Top Banner
1 BKSDA BALI PP SBALI LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN Disusun oleh: Tim Pelaksana Program Pelepasliaran Elang Brontok 2007 2007
68

PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Feb 04, 2022

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

1

BKSDA BALI PPS BALI

LAPORAN

PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Disusun oleh: Tim Pelaksana Program Pelepasliaran Elang Brontok 2007

2007

Page 2: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

2

BKSDA BALI PPS BALI

Tim Pelaksana

Supervisi Ir Istanto Dwi Martoyo (Ka Balai KSDA Bali) Drh. Wita Wahyu Widyayandani (Direktur PPS Bali) Species assesment Faturrohman (Balai KSDA Bali) Kiswanto (Balai KSDA Bali) Oni Purwoko Basuki (PPS Bali) Drh. Made Winaya (PPS Bali) M. Syaifudin Andry Chusnul Habitat assesment Faturrohman (Balai KSDA Bali) Kiswanto (Balai KSDA Bali) Mulyono (Balai KSDA Bali) Oni Purwoko Basuki (PPS Bali) M. Syaifudin Andry Chusnul Kontributor foto Made Winaya (PPS Bali) Oni PB (PPS Bali) Andry Chusnul M. Syaifudin Tim lapanganPutu Citra Sudarmaya (Balai KSDA Bali) I Nengah Sukayasa (Kelompok Tani Prana Dewi, Desa Wongaya Gede, Tabanan) Gede Zorro (Kelompok Tani Prana Dewi, Desa Wongaya Gede, Tabanan) Penyusun Jatmiko Wiwoho (PPS Bali) Oni Purwoko Basuki (PPS Bali) Ivan Juhandara (Balai KSDA Bali)

Page 3: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

3

BKSDA BALI PPS BALI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR _______________________________________________

PENDAHULUAN __________________________________________________

PELAKSANAAN

1. Pra kegiatan _________________________________________________

2. Pemeriksaan kesehatan ________________________________________

3. Penandaan dan pemasangan wingmarker __________________________

4. Sosialisasi masyarakat _________________________________________

5. Survei habitat ________________________________________________

6. Habituasi ___________________________________________________

7. Pelepasliaran ________________________________________________

8. Monitoring paska pelepasliaran __________________________________

PENUTUP ________________________________________________________

LAMPIRAN ___________________________________________________________

Page 4: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

4

BKSDA BALI PPS BALI

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan, laporan ini dapat kami sajikan ke hadapan sidang pembaca. Laporan ini merupakan formulasi dari perjalanan panjang upaya melepasliarkan 2 ekor Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) ke habitatnya di Kawasan Hutan Batukaru, Tabanan, dalam Program Pelepasliaran Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) Tahun 2007. Program ini terselenggara berkat kerjasama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Bali, BaliPost Group, dan Kelompok Tani Prana Dewi-Wongaya Gede, Tabanan.

Tanpa mengurangi substansi, rujukan ilmiah, dan kelengkapan data lainnya, sistematika penulisan Laporan Program ini disusun sesederhana mungkin, agar mudah dipahami khalayak pembaca.

Terima kasih kepada segenap pihak yang telah mendukung –langsung maupun tidak langsung- sehingga Program ini dapat dilaksanakan dengan baik. Tak dapat kami lupakan bimbingan, dukungan baik moral maupun material formal dari Kepada Kepala Balai KSDA Bali, Ir. Istanto Dwi Martoyo, yang sejak awal meyakini bahwa betapapun baiknya pemeliharaan satwa dalam captive, jalan terbaik bagi satwa liar adalah kembali hidup di alam bebas. Kepada Kepala SKW I KSDA Bali, Ir. Supriyanto, beserta jajarannya, kami sampaikan pernghargaannya atas asistensi dan dukungan teknis selama persiapan sampai berakhirnya program. Tak lupa salut dan penghargaan setinggi-tingginya kami sampaikan kepada Direktur BaliPost Group, A. B. G. Satria Narada, atas kepedulian serta peran aktifnya dalam upaya konservasi satwa-satwa dilindungi di Bali, melalui dukungan pada Program ini. Demikian pula kami ucapkan penghargaan yang tak ternilai kepada Kelompok Tani beserta keluarga besar Prana Dewi, Desa Wongaya Gede, Tabanan, serta segenap prajuru adat, perangkat Desa Wongaya Gede, serta segenap masyarakat Desa Wongaya Gede atas kerjasama dan perhatiannya terhadap program ini.

Besar harapan kami, Laporan Program ini menambah khasanah keilmuan bidang konservasi dan bermanfaat bagi semua kalangan, khususnya mereka yang bergerak di bidang pelestarian satwa liar.

Terima kasih.

Tabanan, Mei 2007

Tim Penyusun

Page 5: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

5

BKSDA BALI PPS BALI

PENDAHULUAN

1. Konservasi Jenis di Indonesia

Indonesia adalah negara yang terdiri dari 17.000 pulau, memiliki kurang lebih 198 juta hektar daratan, 120 juta hektar di antaranya merupakan areal hutan (Departemen Kehutanan/FAO, 1989, Soehartono dkk 2003). Dilihat dari luas daratannya negara ini sangat beruntung memiliki jenis hidupan liar yang berlimpah, yang pada akhirnya memberikan tambahan nilai dalam keindahan dan keberagaman.

Kecenderungan yang belakangan ini terjadi adalah permintaan hidupan liar sebagai hewan peliharaan dan produk-produk lainnya (misalnya untuk bahan makanan dan aksesoris) meningkat setiap waktu. Eksploitasi terhadap hidupan liar Indonesia kemungkinan besar akan mengakibatkan munculnya masalah-masalah yang terkait dengan bidang konservasi, seperti pemanenan yang terlalu berlebihan dan kepunahan jenis (Soehartono dkk 2003).

Salah satu upaya penyelamatan jenis yang dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan perlindungan hukum melalui UU No. 5/1990 dan PP No. 7 dan No. 8/1999. Namun perlindungan hukum saja tidaklah cukup untuk menjaga keberadaan jenis dari berbagai ancaman yang menjadi penyebab penurunan populasi di alam, jika tidak diiringi dengan upaya konservasi lainnya. Kurang lebih lima tahun terakhir ini upaya penyelamatan jenis di Indonesia semakin meningkat karena tingkat ancaman terhadap keberadaan jenis juga semakin tinggi dan semakin tidak terkendali.

Beberapa kegiatan dalam upaya penyelamatan jenis telah dan terus-menerus dilakukan, salah satu bentuk dan upaya penyelamatan satwa adalah melakukan penyitaan jenis-jenis yang dilindungi dari perdagangan hidupan liar. 2. Tujuan Program

Program Pelepasliaran adalah program untuk melepas satwa dilindungi yang telah ditangkap atau dipelihara manusia kembali ke habitat alaminya, yang bertujuan a.l. untuk:

a. Memberi kesempatan pada satwa dilindungi yang telah dibawa keluar habitat untuk hidup bebas di alam,

b. Menambah populasi jenis (species) di alam,

c. Meningkatkan nilai konservasi kawasan dalam jangka panjang, dan

d. Mendorong pendidikan konservasi kepada masyarakat, serta memperkuat nilai konservasi lokal terhadap satwa liar, khususnya yang terancam punah.

3. Program Release oleh Pusat Penyelamatan Satwa Bali

Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Bali adalah salah satu dari enam pusat penyelamatan satwa yang ada di Indonesia, berlokasi di Banjar Dukuh, Desa Dauh Peken, Tabanan, Bali. Berdiri pada tanggal 1 Mei 2004, dan dikelola oleh Yayasan PPS Bali, PPS Bali merupakan organisasi nirlaba yang bergerak di bidang penyelamatan satwa liar Indonesia yang dilindungi. PPS Bali berfungsi sebagai tempat penitipan dan penampungan sementara dari satwa-satwa dilindungi hasil penyitaan pemerintah, translokasi dari PPS lain, maupun penyerahan masyarakat di Bali. Selain itu, PPS Bali juga berfungsi sebagai sarana pendidikan lingkungan hidup, khususnya keanekaragaman hayati Indonesia.

Dalam perkembangannya, PPS Bali memiliki tugas ganda yaitu; sebagai tempat penampungan satwa sitaan untuk mendukung upaya penegakan hukum, dan sebagai fasilitas rehabilitasi dan pelatihan satwa sebelum dilepasliarkan kembali ke habitatnya sesuai prosedur (Guidelines IUCN) dan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa.

Release Program untuk jenis raptor di dunia pernah dilakukan oleh beberapa lembaga yang memfokuskan perhatian pada jenis burung pemangsa. Umumnya, program pelepasliaran elang dilakukan pada individu hasil penangkaran (captive breeding), sehingga anakan burung tersebut yang akan dilatih dan dilepasliarkan. Di Eropa, Amerika dan beberapa negara lainnya,

Page 6: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

6

BKSDA BALI PPS BALI

pelepasliaran elang lebih sering dilakukan terhadap jenis raptor yang mengalami kecelakaan seperti tertabrak mobil, tertembak atau tersangkut di kawat-kawat ladang pertanian (Rakhman Z., dkk 2004). Hal tersebut berbeda dengan kondisi yang ada di Indonesia, dimana kendala yang dihadapi oleh jenis-jenis elang adalah perburuan dan perdagangan satwa liar yang sangat tinggi, meski semua jenis burung pemangsa di Indonesia telah dilindungi oleh Undang-Undang.

Program Release kali ini merupakan program release ketiga yang telah dilaksanakan oleh PPS Bali bekerjasama dengan BKSDA Bali. Sebelumnya pada tahun 2005 Program Release berhasil melepasliarkan 2 ekor Elang Brontok di TWA Danau Buyan-Danau Tamblingan dan pada tahun 2006 melepasliarkan 4 ekor Elang Bondol di lokasi yang sama. Saat ini PPS Bali merawat 4 ekor Elang Brontok, 2 ekor di antaranya dipersiapkan untuk dilepasliarkan ke kawasan hutan Gunung Batukaru. Kedua ekor elang tersebut merupakan hasil penyitaan Kepolisian Daerah Bali dan BKSDA Bali pada tanggal 19 Juli 2005 di Denpasar.

Hal menarik pada program kali ini adalah munculnya minat kalangan pengusaha untuk mendukung kegiatan pelestarian elang di Bali, yang ditandai dengan kesediaan BaliPost Group mendukung pendanaan program ini. BaliPost Group adalah perusahan sindikasi media (harian umum, tabloid, radio, dan televisi lokal) terbesar di Bali. Perusahaan ini selain diketahui sebagai perusahan media paling berpengaruh di Bali, juga dikenal memiliki kepedulian terhadap pelestarian satwa langka di Bali, khususnya terhadap raptor (burung-burung pemangsa). Dalam budaya lokal dan agama Hindu di Bali, raptor memiliki posisi religius dan kultural yang tinggi. BaliPost sebelumnya telah melakukan pelepasliaran beberapa raptor dalam upacara-upacara adat Bali sebagai simbolisme menjaga keajegan alam Bali.

Berikut adalah data Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) yang siap dilepasliarkan di kawasan Pura Batukaru, Tabanan.

NO DATA NO. REG B.A.P ASAL TGL DITERIMA TAGGING JENIS

KELAMIN 1 Elang

Brontok 1 A/S.c/0138/PPSB

BAP. 13/IV-K.17/PPA.00/2005

BKSDA Bali (penyitaan Polda Bali di Pasar Burung)

19-Jul-2005

microchip AVID no: 070830570 tgl: 4-Nop-2006

Betina

2 Elang Brontok 2

A/S.c/0139/PPSB

BAP. 13/IV-K.17/PPA.00/2005

BKSDA Bali (penyitaan Polda Bali di Pasar Burung)

19-Jul-2005

microchip AVID no: 075529865 tgl: 5-Nop-2006

Jantan

4. Perlindungan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus)

Saat ini kepemilikan terhadap satwa dilindungi khususnya jenis burung paruh bengkok dan burung pemangsa cukup besar. Dalam satu kali operasi penertiban terhadap satwa langka yang dilakukan oleh BKSDA di wilayah Jawa dan Bali, baik itu di pasar burung maupun di rumah pribadi, paling kurang terdapat satu ekor jenis burung paruh bengkok atau burung pemangsa yang dimiliki secara ilegal oleh masyarakat (Wijaya dkk, 2004).

Satwa-satwa hasil sitaan dan penyerahan masyarakat ke BKSDA selanjutnya dititipkan di pusat penyelamatan satwa yang ada di Indonesia untuk mendapatkan perawatan dan rehabilitasi sebelum dilepaskan kembali ke habitatnya, salah satunya adalah di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Bali.

Status perlindungan Elang Brontok adalah:

1. UU Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

2. PP Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

3. PP Republik Indonesia No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

4. Keputusan Presiden Rl Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention International on Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora: ”...pemanfaatan spesies tersebut perlu perlakuan internasional dengan pembatasan kuota tertentu yang didasarkan atas data yang akurat mengenai populasi dan kecenderungan di alam”.

Page 7: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

5. Profil Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus)

Hampir sebagian besar ancaman yang dihadapi oleh burung pemangsa di beberapa kawasan di Indonesia adalah terjadinya degradasi (penurunan kualitas dan kuantitas) habitat, perburuan, dan penangkapan untuk perdagangan. Hal ini juga yang dialami oleh salah satu komunitas burung pemangsa Indonesia yaitu Elang Brontok Spizaetus cirrhatus Gmelin, 1788.

Indonesia memiliki 75 jenis burung pemangsa dari dua suku yang berbeda, yaitu suku Accipitridae, terdiri atas 65 jenis burung pemangsa dan suku Falconidae terdiri atas 10 jenis (Ed Collin., Ed., A.A. Supriatna). Lima jenis burung pemangsa dari marga Spizaetus merupakan bagian dari suku Accipitridae yaitu Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus), Elang Jawa (S. bartelsi), Elang Blyth’s (S. alboniger), Elang Walacea (S. nanus) dan Elang Sulawesi (S. lanceolatus) (Andrew, 1992 dalam Nurwatha dkk, 2000). Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) sendiri tersebar luas mulai dari India, Asia Tenggara, Filipina, Sunda Besar dan Nusa Tenggara (MacKinnon. 1998) dengan tatus Elang Brontok adalah ‘tidak umum’ yang berarti kurang dari 50% dari habitat yang ada (Strange, 2001).

Jenis ini umumnya merupakan jenis penetap, sebagian individu pra-dewasa tersebar. Memiliki ukuran panjang tubuh antara 57 - 79 cm dengan rentang sayap mencapai 127 - 138 cm, berat tubuh antara 1,3 kg - 1,9 kg. Menyukai habitat pinggiran hutan, padang rumput, kebun yang berpohon, sumber-sumber air yang ditumbuhi pohon, hutan dekat perkampungan sampai di pinggiran perkotaan. Dan umumnya diketemukan pada ketinggian dibawah 1500 m dpl, namun tidak umum diketinggian 2.000 m dpl. Senang berburu ayam kampung di pinggiran hutan, maupun memangsa jenis-jenis mamalia kecil, reptilia dan katak (MacKinnon. 1998; Prawiradilaga dkk. 2003).

Deskripsi Fisik: berukuran besar (70 cm), bertubuh ramping. Sayap sangat lebar, ekor panjang berbentuk bulat, jambul sangat pendek. Terdapat fase gelap, pucat dan peralihan. Fase gelap: seluruh tubuh coklat gelap dengan garis hitam pada ujung ekor, terlihat kontras dengan bagian ekor lain yang coklat dan lebih terang. Burung muda juga berwarna gelap. Fase terang: tubuh bagian atas coklat abu-abu gelap, tubuh bagian bawah putih bercoret coklat kehitaman memanjang, strip mata dan kumis kehitaman. Burung muda: tubuh bagian atas coklat keabu-abuan, kepala dan tubuh bagian bawah keputih-putihan. Bentuk peralihan dari kedua fase tadi terutama terlihat pada pola warna coretan dan garis (tetapi lebih mirip bentuk terang): garis-garis pada ekor dan sayap tidak teratur serta garis-garis coklat kemerahan melintang pada perut bagian bawah dan ekor bagian bawah.

Iris: Kuning sampai coklat, paruh kehitaman, sera kuning kehitaman, kaki kuning kehijauan.

Suara: Pekikan panjang kwip-kwip kwiiah meninggi atau klii liiuw tajam.

Penyebaran global: India, Asia Tenggara, Filipina, Sunda Besar dan Nusa Tenggara.

Penyebaran lokal dan status: Terdapat di seluruh dataran Sunda Besar, tidak umum ditemukan di bawah ketinggian 2.000m.

Kebiasaan: Mengunjungi hutan dan daerah berhutan terbuka, menyergap ayam kampung. Berburu dari udara atau dari tempat bertengger di pohon kering. Umumnya berburu di hutan yang baru ditebang.

(Sumber: Buku Panduan Lapangan Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan, MacKinnon dkk, 1992).

7

Page 8: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

PELAKSANAAN

Proses pelepasliaran satwa sitaan atau yang pernah dipelihara manusia bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tetapi upaya tersebut tetap harus diprioritaskan mengingat sebagian besar satwa sitaan atau serahan masyarakat bukan hasil penangkaran, melainkan berasal dari alam, sehingga peluang untuk dapat dilepasliarkan kembali cukup besar. Untuk melepasliarkan kembali satwa ke habitatnya, diperlukan beberapa persiapan untuk meminimalkan resiko dan memberi peluang dapat bertahan hidup di alam yang lebih besar.

Dalam pelaksanaannya, pelepasliaran dapat dilakukan setelah adanya kajian pada satwa yang akan dilepasliarkan, kajian habitat lokasi pelepasliaran dan perencanaan yang baik dalam pelepasan termasuk sistem monitoring di lokasi pelepasan. Apabila hasil kajian satwa dan habitatnya menunjukkan potensi positif, maka pelepasliaran dapat dilakukan.

Satwa liar disita oleh pihak berwenang karena berbagai alasan. Sekali pihak berwenang mengambil alih kepemilikan satwa-satwa tersebut harus ditempatkan secara layak dan bertanggung jawab serta efektif dan efisien. Peraturan-peraturan yang umum berlaku, praktek-praktek kultural dan kondisi-kondisi ekonomi akan mempengaruhi keputusan pengaturan penempatan yang tepat dan baik menyangkut satwa-satwa sitaan tersebut. Dalam konteks konservasi, ada beberapa pilihan yang mungkin bisa diambil, yaitu:

1) memelihara satwa tersebut di tempat penangkaran untuk menghabiskan sisa hidup alami mereka.

2) mengembalikan satwa tersebut ke alam (habitat alaminya).

3) meng-etonasi (menidurkan) satwa tersebut, misalnya memusnahkan mereka dengan cara yang baik.

Sumber: Panduan IUCN untuk Penempatan Satwa Sitaan

Beberapa tahapan persiapan yang harus dilakukan berdasarkan standar IUCN adalah:

1. Pemeriksaan medis

2. Penandaan dan morfometri

3. Penilaian habitat/lokasi release

4. Pengamatan perilaku

5. Sosialisasi masyarakat

6. Habituasi

7. Pelepasliaran

8. Monitoring paska release

1. Pra Kegiatan

Inisiasi terhadap program ini telah dilakukan sejak tahon 2005, tepatnya setelah melihat keberhasilan Program Release Elang Brontok di TWA Danau Buyan-Tamblingan pada Juli 2005. Pada bulan Nopember 2005 telah dimulai survei pendahuluan untuk mengetahui calon lokasi pelepasliaran, sekaligus bertemu dengan para tokoh dan pemangku adat desa. Namun mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki PPS Bali dan bersamaan dengan dilaksanakannya berbagai program lainnya, maka gagasan ini kemudian lama tidak muncul.

