Top Banner
i SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: HAFDA ZURAIDA NIM: 034314007 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010
121

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

Mar 11, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

i

SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh:

HAFDA ZURAIDA

NIM: 034314007

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

Page 2: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

ii

Page 3: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

iii

Page 4: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Teruntuk

Alm. Bapakku tercinta, terima kasih atas semuanya...

Ibuku tercinta, yang tak hentinya mendoakan dan menanyakan

perkembangan skripsiku... Terima kasih atas semuanya, bu...

Serta tak lupa kepada adik-adikku, Satria Dharmana dan Setyo Bekti

Nugroho, aku sayang kalian...

Serta,

Almamater Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

MOTTO

Penentu keberhasilan adalah kamu sendiri.

Ketika semua sudah berlalu, sesal kemudian tiada guna.

Page 5: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

v

Page 6: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

vi

ABSTRAK

Hafda Zuraida UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

Skripsi yang berjudul “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942” ini membahas tentang tiga permasalahan. Pertama membahas tentang latar belakang kemunculan batik di Yogyakarta, kedua tentang monopoli kraton terhadap batik dan yang ketiga membahas tentang peran Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri pada tahun 1935 sampai 1942.

Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan batik yang muncul di Yogyakarta dan menyebar sampai ke daerah Imogiri. Sehingga dari permasalahan diatas akan terlihat proses kemunculan dan perkembangan batik di Yogyakarta.

Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan diatas, akan digunakan metode penelitian berupa studi pustaka dan wawancara. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang mencakup: heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial dan budaya. Skripsi ini ditulis secara deskriptif analitis.

Dari penulisan ini, dapat dilihat bahwa batik tidak hanya dihasilkan oleh para perempuan dari kraton. Batik juga dihasilkan oleh wanita dari luar kraton. Feodalisme kraton terhadap batik mengakibatkan motif batik tertentu hanya boleh dipakai oleh kalangan keluarga raja. Tetapi setelah sistem feodal kraton mengalami kemerosotan, akhirnya batik bisa dinikmati oleh semua kalangan. Salah satu tokoh yang menyebabkan meluasnya motif dan menyebarnya kesenian batik adalah Djogo Pertiwi. Meskipun pada awalnya membuat motif khusus kraton, beliau juga mengajarkan seni membatik kepada masyarakat Imogiri.

Kata kunci: Feodalisme, Djogo Pertiwi, Sejarah Batik.

Page 7: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

vii

ABSTRACT

Hafda Zuraida SANATA DHARMA UNIVERSITY

YOGYAKARTA

The title of this thesis is “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942”. This thesis is focused on three problems: 1. the background of the appearance of Batik in Yogyakarta. 2. The kraton’s monopoly the batik. 3. Djogo Pertiwi’s role to expand batik in Imogiri on 1935 to 1942. The aim of this thesis is to describe the development of batik that appear in Yogyakarta and spread to Imogiri. From the problems above, it will be seen the process of the appearance and the development of batik in Yogyakarta. To get answer of the problem above, it will be used the research method such as the form of book study and interview. The method which is used on this thesis writing is historical method including heuristic, verification, interpretation and historiography. The approach which used is social and culture approach. This thesis is written by descriptive analytive. From this thesis, we can see that batik is not only produced by women from Kraton. Batik is also produced by women from outer Kraton. Kraton have feudalism to batik that certain batik motif just can wear by the Royal family. However, after Kraton’s feudal system of batik had experince decline. Finally, batik can enjoy by all people. Djogo Pertiwi is one of the figures who spread motif and art of batik. Beside of making special motif Kraton, she also teaches the art of making batik to Imogiri people. Keyword: Feudalism, Djogo Pertiwi, History of Batik

Page 8: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

viii

Page 9: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

ix

KATA PENGANTAR

Puncak pencapaian penulisan skripsi ini telah berakhir. Tidak luput, penulis

mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk

kepada penulis dalam setiap lantunan doa yang dipanjatkan. Penulis juga tak lupa

untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan beserta staf kerja

yang sudah memberikan kesempatan serta ijin untuk menyelesaikan skripsi

ini.

2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

yang telah memberikan nasehat serta dorongan kepada penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi ini.

3. Romo Dr. G. Budi Subanar, SJ selaku dosen pembimbing, dengan penuh

kesabaran telah memberikan saran, masukan, pikiran serta meluangkan waktu

untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.

4. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M. Hum., selaku dosen pembimbing

akademik yang telah meluangkan waktu untuk senantiasa membantu memberi

dukungan dan saran pada penulis, sejak awal kuliah sampai menyelesaikan

skripsi.

5. Dosen-dosenku: Bapak Drs. Purwanto, M.A., Bapak (Alm.) Drs. G.

Moedjanto M. A., Bapak (Alm.) Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H., Bapak Drs.

Ign. Sandiwan Suharso, Romo Dr. FX. Baskara T. Wardaya SJ, Ibu Dra.

Page 10: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

x

Lucia Juningsih, M. Hum., Bapak Dr. Budiawan, Bapak Dr. St. Sunardi,

Bapak Dr. Anton Haryono, M.Hum., dan Bapak Drs. Manu Joyoatmojo. Serta

dosen-dosen lain yang telah memberikan ilmu bagi penulis selama penulis

menempuh studi di Universitas Sanata Dharma.

6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan

administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah.

7. Segenap staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

8. Teman-teman Jurusan Ilmu Sejarah, Mbak Upi, Mbak Yus, Ajeng, Mamik,

Nana, Ekarama, Hananto, Markus, Daniel, Yuhan, Yossi, Yasser, Halim,

Elang, Darwin, Agus, Aloy, Banar, Ifa, Theo, dan semua yang tidak bisa

disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya.

9. Teman-teman angkatan 2003 Sundari, Reni, Mariati, Anggi, Yoga, Domi,

Dedy, Ruperno, terima kasih atas dorongannya. Kalian akan selalu menjadi

teman-teman yang akan selalu ku-ingat. Keep contact ya...

10. Inneke dan Irena, terima kasih atas semuanya, baik kala suka dan duka

persahabatan kita selama ini. Keep contact ya...

11. Keluarga besar Ibuku di Magelang dan Yogyakarta. Pakde-Budhe, Oom-

Tante, sepupuku Iing dan suami, Mas Isa, Mbak Ayu, dan Angga, terima

kasih atas semangat dan doanya.

12. Keluarga besar Bapakku di Purworejo, Magelang, Bandung, Jakarta, dan

Serang. Pakde-Budhe, Oom-Tante, sepupuku Andre, ‘teh Ranti, Indah, Sari,

Mira, Aji, Widi, Putra, Ria, Indra, terima kasih atas doa dan semangatnya.

Page 11: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

xi

Page 12: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................................... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO............................................................. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................................... v

ABSTRAK ..................................................................................................................... vi

ABSTRACT ................................................................................................................... vii

LEMBAR PUBLIKASI ILMIAH .................................................................................. viii

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ix

DAFTAR ISI................................................................................................................... xii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1 B. Batasan Masalah .............................................................................................. 7 C. Rumusan Masalah ............................................................................................ 8 D. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 8 E. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 9 F. Landasan Teori ................................................................................................. 10 G. Kajian Pustaka ................................................................................................. 13 H. Metode Penelitian ............................................................................................ 15 I. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 16 BAB II. SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA ......................................................... 18 A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik .................... 19 B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram ............................................... 23 C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung .............................................. 29 D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik ................................................................. 34 BAB III. DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA ............................................. 40 A. Sistem Feodal Kraton ...................................................................................... 40

Page 13: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

xiii

B. Penerapan Feodalisme Dalam Kehidupan di Kraton ....................................... 43 C. Kemerosotan Feodalisme Dalam Kehidupan Kerajaan ................................... 51 BAB IV. PERAN DAN FUNGSI DJOGO PERTIWI DALAM PENGEMBANGAN

SENI MEMBATIK 1935-1942 ....................................................................... 54 A. Keadaan Geografis Wilayah Penelitian ........................................................... 55 B. Perkembangan Batik di Imogiri ....................................................................... 56 C. Proses Pembelajaran Djogo Pertiwi Dalam Membatik .................................... 60 D. Proses Penyebaran Seni Batik di Dusun Pajimatan ......................................... 65 E. Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942 ........ 73 F. Unsur-Unsur Kebaruan yang Diciptakan Oleh Djogo Pertiwi ......................... 82 BAB V. PENUTUP ........................................................................................................ 87 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 91 LAMPIRAN ................................................................................................................... 95

Page 14: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai bermacam-macam suku

yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara. Setiap suku di Indonesia memiliki

ciri khas keseniannya masing-masing. Salah satu kesenian yang terkenal adalah batik.

Brandes mengatakan bahwa batik sudah dikenal sejak jaman prasejarah, bahkan

menjadi salah satu kemampuan asli manusia Indonesia sebelum masuknya budaya

asing. Batik merupakan suatu bentuk dari kesenian yang dalam pembuatannya

mempunyai nilai tersendiri. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki tujuh

unsur yaitu, bahasa, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi,

dan kesenian. Seni batik tulis termasuk dalam unsur-unsur kebudayaan dan menjadi

salah satu ciri khas suatu wilayah tertentu.

Membatik adalah sebuah seni yang mengungkapkan ekspresi untuk

menorehkan canthing yang berisi malam ke dalam sebuah kain putih. Tentunya tidak

sembarangan orang bisa membuat kain batik. Dalam membuat batik, seseorang harus

memiliki kemampuan atau skill khusus untuk menumpahkan segala curahan ekspresi

seninya dalam kain itu. Tidak hanya skill atau kemampuan saja yang dibutuhkan oleh

pembatik tetapi juga imajinasi setiap pembatik diperlukan agar bisa membantu

mereka dalam menorehkan berbagai bentuk motif lewat canthing tersebut.

Page 15: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

2

Proses pembuatan pola atau motif yang rumit, membuat seorang pembatik

harus lebih sabar dan telaten demi menghasilkan sebuah karya seni. Kemudian dalam

wilayah teknologi, batik mampu memadukan nilai seninya. Dalam sebuah kain batik,

setiap garis yang digambarkan untuk membuat corak atau motif diperhitungkan

sehingga bisa tergambar rapi dan teratur. Menurut Kartini Parmono, keindahan

bentuk tercipta karena perpaduan yang harmonis dari variasi susunan bentuk, garis,

titik-titik, dan warna yang terpadu secara harmonis yang ditangkap dengan

penglihatan atau panca indra.1

Batik dianggap sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai tinggi.

Keindahan dari setiap garis yang ditorehkan canting ke dalam kain memiliki makna

dan simbol. Pastinya seorang pembatik dalam membuat kain batik memiliki alasan,

mengapa dia membuat corak yang seperti itu. Menurut Kartini Parmono, seni batik

tradisional merupakan sistem simbol. Simbol-simbol tersebut diciptakan karena

adanya hasrat untuk menyampaikan pesan-pesan serta amanat untuk diwariskan ke

generasi penerus sebagai pembentuk watak dan kepribadian.2 Setiap corak yang

dilukiskan bisa dianggap sebagai simbol untuk memberikan arti yang bermakna bagi

setiap individu yang melihat maupun yang memakainya.

1 Kartini Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”, Jurnal Filsafat, No. 23,

November, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1995, hlm 30.

2 Ibid., hlm. 31.

Page 16: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

3

Menurut motif dan warnanya, batik dibedakan menjadi dua macam yaitu batik

pedalaman (juga disebut sebagai batik kraton) dan batik pesisiran.3 Batik pedalaman

adalah batik yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kraton dengan dasar-dasar

filsafat kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri,

serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang serasi, tertib

dan seimbang.4 Motif yang digunakan adalah motif-motif yang diciptakan dari hasil

pengamatan alam sekitar dan warna yang digunakan adalah warna coklat, biru, hitam,

dan putih. Sedangkan batik pesisiran adalah batik berkembang di luar kraton dan

tidak terikat pada alam pikiran Jawa. Para pembatik bebas untuk mengungkapkan

ekspresi dalam karyanya.5

Di Jawa, perkembangan batik kraton (pedalaman) lebih dikenal di Yogyakarta

dan Solo. Selama ini dua daerah tersebut menjadi pusat kebudayaan di mana sistem

pemerintahan kerajaannya masih bertahan. Di dalam istana atau kraton sendiri, para

penguasa, keluarga dekat beserta para abdi dalemnya masih memegang teguh adat

dan tradisinya. Tradisi itu telah disampaikan secara turun temurun oleh nenek

moyang mereka. Dari kebiasaan yang turun temurun itulah, batik yang menjadi salah

satu unsur budaya kraton, masih tetap eksis.

3 Ibid., hlm 29.

4 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku

Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 5.

5 Ibid., hlm. 6.

Page 17: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

4

Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang menjadi salah satu tempat

penyebaran batik. Batik yang berasal dari wilayah ini disebut dengan batik kraton.

Kraton menjadi salah satu pusat kebudayaan di Yogyakarta. Kesenian batik

merupakan suatu bentuk kerajinan tangan yang berasal dari lingkungan kraton dan

dalam pemakaiannya tidak bisa sembarangan orang bisa mengenakannya. Sehingga

ketika seseorang mengenakan kain batik kraton maka mereka mempunyai hak

istimewa yang dapat mengangkat kedudukannya.

Pada awal mulanya, batik merupakan sebuah kesenian tulis tradisional yang

hanya dibuat oleh perempuan-perempuan dari kraton. Batik dihasilkan dari tangan-

tangan perempuan di lingkungan kraton yang memiliki keahlian khusus dalam

menorehkan canting. Dari tangan-tangan mereka yang menghasilkan karya batik ini,

batik menjadi busana keprabon (busana kebesaran) para raja-raja di Kraton. Keahlian

mereka telah diwariskan oleh para pendahulu secara turun temurun. Pekerjaan

membatik dilakukan sebagai suatu kerja sambilan ketika para perempuan kraton itu

mempunyai waktu luang.

Motif atau corak yang diajarkan dalam ketrampilan membatik sangat

bermacam-macam. Masing-masing motif yang dihasilkan juga mempunyai makna

yang sangat mendalam. Hal itu disebabkan karena batik diciptakan agar pemakainya

dapat membawa kebaikan dan kebahagiaan.6 Batik muncul dari konsep estetika seni

Jawa yang adiluhung sehingga mencerminkan nilai-nilai ketradisian dan dinamika

6 Ibid, hlm. 28.

Page 18: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

5

masyarakat pendukungnya.7 Orang-orang kraton mempunyai kekhasan tersendiri

dalam membuat karya batik tulis. Mereka mengamalkan hal-hal yang menurut

mereka masih dianggap sebagai tradisi nenek moyang.

Motif-motif batik yang sudah dibuat tidak bisa dipakai oleh sembarangan

orang. Hanya beberapa kalangan saja yang bisa memakai motif-motif tertentu itu.

Contoh motif-motif larangan, biasa untuk menyebut kain batik yang hanya dipakai

oleh kalangan tertentu, misalnya seperti parang rusak, kawung, sidomukti, udan liris,

semen rama, dan sawat. Batik dengan motif-motif tersebut hanya boleh dipakai oleh

raja dan keluarga dekatnya saja.

Raja memerintah rakyatnya dengan kekuasaan feodal. Salah satu bentuk

feodalisme suatu kerajaan dapat dilihat dari pemakaian batik ini. Dari gambar motif

sebuah kain batik tersebut, bisa diketahui kedudukan sosialnya. Dengan kata lain, jika

seorang raja memakai suatu motif batik yang menunjukkan kebesarannya maka

rakyat harus menghormatinya. Kekuasaan feodal seorang raja membuat rakyat akan

selalu patuh dan tidak melawan penguasa yang saat itu sedang memerintah, sehingga

penguasa bisa melakukan kontrol terhadap rakyat di wilayah kekuasaannya.

Kekuasaan feodal raja semakin lama semakin berkurang sehingga terjadilah proses

defeodalisasi.

Proses pembatikan kemudian mengalami perkembangan, yang semula

dikerjakan oleh perempuan-perempuan di lingkungan kraton dan berkembang

7 Biranul Anas, op. cit., hlm. 33.

Page 19: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

6

menjadi dikerjakan oleh perempuan di luar kraton. Motif-motif kebesaran raja tidak

hanya dibuat oleh kalangan terbatas saja. Motif-motif larangan, seperti parang rusak,

sawat, dan semen, sudah bisa dibuat dan dipakai oleh masyarakat luas.

Perluasan kemampuan membatik ini salah satunya dipelopori oleh Djogo

Pertiwi. Seni pembuatan batik tidak hanya berada di kraton saja tetapi juga menyebar

di beberapa wilayah di Yogyakarta. Salah satu wilayah yang masih bertahan untuk

memproduksi batik adalah Imogiri. Imogiri terletak di sebelah selatan Kota

Yogyakarta, tepatnya di dusun Pajimatan, kelurahan Girirejo. Di dusun Pajimatan itu

juga terdapat suatu pemakaman raja-raja Mataram terdahulu. Penyebaran seni

membatik ini terjadi ketika seseorang dari luar kraton bekerja menjadi abdi dalem

kraton. Mereka mempunyai istri dari kalangan orang kraton yang mempunyai

keahlian membatik. Dari istri-istri mereka, kesenian membatik kemudian menyebar

luas ke wilayah-wilayah lain saat suaminya ditugaskan untuk menjaga dan merawat

makam raja-raja Mataram.

Di Imogiri, Djogo Pertiwi adalah seorang pembatik yang dianggap sebagai

perintis batik. Pada mulanya Djogo Pertiwi adalah seorang perempuan yang berasal

dari luar kraton, kemudian menikah dengan seorang abdi dalem kraton yang bekerja

sebagai juru kunci makam Imogiri. Sejak kecil sudah tertarik dengan batik dan mulai

belajar membatik. Selain dianggap sebagai perintis batik, Djogo Pertiwi dianggap

sebagai pelestari kesenian batik tulis tradisional. Sejak sekitar tahun 1930, Djogo

Pertiwi mengajarkan tentang bagaimana cara membatik kepada masyarakat sekitar

Page 20: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

7

Imogiri. Atas usaha dan kerja kerasnya untuk melestarikan batik, Djogo Pertiwi

mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto pada tahun 1994.

B. Batasan Masalah

Batik merupakan salah satu hasil kerajinan yang adiluhung (bernilai tinggi)

sehingga tidak sembarang orang bisa memakainya. Pihak kraton telah membuat batik

menjadi suatu bentuk monopolinya. Tetapi hal ini tidak bisa berlangsung lama,

karena kemunculan Djogo Pertiwi yang kemudian menyebarkan keahlian membatik

kepada masyarakat sekitar wilayah Imogiri. Batik yang awalnya hanya dimonopoli

oleh kraton, mulai lepas dari monopoli kraton ketika di Imogiri muncul seorang tokoh

bernama Djogo Pertiwi.

Dia adalah seorang istri abdi dalem kraton yang mulai berkarya sejak tahun

1935. Skill atau kemampuan membatik dan imajinasi yang dimiliki oleh Djogo

Pertiwi mampu mengubah kehidupan masyarakat di sekitar Imogiri. Pada sekitar

tahun 1930-an terjadi krisis ekonomi yang melanda seluruh dunia. Negara Indonesia-

pun tidak luput dari pengaruh krisis tersebut. Salah satunya berimbas pada industri

batik di Yogyakarta yang mengalami kelesuan selama beberapa tahun. Pada tahun

1939, muncul beberapa badan koperasi yang membantu pembatik dalam menghadapi

krisis ekonomi akibat serangan produk impor dari luar negeri seperti Jepang dan

Belanda. Industri batik di wilayah Yogyakarta dan juga wilayah pembatikan yang lain

mulai bangkit kembali. Kemudian, ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942,

Page 21: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

8

industri batik mengalami kelesuan kembali. Bahan baku untuk pembuatan batik

sangat sulit untuk didapatkan.

C. Rumusan Masalah

Dalam menjelaskan judul skripsi ”Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-

1942”, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta ?

2. Bagaimana dinamika perkembangan batik gaya Yogyakarta?

3. Bagaimana peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di

Imogiri tahun 1935-1942?

