PROFIL KASUS FRAKTUR MAKSILOFASIAL DAN PERAWATANNYA DI POLI BEDAH MULUT RSUD KABUPATEN KEDIRI TAHUN 2015 SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Gigi Oleh: Yusza Wirabhuana NIM.125070407111020 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
53
Embed
PROFIL KASUS FRAKTUR MAKSILOFASIAL DAN …repository.ub.ac.id/7438/1/Yusza Wirabhuana.pdf · PROFIL KASUS FRAKTUR MAKSILOFASIAL DAN PERAWATANNYA DI POLI BEDAH MULUT RSUD KABUPATEN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PROFIL KASUS FRAKTUR MAKSILOFASIAL DAN PERAWATANNYA DI
POLI BEDAH MULUT RSUD KABUPATEN KEDIRI TAHUN 2015
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
Yusza Wirabhuana
NIM.125070407111020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ............................................................................................... i
Halaman Pengesahan .................................................................................... ii
Kata Pengantar ............................................................................................... iii
Abstrak............................................................................................................ v
Abstract ........................................................................................................... vi
Daftar Isi ......................................................................................................... vii
Daftar Gambar ............................................................................................... xi
Daftar Tabel ................................................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................. 4
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................................... 4
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................... 4
Kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sering menjadi berita utama
di berbagai media. Sebagaimana diketahui, masyarakat modern menjadikan alat
transportasi sebagai kebutuhan primer. Di Indonesia, mobilitas yang tinggi dan
faktor kelalaian manusia menjadi salah satu penyebab terjadinya kecelakaan lalu
lintas. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2011, kecelakaan lalu
lintas di Indonesia dinilai menjadi pembunuh ketiga setelah penyakit jantung
koroner dan tuberculosis.
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut World
Health Organization (WHO), kecelakaan lalu lintas menelan korban jiwa sekitar 2,4
juta jiwa manusia setiap tahunnya. Menurut data Kepolisian Republik Indonesia
tahun 2011, jumlah kecelakaan lalu lintas dalam operasi ketupat tahun 2011
sebanyak 1.111 (30,58 %) dibandingkan tahun 2010. Pada tahun 2011 tercatat
sebanyak 4.744 kecelakaan dibandingkan jumlah kecelakaan pada tahun 2010
yang berjumlah 3.633 kecelakaan (Biro Penerangan Masyarakat Polri, 2011).
Tingginya angka kecelakaan menyebabkan angka kejadian atau insiden fraktur
tinggi, dan salah satu fraktur yang terjadi adalah fraktur maksilofasial atau trauma
pada wajah. Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas
tulang, penyebab terbanyak adalah kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses
degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur. Fraktur adalah
setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan
2
oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik
berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak
(Brunner, 2001). sedangkan menurut Doenges cedera kepala adalah cedera
kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar
serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid,
subdural, epidural, intraserebral, batang otak (Doenges, 1999). Cedera kepala
merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006).
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Fraktur maksilofasial merupakan fraktur yang sering terjadi baik di kota-kota
besar maupun di kota-kota kecil sebagai akibat dari faktor luar seperti kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat
peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.
Fraktur maksilofasial mempunyai berbagai macam antara lain, dapat berupa
fraktur maksila, fraktur mandibula, fraktur nasal dan fraktur dentoalveolar. Dari
berbagai macam fraktur tersebut ada dua macam fraktur yang memiliki bagian
tersendiri, seperti fraktur maksila terbagi atas fraktur le fort I, fraktur le fort II, dan
fraktur le fort III. Sedangkan untuk fraktur mandibula terdiri atas fraktur synfisis,
angulus, dan dan body.
3
Penyebab terbanyak dari fraktur maksilofasial ini adalah kecelakaan lalu
lintas. Kecelakaan lalu lintas menempati urutan ke 9 pada DALY (Disability
Adjusted Life Year) dan diperkirakan akan menjadi peringkat ke 3 di tahun 2020,
sedangkan di negara berkembang menempati urutan ke 2. Menurut hasil
penelitian SO.Ajike dan kawan-kawan (An epidemiologic survey of maxillofacial
fractures and concomitant injuries in Kaduna, Nigeria) di dapat bahwa fraktur
maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini lebih
banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan dengan rasio 3,7:1. Dengan
insidensi terbanyak adalah fraktur mandibula sebesar 75%, fraktur sepertiga wajah
tengah sebesar 25%, serta fraktur kombinasi maksilofasial 12%.
Di Indonesia, tingkat kecelakaan lalu lintas pada pengguna sepeda motor ini
sering terjadi, itu karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang
keselamatan jiwa. Contohnya seperti sebagaimana fungsi helm untuk melindungi
kepala dimana dalam kepala merupakan tempat organ-organ penting seperti otak
dan sistem persyarafan, kecepatan sewaktu mengemudi, dan rendahnya etika
berlalu lintas. Sehingga fraktur maksilofasial ini menjadi masalah serius karena
letak anatominya.
Fraktur maksilofasial merupakan salah satu bagian dari bidang ilmu Bedah
Mulut yang masih perlu mendapatkan perhatian khusus dalam jumlah kasus yang
terjadi, dikarenakan prevalensinya yang selalu meningkat. Hal tersebut dapat
menjadi acuan bagi dokter gigi khususnya spesialis Bedah Mulut agar kedepannya
dapat menentukan perawatan yang lebih baik pada kasus-kasus yang serupa
(Namirah, 2014).
4
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas penulis memilih
judul Profil kasus fraktur maksilofasial dan Perawatannya di poli bedah mulut
RSUD Kabupaten kediri tahun 2015.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah Profil Kasus
Fraktur Maksilofasial dan Perawatannya Di Poli Bedah Mulut RSUD Kabupaten
Kediri tahun 2015.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui kasus fraktur maksilofasial dan perawatannya di Poli Bedah
Mulut RSUD Kabupaten Kediri tahun 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pola profil fraktur maksilofasial berdasarkan etilogi.