Barulah kemudian, pada Oktober 2006 muncul titik terang yaitu sejak diadakannya pembicaraan mengenai pentingnya pelestarian satwa (khususnya raptor) yang menerapkan prosedur standar (baku) secara internasional dan nasional. Hal ini dianggap penting, karena di Bali sering dilakukan pelepasan satwa oleh para pejabat daerah pada acara-acara seremoni. Umumnya mereka

Page 9: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

memiliki ketertarikan dan menyadari pentingnya melestarikan alam melalui pengembalian satwa ke alam bebas, tetapi sedikit sekali yang menyadari pentingnya persiapan-persiapan standar baik terhadap satwa (seperti status kesehatan dan perilaku alami) maupun lokasi pelepasan (kondisi lama, ketersediaan pakan, tingkat ancaman, kompetisi di alam, dll).

Pematangan rancangan program telah dimulai sejak kunjungan Direktur BaliTV ke fasilitas PPS Bali pada tanggal 10 Nopember 2006 sekaligus mendiskusikan pentingnya pelestarian raptor dalam kaitan dengan pelestarian nilai-nilai budaya Bali. Dalam pertemuan tersebut disepakati pembagian tugas dan peran dari masing-masing pihak: BKSDA Bali sebagai penanggung jawab program, PPS Bali sebagai pelaksana program, dan BaliPost Group sebagai penyandang dana. Nantinya diharapkan program release Elang Brontok di kawasan hutan Batukaru ini mampu mendorong munculnya partisipasi berbagai kalangan (pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat luas) dalam pelepasliaran satwa dilindungi di Bali, khususnya jenis-jenis raptor.

Sejak tanggal 17 Desember 2006 dilakukan koordinasi intensif antara BKSDA Bali dan PPS Bali untuk mempersiapkan perangkat kelembagaan, tim kerja, dan perlengkapan lapangan. Pada tanggal 2 Januari 2007 secara formal tim kerja telah terbentuk melalui Surat Keputusan Kepala Balai Nomor SK.01/IV-K.17/PPA.03/2007, tentang Pembentukan Tim Pelaksana Kegiatan Pelepasliaran Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) Kerjasama Antara Balai KSDA Bali, PPS Bali dan Bali Post Group.

2. Pemeriksaan Kesehatan

Sebagai persiapan terhadap individu sebelum dilepasliarkan ke alam, sangat penting melakukan screening kesehatan yang mengacu pada standar internasional. Tujuan

Screening kesehatan bertujuan untuk memastikan bahwa individu yang akan dilepaskan benar-benar dalam kondisi yang sehat sehingga mampu mempertahankan hidup di alam, serta untuk memastikan individu tidak membawa penyakit yang dapat menular kepada satwa lain dan lingkungan sekitarnya. Acuan dan Pelaksanaan

Pemeriksaan kesehatan terhadap kedua elang yang akan dilepasliarkan ini mengacu pada guidelines IUCN yaitu: Quarantine And Health Screening Protocols For wildlife Prior to Translocation and Release Into The Wild, yang mana standar ini juga disesuaikan dengan kondisi penyebaran penyakit di masing-masing negara mengacu pada data dan informasi OIE (The Office International des Epizootis). Selain berpedoman pada standar yang ada juga dilakukan analisa terhadap data penyebaran penyakit di Indonesia pada umumnya dan lebih khusus di daerah Bali berdasarkan data OIE yang ada di Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian dan data distribusi penyakit dari Balai Pengujian dan Penelitian Veteriner Regional VI Denpasar. Hal ini dilakukan karena keterbatasan sarana dan fasilitas laboratorium di Indonesia untuk beberapa pemeriksaan.

Pemeriksaan kesehatan dilakukan di Klinik PPS Bali dan di laboratorium hewan di Bali, yaitu Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional VI Denpasar, Departemen Pertanian serta di Laboratorium Klinik Veteriner Yudisthira Swarga.

9

Page 10: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

Metode dan Hasil Pemeriksaan

Tahapan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan terhadap 2 ekor Elang Brontok tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan sekaligus sebagai seleksi awal terhadap individu untuk menentukan layak tidaknya satwa untuk dilepasliarkan ke alam. Pemeriksaan fisik terhadap elang meliputi: a. Pengamatan visual, yaitu terhadap bentuk fisik yang meliputi kesempurnaan sayap, bulu

primer, kaki, ekor, mata, paruh, selaput lendir. b. Palpasi atau perabaan, yaitu pada daerah musculus pectoralis dan musculus femoralis untuk

menentukan status gizi satwa serta kelainan fisik lainnya. c. Pengukuran yang meliputi pengukuran temperatur, frekuensi nafas dan denyut jantung.

Berikut adalah data hasil pemeriksaan fisik kedua elang tersebut.

Elang Brontok I No. Registrasi : A/S.c/0086/PPS-B No. BAP BKSDA Bali : BAP. 13/IV-K.17/PPA.00/2005 Nama ilmiah : Spizaetus cirrhatus, Gmelin, 1788 Nama panggilan : Timba Jenis kelamin : Jantan Umur : 2 tahun Asal : Penyitaan di Pasar Burung Satria, Denpasar Tanggal kedatangan : 19 Juli 2005 Lama pemeliharaan :

Pemilik awal : Tidak diketahui PPS Bali : 2 tahun

Penanganan Perilaku :

Program pemberian feed suplement, berupa penambahan vitamin dan mineral yang diberikan pada pakan satwa untuk memenuhi kebutuhan satwa

Penempatan kandang Karantina : 19 Juli 2005 – 14 Agustus 2005 Kandang reptil : 14 Agustus 2005- 15 April 2006 Kandang kubah : 15 April 2006 – 30 Januari 2007

Pelatihan

Penangkapan dan penanganan mangsa Kemampuan terbang dan manuver Pengenalan jenis pakan alami Minimalisasi interaksi dengan manusia

Data pengukuran

Waktu Senin, 15 Januari 2007 Tempat Klinik PPS Bali Jenis Spizaetus cirrhatus, A/S.c/0138/PPSB Individu no S.c/04 Pengukuran ditujukan pada individu yang merupakan hasil:

penangkapan di alam anakan penyelamatan/rescue

Pelaksana: Pusat Penyelamatan Satwa Bali

1 Berat badan 1,8 kg Frekuensi pernafasan

11/15”

2 Panjang total 61 cm Detak jantung 42/15”

10

Page 11: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

3 Panjang sayap 48 cm 4 Rentang sayap 118 cm5 Lebar sayap dalam 28 cm6 Lebar patagium 9 cm7 Panjang ekor 25 cm8 Tungkai 10,6 cm9 Diameter tungkai 1,2 cm

Dengan cakar 10 Tapak kaki Tanpa cakar 7,9 cmDepan dalam 3,4 cmTengah 2,8 cmLuar 2,2 cm

11 Cakar

Belakang 3,7 cmTanpa cere 3,4 cmDengan cere 3,8 cmTinggi 3 cm

12 Paruh

Lebar 0,9 cm13 Jarak antar pupil 3,9 cm14 Warna iris Coklat15 Ukuran tembolok 16 Temperatur 41,1

Penandaan/tagging: Wing marker: Warna/posisi: Putih di sayap kanan Kode: BKSDA Bali S.c/04 Microchip: Merk : Avid Nomor : 070830570 Transmitter: (tidak terpasang)

Elang Brontok II No. Registrasi : A/S.c/0086/PPS-B No. BAP BKSDA Bali : BAP. 13/IV-K.17/PPA.00/2005 Nama ilmiah : Spizaetus cirrhatus, Gmelin, 1788 Nama panggilan : Timbi Jenis kelamin : Betina Umur : 2 tahun Asal : Penyitaan di Pasar Burung Satria, Denpasar Tanggal kedatangan : 19 Juli 2005 Lama pemeliharaan

Pemilik awal : Tidak diketahui PPS Bali : 2 tahun

Penanganan Perilaku :

Program pemberian feed suplement, berupa penambahan vitamin dan mineral yang diberikan pada pakan satwa untuk memenuhui kebutuhan satwa

Penempatan kandang Karantina : 19 Juli 2005 – 14 Agustus 2005 Observasi : 14 Agustus 2005 - 15 April 2006 Kandang kubah : 15 April 2006 – 30 Januari 2007

Pelatihan

Penangkapan dan penanganan mangsa Kemampuan terbang dan manuver Pengenalan jenis pakan alami Minimalisasi interaksi dengan manusia

Data pengukuran

Waktu Senin, 15 Januari 2007 Tempat Klinik PPS Bali Jenis Spizaetus cirrhatus, A/S.c/0138/PPSB

Individu no S.c/03

11

Page 12: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

12

BKSDA BALI PPS BALI

Pengukuran ditujukan pada individu yang merupakan hasil:

penangkapan di alam anakan penyelamatan/rescue

Pelaksana: Pusat Penyelamatan Satwa Bali

1 Berat badan 1 kg Frekuensi pernafasan

7/15”

2 Panjang total 59 cm Detak jantung 36/15” 3 Panjang sayap 51 cm 4 Rentang sayap 118 cm5 Lebar sayap dalam/luar 29 cm6 Lebar patagium 8 cm7 Panjang ekor 26 cm8 Tungkai 8,5 cm9 Diameter tungkai 1,2 cm

Dengan cakar 10 Tapak kaki Tanpa cakar 7,6 cmDepan dalam 2,7 cmTengah 2,2 cmLuar 1,8 cm11 Cakar

Belakang 2,9 cmTanpa cere 3 cmDengan cere 3,7 cmTinggi 2 cm12 Paruh

Lebar 1,1 cm13 Jarak antar pupil 4 cm14 Warna iris Coklat15 Ukuran tembolok 16 Temperatur 40,8

Penandaan/tagging: Wing marker: Warna/posisi: merah pada sayap kiri Kode: BKSDA Bali S.c/03 Microchip: Merk : Avid Nomor :075529865 Transmitter: Kode transmitter: 53,265 Ukuran transmitter: 2,5 cm Berat transmitter: 11,5 gram Panjang antena: 22 cm

Kesimpulan dan rekomendasi:

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik secara anatomis dan fisiologis, kedua individu elang tersebut dinyatakan secara klinis normal dan sehat, dan siap untuk dilakukan tahap pemeriksaan selanjutnya.

b. Pemeriksaan Laboratorium

2.1 Pemeriksaan Faeces a. Pemeriksaan terhadap faeces segar secara langsung dan pengapungan untuk

mendeteksi adanya parasit cacing, trichomonas, coccidia dan protozoa lainnya. b. Pewarnaan Apusan Faeces (Faecal smear), dengan pewarnaan Gram untuk

mendeteksi Candida sp. dan Clostridium sp, serta pewarnaan Ziehl-Neelsen untuk deteksi Mycobacterium avium.

c. Kultur Faeces (Faecal culture) untuk deteksi Salmonella sp. dan Campylobacter sp. 2.2 Pemeriksaan Darah

a. Pemeriksaan terhadap CBC (Complete Blood Count) dan PCV untuk mengetahui gambaran darah

b. Pemeriksaan Serum, untuk deteksi terhadap penyakit New Castle Disease dan Avian Influenza.

c. Pemeriksaan apusan darah (Blood smear), untuk deteksi terhadap parasit darah terutama Avian Malaria, Microfilaria dan Leucocytozoon sp.

2.3 Pemeriksaan Swab Cloaca dan Choanal

a. Swab Cloacal dilakukan untuk isolasi virus terutama deteksi penyakit Avian Influenza, apabila dari pemeriksaan serologi menunjukkan hasil positif.

b. Swab Choanal dilakukan untuk deteksi adanya infeksi oral trichomonas.

Page 13: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

13

BKSDA BALI PPS BALI

2.4 Pemeriksaan kulit terutama pada follikel bulu

Pemeriksaan dimaksudkan untuk deteksi adanya infestasi ectoparasite yang dapat berperan sebagai vektor dari penyakit.

Berikut adalah data hasil pemeriksaan laboratorium: Elang Brontok I No Regirstrasi : A/S.c/0086/PPS-B Nama panggilan : Timba Hasil :

1. Pemeriksaan Faeces ( faeces segar, pewarnaan , faecal culture) - Pemeriksaan faeces secara langsung (natif) didapatkan hasil negatif (tidak teramati adanya

telur atau pun larva dari cacing dan protozoa) - Pemeriksaan secara apung didapatkan hasil negatif (tidak teramati adanya telur atau pun

larva dari cacing dan protozoa). - Pewarnaan faeces (Faecal smear) didapatkan hasil negatif kuman salmonella, candida dan

clostridia. - Kultur faeces (Faecal culture) didapatkan hasil negatif kuman salmonella, candida dan

clostridia. 2. Pemeriksaan Sampel darah (CBC dan PCV, serum, apusan darah), Swab cloaca dan coanal ,

dan kulit adalah seperti tabel di bawah ini. No Jenis

Pemeriksaan Tujuan

pemeriksaan Hasil

pemeriksaan Pemeriksaan Keterangan

Hematokrit 50 Lab Yudhistira

Nrml 40-55%

Kadar Hb 16,6 Lab Yudhistira

Nrml 10,5 – 18,7 g/dl

Jml Eritrosit 3,74 Lab Yudhistira

Nrml2,2-4,5 ribu/µl

Jml Leukosit 22,2 Lab Yudhistira

5,0-11,0 ribu/µl

1 CBC dan PCV

Total Protein 4 Lab Yudhistira

2,5-5,0 g/dl

2 Serologi Deteksi Antibodi terhadap ND

Negatif antibodi virus ND

BPPV Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap AI

Negatif antibodi virus AI

BPPV Denpasar

Heteropil 90 Lab Yudhistira

45-75%

Limfosit 5,4 Lab Yudhistira

20-50%

Monosit 4,5 Lab Yudhistira

0-2%

Trombosit 24 Lab Yudhistira

35-50 ribu/µl

3 Hapus darah

Parasit darah Negatif Isolasi Pada telur berembrio utk virus AI

Negatif BPPV Denpasar

4 Swab Cloaca dan coanal

Oral Trichomonas Negatif Klinik PPSB 5 Pemeriksaan

Kulit Deteksi Ectoparasit Negatif Klinik PPSB

Page 14: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

14

BKSDA BALI PPS BALI

Elang Brontok II No. Registrasi : A/S.c/0086/PPS-B Nama panggilan : Timbi Hasil :

1. Pemeriksaan Faeces ( faeces segar, pewarnaan , faecal culture) - Pemeriksaan faeces secara langsung (natif) didapatkan hasil negatif (tidak teramati adanya

telur atau pun larva dari cacing dan protozoa) - Pemeriksaan secara apung didapatkan hasil negatif (tidak teramati adanya telur atau pun

larva dari cacing dan protozoa). - Pewarnaan faeces (Faecal smear) didapatkan hasil negatif kuman salmonella, candida dan

clostridia. - Kultur faeces (Faecal culture) didapatkan hasil negatif kuman salmonella, candida dan

clostridia. 2. Pemeriksaan Sampel darah (CBC dan PCV, serum, apusan darah), Swab cloaca dan coanal ,

dan kulit adalah seperti tabel di bawah ini. No Jenis

Pemeriksaan Tujuan

pemeriksaan Hasil

pemeriksaan Pemeriksaan Keterangan

Hematokrit 41 Lab Yudhistira

Nrml 40-55%

Kadar Hb 13,6 Lab Yudhistira

Nrml 10,5 – 18,7 g/dl

Jml Eritrosit 1,88 Lab Yudhistira

Nrml2,2-4,5 ribu/µl

Jml Leukosit 7 Lab Yudhistira

5,0-11,0 ribu/µl

1 CBC dan PCV

Total Protein 4 Lab Yudhistira

2,5-5,0 g/dl

2 Serologi Deteksi Antibodi terhadap ND

Negatif antibodi virus ND

BPPV Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap AI

Negatif antibodi virus AI

BPPV Denpasar

Heteropil 65 Lab Yudhistira

45-75%

Limfosit 31 Lab Yudhistira

20-50%

Basofil 2,8 Lab Yudhistira

0-2%

Trombosit Lab Yudhistira

35-50 ribu/µl

3 Hapus darah

Parasit darah Negatif Isolasi Pada telur berembrio utk virus AI

Negatif BPPV Denpasar

4 Swab Cloaca dan coanal

Oral Trichomonas Negatif Klinik PPSB 5 Pemeriksaan

Kulit Deteksi Ectoparasit Negatif Klinik PPSB

Mengingat keterbatasan fasilitas di laboratorium Indonesia, terdapat dua pemeriksaan sebagaimana dipersyaratkan dalam prosedur IUCN, yang tidak dilakukan, yaitu Adenovirus dan Herpesvirus. Sehingga pemeriksaan hanya berdasarkan the clinical signs associated with hepatitis, pancreatitis, pneumonia atau enteritis (diarrhea, yellow urates, polyuria, dypsnea, depression dan lethargy), kadang muncul gejala syaraf, concjunctivitis dan kematian (Rupley, 1997). Data penyebaran penyakit yang dikeluarkan oleh OIE juga tidak menyebutkan adanya kejadian penyakit ini di Indonesia, karena kurangnya data dari Indonesia (OIE online, 2005).

Page 15: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

Herpesvirus adalah penyebab penyakit Inclusion Body Hepatitis yang umum menyerang pigeon and budgerigars. Clinical sign include rhinitis, conjunctivitis, nasal discharge, dypsnea, diarrhea, anorexia, vomiting and polydipsia. Sangat sulit melakukan pemeriksaan penyakit ini, kecuali berdasarkan necropsi (Rupley, 1997).

Treatment dan tindakan

Treatment yang dilakukan terhadap Elang Brontok yang akan dilepasliarkan adalah dengan pemberian deworming untuk preventif helminthiasis, vitamin dan mineral untuk meningkatkan stamina, ruborantia untuk meningkatkan nafsu makan serta pencegahan ectoparasit.

Pemberian vitamin dan mineral melalui pakan dilakukan secara berkala dan metode ini lebih efektif karena sifat elang yang tidak menyisakan makanan pada saat memakan mangsanya sehingga dapat dipastikan vitamin yang masuk dalam dosis yang sesuai. Pemberian Ruborantia dengan Hematopan melalui injeksi yang diberikan pasca pengambilan sampel. Deworming dengan oramec (ivermectin oral) diberikan untuk mencegah infestasi internal parasit dan parasit darah diaplikasikan secara langsung terutama pada saat paska pengambilan sampel. Penyemprotan individual Elang dengan Bird Spray (Acarisida) untuk mencegah infestasi ectoparasit yang diberikan 2 kali selama Elang berada di kandang besar.

Rekomendasi medis

Dari hasil pemeriksaan medis (anatomi, fisiologi, dan laboratorium), maka disimpulkan bahwa kedua ekor Elang Brontok (kode: Elang 1 dan Elang 2) adalah dalam kondisi sehat dan layak untuk dilepasliarkan.