D. Tujuan Penelitian

Batik merupakan kesenian asli dari Indonesia meskipun banyak juga yang

berpendapat bahwa batik berasal dari luar Indonesia. Terlepas dari pendapat-pendapat

itu, batik mengalami proses yang sangat panjang baik dalam sejarah maupun dalam

proses pembuatannya.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar

belakangi kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Kemudian mengetahui dinamika

batik gaya Yogyakarta, dan mengetahui sejauh mana peran dan fungsi Djogo Pertiwi

dalam mengembangkan batik di Dusun Pajimatan, Imogiri.

Page 22: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

9

E. Manfaat Penelitian

Penulisan ini merupakan salah satu bagian dari latihan kerja ilmiah. Pada

pokok ini, ditempuh dengan cara, mulai dari pemilihan tema, perumusan masalah,

pengumpulan bahan, sampai dengan pengolahannya sesuai dengan cara kerja ilmu

sejarah. Penulisan ini difokuskan pada tema seperti tersebut diatas. Diolah melalui

tahap-tahap yang akan diurai pada bagian selanjutnya sampai dengan tahap

penulisannya.

Hasil penelitian yang disusun dalam skripsi ini diharapkan agar masyarakat

bisa membuka pengetahuan baru dalam wacana kesejarahan mengenai sejarah batik

terutama tentang proses sosial yang terjadi dalam perkembangan batik di Imogiri.

Pengetahuan tentang batik sebagian besar hanya ditinjau dari proses pembuatannya,

dan diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat tahu akan sejarah kemunculan

batik gaya Yogyakarta, dinamika batik gaya Yogyakarta, dan juga peran dan fungsi

Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935 sampai 1942.

Penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber sejarah sosial mengenai

perkembangan batik di Imogiri.

Penulis berharap bahwa tulisan ini mampu membuka pengetahuan masyarakat

luas mengenai peran kraton yang mendominasi seluruh lapisan rakyat, khususnya di

Yogyakarta, dengan sistem feodalnya. Kekuasaan feodal yang diterapkan oleh kraton

terhadap batik sedikit demi sedikit bisa bergeser dan batik mulai bisa dipakai oleh

semua kalangan masyarakat luas. Manfaat penulisan ini bagi masyarakat luas adalah

agar masyarakat mampu menambah pengetahuannya tentang tokoh yang bernama

Page 23: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

10

Djogo Pertiwi yang mengembangkan batik di Imogiri dan dianggap sebagai perintis

batik. Penulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas sehingga tidak

hanya bermanfaat bagi kalangan akademisi saja.

F. Landasan Teori

Untuk menguraikan pertanyaaan-pertanyaan diatas, beberapa teori yang

digunakan adalah sebagai berikut.

Dalam buku Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Sartono

Kartodirdjo mengemukakan bahwa

Proses akulturasi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat

menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian

terhadap komoditi, nilai, atau ideologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan

kondisi, disposisi, dan referensi kulturalnya, yang kesemuanya merupakan

faktor-faktor kultural yang menentukan sikap terhadap pengaruh baru.8

Masyarakat Imogiri yang awalnya mempunyai suatu budaya sendiri,

kemudian mendapat pengaruh dari kraton akibat masuknya budaya kraton, salah

satunya adalah batik. Dalam perkembangannya, tradisi membatik menyebar luas ke

masyarakat di wilayah Imogiri. Batik dari kraton masih sesuai dengan pakemnya,

tetapi setelah masuk ke masyarakat Imogiri batik kraton mendapat pengaruh kultural

dari budaya setempat sehingga mengakibatkan munculnya jenis atau motif batik yang

baru.

8 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 160.

Page 24: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

11

Kemudian A.L. Kroeber membuat teori difusi/penyebaran unsur budaya.

Teori ini berbicara mengenai perubahan dalam masyarakat dengan cara mencari

asal/aslinya dalam masyarakat lain. Difusi adalah suatu proses yang biasanya tetapi

tak seharusnya perlahan apabila unsur-unsur atau sistem-sistem budaya itu

disebarkan. Apabila suatu penemuan yang baru diadopsi di suatu tempat maka adopsi

berlangsung pula di daerah tetangga sehingga dalam berbagai kasus pengadopsian

tersebut berjalan terus. Kemudian tersebar dalam lingkup waktu tertentu sehingga

tempo penyebaran lewat ruang ditentukan oleh waktu.9 Batik merupakan suatu

ekspresi seni yang awalnya dibuat hanya oleh wanita-wanita di lingkungan kraton.

Kemudian hal ini menyebar melalui proses penyebaran ke daerah lainnya, seperti ke

Imogiri dalam waktu tertentu.

Dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial, Astrid Susanto menyebutkan

bahwa Proses penyebaran unsur-unsur budaya adalah merujuk pada

pengembangan/growth dan tradisi sebagai suatu proses merujuk pada pemeliharaan.10

Batik yang merupakan salah satu wujud dari unsur kesenian, disebarkan kepada

masyarakat luas agar bisa mengalami perkembangan. Motif atau coraknya dapat

berganti-ganti sesuai dengan perkembangan batik. Batik juga merupakan tradisi dari

nenek moyang yang diturunkan baik kepada anak-cucunya maupun kepada

masyarakat demi terpeliharanya kesenian membatik. Pemeliharaan kesenian batik

9 Judistira K. Garna, Teori-Teori Perubahan Sosial, Bandung: Program Pasca

Sarjana Universitas Padjajaran, 1992, hlm. 73-74.

10 Ibid., hlm. 6.

Page 25: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

12

bisa dengan cara mewariskannya secara turun temurun. Begitu juga batik di

Yogyakarta yang diwariskan ketrampilannya secara turun temurun kemudian akan

senantiasa berkembang.

Menurut Astrid Susanto lagi dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial,

perubahan sosial diberi arti sebagai development/perkembangan yang merupakan

perubahan tertuju kepada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, sehingga

akan dinikmati pula oleh individu.11

Perkembangan batik kemudian menyebar ke

wilayah Imogiri. Di Imogiri, batik membuat perubahan pada kehidupan

masyarakatnya. Keahlian membatik yang dikuasai oleh Djogo Pertiwi membuat

masyarakatnya tertarik untuk mempelajari seni batik. Masyarakat yang diberi

pelajaran tentang membatik itu mengakibatkan terjadinya perkembangan batik di

Imogiri dan menyebabkan perubahan yang membawa mereka ke arah kemajuan.

Sartono juga mengemukakan tentang teori perubahan sosial yaitu sebagai

berikut

Perubahan sosial adalah gejala yang inheren dalam setiap perkembangan dan

pertumbuhan (development). Teori developmentalisme menggambarkan

bahwa masyarakat mengalami pertumbuhan atau perkembangan, suatu proses

yang analog dengan proses organis; tidak hanya ada tambahan besarnya

entitas, tetapi juga meningkatnya kemampuan serta kapasitas untuk

mempertahankan eksistensi, adaptasi terhadap lingkungan, serta lebih efektif

mencapai tujuannya.12

Setiap kehidupan masyarakat pasti mengalami perkembangan dan

pertumbuhan akibat pengaruh dari suatu proses kehidupan. Kemampuan yang

11

Ibid., hlm. 7.

12 Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 162.

Page 26: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

13

dimiliki oleh setiap individu dalam suatu lingkungan masyarakat juga dipengaruhi

oleh proses perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi. Seperti halnya Djogo

Pertiwi, kemampuan yang dimilikinya meningkat sehingga dia akan terus

mempertahankan eksistensinya dalam dunia batik. Perubahan sosial di dalam

masyarakat Imogiri juga mengalami perkembangan dan pertumbuhan akibat

masuknya ketrampilan membatik. Mereka mampu mempelajarinya dan

mempertahankan eksistensinya sebagai pembatik.

G. Kajian Pustaka

Pembahasan tentang batik telah banyak dibahas dalam buku atau pustaka.

Diantaranya adalah buku berjudul Sejarah Batik Yogyakarta, karangan A. N.

Suyanto. Buku ini membahas tentang sejarah perkembangan batik di Yogyakarta

pada masa pemerintahan sultan-sultan Yogya. Selain itu juga berisi tentang faktor-

faktor yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan batik, bentuk dan fungsi

batik di Yogyakarta. dalam buku ini periode yang dibahas adalah sejak zaman

pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII sampai zaman pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono X. Pada masa-masa itu dapat dilihat bagaimana perubahan dan

perkembangan bentuk, motif maupun fungsi kain batik dari setiap pemerintahan yang

berkuasa.

Kemudian tesis yang berjudul Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri

Yogyakarta (Kajian bentuk dan Gaya Seni) yang ditulis oleh Sugiyamin, Program

Pascasarjana UGM, 2002. Tesis ini menuliskan tentang sejarah munculnya batik yang

Page 27: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

14

awal mulanya hanya dikerjakan oleh orang-orang kraton sehingga kemudian

menyebar sampai Imogiri dengan mengungkapkan peran abdi dalem penjaga makam

raja-raja Mataram. Masyarakat Imogiri mendapat ilmu dengan mempelajari seni

membatik. Sebuah proses sosial penyebaran ketrampilan membatik dari orang-orang

kraton kepada masyarakat Imogiri. Tesis ini juga menyinggung sedikit tentang

peranan Djogo Pertiwi dalam melestarikan ketrampilan membatik kepada masyarakat

Imogiri.

Buku Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah

Mengenai Latar Belakang Kehidupan Bangsa Indonesia, Adat Istiadat dan Seni

Budaya, karangan Biranul Anas dari Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII. Buku ini

menerangkan tentang kesenian membatik yang muncul di Jawa pada sekitar akhir

abad 18, dan kemudian batik mengalami proses penyebaran. Dari proses tersebut bisa

dibedakan antara batik kraton dengan batik pasisiran. Buku ini juga menjelaskan

tentang tujuan dan fungsi batik, cara membuat batik, dan hubungan antara batik

dengan kraton.

Terdapat sebuah artikel yang berjudul Pasang Surut Batik Tulis Tadisional

Bantul: Studi Kasus batik Tulis Imogiri tahun 1970-1998 ditulis oleh Suhartinah

Sudjiono, diambil dari Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya “Patra

Widya”, Vol. 7 No. 3, September 2006. Artikel ini membahas tentang awal mula

munculnya batik di Imogiri dan juga menyinggung sedikit tentang Djogo Pertiwi.

Buku-buku lain yang mengulas tentang batik kebanyakan hanya menjelaskan

tentang proses pembuatan batik beserta alat dan bahan-bahan yang dibutuhkan. Selain

Page 28: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

15

itu juga menggunakan artikel-artikel yang terdapat pada Jurnal Filsafat, Jurnal

Kebudayaan “Selarong”, dan artikel-artikel dalam internet. Dengan bantuan buku-

buku tersebut, skripsi ini secara khas akan membahas tentang hal-hal yang

melatarbelakangi kemunculan batik di Yogyakarta, sistem feodal kraton yang

menguasai batik, serta peran seorang Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan ini adalah studi pustaka dan

studi lapangan. Dalam meneliti melalui studi pustaka, menggunakan sumber tertulis

dari buku-buku yang relevan sehingga dapat membantu dalam menganalisis dan

mendeskripsikan sejarah penulisan batik ini. Bahan-bahan yang dipakai/digunakan

antara lain telah disebutkan dalam tinjauan pustaka. Dokumen-dokumen lain yang

digunakan adalah seperti artikel-artikel dalam jurnal, koran, dan juga melalui situs-

situs di internet.

Kemudian proses pengumpulan selanjutnya adalah studi lapangan yang

dilakukan melalui metode wawancara. Narasumber yang diwawancarai diantaranya

adalah anak menantu Djogo Pertiwi yang menjadi penerus usaha batik Djogo Pertiwi

sekaligus muridnya, kemudian ketua Dusun Pajimatan, dan pemerhati batik.

Narasumber tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan dengan

topik dan permasalahan yang akan dibahas oleh penulis.

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam metode penulisan karya ilmiah

ini adalah pertama heuristik/pengumpulan sumber, yaitu dengan mengumpulkan data-

Page 29: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

16

data baik yang primer maupun yang sekunder. Kedua, kritik sumber, yaitu dari sekian

banyak sumber tersebut dipilih dan diperbandingkan kembali sumber-sumber yang

lebih relevan agar lebih dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya (sumber dapat

dipercaya kebenarannya) guna penulisan skripsi ini. Ketiga, interpretasi, yaitu

penafsiran atas sumber maupun data yang telah ditemukan. Keempat, adalah

historiografi yang merupakan tahap terakhir, yaitu tahap penulisan.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini akan disusun ke dalam lima bab dengan urut-

urutan sebagai berikut:

Bab I, membahas tentang latar belakang yang menjadi dasar penelitian ini.

Bab II, membahas tentang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Bab ini

akan dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana keadaan masyarakat

Yogyakarta pada saat kemunculan batik, batik sebagai suatu warisan dari kerajaan

Mataram, motif atau pola batik yang bersifat adiluhung, dan pembatasan pemakaian

kain batik.

Bab III, membahas tentang dinamika batik gaya Yogyakarta. Bab ini akan

dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana sistem feodal kraton

Yogyakarta, kemudian bagaimana penerapan feodalisme dalam kehidupan kraton dan

yang terakhir akan dibahas sub bab mengenai kemerosotan feodalisme dalam

kehidupan kerajaan.

Page 30: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

17

Bab IV, membahas tentang peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam

mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935-1942. Dalam bab ini juga akan

diuraikan menjadi sub-sub bab yang meliputi keadaan geografis wilayah penelitian,

kemudian kemunculan batik di Imogiri, proses pembelajaran Djogo Pertiwi dalam

membatik, proses penyebaran seni membatik di dusun Pajimatan, proses sosial dalam

mengembangkan batik di dusun Pajimatan pada tahun 1935-1942. Sub bab terakhir

membahas unsur-unsur kebaruan yang diciptakan oleh Djogo Pertiwi.

Bab V, tentang penutup yang meliputi kesimpulan dari bab-bab yang sudah

ditulis. Bab terakhir ini antara lain berisi uraian mengenai hasil penelitian sekaligus

jawaban atas permasalahan yang telah dikemukakan pada awal bab.

Page 31: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

18

BAB II

SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA

Banyak kontroversi mengenai kapan munculnya batik di Indonesia. Ada

beberapa pendapat dari tokoh-tokoh mengenai kemunculan batik. Masih terdapat

perdebatan mengenai kapan tepatnya batik mulai ada di Indonesia. Namun ada yang

menyebutkan bahwa batik merupakan hasil budaya dari orang Indonesia sendiri.

Apapun hal yang menjadi perdebatan mengenai kapan kemunculan batik, batik telah

menjadi suatu seni yang telah banyak dipelajari oleh banyak orang di Indonesia, salah

satunya di Yogyakarta.

Provinsi Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang memproduksi kain

batik tradisional. Selain itu juga terdapat berbagai macam motif batik yang

dihasilkan. Salah satu institusi yang giat dalam memproduksi batik adalah Kraton

Yogyakarta. Sejak di bawah pemerintahan Hamengku Buwono I, batik telah menjadi

salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan kraton, khususnya

oleh para kaum wanita. Kegiatan membatik oleh para wanita ini diwariskan secara

turun temurun. Para abdi dalem yang menguasai kesenian membatik ini kemudian

mengajarkannya kepada wanita-wanita di lingkungan itu sebagai salah satu

ketrampilan yang harus dimiliki oleh mereka.

Page 32: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

19

A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik

Corak (gaya) batik di Yogyakarta tidak lepas dari perpecahan yang terjadi

dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut kemudian berakhir dengan adanya

Perjanjian Giyanti. Konflik suksesi atau perebutan kekuasaan mewarnai perpecahan

dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut terjadi karena adanya konflik antara

Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi yang memperebutkan tahta Kerajaan

Mataram. Kerajaan Mataram memang sudah sejak lama mengalami konflik perebutan

kekuasaan. Perdebatan mengenai siapa yang pantas menduduki tahta Kerajaan

Mataram selalu terjadi. Hal itu tidak lepas juga dari campur tangan dari pihak

Pemerintah Belanda antara lain dengan memanas-manasi salah satu pihak keluarga

Raja. Pihak Belanda mengambil keuntungan dari terjadinya konflik ini karena mereka

bisa dekat dengan pihak kraton sehingga bisa dimanfaatkan, salah satunya untuk

memperluas wilayah jajahannya.

Puncak dari konflik antara Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi itu

diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada 13 Mei tahun 1755. Hasil

yang dicapai dalam perjanjian Giyanti adalah terbaginya wilayah Mataram menjadi

dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kasultanan Yogyakarta

dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan

Hamengkubuwono I dan Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono III

karena sebelum terlaksananya Perjanjian Giyanti, Paku Buwono II telah meninggal

Page 33: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

20

dunia. Peristiwa yang juga disebut dengan Palihan Nagari ini juga menjadi titik tolak

berdirinya Kraton Yogyakarta.1

Sebelum terjadi perpecahan, Kerajaan Mataram mempunyai wilayah

kekuasaan yang sangat luas. Dibawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram dibagi

menjadi beberapa daerah kekuasaan dengan kraton sebagai pusatnya. Daerah-daerah

kekuasaan tersebut diurutkan menjadi sebagai berikut: daerah pertama, di mana

Kraton menjadi pusatnya disebut dengan wilayah Kutanegara. Di sinilah didirikan

istana kerajaan atau kraton. Raja mengatur segala urusan pemerintahannya di dalam

istana. Daerah kedua yang mengitari Kutanegara disebut dengan Negara Agung,

kemudian wilayah yang berada diluar Negara Agung disebut dengan Mancanegara,

dan yang terakhir wilayah kekuasaan yang paling luar dari Kerajaan Mataram disebut

dengan Pasisiran.2 Konflik dengan pihak Kolonial Belanda membuat wilayah

kekuasaan kerajaan Mataram menjadi semakin sempit dengan diadakannya Perjanjian

Giyanti.

Batik sebenarnya sudah digunakan pada masa Kerajaan Majapahit dan

berkembang sampai pada masa kerajaan-kerajan Jawa seperti Mataram. Seiring

dengan terjadinya perpecahan dalam Kerajaan Mataram, batik juga kemudian tetap

diproduksi dan digunakan di Kraton Yogyakarta. Hanya saja terdapat motif-motif

1 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan

Merapi, 2002, hlm. 13-15.

2 Marwati Djoened Poesponegoro, dkk., Sejarah Nasional Indonesia IV,

Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984, hlm. 1-2.

Page 34: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

21

tertentu dan berbeda yang dipakai oleh orang-orang Kraton dan oleh masyarakat

biasa.

Diferensiasi pemakaian batik pada masa itu tidak lepas dari kehidupan sosial

masyarakat Jawa yang terbagi dalam kelas-kelas atau yang biasa disebut dengan

stratifikasi yang didasarkan pada kedudukan dan status. Masyarakat Jawa sendiri

digolongkan menjadi beberapa kelas atau lapisan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagian pertama adalah lapisan atas atau biasa disebut dengan lapisan orang

besar (wong agung, priyayi). Kelompok ini masih dibagi lagi menjadi dua

golongan, yaitu bangsawan atau ningrat dan abdi dalem. Orang-orang

yang termasuk dalam lapisan bangsawan atau ningrat ini didasarkan pada

kerabat atau keturunan yang masih sedarah dengan raja. Kemudian orang-

orang yang termasuk golongan abdi dalem, mereka sebetulnya priyayi

tetapi berasal dari wong cilik.

2. Bagian kedua adalah lapisan bawah, yang termasuk dalam lapisan ini ialah

rakyat biasa atau wong cilik. Mereka kebanyakan bekerja sebagai buruh,

perajin, pedagang, dan pegawai rendahan. Di lapisan ini juga masih dibagi

lagi penggolongannya berdasarkan pada kepemilikan tanah. Mereka

adalah petani pemilik tanah, petani penggarap, dan buruh tani.3

3 A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 24-25.

Page 35: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

22

Penduduk Jawa khususnya pedalaman, menganut sistem pertanian agraris

yang berarti bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting. Tanah

telah menjadi sesuatu hal yang sangat berperan penting dalam masa itu. Raja, yang

memegang kekuasaan tertinggi, dianggap sebagai pemilik semua tanah yang ada di

wilayahnya. Pejabat-pejabat daerah yang diserahi kekuasaan untuk mengatur salah

satu wilayah suatu kerajaan akan mendapat gaji berupa tanah untuk digarap. Pejabat

tersebut dipilih yang masih mempunyai darah bangsawan dari kerajaan. Para petani

cilik yang menduduki lapisan masyarakat paling bawah, nantinya yang akan

menggarap tanah itu.

