i SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: HAFDA ZURAIDA NIM: 034314007 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010
121
Embed
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh:
HAFDA ZURAIDA
NIM: 034314007
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Teruntuk
Alm. Bapakku tercinta, terima kasih atas semuanya...
Ibuku tercinta, yang tak hentinya mendoakan dan menanyakan
perkembangan skripsiku... Terima kasih atas semuanya, bu...
Serta tak lupa kepada adik-adikku, Satria Dharmana dan Setyo Bekti
Nugroho, aku sayang kalian...
Serta,
Almamater Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
MOTTO
Penentu keberhasilan adalah kamu sendiri.
Ketika semua sudah berlalu, sesal kemudian tiada guna.
v
vi
ABSTRAK
Hafda Zuraida UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Skripsi yang berjudul “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942” ini membahas tentang tiga permasalahan. Pertama membahas tentang latar belakang kemunculan batik di Yogyakarta, kedua tentang monopoli kraton terhadap batik dan yang ketiga membahas tentang peran Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri pada tahun 1935 sampai 1942.
Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan batik yang muncul di Yogyakarta dan menyebar sampai ke daerah Imogiri. Sehingga dari permasalahan diatas akan terlihat proses kemunculan dan perkembangan batik di Yogyakarta.
Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan diatas, akan digunakan metode penelitian berupa studi pustaka dan wawancara. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang mencakup: heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial dan budaya. Skripsi ini ditulis secara deskriptif analitis.
Dari penulisan ini, dapat dilihat bahwa batik tidak hanya dihasilkan oleh para perempuan dari kraton. Batik juga dihasilkan oleh wanita dari luar kraton. Feodalisme kraton terhadap batik mengakibatkan motif batik tertentu hanya boleh dipakai oleh kalangan keluarga raja. Tetapi setelah sistem feodal kraton mengalami kemerosotan, akhirnya batik bisa dinikmati oleh semua kalangan. Salah satu tokoh yang menyebabkan meluasnya motif dan menyebarnya kesenian batik adalah Djogo Pertiwi. Meskipun pada awalnya membuat motif khusus kraton, beliau juga mengajarkan seni membatik kepada masyarakat Imogiri.
Kata kunci: Feodalisme, Djogo Pertiwi, Sejarah Batik.
vii
ABSTRACT
Hafda Zuraida SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
The title of this thesis is “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942”. This thesis is focused on three problems: 1. the background of the appearance of Batik in Yogyakarta. 2. The kraton’s monopoly the batik. 3. Djogo Pertiwi’s role to expand batik in Imogiri on 1935 to 1942. The aim of this thesis is to describe the development of batik that appear in Yogyakarta and spread to Imogiri. From the problems above, it will be seen the process of the appearance and the development of batik in Yogyakarta. To get answer of the problem above, it will be used the research method such as the form of book study and interview. The method which is used on this thesis writing is historical method including heuristic, verification, interpretation and historiography. The approach which used is social and culture approach. This thesis is written by descriptive analytive. From this thesis, we can see that batik is not only produced by women from Kraton. Batik is also produced by women from outer Kraton. Kraton have feudalism to batik that certain batik motif just can wear by the Royal family. However, after Kraton’s feudal system of batik had experince decline. Finally, batik can enjoy by all people. Djogo Pertiwi is one of the figures who spread motif and art of batik. Beside of making special motif Kraton, she also teaches the art of making batik to Imogiri people. Keyword: Feudalism, Djogo Pertiwi, History of Batik
viii
ix
KATA PENGANTAR
Puncak pencapaian penulisan skripsi ini telah berakhir. Tidak luput, penulis
mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk
kepada penulis dalam setiap lantunan doa yang dipanjatkan. Penulis juga tak lupa
untuk mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan beserta staf kerja
yang sudah memberikan kesempatan serta ijin untuk menyelesaikan skripsi
ini.
2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
yang telah memberikan nasehat serta dorongan kepada penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
3. Romo Dr. G. Budi Subanar, SJ selaku dosen pembimbing, dengan penuh
kesabaran telah memberikan saran, masukan, pikiran serta meluangkan waktu
untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.
Mira, Aji, Widi, Putra, Ria, Indra, terima kasih atas doa dan semangatnya.
xi
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO............................................................. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................................... vii
LEMBAR PUBLIKASI ILMIAH .................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ix
DAFTAR ISI................................................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1 B. Batasan Masalah .............................................................................................. 7 C. Rumusan Masalah ............................................................................................ 8 D. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 8 E. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 9 F. Landasan Teori ................................................................................................. 10 G. Kajian Pustaka ................................................................................................. 13 H. Metode Penelitian ............................................................................................ 15 I. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 16 BAB II. SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA ......................................................... 18 A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik .................... 19 B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram ............................................... 23 C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung .............................................. 29 D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik ................................................................. 34 BAB III. DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA ............................................. 40 A. Sistem Feodal Kraton ...................................................................................... 40
xiii
B. Penerapan Feodalisme Dalam Kehidupan di Kraton ....................................... 43 C. Kemerosotan Feodalisme Dalam Kehidupan Kerajaan ................................... 51 BAB IV. PERAN DAN FUNGSI DJOGO PERTIWI DALAM PENGEMBANGAN
SENI MEMBATIK 1935-1942 ....................................................................... 54 A. Keadaan Geografis Wilayah Penelitian ........................................................... 55 B. Perkembangan Batik di Imogiri ....................................................................... 56 C. Proses Pembelajaran Djogo Pertiwi Dalam Membatik .................................... 60 D. Proses Penyebaran Seni Batik di Dusun Pajimatan ......................................... 65 E. Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942 ........ 73 F. Unsur-Unsur Kebaruan yang Diciptakan Oleh Djogo Pertiwi ......................... 82 BAB V. PENUTUP ........................................................................................................ 87 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 91 LAMPIRAN ................................................................................................................... 95
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai bermacam-macam suku
yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara. Setiap suku di Indonesia memiliki
ciri khas keseniannya masing-masing. Salah satu kesenian yang terkenal adalah batik.
Brandes mengatakan bahwa batik sudah dikenal sejak jaman prasejarah, bahkan
menjadi salah satu kemampuan asli manusia Indonesia sebelum masuknya budaya
asing. Batik merupakan suatu bentuk dari kesenian yang dalam pembuatannya
mempunyai nilai tersendiri. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki tujuh
unsur yaitu, bahasa, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi,
dan kesenian. Seni batik tulis termasuk dalam unsur-unsur kebudayaan dan menjadi
salah satu ciri khas suatu wilayah tertentu.
Membatik adalah sebuah seni yang mengungkapkan ekspresi untuk
menorehkan canthing yang berisi malam ke dalam sebuah kain putih. Tentunya tidak
sembarangan orang bisa membuat kain batik. Dalam membuat batik, seseorang harus
memiliki kemampuan atau skill khusus untuk menumpahkan segala curahan ekspresi
seninya dalam kain itu. Tidak hanya skill atau kemampuan saja yang dibutuhkan oleh
pembatik tetapi juga imajinasi setiap pembatik diperlukan agar bisa membantu
mereka dalam menorehkan berbagai bentuk motif lewat canthing tersebut.
2
Proses pembuatan pola atau motif yang rumit, membuat seorang pembatik
harus lebih sabar dan telaten demi menghasilkan sebuah karya seni. Kemudian dalam
wilayah teknologi, batik mampu memadukan nilai seninya. Dalam sebuah kain batik,
setiap garis yang digambarkan untuk membuat corak atau motif diperhitungkan
sehingga bisa tergambar rapi dan teratur. Menurut Kartini Parmono, keindahan
bentuk tercipta karena perpaduan yang harmonis dari variasi susunan bentuk, garis,
titik-titik, dan warna yang terpadu secara harmonis yang ditangkap dengan
penglihatan atau panca indra.1
Batik dianggap sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai tinggi.
