 kategori pola mitos.
Kata kunci: Penerjemahan adaptasi, pemarkah budaya,
domestication dan foreignization.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Swt. yang telah
memberikan kenikmatan yang tak terhingga dan senantiasa
mencurahkan kasih sayang-Nya, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian ini. Salawat beriring salam senantiasa
tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. sang
pemberi syafaat bagi umat yang senantiasa bersalawat kepadanya
dan memberi suri tauladan kepada umatnya.
Adapun tujuan penelitian ini diajukan untuk memenuhi
syarat mendapatkan gelar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Berbagai hambatan dalam
penyusunan skripsi ini telah peneliti lalui. Tentunya semua itu
tidak akan mudah tercapai tanpa ada do‟a dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti ucapkan terima kasih tak
terhingga kepada
1. Saiful Umam, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Darsita Suparno, M.Hum dan Dr. Ulil Abshar,
M.Hum, selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Tarjamah,
serta Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Tarjamah yang
telah memberikan banyak masukan, bimbingan, semangat,
serta motivasi bagi peneliti.
3. Dr. Rizqi Handayani, M.A, selaku Dosen Pembimbing
skripsi yang telah meluangkan banyak waktu untuk
viii
memberikan bimbingan, nasihat, pengetahuan, serta
teman diskusi yang sangat bermanfaat bagi peneliti.
4. Prof. Dr. Achmad Satori, M.A, selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan arahan kepada peneliti
selama menjadi mahasiswa.
5. Dr. Ulil Abshar, M.Hum, selaku penguji 1 dan Dr.
Zamzam Nurhuda, M.Hum, selaku penguji 2 yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan berbagai arahan
terhadap penelitian ini.
6. Orang tua tercinta Bapak Sumarno dan Ibu Siti Jamilatun
yang selalu memberikan do‟a dan dukungan kepada
peneliti sehingga peneliti sampai di titik ini. kakak Taufiq
Masykur dan adik Dzawil Abshor yang selalu menghibur
peneliti. Serta segenap keluarga yang telah yang
mendoakan dan tak henti memberikan semangat pada
peneliti.
7. Para sahabat yang selalu hangat mendampingi peneliti dan
senatiasa memberikan dukungan Andhika Tiara,
Khairunnisa, Lisa Aminatus S, Dede Laila, dan Rosa
Amalia.
8. keluarga besar Tarjamah 2015, keluarga besar Asrama
Rumah 71, serta teman-teman Pesantren Luhur
Sabilussalam 2015 dan keluarga IKANUHA Jakarta
sebagai keluarga di tanah rantau yang juga selalu memberi
dukungan kepada peneliti.
Semoga ketulusan, kebaikan yang telah dicurahkan
kepada peneliti selama ini dibalas oleh Allah Swt. Peneliti
ix
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca
di manapun berada, khususnya bagi peneliti serta orang-orang
yang bergelut di bidang penerjemahan.
Ciputat, September 2019
Khusnul Ma‟arif
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................. x
DAFTAR GAMBAR .............................................................. xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah..................................... 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ....................................................... 6
E. Tinjauan Pustaka .......................................................... 6
F. Metodologi Penelitian .................................................. 9
1. Metode Penelitian .................................................. 9
Teknik Penerjemahan Adaptasi dan Varian pada Subtitle Film
Batman Versi Bahasa Jawa Mataram”. Penelitian tersebut
mengindentifikasi dan mendeskripsikan unsur kebudayaan dalam
penerjemahan adaptasi subtitle. Sementara penelitian ini
menggunakan metode yang sama dengan korpus yang berbeda
yakni objek penelitian berupa puisi.
Dari beberapa penelitian di atas, penulis menemukan beberapa
kesamaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan.
Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang
diangkat peneliti yakni terletak pada objek kajian dan tujuan
penelitian. Penelitian yang akan peneliti lakukan yakni dengan
melakukan penerjemahan puisi nasionalisme karya Abdul Wahab
al-Bayati dengan menggunakan metode adaptasi.
9
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Metode kualitatif. Metode
kualitatif yaitu penelitian dengan cara memahami makna
dibalik teks yang dikaji secara mendalam pada penelitian ini,
kemudian berusaha menjelaskan data deskriptif tersebut dengan
menggunakan ungkapan kata-kata secara tertulis dalam
menggambarkan sebuah data. Metodologi penelitian ini akan
membahas hal-hal sebagai berikut.
2. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah menerjemahkan puisi-puisi
nasionalisme Abdul Wahab al-Bayati dari bahasa Arab ke
dalam Bahasa Indonesia menggunakan metode adaptasi.