Sebagian besar masyarakat Indonesia sangat akrab dengan makanan pokoknya

yaitu beras. Padi menjadi tanaman yang wajib untuk ditanam oleh masyarakat Jawa.

Setiap butir padi yang tumbuh, akan diberikan kepada Raja sebagai bagian dari upeti

yang diambil dari sawah merupakan salah satu dari sistem feodal yang berlaku

selama ratusan tahun.4 Rakyat kecil yang berada di lapisan masyarakat paling bawah

mempunyai kewajiban untuk mematuhi apa yang yang diperintahkan oleh pejabat

daerah. Hasil-hasil dari tanah garapan itu kemudian akan diserahkan kepada raja dan

disebut dengan upeti. Penguasa pusat akan selalu mengawasi pekerjaan peajabat-

pejabatnya di daerah sehingga dapat memperkecil terjadinya kecurangan.

4 Inger McCabe Elliot, Batik Fabled Cloth of Java, Singapore: Periplus,

2004, hlm. 24.

Page 36: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

23

B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram

Kerajaan Mataram, khususnya Kerajaan Mataram Islam, dahulunya

mempunyai daerah kekuasaaan yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Pulau

Jawa, menjadi daerah kekuasaan kerajaan tersebut. Dari keseluruhan raja yang pernah

memerintah Kerajaan Mataram, Sultan Agung yang paling terkenal. Sultan Agung

membawa Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaannya. Sultan Agung

memerintah dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Beliau memperluas wilayah

Kerajaan Mataram dengan menaklukkan daerah-daerah di Pulau Jawa seperti Tuban,

Jepara, Gresik, Cirebon, Madura dan Surabaya. Penaklukan ini mengakibatkan semua

daerah tersebut jatuh dibawah kekuasaan Sultan Agung.5

Ada berbagai pendapat mengenai munculnya batik ke Indonesia. Di wilayah

Jawa, seperti yang telah disebutkan pada awal bab, telah diproduksi sejak masa

Kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa batik dipengaruhi oleh

kebudayaan India yang datang bersamaan dengan agama Hindu-Buda. Sehingga,

motif-motif batik yang diciptakan ada hubungannya dengan budaya agama Hindu

Buda. Percampuran antara budaya Jawa dengan budaya Hindu Buda atau yang juga

disebut dengan akulturasi, tidak menyebabkan budaya Jawa asli itu menghilang,

tetapi mengalami pertambahan dan memperkaya nilai budaya Jawa asli yang telah

mengakar dalam masyarakat.

5 Ibid., hlm. 30.

Page 37: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

24

Menurut Brandes, bangsa Indonesia mempunyai 10 kepandaian yang menjadi

unsur asli kebudayaan Indonesia. 10 unsur itu diantaranya adalah wayang, gamelan,

kerajinan batik, kerajinan dari logam, sistem mata uang koin, navigasi, astronomi,

pertanian irigasi, sistem metrik, dan kehidupan politik (birokrasi).6 Batik ternyata

memang sebuah karya yang sudah menjadi salah satu budaya asli orang Indonesia.

Meskipun banyak pengaruh yang datang dari luar, batik tetap mempunyai ciri

tersendiri.

Kemudian ketika Islam mulai masuk ke Pulau Jawa, batik juga mendapat

pengaruh dari Islam. Batik juga mengalami perkembangan pada masa Kerajaan

Mataram. Sultan Agung menjadi seorang raja yang juga berperan dalam bidang

kebudayaan. Di samping kegiatannya dalam berpolitik, Sultan Agung mencurahkan

sebagian perhatiannya dalam hal seni batik. Ketika kebudayaan Islam masuk,

kesenian membatik yang terlebih dahulu mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buda

dan juga kebudayaan Indonesia lama juga mendapat pengaruh dari budaya Islam.

Pada perkembangannya, agama-agama tersebut memberi banyak pengaruh dalam

perkembangan batik. Masuknya pengaruh Islam memperkaya kesenian tersebut.

Dalam dunia seni batik, Sultan Agung mengilhami pembuatan motif parang-

parangan,7 dan menciptakan motif sembagen huk.

8 Meskipun Yogyakarta dan

6 Asmito, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988, hlm.

29.

7 Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program

Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 131.

Page 38: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

25

Surakarta tadinya merupakan satu kerajaan, tetapi warna batik buatan dari dua daerah

kerajaan ini berbeda. Batik khas dari Yogyakarta warna yang lebih dominan adalah

putih terang dan untuk batik khas Solo, warna yang lebih dominan adalah coklat.

Peran Sultan Agung dalam bidang kesenian membatik ini menjadikan beliau

sebagai seorang budayawan. Selain sebagai orang yang berperan dalam bidang

budaya, Sultan Agung juga memiliki minat dalam hal ilmu militer, filsafat, sastra,

hukum, dan astronomi. Hasil karya dari Sultan Agung dalam bidang budaya antara

lain perpaduan penanggalan tarikh Jawa (saka) dengan Islam (hijriyah) yang disebut

dengan tarikh Jawa, kitab sastra gending, dan upacara garebeg. Selain itu Sultan

Agung juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena kekuasaannya yang besar

dengan daerah taklukan yang luas.

Kerajaan Mataram Islam tumbuh menjadi kerajaan besar ditangan

pemerintahan Sultan Agung. Kebudayaan sangat dijunjung tinggi pada masa Sultan

Agung. Setelah Mataram terbagi menjadi dua, Pangeran Mangkubumi, yang setelah

dinobatkan menjadi raja berganti nama menjadi Sultan Hamengku Buwono I,

membawa semua barang-barang pusaka yang ada di kerajaan Mataram. Beliau

hendak merawat barang-barang tersebut, termasuk kain batik. Sedangkan Paku

8 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku

Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 66.

Page 39: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

26

Buwono III, membuat kain batik dengan motif baru dan juga mendesain busana yang

menjadi khas busana Jawa gaya Surakarta sampai sekarang.9

Ketika Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I,

menetapkan pemakaian batik sebagai sebuah tradisi yang membudaya sejak zaman

kerajaan Mataram.10

Batik tak hanya digunakan sebagai busana sehari-hari, tetapi

juga dipakai dalam upacara-upacara resmi kerajaan atau upacara ageng seperti

upacara supitan, jumenengan dalem, garebeg, tingalan dalem, dan perkawinan11

.

Peranan batik sebagai busana pada masa itu sangat penting karena penggunaannya

dipakai hampir dari sejak manusia itu lahir sampai meninggal dunia. Ketika manusia

itu lahir, meskipun belum bisa memakai batik, bayi sudah digendong dengan kain

batik. Ketika sudah menginjak dewasa, batik digunakan untuk upacara supitan,

kemudian pada saat mau menikah batik juga dipakai. Sampai pada akhirnya

meninggal dunia, jenazah orang tersebut juga ditutup menggunakan kain batik.

9 Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman,

Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 13. Dalam buku ini juga disebutkan bahwa

kemudian terdapat perbedaan antara pakaian orang Yogyakarta dengan Surakarta atau

Solo yang menimbulkan olok-olok antara keduanya.

10 A. N. Suyanto, op.cit., hlm 3.

11 Ibid., hlm. 6-7. Penggunaan kain batik yang berfungsi baik dalam kegiatan

sehari-hari maupun resmi telah diterapkan dalam kehidupan di dalam keraton maupun

oleh masyarakat. Lihat juga dalam buku Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-

1937 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 8.

Lalu dalam buku Inger Inger McCabe Elliot, Batik Fabled Cloth of Java, Singapore:

Periplus, 2004, hlm. 32, juga disebutkan bahwa batik digunakan hampir sebagai

pakaian dan busana pada saat upacara atau ceremonial.

Page 40: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

27

Tentunya motif yang dipakai dalam upacara-upacara tersebut berbeda-beda dan

disesuaikan dengan arti atau makna motif batik dalam satu kain.

Batik kemudian menjadi salah satu alat-alat kebesaran yang menjadi simbol

kebangsawanan dan memiliki peran yang sangat penting selain barang-barang seperti

payung, pakaian adat, keris, dan tombak. Kegiatan upacara di Kraton memang sudah

diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun. Perlengkapan yang dipakai pada

setiap upacara harus selalu diperhatikan sesuai dengan aturan yang berlaku di Kraton.

Sehingga penggunannya tidak boleh terlewatkan karena akan mempengaruhi

kedudukan raja di lingkungannya. Raja merupakan pemimpin yang kharismatik dan

sangat disegani oleh rakyatnya. Jika ketika ada kejanggalan dalam penyelenggaraan

seperti misalnya upacara ageng, maka raja akan kehilangan kewibawaannya.12

Di Kraton, batik sangat akrab dengan perempuan. Batik merupakan sebuah

karya seni yang berasal dari tangan para perempuan. Sejak pemerintahan Sultan

Hamengku Buwono I, batik telah dipakai sebagai busana keprabon atau busana

kebesaran. Batik mulanya dibuat sebagai kebutuhan sandang para keluarga kerajaan.

Kain batik juga mempunyai kaitan yang erat dengan kesenian tari. Kesenian ini juga

sudah mulai ada sejak kerajaan Mataram berdiri. Kesenian batik dan tari merupakan

salah satu bahan pendidikan yang diajarkan kepada para perempuan di Kraton. Tak

hanya diajari membatik, mereka juga diajari untuk menari, pemakaian bahasa Jawa

dengan benar, serta kesusastraan. Tarian yang diajarkan antara lain tari wayang wong,

12

Ibid., hlm. 30.

Page 41: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

28

Beksan Lawung, dan Bedhaya. Kain batik yang dipakai pada saat menari juga

berbeda-beda motifnya tergantung dengan peran yang akan dimainkan.

Materi pendidikan yang diajarkan itu merupakan upaya dari pihak Kraton

untuk melestarikan kebudayaan Mataram yang telah mengakar kuat dalam kehidupan

di dalam kraton.13

Pengamalan nilai-nilai pendidikan ini berfungsi untuk memberikan

contoh kepada masyarakat di sekitar Kraton. Dengan kata lain, warga di dalam

Kraton yang dianggap sebagai priyayi atau bangsawan, mempunyai martabat yang

tinggi, dapat menjadi panutan atau contoh bagi masyarakat sekitar.14

Batik Kraton

juga menjadi produk yang mengacu pada nilai-nilai tradisi Jawa dan didukung oleh

bangsawan Kraton berikut segenap tata budaya. Perilaku dan penampilan (termasuk

dalam berbusana) dipandang perlu demi kekuatan serta kemutlakan kedudukan raja.15

Kesenian membatik telah diajarkan secara turun temurun sejak kekuasaan

Mataram masih tetap dijaga kelestariannya oleh raja-raja berikutnya. Sehingga batik

menjadi salah satu warisan kerajaan Mataram. Mataram telah menjadi pusat

pengembangan budaya yang berpusat pada Kraton dan kebudayaannya merupakan

hasil dari percampuran budaya Indonesia lama, Hindu-Buda, dan Islam.

13

Umar Kayam, “Ngayogyakarta”, dalam Sekaring Jagad Ngayogyakarta

Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990, hlm. 13.

14 Diibaratkan seperti para anggota dewan terhormat, DPR. Mereka telah

dipilih oleh rakyat sehingga diharapkan agar dalam menjalankan pekerjaannya dapat

menyampaikan aspirasi dari rakyat untuk disampaikan kepada presiden.

15 Biranul Anas, op.cit., hlm 59.

Page 42: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

29

C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung

Masyarakat Jawa sejak zaman dahulu sangat menjunjung tinggi ajaran nenek

moyang. Begitu juga dalam menjalani kehidupannya, mereka memperhatikan

beberapa hal. Hal ini berkaitan dengan adat dan tradisi nenek moyang yang tercermin

dalam masyarakat Jawa. Adat dan tradisi tersebut adalah suatu peraturan yang tidak

tertulis. Peraturan itu mengatur tentang hubungan antara manusia dengan sesama,

manusia dengan penciptanya, dan manusia dengan lingkungannya. Pelanggaran

terhadap peraturan itu akan mendapat sangsi dari masyarakat setempat maupun dari

Sang Pencipta. Hal ini kemudian berpengaruh pada nilai-nilai budaya adiluhung.

Setiap manusia harus saling menghormati, rukun, dan menjaga perdamaian dengan

sesamanya maupun dengan lingkungan. Sikap ini merupakan dasar dari kehidupan

bermasyarakat orang Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk

sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa dalam segala aspek

kehidupannya lebih dikenal dengan sebutan kejawen. Masyarakat Jawa sangat

mendalami ilmu yang menjadi falsafah hidup mereka sehingga dapat menjadi

manusia Jawa seutuhnya. Awalnya kepercayaan ini disebut dengan ilmu kebatinan

yang merupakan percampuran antara budaya asli Jawa dengan Hindu, Budha, dan

Islam.16

Sebelum melakukan sesuatu, masyarakat terkadang akan melaksanakan

sebuah ritual untuk memenuhi suatu persyaratan. Ritual tersebut sering mendekati

16

Ibid., hlm. 56.

Page 43: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

30

hal-hal yang berbau mistik. Hal-hal yang berbau mistik atau gaib sangat melekat pada

kehidupan masyarakat Jawa. Mereka percaya bahwa ada beberapa tempat yang dihuni

oleh makhluk gaib. Di tempat-tempat tertentu dipercaya menjadi tempat yang sakral

atau keramat sehingga masyarakat wajib meletakkan sesaji agar makhluk gaib itu

tidak menganggu. Makhluk-makhluk gaib itu dipercaya dan dianggap sebagai roh

leluhur atau nenek moyang yang akan menjaga anak cucu mereka. Sebelum

melakukan ritual itu, masyarakat juga mengenal ilmu titen yaitu dengan mencermati

tanda-tanda alam. Alam merupakan suatu hal yang tidak bisa diremehkan

peranannya. Satu hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dalam ritual masyarakat Jawa

adalah laku prihatin. Mereka harus melakukan sesuatu agar keinginannya tercapai.

Misalnya orang akan berpuasa agar keinginannya tercapai.

Masyarakat Jawa juga sangat memperhatikan keharmonisan, keseimbangan,

dan keserasian dalam menjalankan hidup. Ketika membuat batik, para perempuan

menerapkan ajaran-ajaran hidup yang diajarkan oleh nenek moyang mereka. Motif

atau pola yang digambarkan lewat sebuah canthing mengekspresikan segala curahan

hati pembatiknya. Susunan bentuk garis, titik-titik dan warnanya yang terpadu secara

harmonis menimbulkan keindahan tersendiri maka terkandung pesan dan harapan ke

arah kehidupan yang baik bagi pemakainya.17

Sehingga tidak sembarang orang bisa

menggambar suatu motif batik tanpa mengetahui maknanya.

17

Kartini Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”, Jurnal Filsafat, No. 23,

edisi November 1995, Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta, hlm. 30.

Page 44: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

31

Berdasarkan motifnya, batik pedalaman atau yang lebih dikenal dengan batik

kraton, biasanya bersifat simbolik, filosofis dan mempunyai arti-arti magis yang ada

maknanya. Motif ini diciptakan dari hasil pengamatan alam sekitar dan bersifat

monumental. Warna-warna yang digunakan lebih bersifat sederhana. Warna pada

batik kraton biasanya terdiri dari tiga unsur, yaitu coklat atau merah, biru atau hitam,

dan putih. Dalam agama Hindu, ketiga warna ini merupakan simbol dari sumber

kehidupan. Warna-warna itu dapat diartikan Brahma untuk warna merah, Syiwa

untuk warna biru atau hitam, dan Wisnu untuk warna putih.18

Tetapi, pada sebagian

besar kain batik warna yang lebih dominan adalah warna coklat soga.

Motif-motif yang ditorehkan dengan canthing dalam sebuah kain, dibuat

dengan konsep yang adiluhung atau memiliki nilai yang indah dan tinggi. Tidak ada

motif yang dibuat dengan asal-asalan tanpa ada makna dibalik pembuatannya. Proses

pembuatan batik dianggap sebagai media perenungan dan meditasi. Mereka

mencurahkan segala kemampuannya untuk membuat batik. Tidak jarang seorang

pembatik harus melakukan ritual puasa terlebih dahulu agar dapat membuat kain

batik yang bermakna. Proses ini juga menjadi sebuah pencapaian kemurnian serta

kemuliaan dalam rangka mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa.19

Di dalam sebuah

kain batik, terkandung makna simbolik yang berguna bagi kesejahteraan hidup

manusia. Kehendak dan kemampuan yang dimiliki para pembatik menghasilkan suatu

18

Sewan Susanto, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Balai Penelitian Batik

dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, 1980, hlm. 174.

19 Biranul Anas, op.cit., hlm. 60.

Page 45: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

32

karya yang indah. Keindahan suatu kain batik tercipta dari perpaduan bentuk garis-

garis dan warna yang serasi. Sehingga maknanya akan membawa kebaikan bagi

pemakainya.20

Kegiatan membatik yang dikerjakan dengan sepenuh hati melalui tahap-tahap

seperti puasa dan meditasi, nantinya sangat berpengaruh pada hasil kain batiknya.

Semakin penting arti pembuatan suatu kain batik, maka semakin lama puasa dan

meditasi yang dilakukan oleh pembatik. Pengaruh budaya yang diilhami oleh seni-

seni dari kraton, membuat masyarakatnya, baik yang bekerja di dalam maupun

masyarakat luar tembok kraton, merasa dekat dengan pihak kraton dan menyadari

bahwa budaya ini (seperti misalnya tradisi membatik, menari, dan tata krama) wajib

dilestarikan. Masyarakat Jawa pedalaman atau yang dekat dengan wilayah Kraton,

mempunyai ungkapan yaitu mbathik manah, yang berarti menciptakan batik melalui

totalitas pencurahan jiwa dan raga.21

Motif-motif yang dihasilkan oleh pembatik ada bermacam-macam dan setiap

motif tersebut ada maknanya masing-masing. Beberapa motif yang sering dipakai di

antaranya adalah:

1. Parang Rusak

Motif ini mempunyai makna yang dalam dan luhur sehingga pemakaian

motif ini hanya diperuntukkan bagi para bangsawan dalam acara-acara

20

Kartini Parmono, loc.cit.

21 Biranul Anas, loc.cit.

Page 46: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

33

tertentu. Sesuai dengan arti parang rusak, yaitu perang atau menyingkirkan

segala yang rusak atau melawan segala macam godaan. Makna dari motif

ini adalah agar manusia di dalam hidupnya dapat mengendalikan nafsunya

sehingga mempunyai watak dan perilaku yang luhur.

b. Kawung

Motif ini diilhami oleh sebuah pohon kawung atau sejenis pohon palem

atau yang lebih dikenal dengan kolang kaling. Maknanya adalah jika

dilihat semua bagian dari pohon kawung sangat bermanfaat bagi manusia

sehingga penggunanya diharapkan bisa berguna bagi bangsa dan

negaranya.

c. Grompol

Grompol berarti berkumpul atau bersatu. Pemakai kain ini diharapkan

agar semua hal-hal yang baik seperti rezeki, kebahagiaan, dan keturunan

sehingga bisa berkumpul menjadi satu dan hidup secara rukun.

d. Sido Mukti

Motif ini biasa dipakai oleh pengantin wanita dan pria ketika akan

menikah. Dari kata sido berarti terus menerus dan mukti berarti hidup

dalam kecukupan dan kebahagiaan. Sehingga diharapkan pada pemakai

agar masa depannya berjalan dengan lancar dan bahagia.