2. Penandaan dan Pemasangan Wingmarker

Sesuai dengan dengan SK. Menhut No. 355/Kpts-II/2003 tentang Penandaan Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar dan Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. 35/IV-KKH/2004 tentang Penandaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi (Hidup dan Mati) di Luar Habitatnya (Ex-situ), PPS Bali disaksikan oleh telah dilakukan penandaan pada kedua ekor Elang Brontok yang akan dilepasliarkan, pada tanggal 4-5 Nopember 2006 di klinik PPS Bali. Kegiatan ini selanjutnya dimuat dalam Berita Acara Penandaan No. BA. 001/IV-K.17/PPA.00/2007 oleh BKSDA Bali.

Untuk memudahkan pengamatan pada tahap monitoring paska release, pada tanggal 15 Januari 2007 dilakukan morfometri, pemasangan wingmarker dan transmitter, dengan disaksikan oleh petugas BKSDA Bali dan dua orang anggota kelompok tani Desa Wongaya Gede.

Transmitter merupakan alat pemancar gelombang radio yang dipasang pada tubuh satwa

15

Alat penandaan: microchip (dalam applicator berbentuk suntik) dan

microchip reader.

Morfometri (pengukuran morfologi) satwa.

Elang yang telah dipasang wingmarker (warna merah).

Page 16: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

yang berfungsi memantau keberadaan dan aktivitas elang setelah dilepasliarkan. Gelombang radio ini ditangkap oleh sebuah receiver yang mengeluarkan bunyi beep nada tertentu. Perubahan nada beep menandakan perbedaan posisi atau aktivitas elang pada saat itu. Dari alat ini dapat diketahui kemungkinan keberadaan individu.

3. Survei Habitat

Mengembalikan satwa sitaan ke alam/habitat alaminya sering dipertimbangkan sebagai pilihan paling populer bagi suatu lembaga yang melakukan penyitaan dan bisa mendapatkan dukungan publik yang kuat. Namun demikian, kegiatan semacam itu memiliki banyak masalah dan resiko yang nyata dan umumnya memberikan sedikit keuntungan. Jika pelepasan satwa-satwa sitaan kembali ke alam/habitat alaminya akan konsisten dengan prinsip-prinsip dan praktek konservasi, maka pelepasan itu seharusnya a) hanya ke dalam satu lokasi di luar wilayah jelajah alami spesies tersebut jika kegiatan itu sejalan dengan Panduan IUCN untuk Re-introduksi untuk suatu introduksi konservasi; dan b) hanya dilakukan dalam kasus-kasus di mana satwa-satwa tersebut bernilai konservasi tinggi dan atau pelepasan itu bagian dari suatu program pengelolaan. Program pelepasan kembali ke alam apapun harus memasukan pemeriksaan dan pemantauan yang penting untuk mencegah akibat negatif yang potensial timbul.

Sumber: Panduan IUCN untuk Penempatan Satwa Sitaan

Pada tahap ini dilakukan survei habitat terhadap calon lokasi pelepasliaran Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus, Gmelin, 1788) yaitu di wilayah sekitar Pura Batukaru dan hutan lindung. Survei dilakukan oleh Tim PPS Bali bekerjasama dengan BKSDA Bali, dalam hal ini KSDA Resort Buyan-Tamblingan serta masyarakat dari Kelompok Tani Prana Dewi.

Tujuan

Tahap ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan habitat lokasi potensial pelepasliaran melalui serangkaian kajian terhadap: • Keberadaan tipe habitat • Keberadaan jenis burung pemangsa sejenis ataupun jenis lainnya • Keberadaan pakan di sekitar lokasi pelepasan • Tingkat ancaman dan gangguan terhadap jenis yang akan dilepasliarkan • Dukungan dan keterlibatan masyarakat sekitar dalam program yang akan dilaksanakan

Metodologi

Untuk mengetahui gambaran umum mengenai keberadaan tipe habitat di lokasi tersebut dilakukan studi literatur dari beberapa penelitian sebelumnya, serta survei lapangan dengan menggunakan metode transek di beberapa titik lokasi (Soegianto, 1994). Studi mengenai keberadaan jenis Elang Brontok dan jenis elang lainnya dilakukan melalui pengamatan intensif pada satu titik dan ketinggian tertentu (Yamazaki, 1997) dan menggunakan metode menyusuri sepanjang jalan (road survey) serta jelajah sekitar (foot survey) (Fuller& Mosher, 1987), serta mencatat setiap jenis satwa yang ditemui. Dengan demikian diharapkan dapat dikumpulkan data keragaman jenis satwa baik burung, mamalia, reptil, dll di sekitar lokasi.

Keberadaan jenis pakan di sekitar lokasi diketahui melalui observasi langsung dan penggunaan perangkap mamalia kecil. Sedangkan data pendukung jenis-jenis pakan lainnya berasal dari informasi masyarakat sekitar. Mengenai tingkat ancaman dan gangguan, terdapat ancaman alami berupa kompetisi dan ancaman yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia (perburuan,

16

Page 17: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

perusakan habitat). Untuk mengetahui hal ini dilakukan pengamatan langsung di lapangan dan pengumpulan informasi dari penduduk sekitar.

Selain itu, survei habitat sekaligus dimanfaatkan untuk mengetahui potensi dukungan masyarakat pada program menggunakan metode wawancara semi-struktur kepada masyarakat sekitar lokasi.

Waktu

Survei habitat di kawasan Hutan Batukaru dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu: • Survei I, tanggal 12 Nopember 2005: berlokasi di areal sekitar Mengening, Batukaru untuk

melihat kondisi lokasi habituasi. • Survei II, tanggal 17-24 Januari 2007: berlokasi di sekitar Desa Wongaya Gede, hutan Pura

Batukaru, dan perkebunan di perbatasan dengan hutan lindung Batukaru.

Hasil dan Pembahasan

17

a. Deskripsi kawasan

Kelompok hutan Batukaru termasuk dalam Register Tanah Kehutanan (RTK) 4 yang secara administratif terletak di lintas Kab. Buleleng, Badung dan Tabanan. Untuk di Kab. Buleleng melintas di Kec. Banjar, Sukasada, Sawan dan Kubutambahan. Untuk di Kab. Tabanan melintas di kecamatan Baturiti, Penebel, dan Pupuan dan Kab. Badung di Kec. Petang. Pembagian administrasi kepemangkuan hutan terletak di RPH Banjar, Kubutambahan, Sukasada, Petang, Candikuning, Penebel dan Pupuan.

Kompleks Pegunungan Batukaru yang terdiri dari Cagar Alam Batukaru (1.762,80 Ha), Taman Wisata Alam Danau Beratan, Tamblingan dan Buyan (1.491,16 Ha) dan sisanya Hutan Lindung Batukau (11.899,32 Ha), merupakan salah satu hutan

pegunungan yang tersisa di Pulau Bali. Secara administratif terletak di lintas Kab. Buleleng, Badung dan Tabanan. Untuk Kab. Buleleng melintas di Kec. Banjar, Sukasada, Sawan dan Kubutambahan. Untuk di Kab. Tabanan melintas di kecamatan Baturiti, Penebel, dan Pupuan dan Kab. Badung di Kec. Petang. Pembagian administrasi kepemangkuan hutan terletak di RPH Banjar, Kubutambahan, Sukasada, Petang, Candikuning, Penebel dan Pupuan.

Topografinya bergunung-gunung, dengan kelerangan landai sampai sangat curam, kelas lereng antara 15 sampai diatas 45%, berada pada ketinggian 767 m sampai puncak tertinggi gunung Batukau 2276 m dpl. Di hutan ini terdapat banyak gunung (G), seperti G. Pohen, Tapak, dan Lesung (ketiganya adalah Cagar alam), G Sengayang, G Pucak Adeng, G Puncak Manggu, G Pengelengan, Puncak Bon, Catur, dll. Jenis tanahnya terdiri dari jenis Regosol, Latosol dan Andosol. Tipe iklimnya sebagian besar tipe B, sebagian lagi C dan D.

Komplek pegunungan ini terdiri dari hutan hujan tropis di bagian utara dengan vegetasinya seperti Salam (Eugenia polyantha), Bayur, Kepelan (Manglietia glauca), Seming. Di bagian selatan pada beberapa puncak terdiri dari

Gunung Batukaru

LOKASI

Page 18: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

hutan hujan basah dengan vegetasin seperti Cemara pandak (Podocarpus imbricata), Cemara geseng, Seming, Tahlan (Dysoxylum sp), Peradah (Garcinia sp), Belantih (Homalantus gigantius), bangsa bunut dan beringin (Ficus sp) dan jenis jenis Lateng (Laportaceae), Pandan, berjenis-jenis Pakis (Filices), temu-temuan (Zingeberaceae), liana dan banyak jenis anggrek (Orchidaceae).

Keberadaan kawasan ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat sekitarnya termasuk Kabupaten Badung, Gianyar, Tabanan dan Buleleng. Hal ini terlihat dari banyaknya sungai dan sumber air yang mengalir dari kawasan ini seperti dari arah selatan Tukad Bangke, Tukad Kaliasem, Lengis, Yeh He, Yeh Otan, Tukad Made, Tukad Balian dan Yeh Saba, Yeh Empas, Yeh Sungi, Tukad Pangi, dan Tukad Ayung. Sedangkan yang bermuara ke utara adalah sungai Yeh Panas, sampai ke Tukad Saba, dan arah timur, merupakan daerah resapan Danau Buyan, Tamblingan dan Beratan. Selain itu, beberapa resapan air danau yang menjadi mata air yang secara tidak langsung membentuk DAS seperti Tukad Banyumala, Tukad Buleleng dan Tukad Serumbung. Di dalam komplek pegunungan ini terdapat 3 danau besar yaitu Danau Beratan luas permukaannya 385 ha, Danau Buyan luas permukaannya 367 ha, dan Danau Tamblingan luas permukaan 115 ha.

Secara umum, tipe ekosistem yang terdapat di kawasan ini di antaranya adalah (a) ekosistem pegunungan; yang terdiri dari hutan hujan tropis pegunungan, hutan campuran, dan lahan pertanian, dan (b) ekosistem lahan basah; yang terdiri dari danau dan rawa.

Kawasan ini sangat penting tidak hanya bagi kehidupan manusia tetapi juga bagi kehidupan satwa liar di kawasan ini, kawasan ini bagaikan sebuah oase bagi satwa liar tersebut di tengah tingginya tingkat degradari dan fragmentasi hutan di Pulau Bali. Akan tetapi keberadaan kawasan ini termasuk keanekaragaman hayatinya belum banyak diketahui karena minimnya kegiatan penelitian dan upaya konservasi bagi itu terhadap keanekaraman hayati yang ada di kawasan ini maupun terhadap kawasan itu sendiri.

b. Lokasi dan titik pelepasliaran

Titik lokasi pelepasliaran berada di daerah Menghening, Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Dengan ketinggian ±750 m dpl daerah tersebut merupakan kawasan perkebunan masyarakat yang berbatasan langsung dengan hutan lindung Batukaru. Perkebunan Menghening didominasi oleh tanaman kopi dan tanaman coklat, serta beberapa tanaman kayu keras pelindung maupun pohon buah seperti Teep, Dapdap (Erythria sp), Nangka (Artocarpus integra), Bunut (Ficus sp) maupun Cempaka (Michelia champaca).

18

Page 19: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

Berdampingan dengan daerah Tuka yang juga merupakan perkebunan rakyat, Menghening membentuk celah/lembah dari utara ke arah selatan, dari hutan lindung sampai perbatasan wilayah Desa Wongaya Gede, Bengkel dan Batukambing.

Di bawahnya mengalir Sungai Mada yang hulunya di hutan lindung Batukaru. Merupakan daerah yang memiliki kontur landai sampai dengan kemiringan yang curam dengan hutan bambu petung dan bambu tali yang lebat disepanjang aliran sungai. Kandang habituasi dibangun di titik koordinat S 08o22’18.6” E 115o05’56.0” di atas tanah miliki salah satu warga desa, yaitu Gde Mastera dengan ukuran kandang panjang 20 meter, tinggi 10 meter dan lebar kandang 6 meter.

c. Tipe vegetasi, keberadaan jenis satwa, dan potensi pakan

Survei lapangan untuk mengetahui kondisi lokasi baik tentang vegetasi, jenis-jenis satwa dan keberadaan potensi satwa pakan dilakukan pada tanggal 17-26 Februari 2007 di beberapa titik di sekitar hutan dan Pura Batukaru, melibatkan PPS Bali, KSDA Bali dan masyarakat sekitar dari Kelompok Koperasi Prana Dewi.

Untuk melihat tipe vegetasi tanaman yang di sekitar lokasi kandang dilakukan pengambilan sampel penelitian di tiga titik lokasi yaitu Menghening, Tuka dan hutan adat pura Batukaru. Pada ketiga titik tersebut dilakukan pengambilan data dengan metode transek dengan membuat tiga buah garis transek masing-masing sepanjang 100 meter. Hasil dari data ini tidak mewakili keseluruhan hutan lindung maupun daerah perkebunan, namun hanya menunjukkan potensi tanaman yang berada di sekitar wilayah lokasi.

Dari setiap garis transek kemudian dibuat lagi plot-plot pengamatan dengan ukuran 20 x 20 meter, 10 x 10 meter, 5 x 5 meter dan plot ukuran 1 x 1 meter. Dari plot-plot ini kita mengambil catatan jenis, ukuran tinggi maupun diameter tanaman yang ada. Plot yang dibuat tersebut di dalamnya mewakili beberapa tipe dari tanaman yang ada di sekitar lokasi yaitu tanaman pada kelas pohon, yaitu tanaman dengan diameter batang lebih dari 20 cm, kelas tiang yaitu tanaman dengan

19

Page 20: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

Metode Pengambilan Sampel Transek Berpetak

Jalur Transek

( 100 meter )

Petak Ukur

Petak Ukur

Kelas Tiang = 10 x 10 meter

Kelas Pancang = 5 x 5 meter

Kelas Pohon = 20 x 20 meter

Kelas Semai = 1 x 1 meter

diameter batang lebih kecil dari 20 cm, kelas pancang yaitu tanaman dengan diameter kurang dari 10 cm dan tinggi kurang dari 3 meter, serta jenis tanaman semai atau tanaman penutup tanah yang banyak terdiri dari jenis rumput-rumputan. Menggunakan perumusan Soegianto (1994), maka kita mendapatkan perkiraan kelimpahan, frekuensi, kerapatan serta dominasi dari jenis tanaman yang berada disekitar lokasi.

Dari hasil transek di lokasi Menghening dan Tuka, tanaman jenis rumput Mentek-mentek yang memiliki kelimpahan paling tinggi (lihat tabel lampiran) dari tanaman kelas semai yang ada di sekitar lokasi. Sedangkan dari kelas tiang dan pancang yang mendominasi adalah jenis tanaman kopi dan cokelat. Tanaman kopi dan cokelat memang merupakan tanaman budidaya utama yang ditanam oleh masyarakat sekitar sehingga jumlah keberadaannya sangat banyak. Pada lokasi-lokasi terbuka, sering dijumpai hewan-hewan mamalia serta reptil seperti tupai, kadal maupun ular di sekitar lokasi. Hewan-hewan kecil tersebut terlihat memanfaatkan buah maupun batang tanaman untuk tempat berlindung, bermain, tempat berburu maupun bahan makanan bagi mereka.

Sedangkan jenis kelas pohon, jenis tanaman di sekitar Menghening dan Tuka didominasi tanaman-tanaman kayu keras hutan yang sengaja ditanam untuk upaya reboisasi sekitar lokasi. Keberadaan pohon-pohon tinggi ini sangat menguntungkan bagi pelepasliaran, yaitu dapat berfungsi sebagai alternatif tenggeran maupun pohon sarang setelah pelepasliaran. Tipe burung Elang Brontok adalah jenis elang gunung yang aktivitasnya lebih banyak bertengger. Termasuk pada saat mencari mangsa, burung ini dapat berburu mangsa dari tempatnya bertengger.

Untuk pengambilan data satwa dilakukan dengan melakukan pengamatan dan penjelajahan, baik dengan berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan bermotor. Pengambilan data dilakukan di beberapa titik lokasi yaitu perbatasan Desa Wongaya Gede, sekitar Pura Batukaru dan hutan adatnya, daerah Menghening serta Tuka di perbatasan wilayah hutan lindung. Dari informasi masyarakat sekitar juga diperoleh data-data penunjang baik tentang jenis satwa, keberadaan pakan ataupun kemungkinan adanya potensi hambatan. Potensi jenis-jenis satwa yang ada dicatat untuk mengetahui keragaman jenis yang ada di sekitar lokasi tetapi tidak dilakukan penghitungan jumlah/kepadatan masing-masing individu satwa pada masing-masing lokasi.

Jenis satwa yang ditemui dan teridentifikasi sebanyak 60 jenis burung, 4 jenis mamalia, 7 jenis reptil, 3 jenis insek, 2 jenis primata dan satu jenis dari keluarga amfibi (lihat tabel lampiran). Dari 60 jenis burung yang dicatat selama survei dilakukan, 6 jenis adalah merupakan jenis dari burung pemangsa, baik itu burung pemangsa penetap ataupun jenis burung pemangsa migran. Selama survei dijumpai sedikitnya 3 ekor individu Elang Ular (Spilornis cheela) yang oleh masyarakat sekitar disebut Kekelik, dengan asumsi bahwa yang dua ekor merupakan satu pasangan

20

Page 21: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

karena kemunculanya selalu bersama-sama baik ketika terbang meluncur, soaring maupun berburu di sekitar lokasi dan satu ekor lagi merupakan individu yang berbeda karena tidak pernah terlihat mau bergabung dan selalu terbang sendirian. Perjumpaan dengan jenis Elang Ular ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan jenis pemangsa lainnya, kemungkinan karena lokasi hutan di sekitar Pura Batukaru merupakan salah satu lokasi berburu makanan.

Jenis lain yang merupakan resident di lokasi namun jarang ditemui adalah Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk gelap dan Elang Hitam (Ictinaetus malayensis) atau dikenal dengan nama lokal Sikep. Elang Hitam yang dijumpai adalah individu yang masih muda terlihat dari warna bulu dada dan paha yang masih berwarna coklat pucat bercoret-coret kuning, dan terlihat terbang rendah berburu di ladang sekitar Menghening. Sedangkan Elang Brontok jarang dijumpai, karena sering dijumpai dalam posisi terbang jauh dari lokasi pengamatan.