Keindahan dari setiap garis yang ditorehkan canting ke dalam kain memiliki makna
dan simbol. Pastinya seorang pembatik dalam membuat kain batik memiliki alasan,
mengapa dia membuat corak yang seperti itu. Menurut Kartini Parmono, seni batik
tradisional merupakan sistem simbol. Simbol-simbol tersebut diciptakan karena
adanya hasrat untuk menyampaikan pesan-pesan serta amanat untuk diwariskan ke
generasi penerus sebagai pembentuk watak dan kepribadian.2 Setiap corak yang
dilukiskan bisa dianggap sebagai simbol untuk memberikan arti yang bermakna bagi
setiap individu yang melihat maupun yang memakainya.
1 Kartini Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”, Jurnal Filsafat, No. 23,
November, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1995, hlm 30.
2 Ibid., hlm. 31.
3
Menurut motif dan warnanya, batik dibedakan menjadi dua macam yaitu batik
pedalaman (juga disebut sebagai batik kraton) dan batik pesisiran.3 Batik pedalaman
adalah batik yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kraton dengan dasar-dasar
filsafat kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri,
serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang serasi, tertib
dan seimbang.4 Motif yang digunakan adalah motif-motif yang diciptakan dari hasil
pengamatan alam sekitar dan warna yang digunakan adalah warna coklat, biru, hitam,
dan putih. Sedangkan batik pesisiran adalah batik berkembang di luar kraton dan
tidak terikat pada alam pikiran Jawa. Para pembatik bebas untuk mengungkapkan
ekspresi dalam karyanya.5
Di Jawa, perkembangan batik kraton (pedalaman) lebih dikenal di Yogyakarta
dan Solo. Selama ini dua daerah tersebut menjadi pusat kebudayaan di mana sistem
pemerintahan kerajaannya masih bertahan. Di dalam istana atau kraton sendiri, para
penguasa, keluarga dekat beserta para abdi dalemnya masih memegang teguh adat
dan tradisinya. Tradisi itu telah disampaikan secara turun temurun oleh nenek
moyang mereka. Dari kebiasaan yang turun temurun itulah, batik yang menjadi salah
satu unsur budaya kraton, masih tetap eksis.
3 Ibid., hlm 29.
4 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku
Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 5.
5 Ibid., hlm. 6.
4
Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang menjadi salah satu tempat
penyebaran batik. Batik yang berasal dari wilayah ini disebut dengan batik kraton.
Kraton menjadi salah satu pusat kebudayaan di Yogyakarta. Kesenian batik
merupakan suatu bentuk kerajinan tangan yang berasal dari lingkungan kraton dan
dalam pemakaiannya tidak bisa sembarangan orang bisa mengenakannya. Sehingga
ketika seseorang mengenakan kain batik kraton maka mereka mempunyai hak
istimewa yang dapat mengangkat kedudukannya.
Pada awal mulanya, batik merupakan sebuah kesenian tulis tradisional yang
hanya dibuat oleh perempuan-perempuan dari kraton. Batik dihasilkan dari tangan-
tangan perempuan di lingkungan kraton yang memiliki keahlian khusus dalam
menorehkan canting. Dari tangan-tangan mereka yang menghasilkan karya batik ini,
batik menjadi busana keprabon (busana kebesaran) para raja-raja di Kraton. Keahlian
mereka telah diwariskan oleh para pendahulu secara turun temurun. Pekerjaan
membatik dilakukan sebagai suatu kerja sambilan ketika para perempuan kraton itu
mempunyai waktu luang.
Motif atau corak yang diajarkan dalam ketrampilan membatik sangat
bermacam-macam. Masing-masing motif yang dihasilkan juga mempunyai makna
yang sangat mendalam. Hal itu disebabkan karena batik diciptakan agar pemakainya
dapat membawa kebaikan dan kebahagiaan.6 Batik muncul dari konsep estetika seni
Jawa yang adiluhung sehingga mencerminkan nilai-nilai ketradisian dan dinamika
6 Ibid, hlm. 28.
5
masyarakat pendukungnya.7 Orang-orang kraton mempunyai kekhasan tersendiri
dalam membuat karya batik tulis. Mereka mengamalkan hal-hal yang menurut
mereka masih dianggap sebagai tradisi nenek moyang.
Motif-motif batik yang sudah dibuat tidak bisa dipakai oleh sembarangan
orang. Hanya beberapa kalangan saja yang bisa memakai motif-motif tertentu itu.
Contoh motif-motif larangan, biasa untuk menyebut kain batik yang hanya dipakai
oleh kalangan tertentu, misalnya seperti parang rusak, kawung, sidomukti, udan liris,
semen rama, dan sawat. Batik dengan motif-motif tersebut hanya boleh dipakai oleh
raja dan keluarga dekatnya saja.
Raja memerintah rakyatnya dengan kekuasaan feodal. Salah satu bentuk
feodalisme suatu kerajaan dapat dilihat dari pemakaian batik ini. Dari gambar motif
sebuah kain batik tersebut, bisa diketahui kedudukan sosialnya. Dengan kata lain, jika
seorang raja memakai suatu motif batik yang menunjukkan kebesarannya maka
rakyat harus menghormatinya. Kekuasaan feodal seorang raja membuat rakyat akan
selalu patuh dan tidak melawan penguasa yang saat itu sedang memerintah, sehingga
penguasa bisa melakukan kontrol terhadap rakyat di wilayah kekuasaannya.
Kekuasaan feodal raja semakin lama semakin berkurang sehingga terjadilah proses
defeodalisasi.
Proses pembatikan kemudian mengalami perkembangan, yang semula
dikerjakan oleh perempuan-perempuan di lingkungan kraton dan berkembang
7 Biranul Anas, op. cit., hlm. 33.
6
menjadi dikerjakan oleh perempuan di luar kraton. Motif-motif kebesaran raja tidak
hanya dibuat oleh kalangan terbatas saja. Motif-motif larangan, seperti parang rusak,
sawat, dan semen, sudah bisa dibuat dan dipakai oleh masyarakat luas.
Perluasan kemampuan membatik ini salah satunya dipelopori oleh Djogo
Pertiwi. Seni pembuatan batik tidak hanya berada di kraton saja tetapi juga menyebar
di beberapa wilayah di Yogyakarta. Salah satu wilayah yang masih bertahan untuk
memproduksi batik adalah Imogiri. Imogiri terletak di sebelah selatan Kota
Yogyakarta, tepatnya di dusun Pajimatan, kelurahan Girirejo. Di dusun Pajimatan itu
juga terdapat suatu pemakaman raja-raja Mataram terdahulu. Penyebaran seni
membatik ini terjadi ketika seseorang dari luar kraton bekerja menjadi abdi dalem
kraton. Mereka mempunyai istri dari kalangan orang kraton yang mempunyai
keahlian membatik. Dari istri-istri mereka, kesenian membatik kemudian menyebar
luas ke wilayah-wilayah lain saat suaminya ditugaskan untuk menjaga dan merawat
makam raja-raja Mataram.
Di Imogiri, Djogo Pertiwi adalah seorang pembatik yang dianggap sebagai
perintis batik. Pada mulanya Djogo Pertiwi adalah seorang perempuan yang berasal
dari luar kraton, kemudian menikah dengan seorang abdi dalem kraton yang bekerja
sebagai juru kunci makam Imogiri. Sejak kecil sudah tertarik dengan batik dan mulai
belajar membatik. Selain dianggap sebagai perintis batik, Djogo Pertiwi dianggap
sebagai pelestari kesenian batik tulis tradisional. Sejak sekitar tahun 1930, Djogo
Pertiwi mengajarkan tentang bagaimana cara membatik kepada masyarakat sekitar
7
Imogiri. Atas usaha dan kerja kerasnya untuk melestarikan batik, Djogo Pertiwi
mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto pada tahun 1994.