3. Sumber Data
Penelitian ini merupakan studi kepustakaan atau library
research. Adapun sumber data yang digunakan diperoleh dari
berbagai literatur yang terdapat dari dua jenis sumber, yaitu:
a. Sumber primer, yaitu data utama langsung yang
digunakan oleh penulis. Dalam hal ini
kumpulan puisi dalam tema nasionalisme yang
diambil dari empat antologi puisi, yaitu al-
Majdu li al-`Atfâl wa al-Zaitûn, Alladzî Ya`tî wa
lâ ya‘tî, Abârîq Muhassyamah, dan Kitâb al-
10
Bahr, dan Kitâb al-Bahr karya Abdul Wahab
al-Bayati sebagai teks sumber.
b. Sumber sekunder, yaitu data yang
dikumpulkan penulis dalam melakukan
penelitian menurut sumber yang telah ada,
sebagai penyokong dari sumber primer yaitu
beberapa literatur seperti buku dan jurnal terkait
dengan teori penerjemahan teks sastra, dan teori
kebudayaan, kamus berbahasa Arab seperti al-
Munawwir, al-Munjid fi al-Lughah wa al-
A’lam, kamus android al-Ma’ani, serta al-
Ma’ani daring Arab-Indonesia, Arab-Inggris
dan Arab-Arab, Tesaurus, juga internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun langkah peneliti yang dilakukan dalam
pengumpulan data adalah:
a. Menentukan objek penelitian, yaitu kumpulan
puisi Abdul Wahab al-Bayati
b. Membaca dan memahami tema-tema puisi
Abdul Wahab al-Bayati yang terdapat dalam
keempat antologi puisinya yaitu al-Majdu li al-
`Atfâl wa al-Zaitûn, Alladzî Ya`tî wa lâ ya‘tî,
Abârîq Muhassyamah, dan Kitâb al-Bahr,
11
sekaligus memperhatikan pemarkah budaya
yang terdapat di dalam puisi tersebut
c. Mengidentifikasi pemarkah budaya yang
terdapat di dalam puisi
d. Menginventarisasi pemarkah budaya baik yang
berupa kata dan frasa
Tahap 1
Menentukan objek
penelitian
Tahap 2
Membaca dan
memahami tema
puisi
Tahap 3
Mengidentifikasi
pemarkah
budaya
Langkah 4
Menginventarisasi
pemarkah budaya
yang berupa kata
dan frasa
12
5. Teknik Analisis Data
Beberapa proses yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
a. Memberikan harakat (lambang fonetik) pada objek
penelitian
b. Memulai dengan menerjemahkan puisi Abdul
Wahab al Bayati dengan penerjemahan harfiah
c. Mengklasifikasikan pemarkah budaya sesuai
dengan kategori dan kelas kata
d. Menerjemahkan puisi dengan pendekatan adaptasi
e. Memberikan padanan terjemahan
f. Menerapkan strategi penerjemahan adaptasi
g. Rekonstruksi, yaitu tahap penyusunan kembali
h. Evaluasi
disimpulkan sebagai berikut:
Memberikan lambang fonetik
Menerjemahkan secara harfiah
Klasifikasi pemarkah budaya
berdasarkan kategori
13
6. Teknik Penulisan
Secara teknis skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta berdasarkan keputusan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini tersusun atas lima bab, yang akan diperinci
sebagai berikut:
Penerjemahan adaptasi
BSu BSa
Pemadanan konsep dan makna
Penerapan strategi adaptasi
Rekonstruksi
Evalusi
14
Bab I adalah pendahuluan. Pada bab ini penulis akan
menyajikan latar belakang penelitian, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II merupakan kerangka teori. Kerangka teori ini terdiri
dari lima sub-bab. Sub-bab yang pertama tentang syi’ir hurr dan
aliran-aliran puisi modern. Sub-bab yang kedua menguraikan
tentang nasionalisme. Adapun sub-bab yang ketiga memaparkan
tentang penerjemahan teks sastra. Sub-bab yang keempat tentang
metode adaptasi yang berisikan tentang pemarkah budaya dan
kategori pemarkah budaya. Sub-bab kelima menguraikan tentang
strategi penerjemahan kultural.
Bab III adalah pemaparan korpus penelitian, serta
penyajian biografi Abdul Wahab al Bayati sebagai sastrawan serta
beberapa karya terkait.
Bab IV berisi penyampain temuan tentang penerjemahan
adaptasi dan pertanggungjawaban akademik penerjemahan puisi-
puisi nasionalisme Abdul Wahab al Bayati
Bab V berupa penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh
pembahasan dan rekomendasi.
16
BAB II
SYI’IR HURR DAN PENERJEMAHAN ADAPTASI
A. Syi’ir Hurr: Definisi dan Aliran-alirannya
1. Definisi
Syi’ir secara bahasa berarti syair, puisi, atau sajak.16 Secara
istilah pengertian syi’ir dikutip dari asy-Sayyab yaitu ucapan atau
tulisan yang memiliki wazan atau bahr dan qafiyah (rima) serta
memiliki unsur ekspresif rasa dan imajinasi yang harus lebih
dominan dibanding prosa.17 Definisi syi’ir juga banyak
didefinisikan oleh berbagai ahli. Kalangan ahli arudh
mendefinisikan syi’ir sebagai tuturan yang terikat oleh wazan dan
qafiyah. Qudamah bin Ja’far menambahkan ‘tuturan yang
menunjukkan pada makna tertentu’. Dalam definisi yang lain, ahli
filsafat Ibnu Sina dalam asy-Sayyab mendefinisikan sy’ir sebagai
berikut:
ة على متفقة, متساوية, متكرر الشعر كلام مخيل مؤلف من أقوال ذوات إيقاعات
وزنها, متشابهة حروف الخواتيم.