Pada survei yang dilakukan pada akhir Januari 2007, telah mulai terlihat rombongan kecil dari burung pemangsa migran yang melakukan migrasi balik. Migrasi puncaknya terjadi pada bulan April dan Mei setiap tahunnya. Sebelumnya memang telah diketahui bahwa kawasan Pegunungan Batukahu menjadi salah satu jalur migrasi burung pemangsa setiap tahun, yaitu Oktober-Nopember dari Siberia menuju Indonesia bagian timur untuk melewatkan musim dingin dan berkembang biak selama musim panas di daerah mereka bermigrasi (Imansyah dkk. 2002). Dari 6 jenis raptor migran yang diketahui, 3 jenis teridentifikasi selama survei berjalan yaitu Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus), Elang-alap Cina (Accipiter soloensis) dan Elang-alap Nipon (Accipiter gularis). Ada kemungkinan bahwa daerah hutan sekitar Pura Batukaru dan hutan lindung menjadi daerah perching site dimana burung pemangsa migran bertengger, beristirahat, tidur maupun berburu mencari makan di sela-sela perjalanan. Oleh masyarakat sekitar jenis ini lebih dikenal sebagai Bulusan memang sering dijumpai di sekitar lokasi berburu mangsa berupa burung maupun mamalia kecil lainnya. Pertemuan pada saat pagi hari, saat matahari mulai naik dan burung pemangsa migran mulai terbang “soaring” berputar mencari panas matahari dan pada sore hari banyak yang terbang diatas tajuk-tajuk pohon mengidentifikasikan bahwa kemungkinan adanya pohon tidur “sleeping tree “ di sekitar lokasi.

Selain jenis burung pemangsa, jenis burung lain yang banyak diketemukan selama survei adalah dari keluarga merpati-merpatian (Columbidae) dan keluarga cucak-cucakan (Pycnonotidae). Kedua keluarga burung ini merupakan salah satu potensi pakan yang banyak terdapat di sekitar lokasi, selain sering dijumpai, jumlah populasinya pun besar. Keduanya merupakan jenis burung pemakan buah dan biji-bijian yang cenderung berkelompok dalam jumlah besar. Cucak Kurincang (Pycnonotus atriceps) dan Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) banyak dijumpai di daerah perkebunan pinggiran desa yang masih jauh dengan hutan. Namun sebaliknya dengan Empuloh Janggut (Alophoixus bres), lebih sering diketemukan dalam kelompok-kelompok kecil maupun sendiri diperkebunan kopi yang berbatasan langsung dengan hutan. Jenis ini sering terlihat memakan biji-biji buah kopi yang sudah masak diatas pohon. Selain biji-bijian kopi, biji dari pohon Bunut (Ficus sp) juga merupakan makanan bagi burung. Delapan jenis burung dari keluarga merpati-merpatian Punai Penganten (Treron griseicauda), Punai Gading (Treron vernans), Pergam Hijau (Ducula aenea), Pergam Ketanjar (Ducula rosacea), Uncal Buau (Macropygia emiliana), Uncal Kouran (Macropygia ruficeps), Tekukur (Streptopelia chinensis) dan Delimukan Zamrud (Chalcophaps indica).

Jenis satwa lain yang dijumpai dan berpotensi menjadi pakan alami elang adalah mamalia kecil seperti Bajing Kelapa (Callosciurus notatus), Tikus Ladang (Rattus exulan) sampai beberapa jenis binatang melata seperti Ular Air, Ular Sawah, Kadal (Mabuya multifiscata) dan Bunglon (Bronchocela jubata). Dari segi lokasi, perkebunan luas dengan tanaman dominan kopi, cokelat

21

Page 22: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

dan dominasi tanaman penutup tanah berupa rumput-rumputan merupakan tempat yang cocok bagi kehidupan satwa yang berpotensi menjadi mangsa elang. Ladang menyediakan pakan yang melimpah bagi berbagai jenis mamalia kecil

maupun reptil.

Di samping itu, berdasarkan kesaksian warga, masih sering dijumpai beberapa jenis primata di sekitar Menghening, Tuka maupun hutan lindung. Primata dari jenis Monyet Ekor Panjang (Macaca fasicularis) dan Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) berada di perbatasan antara ladang dan hutan. Monyet Ekor Panjang atau Bojog bagi masyarakat peladang sekitar hutan merupakan salah satu hama tanaman yang merusak tanaman, karenanya masih terjadi sebagian warga masyarakat mengusir monyet menggunakan senapan angin. Sedangkan “Ijah” sebutan masyarakat untuk Lutung, semakin lama terdesak masuk ke dalam hutan, dan sudah mulai jarang dijumpai.

d. Tingkat ancaman dan gangguan

Aktivitas masyarakat desa sebagai petani sawah dan ladang menuntut mereka untuk bekerja dan beraktivitas di sekitar hutan. Namun dengan semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat, aktivitas mereka tidak mengganggu kelestarian hutan dan alam di sekitar lokasi.

Pengambilan kayu untuk dijual ataupun untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan adalah berasal dari hasil ladang masing-masing warga, baik itu kayu-kayu bongkaran tanaman kopi maupun Dapdap yang dahulunya merupakan tanaman pelindung. Kegiatan pengambilan kayu secara ilegal oleh masyarakat sekitar lokasi tidak terjadi karena adanya kesepakatan di antara masyarakat untuk tidak mengambil kayu hutan secara sembarangan.

Ancaman yang masih ada adalah masih banyaknya peredaran senjata senapan angin di sebagian warga masyarakat. Walaupun rata-rata pemilik senjata merupakan peladang yang mempergunakan senjatanya untuk mengusir monyet dari sekitar ladangnya, namun masih ada pemilik senapan yang mengunakannya untuk berburu satwa, terutama burung di sekitar lokasi. Sempat juga dijumpai tanglung jerat dari tali dan kawat yang dipasang untuk menjerat satwa yang melewatinya, biasanya digunakan untuk jerat ayam hutan, rusa maupun babi hutan.

4. Pengamatan Perilaku

Pengamatan perilaku pada elang yang akan dilepasliarkan di alam dimulai sejak pertama kali datang ke PPS Bali. Kegiatan ini sekaligus sebagai seleksi awal terhadap individu sebelum dilanjutkan dengan tahapan persiapan berikutnya. Pengamatan dilakukan pada fasilitas kandang yang berbeda sesuai dengan perlakuan terhadap individu.

Hasil Pengamatan

1. Kedatangan dan masa karantina (19 Juli 2005)

Pada saat pertama datang, elang ditempatkan di kandang kecil atau ruang karantina kecil ukuran 75 x 75 cm untuk memudahkan dalam pemeriksaan umum dan medis. Pada kondisi ini diberikan pakan yang tidak jauh berbeda dengan pemeliharaan sebelumnya, agar

22

Page 23: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

elang tidak stres karena perubahan pakan yang mendadak. Pakan diberikan dalam bentuk cacahan daging kecil.

Observasi umum sudah mulai dilakukan di kandang kecil untuk memberi gambaran langkah perlakuan selanjutnya.

2. Pemindahan ke kandang reptil berpasangan (14 Agustus 2005)

Dari kandang karantina, setelah cukup dilakukan evaluasi medis dan perkembangan fisik, perilaku satwa diamati cukup bagus, maka elang dipindahkan ke dalam kandang yang lebih besar berukuran plt: 2 x 2 x 1,5 m. Pemindahan ini juga sekaligus penggabungan kedua individu menjadi satu agar bisa dilihat perkembangannya.

Perlakuan pakan sudah mulai diarahkan pada pengenalan makanan alami, seperti tikus, kadal maupun katak. Pemberian pakan ini bertahap dari jenis pakan yang dimatikan, dilemahkan dan jenis pakan hidup. Hal ini untuk mengasah insting berburu pakan alaminya. Demikian juga dengan penambahan enrichment

kandang berupa tenggeran kayu dari ketinggian rendah sampai menengah untuk mengetahui kemampuan burung dalam memanfaatkan ruang dan pemilihan tempat bertengger.

3. Pemindahan ke kandang kubah besar (15 April 2006)

Tahap selanjutnya adalah memindahkan kedua elang ke kandang kubah yang lebih besar untuk memantau perkembangan fisik dan perilaku, serta melakukan penambahan perlakuan atau enrichment untuk meningkatkan kemampuan alami elang. Kandang yang digunakan berbentuk kubah dari bahan besi galvanis dengan ukuran plt: 30 x 6 x 9 m.

Untuk melatih perilaku alami dan memberi kesan alami di dalam kandang, maka semua unsur besi dilapisi dengan tali goni serta diberi tenggeran kayu dengan tingkat ketinggian berbeda mulai dari rendah, sedang, tinggi, top level. Disediakan juga sarang buatan pada

tempat yang paling tinggi. Pemberian pakan dilakukan dengan memberikan pakan alami yakni mangsa hidup dengan tingkat kecepatan gerakan mangsa yang berbeda seperti kadal, bajing, tikus maupun ular kecil.

Selama dalam kandang kubah, campur tangan manusia mulai banyak dikurangi dan sudah mulai dilakukan penilaian/observasi intensif terhadap kedua individu elang. Beberapa hal yang diamati selama observasi adalah:

- Perilaku alami seperti cara terbang, menelisik, bersuara - Pemanfaatan ruang kandang (posisi bertengger): di tanah, tenggeran rendah, menengah atau

top level. - Kemampuan berburu dan mengenali mangsa yang diberikan. - Kecepatan berburu (mulai dari mengawasi mangsa sampai terbang untuk menangkap

mangsa) dan akurasi berburu. - Penandaan teritori: mengusir individu lain - Pemanfaatan ruang untuk makan: makan di tanah atau di tenggeran. - Interaksi dengan sekitar, terutama manusia

Setelah observasi pada periode tertentu, dilakukan evaluasi terhadap pemberian perlakuan, individu satwa dan lingkungan sekitar kubah. Dilakukan pula perubahan-perubahan maupun penambahan terhadap enrichment dan perlakuan selama elang di kandang.

Penggantian cabang-cabang artificial (buatan) untuk mengurangi resiko penyakit juga dilakukan. Demikian juga dengan pemindahan cabang artificial supaya elang tidak terpaku pada

23

Page 24: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

satu atau dua tempat saja, penggantian sarang buatan dengan batang kayu besar, pemindahan sarang buatan calon mangsa (mobile), pemberian pakan alami tidak diketahui elang (lewat lubang tertutup yang langsung masuk ke sarang buatan) atau pada malam hari.

Pembatasan interaksi dengan manusia dilakukan melalui pembatasan interaksi dengan staf animal keeper. Cara ini dilakukan untuk mengurangi frekuensi perjumpaan dengan manusia, melakukan upaya menyembunyikan mangsa pada saat pemberian pakan. Manusia (animal keeper) yang mendekat ke kandang harus memakai masker dan wearpack dengan warna alami atau warna yang sama dengan sebelumnya. Hal ini dilakukan agar elang tidak terbiasa mendekat dengan manusia terutama pada saat dilepasliarkan ke alam.

Berdasarkan hasil pengamatan, kedua ekor elang tersebut -Timba dan Timbi- dari segi perilaku alami sudah tampak membaik. Kecenderungan untuk memanfaatkan ruang atas dengan memanfaatkan tenggeran di atas dan perlakuan pakan yang selalu di atas dapat dijadikan salah satu indikatornya. Pergerakan aktif ke seluruh bagian kandang serta nampak sering bertengger dan bersuara berpasangan. Tidak tampak tanda-tanda agresi dari keduanya terhadap satu dan lainnya, sebagaimana sifat alami dari Elang Brontok yang cenderung teritorial.

5. Sosialisasi Masyarakat

Sosialisasi kepada masyarakat Desa Wongaya Gede telah dilaksanakan melalui dua metode, yaitu secara informal dan formal. Sosialisasi informal dilaksanakan pada tanggal 24 Desember 2006 dan 11 Januari 2007 melibatkan Kelompok Tani Prana Dewi, Desa Wongaya Gede. Kelompok tani beranggotakan 20-30 orang petani penggarap. Kelompok tani tersebut memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pelestarian hutan, sebagaimana ditunjukan dalam partisipasi mereka pada berbagai kegiatan pembibitan dan penanaman kembali hutan Batukaru.

Pertemuan pertama dimaksudkan untuk menjelaskan maksud dan tujuan program, manfaat bagi masyarakat, serta tahapan kerja. Umumnya mereka antusias menyambut program release ini, mengingat makin jarangnya warga menjumpai satwa-satwa langka, termasuk

Elang Brontok di kawasan hutan tersebut. Pada pertemuan kedua disepakati adanya kerjasama program antara PPS Bali sebagai pelaksana dan penanggung jawab teknis Program dengan kelompok tani sebagai mitra lokal untuk membantu teknis kegiatan selama di lokasi, seperti pembangunan kandang habituasi, perawatan satwa selama habituasi, seremoni release, hingga monitoring paska release. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam sebuah Nota Kesepakatan Kerjasama yang ditandatangani pada tanggal 11 Januari 2007.

Selain itu, sosialisasi formal telah dilakukan kepada Kepala Desa Wongaya Gede dan para perangkat desa pada tanggal 24 Januari 2007 oleh BKSDA Bali dan PPS Bali. Kesempatan ini sekaligus dimaksudkan untuk meminta dukungan Kepala Desa untuk penyelenggaraan sosialisasi yang melibatkan sejumlah warga yang lebih besar sebagaimana yang telah dilaksanakan pada program-program release sebelumnya. Namun mengingat adanya rencana pemilihan kepala desa dalam waktu dekat, maka rencana ini ditangguhkan sampai selesainya kegiatan tersebut. Sedangkan kegiatan sosialisasi terhadap desa-desa sekitar dilaksanakan pada tanggal 1-14 Pebruari 2007.

6. Habituasi

Habituasi adalah penempatan satwa dalam suatu kandang buatan tidak permanen sebelum satwa dilepasliarkan, habituasi merupakan masa pelatihan yang sebenarnya bagi satwa sebelum lepas bebas kembali ke alam, yaitu periode dimana satwa akan berhadapan langsung dengan kondisi alam dimana mereka akan dilepaskan.

24

Page 25: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

Merujuk pada standar IUCN, elang selanjutnya ditempatkan dalam kandang habituasi. Kandang habituasi terbuat dari bahan yang tidak berbahaya bagi satwa, seperti: bambu, kayu, dan jaring, serta dapat dibongkar pasang atau tidak permanen dan bahan tidak mudah rusak.

Kandang habituasi berfungsi untuk menempatkan satwa sebelum dilepaskan, tempat memulihkan kondisi tubuh satwa setelah perjalanan/pengangkutan, memperkenalkan satwa dengan kondisi lingkungan sekitar, tempat melatih/mengembalikan perilaku alami satwa.

Rujukan: MINIMUM STANDARDS FOR WILDLIFE REHABILITATION International Wildlife Rehabilitation Council dan National Wildlife Rehabilitators Association

Species Restricted Activity (inch)

Limited Activity (feet)

Unlimited Activity (feet)

Red-tailed Hawk 16" x 27" x 22" 6' x 8' x 8' 10' x 50' x 12'

Kegiatan selama masa habituasi satwa adalah: - pemberian pakan - pemantauan kondisi fisik dan kesehatan satwa - pengamatan perilaku satwa - memberikan perlakuan/pelatihan untuk peningkatan kualitas bagi satwa yang akan

dilepasliarkan - perawatan dan penanganan satwa apabila diperlukan. Hasil dan Pembahasan:

Pembangunaan kandang habituasi.

1. Pembangunan Kandang Habituasi

Kandang habituasi dibangun areal peladangan Mengening, + 400 m arah Barat Pura Batukaru. Kandang habituasi yang disiapkan untuk 2 ekor Elang Brontok hanya satu kandang di satu lokasi, karena kedua Elang Brontok yang akan dilepaskan sudah dalam satu kelompok selama dalam rehabilitasi di PPS Bali. Kandang habituasi berukuran plt: 20 x 6 x 10 m, terletak di atas tanah datar dikelilingi ladang dengan kemiringan hingga 45o dan anak

sungai dangkal dengan lebar + 2 m.

Pemilihan lokasi dan bentuk kandang merupakan salah satu cara pelatihan dari elang rehabilitan yang akan dilepasliarkan kembali di alam. Dengan membuat kondisi kandang yang sepenuhnya berada di atas tanah datar, memungkinkan elang akan lebih leluasa dan akan terlatih melakukan manuver dalam berburu. Penempatan beberapa titik tenggeran dari cabang-cabang dan ranting pohon serta kayu mati yang ada di sekitar kandang berguna untuk melatih pemanfaatan ruang oleh elang, dari tenggeran dekat tanah permukaan sampai tenggeran teratas. Untuk mengurangi panas dan terik matahari, di beberapa atap jaring diberi peneduh dengan paranet, terutama di atas tenggeran.

Pembangunan kandang habituasi memakan waktu 8 (delapan) hari kerja yaitu mulai tanggal 20-28 Januari 2007, dimulai dengan pemotongan bambu di sekitar areal kandang. Dibutuhkan sekitar 7 - 10 bambu petung berdiameter 15 - 20 cm, panjang rata-rata 12 m dan bambu tali berdiameter 8 - 10 cm sebanyak 15 - 20 batang.

25

Page 26: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

26

BKSDA BALI PPS BALI

Spesifikasi Kandang Habituasi • Jumlah kandang : 1 buah • Bentuk : kotak • Ukuran : panjang 20 m, lebar 6 m, tinggi 10 m • Bahan : bambu petung, bambu tali, jaring, tali manila, kayu, paranet • Penempatan : tanah datar • Enrichment : pohon kopi dan cabang kayu untuk tenggeran, peneduh dari paranet, tempat minum dari bambu

Pemasangan pintu kandang habituasi. Kandang habituasi, dengan pintu release yang siap digunakan

Kandang habituasi, tampak dari pondok pengamatan.

Page 27: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

27

BKSDA BALI PPS BALI

2. Evakuasi satwa ke kandang habituasi

Setelah kandang habituasi selesai dibangun, selanjutnya kedua elang siap dipindahkan dari fasilitas perawatan di PPS Bali, Tabanan ke kandang habituasi di Mengening, Wongaya Gede. Pemindahan (evakuasi) ke lokasi kandang dilakukan pada tanggal 30 Januari 2007. Kedua elang sebelumnya telah dipindahkan dari kandang besar (kandang raptor) ke kandang yang lebih kecil (kandang reptil), segera sesudah pemasangan wingmarker dan transmitter pada tanggal 15 Januari 2007, untuk pemulihan stress dan memudahkan pemindahan ke kandang angkut.

Dimulai pada pukul 08.30 wita, yaitu setelah pemberian pakan pada pagi hari, kedua elang dipindahkan ke dua kandang angkut. Selanjutnya pada pukul 11.30 wita, menggunakan kendaraan patroli milik BKSDA Bali, seluruh tim PPS Bali dan BKSDA Bali berangkat menuju Pura Batukaru untuk mengadakan upacara atur piuning memohon kelancaran kegiatan kepada Ida Sang Hyang Widhi asa, sebelum

elang dilepaskan di kandang habituasi.

Setelah tiba di lokasi kandang, sekali lagi dilakukan upacara adat untuk memohon keselamatan pada kedua burung yang akan menempati lokasi barunya. Pada tanggal 30 Januari 2007 pukul 13.55 wita, petugas BKSDA Bali melepas satwa dari kandang angkut ke kandang habituasi.

Elang tiba di lokasi haituasi. Tim Pelaksana bersembahyang di Pura Batukaru berdoa memohon kelancaran kegiatan.

3. Observasi perilaku selama masa habituasi

Pengambilan data perilaku elang di dalam kandang habituasi dilakukan dengan menggunakan metode AdLibithum Sampling Method (Altman, J. 1973) dikombinasikan dengan tabel modifikasi dari Panduan Perilaku Burung Pemangsa di TNGH (Prawiradilaga, Dewi. et all. 2003).