Page 47: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

34

e. Semen Rama

Motif ini terdiri dari berbagai macam, seperti semen gedhe, sawat gurda,

dan semen huk. Motif ini melambangkan kesetiaan seorang istri.

f. Truntum

Motif ini melambangkan cinta yang bersemi kembali. Bagi pemakainya,

motif ini berarti akan menuntun kedua mempelai pengantin dalam

memasuki kehidupan rumah tangganya sehingga diharapkan akan terus

langgeng dengan kasih sayang yang akan terus bersemi atau tumbuh

(truntum).22

D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik

Beberapa motif batik tidak bisa dipakai oleh sembarang orang. Ada beberapa

ketentuan yang mengatur tentang siapa-siapa yang berhak memakai motif-motif

tersebut. Sebagian besar motif-motif itu diciptakan dalam lingkungan kraton sehingga

nilai dan maknanya sangat tinggi. Batik telah menjadi bagian yang tidak lepas dari

kehidupan kraton. Pembuatnya juga berasal dari dalam kraton. Sejak zaman kerajaan

Mataram, batik telah menjadi bagian dari busana para raja dan keluarganya. Selain itu

pemakaian batik juga berfungsi untuk menyelenggarakan upacara-upacara kraton,

seperti grebeg, daur hidup, penyambutan tamu, dan pertunjukan tari.

22

Kartini Parmono, op. cit.., hlm. 33-34.

Page 48: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

35

Batik menjadi salah satu bagian dari barang-barang kebesaran dan diciptakan

untuk memperkuat kedudukan dan peranan kosmis raja, istana, dan pemerintahan. Ini

adalah salah satu upaya untuk memperoleh ketentraman, keselamatan, dan

kesejahteraan raja, kerajaan dan rakyatnya. Batik juga berfungsi untuk menunjukkan

kewibawaan raja dan kraton.23

Setiap orang yang memakai suatu kain batik akan

dapat dilihat tinggi rendahnya kedudukannya dalam pemerintahan.

Dari beberapa motif batik itu, ada yang digolongkan menjadi motif larangan.

Motif ini hanya boleh dipakai oleh raja dan para keluarganya. Jadi mereka yang

mempunyai keturunan raja dan ningrat yang bisa memakai motif itu. Masyarakat

biasa dilarang dan tidak boleh memakainya. Beberapa motif larangan itu adalah

Parang Rusak, yang digambarkan seperti “pedang” yang tidak sempurna atau rusak;

Sawat, digambarkan dengan bentuk sayap-sayap besar seperti burung garuda;

Cemukiran, digambarkan dengan bentuk teratai dan digunakan sebagai ragam hias

pinggir kain; Udan Liris digambarkan dengan garis-garis sejajar diagonal; Rujak

Sente, mirip dengan Udan Liris dengan bentuk garis diagonal; Kawung, digambarkan

dengan bentuk bulat lonjong24

; dan Semen, digambarkan dengan sulur-suluran

tanaman. Motif ini sering digabungkan dengan ragam hias tambahan seperti Sawat

(sayap).25

Pemakaian motif-motif tersebut ditulis dalam peraturan sebagai berikut:

23

A. N. Suyanto, op.cit., hlm 30.

24 Biranul Anas, op. cit., hlm. 64-65.

25 GBRA Murywati Darmokusumo, “Batik Kraton Yogyakarta”, dalam

Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990, hlm. 34.

Page 49: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

36

a. Motif yang digunakan untuk raja, putra mahkota dan permaisuri atau istri:

- Semua jenis dari motif Parang Rusak

- Sembagen Huk

- Garuda Ageng

b. Khusus untuk para anggota keluarga yang bergelar pangeran serta

keturunan penguasa:

- Semua corak Semen dengan sayap garuda berganda maupun tunggal

- Udan Liris

c. Keluarga jauh yang bergelar Raden Mas atau Raden:

- Semua corak Semen tanpa bentuk-bentuk sayap

- Kawung

- Rujak Sente, mirip Udan Liris yang umumnya menggunakan garis-

garis diagonal bercorak.26

Kraton Yogyakarta dan Solo mempunyai aturan-aturan tersendiri dalam

menentukan pemakaian motif batik tertentu, tetapi pada dasarnya sama. Tindakan ini

dibuat agar kedudukan raja yang kharismatik bisa tetap terjaga. Pihak kraton

Yogyakarta kemudian pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII (tahun 1921-1939),

peraturan ini dibuat dan ditegaskan lagi dalam Undang-Undang penggunaan busana

26

Biranul Anas, op.cit., hlm. 62-63.

Page 50: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

37

keprabon yaitu Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton

Nagari Ngajogjakarta Hadiningrat tahun 1927.27

Dalam undang undang ini diatur

tentang pemakaian busana keprabon dan larangan motif-motif batik tradisional

tertentu. Sehingga melalui pakaiannya dapat dibedakan status dan kedudukannya.

Selain mengatur tentang pemakaian kain batik, undang-undang ini juga mengatur

tentang pakaian, peralatan, dan aksesoris yang dipakai para bangsawan beserta abdi

dalemnya.

Motif Parang Rusak bervariasi terutama sesuai dengan ukuran “pedangnya”.

Motif ini dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, yang terkecil dinamakan Parang Rusak

Klithik (berukuran kecil) dengan ukuran 4 cm, yang berukuran sedang adalah Parang

Rusak Gendreh dengan ukuran 8-10 cm, dan yang paling besar disebut Parang Rusak

Barong dengan ukuran 10-12 cm.28

Menurut tradisi Parang Rusak Barong adalah

sebuah corak sakral, digunakan hanya untuk busana raja yang paling megah atau

sebagai bagian persembahan bagi arwah-arwah leluhur kerajaan yang dihormati.

Motif yang terakhir ini hanya diperuntukkan bagi raja atau sultan. Sedangkan untuk

Parang Klithik boleh dipakai oleh keluarga sultan, seperti istri dan putra-putri raja.29

Masyarakat Jawa tradisional pada khususnya mempunyai pakaian yang

didasarkan pada kegunaannya. Wujud kain batik pada dasarnya dapat dibuat menjadi

27

A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 7.

28 Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-1937 Kraton Yogyakarta,

Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 19.

29 GBRA Murywati Darmokusumo, loc.cit.

Page 51: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

38

berbagai macam bahan busana yang memiliki fungsinya masing-masing. Beberapa

wujud dari kain itu adalah sebagai berikut:

- Bebet, tapih (bahasa Jawa ngoko/kasar), atau sinjang (bahasa Jawa krama

madya/bahasa halus tengah), atau nyamping (bahasa Jawa krama

inggil/bahasa halus) adalah kain panjang yang biasa digunakan oleh kaum

pria dan wanita. Bebet adalah kain yang digunakan oleh para pria,

sedangkan tapih adalah yang digunakan oleh para wanita.

- Dodot (bahasa Jawa ngoko), atau kampuh (bahasa Jawa krama inggil) adalah

sejenis kain batik dalam wujud ukuran yang besar. Kain dodot digunakan

bagi bangsawan dan abdi dalem.

- Iket, atau udheng (bahasa Jawa ngoko), atau dhestar (bahasa Jawa krama

inggil) adalah kain batik yang dipakai untuk ikat kepala.

- Kemben (bahasa Jawa ngoko), atau semekan (bahasa Jawa krama inggil)

adalah kain batik yang berfungsi sebagai penutup dada wanita.

- Selendang atau slendhang (bahasa Jawa krama) adalah kain batik yang juga

digunakan oleh wanita sebagai kain hias di bagian bahu. Disamping itu bisa

juga untuk menggendong anak, bakul (jualan memakai keranjang), dan lain-

lain.

Page 52: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

39

- Sarung (bahasa Jawa ngoko) atau sande (bahasa Jawa krama) adalah kain

batik yang kedua ujungnya dijahit sehingga bentuknya menyerupai tabung.30

Jenis-jenis pakaian di atas sangat melekat pada kehidupan masyarakat Jawa

tradisional. Penggunaannya juga hanya pada acara-acara tertentu, mulai dari acara

resmi maupun untuk pakaian sehari-hari. Tidak semua masyarakat dapat

menggunakan pakaian-pakaian tersebut, karena jenisnya disesuaikan dengan status

dan kedudukan si pemakai. Misalnya untuk kampuh, yang dibuat dengan motif

larangan, masyarakat biasa tidak boleh memakai dan hanya kaum bangsawan saja

yang boleh memakainya. Kampuh termasuk dalam busana kebesaran raja.

Pemakaiannya-pun hanya pada saat acara-acara tertentu.

30

A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 32-34. Lihat juga dalam buku Biranul Anas,

Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan

Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 37-39.

Page 53: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

40

BAB III

DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA

Sejak zaman kerajaan Mataram, batik telah menjadi busana kebesaran bagi

para penguasa. Ketentuan-ketentuan penggunaan batik dengan motif tertentu tertuang

dalam undang-undang. Peraturan ini dibuat sedemikian rupa sehingga masyarakat

umum tidak boleh melanggarnya. Sebelum Mataran pecah menjadi dua, raja terbesar

pada masa itu adalah Sultan Agung yang mempunyai daerah kekuasaan yang sangat

luas. Kemudian setelah Mataram terpecah menjadi dua yaitu Yogyakarta dan

Surakarta, banyak terjadi perebutan kekuasaaan antar keluarga sendiri. Tetapi hal itu

tidak mengurangi wibawa sang raja.

A. Sistem Feodal Kraton

Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, raja merupakan penguasa atas tanah

beserta isinya di seluruh wilayah kekuasaannya. Raja juga mempunyai kekuasaan

yang absolut atau mutlak pada bawahannya. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, feodal berarti hal yang berhubungan dengan susunan masyarakat yang

dikuasai oleh kaum bangsawan yang berhubungan dengan sikap dan cara hidup.1

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, hlm. 241.

Page 54: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

41

Sistem ini sudah berlaku sejak Indonesia dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda di

sekitar abad 18.

Seperti diketahui pada pembahasan bab sebelumnya, bahwa masyarakat Jawa

terbagi menjadi beberapa lapisan sosial. Pembentukan lapisan-lapisan ini berdasarkan

pada tingkat ekonomi masyarakat. Lapisan pertama adalah golongan bangsawan atau

priyayi dan lapisan kedua adalah lapisan wong cilik atau rakyat jelata. Mereka berada

pada posisi yang berbeda. Golongan bangsawan berada pada lapisan teratas

kehidupan sosial masyarakat dan golongan wong cilik berada pada lapisan terbawah

kehidupan sosial masyarakat.2 Golongan bangsawan ini menduduki posisi teratas

karena mereka mempunyai pertalian darah dengan raja. Di dalam lingkungan kraton-

pun masih terdapat pembagian kelas-kelas, yang pertama adalah golongan ningrat,

yang ditentukan oleh sistem kekerabatan dan pangkat serta kedudukan dalam

pemerintahan, sedangkan yang kedua adalah abdi dalem, yang merupakan pejabat

dari tingkat atas sampai bawah.

Pembagian sistem sosial di atas, menyebabkan timbulnya sikap feodalisme.

Dalam pemerintahan kerajaan Jawa, kelas bangsawan akan selalu menjadi pemerintah

yang berkuasa. Mereka berhak menentukan apa yang harus dikerjakan oleh rakyat

meskipun kekuasaannya berada di bawah perintah langsung raja. Pada lapisan ini

terdiri dari anggota keluarga raja dan juga para pejabat kerajaan, Mereka dapat

bekerja di dalam kerajaan secara turun temurun.

2 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan

Merapi, 2002, hlm. 24-25.

Page 55: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

42

Sedangkan kelas rakyat hanya akan selalu menjadi pihak yang selalu tunduk

kepada raja. Hal ini juga menjadi salah satu sebab terbentuknya feodalisme.

Kekuasaan raja bersifat absolut. Pada zaman Hindu-Buda, raja dianggap sebagai

titisan Tuhan atau dewa yang mempunyai kesaktian dan berkuasa atas semua wilayah

yang menjadi taklukannya. Adanya pembagian kelas dalam masyarakat

mengakibatkan feodalisme tumbuh subur. Mereka yang berada dalam lapisan atas

akan terus menjadi pihak yang selalu berkuasa dan dihormati, sedangkan yang berada

di lapisan bawah akan selalu menjadi pihak yang diperintah dan harus menghormati

yang berkuasa. Hubungan ini juga disebut dengan hubungan antara lord (penguasa)

dan vazal (hamba/rakyat).

Feodalisme juga berarti suatu sistem sosial yang mengagung-agungkan

jabatan atau pangkat sehingga mereka yang menjadi bangsawan maupun priyayi

mempunyai kekuasaan yang besar setelah raja. Rakyat yang sebagian besar terdiri

dari wong cilik, harus tetap menghormati kelas ningrat tersebut. Hal ini menimbulkan

jurang perbedaan antara bangsawan dengan rakyat.

Sistem feodalisme di Jawa didasarkan pada kosmologi kekuasaan Jawa yang

bersumber pada paham dewa raja kultus. Raja yang dianggap sebagai titisan dewa

dengan segala kesaktian yang dimilikinya sangat diagung-agungkan. Seperti dalam

buku Moedjanto, kekuasaan raja-raja Jawa mempunyai konsep yang disebut dengan

Raja Gung Binathara. Kekuasaan ini menunjukkan bahwa raja-raja mempunyai

kekuasaan yang sangat besar sehingga rakyatnya mengakui raja sebagai pemilik

Page 56: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

43

segala sesuatu, baik harta benda maupun manusia.3 Tak hanya itu kekuasaan raja

digambarkan sebagai bau dhendha nyakrawati yang berarti raja adalah pemelihara

hukum dan penguasa dunia, berbudi bawa leksana berarti meluap budi luhur

mulianya, dan ambeg adil paramarta berarti bersikap adil terhadap sesama.4

Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan raja tidak terlalu absolut dengan sistem

pemerintahan yang tidak terlalu mengekang.

Besarnya kekuasaan raja yang disebut di atas, membuat rakyat hanya bisa

patuh terhadap apa yang diperintahkan raja kepadanya. Tanah yang hanya dimiliki

oleh raja dikelolakan kepada para pejabat kerajaan dan kemudian rakyat yang

menggarapnya. Setelah menghasilkan sesuatu, misalnya hasil bumi, maka harus

diserahkan kembali pada raja. Kekuasaan tetap berpusat pada raja, meskipun ada

beberapa pegawai yang ditunjuk untuk menjadi wakil raja di daerah.

B. Penerapan Feodalisme Dalam Kehidupan di Kraton

Dalam memperkuat kekuasaan raja, ada beberapa cara untuk melakukan

pembinaan kekuasaan.5 Salah satunya adalah pengembangan kebudayaan kraton.

3 Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja

Mataram, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm 77.

4 Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman,

Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 29. Kekuasaan raja yang besar terlihat dalam 7

kekuasaan, salah satunya adalah gelar-gelar yang disandang.

5 Moedjanto, op. cit., hlm. 86-90.

Page 57: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

44

Beberapa hal yang harus dilakukan dalam mengembangkan kebudayaan kraton

tampak dalam cara berpakaian, cara mengambil sikap, dan cara berbicara.6 Menurut

Biranul Anas, berbagai ketentuan tentang perilaku yang mengatur keluarga raja

beserta para pejabat kraton dalam bertindak, berbicara dan berbusana bisa

menumbuhkan feodalisme.7 Dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahannya,

Raja juga mempunyai simbol-simbol yang digunakan untuk melegitimasi

kekuasaannya. Barang atau simbol kekuasaan itu antara lain seperti payung, tombak,

pakaian, keris, dan kain batik yang merupakan bagian dari penunjang kelengkapan

gaya. Tiap barang mempunyai fungsinya masing-masing ketika sudah dipakai pada

acara tertentu.

Batik tradisional adalah suatu kain yang pada umumnya dihasilkan oleh para

perempuan. Tak terkecuali perempuan di dalam kraton, yang juga mempunyai

ketrampilan dalam membuat batik. Bagi para perempuan kraton, batik diproduksi

untuk keperluan kraton. Ketrampilan ini sangat penting untuk dimiliki oleh kaum

perempuan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, batik merupakan salah satu alat

kelengkapan yang berguna untuk mendukung kebesaran seorang raja yang

memakainya.

6 Ibid., hlm. 88.

7 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku

Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 5.

Page 58: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

45

Beberapa alat atau simbol menjadi sesuatu hal yang dimaksudkan untuk

melegitimasi kekuasaan raja. Pemakaian motif batik dalam lingkungan masyarakat

Jawa termasuk dalam feodalisasi kerajaan. Pemakaian batik dibedakan menjadi dua,

batik yang dipakai oleh bangsawan dan batik yang dipakai oleh rakyat. Kedua jenis

batik yang dibedakan itu didasarkan pada motifnya.

Ketika Sultan Hamengku Buwono II memerintah, pada tanggal 2 Agustus

1792 dikeluarkanlah perintah bagi para pejabat yang berisi etiket yang benar dan

terperinci dalam pertemuan antara anggota keluarga kerajaan, pejabat pemerintahan

senior, dan para pengikutnya. Dalam peraturan ini terdapat 18 ketentuan (prakara)

yang berhubungan dengan hukum pemerintahan seperti penggunaan tandu, payung,

kuda, tipe atau motif batik, dan keris.8

Pengaturan tentang pemakaian batik terdapat pada ketentuan nomor 17.

Ketentuan ini mencakup tentang pakaian yang dipakai oleh keluarga raja terutama

anak dari raja. Disini juga terdapat larangan-larangan pemakaian motif batik. Dalam

peraturan ini tertulis larangan pemakaian sebagai berikut9:

…ana dening mungguh kang rupa jajarit, kang ingsun larangi, bathik

sawat, bathik parang rusak, bathik cumengkirang, bathik kawung, bathik

telacap, bathik huk, bathik sembagen kang nganggo lung-lungan, bathik

semen, bathik barong kang mawa lar, lan lurik ginggang kenthing, lurik

ireng…

8 P. B. R. Carey (ed), The Archive of Yogyakarta, London: Oxford University

Press, 1980, hlm. 104.

9 Ibid., hlm. 107. Kutipan ini diterjemahkan bebas oleh penulis.

Page 59: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

46

(jarit atau kain yang saya larang untuk dipakai adalah batik sawat, batik

parang rusak, batik cumengkirang, batik kawung, batik telacap, batik huk,

batik sembagen dengan motif lung-lungan, batik semen, batik barong

dengan motif lar, dan kain lurik ginggang kenthing, kain lurik hitam)

Peraturan ini juga menjelaskan tentang pakaian yang dipakai oleh putra

keturunan dari Ki Adipati Anom Hamengkunegara yaitu batik modang, dan lurik

larog. Hal ini juga berlaku pada putra Mantri Jero Pinilih yang dilarang memakai

batik dengan motif-motif tersebut.10

Peraturan yang serupa dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII yang

memerintah tahun 1927, beliau mengeluarkan lagi undang-undang baru yang memuat

aturan pemakaian busana dan kain batik. Masyarakat biasa tidak boleh memakai

motif-motif yang hanya dipakai oleh raja.

Kedudukan pejabat yang berada di dalam kraton berbeda-beda menurut

tingkat sosialnya. Pegawai kerajaan ada yang berasal dari keluarga sultan dan ada

juga yang diangkat dari rakyat biasa. Hubungan antara para pejabat tersebut diatur

pula dalam Instruction for Royal Officials.11

Para pejabat ketika akan bertemu dengan

pejabat yang lebih tinggi ataupun sebaliknya, ketika pegawai bawahan ketika bertemu

10

Ibid.

11 Ibid., hlm. 104. Peraturan ini judulnya ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi

isi atau pasal-pasal ketentuan yang termuat dalam peraturan ini, tetap tertulis dalam

bahasa Jawa.

Page 60: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

47

dengan pejabat tinggi, sikapnya berbeda-beda. Sampai pada pembantunya pun, di situ

ditulis bagaimana caranya bersikap ketika bertemu dengan bangsawan. 12

Pada bab II telah disebutkan bahwa ada beberapa bentuk pakaian yang dipakai

oleh raja dan pemakaiannya tidak bisa sembarangan. Pemakaian ini ditentukan oleh

upacara kebesaran atau ceremonial, atau pada saat-saat tertentu. Salah satu pakaian

kebesaran raja adalah kampuh. Kain ini sangat besar ukurannya dan sering dipakai

pada saat melaksanakan upacara resmi kraton.

Keperluan pemakaian kain batik tertentu diberlakukan pula pada acara-acara

tertentu. Busana yang dipakai oleh kalangan kraton dibagi menjadi dua yaitu busana

resmi dan tak resmi. Busana resmi yaitu busana yang dipakai pada saat upacara adat

maupun acara kerajaan. Sedangkan busana tak resmi yaitu busana yang dipakai pada

kegiatan sehari-hari.