B. Batasan Masalah
Batik merupakan salah satu hasil kerajinan yang adiluhung (bernilai tinggi)
sehingga tidak sembarang orang bisa memakainya. Pihak kraton telah membuat batik
menjadi suatu bentuk monopolinya. Tetapi hal ini tidak bisa berlangsung lama,
karena kemunculan Djogo Pertiwi yang kemudian menyebarkan keahlian membatik
kepada masyarakat sekitar wilayah Imogiri. Batik yang awalnya hanya dimonopoli
oleh kraton, mulai lepas dari monopoli kraton ketika di Imogiri muncul seorang tokoh
bernama Djogo Pertiwi.
Dia adalah seorang istri abdi dalem kraton yang mulai berkarya sejak tahun
1935. Skill atau kemampuan membatik dan imajinasi yang dimiliki oleh Djogo
Pertiwi mampu mengubah kehidupan masyarakat di sekitar Imogiri. Pada sekitar
tahun 1930-an terjadi krisis ekonomi yang melanda seluruh dunia. Negara Indonesia-
pun tidak luput dari pengaruh krisis tersebut. Salah satunya berimbas pada industri
batik di Yogyakarta yang mengalami kelesuan selama beberapa tahun. Pada tahun
1939, muncul beberapa badan koperasi yang membantu pembatik dalam menghadapi
krisis ekonomi akibat serangan produk impor dari luar negeri seperti Jepang dan
Belanda. Industri batik di wilayah Yogyakarta dan juga wilayah pembatikan yang lain
mulai bangkit kembali. Kemudian, ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942,
8
industri batik mengalami kelesuan kembali. Bahan baku untuk pembuatan batik
sangat sulit untuk didapatkan.
C. Rumusan Masalah
Dalam menjelaskan judul skripsi ”Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-
1942”, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta ?
2. Bagaimana dinamika perkembangan batik gaya Yogyakarta?
3. Bagaimana peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di
Imogiri tahun 1935-1942?
D. Tujuan Penelitian
Batik merupakan kesenian asli dari Indonesia meskipun banyak juga yang
berpendapat bahwa batik berasal dari luar Indonesia. Terlepas dari pendapat-pendapat
itu, batik mengalami proses yang sangat panjang baik dalam sejarah maupun dalam
proses pembuatannya.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar
belakangi kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Kemudian mengetahui dinamika
batik gaya Yogyakarta, dan mengetahui sejauh mana peran dan fungsi Djogo Pertiwi
dalam mengembangkan batik di Dusun Pajimatan, Imogiri.
9
E. Manfaat Penelitian
Penulisan ini merupakan salah satu bagian dari latihan kerja ilmiah. Pada
pokok ini, ditempuh dengan cara, mulai dari pemilihan tema, perumusan masalah,
pengumpulan bahan, sampai dengan pengolahannya sesuai dengan cara kerja ilmu
sejarah. Penulisan ini difokuskan pada tema seperti tersebut diatas. Diolah melalui
tahap-tahap yang akan diurai pada bagian selanjutnya sampai dengan tahap
penulisannya.
Hasil penelitian yang disusun dalam skripsi ini diharapkan agar masyarakat
bisa membuka pengetahuan baru dalam wacana kesejarahan mengenai sejarah batik
terutama tentang proses sosial yang terjadi dalam perkembangan batik di Imogiri.
Pengetahuan tentang batik sebagian besar hanya ditinjau dari proses pembuatannya,
dan diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat tahu akan sejarah kemunculan
batik gaya Yogyakarta, dinamika batik gaya Yogyakarta, dan juga peran dan fungsi
Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935 sampai 1942.
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber sejarah sosial mengenai
perkembangan batik di Imogiri.
Penulis berharap bahwa tulisan ini mampu membuka pengetahuan masyarakat
luas mengenai peran kraton yang mendominasi seluruh lapisan rakyat, khususnya di
Yogyakarta, dengan sistem feodalnya. Kekuasaan feodal yang diterapkan oleh kraton
terhadap batik sedikit demi sedikit bisa bergeser dan batik mulai bisa dipakai oleh
semua kalangan masyarakat luas. Manfaat penulisan ini bagi masyarakat luas adalah
agar masyarakat mampu menambah pengetahuannya tentang tokoh yang bernama
10
Djogo Pertiwi yang mengembangkan batik di Imogiri dan dianggap sebagai perintis
batik. Penulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas sehingga tidak
hanya bermanfaat bagi kalangan akademisi saja.
F. Landasan Teori
Untuk menguraikan pertanyaaan-pertanyaan diatas, beberapa teori yang
digunakan adalah sebagai berikut.
Dalam buku Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Sartono
Kartodirdjo mengemukakan bahwa
Proses akulturasi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat
menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian
terhadap komoditi, nilai, atau ideologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan
kondisi, disposisi, dan referensi kulturalnya, yang kesemuanya merupakan
faktor-faktor kultural yang menentukan sikap terhadap pengaruh baru.8
Masyarakat Imogiri yang awalnya mempunyai suatu budaya sendiri,
kemudian mendapat pengaruh dari kraton akibat masuknya budaya kraton, salah
satunya adalah batik. Dalam perkembangannya, tradisi membatik menyebar luas ke
masyarakat di wilayah Imogiri. Batik dari kraton masih sesuai dengan pakemnya,
tetapi setelah masuk ke masyarakat Imogiri batik kraton mendapat pengaruh kultural
dari budaya setempat sehingga mengakibatkan munculnya jenis atau motif batik yang
baru.
8 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 160.
11
Kemudian A.L. Kroeber membuat teori difusi/penyebaran unsur budaya.
Teori ini berbicara mengenai perubahan dalam masyarakat dengan cara mencari
asal/aslinya dalam masyarakat lain. Difusi adalah suatu proses yang biasanya tetapi
tak seharusnya perlahan apabila unsur-unsur atau sistem-sistem budaya itu
disebarkan. Apabila suatu penemuan yang baru diadopsi di suatu tempat maka adopsi
berlangsung pula di daerah tetangga sehingga dalam berbagai kasus pengadopsian
tersebut berjalan terus. Kemudian tersebar dalam lingkup waktu tertentu sehingga
tempo penyebaran lewat ruang ditentukan oleh waktu.9 Batik merupakan suatu
ekspresi seni yang awalnya dibuat hanya oleh wanita-wanita di lingkungan kraton.
Kemudian hal ini menyebar melalui proses penyebaran ke daerah lainnya, seperti ke
Imogiri dalam waktu tertentu.
Dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial, Astrid Susanto menyebutkan
bahwa Proses penyebaran unsur-unsur budaya adalah merujuk pada
pengembangan/growth dan tradisi sebagai suatu proses merujuk pada pemeliharaan.10
Batik yang merupakan salah satu wujud dari unsur kesenian, disebarkan kepada
masyarakat luas agar bisa mengalami perkembangan. Motif atau coraknya dapat
berganti-ganti sesuai dengan perkembangan batik. Batik juga merupakan tradisi dari
nenek moyang yang diturunkan baik kepada anak-cucunya maupun kepada
masyarakat demi terpeliharanya kesenian membatik. Pemeliharaan kesenian batik
9 Judistira K. Garna, Teori-Teori Perubahan Sosial, Bandung: Program Pasca
Sarjana Universitas Padjajaran, 1992, hlm. 73-74.