Syi’ir merupakan Imajinasi penulis dari kata-kata disertai irama
yang konsisten, selaras, mengulang-ulang wazannya, serta serupa
16 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 724. 17 Ahmad as-Syayyab, Usul an-Naqd al-Adabi (Kairo: Maktabah an-
Nahdah al-Misriyyah, 1964), h. 44.
17
huruf-huruf akhirnya.18 Dalam definisi yang lain, Abu Hayyan
dalam asy-Sayyab mendefinisikan sy’ir sebagai berikut:
موزون مقفى, يدل على معنى تنتخبه الشعراء من كثرة التخييل وتزويق هو كلام
الكلام
Ungkapan yang tersusun bersajak, yang menunjukkan pada makna
yang dipilih oleh penyair dari banyaknya imajinasi dan keindahan
suatu ungkapan.19 Senada dengan hal tersebut, Stedmand dalam
asy-Syayyab juga sependapat bahwa puisi sebagai ungkapan
imajinatif yang berwazan yang mengekspresikan makna estetis
dari perasaan-perasaan, gagasan dan rahasia ruhani manusia.20
Salah satu genre syi’ir Arab adalah syi’ir hurr (puisi
bebas). Syi’ir hurr berkembang setelah perang dunia II dan
mendapat pengaruh serta interaksi dari kebudayaan Barat.21
Munculnya puisi bebas merupakan suatu pola perpuisian yang
mencoba lepas dari tradisi dan konvensi perpuisian Arab lama.
Pergeseran ini umumnya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
internal dan eksternal.22 Faktor internal yang memengaruhinya
antara lain kesadaran masyarakat dengan kondisi yang ada.
Umumnya kondisi Arab sedang mengalami perkembangan
18 Diterjemahkan secara bebas oleh peneliti 19 Diterjemahkan secara bebas oleh peneliti 20 Ahmad as-Syayyab, Usul an-Naqd al-Adabi, h. 297. 21 Taufiq A. Dardiri, “Perkembangan Puisi Arab Modern”, Junal
Adabiyyat Vol. X, No. 2 , Desember 2011, h. 304; Lihat juga Betty Mauli Rosa
Bustam, Sejarah Sastra Arab dari Beragam Perspektif (Yogyakarta: Penerbit
Deepublish, 2015), h. 119. 22 Taufiq A. Dardiri, “Perkembangan Puisi Arab Modern”, Jurnal
Adabiyyat Vol. X, No. 2 , Desember 2011, h. 6.
18
gagasan dalam segi kehidupan politik, sosial, termasuk sastra.23
Adapun faktor eksternal dikarenakan adanya persentuhan dengan
kebudayaan bangsa lain.24
Puisi merupakan suatu genre sastra yang paling tua dan
paling kuat sebagai suatu media kesadaran estetis bangsa Arab.
Puisi bebas (asy-syi’r al-hurr) adalah puisi yang tidak terikat
prosodi gaya lama atau arudh (wazan/bahr) dan qafiyah.25 Tradisi
genre puisi membentuk konvensi yang begitu kuat yang membuat
puisi bebas mendapatkan banyak tantangan. Konvensi yang
dimaksud adalah ‘adad al-bait (jumlah bait), aqsam al-bait
(bagian-bagian bait), al-‘arudh: al wahdah al-sautiyah (kesatuan
bunyi), taf’ilah (struktur pengulangan bunyi dalam bait), dan
qafiyah (rima).26
Bentuk puisi bebas dibuat tidak mematuhi atau keluar dari
aturan baku penulisan puisi pada umumnya, seperti rima, sajak,
dan pemilihan kata.27 Dalam bentuk terjemahan, puisi bebas
mendapat ketepatan padanan dalam bahasa sasaran dengan baik.
Namun, rima dan irama cenderung diabaikan sebuah puisi. Bentuk
puisi bebas tertuang seperti puisi Abdul Wahab al-Bayati:
23 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, h. 29. 24 Taufiq A. Dardiri, “Perkembangan Puisi Arab Modern”, h. 6. 25 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, h. 16. 26 Zuchridin Suryawinata - Sugeng Hariyanto, Translation Bahasa dan
Teori Penuntun Praktis Menerjemahkan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003),
h. 161 27 Kelasindonesia.com, Pengertian dan Contoh Puisi Bebas, diakses
pada 08 April 2019 pukul 21.26 WIB >https://www.kelasindonesia.com/ <.
h. 22. 42 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 27.
26
berubah dan harus mempertahakan pada keindahan itu sendiri.43
Hal ini selaras dengan pernyataan Bassnett dan Levefere
bahwa‘Translation is, of course, a rewriting of an original text. All
rewriting whatever their intention, reflect a certain ideology and a
poetics and as such manipulate literature to function in a given
society in a given way’, dengan kata lain penerjemahan merupakan
kegiatan menuliskan kembali dan memanipulasi karya sastra agar
dapat berguna dan berterima di kalangan pembacanya.44
Wasiman mengutip Teeuw mengatakan bahwa berkaitan
dengan teks sastra dalam konteks pembaca, harusnya pembaca
mampu menangkap kode-kode teks secara menyeluruh, sehingga
terdapat kolerasi yang indah antara teks dan pembaca dalam upaya
berkomunikasi dengan teks sastra (puisi).45 Dengan kata lain teks
sastra yang fungsi utamanya sebagai teks ekspresif, yaitu
mengungkapkan perasaan dan pesan dari pengarang harus
tersampaikan dengan baik kepada pembaca.46 Sebuah karya sastra
mengandung unsur ekspresi sastrawan dan kesan khusus yang
ingin disampaikan terhadap pembaca. Selain itu, karya sastra juga
mengandung unsur-unsur emosional dan efek keindahan kata,
inilah yang disebut sebagai fungsi estetis.