Busana resmi pada saat upacara adat kraton dibagi menjadi dua yaitu upacara

alit dan upacara ageng.

1. Upacara alit dilaksananakan seperti pada saat upacara tetesan, dan tarapan.

Upacara tetesan adalah upacara sunat/khitan yang dilakukan oleh anak

perempuan yang berusia 6-8 tahun. Busana yang dikenakan adalah

sabukwala. Sedangkan upacara tarapan adalah upacara inisiasi haid pertama

bagi anak perempuan yang berusia 9-12 tahun. Busana yang dikenakan yaitu

12

Ibid., hlm. 104-108.

Page 61: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

48

pinjung. Namun, pemakaian busana ini berbeda berdasarkan tingkatan

kedudukan setiap anak.

2. Upacara ageng dilaksananakan seperti pada upacara garebeg, jumenengan

dalem (penobatan raja), pasowanan, sedan (upacara kematian saat

pemakaman), dan upacara daur hidup seperti perkawinan, mitoni, dan supitan.

Pada upacara jumenengan (penobatan raja) dan saat menerima tamu agung,

memakai busana sikepan beludru, celana cindhe dengan kampuh bermotif

parang rusak barong dan ngumbar kunca. Dan bagian kepala memakai kuluk

kanigoro serta sumping emas berbentuk daun mangkara yang menghiasi

kedua telinga.13

Sebenarnya busana yang dipakai dalam upacara ageng

sebagian besar hampir sama dengan busana kebesaran beserta kelengkapan

yang disebutkan seperti di atas. Untuk anggota keluarga yang lain, kain yang

dipakai dibedakan motifnya. Misalnya untuk para putra mahkota kain batik

yang dipakai adalah parang rusak gendreh. Upacara supitan dilakukan oleh

anak laki-laki yang berusia 13-15 tahun, dengan memakai baju srimpi. Pada

saat upacara perkawinan, kedua mempelai memakai motif truntum, grompol

dan semen. Seni pertunjukan tari juga termasuk dalam upacara ageng.

Pertunjukan tari wayang wong, Beksan Lawung dan Bedhaya ditampilkan

dalam acara-acara ageng seperti yang telah disebutkan di atas. Motif-motif

yang dipakai seperti parang rusak, kawung dan slobok. Motif-motif itu hanya

13

A. N. Suyanto, op. cit., hlm. 64.

Page 62: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

49

boleh dipakai oleh raja, namun pada saat akan digunakan untuk pertunjukan,

motif tersebut bisa dipakai sesuai dengan peran yang akan dimainkan.14

Sedangkan untuk busana tak resmi yaitu untuk pakaian sehari-hari, kain yang dipakai

berupa motif semen, ceplok, atau gringsing.15

Pemakaian busana maupun kain batik

berbeda-beda menurut kedudukan sosial dalam kraton dan juga besar kecilnya usia

(anak-anak, remaja, dewasa).

Penyelenggaraan upacara telah dilaksanakan secara turun temurun walaupun

nantinya akan ada pengurangan tata cara oleh Belanda. Prosesi upacara yang

dilaksanakan oleh kraton mempunyai nilai kesakralan tersendiri. Sehingga

kelengkapan alat maupun simbol-simbolnya sangat menentukan dalam proses

upacara.

Sikap-sikap lain yang menjadi kefeodalan di sekitar lingkungan kerajaan

adalah cara mengambil sikap badan, yaitu ketika menghadap pada raja semua orang

yang lebih rendah kedudukannya harus menyembah. Kemudian dalam hal berbicara,

ada beberapa jenis penggunaan bahasa dalam kehidupan orang Jawa. Pemakaian

bahasa dalam masyarakat dibedakan menjadi tiga yaitu krama inggil, krama madya,

dan ngoko. Ketika berbicara kepada seseorang yang lebih tinggi kedudukannya, maka

14

Ibid., hlm. 67.

15 Untuk lebih jelas mengenai busana resmi dan tak resmi dalam lingkungan

kraton, lihat dalam Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-1937 Kraton

Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 21-38 dan A. N.

Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002,

hlm. 35-41.

Page 63: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

50

seseorang harus menggunakan bahasa halus atau krama inggil. Penggunaan bahasa

krama madya digunakan ketika lawan bicaranya orang yang hampir sejajar tetapi

bermaksud ingin tetap menghormati orang itu. Kemudian ketika berbicara dengan

orang yang sama kedudukannya bisa menggunakan bahasa ngoko.16

Jadi kekuatan feodal pada kerajaan di Jawa khususnya Mataram, terdapat pada

unsur kekuasaan yang turun temurun, disertai dengan gelar-gelar yang disandang oleh

raja, dan kekuasaan absolut.17

Ketika Islam masuk ke Indonesia, raja dianggap

sebagai wali Allah sehingga dia mempunyai gelar yaitu Ngarso Dalem Sampeyan

Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga

Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping.18

Gelar tersebut

berarti bahwa sultan atau raja mempunyai peran untuk memelihara atau melindungi

dunia, merangkap sebagai pimpinan utama angkatan perang, sebagai wakil Tuhan,

dan juga sebagai pimpinan serta pengatur agama.

16

Untuk melihat tingkatan-tingkatan bahasa yang digunakan dalam

masyarakat Jawa, lihat dalam G. Moedjanto, The Concept of Power In Javanese

Culture, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986, hlm. 55-59.

17 G. Moedjanto, op. cit., hlm. 88.

18 Pemberian gelar ini tergantung pada Sultan/raja yang memerintah. Misalnya

untuk Sultan Hamengku Buwono VIII, gelarnya menjadi Ngarso Dalem Sampeyan

Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga

Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping VIII (wolu).

Begitu juga dengan seterusnya.

Page 64: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

51

C. Kemerosotan Feodalisme Dalam Kehidupan Kerajaan

Indonesia termasuk sebagai salah satu negara jajahan Belanda. untuk

melancarkan misinya, pemerintah kolonial Belanda melakukan kerjasama dengan

pemerintah setempat. Pemerintah kolonial menginginkan agar rakyat patuh dengan

mereka. Tujuan para penjajah datang ke Indonesia adalah untuk mengambil sumber

daya alam dengan memanfaatkan sumber daya manusia Indonesia.

Kehidupan rakyat semakin menderita akibat penjajahan Belanda. Sehingga

mengakibatkan perlawanan-perlawanan yang diadakan oleh rakyat. Timbul

peperangan antara pihak rakyat Indonesia dan pemerintah Belanda. Namun hal ini tak

mengurangi minat Pemerintah kolonial untuk terus mengeksploitasi sumber daya di

Indonesia. Untuk memperlancar proses itu, salah satunya diadakanlah perjanjian

politik dengan pihak pemerintah yang dalam hal ini adalah kraton. Perjanjian ini

mengontrol seluruh kehidupan pemerintah dan juga masyarakat.

Pemerintah Belanda mengeluarkan Hormat Circulaire pada tahun 1904.19

Peraturan ini dikeluarkan karena Belanda berusaha mengurangi kehidupan feodal

dalam masyarakat Jawa. Pemerintah Belanda mengurangi berbagai cara

penghormatan rakyat terhadap kaum bangsawan dan menjadikan kemerosotan

kekuasaan para bangsawan. Rakyat juga rupanya sudah ingin lepas dari belenggu

feodalisme.

19

Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia Jilid II,

Jakarta, hlm. 220.

Page 65: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

52

Orang-orang Belanda mulai menduduki posisi dalam pemerintahan

menggantikan para bangsawan. Dengan pendidikan yang sudah didapat, orang-orang

Belanda ditempatkan pada struktur birokrasi kerajaan. Hal ini menimbulkan posisi

pemerintah kolonial Belanda yang juga harus dipatuhi oleh rakyat.

Perubahan-perubahan dalam pemakaian alat-alat kebesaran raja dan tata cara

penyelenggaraan upacara dilaksanakan sesuai dengan aturan yang diterapkan oleh

Belanda. Pemakaian segala perlengkapan busana yang dipakai untuk upacara ageng

sudah mulai berkurang. Misalnya ketika mengadakan upacara penyambutan tamu dan

Garebeg, Sultan tidak lagi memakai berbagai perlengkapan tanda dan pakaian

kebesaran.20

Hanya barang-barang tertentu saja yang masih dipakai, seperti misalnya

kain kampuh yang bermotif parang rusak barong. Tata cara upacara pada masa ini

telah disederhanakan dan harus seizin pemerintah Belanda.

Ketika Pemerintah Belanda akan menghadap Raja, mereka diharuskan

melakukan penghormatan. Namun, setelah dikeluarkan peraturan ini mereka tidak

harus melakukan penghormatan. Meskipun pemerintah Belanda menetapkan

peraturan undang-undang yang mengurangi kekuasaan feodal bangsawan, batik masih

menjadi kain eksklusif yang dipakai dan menunjukkan tingkat sosial pemakainya.

Pemakaian batik tidak lagi terbatas pada kalangan kraton saja. Ketrampilan

membatik dan motif-motif larangan-pun menyebar ke daerah-daerah. Motif dan

20

Lihat dalam A. N. Suyanto, op. cit., hlm. 62. Pemakaian atribut pakaian

bagi pejabat-pejabat kraton tidak lagi lengkap seperti sebelumnya.

Page 66: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

53

ketrampilan batik tidak lagi menjadi suatu hal yang hanya dikuasai pihak kraton.

Semua kalangan mulai dapat menikmati hasil budaya Jawa itu tanpa takut dibayang-

bayangi kekuasaan feodal.

Page 67: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

54

BAB IV

PERAN DAN FUNGSI DJOGO PERTIWI DALAM

PENGEMBANGAN SENI MEMBATIK 1935-1942

Batik di Yogyakarta telah mengalami perluasan dalam hal seni dan

pembuatannya. Ketrampilan membatik ini tidak hanya dibuat oleh wanita-wanita di

lingkungan kraton, sampai meluas di seluruh wilayah Provinsi Yogyakarta. Salah

satunya adalah wilayah Kabupaten Bantul, tepatnya di Dusun Pajimatan, Desa

Girirejo, Kecamatan Imogiri.

Di wilayah ini pada zaman dahulu merupakan daerah yang terkenal dengan

batiknya, dan sampai sekarang-pun masih terkenal. Banyak para penduduknya yang

bekerja sebagai pembatik karena bersuamikan abdi dalem kraton. Hal ini

berhubungan dengan pembangunan makam raja-raja Mataram yang terletak di

perbukitan Imogiri. Para abdi dalem tersebut bertugas sebagai juru kunci makam raja-

raja Mataram. Imogiri menjadi salah satu pusat industri pembuatan batik sehingga

kerajinan ini sangat berpotensi bagi penduduk sekitarnya.

Page 68: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

55

A. Keadaan Geografis Wilayah Penelitian

Dusun Pajimatan termasuk dalam wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri,

Kabupaten Bantul. Batas-batas wilayah Dusun Pajimatan adalah sebagai berikut1:

- Sebelah utara dibatasi oleh Desa Wukirsari

- Sebelah timur dibatasi oleh Dusun Kedungbuweng, Desa Wukirsari

dan Dusun Banyu Sumurup, Desa Girirejo

- Sebelah selatan dibatasi oleh Dusun Payaman Selatan, Desa Girirejo,

dan Dusun Tegalrejo

- Sebelah barat dibatasi oleh Dusun Kradenan dan Dusun Ndronco

Kecamatan Imogiri mempunyai delapan desa yang berada di lingkup

wilayahnya. Selain desa Girirejo, ada desa Selopamioro, Imogiri, Karang Talun,

Karang Tengah, Kebon Agung, Sriharjo dan Wukirsari. Masing-masing daerah

tersebut mempunyai khasnya. Seperti Desa Selopamioro, masyarakatnya terkenal

sebagai penghasil tembakau. Desa Girirejo, dengan Dusun Pajimatan dan Desa

Wukirsari dengan Dusun Giriloyo, kedua-duanya terkenal sebagai penghasil batik

tulis. Selain itu juga terkenal sebagai penghasil aneka kerajinan seperti keris dan

kulit.

Wilayah Dusun Pajimatan mempunyai luas wilayah 53 hektar, terletak di

dekat makam raja-raja Mataram, salah satunya adalah makam Raja terbesar Mataram

Islam yaitu Sultan Agung. Letak geografis wilayah ini termasuk daerah perbukitan

1 Wawancara dengan Ibu Siti Jariyah Asih, 59 thn, Kepala Dukuh/Dusun

Girirejo, tanggal 2 November 2009.

Page 69: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

56

dengan keadaan lingkungannya yang dikelilingi dengan bukit. Status daerah Dusun

Girirejo masih tergolong pedesaan. Dusun ini terletak kira-kira 17-20 kilometer ke

arah selatan dari Kota Yogyakarta. Penduduk Dusun Pajimatan mempunyai mata

pencaharian di antaranya sebagai petani, buruh dan wiraswasta. Meskipun keadaan

lingkungan Dusun Pajimatan dikelilingi oleh bukit, mata pencaharian penduduknya

bertumpu pada kegiatan pertanian. Ada juga penduduk yang bekerja sebagai buruh

tani yaitu sebagai penggarap lahan, dan bekerja sebagai penggarap batik atau buruh

batik. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai wiraswastawan sebagian besar

bekerja sebagai pembatik.2

B. Perkembangan Batik di Imogiri

Membatik merupakan sebuah bentuk seni yang telah muncul sejak berabad-

abad lalu. Batik juga merupakan kesenian yang dikerjakan oleh wanita untuk mengisi

waktu senggangnya. Ketika Kraton mengembangkan seni tersebut di lingkungannya,

batik juga kemudian meluas ke wilayah-wilayah di sekitarnya, seperti di Dusun

Pajimatan, kecamatan Imogiri.

Awal mula penyebaran kesenian batik di Imogiri dimulai ketika Sultan Agung

yang berkuasa atas Kerajaan Mataram pada tahun 1613-1645. Beliau menginginkan

pembangunan makam yang nantinya diperuntukkan baginya. Makam ini dibangun

2 Wawancara dengan Ibu Siti Jariyah Asih, 59 thn, tanggal 2 November 2009.

Page 70: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

57

sekitar tahun 1630-an oleh Sultan Agung.3 Bukit yang akan digunakan untuk

membangun calon makam Sultan Agung kelak, berada di perbukitan di sekitar

wilayah Imogiri. Setelah selesai dibangun, ternyata ada keluarga raja yang meninggal

yaitu Panembahan Juminah, yang kemudian malah menjadi orang pertama yang

dimakamkan di bukit itu. Sultan Agung merasa kecewa karena makam yang akan

dipakai untuk memakamkannya kelak, sudah digunakan untuk memakamkan

saudaranya. Panembahan Juminah adalah paman dari Sultan Agung. Meskipun

mereka bersaudara, Sultan Agung yang menjadi raja terbesar pada saat itu, tidak mau

berbagi tempat makam. Sebelumnya memang Sultan Agung menginginkan agar dia

dapat menjadi orang yang pertama kali dimakamkan di situ.

Akhirnya Sultan Agung memerintahkan untuk membangun lagi tempat

pemakaman yang baru. Tempat itu berada di dekat pemakaman yang pertama. Kalau

tempat yang digunakan oleh Panembahan Juminah berada di Dusun Giriloyo,

sedangkan makam baru yang akan dibangun berada di Dusun Pajimatan.4 Makam ini

terletak diatas perbukitan sehingga dibangunlah makam yang dihubungkan dengan

ratusan anak tangga untuk mencapai makam para raja. Penduduk sekitar mengenal

bukit itu dengan nama bukit Merak.5 Pada perkembangan selanjutnya kompleks

3 H. J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta: Grafiti Pers, 1986,

hlm. 299.

4 Ibid., hlm. 300. Lihat juga dalam Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik

Tulis Tradisional Bantul, Patra Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm. 12.

5 Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul, Patra

Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm. 12. Lihat juga dalam artikel Sentra Batik

Giriloyo dan Pajimatan Imogiri, Selarong, Vol. 4, 2005, hlm. 164.

Page 71: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

58

pemakaman Imogiri ini digunakan tidak hanya dari pihak Kesultanan Yogyakarta

tetapi juga dari pihak Kasunanan Surakarta.

Adanya pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri ini membutuhkan tenaga

untuk merawat dan menjaga. Pihak kraton mengutus beberapa abdi dalem yang

ditugaskan untuk bekerja disini. Mereka ditugaskan sebagai juru kunci makam

Imogiri. Para penjaga makam itu diambil dari kedua pihak, baik dari kraton

Yogyakarta maupun Surakarta. Anggota keluarga para abdi dalem itu, seperti istri,

kemudian diajak untuk pindah mengikuti tempat para suami ditugaskan.

Abdi dalem tersebut memang berasal dari kalangan rakyat biasa. Mereka

kemudian diangkat menjadi pegawai kerajaan oleh raja. Pengangkatan abdi dalem

sebagai pegawai kerajaan ini dianggap menjadi suatu jabatan yang memiliki

keistimewaan (prestise) khusus. Selain dianggap dapat menaikkan status sosial

seseorang, jabatan ini juga dapat menjadi suatu penghargaan yang bisa menjadi

kebanggaan jika nantinya mereka berjasa pada kerajaan.

Para istri dari abdi dalem yang bertugas di makam Imogiri, sudah memiliki

keahlian membatik dan sudah mempelajari bermacam-macam motif dari kraton sejak

mereka tinggal di dalam tembok kraton. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan ketika

mereka tinggal di Dusun Pajimatan. Seni batik merupakan salah satu pendidikan

wajib bagi wanita Jawa, begitu pula di dalam kraton. Dari sini-lah, kesenian

membatik mulai menyebar di wilayah Imogiri, khususnya di Dusun Pajimatan.

Page 72: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

59

Batik mulai menyebar di wilayah Imogiri ini diperkirakan pada tahun 16326,

ketika Sultan Agung memerintahkan pembangunan makam di Imogiri. Tetapi ada

pula yang berpendapat bahwa, kegiatan membatik ini mulai ada sejak tahun 1645,

ketika banyak abdi dalem yang ditugaskan sebagai juru kunci makam.7 Hubungan

para abdi dalem (beserta istri) dengan kraton sangat dekat, maka kepandaian yang

didapat selama berada di kraton tetap diterapkan. Lama kelamaan, ketrampilan

membatik ini juga dimiliki oleh masyarakat sekitar.

Semula, para istri abdi dalem hanya membuat pakaian raja beserta

keluarganya, bangsawan, dan orang-orang yang berada di dalam kraton.

Pembuatannya disesuaikan dengan motif-motif yang terbatas. Seperti dalam bab

sebelumnya, telah disebutkan bahwa pemakaian batik ini tidak bisa sembarangan

memakainya karena tergantung dengan status sosial pemakai batik. Ketika sudah

berada di luar wilayah kraton, mereka masih membuat batik dengan motif-motif yang

hanya dibuat untuk kalangan raja. Tidak mengherankan jika masyarakat di sekitar

Dusun Pajimatan yang melihat cara pembuatannya bisa membuat motif yang sama,

dan motif tersebut merupakan motif-motif dari kraton.

Pada perkembangannya, penguasaan seni membatik di wilayah ini dilakukan

secara turun temurun. Kebanyakan para pembatik di Dusun Pajimatan memang

6 Sentra Batik Giriloyo dan Pajimatan Imogiri, Selarong, Vol. 4, 2005, hlm.

164.

7 Ibid., hlm164-165. Lihat juga dalam Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik

Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002,

hlm. 47.

Page 73: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

60

mendapat ketrampilan ini dari pendahulu atau nenek moyangnya. Di samping itu,

para pembatik ini juga memang berasal dari keluarga pembatik. Tak hanya itu,

penduduk yang bukan berasal dari keluarga pembatik juga belajar membuat kain

batik. Sehingga banyak bermunculan para perajin batik. Hal ini menjadikan wilayah

Imogiri yang termasuk dalam Kabupaten Bantul sebagai daerah yang patut

diperhitungkan dalam dunia batik. Hasil batik dari wilayah ini kemudian disebut

dengan Batik Bantulan. Dari sini muncul kemudian seorang perempuan, warga Dusun

Pajimatan yang berperan dalam mengembangkan batik yaitu Djogo Pertiwi.