10 Ibid., hlm. 6.
12
bisa dengan cara mewariskannya secara turun temurun. Begitu juga batik di
Yogyakarta yang diwariskan ketrampilannya secara turun temurun kemudian akan
senantiasa berkembang.
Menurut Astrid Susanto lagi dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial,
perubahan sosial diberi arti sebagai development/perkembangan yang merupakan
perubahan tertuju kepada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, sehingga
akan dinikmati pula oleh individu.11
Perkembangan batik kemudian menyebar ke
wilayah Imogiri. Di Imogiri, batik membuat perubahan pada kehidupan
masyarakatnya. Keahlian membatik yang dikuasai oleh Djogo Pertiwi membuat
masyarakatnya tertarik untuk mempelajari seni batik. Masyarakat yang diberi
pelajaran tentang membatik itu mengakibatkan terjadinya perkembangan batik di
Imogiri dan menyebabkan perubahan yang membawa mereka ke arah kemajuan.
Sartono juga mengemukakan tentang teori perubahan sosial yaitu sebagai
berikut
Perubahan sosial adalah gejala yang inheren dalam setiap perkembangan dan
pertumbuhan (development). Teori developmentalisme menggambarkan
bahwa masyarakat mengalami pertumbuhan atau perkembangan, suatu proses
yang analog dengan proses organis; tidak hanya ada tambahan besarnya
entitas, tetapi juga meningkatnya kemampuan serta kapasitas untuk
mempertahankan eksistensi, adaptasi terhadap lingkungan, serta lebih efektif
mencapai tujuannya.12
Setiap kehidupan masyarakat pasti mengalami perkembangan dan
pertumbuhan akibat pengaruh dari suatu proses kehidupan. Kemampuan yang
11
Ibid., hlm. 7.
12 Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 162.
13
dimiliki oleh setiap individu dalam suatu lingkungan masyarakat juga dipengaruhi
oleh proses perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi. Seperti halnya Djogo
Pertiwi, kemampuan yang dimilikinya meningkat sehingga dia akan terus
mempertahankan eksistensinya dalam dunia batik. Perubahan sosial di dalam
masyarakat Imogiri juga mengalami perkembangan dan pertumbuhan akibat
masuknya ketrampilan membatik. Mereka mampu mempelajarinya dan
mempertahankan eksistensinya sebagai pembatik.
G. Kajian Pustaka
Pembahasan tentang batik telah banyak dibahas dalam buku atau pustaka.
Diantaranya adalah buku berjudul Sejarah Batik Yogyakarta, karangan A. N.
Suyanto. Buku ini membahas tentang sejarah perkembangan batik di Yogyakarta
pada masa pemerintahan sultan-sultan Yogya. Selain itu juga berisi tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan batik, bentuk dan fungsi
batik di Yogyakarta. dalam buku ini periode yang dibahas adalah sejak zaman
pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII sampai zaman pemerintahan Sultan
Hamengku Buwono X. Pada masa-masa itu dapat dilihat bagaimana perubahan dan
perkembangan bentuk, motif maupun fungsi kain batik dari setiap pemerintahan yang
berkuasa.
Kemudian tesis yang berjudul Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri
Yogyakarta (Kajian bentuk dan Gaya Seni) yang ditulis oleh Sugiyamin, Program
Pascasarjana UGM, 2002. Tesis ini menuliskan tentang sejarah munculnya batik yang
14
awal mulanya hanya dikerjakan oleh orang-orang kraton sehingga kemudian
menyebar sampai Imogiri dengan mengungkapkan peran abdi dalem penjaga makam
raja-raja Mataram. Masyarakat Imogiri mendapat ilmu dengan mempelajari seni
membatik. Sebuah proses sosial penyebaran ketrampilan membatik dari orang-orang
kraton kepada masyarakat Imogiri. Tesis ini juga menyinggung sedikit tentang
peranan Djogo Pertiwi dalam melestarikan ketrampilan membatik kepada masyarakat
Imogiri.
Buku Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah
Mengenai Latar Belakang Kehidupan Bangsa Indonesia, Adat Istiadat dan Seni
Budaya, karangan Biranul Anas dari Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII. Buku ini
menerangkan tentang kesenian membatik yang muncul di Jawa pada sekitar akhir
abad 18, dan kemudian batik mengalami proses penyebaran. Dari proses tersebut bisa
dibedakan antara batik kraton dengan batik pasisiran. Buku ini juga menjelaskan
tentang tujuan dan fungsi batik, cara membuat batik, dan hubungan antara batik
dengan kraton.
Terdapat sebuah artikel yang berjudul Pasang Surut Batik Tulis Tadisional
Bantul: Studi Kasus batik Tulis Imogiri tahun 1970-1998 ditulis oleh Suhartinah
Sudjiono, diambil dari Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya “Patra
Widya”, Vol. 7 No. 3, September 2006. Artikel ini membahas tentang awal mula
munculnya batik di Imogiri dan juga menyinggung sedikit tentang Djogo Pertiwi.
Buku-buku lain yang mengulas tentang batik kebanyakan hanya menjelaskan
tentang proses pembuatan batik beserta alat dan bahan-bahan yang dibutuhkan. Selain
15
itu juga menggunakan artikel-artikel yang terdapat pada Jurnal Filsafat, Jurnal
Kebudayaan “Selarong”, dan artikel-artikel dalam internet. Dengan bantuan buku-
buku tersebut, skripsi ini secara khas akan membahas tentang hal-hal yang
melatarbelakangi kemunculan batik di Yogyakarta, sistem feodal kraton yang
menguasai batik, serta peran seorang Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan ini adalah studi pustaka dan
studi lapangan. Dalam meneliti melalui studi pustaka, menggunakan sumber tertulis
dari buku-buku yang relevan sehingga dapat membantu dalam menganalisis dan
mendeskripsikan sejarah penulisan batik ini. Bahan-bahan yang dipakai/digunakan
antara lain telah disebutkan dalam tinjauan pustaka. Dokumen-dokumen lain yang
digunakan adalah seperti artikel-artikel dalam jurnal, koran, dan juga melalui situs-
situs di internet.
Kemudian proses pengumpulan selanjutnya adalah studi lapangan yang
dilakukan melalui metode wawancara. Narasumber yang diwawancarai diantaranya
adalah anak menantu Djogo Pertiwi yang menjadi penerus usaha batik Djogo Pertiwi
sekaligus muridnya, kemudian ketua Dusun Pajimatan, dan pemerhati batik.
Narasumber tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan dengan
topik dan permasalahan yang akan dibahas oleh penulis.
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam metode penulisan karya ilmiah
ini adalah pertama heuristik/pengumpulan sumber, yaitu dengan mengumpulkan data-
16
data baik yang primer maupun yang sekunder. Kedua, kritik sumber, yaitu dari sekian
banyak sumber tersebut dipilih dan diperbandingkan kembali sumber-sumber yang
lebih relevan agar lebih dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya (sumber dapat
dipercaya kebenarannya) guna penulisan skripsi ini. Ketiga, interpretasi, yaitu
penafsiran atas sumber maupun data yang telah ditemukan. Keempat, adalah
historiografi yang merupakan tahap terakhir, yaitu tahap penulisan.
I. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini akan disusun ke dalam lima bab dengan urut-
urutan sebagai berikut:
Bab I, membahas tentang latar belakang yang menjadi dasar penelitian ini.
Bab II, membahas tentang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Bab ini
akan dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana keadaan masyarakat
Yogyakarta pada saat kemunculan batik, batik sebagai suatu warisan dari kerajaan
Mataram, motif atau pola batik yang bersifat adiluhung, dan pembatasan pemakaian
kain batik.