43 Frans Sayogi, Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa
Indonesia (Ciputat, Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 201. 44 Retno W. Setyaningsih-Rochayah Machali, Topik-topik dalam
Kajian Penerjemahan (Surabaya:Airlangga University Press, 2017), h. 85. 45 Warsiman, Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis, h. 88. 46 Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra (Jakarta: PT
Gramedia, 2008 Cetakan kedua), h. 45.
27
Teks sastra adalah karya-karya sastra yang diciptakan
sastrawan dengan judul sebuah teks.47 Lander dalam Dinamika
Penerjemahan Sastra mengatakan bahwa penerjemahan karya
sastra adalah kemampuan mengalihbahasakan pesan untuk
mengapresiasi nilai estetika/keindahan yang terdapat dalam karya
sastra bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran melalui rangkain
pilihan kata yang dapat memberikan kesenangan pembaca dalam
Kendala dalam menerjemahkan puisi disebabkan oleh sifat ganda
yang kompleks dari penerjemahan puisi. Penerjemahan ini selalu
melibatkan dua faktor, yakni dua orang (penyair dan penerjemah),
dan dua bahasa serta dua situasi susastra. Perbedaan tersebut
dikarenakan perbedaan latar sosial dan budaya.52
C. Metode Adaptasi
Benny Hoed menyimpulkan dua masalah praktis yang
dihadapi seorang penerjemah. Pertama, ketidakpahaman makna
kata atau kalimat bahkan paragraf sehingga tidak memahami
pesannya. Kedua, Kesulitan penerjemah dalam menerjemahkan
meskipun sudah memahami teks sumber.53 Dalam mengatasi
permasalahan tersebut, Nida dan Taber dalam Penerjemahan dan
Kebudayaan mengemukakan bahwa penerjemah harus berhati-hati
dalam menempuh tiga langkah, yaitu analisis (memahami teks
sumber), transfer (mengalihbahasakan dalam pikiran), dan
merekonstruksi (menerjemahkan).54
Proses penerjemah memilih salah satu metode yang sesuai
dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan
dilakukan.55 Metode penerjemahan adalah teknik yang
dipergunakan oleh seorang penerjemah saat memutuskan untuk
menerjemahkan suatu teks. Newmark dalam A Text book of
Translation menawarkan delapan metode penerjemahan, dimana 4
diantaranya berorientasi pada keakuratan teks sumber, yaitu
52 Frans Sayogi, Teori dan Praktik Penerjemahan Inggris-Indonesia,
h. 164. 53 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 68. 54 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 68. 55 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 55.
29
metode kata demi kata, harfiah, setia dan semantik. Sementara
lainnya berorientasi pada teks sasaran yaitu metode penerjemahan
adaptasi, bebas, idiomatis, dan komunikatif.56
Adaptasi merupakan metode yang paling bebas serta paling
dekat dengan bahasa sasaran. Pada dasarnya metode penerjemahan
ini memang diperuntukkan untuk penerjemahan drama atau puisi
dengan tujuan mempertahankan tema, karakter dan alur.57 Dalam
penerjemahan terjadi peralihan budaya dari Bsu ke Bsa, dan teks
asli ditulis kembali serta diadaptasikan ke dalam Tsa. Sebagai
contoh penerjemahan (penyaduran) drama yang dilakukan oleh
penyair WS Rendra. Rendra mempertahankan semua karakter
dalam naskah asli juga alur cerita, akan tetapi dialognya sudah
disadur dan disesuaikan dengan budaya Indonesia.
Dalam penelitian ini, metode penerjemahan adaptasi lebih
cenderung melihat budaya berbahasa yang hidup dalam bahasa
sumber dan bahasa sasaran.58 This is ‘freest’ form of translation. It
is used mainly for plays (comedies) and poetry; the themes,
characters, plots are usually preserved, the SL (source language)
culture converted to the TL (target language) culture and the text
rewritten. The deporable practice of having a play or poem
literally translated and then rewritten an etablished dramatist or
Indonesia Kontemporer, h. 57. 57 Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah (Jakarta: PT
Grasindo, 2000), h. 53. 58 Polce Aryanto Bessie, Metode Penelitian Linguistik Terjemahan,
h.12.
30
port has produced many poor adaptation, but other adaptations
have ‘rescued’ period plays.