Secara umum, kondisi lingkungan sekitar kandang habituasi merupakan daerah perkebunan campuran seperti kopi (Cofea sp), coklat (Cacau sp), cengkeh (Syzygium aromatica), pisang (Musa sp). Ketinggian lokasi ± 750 m dpl yang cenderung bercurah hujan tinggi, terutama selama masa habituasi pada Januari-Februari 2007 dengan fluktuasi suhu 22oC terendah (malam hari) dan tertinggi 26oC (siang hari). Perubahan cuaca di lokasi cukup cepat terjadi, ditandai dengan penutupan awan atau kabut tebal dan digantikan dengan panas matahari.

Page 28: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

Tikus putih Katak

Sesuai dengan tujuan habituasi, selama tahap ini dilakukan pengamatan perilaku dan perlakuan-perlakuan di dalam kandang terhadap individu. Perlakuan-perlakuan tersebut merupakan bentuk pelatihan untuk meningkatkan kondisi individu, mempertajam insting alami individu. Pengurangan maupun penambahan enrichment dalam kandang, penyesuaian pola pakan dan variasi jenis pakan dilakukan selama elang berada di dalam kandang habituasi.

Dua minggu awal berada di kandang, pengamatan difokuskan terhadap daya adaptasi elang terhadap kondisi lingkungan, terutama dengan cuaca yang berbeda dari kondisi di lingkungan awal di fasilitas Pusat Penyelamatan Satwa Bali, Tabanan. Diamati bagaimana elang mampu mengenali tempat bertengger, posisi shelter pelindung dan bagaimana individu memanfaatkannya. Selama periode ini sudah mulai terlihat perbedaan karakter kedua ekor burung tersebut. Salah satu individu, Timbi, lebih cepat memanfaatkan tenggeran pada cabang-cabang atas dan lebih cepat mengetahui cabang mana yang memiliki shelter perlindungan ketika cuaca panas maupun hujan, sedangkan Timba masih cenderung memanfaatkan tenggeran bawah.

Untuk menjaga kondisi kesehatan burung, selama masa awal adaptasi ini (dua minggu) maka pemberian pakan dilakukan secara teratur siang dan sore hari. Pakan yang diberikan berupa tikus putih sebanyak enam sampai delapan ekor tikus setiap pemberian. Selain untuk memastikan burung mendapatkan suplai pakan, sekaligus dimaksudkan sebagai pelatihan langsung bagi individu terhadap perilaku mendapatkan pakan. Mulai nampak bagaimana respon individu terhadap ketika pakan dimasukkan ke dalam kandang, lama pengamatan mangsa, cara menangkap dan menangani mangsa.

Pakan yang diberikan selama masa habituasi bervariasi, selain tikus putih diberikan juga katak, kadal, maupun burung. Tentu saja, perbedaan jenis pakan akan mempengaruhi tingkat kesulitan penangkapan oleh individu. Pemberian pakan yang bervariasi juga dimaksudkan untuk melatih individu, baik dalam pengenalan mangsa alami maupun

kemampuan berburu. Dengan jenis pakan yang berbeda, individu akan belajar menyesuaikan cara penanganan mangsa berdasarkan jenis dan

ukuran mangsa. Seperti, katak dan tikus putih relatif tidak sulit ditangkap, karena perilaku keduanya yang cenderung pasif, tidak banyak bergerak dan pergerakannya lamban, sedangkan jenis kadal memiliki pergerakan lebih cepat. Pemberian pakan berupa burung dilakukan dalam kondisi tertentu, yaitu jika terdapat burung-burung liar yang menabrak atau tersangkut jaring kandang, seperti Punai Gading, Uncal Kauran maupun Delimukan Zamrud.

Selama observasi, terlihat bahwa Timba lebih lama mengamati mangsa yang sudah dimasukkan ke dalam kandang, dan dalam penanganan mangsa Timba lebih cenderung melakukan di bawah (di atas tanah).

Respon sebaliknya diperlihatkan oleh Timbi yang lebih cepat dari pada Timba. Pada akhir minggu kedua bulan Februari 2007, Timbi sudah menunjukkan banyak perkembangan, terutama pada kondisi dan aktivitas hariannya. Penguasaan terhadap tempat/tenggeran atas, orientasi perpindahan tempat antar tenggeran, cara terbang yang mulai ringan mengepakkan sayap, menelisik bulu serta aktif mengeluarkan suara keras. Perkembangan perilaku dari Timba cenderung lebih lambat terutama dalam hal orientasi terbang antar tenggeran, sehingga seringkali terbentur dinding jaring saat harus terbang pindah tenggeran.

4. Observasi perilaku melalui pengumpulan data kuantitatif

Untuk memperoleh data perilaku harian kedua ekor elang yang ada di kandang habituasi, observasi harian dilaksanakan pada Maret 2007 selama 14 hari dengan total pengamatan sebanyak 89 jam. Total prosentase perilaku harian dari kedua ekor elang selama di dalam kandang habituasi tidak terlalu jauh berbeda. Sebagian besar waktu dari kedua ekor elang dihabiskan untuk

28

Page 29: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

bertengger, lebih dari 72% dari waktu selama pengamatan. Perilaku yang diamati terdiri dari perilaku saat bertengger, pergerakan, dan interaksi antara individu elang (berupa perilaku agresi).

29

PROSENTASE PENGAMATAN PERILAKU TIMBA ”Total ... tercatat 620 perilaku, dengan prosentase perilaku terbanyak pada perilaku

bertengger yaitu sebanyak 72,26% (448), diikuti perilaku perpindahan sebanyak 24,68% (153), dan perilaku agresi sebanyak 19 (3,06%). ”

Perilaku individu ”Timba”

atan, terhadap individu Timba secara keseluruhan tercatat 620 perilaku

n menengok ke kanan-kiri, perilaku bertengger lain yang teramati adalah menelisik (8,7%)

asi) berfungsi untuk memper

PROSENTASE PERILAKU menelisik

BERTENGGER TIMBA menengok

mengamati mangsa

makan 0% 9%14% minum

Berdasarkan pengam (selengkapnya lihat lampiran), dengan prosentase perilaku terbanyak pada perilaku

bertengger yaitu sebanyak 72,26% (448), diikuti perilaku perpindahan sebanyak 24,68% (153), dan

perilaku agresi sebanyak 19 (3,06%). Sedangkan dari perilaku bertengger, sebanyak 276 (61,61%) merupakan perilaku bertengger diam menengok kanan dan kiri. Perilaku mengamati kondisi lingkungan sekitar adalah cara untuk mencegah kehadiran kompetitor atau burung pemangsa lain. Perilaku ini merupakan bentuk insting perlindungan individu terhadap daerah teritorinya, yang kadang sulit dibedakan dengan perilaku searching (pengamatan mangsa). Pengamatan individu terhadap mangsa dimasukkan ke dalam parameter lain di dalam tabel karena pada saat pengamatan mangsa, perilaku yang diamati adalah ketika elang sudah benar-benar menemukan dan mengamati mangsa sebelum terbang menyambarnya. Besarnya prosentase diam menengok kanan kiri juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca di sekitar lokasi yang sering berkabut dan hujan, sebaliknya elang yang aktif pada siang hari maupun saat terik matahari, cenderung diam dan tidak banyak beraktivitas.

Selaiuntuk mencari kutu, menyisir atau meminyaki bulu. Jarangnya frekuensi preening

(menelisik bulu) karena umumnya perilaku ini dilakukan pada saat cuaca cerah-panas, sedangkan kondisi tersebut jarang ditemui di lokasi yang hampir setiap hari turun hujan.

Bertengger sambil bersuara (vokalistahankan teritorinya melalui bentuk isyarat peringatan

(alarm call) kepada individu lain. Selama observasi, Timba tampak memiliki vokalisasi lebih lama dibandingkan Timbi, walaupun pada saat akhir masa pengamatan prosentase vokalisasinya keduanya hampir sama. Vokalisasi juga terlihat pada saat muncul perilaku agresi, baik menyerang maupun mempertahankan diri. Pada akhir periode habituasi, kedua

63%

2% 4%

0% 1%

0% 0% 3% 0%

4% 0% berak

menggosok paruh

rentang sayap

mengpakan sayap

menggaruk leher

menggoyangkan badan

menggoyangkan ekor

bersuara keras

bersuara pelan

Page 30: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

individu nampak sering menunjukan vokalisasi secara bersautan. Namun hal ini tidak dapat disimpulkan sebagai perilaku untuk saling menarik perhatian individu lain, sebab tidak terlihat perilaku lain seperti perkawinan atau pengumpulan ranting untuk sarang. Demikian pula dengan perilaku kedua individu bertengger pada satu tenggeran yang sama, yang hanya terlihat tiga kali.

Pengamatan harian pada perpindahan individu adalah meliputi terbang antartenggeran, tengger

miliki kecenderungan berada di bawa

dalam perpindahan dari tengg

emanfaatan ruang, Timba cenderung berperilaku untuk berada pada tenggeran bawah d

bi, namun

ga disebabkan oleh perkembangan dari reaksi Timbi yang sering kali lebih ce

an dengan tanah, berjalan, berlari dan meloncat di atas tanah.

Selama observasi, Timba meh, yaitu sering memanfaatkan tenggeran bawah dan berada

(berdiri) di atas tanah. Terutama dalam pergerakan untuk berburu dan menangkap mangsa, masih sering Timba bergerak mengejar mangsa dengan berjalan diatas tanah (11%). Biasanya perburuan mangsa diawali dari atas tenggeran, tetapi kemudian individu lebih banyak mengejar mangsa dengan berjalan di atas tanah. Dalam hal orientasi jarak terbang, Timba masih mengalami kesulitan, sering eran satu-ke tenggeran lain (misalnya sebagai reaksi kehadiran

manusia atau pada saat agresi), individu sering membentur jaring sebelum mendapatkan tenggeran lain untuk berpijak.

Dalam hal pan di atas tanah, yaitu 21% aktivitas di atas tanah dan 18% untuk pemanfaatan tenggeran

bawah, terutama pada saat berburu dan menangani mangsanya. Perilaku ini teramati umumnya ketika sekitar lokasi sudah dalam kondisi benar-benar sepi dari aktivitas manusia. Pada saat tidur, Timba lebih banyak memanfaatkan tenggeran bagian atas pada waktu malam hari.

PROSENTASE PERILAKU

51%

12%

15%

06%

11%

BERPINDAH TIMBA berpindah 1

0% 0% 5% berpindah 2

berpindah 3

% berpindah 4

berpindah 5

berpindah 6

berpindah 7

berpindah 8

sambar mangsa

Meskipun secara umum perilaku harian Timba kurang aktif dibanding dengan Timdalam interaksi di antara kedua elang, dominasi lebih besar ditunjukkan Timba,

sebagaimana terlihat dari pola menyerang yang sering dilakukan Timba (84%). Agresi ini terutama berkaitan dengan perebutan pakan. Pola pelatihan pemberian pakan secara acak, dan kadang kala diselingi puasa (diet) menimbulkan persaingan makanan di antara kedua individu tersebut. Akibatnya, muncul pula pola-pola pertahanan diri dan mempertahankan mangsa setelah berhasil memperoleh makanannya.

Pola merebut ini jupat dalam mengamati dan menangani mangsa yang diberikan oleh observer maupun pakan

yang alami yang diperoleh di dalam kandang.

30

Page 31: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

Perilaku individu ”Timbi ”

Prosentase peyang ditunjukkan Tbertengger, 251 (25,7tercatat lebih banyak ini terlihat sejak dari cepat daripada Timbatenggeran bagian atas

Aktivitas perg70% dari total keselutanah maupun terbanmelakukan aktivitas amangsa, insting alamsaat dari tenggeran. Bmenunjukkan kemamp

Perkembanganpemanfaatan ruang, yberarti sudah nampakkemungkinan ganggumemanfaatkan tenggelebih Timbi dalam cabaginya untuk makan.

Total jumlah perp

20%

3% 3% 0% 0% 0%

2% 0% 1% 1% 1%

PROSENTASE PENGAMATAN PERILAKU TIMBI ilaku teramati adalah 973, dengan perincian perilaku bertengger 703 (72,25%), erilaku perpindahan 251 (25,79%) dan agresifitas 19 (1,95%).

rilaku harian dari Timbi tidak berbeda jauh dengan prosentase perilaku harian imba (selengkapnya lihat lampiran), sebanyak 703 (72,25%) perilaku 9%) perpindahan tempat dan 19 (1,95%) perilaku agresif. Aktivitas harian pada Timbi karena perilakunya yang lebih aktif selama masa habituasi. Hal awal masa habituasi dimana adaptasi Timbi terhadap tempat barunya lebih . Adaptasi pada kondisi lingkungan kandang, pemanfaatan cabang-cabang dan vokalisasi bersuara pada minggu kedua masa habituasi.

erakan Timbi, berupa perpindahan terbang antar tenggeran cenderung tinggi ruhan perilaku perpindahannya dan hanya sedikit sekali pergerakan di atas g dari tenggeran ke tanah. Hal ini menunjukkan kemampuan Timbi untuk laminya dan memanfaatan ruang. Begitu pula dalam hal berburu menyambar inya tampak lebih dominan dibanding Timba, khususnya menyambar pada agi jenis elang tipe pemburu seperti jenis Elang Brontok, perilaku Timbi ini uan yang cukup baik.

positif lain yang nampak pada perilaku harian Timbi adalah dalam hal aitu sebanyak 87% menggunakan tenggeran cabang atas yang ada, yang

insting alaminya untuk memanfaatkan tempat yang aman bagi dirinya dari an. Begitu pula dalam hal menangani mangsa, yang lebih banyak

ran atas (74%) sebagai tempat makan. Hal ini memperlihatkan kemampuan ra berburu, terbang membawa mangsa dan mendapatkan lokasi yang aman

PROSENTASE PERILAKU BERTENGGER TIMBI menelisik

menengok 1% 10% mengamati mangsa

31

PROSENTASE PEMANFAATAN RUANG TIMBI

8% 5%

87%

tanahcabang bawah cabang atas

makan minum

58%

berak gosok paruh rentang sayap kepak sayap menggaruk lehermenggoyangkan badanmenggoyangkan ekorbersuara keras bersuara pelan

Page 32: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

Perkembangan insting alami Timbi selama masa habituasi, secara umum lebih cepat dari Timba, aktivitas harian yang terpantau lebih cepat meningkat, mendekati perilaku alami. Timbi lebih cepat menemukan tempat/ruang tenggeran yang memiliki shelter perlindungan dan memanfaatkannya dalam kondisi panas maupun hujan. Kemampuan berburu pakan alam yang berada di sekitar lokasi juga nampak lebih baik. Berdasarkan beberapa kali pengamatan, terlihat secara jelas mampu berburu dan mendapatkan mangsa berupa kadal, ular kecil, maupun tupai (saat terakhir masa habituasi). Bahkan Timbi pernah terlihat memperoleh mangsa ular kecil di dalam kandang.

Secara keseluruhan, faktor cuaca dan kondisi sekitar lokasi, selama masa habituasi sangat mempengaruhi kondisi aktivitas perilaku harian dari kedua individu elang. Dimana cuaca sering mendung dan hujan sehingga terutama perilaku pergerakan dari elang lebih sedikit dan lebih banyak bertengger.

Pada pertengahan masa habituasi, terjadi perubahan iklim yang cukup besar di sekitar kawasan hutan Batukaru, ditandai dengan datangnya musim angin hingga ke lokasi habituasi. Demi pertimbangan keselamatan kedua elang, maka pada tanggal 9-13

Mei 2007 kedua elang dipindahkan (dievakuasi) dari kandang habituasi ke lokasi yang aman di perkampungan Desa Wongaya Gede.

7. Pelepasliaran

Mengembalikan ke alam - Keuntungan

Ada keuntungan-keuntungan mengembalikan satwa-satwa sitaan ke alam/habitat alaminya, asalkan prasyarat medis, genetis dan pemeriksaan lainya dilaksanakan dengan baik dan program pemantauan paska pelepasan dikembangkan. (as per IUCN 1998).

a) Dalam situasi-situasi dimana populasi yang ada benar-benar terancam, re-introduksi mungkin meningkatkan potensi konservasi jangka panjang spesies secara keseluruhan, atau dari suatu populasi lokal spesies itu

b) Pengembalian kembali ke alam membuat pernyataan politis/ pendidikan yang kuat menyangkut nasib satwa-satwa itu dan mungkin mempromosikan nilai-nilai konservasi lokal. Namun demikian, sebagai bagian dari program pendidikan atau kepedulian masyarakat, biaya-biaya dan kesulitan-kesulitan menyangkut pelepasan kembali ke alam harus menjadi fokus perhatian.

c) Spesies yang dikembalikan ke alam memiliki kemungkinan meneruskan dan memainkan peranan-peranan ekologis dan biologis mereka.

Sumber: Panduan IUCN untuk Penempatan Satwa Sitaan

Setelah tahap habituasi berhasil dilalui, maka elang siap dilepasliarkan. Kegiatan pelepasliaran ditandai dengan pembukaan jaring penutup kandang habituasi. Kandang habituasi sendiri telah dirancang sedemikian rupa sehingga jaring dapat terbuka lebar dan tidak membahayakan satwa (dari kemungkinan terjerat). Meskipun kegiatan ini bertujuan untuk memberi kesempatan elang terbang keluar, tetapi tidak diperlukan tindakan (perlakuan) tertentu untuk memaksa elang agar meninggalkan kandang, seperti memaksa, menakut-nakuti elang dengan kayu atau bambu, karena hal ini akan sangat membahayakan keselamatan elang, sekaligus menghindari terjadinya stres pada elang.

Pelepasliaran dilaksanakan melalui serangkaian acara seremonial yang dilakukan secara terpisah dari kandang, yaitu di Wantilan Pura Batukaru pada tanggal 1 April 2007. Hadir dalam acara ini antara lain pejabat Dit. KKH Ditjen PHKA Dephut, Kepala Bapedalda Propinsi Bali,

32

Page 33: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

Wakil Bupati Tabanan, Kepala BKSDA Bali, Direktur BaliPost Group. Hadir pula jajaran birokrasi terkait Pemda Bali dan Kab. Tabanan, pimpinan dan karyawan BaliPost, staf BKSDA Bali, staf PPS Bali, prajuru (pengurus) adat, pengempon pura, dan tokoh warga setempat.