Bab III, membahas tentang dinamika batik gaya Yogyakarta. Bab ini akan
dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana sistem feodal kraton
Yogyakarta, kemudian bagaimana penerapan feodalisme dalam kehidupan kraton dan
yang terakhir akan dibahas sub bab mengenai kemerosotan feodalisme dalam
kehidupan kerajaan.
17
Bab IV, membahas tentang peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam
mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935-1942. Dalam bab ini juga akan
diuraikan menjadi sub-sub bab yang meliputi keadaan geografis wilayah penelitian,
kemudian kemunculan batik di Imogiri, proses pembelajaran Djogo Pertiwi dalam
membatik, proses penyebaran seni membatik di dusun Pajimatan, proses sosial dalam
mengembangkan batik di dusun Pajimatan pada tahun 1935-1942. Sub bab terakhir
membahas unsur-unsur kebaruan yang diciptakan oleh Djogo Pertiwi.
Bab V, tentang penutup yang meliputi kesimpulan dari bab-bab yang sudah
ditulis. Bab terakhir ini antara lain berisi uraian mengenai hasil penelitian sekaligus
jawaban atas permasalahan yang telah dikemukakan pada awal bab.
18
BAB II
SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA
Banyak kontroversi mengenai kapan munculnya batik di Indonesia. Ada
beberapa pendapat dari tokoh-tokoh mengenai kemunculan batik. Masih terdapat
perdebatan mengenai kapan tepatnya batik mulai ada di Indonesia. Namun ada yang
menyebutkan bahwa batik merupakan hasil budaya dari orang Indonesia sendiri.
Apapun hal yang menjadi perdebatan mengenai kapan kemunculan batik, batik telah
menjadi suatu seni yang telah banyak dipelajari oleh banyak orang di Indonesia, salah
satunya di Yogyakarta.
Provinsi Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang memproduksi kain
batik tradisional. Selain itu juga terdapat berbagai macam motif batik yang
dihasilkan. Salah satu institusi yang giat dalam memproduksi batik adalah Kraton
Yogyakarta. Sejak di bawah pemerintahan Hamengku Buwono I, batik telah menjadi
salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan kraton, khususnya
oleh para kaum wanita. Kegiatan membatik oleh para wanita ini diwariskan secara
turun temurun. Para abdi dalem yang menguasai kesenian membatik ini kemudian
mengajarkannya kepada wanita-wanita di lingkungan itu sebagai salah satu
ketrampilan yang harus dimiliki oleh mereka.
19
A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik
Corak (gaya) batik di Yogyakarta tidak lepas dari perpecahan yang terjadi
dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut kemudian berakhir dengan adanya
Perjanjian Giyanti. Konflik suksesi atau perebutan kekuasaan mewarnai perpecahan
dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut terjadi karena adanya konflik antara
Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi yang memperebutkan tahta Kerajaan
Mataram. Kerajaan Mataram memang sudah sejak lama mengalami konflik perebutan
kekuasaan. Perdebatan mengenai siapa yang pantas menduduki tahta Kerajaan
Mataram selalu terjadi. Hal itu tidak lepas juga dari campur tangan dari pihak
Pemerintah Belanda antara lain dengan memanas-manasi salah satu pihak keluarga
Raja. Pihak Belanda mengambil keuntungan dari terjadinya konflik ini karena mereka
bisa dekat dengan pihak kraton sehingga bisa dimanfaatkan, salah satunya untuk
memperluas wilayah jajahannya.
Puncak dari konflik antara Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi itu
diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada 13 Mei tahun 1755. Hasil
yang dicapai dalam perjanjian Giyanti adalah terbaginya wilayah Mataram menjadi
dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kasultanan Yogyakarta
dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan
Hamengkubuwono I dan Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono III
karena sebelum terlaksananya Perjanjian Giyanti, Paku Buwono II telah meninggal
20
dunia. Peristiwa yang juga disebut dengan Palihan Nagari ini juga menjadi titik tolak
berdirinya Kraton Yogyakarta.1
Sebelum terjadi perpecahan, Kerajaan Mataram mempunyai wilayah
kekuasaan yang sangat luas. Dibawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram dibagi
menjadi beberapa daerah kekuasaan dengan kraton sebagai pusatnya. Daerah-daerah
kekuasaan tersebut diurutkan menjadi sebagai berikut: daerah pertama, di mana
Kraton menjadi pusatnya disebut dengan wilayah Kutanegara. Di sinilah didirikan
istana kerajaan atau kraton. Raja mengatur segala urusan pemerintahannya di dalam
istana. Daerah kedua yang mengitari Kutanegara disebut dengan Negara Agung,
kemudian wilayah yang berada diluar Negara Agung disebut dengan Mancanegara,
dan yang terakhir wilayah kekuasaan yang paling luar dari Kerajaan Mataram disebut
dengan Pasisiran.2 Konflik dengan pihak Kolonial Belanda membuat wilayah
kekuasaan kerajaan Mataram menjadi semakin sempit dengan diadakannya Perjanjian
Giyanti.
Batik sebenarnya sudah digunakan pada masa Kerajaan Majapahit dan
berkembang sampai pada masa kerajaan-kerajan Jawa seperti Mataram. Seiring
dengan terjadinya perpecahan dalam Kerajaan Mataram, batik juga kemudian tetap
diproduksi dan digunakan di Kraton Yogyakarta. Hanya saja terdapat motif-motif
1 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan
Merapi, 2002, hlm. 13-15.
2 Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia IV,
Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984, hlm. 1-2.
21
tertentu dan berbeda yang dipakai oleh orang-orang Kraton dan oleh masyarakat
biasa.
Diferensiasi pemakaian batik pada masa itu tidak lepas dari kehidupan sosial
masyarakat Jawa yang terbagi dalam kelas-kelas atau yang biasa disebut dengan
stratifikasi yang didasarkan pada kedudukan dan status. Masyarakat Jawa sendiri
digolongkan menjadi beberapa kelas atau lapisan, yaitu sebagai berikut:
1. Bagian pertama adalah lapisan atas atau biasa disebut dengan lapisan orang
besar (wong agung, priyayi). Kelompok ini masih dibagi lagi menjadi dua
golongan, yaitu bangsawan atau ningrat dan abdi dalem. Orang-orang
yang termasuk dalam lapisan bangsawan atau ningrat ini didasarkan pada
kerabat atau keturunan yang masih sedarah dengan raja. Kemudian orang-
orang yang termasuk golongan abdi dalem, mereka sebetulnya priyayi
tetapi berasal dari wong cilik.
2. Bagian kedua adalah lapisan bawah, yang termasuk dalam lapisan ini ialah
rakyat biasa atau wong cilik. Mereka kebanyakan bekerja sebagai buruh,
perajin, pedagang, dan pegawai rendahan. Di lapisan ini juga masih dibagi
lagi penggolongannya berdasarkan pada kepemilikan tanah. Mereka
adalah petani pemilik tanah, petani penggarap, dan buruh tani.3
3 A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 24-25.
22
Penduduk Jawa khususnya pedalaman, menganut sistem pertanian agraris
yang berarti bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting. Tanah
telah menjadi sesuatu hal yang sangat berperan penting dalam masa itu. Raja, yang
memegang kekuasaan tertinggi, dianggap sebagai pemilik semua tanah yang ada di
wilayahnya. Pejabat-pejabat daerah yang diserahi kekuasaan untuk mengatur salah
satu wilayah suatu kerajaan akan mendapat gaji berupa tanah untuk digarap. Pejabat
tersebut dipilih yang masih mempunyai darah bangsawan dari kerajaan. Para petani
cilik yang menduduki lapisan masyarakat paling bawah, nantinya yang akan
menggarap tanah itu.