Diantara keunikan metode adaptasi sangatlah tepat untuk
diterapkan pada penerjemahan sejenis puisi. Metode penerjemahan
adaptasi mencoba tetap mempertahankan budaya dari bahasa
sumber yang kemudian dikonversi ke dalam budaya bahasa
sasaran. Tipe penerjemahan ini menitikberatkan pada penyesuaian
ragam bahasa atau istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat
penutur bahasa sehingga ketika penerjemah menerjemahkan teks
dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, ia cenderung menulis
ulang istilah atau kata bahasa sumber di dalam produk terjemahan
yakni bahasa sasaran. Hal ini dilakukan demi mempertahankan
makna teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.59 Bassnett
dalam Kajian Penerjemahan Terkait Kajian Budaya membuat
terobosan dalam bidang penerjemahan. Terobosan ini dengan
tujuan adanya penekanan yang menggabungkan unsur budaya
dalam kajian penerjemahan.60
D. Metode Semantik
Metode penerjemahan semantik merupakan salah satu
metode penerjemahan yang berusaha menciptakan rasa yang tepat
dan asli. Metode penerjemahan semantik sangat memerhatikan
nilai estetis, yaitu aspek keindahan dan kealamian dari BSu.61 Saat
seorang penerjemah menerjemahkan menggunakan metode
59 Polce Aryanto Bessie, Metode Penelitian Linguistik Terjemahan,
h.15. 60 Retno W. Setyaningsih - Rochayah Machali, Topik-topik dalam
Kajian Penerjemahan, h. 118. 61 Emzir, Teori dan Pengajaran Penerjemahan, h. 61.
31
tersebut teks terjemahan akan terasa lebih luwes dan fleksibel
daripada menggunakan metode penerjemahan setia. Metode
semantik memadankan pemarkah budaya dalam bahasa sumber
secara wajar. Kata-kata yang terdapat di dalam teks yang hanya
sedikit bermuatan budaya akan dipadankan dengan kata yang
netral atau istilah fungsional.62 Selaras dengan hal tersebut, Hatim
dalam Bessie mengungkapkan ‘ modulation is a variation of the
form of the message obtained by a change in the point of view. In
other words, modulation is restructing a message of source
language text in a target text in different structure but the meaning
is not different’, bahwa semantik menjadi faktor utama hadirnya
prosedur terjemahan secara modulasi (modulation).63 Seperti
dalam contoh:
الوجهين أمام الفصلرأيت ذا
Aku meluhat si muka dua di depan kelas
Terjemahan sematik pada frasa الوجهينذا diterjemahkan
dengan “si muka dua” yang kebetulan juga dikenali dalam budaya
Bsa. Meskipun secara idiomatis frasa tersebut bisa diterjemahkan
dengan “si munafik”. Bentuk penerjemahan sematik ini dapat
dikatakan sebagai metode penerjemahan yang sempurna untuk
mempertahankan makna yang terkandung dalam teks bahasa
sumber. Peran penerjemah pada metode ini hanya
mempresentasikan makna BSu secara sematis, namun tidak hanya
62 Moch. Syarif Hidayatullah, h. 60 63 Polce Aryanto Bessie, Metode Penelitian Linguistik Terjemahan,
h. 17.
32
memperhatikan makna budaya yang terdapat dalam BSu untuk
disajikan dalam produk terjemahan.64
1. Pemarkah Budaya
Kebudayaan dianggap sebagai sebuah sistem tanda
(pemarkah) yang berfungsi sebagai sarana penataan.65 Suatu
masyarakat menggunakan sistem tanda sebagai pengatur
kehidupannya dalam bermasyarakat, baik dalam perilaku, bahasa,
maupun benda-benda yang dibuatnya merupakan pemarkah yang
mengatur pola-pola interaksi sosial dalam bermasyarakat.66
Senada dengan hal tersebut, Putu Oka Ngakan mengatakan
pemarkah budaya sebagai tata nilai atau perilaku hidup masyarakat
lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup
secara arif. Frans Wahono dalam definisi yang lain menyatakan
bahwa pemarkah budaya merupakan kearifan lokal yang
mencakup kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam
semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis meliputi etika,
norma, tindakan serta tingkah laku.67 Budaya merupakan suatu
sistem terpadu dalam pola-pola prilaku yang menjadi ciri anggota
masyarakat.68 Artinya aspek budaya menjadi perhatian penuh
dalam proses mengalihkan bahasa. Tentunya bukanlah hal yang
64 Polce Aryanto Bessie, Metode Penelitian Linguistik Terjemahan, h.
17.
65 Masinambow, Semiotik Mengkaji Tanda dalam Artifak (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), h. 27. 66 Masinambow, Semiotik Mengkaji Tanda dalam Artifak, h. 28. 67 Retno W. Setyaningsih - Rochayah Machali, Topik-topik dalam
Kajian Penerjemahan, h. 84. 68 Retno W. Setyaningsih - Rochayah Machali, Topik-topik dalam
Kajian Penerjemahan, h. 122.
33
mudah bagi penerjemah untuk mencapai ‘total of life’ di setiap
kegiatannya.
2. Kategori Pemarkah Budaya
Newmark dalam A Textbook of Translation merangkum
beberapa komponen budaya yang digolongkan menjadi lima
kategori. Diantara jenis kategori tersebut, pertama adalah ekologi
yang meliputi iklim, tanah, flora, fauna serta pola eksploitasi hasil
alam.69 Contoh pemarkah budaya kategori ekologi ini adalah
musim gugur, musim semi, pasir, gambut, bunga lili, bunga
mawar, pohon jati, kelinci, unta, buaya, padang pasir serta bukit.