Seremoni dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran khususnya warga di kawasan Pura Batukaru akan pentingnya pelestarian satwa, terutama berkaitan dengan pelestarian hutan Batukaru sebagai salah satu mata rantai penting ekosistem besar Pulau Bali. Pada kesempatan tersebut, juga dipaparkan berbagai persiapan yang harus dilalui dan pentingnya mengikuti dan menerapkan prosedur standar pelepasliaran satwa. Hasil yang diharapkan dari acara ini adalah meningkatnya kesadaran warga sekitar kawasan untuk menjaga kelestarian hutan berikut satwa-satwa di dalamnya, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran konservasi satwa dilindungi

dan kawasan kepada para pejabat daerah (propinsi dan kabupaten), khususnya dalam penerapan prosedur-prosedur standar ilimiah pada pelepasliaran satwa dilindungi. Mereka diharapkan menyadari bahwa dengan begitu sulitnya melepaskan kembali satwa-satwa ke alam, maka penangkapan satwa dari habitat seharusnya dapat dikurangi. Kepada para pejabat dan tokoh masyarakat diharapkan pula memberi teladan agar tidak dengan mudahnya melepasliarkan satwa yang belum melalui persiapan (seperti pemeriksaan medis, perilaku, habitat, dll) pada acara-acara seremonial –sebagaimana selama ini sering terjadi di Bali- karena akan berdampak pada banyak hal: penularan penyakit, kemampuan hidup satwa setelah dilepasliarkan, dampak ekologi pada lokasi pelepasliaran, dll. Pada kesempatan tersebut pula diserahkan Piagam Perhargaan Balai KSDA Bali kepada BaliPost Group atas jasa dan partisipasinya selama ini dalam pelestarian alam di Bali, khususnya pada Program Pelepasliaran Satwa Dilindungi, diterima oleh langsung Direktur BaliPost Group.

Setelah acara seremoni di Wantilan Pura berakhir, para undangan diajak menyaksikan secara langsung pembukaan kandang habituasi di lokasi kandang. Untuk menghindari gangguan terhadap elang akibat kerumunan manusia, maka lokasi pembukaan kandang ditempatkan pada jarak + 100m dari kandang di sebelah Timur kandang dan berada pada areal yang cukup tertutup oleh rimbunan pohon. Untuk dapat membuka kandang, kandang telah dilengkapi dengan sebuah pintu (pada sisi Selatan) yang terhubung dengan tali pembuka di areal berkumpulnya undangan.

Tepat pukul 12.30 wita, tali pembuka dilepaskan secara perlahan oleh pejabat perwakilan Dit. KKH Ditjen PHKA Dephut, Kepala BKSDA Bali, dan Direktur BaliPost Group, menandai dibukanya kandang habituasi.

8. Monitoring Paska Pelepasliaran

Sesudah tahap pelepasliaran kembali ke alam usai, masih ada tahap lain yang harus dilalui oleh setiap individu satwa yaitu: monitoring paska pelepasliaran. Monitoring bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelepasliaran. Monitoring dilakukan dengan memperhatikan perkembangan perilaku, daya tahan, dan adaptasi elang yang dilepas terhadap lingkungan barunya. Monitoring ini dilakukan secara intensif selama 2 bulan (1 April - 31 Mei 2007) oleh Tim PPS Bali dan BKSDA Bali.

Pengambilan data perilaku masing-masing elang dilakukan melalui pengamatan langsung dan mencatat seluruh aktifitas elang selama perjumpaan, menggunakan Metode Jelajah dan memakai radio telemetri untuk mengetahui keberadaan elang 33

Page 34: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

BKSDA BALI PPS BALI

kemudian mencatat seluruh perilaku elang yang diamati (lampiran tabel pengamatan). Dimana salah satu elang yang dilepasliarkan telah dipasang dengan transmitter untuk mempermudah proses monitoring paska pelepasliaran.

Hasil Monitoring

Timba keluar dari kandang habituasi pada tanggal 2 April 2007 pukul 15.08. Dan selama satu minggu observasi harian di lapangan, kedua ekor burung masih terpantau disekitar lokasi, baik secara visual maupun gelombang transmitter, namun perjumpaan tidak dalam waktu yang lama.

Timbi selama satu minggu terpantau lebih aktif dengan pergerakannya yang lebih banyak terbang berpindah dari pohon kepohon, begitupula terlihat lebih aktif berburu makanan. Pada

hari kedua, Timbi sudah terpantau tiga kali mendapatkan pakan berupa kadal. Cara terbang dari Timba dan Timbi masih dalam jarak pendek, belum terbang dalam kepakan yang jauh. Dalam cara berburu pun kedua elang masih sering menangkap mangsa dari atas tanah, mengejar mangsa dengan berjalan dan berlari dari atas tanah. Perilaku berburu di tanah ini yang masih menjadi kekurangan dan penyimpangan perilaku dari kedua elang, namun tidak ada perilaku kecenderungan mendekat terhadap observer maupun masyarakat yang ada di sekitar lokasi.

Walaupun pergerakan yang masih terbatas di sekitar lokasi, namun tingkat pertemuan antara burung dengan observer sangat sedikit sekali, hal ini karena medan yang sulit untuk melakukan observasi dengan kontak langsung. Tutupan kanopi dan medan yang berlembah berjurang menyulitkan dalam mengikuti pergerakan elang.

Selengkapnya, berikut adalah hasil monitoring selama 10 hari pertama paska pelepasliaran:

Senin, 2 April 2007

Pada pagi hari pukul 08.20, Timbi terlihat berada di atas sebuah pohon tumbang, tepat di belakang pondok pengawasan yang hanya berjarak kurang lebih 6 m dengan pondok. Timbi aktif bergerak, sering berburu mangsa di bawah batang pohon tersebut (diatas tanah), terbang jarak pendek di sekitar pondok. Secara jelas terlihat dua kali berhasil menangkap mangsa: kadal kecil. Tidak takut dengan kehadiran/aktivitas manusia di sekitarnya. Siang hari Timbi mulai bergeser ke arah selatan tidak jauh dari pondok, masih aktif terbang dan berburu mangsa.

Timba keluar kandang pada pukul 15.08 sore hari, bertengger dipohon Dapdap di depan kandang, diberi pakan dua ekor tikus putih karena dari pagi tidak terlihat berburu atau mendapatkan pakan. Setelah diberi pakan, Timba turun dan mengejar mangsanya dia tas tanah dengan berjalan.

Selasa, 3 April 2007

Pagi pukul 08.45, Timba terlihat bertengger di pohon Dapdap di depan pondok. Tidak banyak aktivitas baik menelisik, berpindah tempat maupun terbang. Masih dominan berperilaku bertengger diam dan menengok kiri kanan. Sampai sore hari pukul 14-an, Timba berada di pohon, diberi pakan dua ekor tikus putih, baru mau turun dan makan di tanah.

Timbi terlihat pada pukul 10.15 di sebelah selatan pondok, 100-an m dari kandang. Aktif berpindah tempat dari dahan-ke dahan dalam satu pohon ataupun terbang jarak pendek, dan berburu mencari mangsa. Satu jam Timbi masih bisa terpantau, namun pukul 11-an Timbi terbang kearah selatan dan tidak terpantau lagi, namun menggunakan sinyal transmitter masih bisa terpantau dengan baik.

Rabu, 4 April 2007

Perjumpaan dengan Timba pada pukul 11.00 tidak jauh dari pondok, bertenger di atas pohon Dapdap tanpa banyak aktivitas, hanya bertengger diam dan menengok kiri-kanan. Sampai kemudian terbang menghilang ke arah selatan pada pukul 11.40. Dijumpai lagi pada pukul 13.21, di dekat kandang sapi. Tidak lama kemudian terbang dan menghilang lagi.

34

Page 35: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

35

BKSDA BALI PPS BALI

Timbi terlihat lebih aktif perilakunya daripada Timba. Pada siang hari sering berpindah cabang maupun menelisik serta terbang antar pohon jarak dekat. Teramati pula beberapa kali berburu walaupun sering kemudian berjalan atau berlari di atas tanah mengejar mangsanya.

Jumat, 6 April 2007

Timbi teramati pada pukul 10.46 - 11.56. Kemudian terbang ke arah selatan kandang habituasi dan menghilang di dalam hutan bambu dan kebun kopi, namun sinyal transmitter masih mampu mendeteksi keberadaannya di sekitar lokasi di Menghening dan Tuka. Dari informasi Nengah Arya (warga setempat), sekitar pukul 10an Timbi terlihat berada di pohon Dapdap di dekat pondok dan sedang berburu mangsa dan memperoleh kadal. Sedangkan pada siang hari sekitar pukul 12.30an Timbi dijumpai oleh Pak Robi (warga setempat) di atas dekat jalan kapur (Tuka) sedang berburu di atas tanah (mangsa tidak diketahui).

Sabtu, 7 April 2007

Tidak ada perjumpaan sama sekali dengan tim monitoring sejak pagi sampai siang hari. Lokasi yang dijelajahi berada di sekitar kandang habituasi di Menghening dan Tuka hingga jarak sekitar 300 meter arah selatan kandang habituasi dimana Timbi kemarin masih bisa terdeteksi baik secara visual maupun lewat gelombang transmitter.

Cuaca pada siang hari turun hujan hingga sore hari.

Minggu, 8 April 2007

Monitoring dilakukan dengan menyusuri sungai Mada di antara Menghening dan Tuka ke arah selatan. Tidak dijumpai kedua individu elang sama sekali. Kondisi medan berupa lembah dan terdiri atas hutan bambu dan kebun kopi mempersulit pencarian kedua individu elang.

Sinyal transmitter dari pemancar sama sekali tidak terdeteksi. Hujan turun sekitar pukul 13-an hingga sore hari. Informasi yang diperoleh dari Pak Ari (warga), pada pagi hari sekitar pukul 9, Timbi terlihat berada di atas tanah, di sekitar kandang sapi seperti sedang berburu mangsa, namun tidak diketahui apakah berhasil atau tidak menangkap mangsanya. Elang tersebut kemudian terbang ke arah selatan dan tidak diketahui arah selanjutnya.

Senin, 9 April 2007

Cuaca cerah panas hanya sampai pertengahan hari, monitoring dilakukan dengan melakukan pencarian individu elang kearah utara kandang habituasi. Dari informasi yang diperoleh dari masyarakat (Pak Ari dan Pak Suwir), antara pukul 8-9 elang masih terlihat di sekitar kandang habituasi, Timba berada di pohon Dapdap di sebelah utara pondok dan Timbi di pohon Teep di dekat kandang sapi. Namun karena terganggu oleh mulai banyak aktivitas manusia keduanya terbang. Timbi ke selatan dan Timba keutara. Pencarian ke utara, elang tidak ditemukan. Namun masyarakat di sekitar ladang Pak Suwir (sekitar 150 m dari kandang habituasi) sejak satu hari sebelumnya (8 April 2007) melihat keberadaan Timba di sekitar lokasi.

Individu elang tidak dijumpai pada saat itu. Begitu pula saat dilakukan pencarian ke selatan, Timbi tidak diketemukan pula, begitu pula sinyal transmitter sama sekali tidak mendeteksi.

Selasa, 10 April 2007

Observasi dilakukan untuk menemukan kedua elang dengan menyusuri jalan utama di daerah Tuka dari arah selatan sampai ujung utara, berbatasan dengan jalur pendakian ke gunung Batukaru, namun tidak terjadi kontak dengan elang sama sekali.

Monitoring kemudian dilanjutkan oleh Tim Monitoring hingga dua bulan. Hasil-hasilnya akan disajikan pada laporan terpisah.

Page 36: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

36

BKSDA BALI PPS BALI

PENUTUP

Selama berlangsungnya persiapan sampai dengan pelaksanaan Program Pelepasliaran ini, dapat dipetik beberapa nilai pembelajaran yang diharapkan bermanfaat bagi pengembangan prorgram di masa mendatang, yaitu:

a. Upaya mengembalikan satwa liar dilindungi ke alam bebas ternyata tidak mudah dan murah. Namun, bagaimanapun, hal ini harus tetap dilakukan –dan dikembangkan- mengingat ancaman terhadap keberadaan dan keragaman jenis di habitat aslinya semakin tinggi.

b. Sedikit sekali pengetahuan di kalangan pejabat daerah (Bali) akan pentingnya penerapan standar dan prosedur pelepasliaran satwa ke alam, khususnya dampak yang dapat ditimbulkan ke ekosistem maupun manusia jika satwa dilepasliarkan tanpa melalui persiapan sebagaimana disyaratkan oleh standar dan prosedur internasioal.

c. Masih seringnya kita jumpai para pejabat di Bali yang begitu mudahnya melepasliarkan satwa ke alam pada seremoni-seremoni tanpa terlebih dahulu melakukan assessment, merupakan preseden buruk bagi masyarakat luas di masa depan. Dengan kehadiran para pejabat dalam seremoni Program Pelepasliaran ini, diharapkan memberi pemahaman akan pentingnya penerapan standar dan prosedur yang berlaku dan menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui berbagai kebijakan yang relevan.

d. Melalui Program ini, masyarakat –khususnya warga sekitar lokasi pelepasliaran- dapat memahami secara nyata pentingnya pelestarian satwa dilindungi.

e. Tumbuhnya partisipasi kalangan usaha dalam program ini, menunjukkan adanya perubahan mindset kalangan dunia usaha di Bali akan pentingnya tanggung jawab sosial (corporate social resposibility –CSR) kalangan bisnis terhadap masyarakat. Telah muncul kesadaran bahwa kelangsungan dunia usaha berkaitan erat perbaikan kondisi sosial dan lingkungan Bali yang semakin hari semakin menurun. Diharapkan, nantinya akan semakin banyak kalangan usaha yang mendukung program pelepasliaran satwa dilindungi.

f. Melalui Program ini, teridentifikasi betapa kearifan lokal (local genius) masyarakat Bali ternyata mampu menyelamatkan dan melindungi kawasan hutan dari kerusakan akibat ulah manusia, sebagaimana ditunjukkan oleh masyarakat Desa Wongaya Gede dan para pengempon Pura Batukaru selama ini.

g. Masih minimnya perhatian pemerintah –khususnya pemerintah daerah di Bali- pada upaya pelestarian kawasan beserta locus-locus ekosistem di dalamnya, melalui program-program pelepasliaran satwa dilindungi di Bali. Ke depan perlu dikembangkan suatu model restorasi dan/atau pelestarian kawasan hutan yang berorientasi untuk mempertahankan populasi jenis hidupan liar di dalamnya.

h. Tidak bisa dipungkiri bahwa Program-program pelepasliaran satwa dilindungi selama ini dominan (jika bukan seluruhnya) diinsiasi dan dilaksanakan oleh pusat-pusat penyelamatan satwa (PPS-rescue center) di Indonesia, sebagai salah satu fasilitas penampungan satwa sitaan pemerintah. Mengingat bahwa selain PPS terdapat lembaga-lembaga konservasi yang juga menampung satwa sitaan, yang sebagian besar adalah hasil tangkapan dari alam (bukan hasil breeding), maka sudah saatnya Pemerintah mendorong upaya pelepasliaran satwa dilindungi yang kini berada di lembaga-lembaga konservasi.

Page 37: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

37

BKSDA BALI PPS BALI

DAFTAR PUSTAKA

Agnes E. Rupley, DVM, ABVP. 1997. Manual of Avian Practice. United States of America. Anonim. 2000. Informasi Potensi Kawasan Konservasi Propinsi Bali. Unit KSDA Bali. Anonim. 2003.Annual Animal Disease Status of Indonesia. OIE Report. Internet Online. Altman, J. 1973. Observational Study of Behavior Sampling Methods. Biby, C., M. Jones dan S. Marsden. 2000. Tekhnik-tekhnik Ekspedisi Lapangan: Survey Burung. BirdLife International-IP. Bogor. Ed Collin dan A. Supriatna. Diurnal Raptor List in Indonesia. Fowler E. Murray, R. Eric Miller. 2003. Zoo and Wild Animal Medicine. Fifth Edition. United States. Fuller, M.R & J.A. Moshler. 1997. Raptor Survey Techniques. Page 37-65 in B.A. Giron Pendleton., B.A. Millsap., K.W. Cline and D.M. Bird. Eds. Raptor Management Techniques Manual. Natl. Wild. Fed., Washington, D.C. Hawk Conservacy Trust. 2005. Available at: http://www.hawk-conservancy.org. Opened at 18th November 2005. Imansyah. J., O.P. Basuki., M. Akbar., A. Novel., Sudaryanto. 2002. Jalur Migrasi Burung Raptor Migran di Bali. Bali. Unpublish. MacKinnon, J., K. Phillips., B. van Balen. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Penterjemah: W. Raharjaningtrah., A. Adikerana., P. Martodiharjo., E.K. Supardiyono., B. van Balen. Puslitbang Biologi-LIPI/BirdLife Internacional Indonesia Programme. Bogor. Nurwatha, P.F dan Z. Rahman. 2000. Distribusi dan Populasi Elang Sulawesi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. YPAL. Bandung. Prawiradilaga, D., T. Murrate., A. Muzakkir., T. Inoue., Kuswandono., A.A. Supriatna., D. Ekawati., M.Y. Alfianto., Hapsoro., T. Ozawa dan N. Sakaguchi. 2003. Panduan Survey Lapangan dan Pemantauan Burung-burung Pemangsa. Biodiversity Conservation Project-JICA. Japan Internacional Cooperation Agency. Setiadi, A.P., Z. Rahman., P.F. Nurwatha., M. Muchtar dan W. Raharjaningtrah. 2000. Status, Distribuís Populasi dan Konservasi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) di Jawa Barat Bagian Selatan. YPAL. Bandung. Soegianto, Agoes. 1994. Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. Strange, M. 2001. Birds of Indonesia. Periplus Editions (HK) Ltd. Wijaya, K.D., O.P. Basuki., C. Riupasa dan J. Katayane. 2004. Studi Habitat Penglepasliaran dan Konservasi Kakatua Maluku (Cacatua mollucensis) di Taman Nasional Manusela Maluku. PPS Bali. Tidak dipublikasikan. Yamazaki, T. 1997. Research Manual of Large Forest Raptors. Osaka (Unpublish)

Page 38: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Hasil Analisa Vegetasi (Anveg) di Menghening, Tuka, dan Sekitar Pura Batukaru Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Mengening/Perkebunan Kelas Semai (Tumbuhan penutup tanah )

JUMLAH JUMLAHNO

NAMA JENISINDIVIDU TERUKUR

FREKUENSI KELIMPAHAN KETERANGAN

1 2 3 4 5 6 71 Anting-anting 1 1 0.33 Jarang Tolok ukur kelimpahan : 2 Bacem 3 1 0.33 Jarang Jarang = 1 - 4 / m²3 Deworan 2 1 0.33 Jarang Agak sering = 5 - 14 / m²4 Dinding ai 2 1 0.33 Jarang Sering = 15 - 29 / m²5 Jlengot 2 1 0.33 Jarang Berlimpah = 30 - 90 / m²6 Keladi 6 1 0.33 Agak sering Sangat berlimpah = > 90 / m² 7 Kopi 2 1 0.33 Jarang 8 Krorak 9 2 0.67 Agak sering9 Mentek-mentek 130 3 1.00 Sangat berlimpah

10 Pacar 1 1 0.33 Jarang 11 Padang blanda 39 2 0.67 Berlimpah12 Padang pamor 6 1 0.33 Agak sering 13 Padang santen 2 1 0.33 Jarang 14 Paku 9 2 0.67 Agak sering15 Paku kedis 7 3 1.00 Agak sering 16 Suplir 9 1 0.33 Agak sering17 Yeh-yeh 4 1 0.33 Jarang

1Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 39: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Mengening/Perkebunan Kelas Pancang ( T < 3 m, Ø <10 cm )