Sebagian besar masyarakat Indonesia sangat akrab dengan makanan pokoknya
yaitu beras. Padi menjadi tanaman yang wajib untuk ditanam oleh masyarakat Jawa.
Setiap butir padi yang tumbuh, akan diberikan kepada Raja sebagai bagian dari upeti
yang diambil dari sawah merupakan salah satu dari sistem feodal yang berlaku
selama ratusan tahun.4 Rakyat kecil yang berada di lapisan masyarakat paling bawah
mempunyai kewajiban untuk mematuhi apa yang yang diperintahkan oleh pejabat
daerah. Hasil-hasil dari tanah garapan itu kemudian akan diserahkan kepada raja dan
disebut dengan upeti. Penguasa pusat akan selalu mengawasi pekerjaan peajabat-
pejabatnya di daerah sehingga dapat memperkecil terjadinya kecurangan.
4 Inger McCabe Elliot, Batik Fabled Cloth of Java, Singapore: Periplus,
2004, hlm. 24.
23
B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram, khususnya Kerajaan Mataram Islam, dahulunya
mempunyai daerah kekuasaaan yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Pulau
Jawa, menjadi daerah kekuasaan kerajaan tersebut. Dari keseluruhan raja yang pernah
memerintah Kerajaan Mataram, Sultan Agung yang paling terkenal. Sultan Agung
membawa Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaannya. Sultan Agung
memerintah dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Beliau memperluas wilayah
Kerajaan Mataram dengan menaklukkan daerah-daerah di Pulau Jawa seperti Tuban,
Jepara, Gresik, Cirebon, Madura dan Surabaya. Penaklukan ini mengakibatkan semua
daerah tersebut jatuh dibawah kekuasaan Sultan Agung.5
Ada berbagai pendapat mengenai munculnya batik ke Indonesia. Di wilayah
Jawa, seperti yang telah disebutkan pada awal bab, telah diproduksi sejak masa
Kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa batik dipengaruhi oleh
kebudayaan India yang datang bersamaan dengan agama Hindu-Buda. Sehingga,
motif-motif batik yang diciptakan ada hubungannya dengan budaya agama Hindu
Buda. Percampuran antara budaya Jawa dengan budaya Hindu Buda atau yang juga
disebut dengan akulturasi, tidak menyebabkan budaya Jawa asli itu menghilang,
tetapi mengalami pertambahan dan memperkaya nilai budaya Jawa asli yang telah
mengakar dalam masyarakat.
5 Ibid., hlm. 30.
24
Menurut Brandes, bangsa Indonesia mempunyai 10 kepandaian yang menjadi
unsur asli kebudayaan Indonesia. 10 unsur itu diantaranya adalah wayang, gamelan,
kerajinan batik, kerajinan dari logam, sistem mata uang koin, navigasi, astronomi,
pertanian irigasi, sistem metrik, dan kehidupan politik (birokrasi).6 Batik ternyata
memang sebuah karya yang sudah menjadi salah satu budaya asli orang Indonesia.
Meskipun banyak pengaruh yang datang dari luar, batik tetap mempunyai ciri
tersendiri.
Kemudian ketika Islam mulai masuk ke Pulau Jawa, batik juga mendapat
pengaruh dari Islam. Batik juga mengalami perkembangan pada masa Kerajaan
Mataram. Sultan Agung menjadi seorang raja yang juga berperan dalam bidang
kebudayaan. Di samping kegiatannya dalam berpolitik, Sultan Agung mencurahkan
sebagian perhatiannya dalam hal seni batik. Ketika kebudayaan Islam masuk,
kesenian membatik yang terlebih dahulu mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buda
dan juga kebudayaan Indonesia lama juga mendapat pengaruh dari budaya Islam.
Pada perkembangannya, agama-agama tersebut memberi banyak pengaruh dalam
perkembangan batik. Masuknya pengaruh Islam memperkaya kesenian tersebut.
Dalam dunia seni batik, Sultan Agung mengilhami pembuatan motif parang-
parangan,7 dan menciptakan motif sembagen huk.
8 Meskipun Yogyakarta dan
6 Asmito, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988, hlm.
29.
7 Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program
Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 131.
25
Surakarta tadinya merupakan satu kerajaan, tetapi warna batik buatan dari dua daerah
kerajaan ini berbeda. Batik khas dari Yogyakarta warna yang lebih dominan adalah
putih terang dan untuk batik khas Solo, warna yang lebih dominan adalah coklat.
Peran Sultan Agung dalam bidang kesenian membatik ini menjadikan beliau
sebagai seorang budayawan. Selain sebagai orang yang berperan dalam bidang
budaya, Sultan Agung juga memiliki minat dalam hal ilmu militer, filsafat, sastra,
hukum, dan astronomi. Hasil karya dari Sultan Agung dalam bidang budaya antara
lain perpaduan penanggalan tarikh Jawa (saka) dengan Islam (hijriyah) yang disebut
dengan tarikh Jawa, kitab sastra gending, dan upacara garebeg. Selain itu Sultan
Agung juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena kekuasaannya yang besar
dengan daerah taklukan yang luas.
Kerajaan Mataram Islam tumbuh menjadi kerajaan besar ditangan
pemerintahan Sultan Agung. Kebudayaan sangat dijunjung tinggi pada masa Sultan
Agung. Setelah Mataram terbagi menjadi dua, Pangeran Mangkubumi, yang setelah
dinobatkan menjadi raja berganti nama menjadi Sultan Hamengku Buwono I,
membawa semua barang-barang pusaka yang ada di kerajaan Mataram. Beliau
hendak merawat barang-barang tersebut, termasuk kain batik. Sedangkan Paku
8 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku
Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 66.
26
Buwono III, membuat kain batik dengan motif baru dan juga mendesain busana yang
menjadi khas busana Jawa gaya Surakarta sampai sekarang.9
Ketika Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I,
menetapkan pemakaian batik sebagai sebuah tradisi yang membudaya sejak zaman
kerajaan Mataram.10
Batik tak hanya digunakan sebagai busana sehari-hari, tetapi
juga dipakai dalam upacara-upacara resmi kerajaan atau upacara ageng seperti
upacara supitan, jumenengan dalem, garebeg, tingalan dalem, dan perkawinan11
.
Peranan batik sebagai busana pada masa itu sangat penting karena penggunaannya
dipakai hampir dari sejak manusia itu lahir sampai meninggal dunia. Ketika manusia
itu lahir, meskipun belum bisa memakai batik, bayi sudah digendong dengan kain
batik. Ketika sudah menginjak dewasa, batik digunakan untuk upacara supitan,
kemudian pada saat mau menikah batik juga dipakai. Sampai pada akhirnya
meninggal dunia, jenazah orang tersebut juga ditutup menggunakan kain batik.
9 Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman,
Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 13. Dalam buku ini juga disebutkan bahwa
kemudian terdapat perbedaan antara pakaian orang Yogyakarta dengan Surakarta atau
Solo yang menimbulkan olok-olok antara keduanya.
10 A. N. Suyanto, op.cit., hlm 3.
11 Ibid., hlm. 6-7. Penggunaan kain batik yang berfungsi baik dalam kegiatan
sehari-hari maupun resmi telah diterapkan dalam kehidupan di dalam keraton maupun
oleh masyarakat. Lihat juga dalam buku Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-
1937 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 8.
Lalu dalam buku Inger Inger McCabe Elliot, Batik Fabled Cloth of Java, Singapore:
Periplus, 2004, hlm. 32, juga disebutkan bahwa batik digunakan hampir sebagai
pakaian dan busana pada saat upacara atau ceremonial.
