Profil Pengusaha Muda Sukses, Saptuari Sugiharto Juragan Kedai
DigitalAcara Kick Andy edisi 29 Oktober 2011 menampilkan beberapa
sosok pengusaha muda kreatif yang sukses dengan usaha usahanya.
Salah satunya Saptuari Sugiharto, seorang pengusaha muda yang
merupakan bos dari Kedai Digital. Apa dan bagaimana Saptuari
Sugiharto berhasil dengan usaha Kedai Digital-nya? Simak profil
pengusaha muda sukses, Saptuari Sugiharto sang juragan Kedai
Digital di bawah ini. Berbeda dengan generasi akhir 1990-an dan
awal 2000-an yang umumnya terjun menjadi wirausahawan karena sulit
mencari kerja akibat krisis ekonomi yang tengah melanda, generasi
pengusaha muda berumur 20-an tahun saat ini tampak memiliki
keyakinan diri yang lebih besar. Mereka sejak semula
bersungguh-sungguh ingin menjalani hidup sebagai entrepreneur.
Salah satu di antaranya adalah Saptuari Sugiharto. Lelaki berusia
29 tahun itu telah mulai berbisnis kecil-kecilan sejak kuliah di
Jurusan Geografi Universitas Gadjah Mada. Tahun ini, ia terpilih
sebagai runner-up Wirausahawan Muda Mandiri 2007. Sejak masuk
kampus UGM pada 1998, Saptuari telah mendambakan memiliki usaha
sendiri. Sembari kuliah; beberapa usaha dijalaninya; mulai dari
menjadi penjaga koperasi mahasiswa, penjual ayam kampung, penjual
stiker, hingga sales dari agen kartu Halo Telkomsel. Lalu, pada
2004, ketika bekerja sebagai event organizer di sebuah perusahaan
di Yogyakarta, mantan staf marketing Radio Swaragama FM ini
terperanjat melihat antusiasme penonton berebut merchandise berlogo
atau bergambar para selebriti. Heran. Kenapa orang-orang begitu
bersemangat mendapatkan kaus, pin, atau apa saja milik artis,
katanya. Padahal, mereka bisa membuat merchandise apa saja sesuai
dengan kemauannya. Bermula dari rasa heran itu, pada 2005 Saptuari
mengambil langkah berani mendirikan Kedai Digital. Perusahaan itu
bertujuan memproduksi barang-barang cendera mata (seperti mug,
t-shirt, pin, gantungan kunci, mouse pad, foto dan poster keramik,
serta banner) dengan hiasan hasil print digital. Waktu itu, ia
bermodalkan uang sebanyak Rp28 juta; hasil dari tabungan, menjual
motor, dan menggadaikan rumah keluarga. Butuh waktu enam bulan bagi
lelaki kelahiran Yogyakarta itu untuk memulai kegiatan Kedai
Digital. Terlebih dahulu, ia mesti mencari mesin digital printing.
Ia mendapatkannya (buatan China) di Bandung.
Ia juga harus mencari tahu sumber-sumber bahan baku. Kemudian,
ia harus mempersiapkan tempat usaha, menyusun konsep produk, dan
merekrut para staf. Semuanya dilakukan sendirian. Bisnisnya
berjalan pelan tapi pasti. Ketika usahanya mulai stabil, Saptuari
memberanikan diri merekrut desainer dari kampus-kampus seni yang
memang tersedia cukup banyak di Yogyakarta. Untuk tenaga marketing,
digunakan para mahasiswa dari perguruan tinggi lain yang juga
tersebar di kota itu. Target pasar Kedai Digital adalah para
mahasiswa. Karenanya, menurut Saptuari, perusahaannya tak boleh
main-main soal kualitas. Karena itu, ia mesti menggunakan desainer
yang memiliki latar belakang pendidikan formal. Pada tahun pertama,
Kedai Digital telah berhasil meraih penjualan sebesar Rp400 juta.
Tahun berikutnya, perolehan bisnis melesat menjadi Rp900 juta.