Jenis pemarkah kebudayaan yang kedua adalah kategori
budaya materi dan teknologi yang mencakup beberapa kategori,
yaitu benda-benda rumah tangga, jenis tempat tinggal, bangunan,
pakaian, alat transportasi, dan jenis obat. Contoh pemarkah budaya
kategori budaya materi dan teknologi ini adalah televisi, sofa,
69 Peter Newmark, A Textbook of Translation (New York: Sanghai
Foreign Language Education Press, 1988), h. 95. 70 Peter Newmark, A Textbook of Translation, h. 95.
34
Adapun kategori pemarkah kebudayaan yang keempat
adalah pola mitos meliputi kosmologi, hal-hal yang tabu (termasuk
tokoh-tokoh mitologi), dan konsep ghaib. Contoh pemarkah
budaya kategori ini adalah gerhana bulan, gerhana matahari,
tokoh-tokoh mitologi seperti Aladin, phoenix, putri duyung, buto
ijo, dan sihir. Kategori yang kelima adalah struktur linguistik yang
meliputi sistem bunyi, bentuk kata, makna kata dan sintaksis.
E. Strategi Kultural
Para peneliti dan penerjemah tentunya sepakat bahwa
kegiatan penerjemahan tak pernah lepas dari pertimbangan
budaya.71 Tidak ada dua bahasa yang diterjemahkan secara
sempurna dalam realita sosialnya. Hal ini senada dengan pendapat
Sapir,“No two languages are ever sufficiently similar to be
considered as representing the same social reality. The worlds in
which different societies live are distict worlds, not merely the
same world with different labels attached”
Penerjemah merupakan pelaku utama dalam setiap proses
penerjemahan. Dalam hal ini penerjemahan dituntut memiliki
pengetahuan dan wawasan yang luas tentang konteks budaya
penulis BSu karena keberhasilannya dalam menyampaikan pesan
sepenuhnya bergantung pada pengetahuan penerjemah tentang
konteks budaya kedua bahasa.72 Seperti yang dilakukan seorang
penerjemah dalam melakukan penerjemahan teks kuliner pada
suatu negara yang melibatkan dua bahasa, yaitu bahasa Prancis dan
71 Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah, h. 118. 72 Rudolf Nabahan, Teori Menerjemah Bahasa Inggris (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 88.
35
bahasa Indonesia. Salah satu contoh dalam budaya kuliner Prancis
mengenal istilah ‘cuillere a cafe’ secara literal diterjemahkan
sebagai ‘sendok kopi’. Akan tetapi penerjemah mencoba
mendekatkannya dengan budaya bahasa sasaran (bahasa
Indonesia) sehingga menjadi ‘sendok teh’. Hal ini sangat
memudahkan pembaca teks sasaran. Penerjemah tidak serta-merta
menerjemahkan sebuah teks bahasa sumber ke bahasa sasaran
tanpa mempertimbangkan budaya bahasa sasaran. Seperti budaya
bahasa barat dan Indonesia pada ungkapan ‘different pond different
fish’ dengan mempertimbangkan aspek budaya dipadankan dengan
‘lain ladang lain belalang’.73 Proses yang dilakukan penerjemah
merupakan strategi yang baik dengan penguasaan pengetahuan
yang baik terhadap kedua budaya.74
Toury menyebutkan bahwa penerjemahan adalah kegiatan
yang selalu melibatkan setidaknya dua bahasa dan dua budaya.
Seorang penerjemah harus mempertimbangkan budaya kedua
bahasa sebelum memulai proses penerjemahan. Selain itu yang
dimaksud dengan strategi penerjemahan adalah usaha yang
dilakukan penerjemah dalam tingkat kata hingga kalimat sehingga
menghasilkan penerjemahan yang berterima.75
73 Polce Aryanto Bessie, Metode Penelitian Linguistik Terjemahan,
h.7. 74 Muhammad Hasyim, Persfektif Semiotika atas Budaya dalam
Penerjemahan Teks Kuliner Prancis, Fakultas Sastra Universitas Hasanudin. 75 Retno W. Setyaningsih - Rochayah Machali, Topik-topik dalam
Kajian Penerjemahan, h. 86.
36
Lawrence Venuti dalam Translation Invisibility
mengaitkan penerjemahan dengan budaya. Hal ini bertujuan agar
penerjemahan tidak hanya menjadi translation as text (terjemahan
sebagai teks), melainkan translation as culture (terjemahan
sebagai budaya). Oleh karena itu ia menawarkan tiga strategi
dalam penerjemahan kebudayaan (adaptasi), yaitu pemarkah
budaya diwujudkan melalui domestikasi makna (domestication),
penggunaan kata asing (foreignization), atau penghilangan (zero
translation).76
1. Domestikasi Budaya (domestication)
Domestikasi budaya (domestication) merupakan strategi
penerjemahan yang bertujuan untuk menghasilkan terjemahan
yang mempunyai tingkat keterbacaan yang tinggi sehingga
pembaca mudah memahami teks.77 Strategi ini digunakan pada
penerapan metode adaptasi. Dengan kata lain domestikasi budaya
merupakan strategi penerjemahan yang berusaha mendekatkan
terjemahan dengan budaya bahasa sasaran. Hal ini selaras dengan
ungkapan Hidayatullah, dalam penerjemahan adaptasi bahwa
dalam prosesnya penerjemah sangat memperhatikan agar teks
dapat dipahami dengan baik oleh penutur bahasa sasaran.78
Hoed dalam Penerjemahan dan Kebudayaan menyatakan
bahwa dalam adaptasi biasanya tokoh, latar belakang, dan konteks
76 Retno W. Setyaningsih - Rochayah Machali, Topik-topik dalam
Kajian Penerjemahan, h. 123. 77 Retno W. Setyaningsih - Rochayah Machali, Topik-topik dalam
Kajian Penerjemahan,h. 124. 78 Moch. Syarif Hidayatullah, h. 61.