JUMLAH JUMLAH JUMLAH FREKUENSI KERAPATAN DOMINANSI INDEKRELATIF

KERAPATAN RELATIF

DOMINANSI RELATIF NILAINO NAMA JENIS INDIVIDU TERUKUR LBD FREKUENSI

( % ) ( Pohon/ha ) ( % ) ( m²/ha ) ( % ) PENTING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Coklat 1 1 2.25 0.33 16.67 8.33 4.76 18.75 4.55 25.972 Dadap 1 1 2.5 0.33 16.67 8.33 4.76 20.83 5.05 26.483 Kelor 1 1 2.25 0.33 16.67 8.33 4.76 18.75 4.55 25.974 Kopi 15 2 35.00 0.67 33.33 125.00 71.43 291.67 70.71 175.475 Pisang 3 1 7.50 0.33 16.67 25.00 14.29 62.50 15.15 46.10

Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Mengening/Perkebunan Kelas Tiang ( Ø <20 cm )

JUMLAH JUMLAH JUMLAH FREKUENSI KERAPATAN DOMINANSI INDEKRELATIF

KERAPATAN RELATIF

DOMINANSI RELATIF NILAINO NAMA JENIS INDIVIDU TERUKUR LBD FREKUENSI

( % ) ( Pohon/ha ) ( % ) ( m²/ha ) ( % ) PENTING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Blantih 2 2 1.1 0.67 9.09 17 6.24 9.17 0.87 16.202 Dadap 3 3 1.65 1.00 13.64 25 9.36 13.75 1.30 24.303 Coklat 7 3 3.85 1.00 13.64 58 21.85 32.08 3.04 38.534 Lenggung 2 3 1.1 1.00 13.64 17 6.24 9.17 0.87 20.755 Adis 3 2 1.65 0.67 9.09 25 9.36 13.75 1.30 19.766 Pradah 2 1 1.1 0.33 4.55 17 6.24 9.17 0.87 11.667 Ee 4 3 2.2 1.00 13.64 33 12.48 18.33 1.74 27.868 Cempaka 3 2 1.65 0.67 9.09 25 9.36 13.75 1.30 19.769 Sembung 4 2 2.2 0.67 9.09 33 12.48 18.33 1.74 23.31

10 Gintungan 2 1 1.1 0.33 4.55 17 6.24 916.67 86.96 97.74

2Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 40: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Tirta Mengening Kelas Pohon ( Ø >20 cm )

JUMLAH JUMLAH JUMLAH FREKUENSI KERAPATAN DOMINANSI INDEKRELATIF

KERAPATAN RELATIF

DOMINANSI RELATIF NILAINO NAMA JENIS INDIVIDU TERUKUR LBD FREKUENSI

( % ) ( Pohon/ha ) ( % ) ( m²/ha ) ( % ) PENTING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Blantih 3 3 0.21 1.00 12.00 25.00 11.11 1.75 11.11 34.232 Dadap 3 3 0.21 1.00 12.00 25.00 11.11 1.75 11.11 34.233 Adis 2 2 0.14 0.67 8.00 16.67 7.41 1.17 7.41 22.824 Aren 2 2 0.14 0.67 8.00 16.67 7.41 1.17 7.41 22.825 Ee 5 3 0.35 1.00 12.00 41.67 18.52 2.92 18.52 49.046 Cempaka 2 1 0.14 0.33 4.00 16.67 7.41 1.17 7.41 18.827 Sembung 2 3 0.14 1.00 12.00 16.67 7.41 1.17 7.41 26.829 Gintungan 3 2 0.21 0.67 8.00 25.00 11.11 1.75 11.11 30.23

10 Jabon 1 1 0.07 0.33 4.00 8.33 3.70 0.58 3.70 11.4111 Terep 1 1 0.07 0.33 4.00 8.33 3.70 0.58 3.70 11.4112 Ampag 1 1 0.07 0.33 4.00 8.33 3.70 0.58 3.70 11.4113 Lenggung 1 2 0.07 0.67 8.00 8.33 3.70 0.58 3.70 15.4114 Suren 1 1 0.07 0.33 4.00 8.33 3.70 0.58 3.70 11.41

3Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 41: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Pura Batukaru/Hutan lindung Kelas Semai (Tumbuhan penutup tanah )

JUMLAH JUMLAH NO

NAMA JENISINDIVIDU TERUKUR

FREKUENSI KELIMPAHAN KETERANGAN

1 2 3 4 5 6 71 Anggrek tanah 1 1 0.33 Jarang Tolok ukur kelimpahan : 2 Aren 3 1 0.33 Jarang Jarang = 1 - 4 m²/3 Bacem 1 1 0.33 Jarang Agak sering = 5 - 14 m²/4 Ficus sp. 2 1 0.33 Jarang Sering = 15 - 29 m²/5 Keladi 13 1 0.33 Agak sering Berlimpah = 30 - 90 / m²6 Kopi 1 2 0.67 Jarang Sangat berlimpah = > 90 m²/7 Lateng 2 1 0.33 Jarang 8 Mentek-mentek 35 3 1.00 Berlimpah9 Paku 2 2 0.67 Jarang

10 Palam 4 2 0.67 Jarang11 Plendo 1 1 0.33 Jarang

Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Pura Batukaru/Hutan lindung Kelas Pancang ( T < 3 m, Ø <10 cm )

JUMLAH JUMLAH JUMLAH FREKUENSI KERAPATAN DOMINANSI INDEKRELATIF

KERAPATAN RELATIF

DOMINANSI RELATIF NILAINO NAMA JENIS INDIVIDU TERUKUR LBD FREKUENSI

( % ) ( Pohon/ha ) ( % ) ( m²/ha ) ( % ) PENTING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Lampeni 10 3 22.50 1.00 14.29 83.33 13.16 187.50 13.16 40.602 Yeh-yeh 10 3 22.50 1.00 14.29 83.33 13.16 187.50 13.16 40.603 Ficus sp. 8 3 18.00 1.00 14.29 66.67 10.53 150.00 10.53 35.344 lateng 15 2 33.75 0.67 9.52 125.00 19.74 281.25 19.74 49.005 Pisang 3 2 6.75 0.67 9.52 25.00 3.95 56.25 3.95 17.426 Udu 6 2 13.50 0.67 9.52 50.00 7.89 112.50 7.89 25.317 Sembung 6 1 13.50 0.33 4.76 50.00 7.89 112.50 7.89 20.558 klampok 6 1 13.50 0.33 4.76 50.00 7.89 112.50 7.89 20.559 Blantih 5 2 11.25 0.67 9.52 41.67 6.58 93.75 6.58 22.68

10 Lemasih 7 2 15.75 0.67 9.52 58.33 9.21 131.25 9.21 27.94

4Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 42: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Pura Batukaru/Hutan lindung Kelas Tiang ( Ø <20 cm )

JUMLAH JUMLAH JUMLAH FREKUENSI KERAPATAN DOMINANSI INDEKRELATIF

KERAPATAN RELATIF

DOMINANSI RELATIF NILAINO NAMA JENIS INDIVIDU TERUKUR LBD FREKUENSI

( % ) ( Pohon/ha ) ( % ) ( m²/ha ) ( % ) PENTING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Blantih 3 3 1.65 1.00 8.83 25.00 8.33 13.75 8.33 25.492 Dadap 3 3 1.65 1.00 8.83 25.00 8.33 13.75 8.33 25.493 Adis 2 2 1.1 0.67 5.88 16.67 5.56 9.17 5.56 17.004 Pradah 1 1 0.55 0.33 2.94 8.33 2.78 4.58 2.78 8.505 Ee 5 3 2.75 1.00 8.83 41.67 13.89 22.92 13.89 36.606 Cempaka 1 1 0.55 0.33 2.94 8.33 2.78 4.58 2.78 8.507 Sembung 2 3 1.1 1.00 8.83 16.67 5.56 9.17 5.56 19.948 Dadem 4 3 2.2 1.00 8.83 33.33 11.11 18.33 11.11 31.059 Gintungan 3 3 1.65 1.00 8.83 25.00 8.33 13.75 8.33 25.49

10 Klampoak 2 2 1.1 0.67 5.88 16.67 5.56 9.17 5.56 17.0011 Bunut 2 2 1.1 0.67 5.88 16.67 5.56 9.17 5.56 17.0012 Lateng 4 3 2.2 1.00 8.83 33.33 11.11 18.33 11.11 31.0513 Lenggung 1 2 0.55 0.67 5.88 8.33 2.78 4.58 2.78 11.4414 Seming 2 2 1.1 0.67 5.88 16.67 5.56 9.17 5.56 17.0015 Suren 1 1 0.55 0.33 2.94 8.33 2.78 4.58 2.78 8.50

5Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 43: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Kelimpahan dan Dominansi Flora Di sekitar pura batukaru Kelas Pohon ( Ø >20 cm )

JUMLAH JUMLAH JUMLAH FREKUENSI KERAPATAN DOMINANSI INDEKRELATIF

KERAPATAN RELATIF

DOMINANSI RELATIF NILAINO NAMA JENIS INDIVIDU TERUKUR LBD FREKUENSI

( % ) ( Pohon/ha ) ( % ) ( m²/ha ) ( % ) PENTING 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Blantih 3 3 0.36 1.00 10.00 25.00 6.38 3.00 6.38 22.772 Dadap 3 3 0.36 1.00 10.00 25.00 6.38 3.00 6.38 22.773 Adis 2 2 0.24 0.67 6.67 16.67 4.26 2.00 4.26 15.184 Lateng 10 3 1.2 1.00 10.00 83.33 21.28 10.00 21.28 52.555 Bala 3 2 0.36 0.67 6.67 25.00 6.38 3.00 6.38 19.436 Beringin 6 3 0.72 1.00 10.00 50.00 12.77 6.00 12.77 35.537 Bunut 6 2 0.72 0.67 6.67 50.00 12.77 6.00 12.77 32.208 Ee 5 3 0.6 1.00 10.00 41.67 10.64 5.00 10.64 31.289 Cempaka 2 1 0.24 0.33 3.33 16.67 4.26 2.00 4.26 11.84

10 Sembung 2 3 0.24 1.00 10.00 16.67 4.26 2.00 4.26 18.5111 Gintungan 3 2 0.36 0.67 6.67 25.00 6.38 3.00 6.38 19.4312 Ampag 1 1 0.12 0.33 3.33 8.33 2.13 1.00 2.13 7.5913 Lenggung 1 2 0.12 0.67 6.67 8.33 2.13 1.00 2.13 10.92

6Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 44: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Daftar Jenis-jenis Satwa yang Terdapat di Sekitar Lokasi Habituasi Jenis/species Nama Ilmiah Keterangan

MAMMALIA 1 MUSANG LUWAK Paradoxurus hermaphroditus - 2 BAJING KELAPA Callosciurus notatus potensi pakan 3 TUPAI AKAR Tupaia gliss potensi pakan 4 TIKUS LADANG Rattus exulans potensi pakan

REPTILIA 1 ULAR TANAH 2 KADAL Mabuya multifiscata potensi pakan 3 BUNGLON Bronchocela jubata potensi pakan 4 ULAR AIR potensi pakan 5 ULAR SANCA Phyton reticulatus - 6 ULAR SAWAH potensi pakan 7 CECAK TERBANG Draco volans potensi pakan

INSEKTA 1 KUPU RAJA HELENA Troides helena - 2 CAPUNG Orthetrum sabina - 3 CAPUNG Brachythemis contaminata -

PRIMATA 1 MONYET EKOR PANJANG Macaca fasicularis - 2 LUTUNG Tracypitecus auratus -

AMFIBI A 1 KATAK Rana sp potensi pakan

7Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 45: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Daftar Jenis-jenis Burung (bird list) di Pegunungan Batukahu, Januari 2007

No Jenis Nama Ilmiah Nama Inggris Keterangan 1 Kuntul Kerbau Bubulcus ibis Cattle Egret 2 Sikep Madu Asia Pernis ptylorhynchus Oriental Honey-buzzard dilindungi, migran 3 Elang-alap Nipon Accipiter gularis Japanese Sparrowhawk dilindungi, migran 4 Elang-alap Cina Accipiter soloensis Chinese Goshawk dilindungi, migran 5 Elang Ular Spilornis cheela Crested Serpent-eagle Dilindungi 6 Elang Hitam Ichtinaetus malayensis Black Eagle Dilindungi 7 Elang Brontok Spizaetus cirrhatus Changeable Hawk-eagle Dilindungi 8 Ayam Hutan Hijau Gallus varius Green Junglefowl 9 Ayam Hutan Merah Gallus gallus Red Junglefowl

10 Kareo Padi Amaurornis phoenicurus White-breasted Waterhen 11 Punai Penganten Treron griseicauda Grey-cheeked Green-Pigeon 12 Punai Gading Treron vernans Pink-necked Green-Pigeon 13 Pergam Hijau Ducula aenea Green Imperial-Pigeon 14 Pergam Ketanjar Ducula rosacea Pink-headed Imperial-Pigeon 15 Uncal Buau Macropygia emiliana Ruddy Cuckoo-Dove 16 Uncal Kouran Macropygia ruficeps Little Cuckoo-Dove 17 Tekukur Streptopelia chinensis Spotted-Dove 18 Delimukan Zamrud Chalcophaps indica Emerald Dove 19 Bubut alang-alang Centropus bengalensis Lesser Coucal 20 Walet Linchi Collocalia linchi Cave-Swiftlet 21 Cekakak Jawa Halcyon cyanoventris Javan Kingfisher Dilindungi 22 Cekakak Sungai Todirhamphus chloris Collared Kingfisher Dilindungi 23 Takur Bultok Megalaima lineata Lineated Barbed 24 Takur Tohtor Megalaima armillaris Orange-fronted Barbed 25 Takur Tenggeret Megalaima australis Blue-eared Barbed 26 Caladi Ulam Dendrocopus macei Fulvous-breasted Woodpecker 27 Jingjing Batu Hemipus hirundinaceus Black-winged Flycatcher-shrike 28 Sepah Hutan Pericrocotus flammeus Scarlet Minivet 29 Cipoh Kacat Aegithina tiphia Common Iora 30 Cucak Kuricang Pycnonotus atriceps Black-headed Bulbul 31 Merbah Cerukcuk Pycnonotus goiavier Yellow-vented Bulbul 32 Empuloh Janggut Alophoixus bres Grey-cheeked Bulbul 33 Srigunting Hitam Dicrurus macrocercus Black Drongo 34 Srigunting Kelabu Dicrurus leucophaeus Ashy Drongo 35 Srigunting Batu Dicrurus paradiseus Greater Racket-tailed Drongo 36 Cica-kopi Melayu Pamatorhinus montanus Chesnut-backed Scimitar-babbler 37 Gelatik Batu Parus major Great Tit 38 Kucica Kampung Copsychus saularis Magpie Robin 39 Meninting Besar Enicurus leschenaulti White-crowned Forktail 40 Anis Merah Zootera citrina Orange-headed Thrush 41 Rementuk Laut Gerygone sulphurea Golden-bellied Gerygone 42 Cikrak Daun Phylloscopus trivirgatus Mountain Leaf-warbler 43 Ceret Gunung Cettia vulcania Sunda Bush-warbler 44 Cinenen Jawa Orthotomus sepium Olive-backed Tailorbird 45 Prenjak Jawa Prinia familiaris Bar-winged Prinia 46 Sikatan Bubik Muscicapa dauurica Asian Brown Flycatcher 47 Sikatan Kepala Abu Culicicapa ceylonensis Grey-headed Flycatcher 48 Kehincap Ranting Hypothymis azurea Black-naped Monarch 49 Kekep Babi Artamus leucorhynchus White-breasted Wood-swallow 50 Perling Kumbang Aplonis panayensis Asian Glossy Starling

8Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 46: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

51 Kerak Kerbau Acridotheres javanicus Javan Myna 52 Burung Madu Sriganti Nectarinia jugularis Olive-backed Sunbird 53 Cabai Bunga Api Dicaeum trigonostigma Orange-bellied Flowerpecker 54 Cabai Lombok Dicaeum maugei Red-chested Flowerpecker 55 Cabai Gunung Dicaeum sanguinolentum Blood-breasted Flowerpecker 56 Cabe Jawa Dicaeum trochileum Scarlet-haded Flowerpecker 57 Kacamata Biasa Zosterops palpebrosus Oriental White-eye 58 Kacamata Gunung Zosterops montanus Mountain White-eye 59 Opior Jawa Lophozosterops javanicus Javan Grey-throated White-eye Dilindungi 60 Bondol Jawa Lonchura leucogastroides Javan Munia

9Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 47: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

HASIL PENGAMATAN PERILAKU HARIAN 1. Individu ”Timba”

Total jumlah perilaku yang teramati selama masa habituasi adalah 620, yang terdiri atas perilaku bertengger 448 (72,26%), berpindah 153 (24,68%), serta perilaku agresi 19 (3,06%).

Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

10

PROSENTASE PERILAKU BERTENGGER TIMBA

9%

63%

2%4%

0%1%0%3%0%0%4%0%14% 0%

menelisikmenengokmengamati mangsamakanminumberakgosok paruhrentang sayapkepak sayapmenggaruk lehermenggoyangkan badanmenggoyangkan ekorbersuara kerasbersuara pelan

PERILAKU BERTENGGE

39

9

R TIMBA

276

17

050150219 1

63 2

menelisikmenengokmengamati mangsamakanminumberakgosok paruhrentang sayapkepak sayapmenggaruk lehermenggoyangkan badanmenggoyangkan ekorbersuara kerasbersuara pelan

1. BERTENGGER Jumlah % menelisik 39 8,7 menengok 276 61,61 mengamati mangsa 9 2,01 makan 17 3,79 minum 0 0 berak 5 1,12 gosok paruh 0 0 rentang sayap 15 3,35 kepak sayap 0 0 menggaruk leher 2 0,45 menggoyangkan badan 19 4,24 menggoyangkan ekor 1 0,22 bersuara keras 63 14,06 bersuara pelan 2 0,45

Total 448 100

Page 48: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

2. PERPINDAHAN Jumlah % berpindah 1 79 51,63 berpindah 2 18 11,76 berpindah 3 23 15,03 berpindah 4 0 0 berpindah 5 9 5,88 perpindah 6 17 11,11 berpindah 7 0 0 berpindah 8 0 0 sambar mangsa 7 4,57

Total 153 99,98

PERILAKU BERPINDAH TIMBA

79

18

23

09

17 00 7

berpindah 1

berpindah 2

berpindah 3

berpindah 4

berpindah 5

perpindah 6

berpindah 7

berpindah 8

sambar mangsa

PROSENTASE PERILAKUBERPINDAH TIMBA

51%

12%

15%

0%6%

11% 0%0% 5%berpindah 1

berpindah 2

berpindah 3

berpindah 4

berpindah 5

perpindah 6

berpindah 7

berpindah 8

sambar mangsa

Lampiran 1111LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 49: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

3. AGRESI Jumlah %

menyerang 16 84,21 bertahan 3 15,79

Total 19 100

PERILAKU AGRESI TIMBA

16

3

menyerang

bertahan

PROSENTASE PERILAKU AGRESI TIMBA

84%

16%menyerang

bertahan

Lampiran 1212LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 50: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

PEMANFAATAN RUANG Jumlah %

tanah 48 21,43 cabang bawah 41 18,3 cabang atas 135 60,27

Total 224 100

PEMANFAATAN RUANG TIMBA

48

41135

tanah

cabang baw ah

cabang atas

PROSENTASE PEMANFAATAN RUANG TIMBA

21%

18%61%

tanah

cabang baw ah

cabang atas

Lampiran 1313LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 51: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

PENANGANAN MANGSA Jumlah % ditenggeran atas 1 5,88 tenggeran bawah 0 0 ditanah 16 94,12

Total 17 100

PENANGANAN MANGSA TIMBA

1 0

16

ditenggeran atas

tenggeran baw ah

ditanah

PROSENTASE PENANGANAN MANGSA TIMBA

6% 0%

94%

ditenggeran atas

tenggeran baw ah

ditanah

Lampiran 1414LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 52: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

2. Individu ”Timbi”

Total jumlah perilaku yang teramati selama masa habituasi adalah 973, yang terdiri atas perilaku bertengger 703 (72,25%), terbang 251 (25,79%), serta agresi 19 (1,95%).