27
Tentunya motif yang dipakai dalam upacara-upacara tersebut berbeda-beda dan
disesuaikan dengan arti atau makna motif batik dalam satu kain.
Batik kemudian menjadi salah satu alat-alat kebesaran yang menjadi simbol
kebangsawanan dan memiliki peran yang sangat penting selain barang-barang seperti
payung, pakaian adat, keris, dan tombak. Kegiatan upacara di Kraton memang sudah
diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun. Perlengkapan yang dipakai pada
setiap upacara harus selalu diperhatikan sesuai dengan aturan yang berlaku di Kraton.
Sehingga penggunannya tidak boleh terlewatkan karena akan mempengaruhi
kedudukan raja di lingkungannya. Raja merupakan pemimpin yang kharismatik dan
sangat disegani oleh rakyatnya. Jika ketika ada kejanggalan dalam penyelenggaraan
seperti misalnya upacara ageng, maka raja akan kehilangan kewibawaannya.12
Di Kraton, batik sangat akrab dengan perempuan. Batik merupakan sebuah
karya seni yang berasal dari tangan para perempuan. Sejak pemerintahan Sultan
Hamengku Buwono I, batik telah dipakai sebagai busana keprabon atau busana
kebesaran. Batik mulanya dibuat sebagai kebutuhan sandang para keluarga kerajaan.
Kain batik juga mempunyai kaitan yang erat dengan kesenian tari. Kesenian ini juga
sudah mulai ada sejak kerajaan Mataram berdiri. Kesenian batik dan tari merupakan
salah satu bahan pendidikan yang diajarkan kepada para perempuan di Kraton. Tak
hanya diajari membatik, mereka juga diajari untuk menari, pemakaian bahasa Jawa
dengan benar, serta kesusastraan. Tarian yang diajarkan antara lain tari wayang wong,
12
Ibid., hlm. 30.
28
Beksan Lawung, dan Bedhaya. Kain batik yang dipakai pada saat menari juga
berbeda-beda motifnya tergantung dengan peran yang akan dimainkan.
Materi pendidikan yang diajarkan itu merupakan upaya dari pihak Kraton
untuk melestarikan kebudayaan Mataram yang telah mengakar kuat dalam kehidupan
di dalam kraton.13
Pengamalan nilai-nilai pendidikan ini berfungsi untuk memberikan
contoh kepada masyarakat di sekitar Kraton. Dengan kata lain, warga di dalam
Kraton yang dianggap sebagai priyayi atau bangsawan, mempunyai martabat yang
tinggi, dapat menjadi panutan atau contoh bagi masyarakat sekitar.14
Batik Kraton
juga menjadi produk yang mengacu pada nilai-nilai tradisi Jawa dan didukung oleh
bangsawan Kraton berikut segenap tata budaya. Perilaku dan penampilan (termasuk
dalam berbusana) dipandang perlu demi kekuatan serta kemutlakan kedudukan raja.15
Kesenian membatik telah diajarkan secara turun temurun sejak kekuasaan
Mataram masih tetap dijaga kelestariannya oleh raja-raja berikutnya. Sehingga batik
menjadi salah satu warisan kerajaan Mataram. Mataram telah menjadi pusat
pengembangan budaya yang berpusat pada Kraton dan kebudayaannya merupakan
hasil dari percampuran budaya Indonesia lama, Hindu-Buda, dan Islam.
13
Umar Kayam, “Ngayogyakarta”, dalam Sekaring Jagad Ngayogyakarta
Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990, hlm. 13.
14 Diibaratkan seperti para anggota dewan terhormat, DPR. Mereka telah
dipilih oleh rakyat sehingga diharapkan agar dalam menjalankan pekerjaannya dapat
menyampaikan aspirasi dari rakyat untuk disampaikan kepada presiden.
15 Biranul Anas, op.cit., hlm 59.
29
C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung
Masyarakat Jawa sejak zaman dahulu sangat menjunjung tinggi ajaran nenek
moyang. Begitu juga dalam menjalani kehidupannya, mereka memperhatikan
beberapa hal. Hal ini berkaitan dengan adat dan tradisi nenek moyang yang tercermin
dalam masyarakat Jawa. Adat dan tradisi tersebut adalah suatu peraturan yang tidak
tertulis. Peraturan itu mengatur tentang hubungan antara manusia dengan sesama,
manusia dengan penciptanya, dan manusia dengan lingkungannya. Pelanggaran
terhadap peraturan itu akan mendapat sangsi dari masyarakat setempat maupun dari
Sang Pencipta. Hal ini kemudian berpengaruh pada nilai-nilai budaya adiluhung.
Setiap manusia harus saling menghormati, rukun, dan menjaga perdamaian dengan
sesamanya maupun dengan lingkungan. Sikap ini merupakan dasar dari kehidupan
bermasyarakat orang Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk
sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa dalam segala aspek
kehidupannya lebih dikenal dengan sebutan kejawen. Masyarakat Jawa sangat
mendalami ilmu yang menjadi falsafah hidup mereka sehingga dapat menjadi
manusia Jawa seutuhnya. Awalnya kepercayaan ini disebut dengan ilmu kebatinan
yang merupakan percampuran antara budaya asli Jawa dengan Hindu, Budha, dan
Islam.16
Sebelum melakukan sesuatu, masyarakat terkadang akan melaksanakan
sebuah ritual untuk memenuhi suatu persyaratan. Ritual tersebut sering mendekati
16
Ibid., hlm. 56.
30
hal-hal yang berbau mistik. Hal-hal yang berbau mistik atau gaib sangat melekat pada
kehidupan masyarakat Jawa. Mereka percaya bahwa ada beberapa tempat yang dihuni
oleh makhluk gaib. Di tempat-tempat tertentu dipercaya menjadi tempat yang sakral
atau keramat sehingga masyarakat wajib meletakkan sesaji agar makhluk gaib itu
tidak menganggu. Makhluk-makhluk gaib itu dipercaya dan dianggap sebagai roh
leluhur atau nenek moyang yang akan menjaga anak cucu mereka. Sebelum
melakukan ritual itu, masyarakat juga mengenal ilmu titen yaitu dengan mencermati
tanda-tanda alam. Alam merupakan suatu hal yang tidak bisa diremehkan
peranannya. Satu hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dalam ritual masyarakat Jawa
adalah laku prihatin. Mereka harus melakukan sesuatu agar keinginannya tercapai.
Misalnya orang akan berpuasa agar keinginannya tercapai.
Masyarakat Jawa juga sangat memperhatikan keharmonisan, keseimbangan,
dan keserasian dalam menjalankan hidup. Ketika membuat batik, para perempuan
menerapkan ajaran-ajaran hidup yang diajarkan oleh nenek moyang mereka. Motif
atau pola yang digambarkan lewat sebuah canthing mengekspresikan segala curahan
hati pembatiknya. Susunan bentuk garis, titik-titik dan warnanya yang terpadu secara
harmonis menimbulkan keindahan tersendiri maka terkandung pesan dan harapan ke
arah kehidupan yang baik bagi pemakainya.17
Sehingga tidak sembarang orang bisa
menggambar suatu motif batik tanpa mengetahui maknanya.
17
Kartini Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”, Jurnal Filsafat, No. 23,
edisi November 1995, Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta, hlm. 30.