2. mengetahui perawatan yang dilakukan pada pasien fraktur maksilofasial.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
Dapat digunakaan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang
kedokteran gigi tentang hubungan pola fraktur dan perawatannya pada pasien
fraktur maksilofasial di RSUD Kabupaten Kediri.
1.4.2 Manfaat Klinis
1. Dapat mengetahui informasi profil kasus fraktur maksilofasial berdasarkan etiologi,
pola, usia, jeis kelamin di poli bedah mulut RSUD Kabupaten Kediri.
2. Dapat mengetahui hubungan pola fraktur dengan perawatannya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 FRAKTUR KEPALA
Cedera kepala adalah suatu trauma mekanik pada kepala baik secara
langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial, baik temporer maupun
permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Evelyn, 2008)
2.2 FRAKTUR MAKSILOFASIAL
2.2.1 Definisi
Fraktur maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya yang menyebabkan hilangnya kontinuitas tulang-tulang
wajah. (Pederson, 2012). Menurut Budiharja fraktur adalah hilangnya atau
putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Penyebab fraktur adalah trauma,
misalnya kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Trauma pada jaringan
maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras.
2.2.2 Etilogi (Fonseca,2005)
Etilogi fraktur maksilofasial itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat
peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab
terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas. Terjadinya kecelakaan lalu lintas sering
5
6
terjadi pada pengendara sepeda motor. Dikarenakan kurang adanya perhatian
tentang keselamatan jiwa.
2.3 Patofisiologi Fraktur
Tulang yang mengalami fraktur berawal dari adanya gaya tekan pada
tulang yang diikuti adanya kerusakan pada fragmen seperti tulang dan cedera
jaringan lunak. Saat terjadinya pergeseran tulang akan adanya deformitas yang
menyebabkan gangguan mobilitas. Selain itu adanya cedera yang menyebabkan
perdarahan akibat terputusnya pembuluh darah yang akan menjadi hematoma.
2.4 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial
Klasifikasi dari fraktur maksilofasial terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur
kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur dento-
alveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur Le Fort I,
II, dan III.
2.4.1 Menurut Penyebab Terjadinya Fraktur (Fonseca, 2005)1. Fraktur Traumatik
- Trauma langsung (direct), trauma tersebut langsung mengenai
anggota tubuh penderita.- Trauma tidak langsung (indirect), terjadi seperti pada penderita
yang jatuh dengan tangan menumpu dan lengan atas-bawah
lurus, berakibat fraktur kaput radii atau klavikula. Gaya tersebut
dihantarkan melalui tulang-tulang anggota gerak atas dapat
berupa gaya berputar, pembengkokan (bending) atau kombinasi
pembengkokan dengan kompresi seperti fraktur butterfly maupun
kombinasi gaya berputar, pembengkokan dan kompresi seperti
fraktur oblik dengan garis fraktur pendek. Fraktur juga dapat
terjadi akibat tarikan otot seperti fraktur patella karena kontraksi
quadrisep yang mendadak.
7
2. Fraktur StressTrauma yang berulang dan kronis pada tulang yang mengakibatkan
tulang menjadi lemah. Contohnya pada fraktur fibula pada
olahragawan.3. Fraktur Patologis
Trauma yang telah terjadi proses patologis yang mengakibatkan
tulang tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur terjadi spontan.2.4.2 Menurut Hubungan dengan Jaringan Ikat Sekitarnya (Fonseca, 2005)
1. Fraktur Simple Tertutup, disebut juga fraktur tertutup oleh karena kulit
di sekeliling fraktur sehat.2. Fraktur terbuka, kulit disekitar fraktur sobek sehingga fragmen tulang
berhubungan dengan dunia luar (bone expose) dan berpotensi untuk
menjadi infeksi. Fraktur terbuka dapat berhubungan dengan ruangan
di tubuh yang tidak steril seperti rongga mulut.3. Fraktur komplikasi, fraktur tersebut berhubungan dengan kerusakan
jaringan atau struktur lain seperti saraf, pembuluh darah, organ visera
atau sendi. 2.4.3 Menurut Bentuk Fraktur (Hupp et al, 2008)
1. Fraktur Komplit, garis fraktur membagi tulang menjadi dua fragmen
atau lebih. Garis fraktur bias tranversal, oblik atau spiral. Kelainan ini
dapat menggambarkan arah trauma dan menentukan fraktur stabil
atau unstabile.2. Fraktur Inkomplit, kedua fragmen fraktur terlihat saling impaksi atau
masih saling tertancap.3. Fraktur Komunitif, fraktur yang menimbulkan lebih dari dua fragmen.4. Fraktur Kompresi, fraktur ini umumnya terjadi di daerah tulang
konselus
8
.
Gambar 2.1 Tipe Fraktur mandibuka
2.5 Fraktur Maksila
2.5.1 Fraktur Dentoalveolar
Trauma dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya
gigi-gigi (avulsi) dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang
terjadi di alveolus. Bagian dento alveolar maksila dapat mengalami fraktur
oleh karena trauma langsung ataupun tidak langsung. Fraktur processus
alveolaris dapat disertai dengan displacement fragmen fraktur.
Gambar 2.2 A. Infraksi Mahkota, B. Fraktur mahkota terbatas padaenamel dan dentin (fraktur mahkota sederhana), C.Fraktur mahkotalangsung melibatkan pulpa (fraktur mahkota terkomplikasi), D. Frakturakar sederhana, E. Fraktur mahkota-akar terkomplikasi, F.Fraktur akarHorizontal. Sumber: (www.emedicine.com)
2.5.2 Le Fort 1
9
Pada fraktur Le Fort 1 dikenal juga dengan fraktur Guerin ini garis fraktur
berada di antara dasar dari sinus maxillaris dan dasar dari orbita. Pada Le Fort
I seluruh processus alveolaris rahang atas, palatum durum, septum nasalis
terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang dapat digerakkan ke
segala arah. Karena tulang tulang ini diikat oleh jaringan lunak saja, maka
terlihat seperti tulang rahang tersebut mengapung (floating fracture).
Gambar 2.3 Fraktur Le Fort I ( Fonseca, 2005)
2.5.3 Le Fort 2
Pukulan pada maksila atas atau pukulan yang berasal dari arah frontal
menimbulkan fraktur dengan segmen maksilari sentral yang berbentuk
piramida. Karena sutura zygomaticomaxillary dan frontomaxillary (buttress)
mengalami fraktur maka keseluruhan maksila akan bergeser terhadap basis
kranium.
Gambar 2.4 Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)
2.5.4. Le Fort 3
10
Selain pada pterygomaxillary buttress, fraktur terjadi pada zygomatic
arch berjalan ke sutura zygomaticofrontal membelah lantai orbital sampai
ke sutura nasofrontal. Garis fraktur seperti itu akan memisahkan struktur
midfasial dari kranium sehingga fraktur ini juga disebut dengan craniofacial
dysjunction. Maksila tidak terpisah dari zygoma ataupun dari struktur nasal.
Keseluruhan rangka wajah tengah lepas dari basis kranium dan hanya
disuspensi oleh soft tissue.
Gambar 2.5 Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2005)
2.6 Fraktur Mandibula
2.6.1. Definisi
Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula.
Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), yang diakibatkan
trauma oleh wajah ataupun keadaan patologis.
2.6.2. Klasifikasi
Menunjukkan regio-regio pada mandibula yaitu: korpus, simfisis,
Tabel diatas memperlihatkan bahwa kasus fraktur maksilofasial
berdasarkan etiologi yang paling mendominasi diperoleh oleh kasus fraktur
mandibula dengan etiologi akibat kecelakaan lalu lintas dari tabel tersebut
diperoleh sebesar 37 kasus, sedangkan kelompok terendah diperoleh oleh kasus
fraktur akibat kekerasan dengan 3 kasus.
5.2 Tabulasi silang antara etiologi dengan fraktur
EtiologiFraktur
Maksila Mandibula
Kec. Lalu Lintas 28% 44%
Kec. Kerja - 12%
Kekerasan 4% 2%
Olahraga 10% -Tabel 5.5 Tabel hasil tabulasi silang antara etiologi dengan fraktur
Hasil penelitian tabulasi silang menunjukkan etiologi yang menyebabkan
fraktur akibat kecelakaan lalu lintas pada maksila sebanyak 28%, sedangkan
pada mandibula sebanyak 44%. Untuk etilogi yang disebabkan oleh kecelakaan
kerja sebanyak 12% pada mandibula. Selanjutnya etiologi yang disebabkan oleh
tindakan kekerasan sebanyak 4% pada maksila dan 2% pada mandibula. Lalu
etiologi akibat olahraga sebanyak 10% pada maksila.
29
5.3 Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur
5.3.1 Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur pada usia 5-14 tahun.
Usia EtiologiFraktur
Maksila Mandibula
5-14 Tahun
Kec. Lalu Lintas 50% 16,7%
Olahraga 33,3% -
Tabel 5.6. Tabel Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur padausia 5-14 tahun
Hasil penelitian tabulasi silang menunjukkan pada kelompok usia 5-14
tahun etilogi yang disebabkan kecelakaan kerja sebanyak 50% pada maksila dan
16,7% pada mandibula, Sedangkan etiologi akibat olahraga akibat 33,3%.
5.3.2 Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur pada usia 15-24 tahun.
Usia EtiologiFraktur
Maksila Mandibula
15-24 Tahun
Kec. Lalu Lintas 18,2% 59,1%
Kec. Kerja - 9,1%
Kekerasan 4,5% -
Olahraga 9,1% -
Tabel 5.7 Tabel Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur padausia 5-14 tahun
Hasil penelitin tabulasi silang menunjukkan pada kelompok usia 15-24
tahun dengan etiologi menunjukkan fraktur akibat kecelakaan lalu lintas pada
maksila sebanyak 18,2% sedangkan pada mandibula 59,1%. Untuk fraktur yang
disebabkan oleh kecelakaan kerja sebanyak 9,1% pada mandibula. Lalu etiologi
terjadinya fraktur akibat kekerasan 4,5% pada maksila dan etiologi fraktur akibat
olahraga sebanyak 9,1%.
30
5.3.3 Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur pada usia 25-44 tahun.
Usia EtiologiFraktur
Maksila Mandibula
25-44 TahunKec. Lalu Lintas 41,2% 47,1%
Kec. Kerja - 5,9%
Olahraga 5,9% -
Tabel 5.8 Tabel Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur padausia 25-44 tahun
Hasil penelitin tabulasi silang menunjukkan pada kelompok usia 25-44
tahun dengan etiologi menunjukkan fraktur akibat kecelakaan lalu lintas pada
maksila sebanyak 41,2% sedangkan pada mandibula 47,1%. Untuk etiologi
fraktur yang disebabkan oleh kecelakaan kerja sebanyak 5,9% pada mandibula.
Lalu etiologi terjadinya fraktur akibat olahraga 5,9% pada maksila.
5.3.4 Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur pada usia 45-64 tahun.
Usia EtiologiFraktur
Maksila Mandibula
45-64 TahunKec. Lalu Lintas - 60%
Kec. Kerja 20% 20%
Tabel 5.9 Tabel Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur padausia 44-64 tahun
Hasil penelitian tabulasi silang menunjukkan pada kelompok usia 45-64
tahun etilogi yang disebabkan kecelakaan kerja sebanyak 60% pada mandibula.
Sedangkan etiologi yang menyebabkan fraktur akibat kecelakaan kerja 20%
pada maksila dan 20% pada mandibula.
31
5.4 Macam tindakan perawatan fraktur maksilofasial di Poli Bedah Mulut
RSUD Kabupaten Kediri
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil rekam medis di Poli Bedah
Mulut RSUD Kabupaten Kediri didapatkan tindakan perawatan fraktur
maksilofasial yang sering digunakan oleh dokter spesialis bedah mulut di poli
bedah mulut RSUD Kabupaten Kediri adalah fiksasi intermaksiller dengan arch
bar. Penggunaan traksi elastik intermaksilar dengan arch bar untuk memperoleh
oklusi sentrik. Jika oklusi sentrik diperoleh, maka fragmen fraktur secara otomatis
tereposisi. Rahang atas & rahang bawah yg telah dipasang arch bar disatukan
dgn kawat splint pada masing-masing kaitannya setelah oklusi sentrik diperoleh.
Pemasangan fiksasi intermaksilar paling lama adalah 6 minggu (Pederson,
2012).
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1.1 Prevalensi jumlah kasus Fraktur Maksilofasial di Poli Bedah Mulut
RSUD Kabupaten Kediri.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan penggambilan data sekunder
berupa rekam medis kasus fraktur maksilofasial yang telah di lakukan tindakan
perawatan di RSUD Kabupaten Kediri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran kasus fraktur maksilofasial di RSUD Kabupaten Kediri. Jumlah sampel
dalam penelitian ini adalah 50 kasus dari kasus Fraktur Maksilofasial yang
didapatkan dari data rekam medis di Poli Bedah Mulut RSUD Kabupaten Kediri
tahun 2015. Sampel pasien fraktur maksilofasial yang di ambil yaitu pasien yang
sudah dilakukan tindakan perawatan.
Berdasarkan data dari rekam medis pasien terdapat 50 kasus yang
didiagnosis dan dirawat karena fraktur maksilofasial di RSUD Kabupaten Kediri
tahun 2015. Data yang dikumpulkan meliputi tipe farktur, kelompok usia, jenis
kelamin dan berdasarkan etiologi.
Fraktur Maksilofasial adalah hilang atau putusnya kontinuitas struktur tulang
pada daerah wajah (Namirah,2014). Berdasarkan data yang didapatkan dari data
rekam medis kasus fraktur maksilofasial dibagi menjadi 2 yaitu fraktur maksila dan
fraktur mandibular. Dari hasil penelitian yang telah diilakukan, didapatkan bahwa
kasus paling banyak sering terjadi adalah fraktur mandibular sebesar 29 kasus
(58%),
32
33
Sedangkan fraktur maksila juga sering terjadi namun tidak sebanyak fraktur
mandibular, berdasarkan tabel di peroleh kasus fraktur maksila sebesar 21 kasus
(42%). Hasil penelitian ini sama seperti penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
oleh Namirah dengan judul prevalensi fraktur maksilofasial pada kasus kecelakaan
lalu lintas di RSUD Andi Makkasau Kota Makassar tahun 2013 dari hasil penelitian
tersebut didapatkan bahwa berdasarkan tipe fraktur maksilofasial kasus yang paling
banyak terjadi yaitu fraktur mandibular yang didominasi karena kecelakaan lalu
lintas. Fraktur mandibular merupakan fraktur tersering dalam bagian tulang
maksilofasial karena posisi dan ketinggiannya. Lokasi dan bentuk fraktur ditentukan
dari mekanisme trauma dan arah gaya yang menyebabkan fraktur (Peterson, 2004).
6.1.2 Prevalensi jumlah kasus fraktur maksilofasial berdasarkan kelompok
usia di Poli Bedah Mulut RSUD Kabupaten Kediri.
Karakteristik usia pasien fraktur maksilofasial pada penelitian ini dapat dilihat
lebih lanjut pada tabel 5.2 diketahui bahwa setiap jenis kasus fraktur maksilofasial
memiliki prevalensi kasus berdasarkan usia yang berbeda – beda dari table
tersebut didapatkan bahwa kelompok usia 15 – 24 tahun yang paling mendominasi
dengan jumlah sebanyak 22 kasus (44%), sedangkan dari tabel tersebut diketahui
jumlah kasus paling rendah diperoleh pada kelompok usia 45-64 tahun dengan
jumlah 5 kasus (10%), sedangkan kelompok usia 5-14 tahun didapatkan sebanyak
6 kasus (12%), dan kelompok usia 25 – 44 tahun didapatkan 17 kasus (34%).
Kelompok usia 18-40 tahun merupakan usia produktif dimana terjadi dua
kemungkinan yang menyebabkan sering terjadinya fraktur maksilofasial. Pertama
34
adalah karena usia produktif menyebabkan pada usia tersebut memiliki mobilitas
yang
tinggi, sehingga aktivitas berkendara pun juga meningkat. Karena aktivitas
berkendara meningkatkan kemudian pengalaman berkendara yang kurang dan
pelanggaran lalu lintas terjadilah kecelakaan berkendara sehingga menyebabkan
fraktur. Kedua adalah pada usia tersebut aktivitas diluar meningkat, sering terjadi
perkelahian atau serangan kekerasan yang lainnya (Sari,2011).
Dari penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa berdasarkan usia korban
ternyata frekuensi tertinggi didapatkan pada kelompok usia 21-30 tahun yaitu
sebanyak 67 korban (36,4%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adianti (2011)
dimana kelompok usia tertinggi adalah 15-25 tahun yaitu sebanyak 42 korban
(46,7%) dan usia 26-40 tahun yaitu sebanyak 29 korban (32,2%)5. Hasil ini juga
sesuai dengan data WHO tahun 2011, yaitu sebanyak 67 persen korban kecelakaan
lalu lintas berada pada usia produktif, yakni 22-50 tahun
Faust (2009) menyatakan, dibandingkan dengan orang dewasa, fraktur tulang
wajah dan rahang bawah jarang terjadi pada kelompok usia anak-anak, khususnya
pasien yang lebih muda dari 5 tahun. Tulang wajah anak-anak lebih tahan terhadap
patah tulang karena elastisitas lebih tinggi, jaringan adipose yang tebal, dan
stabilisasi rahang bawah dan rahang atas oleh gigi yang belum tumbuh. Hasil dari
penelitian mengenai kelompok usia anak-anak menunjukan data yang tidak jauh
berbeda dari penelitian Rowe (1969) yang menyatakan, 5% dari patah tulang rahang
itu pada anak-anak usia 6-11 tahun, hanya 1% terjadi pada pasien lebih muda
daripada 5 tahun. Sebagian besar dari kecelakaan kendaraan yang disebabkan oleh
kecelakaan sepeda. Beberapa perbedaan dalam penyebabnya ada karena
beberapa studi mengklasifikasikan jatuh dari sepeda karena jatuh dan lain-lain
35
mengklasifikasikan jenis kecelakaan ini sebagai kecelakaan kendaraan. Olah raga
merupakan penyebab terbanyak fraktur mandibula pada anak-anak usia sekolah
(Faust, 2009).
6.1.3 Prevalensi jumlah kasus Fraktur Maksilofasial Berdasarkan Jenis
Kelamin di Poli Bedah Mulut RSUD Kabupaten Kediri Tahun 2015
Berdasarkan tabel 5.3 diperoleh data jumlah pasien kasus fraktur maksilofasial
yang berkunjung di Poli Bedah Mulut RSUD Kabupaten Kediri tahun 2015 dari total
sampel 50 kasus, jumlah pasien terbesar didapatkan oleh jenis kelamin laki-laki
dengan jumlah 30 orang (60%) sedangkan perempuan berjumlah 20 orang (40%).
Dari hasil yang di dapat jenis kelamin juga menjadi bahan pertimbangan
terhadap interpretasi tingginya kecelakaan lalu lintas. Hal ini disebabkan karena para
individu pengguna jalan raya, cenderung lebih banyak pria dari pada wanita
sehingga kecelakaan lalu lintas cenderung lebih banyak terjadi pada laki-laki
(Sanrianika, 2008).
Untuk kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan bermotor faktor
pengemudi sering ditengarai menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan
tersebut. Karena laki-laki lebih cenderung tidak menaati peraturan yang ada,
sedangkan perempuan lebih mementingkan peraturan yang ada. Menurut data
kepolisian faktor pelanggaran yang dilakukan pengemudi yang kurang tertib berlalu
lintas ini mencapai lebih dari 80% dari penyebab kecelakaan lalu lintas
(Luthio,2012).
Berdasarkan sosial ekonomi hasil penelitian karakteristik responden
menunjukkan bahwa remaja yang orangtuanya berpendapatan > 1.950.000 perbulan
lebih banyak yaitu berjumlah 35 orang (77,8%), dibandingkan denga remaja yang
36
orangtuanya berpendapatan < 1.950.000 perbulan yaitu berjumlah 10 orang
(22,2%). Dari hasil yang di dapat social ekonomi sangatlah berpengaruh dalam
kehidupan
remaja dan juga merupakan salah satu faktor penyebab kecelakaan lalu lintas.
biasanya pendapatan orang tua yang minim membuat masalah bagi salah satu
keluarga yang mengalami kecelakaan karena bianya kesehatan yang cukup mahal.
(Fitria, 2014)
Fraktur maksilofasial baik fraktur mandibular dan fraktur maksila lebih sering
terjadi pada laki-laki karena laki-laki leih sering melakukan aktivitas di luar. Aktivitas
itu bisa berupa berkendara, olahraga, yang hampir semua aktivitasnya adalah
etiologi dari fraktur mandibula. Tidak jauh berbeda dari penelitian di Libya, jumlah
laki-laki masih dominan sebagai penderita fraktur mandibula. Penelitian tersebut
menunjukan rasio laki-laki penderita fraktur mandibula tujuh kali lipat dibandingkan
wanita. Hal ini disebabkan laki-laki jauh lebih banyak menjalani aktivitas luar
(Elgehani, 2009).
6.1.4 Prevalensi jumlah kasus Fraktur Maksilofasial Berdasarkan Etiologi
di Poli Bedah Mulut RSUD Kabupaten Kediri tahun 2015.
Berdasarkan tabel 5.4 kasus fraktur maksilofasial berdasarkan etiologi yang
paling mendominasi diperoleh kasus fraktur mandibula dengan etiologi akibat
kecelakaan lalu lintas dari tabel tersebut diperoleh sebesar 22 kasus (44%),
sedangkan kelompok terendah diperoleh kasus fraktur maksila dengan etiologi
kecelakaan kerja dan kasus fraktur mandibular dengan etiologi olahraga, selain itu
juga didapatkan kasus fraktur mandibular dengan etiologi kecelakaan kerja sebesar
6 kasus (12%) , kasus fraktur mandibular dan fraktur maksila dengan etiologi
37
kekerasan diperoleh 2 kasus (4%) dan 1 kasus (2%), dan kasus fraktur maksila
dengan etiologi olahraga diperoleh sebanyak 5 kasus (10%).
Menurut Weymen dalam Salihat dan Kurniawidjaja (2010), pengalaman
mengenai risiko yang dihadapi saat berkendara, pengetahuan mengenai risiko
tersebut, dan persepsi mengenai kemampuan mengendalikan risiko berbanding
lurus dengan sering tidaknya seseorang mengendarai kendaraan. Perilaku safety
riding pada seseorang juga salah satunya dipengaruhi oleh pengalaman dan
persepsi mengenai risiko kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, persepsi risiko
kecelakaan memiliki hubungan berbanding terbalik dengan perilaku aggressive
driving (Utami, 2010). Kepedulian masyarakat untuk menggunakan helm yang masih
minim di Indonesia sehingga trauma kepala mendominasi kelompok pengendara
sepeda motor. Penggunaan helm berkaitan dengan tingginya kejadian cedera pada
area kepala yang terjadi pada pengendara sepeda motor yang tidak menggunakan
helm (Sisimwo, 2014).
Semakin tinggi kecepatan kendaraan melaju di jalan maka semakin besar pula
risiko untuk terjadi kecelakaan dan mengalami cedera parah akibat kecelakaan.
Kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi diiringi dengan faktor risiko lain
seperti cuaca serta kondisi jalan dan lalu lintas akan semakin mempersulit
pengendara untuk mengendalikan kendaraan. Risiko kecelakaan 1,796 kali lebih
besar pada pengendara yang melaju dengan kecepatan ≥ 50 km/jam daripada < 50
km/jam (Abdullah, 2014).
Untuk kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan bermotor faktor
pengemudi sering ditengarai menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan
tersebut. Karena laki-laki lebih cenderung tidak menaati peraturan yang ada,
38
sedangkan perempuan lebih mementingkan peraturan yang ada. Menurut data
kepolisian faktor pelanggaran yang dilakukan pengemudi yang kurang tertib berlalu
lintas ini mencapai lebih dari 80% dari penyebab kecelakaan lalu lintas
(Luthio,2012).
Diketahui bahwa berdasarkan jenis kendaraan ternyata frekuensi tertinggi
didapatkan pada kelompok pengendara sepeda motor sebanyak 164 korban
(89,1%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ridayina. dkk, (2009)
yaitu di Indonesia, sebagian besar kecelakaan lalu lintas yaitu 70 persen adalah
pengendara sepeda motor.
6.2.1 Tabulasi silang antara etiologi dengan fraktur
Jumlah keseuruhan penderita fraktur maksilofasial yang terdapat dalam
rekam medis RSUD Kabupaten Kediri pada tahun 2015 sebanyak 50 kasus.
Sebanyak 44% kasus yang ditemukan pada fraktur mandibula yang disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Sedangkan pada fraktur maksila ditemukan sebanyak 28%.
Karena letak anatomi dari mandibula yang menonjol sehingga jika terjadi benturan
akan mudah terkena lebih awal.
6.2.2 Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur pada usia 5-14 tahun
Pada umumnya prevalensi fraktur maksilofasial pada anak usia 5-14 tahun
lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi fraktur pada usia dewasa. Hal ini
disebabkan bertambah usia anak dan diimbangi dengan tingginya aktifitas fisik pada
usia anak-anak. Terdapat 2 puncak usia dimana frekuensi terjadinya fraktur tersebut
paling tinggi pada pediatri. Pada usia antara 6-7 tahun terkait dengan usia mulai
sekolah. Dan pada usia 12-14 tahun terkait dengan peningkatan aktivitas fisik serta
partisipasi dalam olahraga saat pubertas dan remaja (Pratiwi,2012).
39
6.2.3 Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur pada usia 15-24 tahun
Tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada usia anak sekolah
pada umur 15-24 tahun seimbang dengan tingginya jumlah fraktur pada usia ini.
Remaja merupakan salah satu faktor korban dari kecelakaan lalu lintas. Hal ini
menunjukan adanya indikasi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan remaja sehingga
menyebabkan tingginya kejadian kecelakaan. Usia remaja terlalu menekankan
penampilan, jika anak remaja tidak merasa menerima diri mereka, mereka akan
mencoba untuk berkompetensi melalui olah raga, keberhasilan dari hobi atau
akademik, komitmen keagamaan, penggunaan obat atau alkohol atau kelompok
teman untuk prestise.
6.2.4 Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur pada usia 25-44 tahun
Kelompok usia 25-44 tahun merupakan usia produktif dimana terjadi dua
kemungkinan yang menyebabkan sering terjadinya fraktur. Pertama adalah karena
usia produktif menyebabkan pada usia tersebut memiliki tingginya mobilitas,
sehingga aktivitas berkendara pun juga meningkat. Karena aktivitas berkendara
meningkatkan kemudian pengalaman berkendara yang kurang dan melakukan
pelanggaran lalu lintas menyebabkan kecelakaan berkendara sehingga
menyebabkan fraktur. Contohnya adalah .penggunaan helm yang tidak memenuhi
standar, jalur transportasi atau infrastruktur yang tidak memadai, pengaruh alkohol
sewaktu mengemudi, memperoleh surat izin mengemudi tanpa tes yang ketat dan
etika berlalu lintas yang tidak baik dari pengendara sepeda motor. Selain itu
kecepatan mengemudi juga merupakan penyebab lain dari kecelakaan lalu lintas
pada pengendara sepeda motor.
Kedua adalah pada usia tersebut aktivitas diluar meningkat, sering terjadi
perkelahian atau serangan kekerasan yang lainnya.
40
6.2.5 Tabulasi silang antara etiologi, usia, dan fraktur pada usia 45-64 tahun.
Dalam penelitian ini, insidensi terendah dari fraktur maksilofasial terjadi pada
rentang usia 45-64 tahun yakni sebesar 10%. Ini dikarenakan rentang usia tersebut
sudah termasuk kedalam masa dewasa lanjut (usia lanjut). Masa dewasa lanjut atau
usia lanjut dimulai pada umur 60 tahun sampai kematian. Pada masa ini baik
kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun. Oleh karena kemampuan fisik
dan psikologis yang menurun, maka sangat jarang sekali orang-orang pada rentang
usia 45-64 tahun ini mengalami fraktur.
6.3 Macam tindakan perawatan fraktur maksilofasial di Poli Bedah Mulut
RSUD Kabupaten Kediri.
Perawatan fraktur maksilofasial di RSUD Kabupaten kediri menggunakan
teknik close reduction yang dimodifikasi. Teknik ini dilakukan agar hasil yang
diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah penyembuhan
tulang yang cepat, normalnya kembali oklusi, sistem mastikasi, dan fungsi nasal,
pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase
perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status
nutrisi pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan
pasien merasa tidak nyaman.
Teknik close reduction yang dilakukan dokter spesialis bedah mulut di RSUD
Kabupaten Kediri memiliki perbedaan pada beberapa tahapan. Perbedaanya
terletakan pada penempatan arch bar. Apabila terjadi tulang displacment, maka arch
bar diletakkan memanjang pada fragmen tulang. Pada tulang yang tidak berada
pada posisinya dilakukan traksi. Untuk mendapatkan hasil yang baik, prinsip dasar
pada bedah yang harus dipersiapkan sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur
maksilofasial ialah : reduksi fraktur (mengembalikan segmen-segmen tulang pada
41
lokasi anatomi semula) dan fiksasi segmen-segmen tulang untuk meng-imobilisasi
segmen-segmen pada lokasi fraktur. Sebagai tambahan, sebelum tindakan, oklusi
sebaiknya sudah direstorasi dan infeksi pada area fraktur sebaiknya dicegah dan
dihilangkan terlebih dahulu. Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor.
Secara umum, lebih cepat merawat luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian
membuktikan bahwa semakin lama luka dibiarkan terbuka dan tidak ditangani,
semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan malunion (Sari,2011).
Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut
juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area
fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah
penggunaan arch bar (Hupp et al., 2008)
Indikasi pemasangan arch bar antara lain, pada gigi kurang/ tidak cukup
untuk pemasangan cara lain, disertai fraktur maksila, terdapat fragmen dentoalveolar
pada salah satu ujung rahang yang perlu direduksi sesuai dengan lengkungan
rahang sebelum dipasang fiksasi intermaksilaris (Budiharja, 2011). Keuntungan
penggunaan arch bar pada umumnya ialah mudah didapat, biaya murah, mudah
adaptasi dan aplikasinya.21 Pada arch bar tipe langsung, keuntungannya adalah
dapat langsung digunakan tanpa memerlukan proses pembuatan di laboratorium.
Umumnya arch bar ini dipasang pada gigi-gigi di rahang atas dan rahang bawah
(Nilesh, 2011). Setelah
proses ligasi selesai barulah dilakukan MMF (Maxillomandibular Fixation). MMF
dapat dilakukan dengan menggunakan karet (rubber) maupun dengan
menggunakan kawat misalnya ukuran 0,4 mm. kerugian penggunaan arch bar
secara umum adalah Resiko cedera tertusuk wire pada operator, memerlukan
tambahan waktu pada operasi untuk penempatan dan pelepasannya, trauma
42
jaringan lunak pada jaringan periodensium, gingiva dan mukosa bukal, kebersihan
mulut harus selalu dijaga, memerlukan gigi yang sehat sebagai penempatannya
(Budiharja, 2011)
Apabila tulang sudah berada pada posisi yang tepat dan sudah terpasang
arch bar, maka tindakan selanjutnya adalah fiksasi intermaksiler untuk
menempatkan gigi sesuai dengan oklusinya, IMF (Intermaksillary Fixation) dilakukan
dengan benar. Insisi
pada bagian vestibular anterior mandibula dibuat 5 mm di bawah mucogingiva
junction. Mukoperiosteum yang terlihat untuk mengekspos garis fraktur dan saraf
mentalis yang terkena serta yang diperlukan. Segmen yang fraktur kemudian
direduksi secara anatomis untuk membentuk keselarasan tulang yang tepat
Penempatan lag screw menggunakan bor berdiameter 2,0 mm, kemudian
pengeboran dilakukan didekat segmen sekitar 2 cm dari dan tanpa melintangi garis
fraktur. Selanjutnya, pengeboran dilakukan dengan bor berdiameter 1,5 mm dan
dilakukan berlawanan serta tegak lurus terhadap garis fraktur (Stevens, 2012).
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Tipe fraktur maksilofasial paling banyak di RSUD Kabupaten Kediri adalah
fraktur mandibula dengan jumlah 58% (29 kasus), sedangkan fraktur maksila
dengan 42% (21 kasus).2. Jumlah pasien yang mengalami fraktur maksilofasial RSUD Kabupaten
Kediri pada tahun 2015 banyak dialami oleh laki-laki sebanyak 60% (30
orang).3. Etiologi dari fraktur maksilofasial di RSUD Kabupaten Kediri pada tahun
2015 paling banyak disebabkan kecelakaan lalu lintas dengan jumlah 44%
(22 kasus).4. Berdasarkan keempat kelompok usia, kelompok usia 15-24 lebih banyak
yang mengalami fraktur maksilofasial di RSUD Kabupaten Kediri tahun
2015.
7.2 SARAN
1. Dalam diagnosa kasus dalam rekam medik diharapkan lebih lengkap dan
spesifik terhadap kasus pasien.2. Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan jumlah sampel penelitian yang lebih
besar mengenai masalah ini.3. Penelitian lanjutan dari masing-masing tipe fraktur berdasarkan jenis dan
lokasi fraktur juga diperlukan, dan sebaiknya dengan jumlah sampel
penelitian yang lebih besar.
43
44
4. Sehubungan dengan tingginya angka kejadian fraktur maksilofasial,
diharapkan lebih ditingkatkan lagi dalam upaya menjaga keselamatan diri
dari terjadinya trauma.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I.R. 2014. Faktor Risiko Kejadian Kecelakaan Lalu Lintas pada Bentordi Polres Limboto Kabupaten Gorontalo Tahun 2007–2009. JurnalMasyarakat Epidemiologi, Vol.2 No.2 Hal: 108–112.
Adianti, L. S. 2011. Visum et Repertum berdasarkan ciri-ciri korban kecelakaanlalu lintas yang dikeluarkan oleh Departemen Ilmu Kedokteran Forensikdan Medikolegal RSMH 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,hal: 19-21.
Atilgan S, Erol B, Yaman F, Yilmaz N, Ucan MU. Mandibular fractures: acomparative analysis between young and adult patients in the southeastregion of Turkey. J. Appl. Oral Sci. Feb 2010.
Balaji, SM. 2009. Textbook of oral and maxillofacial surgery. India : ElsevierSaunders.
Bagheri, Shahrokh C. dan Chris Jo. 2007 Clinical Review of Oral andMaxillofacial Surgery. Georgia: Mosby Elsevier
Budihardja, Andi. 2011. Trauma Oral dan Maksilofasial. Jakarta: EGC.
Bruce R, Fonseda RJ. Mandibular fractures dalam oral and maxillofacialtrauma. Vol 1. USA: W.B Saundres Company, 1999.
Chang, E. W. 2008. Mandibular Fractures, General Principles and Occlusion.(http://emedecine.medscape.com/article/148358-media. (21 Maret 2017)
Evelyn C. Peace (2008). Anatomi fisiologi untuk paramedic. PT Gramedia:Jakarta.
Faust, R. A. 2009. Mandible Fractures in Children.http://medscape.com/medline/abstract/872662&rurl. (16 September 2016)
Fitria, Ratnasaari. 2014. Hubungan Karakteristik Remaja Dengan KejadianKecelakaan Lalu lintas Pada Komunitas Motor Sulut King CommunityManado, Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas KedokteranUniversitas Sam Ratulangi.
Fitriana E, Syamsuddin E, Fathurrahman. Karakteristik, insiden danpenatalaksanaan fraktur maksilofasial pada anak di Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin Bandung. Bandung: FK Universitas Padjajaran, 2013.
Fonseca R.J. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma .3rd ed. St Louis: ElsevierSaunders.
Fraioli Rebecca E. Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol Clin N Am. 2008; 41:51-76.
Ghali GE, Larsen PE, Waite PD. 2004. Peterson’s Principle of Oral andMaxillofacial Surgery 2nd ed p: 383-400. Canada: BC Decker Inc.
Hopper richard A, Md, et al. Diagnosis of midface fractures with CT: what thesurgeon need to know, radiographics 2006; 26; 783-793
Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. 2008. ContemporaryOral and MaxillafacialSurgery . Ed. Ke-5.Mosby Elsevier. St. Louis.
Laub D, R. 2009. Facial Trauma, Mandibular Fractures. Available athttp://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview
Litbang, Depkes. 2013. Riskesdas: Prevalensi cidera kepala nasional. (diaksespada tanggal 12 Januari 2017). http://www.litbang.depkes.co.id/sites/download/rkd2013/Laporan_
Luhtio adinugroho, dkk 2012. Karakteristik Pengemudi dan Model PeluangTerjadinya Kecelakaan Bus AKAP
Namirah, Nurul, 2014. Prevalensi Fraktur Maksilofasial Pada Kasus KecelakaanLalu Lintas Di RSUD ANDI MAKKASAU KOTA PARE-PARE Tahun 2013.Skripsi diajukan kepada Universitas Hasanudin untuk melengkapi salahsatu syarat mencapai gelar Sarjana Kedokteran Gigi: tidak diterbitkan
Nilesh K, Karandikar S. IMF screws as an alternative to arch bar fixation inmanagement of mandibular fracture. Internasional Journal of Dental Clinics,2011: 3. 82-83.
Pedersen, G. W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Terjemahan Purwanto ,etal . dari Clinical Oral Surgey (1990). Jakarta: Penerbit Buku KedokteranEGC.
Penyembuhan Fraktur. http: // repository. usu. ac. id. bitstream/ 123456789/33107/4/ chapter%20II.pdf. diakses pada tanggal 14 September 2015
Peterson Lj., 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4th ed St Louis :Mosby.
Pramesthi E, Yusuf M. Penatalaksanaan fraktur maksilofasial denganmenggunakan mini plat (laporan dua kasus). Surabaya: FK UniversitasAirlangga, 2009: p. 1-9.
Rhea james T, novelline robert A. How to simplify the CT diagnosis of le fortfractures, AJR. 2005; 184; 1700-1705.
Sari, Caka Cindera, 2011. Prevalensi Pasien Fraktur Mandibula yang Dirawat diRSUD Dr. Saiful Anwar Malang pada Tahun 2005-2010 (PenelitianDeskriptif). Skripsi untuk menyelesaikan Program Studi Kedokteran GigiFakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember: tidak diterbitkan
Salihat, I.K., Kurniawidjaja, L.M. 2010. Persepsi Risiko Berkendara dan PerilakuPenggunaan Sabuk Keselamatan di Kampus Universitas Indonesia, Depok.Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 4 No. 6 Hal: 275–280.
Sanrianka, 2008. Analisis Hubungan Banyaknya Tingkat Lakalantas BerdasarkanFaktor Manusia dan Jenis Kelamin Perilaku Kecelakaan Dikota Medan. Vol6
Sisimwo PK, Mwaniki PK, Bii C. Crash characteristics and injury patterns amongcommercial motorcycle users attending Kitale level IV district hospital,Kenya. Pan African Medical Journal. 2014;19:296.
Stevens MR, Emam HA. Can an arch bar replace a second lag screw inmanagement of anterior mandibular fractures. J Oral Maxillofac Surg, 2012:70. 378-383.
The Dental Trauma Guide. IADT., http: // www. dentaltraumaguide.org/Permanent_Jaw_fracture_Description.aspx. Diakses 15 oktober 2015