C. Proses Pembelajaran Djogo Pertiwi Dalam Membatik

Ketrampilan membatik tidak hanya dikuasai oleh perempuan-perempuan dari

kraton tetapi perempuan dari luar kraton pun juga mempunyai andil.8 Antara kraton

dengan rakyat itu yang muncul terlebih dahulu adalah rakyatnya, karena tidak

mungkin pihak raja beserta keluarganya dapat menyediakan kebutuhan pakaiannya

sendiri. Peran perempuan di luar kraton tidak bisa diabaikan begitu saja. Bisa saja

mereka yang lebih dahulu menemukan motif-motif klasik yang sudah ada. Tetapi raja

merupakan penguasa terbesar, bisa saja mengklaim motif klasik itu buatan wanita

kraton selama dia masih memerintah.9 Raja-raja Jawa pada zaman dahulu memang

8 Lihat N. Tirtaamidjaja. Batik: Pola dan Tjorak, Jambatan, hlm. 4. Kita tidak

bisa mengabaikan daya cipta yang dihasilkan oleh masyarakat yang berada di luar

kraton.

9 Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, Ketua Paguyuban Batik Sekar

Jagad, 75 tahun, tanggal 1 November 2009.

Page 74: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

61

terkenal sebagai penguasa atas tanah dan segala yang ada di atasnya. Seperti yang

telah disebutkan pada bab sebelumnya, posisi raja sangat berkuasa sehingga sah-sah

saja bila misalnya, motif parang rusak itu dibuat oleh raja dan diperuntukkan bagi

raja. Jadi masyarakat tetap bisa menikmati kain batik dengan motif yang lebih

beragam.

Ketika meletus perang Diponegoro pada tahun 1830, banyak para anggota

keluarga baik dari kalangan bangsawan maupun abdi dalem yang mengungsi. Hal ini

mengakibatkan ketrampilan membatik yang dimiliki oleh mereka menyebar ke

beberapa wilayah. Para pegawai kerajaan atau abdi dalem, umumnya berasal dari luar

kraton. Mereka nantinya mempunyai istri yang berasal dari kalangan kraton. Ketika

para pegawai tersebut ditugaskan bekerja di luar kraton, maka istrinya akan ikut

menemani suaminya. Dalam waktu luangnya, seorang istri di samping mengerjakan

pekerjaan rumah tangga lainnya juga membuat batik. Dari awal itulah, keahlian

membatik bisa dikuasai oleh perempuan-perempuan dari luar kraton. Seorang istri

yang ikut suaminya bekerja di luar kraton berinteraksi dengan masyarakat di sekitar

tempat suaminya bekerja dan mulai mengajarkan mereka tentang cara membatik.

Salah satu penduduk Dusun Pajimatan, berhasil menguasai ketrampilan

membatik. Dia adalah Djogo Pertiwi. Menurut Sardjuni, Djogo Pertiwi lahir pada

tahun 1910.10

Djogo Pertiwi mulai mempelajari seni membatik sekitar tahun 1920,

10

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, penerus usaha batik Djogo Pertiwi, 63

tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

Page 75: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

62

dan ketika itu beliau berumur 9 tahun.11

Menurut Sarjuni, Djogo Pertiwi memang

sudah belajar membatik di umurnya yang masih sangat muda, 8-9 tahun. Ketrampilan

ini didapat secara turun temurun. Dahulu, ibu dari ibunya, tepatnya nenek dari Djogo

Pertiwi adalah seorang pembatik. Ibunya Djogo Pertiwi yang bernama Dayat Atmojo,

juga merupakan pembatik di daerahnya. Sehingga keluarga Djogo Pertiwi dapat

digolongkan menjadi keluarga pembatik. Mereka juga dulunya tergolong sebagai

juragan besar batik. Proses pembuatan kain batik dari awal sampai akhir dikerjakan

sendiri.

Pada usia itu Djogo Pertiwi mulanya belajar secara sederhana, yaitu dengan

menggoreskan pola atau motif di atas telapak tangannya. Lalu kemudian membatik

diatas kain dengan mengikuti pola yang sudah digambarnya. Ketika melihat wanita-

wanita di lingkungannya membatik, membuat Djogo Pertiwi ingin mencoba

membatik. Pada saat itu ketrampilan membatik sedang ditekuni oleh para wanita di

Dusun Pajimatan.

Ketrampilan ini tidak lepas dari peranan ibunya yang juga mempunyai

keahlian membatik. Telah menjadi adat kebiasaan yang turun temurun bahwa ibu dan

bapak-lah yang bertanggung jawab atas segala hal ikhwal kehidupan anaknya.12

11

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. Lihat

juga dalam Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta,

Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta 2002, hlm. 156.

12 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendididkan dan

Kebudayaaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan

Kebudayaan Daerah, 1976/1977, hlm. 227.

Page 76: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

63

Orang tua sangat besar peranannya dalam mendidik putra-putrinya. Keberhasilan

seorang anak dapat dicapai apabila mendapat dukungan dari orang tua.

Ketika sudah dewasa, kira-kira pada tahun 1927, Djogo Pertiwi tergerak untuk

mengembangkan bakatnya dalam membatik. Saat itu Djogo Pertiwi berusia 17 tahun,

yang bagi seorang perempuan pada umumnya, sudah bisa mulai bekerja. Djogo

Pertiwi menjadi seorang buruh batik di Yogyakarta. Dia pergi ke kota untuk bekerja

sekaligus belajar membatik di toko batik Tjokro Soeharto.13

Selain sudah mendapat

ilmu membatik dari ibunya, Djogo Pertiwi juga menimba ilmu membatik di sana.

Pada saat itu Tjokro Soeharto sudah menjadi toko seorang juragan batik besar di

Yogyakarta. Kemampuannya dalam membatik telah meningkat sedikit demi sedikit,

maka Djogo Pertiwi ingin mempertahankan eksistensinya sebagai pembatik dengan

mengajarkan batik di daerahnya, Dusun Pajimatan.

Setelah memperoleh ilmu dan pengalaman yang cukup, Djogo Pertiwi mulai

membuat usaha membatik di rumahnya. Berbekal pengalamannya, Djogo Pertiwi

berhasil membuat pesanan yang berasal dari masyarakat sekitar. Saudara-saudara

terdekatnya juga meminta Djogo Pertiwi untuk membuatkan kain batik dengan motif-

motif yang sudah dipelajarinya.14

Dalam perkembangan berikutnya, Tjokro Soeharto

juga memesan batik buatan Djogo Pertiwi.15

Toko-toko batik lainnya yang ada di

Yogyakarta juga menjadi tempat untuk menyetorkan kain batik buatan Djogo Pertiwi.

13

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/02/opi03.html

14 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

15 Ibid.

Page 77: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

64

Menurut Sarjuni dalam wawancaranya, mengatakan bahwa keluarga kraton

Yogyakarta ikut memesan batik, tetapi motif-motifnya juga motif tertentu, motif

kraton, sesuai dengan pesanan.

Djogo Pertiwi menikah kira-kira tahun 1927. Ketika itu, perempuan desa pada

umumnya sudah menikah diumur sekitar 17 tahun. Dia, yang aslinya bernama

Salasatun16

, kemudian menikah dengan seorang abdi dalem yang bernama Suhadi.

Ketika menjadi abdi dalem, nama itu diganti dengan nama Paringan Dalem17

yaitu

Djogo Mustopo. Atas jasanya dalam mengabdikan diri menjadi abdi dalem, nama

Paringan Dalem itu berganti menjadi Djogo Pertiwi.18

Wanita yang sudah menikah

biasanya akan dipanggil dengan menggunakan nama suaminya.19

Akhirnya

Salawatun lebih dikenal dengan nama Djogo Pertiwi. Djogo Pertiwi meninggal pada

usia 93 tahun pada tahun 2003.

Zaman dahulu, seorang perempuan mempunyai kewajiban untuk mempelajari

beberapa ketrampilan yang mendidik mereka ketika sudah memasuki usia dewasa.

Mulai pada usia 7 tahun, perempuan tidak diperkenankan untuk keluar rumah. Hal ini

biasa disebut dengan pingitan. Mereka dipersiapkan untuk menjadi istri yang baik

bagi suaminya kelak. Perempuan diharapkan agar dapat macak (berhias atau

16

Ibid.

17 Paringan Dalem berarti pemberian dari Kraton Yogyakarta.

18 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

19 Tri Subagya, The Javanese Notions of Human Labor and Productivity,

Retorika, No. 2, Th. I, Januari-April, 2002, hlm. 82.

Page 78: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

65

mempercantik diri), manak (melahirkan), masak (memasak), serta dapat menguasai

ketrampilan seperti membatik, menenun dan menganyam. Ketrampilan ini juga harus

dikuasai oleh para perempuan di dalam kraton.

D. Proses Penyebaran Seni Batik Di Dusun Pajimatan.

Djogo Pertiwi telah mempunyai pengalaman yang sangat banyak dalam seni

membatik. Ilmu tersebut sangat berguna bagi penduduk sekitar Imogiri. Sehingga

Djogo Pertiwi ingin membagi ilmunya kepada penduduk di sekitarnya. Kemudian dia

mengajarkan cara membatik kepada masyarakat di sekitar Imogiri khususnya di

Dusun Pajimatan. Orang-orang dulu yang pintar membatik biasanya mengajarkan

ilmunya kepada orang lain.20

Ketrampilan membatik yang diperoleh dari ibunya kemudian ketika dia

bekerja sekaligus juga belajar membatik di Tjokro Soeharto, membuat penduduk

sekitar Pajimatan tertarik dengan ketrampilan yang dimiliki olehnya. Maka ada

beberapa orang yang berdatangan. Mereka dibina langsung oleh Djogo Pertiwi. Ada

beberapa yang memang bekerja membatik di rumahnya dan ada pula yang berniat

untuk belajar.21

Menurut Sarjuni, dari pihak Djogo Pertiwi maupun masyarakatnya

juga sama-sama belajar membuat batik, jadi saling memenuhi kebutuhan antara yang

mengajar dan yang diajar.

20

Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009.

21 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

Page 79: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

66

Pembuatan kain batik dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu dari proses

pengolahan kain sampai pada proses pelepasan atau penghilangan malam pada kain.

Sebelum membatik, alat-alat yang lebih dahulu, antara lain gawangan, wajan, kompor

atau anglo, dan canthing. Gawangan adalah alat yang dibuat dari kayu untuk

membentangkan kain ketika dibatik. Wajan adalah tempat yang dibuat dari baja,

digunakan untuk mencairkan malam. Kompor atau anglo adalah tempat perapian atau

pemanas, nantinya wajan yang sudah berisi malam ditaruh diatasnya. Terakhir adalah

canthing, berfungsi untuk menggambar dan menuliskan cairan malam pada kain.

Canthing mempunyai beberapa jenis yang dibedakan menurut fungsinya dan

banyaknya cucuk atau tempat keluarnya malam.

Jenis canthing menurut fungsinya dibagi menjadi dua. Pertama, canthing

reng-rengan adalah canthing yang berfungsi untuk ngengreng atau menulis dengan

canthing mengikuti pola. Kedua, canthing isen-isen adalah canthing yang digunakan

untuk mengisi pola-pola yang sudah dibatik. Lalu jenis canthing menurut banyaknya

cucuk atau tempat keluarnya malam dibagi menjadi enam. Pertama, canthing

cecekan, bentuk cucuknya tunggal dengan lubang kecil. Fungsinya untuk membuat

titik-titik kecil dan membuat garis kecil. Kedua, canthing loron, bentuk cucuknya ada

dua yang berfungsi untuk membuat garis rangkap. Ketiga, canthing telon, bentuk

cucuk ada tiga. Pada saat digambarkan di atas kain batik akan terlihat tiga buah titik.

Keempat, canthing prapatan, bentuk cucuknya ada empat yang nantinya

dipergunakan untuk menggambar empat buah titik yang membentuk bujur sangkar.

Kelima, canthing liman, bentuk cucuknya ada lima, gunanya untuk menggambar

Page 80: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

67

bujur sangkar kecil yang dibentuk oleh empat buah cicik dan sebuah titik

ditengahnya. Keenam, canthing byok, bentuk cucuknya ada tujuh, gunanya untuk

menggambar lingkaran yang terdiri dari titik-titik.22

Hasil batikan agar menjadi bagus akan ditentukan oleh kualitas malam yang

bagus juga. Malam yang digunakan ada dua jenis berdasarkan penggunaannya,

pertama adalah malam klowongan, dipakai untuk membuat garis-garis klowong atau

garis-garis pola. Kedua adalah malam tembokan, dipakai untuk menutupi bidang pada

pola. Cairan malam yang digunakan berasal dari campuran gandarukem, damar mata

kucing, malam tawon dan parafin. Semua bahan ini dicampur menjadi satu menurut

takaran yang ditetapkan dalam pembuatan batik agar dapat menghasilkan batik yang

berkualitas.23

Setelah menyiapkan alat-alat keperluan membatik, barulah dilakukan

pekerjaan membatik. Berikut ini adalah tahap-tahap yang dilakukan untuk membuat

batik:

1. Pengolahan Kain Mori

Pada tahap pertama sebelum membatik, kain yang akan dipakai harus

dipersiapkan terlebih dahulu. Bahannya yaitu berupa kain mori. Untuk

menghasilkan satu kain batik dibutuhkan panjang kurang lebih 2,5 meter

22

Hamzuri, Batik Klasik, Jakarta: Djambatan, 1981, hlm. 6-8. Lihat juga

dalam Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia

Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, hlm. 18-19.

23 Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku

Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, hlm. 25.

Page 81: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

68

dan lebarnya kurang lebih 105 cm.24

Kain batik dengan ukuran panjang dan

lebar tersebut akan dihasilkan kain yang biasa dipakai, biasa disebut dengan

jarik, atau kain batik yang biasa digunakan seperti dalam penggunaannya

bersamaan dengan baju kebaya. Berbeda lagi ukurannya untuk kain batik

dodot yang panjangnya mencapai 3,5 meter dan lebarnya 210 cm. Kain yang

dipakai oleh pembatik biasanya menggunakan jenis kain mori khusus batik

primissima. Kain ini adalah salah satu jenis kain yang berkualitas bagus.

Biasanya pembatik membeli dalam bentuk gulungan besar atau biasa

disebut dengan piece25

, dan nantinya dipotong-potong sesuai dengan ukuran

kain batik pada umumnya. Dalam 1 gulung kain mori nantinya bisa dibuat

menjadi 13 kain batik. Kain ini kemudian, pertama-tama, pada tepi kain

dijahit atau diplipit agar serat-serat kain tidak mudah lepas. Baru kemudian

kain dicuci dengan air panas. Hal ini bertujuan untuk mengilangkan

kotoran-kotoran yang menempel pada kain sehingga tidak menghambat

proses pembatikan. Proses kedua adalah menganji. Kain mori yang sudah

dicuci harus dikanji agar lilin/malam batik tidak meresap ke dalam kain dan

dalam proses selanjutnya lilin/malam dapat mudah dihilangkan. Cara yang

ketiga, adalah mengemplong. Kain yang sudah dikanji akan menjadi kaku

setelah kering. Cara selanjutnya adalah mengemplong, kain itu dipukul-

24

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

25 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

Page 82: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

69

pukul dengan tongkat kayu agar menjadi lemas dan mudah untuk dibatik.26

Kain yang sudah dikemplong tersebut siap untuk dibuatkan pola.

2. Tahap Pembuatan Pola

Djogo Pertiwi mulai mengajarkan membatik pada tahap ini.27

Tahap ini

mengenai cara menggambar pola-pola batik. Dalam mengajarkan membuat

pola, Djogo Pertiwi mula-mula menggambar di atas kain, dengan pensil.

Cara ini kemudian ditiru oleh anak-anak didiknya. Untuk membuat pola

yang sudah pakem, seperti motif kraton, adalah dengan cara menggambar

pola yang sudah diberikan dan ditentukan oleh Djogo Pertiwi sehingga

murid tinggal menjiplaknya.28

Djogo Pertiwi mengajarkan cara membuat

pola dengan tekun kepada para muridnya. Untuk membuat kain batik harus

dengan cermat dan telaten, begitu juga ketika pertama kali menggambar

suatu pola. Ketelitian dan ketekunan dalam membuat pola harus

diperhatikan. Agar bisa menggambar satu pola dengan bagus, maka

pembuatannya digambar secara berulang-ulang sampai murid itu bisa.29

Motif-motif yang dibuat seperti pola ceplok, kawung, lereng, dan semen.

Setelah kain mori digambar pola menggunakan pensil sampai seluruh

26

Biranul Anas, op. cit., hlm. 20-23.

27 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

28 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. Proses

ini juga dibenarkan oleh Ibu Siti Jariyah Asih dalam wawancaranya.

29 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

Page 83: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

70

permukaan mori penuh dengan pola beserta isiannya.. Kemudian

dilanjutkan membatik menggunakan canthing.30

3. Proses Pembatikan

Setelah selesai melakukan proses membuat pola, mulailah proses membatik.

Djogo Pertiwi mengajari para murid cara untuk memegang canthing.

Canthing tidak bisa dipegang secara sembarangan. Canthing harus dipegang

secara lurus mendatar atau horizontal agar cairan malam yang di dalamnya

tidak menggumpal.31

Cara memegang canthing berbeda dengan memegang

pulpen maupun pensil seperti ketika menulis. Perbedaan itu disebabkan

ujung cucuk canthing bentuknya melengkung dan berpipa besar, sedang

pensil atau pulpen lurus. Memegang canthing dengan ujung-ujung ibu jari,

jari telunjuk, dan jari tengah seperti memegang pensil untuk menulis tetapi

tangkai canthing horizontal. Posisi ini bertujuan agar menjaga agar malam

tidak tumpah.32

Proses selanjutnya adalah membatikkan malam ke atas kain

mori. Malam yang berada di panci, di ambil dengan menggunakan canthing,

tetapi harus ditiup terlebih dahulu. Akan tetapi, proses-proses selanjutnya

dalam pembuatan batik masih dibagi lagi menjadi beberapa tahap, sebagai

berikut:

30

Ibid..

31 Ibid.

32 Hamzuri, op.cit., hlm. 15.

Page 84: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

71

a. Nglowongi adalah proses ketika pola yang sudah digambar, dibatik

dengan malam sehingga membentuk kerangka dari motif batik

yang dibuat. Malam yang dipakai khusus untuk nglowongi yaitu

malam klowongan.

b. Nerusi adalah membatik dengan mengikuti pola pembatikan

pertama pada bekas tembusnya. Jadi kain sebelumnya telah dibalik

lebih dahulu.

c. Tahap selanjutnya memberi isen-isen dan cecek pada kain. Tahap

ini disebut juga dengan ngiseni dan nyeceki. Cara ini dengan

menggunakan jenis-jenis canthing yang sudah dijelaskan diatas.

d. Nemboki adalah proses menutup permukaan kain dengan lilin. Hal

ini dilakukan agar pada saat pewarnaan, kain tidak berubah warna

dan tetap putih. Malam yang digunakan adalah malam tembokan.

Malam ini kualitasnya sangat bagus karena akan menempel kuat

pada kain dan tidak akan merusak pola yang sudah dibuat.

Diantara proses membatikkan malam diatas kain, pembatik harus memperhatikan

tungku yang digunakan, dan harus sering ditipasi. Hal ini dilakukan agar bara api di

tungku tetap menyala dan memanasi cairan malam sehingga tidak membeku.

Djogo Pertiwi hanya mengajarkan sampai disini saja. Untuk proses

penyelesaiannya yaitu proses pewarnaannya, kain batik dibawa ke tukang yang biasa

menangani pewarnaan. Biasanya kain batik yang sudah selesai dibatik, dibawa ke

Page 85: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

72

Yogyakarta untuk diwarnai.33

Begitu pula dengan proses mbabar yang juga harus

dibawa ke Yogyakarta. Daerah yang biasanya ditunjuk sebagai tempat untuk bagian

ini seperti Prawirotaman dan Tirtodipuran.34

Kebanyakan yang melayani proses ini

adalah para juragan besar batik. Disini juga dilakukan pembatikan dari tahap awal

sampai tahap akhir ketika sudah jadi kain batik siap pakai, mampu mereka lakukan

dengan tenaga sendiri.