1. BERTENGGER Jumlah % menelisik 68 9,67 menengok 409 58,18 mengamati mangsa 21 2,99 makan 19 2,7 minum 0 0 berak 5 0,38 gosok paruh 0 0 rentang sayap 15 2,13 kepak sayap 1 0,14 menggaruk leher 4 0,57 menggoyangkan badan 8 1,14 menggoyangkan ekor 6 0,85 bersuara keras 137 19,49 bersuara pelan 10 1,42

Total 703 99,66

PERILAKU BERTENGGER TIMBI

68

409

2119050

151486

13710

menelisikmenengokmengamati mangsamakanminumberakgosok paruhrentang sayapkepak sayapmenggaruk lehermenggoyangkan badanmenggoyangkan ekorbersuara kerasbersuara pelan

PROSENTASE PERILAKU BERTENGGER TIMBI

10%

58%

3%3%0%0%0%

2%0%1%1%1%

20%1%

menelisikmenengokmengamati mangsamakanminumberakgosok paruhrentang sayapkepak sayapmenggaruk lehermenggoyangkan badanmenggoyangkan ekorbersuara kerasbersuara pelan

Lampiran 15LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 53: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

2. PERPINDAHAN Jumlah %

berpindah 1 174 69,32 berpindah 2 15 5,98 berpindah 3 23 9,16 berpindah 4 0 0 berpindah 5 6 2,39 perpindah 6 12 4,78 berpindah 7 0 0 berpindah 8 1 0,4 sambar mangsa 20 7,96

Total 251 99,99 Keterangan: 1. Terbang dari cabang kecabang lain antar pohon atau pohon yg sama 2. Terbang dari cabang pohon ke tanah 3. Terbang dari tanah ke cabang pohon 4. Terbang dari tanah kembali ke tanah 5. Bergeser di atas cabang 6. Berjalan di tanah 7. Berlari di tanah 8. Meloncat di tanah

PERILAKU BERPINDAH TIMBI

174

15

2306

12 01 20

berpindah 1

berpindah 2

berpindah 3

berpindah 4

berpindah 5

perpindah 6

berpindah 7

berpindah 8

sambar mangsa

PROSENTASE PERILAKU BERPINDAH TIMBI

70%

Lampiran 1616

6%

0%2%5% 0%0% 8%

9%

berpindah 1

berpindah 2

berpindah 3

berpindah 4

berpindah 5

perpindah 6

berpindah 7

berpindah 8

sambar mangsa

LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 54: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

3. AGRESI Jumlah % menyerang 4 21,05 bertahan 15 78,95

Total 19 100

PERILAKU AGRESI TIMBI

4

15

menyerangbertahan

PROSENTASE PERILAKU AGRESI TIMBI

21%

79%

menyerang

bertahan

Lampiran 1717LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 55: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

PEMANFAATAN RUANG Jumlah % tanah 27 8,16 cabang bawah 18 5,44 cabang atas 286 86,4

total 331 100

PEMANFAATAN RUANG TIMBI

27 18

286

tanah

cabang baw ah

cabang atas

PROSENTASE PEMANFAATAN RUANG TIMBI

8% 5%

87%

tanah

cabang baw ah

cabang atas

Lampiran 1818LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 56: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

PENANGANAN MANGSA Jumlah %

ditenggeran atas 14 73,68 tenggeran bawah 0 0 ditanah 5 26,31

Total 19 99,99

PENANGANAN MANGSA TIMBI

14

0

5 ditenggeran atas

tenggeran baw ah

ditanah

PROSENTASE PENANGANAN MANGSA TIMBI

74%

0%

26%ditenggeran atas

tenggeran baw ah

ditanah

Lampiran 1919LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 57: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Hasil Monitoring Harian Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) Paska Pelepasliaran

No Hari, tanggal Keterangan

1 Minggu, 01-04-2007 Seremoni pelepasliaran dilakukan di Wantilan Pura Batukaru pada pagi hari. Pembukaan kandang dilakukan di lokasi kandang habituasi, Menghening pada pukul 10-an. Di lokasi habituasi hujan turun deras sampai sore hari.

Individu yang pertama kali keluar adalah Timbi (wingsmarker merah) pada pukul 13.45 wita, setelah keadaan di sekitar lokasi sepi dan tidak ada aktifitas orang sama sekali.

Sebelumnya dilakukan pemancingan menggunakan umpan pakan (tikus putih) yang dilemparkan di luar pintu kandang habituasi. Sampai sore hari pukul 16an, Timbi masih bertengger di atas kandang dalam cuaca hujan deras.

2 Senin, 02-04-2007 Pada pagi hari pukul 08.20, Timbi terlihat berada di atas sebuah pohon tumbang, tepat di belakang pondok pengawasan yang hanya berjarak kurang lebih 6 m dengan pondok. Timbi aktif bergerak, sering berburu mangsa di bawah batang pohon tersebut (diatas tanah), terbang jarak pendek di sekitar pondok. Secara jelas terlihat dua kali berhasil menangkap mangsa: kadal kecil. Tidak takut dengan kehadiran/aktivitas manusia di sekitarnya. Siang hari Timbi mulai bergeser ke arah selatan tidak jauh dari pondok, masih aktif terbang dan berburu mangsa.

Timba keluar kandang pada pukul 15.08 sore hari, bertengger dipohon Dapdap di depan kandang, diberi pakan dua ekor tikus putih karena dari pagi tidak terlihat berburu atau mendapatkan pakan. Setelah diberi pakan, Timba turun dan mengejar mangsanya dia tas tanah dengan berjalan.

3 Selasa, 03-04-2007 Pagi pukul 08.45, Timba terlihat bertengger di pohon Dapdap di depan pondok. Tidak banyak aktivitas baik menelisik, berpindah tempat maupun terbang. Masih dominan berperilaku bertengger diam dan menengok kiri kanan. Sampai sore hari pukul 14-an, Timba berada di pohon, diberi pakan dua ekor tikus putih, baru mau turun dan makan di tanah.

Timbi terlihat pada pukul 10.15 di sebelah selatan pondok, 100-an m dari kandang. Aktif berpindah tempat dari dahan-ke dahan dalam satu pohon ataupun terbang jarak pendek, dan berburu mencari mangsa. Satu jam Timbi masih bisa terpantau, namun pukul 11-an Timbi terbang kearah selatan dan tidak terpantau lagi, namun menggunakan sinyal transmitter masih bisa terpantau dengan baik.

4 Rabu, 04-04-2007 Perjumpaan dengan Timba pada pukul 11.00 tidak jauh dari pondok, bertenger di atas pohon Dapdap tanpa banyak aktivitas, hanya bertengger diam dan menengok kiri-kanan. Sampai kemudian terbang menghilang ke arah selatan pada pukul 11.40. Dijumpai lagi pada pukul 13.21, di dekat kandang sapi. Tidak lama kemudian terbang dan menghilang lagi.

Timbi terlihat lebih aktif perilakunya daripada Timba. Pada siang hari sering berpindah cabang maupun menelisik serta terbang antar pohon jarak dekat. Teramati pula beberapa kali berburu walaupun sering kemudian berjalan atau berlari di atas tanah mengejar mangsanya.

5 Jumat, 06-04-2007 Timbi teramati pada pukul 10.46 - 11.56. Kemudian terbang ke arah selatan kandang habituasi dan menghilang di dalam hutan bambu dan kebun kopi, namun sinyal transmitter masih mampu mendeteksi keberadaannya di sekitar lokasi di Menghening dan Tuka. Dari informasi Nengah Arya (warga setempat), sekitar pukul 10an Timbi terlihat berada di pohon Dapdap di dekat pondok dan sedang berburu mangsa dan memperoleh kadal. Sedangkan pada siang hari sekitar pukul 12.30an

Lampiran 20LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 58: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Timbi dijumpai oleh Pak Robi (warga setempat) di atas dekat jalan kapur (Tuka) sedang berburu di atas tanah (mangsa tidak diketahui).

6 Sabtu, 07-04-2007 Tidak ada perjumpaan sama sekali dengan tim monitoring sejak pagi sampai siang hari. Lokasi yang dijelajahi berada di sekitar kandang habituasi di Menghening dan Tuka hingga jarak sekitar 300 meter arah selatan kandang habituasi dimana Timbi kemarin masih bisa terdeteksi baik secara visual maupun lewat gelombang transmitter. Cuaca pada siang hari turun hujan hingga sore hari.

7 Minggu, 08-04-2007 Monitoring dilakukan dengan menyusuri sungai Mada di antara Menghening dan Tuka ke arah selatan. Tidak dijumpai kedua individu elang sama sekali. Kondisi medan berupa lembah dan terdiri atas hutan bambu dan kebun kopi mempersulit pencarian kedua individu elang.

Sinyal transmitter dari pemancar sama sekali tidak terdeteksi. Hujan turun sekitar pukul 13-an hingga sore hari. Informasi yang diperoleh dari Pak Ari (warga), pada pagi hari sekitar pukul 9, Timbi terlihat berada di atas tanah, di sekitar kandang sapi seperti sedang berburu mangsa, namun tidak diketahui apakah berhasil atau tidak menangkap mangsanya. Elang tersebut kemudian terbang ke arah selatan dan tidak diketahui arah selanjutnya.

8 Senin, 09-04-2007 Cuaca cerah panas hanya sampai pertengahan hari, monitoring dilakukan dengan melakukan pencarian individu elang kearah utara kandang habituasi. Dari informasi yang diperoleh dari masyarakat (Pak Ari dan Pak Suwir), antara pukul 8-9 elang masih terlihat di sekitar kandang habituasi, Timba berada di pohon Dapdap di sebelah utara pondok dan Timbi di pohon Teep di dekat kandang sapi. Namun karena terganggu oleh mulai banyak aktivitas manusia keduanya terbang. Timbi ke selatan dan Timba keutara. Pencarian ke utara, elang tidak ditemukan. Namun masyarakat di sekitar ladang Pak Suwir (sekitar 150 m dari kandang habituasi) sejak satu hari sebelumnya (8 April 2007) melihat keberadaan Timba di sekitar lokasi.

Individu elang tidak dijumpai pada saat itu. Begitu pula saat dilakukan pencarian ke selatan, Timbi tidak diketemukan pula, begitu pula sinyal transmitter sama sekali tidak mendeteksi.

9 Selasa, 10-04-2007 Observasi dilakukan untuk menemukan kedua elang dengan menyusuri jalan utama di daerah Tuka dari arah selatan sampai ujung utara, berbatasan dengan jalur pendakian ke gunung Batukaru, namun tidak terjadi kontak dengan elang sama sekali.

10 Jumat, 13-04-2007 Selama sehari dilakukan pengamatan lapangan tidak ada perjumpaan dengan individu elang. Cuaca selama dua hari mendung dan hujan, sedikit mengalami panas matahari.

Informasi yang diperoleh dari I Gubyug dan Toni (masyarakat) bahwa pada hari Kamis (12-04-2007) Timbi terlihat bertengger dan bersuara, di sebelah utara tidak jauh pondok monirtoring.

11 Senin, 16-04-2007 Tidak terjadi kontak dengan individu elang selama pencarian di lapangan.

12 Selasa, 17-04-2007 Pencarian ke arah utara sampai dengan ladang Pak Suwir tidak menjumpai elang. Cuaca mendung dan hujan gerimis sejak pagi hari. Para pencari bunut sempat melihat satu individu elang (tidak diketahui penandanya) berada di sebelah utara, tepatnya di perbatasan antara hutan lindung dan ladang.

13 Kamis, 19-04-2007 Tidak ada perjuampaan dengan elang maupun informasi masyarakat selama pencarian di lapangan. Cuaca mendung dan hujan sejak pagi hari.

14 Minggu, 22-04-2007 Diperoleh informasi dari Pak Robi dan istrinya (pemilik ladang, ± 160 meter dari kandang habituasi), satu individu elang selama dua hari dari tanggal 21-22 April terlihat di sekitar ladang miliknya. Tidak dapat dipastikan individu yang mana karena tidak sempat dilihat penanda pada

Lampiran 21LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 59: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

sayap elang. Hanya selama dua hari itu elang pada pagi hari sering bertengger di pohon Dapdap atau Bunut dan bersuara keras, terbang dalam jarak pendek di antara tajuk-tajuk pohon. Diketahui terbang ke barat ke arah villa atau ke arah utara menuju hutan lindung.

15 Senin, 23-04-2007 Berdasarkan informasi mengenai keberadaan elang di ladang milik Pak Robi, observasi dilakukan di sekitar ladang menuju arah utara sampai dengan perbatasan ladang masyarakat dan hutan lindung. Tetapi tidak ada perjumpaan langsung dengan individu elang. Tutupan vegetasi kopi maupun tanaman hutan (bunut) semakin rapat, sehingga jalur jalan tidak memungkinkan dilalui. Areal sepenuhnya sudah tertutp tanaman hutan.

16 Jumat, 27-04-2007 Observasi dilakukan ke arah selatan kandang habituasi. Dari sisi atas Tuka perkebunan kopi dan coklat, menyusuri Sungai Mada, melewati hutan bambu sampai kebun milik Pak Novi sejauh 500-an m .

Tidak ada perjumpaan dengan individu elang, alat penerima (receiver) tidak menangkap sinyal transmitter. Berdasarkan informasi, juga tidak ada masyarakat yang melihat keberadaan elang selama ini.

17 Rabu, 02-05-2007 Observasi dilakukan dengan mencari informasi ke masyarakat yang berada di sekitar Tuka dan Menghening. Tidak ada perjumpaan ataupun informasi dari masyarakat mengenai keberadaan elang. Pencarian dilanjutkan menyusuri jalan sepanjang Tuka dari Utara menuju Selatan sampai dengan batas desa. Alat receiver juga tidak menangkap satu sinyal dari burung.

Lampiran 22LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 60: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Tabel Isian (Tally Sheet) Inventarisasi Flora

HARI/TANGGAL :

LOKASI : PENCATAT :

NOMOR Ф LBD TINGGI PETAK

NAMA POHON cm m² TBC Ttot

JUMLAH KETERANGAN

1 2 3 4 5 6 9 10

Lampiran 23LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 61: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Tabel Isian Monitoring Harian Elang Brontok (Spizaetus Cirrhatus) Tanggal : Pengamat : Cuaca : Individu diobservasi :

Waktu No Mulai Akhir

Aktivitas Lokasi Koordinat Keterangan

Lampiran 24LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 62: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

TABEL ISIAN OBSERVASI ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)

Hari/tgl: Individu: Kandang: Habituasi Pengamat:

Bertengger Perpindahan Ruang Keterangan

Men

ggos

ok P

aruh

Ber

suar

a

Waktu

Men

elis

ik

Men

engo

k M

enga

mat

i Man

gsa

Mak

an

Min

um

Ber

ak

Den

gan

Kak

i

Dip

ohon

Ren

tang

Say

ap

Kep

ak S

ayap

M

engg

aruk

Leh

er/k

epal

a K

eras

Pela

n

1

2

3

4

5

6

7

8

Sam

bar

Man

gsa

Tan

ah

Cab

ang

Baw

ah

Cab

ang

Ata

s

Catatan: 1. Terbang dari cabang kecabang lain antar pohon atau pohon yg sama 2. Terbang dari cabang pohon ke tanah 3. Terbang dari tanah ke cabang pohon 4. Terbang dari tanah kembali ke tanah

5. Bergeser di atas cabang 6. Berjalan di tanah 7. Berlari di tanah 8. Meloncat di tanah

25Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 63: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Foto-foto

Kedua individu bertengger pada satu tanggeran yang sama. 3 Agustus 2007

26

“Timba” cenderung bertengger pada tenggeran di bawah (low level). 3 Agustus 2007.

“Timbi” bertengger pada tenggeran menengah (mid level). 3 Agustus 2007.

Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 64: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Kandang habituasi, tampak dari lokasi upacara pembukaan kandang.

Kandang habituasi, tampak dari atas pondok pengamatan.

Pondok pengamatan/observasi dan seorang petugas BKSDA Bali.

27

Page 65: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Suasana seremoni Pelepasliaran Elang Brontok di Wantilan Pura Luhur Batukaru, 1 April 2007.

Perjalanan menuju lokasi pembukaan kandang melewati anak sungai di 50 m sebelum kandang habituasi. 1 April 2007.

Perjalanan menuju lokasi pembukaan kandang. 1 April 2007.

Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

28

Page 66: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Upacara “matur piuning” sebelum kedua ekor elang Brontok dimasukkan kedalam kandang habituasi. 30 Januari 2007.

29

Tim pelaksana sesaat setelah evakuasi kedua ekor elang Brontok ke kandang habituasi. 30 Januari 2007 dari kiri: Putu Citra Sudarmaya (BKSDA Bali), Mulyono (BKSDA Bali), drh Made Winaya (PPS Bali), drh Dewi Sri K (PPS Bali), Ivan Juhandara (BKSDA Bali), I Gede Hanjaya (Prana Dewi), drh Wita Wahyu Widyayandani (PPS Bali), Gede Zorro (Kelompok Tani Prana Dewi), IGN Karyadi (masyarakat)

Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

Page 67: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

Dari kanan: A.B.G. Satria Narada (Direktur BaliPost Group), drh Wita Wahyu Widyayandani (Direktur PPS Bali), Ir. Istanto Dwi Martoyo (Kepala BKSDA Bali), Ir. Kurnia Rauf (pejabat KKH, Ditjen PHKA Dephut) menyaksikan pembukaan kandang habituasi. 1 April 2007.

Kiri kekanan: Pejabat Pemda Kab. Tabanan, Ir. Istanto Dwi Martoyo (Kepala BKSDA Bali), drh Wita Wahyu Widyayandani (Direktur PPS Bali), A.B.G. Satria Narada (Direktur BaliPost Group), Ir. Kurnia Rauf (pejabat KKH, Ditjen PHKA Dephut), Ivan Juhandara (BKSDA Bali), I Gede Mastera (tokoh masyarakat Wongaya Gede), Camat Penebel, drh I Made Winaya (PPS Bali)

Drh Wita Wahyu Widyayandani (PPS Bali), A.B.G. Satria Narada (Direktur BaliPost Group), Ir. Istanto Dwi Martoyo (Kepala BKSDA Bali) berbincang-bincang disela rehat seremoni pelepasan elang Brontok diwantilan Pura Luhur Batukaru. 1 April 2007.

Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

30

Page 68: PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI

PURA LUHUR BATUKARU

Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN

31