Seiring dengan pertambahan outlet, revenue pada 2007 menembus angka
Rp1,5 miliar. Hingga akhir tahun silam, Kedai Digital telah
memiliki delapan gerai di Yogyakarta. Salah satunya adalah Kedai
Supply yang menyediakan bahan baku untuk kebutuhan produksi di
seluruh outlet lainnya. Sementara itu, gerai Kedai Printing
dikhususkan melayani pesanan produk-produk advertising seperti
banner. Di luar Yogyakarta, Saptuari telah memiliki lima outlet
lain (di Kebumen, Semarang, Tuban, Pekanbaru, dan Solo) melalui
sistem waralaba. Menurut Nur Alfa Agustina, Kepala Departemen
MikroBisnis Group Bank Mandiri (penyelenggara Wirausahawan Muda
Mandiri), di antara 500 peserta yang mengikuti lomba, Kedai Digital
dinilai inovatif karena merupakan pelopor industri merchandise
dengan metode digital printing di wilayah Yogyakarta. Untuk
penilaian dari sisi bisnis, Saptuari mendapat nilai lebih karena
bukan berasal dari keluarga pengusaha. Pendidikannya pun tak
terkait dengan ilmu ekonomi. Lalu, karena melibatkan banyak
mahasiswa dalam menggerakkan usahanya dan mengajarkan mereka soal
entrepreneurship, lelaki bertubuh kekar itu mendapat nilai yang
tinggi dalam penilaian aspek sosial. Soal yang terakhir itu,
Saptuari memang mengajak para pegawainya yang berperilaku baik
untuk ikut memiliki saham di outlet-outlet Kedai Digital. Kini,
telah empat kedai yang sahamnya ikut dimiliki para pekerja. Saya
tak mau mereka
terus-terusan hanya menjadi pekerja. Mereka juga harus menjadi
owner, katanya. Semangat wirausaha telah ikut disebarluaskan.
Sumber: http://www.purdiechandra.net.
Profil Pengusaha Muda Sukses Lulusan SMA, Wirausaha Peyek &
Geplak
Kebanyakan lulusan perguruan tinggi yang sudah menjadi sarjana,
bekerja di kantoran dengan setelan jas yang parlente dan mendapat
gaji banyak dengan pangkat yang tinggi adalah hal yang menjadi
mimpi mereka. Tapi, apakah mimpi itu semanis kenyataan yang ada?
Sama sekali tidak. Bagi kalian yang sudah sarjana dan masih menjadi
pengangguran, tidak ada salahnya anda menjadi seorang pengusaha.
Menjadi
pengusaha itu tidak akan menjadi anda hina atau mendadak tidak
diakui kesarjanaan anda. Dan jangan sekalipun meremehkan hal kecil
dan jangan sekalipun meremehkan orang yang tidak selevel anda
kesarjanaannya. Simak kisah seoranglulusan SMA yang sukses menjadi
pengusaha muda yang menggeluti usaha makanan ringan dan jika
dibandingkan dengan gaji seorang manajer bank, penghasilan
pengusaha muda ini jauh berlipat lebih besar. Kelik, Lulusan SMA
yang Jadi Pengusaha Sukses Meski hanya lulusan sekolah menengah
atas, Arifdiarto Ambar Wirawan (35) atau yang akrab disapa Kelik
berhasil menjadi pengusaha sukses. Usaha geplak dan peyek tumpuk
yang sudah digelutinya selama 10 tahun ini mampu meraih omzet
hingga Rp 60 juta per bulan. Dengan margin 30 persen, Kelik bisa
menyisakan keuntungan sekitar Rp 18 juta per bulan. Nilai yang luar
biasa bagi pengusaha di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Meski
sudah sukses,
ia belum merasa puas. Penambahan cabang gerai baru di kota lain
menjadi obsesinya ke depan.Kelik membuka usaha geplak dan peyek
tumpuk bersama istrinya, Sri Kasih (32), di Jalan Wahid Hasyim,
Bantul. Toko berukuran 5 x 8 meter itu berdampingan dengan rumah
tempat tinggalnya sekaligus lokasi produksi. Dulu, toko itu hanya
berupa bangunan bambu, tetapi kini sudah berkembang menjadi
bangunan permanen dengan desain lebih menarik.