Di Yogyakarta, warna yang dominan untuk kain batik adalah soga. Warna

soga merupakan warna coklat yang didapat dari kulit pohon soga. Proses pewarnaan

kain dengan warna coklat ini disebut nyoga dan kain batiknya disebut dengan batik

sogan. Para pembatik sampai pada akhir abad ke 19, masih menggunakan pewarna

alam. Meskipun pada akhir abad ini menyusul ditemukannya pewarna sintetis. Para

pengusaha batik pada akhir abad 19, masih tetap menggunakan pewarna alam karena

tingkat warnanya lebih bagus daripada pewarna sintetis. Warna lain adalah biru tua

yang didapat dari daun tanaman indigo. Proses pewarnaan dengan warna biru ini

disebut medel atau diwedel, dan kain batiknya biasa disebut dengan batik wedelan.

Warna-warna ini merupakan warna khas kain batik gaya kraton, seperti Yogyakarta

dan Surakarta.

Proses terakhir dari pembuatan kain batik ini adalah mbabar. Mbabar

merupakan proses penghilangan lilin dengan cara dilorod, nglorod atau dikerok.

33

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

34 Ibid. Lihat juga Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional

Bantul, Patra Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm.19.

Page 86: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

73

Melorod lilin yang menempel pada kain dilakukan dengan cara mencelup-celupkan

kain pada air yang sudah mendidih secara berulang-ulang. Tentunya air panas yang

digunakan untuk melorod bukan hanya air biasa, tetapi juga dicampur dengan zat

kimia.

E. Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942

Mereka yang belajar di tempat Djogo Pertiwi ada beberapa tingkat usia, tetapi

pada dasarnya perempuan yang sudah menginjak usia dewasa diharuskan menguasai

suatu ketrampilan. Menurut Sarjuni, karena memang ketrampilan membatik

dilakukan secara turun temurun, rata-rata perempuan kalau sudah agak besar lalu

belajar membatik. Perempuan dari umur las-lasan atau belasan tahun, sampai yang

sudah tua kira-kira umur 50 tahun datang untuk belajar membatik.35

Sarjuni merupakan salah seorang murid dari Djogo Pertiwi. Ia sekarang

meneruskan usaha ibunya menjadi pembatik dan penjual batik. Meskipun ia hanya

seorang anak menantu dari Djogo Pertiwi, selalu berusaha untuk melestarikan budaya

membatik. Dari pernikahannya, Djogo Pertiwi memang tidak bisa mendapatkan

keturunan.36

Karena tidak ada lagi yang meneruskan usahanya, maka anak

menantunya yaitu Sarjuni-lah yang mengikuti jejaknya. Dia menikah dengan anak

angkat Djogo pertiwi yaitu Sarjuni. Nama aslinya adalah Duriah. Ia lebih dikenal

35

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

36 Ibid.

Page 87: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

74

dengan Ibu Sarjuni, sama seperti pada Djogo Pertiwi yang lebih dikenal dengan nama

suaminya.

Menurut Ibu Slamet,37

pengajaran seni membatik Djogo Pertiwi sangat

membantu dalam bidang pendidikan bagi perempuan. Seperti yang dikatakan pada

sub bab sebelumnya, bahwa perempuan wajib mempunyai ketrampilan yang

berhubungan dengan kodratnya sebagai wanita. Sarana pendidikan itu memberikan

kesempatan pada perempuan sekitar Imogiri untuk meningkatkan kemampuan agar

bisa menghadapi tuntutan zaman. Mereka ingin ikut berpartisipasi dalam

melestarikan budaya Jawa di lingkungan Pajimatan. Karena ingin membantu

kesejahteraan keluarganya, Ibu Slamet yang mulanya hanya belajar membatik,

akhirnya juga ikut bekerja pada Djogo Pertiwi.

Kemajuan ketrampilan membatik yang mulai dimiliki oleh penduduk di

Imogiri, khususnya oleh sebagian kaum wanita, disadari sebagai suatu proses untuk

memelihara dan melestarikan budaya yang telah ada secara turun temurun.38

Selain

itu perkembangan seni membatik di Pajimatan merupakan usaha untuk

mempertahankan hidup atau sebagai penopang kehidupan rumah tangga ditiap

individu maupun keluarga. Sebagain besar penduduk Pajimatan juga menggunakan

batik sebagai mata pencaharian pokok.39

37

Wawancara dengan Ibu Slamet, murid dari Djogo Pertiwi, 70 tahun, tanggal

3 Februari 2010.

38 Hal ini juga disampaikan dalam wawancara dengan Ibu Sarjuni.

39 Ibid.

Page 88: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

75

Perempuan sangat besar perannya dalam kehidupan. Meskipun kadang

perempuan hanya dianggap konco wingking, kita tidak bisa menyepelekan peran

wanita. Kebudayaan ditentukan oleh perempuan. Salah satunya adalah membatik.

Dahulu sebelum munculnya cap, batik dibuat oleh perempuan. Meskipun mereka

tidak sekolah, para perempuan bisa pintar dalam mengurus rumah tangga.40

Pada

umumnya ibu mempunyai sumber penghidupan sendiri yaitu berjual beli di pasar,

membuka warung bahan makanan, membatik, dan lain-lain.41

Pembelajaran ketrampilan membatik yang diajarkan oleh Djogo Pertiwi

membantu para perempuan untuk mendapatkan penghasilan sehingga bisa membantu

meringankan beban suami yang menjadi kepala keluarga.42

Masyarakat Pajimatan

tertarik dengan keahlian Djogo Pertiwi sehingga mereka tertarik dan mulai ikut

belajar membatik. Meskipun sudah banyak yang belajar kepadanya, tidak banyak

juga pembatik yang mampu mengikuti jejaknya meskipun sudah lama bekerja

dengannya. Cara ini sedikit demi sedikit dapat membantu mengembangkan usaha

batik milik Djogo Pertiwi.

Orang-orang yang datang ke tempat Djogo Pertiwi di Pajimatan ada yang

berniat untuk belajar dan untuk bekerja. Orang-orang itu menyadari bahwa kelak dia

harus tahu mengenai kewajibannya untuk berbakti kepada suami karena hanya

40

Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009.

41 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, op.cit., hlm..228.

42 Fungsi dalam pembelajaran membatik ini juga disampaikan oleh Ibu

Sarjuni, Ibu Jariyah Asih dan Ibu Slamet dalam wawancaranya.

Page 89: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

76

dengan jalan itu mereka bisa mendapatkan kebahagiaan hidup sehingga dapat

melayani keperluan suami. Para perempuan ini juga akan menjadi calon ibu bagi

anak-anaknya kelak. Pada sekitar tahun 1900-1942, pendidikan yang diterapkan bagi

anak perempuan adalah pendidikan rumah tangga. Anak-anak perempuan diharuskan

selalu membantu pekerjaan ibunya menjalankan urusan rumah tangga, serta urusan

yang berkenaan dengan mata pencaharian ibunya.43

Pada tahap selanjutnya dengan

ketrampilan yang dimiliki, perempuan mempunyai sumber penghidupan sendiri.

Mereka termotivasi untuk membantu suami dalam mendapatkan penghasilan untuk

membantu kebutuhan rumah tangga.

Djogo Pertiwi menjadikan murid-muridnya sebagai anak angkat, dengan

memberikan modal kecil untuk membuat batik. Mereka sering diberi kain oleh Djogo

Pertiwi dan diminta untuk membuat karya batik apapun. Setelah selesai, kain-kain itu

dibeli oleh Djogo Pertiwi dan disetorkan ke toko-toko batik di Yogyakarta. Ketika itu

Djogo Pertiwi banyak mendapat pesanan batik sehingga membuat dirinya dikenal

sebagai juragan batik di Dusun Pajimatan. Menurut Sarjuni, ada juga juragan batik

yang memesan kain yang masih berupa mori batikan (masih setengah jadi), lalu

mereka beli dan diproses sendiri. Proses untuk membuat satu kain batik saja

membutuhkan waktu antara 6 sampai 8 bulan, dan itu-pun tergantung dari motifnya.

Dalam mengembangkan usaha batiknya, Djogo Pertiwi mulanya hanya

mempekerjakan sekitar 5 orang perajin. Lama kelamaan, dia juga memberi bantuan

43

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, op. cit., hlm. 228-229.

Page 90: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

77

pendidikan dan batik tulis, terutama motif tradisional. Sehingga jumlahnya meningkat

menjadi 100 orang. Mereka tersebar di Dusun Pajimatan, Giriloyo dan Banyu

Sumurup.44

Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan seni membatik di wilayah

Imogiri mengalami perkembangan dan pertumbuhan seiring minat masyarakat untuk

mempelajari batik.

Ketika para pembatik Pajimatan mendapat banyak pesanan dari kraton,

mereka kewalahan sehingga mendatangkan pembatik yang berasal dari Giriloyo.

Perempuan Giriloyo belajar kemudian bekerja membatik di Pajimatan. Bahkan batik

Giriloyo lebih terkenal daripada batik Pajimatan. Padahal awalnya mereka belajar

membatik di Pajimatan.45

Antara tahun 1935-1942, Yogyakarta diperintah oleh Sultan Hamengku

Buwono VIII dan Sultan Hamengku Buwono IX. Ketika Yogyakarta berada di bawah

pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), kekuasaannya semakin

dipersempit oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintahan Sultan menanda-tangani

kontrak politik dengan Belanda pada tahun 1921, yang disebut dengan Acte van

Verband, yang isinya mengatur tentang bahwa pemerintah kolonial Belanda turut

serta dalam penyelenggaraan pemerintahan kerajaan.46

Kontrak politik ini

44

Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta,

Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 158.

45 Wawancara dengan Ibu Siti Jariyah Asih, 59 thn,, tanggal 2 November

2009. Lihat Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul, Patra

Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm. 13.

46 A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan

Merapi, 2002, hlm. 60-61.

Page 91: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

78

mengakibatkan merosotnya kewibawaan Sultan Hamengku Buwono VIII. Pemerintah

kolonial Belanda berusaha mengurangi kehidupan feodal dalam masyarakat Jawa

dengan cara mengurangi berbagai cara penghormatan rakyat kepada kaum

bangsawan. Tak hanya kekuasaan Sultan yang merosot tetapi juga kaum bangsawan

atau priyayi. Golongan bangsawan atau priyayi yang semula dianggap mempunyai

derajat yang tinggi, mulai berkurang.

Dalam lingkungan kraton, tradisi batik pada masa ini masih tetap lestari. Hal

ini berkaitan dengan pembelajaran ketrampilan yang harus dimiliki oleh setiap wanita

kraton. Masa pingitan juga dikenal dalam lingkungan kraton. Ketrampilan yang

dikuasai seperti dalam hal berumah tangga yaitu memasak, menyiapkan sajian di

meja makan, menyulam, dan membatik. Ketrampilan membatik dianggap sebagai

kepandaian utama, karena suatu kain batik yang dikerjakan merupakan kebanggaan

bagi seorang suami.

Lingkungan di luar kraton Yogyakarta, seperti misalnya pada Dusun

Pajimatan, memang banyak yang mendapat suami sebagai seorang abdi dalem.

Secara tidak langsung, perempuan di Pajimatan mendapat pengaruh dari kraton ketika

membuat batik. Di Dusun ini juga, kraton memenuhi kebutuhannya akan batik.

Menurut Sarjuni, pihak kraton sering memesan batik, modelnya beli sekaligus pesan

sekalian mbatikke (disuruh membatikkan). Orang-orang dahulu masih banyak yang

memakai kain batik atau jarikan, jadi masih agak gayeng atau maju.47

Apalagi ketika

47

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

Page 92: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

79

makam raja-raja Imogiri sudah banyak dikunjungi orang yang mau ziarah maupun

para wisatawan. Sebelum masuk ke makam, para pengunjung diharuskan mengganti

pakaiannya dengan kemben dan jarik atau kain batik. Hal ini membuktikan bahwa

peran makam yang sangat penting, kebutuhan batik sangat diperlukan dan masyarakat

dapat memanfaatkannya sebagai sumber penghasilan.

Kalangan masyarakat pedesaan mengalami sedikit kekurangan modal

mengingat banyak perubahan yang terjadi pada saat itu. Mulanya pada abad 20-an,

berdiri perusahaan batik yang didirikan oleh Jepang di Yogyakarta. Hal ini

menyebabkan Jepang mengekspor produk kain mori ke Indonesia pada tahun 1927

dan menggeser kain batik mori dari Belanda yang telah mendahului. Kemudian China

yang sudah masuk ke Indonesia, menguasai sistem pemasaran kain mori. Pembatik-

pembatik di Yogyakarta mengalami kesulitan untuk bersaing dengan produksi kain

batik perusahaan-perusahaan asing. Sehingga mereka membutuhkan modal agar bisa

terus berproduksi untuk menyaingi perusahaan-perusahaan tersebut. Pada tahun 1939

didirikanlah gabungan koperasi batik yang membantu para pembatik agar bisa

membeli mori dan bahan batik langsung pada importir.48

Kehidupan dunia usaha batik milik Djogo Pertiwi juga mengalami apa yang

dinamakan pasang surut. Sarjuni tidak mengemukakan secara persis, kapan usaha

48

A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 69-70. Lihat juga dalam Prajudi Atmosudirdjo,

Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia, Jilid II, Jakarta, hlm. 196. Industri batik di

Yogya, Solo, dan Pekalongan mengalami penurunan, tidak seperti industri lainnya,

sehingga mengakibatkan para pembatik itu tergabung dalam koperasi. Untuk

pembentukan koperasi lihat juga dalam Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di

Yogyakarta, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986, hlm. 264.

Page 93: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

80

batik milik Djogo Pertiwi mengalami masa kemajuan maupun kemunduran antara

tahun 1935-1942. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa yang mengiringi tahun-tahun

tersebut menunjukkan bahwa memang usaha pembatikan pada sekitar tahun 1930

mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan terjadinya Malaise yaitu krisis ekonomi

yang sangat besar pada masa itu. Sebelumnya batik mengalami masa kejayaan, ketika

berdirinya koperasi batik. Industri batik pada tahun-tahun terjadinya Malaise,

mengalami penurunan. Harga-harga bahan yang mahal dan pasaran yang lesu

mengakibatkan jumlah usaha batik menjadi berkurang pada tahun 1935.49

Industri

batik milik Djogo Pertiwi masih tergolong kecil sehingga membutuhkan modal yang

dipinjam dari koperasi agar usaha tersebut bisa lebih berkembang.

Sultan Hamengku Buwono VIII sangat memperhatikan seni yang lainnya

seperti seni tari dan karawitan. Seni tari erat kaitannya dengan seni batik. Seperti

yang telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa kain batik juga digunakan untuk

keperluan tari pertunjukan seperti tari beksan lawung dan bedhaya. Pertunjukan tari

ini semula hanya dipertunjukkan di kalangan bangsawan dan priyayi saja, tetapi

Sultan kemudian mengijinkan agar seni ini diajarkan pada masyarakat umum.50

Sultan Hamengku Buwono VIII memerintah sampai tahun 1939, selanjutnya

digantikan oleh anaknya yaitu G.R.M. Dorojatun yang kemudian dikenal dengan

nama Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan Hamengku Buwono IX memerintah dari

49

W. J. O’Malley, Indonesia di Masa Malaise: Studi terhadap Sumatera

Timur dan Yogyakarta di Tahun 1930-an, Prisma, No. 8, Agustus, Th. XII, hlm. 45.

50 Umar Kayam, “Ngayogyakarta”, Sekaring Jagad Ngayogyakarta

Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990. hlm. 15.

Page 94: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

81

tahun 1939-1988. Pada masa ini, sultan masih terikat kontrak dengan pemerintah

kolonial Belanda. Pihak Belanda dibawah pemerintahan Gubernur Lucien Adam,

masih ikut campur dalam pemerintahan Sultan. Sehingga pemerintahan sultan berada

di bawah pengaruh pemerintah kolonial Belanda.

Sultan Hamengku Buwono IX melanjutkan hal-hal yang dirintis oleh ayahnya

dalam bidang kebudayaan. Pemakaian motif kain batik tertentu yang berdasarkan

pada kedudukan dan status sosial masyarakat masih diperhatikan. Namun ada motif-

motif lain yang sudah ditiru oleh masyarakat meskipun ada yang termasuk dalam

motif larangan. Keluarnya motif ini salah satunya karena pertunjukan tari yang sejak

pemerintahan Hamengku Buwono VIII dipertunjukkan kepada masyarakat umum.

Pada awal masa Sultan Hamengku Buwono IX, para remaja perempuan di

sekitar Imogiri berminat untuk belajar membatik kepada tangga terdekat. Mulanya

para perempuan ini belajar dari tahap nerusi. Lama kelamaan ketrampilannya

meningkat sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang lebih

tinggi, misalnya nglowong atau memberi isen-isen.51

Di tempat usaha batik Djogo

Pertiwi juga didatangi para perempuan yang berniat belajar membatik. Mereka yang

datang tak hanya berasal dari Pajimatan, tetapi juga dari daerah-daerah lain di sekitar

Pajimatan. Pada masa ini pekerjaan membatik dilakukan sebagai mata pencaharian

pokok dan juga pekerjaan sambilan pada waktu senggang.

51

A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 79.

Page 95: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

82

Ketika Jepang melakukan pendudukan di Indonesia pada tahun 1942, situasi

sosial ekonomi memprihatinkan dan tidak menentu, seperti halnya di Yogyakarta.

Barang-barang kebutuhan sehari-hari menjadi sangat mahal dan sulit didapatkan.52

Bahkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membatik pada umumnya sangat sulit

didapatkan. Sehingga untuk menghemat proses, bahan yang dipakai disederhanakan,

seperti misalnya ukuran kain yang dipakai lebih kecil yaitu dengan panjang 180 cm

dan lebar 90 cm. Kain ini kemudian diberi nama kain keci (kecil) dan ketika sudah

selesai dibatik disebut dengan batik becak.53

Pelaksanaan upacara-upacara kebesaran di kraton seperti Pasowanan,

Garebeg, dan Jumenengan tidak lagi diadakan secara lengkap sesuai dengan tata

caranya seperti zaman dahulu. Upacara-upacara tersebut bahkan sempat ditiadakan

selama Jepang berkuasa. Untuk upacara seperti pernikahan, tata caranya masih seperti

biasanya dengan memakai kain motif khusus untuk pernikahan. Hal ini bertujuan agar

pernikahan pengantin itu mendapat berkah dari makna motif batik yang dipakai.

F. Unsur-Unsur Kebaruan yang Diciptakan Oleh Djogo Pertiwi

Djogo Pertiwi sudah mulai akrab dengan dunia batik ketika masih berusia

muda. Seni ini mengalir dalam dirinya karena ibu dan neneknya adalah seorang

pembatik. Hal ini juga didukung oleh lingkungan sekitar rumahnya yang banyak

52

Ibid., hlm 72.

53 Nian S. Djoemena, “Selayang Pandang Batik”, Sekaring Jagad

Ngayogyakarta Hadiningrat, hlm. 50. Lihat juga dalam A. N. Suyanto, op.cit., hlm.

72-73.

Page 96: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

83

terdapat pembatik. Mereka adalah para istri dari abdi dalem kraton yang ikut

suaminya bekerja untuk menjaga makam raja-raja Imogiri. Keahlian membatik yang

dimiliki oleh para istri tersebut juga turun temurun berasal dari pendahulunya.

Ketrampilan membatik akhirnya menyebar hampir ke semua wanita di Imogiri.

Lingkungan sekitar Imogiri banyak didapati para perempuan yang

menggunakan ketrampilannya dalam membatik sebagai pekerjaan sampingan maupun

pekerjaan sehari-hari. Ketika melihat-lihat orang membatik di sekitar rumahnya,

timbullah keinginan Djogo Pertiwi untuk ikut membatik. Djogo Pertiwi sangat

terkenal karena dalam membuat kreasi kain batik tidak menggunakan sketsa ataupun

dipola di atas kain batik. Semuanya dikerjakan langsung dengan menarikan canthing

pada kain batik.