37
sosial disesuaikan dengan kebudayaan bahasa sasaran.79 Hal ini
dilakukan dalam penerjemahan adaptasi teks cerita binatang dari
Eropa ke dalam bahasa Indonesia. Binatang dari Eropa diganti
dengan binatang di Indonesia. Sesuai dengan strategi domestikasi
budaya, dalam hal ini ‘rubah’ didomestikasi dengan ‘kancil’.
Demikian juga yang terjadi dalam penerjemahan ‘cuillere a cafe’
ke dalam bahasa Indonesia menjadi sendok teh.80 Hal yang serupa
juga dilakukan oleh peneliti dalam penerjemahan yang dilakukan
Yani’ah Wardani memadankan ‘serigala’ dengan ‘anjing hutan’.81
أحذر من ذئب
Lebih penakut dari anjing hutan
Penerapan metode domestication dalam proses
penerjemahan tentu saja memerlukan pertimbangan yang matang
dari penerjemah melalui informasi terkait pemarkah kebudayaan
yang hendak dipadankan. Dalam Translation Invisibility strategi
domestikasi budaya memandang pemarkah budaya sebagai objek
yang fokus kegiatannya hanya untuk kepentingan pemahaman di
kalangan pembaca bahasa sasaran. Venuti dalam Hoed
menambahkan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan
yang tidak dirasakan sebagai terjemahan.82 Disengaja ataupun
79 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 56. 80 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 56. 81 Yani’ah Wardani dan Cahya Buana, Pengaruh Unsur Ekstrinsik
terhadap Diksi Peribahasa Arab dan Indonesia (Analisis Satra Bandingan),
(Tangerang: Trans pustaka, 2013), h. 76. 82 Benny H. Hoed, “Tansparansi dalam Penerjemahan” (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007), Cet. 1 Edisi 1, h. 25.
38
tidak, penerjemah telah melakukan reduksi, khususnya reduksi
budaya.83
Pada proses pemadanan antar dua budaya yang saling
terkait melalui penerjemahan, budaya yang dominan lebih
mempunyai kuasa untuk menetapkan makna. Seperti pada contoh
Kata الشهي د mempunyai arti saksi atau orang yang gugur di
jalan Allah.127 Istilah tersebut sangat sesuai dengan konsep ‘martir’
127 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia,
h. 747.
74
dalam KBBI. Orang yang gugur di jalan Allah (fi sabilillah) tidak
hanya sebagai pejuang, akan tetapi dalam konteks ini peneliti
menggunakan strategi domestikasi budaya dengan membatasi
konsep kata الشهي د dalam tema nasionalisme. Sehingga kata الشهي د
dipadankan dengan ‘pahlawan’.
d) Kategori Pola Mitos
Teks 1
Kenikmatan mendengar
Pada syairnya yang omong
kosong
Dengan senyuman sinis
Menghasut pengikutnya saat
dibacakan syi’ir-syi’ir
mengikuti peribahasa
dan membenamkan jilbab
Mudah mudahan akan
datang malam berikutnya
untuk membayarkan dendam
نع مة الإص غاء
لشع ره الهراء
مة راء ببس صف
عار في ه إذا ما قرأ الأش ي هز رد
تثل ثال وام الأم
وي غ مز الخمار
ف ع الحساب لعله اللي ل أتى بقادم ليد
75
(puisi صغير لبرجوازي تقريبية صور
الشعر يقرض : bait 6-12)
Kata ثالأ م merupakan bentuk jamak dari kata مث ل dan مث ل
yang artinya perumpamaan, pepatah, dan parabel.128 Peneliti
menerapkan strategi domestikasi budaya (domestication) dengan
memberi padanan ثال dengan ‘peribahasa’. Strategi domestikasi أم
budaya ini dilakukan oleh peneliti karena kata amtsal memang
sebetulnya tidak dapat dipadankan secara sempurna dalam BSa.
Meskipun demikian, keduanya seringkali disamakan. Perbedaan
budaya menjadi faktor utama yang memengaruhinya.
Berikut beberapa perbedaan amtsal dan peribahasa.
Pertama amtsal harus berbentuk kalimat, sementara peribahasa
dapat berupa kata. Kedua, peribahasa merupakan induk dari kata
kiasan yang lain, seperti perumpamaan, pepatah, dan lainnya.
Sedangkan amtsal lebih independen sebagai genre prosa Arab.