31
Berdasarkan motifnya, batik pedalaman atau yang lebih dikenal dengan batik
kraton, biasanya bersifat simbolik, filosofis dan mempunyai arti-arti magis yang ada
maknanya. Motif ini diciptakan dari hasil pengamatan alam sekitar dan bersifat
monumental. Warna-warna yang digunakan lebih bersifat sederhana. Warna pada
batik kraton biasanya terdiri dari tiga unsur, yaitu coklat atau merah, biru atau hitam,
dan putih. Dalam agama Hindu, ketiga warna ini merupakan simbol dari sumber
kehidupan. Warna-warna itu dapat diartikan Brahma untuk warna merah, Syiwa
untuk warna biru atau hitam, dan Wisnu untuk warna putih.18
Tetapi, pada sebagian
besar kain batik warna yang lebih dominan adalah warna coklat soga.
Motif-motif yang ditorehkan dengan canthing dalam sebuah kain, dibuat
dengan konsep yang adiluhung atau memiliki nilai yang indah dan tinggi. Tidak ada
motif yang dibuat dengan asal-asalan tanpa ada makna dibalik pembuatannya. Proses
pembuatan batik dianggap sebagai media perenungan dan meditasi. Mereka
mencurahkan segala kemampuannya untuk membuat batik. Tidak jarang seorang
pembatik harus melakukan ritual puasa terlebih dahulu agar dapat membuat kain
batik yang bermakna. Proses ini juga menjadi sebuah pencapaian kemurnian serta
kemuliaan dalam rangka mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa.19
Di dalam sebuah
kain batik, terkandung makna simbolik yang berguna bagi kesejahteraan hidup
manusia. Kehendak dan kemampuan yang dimiliki para pembatik menghasilkan suatu
18
Sewan Susanto, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Balai Penelitian Batik
dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, 1980, hlm. 174.
19 Biranul Anas, op.cit., hlm. 60.
32
karya yang indah. Keindahan suatu kain batik tercipta dari perpaduan bentuk garis-
garis dan warna yang serasi. Sehingga maknanya akan membawa kebaikan bagi
pemakainya.20
Kegiatan membatik yang dikerjakan dengan sepenuh hati melalui tahap-tahap
seperti puasa dan meditasi, nantinya sangat berpengaruh pada hasil kain batiknya.
Semakin penting arti pembuatan suatu kain batik, maka semakin lama puasa dan
meditasi yang dilakukan oleh pembatik. Pengaruh budaya yang diilhami oleh seni-
seni dari kraton, membuat masyarakatnya, baik yang bekerja di dalam maupun
masyarakat luar tembok kraton, merasa dekat dengan pihak kraton dan menyadari
bahwa budaya ini (seperti misalnya tradisi membatik, menari, dan tata krama) wajib
dilestarikan. Masyarakat Jawa pedalaman atau yang dekat dengan wilayah Kraton,
mempunyai ungkapan yaitu mbathik manah, yang berarti menciptakan batik melalui
totalitas pencurahan jiwa dan raga.21
Motif-motif yang dihasilkan oleh pembatik ada bermacam-macam dan setiap
motif tersebut ada maknanya masing-masing. Beberapa motif yang sering dipakai di
antaranya adalah:
1. Parang Rusak
Motif ini mempunyai makna yang dalam dan luhur sehingga pemakaian
motif ini hanya diperuntukkan bagi para bangsawan dalam acara-acara
20
Kartini Parmono, loc.cit.
21 Biranul Anas, loc.cit.
33
tertentu. Sesuai dengan arti parang rusak, yaitu perang atau menyingkirkan
segala yang rusak atau melawan segala macam godaan. Makna dari motif
ini adalah agar manusia di dalam hidupnya dapat mengendalikan nafsunya
sehingga mempunyai watak dan perilaku yang luhur.
b. Kawung
Motif ini diilhami oleh sebuah pohon kawung atau sejenis pohon palem
atau yang lebih dikenal dengan kolang kaling. Maknanya adalah jika
dilihat semua bagian dari pohon kawung sangat bermanfaat bagi manusia
sehingga penggunanya diharapkan bisa berguna bagi bangsa dan
negaranya.
c. Grompol
Grompol berarti berkumpul atau bersatu. Pemakai kain ini diharapkan
agar semua hal-hal yang baik seperti rezeki, kebahagiaan, dan keturunan
sehingga bisa berkumpul menjadi satu dan hidup secara rukun.
d. Sido Mukti
Motif ini biasa dipakai oleh pengantin wanita dan pria ketika akan
menikah. Dari kata sido berarti terus menerus dan mukti berarti hidup
dalam kecukupan dan kebahagiaan. Sehingga diharapkan pada pemakai
agar masa depannya berjalan dengan lancar dan bahagia.
34
e. Semen Rama
Motif ini terdiri dari berbagai macam, seperti semen gedhe, sawat gurda,
dan semen huk. Motif ini melambangkan kesetiaan seorang istri.
f. Truntum
Motif ini melambangkan cinta yang bersemi kembali. Bagi pemakainya,
motif ini berarti akan menuntun kedua mempelai pengantin dalam
memasuki kehidupan rumah tangganya sehingga diharapkan akan terus
langgeng dengan kasih sayang yang akan terus bersemi atau tumbuh
(truntum).22
D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik
Beberapa motif batik tidak bisa dipakai oleh sembarang orang. Ada beberapa
ketentuan yang mengatur tentang siapa-siapa yang berhak memakai motif-motif
tersebut. Sebagian besar motif-motif itu diciptakan dalam lingkungan kraton sehingga
nilai dan maknanya sangat tinggi. Batik telah menjadi bagian yang tidak lepas dari
kehidupan kraton. Pembuatnya juga berasal dari dalam kraton. Sejak zaman kerajaan
Mataram, batik telah menjadi bagian dari busana para raja dan keluarganya. Selain itu
pemakaian batik juga berfungsi untuk menyelenggarakan upacara-upacara kraton,
seperti grebeg, daur hidup, penyambutan tamu, dan pertunjukan tari.
22
Kartini Parmono, op. cit.., hlm. 33-34.
35
Batik menjadi salah satu bagian dari barang-barang kebesaran dan diciptakan
untuk memperkuat kedudukan dan peranan kosmis raja, istana, dan pemerintahan. Ini
adalah salah satu upaya untuk memperoleh ketentraman, keselamatan, dan
kesejahteraan raja, kerajaan dan rakyatnya. Batik juga berfungsi untuk menunjukkan
kewibawaan raja dan kraton.23
Setiap orang yang memakai suatu kain batik akan
dapat dilihat tinggi rendahnya kedudukannya dalam pemerintahan.
Dari beberapa motif batik itu, ada yang digolongkan menjadi motif larangan.
Motif ini hanya boleh dipakai oleh raja dan para keluarganya. Jadi mereka yang
mempunyai keturunan raja dan ningrat yang bisa memakai motif itu. Masyarakat
biasa dilarang dan tidak boleh memakainya. Beberapa motif larangan itu adalah
Parang Rusak, yang digambarkan seperti “pedang” yang tidak sempurna atau rusak;
Sawat, digambarkan dengan bentuk sayap-sayap besar seperti burung garuda;
Cemukiran, digambarkan dengan bentuk teratai dan digunakan sebagai ragam hias
pinggir kain; Udan Liris digambarkan dengan garis-garis sejajar diagonal; Rujak
Sente, mirip dengan Udan Liris dengan bentuk garis diagonal; Kawung, digambarkan
dengan bentuk bulat lonjong24
; dan Semen, digambarkan dengan sulur-suluran
tanaman. Motif ini sering digabungkan dengan ragam hias tambahan seperti Sawat
(sayap).25
Pemakaian motif-motif tersebut ditulis dalam peraturan sebagai berikut:
23
A. N. Suyanto, op.cit., hlm 30.
24 Biranul Anas, op. cit., hlm. 64-65.
25 GBRA Murywati Darmokusumo, “Batik Kraton Yogyakarta”, dalam