Ketrampilan membatik yang didapat Djogo Pertiwi antara lain melalui ibunya,

Dayat Atmojo yang merupakan pembatik pada masanya, dan kemudian ketika beliau

bekerja sebagai buruh batik toko Tjokro Soeharto di Yogyakarta. Ketrampilan yang

telah didapat dari ibunya semakin diasah ketika bekerja di Tjokro Soeharto sehingga

pengalamannya bertambah. Setelah dirasa cukup, Djogo Pertiwi berniat untuk

mengembangkan seni membatik di Pajimatan, Imogiri.

Motif-motif dari kraton yang biasa dibuat Djogo Pertiwi untuk kraton dan

berdasarkan pesanan dari kraton yaitu seperti Sidomukti, Sidoasih, Sidoluhur, Semen

Sinom dan Semen Rejo.54

Motif-motif tersebut termasuk dalam motif-motif yang

54

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

Page 97: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

84

bersifat klasik dengan pola-pola yang rumit dan makna yang indah. Dalam Suluk

Perawan Mbatik55

, disebutkan bahwa sebelum memulai membatik seorang pembatik

harus melihat mata batinnya, lalu konsep pola yang akan dibuat seperti apa yang telah

didapat dari pengetahuan tentang motif sehingga hasilnya tidak berbeda dengan yang

diharapkan. Ketika jiwa dan raga bersatu, akan dihasilkan seperti yang diimpikan.

Dasain batik itu akan mewujudkan keinginan pembatik dan yang diramalkan akan

terlaksana.56

Djogo Pertiwi sangat berhati-hati ketika mengerjakan pola klasik dari

kraton. Motif yang sudah tersedia mengandung makna tertentu. Kekurangan maupun

kesalahan dalam menggambar pola akan mengurangi maknanya. Proses

pengerjaannya juga harus sesuai dengan pakem-pakem dalam pola dan warna.57

Dalam proses pengerjaan suatu kain, pembatik tidak hanya terbatas untuk

mengerjakan pola-pola yang sudah ada. Pembatik juga dituntut untuk menciptakan

motif atau pola yang baru. Hal ini tergantung pada imajinasi yang dihasilkan oleh

setiap pembatik. Setiap pembatik pasti memiliki alam pemikiran yang berbeda-beda

tergantung dengan keadaan sekitarnya.

Motif klasik yang selama ini sudah ada dimodifikasi sedemikian rupa oleh

Djogo Pertiwi sehingga hasilnya tetap menarik. Karya modifikasi ini terlihat dalam

motif-motif seperti Sekar Jagad, Sidomukti, Sidomulyo, Kawung Picis, Semen Romo

55

Suluk Perawan Mbatik adalah sebuah syair tentang seorang perempuan

yang membuat kain batik.

56 Tri Subagya, op.cit., hlm. 70.

57 Sugiyamin, loc.cit.

Page 98: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

85

dan Babon Angrem. Djogo Pertiwi juga menciptakan motif baru yang dibuat sendiri.

Beliau memang pintar membatik dan karya batik kreasinya digambar tanpa

menggunakan pola jadi langsung digambar pada kain.58

Motif itu adalah motif Irian,

Adiluhung, Semar Mesem dan Sekar Jagad. Motif Irian ini dibuat karena Djogo

Pertiwi membayangkan kerindangan hutan di Irian dengan pohon-pohonnya yang

berdaun lebar.59

Kemudian motif Sekar Jagad dibuat karena beliau mendapat ide

ketika sedang berjalan-jalan untuk ziarah di makam raja-raja Imogiri bersama orang

tuanya.60

Kualitas warna dan desain batik yang dibuat harus tetap dijaga. Menurut

Larasati Suliantoro, Djogo Pertiwi juga bertugas sebagai quality control terhadap

hasil batiknya. Kualitas batik yang bermutu dipilih, karena dia peduli/concern

terhadap dunia batik.

Pembatik di Imogiri mempunyai ciri tersendiri dan motif-motif yang dibuat

harus menggambarkan jati diri baik dari pengaruh lingkungan maupun

masyarakatnya. Sehingga ketika ada seorang turis yang membeli batik, akan teringat-

ingat bahwa motif yang dia beli itu bisa menjadi kenang-kenangan yang

menggambarkan ciri khas daerah Imogiri.

Motif batik di wilayah Imogiri dibuat berdasarkan pada pengaruh

lingkungannya. Pengaruh kraton yang timbul dari kedatangan abdi dalem sedikit

58

Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009.

59 Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009.

60 Sugiyamin, op.cit., hlm. 159.

Page 99: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

86

demi sedikit merasuk ke diri pembatik Pajimatan. Batik Pajimatan identik dengan

batik gaya kraton karena adanya budaya feodalisme yang masuk dalam filosofi

pembatik. Dengan mempertahankan motif kraton berarti para pembatik mewujudkan

rasa hormat dan menembah pada leluhurnya.61

Kehidupan masyarakat Imogiri yang

sebagian besar bertahan pada kehidupan agraris, mempengaruhi hasil batik buatan

mereka. Selain itu pola-pola dari kraton juga dipadu-padankan dengan ragam hias

yang terdapat dalam lingkungan sekitar. Tetapi motif-motif yang awalnya hanya

dipakai oleh kalangan raja, pada perkembangannya bisa dipakai juga oleh masyarakat

luar kraton seperti di Pajimatan.

Djogo Pertiwi menggunakan sarana olah batin dengan meditasi atau tirakat

maupun puasa agar batik yang dibuatnya dapat membawa harapan bagi pemakainya.

Nilai-nilai religius dijunjung tinggi oleh Djogo Pertiwi. Hal ini merupakan salah satu

perwujudan untuk memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar apa yang

dilakukannya dapat berhasil.

61

Ibid., hlm. 122-123.

Page 100: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

87

BAB V

PENUTUP

Sejarah batik memang tidak akan selesai untuk dibahas dalam satu buku.

Pendapat pendapat yang menyebutkan tentang kemunculan batik di Indonesia masih

menjadi perdebatan sampai sekarang. Batik gaya Yogyakarta telah muncul sejak

kerajaan Mataram. Dan kerajinan batik menjadi salah satu warisan dari kerajaan

Mataram. Sejak itu, batik menjadi busana kebesaran kraton seperti upacara-upacara

besar kraton. Batik merupakan suatu ketrampilan yang dibuat oleh kaum wanita.

Pola-pola yang mempunyai makna adiluhung dibuat secara halus dengan penuh

ketelitian dan ketekunan, sehingga ketika dipakai bisa dilihat makna dari suatu motif.

Mulanya motif-motif batik tertentu di-undangkan dalam peraturan-peraturan

kraton. Pertama adalah peraturan tentang berisi etiket yang benar dan terperinci

dalam pertemuan antara anggota keluarga kerajaan, pejabat pemerintahan senior, dan

para pengikutnya. Peraturan ini dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono II pada

tanggal 2 Agustus 1792. kemudian Sultan Hamengku Buwono VIII juga

mengeluarkan undang-undang baru yaitu Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo

Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta Hadiningrat tahun 1927. Undang

undang ini mengatur tentang siapa-siapa saja yang boleh memakai motif larangan.

Orang-orang yang boleh memakai motif itu didasarkan pada kedudukan sosialnya.

Page 101: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

88

Masyarakat masih belum bisa memakai kain dengan motif batik larangan secara

sembarangan.

Simbol-simbol kelengkapan dalam tata cara penyelenggaraan upacara seperti

tombak, keris, payung dan kain batik menjadi syarat untuk menentukan wibawa raja.

Perbedaan mengenai pemakaian motif batik terdapat di lingkungan golongan

bangsawan dan rakyat.

Namun, ketika Belanda mengeluarkan Hormat Circulaire tahun 1904,

kekuasaan feodal raja beserta bangsawan mengalami kemerosotan. Alat-alat

kelengkapan upacara yang menjadi sarana untuk melegitimasi kekuasaan raja tidak

banyak lagi yang digunakan seperti sebelumnya. Pemerintah kolonial rupanya tidak

mau wibawa kekuasaannya dipandang rendah. Sehingga rakyat harus patuh terhadap

Belanda.

Ketrampilan membatik tidak hanya dilakukan di dalam tembok kraton saja.

Masyarakat luar juga bisa menguasai ketrampilan tersebut. Salah satu daerah yang

menjadi tempat penyebaran batik adalah di Imogiri, tepatnya Dusun Pajimatan.

Kemunculan batik di wilayah ini disebabkan karena pembangunan makam bagi raja-

raja Mataram pada tahun 1632. Ketika Sultan Agung berkuasa, beliau memerintahkan

untuk membangun makam yang berada di perbukitan dusun Girirejo. Setelah Sultan

Agung meninggal, ditugaskanlah para abdi dalem untuk menjaga makam tersebut.

Keberadaan seni batik di Pajimatan dipengaruhi oleh masuknya abdi dalem ke

wilayah Imogiri. Para istri abdi dalem yang ikut dengan suaminya menguasai seni

Page 102: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

89

membatik. Dan selama bertahun-tahun berikutnya ketrampilan membatik ini

berlangsung secara turun temurun kepada anak cucunya.

Keahlian membatik ini juga menular kepada Djogo Pertiwi yang memang

berasal dari keturunan membatik. Berawal dari neneknya, kemudian ibunya yang

bekerja sebagai membatik. Dan akhirnya ketrampilan itu dimiliki oleh Djogo Pertiwi

berkat didikan ibunya. Untuk mengasah ketrampilan yang dimiliki, Djogo Pertiwi

bekerja membatik di toko Tjokro Soeharto yang berada di Yogyakarta. Beliau

memang pandai dalam membuat pola batik tanpa menggunakan sketsa., baik motif

klasik dari kraton maupun kreasinya sendiri. Motif yang dia ciptakan sendiri adalah

motif Irian. Djogo Pertiwi juga banyak membuat pola-pola klasik kraton Yogyakarta

seperti motif parang, kawung dan sembagen. Akibatnya pola-pola tersebut meluas ke

luar tembok kraton.

Dalam perkembangannya, keahlian yang dimilikinya itu disebarkan kepada

penduduk Pajimatan. Maka kemudian dia melatih para perempuan untuk menjadi

pembatik sepertinya. Djogo Pertiwi mengajarkan mereka dari tahap awal yaitu

membuat pola sampai pada tahap nemboki. Hasilnya, banyak perempuan yang

berminat untuk mempelajari batik dan mereka berhasil menjadi pembatik di sekitar

Imogiri. Selain mengajar, dia juga mempunyai usaha sendiri yang tempatnya berada

di rumahnya. Banyak buruh batik yang bekerja disana. Mereka juga termotivasi untuk

membantu menambah pemasukan bagi kehidupan keluarganya.

Meskipun banyak pesanan batik yang datang, Djogo Pertiwi tidak melupakan

kualitas kain hasil batikannya. Kehalusan batik yang dibuat oleh Djogo Pertiwi diakui

Page 103: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

90

oleh para pembelinya. Pakem-pakem dalam membatik tetap diperhatikan yaitu

dengan menjaga kualitas desain dan warna.

Usaha batik di daerah Yogyakarta mengalami kemunduran ketika zaman

Malaise pada tahun 1930. Selain diakibatkan oleh krisis ekonomi, pada waktu itu juga

karena banyaknya barang-barang impor yang masuk ke Indonesia. Krisis ini terjadi

sampai pada tahun 1935. Kemudian ketika muncul koperasi, industri batik mengalami

kemajuan sekitar tahun 1939.

Ada kalanya usaha batik di Yogyakarta mengalami pasang surut sesuai

dengan keadaan yang menyertainya. Usaha ini sempat mengalami masa kejayaan

sebelum akhirnya Jepang datang. Pada tahun 1942, Jepang datang menggantikan

pemerintah kolonial Belanda. Pada saat itu, usaha batik mengalami penurunan lagi

karena bahan-bahan yang sulit untuk didapatkan.

Dapat dikatakan bahwa batik bukan hanya ketrampilan dari kraton tetapi

peran pembatik-pembatik di daerah seperti di Pajimatan, Imogiri juga tidak bisa

dikesampingkan. Pengaruh itu datang dari para abdi dalem yang ditugaskan untuk

menjaga makam raja-raja Imogiri. Pengaruh kraton mempengaruhi gaya batik

Pajimatan yang agraris. Motif-motif yang tadinya hanya dibuat untuk kalangan

kraton, meluas sampai wilayah Imogiri. Pemakaiannya-pun sudah digunakan oleh

kalangan luas.

Page 104: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

91

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anas, Biranul. Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia

Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII. 1997.

Asmito. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Depdikbud. 1988.

Carey, P.B. R. (ed). The Archive of Yogyakarta, London: Oxford University

Press. 1980

De Graaf, H. J. Puncak Kekuasaan Mataram. Jakarta: Grafiti Pers. 1986.

Elliot, Inger McCabe. Batik Fabled Cloth of Java. Singapore: Periplus. 2004.

Garna, Judistira K. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pasca

Sarjana Universitas Padjajaran. 1992.

Hamzuri. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan, 1981.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya. 2001.

Majlis, Brigitte Khan. Javanese Batik: An introduction dalam Batik From The

Courts of Java and Sumatra, Rudolf G. Smend (koleksi). Singapore:

Periplus. 2004.

Mari S. Condronegoro. Busana Adat 1877-1937 Kraton Yogyakarta. Yogyakarta:

Yayasan Pustaka Nusatama. 1995.

Marwati Djoened Poesponegoro, dkk.. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta:

PN Balai Pustaka. 1984.

Moedjanto. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta:

Kanisius. 1994.

_________. Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram.

Yogyakarta: Kanisius. 1987

_________. The Concept of Power In Javanese Culture. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press. 1986.

Pranata. Sultan Agung Hanyokrokusumo: Raja Terbesar Kerajaan Mataram

Abad ke-17. Jakarta: Yudha Gama Corp. 1977.

Page 105: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

92

Prajudi Atmosudirdjo. Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia. Jilid II. Jakarta.

Purwadi. Sultan Agung: Hidup, Mistik dan Kematian. Yogyakarta: Tugu. 2005.

Santosa Doellah. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Surakarta: Batik

Danar Hadi. 2001.

Sartono Kartodirdjo. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1992.

Sedyawati, Edi. Sejarah Kebudayaan Jawa. Jakarta: Depdikbud RI. 1993.

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendididkan dan

Kebudayaaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan

Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976/1977.

Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema. 1990.

Selo Soemardjan. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 1986.

Soekamto, Chandra Irawan. Pola Batik. Jakarta: Akadoma. 1984.

Soekanto. Perdjandjian Gianti. Jakarta: Soeroengan. 1952.

Soemarsaid Moertono. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau.

Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. 1985.

Soetopo. Batik. Jakarta: Indira. 1983.

Suhartono. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya Media. 2001.

Susanto, Sewan. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Balai Penelitian Batik dan

Kerajinan. Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri. 1980.

Suyanto, A. N. Sejarah Batik Yogyakarta. Yogyakarta: Rumah Penerbitan

Merapi. 2002.

Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Balai Pustaka. 1988.

Tirtaamidjaja, N. Batik: Pola dan Tjorak. Jambatan.

Page 106: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

93

Majalah dan Buletin

Anonimus. “Sentra Batik Giriloyo dan Pajimatan Imogiri”. Selarong. Vol. 4,

Dewan Kebudayaan Bantul. 2005.

Kitley, P. Th. “Batik dan Kebudayaan Populer”. Prisma. edisi 5, Volume 16,

1987.

O’Malley, W. J. “Indonesia di Masa Malaise: Studi terhadap Sumatera Timur dan

Yogyakarta di Tahun 1930-an”. Prisma, No. 8, Agustus, Th. XII.

Parmono, Kartini. “Simbolisme Batik Tradisional”. Jurnal Filsafat. No. 23, edisi

November, Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta. 1995.

Subagya, Tri. “The Javanese Notions of Human Labor and Productivity”.

Retorika. No. 2, Th. I, Januari-April, 2002.

Suhartinah Sudijono. “Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul”. Patra

Widya. Vol. 7, No. 3, September 2006.

Skripsi/Tesis

Astuti, Hermin Widya. Batik Klasik Ragam Hias Yogyakarta 1927-2005.

Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial. UNY. Yogyakarta.

2005.

Sugiyamin. Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta. Program

Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002.

Internet

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0212/02/opi03.html. Diakses tanggal 30

Agustus 2009.

http://heritageofjava.com/log/?p=96. Diakses tanggal 30 Agustus 2009.

http://duniabatik.multiply.com/journal/item/5/Sejarah_Batik_Solo_dan_Yogya_.

Sejarah Batik Solo dan Yogya. Diakses tanggal 20 Juni 2009.

http://www.batikmarkets.com/batik.php. Sejarah Batik Indonesia. Diakses tanggal

20 Juni 2009.

Page 107: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

94

Daftar Informan

1. Nama : Sarjuni (Duriah)

Pekerjaan : Pembatik

Umur : 63 tahun

Alamat : Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Imogiri, Bantul

2. Nama : Siti Jariyah Asih

Pekerjaan : Kepala Dukuh Pajimatan

Umur : 59 tahun

Alamat : Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Imogiri, Bantul

3. Nama : Slamet

Pekerjaan : Pembatik

Umur : 70 tahun

Alamat : Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Imogiri, Bantul

4. Nama : Larasati Suliantoro

Pekerjaaan : Ketua Paguyuban Batik Sekar Jagad

Umur : 75 tahun

Alamat : Hotel Mustokoweni, Jl. Monjali Yogyakarta

Page 108: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf
Page 109: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

Peraturan Yang Dikeluarkan Oleh Hamengku Buwono II - 2 Agustus 1792 (14

Besar A. J. 1718) Tentang Larangan Pemakaian Batik

Prakara ping pitulas, mungguh anggon-/anggoning jaran kalebu larangan-Ingsun,

larab baludru, larab nganggo kasuran, larab palisir cindhe, sarung gilig, tetapong

jujuluk naga, kang mawa elar, lan cacarang kasuran athik-athikan, ebeg pu(n)dhak

wangkong, sungging sawat sungging modhang, su(ng)ging suwiri dhasar putih,

dhasar kuning, lan kendharat lawang abang, ana dening kang Sun kawenangake

anglarangi, saanggon-anggoning jaran ika mau, bocah Ingsun gamel, lan maninge

mungguh anggon-anggon kang Sun larangi, ukiran tunggak semi, lan werangka keris

kemalo abang, lan werongka keris pupulasan dhasar kayu, sungging sawat, ana

dening mungguh kang rupa jajarit, kan Ingsun larangi, bathik sawat, bathik parang

rusak, bathik cumengkirang, bathik kawung, bathik telacap, bathik huk, bathik

sembagen kang nganggo lung-lungan, bathik semen, bathik barong kang mawa lar,

lan lurik ginggang kenthing, lurik ireng penganggone bocah Ingsun Mantri Jero

Pinilih, bocah Katanggung, ana dening kang Sun wenangake anglarangi, bocah-

Ingsun Mantri Jero Pinilih, lan maninge mungguh ing larangan, kang Sun

Patedhakake putraningsun Ki Adipati Anom Hamengkunegara, bathik modang, lan

lurik larog, ana dening kang anglarangi, iya bocahe putraningsun Ki Adipati Anom,

iku sarupane bocah-Ingsun kang padha Sun wenangake anglarangi iki mau, yen

marengi anglarangi padha tutura marang Wedanane, lan maninge putraningsun Bok

Ratu Bendara.

(Sumber: P. B. R. Carey (ed), The Archive of Yogyakarta, London: Oxford

University Press, 1980, hlm. 107.)

Page 110: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf
Page 111: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf
Page 112: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf
Page 113: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf
Page 114: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf
Page 115: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf
Page 116: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf
Page 117: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

MOTIF-MOTIF BATIK LARANGAN

Motif Garuda Ageng

Motif Kawung

Motif Parang Rusak

Page 118: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

Motif Sawat

Motif Udan Liris

Page 119: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

MOTIF CIPTAAN SULTAN AGUNG

Motif Parang

Motif Sembagen Huk

Page 120: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

MOTIF BATIK CIPTAAN DJOGO PERTIWI

Motif Irian

Motif Sekar Jagad

Motif Adiluhung

Page 121: PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA ...1].pdf6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah. 7. Segenap staf

Motif Semar Mesem

Motif Gegot

(Sumber: Koleksi Museum Joglo Ciptowening, Imogiri, Bantul)