Dalam sehari, Kelik membutuhkan sekitar 2,5 kuintal gula pasir
untuk membuat geplak. Untuk peyek tumpuk, ia butuh sekitar 50
kilogram kacang dan 25 kilogram tepung beras per hari. Untuk
membantunya berproduksi, ia mempekerjakan 20 tenaga kerja. Apa
istimewanya geplak buatan Kelik. Menurut dia, ia hanya menggunakan
gula asli tanpa pemanis sehingga rasa manisnya lebih mantap. Tak
heran jika geplak yang dijual seharga Rp 16.000 per kilogram itu
laris manis. Kalau bentuknya hampir sama produk milik
orang lain, tetapi dari segi rasa, konsumen bisa membedakannya,
katanya .Untuk membuat geplak, ia memakai kelapa, gula, dan aroma
sesuai selera. Proses pembuatan geplak diawali dengan pemarutan
kelapa lalu santannya ditempatkan di kuali dan dicampur dengan gula
kemudian diaduk. Setelah dinaikkan ke tungku sekitar 4 jam, lalu
diturunkan dan diberi aroma, olahan itu kemudian dibentuk dan
diangin-anginkan selama 10 menit. Menurut Kelik, produknya yang
dinilai istimewa adalah peyek tumpuk. Sesuai dengan namanya, peyek
tersebut dibuat dengan cara menyusun sehingga membentuk rangkaian
peyek. Berbeda dengan peyek pipih yang dimasak dengan satu kali
penggorengan, peyek tumpuk digoreng selama tiga kali. Pertama,
penggorengan dimaksudkan untuk membuat susunan peyek. Setelah
terbentuk susunan, peyek dipindahkan ke penggorengan kedua. Pada
penggorengan pertama, nyala api harus kuat agar efek panasnya
tinggi. Tujuannya supaya kacangnya bisa lekas matang. Di
penggorengan kedua, nyala api justru lebih kecil karena tujuannya
supaya peyek secara keseluruhan bisa matang. Kalau apinya terlalu
besar, bisa gosong, ujar bapak tiga anak ini. Sebelum masuk ke
penggorengan terakhir, peyek terlebih dahulu diangin-anginkan
selama semalam. Tujuannya supaya peyek benar-benar renyah dan
gurih. Peyek tersebut dijual seharga Rp 32.000 per kilogram. Untuk
proses pengapian, ia memanfaatkan tempurung kelapa. Untuk membuat
peyek dan geplak, dalam sehari saya butuh sekitar 750 butir kelapa.
Kalau tempurungnya tidak saya manfaatkan kan sayang. Hitung-hitung,
ongkos produksi bisa ditekan, apalagi harga gas dan minyak tanah
sudah sangat mahal, katanya. Ide pembuatan peyek tumpuk sebenarnya
berasal dari mertuanya yang kebetulan bernama Mbok Tumpuk. Sebagai
menantu, Kelik berhasil meningkatkan usaha mertuanya dengan tetap
mempertahankan nama Mbok Tumpuk sebagai identitas produknya.
Menurut Kelik, membuka usaha di bidang makanan awalnya tergolong
susah. Karena belum dikenal masyarakat, biasanya penjualan masih
minim. Kalau tidak kuat, si pengusaha bisa saja memutuskan untuk
berhenti .Bagi saya, usaha butuh konsistensi. Meski awalnya tidak
laku, saya harus terus berproduksi.
Saya tidak boleh menyerah. Konsistensi juga faktor utama untuk
menumbuhkan kepercayaan pelanggan, paparnya.
Selain konsistensi, lanjut Kelik, faktor kejujuran juga memegang
peranan penting. Kepada pembeli, ia selalu menginformasikan soal
masa kedaluwarsa produknya.Kalau waktunya tinggal sedikit, ia
menyarankan pembeli tidak mengambilnya, apalagi jika peyek atau
geplak tersebut akan dibawa ke luar kota.
Kelik hanya menjual geplak dan peyeknya di toko sendiri. Ia
sengaja tidakmenitipkannya ke toko-toko lain meski banyak
permintaan. Ia khawatir bila dititipkan, harga dan kualitas tidak
bisa terkontrol. Bisa saja di toko lain produk kami dijual sangat
mahal. Mereka juga bisa saja menjual produk kedaluwarsa. Kalau
sudah begitu, citra kami pasti hancur, katanya. Ia berharap bisa
membuka gerai sendiri di kota-kota besar. Dengan pengendalian
sendiri, ia yakin usahanya bisa maju karena semuanya lebih
terkontrol. Sampai sekarang saja, Kelik bersama istri masih
terlibat langsung dalam proses peracikan bumbu. Jangan terlalu
percaya dengan karyawan. Semuanya harus kami monitor selama kami
masih sanggup, ujarnya. Sumber:
http://bisniskeuangan.kompas.com