Ketiga, amtsal dalam budaya Arab lahir dari sebuah kronologi
cerita, sehingga penggunaannya terbatas. Sementara peribahasa
dalam bahasa Indonesia tidak lahir dari sebuah kronologi cerita dan
keberadaanya tidak diketahui dari beberapa referensi serta
penggunaannya lebih fleksibel.129 Akan tetapi, peneliti mencoba
128 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia,
h. 1309. 129 Muflihah, “Peribahasa di dalam Bahasa Arab” (Studi Komparasi
Peribahasa Arab dengan Peribahasa Indonesia, Arabia, Vol. 6 No. 2 Juli –
Desember 2014, diakses pada 25 April 2019 pukul 23.09 WIB.
76
mendomestikasi amtsal tanpa mereduksi budaya bahasa sumber
dengan menarik tujuan yang sama dari amtsal dan peribahasa.
Pada larik puisi di atas ... Menghasut pengikutnya saat dibacakan
syi’ir-syi’ir, mengikuti amtsal... konsep amtsal untuk
memengaruhi orang lain dengan suatu tujuan. Senada dengan hal
tersebut peribahasa hadir untuk mengiaskan maksud tertentu.130
2. Penggunaan Bahasa Asing (foreignization)
a) Kategori Ekologi
Teks 1
ناك في لي ل الخري ف إل ال د م عي
تط لعان
ر راء؟ غي ماذا وراء الرب وة الحم
السن ديان
خنة وحان وسحائب ت ب كى ومد
: bait 1-3) ف ري
وت في الخ ) الم
Sepasang bola matamu di
malam musim semi menatap
ke sepanjang pemandangan
Apa yang ada di belakang
istana Alhambra? selain
pohon oak
Awan-awan menangis dan
asap telah mendekat
130 KBBI: Peribahasa merupakan kata atau kalimat yang tetap
susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu.
77
Peneliti menerapkan strategi penggunaan istilah asing
(foreignization) pada kata السن ديان. Secara literal السن ديان
mempunyai arti pohon ek atau oak.131 Kata سن ديان juga dijelaskan
dalam al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam yaitu pohon dari genus
pohon ek yang menghasilkan buah dan dikelilingi oleh
cerobong.132 Pohon oak banyak tumbuh di daerah Portugis,
Maroko dan Spanyol dan digunakan sebagai bahan pembuatan
kapal dan perabot rumah tangga sebagaimana kegunaan pohon jati
atau mahoni di Indonesia.133 Akan tetapi, di daerah tumbuhnya
beberapa pohon oak mendapat keistimewaan lebih dibandingkan
pohon-pohon lain karena usianya yang lebih dari 1.500 tahun
sehingga dijuluki dengan pohon malaikat.134 Hal inilah yang
menjadikan alasan peneliti mempertahankan ‘pohon oak’ untuk
padanan kata السنديان agar konsepnya di dalam BSu tidak tereduksi
saat diterjemahkan. Sehingga peneliti tetap memberi padanan
.’dengan ‘pohon oak السنديان
131 Al-ma’ani Arab-Indonesia diakses pada 23 April 2019 132 Lewis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, h. 355. 133 Kayu pohon oak banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuat
perabot rumah tangga sebagaimana pemanfaatan pohon jati dan mahoni di
Indonesia, diakses pada 24 April 2019 pukul 21.12 WIB.
atau Don Juan152 adalah sebuah tokoh fiksi دون جوان
flamboyan yang pertama kali diangkat dalam sebuah cerita
Spanyol dikarang oleh pujangga Tirso de Molina dalam El
152 Al-ma’ani Arab-Inggris daring diakses pada 26 April 2019 pukul
10.06 WIB.
91
burlador de Sevilla y convidado de piedra tahun 1630. Don Juan
merupakan tokoh mitologi romantisme yang terkenal sebagai laki-
laki penggoda. Hobinya gonta-ganti pacar. Sayangnya terkadang
sebutan Don Juan diberikan pada pria atau laki-laki yang suka
menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak bermanfaat153
karakter Don Juan sebagai pemarkah budaya digambarkan sebagai
sosok yang memesona, penggoda wanita dengan tatapannya, dan
memiliki sifat kesatria. Keterangan tentang دون جوان tersebut juga
terdapat di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam.154
Penyebutan orang di dalam kesusastraan Arab memang sering
digunakan sebagai simbol perumpamaan.
Pada konteks ini Al-Bayati ingin menggambarkan sosok
yang diidolakan oleh banyak perempuan. sebetulnya di kalangan
Arab sendiri memiliki tokoh romantisme, seperti Qays dalam
cerita “Layla Majnun”. Sosok Qays digambarkan sebagai sosok
yang tampan, berambut hitam, menjadi pusat perhatian dan
kekaguman.155 Sosok Qays sangatlah mirip dengan Don Juan.
Akan tetapi peneliti menerapkan strategi penerjemahan
foreignization dengan tetap memberi padanan ‘Don Juan’ karena
pada masanya penyair mendapat pengaruh dari aliran romantik
dari sastrawan Barat.
153 Don Juan, diakses pada 13 Juni 2019 pukul 19.30
WIB.https://joeybangun.com/2008/03/27/bercinta-ala-don-juan/ 154 Lewis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, h. 250. 155 Nizami, Laila Majnun Sebuah Mahakarya Sastra Islam (Jakarta: