Top Banner
i DARI PENUMPANG ASING UNTUK PARA TAMU Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag. Penerbit dan Percetakan
327

Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Jan 06, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

i

DARI PENUMPANG ASING UNTUK PARA TAMU

Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.

Penerbit dan Percetakan

Page 2: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

ii

Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Ketentuan Pidana

Kutipan Pasal 72 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Penulis : Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.

Layout : NoerFikri Offset

Desain Cover : Haryono

Hak Penerbit pada NoerFikri, Palembang

Perpustakaan Nasional Katalog dalam Terbitan (KDT)

Anggota IKAPI (No. 012/SMS/13)

Dicetak oleh:

NoerFikri Offset Jl. KH. Mayor Mahidin No. 142 Telp/Fax : 366 625 Palembang – Indonesia 30126 E-mail : [email protected]

Cetakan I : Maret 2017

Hak Cipta dilindungi undang-undang pada penulis

All right reserved

ISBN : 978-602-6318-97-8

Page 3: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

iii

PENGANTAR PENULIS

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Saya

bersyukur kepada-Nya yang telah memberikan rasa keberanian

untuk menulis sebuah buku tentang filsafat ilmu yang

sesungguhnya masih relatif asing bagiku. Shalawat dan salam

Saya tujukan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw.

yang telah mewariskan Al-Qur`an dan Sunnah sebagai

pedoman dalam melangkah. Taraktu fÎ kum amrain lan tadhillu

abadan mâ in tamassaktum bihimâ Kitâballah wa sunnata rasûlih,

kata jungjungan kita. Do’a rahmat dan keselamatan juga Saya

tujukan kepada para keluarga, sahabat dan para pengikutnya

yang senantiasa berbuat kebaikan dan menjadi penyebar ajaran

agama hingga hari kiamat.

Wa ba’du. Penulisan karya yang sederhana ini banyak

dibantu oleh penulis-penulis tentang filsafat dan filsafat ilmu

sebelumnya, seperti terlihat dalam rujukan-rujukan yang telah

saya cantumkan, termasuk yang mungkin terabaikan karena

lupa atau Saya anggap memang tidak perlu disebutkan, karena

telah banyak beredar di berbagai tulisan. Saya berterima kasih

kepada mereka yang telah memberi pedoman dan petunjuk

dalam penulis ini, baik langsung atau melalui tulisan mereka.

Selanjutnya, penulisan ini bertujuan untuk

menyemangati diri sendiri dan memotivasi para mahasiswa

untuk mengamalkan salah satu ajaran Nabi yang menginginkan

umatnya cerdas. Nabi kita, Muhammad saw., telah

memerintahkan umatnya supaya berpikir sebelum berkata atau

bertindak (al-fikr qabl al-‘amal). Ia telah memberikan izin bahkan

memerintahkan kepada manusia untuk memanfaatkan akal

dalam rangka mewujudkan kecerdasan itu, supaya manusia

bukan hanya dapat melakukan kajian-kajian atau penelitian-

penelitian tentang alam syahâdah tetapi juga alam gha`ib.

Page 4: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

iv

Dengan demikian, sesungguhnya Nabi membolehkan

umatnya untuk berfilsafat, memahami filsafat dan menulis

tentang filsafat, termasuk filsafat ilmu, yaitu suatu cabang

filsafat yang muncul disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi yang cenderung mengabaikan nilai-nilai

kemanusiaan. Oleh karena itu, filsafat ilmu bertujuan untuk

mengadakan analisis mengenai ilmu, ciri-ciri ilmu dan

bagaimana cara memperolehnya, sehingga diharapkan ilmu itu

tidak akan meninggalkan nilai-nilai mulia dalam kehidupan

manusia.

‘Ȃlâ kulli hâl, Saya berharap bahwa karya kecil ini ada

manfaatnya, baik bagi penulis sendiri maupun orang lain,

terutama para mahasiswa, pelajar dan masyarakat yang masih

tingkat pemula atau masih ‘sebagai tamu’ di bidang filsafat.

Saya juga berharap, karya ini akan menjadi amal baik dan akan

menjadi pendorong bagi saya, orang lain untuk terus menulis

dan menghasilkan karya yang lebih baik.

Tidak lupa, bahwa kekurangan demi kekurangan akan

ditemukan oleh pembaca yang budiman. Untuk itu, saran dan

masuakan konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan di

masa yang akan datang. Akhirnya, kepada Allah Saya mohon

ampun dari segala kesalahan dan kekeliruan.

Palembang, Februari 2017

Penulis

Page 5: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

v

DAFTAR ISI

Pengantar Penulis ................................................................... iii

Daftar Isi ................................................................................... v

‘Ibârah I’tibâriyah ...................................................................... vii

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................... 1

A. Pengertian Filsafat ....................................................... 1

B. Kelahiran Filsafat .......................................................... 6

C. Karakteristik Berpikir Filsafat ................................... 9

D. Objek Filsafat ................................................................ 13

E. Syarat-Syarat Mempelajari Filsafat ........................... 15

F. Metode Mempelajari Filsafat ..................................... 16

G. Fungsi Filsafat .............................................................. 18

H. Bidang Kajian Filsafat ................................................. 21

I. Kegunaan Belajar Filsafat ........................................... 26

J. Titik Pisah dan Titik Temu:

Filsafat, Ilmu dan Agama ........................................... 28

BAB II. PERIODESASI FILSAFAT DAN

ILMU PENGETAHUAN ......................................... 33

A. Periode atau Zaman Purba ........................................ 33

B. Periode Yunani ............................................................ 36

C. Periode Abd Pertengahan ........................................... 56

D. Periode Keemasan Islam ............................................ 63

E. Periode Renaisans ....................................................... 70

F. Periode Modern ........................................................... 74

G. Periode Post-Modern dan Kontemporer ................. 84

Bab III. ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT .............................. 88

A. Rasionalisme dan Ajaran Dasarnya ........................... 88

B. Tokoh-tokoh Aliran Rasionalisme

dan Pemikirannya ....................................................... 88

Page 6: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

vi

C. Empirisme dan Ajaran Dasarnya .............................. 112

D. Tokoh-Tokoh Alirsan Empirisme

dan Pemikirannya ........................................................ 113

E. Aliran-Aliran Filsafat Islam ........................................ 142

BAB IV. FILSAFAT ILMU .................................................... 153

A. Pengerian Filsafat Ilmu ............................................... 153

B. Objek dan Tujuan Filsafat Ilmu ................................. 156

C. Fungsi dan Arah Filsafat Ilmu ................................... 158

D. Metodologi dan Filsafat Ilmu .................................... 160

E. Model-Model Penalaran ............................................. 164

F. Beberapa Istilah dalam Filsafat Ilmu ........................ 169

BAB V. KONSEP ILMU : PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM................................................................. 177

A. Konsep Ilmu ................................................................. 177

B. Ciri-ciri Ilmu ................................................................. 189

C. Klasifikasi Ilmu ............................................................ 191

BAB VI. LANDASAN-LANDASAN ILMU ...................... 207

A. Landasan ‘Ilm al-Wujud ............................................... 207

B. Landasan Nazhariyah al-Ma’rifah ................................ 217

C. Landasan ‘Ilm al-“amal ................................................. 242

D. Produk-Produk Ilmu dalam Kajian Islam ................ 251

BAB VII. EPISTEMOLOGI ................................................... 257

A. Pengerian Epistemologi................................................. 257

B. Sumber-sumber Pengetahuan ................................... 258

C. Sumber Pengetahuan Perspektif Al-Qur`an ............. 273

D. Objek dan Struktur Pengetahuan ............................... 285

E. Teori-Teori Kebenaran ................................................. 291

F. Batas dan Jenis Pengetahuan ...................................... 296

G. Macam-Macam (Jenis-Jenis) Epistemologi ............... 298

Page 7: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

vii

H. Alasan Belajar Epistemologi ....................................... 301

DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 303

Page 8: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

viii

‘IBȂRAH I’TIBȂRIYAH

Imam al-Ghazali dalam Magnum Opus-nya Ihyâ` ‘ulûm ad-

dÎn (t.t. 1: 59) mengungkap kembali pernyataan dari dari Imam

al-Khalil ibn Ahmad, sebagai berikut:

:الرجال أ ربعة

رجل يدرى ويدرى أ نه يدرى فذاكل عامل فاتبعوه

ورجل يدرى واليدرى أ نه يدرى فذاكل انمئ فأ يقظوه

ل اليدرى ويدرى أ نه اليدرى فذاكل مسرتشد فأ رشدوه ورج

ورجل ال يدرى واليدرى أ نه ال يدرى فذاكل جاهل فارفضوه

Ditinjau dari aspek pengetahuan, orang itu dapat

digolongkan kepada empat golongan, yaitu: Pertama, orang

yang mengetahui dan menyadari bahwa ia mengetahui, orang

itu disebut dengan ‘Ȃlim (orang yang tau), maka ikutilah ia.

Kedua, orang yang mengetahui tetapi tidak menyadari bahwa ia

mengetahui, orang semacam itu disebut Nâ`im (orang yang

tidur), maka bangunkanlah ia. Ketiga, orang yang tidak

mengetahui tetapi menyadari bahwa ia tidak mengetahui, orang

yang demikian disebut mustarsyid (orang yang minta petunjuk),

maka tujukilah atau ajarilah ia. Keempat, orang yang tidak

mengetahui tetapi ia tidak menyadari bahwa ia tidak tidak

mengetahui, orang yang demikian itu disebut Jâhil (orang

bodoh), maka tinggalkanlah ia.

Coba bandingkan dengan ungkapan yang singkat, padat

dan penuh makna, yang karenanya sangat menarik, dari Jujun

Suriasumantri dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu:

Sebuah Pengantar Populer (2010: 19): “Alkisah bertanyalah

seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, “Cobalah

sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat

Page 9: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

ix

dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!”. Filsuf itu

menarik napas panjang dan berpantun:

Ada orang yang tahu di tahunya

Ada orang yang tahu di tidak tahunya

Ada orang yang tidak tahu di tahunya

Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya.

Apa yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dan yang

diungkapkan oleh Jujun Suriasumantri di atas, tampaknya

bermuatan substansi yang sama. Hanya saja terjadi zigzag

urutan di ungkapan nomor 2 dan 3, tanpa menggeser makna

sama sekali dari ungkapan masing-masing. Ungkapan Imam al-

Ghazali di atas, bagi seorang Jujun memang sudah populer,

sehingga sarjana kenamaan itu menganggap tidak perlu untuk

dikemukakan dari mana sumber ucapannya tersebut. Berbeda

dari Jujun, penulis menyebutkan langsung sumber dari

pernyataan atau statemen yang penuh makna tersebut, karena

masih awam.

‘Ȃlâ samhah al-gharrâ`, dalam persoalan filsafat, termasuk

filsafat ilmu, penulis sebenarnya berada dalam posisi orang

yang masih harus diajari. Posisi penulis dalam konteks ini

adalah rajul lâ yadrî wa yadrî annahû la laydrî atau dalam bahasa

Jujun “Ada orang yang tahu di tidak tahunya.” Artinya, posisi

penulis adalah jelas, yaitu: orang yang tidak memiliki

pengetahuan terutama tentang filsafat secara umum dan

tentang filsafat ilmu secara khusus, tetapi menyadari bahwa

saya adalah orang yang tidak memiliki pengetahuan, kecuali

sedikit, sebab itu tolong ajari aku. Saya seorang peminta-minta

ilmu, maka tolong jangan engkau bentak aku (fa `ammâ as-sâ`ila

falâ tanhar), sebaliknya kamu yang telah mendapat ni’mat

berupa ilmu dari Tuhan-mu, ceritakanlah dan ajarkanlah

kepadaku ((wa `ammâ bi ni’mat rabbik fahaddits) (Q. 93. Adh-

dhuha: 10-11).

Page 10: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

x

‘Penumpang asing’ dimaksudkan dalam judul buku di

atas adalah penulis sendiri, yang “menumpang” kepada

fakultas atau jurusan yang takhashshush di bidang filsafat,

umpamanya jurusan atau program studi filsafat atau program

studi akidah filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam.

Sengaja saya menumpang, karena saya adalah seorang yang

‘anti takhashshush’ secara rigid, saya tidak mau terbelenggu

dalam sebuah kekakuan, walaupun pasti dianggap sebagai

orang yang tidak mengerti tatakrama keilmuan. Kendatipun

demikian, saya tetap mementingkan core ilmu yang dimiliki

seseorang, sebagai starting point dalam melangkah ke berbagai

ilmu untuk mewujudkan integrasi ilmu yang masih harus

diperjuangkan.

Semula saya merasa ragu untuk ‘menumpang’, karena di

era modern yang telah ‘usang’, “orang syari’ah umpamanya,

dilarang bicara pendidikan,” karena bukan takhsshsush-nya,

bukan bidangnya. “orang syari’ah juga dilarang bicara filsafat,

karena bukan bidangnya”, “orang tarbiyah dilarang bicara

hukum atau fiqih,” karena bukan takhsshsush-nya, bukan

bidangnya; dan seterusnya. Tetapi, segera saya ingat hal-hal

yang membuat saya berani dan yakin untuk ‘menumpang’ ke

‘kendaraan’ lain, dan ini merupakan rahmat dari Tuhan:

Pertama, kalau saya tidak keliru, orang yang bernama

Pythagoras, Sokrates, Plato, Aristoteles dan filosof-filosof

kenamaan lainnya, termasuk filosof Muslim seperti al-Kindi, al-

Farabi, ar-Razi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan lain-lain, tidak pernah

belajar di Fakultas Filsafat sebuah Universitas Umum atau

kuliah di jurusan Akidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin dan

Pemikiran Islam PTAIN.

Kedua, dari hasil bacaan saya terhadap beberapa buku

filsafat dan pemikiran, kalau saya tidak salah paham, bahwa

memang ada perbedaan mendasar ciri era modern ‘yang telah

usang itu’ dan post-modern atau kontemporer dewasa ini. Era

Page 11: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

xi

modern, kata Edmund Husserl filsafat memang telah

“dibunuh”, karena hanya menggiring atau memotivasi manusia

untuk mengetahui hanya satu disiplin ilmu saja, sangat

menekankan perlunya takhashshush, terutama eksak dan

teknologi. Sedangkan era post-modern atau kontemporer yang

sekarang sedang kita jalani, tidak cukup hanya menganggap

ilmu itu sebagai juz`iyah-juziyah yang terpisah antara satu sama

lain, atau hanya boleh dipelajari satu bidang saja. Ilmu itu

adalah suatu jaringan, yang berkait berkelindan antara satu

sama lain, termasuk ‘eksak, sosial dan humaniora” sekalipun.

Bukankah ilmu itu berasal dari Yang Satu, dan tidak ada

dikotomi yang ketat.

Ketiga, sejauh itu, dalam pandangan orang-orang yang

ahli di di bidangnya, bahwa otak seseorang paling tinggi baru

dipakai 5-7 persen untuk seorang profesor kenamaan, dan

mungkin hanya 3-5 persen untuk profesor tidak atau belum

kenamaan, seperti penulis buku ini. Tidak heran kalau, seorang

Ibn Rusyd umpamanya, selain sebagai seorang filosof, ia juga

seorang faqih dan seorang ahli kedokteran. Problem akademisi

kita sebenarnya bukanlah masalah kemampuan, melainkan

kesempatan, termasuk umur, memanfaatkan kesempatan dan

kemauan ‘menumpang.’

Keempat, Muhammad ‘Athif al-‘Iraqi dalam bukunya al-

Falsafah al-Islâmiyah (1978: 19-20) mengatakan bahwa: filsafat

Islam secara umum meliputi Ilmu Kalam, Ilmu Ushul al-Fiqh,

Ilmu Tasawuf dan Ilmu Pengetahuan lainnya yang diciptakan

oleh ahli pikir Islam. Sedangkan pengertiannya secara khusus

adalah dasar-dasar pemikiran yang dikemukakan para filosof

Islam. Dalam konteks ini, penulis adalah: (1) Salah seorang yang

secara formal, walaupun kompetensi belum meyakinkan,

adalah seorang Guru Besar Ilmu Ushul al-Fiqh yang oleh al-

‘Iraqi dan diperkuat oleh Al-Ahwani dan Mushthafa ‘Abdur-

Raziq, dikategorikan sebagai bagian dari filsafat Islam; (2) Ilmu

Page 12: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

xii

Ushul al-fiqh itu, kata al-‘Iraqi yang diperkuat oleh Ben’Umar,

diciptakan oleh ahli pikir Islam, dengan memanfaatkan akal

atau pemikiran, dimana akal itulah yang menjadi andalan para

filosof. Ben’Umar mengatakan: Ilmu Ushul al-Fiqh adalah

metodologi dan perangkat utama hukum Islam yang murni

dihasilkan oleh peradaban Islam, yang salah satu bagiannya

yang paling menonjol adalah ijtihad. Ijthad adalah suatu

pengerahan kemampuan intelektual pemikir hukum Islam

secara khusus dan pemikir Islam secara umum, artinya

berijihad sama dengan berfilsafat.

Kelima, dewasa ini, yang dicatat sebagai era kontemporer,

paling tidak ada dua aliran filsafat yang yang dikembangkan,

yaitu (1) aliran filsafat analitis yang dikembangkan oleh Ludwig

Josef Johan Wittgenstein. Filsafat analitis ini membahas tema

pokok tentang analisis bahasa dan analisis konsep-konsep; (2)

aliran strukturalisme yang dikembangkan oleh J. Lacan.

Menurutnya, bahasa itu terdiri dari termin-termin yang

digabungkan dengan aturan gramatika dan sintaksis. Kita baru

menjadi pribadi apabila kita mengabdikan diri pada permainan

bahasa (Asmoro Acmadi, 2000: 125-27). Dalam konteks ini,

penulis salah seorang yang senang mengotak-atik grammar

atau tata bahasa Arab, walaupun bukan tergolong ahli di

bidang itu, atau walaupun bidang ini lagi-lagi bukan

takhashshush saya.

Hal-hal di ataslah yang menjadi alasan seorang

‘penumpang asing’ menulis sebuah buku filsafat ilmu, yang

jelas masih sangat dangkal ini. Selanjutnya istilah “para tamu”

yang dimaksudkan dalam judul buku ini tentu saja pembaca-

pembaca pemula yang baru mampir ke ‘rumah makan rohani’

filsafat, sebagai tamu yang memang diundang, bukan orang-

orang yang telah memiliki takhashshussh di bidang filsafat,

kecuali dalam rangka mengajari ‘penumpang asing di atas’ dan

memandu para tamu yang baru mampir tersebut. Hal ini,

Page 13: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

xiii

karena uraian-uraian dalam buku masih bersifat dasar, ditulis

oleh ‘penumpang asing’ yang ditujukan kepada orang yang

baru belajar (muta’allim) bukan untuk orang yang telah

terpelajar atau sangat terpelajar (‘allâmah = banyak ilmu) dalam

bidang filsafat.

‘Ȃlâ kulli hâl, kepada orang yang telah memiliki

takhashshush di bidang filsafat, maafkanlah aku yang telah

lancang merambah ke wilayah ilmu antum, ajarilah aku supaya

tidak lagi merasa penumpang asing. Kepada para ‘tamu yang

baru mampir’, sebagaimana halnya ‘penumpang asing’ ini,

berlajarlah tentang filsafat dan berfilsafatlah, karena ‘filsafat’

adalah salah satu rukun untuk kemajuan umat, sebagaimana

rukun berupa pemahaman terhadap wahyu, bahasa,

penguasaan ekonomi dan teknologi.

Page 14: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

xiv

Page 15: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_1

BAB I PENDAHULUAN

A. Pengertian Filsafat

Apa yang dimaksud dengan filsafat? Secara kebahasaan,

istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia. Kata

philos berarti suka, cinta kepada sesuatu, sedangkan kata shopia

berarti kebijaksanaan atau pengetahuan. Ada yang mengatakan

bahwa philos memiliki akar kata philien yang berarti mencintai,

dan sophos yang berarti bijaksana. Dalam bahasa Inggris kata

filsafat disebut dengan philosophy, sedangkan dalam bahasa

Arab disebut dengan falsafah. Terlepas dari itu semua, dengan

demikian, filsafat dapat diartikan cinta kebijaksanaan, cinta

kearifan (love of wisdom) atau cinta pengetahuan.

Dalam kaitan ini, kata philosophos dalam bahasa Yunani

atau philosopher dalam bahasa Inggris atau failasûf dalam bahasa

Arab diartikan dengan “orang yang cinta pada kebijaksanaan”

atau “cinta pada pengetahuan”. Ditengarai, bahwa filosof

pertama yang menggunakan istilah filsafat untuk pengertian di

atas adalah Pythagoras, seorang filosof yang memiliki

kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang mendalam, serta

sangat dikagumi masyarakat pada masanya. Karena kelebihan

ini, ia pernah ditanya: “Apakah Anda pemilik

kebijaksanaan/pengetahuan?” Ia menjawab: “Saya hanyalah

pencinta dan pencari kebijaksanaan atau pengetahuan”.

“Tuhanlah pemilik kebijaksanaan atau pengetahuan itu”,

ungkapnya lebih lanjut (Lubis, 2014: 2).

Dalam konteks filsafat, mencintai kebijaksanaan atau

pengetahuan itu ditandai dengan mempertanyakan sesuatu.

Pertanyaan tersebut, dapat dalam bentuk yang sederhana dan

untuk menjawabnya tidak memerlukan pemikiran yang

mendalam, atau dalam bentuk yang mendasar, kritis, serius

Page 16: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

2_Duski Ibrahim

dan menyeluruh, sehingga untuk menjawabnya diperlukan

pemikiran mendalam dengan melibatkan berbagai faktor

terkait. Pertanyaan sederhana umpamanya, tentang apa yang

akan kita makan hari ini, giliran siapa mengajar kitab „kuning‟

malam ini, siapa narasumber tentang Ario Damar dan Raden

Fatah dalam diskusi Forum Kajian Islam Melayu kita hari ini,

siapa yang akan anda temui hari ini, atau apa yang akan

dilakukan untuk mengisi waktu luang di hari libur. Pertanyaan

mendasar umpamanya, tentang apa arti hidup, apakah

manusia sama dengan alam, bagaimana atau apa asal mula

alam, kemudian apakah ada hidup setelah kematian. Ini semua

merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar dan serius yang

membutuhkan banyak informasi dan pemikiran mendalam

untuk menjawabnya. Selanjutnya, dalam filsafat, pencarian

jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu dilakukan secara terus

menerus, hingga mendapatkan jawaban yang maksimal atau

mendekati kebenaran. Oleh karena itu, Sony Keraf dan Mikhael

Dua (2001: 14) mengatakan bahwa “filsafat adalah sebuah

tanda tanya dan bukan sebuah tanda seru. Filsafat adalah

pertanyaan dan bukan pernyataan.” Artinya, dalam filsafat,

pencarian akan kebijaksanaan atau ilmu pengetahuan tidak

akan pernah selesai (Lubis, 2014: 2).

Secara terminologis, definisi filsafat telah banyak

dirumuskan oleh para ahli dengan redaksi yang berbeda antara

satu sama lain. Sebagian dari definisi tersebut adalah sebagai

berikut, yaitu:

1. Plato (427 sM – 347 s.M), mengatakan bahwa filsafat adalah

pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat

mencapai kebenaran yang asli;

2. Aristoteles (381 sM – 322 s.M) mengatakan bahwa filsafat

adalah ilmu yang meliputi kebenaran, yang terkandung di

Page 17: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_3

dalamnya ilmu-ilmu, metafisika, logika, ekonomi, etika, dan

estetika;

3. Rene Descartes (1596-1650) mendefinsikan filsafat sebagai

kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan

manusia menjadi pokok penyelidikannya.

4. Marcus Tullius Cirero (106 s.M – 43 s.M) merumuskan

filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang Maha

Agung dan usaha-usaha untuk mencapainya;

5. Francis Bacon (1561-1621), yang terkenal dengan

kegigihannya mempertahankan metode induksi yang

berdasarkan pengamatan dan percobaan untuk menemukan

kebenaran dalam ilmu pengetahuan, mengatakan bahwa

fisafat sebagai ibu yang agung dari ilmu-ilmu (the great

mother of the sciences).

6. Immanuel Kant (1724 M – 1804 M), mengatakan bahwa

filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan

yang mencaup masalah epistemologi, etika dan masalah

ketuhanan. Sehubungan dengan ini, Pradja mengatakan

bahwa filsafat Immanuel Kant meliputi empat persoalan,

yaitu:

a. Apakah yang dapat kita ketahui? Pertanyaan ini dijawab

oleh Metafisika;

b. Apakah yang boleh kita kerjakan? Pertanyaan ini dijawab

oleh Etika;

c. Apakah manusia itu? Pertanyaan ini dijawab oleh

Antropologi;

d. Sampai manakah pengharapan kita? Pertanyaan ini

dijawab oleh agama (Susanto, 2014: 2-5; Pradja, 1997: 1).

Masih banyak definisi filsafat selain dari yang telah

dikemukakan, dengan redaksi, formulasi atau rumusan,

kecenderungan dan makna yang berbeda antara satu sama lain.

Umpamanya, dapat dilihat Harold Titus et al telah

Page 18: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

4_Duski Ibrahim

mengkompilasi definisi-definisi filsafat berdasarkan watak dan

fungsinya (1984 11-14). Terlepas dari itu, mengutip pendapat

Abu Bakar Atjeh, Ahmad Tafsir mengatakan bahwa perbedaan

definisi dan rumusan tentang filsafat itu disebabkan oleh (1)

berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh, (2) adanya

perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka, (3)

perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa

pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat (Tafsir, 2002:

11).

Kalau kita melacak berbagai literatur dalam tradisi

intelektual Islam, ada beberapa istilah yang digunakan untuk

pengertian filsafat, walaupun tidak disepakai secara universal.

Pertama, istilah falsafah yang merupakan bahasa

musta‟rabah, yakni dari bahasa Yunani kuno yang diserap ke

dalam bahasa Arab, yang dalam bahasa Indonesia disebut

filsafat. Al-Kindi (801-873), seorang filosof Muslim, mengatakan

bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala

sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia. Filsafat

teoritis mencari suatu kebenaran, sedangkan filsafat praktis

mengarahkan pelakunya supaya ikut kebenaran. Berfilsafat itu

sesungguhnya berusaha meniru perilaku Tuhan. Lebih lanjut,

al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah suatu usaha

manusia mengenal dirinya. Al-Farabi (W. 950 M), juga seorang

filosof Muslim, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu

pengetahuan tentang segala yang ada (al-maujûdât) dan

bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

Kedua, istilah hikmah yang merupakan istilah yang diambil

langsung dari sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur`an.

Dalam Al-Qur`an memang ditemukan 19 kata hikmah atau al-

hikmah yang tersebar dalam beberapa surat (Fath ar- Rahmân li

Thâlib âyi al-Qur`ân: 112-113). Antara lain dalam surat al-

Baqarah ayat 269 disebutkan: “Dia memberikan hikmah kepada

Page 19: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_5

siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya

dia telah diberi kebaikan yang banyak...” Kemudian dalam surat

Luqman ayat 12 disebutkan: “Dan sungguh, telah Kami berikan

hikmah kepada Luqman, bahwa bersyukurlah kepada Allah.” Luqman

adalah orang pertama yang diberi Allah hikmah, yakni

pengetahuan tentang cara berpikir dan bertindak yang bijak,

sehingga ia terkenal dengan sebutan Luqmân al-Hakim (Luqman

yang bijaksana). Dalam satu pernyataannya, al-Kindi pernah

mengatakan bahwa falsafah adalah hubb al-hikmah yakni cinta

kebijakan. Tetapi, seperti telah disinggung, menjadikan istilah

hikmah sebagai sebutan untuk filsafat Islam tidak diterima oleh

semua ahli. Al-Ghazali, umpamanya, mengatakan bahwa

hikmah yang dimaksud dalam kitab suci Al-Qur`an bukan

berarti filsafat Islam, melainkan syariat Islam yang diturunkan

kepada para nabi dan rasul. Mereka inilah yang mendapat

hikmah, atau kemampuan untuk memahami rahasia-rahasia

syariat agama.

Terlepas dari perbedaan pendapat itu, yang pasti bahwa

hikmah itu adalah suatu pemberian Tuhan yang masih dapat

diperoleh oleh manusia. Abu Thalib al-Makki dalam bukunya

„Ilm al-Qulûb (t.t. 10) mengemukakan, bahwa ada tiga anugerah

istimewa yang Allah berikan kepada makhluk-makhluk

terpilih-Nya, yaitu: Pertama, disebut nubuwah atau derajat

kenabian. Kedua, disebut risâlah atau derajat kerasulan yang

diberi kitab-kitab suci untuk disampaikan kepada umatnya.

Ketiga, disebut hikmah. Pintu yang pertama dan kedua sudah

tertutup, tidak ada lagi nabi yang muncul dan tidak ada lagi

rasul yang lahir. Tetapi, pintu yang masih terbuka luas bagi

manusia adalah pintu hikmah, baik dalam arti filsafat maupun

dalam arti syari‟at.

Ketiga, ada satu istilah lagi yang sering kita temukan,

sekalipun tidak sepopuler dua istilah di atas, yaitu disebut

Page 20: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

6_Duski Ibrahim

„ulûm al-awâ`il yang berarti ilmu-ilmu orang dahulu. Ilmu-ilmu

orang dahulu ini diamaksudkan adalah ilmu orang Yunani,

India, Romawi, Persia, yang membicarakan masalah ilmu

logika, matematika, astronomi, fisika dan lain-lain yang

menjadi objek atau bidang kajian filsafat.

B. Kelahiran Filsafat

Secara historis, menurut Hatta, ada beberapa hal yang

mendorong lahir atau timbulnya filsafat, yaitu: Pertama, adanya

dongeng-dongeng dan takhayyul-takhayyul yang beredar dalam

suatu masyarakat atau suatu bangsa. Dalam merespons ini, ada

sebahagian anggota masyarakat yang tidak mau mempercayai

begitu saja tentang dongeng yang beredar dalam masyarakat

tersebut. Selanjutnya, mereka secara kritis berpikir

menggunakan akal, ingin mengetahui kebenaran dongeng-

dongeng tersebut, lalu dari situ mucullah filsafat. Kedua,

keindahan alam yang besar ciptaan Tuhan, terutama ketika

malam hari. Adanya keindahan alam tersebut menjadi sebab

keingintahuan sebahagian orang-orang bangsa Yunani untuk

mengetahui rahasia-rahasia alam itu. Keingintahuan tersebut

melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban

yang rasional, ini akhirnya melahirkan filsafat (Hatta, 1986).

Senada dengan pandangan Hatta di atas, Ahmad Tafsir,

dengan mengutip Beerling, mengatakan bahwa orang-orang

Yunani mula-mula berfilsafat dikarenakan ketakjuban dengan

keindahan alam. Ketakjuban mereka dalam menyaksikan

keindahan alam ini menyebabkan mereka ingin mengetahui

rahasia-rahsianya secara logis. Plato umpamanya, mengatakan

bahwa filsafat itu dimulai dari ketakjuban. Sikap takjub atau

rasa heran tersebut melahirkan sikap bertanya-tanya, dan

pertanyaan-pertanyaan selalu diulang-ulang kembali, selama

masih ada kesangsian atau keraguan pada kebenaran yang

Page 21: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_7

ditemukan (Tafsir. 2002: 13). Oleh karena itu, seperti telah

disinggung di atas, bahwa filsafat adalah sebuah tanda tanya,

dan pencarian akan kebenaran atau ilmu pengetahuan tidak

akan pernah selesai

Para filosof Yunani, dalam waktu yang lama, telah

berusaha secara sungguh-sungguh mencari jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan tentang dari mana alam ini berasal,

apakah alam ini terdiri dari materi belaka atau justeru

diciptakan oleh Tuhan, apa sebenarnya bahan alam semesta ini,

apakah manusia itu secara prinsip sama dengan binatang atau

makhluk yang berakal dan bertanggungjawab atas semua

tindakannya? Dan banyak lagi pertanyaan yang perlu dicarikan

jawabannya.

Pada mulanya, jawaban-jawaban dari berbagai

pertanyaan mendasar dan filosofis tersebut hanya didasarkan

pada mitos-mitos. Umpamanya, anggapan masyarakat pra-

ilmiah bahwa matahari adalah seorang dewa yang sedang

menunggangi kereta kudanya yang melintas di langit, atau

bumi dianggap seperti meja dan di atasnya ada sebuah

mangkok setengah lingkaran. Jawaban mitologi semacam ini

dirasakan tidak memenuhi tuntutan rasio atau logos, akal sehat

tidak menerimanya. Sebab itu, para filosof terus mencari

jawaban yang rasional, sehingga kebenarannya dapat

dipertanggungjawabkan. Adanya jawaban rasional dari para

filosof tentang alam ini, walaupun ada perbedaan pendapat,

merupakan tapal batas atau batas jelas berakhirnya mitologi di

kalangan pemikir. Dengan demikian, kelahiran filsafat tejadi

ketika logos (akal budi atau rasio) menggantikan mitos (Lubis,

2014: 5).

Mengenai filsafat Islam, sekaitan dengan kelahirannya,

perlu dikemukakan berbagai pandangan yang dikemukakan

oleh para ahli, seperti Salam Madkour dan Al-Ahwani. Kedua

Page 22: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

8_Duski Ibrahim

filosof Muslim tersebut menguraikan, bahwa paling tidak ada

tiga kecenderungan tentang keberadaan filsafat Islam, yaitu:

Pertama, filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat

Yunani Kuno, yakni filsafat Yunani yang diambil oleh pemikir

Muslim. Pandangan ini dipegang oleh mayoritas orientalis; dan

sejauh itu mereka lebih suka menyebutnya sebagai Filsafat

Arab (Arabic Philosophy). Akibat logisnya, mereka

meminimalkan peran intelektual Muslim.

Kedua, pandangan yang mengatakan bahwa filsafat Islam

itu hanya reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang

telah muncul dan berkembang di masa-masa lalu, bahkan

pandangan ini memanggap bahwa para pemikir Muslim hanya

mengambil atau terpengaruh oleh tradisi Yahudi-Kristen, dan

bukan ide atau konsep orisinal sama sekali. Tidak jauh dengan

kecenderungan pertama, pandangan ini juga tampaknya

menegasikan ide-ide dan pemikiran-pemikiran orisinil yang

muncul filosof-filosof Muslim

Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa filsafat Islam

itu lahir dari kegiatan intelektual Muslim sejak masa-masa awal

kelahiran Islam, walaupun harus diakui adanya kontak dan

komunikasi pemikiran Islam dengan pemikiran filsafat

sebelumnya. Ini merupakan akibat logis dari kemajuan dan

perkembangan peradaban dunia. Oleh karena itu, tepat kalau

Oliver Leaman mengatakan bahwa Filsafat Islam adalah nama

generik keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembangan

dalam lingkup peradaban Islam, terlepas apakah mereka yang

punya andil berbangsa Arab ataupun non-Arab, Muslim

ataupun non-muslim, hidup di Timur Tengah ataupun bukan,

berbahasa Arab, Parsi, Ibrani, Turki ataupun Melayu sebagai

mediumnya, sejak zaman dulu sampai sekarang ini (Husaini,

2013: 16).

Page 23: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_9

C. Karakateristik Berpikir Filsafat

Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya yang sangat

terkenal Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer mengatakan

bahwa karakteristik berpikir filsafat adalah: Pertama,

menyeluruh; kedua, mendasar, ketiga, spekulatif. Selanjutnya

Jujun mengatakan: “Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka

dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh

manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pioner, dia

mempermasalahkan hal-hal yang pokok: terjawab masalah yang satu,

dia pun mulai merambah pertanyaan lain (Jujun, 2010: 23-24).

Dengan demikian, filsafat itu adalah berpikir spekulatif, yang

tidak ada kepastiannya, dalam filsafatt tidak ada yang qath‟i.

Sekaitan dengan hal di atas, dalam pandangan para ahli

filsafat bahwa ada beberapa ciri penting untuk dapat

dikatakan berfikir secara filosofis, antara lain, adalah:

1. Radikal, yaitu berpikir secara mendasar sampai ke akar-

akarnya, yakni berusaha mencari sumber pemikiran hingga

sampai pada hakikat atau esensi sesuatu.

2. Universal atau komprehensif (menyeluruh), bukan bersifat

partikular atau fragmentaris.

3. Konseptual, yakni merupakan hasil generaliasi dan abstraksi

pengalaman manusia.

4. Koheren dan konsisten, yakni sesuai dengan kaidah-kaidah

berpikir logis dan tidak kontradiktif.

5. Sistematik, yakni pendapat yang merupakan uraian

kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan

terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.

6. Bebas, yaitu sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati

boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas,

yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis,

kultural, bahkan religius.

Page 24: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

10_Duski Ibrahim

7. Bertanggungjawab, yakni seseorang yang berfilsafat adalah

orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap

hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya

sendiri (Rizal Musytasyir dan Misnal Munir, 2001: 5-6).

Kalau kita analisis lebih jauh dari kacamata filsafat Islam,

ada dua karakteristik atau ciri khas dari berpikir atau berfilsafat

menurut para ahli filsafat Barat yang harus dicermati, yaitu:

Pertama, karakteristik berpikir spekulatif. Dalam Islam,

sejak semula diakui bahwa Islam telah membicarakan segala

sesuatu secara menyeluh dan mendasar, mulai dari masalah

Tuhan, alam, manusia, moral dan lain sebagainya yang menjadi

objek kajian filsafat. Tetapi, tidak seperti filsafat Barat yang

sekular itu, baik yang dikemukakan oleh para pemikir Barat

sendiri maupun pemikir Muslim yang terpengaruh oleh tradisi

Barat, filsafat Islam tidaklah spekulatif secara mutlak,

melainkan ia juga menerima wahyu sebagai sumber ilmu.

Informasi dari wahyu (al-khabar ash-shâdiq) adalah informasi

yang dapat dipercaya secara qath‟î atau yaqînî.

Kedua, salah satu kriteria berpikir filsafat adalah bebas.

Rizal Musytasyir dan Misnal Munir mengemukakan bahwa:

Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas, sampai

batas-batas yang luas, maka setiap filsafat boleh dikatakan

merupakan suatu hasil pemikiran yang bebas dari

prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun

religius. Dintinjau dari aspek ini, berfilsafat dapatlah

dikatakan: mengembangkan pikiran dengan insaf, semata-

mata menurut kaidah pikiran itu sendiri.” (Rizal

Musytasyir dan Misnal Munir, 2001: 13-15).

Sekaitan dengan hal di atas, Harun Nasution mengatakan

bahwa intisari filsafat itu adalah: “Berfikir menurut tata tertib

(logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan

Page 25: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_11

agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke

dasar-dasar persoalan.” (Nasution, 1973: 3).

Islam memang memerintahkan kepada umatnya,

terutama kepada para ahli teologi dan filsafat Islam, untuk

memanfaatkan akal untuk berpikir. Bahkan, Nabi mengatakan

bahwa agama itu adalah akal dan tidak ada agama bagi orang

yang tidak berakal, sebagai legalitas untuk memanfaatkan akal

dalam berpikir masalah agama. Dengan ungkapan lain, Islam

juga mengajarkan berpikir bebas-terbatas, bukan bebas tidak

terbatas seperti filsafat Barat. Islam mengajarkan bahwa

pemikiran itu harus dibatasi oleh rambu-rambu yang diatur

oleh wahyu dan harus diimani. Umpamanya, Nabi

mengatakan:”Berpikirlah tentang makhluk Allah, dan jangan kamu

berpikir tentang zat-Nya.” Dengan demikian, karakter berpikir

filsafat dalam Islam adalah: Radikal, universal atau

komprehensif (menyeluruh), konseptual, koheren dan

konsisten, sistematik, spekulatif-muqayyad, bebas-muqayyad dan

bertanggungjawab.

Dua karakteristik spekulatif-muqayyad dan bebas-muqayyad

inilah antara lain yang membedakan antara filsafat, termasuk

filsafat ilmu yang selama ini diajarkan di Perguruan Tinggi

dengan fisafat, termasuk filsafat ilmu dalam perspektif Islam.

Perbedaan ini tentu saja berawal dari al-i‟tibâr wa al-ilghâ`

keberadaan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Barat

meng-ilghâ`-kan wahyu, sementara Islam meng-i‟tibâr-kannya,

bahkan mengutamakannya.

Sekaitan dengan hal di atas, filsafat Barat juga tentu saja

filsafat ilmunya muncul dan berkembang mengikuti pemikiran

Auguste Comte (1798-1857) yang telah mengajarkan tiga

tingkat perkembangan pengetahuan manusia, yaitu religius,

metafisik dan positif.

Page 26: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

12_Duski Ibrahim

“Dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan

postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau

penjabaran dan ajaran religi. Tahap kedua orang mulai

berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) ujud yang

menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan

mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat

metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap

pengetahuan ilmiah, (ilmu) dimana asas-asas yang

dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang

objektif” (Jujun, 2010: 25).

Dalam pernyataan lain, Jujun J. Suriasumantri dalam

bukunya Filsafat Ilmu, mengungkapkan: “Dapat disimpulkan

bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun

secara konsisten dan kebenarannya diuji secara empiris. Dalam

hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu

tidaklah bersifat absolut.... Ilmu tidak bertujuan untuk mencari

kebenaran absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi

manusia dalam tahap perkembangan tertentu.” (Jujun, 2010:

131-132).

Dalam Islam, kebalikan karakteristik ilmu yang

dikembangkan dalam filsafat ilmu Barat. Ada beberapa ayat Al-

Qur`an yang dapat dikemukakan, seperti dalam Q. S. Al-

Baqarah ayat 31:

“Dan Dia (Allah) telah mengajarkan kepada Adam nama-nama

(benda-benda) semuanya.

Kemudian Q. S. Ha Mim as-sajadah aya: 53:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda

(kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri,

sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur`an itu benar.....”

Page 27: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_13

Kemudian, Q. S. Al-Ghasyiyah ayat 17-21:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia

diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-

gunung, bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia

dihamparkan. Maka berilah peringatan. Karena sesungguhnya

kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.”

Dengan demikian jelas bahwa dalam filsafat ilmu Barat

yang berkembang pada periode modern telah menolak

informasi dari wahyu sebagai kebenaran ilmiah. Bagi mereka

kebenaran ilmiah adalah yang dapat dibuktikan secara empirik

atau dengan bukti-bukti fisik. Sedangkan dalam filsafat Islam

justeru informasi dari wahyu (al-khabar ash-shadiq) adalah

sumber utama ilmu pengetahuan yang paling dapat dipercaya,

karena ia berasal dari dzat al-wajib al-wujud, yang karenanya

dalam Islam sifat ilmu itu adalah wahdah al-„ilm (kesatuan ilmu),

tidak ada dikotomi ilmu, semuanya berasal dari Tuhan Yang

Satu. Sumber-sumber lain juga diakui dan memang diapresisasi

oleh Al-Quran dan hadits.

D. Objek Filsafat

Yang dimaksudkan dengan objek adalah sesuatu yang

menjadi bahan kajian atau lapangan penyelidikan, pembahasan

atau penelitian bagi suatu ilmu pengetahuan. Setiap ilmu

pengetahuan mempunyai objek tertentu, baik yang bersifat

material maupun formal, tidak terkecuali filsafat. Objek

material filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin

ada. Yang ada tersebut dapat diklasifikasikan kepada: Pertama,

ada yang tidak harus ada, yakni ada yang tidak mutlak

(relatif/nisbi) yang diciptakan atau mungkin diciptakan oleh

Tuhan. Kedua, Ada Yang Mutlak, yakni Dzat Yang wajib

Adanya (dzat wajib al-wujud), tidak tergantung kepada siapa

dan apapun juga, Adanya tidak bermula dan tidak berakhir.

Inilah yang disebut “Tuhan”. Sedangkan objek formal ialah

Page 28: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

14_Duski Ibrahim

mencari keterangan yang sedalam-dalamnya berkaitan dengan

yang konkret (tampak, nyata) atau bersifat abstrak (tidak

tampak, tidak nyata), umpamanya hal yang berkaitan dengan

etika, estetika, teknik, ekonomi, sosial, budaya, agama dan lain-

lain (Baharuddin, 2009: 8-9). Senada dengan pernyataan ini,

Noor menyatakan bahwa objek material mencakup segala

sesuatu yang ada dan mungkin ada, sedangkan objek non-

material (formal) meliputi hal-hal yang abstrak dan psikis,

termasuk pengertian abstrak-logis, konsepsional, spiritual,

nilai-nilai, dan lain-lain (Noor, 1981: 12). Dalam konteks objek

material filsafat dan objek material sains, dapat dikemukakan

bahwa: Kalau sains menyelidiki objek material yang empiris,

sementara filsafat menyelidiki bagian objek yang abstraknya.

Kemudian, ada objek material filsafat yang memang tidak

dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu objek

material yang selamanya tidak empiris (Susanto, 2014: 12).

Masih berkaitan dengan masalah objek filsafat, Louis O.

Kattsoff, yang dikutip Burhanuddin Salam, menyatakan bahwa

lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya, yaitu meliputi

segala pengetahuan manusia dan segala sesuatu atau apa saja

yang ingin diketahui manusia. Kajian atau objek filsafat ini

menyangkut ha-hal yang fisik (nyata, tampak) maupun yang

psikis (tidak nyata, tidak tampak). Hal-hal yang fisik adalah

segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada

dalam kenyataan, maupun ada dalam kemungkinan. Hal-hal

yang fisik ini juga meliputi alam semesta, semua keberadaan,

masalah hidup dan masalah manusia. Sedangkan hal-hal yang

psikis atau non-fisik ini adalah masalah Tuhan, kepercayaan,

norma-norma, nilai-nilai, keyakinan dan lainnya (Burhanuddin

Salam, 1988: 39). Sedangkan objek formal, yaitu sifat penelitian.

Objek formal adalah penyelidikan yang mendalam. Kata

mendalam berarti ingin tahu tentang objek yang tidak empiris.

Page 29: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_15

Penyelidikan sains tidak mendalam, karena ia hanya ingin tahu

sampai batas objek itu dapat diteliti secara empiris. Objek

penelitian sains adalah pada batas yang dapat diteliti,

sedangkan objek penelitian filsafat ada pada daerah yang tidak

dapat diteliti secara empiris, tetapi dapat dipikirkan secara

logis (Burhanuddin Salam, 1988: 39).

E. Syarat-Syarat Mempelajari Filsafat

Seperti dikemukakan Akhyar Lubis (Lubis, 2014: 2), ada

beberapa syarat dalam belajar filsafat dan berfilsafat, yaitu:

1. Dalam berfilsafat seseorang hendaklah memiliki sikap batin

yang menopang terwujudnya komunikasi yang efektif, yaitu:

Pertama, Keberanian mengkritisi sesuatu yang menjadi

keyakinan kita; Kedua, Kesiapan mengajukan hipotesis

tentatif dan kesiapan memberikan tanggapan awal terhadap

suatu pernyataan filsafat, walaupun kelihatan aneh; Ketiga,

Kesiapan bertekad mencari kebenaran di atas kepuasan diri

sendiri karena telah “menang” dalam suatu perdebatan atau

kekecewaan karena “kalah”; Keempat, Kemampuan untuk

memisahkan sikap/pandangan atau konflik pribadi.

2. Berfilsafat adalah keterampilan yang harus banyak

dikembangkan dalam praktik, mengingat aturan dalam

filsafat yang dapat dihafal sangat sedikit. Kendatipun

demikian, peminat filsafat harus dapat memanfaatkan

berbagai metode secara tepat.

3. Peminat filsafat harus “belajar filsafat” dan “berfilsafat”

sekaligus. Umpamanya, membaca karya-karya filosof atau

ilmuwan besar dengan sikap kritis, mengajukan berbagai

pertanyaan kritis, dalam rangka melatih berpikir secara

filosofis, hingga menjadi suatu kebiasaan.

Page 30: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

16_Duski Ibrahim

4. Dalam berfilsafat atau berpikir, seseorang tidak boleh

bersikap kekeuh dengan pendapat pribadi, karena pribadi

belum tentu benar, baik argumen atau teori.

5. Tidak boleh mencampuradukkan antara “argumen filosofis”

dengan “praktik psikologis”. Umpamanya, mengkritik

pendapat seseorang dengan menyatakan bahwa pendapat

atau pendirian orang itu terkait dengan masa lalunya, atau

tekanan lingkungannya dan sebagainya, dalam rangka

menghindari apa yang disebut kekeliruan genitis (genetic

fallacy).

6. Filsafat memiliki dua sisi, yakni : Pertama, Sisi Kritis:

Biasanya kita belajar dan menganalisis filsafat orang lain

terlebih dahulu, sebelum kita mengkonstruksi spekulasi

teoritis sendiri. Kedua, Sisi konstruktif: Kritikpun dapat

bersifat konstruktif dengan cara mengkritik kelemahan-

kelemahan teori/argumen orang lain, dalam rangka

menemukan pandangan baru yang mungkin lebih baik dari

pendapat sebelumnya.

7. Ketika mengkritik pendapat atau argumen orang lain,

usahakanlah terlebih dulu mempertimbangkan kekuatan

kritik kita, dengan menanya diri sendiri apakah kita

memahami benar apa yang kita kritisi tersebut.

Syarat-syarat mempelajari filsafat di atas, dalam filsafat

Islam tentu saja dapat diterima selama tidak akan merusak

keyakinan yang secara pasti dijelaskan dalam sumber otoritatif

wahyu (mâ lam yata‟âradh ma‟a ushûl ad-dîn).

F. Metode Mempelajari Filsafat

Sesungguhnya banyak metode yang dapat digunakan

dalam mempelajari filsafat, tetapi dalam kesempatan ini,

penulis akan mengikuti apa yang ditawarkan oleh Ahmad

Page 31: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_17

Tafsir dengan improvisasi seperlunya. Menurut Tafsir (2005:

20), ada tiga metode dalam mempelajari filsafat, yaitu:

1. Metode sistematis:

Belajar dengan metode sistematis ini adalah belajar

dimulai dengan banyak membaca buku-buku filsafat,

memahami pengertiaannya, objek yang dikaji, sistematika

filsafat, makna ontologi, epsitemologi, dan aksiologi. Dengan

ungkapan lain, dengan menggunakan metode sistematis ini,

melalui karya-karya filsafat, umpamanya seseorang akan

mempelajari teori-teori pengetahuan yang terkait dengan

cabang-cabang filsafat, mempelajari teori-teori nilai, aliran-

aliran filsafat. Jadi, dengan menggunakan metode sistematis ini,

seseorang akan terfokus perhatiannya kepada isi atau ajaran-

ajaran filsafat, tidak terfokus pada tokoh atau periode-periode

filsafat.

2. Metode historis:

Mempelajari filsafat dengan menggunakan metode

historis ini adalah dengan cara membagi babakan atau periode

filsafat sejarah. Umpamanya, seseorang mula-mula

mempelajari sejarah filsafat, seluk beluk dan kelahirannya,

filsafat Yunani kuno, kemudian filsafat abad pertengahan,

selanjutnya filsafat abad modern, kontemporer, baik di Barat, di

dunia Islam, filsafat Kristiani, filsafat Timur, dan lain-lain yang

berkaitan dengan sejarah filsafat dipelajari secara mendalam.

Dengan demikian, dipelajari juga filsafat klasik, eksistensi

filsafat pada abad pertengahan, filsafat pada abad modern dan

filsafat pada era postmodern atau kontemporer dewasa ini.

Bentuk lain dari cara mempelajari filsafat dengan metode

historis ini adalah dengan cara membicarakan tokoh demi

tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah. Umpamanya,

manakala kita ingin membicarakan Thales, maka kita

Page 32: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

18_Duski Ibrahim

mempelajari riwayat hidupnya, pokok-pokok ajarannya dalam

berbagai bidang ilmu. Kemudian dilanjutkan pada

Anaximandros, dengan cara yang sama seperti yang dilakukan

ketika mempelajari Thales, demikian seterusnya sampai pada

tokoh-tokoh kontemporer. Terlepas dari bentuk apa yang

digunakan, yang terpenting adalah mempelajari filsafat dengan

metode historis ini berarti mempelajari filsafat secara

keronologis.

3. Metode kritis

Belajar filsafat dengan metode kritis, yaitu mempelajari

filsafat sebagai lanjutan setelah terlebih dahulu memahami

seluk-beluk filsafat melalui dua atau salah satu metode di atas,

dalam rangka mengkritisi filsafat yang telah ada. Dengan

demikian, metode kritis yang digunakan oleh mereka yang

mempelajari filsafat ini adalah metode tingkat tinggi, karena

seseorang itu tentu telah memiliki pengetahuan yang memadai

tentang seluk-beluk filsafat. Dalam praktiknya, seseorang itu

dapat menggunakan metode sistematis atau historis. Adapun

langkah yang dilakukannya adalah: mula-mula memahami isi

ajaran filsafat, kemudian memberikan kritik terhadap ajaran

yang dibacanya tersebut. Walaupun disebut kritik, namun

bukan hanya berarti menentang atau menolak pendapat tokoh-

tokoh filsafat, tetapi juga dapat berupa dukungan terhadap

ajaran atau paham filsafat yang sedang dikajinya. Kemudian,

dalam mengkririk pendapat, seseorang itu tidak mesti dengan

pendapatnya sendiri, tetapi boleh dengan menggunakan

pendapat fislosof lainnya.

G. Fungsi Filsafat

Dari definisi-definisi filsafat yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka banyak hal yang dapat dipahami, baik

Page 33: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_19

secara tegas dan jelas maupun hanya sekedar isyarat-isyarat

dari pesan-pesan yang dikandung ungkapan-ungkapan dalam

berbagai ragam rumusan definisi tersebut. Di antara pesan-

pesan yang terkandung tersebut adalah mengenai fungsi

filsafat bagi manusia (baik sebagai individu maupun sosial),

antara lain, sebagai berikut:

1. Filsafat sebagai ilmu. Sebagai ilmu, filsafat berusaha secara

maksimal untuk mencari tentang hakikat atau inti dari suatu

hal. Hakikat atau inti sesuatu itu sifatnya sangat dalam dan

hanya dapat dimengerti oleh akal. Dalam rangka mencari

pengetahuan tentang hakikat sesuatu, mestilah dilakukan

dengan abstraksi, yaitu suatu perbuatan atau kerja akal

untuk menghilangkan keadaan, sifat-sifat tertentu, sehingga

pada akhirnya muncul substansi atau sifat mutlak.

2. Filsafat sebagai cara berpikir. Sebagai cara berpikir, filsafat

adalah berusaha memanfaatkan kemampuan akal untuk

memikirkan sesuatu secara sangat mendalam, sehingga akan

sampai pada hakikat sesuatu. Pemikiran yang dilakukan

tersebut tentu saja dengan melihat dari berbagai sudut

pandang pemikiran atau dari sudut pandang ilmu

pengetahuan.

3. Filsafat sebagai pandangan hidup. Sebagai pandangan

hidup, filsafat sebenarnya bersumber pada hakikat kodrat

diri manusia, yang berperan sebagai makhluk individu,

makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Filsafat sebagai

pandangan hidup ini, dapat dijadikan dasar setiap tindakan

dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, juga

dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan

yang dihadapi dalam hidupnya. Sikap dan cara hidup

tersebut akan muncul apabila manusia mampu memikirkan

dirinya sendiri secara total atau menyeluruh. Pengkajian

tentang manusia secara total dan menyeluruh ini telah

Page 34: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

20_Duski Ibrahim

melahirkan bermacam-macam filsafat yang dapat dijadikan

pandangan hidup manusia itu sendiri. Macam-macam

filsafat tersebut, antara lain, sebagai berikut:

a. Filsafat sosial. Yaitu filsafat yang mengkaji manusia dalam

kedudukannya sebagai makhluk sosial.

b. Filsafat biologi. Yaitu filsafat yang meneliti manusia

dengan berbagai unsur raganya.

c. Filsafat antropologi. Yaitu filsafat yang meneliti manusia

dengan unsur kesatuan jiwa dan raganya.

d. Filsafat etika. Yaitu filsafat yang meneliti manusia dengan

unsur kehendaknya untuk berbuat baik dan buruk.

e. Filsafat estetika. Yaitu filsafat yang mengkaji manusia

dengan unsur rasa keindahannya.

f. Filsafat agama. Yaitu filsafat yang mengkaji manusia

dengan unsur kepercayaannya terhadap supranatural,

dan lain-lain (Susanto, 2014: 15-16).

g. Filsafat hukum. Yaitu filsafat yang mempelajari hakikat

hukum atau filsafat yang mempelajari hukum secara

filosofis (Erwin dan Amrullah Arfan (2007: 7). Sementara

itu, Carl Joachim Friedrich mengatakan bahwa filsafat

hukum merupakan bagian dari filsafat umum tertentu,

karena ia menawarkan refleksi filosofis mengenai

landasan hukum umum. Refleksi itu, bisa berasal dari

pendapat filosof maupun mengarah kepada pendapat

semacam itu (Friedrich, 2004: 3).

h. Filsafat pendidikan. Yaitu kaidah filosofis dalam bidang

pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek

pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan pada

pelaksanaan prinsip-prinsip dan kebercayaan yang

menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya

memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara

praktis (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2014: 6).

Page 35: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_21

H. Bidang Kajian Filsafat

Banyak pendapat tentang bidang kajian filsafat. Menurut

Aristoteles bidang-bidang filsafat itu antara lain adalah: Logika,

Estetika, Psikologi, Filsafat Politik, Fisika dan Matematika.

Berbagai bidang filsafat ini dikelompokkan menjadi tiga

bagian, yaitu: (1) Filsafat spekulatif (ilmu-ilmu teoritis). Filsafat

ini bersifat objektif, yang dikembangkan demi tujuan pada

dirinya atau filsafat demi filsafat itu sendiri. Cabang filsafat

yang termasuk kategori ini adalah: Fisika, Metafisika dan

Biopsikologi. (2) Filsafat praktis (ilmu-ilmu praktis). Yaitu filsafat

yang berfungsi untuk memberikan pedoman bagi tingkah laku

yang baik dan rasional bagi manusia sebagai human. Cabang

filsafat yang termasuk kategori ini, antara lain, adalah: Etika

dan Politik.(3) Filsafat atau ilmu produktif, yaitu filsafat yang

mendorong manusia untuk menjadi produktif melalui

keterampilan-keterampilan khusus. Cabang filsafat yang

termasuk kategori ini, antara lain, adalah: Retorika dan Estetika.

Perlu dikemukakan, bahwa retorika menduduki posisi penting

pada masa Yunani, sebab ia sangat berhubungan dengan dua

cabang filsafat lain, yaitu logika dan dialektika, yang keduanya

tidak masuk tiga cabang filsafat di atas (Bagus, 1992).

Menurut Christian Wolff, bidang-bidang filsafat itu

adalah: Logika, filsafat, ontologi, teologi, kosmologi, psikologi

rasional, etika dan teori pengetahuan (Bagus, 1992: 246-247).

Dengan versi lain, Ted Honderich, melakukan pembidangan

dengan bentuk tiga lingkaran, yaitu: Pertama, Lingkaran

pertama atau lingkaran dalam, terdiri dari: Metafisika,

epistemologi dan logika; Kedua, Lingkaran kedua atau

lingkaran tengah, terdiri dari: Filsafat ilmu pengetahuan,

filsafat pikiran (mind), filsafat moral (etika), dan filsafat

bahasa;b Ketiga, Lingkaran ketiga atau lingkaran luar, terdiri

dari: Filsafat matematika, filsafat politik, filsafat ketuhanan,

Page 36: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

22_Duski Ibrahim

filsafat sosial, filsafat keindahan, filsafat hukum, filsafat

pendidikan, filsafat agama dan lain-lain.

Menurut Sony Keraf dan Mikhael Dua (2001: 19), bahwa

secara umum filsafat dibedakan menjadi lima cabang besar,

yaitu:

1. Metafisika atau ilmu tentang yang ada sebagai ada (cabang

filsafat ini berbicara mengenai realitas sebagainana adanya),

2. Epistemologi atau filsafat ilmu pengeahuan,

3. Etika atau filsafat moral yang berbicara mengenai baik-

buruknya prilaku manusia,

4. Logika, berbicara mengenai bagaimana berpikir secara tepat,

dan

5. Estetika atau filsafat seni, berbicara tentang keindahan.

Menurut Arifin (2003: 16), ruang lingkup kajian filsafat

meliputi bidang-bidang sebagai berikut:

1. Kosmologi, yaitu suatu pemikiran dalam permaslahan yang

berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu,

kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan, serta

proses kejadian dan perkembangan hidup manusia di alam

nyata, dan sebagainya.

2. Ontologi, yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian

alam semesta, dari mana dan ke arah mana proses

kejadiannya.

3. Philosophy of mind, yaitu pemikiran filosofis tentang jiwa

dan bagaimana hubungannya dengan jasmani serta

bagaimana tentang kebiasaan berkehendak manusia, dan

sebagainya.

4. Epistemologi, yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana

sumber pengetahuan manusia diperoleh; apakah dari akal

pikiran (aliran rasionalisme), dari pengalaman panca indera

(aliran empirisme), dan ide-ide (aliran iealism), atau dari

tuhan (aliran teologisme), termasuk juga pemikiran tentang

Page 37: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_23

validitas pengetahuan manusia, artinya sampai di mana

kebenaran pengetahuan kita.

5. Aksiologi, yaitu suatu pemikiran tentang masala-masalah

nilai, termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya nilai

moral, nilai agama, dan nilai keindahan (estetika). Aksiologi

ini mengandung pengertian lebih luas dari pada etika atau

higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf

tinggi).

Terlepas dari berbagai pandangan tentang bidang filsafat

di atas, secara garis besar, kajian utama filsafat itu dapat

dikelompokkan kepada tiga bidang, yaitu: Ontologi,

epistemologi, dan aksiologi.

1. Ontologi. Secara kebahasaan, ontologi berasal dari kata

Yunani on (ada), dan ontos berarti keberadaan. Sedangkan

logos diartikan dengan pemikiran atau penyelidian tentang

sesuatu. Jadi, ontologi membicarakan asas-asas rasional dari

“yang ada”, berusaha untuk mengetahuai atau menyelidiki

tentang esensi yang terdalam dari “yang ada”. Langeveld

menamai ontologi ini dengan teori tentang keadaan.

Ontologi seringkali disebut sebagai teori hakikat yang

membicarakan pengetahuan itu sendiri. Ontologi adalah

ilmu yang mengkaji tentang hakikat ilmu. Hakikat apa yang

dikaji (Jujun, 2010: 61). Dengan ontologi, diharapkan

terjawab pertanyaan tentang “apa” yang ditelaah oleh ilmu?

Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap

manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang

membuahkan pengetahuan? (Jujun, 2010: 33). Bidang kajian

filsafat ontologi ini terbagi menjadi beberapa aliran, yaitu:

materialisme, idealisme, dualisme, skeptisisme, dan agnotisme.

2. Epistemologi. Epistemologi sebagai teori pengetahuan

(theory of knowledge) membahas secara mendalam segenap

proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh

Page 38: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

24_Duski Ibrahim

pengetahuan. Sebab, pengetahuan didapat melalui proses

tertentu yang dinamakan metode keilmuwan (Jujun, 2010: 9).

Secara lebih rinci cakupan epistemologi dikemukakan Jujun

S.Suriasumantri: Bagaimana proses yang memungkinkan

ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana

prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita

bmendapat pengetahuan yang benar? Apakah yang disebut

kebenaran itu, dan apa kriterianya? Cara, teknik, dan sarana

apa yang membantu kita mendapatkan pengetahuan berupa

ilmu? (Jujun, 2010: 33). Sebagai sebuah prosedur,

epistemologi memiliki berbagai perangkat dalam upaya

membantu kita memperoleh ilmu pengetahuan yang benar.

Metode ilmiah merupakan proedur dalam mendapatkan

pengetahuan yang disebut ilmu (Jujun, 2010: 119).

Ringkasnya, epistemologi merupakan cabang utama

filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-

metode, keabsahan pengetahuan, sumber-sumber

pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan

tersebut. Melalui epistemologi diharapkan terjawab

pertanyaan tentang “bagaimana”. Misalnya: Bagiamana cara

kita memperoleh pengetahuan? Bgaimana proses yang

memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu?

Bagaimana prosedurnya? Bagaimana cara kita mengetahui

bila kita mempunyai pengetahuan? Bagaiamna kita

membedakan antara pengetahuan dengan pendapat? Bidang

filsafat epistemologi ini terbagi menjadi beberapa aliran,

yaitu: Empirisme, rasionalisme, dan intuisionisme.

3. Aksiologi. Secara kebahasaan, aksiologi berasal dari bahasa

Yunani axios dan logos. Axios berarti nilai dan logos berarti

teori. Dengan demikian, aksiologi berarti teori nilai (theory of

value). Secara filsafat, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yng

menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari

Page 39: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_25

sudut pandangan kefilsafatan. Nama lain dari bidang kajian

aksiologi ini adalah disebut teori nilai. Teori nilai ini

membahas mengenai kegunaan atau manfaat pengetahuan.

Untuk menggunakan kegunaan filsafat, kita dapat

melihatnya dari tiga hal: (1) filsafat sebagai kumpulan teori

(2) fisalafat sebagai pandangan hidup, (3) filsafat sebagai

metode pemecahan masalah.

Sebagai teori nilai, aksiologi ini dalam konteks

kaitannya dengan kegunaan atau manfaat dari

pengetahuan yang diperoleh. Sekaitan dengan kegunaan

atau manfaat ilmu pengetahuan ini, terjadi perbedaan

pendapat para ilmuwan. Golongan pertama ingin

melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti

pada waktu era Galileo. Golongan kedua mencoba

menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis

berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat.

Golongan ini berpendapat bahwa ilmu secara moral harus

ditunjukkan kepada kebaikan manusia tanpa merendahkan

martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan (Jujun S.

Suriasumantri, 2000: 235.) Secara historis, berbeda dari

ontologi dan epistemologi, aksiologi ini muncul

belakangan, sebagai akibat dari terjadinya perang dunia

kedua di mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

pada kenyataannya digunakan dengan mengabaikan etika

dan moral.

„Ȃlâ kulli hâl, secara ringkas, ontologi menjawab

pertanyaan tentang: Apa yang dikaji oleh pengetahuan?

Epistemologi menjawab pertanyaan tentang: Bagaimana

cara memperoleh atau mendapatkan pengetahuan?

Aksiologi menjawab pertanyaan tentang: Untuk apa

pengetahuan tersebut dipergunakan? Dengan mengetahui

jawaban dari tiga jenis pertanyaan tersebut, maka kita

Page 40: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

26_Duski Ibrahim

dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang ada

dalam khazanah kehidupan manusia. Hal ini

memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang

ada, seperti ilmu, dan agama serta dapat memposisikannya

pada tempat masing-masing, sehingga dapat saling

memperkaya dan memenuhi kebutuhan hidup manusia.

I. Kegunaan Belajar Filsafat

Mempelajari filsafat jelas sangat berguna bagi kita dalam

rangka mencerdaskan umat dengan belajar berpikir secara

mendalam tentang sesuatu objek. Sekalipun kegunaan

pemikiran filsafat tersebut bersifat teortis, namun sering

berdampak manfaat praktis. Umpamanya, teori atom

Democritos dan dan Leucippos, pada gilirannya diwujudkan

dalam bentuk energi atom atau nuklir yang luar biasa.

Kemudian, konsepsi-konsepsi para filosof tentang negara,

keadilan, demokrasi, hak rakyat dan lain-lain yang

dikemukakan oleh Aristoteles, Plato, John Locke atau Rousseau

telah memberikan kontribusi luar biasa untuk kemajuan dunia

modern dan postmodern.

1. Bahwa belajar filsafat secara mendalam akan membentuk

kemandirian secara intelektual, membangun sikap toleran

terhadap perbedaan sudut pandang, dan membebaskan dari

jeratan dogmatisme.

2. Bahwa inti filsafat adalah membentuk pemikiran kita, bukan

hanya mengisi kepala kita dengan fakta-fakta atau informasi-

informasi. Berfilsafat berarti menyusun dan

mempertahankan keyakinan-keyakinan yang kita miliki

dengan menggunakan argumentasi yang rasional. Tetapi,

tetap bertindak lebih layak dan toleransi terhadap perbedaan

pendapat dan sudut pandang (Lubis, 2014).

Page 41: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_27

Sejauh itu, orang yang mempelajari filsafat dapat

memahaminya secara mendalam dan bahkan akan

mengantarkaannya menjadi seorang filosof. Ia juga dapat

menambah ketajaman berpikir dalam memahami masalah

yang senantiasa dikaji secara rasional, sistematis dan logis.

Seseorang yang mempelajari filsafat dapat mengasah otak

dengan sering kontemplasi pemikiran terhadap hal-hal yang

rasional dan metafisikal.

Sekaitan dengan kegunaan mempelajari filsafat ini,

Susanto (2014: 17-18) mengatakan bahwa ada beberapa manfaat

yang dapat diambil dari filsafat, yaitu:

1. Filsafat telah mengajarkan kepada kita untuk lebih mengenal

diri kita sendiri secara totalitas, sehingga kita dapat

memahami hakikat manusia, dan bagaimana seharusnya kita

bersikap dalam menghadapi segala sesuatu.

2. Filsafat mengajarkan kita agar terlatih untuk berpikir serius,

berpikir secara radikal, mengkaji sesuatu sampai ke akar-

akarnya.

3. Filsafat mengajarkan tentang hakikat alam semesta. Pada

dasarnya berpikir filsafat ialah berusaha untuk menyusun

suatu sistem pengetahuan yang rasional dalam rangka

memahami segala sesuatu, terkait dengan alam semesta.

4. Filsafat mengajarkan tentang hakikat Tuhan. Studi tentang

filsafat seharusnya dapat membantu manusia untuk

membangun keyakinan keagamaan atas dasar kematangan

secara intelektual. Dengan pemahaman yang mendalam dan

dengan daya nalar yang tajam, maka akan sampailah kepada

kekuasaan yang mutlak, yaitu Tuhan.

Filsafat adalah ilmu, bahkan induk semua ilmu. Setiap

ilmu wajib dituntut. Rasul mengatakan: “Menuntut ilmu itu

adalah wajib atas setiap orang Islam, baik laki-laki atau perempuan.”

Selanjutnya, dalam Islam, kita selalu dianjurkan supaya

Page 42: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

28_Duski Ibrahim

memperoleh ilmu yang bermanfaat. Nabi selalu berdeoa: “Ya

Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”

Kita melihat, bahwa filsafat banyak sekali manfaatnya bagi

umat Islam, dari berbagai segi, sehingga filsafat ini dapat kita

masukkan dalam kategori cakupan makna Al-Qur`an surat Ali

„Imran ayat 191 yang berbunyi: Rabbanâ mâ khalaqta hâdzâ

bâthilan (“ Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan sesuatu ini

sia-sia.”). Melalui petunjuk ayat ini, maka belajar filsafat yang

merupakan berpikir mendalam pasti ada manfaatnya atau

kegunaannya, tidak akan sia-sia. Terlepas dari ada pandangan

negatif terhadap filsafat oleh sebagian ahli agama, seperti an-

Nawawi, filsafat dan belajar filsafat tersebut ada gunanya,

terutama untuk mencerdaskan diri, lingkungan dan bangsa.

Sejauh itu, dengan mempelajari filsafat, nash-nash atau

ajaran-ajaran agama dapat dijadikan sebagai bukti untuk

membenarkan akal, sebagai media berfilsafat. Atau sebaliknya,

dengan filsafat akal dapat djadikan alat atau media untuk

membenarkan nash-nash atau ketentuan agama, sekalipun

tanpa akal nash-nash Al-Quran dan hadits mutawatir harus

diakui kebenarannya. Objek filsafat membahas segala yang ada,

baik yang fisik maupun yang metafisisik seperti manusia, alam

semesta, dan Tuhan. Sementara dalam agama, objeknya adalah

Tuhan, sifat-sifatnya, hubungan Tuhan dengan alam dan

hubungan Tuhan dengan manusia manusia yang hidup di

bumi sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan dalam kitab

suci.

J. Titik Pisan dan Titik Temu: Filsafat, Ilmu dan Agama

Untuk mengetahui perbedaan antara filsafat dan ilmu

pengetahuan, kita dapat melihat ciri berpikir filsafat yang

radikal dan komprehensif, yang berbeda dari ciri berpikir ilmu

pengetahuan yang bersifat spesifik atau spesialis. Umpamanya,

Page 43: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_29

manakala dilakukan suatu kajian tentang manusia maka filsafat

memandang dan mengkajinya secara menyeluruh, sementara

ilmu pengetahuan mengkajinya hanya dari aspek-aspek

tertentu saja, seperti aspek psikis, aspek biologis, aspek

anatomis, atau aspek sosiologisnya.

Sedangkan untuk mengetahui perbedaan antara filsafat

dan agama, kita dapat melihatnya dari aspek sumber masing-

masing. Kalau filsafat bersumber dari rasio atau akal, maka

agama bersumber dari wahyu Tuhan. Kalau kita coba

melakukan rincian perbedaan masing-masing, maka dapat

dikemukakan, bahwa filsafat itu bersumber dari akal (yang

dominan) dan pengalaman; ilmu pengetahuan bersumber dari

pengalaman (yang dominan) dan akal, sedangkan agama

bersumber dari wahyu (yang dominan). Artinya, agama juga

sangat memerlukan akal dan pengalaman.

Dalam ajaran Islam, menurut Harun Nasution (1986: 48)

Nabi memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, seperti

dipahami dari hadits yang berbunyi: ad-dîn 'aqlun wa lâ dîna li

man la 'aql lahû (agama adalah akal, dan tidak beragama bagi

orang yang tidak mempunyai akal), suatu ungkapan yang

mengajarkan pentingnya akal dalam agama Islam, termasuk

dalam upaya pencarian pengetahuan. Selain itu, Khallaf (1968:

44) mengemukakan, bahwa pada suatu saat Nabi pernah

melihat penduduk kota Madinah mengawinkan pohon kurma

(yu`abbirûn an-nakhlah), lalu ia mengisyaratkan kepada mereka

supaya tidak mengawinkan pohon kurma tersebut, maka

mereka pun meninggalkan hal itu, akibatnya panen kurma

menjadi gagal. (Mempertimbangkan kegagalan ini), maka Nabi

berkata kepada mereka: Antum a'lam bi umûr dunyâkum

(Kawinkanlah kurma itu, kamu lebih mengetahui dengan urusan-

urusan duniamu), suatu ungkapan yang mengisyaratkan

pentingnya pengalaman empirik untuk pengembangan

Page 44: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

30_Duski Ibrahim

pengetahuan. Kalau kita analisis lebih dalam dengan

menggunakan kaidah ilmu balaghah, hadits Nabi tersebut

termasuk dalam kategori min ithlâq al-juz` wa irâdah al-kull (yang

disebut khusus, yakni masalah pengembangan buah kurma,

tetapi yang dimaksud adalah umum, yaitu pengembangan

pertanian). Ajaran-ajaran Tuhan yang disampaikan kepada

Nabi Muhammad, dengan demikian, bukan hanya berkenaan

dengan masalah agama dan ibadah, tetapi juga banyak yang

berkaitan dengan masalah dunia yang memerlukan

pemanfaatan akal dan pengalaman-pengalaman.

Menarik dikemukakan pandangan Baharuddin (2009: 11-

12), bahwa ada persamaan dan perbedaan antara filsafat dan

agama. Persamaannya adalah: Filsafat dan agama bertemu

pada objek materialnya yang ada dan mungkin ada,

umpamanya Tuhan, kebijaksanaan, baik-buruk, dan lain-lain;

selain itu kedua-duanya mencari kebenaran. Sedangkan

perbedaannya adalah: Dasar penyelidikan agama adalah

wahyu Tuhan, kebenaran agama tergantung kepada wahyu.

Sedangkan dasar penyelidikan kebenaran filsafat adalah akal-

budi semata-mata. „Ȃlâ kulli hâl, walaupun secara garis besar

ada perbedaan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama,

tetapi tetap didapatkan titik temu, berupa persamaan antara

ketiganya, yaitu sama-sama mencari kebenaran, walaupun

starting point dan caranya yang berbeda.

Dalam perspektif filsafat, suatu kebenaran dapat

diperoleh melalui proses logika. Dengan ungkapan lain,

kebenaran filsafat adalah kebenaran yang dihasilkan melalui

proses berpikir dengan logika, dan hasil berpikir yang logis

itulah merupakan ukuran dalam mencari, menemukan dan

menerima kebenaran. Cara memperoleh kebenaran semacam

ini tentu saja berbeda dari cara yang dilakukan ilmu dan

agama.

Page 45: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_31

Dalam perspektif ilmu, kebenaran yang didapat melalui

metode dan prosedur ilmiah, yang bermuatan logika dan bukti-

bukti empiris untuk menemukan suatu kesimpulan, yang

disebut dengan kebenaran ilmiah. Sebagai contoh, untuk

menjawab pertanyaan apakah benar pemberian pupuk pada

tanaman dapat menyburkan pertumbuhan tanaman, maka

seseorang dapat berekperimen dengan mengambil sampel

tanaman yang diberi pupuk dan tanaman yang tidak diberi

pupuk. Manakala dalam eksperimen tersebut ternyata ada

pengauh terhadap pertumbuhan tanaman, maka hal itu adalah

suatu kebenaran ilmiah yang didapatkan dengan bukti empiris.

Dalam persepektif agama, suatu kebenaran dapat

diperoleh melalui wahyu atau melalui proses imâniah sebagai

basis utamanya. Kendatipun demikian, proses aqliah juga dapat

digunakan sebagai penunjang proses imâniah tersebut. Dalam

proses imâniah ini seseorang yang beragama harus menerima

dan membenarkan berita-berita dari Tuhan (Allah), dengan

rasa iman. Sebab, yang paling benar perkataan adalah

perkataan Allah. “Siapakah yang paling benar perkataan dari

Allah”? (Q. An-Nisa`: 87). Selain itu, atas dasar iman kaum

muslim harus menerima dan membenarkan apa yang

disampaikan oleh Nabi, walaupun tampaknya tidak masuk

akal. Umpamanya, disebutkan dalam shahih al-Bukhari dari

hadits Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw berkata: “Apabila

seekor lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang kamu, maka

hendaklah ia tenggelamkan, kemudian dicabut, maka sesungguhnya

dalam salah satu sayapnya itu adalah penyakit sementara di sayap

yang satunya adalah obat.” Ini adalah berita dari Rasul saw. Dan

Rasul itu tidak berbicara menurut hawa nafsunya, melainkan ia

berbicara sesuai dengan tuntutan wahyu Allah. Banyak contoh

lain dari kebenaran wahyu melalui proses imâniah seperti

peristiwa isrâ` mi‟râj Nabi Muhammad saw., berita-berita hari

Page 46: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

32_Duski Ibrahim

kiamat dan hal-hal yang terkait dengannya, termasuk surga

dan neraka.

Ringkasnya, dari segi sifatnya, kebenaran ilmiah dapat

disebut dengan kebenaran yang derajatnya „ain al-yaqîn;

kebenaran filsafat dapat disebut dengan kebenaran yang

derajatnya „ilm al-yaqîn; sedangkan kebenaran agama adalah

kebenaran yang disebut dengan kebenaran yang derajatnya

haqq al-yaqîn). Pengkategorian semacam ini masih tetap

mengacu kepada petunjuk atau skema yang dijelaskan Al-

Qur`an.

Sekaitan dengan kebenaran ini, teruatama kebenaran

dalam persepektif agama, sangat sering terjadi adanya

kesenjangan antara kebenaran yang diyakini dengan fakta yang

diamalkan. Idealnya, apa yang diyakini benar sesungguhnya

itulah yang seharusnya diamalkan, bulan lain yang diyakini

benar dan lain yang dinyatakan dalam fakta. Dahulu pada

umumnya keluarga muslim konsisten menjalankan ajaran

Islam yang diyakini benar, umpamanya tentang etika (hukum)

bergaul antara laki-laki dan perempuan, etika (hukum)

berpakaian yang menutup aurat. Tetapi, di era globalisasi,

kebenaran-kebenaran agama yang diyakini tersebut sudah

banyak yang meninggalkannya, cara bergaul dan berpakaian

tidak menghiraukan kebenaran yang diyakini, bahkan masalah

kebenaran larangan berzina pun tidak dihiraukan lagi. Krisis

akhlak dan krisis agama (azmah al-akhlâq wa ad-dîn) sudah

terjadi; kebenaran etika dan ajaran agama yang diyakini, pada

kenyataannya tidak sama dengan fakta yang terjadi dalam

masyarakat. Na‟ûdzubillâh min dzâlik.

Page 47: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_33

BAB II PERIODESASI FILSAFAT

DAN ILMU PENGETAHUAN

Secara historis, berdasarkan atas ciri-ciri pemikiran yang

menonjol, filsafat dan ilmu pengetahuan dapat dibagi atas

beberapa periode, yaitu : Pertama, Periode atau Zaman Purba,

Kedua, Periode atau Zaman Yunani, Ketiga, Periode atau Zaman

Abad Pertengahan, Keempat, Periode Keemasan Islam. Kelima,

Periode atau Zaman Ranaisans, Keenam, Periode atau Zaman

Modern, Ketujuh, Periode Post-modern atau Periode

Kontemporerer.

A. Periode atau Zaman Purba (15 SM – 7 SM)

Santoso menjelaskan bahwa manusia di zaman purba

hanya sekedar menerima peristiwa yang terjadi sebagai fakta.

Fakta-fakta berupa peristiwa tersebut diola hanya untuk

menemukan persoalan yang sama, itupun barangkali tanpa

sengaja, tanpa tujuan tertentu. Kalaupun ada keterangan, maka

hal itu senantiasa dikaitkan dengan dewa-dewa dan mistik.

Oleh karena itulah pengamatan perbintangan menjelma

menjadi astrologi. Kemudian, pengamatan yang dilakukan oleh

manusia pada zaman purba (yang menerima fakta sebagai brute

facts atau on the face value), menunjukkan bahwa manusia di

zaman purba masih berada pada tingkatan sekedar menerima,

baik dalam sikap maupun dalam pemikiran (receptive attitude

dan receptive mind) (Santoso, 1977: 27). Perkembangan

pengetahuan dan kebudayaan manusia pada zaman purba dan

masa sebelumnya yaitu zaman batu, diarahkan pada

pengetahuan yang bersifat praktis, yaitu pengetahuan yang

bermanfaat langsung kepada masyarakat.

Page 48: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

34_Duski Ibrahim

Perlu dikemukakan, bahwa secara historis, para ahli

sejarah tidak dapat menentukan secara pasti tentang zaman

batu, namun yang jelas zaman batu itu berlangsung selama

jutaan tahun. Disebut zaman batu, karena pada masa itu batu

dijadikan sebagai alat-alat yang diperlukan sehari-hari, seperti

kapak yang digunakan untuk memotong dan membelah. Di

samping menggunakan alat-alat dari batu, manusia pada

zaman itu juga menggunakan tulang binatang, umpamanya

sebagai alat yang menyerupai fungsi jarum untuk menjahit.

Adanya penemuan para ahli tentang benda-benda peninggalan

pada zaman batu adalah suatu bukti bahwa manusia sebagai

makhluk berbudaya sudah memperlihatkan kreativitasnya

dalam mengatasi tantangan alam sekitarnya (Ihsan, 2010: 192).

Seiring dengan perjalanan waktu, benda-benda yang

dimanfaatkan sebagai alat-alat kehidupan mengalami

perkembangan dan kemajuan. Berbagai percobaan menuruti

proses trial and error telah dilakukan, walaupun tanpa dasar

yang jelas dan terkadang tanpa disadari. Proses semacam itu

berlangsung dalam waktu yang lama, ratusan bahkan ribuan

tahun, sebelum akhirnya manusia menemukan bahan dasar

pembuatan alat yang baik dan kuat, sehingga hasilnya pun

menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian

tersusunlah pengetahuan know how. Dalam bentuk know how

itulah penemuan-penemuan tersebut diwariskan pada

generasi-generasi selanjutnya (Ihsan, 2010: 193).

Selanjutnya, kebudayaan manusia semakin berkembang,

terutama ketika mereka menemukan api dan

memanfaatkannya untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti

untuk menghangatkan tubuh, untuk memasak, termasuk untuk

perlengkapan dalam berburu. Pada gilirannya, arti penting api

semakin dirasakan, seiring dengan pengetahuan manusia

tentang proses pemanasan makanan, dan pengetahuan

Page 49: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_35

manusia tentang peleburan alat-alat dari tembaga, perunggu

dan besi. Dalam catatan sejarah misalnya, peralatan besi

digunakan pertama kali di Irak abad ke-15 SM (Brower, 1982:

6).

Pengetahuan manusia semakin berkembang, sejak

beberapa ribu tahun sebelum Masehi, terutama ketika manusia

berada pada zaman batu muda (neolithiklim). Manusia mulai

mengenal pertanian, mengenal kehidupan menetap,

membangun rumah, mengawetkan makanan, membuat irigasi,

dan mulai beternak hewan. Pada masa itu juga telah muncul

kemampuan menulis, membaca dan berhitung, sesuai dengan

kondisinmya. Dengan adanya kemampuan semacam itu,

banyak peristiwa penting dapat diketahui oleh orang lain,

sehingga akan lebih cepat disebarkan.

Sejalan dengan hal di atas, Anna Poedjiadi mengemuakan

bahwa pada zaman purba telah tampak perkembangan

pengetahuan di berbagai bangsa, seperti Mesir, Babylonia, Cina

dan India. Pembuatan alat-alat perunggu di Mesir abad ke-17

SM. Bangsa Cina abad ke-15 SM juga telah mengembangkan

teknik peralatan perunggu di zaman Dinasti Thang, sedangkan

peralatan besi sebagai perangkat perang sudah dikenal pada

abad ke-5 SM pada zaman Dinasti Chin. India memberikan

sumbangsih yang besar dalam perkembangan matematik

dengan penemuan sistem bilangan desimal. Pemikiran

Budhisme yang diadopsi oleh raja Asoka, kaisar ketiga Dinasti

Mauriya, telah menyumbangkan sistem bilangan yang menjadi

titik tolak perkembangan sistem bilangan pada zaman modern.

India bahkan sudah menemukan roda pemutar untuk

pembuatan tembikar pada abad ke-30 SM. Sayangnya

peradaban yang sudah maju itu mengalami kepunahan pada

abad ke-20 SM, baik karena bencana alam maupun peperangan

(Anna Poedjiadi, 1987: 28-32).

Page 50: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

36_Duski Ibrahim

Menurut Santoso, secara umum, pengetahuan pada

zaman purba ditandai dengan adanya lima kemampuan, yaitu:

(1) pengetahuan didasarkan pada pengalaman, (2) pengetahuan

semacam itu diterima sebagai fakta dengan sikap receptive mind,

dan kalaupun ada keterangan tentang fakta tersebut, maka

keterangan itu bersifat mistis, magis dan religus, (3)

kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan alam

sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke

tingkat abstraksi, (4) kemampuan menulis, berhitung,

menyusun kalender yang didasarkan atas sintesis terhadap

hasil abstraksi yang dilakukan, dan (5) kemampuan

meramalkan peristiwa-peristiwa fisis atas dasar persitiwa

sebelumnya yang pernah terjadi, misalnya gerhana bulan dan

gerhana matahari (Santoso, 1977: 28).

B. Periode Yunani (600 SM – 400 M.)

Masa pra-Socrates.

Masa pra Socrates ini, filsafat berorientasi pada persoalan

asal-usul alam. Oleh karena itu, masa ini dikenal dengan

sebutan kosmosentris atau filsafat alam. Hatta mengatakan

para filosof periode ini disebut dengan filosof alam, sebab

tujuan filosofi mereka adalah memikirkan soal alam besar. Dari

mana terjadinya alam, itulah yang menjadi soal bagi mereka

(Hatta, 1980: 5). Terlepas dari perbedaan pendapat para filosof

tentang asal dari alam ini, mereka sepakat bahwa alam adalah

satu susunan yang teratur dan harmonis. Para filosof pra-

Socrates atau filosof alam, antara lain, adalah Thales,

Anaximandros, Anaximenes, Pythagoras, Heraclitos dan

Parmenides.

1. Thales (585 S.M)

Thales adalah salah seorang dari tujuh pemikir bijak dan

cerdas yang terkenal dalam cerita-cerita lama Yunani (Robert

Page 51: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_37

Audi, Ed., 1995: 794). Selain dia, pemikir-pemikir cerdas

tersebut bernama Solon, Bias, Pittakos, Chilon, Periandos dan

Kleobulos. Mereka terkenal, karena petua-petuanya yang

pendek-pendek, tetapi mengandung makna yang mendalam,

seperti “kenalilah dirimu”, “segalanya berkira-kira”, “ingat

akhirnya”, “tahan amarahmu” dan banyak lagi yang lainnya.

Diceritakan, bahwa kecerdasan Thales terlihat dari banyak hal,

selain sebagai seorang saudagar yang banyak berlayar ke

negeri Mesir, dia juga seorang ahli politik yang terkenal di

Miletos. Tidak hanya itu, ia juga ahli ilmu matematika (ilmu

pasti) dan astronomi (ilmu bintang). Konon, diceritakan bahwa

kepintarannya sebagai ahli nujum dimanfaatkannya untuk

mencari harta kekayaan. Terlepas dari itu, pada suatu waktu ia

meramalkan akan ada gerhana matahari pada bulan itu dan

tahun itu. Nujûm atau ramalannya itu ternyata tepat, yaitu

gerhana matahari yang terjadi di tahun 585 Sebelum Masehi

(Hatta, 1986: 6).

Sebagai salah seorang filosof alam, pikiran Thales

senantiasa tertuju pada alam semesta. Sedemikian terfokusnya

pikiran filosof tersebut, sehingga pernah terjadi suatu peristiwa

lucu. Diceritakan, bahwa mata Thales asyik memandang ke

atas, melihat dan memikirkan keindahan alam di langit,

sehingga tanpa disadarinya ia terjatuh dan masuk lobang. Pada

waktu yang bersamaan, ada seorang perempuan tua yang lewat

sambil mentertawakannya, dan berkata: “Hai Thales, jalan di

langit engkau ketahui, tetapi jalanmu di atas bumi ini tidak

engkau ketahui” (Hatta, 1986: 6).

Sekaitan dengan alam, dalam menjawab pertanyaan

tentang asal-mula alam ini, apa yang menjadi sebab

penghabisan dari segala yang ada, Thales mengatakan bahwa

“semuanya itu air” (Robert Audi, Ed., 1995: 794). Air yang cair

itu adalah pangkal, pokok atau dasar segala-galanya. Semua

Page 52: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

38_Duski Ibrahim

barang tejadi dari air dan semuanya kembali kepada air. Untuk

mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan itu, ia tidak mempergunakan takhayyul seperti yang

banyak dilakukan orang pada saat itu, melainkan

memanfaatkan kemampuan akal. Berdasarkan pengalaman

yang dilihatnya sehari-hari, ia memanfaatkan pikiran atau

akalnya untuk menyusun bangun alam ini. Sebagai orang

pesisir, setiap hari ia melihat betapa air laut menjadi sumber

hidup. Di Mesir, ia melihat betapa nasib rakyat bergantung

kepada air sungai Nil, yang menyuburkan tanah sepanjang

alirannya, sehingga dapat didiami manusia. Jika sungai Nil itu

tidak melimpahkan airnya sewaktu-waktu ke darat, negeri

Mesir kembali menjadi padang pasir (Hatta, 1986: 6).

2. Anaximandros

Anaximandros adalah murid Thales yang cerdas.

Sebagaimana gurunya, Anaximandros mencari asal mula dari

segalanya. Tetapi dalam hal ini, Ia tidak sependapat dengan

gurunya yang mengatakan asal segala sesuatu adalah air.

Menurut pendapatnya, yang asal itu mestilah tidak berhingga

dan tidak berkeputusan, kemudian yang asal itu terus bekerja

tanpa henti. Sedangkan yang dijadikannya tidak terhingga

banyaknya. Menurut Anaximandros, yang asal dan menjadi

dasar alam adalah “Apeiron” (Robert Audi, Ed., 1995: 25).

Apeiron ini tidak dapat digambarkan atau dibayangkan, karena

tidak ada persamaannya dengan salah satu benda yang

kelihatan di dunia ini. Segala yang kelihatan itu, dan yang

dapat ditentukan rupanya dengan panca indera, adalah barang

yang mempunyai akhir. Sedang barang asal, yang sifatnya

tidak terhingga dan tiada berkeputusan, tidak mungkin dari

salah satu benda yang berakhir itu. Segala yang tampak atau

terasa, dibatasi oleh lawannya. Yang panas dibatasi oleh yang

Page 53: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_39

dingin. Ketika muncul yang dingin, maka berakhir yang panas.

Yang cair dibatasi oleh yang beku, yang terang dibatasi oleh

yang gelap. Bagaimana yang terbatas itu akan dapat

memberikan sifat kepada yang tidak bekeputusan? Semua yang

tampak, terasa, dapat ditentukan rupanya dengan pancaindra,

jelas mempunyai akhir. Ia timbul, hidup, mati dan lenyap.

Yang cair menjadi beku dan sebaliknya. Yang panas menjadi

dingin dan sebaliknya. Semuanya itu terjadi dari pada Apeiron dan

kembali pula kepada Apeiron (Hatta, 1986: 9-10; Robert Audi, Ed.,

1995: 26).

Bagaimana alam muncul dari Apeiron? Anaximandros

memberikan jawaban sebagai berikut: Dari Apeiron pada

mulanya muncul yang panas dan yang dingin. Ketika yang

panas membalut yang dingin, maka yang dingin itu

terkandung didalamnya. Selanjutnya, yang dingin itu menjadi

bumi. Dari yang dingin itu pula muncul yang cair dan yang

beku. Api yang membalut yang bulat tadi pecah pula, dan

pecahan-pecahannya itu berputar-putar seperti jalan roda. Dari

putarannya itu muncul berbagai lubang. Pecahan-pecahan api

itu terpisah-pisah, dan menjadi matahari, bulan dan bintang.

Bumi ini pada mulanya dibalut oleh uap yang basah. Karena

bumi berputar, yang basah menjadi kering berangsur-angsur.

Akhirnya tinggal sisa uap yang basah itu, menjadi laut pada

bumi. Atas pengaruh yang panas, uap yang basah menjadi

makhluk yang bertingkat-tingkat kemajuan hidupnya. Semula

bumi ini adalah air semata-mata. Sebab itu, makhluk yang

pertama di atas bumi adalah hewan yang hidup di dalam air.

Juga bangsa binatang darat pada mulanya serupa ikan. Baru

kemudian, setelah timbul daratan, binatang darat itu mendapat

bangunan seperti sekarang ini. Dari binatang yang berupa ikan

itu terjadi manusia pertama, yang tidak serupa dengan manusia

sekarang. Sebab, kalau diumpamakan, orang yang dilahirkan

Page 54: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

40_Duski Ibrahim

berupa anak-anak tidak dapat langsung berdiri sendiri,

melainkan perlu asuhan orang lain lebih dahulu, dalam waktu

yang lama. Makhluk semacam itu tidak dapat hidup pada

permulaan penghidupan di atas dunia ini. Yang sanggup

berbuat begitu ialah binatang yang berupa ikan. Pendapat

Anaximandros tentang kejadian dan kemajuan makhluk di

dunia ini banyak menyerupai teori Darwin ((Hatta, 1986: 10-11).

3. Anaximenes.

Selanjutnya, ada filosof lain, yaitu Anaximenes yang

merupakan murid Anaximandros. Berbeda dari pendapat

gurunya yang mengatakan bahwa asal yang satu itu adalah

Apeiron yang tidak dapat digambarkan atau diserupakan

dengan benda yang lahir, Anaximenes mengatakan, bahwa asal

yang satu itu adalah udara. Udara itulah yang satu dan tidak

berhingga. Pendapat ini tampaknya kembali ke belakang,

seperti Thales, yang mengatakan bahwa asal itu mestilah salah

satu dari benda yang ada dan yang kelihatan atau dapat dirasa.

Thales mengatakan bahwa asal segala sesuatu itu adalah air,

sementara Anaximenes mengatakan bahwa asal segala sesuatu

itu adalah udara. Dalam kesimpulannya, Anaximenes

mengatakan: “Sebagaimana jiwa kita, yang tidak lain daripada

udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia

ini jadi satu.” (Hatta, 1986: 12). Pendapat Anaximenes bahwa

asal mula segala sesuatu adalah udara, didukung oleh

kenyataan bahwa udara merupakan unsur vital kehidupan

makhluk.

4. Heraclitos

Heraclitos adalah seorang filosof yang memiliki

pandangan yang berbeda dari folosof-filosof sebelumnya, ia

mengatakan bahwa anasir asal adalah satu, ialah yang menjadi

Page 55: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_41

pokok alam dan segala-galanya. Anasir yang asal itu

menurutnya adalah api. Api itu lebih dari air dan udara, dan

setiap orang dapat melihat sifatnya sebagai mudah bergerak dan

mudah betukar rupa. Api itu membakar semuanya, menjadikan

semuanya itu jadi api dan akhirnya menukarnya lagi jadi abu.

Walaupun Heraclitos memandang api sebagai anasir yang asal,

pandangannya tidak semata-mata terikat pada alam luaran,

alam besar. Anasir yang asal itu dipandangnya pula sebagai

kiasan dari segala kejadian ini. Api yang selalu bergerak dan

berubah rupa itu, menyatakan bahwa tidak ada yang tenang

dan tetap. Yang ada hanya pergerakan senantiasa. Tidak ada

yang boleh disebut ada, melainkan menjadi. Semuanya itu dalam

kejadian (Hatta, 1986: 15-16), atau semuanya itu dalam proses

menjadi.

Heraclitos terkenal dengan pernyataannya “Panta rhei khai

uden menei”, yang berarti “Segala sesuatu berada dalam

perubahan”. Artinya, segala sesuatu itu mengalir dan dalam

proses menjadi (Hunnex 1986: 41). Kita bukanlah berada dalam

dunia, namun kita adalah bagian dari dunia. Batas-batas antara

“diri” dan “dunia” tidaklah absolut, akan tetapi mengalir

dalam proses yang saling berhubungan. Perlu dikemukakan,

bahwa Parmenides berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa

realitas itu adalah tetap, tidak berubah. Hal penting lain

darinya adalah gagasan tentang “ada”, suatu gagasan pertama

yang mempraktekkan cabang filsafat yang di kemudian hari

dikenal dengan “metafisika”. Ia menyatakan bahwa “yang ada

itu ada, dan yang tidak ada itu tidak ada” (Heraty, 1994: 6).

5. Pythagoras

Beralih ke filosof lain, yaitu Pythagoras. Pythagoras

adalah filosof Yunani pra-Socrates yang unik, karena filsafatnya

berlandaskan pandangan agama dan paham keagamaan, yang

Page 56: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

42_Duski Ibrahim

cenderung kepada tarikat atau mistik. Baginya, tarikat atau

mistik itu bertujuan mendidik aspek batin dengan cara

mensucikan ruh. Ia percaya akan kepindahan jiwa dari makhluk

yang sekarang kepada makhluk yang akan datang.

Menurutnya, apabila seseorang meninggal, maka jiwanya

kembali lagi ke dunia, masuk dalam badan salah satu hewan.

Diceritakan, bahwa pada suatu hari Pythagoras berjalan-jalan.

Lalu ia melihat seseorang sedang memukul seekor anjing,

sampai anjing itu menjerit-jerit kesakitan. Lalu ia berkata: “Hai

anak, jangan dipukul anjing itu, karena di dalamnya ada jiwa

sahabatku, aku mendengar jeritannya.” (Hatta, 1986: 29).

Pythagoras meyakini bahwa manusia berasal dari

lingkungan Tuhan. Jiwa adalah penjelmaan Tuhan yang jatuh

ke dunia, terlempar karena berdosa. Jiwa itu akan kembali ke

langit ke dalam lingkungan Tuhan, apabila dosanya sudah

bersih. Tetapi hal itu, tidak tercapai sekaligus, melainkan

berangur-angsur. Sebab itu, jiwa tersebut berulang-ulang turun

ke tubuh makhluk terlebih dahulu. Dengan cara itu, setingkat

demi setingkat ia akan mencapai kesucian dan kemurnian.

Untuk mencapai hidup suci dan murni, seseorang haruslah

berpantang makan daging dan kacang. Oleh karena itu,

Pythagoras dianggap sebagai penganjur vegetarianisme, hanya

makan sayur-mayur dan buah-buahan saja (Hatta, 1986: 30)

Dengan demikian, dalam pandangan Pythagoras,

seseorang tidak cukup hanya membersihkan jasmani saja,

tetapi juga harus membersihkan jiwa atau rohaninya, bahkan

pembersihan rohani ini mesti lebih diutamakan. Seseorang

harus selalu berzikir, mengingat Tuhan, untuk mencapai

kesempurnaan hidupnya. Seorang harus bertanggungjawab

pada diri sendiri terhadap perbuatan yang dilakukannya

sehari-hari. Seseorang harus introspeksi diri, sebelum tidur

malam, seseorang hendaklah menanyai hatinya tentang segala

Page 57: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_43

perbuatan yang dilakukan hari itu. Ia harus menanya dirinya:

apakah kekuarangannya hari ini? Larangan mana (apa) yang

yang dilanggarnya? Dosa apa yang dilakukannya? Dan

seterusnya. Jika ia melakukan kesalahan, hendaklah ia

bersedih, menyesali perbuatannya, dan bertekad tidak akan

melakukannya lagi. Jika ia melakukan hal yang baik, hendaklah

ia bergembira dan terus berniat untuk berbuat baik atau lebih

baik. Bagi Pythagoras, hidup di dunia ini adalah persediaan

buat akhirat. Sebab itu, semua yang dikerjakan dalam hidup ini

akan ada dampaknya di akhirat nanti. Ia juga memandang

bahwa menyanyikan sebuah lagu dengan musik adalah juga

suatu cara untuk membersihkan ruh (Hatta, 1986: 30-31).

Selain ahli tarikat dan mistik, Pythagoras juga adalah

seorang pemikir, terutama dalam ilmu matematik dan

berhitung. Bahkan pokok ajarannya adalah bahwa “segala

barang adalah angka-angka”. Pythagoras membedakan angka

genap dan angka ganjil. Yang genap tidak berhingga, dan yang

ganjil itu menentukan. Sebagaimana angka terdiri dari genap

dan ganjil, demikian juga barang-barang di dunia ini, tersusun

dari yang bertentangan. Angka yang menjadi dasar ialah satu.

Angka satu itu genap dan juga ganjil. Jadinya tidak berhingga

dan berhingga. Angka tiga ajaib, sebab padanya terdapat awal,

pertengahan dan akhir. Angka empat maha besar, sebab

1+2+3+4 = 10, dan 10 adalah angka yang makimal. Sebab,

hitungan dari itu ke atas tidak lain dari mengulangi saja lagi

dari 1 sampai 10. Pythagoras mengajarkan bahwa semuanya itu

adalah angka-angka. Dalam segala barang terdapat paduan dan

hasil dari pada “dasar angka-angka”. Angka itu adalah asal

dari segalanya. Segala perhubungan dapat ditentukan dengan

angka-angka. Demikian lagi: angka 1 ialah titik, angka 2 baris,

angka 3 dataran, angka 4 badan. Selanjutnya, angka 1 juga

Page 58: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

44_Duski Ibrahim

dasar laki-laki, angka 2 dasar perempuan. Juga keadilan, jiwa

dan pikiran tidak lain daripada angka-angka (Hatta, 1986: 32)

Seperti telah disinggung, selain ahli mistik yang kuat

beribadat, sesuai dengan keyakinannya, Pythagoras juga ahli

ilmu. Dalam pandangannya, amal dan ilmu itu adalah jalan

atau cara untuk menyucikan ruh. Kesucian ruh banyak

ditentukan dengan menuntut ilmu. Dengan ungkapan lain,

hidup yang berorientasi kepada penelitian dan pengkajian ilmu

adalah hidup yang bermartabat tinggi dan sebagai persiapan

maksimal jalan menuju kembali kepada Tuhan. Perlu

dikemukakan, bahwa ajaran Pythagoras cenderung terlalu

tinggi bagi pengikut-pengikutnya. Sebab itu, mereka terpecah

menjadi dua kelompok: Pertama, kelompok yang mengamalkan

dan mengembangkan ajarannya tentang pemikiran dan ilmu.

Para pengikut yang memperdalam ajarannya tentang ilmu,

tetapi melupakan ajarannya tentang mistik keagamaan.

Sebaliknya, kelompok yang mengamalkan ajaran mistk

keagamaan tidak mempedulikan ajaran tentang ilmu. Kedua,

kelompok yang mengamalkan dan mengembangkan ajarannya

tentang mistik keagamaan. Inilah pengikut yang terbanyak.

Mereka mendewakan gurunya, tidak tertarik dengan ajaran-

ajaran tentang angka-angka matematik, dan ilmu astronomi.

Semua itu dipandang kurang bermanfaat, dan terlalu ghaib.

Mereka hanya semata-mata menempuh jalan mensucikan ruh

dengan hidup bersahaja, bejalan dengan tidak beralas kaki, dan

tidak makan daging, ikan dan kacang. Dengan berbuat begitu,

mereka menyangka melakukan ajaran gurunya. Iniah cikal

bakal runtuhnya mazhab Pythagoras. (Hatta, 1986: 33)

Dalam kaitan dengan perkembangan filsafat dan ilmu

pengetahuan Barat ini juga penting dikemukakan sekilas

tentang pandangan Demokritos. Ia menegaskan, bahwa realitas

terdiri dari banyak unsur yang disebutnya dengan atom (bahasa

Page 59: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_45

Yunani a = tidak, tomos = terbagi). Atom-atom tersebut sama

sekali tidak memiliki kualitas dan jumlahnya tidak terhingga.

Menarik dikemukakan, bahwa pandangan Demokritos ini

merupakan cikal-bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan

biologi (Heraty, 1994: 6).

6. Empedokles (490-430 SM)

Masih filosof alam, Empedokles tampaknya perlu

dikemukakan. Filosof yang lahir di kota Akragas kepulauan

Sisilia dan keturunan orang berpangaruh ini, pernah diminta

orang menjadi raja, tetapi ditolaknya. Ia seorang yang ingin

mencapai kedamaian hidup, tak suka melihat percekcokan

politik di dalam kotanya, sementara pada kenyataan adalah

kebalikannya. Sebab itu, ia meninggalkan kota kelahirannya

dan pergi merantau ke mana-mana. Kerjanya dalam

pengembaraan itu adalah menyanyikan lagu kesucian. Hal ini

dimaksudkannya mengajarkan kepada manusia tentang cara

membimbing ruh manusia supaya selalu menuju kepada

kebaikan. Tidak hanya itu, dalam pengembaraan tersebut ia

juga berperan sebagai tabib. Dengan demikian, ia berkeinginan

untuk mengobati manusia secara sempurna, baik aspek rohani

maupun jasmani.

Dalam sikap hidupnya, Empedokles banyak dipengaruhi

aliran mistik dan ajaran Pythagoras. Menurut kepercayaannya,

manusia itu asalnya Tuhan. Manusia terlempar ke dunia

disebabkan berbuat dosa. Hidup di dunia adalah suatu

hukuman untuk menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan itu.

Manakala dosa itu sudah habis, barulah manusia itu kembali

kepada asalnya. Adapun cara penghapusan dosa di dunia ini

ialah dengan membersihkan diri.

Empedokles mengajarkan bahwa alam ini pada mulanya

satu. Ia disatukan oleh cinta. Cinta adalah kodrat yang

Page 60: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

46_Duski Ibrahim

membawa bersatu atau bercampur. Tetapi alam yang satu tadi

dipecah oleh benci, suatu kekuatan atau kodrat yang menjadi

pokok perpisahan dan persengketaan. Karena benci itulah,

menurutnya, manusia sudah hidup di dunia ini. Tetapi orang

jangan lupa, bahwa manusia asalnya adalah Tuhan, yang

akhirnya akan kembali juga menjadi Tuhan. Sebab itu,

hendaklah ia hidup dalam berkasih-kasihan, saling mencintai

satu sama lain. Cinta kasih itulah yang akan membuka kembali

jalan pulang ke langit yang suci, untuk menuju pangkuan

Tuhan. Cinta, menurutnya, sangat penting. Karena, akibat cinta

orang dapat bersatu menjadi suami-isteri. Cinta melahirkan

keinginan bersatu, cinta membawa kesejahteraan, cinta

memunculkan keharmonisan dalam alam semseta.

Selanjutnya, Empedokles mengajarkan bahwa alam

tersusun ini dari empat anasair yang asal, yaitu: udara, api, air

dan tanah. Masing-masing empat anasir itu pemangku empat

sifat sebagai berikut, yaitu: dingin, panas, basah, dan kering.

Udara dingin, api panas, air basah dan tanah kering. Ajarannya

tentang empat anasir sangat berpengaruh dalam ilmu alam,

sampai ke abad yang ke - 17. Mengingat segala yang ada

berasal dari anasir yang empat itu, maka tidak boleh ada istilah

“timbul” dan “hilang”. Timbul (terjadi, lahir) dan hilang (mati,

musnah) tidak ada sama sekali. Yang ada, hanya pencampuran

dan perpisahan. Dengan perncampuran empat anasir maka

terjadi benda-benda yang ada di alam ini. Dengan perpisahan

empat anasir itu, maka benda-benda yang ada menjadi lenyap.

Ia tidak hilang, melainkan kembali menjadi benda asal.

Kendatipun demikian, anasir-anasir tersebut tidak mempunyai

daya atau kodrat. Gerakan percampuran dan perpisahan

anasir-anasir itu disebabkan oleh dua dasar yang berada di

luarnya. Dua dasar itulah yang disebutnya dengan cinta dan

benci. Menurutnya, cinta dan benci itu bukanlah semata-mata

Page 61: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_47

perasaan, melainkan benda yang bertubuh sekalipun sangat

halus.

Masa Yunani Klasik

1. Socrates (470 sM.)

Socrates lahir di Atena (470 s. M) dan meninggal (399 s.

M). Bapaknya pembuat patung dan ibunya seorang bidan,

suatu profesi yang nanti sangat berpengaruh terhadap

pemikrannya. Semula, Socrates mengikuti jejak bapaknya,

tetapi akhirnya ia berubah haluan. Socrates adalah seorang

yang sederhana, ia bergaul dengan segala orang, tua dan muda,

kaya dan miskin. Ia seorang filosof dengan corak atau ciri khas

tersendiri. Tetapi, ajaran filsafatnya tidak pernah ia

dokumentasikan dalam bentuk tulisan, melainkan

diperlihatkan dalam praktek dan cara hidup. Para sahabatnya

mengatakan, bahwa Socrates adalah seorang yang sangat adil,

tidak pernah berbuat zalim. Ia sangat mampu menguasai

dirinya, sehingga ia tidak pernah memuaskan nafsunya dengan

merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya,

sehingga Ia jarang sekali khilaf atau salah dalam menimbang

buruk dan baik.

Filosof populer tersebut, secara jasmani, agak sedikit beda

dari orang-orang Yunani kebanyakan. Orang Yunani pada

umumnya ganteng, badannya ramping dan tegap, raut

mukanya elok dan enak dipandang. Tetapi, Socrates berbadan

pendek dan gemuk, bermulut lebar, berhidung botok dan

bermata terbudur. Kendatipun demikian, ia seorang berbudi

luhur, jujur, adil dan baik, ikhlas, sederhana. Ia berlaku baik

terhadap semua orang, bersikap saleh, gembira, tenang, dan

tangkas.

Setiap hari ia berjalan keliling kota, dalam rangka

mempelajari tingkah laku manusia dari berbagai segi

Page 62: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

48_Duski Ibrahim

hidupnya. Ia jarang keluar kota. Ia berujar: “Padang rumput

dan pohon kayu tak memberi pelajaran apapun padaku,

manusia ada”. Ia memperhatikan yang baik dan buruk, yang

terpuji dan tercela. Sebentar ia berada di tanah lapang, tempat

orang berkumpul, sebentar lagi di pasar. Ia bicara dengan

segala orang, menanyakan apa yang dibuatnya. Ia mau

mengetahui sesuatu dari orang yang mengerjakannya.

Socrates adalah seorang filosof yang paling bijaksana dan

paling berpengetahuan luas pada masanya, sekalipun ia sendiri

menganggap dirinya belum mengetahui apa-apa. Ia sangat

kritis, selalu mempertanyakan segala sesuatu. Namun,

pertanyaannya bukanlah untuk menyerang dan meruntuhkan,

melainkan untuk mempertanyakan dasar argumentasi dan

konsistensi berpikir para pemikir di zamannya. Ia senantiasa

bertanya tentang sesuatu, ketika ia ingin mengetahuinya. Ia

bertanya kepada seorang tukang, untuk mengetahui tentang

pertukangan. Ia bertanya kepada pelukis untuk mengetahui

tentang keindahan. Ia bertanya kepada prajurit untuk

mengetahui tentang apa yang dikatakan berani. Ia bertanya

kepada seorang politisi untuk mengetahui berbagai hal atau

seluk-beluk yang terkait dengan persoalan politik. Tujuan

Socrates dengan berdialog tersebut tidak lain adalah untuk

sama-sama mencari kebenaran. Ia mengabdikan seluruh

hidupnya untuk mencari dan mengajarkan kebenaran. Di

antara ucapannya yang sangat terkenal adalah “Kenalilah

dirimu sendiri.” Dalam psikologi modern, ternyata pengenalan

diri ini adalah salah satu hal yang sangat penting dalam

pengembangan konsep introspeksi diri (Lubis, 2014: 7-8).

Sikap pencarian kebenaran melalui dialog yang dilakukan

Scrates, sesungguhnya adalah suatu reaksi intelektual terhadap

adanya ajaran guru-guru sofis mengatakan bahwa “kebenaran

yang sebenar-benarnya tidak tercapai”. Sebab itu, setiap suatu

Page 63: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_49

pendirian dapat “dibenarkan” dengan jalan retorika. Dengan

kemampuan beretorika, maka akan mendapatkan persetujuan

orang banyak. Manakala orang banyak sudah setuju, maka

sesuatu itu dianggap benar. Dengan mengandalkan retorika

untuk meminta persetujuan supaya sesuatu itu menjadi benar,

maka berarti telah terjadi proses pendangkalan pengetahuan.

Ini yang tidak diingini oleh Socrates. Dalam menanggapi

kebenaran melalui retorika ini, terkadang ia harus berdialog

secara mendalam kepada berbagai pihak, terutama para

pendukung kebenaran semacam itu, sehingga terkadang lawan

bicaranya merasa terpojok dengan pertanyaan-pertanyaan yang

diajukannya.

Dengan caranya yang berani dan jujur itu, di satu sisi

Socrates banyak memperoleh kawan, terutama para pemuda

Atena sangat mengagumi dan mencintainya. Tetapi, di sisi lain,

musuhnya juga banyak, terutama para pihak guru-guru sofis

dan pengikut-pengikutnya yang berpolitik, dan merasa “iri”

kepadanya. Akhirnya, dengan dua macam tuduhan sebagai

alasannya, Socrates dimajukan ke muka pengadilan rakyat.

Pertama, tuduhan yang mengatakan bahwa Socrates

meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara, dan

mengemukakan dewa-dewa baru. Kedua, tuduhan yang

mengatakan bahwa Socrates telah menyesatkan dan merusak

parilaku dan keyakinan para pemuda.

Dalam hal ini, kendatipun Socrates menyadari bahwa

susunan hakim pengadilan rakyat itu sudah jelas akan

menyalahkan dan menghukumnya, namun ia pantang untuk

menjilat, atau beriba-iba supaya hakim membebaskan atau

meringankan hukumann. Dengan cerdas, di muka hakim ia

mengatakan bahwa ia yakin tidak bersalah, melainkan berjasa

terhadap para pemuda dan masyarakat Atena. Sesungguhya,

bukan hukuman yang saya terima melainkan reward yang

Page 64: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

50_Duski Ibrahim

setimpal dengan jasanya mencerdasakan rakyat. Lalu dengan

berani ia meminta supaya seumur hidupnya diberi makan oleh

negara melalui Prytaneion, yaitu Balai kota di masa itu.

Mendengar ucapan yang berani dan tegas itu, teman-temannya

kaget, para hakim tercengang, sekaligus tersinggung perasaan.

Akhirnya, dengan suara terbanyak para hakim memberinya

sanksi hukum mati dengan cara meminum racun. Teman-

teman dan para hakim semakin kaget ketika Socrates, tanpa

gentar sedikitpun, mengatakan dengan suara tenang, “Saya

siap menjalani hukuman yang telah diputuskan.” Ia pun

menolak bujukan sebagian kawannya untuk melarikan diri dari

penjara dan menyingkir ke kota lain, walaupun kesempatan

untuk itu ada. Ia sangat patuh dengan undang-udang dan

keputusan penguasa.

Socrates sesungguhnya tidak pernah menuliskan

filsafatnya, bahkan tidak mengajarkan filsafat, melainkan ia

hidup berfilsafat. Baginya, filsafat bukan isi, bukan hasil, bukan

ajaran yang berasandarkan dogma, melainkan fungsi yang

hidup. Filsafatnya adalah mencari kebenaran. Oleh karena itu,

ia terus-menerus mencari kebenaran, bukan mengajarkannya.

Filsafat Socrates tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan,

melainkan diketahui catatan-catatan murid-muridnya,

terutama Zenephon dan Plato. Tetapi, mengingat Zenephon

bukan seorang filosof, sehingga akurasi catatannya dianggap

lemah, maka mengetahui filsafat Socrates, orang banyak

bersandar kepada Plato.

Seperti telah disinggung, dalam mencari kebenaran, ia

tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan

orang lain, dengan jalan tanya jawab. Lawan bicaranya itu

dipandang sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari

kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan berdialog itu

sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong

Page 65: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_51

mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa kawan

berdialog, yang sejak semula memang telah ada.

Metode diskusi dan mengajar yang digunakan Socrates

disebut metode atau teknik maieutikos (teknik kebidanan).

Teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia pada

dasarnya sebelum lahir telah membawa atau memiliki

pengetahuan bawaan. Sebab itu, menurut Socrates, tugas

seseorang sama dengan bidan. Kalau bidan membantu

seseorang ibu mengeluarkan bayi dari rahim pada saat

melahirkan, maka seorang pengajar membantu seseorang

mengeluarkan pengetahuan bawaannya. Di sini terlihat betapa

pengaruh perkerjaan ibunya, sebagai seorang bidan, yang

membantu seorang wanita mengeluarkan bayi dalam

kandungan.

Selain seorang filosof besar, Socrates adalah seorang yang

teguh pendirian dan memiliki moralitas yang tinggi. Ia percaya,

bahwa ia dibimbing oleh suara Ilahi, dan jiwanya akan tetap

hidup setelah ia meninggal dunia. Karena sikap dan pendirian

semacam inilah, Socrates dituduh meracuni generasi muda

yang berakibat mereka tidak percaya pada dewa-dewa yang

diagungkan masyarakat Yunani. Sehingga pengadilan Yunani

menjatuhkan hukuman mati pada Socrates. Socrates tidak

meninggalkan tulisan-tulisan yang mengabadikan

pemikirannya, melainkan diketahui melalui murid-murid yang

sangat mengaguminya, terutama Plato (Hatta, 1986: 76).

Socrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap dari

sesuatu. Sebab itu, ia selalu bertanya: Apa itu? Apa yang

dikatakan berani?, apa yang disebut indah?, apa yang disebut

adil? Pertanyaan tentang “Apa itu?” harus didahulukan dari

pertanyaan “Apa sebab?”. Mengingat jawaban dari pertanyaan

“apa itu” harus dicari melalui tanya-jawab atau dialog, maka

Page 66: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

52_Duski Ibrahim

Socrates diakui sebagai pembangun metode dialek dalam

pengetahuan.

Selanjutnya, berkaitan dengan etik, intisari dari etik

Socrates dipahami dari ungkapannya: “Budi ialah tahu.”

Menurutnya, orang yang berpengetahuan dengan sendirinya

akan berbudi baik. Siapa yang mengetahi hukum mestilah

patuh kepada hukum, mestilah bertindak sesuai dengan

pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara

keyakinan dan perbuatan. Mengingat budi berdasar atas

pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari.

Dari ajaran etik Socrates yang bersifat intelekual dan

rasional, dipahami bahwa manakala budi adalah tahu, maka

tidak ada orang yang akan sengaja berbuat jahat. Manakala

budi adalah tahu, berdasarkan pemikiran yang sahih, maka

“jahat” hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, atau

dari orang yang tidak memiliki pertimbangan yang benar.

Orang yang kesasar umpamanya, adalah korban dari suatu

kekhilafannya sendiri. Sebab, Kesasar bukanlah perbuatan yang

disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas maunya sendiri.

Dengan demikian, mengingat budi adalah tahu, maka

siapa yang tahu akan kebaikan dengan sendirinya terpaksa

berbuat baik. Untuk itu, diperlukan ada seseorang yang dapat

menguasai dirinya dalam segala keadaan, dalam suka maupun

duka. Sebab, apa yang pada hakikatnya baik adalah juga baik

bagi kita. Menuju kebaikan adalah jalan terbaik untuk

mencapai kesenanagn hidup. Sejauh itu, menurut Socrates,

manusia itu pada dasarnya adalah baik. Kemudian,

sebagaimana benda, manusia hidup juga ada tujuannya. Kalau

kursi ada tujuannya; ada kekuatannya; ada kebaikannya; maka

begitu juga manusia ada tujuan, tujuannya adalah bersifat baik

dan berbudi luhur.

Page 67: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_53

Mengenai sikap hidup Socrates, terlihat penuh dengan

rasa keagamaan. Baginya, menderita kezaliman lebih baik dari

berbuat zalim. Dengan ungkapan lain, dizalimi adalah jauh

lebih baik dari berbuat zalim. Socrates adalah orang yang

percaya kepada Tuhan. Menurutnya, keteraturan susunan alam

ini adalah tanda perbuatan Tuhan. Ia mempercayakan Kepada

Tuhan segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh dugaan

otak atau akal manusia. Ia juga memandang, bahwa jiwa

manusia itu bagian daripada Tuhan yang menyusun alam.

Baginya, bahwa Tuhan itu dirasai sebagai suara dari dalam,

yang menjadi guide dalam segala perbuatannya. Itulah yang

disebutnya Daimonion. Menurutnya, kalau dia (Socrates) dapat

mendengarkannya, maka semua orang dapat mendengarkan

suara Daimonion itu dari dalam jiwanya, sepanjang ia

menginginkannya.

Perlu dikemukakan, bahwa semenjak Socrates pemikiran

filsafat tidak lagi terfokus kepada persoalan alam, melainkan

telah berkembang kepada pembicaraan tentang manusia,

tentang prilaku baik-buruk (etika), tentang politik dan negara,

tentang demokrasi, tentang masalah keadilan dan lain

sebagainya. Mengingat fokus pembicaraannya adalah tentang

manusia dan berbagai persoalannya, maka masa ini disebut

“Filsafat antroposentris,” yang telah menggeser “Filsafat

Kosmosentris,” suatu filsafat yang terfokus pada persoalan

asal-usul alam (Lubis, 2014: 9).

2. Plato

Selanjutnya, diskusi kita lanjutkan pada Plato. Plato

adalah murid Socrates yang dalam berfilsafat melanjutkan

tradisi dialog gurunya terebut. Sebagaimana Socrates, ia

mengarang dialog-dialog tanpa mengenal lelah, termasuk

mengadakan dialog dengan lawan bicaranya. Pilihan metode

Page 68: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

54_Duski Ibrahim

dialog, karena Plato berkeyakinan bahwa filsafat pada intinya

tidak lain adalah dialog. Baginya, berfilsafat adalah mencari

dan mencintai kebijaksanaan atau kebenaran, yang karenanya

untuk dapat dimengerti dengan baik, kebenaran dan

kebijaksaan tersebut hendaklah dilakukan secara bersama-sama

melalui dialog.

Plato mengakui adanya dua kenyataan yang terpisah dan

berdiri sendiri, yaitu: dunia ide dan dunia bayangan (inderawi),

yang karenanya ia juga disebut sebagai filosof dualisme. Dunia

ide, menurutnya, adalah dunia yang tetap atau abadi, tidak ada

perubahan. Sedangkan dunia bayangan adalah dunia yang

berubah, mencakup benda-benda jasamani atau inderawi. Atas

dasar ini, maka Plato mengajarkan dua bentuk pengenalan,

yaitu : Pertama, pengenalan idea-idea yang merupakan

pengenalan dalam arti yang sebenarnya. Pengenalan ini

mempunyai sifat-sifat yang sama seperti objek-objek yang

menjadi arah pengenalan yang sifatnya kokoh, jelas dan tidak

berubah. Kedua, pengenalan tentang benda-benda jasmani,

yang mempunyai sifat-sifat tidak tetap, selalu berubah

(Carlesworth, 1959: 130).

3. Aristoteles

Beralih kepada Aristoteles. Aristoteles, murid Plato,

adalah lambang puncak pemikiran filsafat Yunani. Ia

berpendapat, bahwa tugas utama ilmu pengetahuan adalah

mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Kekurangan

mendasar para filosof sebelumnya yang sudah menyelidiki

adalah bahwa mereka tidak menyelidiki penyebab-

penyebabnya. Tiap-tiap kejadian mempunyai empat sebab

yang semuanya harus disebut, manakala manusia ingin

memahami proses kejadian segala sesuatu.

Menurut Aristoteles, keempat penyebab itu adalah:

Pertama, penyebab material. Inilah bahan dari mana benda

Page 69: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_55

dibuat. Umpamanya, meja dibuat dari kayu. Kedua, penyebab

formal. Inilah bentuk yang menyusun bahan. Umpamanya

bentuk meja ditambah pada kayu, sehingga kayu menjadi

sebuah meja. Ketiga, penyebab efisien. Inilah sumber kejadian,

faktor yang menjalankan kejadian. Umpamanya, tukang kayu

yang membuat sebuah meja. Keempat, penyebab final. Inilah

tujuan yang menjadi arah semua kejadian. Umpamanya, meja

dibuat supaya orang dapat menulis di atasnya (Russel, 1947:

144).

Mengenai metafisika, Aristoteles membedakan “ada”

yang primer dan “ada” yang sekunder. Ada yang primer

disebutnya “substansi” adalah suatu ada yang berdiri sendiri,

tidak memerlukan sesuatu yang lain. Sedangkan ada yang

sekunder disebutnya aksiden-aksiden, adalah suatu hal yang

tidak berdiri sendiri, melainkan tergantung dengan yang

berdiri sendiri.

Sebagaimana Plato, Aristoteles juga mengemukan tentang

adanya dua pengetahuan, yaitu pengetahuan inderawi dan

pengetahuan akali. Sumbangan Aristoteles yang menonjol

dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah pemikirannya

tentang sillogisme, suatu cara menarik kesimpulan dari premis-

premis sebelumnya. Dalam kaitan ini, Hatta (1986: 121)

mengatakan bahwa Aristoteeles terkenal sebagai Bapak Logika.

Logika, tidak lain dari berpikir secara teratur menurut urutan

yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab dan akibat.

Intisari daripada ajaran logikanya adalah silogisme. Silogisme

adalah uraian berkunci, yaitu menarik kesimpulan dari

kenyataan yang umum atas hal yang khusus, yang tersendiri.

Jadinya menjadi kebenaran tentang suatu hal dengan menarik

kesimpulan dari kebenaran yang umum. Silogisme semacam

ini dimisalkan sebagai berikut:

Semua orang bakal mati

Page 70: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

56_Duski Ibrahim

Socrates adalah orang

Socrates bakal mati.

Pengaruh pemikiran Aristoteles ini luar biasa, meluas ke

berbagai belahan dunia. Setelah masa Aristoteles, filsafat

Yunani mengalami kemunduran, dengan kecenderungannya

untuk memasuki dunia praktis dan mistik, seperti yang

dikembangkan oleh paham Stoisisme, Epucurisme dan Neo-

Platonisme (Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2001: 66).

C. Periode Abad Pertengahan (400 M. - 1500 M)

Periode ini, secara garis besar, dapat dibagi dua, yaitu:

1. Masa Patristik.

Seiring dengan perkembangan agama Kristen di Barat,

pemikiran filsafat terfokus pada ajaran-ajaran Kristen tentang

Tuhan, yang karenanya disebut teosentris. Pada masa ini,

tradisi Yunani yang mengajarkan kebebasan berpikir mulai

melemah. Orang hanya boleh berpikir dengan mengikuti

rambu-rambu yang ditentukan oleh pemimpin-pemimpin

gereja, yakni filsafat harus mendukung dogma-dogma gereja.

Akibatnya, orang-orang yang menguasai filsafat, sesuai dengan

rambu-rambu yang ditentukan tersebut, adalah bapak-bapak

gereja atau patres, sehingga periode filsafat tersebut disebut

dengan zaman Patristik. Tujuan filsafat dan pengetahuan pada

masa ini hanyalah sebagai alat untuk mengabdi kepada teologi

Kristen, dengan mempertahankan dogma-dogma gereja. Para

filosof, yang merupakan para pimpinan gereja masa ini,

umumnya meyakini bahwa kebenaran sejati hanya ada pada

kitab suci, Injil. Mereka ini, antara lain, adalah: Justinus de

Martyr, Tertulianus, Origens dan Agustinus.

Tertulianus, sedemikian kuatnya memegangi dogma

agama (Kristen), pernah menyatakan: Credo qua absurdum est,

yang artinya: Saya percaya karena tidak masuk akal.

Page 71: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_57

Pernyataan ini adalah sebagai pembelaannya terhadap dogma

Trinitas, yang sangat sulit memahaminya. Sedangkan

Agustinus, masih dalam koridor mempertahankan dogma

agama, telah mencoba menyatukan antara pemikiran filsafat

dengan agama.

Pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi, pengaruh filsafat

Yunani, terutama Neo-Platonisme, mulai benar-benar masuk ke

kalangan gereja. Sekolah-sekolah teologi, seperti sekolah

umum, juga mempelajari Seven Liberal Arts, yaitu: Grammar,

Rhetoric, Dealictic, Aritmathic, Geometry, Music, dan Astronomy.

Tetapi, di sisi lain, pengaruh pemimpin gereja semakin

dominan dalam pemikiran masyarakat. Filsafat dan ilmu

pengetahuan dipelajari di Katederal justreru dimaksudkan

untuk mendukung doktrin teologi (Lubis, 2014: 9).

Dengan ungkapan lain, pada masa itu ilmuwan-ilmuwan

dan ahli-ahli filsafat yang bergerak dalam lapangan ilmu

pengetahuan adalah para teolog. Mereka itu hampir semuanya

adalah para teolog dan ahli agama, sehingga aktivitas-aktivitas

ilmiah selalu manuth dengan aktivitas-aktivitas keagamaan.

Mereka secara konsisten mengarahkan kegiatan ilmiah untuk

mendukung kebenaran dogma-dogma agama (Kristen). Pada

saat itu, semboyan yang berlaku bagi ilmu adalah “Ancilla

theologiae”, atau “Abdi agama”. Oleh karena itu, sejak jatuhnya

kekaisaran Romawi Barat hingga kira-kira abad ke-10, di Eropa

nyaris tidak ada kegiatan yang berarti dalam bidang ilmu

pengetahuan, sehingga periode ini dikenal dengan sebutan

abad kegelapan (dark age).

Kendatipun demikian, masa menjelang berakhirnya abad

pertengahan, di Barat bukan berarti tidak ada kemajuan sama

sekali. Masih ada penemuan-penemuan yang membanggakan,

antara lain tentang pembaruan penggunaan bajak yang dapat

membantu penggunaan energi para petani, demikian juga

Page 72: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

58_Duski Ibrahim

kincir air mulai digunakan untuk menggiling jagung, dll.

Selanjutnya ada pula kemajuan dan pembaruan dalam bidang

perkapalan dan navigasi pelayaran, dengan berbagai

perlengkapan kapal, sehingga kapal dapat digunakan lebih

efektif. Tidak hanya itu, kompas sudah mulai digunakan oleh

di Eropa. Demikian juga ketrampilan dalam membuat tekstil

dan pengolahan kulit terlihat ada kemajuan, dikenal alat-alat

pemintal kapas (Ihsan, 2010: 199).

Sekaitan dengan kondisi peradaban Barat pada abad

pertengahan, perlu dikemukakan uraian Henry S. Lucas yang

memiliki pandangan yang berbeda dari ahli-ahli sejarah pada

umumnya, seperti dituangkan dalam karyanya A Short History

of Civilization. Lucas (1993: 251) mengatakan, bahwa Abad

Pertengahan ternyata menghasilkan banyak kontribusi yang

berarti bagi sejarah teknologi. Pandangan hanya agama yang

berkembang selama abad-abad ini tidak dapat dipertahankan.

Bangsa Eropa Abad Pertengahan tidak hanya mewarisi

perlengkapan mekanis dari zaman klasik, tetapi juga mampu

mengembangkannya. Penemuan-penemuan teknik pada abad

pertengahan ini ternyata merupakan basis bagi perkembangan

teknologi modern, demikian Lucas.

Banyak penemuan yang dihasilkan pada abad

pertengahan ini, selain mempertahankan warisan dari era

pendahulunya. Di antara penemuan yang merupakan

pengembangan era sebelumnya adalah: Pertama, Alat giling.

Penemuan ini merupakan penerapan prinsip gerak roda

penggilingan biji padi-padian, yang di era sebelumnya tidak

menggunakan roda (Lucas, 1993: 252). Kedua, modifikasi alat

tenun dan pemintal. Penenunan dan pemintalan sudah dikenal

sejak zaman batu, alat-alat tenun dan pemintal sudah biasa

dikenal di kalangan suku-suku pengembala domba dan

kambing, tetapi alat tenun pada masa-masa itu masih sangat

Page 73: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_59

sederhana. Namun, pada zaman Romawi terjadi modifikasi alat

tenun dan pemintal, yang telah diwariskan ke dunia Eropa

abad pertengahan. Selanjutnya, pada abad pertangahan alat-

alat tenun dan pemintal tersebut terus dimodifikasi. Ketiga,

kompas dan cross-staff Navigasi mengalami perkembangan

yang cukup berarti pada Abad Pertengahan. Memang pada

zaman kuno, para pelaut telah terbiasa mengatur pelayaran

mereka dengan mendasarkan diri pada letak bintang-bintang,

yakni dengan meastikan arah dari posisi bintang kutub.

Setelah tahun 1300 para pelaut mulai lebih menyandarkan

diri pada kompas daripada mengamati letak bintang-bintang.

Dengan kompas para pelaut dimungkinkan sekali untuk

memastikan arah walaupaun langit berawan dan bintang-

bintang tidak dapat dilihat. Walaupun penemuan kompas ini

menandai suatu langkah maju dalam perkembangan navigasi

ilmiah, para pelaut ternyata tidak meninggalkan sama sekali

kebiasaan melihat bintang kutub untuk memastikan posisi

mereka. Maka pada abad pertangahan ditemukan apa yang

disebut dengan cross-staff, yaitu alat yang biasa digunakan pada

masa-masa akhir abad pertengahan, sehingga lebih

memungkinkan para pelaut untuk mengetahui ketepatan posisi

mereka jika mereka itu telah jauhd dari daratan. Selain hal di

atas, pengembangan dan penemuan yang dilakukan oleh Eropa

pada abad pertengahan adalah tentang aklileri, baju baja,

senjata api, khronometer (alat pengkuran), percetakan, kertas

dan lain-lain yang bukan hanya menyempurnakan atau

mengembangkan penemuan-penemuan sebelumnya, tetapi

juga banyak dia antaranya yang baru lahir pada abad

pertengahan (Lucas, 1993: 256-260).

2. Masa Skolastik.

Zaman ini dimulai pada abad ke-10 hingga abad ke 15 M.

Masa ini muncul mazhab-mazhab baru di kalangan para

Page 74: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

60_Duski Ibrahim

pendeta, sebagai reaksi atas kemewahan duniawi dari

monastisisme yang mapan. Pada masa ini, pengaruh filsafat

Aristoteles paling dominan, sekalipun filsafat Plato juga masih

berpengaruh. Para tokoh mereka mempelajari peran rasio

manusia dari filsafat Plato, dan mempelajari filsafat tentang

kesatuan antara alam (nature) dengan akal (reason) dari ajaran

Aristoteles.

Para pemikir terkenal pada masa Skolastik ini, antara lain,

adalah: Abelardus, Anselmus, Duns Scotus, William Ockham

dan Thomas Aquinas.

Anselmus terkenal dengan pembuktian ontologisnya

tentang Tuhan. Menurutnya, Tuhan adalah suatu yang paling

besar untuk dipikirkan, dan sesuatu yang terbesar untuk

dipikirkan itu, pastilah ada. Ia menyatakan bahwa untuk

mengerti Tuhan pertama-tama orang harus percaya, seperti

istilah yang dikemukakannya “Credo ut intelligam”, artinya:

Saya percaya supaya saya mengerti.

William Ockham terkenal dengan “Ockham's razor”

(Pisau cukur Ockham), yang juga disebut dengan prinsip

kehematan. Maksudnya adalah, keharusan untuk bersahaja

dalam menguji teori. Prinsip keberahajaan itu adalah “apapun

jangan dilipatgandakan tanpa alasan”. Jika ada hipoteis yang

sederhana, maka hipotesis yang rumit menjadi irasional (Lubis,

2014: 10).

Abelardus terkenal dengan pemikirannya yang berusaha

menyatukan antara universalia (universal) dengan individualia

(particular), yang terjadi antara pendukung nominalisme

dengan realisme yang sangat menguasai filsafat Abad

Pertengahan. Kaum realis menyatakan bahwa pengertian

umum itu ada pada bendanya, sementara kaum nominalis

menyatakan bahwa konsep universal itu ada sesudah/di luar

bendanya. Untuk mengatasi ini, Abelardus mengemukakan

Page 75: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_61

bahwa pengertian universal itu ada pada bendanya. Yang

sungguh-sungguh ada, adalah konkret. Ia disebut seorang

konseptualis, karena ia berpendapat bahwa pikiranlah yang

membentuk konsep-konsep umum itu (Lucas, 1993: 193).

Thomas Aquinas adalah simbol puncak filsafat Skolastik.

Filosof ini telah membedakan tugas ilmu pengetahuan dan

agama atau kepercayaan, akan tetapi di antara keduanya tidak

ada pertentangan sama sekali. Menurutnya, ilmu pengetahuan

bersumber dari pengalaman empirik, kemudian diolah oleh

rasio atau akal. Ia mengatakan, bahwa masalah agama harus

diselesaikan melalui kepercayaan, namun rasio atau akal tetap

dibutuhkan, seperti ia mengemukakan bukti tentang adanya

Tuhan melalui argumentasi rasionalnya yang dikenal dengan

'Lima Jalan'. Sementara itu, Dun Scotus tidak sependapat

dengan Aquinas tentang 'kesesuaian antara agama dan filsafat'.

Menurutnya, agama dan filsafat itu adalah dua hal yang

berbeda (Lubis, 2014: 11).

Selanjutnya, pada era skolastik ini, pusat-pusat

pendidikan di Katederal berkembang menjadi Studium

Generale dan kemudian menjadi Universitas. Namun,

perkembangan ini semakin memperkuat kekuasaan Paus atau

Pemimpin gereja. Sebab, ilmu pengetahuan didominasi kaum

agamawan dan ilmu pengetahuan hanya dimungkinkan

berkembang selama sesuai dan dapat mengabdi pada gereja,

dimana pimpinan gereja menguasai dan menentukan semua

kehidupan manusia. Pemikiran manusia dalam semua bidang

harus tunduk kepada doktrin Kristiani (teosentris).

Kendatipun demikian, pada era ini pola pikir takhayyul tetap

berkembang luas dalam masyarakat yang diklaim sebagai salah

satu akibat filsafat. Oleh karena itu, Konsili di Kartago pada

tahun 401 menetapkan larangan untuk mempelajari bahasa dan

filsafat Yunani (Susabda, 1990: 11).

Page 76: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

62_Duski Ibrahim

Sesungguhnya, pada era ini, banyak tokoh gereja

(Agustinus, Panteaus, Celemen, Origen) yang mengenal filsafat

Plato melalui pusat-pusat pendidikan Catherical (di

Aleksandria, Yerussalem, Konstantinopel). Pengaruh Plato dan

Aristoteles terlihat pada umpamanya pemikiran St. Anselms,

St. Augustinus dan Boethius. Salah satu argumen ontologis

yang paling terkenal adalah argumen Augustinus yang

berbunyi: Kita mengatakan bahwa Tuhan adalah ada (being),

dan kita berpikir bahwa tidak ada being yang lebih besar dari

keberadaan Tuhan. Kita tahu bahwa di dalam benak kita, kita

melihat adanya ide tentang being yang demikian itu. Being itu

pasti ada di luar pikiran. Jika tidak, being itu pasti tidak lebih

besar daripada yang kita pikirkan. Logika argumen ini

merupakan refleksi dari pemikiran spekulatif Plato tentang

dunia Idea. Banyak teolog yang tertarik dengan argumen

semacam ini, namun Thomas Aquinas tidak setuju dengan

argumen tersebut. Sebab, menurutnya, kita tidak mungkin

menarik suatu kesimpulan akan adanya eksistensi Tuhan

berdasarkan ide kita tentang Tuhan (Lubis, 2014: 12).

Di atas telah dikemukakan, bahwa pusat pendidikan

katederal telah berkembang menjadi Studium Generale, lalu

menjadi Universitas. Universitas-universitas yang beridiri

(antara tahun 1000 – 1150 M.), antara lain: Universitas Rheims,

Paris, Bologna, Oxford dan Cambridge. Roger Bacon sebagai

seorang dosen mulai mengembangkan metode penelitian

induktif yang sebelumnya telah dikembangkan di lingkungan

sarjana Islam. Metode ini memadukan pengalaman (a posteriori)

dengan analisis matematika (a priori). Perkembangan ilmu

pengetahuan mulai terlihat, dengan munculnya karya dan

penemuan-penemuan baru Copernicus, Galileo, dan Kepler

yang dikenal sebagai anak zaman renaisans (Lubis, 2014: 12).

Page 77: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_63

D. Periode Keemasan Islam

Sekaitan dengan hal di atas, perlu dikemukakan bahwa

pada zaman pertengahan Eropa sedang terpuruk, karena

terbelenggu persoalan dogma-dogma keagamaan, maka

peradaban dunia Islam justeru mengalami masa keemasan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Peradaban dunia Islam, terutama

pada zaman Bani Umayyah telah menemukan suatu cara

pengamatan astronomi pada abad ke-7 M, delapan abad

sebelum Galileo Galili dan Copernicos melakukannya. Selain

itu, telah didirikan sekolah Kedokteran dan Astronomi di

Jundishapur. Selanjutnya, indikator kemajuan kebudayan Islam

adalah didirikannya Baitul Hikmah (House of Wisdom) pada masa

Khalifah al-Makmun, pada abad 9 Masehi.

Ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam

berkembang dengan pesat. Hal tersebut dimungkinkan, karena

adanya pengamatan yang terus-menerus dan pencatatan hasil-

hasil pengamatan secara teratur, serta adanya dorongan dan

bantuan dari pihak pemerintah, para raja yang berkuasa.

Dengan demikian, berkembangnya ilmu pengetahuan dan

teknologi di dunia Islam karena adanya kerjasama antara

penguasa politik dan pemerintahan, dukungan agama dan ilmu

pengetahuan, yang berada dalam kendali penguasa yang adil

dan cinta pengetahuan. Keadaan semacam ini sangat

menguntungkan perkembangan ilmu pengetahuan lebih lanjut,

sehingga selama 600-700 tahun kemajuan kebudayaan dan ilmu

pengetahuan tetap ada pada bangsa-bangsa yang beragama

Islam. Subhânallâh.

Menurut Slamet Iman Santoso (1997: 64) sumbangan

sarjana Islam dapat diklasifikasikan dalam tiga hal, yaitu: (1)

menerjemahan peninggalan bangsa Yunani dan

menyebarluaskannya sedemikian rupa, sehingga pengetahuan

ini menjadi dasar perkembangan dan kemajuan di dunia Barat

Page 78: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

64_Duski Ibrahim

sampai sekarang, (2) memperluas pengamatan dalam lapangan

ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia, ilmu

bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan, dan (3) menegaskan sistem

desimal dan dasar-dasar aljabar.

Sekaitan dengan kemajuan kebudayaan dan peradaban

Islam, yang puncak keemasannya pada masa dinasti

Abbasiyah, Ali Kettani (Ali Kettani, 1984: 85) mengatakan

bahwa kemajuan umat Islam pada masa itu karena didukung

spirit sebagai berikut, yaitu :

1. Univeralism. Yakni bahwa pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi tidak memandang suku,

bangsa, bahkan agama.

2. Tolerance. Yakni bahwa di kalangan umat Islam

dikembangkan sikap tenggang rasa dalam pengembangan

ilmu pengetahuan.

3. International character of the market. Yakni terbukanya

cakrawala pemikiran dan wawasan di kalangan para

ilmuwan, adanya perbedaan dijadikan sebagai pemacu ke

arah kemajuan, bukan sebagai penghalang. Perpustakaan

Darul Hikmah dibuka bebas untuk para ilmuwan, termasuk

yang non-muslim. Pemasaran terhadap hasil-hasil iptek

merupakan suatu wahana untuk menjamin kontinyitas

aktivitas ilmiah itu sendiri, karena itu pasar yang bersifat

internasional sangatlah dibutuhkan.

4. Respect for science and scientist. Yakni bahwa ada

penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan

ilmuwan, yakni setiap temuan dari penelitian dihargai

secara pantas sebagai hasil jerih payah atau usaha yang

dilakukan seseorang atau sekelompok orang.

5. The Islamic nature of both the ends and means of science. Yakni

bahwa sarana dan tujuan ilmu pengetahuan dan teknologi

haruslah terkait dengan nilai-nilai Islam, setiap kegiatan

Page 79: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_65

ilmiah tidak boleh bebas nilai, terutama nilai agama

(Islam). Ilmuwan atau peneliti yang melepaskan diri dari

nilai-nilai agama, akan cenderung menampakkan arogansi

intelektual, dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai

pemacu dehumanisasi.

Banyak sekali sarjana Muslim yang memberi sumbangan

besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

di dunia Islam. Di antaranya, adalah Al-Khawarizmi, Jabir ibn

Hayyan, al-Razi, Ibn Sina, Abu al-Qasim, al-Idrisi, Ibn Rusyd

dan lain-lain termasuk Ibn Khaldun.

Al-Khawarizmi yang bernama lengkap Muhammad

Ahmad al-Khawarizmi telah menysun sebuah buku Aljabar

pada tahun 825 M, yang menjadi buku rujukan standar selama

beberapa abad di Eropa. Al-Khawarizmi, yang telah berhasil

membuat tabel astronomi; ia telah menghasilkan Logarithma

yang banyak dipergunakan untuk menghitung Spherical

Trigonometri. Ia juga menulis buku tentang perhitungan biasa

(arithmetics). Buku tersebut menjadi pembuka jalan di Eropa

untuk mempergunakan cara desimal, yang menggantikan

penulisan angka Romawi. Ia juga telah memperkanlkan

persamaan pangkat dua dalam aljabar. Selain itu, ia juga

mengembangkan trigonometri dengan memperkenalkan teori

sinus dan cosinus, tangent dan co-tangent.

Jabir Ibn Hayyan (720-800) banyak mengadakan

eksperimen, antara lain tentang kristalisasi, melarutkan,

sublimasi, dan reduksi. Selain itu, ia juga banyak menulis

antara lain tentang proses pembuatan baja, pemurnian logam,

memberi warna pada kain dan kulit, cara membuat kain tahan

air, cara pembuatan zat warna untuk rambut. Ia juga menulis

tentang pembuatan tinta, pembuatan gelas, cara memekatkan

asam cuka dengan cara distilasi. Mengenai unsur-unsur, ia

berpendapat bahwa logam atau mineral itu terdiri atas dua

Page 80: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

66_Duski Ibrahim

unsur penting yakni raksa dan belerang dengan berbagai

macam susunan. Logam atau mineral berbeda karena susunan

unsur-unsurnya berbeda (Ihsan, 2010: 201). Sarjana ini memiliki

laboratorium kimia, terletak dekat Bawabah Damskus, yang

melakukan percobaan pada pancaindera, penggunaan metalik,

dan lain-lain.

Ibn Haitsam telah melakukan eksperimen tentang optik

mengenai cahaya dan menemukan teori tentang penglihatan

(vision). Hasil penelitiannya di bidang ini dituangkannya dalam

karya monumentalnya yang berjudul al-Manadhir (Optics) tujuh

jilid, suatu karya yang membahas tentang teori penglihatan

(vision) dan yang berkaitan dengan itu, seperti tentang pelangi,

refraksi, refleksi, dan lain-lain. Karya ini mempengaruhi

banyak ilmuwan Barat seperti Roger Bacon, Vitello dan Kepler;

Ibn Sina, seorang filosof dan dokter muslim kenamaan, telah

melakukan observasi terhadap berbagai jenis tumbuh-

tumbuhan dan berbagai macam hewan, dilihat dari segi

manfaat medis dan nutritifnya. Ia juga telah melakukan banyak

penelitian tentang meningitis, cara tersebarnya epidemik dan

sifat menular tuborkulosis, dan lain-lain. Ibn Rusyd juga telah

banyak melakukan dan mempraktekkan metode tajrÎbÎ ini di

lapangan kedokteran.

Ar-Razi yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad

ibn Zakariya ar-Razi dan di negara Barat dikenal dengan

sebutan Razez (850-923 M) dan Ibn Sina atau Avicenna (980-

1037 M) telah mengembangkan ilmu kedokteran. Ar-Razi

sangat banyak menulis buku, di antaranya 100 buah buku

tentang kedokteran, 33 buah buku tentang ilmu pengetahuan

alam termasuk alkimia, 11 buah buku tentang matematika dan

astronomi, dan lebih dari 45 buah buku tentang filsafat dan

teologi. Salah satu karya besarnya adalah sebuah ensiklopedia

kedokteran berjudul Continens. Sejauh itu, Ar-Razi merupakan

Page 81: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_67

ahli medis muslim pertama yang memimpin Ramah Sakit Rayy

dekat Teheran, kemudian ia juga memimpin Rumah sakit

Baghdad. Ar-Razi juga menulis buku tentang Diet, Farmakologi

dan lain-lain. Sedemikian hebatnya kemampuan beliau di

bidang medis atau ilmu kedokteran, maka ia digelar dengan

thabÎb al-muslimÎn ghairu mudâfi' (Dokter muslim yang tidak ada

tandingannya). Sementara itu Ibn Sina juga menulis buku-buku

tentang kedokteran yang diberi nama al-Qanun. Buku ini

menjadi buku standar dalam ilmu kedokteran di Eropa sampai

lebih kurang 1650. Buku tersebut ditulis dengan sangat

sistematis dan teliti. Mungkin itulah sebanya, buku tersebut

dapat bertahan sekian lamanya (Santoso, 1997: 63). Selain itu

Abu al-Qasim atau Abu‟l Casis menulis sebuah ensiklopedi

kedokteran, yang antara lain menelaah ilmu bedah seta

menunjukkan peralatan yang dipakai masa itu.

Ibn Rusyd atau averoes (1126-1198 M) seorang filosof, ahli

hukum, dan ahli kedokteran yang menerjemahkan dan

mengomentari karya-karya Aristoteles. Dari tulisannya terbukti

bahwa Ibn Rusyd mengikuti aliran evolusionisme, yakni aliran

yang berkayakinan bahwa semua yang ada di dunia tidak

tercipta tiba-tiba dan dalam keadaan yang slesai, melainkan

semuanya terjadi melalui perkembangan, untuk akhirnya

menjelma dalam keadaan yang selesai. Tokoh lain yang juga

turut berjas dalam pengembangan ilmu pengetahuan di dnia

Islam, terutama dalam bidang geografi adalah al-Idrisi (1100-

1166 M0. Ia telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenal

pada masa itu untuk disampaikan kepada Raja Roger II dari

kerajaan Sicilia (Ihsan, 2010: 201).

Fisikus (ahli fisika) asal Baghdad, Musa ibn Sakir dan

putranya Muhammad, Ahmad, dan Hasan yang menulis Kitab

al-Hiyal, yang menguraikan tentang hukum-hukum mekanika

dan problem stabilitas. Ibn Haytham (965-1039) menulis Kitâb

Page 82: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

68_Duski Ibrahim

al-Manâzhir, yang membuktikan hukum efraksi cahaya. Ibn

Habib al-Fazari menerjemahkan karya Ptolemy yang berjudul

Almagest, di bidang astronomi. Selanjutnya, 'Ali Ibn Abbas al-

Ahwazi, yang menulis al-Kitâb al-Malaki tentang teori dan

praktek medis. Ibn Sina, seorang ahli dalam bidang kedokteran,

yang menulis buku tentang anatomi, dan kesehatan anak.

Kemudian muncul ilmuwan-ilmuwan muslim di bidang

geografi. Mereka mengembangkan jarum magnetik untuk

dipergunakan dalam navigasi dan penemuan pulau-pulau baru

dan rute laut ingkar Asia, Afrika dan Eropa. Mereka juga

membangun kapal di pabrik-pabrik yang disebut dâr ash-

Shinâ'ah (arsenal : gudang senjata). Ilmuwan Muslim memakai

metode baru untuk menemukan rute perjalanan mereka

melalui tata letak bintang-bintang dan peta perjalanan laut.

Para petualang muslim mnjeljah Cina, Jepang, India, Aia

Tenggara dan Samudera India, Eropa, termasuk Skaninavia,

Irlandia, jerman, Perancis, dan Rusia. Pada abad ke sembilan,

ahli geografi muslim, Ahmad Ibn Ya'kub al-Ya'kubi

menggambarkan perjaanannya dalam Kitâb al-Buldân, dan

'Ubaidillah ibn 'Abdullah al-Khurd Dhabah (825-912) yang

mempublikasikan bukunya yang berjudul al-Masâlik wa al-

Mamâlik (Garis edar dan Kerajaan).

Seperti telah disinggung, Roger Bacon telah melakukan

penelitian induktif, seperti yang dilakukan oleh sarjana Islam.

Kira-kira tahun 1000 – 1150 M., para sarjana Kristen mulai

menggali kembali filsafat Yunani dan ilmu pengetahuan Islam.

Pada awal periode perkembangan Islam, para khalifah telah

mendirikan akademi sekolah, perpusatakaan dan

observatorium. Di Baghdad, salah satu lembaga ilmiah yang

didirikan oleh Khalifah al-Makmun adalah Baitul Hikmah.

Penelitian ilmiah melalui observasi, eksperimen dan

pendekatan matematis telah dilakukan di bidang astronomi

Page 83: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_69

oleh Nashiruddin ath-Thusi, Ibn asy-Syamir, al-Biruni dan lain-

lain (Hill, 1993: 38-49).

Tidak kalah penting untuk dikemukakan, keberadaan Ibn

Khaldun (1332-1406 M) juga telah memperkaya khazanah

pengetahuan sosial, di dunia Islam. Ibn Khaldun, yang

memiliki nama lengkap Abu Zaid Abdur Rahman ibn

Muhammad ibn Khaldun al-Hadhrami ini adalah seorang ahli

sejarah, politik, sosiologi, dan ekonomi. Ia sering dianggap

sebagai perintis ilmu sosial dan peletak dasar sosiologi. Hasil

karyanya yang termasyhur adalah berjudul Muqaddimah

(merupakan jilid pertama dari tujuh jilid kitabnya yang

berjudul al-„ibar, sedangkan jilid ketujuh adalah at-Ta‟rÎf bi ibn

Khaldûn). Dalam bukunya tersebut, ia membahas tentang

perkembangan masyarakat dan perubahan dalam masyarakat.

Sebagai penemu ilmu masyarakat yang baru, Ibn Khaldun

berusaha keras agar objektif dalam memaparkan masyarakat

ketimbang menemukan obat untuk menyembuhkan “penyakit”

masyarakat (Baali, 1989: 191).

Ibn Khaldun memandang bahwa gejala-gejala sosial

mengikuti pola dan hukum tertentu, yang dengan sendirinya

akan menghasilkan akibat-akibat tertentu pula. Dikatakan,

bahwa hukum-hukum sosial bukan mengenai perseorangan,

tetapi pada semua orang. Hukum-hukum sosial, menurutnya,

akan berlaku sama bagi masyarakat, meskipun beda ruang dan

waktu. Oleh karena itu, hukum-hukum ini tidak dipengaruhi

oleh seseorang. Seorang pemimpin tidak dapat memperbaiki

keadaan sosial, kalau tidak mendapat dukungan dari

masyarakat.

Sebagai peletak dasar sosiologi, Ibn Khaldun

mempergunakan banyak metode dan teori untuk menjelaskan

faktor yang ada dalam masyarakat. Umpamanya, bangsa

terjajah akan mencontoh atau menuruti bangsa yang menjajah,

Page 84: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

70_Duski Ibrahim

karena merasa bahwa kewenangan disebabkan oleh

keunggulan, baik teknik maupun lembaganya, dan hal itu perlu

ditiru supaya yang terjajah juga mendapatkan kesuksesan.

Pokok pemikiran dari Ibn Khaldun terletak pada

„ashabiyah atau solidaritas sosial yang menjadi kodrat atau

watak manusia yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

adalah makhluk sosial, makhluk bermasyarakat, oleh karena itu

diperlukan suatu ikatan dalam bentuk negara atau komunitas

tertentu. Solidaritas sosial amat kuat pada masyarakat

pengembara. Negara dapat terbentuk dan menjadi kuat atas

dasar solidaritas ini, tetapi setelah terbentuk berkuranglah

ikatan solidaritas, karena adanya kekuasaan yang harus

dipatuhi. Dengan demikian, tujuan solidaritas adalah

kekuasaan (Baali, 1989: 193).

E. Periode Renaisans

Renaisans yang berarti „kebangkitan‟ adalah suatu era

'antara' Abad Pertengahan dan zaman Modern. Era ini, sangat

perhatian terhadap bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik,

sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi (Lucas 1960).

Di era ini berbagai gerakan dilakukan, yang tertuju kepada

penentangan terhadap pola pemikiran dogmatis Abad

Pertengahan, dan menghasilkan perubahan mendasar dalam

pemikiran manusia, yang merupakan suatu pola pemikiran

baru dalam filsafat (Patterson, 1971: 2), yaitu era kelahiran

kembali kebebasan manusia dalam berpikir, sebagaimana

manusia pada zaman Yunani. Dengan ungkapan lain, di era ini

manusia Barat berpikir yang terlepas dari otoritas Gereja dalam

mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan, yang

pada Abad Pertengahan sangat terikat dengan otoritas tersebut.

Pada mulanya, gerakan renaisans hanya dilakukan oleh

beberapa orang yang menonjol, di antaranya, Petrarch. Tetapi,

pada gilirannya, terutama pada abad ke 15 gerakan atau

Page 85: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_71

gagasan kebangkitan ini semakin menyebar di kalangan Itali

terdidik. Renaisans bukanlah suatu periode yang penuh

penemuan dalam filsafat, tetapi pada masa itu ada beberapa hal

penting yang perlu dicatat, sebagai rintisan dan fondasi

kejayaan pada abad ke -17. Pertama, sistem skolastik yang

sangat kaku dan mengekang telah berhasil diatasi. Perhatian

kepada pemikiran para filosof, terutama pemikiran Plato dan

Aristoteles kembali tumbuh dan berkembang. Kedua, berbagai

pemikiran didiskusikan kembali secara serius, sehingga

muncul suasana perdebatan akademik yang kreatif dan

independen. Ketiga, aktivitas intelektual semakin berkembang,

sebagai ganti meditasi dalam rangka pelestarian ajaran-ajaran

keagamaan gereja.

Renaisans, seperti telah disinggung, bukan suatu gerakan

rakyat, melainkan gerakan sejumlah ilmuwan dan seniman,

yang didorong oleh pendukung mereka yang bersikap liberal.

Sikap mereka terhadap gereja sangat bervariasi: Pertama,

sebagian mereka bersikap acuh (pemikir bebas). Kedua, bahkan

sebagiannya lagi ada yang bersikap menentang.

Kecenderungan yang semakin menguat dari penentangan

terhadap dogma-dogma gereja, adalah semakin mencuatnya

harapan terhadap akal dan penalaran. Sekaitan dengan ini,

William Occam menawarkan dua jalan di persimpangan.

Pertama, disebutnya via antiqua (jalan kuno), yaitu jalan yang

menggiring manusia kepada kekakuan dogma dan

kepercayaan mitos. Kedua, disebutnya via moderna (jalan

modern), yaitu suatu jalan yang akan membawa kepada

kebebasan dan pencerahan.

Tantangan terhadap kewibawaan gereja yang lebih

dahsyat, ternyata datang dari dalam sendiri, dengan

munculnya Martin Luther (1483-1546) yang terkenal dengan

Page 86: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

72_Duski Ibrahim

gerakan Protestanisme-nya, suatu gerakan yang mengajarkan

penentangan terhadap otoritas gereja Katolik pada saat itu.

Pada masa renaisans ini tidak banyak muncul filosof dan

pemikir. Di antara sedikit pemikir tersebut, selain yang telah

dikemukakan, adalah Leonardo Da Vinci (1452-1519 dan

Michelanglo (1475-1564). Tetapi, lagi-lagi, mereka ini lebih

banyak berkiprah sebagai seniman, ilmuwan atau budayawan.

Kendatipun demikian, pada masa renaisans ini muncul

seorang filosof terkenal, melalui filsafat politiknya yang sangat

berpengaruh, seperti tertuang dalam bukunya The Prince (Sang

Pangeran). Filosof tersebut adalah bernama Niccolo Machiaveli

(1467-1527). Ada rumusan „menyentak‟ dalam filsafat politik,

yang pernah dikemukakannya, yaitu: The end justifies the means,

yang berarti „Tujuan menghalalkan berbagai cara,‟ atau dalam

bahasa Arab disebut al-ghayah tubarrir al-waqi‟. Dari rumusan

ini dapat ditafsirkan bahwa asal tujuannya baik semua cara

boleh dilakukan. Kalau begitu, dapat ditafsirkan, bahwa

seseorang boleh saja merampok, memperkosa, memfitnah atau

melakukan apa saja, asal ditujukan untuk mencapai kebaikan.

Dengan demikian, seorang mahasiswa boleh saja merampok

atau mencuri asalkan untuk membayar kuliah dalam rangka

menuntut ilmu. Bukankah menuntut ilmu itu adalah kebaikan

(Lubis, 2004).

Dari sisi lain, filsafat politik yang dicetuskan dan

dikembangkan Machiavelli ini sangat bersifat realitis,

berdasarkan pengalamannya sendiri, bertujuan untuk

mengerahkan semua sarana yang ada untuk pencapaian tujuan

yang diinginkan bersama, dengan mengabaikan pertimbangaan

sesaat yang menghambat. Untuk mendapat kersuksesan

memang harus kuat dan tegas. Machiavelli mengatakan „Setiap

nabi yang bersenjata telah berhasil menaklukkan, dan yang tak

bersenjata gagal.‟

Page 87: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_73

Dalam realitasnya, dengan mengikuti gagasan Machiavelli

inilah banyak bermunculan negara besar, kuat dan berwibawa,

bahkan bertahan hingga saat ini, walaupun terkadang mereka

mempraktekkannya secara diam-diam.

Sekaitan dengan ilmu pengetahuan, di era renaisans ini

ada pemikir yang muncul, di antaranya, adalah: Nicolas

Copernicus (1473-1543) dan Francis Bacon (1561-1626).

Copernicus, dari hasil penelitiannya, telah menemukan bahwa

matahari berada di pusat jagad raya, dan bumi memiliki dua

macam gerak, yaitu: Pertama, gerak perputaran sehari-hari pada

porosnya. Kedua, gerak tahunan mengelilingi matahari.

Teorinya ini disebut “heliosentrisme”, yakni matahari adalah

pusat jagad raya, bukan bumi seperti pendapat Ptolomeus yang

didukung oleh gereja, yang dikenal dengan teori

“geosentrisme”, yakni bumi adalah pusat jagad raya. Teori

Copernicus telah mengubah pemikiran manusia tentang alam

semesta, terutama astronomi. Sementara itu, Francis Bacon

adalah pemikir besar yang menjadi printis filsafat ilmu

pengetahuan. Ungkapan Bacon yang terkenal adalah Knowledge

is power “Pengetahuan adalah kekuasaan”. Ada tiga contoh yang

dapat membuktikan pernyataan ini, yaitu: (1) mesiu

menghasilkan kemenangan perang modern; (2) kompas

memungkinkan manusia mengarungi lautan; (3) percetakan

yang mempercepat penyebaran ilmu pengetahuan (Verhaak,

1996: 4).

Antara abad ke-15 dan ke -17 muncul babakan baru dalam

sejarah perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Barat,

yaitu periode yang menjembatani Abad pertengahan dan abad

modern, yang dikenal dengan sebutan zaman renaisans (abad

ke-14 – 17) dan pencerahan (awal abad ke-18). Pada periode ini,

pengaruh pemikiran Plato, Aristoteles dan humanimse telah

melahirkan kebangkitan dan kebebasan individu dan manusia

Page 88: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

74_Duski Ibrahim

dijadikan sebagai pusat segala-galanya (antroposentris). Era

Renaisans dan Pencerahan benar-benar telah menghidupkan

kembali pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Sebab itu,

era ini disebut juga zaman penemuan kembali manusia

(rediscovery of man). Pada masa renaisans muncul kembali

upaya membangkitkan kebebasan berpikir seperti pada masa

Yunani. Sementara otoritas gereja mulai lemah dan

kepercayaan terhadap kebenaran mutlak agama Kristen mulai

luntur. Sejauh itu, pada masa ini mulai berkembang bibit

reformasi yang pada abad ke -16/17 menghasilkan 'Pemisahan

Protestan dan Katolik' (Lubis, 2014: 13).

F. Periode Modern

Sebagai kelanjutan logis dari era 'renaisans' dan gerakan

Aufklaerung di abad ke-18 itu, zaman modern telah semakin

memperlihatkan kemandirian pemikiran manusia. Hal ini

karena: Pertama, kekuasaan gereja yang dulu membelenggu

semakin berkurang. Kedua, di sisi lain, kekuasaan ilmu

pengetahuan semakin bertambah dan kuat (Russell, 1957: 511).

Dengan ungkapan lain, gerakan renaisans dan Aufklaerung

telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan Barat modern

berkembang dengan pesat, dan semakin bebas dari pengaruh

otoritas dogma-dogma Gereja, sehingga berlanjut kepada

semakin cepatnya perkembangan filsafat dan ilmu

pengetahuan. Sejak itu, kebenaran filsafat dan ilmu

pengetahuan didasarkan atas kepastian intelektual atau sikap

ilmiah yang kebenrannya dapat dibuktikan dengan metode,

perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang

dihasilkan tidak bersifat tetap, tetapi dapat diubah dan

dikoreksi. Kebenaran adalah “a never ending process” , bukan

sesuatu yang statis, atau dalam kebekuan normatif atau

dogmatis.

Page 89: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_75

Dengan demikian, terlihat perbedaan mendasar antara

periode filsafat Abad Pertengahan dan era modern. Kalau pada

Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak berada di bawah

kendali Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman

Modern otoritas kekuasaan itu terletak kemampuan akal

manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau

diikat oleh kekuasaan dan kekuatan otoritas agama dengan

Gerejanya, dan Raja dengan kekuasaan politik-absolut, seperti

pada Abad Pertengahan .

Dalam pandangan para filosof modern, bahwa

pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau dogma-dogma

gereja, juga tidak berasal dari kekuasaan feodal, melainkan dari

diri manusia sendiri (Nico Syukur Diester, 1992: 55). Sebagai

kelanjutan logis dari zaman renaisans, filsafat zaman modern

itu bercorak “antrposentris”, artinya manusia menjadi pusat

perhatian penyelidikan filsafati. Semua filosof pada zaman ini

menyelidiki segi-segi subjek manusia; “aku” sebagai pusat

pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat

tindakan, puat kehendak, dan pusat perasaan (Hammersma,

1983: 3-4).

Pemikiran zaman renaisans dan pencerahan, seperti telah

dikemukakan sebelumnya, menjadi dasar spiritual bagi zaman

modern. Melalui para pemikir zaman ini terjadi perubahan

minat yang besar : (1) Dari permasalahan metafisika Abad

Pertengahan kepada fisika; (2) Peralihan dari metode berpikir

spekulatif ke eksperimental-matematis; (3) Peralihan dari

pemikiran sosial-politik yang didasarkan atas teologi ke

pemikiran yang antroposentris (humanis). Masa renaisans dan

pencerahan adalah pintu masuk ke zaman Modern, yang

ditandai: (1) Sekularisme (penduniawian ajaran dan

pemikiran); (2) keyakinan akan kemampuan akal atau rasio; (3)

berkembangnya paham utilitarianisme; dan (4) optimisme dan

Page 90: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

76_Duski Ibrahim

percaya diri. Para pemikir zaman renaisans dan pencerahan

yang berjasa besar dalam memajukan metode ilmiah pada abad

16 dan 17, serta mengawali periode modern, antara lain, adalah:

Roger Bacon (1214-1294), Machiavelli (1469-1527), Copernicus

(1473-1543), Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-

1679), Rene Descartes (1596- 1650), John Locke (1632- 1704),

George Berkeley (1685- 1753) dan David Hume (1711- 1776).

Mereka ini sangat berjasa dalam mengubah paradigma

berpikir Barat dari paradigma teologis ke paradigma ilmiah.

Dari mereka ini juga lahir suatu kebudayaan baru, berupa

keyakinan bahwa manusia dapat melakukan apa saja kalau dia

mau. Kebudayaan baru ini didasarkan pada prinsip sebagai

berikut: (1) Kapitalisme dalam ekonomi; (2) Klasik dalam seni

dan sastra; (3) metode ilmiah dalam pendekatan atau

pemecahan berbagai fenomena alam dan fenomena kehidupan

(Lubis, 2014: 13).

Berbagai pemikiran pada zaman renaisans dan

pencerahan pada akhirnya mengkristal ke dalam cara berpikir

dan cara menyelesaikan masalah dengan menekankan (1)

pengamatan; (2) pola argumen yang rasional atau rasionalitas;

(3) metode presentasi dan kalkulasi (empiris-eksperimental dan

kuantitatif). Perkembangan paradigma berpikir ilmiah itu

melahirkan tiga gerakan baru yang memacu perkembangan

masyarakat modern, yaitu: (1) berkembangnya kapitalisme; (2)

penemuan subjektivitas manusia modern; dan (3) rasionalisme

(Soeseno, 1992).

Seperti telah disinggung, bahwa di antara ciri penting di

era modern adalah semakin meningkatnya supremasi ilmu

pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan alam atau sains.

Adalah Francis Bacon (1561-1626) yang menjadi tokoh paling

berjasa mempopulerkan metode induktif modern dan

mengembangkan sistematisasi logis prosedur ilmiah.

Page 91: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_77

1. Francis Bacon

Francis Bacon adalah orang yang sangat cepat meraih

kesuksesan, tetapi juga sangat cepat mengalangi kejatuhan.

Ketiga berusia dua puluh tiga tahun, dia telah bekerja di

Parlemen, dan selanjutnya menjadi penasehat seorang pejabat

penting. Tidak hanya itu, dalam usia muda, pada tahun 1617

dia diangkat menduduki kedudukan tinggi ayahnya di

samping menyandang gelar Lord (suatu gelar bangsawan tinggi

di kerjaan Inggris). Tetapi, ia kemudian diajukan ke depan

pengadilan dengan tuduhan menerima suap, sehingga ia

divonis hukuman penjara dan benda serta tidak boleh

menduduki jabatan publik lagi.

Menyikapi keadaan yang tidak kondusif dalam jabatan

publik, Francis Bacon kemudian memusatkan perhatiannya

kepada filsafat dan ilmu yang memang sudah diminatinya

sejak semula. Ia menulis berbagai karya yang di kemudian hari

mempengaruhi perkembangan filsafat dan ilmu pada masa dan

sesudahnya. Namun, dalam usia yang tidak terlalu panjang,

dia meninggal dunia akibat serangan penyakit demam.

Diceritakan, bahwa ia mengalami demam pada saat melakukan

esperimen tentang cara mengawetkan daging ayam dengan

membalutnya dengan salju. Pemikirannya ini melahirkan ide

membuat lemari es (kulkas) yang telah banyak dimanfaatkan

oleh manusia hingga sekarang ini.

Karya Francis Bacon yang paling terkenal adalah The

Advancement of Learning yang dapat diartikan sebagai

„Peningkatan Pengetahuan.‟ Ada ungkapan terkenal yang

dicetuskan oleh Bacon, yaitu Knowledge is power (Pengetahuan

adalah kekuasaan). Dengan ungkapan ini, ia bermaksud

supaya manusia menguasai kekuatan-kekuatan alam dengan

melakukan percobaan-percobaan dan penemuan-penemuan

ilmiah.

Page 92: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

78_Duski Ibrahim

Selanjutnya, dalam pandangan Francis Bacon, filsafat

haruslah dipisahkan dari teologi. Ia tetap menerima ajaran

agama. Sekalipun ia meyakini bahwa penalaran dapat

menunjukkan adanya tuhan, namun ia menganggap segala

sesuatu yang lain dalam teologi dapat diketahui melalui

wahyu. Sedangkan filsafat harus sepenuhnya bergantung pada

penalaran. Dengan demikian, Francis Bacon termasuk orang

yang meyakini konsep „kebenaran ganda‟ (double truth), satu

kebenaran akal dan satu kebenaran wahyu. Keyakinan

semacam ini, tampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Ibn

Rusyd, seorang filosof muslim terkenal.

Terkait dengan filsafat Francis Bacon ini, ada bagian

penting yang diperjuangkannya, yaitu melawan dan

menhancurkan berhala atau idols. Berhala yang ia masudkan

adalah kebiasaan buruk yang menghantui akal sehingga

membuat manusia jatuh dalam kesalahahan. Ada empat

macam berhala atau idols penting. Pertama, berhala suku (idols of

the tribe), yaitu mengharapkan fenomena alam ini lebih teratur

daripada yang kita temukan. Kedua, berhala gua (idols of the

cave), yaitu berupa prasangka pribadi yang mengaburkan

pandangan peneliti. Ketiga, berhala pasar (idols of the market-

place), yaitu kesepakatan awam yang mengekang kata istilah

dan konsep untuk bisa bebas berkembang. Keempat, berhala

teater (idols of teatre), yang terkait dengan sistem berpikir baku

yang diterima begitu saja.

2. Rene Descartes

Rene Descartes biasa dianggap sebagai pendiri filsafat

modern. Ia adalah seorang filosof, ahli matematika dan ilmu

alam. Karya yang bermuatan teori-teori ilmiahnya berjudul :

Principia Philosophia. Ia memulai dengan pertanyaan sederhana

“Apakah yang pasti?” Setelah dianalisis, banyak yang dianggap

Page 93: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_79

pasti ternyata keliru, banyak yang dianggap meyakinkan

justeru meragukan. Akhirnya ia mengatakan: „Kepastian

pertama dan satu-satunya yang saya miliki terletak dalam

pemikiranku‟ (Cogito ergo sum = I think, therefore I am).

Kalau dibaca sepintas, pemikiran Descartes tampaknya

lebih berhasil untuk mendobrak tonggak-tonggak pengekang

yang dipancangkan tradisi terdahulu ketimbang membina

pemikiran-pemikiran konstruktif. Hal ini ada benarnya, karena

metode kritis dan pendekatan skeptis yang dianjurkannya

mendorong orang sesudahnya untuk menguji, mencoba dan

bereksperimen, sesuatu yang ia sendiri belum tuntas

merumuskannya. Tetapi, ia berhasil mengawali gerakan untuk

pembebasan filosofis dari belenggu dogmatis dan mitologis.

Liberalisme awal, yang merupakan produk Inggris dan

Belanda, mempunyai ciri-ciri: Memperjuangkan toleransi

beragama, terutama dengan kemunculan Protestanisme;

fanatisme agama yang pada abad pertengahan yang sering

dianggap harga mati, sekarang diserahkan kepada masing-

masing; perang agama yang sebelumnya telah meminta korban

ratusan ribu nyawa manusia, menurut kacamata modern

merupakan hal yang „picik‟ dan „absurd. (gharu ma‟qul).‟

Selanjurnya, liberalisme modern mempunyai ciri-ciri :

Lebih menghargai individu; mendorong perdagangan dan

industri; mendukung kelas menengah yang sedang menanjak

ketimbang monarki dan kaum bangsawan; punya rasa hormat

yang tinggi kepada hak-hak kebendaan; individualisme dan

materialisme dianggap dua aspek yang tidak terpisahkan.

Perlu dikemukakan, bahwa pola umum gerakan liberal

dari abad ke-17 hingga ke-19, berjalan secara perlahan dari pola

yang sederhana ke pola yang kompleks. Ciri khas dari seluruh

gerakan adalah individualisme.

Page 94: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

80_Duski Ibrahim

Berbeda dari gerakan individualisme di atas, para filosof

Yunani seperti Aristoteles, bukanlah individualis dalam

pengertian modern. Mereka berpikr tentang manusia pada

dasarnya sebagai warga suatu komunitas. Republika-nya Plato

merumuskan komunitas yang baik, bukan individual yang

baik.

Gebrakan signifikan terhadap kolektivisme ini dilakukan

oleh Protestanisme yang menegaskan bahwa “Majelis Umum

Gereja” mungkin saja salah. Untuk memastikan kebenaran oleh

karenanya tidak lagi menjadi upaya sosial, tetapi individual.

Karena individu yang berbeda, menarik kesimpulan yang

berbeda pula, hasilnya adalah suatu perlombaan untuk

menunjukkan bahwa pendapatnyalah yang benar.

Meskipun individualisme telah menyusup ke dalam

filsafat, kepastian dasar yang dikemukakan Rene Descartes I

think therefore I am membuat basis ilmu berbeda bagi setiap

orang, karena dasar bertolak setiap orang adalah eksistensi

dirinya sendiri, bukan individu lain atau masyarakat.

3. John Locke

John Locke (1632-1704), yang terkenal sebagai pionir

pedagogi alam bagi individu, adalah orang berjuang dengan

gigih membebaskan rakyat dari absolutisme. Karyanya yang

paling terkenal adalah essay Concerning Human Understanding.

Ia adalah seorang filosof yang beruntung, karena karyanya

tentang filsafat teoritis ia selesaikan tepat pada saat

pemerintahan negerinya dikuasai oleh orang-orang yang

sepaham dengan pendapat politiknya, baik dalam teori

maupun dalam praktik. Sejauh itu, pandangannya untuk waktu

yang lama dipegangi oleh para politisi dan filosof terkemuka.

Tidak hanya itu, pengaruh ide-idenya menyentuh Konstitusi

Inggris, Amerika dan Perancis.

Page 95: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_81

Salah satu ciri dari John Locke yang menurun kepada

semua gerakan liberal adalah menghilangnya dogmatisme. Ada

beberapa kepastian yang diterimanya dari pendahulu, yaitu

eksistensi kita sendiri, eksistensi Tuhan, dan kebenaran

matematika. Tetapi, manakala pendapatnya berbeda dari

pendahulunya, maka pendapat-pendapat itu harus dipegangi

dengan keraguan. Suasana pemikiran semacam ini muncul

tampaknya terkait dengan meluasnya toleransi beragama,

demokrasi parlementer, terkait dengan ekonomi pasar bebas

dan dengan seluruh sistem liberal. Kendatipun ia adalah

seorang yang beragama, tetapi ia tetap berpendapat bahwa

wahyu harus dipahami oleh akal. Akallah yang memberikan

ketentuan akhir.

Adapun yang dimaksud Locke dengan „akal atau

penalaran‟ (reason), dapat disimak dalam berbagai karyanya.

Akal tidak terbatas hanya pada penalaran silogisme (qiyas

manthiqi). “Tuhan tidak menciptakan manusia sekedar makhluk

berkaki dua dan membiarkan Aristoteles untuk membuat

manusia menjadi rasional.” Akal, menurut Locke terdiri dari

dua bagian, yaitu: Pertama, suatu penyidikan tentang apa yang

kita ketahui dengan pasti. Kedua, penyelidikan tentang

proposisi-proposisi yang bijaksana untuk diterima dalam

praktek, meskipun tidak pasti. Menuru Locke, ada dua dasar

kemungkinan, yaitu: Pertama, kesamaan dengan pengalaman

kita sendiri. Kedua, atau kesaksian pengalaman orang lain.

Pengutamaan Locke atas pengalaman manusia dan

penerimaannya yang bertingkat di atas memunculkan

kesimpulan tentang adanya kemungkinan Locke adalah

pendiri atau perintis paham empirisisme, yakni doktrin bahwa

seluruh pengetahuan manusia (keuali logika dan matematika)

berasal dari pengalaman. Inilah kemungkinan mengapa bab

pertama dari buku Essay bermuatan kajian tentang argumentasi

Page 96: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

82_Duski Ibrahim

menentang Plato, Descartes dan Skolastik, dan bahwa gagasan

mendasar (innate ideas) atau prinsip itu tidak ada. Pada bab

berikutnya ia menguraikan dengan rinci bagaimana

pengalaman menimbulkan berbagai macam gagasan.

Gagasan-gagasan kita berasal dari dua sumber, yaitu:

Pertama, sensasi, cerapan inderawi. Kedua, persepsi. Hasil kerja

otak kita dapat disebut „rasa internal‟. Karena kita hanya dapat

berpikir melalui gagasan-gagasan, sedangkan gagasan berasal

dari pengalaman, maka jelas bahwa tidak ada pengetahuan kita

yang dapat mendahului pengalaman.

Sekaitan dengan etika, John Locke memandang, bahwa

sesuatu yang baik atau buruk hanya dalam konteks kesenangan

atau penderitaan. Apa yang disebut baik adalah sesuatu yang

menyebabkan (menambah) kesenangan, atau sesuatu yang

mengurangi penderitan dalam diri manusia. Selanjutnya, Locke

memandang bahwa kebebasan sangat tergantung dengan

perlunya mengejar kebahagiaan yang benar dan atau

pengaturan nafsu kita.

Dalam bidang publik kemasyarakatan, Locke dikenal

dengan teorinya tentang kontrak sosial. Dalam pemikiran

politik abad ke-17, secara garis besar, ada dua jenis teori

tentang asal-usul pemerintahan.

a. Teori yang menyatakan bahwa Tuhan telah

menganugerahkan kekuasaan kepada orang-orang tertentu.

Orang-orang tertentu itu (termasuk para pewarisnya)

membentuk pemerintahan yang sah. Adanya

pemberontakan terhadap mereka itu merupakan suatu

pengkhianatan.

b. Teori yang menyatakan bahwa pemerintahan sipil adalah

hasil dari sebuah kontrak. Hal ini adalah murni masalah

dunia, bukan sesuatu yang dianugerahkan oleh otoritas

ketuhanan. Negara mendapatkan mandatnya yang sah

Page 97: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_83

untuk memerintah, karena kontrak sosial yang merupakan

fakta sejarah. Karena ia menerimanya dari masyarakat,

maka ia bertanggungjawab kepada masyarakat, kepada

siapa pemerintah mengikat kontrak dan masyarakat terikat

kontrak untuk mematuhi pemerintahnya.

4. Jean Jacques Rousseau

J.J. Rousseau (1712-1778) dikenal sebagai „bapak‟ gerakan

romantis, penggagas sistem pemikiran yang menyimpulkan

fakta non-manusiawi dari emosi manusia, penemu filsafat

politik kediktatoran yang pseudo-demokratis sebagai lawan

dari sistem monarki absolut tradisional.

Sejak zaman Rousseau, orang-orang yang menganggap

dirinya reformis di Barat terpecah menjadi dua kelompok,

yaitu: Pertama, pengikut John Locke, seperti Roosevelt (1882-

1945), Presiden Amerika ke-32; dan Winston Churchill (1874-

1965), pemimpin Inggris terkenal. Kedua, pengikut JJ Rousseau,

seperti Adolf Hitler (1889-1945) dan Benito Mussolini (1922-

1943).

Terlepas dari itu, inti gagasan politik Rousseau lebih

terletak pada konsep general will (kehendak umum), ketimbang

social contract, meskipun ia terkenal menulis sebuah buku yang

berjudul Social Contract. Masyarakat politik dipandang sebagai

penundukan sukarela setiap individu pada kehendak umum.

Kehendak umum inilah satu-satunya sumber kedaulatan yang

sah. Kepatuhan semacam ini bukanlah hal yang mudah,

kehendak umum harus dalam perhatian setiap warga, sesuatu

yang benar-benar dan harus menjadi keinginan bersama. Oleh

karena itu, setiap orang harus didorong untuk mencapainya.

Menurut Rousseau, setiap orang haruslah dipaksa untuk bebas

(forced to be free). Untuk bebas memang sebagian rakyat harus

dipaksa, suatu pemikiran yang paradoks. Tampaknya, gagasan

Page 98: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

84_Duski Ibrahim

Machiavelli telah mempengaruhi pemikiran ini, yaitu bahwa

untuk kebaikan bersama diperbolehkan mempergunakan

segala cara.

Sekaitan dengan filsafat ilmu pengetahuan, wacana yang

menjadi topik utama pada awal zaman modern adalah

persoalan epistemologi, dengan pertanyaan-pertanyaan, antara

lain, adalah: (1) Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan

(2) apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai

pengetahuan yang benar, (3) apa yang dimaksud dengan

kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

yang bercorak esitemologis ini, maka dalam filsafat awal abad

ke-17 mucullah aliran-aliran filsafat yang memberikan jawaban

berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran-aliran tersebut

adalah (Rasionalisme, empiririsisme, disusul kritisisme dan

idealisme).

G. Periode Post-Modern dan Kontemporer

Ada beberapa pengertian yang ditawarkan para ahli

tentang pengertian postmodern. Pertama, postmodern diartikan

sebagai filsafat atau pemikiran yang berkembang sesudah era

modern. Kedua, postmodern adalah kebudayaan dan pemikiran

yang merupakan kelanjutan dari era modern, dengan mencoba

mengatasi berbagai kekurangan yang timbul dalam budaya

dan pemikiran modern. Ketiga, postmodern adalah pemikiran

dan budaya yang mencoba mengambil kebudayaan klasik,

modern dan postmodern itu sendiri, berbagai hal yang

dianggap baik, sebagai dasar untuk pemikiran dan budaya

postmodern itu. Dengan demikian, pengertian terakhir ini

adalah sintesa dari pemikiran dan kebudayaan klasik, modern

dan postmodern ke dalam cara berpikir atau kebudayaan baru.

Francois lyotard telah mengemukan tentang postmodern

secara filosofis dan ilmiah. Ia mengatakan bahwa telah terjadi

Page 99: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_85

pergeseran dalam ilmu pengetahuan dan budaya dari era

Modern ke era Postmodern. Bersama beberapa filosof lain,

umpamanya Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean

Baudrillard, Gillez Deleuze dan Felix Guattari, Francois

Lyotard adalah pemikir postmodern radikal

(dekonstruksionis), yang berpendapat bahwa: Ada perbedaan

mendasar antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan pada

era Modern dengan era Postmodern. Jean Baudrillard

mengatakan jika pada era Klasik dan Modern ilmuwan dan

filosof masih berdebat tentang realitas, maka pada era

Postmodern justeru disebut dengan 'era kematian realitas'.

Melalui media informasi kita dihadapkan pada realitas citraan,

realitas sebagai konstruksi. Perubahan mendasar tersebut

diistilahkan dengan beberapa ungkapan, seperti: Matinya ilmu

pengetahuan, matinya ilmu sosial, berakhirnya ideologi, dan

lain-lain (Lubis, 2014: 15).

Francois Lyotard menyatakan bahwa perubahan besar

dalam dunia ilmiah terjadi dengan perkembangan teknologi

tinggi, yaitu teknologi informasi, yang mau tidak mau

mengubah cara berpikir kita. Dalam penilaian lyotard, adalah

tidak memadai model “pengkotak-kotakan otak” (cara berpikir

dan spesialisasi intelektual, untuk menghadapi watak baru

ilmu pengetahuan, seperti pemrosesan informasi cyberspace

yang mengukur ilmu pengetahuan berdasarkan logika

komputer yang berkembang akhir-akhir ini.

Dalam era Postmodern ilmu pengetahuan tidak memiliki

tujuan untuk dirinya sendiri, misalnya untuk menemukan

kebenaran teori. Sekarang, ilmu pengetahun lebih bersifat

pragmatis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan diproduksi

untuk dijual atau lebih mempertimbangkan nilai guna atau

manfaatnya. Perkembangan baru dalam ilmu pengetahuan ini

ditandai dengan majunya teknologi informasi dengan sasaran

Page 100: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

86_Duski Ibrahim

cyberspace global. Berkembangnya kosmologi baru dengan teori

tentang segala sesuatu (theory of everything), serta kemajuan

dalam rekayasa genetika dengan proyek genome manusia.

Gillez Deleuze dan Felix Guattari Gillez Deleuze dan Felix

Guattari mengatakan bahwa dalam era informasi sekarang ini,

dunia ibarat sebuah jaringan yang satu sama lain berkaitan dan

demikian pula otak dan cara berpikir kita memiliki jaringan

yang hampir tidak ada batas. Deleuze dan Guattari menyebut

istilah ini dengan “rhizomatic” atau “rizome”, suatu istilah

yang diambilnya dari dunia tumbuh-tumbuhan yang menjalar,

dimana batang dan akarnya menjalar ke semua arah, dan

masing-masing memiliki fungsi yang sama. Dari umbi dan akar

dapat tumbuh cabang-cabang baru yang berkembang ke

seluruh arah. Penggunaan istilah rhizometic ini juga berkaitan

dengan penolakan pemikir postmodern pada cara berpikir

ilmiah lama (modern) yang dikemukakan melalui metafor

“pohon ilmu”. Pohon ilmu adalah cara pandang yang melihat

bahwa ilmu pengetahuan bersumber dan ditunjang oleh akar

tunggang tempat akar-akar lain tumbuh untuk menunjang

batang yang berdiri kokoh. Pada batang itu tumbuh cabang

(kelompok ilmu) dan dari cabang tumbuh ranting-ranting

(berbagai bidang ilmu pengetahuan). Metafor pohon ilmu ini

adalah metafor yang kini kurang tepat digunakan untuk ilmu

pengetahuan dan memahami masalah sosial-budaya

(globalisasi) sekarang. Pada era informasi, dunia justeru dilihat

sebagai jaringan. Dalam dunia rhizomatic, ilmuwan

memerlukan pula keterbukaan dan model berpikir kritis, ilmu

pengetahuan juga menuntut pendekatan baru, yaitu

pendekatan interdisipliner dan multidisipliner (Lubis, 2014: 15-

16).

Perlu ditegaskan, bahwa pada era kontemporer ini

ditandai dengan pemikiran tentang bahasa, analisis bahasa atau

Page 101: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_87

analisis teks. Adalah Russel dan terutama Wittgenstein telah

memfokuskan diri dalam metode analisis bahasa ini sebagai

sikap atau keyakinan ontologis memilih alternatif terbaik untuk

aktivitas berfilsafat. Persoalan ini akan dibahas lebih lanjut

dalam kajian tentang hermeneutika, termasuk kaitannya

dengan kaidah analisis teks dalam pemikiran Islam.

Page 102: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

88_Duski Ibrahim

BAB III ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT

A. Rasionalisme dan Ajaran dasarnya

Rasionalisme adalah suatu aliran filsafat yang meyakini

bahwa rasio atau akal merupakan sumber utama suatu

pengetahuan. Banyak ajaran aliran rasionalisme, antara lain,

adalah: Pertama, melalui proses pemikiran abstrak dapat

diketahui kebenaran fundemantal, tentang (a) apa yang ada

serta strukturnya, dan (b) alam semesta pada umumnya. Kedua,

realitas dan kebenaran-kebenaran tentang realitas dapat dicapai

tanpa harus menggunakan metode empiris. Ketiga, pikiran

dapat mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas,

mendahului pengalaman apapun juga. Pengetahuan yang

diperoleh tanpa pengalaman ini disebut dengan pengetahuan a

priori. Keempat, akal budi (rasio) adalah sumber utama ilmu

pengetahuan. Kelima, suatu kebenaran tidak perlu diuji melalui

verifikasi inderawi, akan tetapi cukup melalui kriteria logis.

Kaum rasionalis menentukan kebenaran yang didasarkan atas

konsistensi antara pernyataan yang satu dengan pernyataan

yang lain atau kesesuaian antara pernyataan (teori) dengan

kesepakatan (konsensus) para ilmuwan. Keenam, alam semesta

(realita) mengikuti hukum-hukum alam yang rasional, karena

alam semesta adalah sistem yang dirancang secara rasional,

yang aturan-aturnnya sesuai dengan logika/matematika

(Bagus, 1996: 929-930).

B. Tokoh-Tokoh Aliran Rasionalisme dan Pemikirannya

Plato

1. Mengenal Plato

Plato (427-347 s.M) bernama asli Aristokles. Gelar atau

nama Plato itu sendiri adalah pemberian guru senamnya, yang

Page 103: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_89

bernada mengejek, karena dahi Aristokles lebar, berbeda dari

teman-temannya, sehingga ia dipanggil Plato, dari kata platos

yang berarti lebar. Panggilan atau julukan tersebut tampaknya

membawa berkah, karena panggilan „Plato” inilah yang

kemudian dikenal sampai sekarang, sebagai filosof kenamaan.

Plato adalah seorang filosof yang komprehensif dan

mengagumkan. Ia banyak mengeluarkan pemikiran yang jauh

ke depan di berbagai bidang. Atas dasar ini, Whitehead (1861-

1947) pernah menyatakan bahwa “.....The whole later development

of western philosophy can be a series of extended footnote to Plato.”

Artinya: “Keseluruhan perkembangan pemikiran filsafat Barat

hanyalah catatan kaki dari pemikiran Plato”) (Lubis, 2014: 88).

Ungkapan ini, sebenarnya dapat dimaknai sebagai kekaguman

Whitehead terhadap kecerdasan dan jangkauan pemikiran

Plato. Pemikirannya tersebut sangat berpengaruh terhadap

perkembangan ilmu pengetahuan. Harus diakui, bahwa

pengaruh pemikian Plato dalam berbagai bidang filsafat dan

ilmu pengetahuan memang sangat besar. Umpamanya, bidang

filsafat manusia, filsafat etika atau tingkah laku, filsafat

ketuhanan, filsafat politik, dan epistemologi. Kendatipun

demikian, seiring dengan kemajuan situasi dan kondisi,

perkembangan filsafat Barat bukan hanya seperti yang

dikemukakan oleh Whitehead, melainkan mengalami dan

mencapai perkembangan yang sangat signifikan.

2. Sumber Inspirasi Pemikiran Plato

Kalau kita memperhatikan sejarah pertumbuhan dan

perkembangan filsafat Barat, maka dapat diketahui bahwa

pandangan Plato tentang filsafat dipengaruhi oleh beberapa

filosof pra-Socrates, sebagai „hulu‟-nya. Untuk menyebut di

antaranya adalah sebagai berkut: Pertama, Pythagoras. Filosof

ini telah memberikan pengaruh jelas pada Plato tentang banyak

hal, tertama masalah : keabadian jiwa, mistisisme, dan

Page 104: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

90_Duski Ibrahim

matematika. Kedua, parmenides. Filosof ini telah memberikan

pengaruh pada Plato pemikiran tentang kenyataan yang abadi,

yang tidak berubah oleh waktu sebagai realitas yang paling

dasar, itulah yang oleh Plato disebut Idea. Ketiga, Heraclitos.

Filosof ini telah memberi Plato dasar pemikiran tentang tidak

adanya sesuatu yang permanen dalam dunia fisik, karena itu

pengetahuan tentang dunia empiris hanyalah sekedar doxa

(pendapat) dan bukan episteme (bukan pengetahuan yang

sempurna). Keempat, Socrates. Filosof ini memberi pengaruh

kepada Plato tentang problem etika (moral) seperti perlunya

tujuan kehidupan di dunia, karenannya Plato menekankan

perlunya menggeluti pengetahuan tentang idea “Yang Baik”

yang menjadi tujuan semua e-idea (Raeper, 2000: 12)

3. Andil Plato dalam Pemikiran Epistemologi

Dalam sejarah pemikiran filsafat, Plato dianggap salah

seorang pendiri eistemologi. Karena dialah yang dianggap

paling awal mempertanyakan: “Apa yang dapat kita ketahui?”

“bagaimana kita mengetahui?” dan “Kapan satu pengetahuan

dinyatakan benar?”. Perlu dikemukiakan, bahwa teori

pengetahuan Plato adalah upaya akademik dan sintesis dari

pertentangan antara pemikiran Heraclitos dan Parmenides.

Dalam pandangan Heraclitos, realitas adalah sesuatu yang

senantiasa berubah (panta rhei kai uen menei) (tesis), sementara

Parmenides menyatakan bahwa realitas adalah sesuatu yang

tidak berubah, sesuatu yang tetap dan yang abadi (antitesis).

Plato berpandangan bahwa realitas yang senantiasa berubah

adalah realitas “dunia fisis” atau fenomena alam, sedangkan

realitas yang sempurna, realitas yang tidak berubah, terdapat

dalam ”dunia Idea”. Ini berarti Plato telah melakukan sintesis

dari dua tokoh filosof yang mendahulinya tersebut, suatu

Page 105: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_91

pemikiran yang benar-benar cerdas dan menunjukkan kelasnya

sebagai filosof besar sepanjang masa (Lubis, 2014: 89).

Plato berpendapat bahwa pengetahuan itu bukanlah hasil

pengamatan indera, karena dunia yang kita amati hanya

sebagai bayangan dunia idea, realitas yang kita amati ini hanya

bayangan dari dunia idea, sehingga pengetahuan yang berasal

dari realitas fisis itu bersifat kabur. Sejauh itu, ia memandang

bahwa pengetahuan inderawi tidak dapat membuka jalan bagi

pemahaman tentang realitas yang sesungguhnya (dunia idea).

Baginya, pengetahuan yang sempurna atau sejati (episteme)

haruslah memenuhi dua kriteria: pertama, pengetahuan itu

harus pasti; kedua, pengetahuan itu harus tentang realitas yang

sempurna dan abadi.

Pengetahuan yang sempurna dalam pandangan Plato dan

kaum pendukung rasionalis, tidak diperoleh melalui

pengalaman. Pengetahuan mutlak bersifat a priori dan benar

berdasarkan definisinya. Misalnya, “kucing hitam adalah

hitam”. Atau “keseluruhan lebih besar dari bagian-bagian”.

Pernyataan atau proposisi ini disebut juga proposisi analitik

atau tautologi, yang sifatnya tidak memambah pengetahuan

baru. Terjadinya kebenaran pengetahuan analitis, manakala

tidak terjadi kontradiksi diri dalam pernyataan itu. Dengan

demikian, harus ada konsistensi antara penyataan yang satu

dengan yang lain.

4. Doxa dan Episteme

Pemikiran Plato tentang adanya pengetahuan sejati dan

tingkatan pengetahuan dituangkannya dalam buku yang

berjudul Republic. Dalam uraiannya, Plato mengatakan bahwa

perkembangan pemikiran dari tidak tahu menjadi tahu, dapat

ditempuh melalui dua jalan cara, yaitu: Pertama, adalah jalan

doxa (pendapat, opini). Kedua, adalah jalan episteme

Page 106: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

92_Duski Ibrahim

(pengetahuan sejati). Objek doxa adalah objek-objek nyata yang

dapat dipersepsi, dan objek ini hanya partikular dan bayangan

atau tiruan. Sementara itu, objek episteme adalah “noeta”, yang

objek yang berhubungan dengan “yang asli” atau “arkhai”.

Pengetahuan tentang yang universal dan abadi itulah yang

disebut dengan episteme oleh Plato.

Berdasarkan objeknya, menurut Plato, pengetahuan itu

dapat diurutkan dari pengetahuan yang paling rendah sampai

tingkat tertinggi, yang secara hirarkis sebagai berikut, yaitu:

eikasia, pistis, dianoya, noesis (Meyer, 1950).

a. Eikasia : adalah tingkatan pengetahuan yang terendah,

karena objeknya adalah “eikonos” (bayangan, gambaran)

seperti : mimpi atau bayangan di air atau bayangan cermin.

Bila seseorang menganggap mimpi atau bayangan sebagai

realitas sebagai kenyataan sebenarnya maka

pengetahuannya adalah eikasia.

b. Pistis : adalah tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi dari

eikasia, karena objeknya adalah zoya atau realitas yang

tampak. Pengamatan tentang benda atau objek fisis ini

sesungguhnya juga hanya tiruan, karenanya tidak sempurna.

c. Dianoya : pengetahuan ini sudah mengarah pada episteme,

seperti matematika. Objek matematika bukan objek fisis

yang partikular, akan tetapi sesuatu yang diselidiki akal budi

murni. Namun, pengetahuan ini belum mencapai tingkat

episteme (dunia idea), walaupun sudah bergulat dengan hal

yang pasti, abadi, akan tetapi masih di bawah tataran akhai

atau noesis. Cara kerja pengetahuan dianoya adalah bertolak

dari postulat, hipotesis-hipotesis yang diperoleh melalui

bantuan hal yang partikular, lalu meningkat ke hal universal.

Plato sangat menghargai matematika, sekalipun

pengetahuan ini belum mencapai prinsip utama.

Penghargaan Plato terhadap matematika ia tunjukkan

Page 107: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_93

melalui semboyannya yang ditulis di pintu gerbang

Akademinya, “Ageometritos mydeis aicito” : yang tidak mengerti

matematika dilarang memasuki Akademi ini).

d. Noesis : adalah tingkatan pengetahuan yang paling tinggi,

yang objeknya adalah arkhai (prinsip utama, idea). Cara kerja

noesis adalah bertolak dari postulat dan hepotesis, akan

tetapi tidak diturunkan dari hal-hal yang partikular seperti

pada dianoya. Akan tetapi, rasio langsung menukik dengan

kemampuan intuisi untuk meraih pengetahuan, dengan

menggunakan ide-ide yang murni abstrak. Rasio (akal)

berupaya untuk menemukan pengetahuan sejati itu. Dengan

ketajaman intuisi dan rasio, seseorang dapat memperoleh

pengetahuan yang sejati dan benar. Seseorang yang memiliki

pemahaman tentang ide-ide tertinggi itu, akan mencintai

hal-hal yang baik dan bertindak bijaksana. Jadi, ada

kesejajaran antara orang yang berpengetahuan dengan

tindakan yang bijaksana (adil, jujur, profesional). Atas dasar

petimbangan inilah, Plato akhirnya menyatakan bahwa

orang yang berpengetahuanlah yang sebaiknya memimin

pemerintahan.

5. Alegori Gua Plato

Masih dalam buku Republic, Plato mengemukakan tentang

alegori gua (the allegory of the cave). Melalui alegori ini, Ia

mengisahkan keadaan orang-orang tahanan yang terbelenggu

di dalam gua di bawah tanah sejak kecilnya. Leher dan kaki

mereka terbelenggu sedemikian rupa, sehingga mereka tidak

bisa pindah tempat, bahkan tidak bisa menoleh ke kiri dan ke

kanan, sehingga mereka cuma dapat melihat dinding gua.

Mereka duduk membelakangi pintu gua yang memungkinkan

cahaya masuk ke dalam gua itu. Karena itu, yang mereka lihat

selama hidupnya adalah bayangan benda atau mahkluk yang

Page 108: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

94_Duski Ibrahim

lewat di sekitar pintu gua yang terpantul di tembok atau

dinding gua. Mereka yang terkurung selamanya dalam gua,

menganggap bahwa bayangan itu adalah realitas yang

sesungguhnya. Padahal, yang mereka lihat itu hanyalah

bayangan dari bayangan dan bukan realitas sesungguhnya

(Lubis, 2014: 91).

Kalau kita mencoba menafsirkan alegori gua Plato di atas,

dalam konteks kekinian, maka dapat diambil pemahaman

sebagai berikut:

a. Sebagai kritik tajam atas kehidupan atau pemahaman yang

dangkal. Yang dianggap kebenaran dan kehidupan yang

baik adalah sesuatu yang memuaskan hasrat atau keinginan

kita. Tapi, kita tidak menyadari bahwa kehidupan penuh

dengan ilusi, pengetahuan yang dangkal serta idealisme

yang keliru.

b. Analogi kehidupan politis para politisi dan ilmuwan yang

berbicara seenaknya, umpamanya menyatakan bahwa

kenaikan harga BBM, TDL, dan lain-lain sebagainya adalah

untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat. Politisi dan

ilmuwan terkurung dalam gua atau bayangan ideologi dan

teori-teorinya.

c. Suatu kritik terhadap pandangan realisme naif, yang

menganggap bahwa pernyataan kita sebagai sesuatu

penjelasan tentang realitas sesungguhnya.

d. Kritik terhadap pandangan ilmu pengetahuan teknologi

sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang dangkal, tanpa

mempertimbangkan kebutuhan yang lebih mendalam, tanpa

mempertimbangkan kebutuhan etis, religius dan lingkungan

secara lebih luas.

e. Perlunya seorang ilmuwan merdeka yang bebas dari

bayangan dan ilusi-ilusi. Lalu, memberikan pencerahan dan

membantu masyarakat keluar dari berbagai dogmatisme,

Page 109: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_95

ketertutupan dan ketidakberesan (Lavine, 2002: 24-25; Lubis,

2014: 92).

6. Pandangan Plato tentang Manusia

Plato memisahkan antara “jiwa”, “roh” dan “pikiran”

dengan “tubuh”. Karena itu, dikatakan, bahwa pandangannya

tentang manusia bersifat dualistik. Manakala manusia

meninggal dunia, menurut Plato, maka tubuhnya akan hancur

tetapi rohnya akan tetap eksis, dan roh itu akan kembali ke

asalnya (dunia idea).

Dalam pandangan Plato, ada tiga elemen dasar jiwa,

yaitu: Pertama, adalah pikiran atau akal (nous yang merupakan

bagian dari rasional). Kedua, adalah bagian semangat atau

keberanian (thomus). Ketiga, adalah bagian nafsu-nafsu

(epithumia). Elemen ketiga (nafsu) inilah yang menyebabkan

jiwa terpenjara dalam tubuh kita.

Bagaimana hubungan antara tiga elemen jiwa itu? Untuk

menjelaskan itu, Plato mengemukakan mite tentang sais.

Seorang sais (nous) mengendarai sebuah kereta yang ditarik

oleh dua ekor kuda bersayap. Seekor kuda berwarna putih

adalah kuda berbudi dan mulia (thomus). Sedangkan yang

seekor kuda lagi berwarna hitam adalah kuda nakal dan jahat

(epithumia). Kuda putih selalu ingin berlari ke atas, sedangkan

yang hitam selalu mencoba berlari ke bawah. Karena kesalahan

kuda yang liar dan jahat itu, maka kereta jatuh ke bawah (bumi)

dan terpenjaralah jiwa dalam tubuh.

Sejalan konsep tiga elemen jiwa di atas, Plato juga

mengelompokkan masyarakat menjadi tiga kelas atau

kelompok. Kelas pertama adalah kelompok yang paling besar

jumlahnya, yang terdiri dari : petani, pekerja, pengrajin yang

bertugas memenuhi kebutuhan seluruh negara. Menurutnya,

unsur yang dominan dalam kelompok ini adalah nafsu-

Page 110: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

96_Duski Ibrahim

nafsunya. Kelompok kedua adalah kelompok yang terdiri dari

para penjaga, prajurit yang berkwajiban untuk menjamin

keselamatan negara dalam menghadapi ancaman dari luar.

Yang dominan dalam kelompok ini adalah keberanian atau

keinginan. Kelompok ketiga terdiri dari kaum intelektual dan

para filosof, yang dominan dalam kelompok ini adlaah

rasionya. Kelompok ini memiliki tugas dan kewajiban untuk

memerintah secara arif dan bijaksana. Teori Plato ini sering

dianggap sebagai teori yang telah memikirkan bagaimana

untuk menempatkan posisi seseorang berdasarkan

kemampuannya masing-masing (the right man on the right place)

(Bertens, 1999; Lubis, 2014: 94).

Menurut Plato, ada tiga elemen atau unsur kodrat (esensi)

dasar manusia, yaitu: (1) akal-budi, (2) jiwa, dan (3) hasrat.

Dalam pandangannya, akal-budi bersifat teoretis dan praktis

sekaligus. Akal-budi bersifat teoretis, dimana umat manusia

secara umum berbagi dengan Tuhan, akal budi adalah alat

untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang alam

semesta dan bersifat teoretis. Jiwa merupakan sumber energi

psikologis yang dapat mengungkapkan dirinya dalam emosi:

kemerahan, keberagaman, rasa hormat, kebanggaan, ambisi.

Sedangkan hasrat secara umum berkaitan dengan objek

kebutuhan jasmaniyah dan lain sebagainya (Parekh, 2008: 37).

Akal- budi memiliki kedudukan tertinggi, sementara hasrat

secara serampangan cencerung menuntut pemenuhan

keinginannya, sedangkan jiwa memiliki dimensi irasional,

karena itu perlu bimbingan dan pengawasan akal budi.

Rene Descartes

1. Mengenal Rene descartes

Rene Descartes, yang lahir pada tahun 1596 di La Haye

dekat Tours, Prancis Barat Laut, dikenal sebagai Bapak Filsafat

Modern dan peletak fundasi metode rasional untuk penelitian

Page 111: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_97

filosofis. Ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, teologi

dan filsafat dalam dua kecenderungan: idealisme Platonian dan

realisme Aristotelian. Sampai waktu Descartes terjun ke kancah

filsafat tidak ada aternatif pemikiran filsafat yang ditawarkan

selain tradisi Plato dan Aristoteles. Dalam pandangan

Descartes, kedua tradisi ini mengandung kelemahan sehingga

melahirkan ketidakpastian. Oleh karena itu, ia mengawali

filsafat modern dengan memfokuskan pada masalah

epistemologi dengan mencoba menemukan fundasi bagi

kebenaran ilmu pengetauan yang absolut dan pasti.

Descartes tampaknya merasa risih dengan perkembangan

ilmu pengetahuan yang tidak pasti (kecuali matematika),

sehingga sering menimbulkan perdebatan. Perdebatan tersebut

menurutnya jelas disebabkan tidak adanya kebenaran mutlak

yang menjadi pijakan dalam menyusun ilmu pengetahuan.

Metode dialog Plato atau metode teleologis Aristoteles belum

mampu menghasilkan fundasi yang dapat diyakni bagi suatu

ilmu yang benar-benar regorus, dapat diandalkan. Karena itu, ia

berkeinginan untuk memperbarui filsafat dan ilmu

pengetahuan. Ia mencoba menjadikan rasio sebagai dasar bagi

ilmu pengetahuan yang pasti itu. Secara historis, keinginan

untuk menemukan metode yang rigourus atau dapat

diandalkan supaya ilmu pengetahuan maju dan berkembang

adalah cita-cita Zaman Renaisans dan Pencerahan (Modern).

Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dapat dijadikan sebagai

alat untuk memperbaiki kondisi manusia dan menjadikan

manusia pemilik alam.

Apa yang dimaksud Descartes dengan metode yang

regorus itu? Metode dimaksud adalah keseluruhan aturan yang

pasti dan mudah, di mana melalui pengamatan yang tepat

dapat ditemukan kebenaran dan bukan kesesatan, dengan tidak

harus menguras akal budi, akan tetapi dengan meningkatkan

Page 112: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

98_Duski Ibrahim

pengetahuan secara terus-menerus, sehingga tercapai

pengetahuan yang benar tentang semua tindakan atau

perlakuan manusia. Menurutnya, hanya dengan ilmu

pengetahuan yang dihasilkan secara metodologis inilah yang

akan menjadikan manusia menjadi tuan dan pemilik alam.

Menurut Descartes, matematika dan logika adalah metode dan

model yang dianggap paling tepat, karena memberikan

kebenaran yang pasti dan niscaya. Matematika sebagai model

penalaran analitis (a priori) yang bertolak dari kepastian

sedehana (deduksi), lalu bergerak menuju kesimpulan dengan

sistematis. Matematika dapat dipakai sebagai metode universal

untuk mencapai pengetahuan universal atau kebenaran absolut

(Lubis, 2014: 95).

2. Pandangan Descartes tentang Tuhan

Sekalipun seorang rasionalis, Descartes juga mengakui

adanya Tuhan Yang Maha Besar. Bahkan, ia menempatkan

Tuhan pada tempat yang tinggi sebagai “Ada”-nya zat yang

tidak terbatas dan sempurna. Adapun argumen Descartes

adalah sebagai berikut. Gagasan tentang Tuhan tidak mungkin

hanya sebagai hasil dari pemikiran kita yang terbatas dan tidak

sempurna, melainkan hanya mungkin berasal dari Tuhan

sendiri. Keberadaan Tuhan diwadahi dalam gagasan itu

sendiri, seperti halnya pengertian sudut (tiga sudut), yang

deangan sendirinya sudah tercakup dalam pengertian segi tiga.

Argumen Descartes ini disebut sebagai pembuktian ontologis,

argumen yang sudah sering digunakan kaum teolog untuk

membuktikan adanya Tuhan seperti yang dilakukan Anslemus

dan Thomas Aquinas.

3. Tubuh dan Jiwa

Mengenai tubuh dan jiwa, Descartes berbeda dari

Aristoteles dan lebih dekat dengan pandangan Plato, yaitu

Page 113: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_99

dualisme. Sebagaimana Plato, dualisme Descartes bertumpu

pada asumsi (ide) tertentu, yaitu : akal budi atau rasio adalah

substansi (“non-jasmani”) yang berbeda atau terpisah dari

substansi meteril (tubuh). Kendatipun demikian, ia tidak

menerima pandangan Plato yang menyatakan bahwa tubuh

(badan) sebagai ilusi. Dalam pandangannya, bahwa tubuh

(badan) dan jiwa itu sama-sama nyata adanya. Setiap substansi,

baik badan atau tubuh, maupun jiwa atau rasio, mempunyai

sifat atau ciri-ciri khusus yang berbeda (dualisme). Kalau ciri

substansi dari tubuh (badan atau meteril) adalah keluasan yang

dapat diukur atau dikuantifikasikan: tinggi, berat, volume, dan

lebar. Maka ciri substansi dari akal budi (rasio atau jiwa) adalah

kesadaran.

Sekaitan dengan hal di atas, menurut Descartes,

pemikiran adalah sifat hakiki dari jiwa. Yang termasuk

pemikiran ialah segala sesuatu yang terjadi di dalam diri

manusia: pengenalan inderawi, khayalan, kehendak, imajinasi,

dan rasio. Sifat hakiki pemikiran adalah kesadaran (pemikiran),

sedangkan sifat hakiki tubuh adalah keluasan (res extensa) atau

tubuh yang terkuantifikasi (terukur).

Menurut Descartes, ada perbedaan yang tidak

terjembatani antara pemikiran (jiwa) dengan keluasan (tubuh,

badan), yakni tidak ada pertemuan antara jiwa dengan tubuh.

Kendatipun demikian, kedua-duanya saling mempengaruhi.

Jiwa “memperalat” tubuh untuk perbuatan-perbuatan tertentu.

Jiwa berada di dalam kelenjer kecil yang terletak di bawah otak

kecil (glandula pinealis). Dengan demikian, jelaslah bahwa

tubuh-jiwa terpisah. Namun, menurut Descartes, walaupun

keduanya bekerja secara terpisah, tubuh dan jiwa iu bekerja

seperti dua buah jam yang berjalan dengan dan sama tepat.

Page 114: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

100_Duski Ibrahim

4. Rasionalisme Descartes

Sebagai seorang rasionalis, Descartes mengutamakan rasio

sebagai sumber pengetahuan daripada empiri atau benda yang

dimati dan diukur itu. Menurutnya, pengalaman hanya

mengantarkan kita kepada “penampakan” (appearance), bukan

kepada pengetahuan yang sesungguhnya. Ia mencontohkan:

Ketika kita mengamati lilin dan sarang madu, maka ada

beberapa hal yang dapat ditanggap oleh indera, yaitu: lidah

merasakan manis madunya, hidung mencium baunya, mata

melihat rupa dan warnanya, jari-jemari merasakan

kelembutannya. Tetapi, manakala sarang madu itu dimasukan

ke dalam satu wadah dan dipanaskan di atas api, maka sifat-

sifatnya akan berubah, sekalipun lilinya tetap ada. Sifat-sifat itu

seperti: cair, lunak, lemak, lentur, mudah dibentuk.

Jadi, yang tampak dan dapat diamati bukanlah hakikat

lilinnya. Hakikat lilin kita ketahui bukan melalui pengamatan

(pengalaman), akan tetapi melalui rasio kita. Pengetahuan kita

tentang benda, dalam hal ini lilin, bukan didasarkan pada

wahyu dan bukan karena pengamatan atau khayalan,

melainkan karena rasio. Apa yang kita amati (lihat), dalam

konteks peleburan lilin tersebut, hanya dapat diketahui dengan

rasio. Kesaksian apapun yang bersumber dari luar rasio, jelas

tidak pasti dan tidak dapat diprcaya. Kebenaran harus dicari

melalui rasio dengan menggunakan kriteria “clearly and

distincly” (Lubis, 2014: 99).

5. Ide Bawaan

Mengenai ide bawaan, Descartes mengatakan bahwa pada

dasarnya ada tiga ide-ide bawaan (innate ideas), yaitu:

a. Idea pemikiran, yaitu ide yang memungkinkan seseorang

sebagai makhluk yang berpikir (pemikiran adalah hakikat

seseorong).

Page 115: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_101

b. Idea Allah sebagai wujud yang sempurna, yaitu : karena

seseorang mempunyai idea yang sempurna, maka dapat

dipastikan ada sesuatu yang sempurna itu, dan wujud yang

sempurna itu adalah Allah.

c. Idea keluasan, yaitu : ide yang memungkinkan seseorang

(saya, engkau, kita) mengerti materi (benda-benda, objek-

objek) sebagai keluasan, sebagaimana hal itu dapat dipelajari

secara kuantitatif (ilmu ukur/matematika) (Lubis, 2014: 99).

6. Prinsip Metodologi dan Metode Keraguan

Menurut Descartes, ada empat prinsip metodologis yang

dapat menjamin kebenaran dan kepastian:

a. Jangan menerima apapun sebagai hal yang benar, kecuali

jika kita mengenalnya secara jelas dan terpilah (clear and

distint) berdasarkan rasio. Kita harus menerima kebenaran

yang pasti, sebagaimana dalam matematika.

b. Harus menganalisis, mengurai semua bagian sekecil apapun,

supaya dapat menyelesaikan masalah lebih mudah dan lebih

baik.

c. Menata masalah dari yang paling sederhana dan mudah

dimengerti kemudian melangkah sedikit demi sedikit ke

tingkat yang lebih kompleks dan sulit.

d. Merinci keseluruhan dan mengevaluasi kembali secara

umum sampai kita yakin bahwa kesimpulan yang kita ambil

merangkum keseluruhan yang terkait.

e. Selanjutnya, memeriksa kembali dengan teliti apakah ada

kesalahan ilmiah serta kesesuaian mendasar antara hukum-

hukum alam (fisika) dengan hukum-hukum matematik.

Dalam membangun metode keraguan, Descartes beranjak

dari kenyataan bahwa manusia sering tertipu oleh pengamatan

atau pengalaman. Sebagai contoh: tongkat yang terdapat di

kolam bergelombang kelihatan bengkok, jalan lurus

Page 116: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

102_Duski Ibrahim

diujungnya kelihatan bertemu, buah-buahan plastik seperti asli.

Bila pengamatan atau pengalaman ternyata sering salah, maka

bagaimana kita tahu bahwa kita tidak tertipu? Bagaimana kita

tahu bahwa yang kita lihat dan alami bukan ilusi?

Descartes selalu meragukan segala hal secara sistematis,

meski sekecil apapun. Dalam pandangannya, dapat saja ada

“genius” atau “setan jahat” yang menipu, yang dapat

memalsukan penalaran dan kebenaran matematik secara

sistematik, sehingga sesuatu yang salah akan tampak sebagai

kebenaran. Untuk membuktikan bahwa ia tidak tertipu tentang

adanya dunia luar, maka Descartes bertolak dari adanya

eksistensi Tuhan yang menjamin. Karena menurutnya hanya

Tuhan yang dapat menjamin bahwa: (1) Ide-ide kita yang jelas

dan terpilah memang benar; (2) Kita tidak tertipu oleh setan

jahat.

Begitu Descartes membuktikan adanya eksistensi Tuhan,

maka ia merasa memiliki dasar untuk mengakui adanya tubuh

kita yang berbeda dari rasio, bahwa ide kita mengenai dunia

luar adalah benar. Setelah meragukan segala hal, bahkan

keberadannya sendiri, maka bagi Descartes ada sesuatu yang

tidak dapat diragukan keberadannya, yaitu bahwa saya sedang

sangsi/ragu.

Adapun adanya saya yang ragu itu, secara langsung

membuktikan adanya saya yang berpikir (cogito ergu sum = saya

berpikir maka saya ada). “Saya berpikir” merupakan kebenaran

filsafat pertama. Jadi, eksistensi yang berpikir (thingking being)

merupakan fundasi yang mutlak bagi semua pengetahuan. Jika

“Saya yang berpikir” itu merupakan satu kepastian mutlak,

maka hubungan antara berpikir dengan realitas (struktur

dunia) merupakan suatu keniscayaan (ini asumsi idealisme).

Descartes menempatkan peran rasio, intuisi dan penalaran

deduktif alam mencapai pengetahuan yang pasti. Rasio atau

Page 117: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_103

ego yang berpikir pada Descartes adalah ego dan rasio yang

berada di luar konteks sosial-historis, sehingga rasio itu tidak

terpengaruh/terkait dengan dimensi ruang-waktu dan budaya.

Karena kesanksian, apapun dari luar tidak dapat dipercaya,

maka menurut Descartes, saya mesti mencari kebenaran-

kebanaran dari diri saya dengan menggunakan norma cogiti

ergo sum. Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat

tiga ide bawaan (innate ideas) yang sudah ada sejak lahir, yaitu

“Pemikiran”, “Allah” dan “keluasan” (Lubis, 2014: 99-100).

Dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy (1995:

127) disebutkan:

“Cogito Ergo Sum (Latin) „I think, therefore I am), the

starting point of Descarters‟s System of Knowledge. In his

Discourse on the Method (1937) he observes that the

proposition „I am thinking therefore I Exist‟ (je pense, done

je suis) is “so firm and sure that the most extravagant

suppositions of the skeptics were incapable of shaking it.

“The celebrated phrase, in its better-known Latin version,

also occurs in the Principles of Philosophy (1644), but is not

to be found in the mediations (1641), though the latter

contains the fullest statement of the reasoning behind

Descarte‟s certainty of his own existence.”

Baruch Spinoza

Baruch Spinoza (1632-1677 M) dilahirkan dan dididik di

komunitas Yahudi Amsterdam. Ia seorang pemikir rasional

atau pemikir bebas, bahkan sangat bebas. Sebab itu,

komunitasnya sendiri banyak yang mengucilkan dan bahkan

membencinya. Tidak hanya itu, karena pemikiran bebasnya ia

juga dibenci oleh kaum Kristen ortodoks, dengan alasan bahwa

pemikirannya telah membawa dirnya kepada kategori ateis,

anti Tuhan. Kendatipun seorang pemikir bebas, ia adalah orang

Page 118: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

104_Duski Ibrahim

yang jujur, sopan dan menolak pembatasan, termasuk menolak

jabatan di Universitas Heidelberg, dengan alasan jabatan itu

sebagai posisi resmi yang dapat membatasi laju gerak

pemikirannya. Ia banyak menulis tentang etika dan berusaha

untuk menyusun satu geometri filsafat. Etikanya mencoba

untuk menjelaskan secara sistematis bagaimana menjalani

hidup yang baik dan bermoral, menerima konsep ide yang

terpilah sebagai sesuatu yang benar. Maka, sistem filsafatnya ia

susun berdasarkan definisi dan aksioma-aksioma. Sistemnya

menjelaskan kenyataan dalam dunia yang secara ketat

ditentukan karena “tata dan hubungan ide-ide sama dengan

tata dan hubungan benda-benda” (Audi, Ed. 1995 : 759).

Spinoza tidak sependapat dengan pemikiran dualisme

Descartes, yang mengemukakan bahwa substansi “tubuh” dan

“jiwa” adalah dua substansi yang berbeda antara satu sama

lain. Ia menyatakan bahwa hanya ada satu substansi “Deus Sive

natura” (God or Nature = Tuhan atau Alam). Tuhan dan alam

adalah satu dan sama. Natura naturans menampakkan diri

dalam naturata-naturata. Realitas absolut muncul di alam

(realitas) fenomenal. Dunia hanya sebagai modus adanya

Tuhan. Memahami dunia dengan totalitasnya, akan membawa

kita pada Tuhan. Ia seorang pencetus dan pembawa ajaran

panteisme yang prinsipnya tidak didasarkan atas mistisisme,

akan tetapi prinsip epistemologis. Perlu dicatat, bahwa ada

yang menyamakan antara panteisme Spinoza sama dengan

konsep ittihad Ibn „Arabi, sutau pandangan yang perlu

didiskusikan lebih mendalam.

Dalam pandangan Spinoza, ada perbedaan mendasar

antara “atribut” dengan “modus”. Atribut adalah hakikat

substansi yang dapat ditangkap oleh intelek, sementara

“modus” adalah hal yang berubah-ubah pada substansi.

Selanjutnya, berbeda dari Descartes, ia mengatakan bahwa

Page 119: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_105

keluasan bukanlah substansi, melainkan sebuah atribut yang

kita tangkap sebagai hakikat benda-benda. Keluasan adalah

atribut Tuhan sebagai substansi yang tidak berhingga,

sedangkan pikiran merupakan atribut dari substansi yang

tunggal, yaitu Allah. Jadi, pikiran manusia adalah bagian dari

pikiran Tuhan yang tidak terbatas. Setiap idea senantiasa

berhubungan dengan ideatum (objek), dan idea-idea itu pasti

sesuai dengan ieatum-ideatumnya. Tidak ada idea yang salah

(Audi, Ed. 1995 : 760).

Sebagai seorang rasionalis, Spinoza tidak menempatkan

hasil pengamatan inderawi sebagai pengetahuan yang

sempurna (sejati). Ia membedakan tiga taraf pengetahuan,

yaitu:

(1) Tarap pengetahuan inderawi atau imajinasi,

(2) Taraf refleksi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip,

(3) Taraf intuisi. Pengetahuan sejati hanya yang berkaitan

dengan prinsip-prinsip dan refleksi. Spinoza bukan hanya

dikenal sebagai filsuf, akan tetapi juga seorang psikolog. Ia

mengemukakan cara mendapatkan pemahaman

intelektual, imajinasi, intelek dan intuisi (Lubis, 2014: 102).

Jelas sekali bahwa pandangan monisme ontologis Spinoza

ini, berdampak pada prinsip epistemologi yang menempatkan

pikiran (rasio) secara tidak terbatas. Semua idea, menurutnya,

pasti benar karena semua adalah idea Tuhan. Alam adalah

kenyataan tunggal: matahri, bulan, laut, gunung yang ada di

hadapan kita, bahkan kita sendiri adalah Tuhan yang

menampakkan diri.

George Wilhelm Friedrich Hegel

1. Mengenal Hegel

Hegel (1770-1831 M) dilahirkan di Stuttgart, Jerman

bagian Selatan. Ia adalah anak dari seorang ayah, yang

berprofesis sebagai pegawai sebuah pengadilan Belanda di

Page 120: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

106_Duski Ibrahim

Wurtemberg. Ibunya meninggal dunia ketika ia berumus tujuh

tahun. Keluarganya menetap di satu wilayah Lutheran di

Jerman. Pada usia 18 tahun, Ia belajar filsafat dan teologi di

Tuebingen (1788-1793 M) (Audi, Ed. 1995 : 312). .

Pada tahun 1801-1807 Hegel pergi ke Jena dan mengajar

filsafat di Universitas Jena, secara sukarela. Hegel menjadi

profesor pada tahun 1805. Ketika kota Jena dikuasai Napoleon

Bonaparte pada tahun 1806, Hegel lari ke Nurenderg dan

berkaris sebagai seorang pimpinan lembaga gymnasiun dan

menjadi editor sebuah surat kabar di Hamburg (1806-1816 M),

sebelum akhirnya ia berkarir sebagai seorang profesor filsafat

di heilberg dan kemudian di Universitas berlin. Di Universitas

Berlin hegel sangat terkenal, mahasiswa datang dari mana-

mana untuk mendengar kualihnya. Hegel meninggal dunia di

Berlin pada taun 1831 (Audi, Ed. 1995 : 313).

Hegel selalu berbicara tentang Yang Absolut. Ide, Yang

Satu, Roh-Dunia (selalu dalam huruf besar). Ini merujuk pada

Tuhan, walaupun bukan Tuhan seperti pandangan pendeta

umumnya. Roh Absoulut adalah yang menyelimuti, mengatur

dan membimbing seluruh realitas. Dengan penalaran, kita tidak

perlu menyelidiki yang absolut itu, kita adalah bagian darinya,

dan merupakan ekspressi dari-Nya. Hegel menganggap

filsafatnya merupakan puncak sejarah umat manusia. Dalam

kestuan proses historis itu, semua pertentangan telah

diselesaikan (The absolut has no opposite) sehingga realisasinya

telah berakhir/berhenti (Bakker, 1984).

2. Teori Tentang Realitas (Metafisika)

Pemikiran Hegel tentang realitas atau metafisika

sebenarnya adalah reaksi atas pemikiran Immanuel Kant yang

menyatakan bahwa manusia hanya dapat mengenal gejala-

gejala (fenomena) atau benda-benda sejauh diamati oleh

pancaindera, dan hasil pengamatan itu kemudian distruktur

Page 121: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_107

(diolah) oleh kategori-kategori akal. Jadi, yang dapat dikenal

menurut Kant hanyalah gejala yang tampak, sementara hakikat

di balik gejala itu (noumena, things as it self) tidak dapt

diketahui. Berbeda dari Kant, Hegel justeru berpendapat bahwa

jarak antara fenomena dan noumena itu dapat diatasi, segala

sesuatunya dapat diketahui. Hegel mencoba mengatasi

pertentangan itu dengan mencoba memahami bagaimana

pikiran (pemikiran) manusia bekerja. Hegel mengemukakan

bahwa pemikiran kita kerja atas proses dialektika, dimana

pertentangan-pertentangan seperti pertentangan antara „for-

being‟, atau „fenomena-noumena‟ diatasi. Jadi, menurut Hegel,

tidak ada noumena yang tidak dapat diketahui seperti

pendapat Kant (Audi, Ed. 1995 : 313).

Hegel mencoba mengatasi berbagai pertentangan dengan

men-sintesis-kan dua pandangan yang saling berbeda (tesis-

antitesis). Titik tolak pemikiran Hegel adalah „ide yang

dimengerti‟ dan „kenyataan‟ itu adalah sama. Dengan

demikian, tidak ada perbedaan antara bidang „rasio‟ dengan

bidang „realitas‟. Rasionalitas dan realitas adalah sama. Hegel

menyatakan bahwa “yang dimengerti itu real, dan yang real itu

dimengerti” (Copleston, VII: 179). Jalan untuk memahami

kenyataan menurut Hegel adalah dengan mengikuti pikiran

(rasio) atau konsep. Asal saja titik-tolak pemikiran benar, maka

pemikiran akan dibawa oleh dinamika pemikiran itu sendiri,

dan dengan cara ini kita dapat memahami seluruh

perkembangan sejarah (Audi, Ed. 1995 : 314).

3. Idealisme Absolut

Pemikiran Hegel dikenal dengan pemikiran absolut

(absolut idealism) yang menyatakan bahwa realitas adalah

realisasi atau perkembangan dari spirit (roh) (reality is the

realization or unfolding of spirit (Geist).” Seluruh kenyataan tidak

Page 122: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

108_Duski Ibrahim

lain dari penampakan diri yang dilakukan oleh akal yang tak

terbatas. Akal itu adalah pikiran yang memikirkan dirinya

sendiri dan mengaktualisasikan diri dalam proses historis.

Suatu realitas yang berproses berkembang melalui proses

dialektik (thesis-antithesis-synthesis). Dunia dan pikiran bersifat

dinamis, keduanya berproses secara aktif revolusioner.

Segalanya berubah dan berkembang menjadi kebalikannya

(prinsip oposisi = prinsip kontradiksi). Prinsip kontradiksi

adalah dasar bagi gerak dan kehidupan. Kontradiksi itu

berproses bukan dengan semaunya, akan tetapi berdasarkan

proses dialektik. Melalui proses dialektik-revolusioner inilah

tujuan dan sasara-sasaran terwujud. Prinsip ini disebut sebagai

konsepsi teleologis dari eksistensi atau keberadaan dunia

(Hunnex, 1986).

Idealisme absolut Hegel merupakan sintesis antara

idealisme subjektif Fitchte dengan idealisme objektif Schelling.

Dalam pandangan Hegel yang terpenting dalam proses evolusi

bukanlah pada apa yang terjadi pada awalnya, akan tetapi hasil

akhirnya. Yang Mutlak (roh Absolut) pada hakikatnya

merupakan awal dan akhir dari keutuhan yang sesungguhnya.

Manusia mencapai tahap pengetahuan yang tertinggi bila ia

mampu menangkap Idea dunia, mengetahui maknanya,

memahami cara kerja pikiran yang dinamis universal, kategori-

kategori, dan pengertiannya (Mudhofir, 2001).

Idealisme Hegel dibangun di atas satu sistem triade (Idea-

Natur-Spirit). Dunia, menurut Hegel, adalah satu tatanan yang

rasional. Konsep-konsep intelek (rasio) sesuai dengan evolusi

objektif dari dunia. Kategori-kategori pikiran subjektif seperti

kategori-kategori alam semesta, karena pikiran dan keberadaan

alam adalah satu. Fungsi filsafat adalah mengenal kaidah-

kaidah yang dengannya akal (rasio) bekerja. Karena filsafat dan

metode Hegel mengikuti dinamika pikiran dan kenyataan,

Page 123: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_109

maka metodenya disebut dengan metode “dialektika”. Metode

dialektis itu diungkapkan sebagai tiga langkah: dua pengertian

(pernyataan atau pendapat) yang saling bertentangan, dan satu

sebagai langkah penggabungan/pendamai kedua pengertian

yang bertentangan itu. Ketiga langkah itu disebut dengan :

tesis-antitesis-sintesis.

4. Dialektika

Seluruh sistem filsafat Hegel terdiri dari „triade-triade‟

yaitu rangkaian proses dialektis tiga tahap, yaitu:

a. Tesis : Suatu konsep universal yang abstrak sebagai

titik tolak

b. Antitesis : Kontradiksi atas tesis

c. Sintesis : Penyatuan konsep yang bertentangan (tesis-

antitesis).

Tesis sebagai titik-tolak metode Hegel terdiri dari

pengertian atau konsep-konsep yang dianggap jelas dan

fundamental. Pengertian atau konsep itu bersifat mendalam

(seperti: ada, akal, kebebasan) dan tidak berupa pengertian

yang dangkal, misalnya konsep meja, kursi, dan lain-lain. Tesis

akan membawa orang pada antitesis atau

pengingkaran/negasi. Misalnya dalam Phaenomenologie, ia

mengemukakan sebagai antitesis dari pengertian konkret

inderawi, timbul pengertian formal (pengertian umum yang

tidak tertentu dan tidak terbatas). Contoh lainnya, pengertian

tentang „kebebasan‟ sebagai kebebasan mutlak, memunculkan

antitesis „keharusan‟ atau „aturan/hukum.‟ Konsep „ada‟,

menimbulkan konsep „tidak ada‟ sebagai antitesis; „akal‟

menimbulkan „intuisi‟, „objektif‟ menimbulkan „subjektif, „ide‟

dengan „alam‟, „fur-sich‟ dengan „an-sich‟ dan seterusnya.

Sintesis merupakan penyelesaian evolutif atas konsep-

konsep yang saling bertentangan, dan merupakan penyelesaian

Page 124: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

110_Duski Ibrahim

dari konsep yang bertentangan itu. Sintesis ini merupakan

pengingkaran terhadap pengingkaran, di mana tesis dan

antitesis sama-sama dipikirkan dan saling mengisi, saling

memperkaya dan memperbarui keduanya. Sintesis sebagai

upaya mengangkat, melarutkan keduanya ke tahap yang lebih

tinggi. Sehingga, kedua pengertian atau pandangan yang saling

bertentangan itu akhirnya mendapat kenyataan dan

pemahaman baru. Ketiga langkah itu sebenarnya dianggap

imanen satu sama lain, dan hanya merupakan satu gerakan saja

(Lubis, 2014: 105-106).

Pemikiran dialektis menurut Hegel merupakan satu

proses untuk mencapai kebenaran (Osborne, 2001: 110-111).

Rangkaian dialektis itu misalnya „ada‟ (tesis), memunculkan

„tidak ada (antitesis), dari dua kontradiksi ini muncul „menjadi‟

(sintesis: kesatuan ada dengan tidak ada. Segala sesuatu

menurut Hegel dapat dijelaskan berdasarkan logika dialektis.

Proses kontradiksi dan perkembangan menurut Hegel secara

inheren melekat dalam kenyataan historis dan dalam pikiran.

Penyelesaian kontradiksi itu bergerak secara niscaya menuju

langkah-langkah yang lebih tinggi sampai akhirnya tercapai

sintesis terakhir, yaitu „Ide Absolut.‟ Ide Absolut adalah sebagai

kesatuan ide subjektif dengan ide objektif. Ide objektif adalah

pengertian dari Ide yang objeknya adalah ide dalam dirinya

sendiri, sementara objeknya adalah objek yang merangkum

semua sifat realitas dalam kesatuannya:

Keterangan :

Tesis : Roh Subjektif (kerja batin/akal budi)

Antitesis : Roh Objektif (berupa objektivikasi akal/budi

dalam institusi sosial - politik)

Sintesis : Roh Absolut (yang berwjud dalam seni,

agaama, dan filsafat).

Page 125: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_111

Keterangan :

Tesis : Ide logis yang mendasari alam

Antitesis : Alam non-rasional

Sintesis : Roh Absolut

Adapun batas eksplikatif rasionalitas, yaitu

ketidakmampuan penjelasan ilmiah untuk menjelaskan sesuatu

secara sempurna dan final. Teori selalu bersifat tentatif, dan

kebenaran teori semakin lama diasmusikan semakin mendekati

kebenaran. Hal ini yang dikemukakan Popper dengan istilah

verisimilitude. Selanjutnya, batas persepktif sosiologis, yakni

rasionalitas berkaitan dengan proses perkembangan

rasionalitas itu sendiri. Di sini manusia sebagai animal rasionale

dikaitkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, artinya

rasionalitas berkembang sesuai dengan perkembangan sosial-

historis (Lubis, 2014: 110).

Perlu juga disampaikan di sini bahwa selain dimensi

rasionalitas (intelektualitas), pada diri manusia ada dimensi

lain seperti emosionalitas, spiritualitas, hasrat, irasionalitas

yang sering tanpa sadar mempengaruhi keputusan dan

tindakan manusia (ilmuwan). Ariely, ahli dalam bidang

behavioral economics (menggabungkan ekonomi dengan

psikologi) dalam buku Predictability irrational, The Hidden Forces

that Shape Ourision (2008) mengemukakan bahwa dalam ilmu

ekonomi, putusan yang diambil tidak selalu bersifat rasional.

Sering sekali terjadi pengambilan keputusan irasional, dan ini

bisa terjadi secara berulang-ulang sehingga dapat diprediksi.

Dalam buku tersebut dikemukakan bahwa keputusan irasional

ini sebagai paradoxs of human judgment, rasionalitas dan

irasionalitas dua hal yang paradoxs yang mungkin saja terjadi

dalam diri/keputusan manusia. Paradoxs adalah dua hal yang

sering dilihat bertentangan, akan tetapi sesungguhnya dua hal

itu bisa sama-sama terjadi. Istilah paradoxs ini sekarang sering

Page 126: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

112_Duski Ibrahim

kita temukan dalam pemikiran postmodern seperti istilah

global paradoxs. Global paradoxs maksudnya adalah

kecenderungan universalisasi (globalisasi) di satu sisi, di sisi

lain secara bersamaan dikuti oleh arus lokaliasi. Jika informasi

(TV, internet) di satu sisi cenderung menyeragamkan, misalnya

dengan menyebarnya budanya (makanan) Amerika ke suluruh

dunia yang disebut dengan McDonalisasi, akan tetapi di sisi

lain juga hal-hal yang bersifat lokal (budaya, tradisi lokal) juga

dimunculkan TV Lokal ke permukaan. Konsep ini yang disebut

dengan global paradoxs atau Glokal (global dan lokal) (Lubis,

2014: 110).

C. Empirisme dan Ajaran Dasarnya

Istilah „empirisme‟ berasal dari bahasa Yunani: empeiria,

empiros yang berarti pengalaman (Bagus, 1996: 197). Sebagai

kebalikan dari rasionalisme, empirisme adalah suatu doktrin

atau pandangan yang menyatakan bahwa pengalaman adalah

sumber pengetahuan manusia. Sedangkan ide atau gagasan

hanyalah sebagai abstraksi dari pengalaman tersebut. Dengan

demikian, berbeda dari rasionalisme, empirisme memandang

bahwa rasio tidak dapat memberi kita pengetahuan tentang

realitas, sebelum merujuk pada pengalaman inderawi.

Adapun ajaran-ajaran pokok empirisme, secara ringkas,

adalah sebagai berikut:

1. Dalam pandangan empirisme bahwa sumber pengetahuan

adalah pengalaman.

2. Dalam masalah metode, empirisme menekankan metode

empiris-eksperimental.

3. Dalam masalah model penalaran, empirisme menggunakan

model penalaran induktif.

Page 127: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_113

D. Tokoh-Tokoh Aliran Empirisme dan Pemikirannya

Aristorteles

Aristoteles (284-325 sM) adalah salah sorang filosof

Yunani, yang banyak meninggalkan tulisan, baik yang

berkaitan dengan metafisika, politik, bilogi, pengetahuan,

estetika, logika, maupun lain-lain yang dibicarakan orang pada

masa hidupnya. Ia pernah mendirikan pusat penelitian dan

pendidikan bernama Lyceum, sehingga ia menjadi filosof yang

paling banyak memberi pengaruh terhadap para filosof atau

pemikir, ilmuwan dan para teolog sesudahnya.

Pada mulanya Aristoteles mengikuti filsafat Plato,

sebelum ia menemukan jalan filsafatnya sendiri yang banyak

berbeda dari Plao. Di antara pandangan Plato yang tidak dapat

diterimnya adalah ajaran tentang konsep (Idea) atau bentuk-

bentuk abadi. Sebagai gantinya, Aristoteles menyusun

gambaran dunia sebagai organisme yang hidup, yang

berkembang seperti embrio mengarah pada tujuan tertentu.

Manakala Plato berpendapat bahwa pengetahuan (episteme)

diperoleh melalui rasio, maka Aristoteles lebih mengutamakan

pengalaman sebagai sumber pengetahuan, kendatipun rasio

masih tetap diakuinya. Sekaitan dengan adanya perbedaan

pandangan dengan gurunya, Plato, Aristoteles pernah

menyatakan: “Aku mencintai Plato, tetapi kebenaran lebih Aku

cintai.” (Lubis, 2014: 112-113).

Roger Bacon

Roger Bacon adalah seorang filosof pertama yang dengan

tegas mengemukakan perlunya metode eksperimen dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dan menekankan

pentingnya ilmu pengetahuan untuk kemajuan manusia. Oleh

karena itu, ada yang menganggapnya sebagai seorang pemikir

terbesar era skolastik. Ia belajar di dua universitas kenamaan,

Page 128: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

114_Duski Ibrahim

yaitu Universitas Oxford dan Universitas Paris. Ia ahli dalam

berbagai bidang ilmu, seperti ilmu alam, kimia, filsafat dan

lain-lain, yang dipelajarinya dari berbagai pemikiran tokoh,

seperti pemikiran Aristoteles melalui terjemahan bahasa Arab

ke bahasa Latin.

Seperti diketahui dalam sejarah, bahwa pada abad ke-10

M sampai abad ke-13 M Universitas Kordova merupakan pusat

ilmu pengetahuan yang terkenal hingga ke belehan dunia ke

Eropa. Para ilmuwan Muslim telah mengembangkan ilmu

fisika dan kimia melalui metode eksperimen. Mereka telah

berhasil melepaskan diri dari sekedar taklid terhadap

pemikiran-pemikiran para filosof Yunani. Perkembangan dan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam,

khususnya lingkungan Universitas Kordova, telah memotivasi

para pemikir barat era Skolastisisme untuk memindahkan cara

berpikir empiris-eksperimental di dunia Islam itu berbagai

Universita di Eropa. Roger Bacon adalah salah seorang pemikir

yang termoivasi tersebut, sehingga ia banyak belajar dari

pemikir-pemikir Islam.

Keberhasilan usaha Roger Bacon (dan tentunya bersama

filosof-filosof barat lain) memindahkan cara berpikir empiris-

eksperimental ilmuwan muslim, menjadikan dia dianggap

sebagai salah seorang tokoh besar yang membangunkan Eropa

dari masa Kegelapan dan melahirkan renaisans. Kendatipun

demikian, berbeda dari sejumlah pemikir Islam yang

mempengaruhi cara berpikirnya, namun Bacon memisahkan

iman dan nilai-niai moral dari metode empiris-eksperimental.

Ia memandang bahwa harus ada pemisahan antara etika dan

epistemologi, ada pemisahan antara ilmu pengetahuan dan

moral, seperti dikemukakan oleh Roger Graudi dalam buku

Pengetahuan Modern dalam Islam (Affandi, Ed. 1995: 39-63).

Pandangan semacam inilah yang mempengaruhi para pemikir

Page 129: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_115

modren, seperti August Comte dan lain-lain, untuk

merumuskan filsafat positvismenya.

Dalam kesempatan ini, perlu dikemukakan bahwa

menurut Roger Bacon, ada empat sebab yang menimbulkan

kebodohan umat, yaitu:

1. Mengandalkan otoritas yang tidak tepat,

2. Pengaruh yang tidak pas dari adat-kebiasaan (kebudayaan),

3. Pendapat massa yang tidak terpelajar,

4. Pamer kebijaksaan yang sesungguhnya hanya untuk

menutupi kebodohan (Osborne, 2001: 52).

Sekaitan dengan pengaruh pemikir Islam tergadap Barat,

perlu dikemukakan, bahwa: Ibn al-haytham yang di Barat

dikenal dengan Alhazen (965-1039 M) adalah ilmuwan Muslim

yang sangat terkenal, baik di kalangan Muslim maupun di

kalangan sarjana Barat. Ia seorang penulis yang produktif.

Tulisannya tidak kurang dari 200 buah, baik yang berkenaan

dengan: matematka, fisika, astronomi, kedokteran, optik

maupun komentar-komentarnya tentang filsafat Arsitoteles dan

Galen. Di antara bukunya yang terkenal adalah Kitab al-

Manadhir yang membahas hasil penelitiannya tentang optik dan

sinar. Dalam terjemahan bahasa Latin buku tersebut diberi

judul Optical Thesaurus dan diterbitkan di Barat sampai abad

ke-16. Buku inilah yang mempengaruhi Kippler dalam

melakukan penelitian tentang astronomi. Ia membuat optik dan

kaca cekung dengan peralatan semacam bubut untuk

membantunya melakukan penelitian. Sayangnya oleh penguasa

dan tokoh-tokoh gereja ia dianggap berpikir terlalu bebas dan

sering menyerang tokoh gereja dan penguasa waktu itu yang

dianggapnya bodoh. Kippler dengan tegas mengemukakan

bahwa Barat bisa belajar dari orang asing, maksudnya dunia

Islam. Akibat pemikiran dan tingkah lakunya yang dianggap

Page 130: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

116_Duski Ibrahim

radikal itu ia dimsukkan ke dalam penjara selama 14 tahun

(Osborne, 2001: 52).)

Francis Bacon

Francis Bacon (1561-1628 M), yang dikenal sebagai Bapak

Metode Induktif (empiris-eksperimental), menimba ilmu

pengetahuan di Universitas Cambridge dalam usia yang sangat

muda. Setelah selesai kuliah, ia berkarir sebagai seorang

diplomat, kemudian menjadi anggota parlemen. di usia lebih-

kurang 40 tahun, ia mulai menulis filsafat. Perlu dikemukakan,

bahwa ia juga pernah memberi kuliah tentang Aristoteles di

Universitas Paris.

Francis Bacon menulis buku tentang metode empiris-

eksperimental yang berjudul Novum Organum (1620)

(Alat/Metode Baru) yang khusus ia tulis dalam rangka

menolak metode deduktif Aristoteles. Ia juga menginginkan

rekonstruksi menyeluruh bidang seni, pengalaman dan ilmu

pengetahuan manusia dengan menggunakan metode empiris-

ekspreimental.

Francis Bacon menekankan nilai pragmatis/instrumental

ilmu pengetahuan, dan untuk gagasan ini, sebagaimana Roger

Bacon, ia belajar banyak dari ilmuwan dunia Islam. Ia

mempelajari dengan seksama terjemahan karya Ibn Haytham

tentang ilmu optik yang ilmu ini dikmanfaatkan untuk

memelajari benda-benda ruang angkasa. Ibn Haytham adalah

sarjana Muslim besar yang memberikan kuliah tentang optik di

Universita Cordova. Kesalahan Bacon yang berdampak besar

pada akhir abad ke-20 ini adalah memisahkan nilai-nilai moral

dan religius dari dunia ilmiah, tidak seperti yang dilakukan

ilmuwan-ilmuwan Muslim (Graudi, 1995: 45). Pada masa

renaisans mulailah terjadi pemisahan antara ilmu pengetahuan

dengan nilai-nilai moral dan religius.

Page 131: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_117

Perlu dikemukakan, bahwa Francis Bacon adalah seorang

pemikir atau filosof Barat yang dipengaruhi Ibn Rusyd,

terutama masalah penekanan pentingnya metode baru (Novum

Organum) (1620). Ia juga telah mengemukakan peran ilmu

pengetahuan untuk menciptakan kemajuan dan kemakmuran

bagi umat manusia. Baginya, ilmu pengetahuan adalah

kekuasaan/kekuatan (Knowledge is power). Lebih jauh ia

berpendapat bahwa Tuhan telah menciptakan alam secara

rasional, sehingga gejala-gejala alami dapat dijelaskan

berdasarkan pengalaman.

Karya Francis Bacon, The Advancement of Learning (1605

M), menjelaskan pandangannya tentang berakhirnya model

(paradigma) ilmiah lama dan awal paradigma ilmiah baru. Ia

menerapkan metode ilmiah itu dalam penelitian-penelitiannya,

bahkan ia meninggal akibat penelitiannya, yakni tentang akibat

hawa dingin pada ayam. Ia memajukan hipotesis bahwa “hawa

dingin” (es) dapat menghambat pembusukan”. Untuk

membuktikan hipotesisnya ini, ia keluar rumah membawa

potongan ayam untuk dimasukkan ke dalam es/salju. Gara-

gara itu, ia terserang flu berat dan penyakit itu membawanya

pada kematian. Tampaknya ia lalai memperhitungkan bahwa

es atau hawa dingin, di samping dapat menghambat

pembusukan, juga dapat menimbulkan penyakit dan kematian

pada manusia.

Adapun metode empiris-eksperimental Bacon dapat

dirumuskan dalam empat prinsip kerja, sebagai berikut:

1. Observing (pengamatan)

2. Measuring (pengukuran)

3. Explaining (Penjelasan)

4. Verifying (tes ulang benar-tidaknya) (Anshari, 1987: 61;

Lubis, 2014: 116).

Page 132: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

118_Duski Ibrahim

Di samping tahapan metode eksperimen, Francis Bacon

juga mengemukakan beberapa “idola berpikir” yang harus

dihindari, karena ia menghalangi seseorang untuk berpikir

jernih dan objektif. (Bandingkan dengan empat sebab yang

menyebabkan kebodohan Roger Bacon), yaitu:

a. Idola Tribus (idola prasangka yang dibentuk tradisi,

kesukuan), kecenderungan untuk menerima apa yang

diberikan oleh tradisi kita (agama, adat, nilai-nilai) tanpa

sikap kritis. Memberikan stigma terhadap suku tertentu

merupakan kecenderungan untuk menarik kesimpulan

tanpa dukungan fakta yang cukup, ini misalnya merupakan

akibatn keterperangkapan kita pada idola tribus. Seringkali

kita terperangkap dengan stereotip, umpamanya :

suku/orang Cina adalah pebisnis ulung yang menghalalkan

semua cara untuk mendapatkan uang; suku Jawa halus dan

sopan; suku Batak keras, dan lain-lain. Stereotip yang

dilekatkan pada suku ini cenderung mengabaikan adanya

keunikan atau perbedaan antara individu. Logika

penyeragaman ini sering menjebak atau menjadi perangkap

bagi kita untuk menarik kesimpulan secara benar.

b. Idola Specus (prasangka individu); yang menyebabkan

seseorang terkurung dalam “gua” (sudut pandangnya)

sendiri disebabkan oleh adanya prasangka pribadi, sehingga

seseorang cencerung menarik kesimpulan sendiri sesuai

dengan selera sendiri.

c. Idola fori (idola pasar): seseorang yang cepat dipengaruhi

orang-orang yang bicara atau dipengaruhi pandangan

massa. Boleh dikatakan pandangan massa sering sekali

berbeda dengan realitas yang sesungguhnya dan karenanya

sering kali menjadi hambatan bagi pemahaman rasional.

d. Idola Theatri (idola panggung): prasangka pemikiran atau

teori dogmatis. Pemikiran dogmatis, seringkali memperdaya

Page 133: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_119

seseorang, sehingga berakibat menumpulkan daya berpikir

kritis ((Lubis, 2014: 117).

Francis Bacon tidak hanya mengemukakan bagaimana

cara atau metode ilmu pengetahuan untuk memahami alam,

akan tetapi juga tujuan ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk

kekuasaan. Ia menunjukkan tiga contoh penemuan besar di

msanya: Pertama, gun power (mesiu) dan senjata (untuk

memenangkan perang). Kedua, penemuan kompas yang

memungkinkan negara-negara Barat menemukan benua baru

dan kemudian muncul kolonialisasi. Ketiga, penemuan mesin

cetak sehingga penyebaran informasi/ilmu pengetahuan lebih

merata. (Bandingkan dengan abad infomasi sekarang ini, yang

pasti lebih maju dari sebelumnya).

Pemikiran Francis Bacon ini sangat mempengaruhi tradisi

empirisme Inggris (Hubbes, Locke) serta pemikiran Pencerahan

Prancis, seperti Antoine Destutt de Tracy (1797), yang akhirnya

menghasilkan konsep ideologi, yang ia kemukakan dalam buku

Elements d`ideologie yang ditulis antara tahun 1801 dan 1815. (de

Tracy mengemukakan perlunya ilmu pengetahuan baru yang

disebutnya dengan `ideology` sebagai dasar bagi semua ilmu

penmgetahuan (sains). Ilmu baru yang disebutnya ideologi

sesunggunya adalah empirisme, karena ilmu baru itu

didasarkan atas sensasi terhadap fenomena fisik. Ilmu baru itu

sebagai upaya untuk menolak ide bawaan (innate ideas),

menolak prasangka agama, dan metafisika. Ideologi sebagai

ilmu yangb melihat asal-usul pikiran sesunggunya sebagai

upaya untuk memperteguh landasan ilmu pengetahuan

empiris yang dapat dijadikan dasar bagi terbentuknya

masyarakat yang adil dan damai yang dicita-citakan (David

Mcellan, 2005). Pandangan ideologi de Tracy berbeda jauh

dengan pandangan tokoh mazhab Frankfurt yang menyatakan

bahwa ilmu pngetahuan modern (positivisme) jatuh menjadi

Page 134: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

120_Duski Ibrahim

ideologi, bahkan mitos ketika kaum ositivisme ilmiah itu tidak

lagi terbuka terhadap kritik dengan menganggap

pandangannya saja yang benar (Lubis, 2014: 118).

Thomas Hobbes

Menurut Thomas Hobbes (1588-1679) pikiran adalah

fungsi tubuh (otak), sedangkan pikiran (nalar) adalah produk

sensasi. Ia menerima pandangan dunia ilmiah yang

deterministik, tuntutan objektivitas dan kepastian ilmu

pengetahuan, seperti kepastian matematik. Selain masalah

ilomu pengetahuan, Hobbes juga berbicara tentang filsafat

politik. Ia ingin membangun filsafat politik yang dapat

membantu menciptakan negara yang aman dan adil. Ia

mencoba menciptakan dalil-dalil yang pasti untuk membangun

masyarakat yang aman dan adil tersebut. Untuk mewujudkan

itu, menurutnya masyarakat harus dilihat sebagai arloji, tidak

memiliki kebebasan dan tidak bertindak menurut akal budinya,

melainkan menurut mekanisme psikis yang ada di dalam

dirinya. Masih berkaitan dengan masalah politik-kenegaraan,

Hobbes mengatakan bahwa mengingat manusia dikuasai oleh

nafsu-nafsu dan persaingan, maka negara haruslah memiliki

kekuasaan mutlak dan menakutkan, sehingga setiap warga

negara tunduk kepada kehendak negara.

Sekaitan dengan hal di atas, Hobbes memberi

sumbangan pemikiran sosial-politik-kenegaraan, melalui

sebuah karya yang berjudul Leviatan (1651). Buku tersebut

menguraikan pandangannya tentang kehidupan manusia di

dalam kodratnya yang bersifat “terpencil”, miskin, kejam,

memiliki sifat kebinantangan. Leviatan adalah mitos tentang

binatang laut raksasa yang buas, yang siap setiap saat

menerkam mangsanya. Negara diibaratkan seperti Leviatan

dimana kepala negara/raja setiap saat akan memangsa orang-

Page 135: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_121

orang yang dianggap berbahaya bagi negaara (kerajaan).

Otoritas atau kekuasaan mutlak kepala negara dianggap

sebagai penjamin tidak munculnya pertkaian dan kehancuran

negara.

Dalam hal ini, demikia keutuhan negara, Hobbes tampak

mengabaikan pandangannya sendiri yang mengakui bahwa

manusia pada dasarnya dilahirkan setara. Meskipun selalu

ditemukan, ada individu yang lebih kuat secara fisik dan lebih

tajam pemikirannya dari orang lain, akan tetapi ketika mereka

berkumpul bersama, perbedaan antara individu yang satu

dengan yang lainnya tidak seperti ketika individu berpikir

tentang kelebihan dirinya. Kalaupun seseorang memiliki

kekuatan fisik, si lemah juga memiliki kekuatan untuk

membunuh si kuat, entah melalui intrik rahasia atau

persenkongkoan dengan pihak lain, sehingga semua memiliki

bahaya yang sama (Leviatan, 1651). Persaingan juga tidak

terhindarkan dalam hubungan antara negara/bangsa, karena

itu perlu otoritas senteral dan kekuatan persenjataan. Menurut

Thomas Hobbes pertentangan hanya bisa diselesaikan melalui

paksaan, bukan melalui hukum atau hati nurani.

John Locke

John Locke (1632-1704) adalah salah seorang peletak dasar

empirisme dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Pada

mulanya ia terngaruh oleh filsafat Descartes tentang

rasionalisme, tetapi akhirnya ia berseberangan dengan

mengkritik rasionalisme, dan beralih ke empirisme dengan

pengaruh pandangan keilmiahan Newton.

John Locke adalah pemikir demokrasi yang menolak

pandangan Hobbes bahwa manusia itu menjadi srigala bagi

yang lain. Hakikat negara, menurutnya, adalah suatu

perdamaian, kemauan baik, kerjasama dan saling bantu

Page 136: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

122_Duski Ibrahim

memelihara hubungan. Setiap orang harus melindungi hak

sendiri serta kewajiban untuk menghormati hak orang lain.

Timbulnya masyarakat atau negara adalah untuk melindungi

hak milik dan hak-hak lain yang tidak diciptakan masyarakat.

Hak dan kewajiban moral adalah insting yang ada sebelum ada

hukum. Hukum yang muncul kemudian wajib melindungi apa

yang secara moral dan alamiah dasar (Sabine, 1992: 173-177).

Milik pribadi berkaitan dengan kerja, dan milik pribadi harus

dilindungi negara. Pandangan ini pada gilirannya menjadi

dasar bagi teori kerja dan ekonomi klasik-sosialisme.

John Locke menolak legitimasi religius tradisional raja-

raja. Menurutnya, tidak ada hal ilahi bagi para raja untuk

memerintah, sebab Allah tidak meletakkan seseorang lebih

tinggi dari orang lain. Dalam Treatise-nya ia menyerang

Thomas Hobbes yang mengemukakan interpretasi liberal

mengenai keadaan kodrati manusia. Manakala Thomas Hobbes

menyatakan manusia adalah serigala bagi manusia lain, maka

John Locek mengemukakan “manusia itu bebas dan di dalam

keadaan alami semua orang sama” (Osborne, 2001: 88).

Menurut John Locke manusia itu mengerti hukum moral

baik dalam keadaan alamiah (kodrati) sekalipun. Akal budi

merupakan hukum yang mengajarkan semua orang tentang

kebebasan dan persamaannya, juga yang mengajarkan bahwa

tidak ada seorangpun boleh merugikan orang lain di dalam

kehidupan, kesehatan, kebebasan dan profesinya. Prinsip hak

asasi yang terkenal berasal dari kontrak sosial Locke adalah

pandangannya bahwa raja, hukum dan masyarakat sipil harus

taat pada suatu kontrak sosial, agar manusia dapat menikmati

hak-haknya yang telah diberikan Tuhan dan tidak boleh

dirampas orang lain. Hak-hak itu adalah (1) hak atas hidup; (2)

hak atas kebebasan; (3) hak atas milik dan (4) hak untuk

memberontak melawan penguasa yang tidak adil. Pemikiran

Page 137: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_123

Locke tentang masalah sosial-politik ini pada gilirannya

mempengauhi Thoman Jefferson. Ia telah mengembangkan

gagasan John Locke untuk Konstitusi Amerika.

Sekaitan dengan masalah filsafat ilmu pengetahuan, John

Locke telah menulis sebuah buku yang terkenal, yakni Essay

Concerning Human Understanding, ketika ia sudah berusia sudah

berumur 58 tahun (Osborne, 2001: 81, Norton & Robert Hendry,

1994: 60-63). John Locke adalah seorang empiris radikal yang

membenci metafisika, seperti dinyatakannya melalui surat

kepada seorang temannya, yang mengkritik Leibniz: “Kamu

dan saya sama-sama sudah muak dengan permainan seperti

ini”. Maksudnya, ia menolak idealisme dan metafisika model

Leibniz dan Plato. Ia tidak menyetujui teori universal, dunia

ide, ide-ide atau pengetahuan bawaan seperti dikemukakan

Plato.

Dari tahun 1674 sampai tahun 1679 John Locke berada di

Prancis dan membaca karya Descartes. Sekali lagi, ia menolak

gagasan Descartes yang dipengaruhi Plato mengenai ide dan

pengetahuan bawaan, dengan menyatakan bahwa segala

sesuatu yang ada pada pikiran kita berasal dari pengalamam

inderawi (teori tabularasa). Kita lahir seperti kertas putih dan

pengalaman inderawilah yang mengisi otak (pikiran) itu

(Rapaer, 2000).

Menurut John Locke, semua ide berasal dari pengalaman,

dan ide itu dapat dibagi kepada dua macam, yaitu: Pertama,

ide-ide berasal dari pengalaman lahiriah (external sensation),

seperti: penglihatan, pendengaran, sentuhan/rabaan,

penciuman, atau rasa yang masuk ke otak mealui rangsangan

pengamatan dunia eksternal. Dalam proses pengamatan, akal-

budi kita bersifat pasif, dan hanya menerima rangsangan dunia

luar apa adanya (bandingkan dengan atomic fact dan copy theory

dari Rusell dan Witgenstein I, dan Mirror of nature dari Richard

Page 138: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

124_Duski Ibrahim

Rotry). Kedua, ide yang berasal dari pengalaman batin (internal

sense atau reflexion); bila pengalaman lahir memberi informasi

tentang dunia eksternal, maka pengalaman batin memberi

informasi tentang dunia dalam (jiwa). Informasi yang

dihasilkan adalah hasil aktivitas pemikiran (refleksi) atas ide-

ide kompleks.

Terkait dengan pengalaman eksternal, tersusun dari sifat-

sifat yang berhubungan dengan res-extensa: „leluasan‟, „bentuk‟,

„jumlah‟, „gerak‟ (data yang terkuantifikasi). Sementara itu,

pengalaman batin (reflexion) berupa aktivitas batin seperti :

„mengingat‟, „menggabungkan‟, „membandingkan‟,

„menghendaki‟, „mengingat‟, „memutuskan‟, dan lain-lain.

Isi otak kita menurut John Locke, terdiri dari ide-ide. Ide-

ide itu tediri „simple ideas‟ dan „complex ideas.‟ Gagasan

sederhana (simple idea) berasal dari pengalaman langsung,

sedangkan gagasan kompleks (complex ideas) merupakan

hubungan-hubungan dari ide-ide tunggal/gagasan-gagasan

simpel itu. Gagasan kompleks itu, misalnya „sebab‟, „relasi‟, dan

„syarat‟ tidak diamati secara langsung, akan tetapi kita

rumuskan dengan menkombinasikan ide-ide tunggal.

Lalu apa yang menghubungkan antara ide dan objeknya?

Hubungan antara objek dengan ide dikarenakan objek-objek

memiliki kualitas-kualitas (primer dan sekunder) yang

menghasilkan ide-ide dalam otak (pikiran) kita. Terkait dengan

kualtas primer dan kualitas sekunder, kualitas primer „benar-

benar ada dalam objeknya sendiri‟ sedangkan kualitas

sekunder berada dalam otak (pikiran) kita. Misalnya kualitas

primer berhubungan dengan keterpurukan objek (misalnya

apel: beratnya, kerasnya, volumenya) sedangkan waranaya

adalah kualitas sekunder.

John Locke percaya akan adanya tiga macam

pengetahuan, yaitu: Pertama, pengetahuan intuitif, yang

Page 139: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_125

melaluinya kita peroleh pengetahuan tentang diri kita sendiri.

Kedua, pengetahuan demonstratif, yang melaluinya diperoleh

pengetahuan tentang Allah. Ketiga, pengetahuan inderawi,

yang melaluiinya diperoleh pengetahuan tentang di luar.

Menurut John Locke, hanya pengetahuan intuitiflah yang

bersifat pasti secara absolut. Yang kedua pasti seperti bukti-

bukti matematik yang juga pasti. Sedangkan pengetahuan

inderawi bersifat problematik. Paling maksimal pengetahuan

ini merupakan dugaan yang baik. (pandangan ini senada

dengan pobabilistik Popper). Akan tetapi, pengetahuan

inderawi memadai untuk kperluan hidup sehari-hari.

Akhirnya, John Locke menyatakan bahwa filsafatnya adalah

jalan menuju Allah (Lubis, 219).

Isaac Newton

Ketika membicarakan Newton (1643-1727 M), maka kita

segera ingat dengan teori gravitasi dan perhitungan kalkulus.

Sebab, dialah yang menemukan teori grativikasi dan

perhitungan kalkulus (matematis) pada benda jatuh dan optik.

Newton, dan sejumlah ilmuwan empiris lainnya, telah

melakukan prinsip kerja ilmiah melalui: pengamatan yang

teliti, penyingkiran hal yang tidak termasuk hal yang diamati,

idealisasi, penyusunan teori spekulatif yang didasarkan atas

fakta, pengikuran, prediksi serta pengujian teori yang

disandarkan atas perhitungan matematis (Santoso, 1977: 75-77).

Newton menuliskan gagasannya dalam buku Principia.

Dikabarkan, bahwa ia menulis buku tersebut untuk

menuangkan gagasannya, disebabkan beberapa hal: Pertama,

karena ia kahawatir ada pemikir lain yang mencuri

gagasannya, terutama khawatir terhadap Leibniz, seorang ahli

matematika yang menemukan kalkulus. Kedua, untuk

menjawab astronom dan anggota Royal Society, Edmund

Harley, yang menanyakan tentang bentuk dari sebuah planet

Page 140: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

126_Duski Ibrahim

yang diprediksi memiliki daya tarik dari matahari. Karya besar

tersebut diselesaikan Newton dalam jangka waktu dua tahun,

setelah ia berjibaku di laboratorium dengan menghabiskan

tenaga dan pikirannya, sampai-sampai teman-temannya

mengkhawatirkan kesehatannya (LeGault, 2006: 199).

Pemikiran Newton ini sebagai kelanjutan dan puncak

pemikiran Galileo Galilei (1564-1642) yang berupaya untuk

menafsirkan dunia ini seluruhnya secara kuantitatif. Ia telah

melakukan penelitian untuk menghasilkan angka-angka yang

terhitung menjadi teknik utama dan ilmu tersebut. Ilmuwan

diarahkan menjadi praktisi dalam bidang penelitian yang

menghasilkan pengetahuan pasti. Melalui persamaan berupa

angka-angka, pengetahuan tersebut memanifestasikan hukum

atapun pola yang ada dalam alam sehingga dapat digunakan

untuk mempredikasi peristiwa “alam” lainnya. Sebagaimana

Galileo, Newton menggantikan pemikiran organik tentang

alam menjadi pemikiran mekanistik tentang alam. Pemikiran

mekanistik ini menyempitkan realitas menjadi elemen-elemen

dasar atau partikel, umpamanya, elektromagnetik, dan

gravitivasi). Seperti diketauhi, bahwa Galileo menggunakan

teleskop dalam observasi gerakan planet. Alam menurutnya

sebuah buku besar dan kita dapat membacanya jika kita

menguasai bahasanya; bahsanya adalah segitiga lingkaran

(bahasa geometri).

Adapun ilmu pengetahuan modern yang didasakan atas

paradigma Newton memiliki asumsi-asimsi sebagai berikut:

1. Alam semesta adalah sebuah mesin yang mengikuti hukum-

hukum sebab-akibat (cause-effect).

2. Ruang dan waktu adalah realitas yang objektif yang

keberadannya terlepas dari pengamat.

3. Atom adalah unit terdasar dari materi (ingat penemuan sub-

atomik dan kuantum mekanik).

Page 141: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_127

4. Manusia seperti mesin, misalnya panas tubu adalah akibat

gelombang radio (energi) yang bergerak kontunyu.

5. Ilmu pengetahuan pada akhirnya dapat membawa

pengeahuan yang smpuerna (objektif) tentang universum

(bandingkan dengan tentative theory dari Karl Raimund

Popper, paradigma Thomas Samunel Kuhn dan pemikiran

postmodern yang berkembang jauh dari Newton) (Lubis,

2014: 124).

Pemahaman mekanistik menyimpulkan bahwa setiap

elemen berinteraksi dengan elemen lainnya secara mekanistik,

akan tetapi interaksi itu tidak mempengaruhi inti dari partikel-

partikel tersebut. Penelitan Charles darwin contohnya dalam

On the Origin of Species, menguatkan pandangan mekanistik.

Manusia secara prinsip sama dengan alam dan sepenuhynya

sudah ditentukan. Descartes juga memperkuat gagasan ini

dengan melihat manusia sebagai betes-machine. Jika kaum

rasionalis seperti Descartes dan Hegel menyatakan bahwa alam

bersifat rasional, maka kaum empiris seperti Newton

mengemukakan bahwa fakta/realitas bersifat teratur, kejadian-

kejadian alam pada umumnya tidak kacau. Kejadian itu

berkaitan satu sama lain (hukum kausalitas). Matahari terbit

dan tenggelam, karena ada peredaran bumi secara teratur. Ada

korelasi yang tetap antara kaca yang pecah dengan batu yang

membenturnya.

Berkeley

Berkeley (1685-1753) seorang filosof berkebangsaan

Irlandia-Inggris, belajar teologi di Dublin dan menjadi Imam

Anglikan. Hidupnya berkarir sebagai imam, dosen, dan

mengakhiri hidupnya sebagai Uskup di Cloyne. Pemikirannya

dituangkan dalam buku: (1) Essay Towards a New Theory of

Vision (1709) (Karangan tentang Teori dan Penglihatan) (2) A

Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710)

Page 142: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

128_Duski Ibrahim

(Karangan tentang dasar-dasar Pengetahuan Manusia)

(Hamersma, 1983: 20-22).

Menurut Berkeley, semua pengalaman tidaklah

disebabkan objek-objek yang ada di luar kita, karena tidak ada

apa-apa di luar kesadaran kita. Pandangan ini disebut

imaterialisme, dengan menyatakan: yang ada adalah

kesadaran. Pandangan ini kadang disebut juga „spiritualisme‟.

Kalau yang ada hanya kesadaran, lalu bagaimana

dengan objek-objek eksternal? Menurut Berkeley, realitas

eksternal (objek) hanya ada kalau kita persepsi (esse est percipi).

R. Knox mengkritik pandangan Berkeley ini dengan

mempertanyakan: Apakah matahri tidak ada kalau kita sedang

tidur? Apakah batu tidak ada kalau kita sedang tidak

melihatnya? Berkeley menjawab : Kursi ini ada karena saya

mempersepsinya, dan bila saya meninggalkan ruang dan kursi

ini, kursi tetap ada karena Tuhan tetap mempersepsinya ....”

Tuhan mempersepsi semuanya termasuk akal-nudi kita yang

sedang mempersepsi, dan dengan demikian menjamin semua

eksistensi yang ada, kata Berkely (Osborne, 2001: 83-84).

Beranjak dari empirisme, Berkeley menyatakan, kita

hanya memiliki „ide-ide‟ (umpamanya: ide tentang apel, ide

tentang mangga) yang diperoleh melalui sensasi dan refleksi.

Jika pandangan Berkely ini diterima, maka konsekuensinya

adalah bahwa kita tidak pernah mengetahui objek (apel dan

mangga) yang sesungguhnnya. Berkeley membawa arah baru

epistemologi dengan menekankan peran subjek (rasio) yang

besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Immaterialisme Berkeley sering ditafsirkan sebagai

penolakan yang naif atas dunia fisis atau materi. Menurut

Brouver, penafsiran demikian merupakan kesalahpahaman

terhadap pemikiran Berkely. Pernyataan “ada sejauh

dipersepsi‟ yang dikemukakan Berkeley, menurut Brouver,

Page 143: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_129

bukanlah berarti bahwa dunia tidak dapat ada terlepas dari

pengamatnya, akan tetapi maksudnya, eksistensi objektif

(realitas) tidak dapat direduksi pada apa yang disebut „kualitas

primer‟ atau segala sesuatu yang teramati dan terukur

sebagaimana dikemukakan Locke. Menurut Bekeley, kualitas

primer tidak lebih objektif dari kualitas sekunder, baik bersifat

inderawi (warna, bau) atau bersifat afektif (keindahan).

Berkeley menolak gagasan bahwa materi ada secara objektif

dan telepas dari pikiran (subjek) sebagaiamana dipahami Locke

melalui konsep „kualitas primer‟-nya. Jadi, realitas objek

ekstenal diakui ada, tetapi semua itu berarti karena kita

mempersepsinya. Jadi, ada pertemuan antara persepsi tentang

objek dengan pikiran kita.

Berkeley membedakan antara “pengalaman tentang

objek” (mangga) dan “objek” itu sendiri. Pemikiran kita tentang

mangga (objek) umpamnaya disebabkan oleh kualitas

pengalaman kita tentang mangga itu. Kualitas pengalaman

(penciuman, penglihatan, rasa) adalah episode-episode mental

dan bukan sesuatu yang di luar mind. Karena itu, pengalaman

kita ihwal mangga (objek eksternal) adalah pengalaman sadar

yang kita miliki. Dengan demikian, objek-objek eksternal itu

ada dan kita pahami sejauh ada daam kesadaran kita. Jadi,

objek ekstenal ditempatkan Berkeley di bawah mind (Lubis,

2014: 124).

Pemikiran Berkeley di atas dapat disimpulkan:

Pengetahuan kita tentang objek-objek fisik pasti terkait dengan

pikiran (konsep, pandangan dunia) kita, dan kita tidak dapat

menentukan seperti apa objek-objek itu bila terlepas dari

pikiran kita. Pandangan Berkeley ini sesungguhnya menantang

pandangan kaum realis yang berpendapat bahwa konsepsi

tentang sesuatu (konsep, teori) eksis secara independen dari

pikiran.

Page 144: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

130_Duski Ibrahim

David Hume

Davis Hume (1711-1776) adalah salah seorang tokoh

empirisme terkemuka. Pemikirannya disebut sebagai puncak

empirisme modern. Hume belajar hukum, sastra dan filsafat

dan bekerja sebagai diplomat di Inggris, Prancis, Austria, dan

Italia. Sewaktu Hume tinggal di Paris, ia bertemu dengan Jean

Jacques Rousseau. Hume seorang yang berupaya keras untuk

terkenal melalui pemikiran dan tulisannya. Bukunya Treatise of

Human Nature, sedikit dibaca dan dipahami di masanya.

Karena itu, Hume menyatakan: “Buki ini sudah mati sejak

masih di percetakan” (Lavine, 2002: 139, Robinso Dave &Bill

Mayblin, 2004: 60-111). Tulisan-tulisannya yang terpenting (1)

A Treatise on Human Nature (Karangan tentang Kodrat manusia)

(17-38-1740), (2) An Inquiry Concerning Human Understanding

(Pemeriksaan tentang Pengertian Manusia) (1748), (3) An

Inquiry in to the Principles of Morals (Pemeriksaan tentang dasar-

dasar Moral) (1753) (Hamersma, 1983: 22).

Gagasan Hume tentang epistemologi dituangkan dalam

salah satu bukunya yang berjudul: A Treatise on Human Nature.

Buku tersebut terdiri dari tiga bagian : Pertama, membahas

problem epistemologi. Kedua, membahas masalah emosi. Ketiga,

membahas prinsip-prinsip moral. Hume mempertanyakan apa

yang sudah menjadi perhatian kaum empiris sebelumnya.

Masalah utama yang ia pertanyakan adalah (a) bagaimana kita

(anda) tahu?; (2) apa yang menjadi sumber atau asal mula ilmu

pengetahuan itu?

Untuk menolak pandangan tentang sumber pengetahuan

yang telah dibicarakan kaum empiris dan rasionalis, Hume

menyatakan bahwa sumber pengetahuan hanya satu, yaitu:

persepsi pancaindera. Hume berusaha meruntuhkan filsafat

lama yang berpendapat bahwa ada dua sumber pengetahuan.

Plato dan Descartes menganggap bahwa rasio adalah sebagai

Page 145: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_131

sumber pengetahuan tingkat tinggi yang ia sebut (episteme).

Episteme (pengetahuan yang tidak berubah) bersumber dari

rasio atau penalaran deduktif sebagai dasarnya untuk

memperoleh pengetahuan yang pasti mengenai dunia idea. Bagi

Plato pengetahuan yang bersumber dari empiri adalah

pengetahuan yang rendah (opini), sementara bagi Descartes

pengetahuan dari empiri itu, sebagai pengetahuan yang

membingungkan (diragukan). Bagi Descartes pengetahuan

yang pasti harus bersumber dari gagasan yang jelas dan

terpilah. Bagi Descartes, kejelasan dan kejernihan ide menjadi

kriteria kepstian dan kenbenaran ilmu pengetahuan (Lavina,

2002: 140). Jadi, bagi Plato dan Descartes, ada dua jenis

pengetahuan: Pertama, pengetahuan biasa (tingkat rendah)

yang bersumber dari pengalaman pancaindera. Kedua,

pengetahuan rasional yang mengatasi pengetahuan tingkat

pertama memasuki dunia idea (pengetahuan yang abadi dan

sempurna). Inilah dua sumber pengetahuan yang dimaksudkan

tadi, yakni yang ditolak oleh Hume.

Hume menolak keduanya, karena pengetahuan yang

dicapai melalui rasio tentang dunia idea (metafisikan) seperti

yang dikemukakan Plato adalah ilusi, kebohongan (anti

metafisisi). Metafisika seperti yang diakui Plato dan Descartes,

atau Thoman Aquinas, bagi Hume adalah “suatu kesombongan

yang gegabah” atau “keluguan takhayyul” dari orang-orang

yang meyakininya. Menurut Hume, kita tidak akan pernah

tahu alam realitas yang sebenarnya. Gagasan-gagasan yang kita

peroleh, menurutnya adalah gambaran kesan-kesan

pengalaman inderawi, yang tidak dalam pemikiran, penalaran,

dan pengingatan kita. Ketika kita dalam ruang atau kamar

tidur umpamanya, maka yang kita lihat adalah sensasi tentang

ukuran (panjang, lebar, tinggi, volume, berat) dari : kursi, meja,

buku, lampu, dan lain-lain. Kita di sini memperoleh kesan-

Page 146: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

132_Duski Ibrahim

kesan mengenai kamar tidur. Menurut Hume: “Ketika aku

menutup mataku dan memikirkan kamarku, gagasan yang

kubentuk merupakan representasi kesan yang kurasakan; dan

tidak ada sesuatu pun yang tidak berkaitan... gagasan dan

kesan selalu berkaitan satu sama lain (Lavine, 2002: 143).

Hume membedakan anara dua macam persepsi: Pertama,

kesan-kesan (impressions). Kesan-kesan adalah persepsi

inderawi yang masuk ke akal-budi, kesan ini bersifat kuat dan

hidup. Kedua, ide-ide (ideas). Ide-ide merupakan gambaran

yang kabur dari kesan-kesan dalam pemikiran kita. Dengan

demikian, ada kaitan antara : kesan-kesan tunggal (simple

impression) dengan kesan-kesan majemuk (complex impression)

serta ide tunggal (simple ideas) dengan ide majemuk (complex

ideas). Kesan tunggal adalah kesan tentang objek tunggal,

sedangkan kesan-kesan mejemuk terdiri dari kumpulan kesan

tentang objek. Setiap persepsi menghasilkan kesan, dan kesan

itu menghasilkan ide-ide. Ide tunggal berasal dari kesan

tunggal, dan ide tunggal itu mempresentasikan kesan (tentang

objek) tungal dengan tepat.

Hume membedakan kesan menjadi kesan-kesan sensasi

(bersifat material) dan kesan-kesan refleksi/ide-ide (bersifat

rohani). Meja yang kita ketahui tidak secara langsung, akan

tetapi melalui perantaraan sensasi tentang meja. Di sini

dibedakan antara : (1) objek yang diketahui (meja); (2) subjek

yang mengetahui, dan (3) sensasi yang darinya objek kita

simpulkan. Pandangan ini merupakan realisme kritis, yang

tidak menerima begitu saja kesamaan atau kesejajajaran antara

objek (reality) yang diketahui dengan penampakannya melalui

indera kita (appearance).

Pandangan Hume tersebut merupakan suatu

penolakannya terhadap rasionalisme, terutama tentang

gagasan ide-ide bawaan (innate ideas) yang selalu dijadikan

Page 147: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_133

landasan ontologis bagi kaum rasionalis dalam memahami

dunia sebagai suatu kesatuan yang berinterrelasi. Sekaitan

dengan ini, Hume juga menolak empirisme Locke dan Berkeley

yang memandang adanya keterbatasan metode empiris itu.

Dalam pandangan Hume, seluruh ilmu pengetahuan berkaitan

dengan hakikat manusia, bahkan menurutnys pengetahuan

tentang manusia merupakan pusat seluruh ilmu pengetahuan.

Meskipun demikian, ia memandang bahwa metode ilmu-ilmu

alam (eksperimen) adalah metode yang paling tepat untuk ilmu

pengetahuan tentang manusia, karena metode ini telah

dibuktikan keberhasilannya dalam ilmu-ilmu alam (Copleston,

1959).

Hume mencoret „subjek‟ atau „aku‟ sebagai pusat

pengalaman, pusat kesadaran, pemikiran, perasaan dengan

menyatakan bahwa itu semua hanya rangkaian „kesan-kesan‟

(impressions) saja. Impresi iu juga juga merupakan bahan dasar

bagi isi ilmu pengetahun yang kita susun atau kita konstruksi.

Pikiran-pikiran kita hanya bekasan-bekasan atau jejak-jekak

pengalaman inderawi yang menghasilkan kesan-kesan. Dari

kesan-kesan itu, disusun connextion dan associations oleh

keaktifan kehendak kita. Jadi, ilmu pengetahuan itu, ia

hanyalah gagasan yang kita kaitkan melalui hukum

penggabungan gagasan (connextion and associations).

Bila ilmu pengetahuan kita adalah penggabungan

gagasan, bagaimana dengan hukum kausalitas (misalnya

gravitasi, hukum mekanik)? Bagi Hume, hukum kausalitas juga

bukan fenomena yang kita tarik dari pengamatan kita secara

langsung. David Hume menjlaskan sebagai berikut: Jika kita

melemparkan batu ke kaca dan kaca pecah, maka yang terjadi

sesungguhnya adalah rangkaian perstiwa: (1) batu kita ambil,

(2) kita lemparkan, (3) Batu melayang, (4) lalu kaca pecah.

Selanjutnya Hume menjelaskan: Jika setelah berpuluh tahun

Page 148: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

134_Duski Ibrahim

kita melihat matahari terbit dari timur dan terbenam di barat,

maka itu bukan gejala kausalitas, melainkan rangkaian

peristiwa yang memang sudah semestinya berjalan begitu

(Lubis, 2014: 127).

Dengan demikian, bagi Hume, apa yang kita sebut

kausalitas itu bukanlah sebab akibat yang sesungguhnya,

melainkan rangkaian peristiwa saja, dan bukan kausalitas. Kita

tidak akan pernah tahu alam atau realitas yang sebenarnya, kita

tidak pernah tahu apa yang menyebabkan penginderaan kita,

kita tidak pernah tahu sifat sejati benda-benda dan mengapa

benda-benda tersebut seperti itu. Rasio tidak akan pernah

mampu menyingkapkan rahasia alam, tujuan atau rencana

dunia, karena itu berada di luar jangkauan pengamatan kita.

Immanuel Kant

Immanuel Kant (1724-1804) yang merupakan salah

seorang filosof zaman Pencerahan (abad ke -18) terkemuka,

adalah seorang profesor logika dan metafisika pada tahun 1770

di Universitas Konigsberg, yang banyak mengeluarkan gagasan

yang luar biasa.

Gagasan Kant pertama adalah mempertanyakan apa yang

dimaksud dengan zaman Pencerahan. Pertanyaan tersebut, ia

jawab sendiri dengan mengatakan bahwa pengertian

Pencerahan adalah “bangkitnya manusia dari ketidakdewasaan

yang ditimbulkannya sendiri”. Pencerahan adalah masa lepas

dari kanak-kanak: ketidakdewasaan mengandalkan otoritas

eksternal dan mengabaikan kemampuan berpikir sendiri.

Pencerahan bangkit dengan moto “sapere aude” (beranilah

berpikir/menggunakan akal sendiri). Ajakan untuk berani

berpikir sendiri, khususnya ditujukan pada masalah

keagamaan dan sebagai kritik atas sikap dogmatisme kaum

agamawan.

Page 149: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_135

Pemikirannya tentang ilmu pengetahuan dituangkan

dalam bukunya yang berjudul Critique of Pure Reason (1781).

Selain itu, topik yang sama dituangkan dalam bukunya

Prologomena to Future Metaphysics (1783), yang merupakan buku

pengantar untuk memasuki pemikiran epsitemologinya. Secara

epsitemologis, Kant tidak menyetujui posisi ekstrem empirisme

yang diutakaman kaum epirisis dan rasionalisme yang

diutmakan oleh kaum rasionalis. Dalam menghadapi ini, ia

menawarkan sintesis antara keduanya dengan mencoba

mengatasinya dengan menggabungkan keduanya, dan ia

menyebutnya dengan „idealisme transendental‟. Immanuel

Kant menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber dari

pengalaman (a posteriori), namun tidak dapat direduksi pada

apa yang kita alami. Pengetahuan kita hanya mengenai

penampakan/fenomena (appearence) dan bukan mengenai

realitas apa adanya (noumena) karena berdasarkan prinsip

empiris tidak ada sesuatu yang dapat kita ketahui tanpa

mengalaminya. Selain pemikiran di atas, masih ada beberapa

bagian dari pemikirn Kant, terutama yang terkait dengan

epistemologi, seperti akan diuraikan lebih lanjut.

1. Konstruktivisme Kant

Sebagai seorang ilmuwan yang jujur, Immanuel Kant

mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh David Hume,

dan menyatakan bahwa ia “dibangunkan dari tidur dogmatis”

oleh Hume. Kendatipun demikian, Kant tidak menerima

pemikiran Hukum tentang skeptisisme, dengan menyatakan

bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan yang pasti seperti

yang dikemukakan kaum rasionalis. Seperti telah disinggung,

Kant mensintesisikan gagasan kaum empirisme dan

rasionalisme. Dengan demikian, ia mengemukakan gagasan

baru mengenai pengetahuan. Menurtnya, mengetahui bukan

berarti kita menangkap atau memahami objek, melainkan

Page 150: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

136_Duski Ibrahim

justeru pengetahuan atau pemahaman itu merupakan kesatuan

yang disebutnya “transendental unity of apperception.”

Maksudnya, kesadaran harus dilihat sebagai satu paket yang

terdiri dari: pengalaman (empiris, kuantitatif) dengan

subjek/rasio (kualitatif, subjektif) (Lubis, 2014: 130).

Atas dasar itulah, maka para filosof sekrang banyak yang

mengatakan bahwa epistemologi Kant merupakan epistemologi

„konstruktivisme‟. Kendatipun demikian, perlu dikemukakan

bahwa konstruktivisme Kant tidak sama dengan

konstuktivisme yang berkembang pada akhir abad ke-20 yang

menerima pengaruh sosial-budaya terhadap subjek seperti

dikemukakan Peter Berger, Thomas Luckmann, Karl

Mannheim, Woolgar, dan lain-lain. Maksudnya, subjek

bukanlah subjek yang a historis dan transendental seperti yang

dikemukakan Kant. Sebagaiman pragmatisme, konstruktivisme

melihat realitas (ontology) sebagai suatu yang berproses dalam

ruang-waktu, demikian juga halnya dengan subjek sebagai

makhluk yang historis dan yang mengetahui (subjek, ilmuwan)

memainkan peran yang kreatif. Bagi Descartes dan kant, subjek

ditempatkan pada posisi yang senteral. Pandangan ini dikritik

oleh Martin Heidegger yang berandangan bahwa sejarah

filsafat Barat “telah lupa akan Ada” (forgetfulness of Being),

kelupaan bahwa ada perbedaan ontologis antara Being (Ada)

dengan beings (adaan). Ketersembunyian pembedaan inilah

yang menjadi fokus metafisika. Kelupaan akan „Ada‟ ini

menurut Heidegger memuncak pada dominasi rasionalitas

instrumental yang secara sistematis mereduksi dunia menjadi

sekadar bahan mentah bagi kebutuhan subjek (Heidegger,

1962).

Pemikiran epistemologi Kant sangat berpengaruh

terhadap positivisme dan positivisme logis yang menmgambil

fenomena sebagai sumber pengetahuan. Sedangkan pengaruh

Page 151: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_137

lain adalah pemikir yang disebut Kantianisme (tokoh

hermeneutika), serta pada konstruktivisme dan

postmodernisme. Meskipun demikian, ada beberapa

kelemahan yang dikemukakan filosof terhadap pemikiran

Kant. Kritisisme Kant sebenarnya bertolak dari asumsinya

bahwa akal budi dan kemampuannya dapat diandalkan. Jadi,

ia terlebih dahulu mempercayai kemauan akal budi yang

dikritisnya daripada pengalaman. Gagasan Kant bahwa ilmu

pengetahuan bersumber dari fenomena, tampaknya

kontradiktif dengan konsep noumena-nya (Das Ding an Sich).

Masalahnya bagaimana dan dari mana ia mengemukakan

noumena yang berada di luar jangkauan indera (metafisika) itu

ia ketahui, jika pengetahuan hanya bersumbr dari pengalaman.

2. Das Ding an Sich dan Bentuk A Priori

Kant menerima premis kaum empiris bahwa seluruh

pengetahuan bersumber dari pengalaman kita tentang realitas

atau benda (Ding) yang berada di luar kita. Namun,

pengamatan atas objek itu hanya sebagai rangsangan,

sedangkan benda itu sendiri (hakikatnya) sama sekali tidak

dapat kita ketahui. Rangsangan yang kita peroleh dari

tangkapan inderawi terhadap objek yang ada di luar

ditampung dan diolah oleh akal-budi kita melalui bentuk-

bentuk a priori. Bentuk-bentuk a priori mengolah masukan dari

luar, sehingga objek itu dapat kita ketahui dan mengerti

dengan pasti. Dalam pemikiran epistemologis Kant, kualitas

primer dan kualitas sekunder (warna, panas, dingin, bau)

sesungguhnya tidak ada pada benda itu sendiri, melainkan

berasal dari kita (pengamat), meskipun kualitas sekunder itu

sesuai dengan kekhasan benda-benda itu sendiri. Namun,

benda-benda atau objek yang kita amati dan banyak masuk ke

dalam kesadaran kita hanyalah bentuk-bentuk yang telah

diberikan oleh perangkat pengetahuan kita.

Page 152: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

138_Duski Ibrahim

3. Ruang dan Waktu

Ruang dan waktu adalah bentuk adalah bentuk a priori

yang berada pada lapisan pertama yang memungkinkan

pengamatan berlangsung. Apapun yang kita tangkap sebagai

hasil pengamatan, selalu kita tangkap sebagai eksistensi (ada)

dan selalu berada dalam ruang adan waktu. Ruang dan waktu

bukan sesuatu yang ada di luar kita (subjek) atau sesuatu yang

ada pada dunia eksternal, melainkan cara a priori daya inderawi

menangkap/memahami segala sesuatu objek eksternal itu

sebagai suatu yang “beruang” dan “berwaktu”.

Objek yang kita tangkap (dengar, lihat) belumlah objek

dalam arti yang sebenarnya melainkan hanya berupa wujud

yang kita lihat dan dengan saja. Kita belum tahun bahwa yang

kita leihat dan dengar itu adalah sebuah mobl atau suara orang.

Untuk mengetahui yang kita lihat itu “mobil” dan yang kita

dengar it “suara” orang, kita memerlukan kemampuan a priori

tahap kedua, yaitu rasio (verstand) (Lubis, 2014: 132).

. Kant mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan

dikonstruksi dari dua aspek: aspek yang bersifat transendental

(tanpa pengalaman, a priori) dan aspek pengalaman (a

posteriori). Pada taraf pengamatan inderawi subjek memiliki

dua bentuk a priori yang diterapkan pada pengalaman itu, yaitu

“ruang” dan “waktu”. Dua bentuk ini bersifat mutlak dan

universal pada pengamatan inderawi, sehingga dua bentuk

inilah yang menghasilkan apa yang disebut dengan “fenomena‟

konkret. Fenomena konkret adalah hasil pengamatan yang

dibingkai oleh “ruang” dan “waktu”. Ruang dan waktu dalam

pemikiran Kant, adalah ruang dan waktu yang ada pada subjek

(kesadaran) dan bukan ruang waktu yang ada di luarnya atau

pada objek-objek. Bukan objek atau manusia yang beruang dan

berwaktu, akan tetapi kita (kesadaran) memahami segala

sesuatu selalu melalui kerangka ruang dan waktu.

Page 153: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_139

4. Kategori-Kategori rasio

“Objek-objek” inderawi yang sudah dibentuk pada tingkat

inderawi, memerlukan pengolahan oleh rasio atau akal. Untuk

melakukan pengolahan itu, rasio kita menggunakan “kategori-

kategori rasio” untuk memiliki objek yang sebenarnya, yaitu

objek yang kita pahami, kita bahas dan kita gunakan dalam

mengorientasi diri. Kategori-kategori rasio tersebut dapat

dikelompokkan dalam empat dimensi:

a. Kuantitas: kesatuan, kejamakan, keseluruhan,

b. Kualitas; realitas, negasi, limitasi.

c. Relasi: substansi dan aksiden, sebab-akibat, dan interaksi.

d. Modalitas: munkin/tidak mungkin, ada/tiada,

niscaya/kebetulan.

Setelah objek indera dijelaskan menurut kategori-kategori

barulah objek yang diamati menjadi objek dalam pengertian

sebenarnya. Sekarang barulah kita dapat bicara tentang

“mobil‟, orang yang menyanyi , dan lain-lain.

5. Idea-Idea Akal-Budi

Objek-objek yang diolah oleh rasio belum mempunyai arti

dan belum dapat bekerja. Adalah “mobil” dalam dirinya

sendiri tidak mempunyai makna/arti sama sekali, tidak dapat

dimengerti. Fakta tidak begitu saja berbicara pada kita. Karena

adanya sesuatu yang terisolasi secara total tidak dapat

dimengerti. Meja baru kita mengerti jika kita kaitkan dengan

adanya yang lain (misalnya: kursi, duduk, menulis, tempat

buku) dan seterusnya. Agar objek dapat bicara dan mempunyai

makna kita harus meempatkannya dalam kerangka acuan yang

memberikan makna. Hal ini terjadi (dimungkinkan) dengan

mempersatukan, mengaitkan objek-objek dalam satu alam

realitas. Penyatuan objek itu tercapai melalui tiga “ídea” atau

“paham akal-budi”, yaitu: Allah (idea teologis), jiwa (idea

psikologis), dan “dunia” (idea kosmologis). Menurut Kant, tiga

Page 154: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

140_Duski Ibrahim

idea ini merupakan acuan yang memungkinkan kita dapat

mengerti sesuatu. Harus diingat bahwa kerangka atau tiga idea

ini merupakan bentuk a priori (transendental) yang tidak

memiliki eksistensi pada dirinya sendiri. Tiga idea ini bersifat

transendental atau prasyarat yang memungkinkan kita dapat

memahami objek (fenomena). Menurut Kant, secara filosofis,

kita tidak dapat tahu tentang “Allah”, “jiwa” dan “dunia”, akan

tetapi tanpa mengnadaikan ketiga idea itu kita tidak dapat

memikirkan objek-objek (Lubis, 2014: 134).

6. Fenomena dan Noumena

Objek-objek yang terkonstruksi (terbentuk) melalui

bentuk-bentuk a priori inderawi dan kategori rasio, dan

dimengerti melalui kerangka acuan tiga idea yang telah

diuraikan di atas hanyalah gejala “fenomena”, yaitu cara objek-

objek itu “menyatakan” atau “menampakkan” diri.

Pengetahuan manusia hanya terbatas pada fenomena (objek-

objek) yang tampak saja. Sedangkan idea-idea itu merupakan

“noumena” atau realitas akal budi murni, tanpa didasari oleh

pengalaman inderawi. Fenomena adalah sesuatu yang tidak

dapat kita ketahui, sedangkan noumena bukan objek-objek

melainkan syarat memungkinkan pengetahuan kita tentang

objek itu. Fenomena merupakan asumsi atau pengandaian,

semacam implikasi pengetahuan yang terarah pada objek-

objek.

7. Kematian Metafisika

Dengan menolak kemungkinan pengetahuan kita tentang

noumena, dan pengetahuan hanya terbatas pada fenomena, maka

berarti Kant menolak metafisika. Penolakan terhadap

metafisika dari Kant, terlihat juga dari pernyataannya tentang

tiga idea yang hanya sebagai paham (idea regulatif) yang

memungkinkan objek inderawi dimengerti. Jadi pengetahuan

Page 155: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_141

adalah sintesis, antara inderawi dan pengolahannya melalui

kategori-kategori a priori.

Kant mengkritik metafisika rasionalistik yang menerima

konsep abstrak tanpa memeriksanya secara kriis (Kritisisme

Kant). Filsafat Kant disebut sebagai Kritisisme yang mencoba

untuk memahami kemampuan akal-budi manusia terlebih

dahulu, dan ini dianggap sebagai prasyarat untuk mulai

berfilsafat.

Dalam epistemologi Kant, terkandung beberapa asumsi,

yakni:

a. Objek empiris sesuatu yang nyata (real)

b. Kita tidak dapat menangkap objek transendental dan

metafisik, karena objek itu tidak beruang, berwaktu, dan

berkausalitas.

c. Objek Empiris hanyalah “objek yang dapat ditemukan

melalui pengalaman inderawi” (Raeper: 197).

William James

William James (1842-1910) adalah pencetus istilah

“empirisme radikal.” Ia adalah salah seorang tokoh

pragmatisme Amerika. Istilah itu dikemukakannya adalah

dalam rangka menggambarkan epistemologi pragmatisnya.

Empirisme radikal berbeda dengan empirisme klasik dan

modern yang mengakui kebenaran yang objektif dan stabil.

Empirisme radikal tidak mempercayai objektivisme dan

universalisme dengan mengemukakan kebenaran yang

berproses, historis, plural, dan kontekstual. Kebenaran teori ini

sejalan dengan pandangan ontologi pragamtisme yang

melihtsebagai suatu yang dinamis (berproses) sementara

ilmuwan (yang mengetahui) di dalamnya nyata-nyata

memainkan peran kreatif (Lubis, 2014: 135).

Page 156: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

142_Duski Ibrahim

E. Aliran-Aliran Filsafat Islam

Filsafat Islam, dengan berbagai alirannya, penulis anggap

perlu untuk dikemukakan secara garis besar, di samping

karena jarang dimasukkan dalam buku-buku filsafat ilmu, para

tokoh-tokohnya yakni para filosof banyak memiliki konsep dan

pemikiran tentang ilmu pengetahuan dan sumber-sumber

pengetahuan tersebut. Mulyadi Kertanegara, dalam bukunya

yang berjudul Gerbang Kearifan (2006), mengemukakan bahwa

paling tidak ada empat aliran dalam filsafat Islam, yaitu: Aliran

Peripatetik, aliran Illuminasi, aliran „Irfani dan aliran Hikmah

Mu‟ta‟aliyah, yang gambaran umumnya sebagai berikut:

1. Aliran Peripatetik.

Istilah peripatetik (masya`iyyun) merujuk kepada

kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi

murid-muridnya, ketika ia mengajarkan filsafat. Para filosof

Muslim yang mengikuti Aristoteles dalam filsafat Peripatetik

ini, antara lain, adalah al-Kindi, al-farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd

dan Nashiruddin ath-Thusi. Ada beberapa ciri khas dari aliran

peripatetik ini, umpamanya, adalah:

Pertama, modus ekspresi atau penjelasan para filosof

aliran ini bersifat sangat diskursif (bahtsi), yaitu menggunakan

logika formal yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur

penalaran yang mereka gunakan adalah silogisme, yaitu metode

penarikan kesimpulan (natijah) dari pengetahuan yang telah

diketahui dengan baik (premis mayor = muqaddimah kubra dan

premis minor = muqaddimah sughra), dengan membuang middle

term atau al-hadd al-ausath.

Kedua, karena sifatnya diskursif, maka filsafat yang

mereka kembangkan bersifat tak langsung, karena untuk

menangkap objeknya mereka menggunakan simbol, baik

berupa kata-kata, konsep atau presentasi. Modus pengetahuan

Page 157: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_143

ini biasa diebut hushuli atau perolehan, yakni pengetahuan

diperoleh secara tidak langsung, melalui perantara.

Ketiga, dari aspek metodologis, aliran ini sangat

menekankan kemampuan daya rasio atau akal, sehingga nyaris

tidak mempertimbangkan intuitif. Akibatnya, oleh oleh aliran

lain, mereka disebut tidak memperoleh pengetahuan yang

otentik – yang biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman

mistik – tetapi lebih tergantung pada otoritas para pendahulu

mereka. Kendatipun demikian, mereka tetap mengakui adanya

intuisi suci, walaupun menueut meraka hanya dimiliki para

Nabi atau wali. Mereka sendiri lebih mengutamakan filsafat

atau kekuatan (daya akal semata. Karena itu, aliran pantas

disebut sebagai wakil dari kaum rasionalis Islam.

Keempat, dari aspek ontologis, ajaran mereka adalah

hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun

yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utama, yaitu materi

(al-hayula) dan bentuk (shurah). Yang dimakud dengan

“bentuk” di sini bukanlah bentuk fisik, melainkan semacam

esensi (hakikat = mahiyah) dari sesuatu, sedangkan “materi”

adalah bahan, yang tidak akan mewujud (tidak akan muncul

dalam bentuk aktualitas), kecuali setelah bergabung dengan

bentuk.

Kelima, aliran filsafat Peripatetik Islam, agak berbeda dari

ajaran Aristotelian murni adalah memiliki ajaran atau teori

emanasi, terutama al-Farabi dan Ibn Sina, dan dalam batas-

batas tertentu juga Suhrawardi. Perlu dikemukakan, sekaitan

dengan teori emanasi, bahwa al-Farabi merasa kecewa atas

buku Metafisika Aristoteles, karena ternyata kitab metafisik

tersebut tidak banyak berbicara tentang Tuhan, yang dalam

pandangan Islam, justeru merupakan tema pokok dalam

metafisika. Dikatakan hanya dalam kitab Lamda dari bukunya

itu Aristoteles berbicara tentang Tuhan. Namun, tidak ada

Page 158: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

144_Duski Ibrahim

keterangan yang memuaskan tentang bagaimana Tuhan

menciptakan alam. Tepatnya, bagaimana dari Tuhan Yang Esa

muncul alas semesta yang beraneka.

Dari aspek bahasan teologi, al-Farabi dan Ibn Sina benar-

benar merasa keceewa. Ketiadaan bahasan tentang teologi yang

memadai dari Aristoteles ini membuat al-Farabi mencari

informasi yang dapat memuaskan rasa ingin tahunya tersebut.

Informasi yang diinginkan tersebut, ia temukan pada teori

emanasi Plotinus. Teori emanasi inilah, yang menurutnya,

telah dapat menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana dari

Tuhan Yang Esa muncul dunia atau alam semesta yang

beraneka, padahal dari yang esa, tentu hanya bisa muncul yang

tunggal juga. Dengan memadukan teori astronomis yang

berkembang saat itu (yang didominasi oleh teori Ptolemius),

maka al-Farabi menghasilkan teori emanasi yang lebih rinci

dari teori asli Plotinus.

2. Aliran Illuminasi (al-isyraqi)

Pendiri aliran illuminasi (al-isyraqi) ini adalah Suhrawardi

al-Maqtul. Gelar al-maqtul (yang terbunuh), karena ia dijatuhi

hukuman mati oleh Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir,

atas laporan ulama yang menuduhnya telah menyebarkan

aliran sesat. Suhrawardi meninggal dalam usia muda ini, yaitu

35 tahun. Kendatioun demikian, banyak karya yang telah

dihasiloaknnya, antara lain: Kitab al-Masy‟ari wa al-Muthahharat;

at-Talwihat, al-Muqawwamat, dan sebuah kitab yang sangat

berpengaruh adalah Hikmah al-Isyraq.

Filsafat iluminasi ini memiliki beberapa karakteristik

tersendiri yang berbeda dari aliran-aliran filsafat lain, baik dari

sudut metodologis, ontologis, maupun kosmologis. Berbeda

dari aliran peripatetik (yang lebih menekankan penalaran

rasional), filsafat iluminasi mencoba menekankan metode

Page 159: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_145

intuitif atau „irfani, sebagai tambahan dari penalaran rasional.

Suhrawardi tampaknya telah berhasil mensentesiskan dua

pendekatan, burhani dan „irfani dalam sebuah sistem

pemikirannya.

Suhrawardi lebih lanjut mengklasifikasikan kemampuan

manusia dalam pencarian kebenaran, yaitu: Pertama, Orang

yang memiliki pengalaman dzauqi atau pengalaman intuitif

yang sangat dalam, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk

mengungkapkannya dalam bahasa filosofis yang diskursif.

Mereka ini adalah para sufi. Kedua, Orang yang memiliki

kemampuan untuk mengungkapkan pikiran dalam bahasa

filosofis yang diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman

dzauqi atau intuitif yang mendalam. Mereka ini adalah para

filosof. Ketiga, Orang yang memiliki pengalaman dzauqi atau

intuitif yang sangat dalam, dan memiliki kemampuan untuk

mengungkapkannya dalam bahasa filosofis yang diskursif.

Mereka ini adalah para muta‟allih, dan mereka inilah yang

disebut oleh Suhrawardi sebagai kelompok tertinggi dari para

pencari kebenaran.

Sekaitan dengan masalah ontologis, aliran illuminasi ini

diwakili oleh konsep metafisika cahaya. Menurut Suhrawardi,

Tuhan adalah Nur (cahaya), sebagai satu-satunya realitas yang

sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan

adalah Cahaya di atas cahaya (nur al-Anwar). Ia adalah sumber

dari segala cahaya, dari mana semua cahaya lainnya berasal

atau memancar.

Menurut Suhrawardi, segala sesuatu yang ada di dunia ini

terdiri dari cahaya dan kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang

memiliki wujud yang positif, sedangkan kegelapan adalah

negatif, dalam arti tidak memiliki realitas objektif. Ia ada hanya

sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya. Ketika cahaya

datang, maka kegelapan sirna. Bagi Suhrawardi benda-benda

Page 160: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

146_Duski Ibrahim

tidak memiliki definisi atau kategori yang tegas (clear cut)

seperti yang dibayangkan kaum peripatetik. Yang

membedakan satu benda dengan benda yang lainnya hanyalah

intensitas cahaya yang dimilikinya. Semakin banyak

kandungan cahayanya maka semakin tinggi derajatnya. Hewan

dan manusia, misalnya, tidak dibedakan secara kategoris

melalui esensinya tetapi disebabkan oleh kenyataan bahwa

manusia memiliki cahaya yang lebih dibanding dengan hewan.

Dengan demikian, filsafat Suhrawardi dikenal sebagai

esensialisme, yang dipertentangkan dengan eksistensialisme ala

Mulla Shadra, seperti akan terlihat dalam penjelasan

mendatang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa menurut

Suhrawardi esensi (mahiyah)-lah yang lebih prinsipil, bukan

eksistensi (wujud), sebuah ajaran yang sering disebut ishalat al-

mahiyah atau prinsipilitas esensi, sebagai lawan dari ishalat al-

wujud, yang menyatakan baha wujudlah yang prinsipil, yang

lebih fundamental, sedangkan esensi hanyalah persepsi mental

saja.

Dari aspek kosmologis, aliran ini juga memiliki teori

emanasi, namun lebih ekstensif dari teori emanasi kaum

peripatetik. Sebagaimana kaum peripatetik, Suhrawardi

memandang bahwa alam semesta memancar dari Tuhan.

Namun, dalam teori emanasi Suhrawardi, kita temukan istilah-

istilah dan struktur kosmik yang berbeda, baik jumlah maupun

tatanannya. Berbeda dari Ibn Sina, yang menyebut Tuhan

dengan Wajib al-wujud (Wujud Niscaya/Senantiasa Aktual),

Suhrawardi menyebut-Nya Nur al-Anwar (cahaya dari segala

cahaya), dari sisi sifat sejatinya sebagai cahaya dan sumber bagi

cahaya lainnya, dan al-Ghani (Yang Independen) darsi sisi

kemandiriann-Nya (yang absolut) dari alam. Sedangkan alam

sendiri pada gilirannya disebut al-Faqir, untuk menunjukkan

Page 161: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_147

ketergantungan alam pada Tuhan (Ibn Sina menyebutnya alam

dengan mumkin al-wujud).

3. Aliran Filsafat ‘Irfani

Istilah „irfani ini sama dengan istilah tasawuf. Sebab itu,

ada yang tidak mengkategorikannya ke dalam aliran filsafat.

Sebab, kalau filsafat bertumpu pada penalaran rasional,

sementara taswuf bertumpu pada pengalaman mistik yang

bersifat supra-rasional. Tetapi, dalam perkembangannya,

terutama pasca Ibn Rusyd, tasawuf dan filsafat semakin sulit

untuk dipisahkan. Ibn Khaldun mengatakan, bahwa ilmu

kalam dan tasawuf terbercampur sedemikian rupa dengan

persoalan filsafat, yang relatif sulit dibedakan.

Dari aspek metodologis (epestemologis), aliran “irfani ini

tidak berbeda dari pemikiran para sufi, yang mendasarkan

pengenalan pada pengalaman mistik atau religius, berbeda dari

penalaran yang merupakan hasil pengalaman intelektual.

Pengenalan para sufi tersebut dikenal dengan istilah makrifat

(ma‟rifah). Berbeda dari pengenalan rasional yang bertumpu

pada akal, pengenalan sufistik bertumpu pada hati (qalb atau

intuisi). Persepsi intuitif/hati berbeda dari persepsi inelektual,

karena kalau akal membutuhkan “perantara‟ dalam mengenal

objeknya (umpamanya dalam bentuk huruf, konsep, simbol,

atau reperentasi), maka persepsi intuitif dapat menembus

langsung “jantung” objeknya.

Menurut Rumi, akal adalah ibarat kaki palsu yang terbuat

dari kayu (the wooden leg), dan kita tahu bahwa kaki palsu itu

adalah kaki yang paling lemah. “Cinta”, umpamanya,

“menurut para sufi tidak dapat dipahami oleh akal diskursif,

seberapapun buku teori cinta yang dibaca, karena “cinta”

hanya dapat dipahami dengan mengalaminya secara langsung.

Inilah yang dimaksud dengan pengenalan intuitif, sehingga

Page 162: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

148_Duski Ibrahim

sering disebut ilmu laduni, yaitu ilmu yang diperoleh secara

langsung. Tetapi pengenalan secara langsung itu terjadi, karena

objek penelitiannya tidak daianalisis sebagai objek yang

terpisah dari subjeknya. Objek itu hadir dalam jiwa penelitinya,

dan karena itu tidak dapat dipisahkan dari subjeknya.

Mengingat objeknya hadir, maka modus pengenalan yang

seperti ini disebut juga ilmu hudhuri, yang dibedakan dari

modus pengenalan rasional yang tidak langsung dan diperoleh

lewat presentasi, sehingga ia disebut sebagai “ilmu hushuli”.

Selain itu, mengingat ma‟rifah ini tidak dapat diperoleh melalui

penalaran rasional, melainkan hanya melalui pengalaman

(dzauq), maka ma‟rifah, disebut ilmu dzauqi (rasa), yang dapat

dibedakan dari penalaran akal. Ringkasnya, kaum „irfani,

hatilah yang lebih dapat diandalkan sebagai alat untuk

pengetahuan, bukan akal atau indera.

Dari aspek ontologis, pendiri aliran „irfani ini tampaknya

dipengaruhi oleh Ibn „Arabi (w.1240), yang terkenal dengan

ajaran wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Menurutnya, wujud

itu sesungguhnya hanya satu saja, hanya ada satu wujud sejati,

yaitu Allah (al-Haqq), sedangkan alam tidak lain dari sekedar

manifestasi (tajalli) dari wujud sejati itu, yang pada dirinya

tidak memiliki wujud sejati seperti Tuhan.

Mengenai hubungan wujud sejati dengan alam, biasanya

digambarkan lewat “wajah” dengan “gambar” wajah itu yang

muncul dari sejumlah cermin”. Ibn „Arabi mengatakan: “Wajah

itu satu, tetapi cermin seribu satu,” sehingga wajah yang sejati

itu terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi dan

kualitas cerminberbeda antara satu sama lain, maka pantulah

wajah yang satu itupun tampak berbeda-beda. Itulah sebabnya,

sekalipun Tuhan itu Esa, tetapi pantulannya (yaitu alam

semesta) beraneka dan berjenis-jenis. Kendatipun demikian,

keanekaragaman alam semesta tidak perlu mengelabui mata

Page 163: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_149

kita akan realitas tunggal yang menjadi dasar bagi keberadaan

wujud-wujud yang beraneka ini. Mereka beraneka, bukan

karena dasar mereka banyak, tetap karena mereka telah

bertindak sebagai “cermin-cermin” yang beraneka, namun

yang memantulkan “wajah yang tetap satu dan sama”.

Pelukisan hubungan Tuhan dan alam sebagai wajah dan

cermin juga memiliki pelajaran yang berharga lainnya, terntang

kehadiran Tuhan pada manusia. Kalau kita bercermin

umpamanya, maka cermin tersebut akan memantulkan wajah

kita, dengan syarat bahwa kita harus hadir di depan cermin

tersebut. Karena, keberadaan gambar kita di cermin, sangat

tergantng kepada keberadaan (kehadiran) wajah kita di

depannya. Begitu kita bergeser menjauhi cermin, maka

penampakkan wajah kita di cermin akan segera menghilang.

Kalau benda-benda beraneka ragam tidak lain daripada

pantulan-pantulan (gambar-gambar dari wajah Tuhan), maka

apakah mungkin gambar-gambar itu akan muncul dalam

cermin, sehingga kita dapat melihatnya, kalau “wajah” Tuhan,

(Esensi atau Dzat Tuhan) tidak hadir? Tentu saja tidak. Itulah

sebabnya, mengapa Ibn „Arabi pernah berkata “Kehadiran

Tuhan sangat jelas, karena sesaat saja Tuhan menarik

kehadiran-Nya di alam ini, niscaya alam semesta ini akan

hilang segera, sebagiamana kalau kita beranjak dari depan

cermin, maka gambar wajah kita akan hilang dari permukaan

cermin pada saat itu juga.

Dengan demikian, kehadiran Tuhan di alam semesta

dapat diketahui dari keberadan alam semesta itu sendiri.

Selama alam semesta (yang merupakan pantulan Wajah-Nya)

ada, maka selama itu juga kehadiran Tuhan di alam semesta

dapat dipastikan. “Tetapi, kata Ibn „Arabi, begitu jelasnya,

“sehingga kita tak dapat melihatnya, “sebagaimana kelelawar

tidak dapat melihat matahri, bukan karena gelap, tetapi justeru

Page 164: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

150_Duski Ibrahim

karena terangnya. Kalau mata kita terus menerus melihat

matahari maka yang akan tampak adalah warna hitam, yang

menutupi pandangan kita dari melihat wajah asli matahari.

Dari aspek kosmologis aliran „Irfani ini memandang

bahwa apa pun yang ada di alam semesta hanyalah

manifestasi-manifestasi (tajalliyat) Ilahi, yang tidak mungkin

ada tanpa keberadaan Tuhan, Sang Wujud Sejati. Akal pertama

yang merupakan manifestasi dari Tuhan, disusul kemudian

oleh Jiwa Universal dan tabiat universal yang tidak lain

daripada manifestasi-manifestasi Tuhan berikutnya, begitu

seterusnya, hingga mencapai tingkat manusia, yang sangat

potensial untuk menjadi tempat tajali seluruh sifat Tuhan.

.

4. Aliran Filsafat Hikmah Muta’aliyah

Pendiri aliran filsafat hikmah muta‟aliyah (filsafat/teosofi

transenden) ini adalah Mulla Shadra (w. 1641). Filosof yang

bernama lengkap Shadr ad-Din asy-Syirazi ini telah mencoba

dan berhasil mensintesiskan ketiga aliran filsafat Peripatetik,

Illuminasi dan „Irfani. Sebagaimana filosof-filosof lain,

pemikiran Mulla Shadra ini meliputi, antara lain, aspek

epistemologis dan aspek ontologis.

Dari aspek epistemologis, pemikiran Mulla Shadra ini

tampak ada kemiripan dengan aliran illuminasi, yang tidak

hanya meyakini akal diskursif, tetapi juga mempercayai aspek

mistik. Filsafat menekankan, bahwa pengalaman mistik bukan

“mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis,

melainkan “harus”, untuk keperluan verifikasi publik (Baqir:

89).

Dari aspek ontologis, Mulla Shadra tampaknya

dipengaruhi oleh Ibn „Arabi, terutama konsep atau ajaran

wahdat al-wujud (kesatuan wujud), sekalipun memang ada

perbedaan yang mendasar. Mengenai hal ini, Mulla Shadra

Page 165: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_151

mengatakan bahwa wujud itu hanya satu, baik merujuk

kepada Tuhan atau kepada batu kerikil umpamanya. Yang

membedakan antara wujud yang satu dari wujud yang lain,

bukanlah kewujudan mereka, tetapi karena perbedaan esensi-

esensi mereka.

Selain wahdat al-wujud (kesatuan wujud), ajaran penting

dari Mulla Shadra adalah tentang tasykik al-wujud. Tasykik al-

wujud diartikan Fazlur Rahman sebagai “ambiguitas

sistematik” wujud. Menurutnya, disebut “ambiguitas

sistematik”, karena di samping menjadi prinsip keesaaan, ia

juga bertindak sebagai prinsip kebhinekaan. Oleh karena itu,

walaupun wujud disebut satu, namun dalam waktu yang

bersamaan ia juga banyak dan beraneka.

Selain itu, Mulla Shadra juga memiliki ajaran yang

berkaitan dengan alam, yang disebut “perubahan trans-

substansial” (al-harakah al-jauhariyah). Menurut Kertanegara,

teori ini merupakan ajaran Mulla Shadra yang paling orisinil,

karena belum pernah dikemukakan sebelumnya oleh filosof

manapun, baik Yunani Aristoteles) maupun muslim

(umpamanya Ibn Sina). Menurut ajaran “perubahan tran-

substantial” (al-harakah al-jauhariyah), perubahan bisa terjadi

bukan hanya pada tingkat aksidental, tetapi juga substansial.

Padahal selama ini substansi dipahami sebagai sesuatu yang

“fixed” sehingga tidak mungkin akan berubah. Misalnya

substansi hewan telah “fixed” sehingga tidak mungkin akan

berubah menjadi yang lain. Tetapi, menurut Mulla Shadra,

substansi tidaklah begitu fixed dan ia dapat berubah secra

signifikan. Berbeda dari para pendahlunya, menurut Mulla

Shadra bahwa perubahan pada level aksidental dapat terjadi

hanya apabila ada perubahan pada substansi.

Dengan konsep trans-substansial movement atau al-harakah

al-jauhariyah ini, dapat dikatakan bahwa Mulla Shadra adalah

Page 166: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

152_Duski Ibrahim

seorang filosof proses. Di samping itu, dapat dikatakan bahwa

ada ide/teori evolusi pada ajaran filosofis Mulla Shadra, yang

bahkan lebih dari teori Evolusi Darwin. Mulla Shadra –

sebagaimana Rumi – menjelaskan terjadinya evolusi pada

tataran yang lebih luas. Karena, menurutnya, evolusi itu tidak

hanya terjadi pada tataran biologis, (seperti pada teori evolusi

Darwin), tetapi juga pada tataran kosmik, geologis, biologis,

dan bahkan imajinal dan spiritual.

Menurut Kartanegara, kemungkinan adanya pengaruh

ajaran tasawuf Rumi atas Mulla Shadra sangat terlihat, karena

baik Rumi maupun Mulla Shadra percaya bahwa alam ini

berkembang secara kreatif, dan secara gradual mengalami

perubahan substansial dari tingkat yang lebih rendah (seperti

mineral) kepada tumbuhan, hewan, dan manusia. Hanya saja,

kalau Rumi menjelaskan bahwa terjadinya evolusi alam

semesta ini (alasannya) karena cinta alam kepada Tuhan,

sementara Mulla Shadra mengatakan bahwa perubahan

susbstansial itu terjadi karena bentuk-bentuk material yang

memang selalu berubah-ubah, bukan karena cinta seperti

pendapat Rumi.

Page 167: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_153

BAB IV FILSAFAT ILMU

A. Pengertian Filsafat Ilmu

Sebelum diuraikan tentang pengertian filsafat ilmu, perlu

dikemukakan sekilas tentang dua hal sebagai berikut:

1. Istilah filsafat ilmu adalah gabungan dari dua kata yang

masing-masing memiliki arti tersendiri. Sebab itu, sebelum

diuraikan tentang pengertian filsafat ilmu sebagai suatu

kesatuan, maka akan dikemukakan sedikit tentang

pengertian masing-masingnya. Seperti telah dikemukakan di

atas, bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Yunani,

philosophia. Dalam bahasa Inggris kata filsafat disebut

dengan philosophy, sedangkan dalam bahasa Arab disebut

dengan falsafah. Kata filsafat itu dapat diartikan cinta

kebijaksanaan, cinta kearifan (love of wisdom) atau cinta

pengetahuan.

Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan. Jujun S.

Suriasumantri (1986) mngemukakan bahwa pengetahuan

pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui

tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu.

Dengan demikian, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan

yang diketahui oleh manusia di samping berbagai

pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Sedangkan

menurut Maufur (2008: 30) ilmu adalah suatu pengetahuan

yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu. Artinya,

ilmu sudah dapat dipastikan adalah pengetahuan, tetapi

pengetahuan belum tentu dapat disebut ilmu. Mengenai

syarat dan keriteria suatu pengetahuan yang dapat disebut

dengan ilmu akan dikemukakan dalam buku lanjutan, yaitu

filsafat ilmu jilid 2 yang insya Allah akan terbit dalam waktu

dekat.

Page 168: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

154_Duski Ibrahim

Perlu dikemukakan, bahwa dalam Islam antara ilmu

dan pengetahuan tidak diberikan pemisahan atau batas yang

jelas, bahkan kedua kata tersebut cenderung memiliki makna

yang sama. Sebab, dalam Islam tidak ada dikotomi ilmu.

Semuanya bersumber dari Yang Maha Satu, sekalipun cara

penggalian dan penemuannya berbeda. Secara detail,

bahasan ini akan dijelaskan dalam buku filsafat ilmu jilid 2.

2. Li kulli sya`in sabab, segala sesuatu ada sebabnya. Hampir

setiap sesuatu berlaku hukum sebab-akibat, termasuk lahir

atau munculnya filsafat ilmu. Salah satu faktor yang menjadi

sebab atau yang melatarbelakangi munculnya filsafat ilmu

adalah akibat filsafat ilmu pengetahuan dan teknologi sangat

berkembang di dunia Barat. Seperti diketahui, bahwa di era

modern, ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami

kemajuan yang sangat pesat, tetapi orientasinya cenderung

mengancam eksistensi umat manusia, mengancam

kemaslahatan manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi

tampaknya telah berkembang di luar jalur asumsi landasan

fisolofisnya, baik landasan ontologis, epistemologis, maupun

(terutama) landasan aksiologisnya. Akibatnya, ilmu

pengetahuan dan teknologi tidak lagi bertujuan untuk

mempertahankan dan meningkatkan martabat manusia dan

mewujudkan kesejahteraan mereka, melainkan sebaliknya

yaitu cenderung menjatuhkan martabat dan mendatangkan

kesengsaraan mereka, tanpa memperhatikan nilai-nilai

kemanusiaan, dengan penerapan teknologi yang tidak

mempertimbangkan aspek aksiologis yang benar. Dengan

demikian, kemunculan filsafat ilmu pengetahuan ini

disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam rangka mengembalikan fungsi dan tujuan ilmu

pengetahuan dan teknologi ke arah yang benar, sesuai

Page 169: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_155

dengan landasan filosofisnya, yakni untuk meningkatkan

atau minimal mempertahankan martabat manusia dan

mewujudkan kesejahteraan umat manusia, maka

dimunculkanlah firanti yang dianggap mampu memberikan

arah yang tepat dan benar bagi setiap ilmu pengetahuan dan

teknologi. Firanti dimaksud adalah filsafat ilmu.

Apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu? The Liang

Gie (1996: 57-59) telah menghimpun beberapa definisi filsafat

ilmu, antara lain, yaitu:

1. Robert Ackermann: Filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan

kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang

dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang

telah dibuktikan.

2. Lews White Beck: Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan

menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba

menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai

suatu keseluruhan.

3. Cornelius Benjamin: Filsafat ilmu merupakan cabang

pengetahuan filsafat yang menelaah sistematis mengenai

dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, serta

letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan

intelektual.

4. May Brodbeck: Filsafat ilmu iu sebagai analisis yang

netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan

mengenai landasan-landasan ilmu.

5. The Liang Gie sendiri, berdasarkan sekumpulan definisi

yang dikutipnya, merumuskan bahwa filsafat ilmu

pengetahuan membahas landasan dari ilmu pengetahuan

mencakup: konsep-konsep dasar, anggaran-anggapan

dasar (asumsi dasar), asas-aas permulaan, struktur-

struktur teoritis, dan kriteria kebenaran ilmiah (Liang Gie,

1991: 62).

Page 170: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

156_Duski Ibrahim

Sekaitan dengan definisi di atas, dapat dipahami

bahwa filsafat ilmu adalah suatu pemikiran kritis dan

radikal tentang berbagai aspek ilmiah. Dengan demikian,

filsafat ilmu ini dapat disebut sebagai “science of sciences”

atau ilmu tentang ilmu-ilmu, karena filsafat ilmu ini

merambah berbagai macam ilmu, seperti: ilmu sosial, politik,

ekonomi, hukum, komunikasi, bahasa, bermacam teknologi,

dan lain-lain, dalam rangka mengembalikan kesadaran akan

nilai-nilai kemanusiaan dalam aspek-aspek perkembangan

ilmu-ilmu tersebut.

B. Objek dan tujuan Filsafat Ilmu

1. Objek Filsafat Ilmu

Seperti ilmu-ilmu yang lain, filsafat ilmu juga

memiliki dua objek, yaitu:

a. Objek material atau pokok bahasan filsafat ilmu.

Objek material filsafat ilmu adalah ilmu

pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah

disusun secara sistematis dengan metode ilmiah

tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya secara umum.

b. Objek formal

Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi)

ilmu pengetahuan. Artinya, filsafat ilmu lebih menaruh

perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu

pengetahuan, seperti: apa hakikat ilmu itu

sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh

kebenaran ilmiah? Apa fungsi ilmu pengetahuan itu

bagi manusia? Problem-problem inilah yang

dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu

pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis,

dan aksiologis. Sekaitan dengan ini Jujun S.

Suriasumantri mengatakan bahwa tiap-tiap

Page 171: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_157

pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan

tiang penyanggah tubuh pengetahuan yang disusunya.

Komponen tersebut adalah: Pertama, ontologi yang

menjelaskan atau menjawab tentang pertanyaan apa.

Kedua, epistemologi yang menjelaskan atau menjawab

tentang pertanyaan bagaimana. Ketiga, aksiologi yang

menjelaskan atau menjawab tentang pertanyaan untuk

apa (Suriasumantri, 1986: 20).

2. Tujuan Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu pengetahuan sebagai cabang

khusus filsafat yang membicarakan tentang sejarah

perkembangan ilmu, metode-metode ilmiah, sikap etis

yang harus dikembangkan para ilmuwan secara umum

mengandung tujuan sebagai berikut:

a. filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran

ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap

kegiatan ilmiah. Maksudnya, seorang ilmuwan harus

memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmunya

sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap

soliptistik, menganggap bahwa hanya pendapatnya

yang paling benar.

b. filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji,

mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab

kecenderungan yang terjadi di kalangan para

ilmuwan modern adalah menerapkan suatu metode

ilmiah tanpa memperhatikan sruktur ilmu

pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan

di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai

atau cocok dengan struktur ilmu pengetahuan, bukan

merupakan hakikat ilmu pengetahuan.

Page 172: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

158_Duski Ibrahim

c. filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap

metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang

dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan

secara logis-rasional, agar dapat dipahami dan

dipergunakan secara umum. Semakin luas

penerimaan dan penggunaan metode ilmiah, maka

semakin valid metode tersebut, pembahasan

mengenai hal ini dibicarakan dalam metodologi, yaitu

ilmu yang mempelajari tentang cara-cara untuk

memperoleh kebenaran.

C. Fungsi dan Arah Filsafat Ilmu

1. Fungsi Filsafat Ilmu

Perlu dikemukakan terlebih dahulu, bahwa filsafat

berfungsi sebagai mater scintarium atau induk ilmu

pengetahuan (Salam, 2000: 12). Jujun S. Suriasumantri, dengan

mengutip pendapat Will Durant, mengatakan bahwa filafat

berungsi sebagai „peneratas pengetahuan‟. Artinya, bahwa

filsafat itu memberi arah kepada ilmu pengetahuan dalam

merumuskan konsep-konsep dan teori-teori dalam rangka

membangun konsep ilmiah. Dengan filsafat, ilmu-ilmu baru

yang penting bagi keberlangsungan dan peradaban manusia

telah muncul dan berkembangan (Suriasumantri, 2003: 22).

Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa menurut para ahli

di bidang ini, fungsi filsafat ilmu itu paling tidak adalah untuk

memberi landasan filosofis dalam memahami berbagai konsep

dan teori sesuatu disiplin ilmu, dan untuk membekali

kemampuan seseorang dalam membangun teori ilmiah melalui

kajian filsafat. Frans Magnis Suseno (1999: 21) mengemukakan,

bahwa fungsi filsafat ilmu itu sebenarnya sangat luas dan

mendalam, yaitu sebagai berikut:

Page 173: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_159

a. Untuk membantu mendalami pertanyaan-pertanyaan

tentang ilmu atau asasi manusia tentang makna realitas dan

ruang lingkup tanggung-jawabnya, secara sistematis dan

historis. Secara sistematis, filsafat menawarkan metode-

mtode mutakhir untuk mendalami masalah-masalah ilmu,

manusia, tentang hakkat kebenaran, secara mendalam dan

ilmiah. Secar historis di sini kita belajar untuk mendalami

dan menanggapi serta beajar dari jawaban-jawaban filosofis

terkemuka.

b. Sebagai kritik ideologi, artinya kemampuan menganalisis

secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi agama,

ideologi dan pandangan dunia. Atau dengan kata lain, agar

mampu mendeteksi berbagai maalah kehidupan.

c. Sebagai dasar metodis dan wawasan lebih mendalam dan

kritis dalam mempelajari studi-studi ilmu khusus.

d. Merupakan dasar paling luas untuk berpartisipasi secara

kritis dalam kehidupan intelektual pada umumnya dan

khususnya di lingkungan akademis.

e. Memberikan wawasan lebih luas dan kemampuan analitis

dan kritis tajam untuk bergulat dengan masalah-masalah

intelektual, spiritual dan ideologis.

2. Arah Filsafat Ilmu

Mengenai arah filsafat ilmu adalah sebagai berikut:

a. Bahwa filsafat ilmu diarahkan pada pembekalan

pemahaman terhadap wawasan.

b. Filsafat ilmu diarahkan untuk :

(1) lebih memanusiakan diri atau lebih mendidik atau

membangun diri sendiri,

(2) agar dapat mempertahankan sikap yang obyektif dan

mendasarkan pendapat atas pengetahuan yang obyektif

Page 174: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

160_Duski Ibrahim

tidak hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

impati dan antipati saja,

(3) agar berpikir secara holistis dalam menyelesaikan suatu

permasalahan, tidak mementingkan egoisme, dan

(4) agar dapat berpikir kritis, mandiri, dan tidak tergantung

pada orang lain.

D. Metodologi dan Filsafat Ilmu

Ilmu atau bidang filsafat yang membahas tentang cara-

cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan disebut metodologi.

Metodologi (termasuk juga bahasa dan logika), termasuk

bidang yang disebut dengan “tools studies” atau mata pelajaran

mengenai alat, yakni mata pelajaran itu berguna sebagai alat

bagi mata pelajaran lain. Sedangkan mata pelajaran yang

membahas bahan, materi atau isi pelajaran disebut “content

studies”

Dengan ungkapan lain, metodologi (termasuk bahasa dan

logika) adalah mata pelajaran alat atau tools studies yang

diperlukan oleh semua bidang ilmu pengetahuan. Terkait

metodologi dan logika, keduanya adalah dua cabang filsafat

yang memiliki kedekatan, karena itu terkadang metodologi

dimasukkan dalam kajian logika. Logika membicarakan

bagaimana cara untuk memperoleh (menarik) kesimpulan

secara vaid (benar). Dalam dunia ilmu pengetahuan ada dua

model penalaran (logika) yang dominan, yaitu induktif dan

deduktif. Penalaran induktif adalah penarikan kesimpulan

yang bertolak dari sejumlah data (sample), kita menarik

kesimpulan (generalisasi) mengenai semua fakta yang becorak

demikian. Induksi dan deduksi adalah proses penalaran, atau

aturan untuk menarik kesimpulan. Metodologi adalah ilmu

yang membahas tentang berbagai macam cara/metode yang

digunakan untuk menemukan teori atau kesimpulan dalam

Page 175: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_161

berbagai bidang ilmu pengetahuan (metode ilmu alam, biologi,

sosiologi, psikologi, politik, sejarah, sastra dan lain-lain).

Metodologi membicarakan hal-hal yang bersifat umum

(observasi, hipotesis, hukum, teori, langkah ekseprimen), akan

tetapi juga bisa membicarakan hal yang lebih bersifat khusus.

umpamanya, pembahasan tentang dasar pemikiran, asumsi,

dan cara penerapan metode fenomenologi pada sosiologi

seperti dilakukan Alfred Schultz, atau dasar pemikiran dan

penerapan metode interpretasi pada sosiologi interpretatif

Peter Berger.

Dalam studi Islam, yang masuk dalam kategori

metodologi atau tool studies antara lain adalah „ulûm al-Qur`ân,

„ulûm al-hadîts, „ushûl al-fiqh, dan Ilmu Manthiq. „Ulûm al-Qur`ân

adalah pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur`an, dari

segi nuzulnya, tertibnya, mengumpulnya, menulisnya,

membacanya, menafsirkannya, i‟jaznya, menolak syubhat-

syubhat yang dihadapkan kepadanya dan yang seperti itu

(Ash-Shiddieqy, 1972: 10-11). „Ulûm al-hadîts atau sering juga

disebut dengan mushthalah al-hadîts adalah pengetahuan

tentang dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang dengannya

diketahui keadaan sanad dan matan untuk diterima atau

ditolak (Thahhan, t.t. 14). Ushûl al-fiqh yaitu pengetahuan

tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang

dengannya sampai kepada pemanfaatan hukum-hukum syara‟

„amaliyah dari dalil-dalilnya yang terinci. Atau Koleksi kaidah-

kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dengannya sampai

kepada pemanfaatan hukum-hukum syara‟ „amaliyah dari

dalil-dalilnya yang terinci (Khallaf, 1968: 12). Manthiq adalah

suatu ilmu yang menghimpun kaidah-kaidah berpikir, yang

apabila diikuti secara konsisten maka seseorang akan terhindari

dari kesalahan berpikir.

Page 176: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

162_Duski Ibrahim

Mengenai ilmu yang masuk dalam kategori “content

studies” atau mengenai isi (content studies) adalah mata

pelajaran yang mengajarkan fakta-fakta, bahan-bahan atau

informasi tentang mata pelajaran/kuliah tertentu Dalam studi

Islam, yang masuk dalam kategori content studies ini adalah

ilmu fiqih. Secara kebahasaan, fiqih berarti faham atau faham

yang mendalam (al-fahm al-„amîq). Sedangkan menurut istilah,

fiqih berarti : Pengetahuan tentang hukum-hukum syara‟ yang

sifatnya operasional atau praktek yang diusahakan (didapatkan) dari

dalil-dalilnya yang terperinci. Atau fiqih adalah: Koleksi hukum-

hukum syara‟ yang sifatnya operasional atau praktek yang diusahakan

(didapatkan) dari dalil-dalilnya yang terperinci (Khallaf, 1968: 11).

Adapun pembidangan fiqih adalah sebagai berikut:

Pertama, ibadah. Kedua, mu‟âmalah dalam arti luas. Ibadah

mencakup, antara lain, masalah thahârah, shiyâm, zakât, haji, jihâd

dan lain-lain. Sedangkan mu‟âmalah dalam arti luas mencakup,

antara lain, al-ahwâl asy-syakhshiyah (pernikahan, waris, wasiat,

wakaf), mu‟âmalah dalam arti sempit atau al-„Uqûd (jual-beli,

sewa-menyewa, gadai, shuluh, hiwâlah, dhamân, wakâlah, wadî‟ah,

„ariyah, dan lain-lain), jinâyah (pembunuan, zina, qadzaf, hirabah,

qishâsh, hadd, ta‟zîr, dan lain-lain). Kemudian bidang al-qadhâ`

atau ahkâm al-murâfa‟ât yaitu fiqih yang membicarakan tentang

proses penyelesaian perkara di pengadilan, termasuk masalah

tahkim dan arbitrase. Selanjutnya, bidang fiqih siyasah, yaitu

fiqih yang membahas tentang hubungan pemimpin dengan

yang dipimpinya atau hubungan antara lembaga-lembaga

kekuasaan dan rakyat-rakyatnya. Bidang fiqih siyasah ini

mencakup, antara lain, siyasah dusturiyah, siyasah maliyah

dan siyasah dauliyah.

Dalam kitab-kitab fiqih madzhab syafi‟i pembidangan

fiqih ini, secara garis besar, dapat dibagi kepada empat bagian

yang dikenal dengan istilah rubu‟, yaitu:

Page 177: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_163

1. Rubu`al-ibâdât, yaitu aturan-aturan yang berkaitan

dengan masalah kebersihan, yang menyangkut

tentang air, cara berwudhu`, mandi, bijana emas dan

pera, menggosok gigi atau siwak, tayammum, cara

buang air, masalah haidh, nifas, mencuci najis,

masalah anjing dan babi, masalah arak dan menuman

keras, hingga masalah berhubungan badan suami-

isteri dan melahirkan anak. Kemudian masalah shalat

yang mencakup tentang shalat fardhu, waktu shalat,

rukun dan syarat shalat, shalat sunnat, masalah imam

dan makmum, masalah shalat musafir, shalat khauf,

shalat qashar, shalat jama‟, shalat qadhâ` dan lain

sebagainya.

Termasuk dalam bidang ini masalah zakat zakat dan

hal-hal yang terkait, seperti harta yang wajib

dizakatkan, rukun dan syarat zakat mustahiq zakat.

Masalah puasa dan hal-hal yang terkait, seperti syarat-

syarat wajib puasa, puasa fardhu dan puasa sunnat,

malam qadar, i‟tikaf. Kemudian masalah yang

berkaitan dengan haji, seperti rukun haji, wajib haji,

miqât, ihrâm, wuqûf, mabît dan lain sebagainya.

2. Rubu‟ al-munâkahat, yang membahas tentang hukum-

hukum nikah, rukun-rukun dan syarat-syarat nikah,

mahar nikah, belanja atau nafkah, walimah,

perceraian, khulu‟, zihâr li‟ân, hadhânah, termasuk

masalah kufu`` atau kesepadanan dalam pernikahan.

3. Rubu‟ mu‟âmalât, yang membahas hukum-hukum yang

berkaitan dengan jual-beli, rukun dan syarat jual-beli,

harta yang boleh dan yang tidak boleh diperjual-

belikan, riba`, pinjaman berbunga, masalah perbankan,

syirkah, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, utang-

Page 178: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

164_Duski Ibrahim

piutang, hibah, wadî‟ah, ihyâ` al-mawât, masalah

merampas dan lain sebagainya.

4. Rubu‟ al-jinâyât, yang mencakup masalah

pembunuhan, qishâs, denda, saksi-saksi palsu, kafarat

pembunuhan dan lain-lain. Termasuk juga dalam

bidang ini adalah masalah perang dan hal-hal yang

terkait, masalah tawanan dan harta rampasan. Juga

termasuk dalam bidang ini masalah makanan dan

penyembelihan binatang, berburu, masalah

kehakiman, masalah pengadilan, masalah mufti,

sanks-sanksi kejahatan, masalah kepemimpinan, ahlul

halli wa al-„aqdi, dan lain-lain.

E. Model-Model Penalaran

Menurut Lubis (2014: 41-45), ada beberapa model

penalaran yang lazim dikenal, antara lain, adalah sebagai

berikut, yaitu : Induksi, Deduksi, Abduksi, dan dialektika.

1. Induksi

Induksi adalah proses penalaran atau penarikan

kesimpulan di mana benar-tidaknya suatu pernyataan atau

proposisi ditentukan oleh pengalaman. Induksi bergerak

dari seperangkat fakta yang diamati secara khusus, lalu

ditarik pernyataan yang bersifat umum tentang fakta itu.

Ada dua jenis pengalaman yang dapat dijadikan titik

berangkat penakaran induksi, yaitu:

Pertama, pengalaman langsung. Induksi bertolak dari

pengalaman langsung, maksudnya adalah bahwa cara kerja

induksi adalah dengan merumuskan generalisasi dari data-

data yang dialami. Contohnya adalah setelah mengamati

1.000 ekor gagak berbulu hitam, maka ditarik kesimpulan

bahwa “semua gagak berwarna hitam”. Kedua, pengalaman

tidak langsung. Induksi bertolak dari pengalaman tidak

Page 179: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_165

langsung, maksudnya adalah penarikan kesimpulan yang

tidak diperoleh melalui pengalaman (observasi) langsung,

akan tetapi melalui eksperimen yang biasanya dengan

menggunakan hipotesis. Umpamanya, “beberapa serangga

kebal terhadap radiasi nuklir”, “rendahnya kadar gula

dalam darah menyebabkan depresi” dan contoh-contoh

lainnya.

Titik berangkat penalaran induksi ini fakta, peristiwa-

peristiwa nyata dan khusus. Dari fakta-fakta khusus itu kita

menarik kesimpulan yang bersifat umum. Benar-salahnya

kesimpulan sangat tergantung dengan fakta atau

pengalaman berdasarkan (melalui) verifikasi atau falsifikasi.

Pernyataan atau klaim empiris disebut juga dengan

pernyataan a posteriori. Metode induksi mendasarkan

pengetahuan pada observasi tentang realitas yang dapat

diinderai dan menolak realitas metafisika masuk ke dalam

wilayah ilmu pengetahuan. Dalam kajian ilmu-ilmu ke-

Islam-an, konsep semacam ini telah diuraikan oleh para ahli

ilmu mantiq dan ulama-ulama ushûl al-fiqh ketika

membicarakan konsep al-istiqrâ`.

2. Deduksi

Deduksi adalah proses penalaran yang bertolak dari

hal yang umum, lalu dirumuskan kesimpulan yang khusus.

Deduksi adalah cara kerja ilmu-ilmu a priori (tanpa

pengalaman). Kebenaran dan kesalahan klaim a priori hanya

dapat diketahui melalui rasio atau “intusi intelektual”. Klaim

a priori bersifat niscaya (necessari) yaitu keyakinan-keyakinan

tentang sesuatu yang pasti atau yang tidak mungkin. Klaim

a priori yang sekali dinyatakan benar, akan tetap benar

(misalnya dalil atau postulat matematika).

Dalam penalaran deduktif, istilah valid atau sahih

sering digunakan. Terkadang istilah ini mungkin sering

Page 180: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

166_Duski Ibrahim

disamakan dengan “benar”. Namun, dalam logika dan

filsafat istilah valid (itas) memiliki maksud yang berbeda

dengan istilah “benar”. Istilah validitas lebih berkaitan

dengan struktur atau bentuk dari suatu argumen deduktif,

bukan tentang kebenaran atau kesalahan premis dan

kesimpulan. Salah satu cara untuk menentukan validitas

sebuah argumen pendukung adalah dengan memeriksa

apakah argumen itu memiliki bentuk argumen yang valid.

Perhatikan contoh berikut:

Di sini kita mencoba merumuskan argumen modus

ponens dengan mengganti P dan Q dengan kalimat

sederhana, yakni:

P dengan “janin adalah manusia”

Q dengan “aborsi adalah pembunuhan”

Maka, hasil argumennya adalah sebagai berikut: Jika

janin adalah manusia (P), maka aborsi adalah pembunuhan (Q).

Janin adalah manusia (P).Maka aborsi adalah pembunuhan (Q)

Argumen pada contoh di atas ialah valid, akan tetapi

bisa saja premis-premis dan kesimpilannya salah.

3. Abduksi

Abduksi adalah sebuah bentuk pembuktian

berdasarkan silogisme. Pembuktian ini berbeda dari

pembuktian berdasarkan deduktif dan induktif. Sifat

pembuktian ini lebih lemah ketimbang pembuktian dua

model penalaran (deduksi dan induksi) sebelumnya.

Menurut C.S. Pierce, tokoh pragmatisme dan semiotika,

abduksi adalah salah satu model penalaran ilmiah. Abduksi

adalah cara pembuktian yang memungkinan hipotes-

hipotesa dibentuk. Pembuktian abduksi bertolak dari sebah

kasus partikular menuju sebuah “penjelasan yang mungkin”

tentang kasus ini.

Page 181: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_167

Penalaran abduksi ini tidak memberikan kepastian

mutlak. Umpamanya, ada satu kasus A yang menimbulkan

tanda tanya. Lalu diajukan hipotesa B. Jika hipotesa B benar,

maka fakta A adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Oleh

karena itu, hipotesa B mungkin benar (Bagus, 1996).

Menurut Karl Raimund Popper teori trial and error

sesungguhnya sama dengan abduksi ini. Dengan ungkapan

lain, bagi Popper, abduksi sama dengan trial and error. Yang

menarik dari Popper, adalah ia mengangkat metode yang

kurang dianggap ilmiah ini menjadi satu metode yang

penting untuk memecahkan masalah (problem solving) secara

lebih sederhana ketimbang metode siklus empiris. Dalam

ungkapan Arab sering dikemukakan: Man takarrara taqarrara,

yang berarti: Barangsiapa melakukan sesuatu secara berulang-

ulang, maka akan mantaplah (pengetahuannya).

4. Dialektika

Model penalaran dengan metode dialog ini telah

dimulai oleh Socrates, yang mengajak orang untuk

mengajukan pendapatnya. Ia menyadari, bahwa melalui

dialog itu akan terungkap kekurangan atau ketidakbenaran

pengetahuan, namun hasil dari dialog itu dapat dirumuskan

satu kebenaran. Metode Socrates ini lebih dikenal dengan

dialektike`tekne atau seni berdialog. Dengan berdialog dapat

dilakukan proses semacam membandingkan, menyisihkan,

memperjelas, hingga menolak kemudian baru ditarik

pengertian umum. Metode Socrates tersebut mencoba

menjernihkan keyakinan orang, menjernihkan konsep dan

pengertian: meneliti apakah seseorang memiliki konsistensi

tidak jelas, karena itu metode dialektika, juga disebut metode

kritis.

Di era modern metode dialektika ini dikembangkan

dan digunakan oleh Hegel. Filsafat Hegel ditengarai sebagai

Page 182: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

168_Duski Ibrahim

puncak idealisme Jerman, karena ia meletakkan tekanan

yang besar pada subjektivitas pada seluruh kenyataan.

Baginya, keseluruhan kenyataan adalah merupakan

perwujudkan dari akal yang tak terbatas. Seluruh sistem

filsafat Hegel terdiri dari “triade-triade”, yaitu rangkaian

proses dialektis yang terdiri dari tiga tahap, yaitu:

a. Tesis. Tesis adalah suatu konsep universal yang abstrak

sebagai titik-tolak,

b. Antitesis. Antitesis ialah kontradiksi atas tesis,

c. Sintesis. Sintesis adalah penyatuan konsep yang

bertentangan antara tesis-antitesis. (sintesis pada

prinsipnya dapat menjadi tesis lagi, memunculkan

antitesis dan memunculkan sintesis, dan seterusnya).

Perlu dikemukakan, bahwa sebagai titik tolak metode

Hegel, tesis terdiri dari pengertian atau konsep-konsep yang

dianggap jelas. Metodenya ini menolak metode rasionalisme

(matematika) diterapkan pada filsafat dan juga menolak

metode empirisme. Jalan untuk memahami kenyataan,

menurutnya, adalah dengan mengikuti gerak pemikiran atau

konsep. Karena mengikuti dialektika pemikiran, metodenya

disebut metode “dialektis”.

Dalam Islam, rumus yang dikemukakan oleh Hegel

tersebut sesungguhnya dapat ditarik dari konsep ‟awanun

baina dzalik, atau the golden way yang dipahami dan

dikembangkan dari firman Allah: “Mereka berkata:

Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia Menjelaskan

kepada kami tentang (sapi betina) itu. Dia (Musa) menjawab: Dia

(Allah) berfirman, bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak muda

(tetapi) pertengahan antara itu („awanun baina dzalik). Maka

kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu” (Q. al-Baqarah:

68). Konsep semacam yang dipahami dari ayat di atas juga

ditopang oleh hadits: “Khairul umur ausathuha...”.

Page 183: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_169

F. Beberapa Istilah dalam Filsafat Ilmu

Ada beberapa istilah atau konsep penting yang

dibicarakan dalam filsafat ilmu pengetahuan, seperti

dikemukakan oleh Lubis (2014: 73-79). Konsep-konsep tersebut

akan diuraikan secara ringkas, sebagai pemahaman dasar,

mengingat telah banyak dibahas secara mendalam dalam

buku-buku metodologi penelitian. Adapun istilah-istilah

dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Fakta

Bertrand Russell menyatakan bahwa fakta adalah segala

sesuatu yang ada di alam ini. Fakta memiliki peran sangat

penting dalam ilmu pengetahuan. Fakta adalah sesuatu yang

dapat diobservasi sehingga pernyataan tentang fakta itu dapat

dibuktikan benar-salahnya secara empiris. Fakta mengenai

alam fisis, sosial, budaya, ekonomi dijadikan sebagai sumber

bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ada hubungan yang

sangat erat antara fakta dengan teori. Ketika seseorang

memanaskan seng, timah, besi dan kemudian ia melihat bahwa

seng, timah, besi yang ia panaskan itu memuai, maka dicobalah

untuk menarik hubungan antara pemanasan dengan pemuaian

(logam) itu. Penjelasan tentang hubungan antara fakta-fakta itu

disebut teori (misalnya, jika logam dipanaskan maka logam itu

memuai). Jadi, teori adalah suatu pernyataan yang dapat

dibuktikan benar dan salahnya. Ada hubungan yang erat

antara fakta dengan teori. Ada juga ilmuwan yang menyatakan

bahwa “teori terdiri dari dua pernyataan abstrak atau lebih”

yang saling berkaitan.

Apa peran fakta? Peran fakta, antara lain, adalah sebagai

berikut:

Pertama, untuk membuktikan kebenaran teori

(memverifikasi) atau membuktikan kesalahan teori

(memfalsifikasi).

Page 184: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

170_Duski Ibrahim

Kedua, untuk mempertajam atau memperluas rumusan

teori yang ada. Ketika ditemukan seseorang meninggal karena

flu yang berasal dari burung (unggas), maka perumusan

tentang flu burung semakin luas. Bila sebelumnya dikatakan

bahwa flu burung tidak menular dari manusia ke manusia,

maka jika ditemukan fakta baru yang menunjukkan penularan

dari manusia ke manusia, maka pemahaman tentang flu

burung menuntut perluasan wawasan atau perubahan

(perluasan makna) teori.

Ketiga, fakta dapat menimbulkan teori baru. Teori yang

menyatakan bahwa alam semesta terdiri dari tujuh planet

misalnya, terbantah ketika ditemukan planet yang kedelapan.

Eksperimen Galileo di menara Pisa umpamanya menolak teori

benda jatuh yang dikemukakan Aristoteles.

Pentingnya fakta dalam ilmu pengetahuan tidak

diragukan, apalagi pada pendekatan empiris-eksperimental,

sementara dalam filsafat pembahasan mengenai fakta lebih

merupakan analisis kritis tentang makna yang dikandung fakta

itu. Filsafat tidak menerima fakta secara dangkal. Misalnya

pandangan yang menyatakan bahwa ketidakterkaitan antara

fakta dengan teori sebagaimana dikemukakan oleh pendukung

positivisme. Dalam filsafat ilmu yang berkembang sekarang ini

(post-positivisme) dinyatakan, bahwa paradigma kerangka

teori yang digunakan mempengaruhi pengamatan dan

penjelasan kita tentang fakta. Thomas Kuhn atau Michel

Polanyi misanya, menyatakan bahwa fakta tidak bisa bicara

sendiri, fakta hanya berbicara dalam kerangka teori atau

pandangan dunia/paradigma tertentu. Newton di awal masa

modern umpamanya, memandang alam sebagai sebuah mesin

raksasa yang dapat dijelaskan berdasarkan hukum-hukum

gerakan. Pandangan ini tidak diperoleh melalui pengamatan,

Page 185: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_171

akan tetapi merupakan suatu pra-anggapan suatu “pandangan

metafisik”.

2. Konsep

Dalam berpikir dan menyatakan sesuatu fakta, kita

menggunakan bahasa dan simbol (konsep). Ilmu pengetahuan

diawali dengan menciptakan konsep-konsep untuk

mendeskripsikan fakta atau dunia empiris. Semua bidang ilmu

memiliki konsep-konsep untuk mendeskripsikan dunia empiris

yang menjadi fokus kajiannya. Adapun konsep itu merupakan

abstraksi yang mewakili objek, sifat-sfat satu fenomena

tertentu. Misalnya, konsep “demokrasi”, “feminis”,

“modernisme”, “struktur”, “ruang”, “waktu”, dan lain-lain.

Konsep dalam ilmu pengetahuan sosial-budaya

mengacu pada sifat-sifat dari objek yang dipelajari. Adapun

fungsi konsep tersebut adalah:

Pertama, konsep membantu seseorang untuk menentukan

sifat-sifat mana dari kenyataan/fenomena yang menjadi fokus

kajian atau penelitiannya. Konsep itu memiliki fungsi untuk

memberikan pemahaman yang sama di antara kelompok

ilmuwan, sehingga membantu anggota (komunitas) ilmuwan

untuk berkomunikasi di antara mereka. Konsep bukan

fenomena yang aktual, akan tetapi abstraksi tentang

objek/fenomena.

Kedua, konsep memberi kita sudut pandang (standpoint)

yang mengarahkan dan membantu kita untuk mengamati hal-

hal tertentu.

Ketiga, konsep berfungsi sebagai sarana untuk membantu

mengorganisir gagasan, data, dan pengkalisifikasian serta

mengeneralisasi fenomena yang diamati. Misalkan, Anda mau

menulis/meneliti tentang globalisasi, Anda tentu harus

menjelaskan terlebih dahulu atau membuat definisis tentang

Page 186: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

172_Duski Ibrahim

globalisasi itu, konsep menjelaskan sifat-sifat esensi dan

empiris globalisasi.

Keempat, konsep sebagai bahan dasar bagi teori. Konsep

merupakan unsur penting dalam teori, karena konsep

menentukan isi dan bentuk teori. Konsep-konsep yang

dihubungkan secara sistematis dan logis dapat membentuk

teori.

Fungsi Konsep, antara lain: Pertama, memberikan

pemahaman yang sama, Kedua, membantu mengenali sifat-sifat

fenomena yang menjadi fokus objek kajian. Ketiga, memberikan

sudut pandang. Keempat, membantu mengorganisir gagasan,

data dan lain-lain.

3. Definisi Konseptual dan Operasional

Definisi konseptual adalah definisi yang menggunakan

konsep-konsep tertentu untuk mendefinisikan konsep lain.

Misalnya, “power” didefinisikan secara konseptual sebagai

“kemampuan aktir (individu, kelompok atau negara)

memperngaruhi pikiran dan tingkah laku orang lain sehingga

mau melakikan sesuatu yang sebenarnya tidak disukainya

(Mukhtar Mas‟oud, 1990: 98). Definisi konseptual berperan

untuk memperlancar komunikasi di kalangan ilmuwan. Karena

itu definisi konseptual tidak bisa dinilai benar atau salah,

walaupun tetap dapat dipertanyakan baik-buruk definisinya,

dan apakah seseoang menggunakan definisi yang

dirumuskannya secara konsisten atau tidak. Definisi

konseptual biasanya berkaitan dengan konsep yang abstrak

atau tidak dapat diobservasi secara langsung, misalnya

ideologi, kepentingan, sikap, persepsi, motivasi, dan lain-lain.

Agar konsep yang abstrak dapat ditingkatkan ke wilayah

observasional atau ke tingkat laku (fenomena empiris), maka

konsep abstrak itu harus dirumukan dalam bentuk definiisi

Page 187: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_173

operasioal, yaitu definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal

yang didefinisikan yang dapat diamati (diobservasi), sehingga

apa yang dilakukan oleh peneliti terbuka untuk diuji kembali

oleh orang lain (Narbuko dan Abu Achmadi, 2012: 61-62).

4. Postulat

Postulat dalam ilmu pasti sama maksudnya dengan

aksioma, yaitu konsensus yang dianut/diterima secara arbitrer.

Postulat berfungsi sebagai dasar/fundasi dalam ilmu pasti.

Postulat dan aksioma sebagai suatu kebenaran dasar (dalil)

yang tidak perlu dipertahankan dan dibuktikan lagi. Pada

paradigma positivisme misalnya terkandung aksioma bahwa

realitas bersifat homogen, tunggal, dapat diteliti secara terpilah

(atomistik), dan ilmu bebas nilai. Contoh postulat banyak kita

temukan pada logka dan matematika (akar, jumlah sudut tiga).

Adapun immanuel kant menyatakan keberadaan Tuhan

sebagai postulat yang perlu, agar kehidupan manusia bermoral

(Endang Syafuddin Anshari, 1987: 64).

5. Asumsi

Asumsi (atau anggapan dasar) ialah anggapan yang

menjadi titik tolak penelitian. Asumsi itu secara implisit

terkandung dalam paradigma, yang digunakan dalam

penelitian. Asumsi dasar ini umumnya diterima begitu saja

sebagai suatu yang benar dengan sendirinya. Asumsi ini bisa

berasal dari postulat, yatu kebenaran (dalil-dalil) a priori yang

tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Michel Polanyi

menyebut asumsi-asumsi itu sebagai „dimensi yang tidak

terungkap atau tersembunyi dalam ilmu pengetahuan.‟

Misalnya dalam empirisme terkandung asumsi bahwa alam ini

ada, fenomena alam seragam dan sama di mana saja, alam

dapat diketahui melalui pengamatan dan rasio atau metode

Page 188: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

174_Duski Ibrahim

empiriseksperimental, fenomena alam ditentukan oleh

hukumhukum alam (determenistik).

6. Hipotesis

Dalam pandangan De Groot, sebgaimana dikutip

Wuisman (1996), ilmu pengetahuan adalah satu susunan

bertingkat. Pada mulanya keterangan tentang fakta atau

fenomena yang diteliti. Fakta tersebut berperan sebagai

“keterangan dasar” dalam ilmu pengetahuan. Kemudian,

“tingkat tengah” yang sudah bersifat abstraksi dari kelompok

fakta/ fenomena, yang disebut dengan”hipotesis”. Hipotesis

adalah pernyataan dalam bentuk fundasi atau pengandaian,

suatu pernyataan yang dipakai sebagai jawaban/penjelasan

sementara, yang kebenarannya harus dibuktikan melalui

konfirmasi faktual. Misalnya :Pertama, jika air dipanaskan 100

derajat selcius, maka ia akan mendidih; Kedua, jika logam

dipanaskan maka logam itu memuai. Pernyataan (hipotesis) ini

dapat dibuktikan benar atau salahnya dengan melakukan

pembuktian apakah air yang dipanaskan pada temperatur 100

derajat celcius benar-benar menididih. Juga memanaskan

berbagai jenis logam untuk membuktikan apakah hipotesis

(kedua) yang diajukan benar.

7. Teori

Kata teori berasal dari bahasa Yunani yang berarti

“melihat” atau “memperhatikan”. Dalam bahasa Arab disebut

dengan nazhariyah. Dalam konteks ini, teori berarti suatu

pandangan, penjelasan atau persepsi tentang apa yang terjadi

atau penjelasan mengapa gejala atau proses tertentu itu terjadi.

Karena itu, teori dapat dikatakan sebagai jawaban (pernyataan)

terhadap pertanyaan “mengapa”. Misalnya mengapa

penggunaan jarum suntik yang berulang kali dapat menjadi

faktor pengembangbiakan penyakit HIV. Mengapa baktri flu

Page 189: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_175

babi kurang berkembang pada daerah tropis? Perlu

dikemukakan, bahwa pada ilmu pengetahuan alam, ada

kecenderungan untuk membatasi teori pada penjelasan

kausalita.

Selain di atas, ada pula yang mendefinisikan teori secara

lebih longgar, dengan mengartikannya sebagai pernyataan

(proposisi) tentang sesuatu. Pada ilmu pengetahuan sosial-

budaya, teori itu umumnya bukanlah penjelasan kausalitas.

Sebab itu, dalam kelompok ilmu idiografis (yang memiliki

keunikan, kekahsan) tidak berpretensi untuk menemukan

suatu teori umum atau unversal, melainkan berupa deskripsi

tentang gejala tertentu. Ketika sejarawan memaparkan tentang

revolusi (misalnya revolusi Prancis, kemerdekaan Indonesia,

dan lain-lain), ternyata tidak ada sebab-akibat yang sama pada

semua revolusi, masing-masing memiliki spesifikasinya

tersendiri.

Sekaitan dengan peran pentingnya dalam dunia ilmiah,

teori memegang peran atau fungsi, antara lain, adalah sebagai

berikut:

a. Teori mengarahkan observasi. Ketika kita melakukan

observasi dalam suatu penelitian ilmiah, maka kerangka

teori kita gunakan untuk mengobservasi objek/fenomena

atau fakta yang diteliti. Dengan ungkapan lain, baik kita

sadari atau tidak, teori yang kita gunakan mengarahkan kita

untuk melihat dan menafsirkan objek/fenomena yang

diteliti itu. Misalnya, dua orang peneliti yang melakukan

penelitian tentang “stres” atau “depresi”, seorang

menggunakan teori psikoanalisa Freud dan yang seorang

lagi dengan menggunakan teori humanistik Maslow.

Dengan menggunakan teori yang berbeda, maka kedua ahli

itu akan melihat dan menjelaskan “stres” dan “depresi” itu

dengan cara yang berbeda pula. Penggunaan kerangka teori

Page 190: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

176_Duski Ibrahim

(perspektif, paradigma) dalam ilmu pengetahuan sering

dianalogikan dengan seorang yang menggunakan kacamata,

ia akan melihat objek sesuai dengan kacamata yang

digunakan. Kacamata yang dipakai (misalnya: hitam, putih,

cokelat, merah, kuning), akan mempengaruhi warna objek

yang kita amati.

b. Teori merangkum pengetahuan. Teori merangkum

pengetahuan dapat diambil contoh teori gravitasi newton.

Teori gravitasi yang dikemukakan Isaac Newton ini, dapat

menjelaskan berbagai fakta atau pengetahuan tentang

fenomena alam. Gravitasi dapat menjelaskan benda jatuh,

pasang naik dan surut, dan peredaran planet di dalam

semesta.

c. Teori dapat memprediksi atau mengontrol fakta. Dalam ilmu

lingkungan (ekologi) umpamanya, diketahui ada hubungan

yang erat antara pemanasan bumi dengan eksploitasi dan

perusakan hutan serta polusi udara. Berdasarkan tingkat

kerusakan hutan dan polusi udara, dan air panas, para

ilmuwan dapat memperediksi bahaya yang akan tibul

beberapa tahun ke depan. Misalnya, perairan gunung es di

kutub, naiknya permukaan laut, tenggelamnya beberapa

pulau, perubahan iklim di bumi, serta pengaruhnya

terhadap produksi pertanian. Untuk menghindari

kemungkinan itu, para ilmuwan mencoba mengontrol

perusakan hutan dan polusi udara dengan berbagai

tindakan, misalnya dengan penanaman hutan, penciptaan

teknologi yang dapat menyerap zat karbon, sehingga

berbagai ancaman itu dapat dihindari.

Page 191: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_177

BAB V KONSEP ILMU : PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM

A. Konsep Ilmu

Dalam The Encyclopedia of Philosophy, disebut sebagai

berikut: “Knowledge is justified of true belief” yang berarti

pengetahuan adalah suatu kepercayaan yang benar dan hakiki

(Edward, Paul (ed., 1967: 345). Sementara itu, dalam Oxford

Dictionary of English ilmu itu didefiniskan sebagai “fact,

information and skills acquired through experience or education; the

theoritical or practical understanding of a subject.”, yang berarti

fakta, informasi dan keahlian mengetahui melalui pengalaman

dan pendidikan, baik teori maupun praktik terhadap suatu

subjek atau perkara (Anggus, et al. Eds. 2005: 967).

Akhyar Lubis mengatakan bahwa di kalangan ilmuwan

Barat, pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science) dibedakan

secara mendasar. Apa bedanya? Kalau pengetahuan bersifat

umum dan didasarkan atas pengalaman sehari-hari, sedangkan

ilmu adalah pengetahuan yang bersifat khusus dengan ciri-ciri:

sistematis, metode ilmiah tertentu, serta dapat diuji

kebenarannya. Dengan demikian, maka dapat diyakini bahwa

semua orang terlibat dengan pengetahuan, selama ia memiliki

indera yang normal. Tetapi, tidaklah setiap orang terlibat

dalam aktivitas ilmiah, karena harus memenuhi kriteria atau

prasyarat-prasyarat tertentu. (2014: 63-65). Dengan ungkapan

lain: Setiap orang berpengetahuan, tetapi tidaklah semua orang

berilmu.

Untuk menjadi orang yang ber-„ilmu‟ dalam konteks ini,

haruslah memenuhi prasyarat-prasyarat sebagai berikut, antara

lain, adalah:

1. Ada prosedur ilmiah yang harus dipenuhi agar hasil kerja

ilmiah itu diakui oleh para ilmuwan lain.

Page 192: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

178_Duski Ibrahim

2. Ada metode ilmiah yang dipergunakan, sehingga

kesimpulan atau hasil temuan ilmiah itu bisa diterima oleh

para ilmuwan lain, terutama ilmuwan di bidang ilmu yang

sejenis.

3. Ada pengakuan secara akademis terhadap seseorang yang

melahirkan ilmu pengetahuan.

4. Ada kejujuran ilmiah bagi ilmuwan tersebut, sehingga tidak

mengklaim hasil temuan ilmuwan lain sebagai miliknya.

5. Adanya keingintahuan yang kuat bagi ilmuwan, sehingga

senantiasa tertarik pada perkembangan ilmu yang terbaru

dalam rangka mendukung prefesionalotas keilmuannya.

Lebih lanjut, perbedaan antara pengetahuan sehari-hari

(knowledge) dengan ilmu (science), diuraikan sebagai berkut:

1. Dari segi tujuan: Pengetahuan sehari-hari berguna untuk

kehidupan sehari-hari. Sedangkan ilmu berguna untuk

menemukan kebenaran, memperluas

pemhaman/pengetahuan, deskripsi, eksplanasi, interpretasi,

prediksi, retrodiksi, penemuan, aplikasi, dan kontrol.

2. Dari segi metode: Pengetahuan sehari-hari tanpa metode.

Sedangkan ilmu menggunakan metode kualitatif atau

kuantitatif.

3. Dari segi bahasa: bahasa pengetahuan sehari-hari bersifat

ambigu atau kabur. Sedangkan bahasa ilmu adalah

lugas/tepat, verifikasi/falsifikasi.

Pengetahuan sehari-hari adalah bentuk pengetahuan yang

digunakan untuk kepentingan sehari-hari. Dalam kehidupan

sehari-hari misalnya, banyak ditemukan cara pengobatan yang

diwariskan secara turun temurun. Umpamanya, daun-daunan,

akar-akaran, umbi-umbian yang digunakan untuk mengobati

suatu penyakit. Konkritnya, berbagai jenis jamu yang

dikonsumsi masyarakat tradisonal, tanpa pembuktian ilmiah

melalui laboratorium, sehingga tidak dapat diketahui dan

Page 193: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_179

dijelaskan oleh mereka mengapa akar-akaran atau daun-

daunan itu dapat mengobati suatu penyakit. Tetapi, pada

kenyataannya, sebagian masyarakat awam percaya begitu saja

bahwa jamu itu dapat mengobati penyakit, tanpa dapat

menjelaskan alasannya.

Jika jenis jamu itu diteliti melalui laboratorium oleh

seorang ahli tentang kandungan zat-zat kimia, dan kemudian

diketahui bahwa zat itu memang ampuh untuk mengobati

(mematikan) penyakit atau bakteri tertentu, maka kita

mendapatkan penjelasan mengapa jamu itu dapat

menyembuhkan penyakit tertentu. Berarti, pengetahuan sehari-

hari itu sudah ditingkatkan menjadi pengetahuan ilmiah.

Apabila pembuktian ilmiah dilakukan berkali-kali (diverifikasi)

dan hasilnya sama dengan hasil penelitian sebelumnya, maka

kita dapat memberikan penjelasan (kausalitas) mengapa jamu

dapat mengobati/membunuh bakteri tertentu. Bila kita dapat

memberikan pemaparan secara jelas, sistematis, dengan

pernyataan yang dapat dibuktikan (dijustfikasi) berdasarkan

pengalaman/ekseperimen, maka pengetahuan biasa telah

meningkat menjadi pengetahuan ilmiah.

Berbeda dari pengetahuan sehari-hari, tujuan ilmu

(Sudarminta, 2002; Lubis, 12014: 65-67), adalah:

1. Untuk menjelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi.

Menjawab pertanyaan “mengapa” merupakan inti kegiatan

ilmiah. Penjelasan (Erklaren atau eksplanasi) adalah

pemaparan yang bersifat kausalitas, misalnya air jika

dipanaskan pada temperatur 100 derajat selcius, maka akan

mendidih. Penjelasan kausalitas merupakan tujuan ilmu

pengetahuan yang penting (terutama pada ilmu-ilmu alam

dan ilmu pengetahuan sosial-humaniora yang menggunakan

metode ilmu pengetahuan alam). Ilmu pengetahuan yang

menjelaskan atau berupaya mencari hukum-hukum alam

Page 194: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

180_Duski Ibrahim

disebut nomotesis. Pada psikologi behaviorisme, stimulus-

respons merupakan penjelasan kausalitas tentang tingkah

laku manusia.

2. Selain untuk menjelaskan fenomena alam, ada tujuan ilmu

pengetahuan lain, yaitu deskripsi/pemaparan. Berbeda dari

penjelasan, deskripsi adalah upaya untuk menjawab

pertanyaan tentang apa, siapa, di mana, kapan dan berapa.

Intinya, deskripsi merupakan bentuk pemaparan atau

laporan tentang suatu peristiwa atau fenomena alam dan

sosial-budaya. Ketika seseorang tukang jamu memaparkan

bagaimana ia meracik jamu dari tumbuh-tumbuhan tanpa

menjelaskan alasan mengapa bahan racikan itu dipilih dan

mengapa bahan itu dapat mengobati satu penyakit, maka

model wacana yang dihasilkan adalah deskripsi.

3. Retroduksi. Berbeda dari deskripsi, retroduksi adalah model

pemaparan rekonstruktif tentang masa lalu, yang

didasarkan atas fakta (artefak, fosil) yang ditemukan.

Misalanya, para arkeolog dan sejarawan dapat

memperkirakan bagaimana kebudayaan mesir 3.000 tahun

yang lalu berdasarkan artefak yang mereka temukan akhir-

akhir ini. Atau para biolog merekonstruksi bagaimana

kehidupan binatang purba (dinosuarus) berdasarkan fosil-

fosil yang ditemukan. Charles darwin umpamanya

mengemukakan teori evolusi dengan mengumpulkan

berbagai peninggalan fosil yang sebelumnya dianggap tidak

berarti sama sekali. Darwin menggunakan fosil-fosil itu

sebagai dasar untuk mengonstruksi teori evolusinya yang

kontroversi dan ternyata sangat mempengaruhi berbagai

bidang ilmu pengetahuan.

4. Prediksi. Jika retroduksi adalah model pemaparan yang

berorientasi ke masa lalu, maka prediksi adalah model

pemaparan yang bertujuan atau berorientasi ke masa depan.

Page 195: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_181

Jika kita tahu bahwa jumlah penduduk Jakarta sekarang 12

juta (X), dan pertambahan penduduk per tahun 2 persen (Y),

maka jumlah penduduk jakarta sepuluh tahn yang akan

datang akan berjumlah sekian (Z).

5. Kontrol. Kontrol adalah salah satu tujuan ilmu pengetahuan

yang berfungsi untuk merekayasa peristiwa atau fenomena

alam dengan menggunakan data-data/pertimbangan ilmiah.

Misalnya, untuk menghindari pertambahan jumlah

penduduk Indonesia, pemerintah dapat mengontrolnya

dengan memperketat pelaksanaan KB (Keluarga berencna).

Sehubungan dengan pengertian pengetahuan dan ilmu di

atas, penulis anggap perlu untuk menguraikan beberapa

pengertian yang ada dalam istilah “mengetahui” (know).

Sony Keraf dan Mikhail Dua membedakan pengertian-

pengertian dari ungkapan-ungkapan sebagai berikut:

1. “Tahu bahwa”. Pengetahuan “tahu bahwa” adalah jenis

pengetahuan informatif-teoritis. Seperti “mampu

mengidentifikasi” sesuatu, misalnya seseorang tahu bahwa

jika logam dipanaskan akan memuai.

2. “Tahu bagaimana”. Pengetahuan tentang bagaimana (“know

how”), misalnya tahu bagaimana membuat jamu, tahu

mengoperasikan komputer dan lain-lain. Jenis pengetahuan

itu disebut sebagai pengetahuan praktis. Pengertian praktis

biasanya juga didasari oleh pengetahuan teoritis.

3. “Tahu akan/mengenai” adalah pengetahuan yang

didasarkan atas pengalaman atau pengenalan pribadi

berkaitan dengan obek tertentu. Tingkat objektivitas

pengeahuan yang didasarkan atas pengalaman sendiri

biasanya lebih tinggi dan lebih akurat. Seorang ahli mesin

akan lebih tepat mengenal bagian yang rusak dari mesin

mobilnya dari pada orang lain.

Page 196: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

182_Duski Ibrahim

4. “Tahu mengapa” adalah jenis pengetahuan yang lebih dalam

dari pada “tahu bahwa‟, karena pengetahuan ini tidak

berhenti pada informasi, akan tetapi lebih jauh mengetahui

mengapa sesuatu terjadi, misalnya: mengapa benda yang

dimasukkan ke dalam air berkurang beratnya, dan juga

mengetahui mengapa gravitasi dapat mempengaruhi air laut

menjadi pasang-surut, dan lain-lain (Keraf dan Dua, 2001:

34-39).

Sepanjang uraian di atas, tampaknya tidak ada

persoalan yang mendasar. Tetapi, ketika sampai kepada sifat

suatu ilmu maka akan muncul persoalan yang perlu

diluruskan. Jujun J. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat

Ilmu, menulis:

“Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan

pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya

diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses

pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut.... Ilmu tidak

bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran

yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan

tertentu.” (Jujun, 2010: 131-132).

Definisi ilmu yang dirumuskan oleh Jujun di atas, jelas

dipengaruhi oleh positivisme Comte yang muncul pada awal

periode modern, suatu definisi yang cenderung, bahkan pasti

membingungkan para pengkaji ilmu-ilmu ke-Islam-an. Sebab,

kalau definisi di atas kita arahkan kepada „ulum al-Qur`an,

„ulum al-hadits, ushul ad-din, dan ilmu ushul al-fiqh, yang

mengkaji tentang hukum-hukum yang terdapat dalam Al-

Qur`an umpamanya, maka jelas akan membingungkan.

Perumusan ilmu-ilmu semacam ini bersumber dari wahyu Al-

Qur`an dan hadits yang dalam Islam otoritasnya tidak

diragukan lagi, tanpa diperlukan pembuktian empiris. Bagi

Page 197: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_183

umat Islam umpamanya, keharaman babi, zina, khamar adalah

ilmu yang pasti ada hikmahnya, tanpa harus dibuktikan

empiris tentang kemudharatannya.

Oleh karena itu, konsep ilmu dalam Islam jauh berbeda

dari apa yang telah dirumuskan oleh para pemikir Barat

modern. Para ahli ilmu logika Islami (yang dikenal dengan

ilmu mantiq) dan juga ulama atau ahli ilmu ushul al-fiqh telah

banyak membicarakan tentang konsep ilmu. Imam Ahmad ad-

Damanhuri dalam kitab Idhah al-Mubham (t.t: 5-6) ilmu berarti

mengerti atau memahami suatu objek tertentu (al-„ilm huwa

ma‟rifah al-ma‟lum) dengan yakin atau dugaan kuat tentang

sesuatu. Sementara itu, Jalaluddin al-Mahalli dalam kitab al-

Waraqat (t.t: 5) mengatakan bahwa ilmu adalah mengetahui

suatu objek tertentu sesuai dengan kenyataan (al-ilm huwa

ma‟rifah al-ma‟lum „ala ma huwa bihi fi al-waqi‟). Selanjutnya,

mereka telah membagi ilmu itu kepada dua bagian, yaitu:

Pertama, disebut Tashawwur, yaitu memahami suatu makna

objek tunggal, tanpa meletakkan sesuatu sifat yang lain

kepadanya, seperti memahami kata Hasan, manusia, rumah,

sungai, gunung, kerbau, kambing dan lain-lain. Kedua, disebut

Tashdiq, yaitu memahami makna hubungan antara dua

objek/kata atau lebih. Dengan ungkapan lain, tashdiq adalah

menetapkan atau menyandarkan suatu objek/kata atas sesuatu

yang lain. Untuk lebih mudah memahaminya, dicontohkan

sebagai berikut: jika anda memahami Hasan tanpa

menyandarkan sesuatu yang lain kepadanya, maka disebut

dengan tashawwur. Tetapi, jika anda memahami Hasan sakit,

maka pemahaman anda itu disebut dengan tashdiq. Masing-

masing ilmu tashawur dan tashdiq di atas dapat dibagi kepada

dua bagian, yaitu: (1) Badihi atau dharuri, yaitu pemahaman

tentang sesuatu yang tidak memerlukan penalaran, seperti

mengetahui diri merasa lapar karena terlambat makan,

Page 198: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

184_Duski Ibrahim

mengetahui diri merasa dingin karena tidak memakai jas atau

jaket; mengetahui satu adalah setengah dari dua dan lain-lain.

(2) Nazhari atau muktasab, yaitu pemahaman yang memerlukan

penalaran atau pembahasan, seperti pengetahuan tentang

matematika, gas bumi, kimia, teknologi, fisika, komputer.

Contoh lain adalah pengetahuan tentang alam sebagai sesuatu

yang baru dan mesti ada Penciptanya, pengetahuan tentang

alam kubur, dan kebangkitan di hari akhirat.

Istilah ilmu berasal dari bahasa Arab al-„ilm (plural : al-

„ulum). Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dri bahasa

„Arab „ilm yang merupakan mashdar (kata jadian) dari kata

„alima-ya‟lamu, yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam kajian

para ahli dan sarjana muslim, istilah al-„ilm tersebut

mengandung pengertian pengetahuan (knowldge) dan juga

ilmu, yang dalam pengertian modern dikenal dengan sains

(Inggris: science). Dalam KBBI dijelaskan, bahwa ilmu adalah

pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara

bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat

digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang

(pengetahuan) itu (KBBI., 1990: 324). Sedangkan pengetahuan

adalah segala sesuatu yang diketahui (KBBI., 1990: 884).

Ringkasnya, al-„ilm dalam bahasa Arab dapat diterjemahkan

sebagai knowlegde dan science.

Dalam kamus al-Munjid fi al-lughah wa al-adab dijelaskan,

bahwa ilmu adalah “mendapatkan pengetahuan tentang

sesuatu sesuai dengan yang sebenarnya, atau mengetahui

sesuatu berdasarkan keyakinan dan pengetahuan.” (Ma‟luf,

1992: 32). Sementara itu, dalam kamus Lisan al-„Arab, Ibn

Manzur menjelaskan kepada kita bahwa kata al-„ilm itu paling

tidak ada empat pengertian, yaitu: Pertama, kata al-„ilm adalah

merujuk kepada sifat Allah SWT. Yang Maha Mengetahui.

Kedua, kata al-„ilm adalah sifat yang merupakan lawan dari kata

Page 199: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_185

al-jahl, yang berarti bodoh atau tidak mengetahui tentang

sesuatu. Ketiga, kata al-„ilm bermakna „arafa yaitu mengenal

sesuatu. Keempat, kata al-„ilm dapat diberi makna kata yang

keakar dengannya, yaitu kata al-„alm, yaitu tanda, sign atau

alamat. Ringkasnya, kata „ilm (kasrah „ain) berkaitan erat dengan

kata „alm (fathah „ain) yang berarti sign, alam atau tanda. Kaitan

(kesamaan huruf) tersebut mengisyaratkan adanya hubungan

erat antara „ilm dan ‟alm, antara pengetahuan dengan tanda-

tanda. Oleh karena itu, dalam konteks scinece, kata „ilm dapat

diartikan sebagai “Pengetahuan tentang tanda-tanda, atau

fenomena-fenomena alam dan seisinya (Ibn Manzur, 1955. 2:

52).

Atas dasar data-data di atas, maka wajar kalu ilmu

pengetahuan didefinisikan oleh para ahli dengan berbagai

redaksi yang berbeda. Endang Saifuddin Anshari, dalam

bukunya Ilmu, Filsafat dan Agama (1987: 47-48), telah mengutip

berbagai rumusan, antara lain, sebagai berikut:

1. Salah satu corak pengetahuan yang ilmiah, yang lazim

disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu, yang

equivalen artinya dengan science dalam bahasa Inggris dan

Perancis, wissenschaft (Jerman) dan wetenschap (Belanda).

Sebagaimana juga science berasal dari kata scio, cire (Bahasa

Latin) yang berarti tahu, bergitupun ilmu yang berasal dari

kata „alima (Bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik

ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahun.

Namun secara terminologis, ilmu dan science itu semacam

pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan

syarat-syarat khas.

2. Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag yang dikutip oleh

Endang Saifuddin Anshari, mengatakan sebagai berikut:

“Science is empirical, rational, general and cumulative it is all four

at once.” (Ilmu adalah sesuatu yang bersifat empiris, yang

Page 200: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

186_Duski Ibrahim

rasional, yang umum dan tersusun, dan keempat-empatnya

seretak).

3. Karl Pearson merumuskan: Science is the complete and

concistent description of the facts of experience in the simplest

possible terms (Ilmu pengetahuan adalah lukisan atau

keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta

pengalaman dengan istilah yang sesederhana mungkin).

4. Ashly Montagu, guru besar antropologi di Rutgers

University mengatakan: Science is a sistematized knowlegde

derived from obsevation, study, and experimentation carried on

order to determine the nature princioles of what being studied

(Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang disusun dalam

satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan

percobaan untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang

hal yang sedang dipelajari).

5. Dalam kesimpulannya, Endang Saifuddin Anshari

mengatakan : Ilmu pengetahuan itu adalah usaha

pemahaman manusia yang isusun dalam satu sistem

mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian

dan hukum-hukum tentang hal yang diselidiki (alam,

manusia dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya

pemikiran yang dibantu pengindraaan manusia itu, yang

kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental

(Anshari, 1987: 50).

6. Dalam kaitan “ilmu pengetahuan dan teknologi” dapat

dikemukakan bahwa: Ilmu pengetahuan dengan: Himpunan

pengetahuan manusia tentang alam yang disimpulkan

secara rasional dari hasil-hasil analisis kritis terhadap data-

data pengukuran yang diperoleh melalui observasi pada

fenomena-fenomena alam. Sedangkan teknologi berarti:

Himpunan pengetahuan manusia tentang proses

Page 201: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_187

pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains,

dalam kerangka kegiatan produktif-ekonomis.

Terlepas dari berbagai rumusan tentang ilmu

pengetahuan di atas, yang jelas bahwa penjelasan suatu ilmu

haruslah memenuhi tiga syarat, yaitu objek ontologis

(pengalaman manusia yang segenap wujud yang dapat

dijangkau lewat panca indra atau alat yang membantu

kemampuan panca indra), landasan epistemologis (metode

ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan logika

induktif dengan pengajuan hipotesis (atau yang disebut dengan

Logico-hypotetico-verifikatif) dan landasan aksiologis

(kemaslahan manusia, artinya segenap wujud pengetahuan ini

secara moal ditujukan untuk kebaikan hidup manusia).

(Suriasumantri, 2010: 293).

Dalam pandangan ilmuwan Muslim, seperti telah

disinggung, tentu saja pengertian ilmu memiliki nuansa

perbedaan dari yang dirumuskan oleh para ilmuwan Barat

modern. Ibn Taimiyah, mendefinsikan ilmu sebagai suatu

pengetahuan yang berdasar kepada bukti atau dalil, berupa

transmisi wahyu dengan cara atau metode yang benar. Dalam

kitab majmu‟ Fatawa, Ibn Taimiyah mengatakan: Sesungguhnya

ilmu itu adalah yang bersandar pada dalil, dan yang bermanfaat

darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul. Maka sesuatu yang dapat

kita katakan ilmu adalah penukilan yang benar dan penelitan yang

akurat (Ibn Taimiyah, t.t. 6: 388). Perbedaan mendasar dengan

rumusan ilmuwan Barat adalah bahwa dalam pandangan

ilmuwan Muslim wahyu adalah sumber utama ilmu

pengetahuan, sedangkan dalam pandangan ilmuwan Barat

wahyu bukanlah termasuk ilmu karena tidak dapat dibuktikan

secara empiris.

Al-Ghazali, dalam beberapa karyanya, telah

mengemukakan pengertian-pengertian lengkap tentang ilmu,

Page 202: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

188_Duski Ibrahim

yang dapat dirangkum sebagai berikut: Pertama, dalam Ihya`

„Ulum ad-din dikemukakan bahwa ilmu adalah suatu kelebihan

pada dirinya secara mutlak tanpa dihubungkan kepada yang

lain dan ilmu merupakan sifat kesempurnaan bagi Allah dan

kemuliaan bagi malaikat dan rasul-rasul (al-Ghazali, 1967. 1:

22). Kedua, dalam al-Munqidz min adh-dhalal, dikemukakan

bahwa ilmu adalah hakikat semua perkara dimana ilmu adalah

pengetahuan yang tidak dapat diragukan, yang dikenal sebagai

ílm al-yaqin (al-Ghazali, 1964: 13). Ketiga, dalam Mizan al-„amal

disebutkan bahwa ilmu ialah tersingkapnya sesuatu perkara

dengan sejelas-jelasnya, sehingga tidak ada lagi ruang untuk

ragu; tidak mungkin salah atau keliru; aman dari bahaya

kekhilafan, disertai dengan keyakinan yang seban-benarnya (al-

Ghazali, 1964: 13-14).

Sekaitan dengan konsep ilmu dalam pandangan sarjana

Muslim, perlu dikemukakan bahwa derajat keyakinan dalam

konteks ilmu manusia dapat dibagi kepada tiga tingkatan,

yaitu:

1. „Ilm al-yaqin, yaitu suatu ilmu yang bersandarkan kepada

alasan atau kesimpulan hasil dari usaha maksimal manusia,

seperti disebutkan dalam Al-Qur`an surat at-takatsur ayat 5,

yang artinya: “Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan

ilmu yang yaqin.

2. „Ain al-yaqin, yaitu suatu ilmu yang merupakan keyakinan

melihat sesuatu berdasarkan mata atau melihat langsung

dan mempercayaai suatu perkara tersebut, seperti

diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur`an surat at-takatsur

ayat 7, yang artinya: “Sekali lagi kamu benar-benar melihatnya

dengan „ain al-yaqin.”

3. Haqq al-yaqin, yaitu suatu ilmu yang tahapnya telah

mencapai kebenaran, yang tidak mungkin ada kekeliruan,

seperti yang masih mungkin terjadi pada tingkatan „ilm al-

Page 203: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_189

yaqin dan „ain al-yaqin. Kebenaran ini merupakan sesuatau

yang diwahyukan oleh Allah yang disebut dengan haqq al-

yaqin. Ilmu tingkat tertinggi ini telah disebutkan oleh Allah

dalam Al-Qur`an surat al-Haqqah ayat 51, yang artinya:

“Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar kebenaran yang

diyakini.

B. Ciri-Ciri Ilmu

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa

ilmu adalah pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu, cara

atau metode bagaimana memperoleh dan membuktikan

kebenarannya. Mengenai ciri-ciri tersebut telah diuraikan

dengan baik oleh Van Melsen dan Robert Merton, seperti

dikutip oleh Lubis (2014: 68-79). Menurut Van Melsen bahwa

ciri-ciri pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) sebagai

berikut, yaitu:

1. Metodis, artinya memiliki metode (logis dan koheren)

sebagai dasar pembenaran (justifikasi) teorinya.

2. Memiliki sistem (sistematis).

3. Universal (berlaku di mana saja).

4. Objektif/intersubjektif.

5. Progresif (dinamis, teori bersifat tentatif).

6. Dapat digunakan (ada kaitan antara teori dengan praktik).

7. Tanpa pamrih (perinsip ilmu demi ilmu), tidak mencari

keuntungan.

Robert Merton, mengemukakan ciri-ciri metode ilmiah

yang diterima secara luas, yakni mencakup lima nilai dasar:

1. Universalisme. Universalisme mengacu pada suatu

pemikiran bahwa kebenaran ilmu pengetahuan melampaui

batas-batas individu, ruang, waktu atau tempat penemuan

teori itu. Kebenaran ilmiah dianggap relevan dan dapat

diterapkan dalam konteks yang universal.

Page 204: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

190_Duski Ibrahim

2. Komunisme. Komunisme di sini dimaksudkan sebagai

kewajiban ilmuwan untuk mengkomunikasikan hasil

temuannya kepada orang lain dan bagi mereka yang

berminat pada umumnya, sehingga temuan ilmiah bukan

milik perorangan, organisasi, universitas atau lembaga

ilmiah/penelitian, akan tetapi menjadi milik berama.

3. Ketanpa pamrihan. Tanpa pamrih mengacu pada pencarian

pengetahuan ilmiah demi perkembangan ilmu pengetahuan

itu sendiri, bukan demi kesohoran, uang, jabatan, atau

keuntungan pribadi.

4. Skeptisisme dan terorganisisr. Skeptisisme dan terorganisir

adalah sebagai sikap yang harus dimiliki ilmuwan dengan

tidak menerima begitu saja temuan orang lain, tapi

menerimanya dengan kritis, dengan melakukan tes ulang

(verifikasi, falsifikasi).

Selanjutnya, Lubis mengatakan bahwa ciri-ciri ilmu

pengetahuan yang dikemukakan di atas, lebih tepat untuk ciri

ilmu yang empiris-eksperimental (positivisme), sedangkan

untuk masa sekarang ini tokoh post-positivisme tidak

menerima semua ciri di atas, bahkan teori kritis dan

postmodernisme menolak sebagian besar ciri ilmiah modern

itu. Umpamanya, ciri ilmu yang berlaku universal, khususnya

untuk ilmu-ilmu sosial, budaya dan humaniora kurang

diterima. Alasannya, fakta pada fenomena sosial-budaya tidak

selalu sama untuk setiap waktu dan tempat. Jika fenomena

alam bersifat universal (kesemestaaan fenomena alam), maka

fenomena sosial-budaya sangat terkait dengan konteks sosial-

budayanya. Artinya, terkait dengan tempat, ruang dan waktu

(historis) tertentu (budaya Amerika tidak sama dengan budaya

Amerika Latin, budaya Afrika, ataupun budaya Indonesia.

Budaya masyarakat Papua tidak sama dengan budaya

masyarakat Sumatera, bahkan budaya Amerika juga tidak

Page 205: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_191

sama/seragam antara satu komunitas dengan komunitas yang

lain). Selain itu, fenomena sosial budaya bersifat dinamis

(berubah-ubah) dan faktanya berupa fakta yang

dikonstruksi/dibentuk secara sosial-budaya. Konsep ilmu yang

universal, objektif, dan ilmu yang bebas nilai tidak diterima

dan dikritik oleh ilmuwan sekarang ini.

Karena itu, istilah intersubjektif sering digunakan sebagai

pengganti istilah objektif. Intersubjektivitas dianggap lebih

tepat digunakan pada fenomena sosial-budaya.

Intersubjektivitas, maksudnya adalah kebenaran teori itu

diterima, diakui oleh sejumlah ilmuwan di bidangnya,

berdasarkan paradigma, perspektif atau sudut pandang yang

digunakan. Amartya Sen menyebutkan objektivitas

intersubjektif ini dengan “objektivitas posisional” yang

kebenarannya didasarkan atas posisi peneliti dan konteks

sosial-budaya yang diteliti. Ciri ilmu pengetahuan tanpa

pamrih, juga banyak dikritik akhir-akhir ini. Alasannya, bahwa

ilmu pengetahuan (dan teknologi) justeru perlu untuk

meningkatkan harkat dan martabat manusia (ada keterikatakan

antara teori dan praxis). Habermas umpamanya

mengemukakan adanya keterkaitan antara ilmu pengetahuan

dan kepentingan. Sedangkan Michel Foucault mengemukakan

adanya saling hubungan antara pengetahuan-kuasa dan

kebenaran. Sekarang justeru nilai praktis (pragmatis) ilmu

pengetahuan menjadi pertimbangan penting (Lubis, 2014: 69-

70).

C. Klasifikasi Ilmu

Pengklasifikasian ilmu pengetahuan, menurut Lubis

(2014: 82-83) biasanya didasarkan atas perbedaan ciri-ciri atau

sifat-sifat objek (ontologi) yang diteliti. Berdasarkan urutan

atau strata objek yang menjadi fokus kajian, maka ilmu

(pengetahuan) diklasifikasi atas:

Page 206: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

192_Duski Ibrahim

1. Ilmu yang mempelajari strata fisio-kimiawi (organis dan

anorganis). Kelompok ilmu ini, antara lain: ilmu pasti alam,

ilmu kimia, geologi, astronomi, teknik dan lain-lain.

2. Ilmu-ilmu yang mempelajari strata biotik, yang mempelajari

organisme yang hidup, seperti: ilmu hayat, ilmu pertanian,

kehutanan, pertenakan, dan ilmu medis.

3. Ilmu yang mempelajari strata psikis, ilmu yang mempelajari

psike (jiwa, persepsi, naluri, emosi, kognisi, afeksi, motivasi)

dan tingkah laku manusi.

4. Ilmu-ilmu yang mempelajari strata khas manusia, yaitu

kenyataan manusia sebagai makhluk yang unik dan

multidimensional.

Kelompok-kelompok ilmu (pengetahuan) di atas sering

disederhanakan ke dalam dua kelompok ilmu pengetahuan,

yaitu: (1) kelompok ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia,

astronomi, biologi, dan lain-lain), dan (2) kelompok ilmu sosial-

budaya. Kelompok ilmu pengetahuan alam disebut juga

kelompok ilmu nomotetis, karena penelitian dalam bidang ini

adalah mencari hukum-hukum (nomos). Metode yang

digunakan biasanya adalah metode empiris-kuantitatif dengan

model penjelasan kausalitas tentang fenomena alam. Karena

itu, kelompok ilmu ini disebut juga ilmu empiris-kuantitatif,

atau kelompok ilmu yang menggunakan model bahasa

penjelasan sebab-akibat sehingga disebut juga kelompok ilmi

Erklaeren.

Sementara itu, kelompok ilmu sosial-budaya

menggunakan metode hermeneutka, fenomenoligi atau metode

kualitatif dan menggunakan bahasa deskriptif. Karena itu,

kelompok ilmu ini disebut juga kelompok ilmu Verstehen

(pemahaman, penafsiran). Kelompkk ilmu sosial-budaya

umumnya tidak berpretensi untuk mencari hukum

sosial=budaya yang berlaku umum (universal), akan tetapi

Page 207: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_193

lebih pada upaya untuk memahami keunikan atau kekhasan

satu fenomena sosial-budaya (karena itu kelompok ilmu ini

juga disebut “ilmu idiografis”). Misalnya tentang revolusi

kemerdekaan, jika diperhatikan secara seksama, maka tidak

ada revolusi yang sama persis sebab-akibatnya, masing-masing

revolusi (Amerika, Mesir, Indonesia), memiliki perbedaan dan

keunikannya masing-masing. Adapun pada universitas-

universitas di Amerika misalnya, umumnya ilmu pengetahuan

dikelompokkan atas tiga kelompok besar, yaitu: (1) ilmu

pengetahuan alam (natural sciences), (2) ilmu-ilmu pengetahuan

sosial (social scineces), dan (3) ilmu humaniora (humanities).

Klasisfikasi atau pengelompokan semacam inilah yang banyak

dikenal di dunia ilmu pengetahuan.

Kalangan sarjana Barat Modern (Modern Western

Scholars), dengan demikian, berdasarkan pemikiran tentang

hyrarki yang hanya melihat kepada perspektif dunia semata-

mata, telah mengklasifikasikan atau menggolongkan ilmu itu

kepada tiga cabang, yaitu:

1. Natural sciences (Ilmu-ilmu alam), yaitu ilmu-ilmu yang

mempelajari tentang fenomena-fenomena alam semesta

dengan segala isinya.

2. Social sciences (Ilmu-ilmu sosial), yaitu ilmu-ilmu yang

membiacarakan manusia dalam kehidupan

bermasyarakatnya.

3. Humanities, (Ilmu-ilmu humaniora), yaitu ilmu-ilmu yang

berkenaan dengan hati nurani.

Perlu dikemukakan, bahwa Natural Sciences (ilmu-ilmu

kealaman) dapat dibagi ke dalam dua macam, yaitu: Pertama,

disebut basic sciences, yaitu ilmu-ilmu dasr yang juga disebur

dengan pure sciences, yaitu ilmu-ilmu murni, seperti biologi,

kimia, fisika, astronomi, dan lain-lain. Kedua, disebut applied

Page 208: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

194_Duski Ibrahim

sciences, yaitu ilmu-ilmu terapan, seperti farmasi, kedokteran,

pertanian, kedokteran gigi, dan optometri.

Pendekatan-Pendekatan epistemologi dalam ilmu-ilmu

alam, tentu saja berdasarkan reason dan logika rasional, untuk

mengetahui gejala-gejala alam dengan melihatnya secara

objektif, analitis dan kritis. Gejala-gejala alam dilihat dengan

kerangka berpikir yang harus terpisah dari pengamat atau

penelitinya, supaya dapat melihat gejala-gejala itu apa adanya.

Melalui pendekatan empirikal dalam ilmu-ilmu Respect for

science and scientist dimaksudkan adalah penghargaan yang

tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan ilmuwan, yakni setiap

temuan dari penelitian dihargai secara pantas sebagai hasil

jerih payah atau usaha yang dilakukan seseorang atau

sekelompok orang. alam, orang diharapkan akan mampu

menemukan hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang berlaku

umum. Selanjutnya, orang diharapkan akan dapat

merekonstruksi gejala-gejala alam untuk memperbaiki kondisi

masyarakat ke arah yang klebih baik. Karena gejala-gejala alam

harus dilihat apa adanya, maka cara-cara yang dilakukan oleh

agama dan atau kepercayaan harus betul-betul dijauhkan,

sebab tidak bersifat ilmiah. Pendekatan agama dan

kepercayaan selalu melibatkan kekuatan transendental-

metafisikal yang bersifat koersif atau min al-a‟la ila al-adna.

Pendekatan-pendekatan epistemologis dalam ilmu-ilmu

alam seperti yang diuraikan di atas, untuk waktu yang relatif

lama, `juga digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk

mengetahui gejala-gejala sosial dengan melihatnya secara

objektif, analitis dan kritis. Gejala-gejala sosial yang diamati

dan diteliti disusun seperti menyusun kerangka konseptual

dalam gejala-gejala alam, yang harus terpisah dari pengamat

atau penelitinya, supaya dapat elihat gejala-gejala itu apa

adanya. Melalui pendekatan-pendekatan seperti yang berlaku

Page 209: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_195

dalam ilmu-ilmu alam, orang diharapkan akan mampu

menemukan hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang berlaku

umum, dalam rangka merekonstruksi gejala-gejala sosial untuk

memperbaiki kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik.

Karena gejala-gejala sosial harus dilihat apa adanya, maka cara-

cara yang dilakukan oleh agama yang selalu melibatkan

kekuatan transendental-metafisikal yang bersifat min al-a‟la ila

al-adna haruslah tidak diikutsertakan.

Dengan ringkas, dapat diungkapkan bahwa secara

epistemologis pada mulanya ilmu-ilmu sosial berkiblat kepada

tradisi ilmu-ilmu alam. Pendekatan-pendekatan kuantitatif,

bahkan matemati-statistkal dengan parameter-paremeter yang

terukur digunakan dalam menyoroti objek-objek sosial yang

dikaji dan diteliti. Berangkat dari pendekatan positivisme-

empirisme, para ahli memanfaatkannya untuk tujuan

melakukan rekayasa sosial (social engineering).

Perkembangan lebih lanjut, beranjak dari ketidakpuasan

mengekor kepada epsitemologi ilmu-ilmu alam, epistemologi

sosial cenderung bergeser, secara perlahan mendekat kepada

ilmu-ilmu humaniora. Alasannya, karena objek yang diteliti

bukanlah benda-benda organik dan non-organik yang dapat

dihitung, diukur dan ditimbang, berbeda dari objek ilmu-ilmu

alam. Dalam ilmu-ilmu sosial, objek yang diteliti dalam

manusia yang memiliki keunikan kompleks. Ia memiliki

keinginan dan hawa nafsu, memiliki akal dan budi-daya,

memiliki prilaku dan keyakinan atau agama. Atas dasar ini,

maka di samping pendekatan objektif-ilmiah-empirikal, seperti

tradsi-tradisi ilmu-ilmu alam, juga dilakukan pendekatan

integral dan integratif dengan memasukan unsur-unsur

normatif, value yang biasa dilakukan dalam tradisi ilmu-ilmu

humaniora.

Page 210: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

196_Duski Ibrahim

Tidak seperti sarjana Barat, para ulama dan sarjana atau

ilmuwan muslim mengklasifikan ilmu berdasarkan kepada

kebutuhan sesuai petunjuk Al-Qur`an dan Sunnah, di samping

juga pemikiran berdasarkan realitas yang ada. Dengan

ungkapan lain, para sarjana muslim mengklasifikasikan ilmu

berdasarkan wahyu (Al-Qur`an dan Sunnah) dan akal. Sebab

itu, selain mengakui adanya tiga cabang ilmu (ilmu-ilmu alam,

ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora) yang diakui oleh

pemikir dan ilmuwan Barat, juga mengakui berbagai ilmu lain,

yaitu ilmu yang dihasilkan dari memahami, mengkaji dan

mempelajari penjelasan-penjelasan dari nash-nash atau teks-teks

Al-Qur`an dan Sunnah.

Selain itu, para ulama dan ilmuwan muslim juga

mengakui ilmu „limpahan langsung‟ dari Tuhan yang

didapatkan melalui pendekatan diri pada-Nya, setelah

melakukan berbagai aktivitas dan usaha mendekatkan dikir

kepada Tuhan, dalam bentuk ilmu hudhuri atau ilmu tasawuf.

Perlu dikemukakan, bahwa bagi para ahli tasawuf yang

dinamakan ilmu itu hanyalah yang diperoleh dari Tuhan,

bukan didapat melalui panlaran, metode ilmiah, atau

memanfaatkan panca indera. Konsep ini dibangun dari

pandangan mereka yang mengatakan bahwa ilmu adalah

cahaya dari Allah (al-„ilm nur Allah) yang diberikan kepada

orang-orang yang tidak melakukan maksiat, dekat dengan

Allah dan mencintai-Nya (mahabbah Allah). Di samping itu,

orang-orang yang diberi pengetahuan secara langsung oleh

Allah tersebut telah melakukan pendakian berupa latihan

spiritual secara istiqamah dan thuma`ninah serta berusaha keras

mengendalikan hawa nafsunya.

Pandangan para ahli tasawuf tentang konsep ilmu

tersebut tentu saja sangat berbeda dari pendapat para ilmuwan

Barat dan folowers-nya yang mengatakan bahwa yang

Page 211: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_197

dinamakan ilmu adalah hasil dari suatu penelitian yang

dilakukan melalui kemampuan panca indera dalam

mengobservasinya. Bagi mereka, sesuatu yang ilmiah adalah

yang dapat diobservasi oleh indera manusia. Sebab itu,

pengetahuan yang diperoleh melalui limpahan dari Tuhan itu

haruslah dipandang sebagai pengetahuan yang tidak ilmiah.

Perbedaan di atas haruslah diakui, mengingat dasar pijakan

dalam membangun konsep ilmu secara ontologis dan

epistemologis memang telah berbeda sejak semula.

Para ahli tasawuf, dalam perumusan konsep ilmu

„limpahan‟ dari Tuhan, berdasarkan kepada ayat-ayat Al-

Qur`an, antara lain, adalah firman Allah dalam surat an-nur:

35:

“Allah adalah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi,

perumpamaan cahanyanya adalah seperti sebuah lubang

yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita

itu di dalam kaca, (dan) kaca itu seakan-akan bintang

(yang bercahaya) seperti mutiara yang dinyalakan dengan

minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun

yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak

pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja)

hampir-hampir menerangi, walauun tidak disentuh api.

Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing

kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki dan Allah

memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia,

dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Dalam ayat ini, cahaya (nur) adalah perumpamaan suatu

ilmu dari perspektif peran dan fungsinya, yakni memberikan

penerangan dan penjelasan tentang sesuatu. Cahaya (nur)

tersebut berasal dari Allah yang diberikan kepada setiap

seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah dan mencintai-

Nya, dengan melakukan ibadah, banyak ber-dzikir kepada

Page 212: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

198_Duski Ibrahim

Allah dan tazkiah an-nafs (membersihkan diri) dari maksiat dan

menjauhkan dari berbagai perbuatan tercela (al-jtinab bi ar-

raza`il) dan berbagai dosa lainnya.

Sekaitan denan ilmu dari persepektif sufi di atas, Frank

Rosenthal (1970: 70, 155, 194 dan 240) mengatakan bahwa

penggunaan istilah „cahaya‟ yang dirujuk kepada ilmu

merupakan metafora yang sering digunakan oleh Al-Qur`an,

dengan makna isyarat bahwa cahaya itu merupakan suatu

petunjuk ke jalan yang benar (Q. Luqman: 20), dan cahaya

Allah akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendakinya

(Q. An-Nur: 35). Terkadang Al-Qur`an juga menyertakan istilah

az-zulumat (kegelapan) sebagai lawan kata dari an-nur (cahaya),

yang maksudnya bahwa cahaya itu adalah bukan kegelapan,

kesesatan, kejahilan, kebatilan dan sebagainya (Q. Al-Baqarah:

257). Terlepas dari itu semua, yang dapat dipahami bahwa

istilah „cahaya‟ (nur) yang digunakan oleh Al-Qur`an jelas

merujuk kepada makna ilmu, yang memberikan gambaran

bahwa ilmu itu adalah suatu yang bersih, yang karenanya

untuk memperolehnya seseorang hendaklah bersih dari

maksiat. Dari persepektif sufi ini, maka benarlah nasehat Imam

Waki‟ kepada Imam Syafi‟i, bahwa untuk mendapatkan ilmu

itu hendaklah menjauhi maksiat, karena ilmu itu adalah

cahaya, dan cahaya Tuhan tidak akan diberikannya kepada

orang yang berbuat maksiat (Imam Asy-Syafi‟i berkata:

Syakautu ila Waki` „an su` hifzhi, fa arsyadani bi tark al-ma‟ashi, li

ann al-„ilm nur wa nurullah la yuhda li al-„ashi).

Selanjutnya, klasifikasi ilmu (ihsha` al-„ulum) dalam

pandangan para sarjana dan ilmuwan muslim adalah bagian

dari kajian yang dianggap penting. Sebab, terkait dengan

persoalan cara menemukakan atau mendapatkannya dan juga

penilaian tentang keutamaan-keutamannya dalam ajaran Islam.

Ilmuwan muslim di masa lalu dapat dikatakan sebagai seorang

Page 213: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_199

ensiklopedis-generalis, yang memiliki pengetahuan yang

komprehensif, hampir di setiap ilmu yang berkembang pada

masanya. Klasifikasi ilmu juga dianggap penting, untuk dapat

memahami secara komprehensif semua objek ilmu yang dapat

dijangkau oleh kemampuan daya tangkap (al-idrak) manusia.

Imam al-Ghazali dalam Ihya` „Ulumiddin, telah membagi

ilmu itu kepada dua kategori, yaitu:

Pertama, disebut al-„ulum asy-syar‟iyah atau ilmu-ilmu

agama, yaitu ilmu-ilmu berdasarkan wahyu yang didapat dari

para Nabi shalawatullah wa salamuh, tidak ada petunjuk akal

seperti ilmu hisab dan tidak ada praktek seperti ilmu

kedokteran dan tidak ada pendengaran seperti bahasa.

Kedua, disebut „ulum ghairu syar‟iyah atau ilmu-ilmu non-

agama. Ilmu-ilmu non agama ini terbagi kepada:

1. Ilmu yang terpuji (mahmud). Yang terpuji (mahmud) adalah

ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kemaslahatan perkara

dunia, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung. Ilmu yang

terpuji (mahmud) ini juga terbagi kepada (i) ilmu fardhu

kifayah, dan (ii) ilmu fadhilah, bukan fardhu.

Adapun ilmu fardhu kifayah yaitu semua ilmu yang

dibutuhkan untuk tegaknya perkara-perkara dunia, seperti

ilmu kedokteran, karena ia penting untuk kebutuhan

pertahanan atau kesehatan badan, dan ilmu hitung, karena ia

penting dalam jual-beli, pembagian wasiat, pembagian

warits. Ilmu fardhu kifayah ini, seandainya di suatu wilayah

(balad) tidak ada orang yang menegakkannya maka wilayah

(balad) itu akan mengalami kesulitan. Tetapi, apabila ada

salah seorang penduduk yang memilikinya, maka cukuplah

dan gugurlah kewajiban bagi orang-orang lain. Jangan heran

dengan pendapat kami tentang ilmu kedokterab dan ilmu

hitung itu termasuk fardhu kifayah, karena ilmu-ilmu tentang

Page 214: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

200_Duski Ibrahim

dasar-dasar industri juga termasuk fardhu kifayah, seperti

pertanian, tekstil, politik, dan lain-lain.

2. Ilmu yang tercela (madzmum).

Adapun ilmu yang madzmum atau ilmu yang tercela adalah

seperti ilmu sihir („ilm as-sihr), ilmu hitam, mantera-mantera

(thalmasat), ilmu sulap („ilm asy-sya‟badzah), ilmu pemalsuan

(„ilm at-talbisat).

3. Ilmu yang dibolehkan (mubah).

Adapun ilmu yang dibolehkan (mubah) yaitu ilmu tentang

syi‟ir-syi‟ir yang tidak melemahkan akal dan semangat,

sejarah-sejarah tentang peristiwa-persitiwa sesuatu dan

sebagainya.

Adapun „ulum syar‟iyah, pada dasarnya semuanya

adalah terpuji (mahmudah), tetapi terkadang tercampur

dengan sesuatu yang diduga ia adalah syar‟iah, walhal ia

adalah tercela (madzmumah). Sebab itu, „ulum syar‟iyah juga

terbagi kepada ilmu mahmudah dan ilmu madzmumah.

Adapun ilmu-ilmu syar‟iyah yang mahmudah, maka

dapat dibagi kepada empat macam, yaitu:

Pertama, disebut al-ushul atau dasar-dasar, yaitu (1)

kitab Allah, (2) sunah Rasul Allah, (3) al-ijma‟ (4) atsar

sahabat.

Kedua, furu‟ atau cabang-cabang, yaitu apa saja yang

dipahami dari dasar-dasar tersebut, bukan lafaz-lafaznya,

melainkan makna-makna yang digali oleh akal, karenyana

pemahaman menjadi luas, seperti memahami dari hadits

rasul la yaqdhi al-qadhi wa huwa ghadhban, bahwa hakim itu

tidak boleh menghakimi apabila ia sedang sakit perut

(haqinan), lapar (ja`i‟an), perih (muta`alliman) karena sakit.

Furu‟ atau cabang ini dapat dibagi dua, yaitu: (1) yang

berhubungan dengan kemaslahatan dunia, dan hal ini

meliputi (termasuk) kitab-kitab fiqih dan orang-orang yang

Page 215: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_201

memeliharanya, yaitu para fuqaha`, dan mereka ini adalah

ulama dunia, (2) yang berhubungan dengan kemaslahatan

akhirat, yaitu ilmu tentang keadaan hati, qalb dan ilmu

tentang akhlak yang terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan

akhlak yang tercela (al-akhlaq al-madzmumah), dan ilmu yang

diridho`i di sisi Allah dan ilmu tentang yang dibenci, yaiu

ilmu yang dibahasa dalam bagian akhir kitab Ihya`

„ulumddin, termasuk ilmu yang berkaitan dengan hati (qalb),

anggota badan (al-jawarih) dalam ibadat-ibdatanya dan

„adat-„adatnya, yang dibahas dalam bagian awal kitab ini.

Ketiga, disebut muqaddimat, yaitu ilmu-ilmu yang

berfungsi sebagai alat-alat, seperti ilmu bahasa dan tata

bahasa, dimana keduanya adalah alat untuk mengetahui

kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya. Ilmu bahasa dan tata

bahasa itu sendiri sebenarnya bukanlah termasuk bagian

ilmu syari‟ah, tetapi harus mendalami keduanya disebabkan

syari‟ah, karena syari‟ah diturunkan dalam bahasa Arab dan

semua syariat tidak akan jelas kecuali dengan memahami

bahasa, sehingga mempelajari bahasa menjadi salah satu alat

dari alat-alat untuk mengetahui kitab Al-Qur`an dan hadits

yang berbahasa Arab.

Keempat, disebut mutammimat, yaitu tentang imu-ilmu

Al-Qur`an („ulum al-Qur`an), yang dapat dibagi kepada (1)

ilmu yang berkaitan dengan lafaz, seperti mempelajari qira`at

dan makharij huruf, (2) ilmu yang berkaitan dengan makna,

seperti tafsir, (3) ilmu yang berkaitan dengan hukum-

hukumnya, seperti mengetahui nasikh-mansukh, „amm,

khash, nash, zhohir, cara penggunaan sebagian terhadap

sebagian yang lain, yang dikenal dengan ilmu ushul al-fiqh.

Mutammimat ini termasuk ilmu-ilmu yang berkaitan dengan

Sunnah. Adaun mutammimat dalam atsar dan akhbar, seperti

ilmu tentang rijal, nama-nama mereka, nasab-nasab mereka,

Page 216: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

202_Duski Ibrahim

nama-nama sahabat, sifat-sifat mereka, dan seperti ilmu

tentang „adalah atau keadilan periwayatperiwayat hadits, dan

mengetahui hal-ihwal mereka, untuk membedakan yang

dho‟if dan yang kuat, dan mengetahui umur-umur mereka

untuk mengetahui yang mursal dan yang musnad, demikian

seterusnya yang berkaitan dengannya. Inilah ilmu-ilmu

agama (ulum syar‟iyah). Semuanya adalah ilmu yang terpuji

(mahmudah), tetapi semuanya termasuk fardhu kifayah.

Selanjutnya, Imam al-Ghazali telah mengklasifikasikan

ilmu, secara garis besar, menjadi dua kelompok, yaitu:

Pertama, disebutnya „ilm al-mu‟amalah, yaitu ilmu-ilmu

yang masuk dalam kategori praktek keagamaan, yang

berfungsi sebagai media atau prasyarat memperoleh ilmu

yang kedua (yakni „ilm al-mukasyafah). „Ilm al-mu‟amalah ini

selanjutnya dia bagi kepada dua bagian, yaitu: (1) mu‟amalah

zhahirah, yaitu ilmu tentang praktek-praktek keagamaan

yang sifatnya zahir atau nyata melalui aktivitas anggota

tubuh, yang dibaginya kepada (i) ilmu tentang praktek

kegamaan yang bersifat vertikal, antara makhluk terhadap

Tuhan dan (ii) ilmu tentang praktek keagamaan yang

bersifat horizontal, antara sesama makhluk; (2) mu‟amalah

bathinah, yaitu ilmu tentang praktek-peraktek keagaman

yang sifatnya qalb, hati sanubari, yang dibaginya kepada dua

bagian, yaitu: (1) tazkiyah al-qalb „anhu min ash-shifat al-

mazmumah, yaitu ilmu-ilmu tentang praktek keagamaan

yang sifatnya membersihkan qalb atau hati sanubari dari

sifat-sifat tercela, (2) tahalliyah al-qalbbihi min ash-shifat al-

mahmudah, yaitu ilmu-ilmu tentang praktek keagamaan yang

sifatnya mengisi qalb atau hati sanubari dengan sifat-sifat

yang terpuji.

Kedua, disebutnya „ilm al-mukasyafah, yaitu suatu íbarat

tentang nur atau cahaya yang tampak dalam hati secara

Page 217: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_203

langsung ketika (setelah) ilmu-ilmu tentang mu‟amalah

zahirah dan bathinah di atas telah terwujud, yaitu setelah hati

seseorang itu bersih dari sifat-sifat tercela; dan setelah qalb

atau hati sanubari seseorang telah dipenuhi dengan sifat-

sifat terpuji. Dengan ungkapan lain, „ilm al-mukasyafah ini

terwujud apabila lapis penutup (hijab) telah terbuka,

sehingga kebenaran menjadi jelas dalam hal-hal yang semula

“ma la „ainun ra`at wa la uzunun sami‟at wa la khathar „ala qalb

basyar” (mata tidak dapat melihatnya, telinga tidak dapat

mendengarnya dan, tidak terlintas dalam qalb atau pikiran

manusia). Oleh karena itu, Imam al-Ghazali telah

menambahkan klasifikasi ilmu, yaitu yang disebutnya

dengan ilmu laduni, yaitu ilmu yang langsung terbuka dalam

rahasia hati, tanpa sebab yang datang dari luar.

Sekaitan dengan hal di atas, Othman mengatakan,

bahwa menurut al-Ghazali untuk mendapatkan ilmu itu

dapat dilakukan dengan berbagai cara atau metode, seperti

melalui wahyu, ilham, akal dan juga indera. Selain masalah

klasifikasi ilmu dan cara memperolehnya, al-Ghazali juga

mendiskusikan tentang fungsi ilmu atau pengetahuan, yang

dibaginya kepada dua fungsi, yaitu: Pertama, pengetahuan

itu berfungsi untuk mencapai kemajuan bagi mendapatkan

pemenuhan diri. Kedua, pengetahuan itu merupakan suatu

cara progresif untuk mengetahui Tuhan (Othman, 1981: 70).

Menurut Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah,

ilmu itu dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu:

1. Transmitted-sciences (al-„ulum an-naqliyah) transmitted

sciences atau Al-„ulum an-naqliyah adalah ilmu yang

disapaikan dari generasi ke generasi, yaitu ilmu-ilmu

yang dihasilkan atau dibentuk berdasar pada kajian

tekstual Al-Quran dan Sunnah. Dalam sejarah peradaban

Islam al-„ulum an-naqliyah ini telah menghasilkan berbagai

Page 218: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

204_Duski Ibrahim

disiplin ilmu agama, seperti „Ulum Al-Qur`an, „Ulum al-

Hadits, „ilm al-kalam, Ushul al-fiqh fiqih dan Tasawuf,

termasuk ilmu Ta‟bir mimpi.

2. Rational sciences (al-„Ulum al-„Aqliyah) atau ilmu-ilmu

yang didasarkan pada akal. Rational sciences (al-„Ulum al-

„Aqliyah) ini dapat dibagi kepada:

a. ilmu-ilmu teoritis (al-„ulum an-nazhariyah) atau disebut

ilmu-ilmu teoritis, yang terdiri dari ilmu-ilmu fisika

(terdiri dari: minerologi, botani, zoologi, geometri,

aljabar dan psikologi), matematika (terdiri dari:

artimatika, geometri, aljabar, musik, astronomi dan

teknik), metafisika (terdiri dari: ontologi, teologi,

kosmologi, dan eskatologi).

b. ilmu-ilmu praktis (al-„ulum al-amaliyah), yang meliputi:

etika, ekonomi dan politik (Kartanegara, 2006: 118).

Dalam mengomentari berbagai macam klasifikasi ilmu

yang dirumuskan oleh para ilmuwan Muslim, Wan Daud

mengatakan bahwa kendatipun secara konseptual, ada

perbedaan-perbedaan para sarjana dan ilmuwan muslim dalam

mengklasifikasikan ilmu yang disebabkan latar belakang

pemikiran yang berbeda, kecenderungan yang tidak sama,

namun mereka memmpunyai titik temu yang sama yaitu

bahwa semua ilmu adalah dari Allah. Al-Attas mengatakan,

bahwa beberapa klasifikasi ilmu yang dikemukakan oleh para

ahli falsafah, para hukama` dan kaum sufi sebenarnya

didasarkan kepada latar belakang pendidikan sarjana muslim

yang berbeda, namun pada akhirnya mempunyai titik temu

yang diakui bersama, yaitu bahwa ilmu itu dari Allah (Wan

Daud, 2005: 93).

Sekaitan dengan uraian di atas, perlu dikemukakan

tentang rumpun ilmu yang dituangkan dalam rumusan

Page 219: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_205

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan

Tinggi.

Pasal 10 ayat (1): Rumpun Ilmu Pengetahuan dan

teknologi merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang dan

ranting Ilmu Pengetahuan yang disusun secara sistematis; (2):

Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Rumpun ilmu agama;

b. Rumpun ilmu humaniora;

c. Rumpun ilmu sosial;

d. Rumpun ilmu alam;

e. Rumpun ilmu formal; dan

f. Rumpun ilmu terapan.

Dalam penjelasan pasal 10 ayat (2) undang-undang

tersebut dinyatakan:

Huruf a

Rumpun ilmu agama merupakan rumpun ilmu

pengetahuan yang mengkaji keyakinan tentang ketuhanan atau

ketauhidan serta teks-teks suci agama antara lain ilmu

ushuluddin, ilmu syariah, ilmu adab, ilmu dakwah, ilmu

tarbiyah, filsafat dan pemikiran Islam, ekonomi Islam, ilmu

pendidikan agama hindu, ilmu penerangan agama Hindu, ilmu

pendidikan agama Budha, ilmu penerangan agama Budha,

ilmu pendidikan agama Kristen, ilmu pendidikan agama

Katholik, teologi, misioligu, konseling pastoral, dan ilmu

pendidikan agama Khong Hu Cu.

Huruf b

Rumpun ilmu humaniora merupakan rumpun ilmu

pengetahuan yang mengkaji dan mendalami nilai kemanusiaan

dan pemikiran manusia, antara lain, filsafat, ilmu sejarah, ilmu

bahasa, ilmu sastra, ilmu seni panggung, dan ilmu seni rupa.

Huruf c

Page 220: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

206_Duski Ibrahim

Rumpun ilmu sosial merupakan rumpun ilmu

pengetahuan yang mengkaji dan mendalami hubungan antar

manusia dan berbagai fenomena masyarakat, antara lain,

sosiolog, psikologi, antropologi, ilmu politik, arkeologi, ilmu

wilayah, ilmu budaya, ilmu ekonomo, dan geografi.

Huruf f

Rumpun ilmu alam merupakan rumpun ilmu

pengetahuan yang mengkaji dan mendalami alam semesta

seloain manusia, antara lain ilmu angkasa, ilmu kebunmian,

biologi, ilmu kimia dan ilmu fisika.

Huruf e

Rumpun ilmu formal merupakan rumpun ilmu

pengetahuan yang mengkaji dan mendalami sistem formal

teoritis, antara lain ilmu komputer, logika, ilmu matematika,

statistika, dan sistema.

Huruf f

Rumpun ilmu terapan merupakan rumpun ilmu

pengetahuan dan Teknologi yang mengkaji dan mendalami

aplikasi ilmu bagi kehidupan manusia antara lain pertanian,

arsitekstur dan perencanaan, bisnis, pendidikan, teknik,

kehutanan dan lingkungan, keluarga dan konsumen,

kesehatan, olahraga, jurnalistik, media massa dan komunikasi,

hukum, perpustakaan dan permuseuman, militer, administrasi

publik, pekerja sosial, dan transportasi.

Page 221: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_207

BAB VI LANDASAN-LANDASAN ILMU

A. Landasan ‘Ilm al-Wujud

Landasan ilmu yang pertama disebut „ilm al-wujud. „Ilm al-

wujud dimaksudkan adalah sesuatu yang dapat dijadikan

sebagai objek pengamatan dan penelitian, yang merupakan

hakikat sesuatu. Dalam kajian filsafat ilmu, landasan atau

unsur ini sering disebut dengan istilah ontologi. Sebelum

diuraikan tentang landasan ontologis sebagai landasan ilmu

pengetahuan dalam perspektif Islam, terlebih dahulu akan

diuraikan sekilas pandangan barat modern. Pengetahuan

bukanlah suatu pemberian, melainkan digali, disusun, diuji

dan dikembangkan dalam sebuah lingkungan sosial yang

majemuk. Sebab itu, pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari

manusia atau masyarakat, yang merupakan sumber utama bagi

pengetahuan. tidak ada pengetahuan tanpa manusia dan

masyarakat sebagai basis ontologisnya yang bersifat normatif.

Mengingat manusia dan masyarakat adalah sumber utama

pengetahuan, maka ilmu pengetahuan tersebu bersifat dinamis.

Istilah ontologi menunjukkan bahwa segala fenomena

pengetahuan dan keilmuan yang khas manusia itu selalu

bersumber dan dikembalian kepada kebnaran manusia sebagai

basis atau landasan ontologis-normatifna.

Di samping manusia dan masyarakat sebagai dasar

ontologi pengetahuan, juga alam alam fisik, segala wujud fisik,

segala wujud gejala alam, aktivitas dan hasil akt, aktivitas dan

hasil aktivitas maanusia di atas alam, menjadi basis ontologis

pengembangan pengetahuan (Watloy, 2013: 28). Dengan

demikian, ontologi sebagai andasan pengetahuan dalam

perspektif ilmu pengetahuan Barat adalah hal-hal yang ada

atau akan ada, yang ada di alam semesta dan alam

Page 222: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

208_Duski Ibrahim

kemanusiaan, sepanjang dapat dijangkau oleh pikiran manusia.

Dengan ungkapan lain, pemikir atau ilmuwan Barat modern

memandang bahwa hanya fisika yang dapat dijadikan objek

penelitian, atau landasan ontologis suatu ilmu pengetahuan.

Berbeda dari pemikir Barat modern yang hanya

menjadikan fisika sebagai yang dapat diobservasi atau sebagai

objek pengetahuan dan penelitian, para pemikir dan ilmuwan

muslim, berdasarkan ajaran wahyu dalam Islam, memandang

bahwa objek penelitian, bukan hanya fisika (ath-thabi‟ah),

melainkan juga nash-nash (ayat Al-Qur`an dan hadits), dan

metafisika (ma wara` ath-thabi‟ah). Banyak sekali ayat yang

menunjukan dan mengisyaratkan bahwa ada wujud al-ghaib dan

ada wujud asy-syahadah (Q. Al-An‟am: 73); Q. At-Taubah: 94 dan

105; dll), yang mempunyai substansi dan hakikat tersendiri

yang dapat diteliti, manakala paradigma yang digunakan tepat,

akurat dan berimbang.

Sebagai upaya komparasi lanjutan, pandangan di atas,

berbanding terbalik dengan pendapat para pemikir dan

ilmuwan Barat. Corliss Lamont mengatakan bahwa entitas-

entitas yang supernatural sebenarnya tidak pernah ada

(Lamont, 1959: 97). Corliss tentu saja tidak sendirian, ia

didukung oleh para pemikir atau kaum empirisis, yang dianut

oleh mayoritas ilmuwan Barat modern. Imanual Kant dan

David Hume jelas menolak cara mendapatkan ilmu selain

dengan indera. Bagi mereka, ilmu dan kebenaran hanyalah

sesuatu yang dapat diwujudkan atau diakses oleh indera

manusia. Para pemikir dan filosof besar, seperti Frued, Darwin,

Emile Durkhem, Karl Marx, Max Weber dan lain-lain sejak

semula telah menolak hal-hal yang bersifat metafisik sebagai

sumber ilmu pengetahuan. Bagi mereka pembicaraan tentang

hal-hal yang sifatnya non-empiris dalam ilmu pengembangan

pengetahuan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang non-

Page 223: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_209

sensikal, atau tidak ada manfaatnya sama sekali. Sesuatu yang

ghaib atau non-empiris benar-benar mereka singkirkan dalam

pembicaraan tentang ilmu pengetahuan, seraya memfokuskan

pada empirikal.

Terlepas dari itu, berdasarkan paradigma wahyu ilahi,

yang berbeda dari pemikir dan ilmuwan Barat, para filosof dan

ilmuwan muslim memandang bahwa keberadaan essence atau

maujudat, secara hirarkis ada beberapa tingkatan, yaitu :

Tingkat pertama adalah Tuhan (Allah), tingkat kedua adalah

malaikat, sebagai wujud murni (al-maujudah al-mujarradah),

tingkat ketiga adalah benda-benda langit (al-ka`inat as-

samawiyah), dan tingkat keempat adalah benda-benda bumi (al-

ka`inat al-`ardhiyah), berupa mineral, tumbuh-tumbuhan,

binatang dan manusia.

Dengan demikian, dalam Islam sifat ilmu itu adalah

wahdah al-„ilm (kesatuan ilmu), tidak ada dikotomi ilmu,

semuanya berasal dari Tuhan Yang Satu. Hal ini diperkuat

isyarat dalam beberapa ayat Al-Qur`an, seperti dalam Q. S. Al-

Baqarah: 31 “Dan Dia (Allah) telah mengajarkan kepada Adam

nama-nama (benda-benda) semuanya. Kemudian Q. S. Ha Mim as-

sajadah: 53: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda

(kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri,

sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur`an itu benar.....”

Kemudian, Q. S. Al-Ghasyiyah: 17-21: Maka apakah mereka tidak

memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit,

bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia

ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan. Maka berilah

peringatan. Karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang

memberi peringatan.”

Sekaitan dengan landasan „ilm al-wujud suatu ilmu, dalam

menafsirkan ayat dalam surat al-Baqarah ayat 31 di atas, Ibn

Katsir (2012. 1: 103) mengungkapkan bahwa: Allah telah

memuliakan Adam dengan mengajarinya nama-nama segala

Page 224: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

210_Duski Ibrahim

sesuatu yang tidak diajarkan kepada para malaikat ... Adam

telah diutamakan memperoleh ilmu atas mereka (para

malaikat). Sedangkan Quraish Shihab, dalam tafsirnya Al-

Mishbah mengatakan: Dia yakni Allah mengajari Adam nama-

nama benda seluruhnya, yakni memberinya potensi

pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata yang

digunakan menunjuk benda-benda, atau mengajarkannya

mengenal fungsi benda-benda.... misalnya fungsi api, fungsi

angin dan sebagainya. Kemudian nama-nama itu dikemukakan

kepada malaikat, dan mereka tidak mengetahuinya. Mereka

berkata “Maha Suci Engkau, tidak ada pengetahan bagi kami selain

apa yang telah engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau

Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Terlepas dari itu, Quraish

Shihab mengatakan bahwa dari ungkapan Sesungguhnya

Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”, mengandung

makna bahwa sumber pengetahuan adalah Allah (Quraish

Shihab, 2012. 1: 176-177).

Dalam memandang ilmu, Al-Qur`an tidaklah

meletakkannya dalam kerangka dikotomis; pada hakikatnya

tidak ada dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama atau ilmu

agama dan ilmu umum. Yang membedakannya adalah nilai-

nilai manfaat dan maslahat. Dengan ini, ilmu yang

dimaksudkan Al-Quran adalah ilmu yang dibangun atas asas

manfaat dan maslahat, bukan bertujuan untuk kerusakan (al-

fasad), dan bukan untuk kesombongan.

Munculnya pemikiran dikotomis ilmu agamawi dan

duniawi, secara historis, tampaknya salah satu konsekuensi

dari era disintegrasi. Kelanjutannya, muncul statemen bahwa

ilmu yang agamawi (ilmu-ilmu agama) harus mendapat

perhatian yang lebih ketimbang ilmu yang duniawi (ilmu-ilmu

dunia). Selanjutnya, pahala ilmu agamawi dipandang lebih

banyak dibanding ilmu-ilmu duniawi. Statemen dan

Page 225: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_211

pandangan semacam ini tentu saja tidak memiliki dasar pijakan

atau dalil yang jelas.

Selanjutnya, akibat pemikiran dikotomis di atas, maka

yang berkembang adalah produk ilmu-ilmu yang didapatkan

dan dipahami dari nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah.

Sedangkan ilmu yang dihasilkan melalui eksperimen, observasi

atau metode-metode ilmiah, tidak berkembang secara baik.

Padahal, kalau kita cermati secara teliti, bahwa dalam Islam,

ayat-ayat yang menjadi sumber ilmu itu ada yang disebut

dengan ayat-ayat qauliyah juga ada ayat-ayat kauniyah, yang

semaua itu bersumber dari Yang Satu, Allah, Tuhan semesta

alam.

Menurut petunjuk beberapa ayat Al-Qur`an, produk ilmu

yang dikenal dengan sebutan al-„ilm al-hushuli, yang uraiannya

akan dikemukakan secara agak mendalam dalam bahasan

berikutnya, seperti fisika, kedokteran, pertanian,

pertambangan, pertanahan, astronomi, geologi, biologi, sejarah,

kebudayaan dan lain-lain, adalah metodologi qur`ani dalam

upaya mengenal Allah (ma‟rifah Allah). Metodologi qur`ani yang

merupakan al-„ilm al-hushuli ini mungkin saja lebih tepat dan

lebih efektif daripada melalui ilmu kalam, umpamanya, untuk

mengenal dan menyadari adanya Pencipta, Allah. Sebab

produk ilmu semacam ini langsung bersentuhan dengan

fenomena-fenomena ciptaan Allah di langit dan bumi. Firman

Allah: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih

bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang

yang ulul albab (Ali „Imran: 190). Al-„ilm al-hushuli ini hendaklah

benar-benar harus dimanfaatkan sebagai ilm-ilmu bantu (al-

„ulum al-mu‟inah) dalam memahami ayat-ayat Allah dan

menyingkap berbagai rahasia dari berbagai fenomena-

fenomena yang terjadi.

Page 226: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

212_Duski Ibrahim

Dengan demikian, perlu dikemukakan bahwa Al-Qur`an

bukanlah sebagai Kitab „Ilmiyah, ia tidak memberikan atau

memuat kajian-kajian khusus tentang cabang ilmu tertentu,

tidak pula membahas permasalahan-permasalahan yang

kemudian dijawab dengan teori analisis ilmiah. Tetapi, Al-

Qur`an adalah realitas umum yang mencakup permasalahan

alam semesta, manusia dan Tuhan, baik langsung atau tidak

langsung. Al-Qur`an memberi apresiasi dan motivasi kepada

manusia untuk melakukan penemuan dan pengembangan

ilmu. Sehingga, „ala kulli hal, pada kenyataannya bahwa Al-

Qur`an tetap signifikan terhadap permasalahan dan

perkembangan kontemporer.

Al-Qur`an membicarakan tentang proses penciptaan

manusia. Menurut Al-Qur`an, manusia berasal dari suatu

sumber yang dari sanalah unsur badan manusia diciptakan,

melalui proses penciptaan hingga berwujud janin. Firman

Allah: Dia diciptakan dari air yang terpencar, yang keluar dari

antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan (Q. Ath-

Thatriq: 6-7). Kemudian dijelaskan oleh ayat lain yang

berbunyi: Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,

kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian

dari segumpal daging (Q. Al-Hajj: 5). Selanjutnya diterangkan

bahwa janin, sebagai rangkaian proses penciptaan manusia,

mengalami tiga kegelapan, yaitu: Kegelapan dalam perut,

kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang

menutupi anak dalam rahim. Ini dijelaskan Allah dalam Al-

Qur`an : Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi

kejadian dalam tiga kegelapan (Q. Az-Zumar: 6).

Al-Qur`an juga menerangkan pentingnya air sebagai

sumber kehidupan segala makhluk, seperti difirmankan Allah:

Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (Q. Al-

Anbiya`: 30). Coba hubungkan dengan pandangan salah

Page 227: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_213

seorang filosof alam pertama, bernama Thales, yang

memandang bahwa asal segala sesautu adalah air. Semuanya

berasal dari air, kemudian berproses menjadi berbagai macam

makhluk, sesuai dengan perkembangan dan spesifikasinya.

Tidak hanya itu, Al-Qur`an juga membicarakan tentang

kejadian hujan, langit dan bumi, tentang bulatnya bumi,

sehingga tidak semuanya mendapat kulminasi sinar matahari

(umpamanya daerah Kutub), tentang peredaran matahari tetap

berputar pada porosnya yang sangat berarti dalam kehidupan

manusia, tentang binatang dan tumbuh-tumbuhan. Al-Qur`an

juga membicarakan tentang kehidupan lebah, tentang

pasangan kehidupan tumbuh-tumbuhan dan makhluk-

makhluk lain. Allah berfirman: Maha suci Tuhan yang telah

menciptakan pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan

oleh bumi dan dari mereka maupun dari apa yang tidak mereka

ketahui (Q. Yasin: 36).

Al-Qur`an juga membicarakan tentang sarana transportasi

yang dapat dikembangkan, mulai dari kendaraan grobak, kuda,

onta, hingga kendaraan mewah yang dapat dijadikan

perhiasan. Allah berfirman: Dan Dia (tekah menciptakan) kuda,

bagal, dan keledai supaya kamu dapat mengendaraainya dan

(menjadikannya) perhiasan dan Allah menciptakan apa yang tidak

kamu ketahui (Q. An-Nahl: 8). Dengan demikian, berdasarkan

ayat ini, melalui kaidah tausi‟ah al-ma‟na, masing-masing orang

hendaklah memiliki kendaraan untuk kelancarannya

beraktivitas dalam mewujudkan kemaslahatan (li ajl al-

mashlalah) bagi masyarakat, bahkan manusia dibenarkan untuk

memiliki kendaraan yang mewah, dengan berbagai asesoris

yang lengkap.

Perlu dikemukakan, bahwa dalam Al-Qur`an disebutkan:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah

Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai

Page 228: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

214_Duski Ibrahim

agamamu....” (Q. al-Ma`idah: 3) “...Tidak suatu apapun yang Kami

luputkan dalam Kitab ini...” (Q. al-An‟am: 38). ”.. Dan Kami

turunkan Kitab (Al-Qur`an) kepadamu untuk menjelaskan segala

sesuatu ....” (A. an-Nahl: 89). Apakah benar ilmu pengetahuan

juga dijelaskan oleh Al-Qur`an?

Seperti telah disinggung, bahwa memang ayat-ayat Al-

Qur`an banyak yang membicrakan tentang fenomena alam, Al-

Qur`an banyak mengandung ayat-ayat kauniyah. Ayat-ayat

kauniyah sesungguhnya adalah dorongan-dorongan kreatif

kepada kaum muslimin untuk peduli dengan lingkungan alam

sekitarnya. Dengan kepedulian dan dilanjutkan dengan

melakukan aktivitas berpikir tentang kejadian di lingkungan

alam sekitarnya, manusia akan memahami makna yang tersirat

dalam fenomena-fenomena tersebut, ia akan memahami

fenomena turunnya hukan, akan memahami pertukaran malam

dengan siang, memhamai peredaran bulan dan matahari,

termasuk akan memahami fenomena-fenomena yang muncul

dari interaksi sosial. Selain itu, secara imani, berbagai fenomena,

terutama fenomena-fenomena alam akan menyampaikan kita

kepada pemahaman bahwa semua itu mestilah digerakkan dan

diatur oleh sesuatu yang sangat luat biasa, ia diatur oleh Tuhan

Yang Maha Pencipta.

Kendatipun demikian, janganlah kita berpikir atau

berusaha mencari penjelasan-penjelasan tentang proses deail

terjadinya berbagai fenomena tersebut dalam Kitab Al-Qur`an,

sebab ia bukanlah kitab ilmu pengetahuan. yang harus

memikirkan proses-prosesnya adalah manusia, para ilmuwan.

Dengan demikian, tidaklah benar kalau dikatakan bahwa ayat-

ayat Al-Qur`an membahas soal-soal ilmu pengetahuan.

Pandangan yang benar dan tepat mungkin bahwa ada

sebahagan ayat Al-Qur`an yang menyinggung gejala-gejala

alam, yang pada giliranny gejala-gejala tersebut dijadikan

Page 229: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_215

sebagai objek pembahasan ilmu pengetahuan. Demikian juga

umapamnya, bahwa Al-Qur`an ada yang menceritakan tentang

kisah-kisah umat zaman dahulu, yang melakukan sesuatu

untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan

akal, yang dipahami sebagai teknologi, hal itu bukanlah berarti

Al-Qur`an membahas masalah teknoogi. Namun, Al-Qur`an

adalah buku petunjuk dan pegangan keagamaan (hudan li al-

muttaqin, hudan li an-nas), yang muatannya ada menyinggung

sesuatu yang ada katannya dengan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

Kendatipun demikian, hal semacam ini telah menjadi

pembicaraan hangat di kalangan para ahli tafsir. Banyak

statemen-statemen Al-Qur`an yang sebahagiannya telah

dikemukakan di atas, yang berkaitan dengan ilmu

pengetahuan, seperti tentang alam semesta, langit dan bumi,

flora dan fauna, manusia, lautan dan daratan dan lain

sebagainya, baik fisika maupun metafisika. Dengan ungkapan

lain, banyak sekali ayat yang berkaitan dengan ilmu

pengetahuan, sehingga menimbulkan persoalan apakah ayat-

ayat kauniyah harus dihubungkan dengan masalalah ilmu

pengetahuan?

Dalam menjawab pertanyaan di atas atau merespons

fakta-fakta banyaknya ayat yang berhubungan dengan masalah

ilmu pengetahuan, para ulama dan ilmuwan muslim telah

berbeda pendapat, sebagai berikut: Pertama, sebahagian mereka

berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut harus ditafsirkan dan

dihubungtkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

telah dicapai oleh manusia. Hal ini dimaksudkan untuk

memperlihatkan kepada manusia bahwa Al-Qur`an telah lebih

dahulu mengisyaratkan tentang keberadaan ilmu pengetahuan

dan teknologi, jauh sebelum ditemukan oleh para ilmuwan.

Kedua, sebahagian ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu

Page 230: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

216_Duski Ibrahim

bahwa ayat-ayat tersebut tidak perlu ditafsrian dan dikaitkan

dengan penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebab

ayat-ayat Al-Qur`an bersifat qath‟i (pasti) sedangkan penemuan

atau teori-teori ilmu pengetahuan itu bersifat zhanni relatif).

Mengaitkan ayat-ayat kauniyah dengan teori-teori atau

penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi jelas akan

merendahkan kalam ilahi. Ketiga, sebahagian ada yang

berpendapat bahwa teori-teori ilmu pengetahuan dan sudah

pasti dan disepakati oleh para ilmuwan boleh dikatkan dengan

ayat-ayat Al-Qur`an dalam penafsirannya, tetapi teori-teori

ilmu pengetahuan yang masih zhanni (relatif) tidak boleh

dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Qur`an sama sekali. Keempat,

saya berpandangan bahwa ayat-ayat Al-Qur`an itu memotivasi

para ulama dan ilmuwan untuk meneliti tentang berbagai objek

penelitian, baik fisika (thabi‟ah) maupun metafisikan (ma wara`

ath-thabi‟ah). Di samping itu, Al-Qur`an memberi niai-nilai

terhadap berbagai penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

sehingga dalam Islam ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut

tidak boleh bebas nilai. Sejauh itu, Al-Qur`an bukanlah

kumpulan teori-teori ilmu pengetahuan atau teori-teori hukum,

teori-teori ekonomi, sejarah dan lain sebagainya. Perlu

dikemukakan, bahwa dalam aplikasi berbagai produk ilmu

haruslah disertakan suatu kesadaran spritual-keagamaan,

termasuk dalam manajemen atau pengelolaan suatu lembaga

atau institusi. Bagi umat beragama, kesadaran spritual

keagamaan semcam ini merupakan suatu keniscayaan.

Demikianlah antara lain isyarat Al-Qur`an yang meotivasi

manusia supaya terus-menerus menggali ilmu pengetahuan,

menggali lebih lanjut ilmu-ilmu yang dasar-dasarnya atau

keberadannya telah disebutkan dalam Al-Qur`an secara umum.

Oleh karena itu, masing-masing ahli di bidang keilmuwan

tertentu hendaklah terus-menerus melakukan studi mendalam

Page 231: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_217

sesuai dengan yang disebutkan dalam Al-Qur`an. Ketika Al-

Qur`an menyebutkan tentang kedokteran, maka seorang ahli di

bidang ini harus melakukan kajian empiris tentang hal tersebut.

Ketika Al-Qur`an menyebut tentang hal yang berkaitan dengan

pertanian, maka seorang insinyur atau ahli pertanian

melakukan penelitian lebih mendalam secara empiris...

demikian seterusnya.

Perlu dikemukakan, bahwa walaupun pada masa Rasul

dan Khulafa` ar-Rasyidin, landasan„ilm al-wujud belum

berkembang karena kebutuhan untuk itu belum ada, namun

secara umum seperti telah dikemukakan, Al-Qur`an telah

menyinggung tentang ilmu-ilmu tersebut dan memberi

motivasi atau dorongan kepada manusia untuk melakukan

kajian-kajian empirik dalam rangka mengungkapkan rahasia-

rahasia dari berbagai fenomena alam, keberadaan alam

memberikan kesempatan untuk dijadikan sebagai obyek

penelitian. Sumber-sumber ilmu yang dapat dimanfaatkan

dalam pengembangan ilmu memberikan motivasi kita untuk

lebih dipahami.

B. Landasan Nazhariyah al-Ma’rifah

Landasan ilmu kedua yang juga menjadi unsur penting

suatu ilmu dalam konsep Islam, disebut dengan nazhariyah al-

ma‟rifah, yaitu teori-teori dan cara-cara mendapat atau

menemukan pengetahuan, yang dalam kajian filsafat ilmu

sering dikenal dengan epistemologi. Berbeda dari para pemikir

Barat modern, para pemikir Islam mengatakan bahwa

epistemologi Islam yang dapat digunakan dalam penelitian dan

pengembangan pengetahuan adalah: membaca, berpikir,

eksperimen, penelitian, observasi, dan at-taqarrub ila Alah, yang

oleh para pemikir Islam sering direduksi menjadi metode

bayani, metode burhani, metode tajribi dan metode „irfani.

Metode-metode tersebut akan diuraikan sebagai berikut, yaitu:

Page 232: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

218_Duski Ibrahim

1. Metode Bayani

Metode bayani dimaksudkan adalah suatu metode

penelitian untuk menemukan ilmu, dengan melalui usaha

maksimal dalam membaca, memahami, mempelajari dan

mengkaji penjelasan-penjelasan dari nash-nash Al-Qur`an dan

Sunah untuk menangkap pesan-pesan yang terdapat di

dalamnya. Dengan demikian, metode bayani ini sangat

diperlukan dalam rangka memahami pesan-pesan yang

terdapat dalam wahyu, baik yang ditilawatkan (Al-Quran)

maupun yang tidak ditilawatkan (Sunnah). Di samping itu,

alasan lain diperlukan metode bayani adalah bahwa teks-teks

atau sering disebut dengan nash-nash Al-Qur`an tersebut

memiliki aspek lahir dan batin atau simbolis, yang masing-

masing mengandung pesan-pesan yang harus diungkap secara

baik dan tepat.

Pengungkapan kandungan nash-nash Al-Qur`an dan

Sunnah dengan metode bayani ini, pada prinsipnya dapat

dilakukan dengan perangkat metodologis (manhajiyah) yang

telah disusun oleh para ulama. Para ulama tafsir (mufassirun)

telah menyusun perangkat metodologis berupa rumusan

tentang kaidah-kaidah penafsiran ayat-ayat Al-Qur`an, yang

dikenal dengan Ulum al-Qur`an. Para ulama hadits

(muhadditsun) juga telah menyusun perangkat metodologis

berupa rumusan tentang kaidah-kaidah penafsiran hadits-

hadits Nabi, yang dikenal dengan, „Ulum al-Hadits. Demikian

juga para ulama ushul al-fiqh (ushuliyun) telah menyusun ilmu

Ushul al-Fiqh, yang memuat kaidah-kaidah ushuliyah atau

kaidah lughawiyah, kaidah-kaidah ma‟nawiyah dan kaidah-

kaidah fiqih.

Dalam metode bayani ini, ayat-ayat Al-Qur`an dan juga

Sunnah diklasifikasi ke dalam beberapa kategori, seperti ayat-

ayat muhkamat dan mutsayabihat. Kemudian disusul dengan

Page 233: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_219

klasifikasi dari aspek kebahasaan nash-nash Al-Qur`an dan

Sunnah. Dari aspek ini, bentuk lafazh ada yang ditinjau dari

aspek cakupan makna („amm, khash, musytarak, muthlaq,

muqayyad). Atau dari aspek cara penunjukan lafaz terhadap

makna atau hukum (dilalah al-alfaz a‟ala al-ahkam), ada yang

membaginya kepada „ibarah an-nash, isyarah an-nash, dilalah an-

nash dan iqtidha` an-nash, dan ada yang membagina kepada

manthuq dan mafhum. Ada pula yang membaginya dengan

dilalah al-muthabaqah, dilalah al-iltizam dan dilalah at-tadhammun.

Dan dari segi wudhuh al-ma‟na, ada yang disebut zahir, nash,

mufassar dan muhkam. Dan dari segi khafiy al-ma‟na, ada yang

disebut khafi, mujmal, musykil dan mutasyabih. Termasuk kajian

tentang ta‟wil. Masalah-masalah ini dibahasa dalam kitab-kitab

ilmu Ushul al-Fiqh dan „Ulum al-Qur`an.

Klasifikasi-klasifikasi di atas, dalam metode bayani sangat

diperlukan untuk menangkap pesan-pesan yang terkandung

dalam ayat-ayat al-Qur`an dan Sunnah, baik untuk memahami

masalah-masalah fiqih, teori-teori teologis, filosofis, dan akhlak,

mengingat Al-Qur`an adalah sumber bagi segala ilmu-ilmu

dalam Islam. Oleh karena itu, bagi para peneliti, dengan

penggunaan metode bayani, baik fuqaha`, teolog, filosof

maupun pemikir Islam lain, adalah suatu keniscayaan untuk

memahami konsep dari masing-masing klasifikasi nash-nash Al-

Qur`an dan Sunnah di atas.

Pada gilirannya, seperti dikemukakan oleh Muslimin

dalam Mulyadhi Kartanegara, 2012: 163-165), di era modern

dan kontemporer, metode bayani ini telah dikembangkan oleh

para pemikir Islam lebih maju dan komunikatif dengan kondisi

kekinian, bahkan keakanan. Mereka telah mencoba

menghubungkan formulasi-formulasi atau kaidah-kaidah yang

ada dalam ilm ushul al-fiqh, ulum al-Qur`an dan „ulum al-hadits

dengan kondisi kekinian yang dihadapi oleh masyarakat

Page 234: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

220_Duski Ibrahim

muslim. Upaya reformulasi tersebut umpamanya dilakukan

oleh Fazlur Rahman dengan teori double-movement-nya,

Muhammad Syahrur dengan teori hudud-nya, Ahmed an-Na‟im

dengan teori nasakh terbalik-nya.

Menurut Rahman, Al-Qur`an adalah kitab yang berisikan

prinsip prinsip dan seruan moral, bukan sebuah kitab dokumen

hukum, yang menjelaskan segala hal secara detail dan

terperinci. Karena itu, legislasi Al-Qur`an dapat diamati secara

jelas menuju kepada prinsip-prinsip atau seruan etis-moral dan

tidak dimaksudkan untuk legislasi yang bersifat quick-fixed

apalagi final (Mas‟adi, 1997: 121). Sebagai seorang pemikir

Islam, Rahman tetap beranjak dari kaidah-kaidah yang telah

dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya, sekalipun dalam

pemanfaatannya terkadang memang bergeser dari mereka.

Rahman, umpamanya tetap memanfaatkan kaidah al-„ibrah bi

„umum al-lafzh atau al-„ibrah bi khushush as-sabab, dan

memandang arti penting asbab an-nuzul dalam permusan

pemikiran hukumnya. Dari kaidah-kaidah ini, ia

mengemukakan bahwa legislasi Al-Qur`an terdiri dari dua

unsur, yaitu etika dan prinsip umum, serta praktek legal

spesifik. Prinsip umum, menurutnya, merupakan makna dan

alasan di balik ketentuan legal spesifik, seperti dalam legislasi

zakat, sebagai praktek legal spesifik, adalah sebagai upaya

untuk menciptakan keadilan sosial di bidang ekonomi, yang

merupakan makna di balik itu. Bagi Rahman, prinsip-prinsip

umum tersebut adalah seruan-seruan moral Al-Qur`an, yang

menjadi ajaran dasar Al-Qur`an.

Muhammad Syahrur, seorang pemikir Syria, telah

mengusulkan suatu teori yang dikenal dengan nazhariyah

hudud, yaitu teori batas maksimal dan minimal sebagai metode

dasar pemahaman syariah. Dalam pandangan Syahrur, ayat-

ayat Al-Qur`an mencakup tema-tema tentang batasan-batasan

Page 235: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_221

hukum Tuhan, hudud, ibadah ritual, pilar-pilar moral berupa

wasiat-wasiat, ajaran-ajaran (ta‟limat) dan ayat-ayat yang

bersifat lokal-temporal. Kita berkewajiban untuk membedakan

dan memelihara tema-tema tersebut secara terperinci. Ayat-

ayat hudud adalah dasar legislasi dan ayat-ayat ibadah menjadi

dasar ketakwaan dan simpul kesalehan pribadi (habl min Allah).

Sedangkan ayat-ayat yang berisi tentang wasiat, ajaran-ajaran

yang diawali dengan ya ayuh an Nabi, dan ayat-ayat lokal

temporal mendasari akhlak sosial (habl min an-nas).

Bagi Syahrur, melalui perbedaan dan pemilahan inilah

kita dapat memahami konsep legislasi Islam secara

komprehensif. Ia menegaskan bahwa ayat-ayat hudud berupa

dasar bagi proses legislasi, bukan hakekat dari hukum syari‟ah

itu sendiri. Ayat-ayat tersebut menjadi penegasan dari batas

maksimal dari suatu hukum, sementara ayat itu sendiri dapat

kita maknai juga sebagai ketentuan tentang garis batas

minimalnya. Menerapkan hukum tepat pada batas

maksimalnya (a‟la al-hudud) hanya dapat dilakukan dalam

kasus-kasus yang sangat ketat kriterianya. Tidak dapat kita

lakukan hanya melalui pendekatan sembarangan dan qiyas

yang tidak sama hakekat perbuatan hukum yang dilakukan

saat ini dengan saat terjadinya di masa Nabi. Karena qiyas

dengan kondisi yang berbeda, tentu saja, adalah qiyas yang

tidak sah. Adapun terhadap kasus-kasus hukum lain yang

tidak termasuk dalam ayat-ayat hudud atau batasan hukumnya

belum ditentukan Allah, kita berkewajiban untuk menentukan

sendiri batasan-batasan hukumnya. Batasan tersebut hanya

berlaku untuk suatu masa yang disepakati saja.

Ahmad an-Na‟im, seorang pemikir hukum Sudan, telah

mencoba mengusulkan teori baru dalam memahami hukum

Islam. Menurutnya, untuk kepentingan khusus pada konteks

kekinian dan keakanan, kita dapat mempertimbangkan kembali

Page 236: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

222_Duski Ibrahim

prinsip nasakh (penghapusan hukum atau teks). Ia memandang

bahwa dewasa ini sudah merupakan suatu keharusan untuk

mengembalikan fungsi ayat-ayat yang di-nasakh, manakala kita

menyelesaikan persoalan yang muncul dalam penerapan

hukum publik.

Dengan demikian, mengikuti gurunya Mahmud Thaha,

Ahmad an-Na‟im mengusulkan evolusi basis hukum Islam dari

teks masa Madinah ke teks masa Mekkah yang lebih awal.

Dengan ungkapan lain, prinsip penafsiran yang evolusioner

bertujuan untuk membalikkan proses nasakh sehingga teks-teks

yang dihapus pada masa lalu dapat dimanfaatkan kembali

dalam penerapan hukum kekinian. Ayat-ayat yang digunakan

sebagai basis syari‟ah dicabut, dan ayat-ayat yang mansukh

digunakan di‟hidup‟kan kembali sebagai basis hukum publik

modern. Produk-produk hukumnya akan tetap sama Islaminya

dengan yang ada atau dipahami selama ini.

Kalau kita cermati secara seksama, pembaharuan

pemikiran yang diusulkan oleh tiga tokoh di atas, Fazlur

Rahman, Muhammad Syahrur, Abdullahi Ahmed an-Na‟im

dan Asymawi, sesungguhnya tidak keluar dari koridor

metodologi studi hukum Islam yang menjadi tradisi Islam

klasik. Mereka itu semua, masih berkisar pada pemahaman dan

penafsiran terhadap nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah yang

menjadi icon metode naqliyah dalam formula ilmu ushul al-fiqh

dan „ulum al-qur`an. Tetapi, mereka telah mencoba dan berhasil

melakukan reformulasi kaidah-kaidah tersebut, dengan

mengaitkan dan mengkomunikasikannya dengan kondisi

kekinian juga dasar pertimbangan untuk kondisi keakanan

2. Metode Burhani.

Metode burhani adalah suatu metode penelitian atau

penemuan ilmu yang mengandalkan kemampuan berpikir

logis, dengan kaidah-kaidah tertentu yang disusun secara

Page 237: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_223

runtut dan sistematis. Metode semacam ini tentu saja dilakukan

untuk memahami suatu objek ilmu (ontologi) yang non-fisik.

Sebab itu, dalam metode penelitian ini, akal sangat berperan.

Sebab: Pertama, akal mampu memahami, bukan hanya objek

yang lain tetapi juga dirinya sendiri. Ia dapat mempersepsi

dirinya. Ia juga dapat melihat pengetahuan tentang dirinya.

Kedua, akal mampu melihat atau mempersepsi tentang hal

yang jauh dan yang dekat, karena jauh dan dekat sama saja

bagi bagi akal. Bahkan Ibn Khaldun mengatakan bahwa

lintasan akal jauh lebih cepat dari kerjap mata. Ketiga, akal

dapat dengan bebas melihat apa yang ada di balik dinding atau

tembok, akal dapat bergerak bebas seputar dunianya bahkan

tubuhnya sendiri. Keempat, akal dapat melihat atau menembus

dimensi batin dan rahasia benda-benda. Akal dapat mencari

sebab-sebab, bahkan sebab akhir. Kelima, akal mampu melihat

hal-hal yang tersembunyi, seperti sifat-sifat batin jiwa, seperti

rasa senang, bahagia, sedih, nelangsa, cinta, kekuasan,

pengetahuan dan sebagainya. Oleh karena itu, keabsahan

metode ini, selain memang berdasarkan isyarat-isyarat Al-

Qur`an, juga pada kenyataannya para ilmuwan Muslim telah

menjadikan akal sebagai alat pengetahuan, bahkan mereka

menjadikannya sebagai sumber ilmu, di samping suber lain

seperti indera dan wahyu.

Kendatipun demikian, untuk menjadikan metode burhani

ini menjadi suatu metode yang akurat dalam penemuan suatu

ilmu, haruslah dipenuhi syarat-syarat atau kaidah-kaidah

tertentu. Syarat-syarat dan kaidah-kaidah tersebut telah

dirumuskan dan disusun oleh para filosof Yunani, terutama

dalam konteks metode ini, oleh Aristotelis, yang diikuti dan

dimanfaatkan oleh para filosof Muslim, bahkan sebahagian

fuqaha`. Aristoteles telah menyusun metode berpikir ini secara

sistematis, dalam bentuk silogisme.

Page 238: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

224_Duski Ibrahim

Mengikuti para filosof Yunani, para ahli logika Muslim

telah menyusun „Ilm al-Mantiq, yang bermuatan kaidah-kaidah

berpikir yang benar, yang disebutnya hujjah „aqliyah, yang

berfungsi sebagai metode penemuan ilmu, yaitu:

Pertama, disebut khithabiyah, yakni hujjah atau metode

penemuan pengetahuan yang disusun dari proposisi-proposisi

(muqaddimat) dengan bersandar kepada orang-orang yang

dipercaya, baik sebagai atau ulama atau tokoh masyarakat.

Umpamanya, Abdul Aziz mengatakan: Kita harus terlebih

dahulu memahami kitab Matan al-Ajurumiyah, alasannya

karena menurut para ulama Nahwu, kalau kita sudah

memahaminya maka akan mudah memahami kitab-kitab lain.

Sedangkan Hijasnaini mengatakan bahwa kita harus terlebih

dahulu memahami kitab Matan al-Ghayah wa at-Taqrib,

alasannya karena para ulama besar berpendapat bahwa kalau

dasar-dasar fikih sudah dipahami maka kitab lain akan mudah

dipahami. Terlihat, bahwa baik Abdul Aziz maupun Hijasnaini

bersandar para ulama sebagai hujjah dalam mengemukakan

pengetahuannya.

Kedua, disebut syi‟ir, yakni hujjah atau metode penemuan

ilmu yang disusun dari proposisi-proposisi (muqaddimat) yang

dapat membangkitkan gairah atau perasaan seseorang.

Umpamanya: seorang ibu berkata kepada anaknya: Hai

anakku, makanlah obat ini, walaupun agak pahit tapi engkau

akan sembuh dengan cepat, sehingga dapat bermain kembali.

Ketiga, disebut burhan, yakni hujjah atau metode

penemuan ilmu yang disusun dari proposisi-proposis

(muqadimat) yang meyakinkan untuk menghasilkan sesuatu

yang meyakinkan. Hujjah atau metode ini akan dijelaskan

dalam uraian berikutnya.

Keempat, disebut jadal, yakni hujjah atau metode penemuan

ilmu yang disusun dari proposisi-proposisi (muqaddimat) yang

Page 239: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_225

terkenal, sudah diakui oleh orang banyak. Umpamanya:

Kolonel Untung anti Pancasila. Setiap yang anti Pancasila

adalah anti ideologi negara. Setiap yang anti ideologi negara

adalah pengkhianat negara. Setip pengkhianat negara adalah

pengkhianat bangsa. Setiap pengkhianat negara harus

dihukum. Kolonel Untung harus dihukum.

Kelima, disebut safsathah, yakni hujjah atau metode

penemuan ilmu yang disusun dari proposisi-proposisi yang

kelihatan benar padahal sesungguynya tidak benar (muqaddimat

wahmiyah). Umpamanya, pedagang emas emitasi mengatakan,

dengan cara yang meyakinkan, bahwa emas yang dijualnya itu

adalah emas murni, sehingga orang yang tidak mengerti akan

merasa tergiur dan tertarik untuk membelinya dengan harga

mahal.

Dari lima macam metode logika (manthiq) di atas, metode

demonstratif (metode burhani) sajalah yang dipandang para

filosof sebagai metode logika yang paling dapat dipercaya.

Sebab, metode burhani inilah logika yang kebenarannya dapat

terteruji, mengingat ia telah memenuhi unsur-unsur yang

diperlukan dalam metode berpikir yang benar.

Adapun yang dimaksudkan dengan metode burhani

adalah metode logika yang digunakan untuk menarik

kesimpulan dari premis-premis yang telah diketahui, sehingga

menghasilkan kesimpulan, berupa pengetahuan atau informasi

baru yang sebelumnya belum diketahui. Mengenai prosedur

yang harus diikuti dalam penarikan kesimpulan dengan

metode burhani tersebut adalah apa yang dikenal dengan

prosedur silogisme, yang harus memiliki beberapa bagian

pokok, yaitu: al-muqaddimah al-kubra (premis mayor) dan al-

muqaddimah ash-shughra (premis minor), al-hadd al-wasath (middel

term = kata yang berulang) dan an-natijah (konklusi =

kesimpulan) .

Page 240: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

226_Duski Ibrahim

Agenda kerjanya adalah sebagai berikut: al-muqaddimah al-

kubra (premis mayor) + al-muqaddimah ash-shughra (premis

minor) + al-hadd al-wasath (middle term) + an-natijah (konklusi

atau kesimpulan). Sebagai contoh adalah sebagai berikut:

Semua makhluk yang bernyawa akan mati

Badu makhluk yang bernyawa

Badu akan Mati

“Semua makhluk yang bernyawa akan mati” disebut al-

muqaddimah al-kubrah (premis mayor). “Badu makhluk yang

bernyawa” disebut al-muqaddimah ash-shugrah (premis

minor). “Badu akan Mati” adalah an-natijah (konklusi atau

kesimpulan). Dari ungkapan di atas, yang disebut al-hadd

al-wasath atau kata-kata yang berulang adalah “makhluk

bernyawa.” yang ketika ditarik kesimpulan harus

dihilangkan.

Menurut keyakinan para filosof, kesimpulan yang diambil

tersebut adalah benar, karena berkorespondensi dengan

kenyataan, dengan syarat bahwa premis mayor dan minornya

merupakan proposisi yang kebenarannya tidak diragukan.

Oleh karena itu, metode burhani telah diperankan dalam

perkembangan pemikiran filsafat Islam, yang hingga saat ini

masih dianggap sebagai alat yang masih bisa diandalkan,

bahkan diyakni dapat digunakan untuk memahami pemikiran

dan filsafat modern serumit apapun.

Contoh fiqih:

Semua benda yang memabukkan haram

Bir memabukkan

Bir haram

“Semua benda yang memabukkan haram” disebut al-

muqaddimah al-kubrah (premis mayor). “Bir benda

Page 241: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_227

memabukkan” disebut al-muqaddimah ash-shugrah (premis

minor). “Bir haram” adalah an-natijah (konklusi atau

kesimpulan). Dari ungkapan di atas, yang disebut al-hadd

al-wasath atau kata-kata yang berulang adalah “benda

memabukkan” yang ketika ditarik kesimpulan harus

dihilangkan.

Kesimpulan semacam ini, tentu saja diyakini

kebenarannya oleh para filosof dan para fuqha`, karena

berkorespondensi dengan kenyataan atau bersesuaian antara

premis mayor dan minornya, di mana proposisiya adalah suatu

kebenaran tidak diragukan. Sebab, premis mayornya adalah

sebuah hadits Nabi yang diyakini kebenarannya, berupa

pernytaaan nabi “kullu muskir khamrun”.

Sekaitan dengan metode burhani ini perlu dikemukakan

tentang konsep al-istidlal. Secara etimologis, al-istidlal berarti

mencari dalil atau mencari petunjuk dan pembuktian.

Sedangkan secra terminologis, al-istidlal adalah lafazh musytarak

yang mempunyai dua pengertian kontradiktif. Pertama, al-

istidlal berarti menunjukkan atau mengemukakan dalil dari

nash Al-Qur`an dan Sunnah, ijma‟ atau qiyas. Umpamanya,

dikatakan istadalla asy-Syafi‟i „ala `annahu wajibun biqaulihi ta‟ala

(asy-Syafi‟i mengemukakan bukti bahwa sesuatu itu wajib

berdasarkan firman Allah). Kedua, al-istidlal berarti suatu dalil

yang bukan nash Al-Qur`an dan Sunnah, bukan pula ijma‟ dan

qiyas (Hakim, t.t. 2: 145). „Allal al-Fasi menyatakan bahwa kata

al-istidlal biasanya digunakan untuk pengertian pengerahan

kemampuan mujtahid dalam mengeluarkan dalil-dalil dan

menyebutkan dalil-dalil tersebut, baik berupa nash, ijma‟ qiyas

dan lain-lain. Tetapi, ia juga digunakan untuk jenis pengertian

dalil tertentu yang metodenya berdasarkan akal semata-mata

(al-Fasi, 1963: 126). Dalam konteks pembicaraan tentang

Page 242: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

228_Duski Ibrahim

metode burhani ini tentu saja yang dimaksudkan adalah istidlal

dalam pengertian kedua.

Di kalangan ahli ilmu manthiq dan para ahli hukum Islam,

ada beberapa metode yang dapat dimasukkan ke dalam

kategori al-istidlal, antara lain adalah:

Pertama, disebut al-Qiyas al-iqtirani, yaitu qiyas yang

tersusun dari dua proposisi, yang manakala keduanya tidak

ada yang menentangi, maka secara otomatis muncul ungkapan

atau proposisi lain yang disebut dengan kesimpulan (natijah).

Perlu dikemukakan, bahwa disebut al-qiyas al-iqtirani karena

semua unsur qiyas itu disebutkan, baik premis mayor, premis

minor mapun kata atau frase yang berulang (hadd al-wasath).

Umpamanya: Alam berubah. Setiap yang berubah adalah baru.

Dari dua proposisi itu, muncul proposisi lain sebagai

kesimpulan (natijah), yaitu: Alam baru. Contoh lain: Kewajiban

zakat beras adalah hukum yang ditunjuk oleh al-qiyas asy-syar‟i.

Setiap hukum yang ditunjuk oleh al-qiyas asy-syar‟i adalah

hukum syara‟. Maka: Kewajiban zakat beras adalah hukum

syara‟.

Kedua, disebut lawahiq al-qiyas yang antara lain adalah al-

qiyas al-murakkab, yaitu qiyas yang tersusun dari dua qiyas atau

lebih dimana kesimpulan (natijah) masing-masingnya dijadikan

sebagai muqaddimah bagi al-qiyas selanjutnya. Umpamanya:

Hasan menghilangkan nyawa orang lain. Semua yang

menghilangkan nyawa orang lain adalah pembunuh. Natijah

atau kesimpulannya adalah: Hasan adalah pembunuh. Natijah

atau kesimpulan ini dapat dijadikan muqaddimah. Umpamanya:

Hasan adalah pembunuh. Semua pembunuh di-qishash. Natijah

atau kesimpulannya adalah Hasan di-qishash. Contoh lain:

Hasan mengambil harta orang lain dengan sembunyi-

sumbunyi. Semua orang yang mengambil harta orang lain

dengan sembunyi-sembunyi adalah pencuri. Natijah atau

Page 243: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_229

kesimpulannya adalah Hasan adalah Pencuri. Natijah atau

kesimpulan ini dapat dijadikan muqaddimah. Umpamanya:

Hasan adalah pencuri. Semua pencuri dipotong tangannya.

Natijah-nya adalah Hasan dipotong tangannya. Natijah ini

dapat dijadikan muqaddimah pula. Umpamanya: Hasan

dipotong tangannya. Semua yang dipotong tangannya tidak

dapat bekerja. Natijah-nya: Hasan tidak dapat bekerja, dan

seterusnya (ad-Damanhuri, t.t: 17; Ibrahim, 2008: 178-181).

3. Metode Tajribi

Metode tajribi adalah suatu metode penelitian atau

penemuan ilmu yang, selain memerankan kemampuan berpikir

logis, juga dilanjutkan dengan tindakan eksperimen, observasi

atau bentuk-bentuk metode yang dikenal dalam metode

penelitian ilmiah sekarang ini.

Para ilmuwan muslim telah memanfaatkan metode tajribi

ini dengan baik dan sungguh-sungguh. Mereka telah

melakukan pengamatan-pengamatan terhadap objek-objek

fisik, baik dalam level teoritis, yaitu melakukan kajian

mendalam dan kritis terhadap karya-karya ilmiah para filosof

dan ilmuwan Yunani, seperti astronomi, kedokteran dan lain-

lain, maupun dalam level level praktis, yaitu melakukan

berbagai eksprerimen untuk membuktikan benar atau salah

suatu teori tertentu atau menciptakan teori yang belum ada

sebelumnya. Umpamanya, Ibn Haitsam telah melakukan

penelitian tentang teori penglihatan langsung. Ia telah

melakukan eksperimen-eksperimen yang tepat, sehingga ia

menciptakan suatu teori pengihatan (diret vision) secara tepat

dan akurat, yang sampai saat ini masih dipertahankan, yaitu

suatu teori bahwa kita dapat melihat disebabkan adanya

cahaya yang dipantulkan oleh sebuah benda, baik oleh dirinya

sendiri, seperti matahari dan bintang, maupun cahaya yang

Page 244: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

230_Duski Ibrahim

dipantulkan dari benda lain, seperti planet dan benda-benda

yang ada di bumi.

Metode metode tajribi ini, pada gilirannya di kalangan

pemikir dan umat Islam kurang berkembang, bahkan betul-

betul memprihatinkan, suatu keadaan yang sangat jauh dari

yang diharapkan. Mengingat generasi pemikir Islam kelaluan

telah memberikan contoh yang luar biasa dalam penelitian

dengan metode tajribi ni, maka para pemikir dan ulama

generasi muda kekinian harus di-ghairah-kan kembali untuk

mencari „ilmu yang hilang itu‟ dan memaksimalkannya.

Tampaknya, dalam konteks ini, tepat kalau ungkapan al-hikmah

dhallatulmukmin telah terjadi di kalangan umat Islam.

Metode tajribi di kalangan umat Islam, berbanding

terbalik dengan para pemikir dan ahli di dunia Barat, terutama

dimulai pada abad ke 18 M. hingga sekarang dan tidak dapat

diprediksi, apakah dunia Islam akan dapat mengejar kemajuan

tersebut. Wa Allah A‟lam. Mereka telah melakukan dan

mengembangkan metode ini dengan baik, sehingga di dunia

mereka ilmu pengetahuan dan teknologi sangat maju pesat.

Memang, mereka secara perlahan telah melepaskan diri dari

metode bayani seperti terlihat dari „terpisahnya‟ gereja dengan

ilmu pengetahuan. Mereka juga melepaskan dari metode

burhani seperti terlihat „larinya‟ mereka dari „rasionalisme‟

menuju „empirisme‟, sembari memfokuskan diri para metode

ilmiah yang dalam pemikiran Islam dikenal metode tajribi.

Dewasa ini, metode penelitian atau penemuan ilmu dalam

bentuk metode ilmiah atau metode tajribi ini, sangat

berkembang pesat di dunia Barat, baik penelitian kualitatif

maupun (terutama) kuantitatif. Metode penelitian tajribi ini

telah disusun secara lebih sistematis dan runtut, seperti dapat

dilihat dalam buku-buku metodologi penelitian.

Page 245: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_231

4. Metode ‘Irfani.

Metode „irfani adalah suatu metode penelitian atau

penemuan ilmu yang mengandalkan at-taqarrub ila Allah atau

al-Ittishal bi al-ilahi, dengan melakukan langkah-langkah

tertentu, mulai dari tindakan persiapan-persiapan (isti‟dad),

dalam bentuk tazkiyah an-nafs (membersihkan diri dari segala

kekotoran jiwa) dalam rangka menyambut sinar kebenaran

yang hadir secara langsung ke dalam hati shanubari, tanpa

melalui simbol dan atau presentasi.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode „irfani

adalah dengan melalui: Takhalli min ar-radza`il, yaitu

membersihkan diri dari segala sifat-sifat dan akhlak yang

tercela (al-akhlaq al-mdzmumah). Kemudian dilanjutkan dengan

melakukan tahalli, yaitu menghiasi diri atau jiwa dengan sifat-

sifat dan akhlak yang terpuji (al-akhlaq al-mahmudah).

Selanjutnya, langkah tersebut sampai kepada tahap tajalli, yaitu

mendapatkan kejelasan dan jawaban terhadap persoalan-

persoalan yang dihadapi secara langsung.

Sedangkan teknik dalam metode „irfani ini adalah dengan

melakukan riyadhah, yaitu latihan-latihan dalam arti melakukan

amalan-amalan secara terus menerus dengan cara-cara tertentu.

Umpamanya, dengan melakukan secara rutin hal-hal sebagai

berikut: Membaca Al-Qur`an, wirid-wirid dengan asma` al-

husna, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, hauqalah, shalawat, baik secara

individu maupun secara kelompok dengan mengikuti mursyid,

seperti terlihat dalam berbagai kelompok thariqat.

Dengan langkah-langkah dan teknik-tenik tersebut di atas,

umpamanya, maka akan hadir kebenaran di dalam hati secara

langsung, tanpa melalui perantaraan apapun, baik itu berupa

simbol, konsep maupun representasi. Paradigma metodologis

semacam ini biasa dikenal sebagai epistemologi atau metode

„irfani, yang biasa digunakan oleh para sufi. Dewasa ini, dalam

Page 246: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

232_Duski Ibrahim

rangka menumbuh-kembangkan lagi aspek spiritual kaum

muslimin yang sekarang sudah semakin menjauh dan

terpengaruh dengan kapitalisme, duniawiyah, metode „irfani ini

sudah selaiknya dikembangkan secara baik, dengan

mewujudkan dan menggairahkan kembali generasi muda

melakukan cara-cara dan teknik-teknik yang dianggap dapat

mendekatkan diri kepada Allah, dengan berbagai bentuknya

yang sesuai atau minimal tidak keluar dari uswah hasanah dari

Rasul.

Perlu dikemukakan, bahwa melalui metode „‟irfani ini,

seseorang akan sampai kepada maqam untuk mendapat

pengetahuan secara langsung. Tetapi, seseorang itu tentu saja

harus melalui tahap-tahap sebagai berikut: Pertama, seseorang

itu dalam tahap mubtadi` terlebih dahulu. Dalam tahap ini, ia

mempelajari syariat, mengamalkan atau melakukan latihan-

latihan amalan-amalan yang bersifat zahiriyah dengan cara-cara

tertentu yang tidak keluar dri aturan syariat. Kedua, seseorang

itu sudah melangkah ke tahap mutawassith, yaitu tahap

pertengahan. Dalam tahap ini, ia sudah dapat melewati tingkat

mubtadi`, ia telah mempunyai pengetahuan syariat yang

memadai dan mempunyai pengalaman-pengalaman yang

cukup, sehingga ia telah mulai mdemasuki pengetahuan dan

amalan yang versifat bathiniyah, dan berlatih mensucikan diri

menuju kepada pencapaian makarim al-akhlaq (akhlak yang

mulai) dan mahasin al-„adat (tradisi yang baik). Ketiga, seseorang

itu telah sampai ke tahap muntahi atau tahap akhir, yaitu

seseorang itu telah benar-benar matang ilmu syariat, matang

ilmu fiqih dan pengamalannya, sudah menjalani thariqat dan

mendalami unsur bathiniyah, ia sudah jauh dari dosa-dosa lahir

dan dosa-dosa bathin. Orang inilah yang telah dapat dikatakan

sebagai seorang „arif, yaitu orang yang sudah mendalami

Page 247: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_233

hakikat dan dapat mendapat pengetahuan secara langsung dari

Allah.

Sekaitan dengan pendekatan at-taqarrub ila Allah atau al-

Ittishal bi al-ilahi dalam metode „irfani di atas, ada beberapa

media ilmu yang perlu dikemukakan, yaitu:

a. Tafakkur dan Dzikir

Suatu hari, Rasul bersabda: Tafakkur sa‟atin khairun min

„ibdati sanantin. Bertafakkur sesaat adalah lebih baik daripada

beribadah setahun. Bagaimana sabda Rasul ini dapat

dimaknai? Tentu ini memerlukan suatu perenungan

mendalam, supaya titah Rasul tersebut dapat dipahami

dengan baik dan benar. Sebab, sulit dimengerti orang

banyak kalau disebutkan „berpikir sesat lebih baik dari

beribadah setahun‟. Bagi seorang Ali ibn Abi Thalib,

kemenakan Rasul, ucapan Rasul itu tentu mudah untuk

dimengerti, buktinya ia mengatakan bahwa : la „ibadah ka at-

tafakkur. Tidak ada ibadah (lebih tinggi) dari tafakkur.

Untuk memahami makna hadits di atas, kita coba

untuk memahami uraian berikut. Tafakkur adalah bentuk

mashdar dari kata tafakkara-yatafakkaru-tafakkur, yang artinya

melakukan aktivitas berpikir, atau melakukan perenungan

(tadabbur) terhadap sesuatu objek tertentu. Alam semesta

adalah suatu objek perenungan material yang mengandung

informasi-informasi dan data-data yang harus dipikirkan

dan diola. Untuk mendapatkan ilmu dari alam, yang

merupakan objek material, seseorang dapat melakukannya

dengan media indera. Tetapi, hanya dengan indera

seseorang tidak akan dapat memperoleh suatu ilmu realitas

kebenaran di balik material tersebut. Untuk

mendapatkannya, haruslah melalui pendekatan tafakkur.

Tafakkur adalah suatu pendekatan atau metode mempelajari

alam semesta dengan menyertakan suatu kesadaran

Page 248: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

234_Duski Ibrahim

spiritual. Bagi peneliti muslim, tidak cukup hanya sampai

kepada benda-benda material saja, tetapi mesti sampai

kepada realitas di balik benda-benda material tersebut. Atas

dasar ini, maka seorang peneliti muslim, manakala

memikirkan alam umpamanya, hendaklah melakukan ittishal

atau menghubungkannya dengan keberadaan Tuhan. Sebab,

tujuan pendekatan atau metode tafakkur ini adalah

sampainya seorang pencari ilmu kepada Tuhan, sebagai

Pencipta. Hal ini, karena suatu pencarian realitas di balik

benda material akan berakhir pada Sang Pencipta. Nabi

sangat menganjurkan umatnya untuk selalu ber-tafakkur.

Sebab, manakala seseorang telah terbiasa melakukan

tafakkur, maka ia akan sampai kepada tingkat akuisisi, ia

akan menemukan kebenaran realitas di balik benda-benda

material. Dengan demikian, maka wajar kalau Rasul

mengatakan bahwa bertafakkiur sesaat adalah lebih baik daripada

beribadah setahun, dan Imam Ali ibn Abi Thalib mengatakan

bahwa tidak ada ibadah (yang lebih tinggi) dari tafakkur.

Sebagaimana para ilmuwan Barat, ilmuwan muslim

juga harus menguasai ilmu yang berasal dari alam.

Kendatipun demikian, berbeda dari para ilmuwan Barat,

seorang ilmuwan muslim mesti mengikutsertakan suatu

kesadaran spiritual-keagamaan dalam mengaplikasikan ilmu

pengetahuan alam tersebut. Ilmu dalam Islam tidak bebas

nilai. Ini artinya, penguasaan ilmu-ilmu yang berasal dari

alam seperti fisika, kimia, astronomi dan lain sebagainya,

bagi ilmuwan muslim merupakan suatu keniscayaan. Sebab,

umat Islam diperintahkan untuk memahami alam, dan

untuk sampai ke sana haruslah memahami ilmu-ilmu yang

berasal dari alam. Secara historis, pada masa lalu, banyak

kita temukan ulama dan pemikir Islam yang bukan hanya

ahli di bidang fiqih, namun juga ia adalah seorang astronomi

Page 249: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_235

dan fisikiawan. Kita temukan seorang ahli fiqih, sekaligus

ahli kedokteran. Bedanya, pada saat mereka bekerja sebagai

astronom atau seorang dokter, suatu kesadaran spiritual-

keagamaan juga diaplikasikan dalam pekerjaan mereka.

Untuk memperkuat logika pemahaman di atas,

menarik dikemukakan pandangan Imam al-Ghazali dalam

Jawahir al-Qur`an, yang mengatakan : Al-Qur`an hanya dapat

dimengerti setelah seseorang menguasai ilmu yang berasal

darinya. Ilmu-ilmu yang berasal dari Al-Qur`an antara lain

ulum al-Qur`an, Ushul al-Fiqh, ilm al-fiqh, ilmu al-kalam dan

lain-lain. Dengan ilmu-ilmu yang berasal dari Al-Qur`an

semacam inilah seseorang akan dapat memahami Al-Qur`an

dengan baik. Demikian juga alam hanya dapat dimengerti

manakala seseorang telah memahamai ilmu-ilmu yang

berasal dari alam, seperti ilmu fisika, kimia, astronomi,

termasuk ilmu pertanian dan kehutaaan dan lain sebagainya.

Tanpa ilmu-ilmu semacam ini, mereka tidak akan dapat

memahami alam. Untuk memahami realitas di balik alam,

maka seseorang haruslah menyertakan kesadaran spiritual.

Tafakkur adalah suatu pendekatan atau metode untuk

membaca alam semesta secara mendalam, yang

menggabungkan ilmu pengetahuan dan kesadaran spiritual.

Dalam kesadaran spiritual semacam inilah akal seseorang

yang digunakan untuk memikirkan alam akan mengembara

di perbagai tempat, dan ujungnya ia akan berakhir di ke

hadhirat Allah. Semakin banyak ber-tafakkur, pandangan

akal seseorang akan semakin tajam. Ketajaman akal

semacam inilah yang yang menjadikannya sanggup untuk

memikirkan hal-hal yang tidak dapat dipikir oleh manusia

pada umumnya. Di sisi lain, untuk memperkuat kesadaran

spiritual, seseorang haruslah dibantu dengan banyak

berdzikir, yang dapat menenteramkan hati. Allah berfirman

Page 250: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

236_Duski Ibrahim

dalam surat ar-Ra‟d: 28, yang artinya: “Ingatlah, dengan

mengingat Allah (dzikir), hati menjadi tenteram. Dengan

demikian, gabungan pendekatan tafakkur dan dzikir inilah

yang dapat membuat seorang peneliti dan pemikir muslim

memiliki kemampuan yang luar biasa dan pemahaman ilmu

pengetahuan. Lalu, apa yang dimaksud dengan dzikir?

Dzikir adalah suatu aktivitas seseorang yang

mencurahkan segala konsentrasi dan pemikirannya untuk

mengingat Allah, bahkan bukan hanya untuk mengingat,

melainkan juga memikirkan, mengagumi dan merasakan

kehadiran Allah. Ber-dzikir juga merupakan upaya seseorang

untuk menuju Allah. Seseorang yang telah membiasakan

dirinya ber-dzikir, akan merasakan kemantapan dalam

hatinya tentang kebesaran Allah, tentang kehadiran Allah

dalam setiap gerak langkahnya.

Seorang yang telah mentradisikan dzikir akan

mengalami berbagai kondisi yang tidak dialami oleh orang

yang tidak mentradisikannya. Ia akan dapat menangkap

kesan di dalam hatinya yang ditimbulkan oleh dzikir,

sehingga tanda-tanda keagungan Allah terlihat jelas olehnya.

Ia juga akan dapat mencapai kesadaran spiritual „fana` yang

dalam, sehingga dirinya lupa akan keadaannya sendiri.

Seorang yang telah mentradisikan dzikir akan membuat ruh-

nya kuat, sehingga dengan ber-dzikir dapat menguatkan akal

dalam berpikir. Dengan demikian, tafakkur dan dzikir adalah

dua metode bergabung menjadi satu, yang memungkinkan

seseorang, bukan hanya memikirkan dan memahami

informasi-informasi material yang ada, tetapi juga

menemukan tujuan di balik material dan merasakannya.

Dengan tafakkur seseorng dapat memikirkan keberadaan

ciptaan Allah; dan dengan ber-dzikir seseorang merasakan

dan meresapi keberadaan ciptaan Allah. „Ala kulli hal, bahwa

Page 251: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_237

tafakkur dan dzikir merupakan dua pendekatan dan metode

yang dapat mempersiapkan seseorang hamba untuk

mendapatkan apa yang disebut dengan ilham atau intuisi.

b. Istiqamah dan Thuma’ninah

Sebelumnya telah dijelaskan tentang dzikir, yaitu

suatu kegiatam seseorang yang dapat membentuk

konsentrasi. Ada dua karakteristik konsentrasi, yaitu:

Pertama, disebut istiqamah. Istiqamah adalah suatu

upaya seseorang untuk meluruskan pemikiran dan

prilakunya menuju satu tujuan tertentu, dan dengannya

pemikiran dan prilakunya tersebut tidak melenceng dari

tujuan tersebut. Untuk memahami konsep istiqamah ini,

marilah kita perhatikan ilustrasi sebagai berikut: Ada dua

orang yang bernama Hasan dan Ahmad dari Palembang

sedang menuju suatu kota yang telah mereka ketahui. Hasan

memilih jalan utama, yang walaupun jaraknya sangat jauh,

ditempuh waktu lama dan sangat membosankan. Ia memilih

jalan utama itu, karena merasa lebih aman dan arahnya

sudah jelas. Sedangkan Ahmad memilih jalan-jalan kecil

dengan harapan ia dapat sampai ke tujuan secepat mungkin.

Bagi Hasan, walaupun jalan yang ditempuh sangat jauh dan

melelahkan, namun kepastian tempat yang dituju terjamin.

Sedangkan bagi Ahmad, jaminan tersebut tidak berlaku,

karena jalan-jalan kecil yang ditempuhnya tersebut ada

kemungkinan baginya untuk tersesat. Terlihat, bahwa

Ahmad tidak istiqamah, sehingga dapat menciptakan

masalah baru. Lagi pula, Ahmad melakukan itu didasari rasa

tidak sabar dan ingin cepat-cepat sampai ke tujuan.

Kedua, disebut thuma‟ninah. Karakteristik konsentrasi

yang kedua, yaitu thuma‟ninah atau mantap. Seseorang yang

mempunyai sifat ini akan menyadari bahwa jalan yang jauh

dan panjang, asalkan jelas, akan dapat menyampaikannya ke

Page 252: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

238_Duski Ibrahim

tujuan. Ketidak tergesa-gesaan seseorang akan

memudahkannya dalam memfokuskan segenap

pemikirannya ke sebuah titik tertentu, sehingga menciptakan

konsentrai. Seperti inilah seharusnya sifat seorang ilmuwan

muslim dalam mencari ilmu, harus thuma`ninah. Ilmu dalam

Islam adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan

kepada orang yang ma‟siat (al-„ilm nur wa nur Allah la yuhda li

„ashi, kata Imam Waki‟). Oleh karena ilmu adalah cahaya

yang datang dari hadhirat Allah di satu sisi dan manusia

sering melakukan maksiat di sisi lain, maka adalah suatu

keniscayaan bagi seseorang ilmuwan muslim pencari ilmu

untuk tidak tergesa-gesa dalam pencariannya, hingga ia

menemukannya, karena harus disertai dengan kesadaran

spiritual dan berbarangan dengan upaya penjauhan diri dari

maksiat. Sejauh itu, tidak dibenarkan tergesa-gesa, karena

prilaku semacam itu adalah prilaku setan (al-„ajalah min asy-

syaithan), di samping akan merusak konsentrasi dan

pemikiran. Dengan demikian, pencarian suatu ilmu

diperlukan kesabaran ekstra, sekalipun menempuh jalan

sulit dan berliku-liku. Ash-shabru ka ash-shabiri, murrun fi

madzaqatihi lakin „awaqibuh ahla min al-„asal.

c. Musyahadah dan Mukasyafah

Musyahadah, secara kebahasan, adalah bentuk mashdar

dari kata syahada-yusyahidu musyahadah, yang artinya

penyaksian tentang sesuatu. Musyahadah dimaksudkan

adalah suatu keadaan (hal) dimana hati dapat menyaksikan

sesuatu atau sesuatu itu hadir di dalam hati seseorang. Sebab

itu, musyahadah juga sering disebut dengan muhadharah.

Manakala seseorang mendapatkan informasi melalui

pengalaman inderawi, lalu informasi tersebut ditelaah dan

dianalisa oleh ruh dan akal, kemudian seseorang itu

menyibukkan dirinya dengan tafakkur dan dzikir secara

Page 253: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_239

istiqamah dan thuma‟ninah, maka ia akan merasakan

kehadiran hatinya dalam tingkat konsentrasi yang tertinggi

sehingga seluruh bagian ruh dan energi yang ada tertumpu

pada pemikiran tersebut. Keadaan (hal) inilah yang disebut

para sufi dengan musyahadah atau muhadharah.

Seseorang yang telah sampai pada tingkatan

musyahadah ini, konsentrasinya sudah sangat mantap, ruh-

nya telah tertuju pada satu titik fokus, yang berakibat

sinerjitas jasad dan ruh sudah hilang. Oleh karena

konsentrasi ruh sudah full pada pemikiranya, maka jasad

tidak lagi terkontrol penuh oleh akal. Contoh dari hal atau

keadaan ini dapat kita perhatikan kisah cinta Nabi Yusuf dan

Zulaikha, yang diceritakan dalam Al-Qur`an.

Q. Yusuf: 30-31

Dan wanita-wanita di kota berkata: “isteri Al-Aziz” , menggoda

bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya),

sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat

mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan

yang nyata... Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar

cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanta itu dan

diseiakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada

masing-masing mereka sebiah pisau (untuk memotong jamuan)

kemudian dia berkata (kepada Yusuf): Keluarlah (nampakkanlah

dirimu) kepada mereka, maka tatkala wanita-wanita itu

melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupanya, dan mereka

melukai (jari) tangannya, dan berkata: Maha sempurna Allah, ini

bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat

yang mulia.....

Bersandar pada ayat di atas, diceritakan bahwa pada

suatu hari Zulaikha mengundang teman-teman

perempuannya yang suka mencemohnya karena tertarik

pada Yusuf, dengan tujuan mereka menyaksikan sendiri

Page 254: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

240_Duski Ibrahim

ketampanan Nabi Yusuf. Zulaikha menyiapkan jamuan

berupa buah yang dilengkapi pisau yang tajam. Pada saat

mereka telah berkumpul, dan mulai mengupas buah yang

telah disediakan, Nabi Yusuf disuruh memasuki ruangan.

Pada saat Nabi Yusuf memasuki ruangan, para wanita

terksima memandang ketampanan Nabi Yusuf, sampai-

sampai mereka hilang kesadaran yang berakibat memotong

jari tangan mereka sendiri. Mereka telah mencapai suatu

keadaan yang disebut musyahadah. Keadaan yang disebut

musyahadah seperti dikisahkan Al-Qur`an tentang teman-

teman Zulaikha ketika mereka terkonsentrasi kepada Yusuf,

juga dialami oleh para sufi ketika mereka sedang mengalami

fana`, seperti terlihat dari apa yang disebut dengan Syathahat,

yaitu ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia

mulai berada di pintu gerbang ittihad (Nasution, 1973: 83).

Ketika seseorang mengalami musyahadah, atau

seseorang mengalami syatahat, maka kemanakah ruh

seseorang tersebut? Jawabnya adalah pada saat itu ruh-nya

telah pergi meninggalkan jasad, terbang ke tingkat

metafisika yang lebih tinggi bersama-sama hati shanubari,

bukan hati dalam arti segumpal darah yang menempel pada

jantung manusia. Gejala semacam ini dikenal dengan isra`,

atau perjalanan, dan hal ini terkenal di kalangan para wali

atau sufi. Tetapi, isra` dalam konteks ini, menurut Ibn „Arabi,

isra` yang terjadi pada para wali, yang sangat berbeda dari

isra` yang terjadi pada Nabi. Kalau Nabi melaksanakan isra`,

dengan jasmani dan rohani, sedangkan para wali, isra` hanya

rohnya saja. Dengan demikian, sangat jelas perbedaan antara

isra` yang dilakukan Nabi dan isra` yang dialami oleh para

wali.

Pertanyaan yang muncul, bagaimana mungkin ruh

seseorang terpisah dari jasad sedangkan seseorang itu tidak

Page 255: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_241

mati? Al-Jurjani, dalam at-Ta‟rifat, mengatakan bahwa

manusia terdiri dari dua ruh, yaitu ruh insani (roh

manusiawi) dan ruh hayawani (roh hewani). Ar-ruh al-insani

adalah unsur yang halus dan cerdas yang berasal dari Allah.

Dengan ruh inilah seseorang akan dapat berpikir, merasa

dan mengetahui. Ar-ruh al-insani ini dapat berdiri sendiri, ia

tidak mesti berada dalam tubuh. Atas dasar ini, pada saat ar-

ruh al-insani seseorang meninggalkan tubuhnya, seseorang

itu tidak akan mati. Sedangkan ar-ruh al-hayawani adalah ruh

yang menempel pada jantung, yang bertugas

mendistribusikan darah ke suluruh tubuh melalui pembuluh

darah. Ruh ini tidak dapat dipisahkan dari tubuh, karena

ketika ia terpisah, jantung akan berhenti memompa darah

dan akibatnya seseorang akan mati. Ar-ruh al-hayawani hanya

meninggalkan tubuh pada saat ajal seseorang tiba. Dengan

demikian, pada saat seorang wali mengalamai isra`, berarti

ar-ruh al-insaniyah-nya lah yang terbang menuju tempat yang

tinggi, jasadnya akan tetap hidup. Perlu dikemukakan,

bahwa setelah musyahadah atau muhadharah ini, ruh seorang

pencari ilmu dan kebenaran menuju apa yang disebut

dengan mukasyafah, suatu tingkap spiritual dimana semua

hijab akan terbuka, pengetahuan dan kebenaran langsung

didapatkan dari Allah, Tuhan semesta alam. Dalam konteks

ini, Imam al-Ghazali mengatakan:

“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan

dan siapa yang menyangka bahwa kasyf (mukasyafaha) bergantung

pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat

Tuhan yang demikian luas... cayaha yang dimaksud adalah cahaya

yang disinarkan Tuhan ke dalam hati sanubari.” (Nasution, 1973:

43-44).

Dengan demikian, metode „irfani ini hanya dapat

dirasakan dan disadari secara langsung oleh seseorang yang

Page 256: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

242_Duski Ibrahim

telah menjalani maqamat dan memperolah ahwal. Maqamat

dimaksudkan adalah tahapan-tahapan yang harus ditempuh

atau dijalani oleh seseorang yang ingin berusaha untuk

berada lebih dekat kepada Tuhan. Sedangkan ahwal adalah

bentuk pelural dari hal, artinya suatu keadaan mental

seseorang yang menjalani tahapan-tahapan untuk mendekat

kepada Tuhan. Mengenai maqamat dan ahwal ini akan

dibicarakan lebih lanjut dalam uraian yang akan datang.

Terlepas dari itu, kalau kita coba analisis dengan

perspektif metode lain secara komparatif, maka tentu saja

validitas metode „irfani ini dipertanyakan. Dalam pandangan

metode bayani, validitas metode „irfani masih diragukan,

karena sangat liberal, tidak mempedomani teks-teks (nash-

nash) yang bersumber dari otoritas. Sedangkan dalam

pandangan metode burhani dan metode tajribi, validitasnya

diragukan, karena proses pencarian pengetahuan tidak

berdasarkan aturan atau kaidah atau logika dan tidak

berdasakan data empirik. Memang, metode dan

pengetahuan „irfani tidak dapat di-bayani-kan, juga tidak

dapat di-burhani- kan atau di-tajribi-kan, sebagaimana

metode dan pengetahuan bayani dan burhani dan tajribi tidak

dapat di-‟irfani-kan.

C. Landasan ‘Ilm al-“amal

Unsur pokok ketiga dari suatu bangunan ilmu dalam

Islam adalah „ilm al-„amal, yang dalam kajian filsafat ilmu

disebut dengan aksiologi. Aksiologi berasal dari bahasa Yunani

axios, yang berarti layak, pantas atau wajar. Umpamanya,

berpikir yang pantas atau bertindak yang layak. Dengan

demikian, aksiologi dapat diartikan sebagai pikiran, ilmu atau

pengetahuan tentang sesuatu yang pantas, wajar atau layak

Page 257: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_243

atau etis, yang karenanya aksiologi juga dapat disebut sebagai

pengetahuan tentang nilai atau filsafat nilai.

Dalam ilmu sosial modern, setiap masyarakat, baik yang

sederhana atau sudah relatif maju pasti, yang merupakan suatu

entitas budaya pasti memiliki sistem nilai yang pantas atau

bahkan utama baginya. Tetapi semua itu tidaklah turun dari

langit, melainkan hasil terjemahan dari problem mereka yang

didasarkan pada orientasi komunitas masyarakat tertentu.

Problem nilai dalam pengembangan teori pengetahuan,

terutama studi ilmu-ilmu sosial, masih diperselisihkan para

ahinya. Sebahagian beranggapan bahwa studi kemasyarakatan

hanya berurusan dengan realitas (reality judgement) dan bukan

berurusan dengan nilai (value judgement). Karena, penelitian

ilmiah terhadap realitas kemasyarakatan harus bebas nilai

(value free) supaya objektifitasnya terjamin.

Berbeda dari pandangan di atas, dalam Islam, setiap

pemikiran, tradisi atau adat dan budaya masyarakat, yang

merupakan kreasi mereka, memiliki nilai-nilai. Menurut Islam,

tidak ada suatu kreasi atau perbuatan yang tidak ada nilainya

dalam Islam, semuanya memiliki nilai yang waib dikonsevasi

sesuai dengan kategori-kategorinya. Dalam sistem nilai, ilmu

ushul al-fiqh mengatakan bahwa setiap tindakan manusia

haruslah masuk dalam salah satu dari kategori-kategori sebagai

berikut, yaitu: wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah.

Dalam konsep maqashid asy-syari‟ah, kategori-kategori tersebut

dapat direduksi menjadi maslahat-mafsadat atau konstruktif-

destruktif. Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa setiap

praktek dan aktualisasi dari suatu ilmu yang telah dihasilkan

melalui berbagai epistemologi yang mu‟tabar, hendaklah

berorientasi kepada al-„amal ash-shalih..

Sebelum kita didiskusikan lebih lanjut tentang „ilm al-„amal

atau aksiologi ilmu dalam Islam, perlu dikemukakan bahwa Al-

Page 258: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

244_Duski Ibrahim

Qur`an diturunkan bukan hanya untuk merespon masalah-

masalah yang berkaitan dengan agama saja, tetapi juga

merupakan babakan baru sejarah peradaban manusia. Al-

Qur`an membawa peradaban yang berusaha mengangkat

martabat manusia dengan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan

kemanusiaaan.

Tegaknya nilai-nilai kemanusiaan merupakan jaminan

langsung dari Allah untuk semua manusia di alam semesta ini,

tanpa terkecuali. Dalam surat al-Hujurat ayat 13, Allah

berfirman: “Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu

berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-

mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah

adalah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. “ (Q. Al-

Hujurat: 13).

Dengan nilai-nilai kemanusiaan inilah, harga diri dan

harkat martabat manusia akan terangkat. Firman Allah dalam

surat al-Munafiqun ayat 6, berbunyi: “Dan al-„izzah itu hanyalah

milik Allah, milik Rasul-Nya dan milik orang-orang mukmin, tetapi

orang-orang munafiq itu tidak mengetahuinya.” (Q. Al-Munafiqun:

8). Al-„Izzah dalam ayat ini adalah suatu penghargaan terhadap

martabat kemuliaan manusia, dengan memelihara hak-hak

dasar mereka dalam hidup.

Dalam rangka meningkatkan martabat kemuliaan

manusia tersebut, Islam merespon berbagai perkembangan

peradaban, dengan tetap memelihara nilai-nilai kemanusiaan.

Al-Qur`an telah memberikan respons terhadap usaha manusia

untuk lebih berkembang dan lebih maju. Dalam surat ar-Ra‟d

ayat 11, Allah befirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah

keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada

pada diri mereka sendiri.” (Q. Ar-Ra‟d: 11).

Page 259: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_245

Dari ayat di atas dipahami, bahwa perkembangan aspek

eksoteris atau persoalan duniawi memiliki pijakan yang jelas

dalam Al-Quran. Di samping itu, aspek esoteris juga mendapat

perhatian yang utama dalam Islam. Ketinggian nilai-nilai

kemanusiaan, ketinggian harga diri, ketinggian moral,

mendapat perhatian dan apresiasi yang jelas. Dalam surat asy-

Syams ayat 9, Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah

orang-orang yang mensucikan diri.” (Q. Asy-Syams: 9). Dengan

demikian, dalam Islam, harus ada keseimbangan antara

kemajuan dan pengembangan aspek eksoteris dan esoteris,

karena dua sisi kebutuhan manusia ini sama-sama memiliki

pijakan yang jelas, ada dalil kuat yang mengajarkan

keseimbangan.

Allah berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah

dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan

janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan)

duniawi....” (Q. al-Qashashash: 77). Dari ayat ini dapat ditarik

suatu pemahaman bahwa umat Islam harus berusaha untuk

melakukan keseimbangan aspek esoteris dan eksoteris.

Masalah dunia haruslah dijadikan sebagai ladang subur,

ditanami diisi dengan amal-amal saleh yang mencerminkan

habl min Allah dan habl min an-nas, untuk selanjutnya akan

dipetik di akhirat nanti, ad-dunya mazra‟ah al-akhirah. Makna

yang terkandung dalam surat al-Baqrah ayat 201: Rabbana atina

fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah wa qina „adzab an-nar

adalah hendaknya ada keseimbangan antara aspek eksoteris

atau duniawi dan aspek esoteris atau ukhrawi.

Dalam konteks kekinian dan keakanan, kebudayaan atau

peradaban Islam banyak dan akan terus-menerus bersentuhan

dengan peradaban-peradaban luar, terutama peradaban Barat.

Peradaban luar tersebut terkadang menimbulkan dampak

negatif terhadap peradaban dan kultur Islam, terutama dampak

Page 260: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

246_Duski Ibrahim

dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam menghadapi

kondisi semacam ini, seorang muslim harus mencerminkan

dirinya sebagai Al-Qur`an al-Mutaharriq, yakni Al-Qur`an yang

bergerak untuk memberikan nilai-nilai dalam rangka

memperbaiki bagian budaya-budaya yang dinilai rusak

tersebut. Dalam kaitannya dengan respons ini, berbagai

pengaruh yang ada hendaklah ditafsirkan berdasarkan hati

nurani yang bebas dari unsur-unsur subyektif, dan berdasarkan

spirit kesadaran keagamaan. Sebab, di balik unsur negatif dari

suatu budaya manapun yang harus diluruskan, ditemukan

unsur-unsur positif yang dapat dimanfaatkan dalam rangka

pengembangan peradaban Islam.

Dalam menghadapi pertanyaan tentang adopsi peradaban

„luar‟, maka pisau analisis yang dapat digunakan adalah fungsi

an-naqid al-muhaddzib dari ajaran Islam. Budaya-budaya yang

muncul, selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar

syari‟ah (ma lam yata‟aradh ma‟a ushul asy-syari‟ah) dapat

diterima dalam rangka dinamisasi gerak peradaban Islam yang

bermartabat dan berakhlak. Sejauh itu, Al-Qur`an memang

telah meletakkan prinsip dasar peradaban dan prinsip dasar

untuk memahami kultur secara benar. Sikap Islam terhadap

kebudayaan dan peradaban adalah sikap yang dinamis. Oleh

karena itu, keberadaan „urf harus diakui dalam Islam, selama

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Sekaitan

dengan ini, Rasyid Ridho (1367 H. 9: 227), ketika menafsirkan

surat al-A‟raf ayat 157 : Ya`muruhum bi al-ma‟ruf wa yanhahum

„an al-munkar (“ ... yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma‟ruf

dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar), mengatakan

bahwa al-ma‟ruf adalah sesuatu yang diakui oleh akal sehat

tentang kebaikannya dan hati yang bersih merasa senang

dengan adanya manfaat di dalamnya, pantas untuk kehidupan,

sehingga bagi orang yang berakal sehat dan inshaf tidak

Page 261: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_247

mungkin menolak atau menentangnya bila dimasukkan ke

dalam syara‟. Sedangkan al-munkar adalah sesuatu yang

diinkari oleh akal sehat dan menjadikan hati lari darinya dan

enggan untuk melakukannya. Pengertian ini juga dapat

dipahami dari makna mendalam firman Allah yang terdapat

dalam Al-Qur`an surat al-A‟raf ayat 199, yang artinya “Jadilah

engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‟ruf serta

berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” Kendatipun

melegitimasi keberadaan al-„urf, tradisi dan kebudayaan

dengan ayat-ayat di atas tidak diterima secara universal

(Zaidan, 1968: 254), namun esensi akhlak dan tradisi yang baik

tampaknya dapat ditolerer oleh makna ayat tersebut (Ibrahim,

2008: 103).

Akhlak dimaksudkan di sini mencakup makna etika dan

moral, yang dalam kitab-kitab akhlak sering disebut makarim al-

akhlaq wa mahasin al-„adat. Tiga istilah yang menggambarkan

nilai prilaku ini, sekalipun masing-masing memiliki pijakan

dan tolok ukur yang berbeda, namun obyek pembicaraannya

adalah sama yaitu tentang nilai perbuatan atau prilaku

manusia. Kalau tolok ukur etika adalah pertimbangan akal dan

kebiasan-kebiasaan, moral tolok ukurnya adalah pertimbangan

kesepakatan bersama tentang sesuatu dalam suatu komunitas

dan dalam waktu tertentu, yang terkadang juga telah

mentradisi, maka tolok ukur akhlak adalah Al-Qur`an dan as-

Sunnah. Dalam surat al-Qalam ayat 4 Allah berfirman: Wa

innaka la‟ala khluqin „azhim (Sesungguhnya engkau adalah orang

yang berakhlak mulia). Sejauh itu, tujuan Nabi diutus adalah

untuk menyepurnakan akhlak mulia. Nabi bersabda: Innama

bu‟ittu li `utimma mal-akhlaq (Hanya sesungguhnya Saya diutus

adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia). Oleh karena itu,

baik dalam perkataan, perbuatan atau prilaku, keputusan atau

persetujuan, semuanya mencerminkan substansi Al-Qur`an.

Page 262: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

248_Duski Ibrahim

Inilah makna dari ungkapan Aisyah Kana khuluquhu al-qur`an

(akhlak rasul adalah cermin Al-Qur`an), ketika menjawab

pertanyaan sahabat tentang akhlak Rasul. Nilai-nilai semacam

inilah yang dapat mengantisipasi berbagai kultur baru yang

dapat merusak umat.

Seiring dengan uraian di atas, dalam konteks kaitan

pemikiran fiqih umpamanya dengan perkembangan sosial-

budaya, perlu dikemukakan ungkapan Ibn Qayyim al-

Jauziyah, yang merespons kebudayaan dengan rumusannya:

Taghayyur al-fatwa wa ikhtilafuha bi hasab taghayyur al-azminati al-

amkinati wa al-ahwali wa al-„awa`idi wa a-niyyai....Artinya: Fatwa

hukum dan perbedaanya karena perubahan masa, tempat, kondisi,

tradisi atau kebiasaan, dan niat atau tujuan. Jauh sebelum Ibn al-

Qayyim merumuskan kaidah tentang perubahan dan perbedan

fatwa hukum, Imam asy-Syafi‟i telah memperlihatkan adanya

perubahan-perubahan pendapat fiqihnya, sehingga muncul

qaul qadim dan qaul jadid dalam pendapat fiqihnya. Imam

Syafi‟i adalah seorang ulama besar dan pendiri dari mazhab

yang dinisbatkan kepadanya, mengubah fiqihnya ketika beliau

pindah dari Irak ke Mesir. Penjelasannya sederhana, yaitu fiqih

baru itu lahir karena kondisi baru. Sebagai konsekuensi dari

contoh perubahan fiqih ini, para ulama secara umum mengakui

prinsip bahwa hukum dapat berubah seiring perubahan waktu

dan tempat, seperti yang telah diabadikan oleh Ibn Qayyim di

atas.

„Ala kulli hal, dari uraian di atas dapat disederhanakan,

bahwa untuk meng antisipasi kultur baru yang dapat

menjerumuskan generasi muda ke arah yang menyimpang,

maka paling tidak ada dua hal yang harus kita lakukan, yaitu:

Pertama, menjadikan diri sebagai al-Qur`an al-Mutaharriq,

sehingga dalam beraktivitas dan berkreasi untuk

pengembangan peradaban masyarakat atau kaum muslimin

Page 263: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_249

selalu bergerak selalu di bawah naungan ajaran Al-Qur`an

(dhau` al-Qur`an). Kedua, dalam mengembangkan dan

memajukan umat Islam di bidang intelektual, kultural,

peradaban, harus tetap berpegang kepada akhlak mulia, moral

dan etika (at-tamassuk bi makarim al-akhlaq wa mahasin al-„adat).

Kembali kepada unsur „ilm al-„amal dari bangunan ilmu

dalam Islam, bahwa ilmu-ilmu yang telah dihasilkan melalui

nazhariyah al-ma‟rifah atau epistemologi Islam seperti yang telah

diuraikan dalam bab sebelumnya, haruslah didasarkan kepada

nilai-nilai positif (al-qiyam al-ijabiyah) yang dapat membawanya

kepada apa yang disebut dengan al-„amal ash-shalih. Dengan

ungkapan lain, praktek dan aktualisasi semua ilmu yang ada

harus berorientasi kepada al-„amal ash-shalih, berdasarkan nilai-

nilai yang diambil dari petunjuk Al-Qur`an dan Sunnah. Nilai-

nilai dimaksud adalah: nilai-nilai keagamaan (a-qiyam a-

diniyah), nilai-nilai akhlak, etika dan moral (al-qiyam al-

khuluqiyah wa mahasin al-„adat), nilai-nilai kemanusiaan (al-qiyam

al-insaniyah), nilai-nilai sosial (al-qiyam al-ijtima‟iyah), nilai-nilai

estetika atau kecantikan (al-qiyam al-jamaliyah). Al-„amal ash-

shalih dengan dasar dan kriteria di atas, haruslah diarahkan

kepada pemeliharaan lima hal (al-kulliyat al-khams), yaitu:

memelihara agama (hifz ad-din), memelihara jiwa (hifz an-nafs),

memelihara akal (hifz al-„aql), memelihara keturunan (hifz an-

nasl), dan memelihara harta (hifz al-mal), baik dari aspek

mewujudkannya (fi janib al-wujud) maupun dari aspek

menafikan (fi janib al-„adam) yang akan merusaknya.

Dalam Islam, praktek dan aktivitas yang bernilai postif

atau al-„amal ash-shalih itu, sangat penting, tidak boleh hanya

sebagai wacana atau pembicaran saja. Arti penting al-‟amal ash-

shalih ini digambarkan oleh para ulama dalam perkataan

mereka yang berbunyi : al-„ilm bila „amal ka asy-syajari bi la

tsamar. Artinya: Ilmu yang tidak diamalkan sama dengan pohon

Page 264: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

250_Duski Ibrahim

kayu yang tidak berbuah. Sejauh itu, Ibn Rislan mengatakan:

Fa‟alimun bi‟ilmihi lam ya‟malan mu‟azzbun min qabli „ubbad al-

watsan, yang artinya: Seorang yang berilmu yang tidak

mengamalnan ilmunya, akan disiksa terlebih dahulu sebelum para

penyembah berhala.

Sekaitan dengan „ilm al-„amal dalam Islam, yaitu harus

dimanfaatkan, diorientasikan dan diaktualisasikan untuk al-

„amal ash-shalih, maka perlu dikemukakan tentang sikap kita

terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan

dewasa ini yang sering digunakan dan diaktualisasikan bagi

hal-hal yang negatif. Dalam hal ini, selain kita mengamalkan

dan mengahayati secara mendalam makna ayat 14 dalam surat

al-Fajr yang berbunyi: Inna rabbaka la bi al-mirdhad

(Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi), terutama bagi

orang yang sudah sampai kepada tahap kesadaran yang

memadai, juga dapat kita pedomani sebuah hadits yang

berbunyi: Man ra‟a minkum munkaran falyugahyyirhu bi yadihi fa

in lam yastathi‟ fa bi lisanihi, fa `in lam yastathi‟ fa bi qalbih,

fadzalika adh‟af al-`iman (Artinya: Siapa saja di antara kamu

melihat kemunkaran, maka hendaklah mengubahnya dengan

tangan atau otoritasnya, jika tidak mampu maka hendaklah ia

mengubahnya dengan lisan-nya, jika tidak mampu maka

hendakla ia menginkari dengan hatinya, dan itu adalah iman

yang paling lemah).

Dalam konteks ini, kita harus mempertimbangkan posisi

kita dan di lingkungan apa kita berada. Ketika kita dalam posisi

berkuasa, terutama secara politis, maka tentu kita mengarahkan

hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi dengan kekuasaan dan wewenang

kita dengan membuat aturan atau kebijakan-kebijakan. Ketika

kita menjadi orang yang mampu memberikan mau‟izah,

penjelasan yang benar, maka dilakukan sesuai dengan

Page 265: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_251

kemampuan, bi qadri mastatha‟na. Manakala kita tidak

mempunyai power atau otoritas, juga tidak kempunyai

kemampuan berbicara, memberi penjelasan, maka hendaklah

kita menginkari hal-hal yang negatif, dengan cara

membencinya di dalam hati.

Masih dalam kaitan dengan pengamalan ilmu yang ada,

kita diharapkan memberhatikan dan menghayati makna dari

suatu kaidah yang berbunyi: Ma tuqam bih al-hayat a-dunya li al-

hayat al-akhirah (asy-Syatibi, 1977.2 : 87). Artinya: Apapun yang

kita lakukan di dunia ini (melalui pemanfaatan ilmu), ada

efeknya di akhirat nanti. Tidak ada perbuatan atau perkataan

kita yang tidak dinilai di sisi Allah. Dalam surat az-Zalzalah

ayat 7 dan 8 dikatakan: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan

sebesar dzarrahpun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan

barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesrat dzarrahpun,

niscaya dia akan melihata (balasan)nya.

Sikap di atas diperkuat oleh suatu Kaidah: kullu syai`in ja`z

ma lam yata‟aradh ma‟a ushul asy-syari‟ah. Artinya: Semua sesuatu

(baik perkataan maupun perbuatan) adalah boleh dilakukan, selama

tidak bertentangan dengan dasar-dasar syari‟ah). Kaidah ini

penting, mengingat budaya dan kehidupan masyarakat Islam,

tidak akan berhenti, bahkan selalu berkembang, seiring dengan

perkembangan masyarakat pada umumnya.

D. Produk-Produk Ilmu dalam Kajian Islam

Produk-produk ilmu dimaksudkan di sini adalah ilmu

atau pengetahuan yang dihasilkan oleh metode-metode seperti

yang telah diuraikan sebelumnya. Masing-masing produk ilmu

itu memiliki metode yang tidak sama antara satu sama lain,

sekalipun tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain.

Sekaitan dengan produk ilmu ini, Ibn Khaldun (t.t: 435)

mengungkapkan sebagai berikut: Ketahuilah bahwa ilmu-ilmu

yang didalami manusia dan mereka mengerdarkannya di pelosok-

Page 266: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

252_Duski Ibrahim

pelosok, baik ilmu tahsili maupun ilmu ta‟limi, terbagi kepada dua

klasifikasi: ilmu thabi‟i („aqli) manusia, yang ia dapatkan dengan

pikiranya, dan ilmu naqli yang ia ambil dari yang menciptakannya.

Kata tahshil dan kata ta‟lim dalam ungkapan Ibn Khaldun

di atas mengandung makna mendalam, menggambarkan jenis

ilmu yang dihasilkan oleh metode penelitian yang berbeda.

Kata pertama, yaitu tahshil menggambarkan suatu ilmu yang

disebut dengan „ilmu tahshili, yaitu ilmu yang didapatkan

melalui metode tajribi yang merupakan pengembangan dari

metode burhani. Sedangkan kata ta‟lim menggambarkan suatu

ilmu yang didapatkan melalui metode bayani. Selain itu, juga

masih ada produk ilmu hudhuri yang dihasilkan oleh metode

„irfani. Masing-masing produk ilmu ini, dengan demikian,

memiliki metode yang tidak sama antara satu sama lain,

sekalipun dari sudut sumber hakiki tidak dapat dipisahkan.

Dalam sejarah peradaban Islam, secara garis besar, tiga macam

atau kategori produk ilmu inilah yang beredar di kalangan

kaum muslimin, yaitu:

1. Al-‘Ilm at-Ta’limi

Kategori pertama dari produk ilmu yang dihasilkan oleh

metode penelitian dalam kajian Islam adalah al-„ilm at-ta‟limi

atau al-„ilm al-bayani. Produk ilmu semacam ini dihasilkan oleh

metode bayani (dominan) dan burhani, melalui usaha maksimal

dalam memahami, mengkaji dan mempelajari penjelasan-

penjelasan dari nash-nash atau teks-teks Al-Qur`an dan Sunnah.

Ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh metode bayani ini, ada yang

sifatntya teoritis (nazhariyah) yang pada gilirannya dapat

dimanfaatkan sebagai prangkat dan metodologi untuk

melakukan kajian dan penelitian bidang yang lebih detail dan

rinci; dan ada yang sifatnya praktis („amaliyah) sehingga dapat

langsung dipraktekkan atau diamalkan. Dengan ungkapan lain,

produk ilmu yang dihasilkan oleh metode bayani ini ada yang

Page 267: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_253

disebut al-„ilm at-ta‟limi an-nazhari dan ada yang disebut al-„ilm

at-ta‟limi al-„amali.

Adapun al-„ilm at-talimi an-nazhari atau yang sifatntya

teoritis, antara lain adalah ulum al-Qur`an, „ulum al-hadits, „ushul

al-fiqh. Sedangkan yang sifatnya praktis („amaliyah), antara lain,

adalah ilmu fiqih. Secara kebahasaan, fiqih berarti faham atau

faham yang mendalam (al-fahm al-„amiq). Sedangkan menurut

istilah, fiqih berarti : Pengetahuan tentang hukum-hukum syara‟

yang sifatnya operasional atau praktek yang diusahakan (didapatkan)

dari dalil-dalilnya yang terperinci. Termasuk dalam kategori al-

„ilm at-ta‟limi adalah al-„ulum al-mu‟inah, yaitu ilmu yang

membantu kita memahami A-Qur`an dan Sunnah, yaitu „ilmu-

ilmu bahasa Arab, „ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu

badi`, ilmu ma‟ani, ilmu „arudh dan qawafi, ilmu qira`at dan

ilmu sastra.

Seiring dengan produk kategori al-„ilm at-ta‟limi di atas,

ada juga ilmu yang disusun dan dihasilkan melalui metode

burhani Ilmu kalam. Ilmu kalam disebut juga dengan ilmu

i‟tiqad atau pentetahuan tentang keyakinan-keyakinan. Dalam

ilmu ini ini dibahas tentang keadaan zat Allah dan sifat-sifat-

Nya, baik sifat salbiyah, tanzih, wujudiyah dan tsubutiyah. Dengan

ungkapan lain, kalau menggunakan teori sifat dua puluh, maka

yang dibahas adalah tentang sifat-sifat yang wajib bagi Allah,

sifat-sifat yang mustahil dan sifat-sifat yang ja`iz. Sedangkan

kalau menggunakan teori asma` al-husna, maka yang dibahsa

adalah tentang sifat-sifat Tuhan seperti yang telah disebutkan

dakam asma` al-husna. Sekaitan dengan bahasan tentang ilmu

kalam ini dibahas juga tentang sifat-sifat Rasul, yaitu: shidiq

(diuraikan), amanat (diuraikan), tabligh (diuraikan), fathanah

(diuraikan). Bahasan-bahasan lain yang dikaji dalam ilmu

kalam juga menyangkut berbagai hal yang terkait dengan

Page 268: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

254_Duski Ibrahim

kepercayaan-kepercayaan atau keyakinan-keyakinan, yang

secara teoritis diperselisihkan oleh para ahli.

2. Al-‘Ilm al-Hushuli atau al-‘ilm at-tahshili

Kategori kedua dari produk ilmu yang dihasilkan oleh

metode penelitian dalam kajian Islam adalah al-„ilm at-tahshili

atau al-„ilm al-hushuli.Yaitu ilmu yang dihasilkan melalui

observasi dan eksperimen dan metode-metode ilmiah lainnya.

Produk ilmu yang masuk dalam kategori ini adalah ilmu yang

dihasilkan melalui dua metode, yaitu: metode burhani dan

metode tajribi (dominan) atau metode „ilmiyah. Metode burhani

membutuhkan kemampuan berpikir logis, dengan kaidah-

kaidah tertentu. Sedangkan metode tajribi atau ilmiyah

membutuhkan kemampuan observasi dan eksperimen.

Dalam bahasa Ibn Khaldun, ilmu ini masuk dalam

kategori ilmu-ilmu „Aqliyah, baik ilmu yang berkaitan dengan

ilmu fisika („ilm ath-thabi‟i) atau yang berkaitan dengan ilm an-

nazhir fi al-maqadir, yang sekarang dikenal dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi atau sains atau scientific knowledge,

yaitu: pengetahuan yang bersifat ilmiah, yakni pengetahuan

yang dihasilkan melalui proses penelitian, pembuktian,

pengujian dan percobaan secara mendalam, sistematik, objektif

dan komprehensif dengan menggunakan berbagai metode dan

pendekatan empirik. Perlu dikemukakan, bahwa selain scientific

knowledge, ada yang disebut dengan natural sciences yaitu

seperti yang ciri-cirinya telah dikemukakan di atas, juga ada

yang disebut dengan social sciences yaitu pengetahuan yang

sifatnya subjektif, tidak pasti, seperti sosiologi, ekonomi,

sejarah dan lain sebagainya.

Banyak ilmu yang dapat dimasukkan dalam kategori al-

„ilm al-hushuli. Umpamanya, Ilmu kedokteran, ilmu biologi

ilmu pertanian, ilmu kehutanan, ilmu perkebunan, antropologi,

Page 269: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_255

sosiologi, astronomi, fulkanologi, geografi, humaniora, ilmu

ekonomi dan lain-lain.

3. Al-‘Ilm al-Ilhami /al-‘ilm al-ladunni/al-Hudhuri

Kategori ketiga dari produk ilmu yang dihasilkan oleh

metodologi penelitian dalam kajian Islam adalah al-„ilm al-

ilhami atau al-„ilm al-hudhuri atau al-„ilm at-tahdhiri atau al-„ilm al-

ladunni. Yaitu ilmu yang dihasilkan melalui pendekatan diri

kepada Allah (at-taqarrub ila Allah) atau berhubungan langsung

dengan Tuhan (al-ittishal ila al-Ilah). Produk ilmu yang masuk

dalam kategori al-„ilm al-hudhuri atau al-„ilm at-tahdhiri, atau

juga disebut dengan al-„ilm al-ladunni ini, dihasilkan melalui

metode „irfani, dengan langkah-langkah tertentu, seperti telah

dikemukakan sebelumnya, mulai dari melakukan tindakan

persiapan-persiapan (isti‟dad), dalam bentuk tazkiyah an-nafs

(membersihkan diri dari segala kekotoran jiwa) dalam rangka

menyambut sinar kebenaran yang langsung hadir ke dalam

hati, tanpa melalui simbol dan atau presentasi. Dengan

ungkapan dan pemahaman yang lebih sederhana, produk ilmu

ini adalah hasil maksimal dari pengamalan secara konsisten

dari suatu ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Tasawuf

dimaksudkan adalah suatu fitrah atau kesadaran murni yang

mengarahkan jiwa kepada amal dan kegiatan yang sungguh-

sungguh, dengan orientasi menjauhkan diri dari keduniaan

dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, untuk

mendapatkan perasaan berhubungan yang erat dengan wujud

yang muthlaq, yaitu Tuhan (Basyuni, 1969: 17-24).

Untuk mendapatkan ilmu hudhuri atau ladunni ini,

seseorang haruslah melakukan berbagai usaha melalui riyadhah

atau latihan-latihan yang dilakukan secara bertahap dan

sunguh-sungguh. Berbagai riyadah atau latihan yang dilakukan

oleh seorang salik, bertujuan untuk pembinaan mental dalam

rangka mencapai kesucian atau kebersihan diri. Tidak hanya

Page 270: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

256_Duski Ibrahim

itu, berbagai riyadhah tersebut dimaksudkan untuk mendekatan

diri kepada Allah (at-taqarrub ila Allah), bahkan ada yang ingin

bersatu dengan Tuhan.

Page 271: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_257

BAB VII EPISTEMOLOGI

A. Pengertian Epistemologi

Apa yang dimaksud dengan epistemologi? Secara

sederhana, istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani

yakni episteme yang berarti pengetahuan (knowledge), sedangkan

logos berarti ilmu atau teori (theory). Dengan demikian,

epistemologi berarti teori pengetahuan (theory of knowledge)

(Pranaka, 1987: 3-5). Senada dengan pengertian ini, dalam

Dictionary of Philosophy, disebutkan bahwa asal kata

epistemologi adalah gabungan dari dua kata, yaitu episteme dan

logos, (artinya theory). Dari gabungan dua kata tersebut, muncul

istilah epistemologi, yang diartikan sebagai cabang filsafat yang

menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan

validitas ilmu pengetahuan. Sekaiatan dengan ini, Harun

Nasution mengemukakan: Episteme berarti pengetahuan dan

Epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang (a) apa itu

pengetahuan dan (b) bagaimana cara memperoleh pengetahuan

(Nasution, 1973: 10). Perlu dikemukakan, bahwa ahli filsafat

ilmu pengetahuan pertama yang menggunakan istilah

epistemologi adalah J.E. Ferrier pada tahun 1854, dalam rangka

membedakannya dari cabang filsafat lainnya yaitu ontology

(Lubis, 20145: 31).

Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa ada beberapa

rumusan tentang pengertian epistemologi, yang masing-masing

pada hakikatnya mengarah kepada pengertian yang sama,

perbedaan hanya terlihat pada redaksinya saja. Fudyartanto,

mengatakan bahwa: Epistemologi berarti filsafat tentang

pengetahuan, atau dengan ringkas, filsafat pengetahuan.

Pranarkan dan Anton A.H. Bakker mengatakan bahwa

epistemologi adalah teori mengenai hakekat ilmu pengetahuan.

Page 272: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

258_Duski Ibrahim

Selanjutnya, menarik dikemukakan bahwa Bakker

menyamakan pengertian epistemologi dengan metodologi. Ia

mengungkapkan: Metodologi dapat difahami sebagai filsafat

ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan yang dimaksud

ini menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakekat

pengertian manusia. Miska Muhammad Amin (1983: 2), dengan

mengutip Milton D.Hunnex merumuskan bahwa epistemologi

adalah cabang filsafat yang membahas sifat dasar, sumber, dan

validitas pengetahuan” (epistemology comprises the systematic

study of the nature, sources, and validity of knowledge). Dari definisi

ini, dapat dipahami bahwa fokus pembahasan epistemologi,

antara lain, adalah: Sumber pengetahuan, objek pengetahuan,

struktur pengetahuan, teori atau kriteria kebenaran, hingga

batas dan jenis pengetahuan.

B. Sumber-Sumber Pengetahuan

Sumber pengetahuan dimaksudkan adalah apa yang

menjadi titik-tolak atau yang melatarbelakangi munculnya

pengetahuan itu sendiri. Secara historis, diskusi tentang sumber

pengetahuan Barat akan berpangkal tolak pada Plato dan

Aristoteles. Plato, yang diikuti Descartes, Spinoza, dan Leibniz

memandang bahwa sumber terpercaya bagi pengetahuan

adalah akal atau rasio. Sebab itu, mereka ini dikenal sebagai

penganut aliran rasionalisme dalam pengetahuan. Kaum

rasionalis meyakini bahwa proses pemikiran yang rasional

(abstrak) dapat menghasilkan pengetahuan dan kebenaran

fundamental, baik tentang (a) apa yang “ada” atau tentang

realitas dan strukturnya; dan (b) tentang alam semesta pada

umumnya (Bagus, 1996: 928-929). Menurut mereka, realitas dan

kebenaran tentang realitas dapat diperoleh tanpa tergantung

pada pengamatan atau pengalaman. Sebab itu, pengetahuan

semacam ini dikenal dengan pengetahuan a priori (a priori

knowledge), yakni pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui

Page 273: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_259

pengalaman empirik, melainkan berdasarkan penalaran

deduktif, logis, dan matematis.

Di sisi lain, Aristoteles yang diikuti oleh Francis bacon,

John Locke, Berkerly, David Hume memandang bahwa ilmu

pengetahuan harus didasarkan atas pengalaman empiris atau

melalui metode empiris-eksperimental, sehingga kebenarannya

dapat dibuktikan. Sebab itu, aliran ini dikenal dengan aliran

empirisme, yang dalam perkembangan lebih lanjut menjadi

aliran positivisme, yaitu suatu aliran yang membedakan antara

ilmu pengetahuan (science) dan non-ilmu melalui rumus

verifikasi dan falsifikasi.

Sekaitan dengan sumber ilmu pengetahuan, dalam

epistemologi ilmu pengetahuan Barat, aliran rasionalisme dan

empirisme ini adalah dua aliran yang paling dominan

ketimbang sumber-sumber lainnya. Kendatipun demikian,

sumber-sumber lain masih mendapatkan pengikut yang cukup

diperhitungkan. Bertrand Russell, umpamanya membedakan

dua macam pengetahuan. Pertama, pengetahuan melalui

pengalaman, antara lain diperoleh melalui (a) data inderawi,

(b) benda-benda memory, (c) keadaan internal, dan (d) diri kita

sendiri. Kedua, pengetahuan melalui deskripsi, yaitu

pengetahuan yang diperoleh melalui (a) orang lain, dan (b)

benda-benda fisik, namun bukan hasil pengamatan melainkan

konstruksi (Lubis, 2014: 34).

Menurut Jujun Suriasumantri, sumber ilmu pengetahuan

itu terdiri dari rasionalisme, empirisme, intuisi, dan wahyu.

Pendukung aliran rasionalisme berpendapat bahwa

pengetahuan yang benar harus diperoleh melalui rasio atau

penalaran. Sebaliknya, pendukung aliran empirisisme

menyatakan bahwa pengetahuan harus diperoleh melalui

pengalaman (Suriasumantri, 2000: 50). Selanjutnya, Lubis (2014:

35) dengan mengutip Honderich dan Hospers mengemukan

Page 274: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

260_Duski Ibrahim

sebagai berikut: Dalam pandangan Honderich, sumber-sumber

pengetahuan itu adalah: reason atau rasio (akal), perception

(pengalaman atau pengamatan inderawi), memory, introspection,

precognition dan lain-lain. Sedangkan Hospers berpandangan

bahwa sumber pengetahuan itu adalah: sense experience

(pengalaman inderawi), reason (akal-budi), authority (otoritas),

intuition (intuisi), revelation (wahyu) dan faith (keyakinan).

Terlepas dari itu, sumber-sumber pengetahuan Barat yang

akan diuraikan untuk selanjutnya akan disinggung dari

perspektif Islam, adalah sebagai berikut, yaitu:

1. Pengalaman.

Dalam epistemologi Barat, pengalaman adalah sumber

pengetahuan yang utama, terutama bagi aliran empirisme.

Dengan ungkapan lain, empirisme mengemukakan bahwa ilmu

pengetahuan diperoleh melalui pengalaman inderawi. Francis

Bacon (1561-1626) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu

diperoleh melalui pengalaman atau metode induksi. Menurut

aliran empirisme atau positivisme, yang membedakan antara

ilmu dan non-ilmu adalah ada-tidaknya verifikasi atau

pembuktian empiris. Kalau ada bukti empiris maka disebut

ilmu pengetahuan, sebaliknya manakala tidak ada bukti

empiris maka bukan disebut ilmu pengetahuan.

Mengenai pengalaman empiris sebagai sumber

pengetahuan, dalam Islam diisyaratkan oleh apa yang

dikemukakan oleh Khallaf. Khallaf (1968: 44) mengemukakan,

bahwa pada suatu saat Nabi pernah melihat penduduk kota

Madinah mengawinkan pohon kurma (yu`abbirun an-nakhla),

lalu ia mengisyaratkan kepada mereka untuk tidak

melakukannya, maka mereka pun meninggalkan hal itu.

Akibatnya panen kurma menjadi gagal. (Mempertimbangkan

kegagalan ini), maka Nabi berkata kepada mereka: „Abbiru,

antum a'lam bi umur dunyakum (Kawinkanlah kurma itu, kamu

Page 275: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_261

lebih mengetahui dengan urusan-urusan duniamu), suatu

ungkapan yang mengisyaratkan pentingnya pengalaman

empirik untuk pengembangan pengetahuan. Kalau kita analisis

lebih dalam dengan menggunakan kaidah ilmu balaghah, hadits

Nabi tersebut termasuk dalam kategori min ithlaq al-juz` wa

iradah al-kull (yang disebut khusus, yakni masalah

pengembangan buah kurma, tetapi yang dimaksud adalah

umum, yaitu pengembangan pertanian). Ajaran-ajaran Tuhan

yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, dengan

demikian, bukan hanya berkenaan dengan masalah agama dan

ibadah, tetapi juga banyak yang berkaitan dengan masalah

dunia yang memerlukan pemanfaatan akal dan pengalaman-

pengalaman. Dengan ungkapan lain, pengalaman empiris

dalam perspektif Islam juga dipandang sebagai sumber

pengetahuan.

2. Reason (akal)

Akal adalah salah satu sumber pengetahuan yang diakui

keberadannnya. Penalaran akal adalah proses yang harus

dilalui seorang ilmuwan dalam menarik suatu kesimpulan.

Ada hubungan yang erat antara metode dengan logika atau

penalaran, yang karenanya metode-metode ilmiah dapat juga

dipandang sebagai bagian dari logika (Baker, 1996: 12). Logika

dan metode merupakan bagian dari “tool studies” (mata

pelajaran yang berfungsi sebagai alat atau sarana untuk

memperoleh dan mengembangkan pengetahuan), sebagaimana

bahasa. Imbangannya adalah “content studies” (mata pelajaran

mengenai bahan), seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, hukum,

komunikasi, dan lain-lain.

Berkaitan dengan akal sebagai sumber pengetahuan,

dalam persspektif ajaran Islam dapat dijelaskan sebagai

berikut. Menurut Harun Nasution (1986: 48) Nabi memberikan

Page 276: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

262_Duski Ibrahim

kedudukan yang tinggi pada akal, seperti dipahami dari hadits

yang berbunyi: ad-din 'aqlun wa la din li man la 'aql lahu (agama

adalah akal, dan tidak beragama bagi orang yang tidak

mempunyai akal), suatu ungkapan yang mengajarkan

pentingnya akal dalam agama Islam, termasuk dalam upaya

pencarian pengetahuan.

Sejauh itu, Al-Qur`an memberikan penghargaan yang

sangat tinggi terhadap akal atau rasio. Banyak sekali ayat yang

menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak

berpikir dan menggunakan akalnya. Dalam membahas

masalah-masalah keagamaan, para ulama tidak hanya

berpegang pada wahyu, tetapi juga banyak bergantung kepada

pendapat akal. Akal memainkan peran penting dalam

pengembangan ilmu pengetahuan, seperti terlihat dalam

bahasan mereka tentang bidang-bidang kajian keagamaan

(Islam), seperti fiqih, tafsir, tauhid, dan terutama filsafat.

Mencermati kajian-kajian tentang masalah keagamaan, terlihat

dengan jelas bahwa akal adalah sumber pengetahuan. Dalam

pandangan Islam, akal mempunyai pengertian tersendiri dan

berbeda dari pengertian pada umumnya. Akal berbeda dari

otak, akal adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa

manusia (Nasution, 1979: 9).

3. Memory (ingatan)

Ingatan sangat penting bagi suatu pengetahuan.

Pengalaman harus didukung oleh ingatan supaya hasil

pengalaman itu dapat disusun secara logis dan sistematis, agar

menjadi pengetahuan. Dalam epistemologi Barat, terutama

aliran realisme, ingatan itu, walaupun mungkin benar, tentu

tidak akan persis sama dengan penghayatan dan pengalaman

kita di masa sekarang. Pertanyaan yang muncul, bagaimana

supaya ingatan itu dapat dijadikan landasan yang dapat

dipertanggungjawabkan bagi pengetahuan? Paling tidak, ada

Page 277: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_263

dua syarat supaya ingatan itu dapat dijadikan sumber

pengetahuan, yaitu : Pertama, perlu ada kesaksian orang lain

yang membenarkan ingatan dan pengalaman seseorang di

masa lalu. Kedua, ingatan itu konsisten dan bernilai pragmatis,

yakni diperlukan untuk membantu dalam menyelesaikan suatu

masalah.

Demikian juga Islam memandang bahwa memory atau

ingatan adalah salah satu hal yang dianggap sangat penting

dalam menemukan pengetahuan yang pasti. Dalam Al-Qur`an

masalah memory atau ingatan sebagai sumber pengetahuan

telah diabadikan dalam surat al-Baqarah ayat 282, ketika

membicarakan perlunya ada saksi dalam melakukan suatu

transaksi supaya saling mengingatkan dan membenarkan akan

adanya transaksi tersebut. Allah berfirman: “.....Dan

persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika

tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki

dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai

dan para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang

seorang lagi mengingatkannya” (Q. Al-Baqarah: 282). Jelas sekali,

bahwa memory atau ingatan sangat penting, dengan adanya

perintah perlunya saksi dalam transaksi, supaya kalau memory

seseorang itu hilang atau ingatannya lupa maka diperkuat oleh

para saksi tersebut. „Ala kulli hal, Islam mengakui ingatan atau

memory itu sebagai sumber pengetahuan.

4. Introspection (Introspeksi)

Sebagai sumber pengetahuan, instrospeksi dapat

membantu manusia memperoleh pengetahuan atau

pemahaman terhadap sesuatu, dengan cara melihat ke dalam

dirinya. Inilah makna yang terkandung dalam ungkapan

Socrates “kenalilah dirimu sendiri”. Pada abad modern, metode

introspeksi ini digunakan Freud untuk meng-observasi ke

dalam pikiran atau mental seseorang atau ke dalam diri sendiri.

Page 278: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

264_Duski Ibrahim

Ia menggunakan metode introspeksi dan interpretasi untuk

psikoanalisisnya. Kendatipun demikian, ada sebahagian

ilmuwan (pendukung aliran behaviorisme) tidak mau

menggunakan metode ini pada psikologi, dengan alasan tidak

ilmiah, tidak objektif dan tentu saja tidak terukur.

Berkaitan dengan introspeksi, Nabi Muhammad saw

mengajarkan : “istafti qalbak” (minta fatwalah kepada hati

nuranimu). „Umar ibn al-Khaththab mengatakan, “Hasibu qabla

an tuhasabu” (perhitungkanlah sebelum kamu diperhitungkan).

Demikian juga Islam mengajarkan “I‟rif nafsak” (kenali

dirimu).” Man „arafa nafsahu fa qad „arafa brabbah” (siapa yang

mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhan-nya), dan lain-

lain hadits yang mengandung makna introspeksi diri.

5. Intuition (Intuisi)

Intuisi adalah suatu kemampuan rohani untuk mengenal,

memahami dan menyimpulkan sesuatu secara mendalam,

tanpa inferensi logis (deduksi-induksi). Intuisi merupakan

kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan secara tiba-tiba

dan secara langsung, intuisi inderawi maupun intuisi

intelektual. Intuisi inderawi timbul sebagai hasil pengamatan

atau pengalaman. Umpamanya, pengalaman Archimedes

manakala ia merasakan berat badannya berkurang ketika ia

masuk ke kolam renang, secara tiba-tiba ia langsung

menemukan jawaban atas apa yang dipikirkannya, sehingga ia

berlari dan bertetiak, “Eurika, Eurika” (artinya: telah ku

temukan) (Bagus, 1996: 364-365).

Berkaitan dengan intuisi, dalam Islam jelas diakui dengan

adanya konsep ilham. Mulyadhi Kartanegara, seorang ahli

filsafat kenamaan, mengatakan, intuisi dipercaya mampu

memahami banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh akal. Ia

mengungkapkan: Ketika akal tidak mampu memahami,

wilayah kehidupan emosional manusia, intuisi atau hati

Page 279: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_265

kemudian dapat memahaminya. Ketika akal hanya berkutat

pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos ke alam

ketidaksadaran atau alam ghaib, sehingga mampu memahami

pengalaman-pengalaman non-inderawi, termasuk pengalaman-

pengalaman mistik atau religius (Mulyadhi Kartanegara, 2003:

28).

6. Authority (Otoritas)

Authority (otoritas) mengacu pada seseorang atau

kelompok yang dianggap memiliki pengetahuan dan memiliki

legitimasi sebagai sumber pengetahuan. Namun, otoritas juga

dapat bermakna negatif, manakala otoritas itu bersifat

dominasi, hegemoni, menindas dan otoritasnya tidak sah.

Otoritas ini dapat merambah kepada dunia politik, kehidupan

religius dan moral. Dalam kehidupan masyarakat pra-ilmiah

dan pada masa Abad Pertengahan otoritas ini memegang peran

penting sebagai sumber pengetahuan. Sedangkan pada masa

Modern otoritas itu kemudian beralih melalui justifikasi ilmiah.

Dalam perspektif Islam, keberadaan otoritas seperti yang

dipegangi dalam epistemologi Barat, jelas terlihat dalam

pandangan tentang otoritas pendapat-pendapat para sahabat

Nabi yang dijadikan pegangan dalam pengetahuan, demikian

juga otoritas para imam mujtahid dan para ulama besar yang

telah banyak menghasilkan ide-ide dan gagasan-gagasan yang

dianggap memiliki otoritas di kalangan atau komunitas

muslim, dengan intensitas yang beragam.

7. Extra Sensory Perception (ESP)

Extra Sensory Perception (ESP), artinya penyerapan atau

perolehan pengetahuan tidak melalui indera yang dikenal

(Handbook of parapsychology: 926). Ada sebagian orang yang

dianugerahi Tuhan daya pencerapan tambahan, bersifat

istimewa yang membuat mereka dapat menangkap dan

Page 280: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

266_Duski Ibrahim

mengetahui hal-hal yang tidak dapat ditangkap atau diketahui

oleh orang kebanyakan yang hanya mempunyai indera biasa.

Extra Sensory Perception tediri dari:

a. Prakognisi (Precognition). Prakognisi diartikan sebagai suatu

kemampuan seseorang untuk mengetahui sesuatu peristiwa

yang akan terjadi. Umpamanya, Mosradamus, seorang yang

namanya secara tiba-tiba menjadi terkenal karena memiliki

kemampuan prakognisi ini. Ia mampu memberi peringatan

akan terjadinya gempa bumi di San Fransisco, dan juga

mengemukakan akan terjadinya pembunuhan pada Presiden

Jhon F. Kennedy, jauh sebelum terjadinya peristiwa nyata

tersebut.

b. Telepati (Telepathy). Telepati adalah kemampuan seseorang

berkomunikasi tanpa menggunakan suara atau tanpa

menggunakan bentuk simbolik lain, melainkan hanya

menggunakan kemampuan mental. Umpamanya, seseorang

yang dapat mengetahui pikiran orang lain tanpa

menggunakan salah satu bentuk komunikasi. Telepati

berbeda dari fantasi dan ilusi (illusion). Fantasi adalah

kemampuan atau daya untuk membayangan sesuatu, yang

sebenarnya tidak real atau tidak mungkin terjadi. Sedangkan

ilusi adalah “ide” atau “keyakinan” atau keadaan yang salah

tentang sesuatu. Ilusi itu dapat diciptakan oleh seorang

pesulap atau magician. Seorang pesulap atau magician dapat

menciptakan kesan (yang keliru) di mata penonton

sedemikian rupa sehingga ia seolah-olah dapat memotong-

motong bagian badan dan menyatukannya kembali.

c. Mind reading. Bagian dari Extra Sensori Perceptioan adalah

mind reading, yaitu seseorang dapat membaca atau

mengetahui apa yang ada dalam pemikiran orang lain.

d. Clair voyance. Clearvoyance adalah kesanggupan melihat apa

yang biasanya tidak dapat dilihat oleh orang lain (F.Gudas, :

Page 281: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_267

59). Atau clairvoyance adalah kemampuan seseorang

mempersepsi tanpa menggunakan indera. Seorang ahli

nujum yang mampu mengetahui barang Anda yang hilang

beberapa hari lalu, maka berarti orang ini memiliki

kemampuan Clairvoyance. Contoh yang menarik adalah

pencarian seseorang yang disembunyikan dengan jarak

beberapa kilometer dan kemudian dicari dengan berjalan

kali sambil mata tertutup, seperti yang pernah dilakukan

oleh Dedi Corbusier, seorang magician Indonesia yang

terkenal itu. Contoh lain, Prof Van Praag menyatakan

tentang seorang anak, yang setelah beberapa lama melihat

hal-hal yang luar biasa melalui clair voyance, mendengar

suara mengatakan: Kami ingin memperkenalkan alam lain

itu kepadamu, tetapi sekarang telah cukup apa yang engkau

lihat. Sekarang telah tiba masanya engkau memperhatikan

alammu sendiri. Selanjutnya, Wim Koesen menyatakan

keadaan Ze Arigo, seorang petani buta huruf di Brazilia

yang dianugerahi Tuhan kesanggupan mengobati orang

dengan jalan operasi. Dokter-dokter turut menyaksikan

operrasi-operasi yang dilakukannya. Pada saat melakukan

operasi itu, ia mendengar suara di telinga kanannya dan

suara inilah yang dipedomaninya. „Tanpa suara itu ia

kembali menjadi petani buta huruf yang tak dapat menulis

namanya sendiri”. Dalam Oxford Advanced Leaner‟s

Dictionary, hal. 255 disebutkan: Clair-voy-ance : “The power

that some people are believed to have to be able to see future events

or to communicate with people who are dead or far away.”

e. Clair audience. Clair audience adalah kesanggupan mendengar

apa yang biasanya tidak dapat didengar oleh orang lain.

(Broad, 1962: 303-304). Prof. Tenhaef menceritakan keadaan

seorang ibu di rumah mendengar anaknya yang berada jauh

dan dalam kesulitan meminta pertolongan dengan

Page 282: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

268_Duski Ibrahim

memanggil “Ibu”. Ayahnya yang berada di tempat lain, juga

mendengar suara demikian. Kemudian ternyata bahwa anak

itu memang menghalami kesulitan dan memang berseru:

“Ibu”.

Dalam kajian epistemologi Islam, apa yang disebut Extra

Sensory Perception (ESP), yakni penyerapan atau perolehan

pengetahuan tidak melalui indera yang dikenal, bukanlah hal

yang baru dan perlu disanksikan keberadaannya. Sebab konsep

semacam itu, sama dengan apa yang disebut ilmu hudhuri atau

ilmu ladunni. Menurut Imam al-Ghazali, ilmu hudhuri atau ilmu

ladunni adalah suatu ilmu yang diperoleh langsung dari sisi

Allah. Sebab itu, di dunia Barat sering disebut dengan istilah

knowledge by presence (pengetahuan representasional atau

pengetahuan yang langsung hadir ke hati sanubari seseorang).

Selanjutnya al-Ghazali mengatakan, bahwa ada tiga teori untuk

memperoleh ilmu hudhuri atau ladunni tersebut, yaitu: Pertama,

ilmu tersebut dapat diperoleh melalui suatu anugerah dari

Allah. Kedua, ilmu tersebut diperoleh dari hasil riyadhah yang

benar atau latihan yang sungguh-sungguh, dengan melalui

proses mendekatkan diri kepada Allah. Ketiga, ilmu tersebut

diperoleh melalui tafakkur atau perenungan mendalam, melalui

media khusus yang valid, yaitu hati sanubari (al-Ghazali, : 48-

59). Dengan demikian, Extra Sensory Perception (ESP), dengan

berbagai bentuknya di atas, dalam kajian Islam, sesungguhnya

identik atau sama dengan apa yang dipahami sebagai ilmu

hudhuri.

8. Wahyu.

Berkaitan dengan wahyu, sebagai sumber pengetahuan

dalam epsitemologi Barat, seperti yang diungkapkan oleh

Hosper dan diperkuat oleh Jujun Suriasumantri, berbanding

terbalik dengan perspektif Islam. Artinya, sekalipun di Barat

Page 283: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_269

wahyu juga diakui oleh sebagian ilmuwan sebagai sumber

pengetahuan, tetapi tidak se-power pengakuan Islam.

Secara kebahasaan, kata wahyu adalah bahasa Arab al-

wahyu, yang berarti suara, kecepatan, bisikan, isyarat, tulisan

dan kitab. Secara teknis, al-wahyu diartikan sebagai:

pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.

Pengertian yang lebih dikenal, al-wahyu adalah apa saja yang

disampaikan Tuhan kepada para nabi. Dengan ungkapan lain,

al-wahyu adalah penyampaian firman Tuhan kepada orang-

orang pilihan-Nya (al-mushthafa) untuk diteruskan kepada

umat manusia agar dijadikan pedoman hidup mereka sehari-

hari. Sebagai pedoman, al-wahyu mengandung ajaran dan

petunjuk yang diperlukan manusia, baik berkenaan kebutuhan

dengan masalah dunia maupun hidup di akhirat nanti. Dalam

Islam, al-wahyu yang dijadikan pedoman atau petunjuk bagi

manusia (hudan li an-nas) terkumpul dalam suatu kitab yang

dikenal dengan Al-Qur`an. Al-Qur`an didefinisikan dengan:

Kalam Allah yang berbahasa Arab yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril, yang

diriwayatkan secra metawatir, dan membacanya adalah ibadah.

Sekaitan dengan komunikasi antara Tuhan dan manusia,

dijelaskan Al-Qur`an dalam surah asy-Sura ayat 5, yang

artinya: “Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali

dengan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan

seorang utusan, untuk mewahyukan apa yan Ia kehendaki dengan

seizinnya. Sungguh Ia maha Tinggi dan Maha Bijaksana (ays-Syura:

51). Berdasarkan kaidah „ibarah an-nash, ayat di atas dapat

dipahami bahwa ada tiga cara komunikasi Tuhan dengan para

nabi. Pertama, melalui wahyu dalam bentuk ilham yang

langsung disampiakan ke dalam hati sanubari seorang

manusia. Kedua, disampaikan melalui belakang tabir

Page 284: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

270_Duski Ibrahim

sebagaimana yang terjadi pada Nabi Musa. Ketiga, melalui

utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.

Firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi

Muhammad yang terkumpul dalam Al-Qur`an adalah dalam

bentuk ketiga, yaitu melalui tusan berupa malaikat Jibril. Hal

ini dijelaskan dalam surat asy-Syu‟ara` ayat 192-195; surat an-

Nahl ayat 102; dan surat al-Baqarah ayat 97, sebagai berikut:

“Sesungguhnya Al-Qur`an diturunkan oleh tuhan semesta

alam, dibawa turun oleh ar-ruh al-amin (Jibril), ke dalam hati

sanbarimu (Muhammad) agar kamu memberi peringatan

(kepada manusia), dalam bahasa Arab yang jelas” (Q. asy-

Syu‟ara`: 192-195).

“Katakanlah: Roh Suci menurunkannya dari Tuhanmu dengan

sebenarnya, untuk memantapkan (hati) orang-orang yang

beriman dan untuk menjadi petunjuk dan berita gembira bagi

orang-orang Muslim” (Q. an-Nahl : 102).

“Katakanlah: Barangsiapa memusuhi Jibril, maka ialah yang

menurunkan (Al-Qur`an) ke dalam hati sanubarimu dengan

seizin Allah, dengan membenarkan apa yang diturunkan

sebelumnya dan untuk menjadi bimbingan dan kabar gembira

bagi orang-orang yang beriman” (Q. al-Baqarah ayat 97).

Adanya komunikasi antara Tuhan yang bersifat imateri

dengan manusia yang bersifat materi diakui oleh para filosof

dan sufi. Dalam filsafat emanasi dipahami bahwa akal manusia

(filosof) yang telah mencapai derajat perolehan (al-„aql al-

mustafad) dapat mengadakan hubungan dengan Akal

Kesepuluh, yang dalam pandangan Ibn Sina adalah Jibril.

Komunikasi itu dapat terjadi karena akal al-„aql al-mustafad telah

sangat terlatih dan memiliki daya tangkap yang sangat kuat,

sehingga mampu menangkap hal-hal yang bersifat abstrak.

Page 285: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_271

Berbeda dari filosof, komunikasi antara Tuhan dengan seorang

Nabi dilakukan bukan melalui al-„aql al-mustafad, tetapi melalui

akal dalam derajat materil (al-„aql al-hayulani). Seorang Nabi,

menurut Ibn Sina, dianugeraihi Tuhan akal yang mempunyai

daya tangkap luar biasa sehingga tanpa latihan ia dapat

berkomunikasi langsung dengan Jibril. Akal semacam itu

mempunyai kekuatan suci dan diberi nama hadas. Tidak ada

akal yang lebih kuat dari akal semacam itu, dan hanya nabi-

nabi yang memperoleh akal yang sedemikian kuat. Akal yang

memiliki kekuatan suci semacam itulah yang membuat seorang

nabi dapat mengadakan komunikasi dengan Jibril sebagai

utusan dari Tuhan. Filosof yang memiliki al-„aql al-mustafad

lebih rendah dari nabi yang memperoleh akal materil (hadas).

Dengan ungkapan lain, filosof tidak dapat menjadi nabi. Nabi

tetaplah pilihan Tuhan. Filosof hanya dapat menerima ilham,

sedangkan wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi (Pasya,

1945: 71).

Berbeda dari para filosof, menurut para sufi bahwa

komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui dzauq

(daya rasa yang berpusat di hati sanubari). Kalau filosof

mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan

perhatian pada hal-hal yang murni abstrak, maka sufi

mempertajam dzauq (daya rasa atau hati sanubarinya) dengan

menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan

usaha pada pensucian jiwa. Dengan banyak beribadat,

melakukan shalat, puasa, membaca Al-Qur`an dan mengingat

Allah, maka sufi dapat menerima cahaya yang dipancarkan

Tuhan. Dalam tasawuf, dikenal tingkatan ma‟rifat, di mana

seorang sufi dapat melihat Tuhan dengan hati sanubarinya dan

dapat berdialog dengan Tuhan. Sebagaimana filosof,

komunikasi sufi dengan Tuhan juga tidak sampai mendapat

Page 286: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

272_Duski Ibrahim

wahyu, melainkan ilham. Sekali lagi, wahyu hanya khusus bagi

para nabi (Pasya, 1945: 71).

Manakala komunikasi antara orang-orang tertentu (filosof

dan sufi) dengan Tuhan bukan suatu hal yang mustahil, maka

adanya wahyu (melalui komunikasi nabi dengan Tuhan) bukan

pula hal yang tidak dapat diterima akal. Seperti telah disebut,

wahyu yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad

saw. melalui Jibril adalah berbentuk Al-Quran. Al-Qur`an

mengandung firman Tuhan dan wahyu, seperti dinyatakan

dalam beberapa ayat di atas, diturunkan dalam bahasa Arab

yang jelas (bi lisanin „arabiyyin mubin). Ayat-ayat Al-Qur`an

dengan demikian merupakan firman Tuhan, baik isi maupun

kata-katanya. Dengan ungkapan lain, teks Arab yang

bermuatan isi dan arti-arti itu adalah diwahyukan kepada Nabi

Muhammad saw. melalui Jibril. “... baik jiwa maupun kata-

kata, baik isi maupun bentuknya adalah suci dan

diwahyukan”, demikian Sayyed Hoessein Nasr (1975: 42).

Sebagaimana pakar-pakar Islam, para Orientalis juga

banyak menulis tentang konsep wahyu yang disampaikan

kepada Nabi Muhammad saw. Tor Andrae (1960: 48),

umpamanya menulis, bahwa ada dua bentuk wahyu, yaitu:

Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory).

Wahyu dalam bentuk ini merupakan suara yang berbicara ke

telinga ataupun ke hati sanubari seorang Nabi. Kedua, wahyu

yang diterima melalu penglihatan (visual). Wahyu dalam

bentuk kedua ini merupakan pandangan dan gambaran,

terkadang jelas sekali, tetapi biasanya samar-samar. Wahyu

dalam bentuk pertama di ataslah yang diterima oleh Nabi

Muhammad saw., dan suara yang didengar itu menurut

keyakinan beliau berasal dari Jibril. Dalam upaya memperkuat

analisisnya itu, Tor Andrae mengemukakan ayat al-Qur`an

(surat al-Qiyamah: 16-19), yang berbunyi:

Page 287: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_273

“Janganlah engkau tergesa-geas menggerakkan lidahmu,

sesungguhnya Kami akan mengumpulkan dan akan

membacakannya. Kalau telah Kami bacakan, ikutilah bacaannya.

Kemudian Kamilah yang akan menjelaskannya.”

Dalam ayat ini dipahami bahwa Nabi, pada saat

mengikuti suara yang didengar, tergesa-gesa menggerakkan

lidahnya untuk mengucapkan kata-kata yang didengar.

Namun, ia diingatkan supaya pelan-pelan dan tidak tergesa-

gesa, agar jangan salah dengar. Ia harus dengan diam dan

tenang menunggu suara yang diucapkan untuk diikuti dan

diingat.

C. Sumber-Pengetahuan Perspektif Al-Qur`an

Adanya sub bab judul khusus mengenai sumber

pengetahuan perspektif Al-qur`an ini bertujuan untuk lebih

memperdalam materi tentang sumber-sumber pengetahuan

berdasarkan pernyataan-pernyataan dari Al-Qur`an itu sendiri.

Sebagaimana para ilmuwan muslim, saya memandang bahwa

Al-Qur`an telah mengisyaratkan tentang berbagai macam

pengetahuan. Oleh karena itu, pada hakikatnya ilmu

pengetahuan dan teknologi tersebut bersumber dari Yang

Maha Satu, Allah SWT. Mengingat ilmu itu berasal dari Allah

Yang Maha Baik, maka ia harus dimanfaatkan untuk „amal saleh,

yaitu untuk tujuan ibadah dan mendekatkan diri kepada-Nya,

serta menjadi solusi dari setiap persoalan yang dihadapi

manusia.

Membahas hubungan antara Al-Qur`an dan ilmu

pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori

relativitas atau bahasan tentang angkasa luar, atau adakah ilmu

komputer tercantum dalam Al-Qur`an. Tetapi, yang lebih

utama adalah melihat adakah spirit ayat-ayatnya menghalangi

kemajuan ilmu pengetahuan atau sebalikmya, serta adakah

Page 288: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

274_Duski Ibrahim

satu ayat Al-Qur`an bertentangn dengan hasil penemuan

ilmiah yang telah mapan? Membahas hubungan Al-Qur`an dan

ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang

ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalammnya, bukan pula

dengan menunjkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi

pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih

tepat sesuai dengan kemurian dan kesucian Al-Qur`an dan

sesuai puila dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri

(Shihab, 1996: 41).

Ilmu pengetahuan dan teknologi menurut Islam hauslah

ditujukan untuk membawa manusia semakin bertakawa

kepada Allah SWT, karena melalui berbagai teori ilmu

pengetahuan yang ia peroeh dari hasil pengamatan, penelitan

dan percobaan terhadap berbagai tanda kekuasaan Allah yang

terdapat di alam jagat raya, pada hakikatna adalah ciptaan

Tuhan dan hukum Tuhan. Seorang peneliti yang menghasilkan

teori ilmu pengetahuan sebenarnya bukanlah sebagai pencipta

teori itu, melainkan hanya sebagai penemu, yakni menemukan

berbagai teori yang berasal dari pemahaman terhadap

sunnatullah. Melalui penelitianya terhadap air hujan yang

turun dari langit ke bumi yang selanjutnya menyuburkan tanah

yang dapat ditanami berbagai tanaman yang beraneka ragam,

dan gunung-gunung yang memiliki garis putih dan merah

yang beraneka ragam warnanya, binatang melata dan ternak

yang beranega ragamnya, sebagaimana dilukiskan dalam Al-

Qur`an surat Fathir ayat 27-28 akan mengarahkan seseorang

pada berbagai teori ilmu pengetahuan yang disertai dengan

rasa takut (bertakwa) kepada Allah SWT.

“Tidaklah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan

dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan

yang beraneka macam jenisnya, dan di antara gunung-gunung

Page 289: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_275

itu ada garis-garis putih dan mereka yang beraneka macam

warnya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula)

di antara manusia, bianatang-binatang melata dab binatang-

binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan

jenisnya). Sesungguhnya yang takut kaepada Allah di anara

hamba-hamba-nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha

Perkaasa lagi Maha Pengampun.”

Banyak bukti naqliyah yang menjelaskan, betapa Al-

Qur`an memberi dorongan kepada manusia untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan. Kata-kata al-„ilm dan

berbagai derivasinya dalam Al-Qur`an sebanyak 600 ayat; kata

ar-ra‟yu dengan arti al-„ilm sebanyak 23 ayat; kata al-Fikr

sebanyak 18 ayat; kata al-„aql sebanyak 49 ayat; kata al-Fiqh

sebanyak 20 ayat; kata at-Tadabbur sebanyak 24 ayat; kata adz-

dzikr dalam arti al-„ilm sebanyak 200 ayat; kata al-Kitabah yang

berarti kekaryatulisan sebanyak 300 ayat; kata al-Qalam sebagai

simbol ayat tulis sebanyak 4 ayat; juga perlu dikemukan,

bahwa ditemukan kata-kata al-Qalb sebanyak 133 ayat. Ayat-

ayat tersebut, selain menghargai ilmu dan orang-orang yang

berilmu, juga memotivasi untuk meakukan pengkajian dan

penelitian untuk menemukan dan mengembangkan ilmu

dengan berbagai paradigma dan metode, termasuk paradigma

„irfani.

Dengan demikian, dalam Al-Qur`an ditemukan banyak

ayat yang membicarakan tentang ilmu dan sumber-sumbernya.

Manusia dan alam adalah sumber ilmu inderawi dan rasional.

Tuhan juga adalah sumber ilmu melalui wahyu dan ilham-Nya.

Al-Qur`an, di samping mengandung pengetahuan tentang

aqidah (keyakinan atau kepercayaan), ibadah (aktivitas

hubungan vertikal), mu‟amalah (aktivitas hubungan

horizontal), termasuk ekonomi, akhlak, sejarah, geografi,

kesehatan, matematika dan lain sebagainya, juga

Page 290: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

276_Duski Ibrahim

membicarakan tentang eksistensi akal dan indera, sebagai

media atau sumber yang dapat dimanfaatkan untuk

memperoleh dan mengembangkan ilmu. Dalam padangan

Islam, akal mempunyai pengertian tersendiri dan berbeda dari

pengertian umumnya, akal bukanlah otak, melainkan daya

berpikir yang ada dalam jiwa manusia. Akal dalam Islam,

adalah pertalian antara pikiran, perasaan, dan kemauan. Indera

yang lima (al-hawas al-khams) juga diakui sebagai sumber ilmu

yang valid (sah), dan dalam batas-batas tertentu, dapat

dipercaya. Media atau jalur untuk memperoleh ilmu yang juga

diakui Al-Qur`an adalah melalui intuisi hati (qalb) atau ilham,

yaitu petunjuk Tuhan yang diberikan pada manusia secara

langsung, dalam bentuk ilmu atau pengetahuan.

Manusia itu, siapapun dia, dari suku manapun atau dari

ras apapun, pada mulanya tidak memiliki ilmu, bahkan tidak

memiliki pengetahuan sama sekali. Kemudian, dengan kasih

sayang-Nya, Tuhan memberikan media kepada mereka untuk

dimanfaatkan secara baik dan maksimal dalam rangka

mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya sesuai

dengan perkembangan hidup masyarakat. Media tersebut

dikenal dengan sumber ilmu, yang keberadaan dan

validitasnya diakui Islam. Berkenaan dengan ini, akan

dikemukakan beberapa ayat Al-Qur`an, Allah berfirman:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam

keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi

kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu

bersyukur” (Q. An-nahl: 78)

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang

menggunakan pendengarannya serta menyaksikannya‟, (Q.

Qaf: 37)

Page 291: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_277

Dan sesungguhnya Kami jadikan mayoritas jin dan manusia

untuk (isi neraka) Jahannam, [karena) mereka mempunyai hati,

tetapi tidak menggunakannya untuk memahami (pesan-pesan

Tuhan), mereka mempunyai mata, namun tidak

dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai

telinga, namun tidak dipergunakannya untuk mendengar.

Mereka itu sama dengan binatang, bahkan mereka lebih sesat

lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah-lalai‟, (Q. al-a‟raf,

7: 179).

Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, serta mempunyai

hati yang dengannya mereka dapat memahami, atau

mempunyai telinga yang dengannya dapat mendengar?

Memang sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi

telah buta hati yang ada di dalam dada, (Q. al-hajj, 22: 46)

Demikianlah perumpamaan-perumpamaan Kami buat bagi

manusia, tetapi yang dapat memahaminya hanyalah orng-orang

yang tahu (Q. al-„Ankabut: 43)

Mereka berkata: Sekiranya kami mau mendengar dan mau

mengerti, tidaklah kami menjadi penghuni neraka (Q. Al-Mulk:

10)

Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk

serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa‟, (Q. Ali

„Imran: 138)

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan

Kitab yang memberi penjelasan (Q. al-Ma`idah:15).

Ayat-ayat di atas dapat dipahami berdasarkan ‟ibarah an-

nash, yaitu “penunjukkan lafaz kepada makna yang segera dapat

dipahamkan dan makna itu memang dikehendaki oleh konteks

pembicaraan, baik maksud itu ashli (utama), maupun tabi‟i

Page 292: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

278_Duski Ibrahim

(sekunder)” (al-Bukhari, 1307 H: 67). Maksud asli atau utama

dapat diketahui melalui latar belakang historis turunnya ayat

(asbab an-nuzul), sedangkan makna sekunder dapat diketahui

melalui pemahaman terhadap pengertian dari ungkapan

bahasa.

Berdasarkan kaidah „ibarah an-nash, sebagai alat

penafsirnya, maka kita pahami bahwa manusia itu pada

mulanya benar-benar tidak mempunyai ilmu pengetahuan

apapun. Kemudian Tuhan memberinya alat untuk melihat (al-

bashar), alat untuk mendengar (as-sama‟), alat untuk merasa (az-

zauq), dan lain-lain untuk memahami dan menyadari sesuatu.

Selanjutnya, tidak hanya itu, Tuhan juga memberinya akal

untuk berpikir atau bernalar (an-nazhar), sebagai pelengkap

dari pemberian utamanya berupa pedoman-pedoman yang

dapat dijadikan petunjuk bagi semua manusia (hudan li an-nas),

sebagaimana dimuat dalam Kitab Al-Qur`an dan disampaikan

oleh Rasul kepada umatnya. Alat pendengar, alat penglihat,

alat penyadar, alat pikir, dan wahyu Tuhan, semua itu adalah

media yang dapat dijadikan sebagai sumber-sumber ilmu.

Dengan demikian, dalam Islam diakui empat saluran

utama yang dapat dijadikan sebagai sumber-sumber ilmu,

yaitu pancaindera (al-hawas al-khams), akal (al-„aql), berita yang

benar (al-khabar ash-shadiq) dan intuisi hati atau ilham. Secara

rinci, sumber-sumber ilmu tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Panca Indera

Yang dimaksud dengan panca indera (al-hawas al-

khams) adalah indera pendengar (as-sam‟), indera pelihat (al-

bashar), indera pencium (asy-syamm), indera perasa (az-zauq),

dan indera peraba atau penyentuh (al-lams) (asy-Syirazi, t.t.:

2). Ada lagi indera keenam, yang disebut al-hiss al-musyatarak

atau common sence, yang menyertakan daya ingatan atau

Page 293: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_279

memori (adz-dzakirah) atau imajinasi atau daya estimasi (al-

wahm).

Pancaindera merupakan sumber ilmu pengetahuan

bagi manusia, melalui media yang bersifat realitas dan

empirikal. Melalui jalur pancaindera ini manusia dapat

memperoleh ilmu tentang alam sekelilingnya. Data-data

yang didapatkan melalui pancaindera ini merupakan data al-

mahsusat al-zahirah, yaitu berupa pengetahuan yang didapat

melalui indera, terutama melalui organ penglihatan.

Mengingat data yang didapatkan bersifat saintik, maka data

berupa ilmu tersebut dapat sampai kepada tingkat „ilm al-

yaqin. Oleh karena itu, data semcam ini dapat membawa

manusia kepada ilmu yang benar tentang alam sekeliling

kita (al-Ghazali, 1964: 15-16).

2. Akal

Sebagai sumber ilmu, akal melakukan nalar atau pikir

dalam proses pencarian ilmu. Dalam al-Qur`an, selain kata

akal (al-„aql) dengan berbagai derivasinya, untuk

mengungkapkan “perbuatan berpikir”, ditemukan kata

nazhara, yang secara abstrak dalam arti berpikir dan

merenungkan, juga kata tadabbara, yang berarti

merenungkan, kata tafakkara yang berarti berpikir, kemudian

ada kata tadzakkara, yang berarti mengingat, mendapat

pelajaran, memperhatikan. Selanjutnya ada kata fahima yang

berarti memahami atau mengerti, juga ditemukan kata

derivasi al-fiqh untuk menggambarkan arti pengertian atau

pemahaman dalam kaitannya dengan perbuatan berpikir.

Kata-kata tersebut diungkapkan dengan berbagi derivasinya,

baik dalam bentuk isim maupun dalam bentuk fi‟il.

Terlepas dari itu, Islam mengakui kedudukan akal

sebagai sumber ilmu. Ilmu yang didapat melalui akal

tersebut bersifat rasio dan apriori, yaitu pengetahuan yang

Page 294: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

280_Duski Ibrahim

didapat melalui cara berpikir tertentu terhadap sesuatu

fakta, tanpa memerlukan perhatian dan pengalaman yang

khusus, yakni akal mentafsirkan sesuatu data berdasarkan

kepada kerangka logikanya. Umpamanya akal memberikan

ilmu bahwa bilangan sepuluh lebih banyak daripada

bilangan satu. Contoh lain adalah bahwa seseorang itu tidak

mungkin berada di dua tempat yang berbeda dalam waktu

yang sama. Pengetahuan semacam ini bersifat aksioma,

yakni ilmu ini akan terbukti dengan sendirinya, melalui

proses apriori (Al-Ghazali, 1964: 15).

Dalam konteks fiqih umpamanya, an-nazhar adalah cara

untuk mengetahui hukum fiqih melalui proses penalaran

yang dilakukan seorang mujtahid atau pemikir hukum yang

memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam inferensi hukum

(asy-Syirazi, t.t.: 3). Dengan nalar dan alur pikir, seorang

dapat berartikulasi, dapat menyusun proposisi, menyatakan

pendapat dengan baik, melakukan analogi, membuat

abstraksi terhadap gejala-gejala yang dihadapi, membuat

keputusan dan menarik kesimpulan.

Selain itu, masih dalam konteks fiqih, pemanfaatan akal

(istikhdam al-„aql) sebagai sumber ilmu sangat urgen dalam

pemikiran hukum Islam, terutama dalam melakukan

perluasan makna hukum. Dalam hal ini, para ahli hukum

Islam telah meletakkan peranan ijtihad dengan

memfungsikan akal dalam menentukan sumber hukum

tambahan yang tidak ditemukan secara eksplisit di dalam

Al-Qur`an dan as-Sunnah. Umpamanya qiyas, ijma`, istihsan,

maslahah, siaysah syar‟iyah, masalih mursalah dan sebagainya,

sebagaimana banyak diuraikan dalam kitab-kitab ilmu ushul

al-fiqh. Sejauh itu, dalam Islam, akal adalah syarat utama

seseorang itu dibebani hukum syara‟ (taklif), tanpa akal

seseorang tidak dikenai kewajiban hukum apapun.

Page 295: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_281

3. Intuisi hati (qalb) atau Ilham

Intuisi hati atau ilham adalah salah satu cara untuk

mencapai kebenaran, yang berbeda dari nalar. Kalau nalar

menekankan pada pemikiran manusia sebagai cara untuk

mencapai kebenaran; maka intuisi mencapai kebenaran

melalui aprehensi langsung. Seperti telah disinggung, para

filosof Barat menolak intuisi sebagai cara untuk

mendapatkan kebenaran. Bagi mereka kebenaran hanyalah

sesuau yang dapat diobservasi dan diperoeh melaui indera.

Akibatnya, para filosof dan ilmuwan Barat tidak dapat

menggapai kebenaran realitas di balik benda-benda material.

Sebab, hanya dengan intuisi sajalah dapat menggapai

realitas kebenaran realitas di balik benda-benda material

tersebut.

Dengan intuisi hati (qalb) atau ilham, seseorang dapat

menangkap pesan-pesan ghaib, isyarat-isyarat ilahi,

menerima ilham, al-fath, kasyf, dan sebagainya. Dengan

ungkapan lain, intuisi itu diberikan Allah ke dalam jiwa

hambanya yang bersih melalui kasyf. Melalui jalan kasyf ini,

pintu hati seseorang yang bersih tersebut akan terbuka,

sehingga ilmu atau pengetahuan akan dicapainya secara

langsung, tanpa ada penghalang. Hal ini terjadi tentunya,

setelah melalui berbagai tahapan yang dikenal dengan

maqamat dan ahwal. Dua istilah yang sangat terkenal di

kalangan kaum sufi ini akan diuraikan dalam bahasan

tentang epistemologi atau metode „irfani.

Sehubungan dengan hal di atas, Al-Ghazali

mengatakan bahwa pencapaian ilmu atau pengetahuan

melalui intusi hati atau ilham tersebut langsung sampai atau

jatuh ke dalam hati seseorang tanpa berusaha dan belajar

(Al-Ghazali, 1967.3:24). Namun demikian, perlu

dikemukakan, bahwa hati yang menjadi tempat

Page 296: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

282_Duski Ibrahim

penerimaaan ilham ialah hati nurani yaitu hati yang bersifat

ketuhanan dan kerohanian, bukan hati dalam arti segumpal

daging yang berbentuk bulat panjang yang terletak di dada

sebelah kiri. Dengan ungkapan lain, hati yang bersifat

ketuhanan dan kerohanianlah yang dapat menangkap segala

pengertian dan pengetahuan. (Al-Ghazali, 1967.3:4).

Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa prinsip

untuk menerima ilham adalah mempelajari semua dasar-

dasar ilmu di alam semesta ini. Ketika seseorang beramal-

ibadah dengan tekun, maka akan memudahkan jiwanya

untuk menerima ilham, dan demikian juga aktivitas berpikir

secara sungguh-sungguh akan dapat menjadi media

datangnya ilham itu (al-Ghazali, 1986.3: 111). Sejalan dengan

pandangan al-Ghazali ini, Al-Attas juga mengatakan dengan

tegas bahwa intuisi merupakan salah satu saluran yang sah

dan penting dalam menghasilkan pengetahuan yang

berbentuk kreatif. Aktivitas-aktivitas seperti membaca,

berpikir, melakukan eksperimen, dan berdoa (termasuk

zikir) merupakan salah satu daripada usaha dalam

menghasilkan ilmu melalui saluran ilham (Wan Mohd. Nor

Daud, 2005: 235-236).

Sekaitan dengan hal di atas, perlu dikemukakan bahwa

para sufi, dalam mencari kebenaran, sangat menekankan

kepada media intuisi. Sedangkan para Mutakalllimun,

terutama kaum Mu‟tazili, menekankan akal atau rasio. al-

Ghazali umpamanya, adalah salah seorang sufi yang banyak

menulis tentang media intuisi. Intuisi adalah bahasa lain dari

kata wijdan dan ia difasilitasi oleh dzauq yang secara literal

disebut rasa, yakni sebuah cita rasa bathiniah yang sangat

halus, yang dimiliki oleh orang-orang tertentu. Dalam

pandangan al-Ghazali, spekulasi teologis tidak akan dapat

membawa seseorang kepada pengertian Tuhan yang benar.

Page 297: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_283

Tuhan, sebagai sesuatu yang transenden, dengan sendirinya

tidak dapat digapai oleh pemikiran manusia. Tuhan baru

dapat digapai dan dirasakan kehadiran-Nya melalui intuisi.

Bagi al-Ghazali media yang paling efektif dalam

mencari suatu kebenaran adalah media intuisi. Dalam

menggambarkan efektifitas media intuisi, al-Ghazli

menjelaskan dua ilustrasi sebagai berikut: Pertama, dalam

kitab al-Munqidz min adh-Dhalal, dia menjelaskan bahwa

seseorang yang belum pernah meminum alkohol hanya akan

dapat berspekulasi tentang perasaan mabuk. Tetapi, sejauh

apapun atau setinggi apapun spekulasinya, ia tidak akan

dapat menjelaskan perasaan mabuk, karena ia belum

merasakannya sendiri. Sebaliknya, seseorang yang telah

merasakan mabuk akan lebih mengetahui tentang mabuk

dibandingkan seseorang yang belum pernah mabuk,

walaupun ia telah mempelajari tentang mabuk selama dua

tahun. Kedua, dalam kitab Ayyuhal walad, al-Ghazali

menjelaskan bahwa seseorang impoten tidak akan dapat

mengetahui tentang kenikmatan hubungan sekssual,

sekalipun dia menghabiskan umurnya untuk berspekulasi

tentang kenikmatan tersebut beda halnya dengan seseorang

yang tidak impoten, ia akan dapat mengetahui tentang

kenimatan hubungan seksual tersebut, karena ia telah

pernah merasakan kenikmatan itu. Inilah kata al-Ghazali,

perumpamaan beda antara para teolog dan para sufi. Para

teolog hanya dapat berspekulasi; sedangkan para sufi dapat

merasakannya. Dengan demikian, para sufi dapat dikatakan

lebih mengetahui daripada para teolog; ilmu para sufi lebih

dapat diyakini daripada ilmu para teolog.

Kedudukan media intuisi lebih tinggi dari kedudukan

akal. Intuisi atau dzauq dapat merasakan secara langsung

hal-hal di balik realitas material. Apapun yang dapat

Page 298: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

284_Duski Ibrahim

dirasakan secara langsung, akan lebih kuat kedudukan

epistemologisnya, dibanding dengan apa yang hanya dapat

dilihat oleh indera. Seseorang yang telah mencapai derajat

wali umpamanya, adalah seseorang yang mempunyai akal

yang kuat dan dzauq yang unggul. Sebab itu,

pengetahuannya dapat mencapai derajat haqq al-yaqin.

Tetapi, seseorang yang hanya mengandalkan akal,

pengetahuannya hanyalah sampai ke tingkat „ayn al-yaqin.

Manakala seseorang telah mempunyai akal yang tajam dan

dzauq yang unggul, maka ia akan dapat mencapai tingkat

pemahaman yang lebih tinggi. Bagi al-Ghazali, kebenaran itu

adalah milik Tuhan yang hanya diberikan kepada siapa saja

yang Dia kehendaki. Kebenaran tersebut turun dari hadhirat

Allah melalui wahyu yang tiba pada diri Rasul. Oleh karena

itu, cahaya kenabian adalah cahaya yang paling terang.

Tetapi, manakala wahyu sudah tidak ada lagi karena Rasul

telah wafat, maka menurut al-Gahazali, kebenaran wahyu

masih dapat diperoleh Roh Suci Kenabian (Ruh Qudsiy an-

Nabiy), dengan cara melalui tasawuf yang bertjuan melatih

pengalaman intuitif kita. Dengan demikian, menurut al-

Ghazali, kebenaran yang terkandung dalam wahyu hanya

dapat diakses melalui pengalaman intuitif, dan pengalaman

ini dapat dilatih melalui disiplin tasawuf.

4. Al-Khabar ash-Shadiq/Informasi Yang Benar

Al-khabar ash-shadiq diartikan informasi yang benar.

Informasi yang benar adalah suatu informasi yang berasal

dari dan bersandar pada otoritas tertentu. Dalam masalah

agama, sumber informasi ini berasal dari wahyu, baik yang

ditilawatkan (kitab suci) maupun yang tidak ditilawatkan

(Sunnah Nabi), kemudian disampaikan kepada pihak-pihak

yang berkepentingan.

Page 299: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_285

Al-Qur`an adalah sumber ilmu tidak diragukan setiap

muslim. Sebab, ia adalah kebenaran mutlak yang membawa

kepada keyakinan. Dalam Al-Quran (Q. surat al-„Alaq. 96: 5)

dijelaskan bahwa sumber segala ilmu adalah dari Allah.

Dialah yang mengajari manusia apa yang tidak mereka

diketahui. Sementara dalam surat al-baqarah ayat 32

dikatakan bahwa para malaikat mengakui tidak mempunyai

ilmu sedikitpun, melainan apa yang diberikan Allah SWT

kepada mereka.

Selanjutnya Al-Qur`an mengisyaratkan bahwa ada

sumber-sumber ilmu lain, manakala dilakukan kajian dan

orientasi yang betul akan mebawa kepada kebenaran wahyu

Ilahi. Ini disebabkan pada akhir sesuatu kajian itu akan

bermuara kepada sumber yang sama, yaitu Allah SWT (Wan

Mohd. Nor Daud, 1994: 61). Oleh karena itu, Al-Qur`an

sendiri merupakan sumber utama berbagai bentuk ilmu.

D. Objek dan Struktur Pengetahuan

Secara sederhana, objek pengetahuan dapat diartikan

sebagai materi yang menjadi perhatian bagi pengetahuan, atau

yang dikenal dengan istilah objek material. Menurut

Honderich, yang dikutip Lubis (20154: 46), objek pengetahuan

adalah:

(1) Gejala alam fisis. Gejala alam fisis (fenomena alam) menjadi

objek ilmu-ilmu pengetahuan alam.

(2) Masa lalu. Masa lalu menjadi objek llmu pengetahuan

sejarah, arkeologi, etnologi, antropologi, dan lain-lain.

Kelompok pengetahuan ini lebih bersifat retrodiktif, artinya

berorientasi melihat ke belakang.

(3) Masa depan. Sedangkan ilmu yang lebih berorientasi ke

masa depan disebut dengan ilmu yang bersifat prediktif.

Page 300: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

286_Duski Ibrahim

(4) Nilai-nilai (aksiologi). Nilai-nilai moral menjadi objek

kajian etika dan nilai-nilai keindahan menjadi objek kajian

estetika.

(5) Abstraksi dan Pikiran. Sedangkan abstraksi dan pikiran

menjadi perhatian atau fokus kajian pada psikobiologi,

psikologi, cognitive science atau philosophy of mind.

Sedangkan mengenai struktur pengetahuan, telah

diuraikan oleh Lubis (2014; 47-50), dengan mengutip berbagai

sumber, bahwa struktur pengetahuan membahas tentang

hubungan antara ilmuwan (the knower) dan data (pengalaman)

atau objek yang diketahui. Struktur pengetahuan juga disebut

situasi pengetahuan atau fenomenologi pengetahuan.

Mengenai hubungan antara subjek (yang mengetahui) dan

objek (yang diketahui) tersebut ditemukan beberapa

pandangan sebagai berikut, yaitu:

1. Objektivisme

Dalam pandangan aliran objektivisme, objek-objek fisis

yang diobservasi atau yang diteliti itu bersifat independen di

hadapan subjek yang meneliti. Bagi aliran ini, realitas, data,

sensasi, adalah sama atau satu. Sebab itu, subjek yang

mengetahui hanya mencerminkan realitas apa adanya.

Pandangan ini biasa disebut dengan realisme naif (naive

realism). Menrut aliran objektivisme ini, subjek yang meneliti

bersifat pasif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan,

sedangkan yang dianggap perperan adalah objek. Posisi

ilmuwan hanya seperti cermin yang memantulkan realitas

luar secara apa adanya. Aliran empirisme dan positivisme

umumnya menerima pandangan objektivisme ini.

Pandangan seperti ini disebut dengan realisme epistemologis

atau monisme epistemologis.

Page 301: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_287

Pandangan monisme epistemologis menyamakan

data, atau objek yang dipersepsi, atau objek yang diketahui,

dengan objek yang sesungguhnya. Pandangan realisme naif

mendapat kritik dari beberapa pemikir Post-positivisme dan

post-modernis yang disebut dengan realisme kritis atau

dualisme epistemologis. Monisme epistemologis

mengabaikan kemungkinan adanya kesalahan persepsi

tentang objek dan perbedaan persepsi yang disebabkan

perspektif yang berbeda. Bagi seorang realisme naif, tongkat

lurus yang ada pada air bergelombang, lalu tongkat itu

dipersepsi seseorang sebagai tongkat bengkok adalah benar.

Pandangan yang menyatakan apa yang dipersepsi seseorang

itu (misalnya tongkat tadi), adalah sama dengan realitas

yang sesungguhnya disebut dengan monisme ontologis.

Kelemahan monisme ontologis atau realisme naif adalah

mencampuradukkan antara hasil tangkapan inderawi

dengan sesuatu objek yang sesungguhnya. Sementara itu,

realisme kritis membedakan hasil tangkapan inderawi dari

objek yang sesungguhnya. Pemikiran mengenai objek

misalnya tidak hanya ditentukan sepenuhnya oleh data

inderawi saja, tetapi juga ditentukan oleh kerangka

konseptual, perspektif atau paradigma yang dipilih

seseorang.

2. Subjektivisme

Subjektivisme adalah pandangan yang menekankan

peran dimensi subjek dalam menghasilkan pengetahuan.

Pengetahuan kita merupakan ide-ide dalam pikiran orang

yang mengetahui (the knower). Karena itu, tidak mungkin

kita mengetahui sesuatu objek atau fenomena di luar ide-ide

tersebut. Dalam epistemologi subjektivisme terkandung

beberapa pengertian: (a) Sumber dan keabsahannya

pengetahuan ditentukan oleh subjek yang mengetahui (the

Page 302: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

288_Duski Ibrahim

knower), Pengetahuan tentang apapun yang dinyatakan

objektif dan real secara eksternal didasarkan pada

penyimpulan data keadaan mental subjek.

3. Skeptisisme

Skeptisisme adalah suatu paham yang menyatakan

bahwa tidak ada kemungkinan untuk memperoleh

kebenaran objektif (akhir, final) bagi ilmu pengetahuan.

Gogias mengemukakan satu bentuk skeptisisme ekstrem.

David Hume (1711-1776) bertolak dari prinsip empirisme

yang menolak untuk menerima sesuatu di luar empiris.

Hume menolak atau meragukan gejala kausalitas dan

metode induksi, yang justeru dominan dalam paradigma

positivisme, mengingat kausalitas dan induksi itu tidak

dapat diamati secara langsung. Hume menyatakan bahwa

pengamatan hanya menghasilkan arus persepsi sebagai

kesan-kesan dan id-ide saja. Karl Raimund Popper kemudian

melanjutkan penolakan Hume ini dengan mengajukan

prinsip falsifikasi.

Ada beberapa macam skeptisisme, antara lain: (a)

“Solipisme”, yaitu suatu pandangan yang menyatakan

bahwa saya hanya tahu diri saya ada, tapi tidak mengetahui

sesuatu pun di luar saya; (b) “Skeptisisme sensoris”, yaitu

suatu sensasi atau persepsi yang bersifat relatif itu, tidak

realibel. Sensasi hanya bagian dan modifikasi dari objek

yang diamati (tidak sama dengan objek); (c) “Skeptisisme

rasional”: keraguan yang disebabkan paradoks (Zeno) atau

antinomi (Kant) pada kesimpulan dan argumen. Antinomi

adalah dua pernyataan yang bertentangan dan tidak dapat

dibuktikan kebenarannya. Misalnya pernyataan alam

diciptakan dan tidak diciptakan, atau telur lebih dahulu ada

daripada ayam dan sebaliknya, adalah bentuk antinomi yang

Page 303: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_289

akhirnya ilihan lebih ditentukan oleh kepercayaan, (d)

“Skepitisisme metodologis”: keraguan sistematis dan

sementara yang tujuannya untuk menemukan pengetahuan

dan fundasi pengetahuan yang kuat dan terprcaya (seperti

metode Descartes).

4. Relativisme

Menurut Protagoras, pandangan yang menyatakan bahwa

individu menjadi ukuran segalanya, disebut “relativisme

epistemologis.” Karena ia menyatakan kerelatifan nilai

kebenaran pengetahuan, atau kebenaran relatif tentang subjek

yang mengetahui atau tentang kelompok masyarakat dari

paradigma tertentu. Dewasa ini, relativisme memiliki daya

tarik tersendiri, sekaitan dengan keanekaragaman budaya

(pluralisme), sehingga diperlukan saling memahami (dialog)

dan soliditas.

Ada beberapa bentuk realativisme, antara lain:

a. “Relativisme subjektif”: kebenaran pengetahuan dipahami

sebagai suatu yang relatif terhadap subjek yang

bersangkutan. Apa yang benar untuk si A belum tentu benar

untuk si B.

b. “relativisme budaya”: pendukung aliran ini menolak

kebenaran objektif dan universal dengan alasan bahwa

pengetahuan manusia selalu relatif terhadap kebudayaan

tempat pengetahuan itu dikembangkan (bersifat lokal, etnis,

gender). Kriteria benar-salah relatif terhadap kesepakatan

(konsensus) sosial dalam masyarakat (bandingkan dengan

teori post-kolonial, cultural studies, peminisme stanpoint).

c. “Relativisme konseptual”: benar-salah tergantung pada

kerangka konsep/teori (conceptual framework) atau

paradigma yang digunakan (Wittgenstein II, Hillary Putnam,

Kuhn). Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak mungkin

mencapai status kebenaran objektif-universal. Wittgenstein II

Page 304: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

290_Duski Ibrahim

mengemukakan adanya beraneka ragam bentuk kehidupan

dengan ataurab permainan dan bahasanya masinh-masing

(language games).

Sekarang ini semakin disadari bahwa kita tiidak mungkin

memahami realitas dari satu paradigma (perspektif) saja.

Karena itu, manusia mencoba memahami dari berbagai

paradigma untuk semakin memahami makna realitas itu.

Lantas, darimana kita meperoleh kemampuan untuk

mengintergrasikan berbagai paradigma atau perspektif itu? Bila

dua pendapat bertentangan, misalnya : pendapat A yang

menyatakan bahwa bumi bulat, dengan pendapat/keyakinan

lain bahwa bumi bukan bulat (datar), atau keyakinan bahwa

alam diciptakan Tuhan dengan pernyataan bahwa alam itu

terjadi dengan sendirinya. Maka kontradiksi umumnya

disebabkan karena ada sumsi-asumsi yang salah. Pangkal

persoalan adalah kegagalan untuk membedakan atara

“keyakinan semata” dengan “keyakinan yang benar”.

Bagaimama mengatasi dua pendapat yang

bertentangan/inkonsisten? Caranya adalah dengan mencari

bukti yang lebih kuat (lebih rasional). Apakah keyakinan

bahwa bumi bulat atau bumi diciptakan Tuhan, lebih kuat dari

argumen yang menyatakan bumi datar dan bumi terjadi

dengan sendirinya. Jadi, rasionalitas dan keinginan untuk

mencari kebenaran adalah cara mengatasi berbagai kontradiksi.

5. Fenomenalisme

Fenomenalisme (fenomenon = apa yang tampak) adalah

pandangan yang menyatakan bahwa kita hanya dapat

mengetahui gejala-gejala yang diinderai atau gejala

sebagaimana tampak melalui pengamatan. Fenomenalisme

hanya mengakui objek-objek fisis yang teramati saja

(fisikalisme), dan menolak adanya hakikat di balik gejala

Page 305: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_291

(noumena, das Ding an sich). Dengan demikian, pendkung aliran

ini berpendapat bahwa seluruh objek fisis dapat dikembalikan

kepada pernyataan tentang pola-pola data inderawi (Bagus,

1996: 231-233).

E. Teori-Teori Kebenaran

Dalam epistemologi dan filsafat ilmu pengetahuan

menurut Lubis (2014: 51-55), dikenal sejumlah teori kebenaran,

yaitu: teori korespondensi, teori koherensi, teori pragmatis,

teori performatif dan teori paradigmatik.

1. Teori Kebenaran Korespondensi

Teori kebenaran korespondensi menyatakan bahwa satu

teori/proposisi benar, manakala proposisi atau teori itu sesuai

dengan fakta (kenyataan). Aristotelis menyebut ini dengan teori

penggambaran/cermin yang ia rumuskan sebagai “veritas est

adaequatio intelectus et rhei”. Teori ini didukung dan diterima

oleh pendukung epistemologi empiris (positivisme ilmiah),

seperti pada ilmu-ilmu alam atau ilmu sosial-budaya yang

menerapkan metode ilmu-ilmu alam. Kaum positivisme

mengangap bahwa teori menggambarkan realitas apa adanya

(copy theory, mirror theory). Karena itu, verifikasi dijadikan

sebagai kriteria untuk keilmiahan. Masalah yang muncul pada

teori ini adalah bagaimana kita tahu bahwa ide, gagasan dam

teori kita sama dengan kenyataan (realitas)? Apakah mungkin

fakta (realitas) iti bicara tanpa bantuan teori? Apakah mungkin

objektivitas tanpa ada subjektivitas?

2. Teori Kebenaran Koherensi atau Konsistensi

Dalam teori koherensi atau konsistensi, kebenaran adalah

adanya saling hubungan antar putusan-putusan atau

kesesuaian/ketaat-asasan dengan kesepakatan atau

pengetahuan yang telah dimiliki. Teori kebenaran ini

umumnya terdapat dalam matematika dan logika atau

Page 306: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

292_Duski Ibrahim

kelompo epistemologi idealis. Bagi penganut teori kebenaran

ini, konsistensi suatu pernyataan atau teori dengan sistem

pernyataan sebelumnya sudah diandaikan kebenarannya dan

menjadi tolok ukur kebenaran.

Logika dan matematika adalah contohnya dan memiliki

keunggulan jika dibandingkan dengan bahasa, karena

dikonstruksi berdasarkan lambang, konvensi-konvensi dan

aturan yang tidak memungkinkan ambiguitas arti. Ciri

matematika: ringkas, konsisten atau taat asas, kesaksamaan

abstraksi. Karena itu, konsep “meaning” (makna , “truth” /

kebenaran), dan “certainty” (kepatian) lebih mudah diterapkan

pada bidang ini daripada bidang pada ilmu lain. Kendatioun

demikian, dalam matematika ketidakpastian juga dikenal

dengan mengajukan tingkat peluang (probability). Kaum

rasionalis menjadikan prinsip matematika dan logika deduktif

ini turun ke dunia nyata (realitas), karena asumsi adanya

kesejajaran antara rasio dan realitas. Jadi, realitas dilihat

sebagai kesatuan sistem, dan bagian-bagiannya akan diketahui

bila prinsip yang mendasari keseluruhan itu sudah dimaklumi.

Hegel merumuskan prinsip ini melalui pernyataan bahwa

“kebenaran itu adalah keseluruhan” (das Wahre ist dan Ganze).

Kelemahan teori ini adalah bahwa orang dapat saja

membangun satu teori/sistem yang koheren (konsisten), akan

tetapi sebenarnya salah karena tidak didukung oleh fakta. Jadi,

teori ini tidak membedakan antara teori yang “konsisten salah”

dengan teori yang “konsisten benar”.

3. Teori Kebenaran Pragmatis

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan

pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan

masalah (problem solving) dalam kehidupan manusia baik

masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. William James

Page 307: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_293

menolak “teori Cermin” (mirror theory) atau sebagai „gambar

realitas‟ (picture theory) dan menggantinya dengan prinsip

kegunaan atau kemanfaatan. Dengan ungkapan lain, benar-

tidaknya suatu teori justeru ditentukan oleh bermanfaat-

tidaknya suatu teori dalam praksis kehidupan. Benar-tidaknya

satu teori ditentukan oleh manfaat dan efektivitasnya untuk

memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Rumusan

William James tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah

sebagai berikut, “something is true if it works”, Truth is a “ thing

done”, a function of practical value, made to happen.

John Dewey berpendapat bahwa filsafat bertugas

memberikan pengarahan dalam kehidupan kita. Sementara

kehidupan dan pengalaman, juga pemahaman manusia itu,

berjalan dan berkembang terus dari satu era ke era berikutnya.

Jika ilmu pengetahuan dan filsafat dianggap sebagai problem

solving, maka ilmu pengetahuan dan filsafat yang brkembang

akan sejalan dengan perkembangan budayanya. Bagi Dewey,

filsafat dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai instrumen

yang dapat digunakan untuk menata pengalaman, sedangkan

teori dianggap sebagai alat untuk bertindak dengan

mempertimbangkan berbagai konsekuensinya bagi masa

depan. Karena itu, William James dan John Dewey lebih senang

menggunakan istilah instrumentalisme daripada pragmatisme.

Alasan yang sama pula diberikan kenapa kebenaran teori

pragmatis ini disebut juga kebenaran instrumentalis.

Selanjutnya, Schiller menyatakan apa “yang berguna”

(usefull) adalah benar dan apa yang tidak berguna (useless)

adalah salah. Jadi, faktor utilitas, efektivitas dan dapat

diterapkan serta hasil yang memuaskan menjadi kriteria

kebenaran pragmatis.

Page 308: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

294_Duski Ibrahim

4. Teori Kebenaran Performatif

Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960),

seorang filsuf Inggris yang mengemukakan teori tindak bahasa

(speech-acts). Austin tidak bergitu tertarik membicarakan bahasa

sebagai pemaparan realitas (fakta atomik). Ia mengarahkan

analisisnya pada pemakaian bahasa sehari-hari. Ia

membedakan dua macam penggunaan bahasa, yaitu proposisi

atau tuturan konstatif dan proposisi atau tuturan performatif

dengan aturan/kriterianya sendiri. Selain melaporkan sesuatu

(fakta) yang dapat diverifikasi (sebagaimana yang dilakukan

kaum positivisme melalui bahasa ilmiah yang disebutnya

sebagai tuturan konstantif), bahasa dapat pula bersifat

performatif. Artinya, dalam suatu tuturan terkadang satu

komitmen untuk melakukan apa yang dikatakan. Jadi, bahasa

tidak hanya menyatakan sesuatu (locutionary act), akan tetapi

juga melakukan apa yang dikatakan (illocutionary act), dan

menghasilkan sesuatu (perlocutionary act). Di samping itu,

bahasa juga dapat menciptakan komunikasi (interlocutionary

act).

Teori kebenaran performatif yang disebut juga “tindak

bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang

dihubungkan dengan satu pernyataan. Apabila seorang

menteri menyatakan : “Dengan ini, seminar resmi saya buka,”

maka sang menteri tidak menyatakan suatu benda-objek

inderawi akan tetapi suatu pernyataan yang berkaitan dengan

tindakan. Di sini ada perbuatan yang dilakukan bersamaan

dengan pengucapan kata-kata itu. Dengan pernyataan itu suatu

penampilan atau perbuatan (performance) dilakukan. Karena

tuturan itu menyatakan suatu perbuatan, maka disebut dengan

tuturan performatif. Dengan demikian, kebenaran performatif

maksudnya adalah bahwa suatu pernyataan dikatakn benar,

Page 309: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_295

bila apa yang dinyatakan (oleh seseorang) dilakukan sesuai

dengan tindakan dan kewenangan yang ada padanya.

Tuturan performatif, menurut Austin, tidak dinyatakan

benar atau salah, akan tetapi berhasil atau gagal, yakni

berdasarkan apakah perbuatan yang dinyakan itu dilakukan

atau tidak. Ia mengklasifikasikan tuturan performatif atas wajar

atau tidak wajar (happy or unhappy). Untuk menentukan apakah

satu tuturan perfomatif wajar atau tidak. Austin mengajukan

enam (di sini disederhanakan menjadi empat) syarat tutran

performatif yang wajar, antara lain:

a. Tuturan itu dituturkan dalam situasi yang tepat sehingga

pernyataan mempunyai efek bagi tindakan. Dekrit Gus Dur

adalah contoh tuturan performatif yang tidak sesuai dengan

situasi (sosial-politik-hukum) sehingga tuturan performatif

ini gagal (maksdunya tidak menghasilkan tindakan yang

sesuai dengan dekrit, malah sebaliknya).

b. Harus diucapkan orang yang memiliki

kompetensi/wewenang untuk itu.

c. Harus ada tanggapan dan keterbukaan dari kedua belah

pihak, sehingga tuturan benar-benar menjadi tindakan.

d. Ada kesesuaian antara ucapan orang yang menyatakan

tuturan dengan tindakannya sendiri. Tanpa ada kesesuaian

antara keudanya maka muncul inkonsistensi atau

kebohongan.

5. Teori Kebenaran Paradigmatis dan Konsensus

Teori kebenaran paradigmatik dapat diturunkan dari

konsep paradigma Thomas Samuel Kuhn. Menurut Kuhn, ilmu

pengetahuan dikonstruksi atas paradigma tertentu. Dalam

dunia ilmiah ala sekelompok ilmuwan (komunitas ilmuwan)

yang mendukung paradigma tertentu (misalnya dalam

psikologi: terdapat paradigma psikoanalisa, paradigma

Page 310: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

296_Duski Ibrahim

behaviorisme, paradigma humanistik, dan lain-lain). Ada

kriteria yang berbeda antara satu paradigma dengan

paradigma lain, sehingga kebenaran tergantung pada

paradigma yang digunakan (paradigmatic).

Kuhn mengemukakan teori konsensus atau paradigmatik

berkaitan dengan konsep paradigma sebagai dasar atau model

yang diterima oleh kelompok ilmuwan dalam mengembangkan

dan menguji teorinya. Teori ilmiah dengan demikian

dianggap/dinyatakan benar kalau dapat disetujui oleh

komunitas ilmuswan pandukung paradigma tersebut.

F. Batas dan Jenis Pengetahuan

Mengenai batas pengetahuan, ditemukan beberapa aliran

atau pandangan yang berbeda, seiring dengan perbedaan

pandangan tentang sumber pengetahuan. Empirisme radikal

(positivisme/positivisme logis) umpamanya, berkesimpulan

bahwa pengetahuan hanya terbatas pada objek-objek fisis yang

apat diamati dan dikuantifikasi. Pandangan empirisme ini

didasarkan atas pandangan materialisme/naturalisme

(ontologi) yang menganggap bahwa realitas hanya sebatas

materi, yang secara prinsip dapat diamati dan diukur, seperti

pandangan kaum positivisme logis (lingkaran Wina). Tetapi,

kaum rasionalisme seperti Plato dan Hegel berpendapat bahwa

realitas tidak hanya sebatas fenomena alam fisis yang dapat

diamati, tetapi juga menjangkau dimensi metafisis. Karenanya,

pengetahuan tidak hanya terbatas pada fenomena fisis, tetapi

(dan inilah pengetahuan sejati) juga menembus wilayah

metafisis. Plato menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang

benar, yang pasti dan tidak berubah (episteme) justeru

bersumber dari dunia idea yang jauh dari jangkauan indera.

Sementara pengetahuan tentang fenomena alam yang selalu

berubah itu, tidak sempurna. Karenanya, ia hanya berupa

pendapat-pendapat (doxa). Pengetahuan (pengetahuan

Page 311: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_297

sejati/episteme) tidak terbatas pada fenomena fisis, akan tetapi

menembus batas/mengatasi hal yang fisis dan memasuki

wilayah metafisis.

Batas pengetahun ditentukan pula oleh alat yang

digunakan untuk memperoleh pengetahuan itu. Empirisme

awal melihat atom dan sel berbeda dengan empirisme ilmiah

dewasa ini, karena peralatan teknologi canggih telah

memperdalam pemahaman dan observasinya tentang atom dan

sel itu. Pandangan kaum empiris, pasti berbeda dengan teolog

yang menjadikan kepercayaan pada Tuhan dan wahyu sebagai

sumber utama pengetahuan. Ini artinya, batas pengetahuan

juga sangat tergantung pada asumsi ontologis dan tingkatan

pengetahuan yang diterima seseorang.

Adapun terkait jenis pengetahuan, Prof. Dr. Rasyidi

mengemukakan jenis pengetahuan sebagai berikut: Pertama,

pengetahuan tentang benda-benda. Kedua, pengetahuan

tentang pikiran (mind) orang lain. Ketiga, pengetahuan tentang

pikiran kita sendiri. Kelima, pengetahuan tentang Tuhan

(Rasyidi, 1987: 45).

Sementara itu, berdasarkan pembahasan tentang: sumber

pengetahuan, batas pengetahuan dan model logika atau

metode yang digunakan dalam epistemologi, dapat

disimpulkan bahwa ada beberapa jenis pengetahuan, antara

lain:

1. Pengetahuan biasa, yang disebut dengan pengetahuan

sehari-hari, pengetahuan eksistensial, common sense atau

knowledge.

2. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang memiliki

sistem, metode tertentu, atau pengetahuan yang memiliki

ciri-ciri dan metode keilmiahan.

Page 312: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

298_Duski Ibrahim

3. Pengetahuan filosofis, semacam ilmu khusus yang

membahas masalah yang tidak dibahas/tidak terjawab oleh

ilmu pengetahuan ilmiah dan pengetahuan biasa.

4. Pengetahuan teologis, pengetahuan yang sumber utamanya

dari ayat-ayat atau wahyu Tuhan. Pengetahuan teologis

bersumber dari wahyu atau ajaran Tuhan, dan kebenaranna

didasarkan atas iman.

G. Macam-Macam (Jenis-Jenis) Epistemologi

Dalam pandangan para ahli, ada beberapa macam

epistemologi, antara lain, adalah: epistemologi metafisis,

epistemologi skeptis, epistemologi kritis dan lain sebagainya

(Sudarminta, 2000: 21-23 dan Pranarka, 1987).

1. Epistemologi Metafisis

Plato dan Hegel membicarakan pengetahuan bertolak dari

pandangan tentang metafisika (realita) yang dianggap

mendasari semua realitas. Pembedaan Plato antara dunia idea

dengan dunia fisis/fenomenal (yang diasumsikan hanya

sebagai tiruan dari dunia idea) bertolak dari pembedaan Plato

atas episteme dengan doxa. Hal yang sama terjadi juga pada

epistemologi Hegel yang bertolak dari asumsi metafisis, di

mana baginya realitas hanya merupakan perujudan dari roh,

karena itu “ide yang dimengerti” dan “realitas/kenyataan” adalah

sama. Yang dimengerti itu real dan real/nyata itu dimengerti.

Epistemologi yang didasarkan atas asumsi metefisis ini disebut

dengan epistemologi metafisis.

2. Epistemologi Skeptis

Epistemologi Rene Descartes adalah sebagai upaya untuk

menemukan metode yang pasti, sehingga filsafat dan

pengetahuan dapat mengatasi berbagai perbedaan dan

pertentangan pendapat yang muncul. Cara yang dilakukan

Page 313: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_299

Descartes untuk menemukan metode yang pasti itu adalah

dengan kesangsian metodis. Dengan menyangsikan

keberadaan semua hal, lalu Descartes menyatakan hanya ada

satu yang tidak dapat disangsikan keberadaannya, yaitu

kesangsian itu sendiri. Kesangsian itu membuktikan adanya

saya yang berpikir (Cogito Ergo Sum). Dari metode skeptis ini

Descartes mau mendirikan bangunan filsafat dan ilmu

pengetahuan di atas fundasi yang kokoh dan terpercaya, suatu

sistem yang didasarkan atas aksioma-aksioma, dan tersusun

menurut langkah-langkah logis. Cara kerja yang dilakukan

Descartes ini disebut dengan epsitemologi skeptis.

3. Epistemologi Kritis

Epistemologi kritis bertolak dari sikap kritis terhadap

berbagai macam asumsi, teori, dan metode yang ada dalam

pemikiran (pengetahuan dan ilmu pengetahuan) serta yang ada

dalam kehidupan kita. Pengetahuan, teori, metode, dan cara

berpikir yang telah ada dikritisi, yakni dicari kelemahan atau

kekurangannya, kemudian diupayakan untuk merumuskan

metode baru: cara berpikir baru yang dapat

dipertanggungjawabkan dengan lebih rasional. Epistemologi

Immanuel Kant (kritisisme) adalah contohnya. Kant mengkritik

rasionalisme dan empirsme yang dianggapnya berat sebelah,

dan kemudian menyatukannya. Ini adalah salah satu bentuk

epsitem0logi kritis. Teori kritis, epsitemologi feminis, teori

postkolonial, cultural studies dan multicultural termasuk pula

dalam epiostemologu kritis.

Berdasarkan jangkauannya, secara historis, epistemologi

dapat pula dibedakan kepada : (1) epistemologi individual dan

(2) epistemologi sosial.

Page 314: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

300_Duski Ibrahim

1. Epistemologi Individual

Epistemologi yang berkembang dari masa Yunani (Plato,

Aristoteles) sampai masa modern (Locke, Descartes, Kant)

adalah epistemologi individual. Sebab, permasalahan

pengetahuan, tentang pengamatan atau persepsi rasionalitas,

dan justifikasi, selalu dianggap hanya berkaitan dengan

individu dan terlepas dari dimensi sosial.

2. Epistemologi sosial

Epistemologi sosial justeru melihat keterkaitan pengetahuan

(dan ilmu pengetahuan) dengan dimensi sosial. Epistemologi

ini berkembang terutama setelah munculnya post-positvisme

(Kuhn) dan pemikiran post-strukturalis dan postmodern,

yang melihat adanya kaitan ilmu pengetahuan dengan faktor

sosial-budaya. Dalam pandangan post-strukturalis,

rasionalitas dan kesadaran bukan suatu yang terlepas dari

pengaruh sosial-budaya. Rasionalitas dan subjek

dikonstruksi oleh faktor sosial-budaya, umpamanya bahasa.

Rasionalitas manusia berkembang sejalan dengan

perkembangan bahasa, dan bahasa disebut sebagai jalan kita

untuk mmahami realitas serta untuk menjelaskan realitas.

Karena itu, kita dapat mengerti jika Paul Ricoeur

menyatakan bahwa bahasa sebagai “rumah ada”. Sementara

itu, Michel Foucault mengemukakan keterkaitan ilmu

pengetahuan dengan “epsiteme” pada era tertentu. Ada

episteme (sistem pemikiran) yang berbeda yang menentukan

apa yang disebut pengetahuan dan ilmu pengetahuan pada

era Yunani, era Klasik, era Modern, dan era Postmodern.

Page 315: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_301

H. Alasan Belajar Epistemologi

Menurut Pranarka, yang dikutip oleh Lubis (2014: 61),

paling tidak ada tiga alasan mengapa epistemologi perlu

dipelajari, yaitu:

1. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi unsur yang

dominan dalam zaman modern. Oleh karena itu, sebagai

power penggerak masa depan dunia dan kehidupan, sangat

pantas kalau seorang ilmuwan memahami pandangan atau

asumsi epistemologis yang terdapat dalam setiap “episteme”

dan kebudayaan.

2. Asumsi epistemologis ilmu pengetahuan berkaitan dengan

asumsi ontologis dan aksiologis yang biasanya tersembunyi.

Artinya, asumsi-asumsi itu mempengaruhi pandangan

tentang realitas yang ada, termasuk pandangan religius dan

nilai-nilai yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam ilmu

pengetahuan itu. Misalnya, asumsi materialisme dan

naturalisme terkadandung dalam positivisme ilmiah,

sehingga jelas bertentangan dengan pandangan dunia

religius yang mengaitkan pengetahuan/ilmu dengan nilai-

nilai metafisika dan etis religius. Pemahaman tentang

dimensi sosiologis-historias pengetahuan/ilmu

pengetahuan, akan membantu bagaimana kita memandang

ilmu pengetahuan baik secara teoretis maupun praktis.

Sehingga pandangan saintisme yang mengagungkan ilmu

pengetahuan dan teknologi (menjadi “agama” zaman

modern menurut Pual Feyerabend) dalam dipahami sebagai

satu kekeliruan sejarah dan sekarang dianggap telah

ketingalan zaman.

3. Berdasarkan pertimbangan edukatif (pendidikan),

epistemologi membantu anak didik memahami berbagai

bentuk pengetahuan, dan memahami kekuatan dan

kertebatasannya sehingga terbentuk pemahaman yang lebih

Page 316: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

302_Duski Ibrahim

holistik. Epistemologi juga dapat membantu memahami

bagaimana merancang kurikulum life skills yang dapat

membantu menghadapi kehidupan nyata di mana

pengetahuan berperan untuk membantu menyelesaikan

berbagai masalah dalam kehidupan.

Untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi, epistemologi

(filsafat ilmu pengetahuan) dipelajari dengan tujuan: Pertama,

agar dapat membantu untuk memahami berbagai asumsi dasar

dalam ilmu pengetahuan. Kedua, agar dapat memahami

kekuatan dan kelemahan dalam setiap metode ilmiah, sehingga

pada saatnya dapat memberikan pertimbangan yang tepat

ketika seseorang melakukan penelitian.

WA ALLAH A‟LAM BI ASH-SHAWAB

Page 317: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_303

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 2010. Islamic Sudies di Perguruan Tinggi,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Abdullah, Amin dkk. 2003. Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu

Agama dan Umum, (Yogyakarta: SUKA Press). Abdullah, Taufik & M. Rusli Karim. 1989. Metodologi Penelitian

Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana). Abu Amar, Hasan. 1992. Ringkasan Logika Muslim: Sebuah

Analisa Definisi, (Jakarta: Yayasan Al-Muntazhar). Abu Sulayman, Abu Hamid. 1993. Towards an Islamic Theory of

International Relations: New Directions For Methodology and Thought. Herndnon Virginia USA: The International institute of Islamic Thought.

Abu al-„Irfan Muhammad ibn „Ali ash-Shabban. t.t. Syarh as-

Sullam li al-Mallawi, (Jeddah: al-Haramain). Abu Zahrah, Muhammad. 1958. Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-

Fikr al-„Arabi). Ahmad, Zainal Abdin. 1975. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd

(Averroes): Filosof Islam terbesar di Barat, (Jakarta: Bulan Bintang).

Adisusilo, JR. Sutarjo. 2013. Sejarah Pemikiran Barat: Dari yang

Klasik Sampai yang Modern, (Jakarta: RadjaGrafindo Persada).

Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafah Dalam Islam,

(Jakarta: Bumi Aksara).

Page 318: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

304_Duski Ibrahim

Al-Alwani, Thaha Jabir. 1990. Ushul al-Fiqh al-Islami: Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Herdnon: The International of Islamic Thought.

Arifin, M. 2003. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara). Arkoun, M. 1973. Membedah Pemikiran Islam. diterjemahkan dari

Essais La Pensee Islamique oleh Hidayatullah. Bandung: Pustaka.

Azra, Azyumardi, et al. 2012. Ensiklopedi Tasawuf. (Bandung:

Angkasa) Ba`ali, Fuad dan Ali Wardi. 1981. Ibn Khaldun and Islamic

Thought Style: A Social Perspektive, (Boston: Massachusettes). Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat, (Jakarta: Grameia). Baihaqi, A.K. 2002. Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berpikir Logik,

(Jakarta: Darul Ulum Press). Bakhtiar, Amsal. 2013. Filsafat Ilmu, (Jakarta: RadjaGrafindo

Persada). Beerling, 1986. Pengantar Filsafat Ilmu (Terj.), (Jogyakarta: Tiara

Wacana). Burhan Ashshofa, 1998. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Rineka Cipta). Chapra, Umer. 2010. Peradaban Islam: Penyebab Keruntuhan &

Perlunya Reformasi. Ditermahkan oleh Ikhwan Abidin Bisri. (Jakarta: Sinar grafika Offset).

Coulson, Noel J. 1964. A History of Islamic Law. London:

Edinburg University Press.

Page 319: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_305

Ad-Damanhuri, Ahmad. t.t. Idhah al-Mubham min Ma‟ani as-Sullam fi al-Manthiq, (Indonesia: dar Ihya` al-Kutub al-„Arabiyah).

Depdikbud. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka. Drajat, Amroeni. 2001. Filsafat Illuminasi. Sebuah Kajian Terhadap

Konsep Cahaya Suhrawardi. Pengantar: Sharin Harahap. (Jakarta, Riora Cipta).

Descartes, Rene. 2015. Diskursus & Metode: Mencari Kebenaran

dalam Ilmu-Ilmu Pengetahuan. Diterjemahkan oleh Ahmad Faridl Ma‟ruf. (Yogyakarta:,IRCiSoD)

Edward, Paul (ed.). 1967. The Rncyclopedia of Philosophy Effendy, Edy A. (Ed.). 1999. Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat,

(Bandung: Zaman Wacana Mulia).Fachry, Majid. 1983. A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press).

Farouq, Abu Zaid. t.t. asy-Syari‟ah al-Islamiyah Bain al-Muhafizhin

wa al-Mujaddidin. Kairo: Dar al-Mauqif. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad. 1322 H.

Al-Mustashfa fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr. -------. t.t. Mi‟yar al-„Ilm. Beirut: Dar al-Fikr. -------. t.t. Ihya` „Ulum ad-Din. Beirut: Dar al-Fikr. ........., 2000. Tahafut al-Falasifah. Beirut: Dar al-Fikr. ........., 1987. Maqashid al-Falasifah, (beirut: Dar al-Fikr).

Page 320: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

306_Duski Ibrahim

Graudy, Roger. 1984. Janji-Janji Islam. diterjemahkan dari Promesses De L”Islam oleh H.M. Rasyidi. Jakarta: Bul;an Bintang.

Hallaq, Wael. 1997. A History of Islamic Legal Theories. London:

Cambridge University Press. Handrianto, Budi. 2010. Islamisasi Sains: Sebuah Upaya

Mengislamkan Sains Barat Modern, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar).

Hasan, Ahmad. 1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Jakarta:

Pustaka Pelajar). Hasan, Ali. 1995. Ilmu Mantiq: Logika, (Jakarta: Pedoman Ilmu

Jaya). Hasballah, „Ali. 1986. Ushul at-Tasyri‟ al-Islami, Mesir: Dar al-

Ma‟arif). Hatta, Mohammad. 1986. Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-

Press). Husaini, Adian, et. Al. 20013. Fisafat Ilmu: Perspektif Barat dan

Islam, (Jakarta gema Insani). Ibn al-„Arabi. 2008. Fushush al-Hikam: Permata Hikmah Wahdat al-

Wujud, Diterjemahkan oleh Jaffar Jufri. Ibn al-Manzhur, 1955. Lisan al-„Arab, (Beirut: Dar al-Fikr). Ibn Rusyd, Abu al-Walid, 1989. Tahafut at-Tahafut. (Beirut: Dar

al-Fikr). Ibn al-Qayyim, Syams ad-Din. 1977. I‟lam al-Muwaqqi‟in „an

Rabb al-„Alamin. Beirut: Dar al-Fikr.

Page 321: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_307

Ibn Khaldun, Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr. Ibn Rusyd, Abu al-Walid. Tahafut at-Tahafut. Beirut: Dar al-Fikr. Ibrahim, Duski. 2008. Metode Penetapan Hukum Islam:

Membongkar Konsep al-Istiqra` al-Ma‟nawi, (Jogyakarta: ar-Ruzz Media).

......., 2014. Risalah Tasawuf: Media Bagi Para Pencari Kebahagiaan

dan Kebenaran Hakiki, (Palembang: Grafika Telendo Press). ............. 2015. Bangunan Ilmu dalam Islam. (Palembang: Karya

Sukses Mandiri). Iqbal, Muhammad, 1981. The Reconstruction of Relegious Thought

in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan). Irving, M. Copi. 1978. Introduction to Logic, (New York:

Macmillan Publishing). --- dan Gould James A. 1971. Reading on Logic , (New York:

Macmillan Publishing). Joachim Friedrich, Carl. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis,

(Bandung: Nusa Media). Jujun Suriasumantri, 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar

Populer, (Jakarta: Bulan Bintang) Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Integrasi Ilmu: sebuah Rekonstruksi

Holisti. Bandung: “Arasy UIN Press). ---. 2006. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan). Khallaf, Asbdul Wahhab, 1968. „Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: ad-

Dar al-Kuwaitiyah).

Page 322: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

308_Duski Ibrahim

Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua. 2013. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius).

Khan, Wahiduddin. 1985. Revolusi Pemikiran Islam.

Diterjemahkan oleh Rahmatullah Munaf dan Ali Fami Arsyad., (Jakarta: Media da‟wah).

Al-Khin, Mushthafa Sa‟id. 1983. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa‟id al-

ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha`, (Beirut: Mu`assasah). Koentjaraningrat. 1995. Metode-Metode Penelitian Masyarakat,

(jakarta: PT. Gramedia). Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Filsafat Ilmu Klasik Hingga

Kontemporer, (Jakarta: Rajagrafindo Persada). Lubus, Nur Ahmad Fadhil. 1984. Pengantar Filsafat Umum,

(Medan: IAIN Press). Lucas, Henry. 1993. Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan

(Terj), (Yogyakarta: Tiara Wacana). Luwes, Ma‟luf. 1992. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut:

Dar al-Fikr). Al-Madani, Muhammad. t.t. Mawathin al-Ijtihad fi asy-Syari‟ah al-

Islamiyah, Beirut: al-Maktab al-Islami). Al-Mahalli, Jalaluddin, t.t. al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, (Jeddah:

al-Haramain). Al-Makki, Syekh Abu Thalib. t.t. „Ilm al-Qulub. (Kairo:

Maktabah al-Qahirah). Al-Mallawi, Ahmad. t.t. Syarah as-Sullam al-munawraq fi „Ilm al-

Manthiq, (Jedah: al-Haramain).

Page 323: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_309

Mas‟ud, Muhammad Khalid. 1977. Islamic Legal Philosophy: A Staudy of Abu Ishaq al-Shatibis‟ Life and thought. Islamabad: Islamic Research Institute.

Maufur. 2008. Filsafat Ilmu, (Bandung: CV. Bintang Warli

Artika). Mortono. 980. Filsafat Kosmologi/Filsafat Alam Semesta,

(Yogyakarta: liberty). Moten, Abd al-Rasyid, 1990. “Islamization of Knowledge”

Methodology of Research in Political Science, American Journal of Islamic Social Science.

Mudzhar, M. Atho`. 1998. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan

Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Muhammad „Imarah, Ma‟alim al-Manhaj al-Islami. Kairo: Dar al-

Fikr al-„Arabi. Muhadjir, Noeng. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif,

(Yorakara: Rake Sarasin). Musa, Muhammad Yusuf. 1988. Islam Suatu Kajian Komprehensif.

Daiterjemahkan dari Al-Islam wa Hajah al-Insaniyah Ilaih oleh Malik Madani dan Hamim Ilyas. Jakarta: Rajawali Pers.

An-Nasysyar, „Ali Sami. 1947. Manhaj al-bahts „Ida Mufakkiri al-

Islam wa naqd al-Muslimin li al-Manthiq al-Aristhothelisi. Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabi.

Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI

Press). .................. 1978. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:

Bulan Bintang).

Page 324: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

310_Duski Ibrahim

.................., 1999. Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, (Jakarta: UI Press).

Nasution, Hsyimsyah. 1999. Filsafat Islam, (Jakarta: gaya Media

Pratama). Nata, Abuddin. 2012. Sejarah Sosial Intelektual Islam, (Jakarta:

RajaGrafindo Persada) Omar Hasan Kasule Islamic Epistemology and Integration of

Knowledge in The Islamic University: The Islamic Epistemology and Curriculum Reform Project, (Makalah: Tidak diterbitkan)

Osman Bakar, Reformulating a Comprehensive Relationship

Between Islam and Science: An Islamic Perspektive, (Makalah: Tidak diterbitkan).

........ 2008. Tauhid $ Sains: Perspektif Islam tentang Sgama dan

Sains. Pengantar Seyyed Hoessein Nasr. (Jakarta: Pustaka Hidayah).

Palmer, Richard. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai

Interpretasi. Diterjemahkan oleh Musnur Hery & Damanhuri Muhammad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

Poejdjawijatna, 1980. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta:

Pembangunan). .......... 1983, Tahu dan Pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat,

(Jakarta: Bina Aksara). 2002. Logika: Filsafat Berpikir, (Jakarta: Rineka Cipta). Praja, Juhaya S. 2002. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam,

(Bandung Teraju).

Page 325: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_311

Pranarka, A.M.W. 1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, (Jakarta: CSIS).

Rahman, Fazlur. 1994. Islamic Methodolgy in History, (Delhi

India: Adams Publisher & Distributors). ....... 1984. Membuka Pintu Ijtihad. Diterjemahkan oleh Anas

Mahyuddin. (Bandung: Pustaka Hidayah). Rasjidi, H.M. 1974. Empat Kuliah Agama Islam, (Jakarta: Bulan

Bintang). Rosenthal, Franz. 1972. Knowledge Triumphat: The Concept of

Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: E. J. Brill). Russel, Betrand. 1947. A History of Western Philosophy, (London:

Feffer & Simons Inc). Safi, Louay, 1996. The Foundation of Knowledga: A Comparative

Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, (Selangor: International Islamic University Malaysia Press).

Soebagio, Mas dan Slamet Suoriatna. 1992. Dasar-Dasar Filsafat

Suatu Pengantar Ke Filsafat Hukum, (Jakarta: Alademika Pressindo).

Soemaryono, E. 1999. Hemeneutik: Sebuah Metode Filsafat,

(Yogyakarta: Kanisius). Soetiksno. Filsafat Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita) Solihin, 2001. Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang Al-Ghazali,

(Bandung: Pustaka Setia). Sonnebor, Liz. 2013. Everroes (Ibn Rysyd): Filsuf dan Ilmuwan

Muslim Abad ke 12. Diterjemahkan oleh Muhammad Abe, (Jakarta: PT. Gramedia).

Page 326: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

312_Duski Ibrahim

Sou‟yb, Joesoef. 1982. Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembanan Alam Pikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Ahusna).

Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat

pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius Sumardi. Mulyanto (ed.). 1985. Penelitian Agama: Masalah dan

pemikiran, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan). Surajio, 2010. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia: Suatu

Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara). Susanto, A. Jakarta: Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi

Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Bumi Aksara). Syafe‟i, H. Zakaria. 2010. Falsafah dan Metodologi Hukum Islam,

(Banten: PUD Press). Asy-Syafi‟i, Muhammad ibn Idris. Ar-Risalah. Kairo: Mushthafa

al-Babi al-Halabi wa Auladuh. Asy-Syahrastani, t.t. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr. Asy-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa. 1977. Al-Muwafaqat fi

Ushul asy-Syari‟ah. Ar-Riyadh: Maktab ar-Riyadh al-Haditsah.

-------. t.t. al-I‟tisham. Beirut: Dar al-Fikr. Tafsir, Ahmad. 2002. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales

Sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya). .......... 2006. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan

Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Rosda Karya). Titus, Harold H. (et al). 1994. Persoalan-Persoalan Filsafat.

Diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang).

Page 327: Prof. Dr. H. Duski Ibrahim, M.Ag.repository.radenfatah.ac.id/4301/1/lengkap.pdf · ii Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin

Filsafat Ilmu_313

„Ulwan, Fahmi Muhammad. 1989. Al-Qiyam adh-Dharuriyah wa Wa Maqashid at-Tasyri‟ al-Islami. Kairo: al-Hai`ah al-Mishriyah al-„Ammah.

Yazdi, Mehdi Ha`iri. 1992. The Principles of Epistemology in

Islamic Philosophy: Knowledge by Presence, (Albany: State University Press).