PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 748 GENESA BATUGAMPING MERAH DI DAERAH SIUNG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN TEPUS DAN GIRISUBO, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Anastasia Dewi Titisari 1* Adnan Hendrawan 1 Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada *corresponding author: [email protected]ABSTRAK Salah satu formasi batuan yang memiliki potensi batugamping dalam jumlah besar adalah Formasi Wonosari-Punung yang tersingkap di daerah Gunungkidul dan sekitarnya. Batugamping Formasi Wonosari-Punung umumnya berwarna putih hingga abu-abu. Akan tetapi, di daerah Siung dan sekitarnya, dijumpai batugamping berwarna merah yang memiliki persebaran secara setempat-setempat. Kehadiran batugamping merah ini cukup unik karena berada di sekitar tubuh gunung api purba sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai genesa batugamping merah di daerah tersebut. Karakteristik petrografi dan geokimia oksida utama sangat membantu dalam menjelaskan genesa batugamping merah di daerah penelitian. Pengamatan petrografi pada batugamping merah menunjukkan kehadiran kalsit, kuarsa, hematit, dan titanit. Analisis geokimia oksida mayor menunjukkan adanya pengayaan senyawa SiO 2 , Al 2 O 3 , Fe 2 O 3 , MnO, TiO 2 , dan SrO, , sedangkan kandungan CaO pada batugamping merah lebih rendah daripada batugamping putih. Pengayaan SiO 2 , Fe 2 O 3 , dan TiO 2 berkaitan dengan kehadiran mineral hematit dan titanit yang diduga sebagai mineral pengontrol warna merah pada batugamping, sementara pengayaan MnO dan SrO memberikan kontrol warna merah pada batugamping dalam bentuk unsur bukan dalam bentuk mineral. Pengayaan SiO 2 , Al 2 O 3 , dan TiO 2 diinterpretasikan berasal dari material terigenus yang masuk ke dalam cekungan pengendapan batugamping serta turut berperan dalam pembentukan batugamping merah. Hal ini juga didukung dengan kehadiran kuarsa sebagai penciri mineral terigen. Pengayaan Fe 2 O 3 dan MnO, serta korelasi positif antara Mn dan Sr mengindikasikan bahwa terjadi proses diagenesis yang turut berperan dalam pembentukan warna merah pada batugamping. Hal ini juga didukung dengan kehadiran stylolite pada batugamping merah yang terbentuk dari kompaksi kimia selama proses diagenesis. Kompaksi kimia biasanya disertai dengan pembebasan unsur Fe yang akan membentuk mineral hematit di sekitar stylolite. Kata Kunci : batugamping merah, formasi Wonosari-Punung, mineralogi, geokimia 1. Pendahuuan Formasi Wonosari-Punung merupakan formasi penyusun Pegunungan Selatan Jawa Timur yang memiliki potensi sumberdaya batugamping dalam jumlah banyak. Menurut Surono dkk (1992), Formasi Wonosari-Punung tersusun oleh batugamping, batugamping napalan-tufan, batugamping konglomerat, batupasir tufan, dan batulanau. Siregar dkk (2004) menyebutkan bahwa batugamping Formasi Wonosari-Punung pada umumnya berwarna putih hingga abu-abu. Akan tetapi, di daerah Siung, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul dijumpai batugamping Formasi Wonosari-Punung yang berwarna merah dengan penyebaran secara setempat-setempat. Kehadiran batugamping merah ini cukup unik karena berada di sekitar batuan beku Formasi Wuni sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai genesa batugamping merah di daerah tersebut.
17
Embed
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN ... · batugamping merah kristalin tidak dijumpai skeletal grain, Batugamping kristalin memiliki kandungan sparit yang lebih melimpah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
748
GENESA BATUGAMPING MERAH DI DAERAH SIUNG DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN TEPUS DAN GIRISUBO, KABUPATEN GUNUNGKIDUL
Anastasia Dewi Titisari1*
Adnan Hendrawan1
Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada
berpengaruh terhadap pembentukan warna merah pada batugamping. Satuan lava andesit dan
intrusi hornblende merupakan bagian dari tubuh gunung api purba Batur yang merupakan
suatu gunung api darat (Hartono dan Bronto, 2007). Oleh sebab itu, dapat diinterpretasikan
bahwa kedua satuan batuan tersebut dapat memberikan suplai material terigenus yang dapat
meyebabkan terbentuknya warna merah pada batugamping.
Proses pelapukan dan erosi menyebabkan beberapa material terlepas dari batuan induk.
Material-material terigen tersebut membawa beberapa unsur kimia, seperti Si, Ti, Al, Fe, Mn,
dan Sr. Kemudian, ketiga unsur tersebut mengalami transportasi oleh sungai dan akhirnya
masuk ke dalam cekungan pengendapan batugamping. Saat presipitasi berlangsung, Fe, Mn,
dan V terikat di dalam struktur kristal mineral karbonat sehingga menyebabkan terbentuknya
warna merah pada batugamping.
Adanya penambahan material terigenus pada batugamping merah juga diperkuat dengan
beberapa bukti hasil analisis geokimia. Penambahan material terigenus dicirikan dengan
pengayaan beberapa senyawa penciri material terigen pada batugamping merah, seperti SiO2,
Al2O3, dan TiO2 (Nagarajan dkk, 2011; Song dkk, 2014). Ketiga senyawa tersebut juga
menunjukkan korelasi negatif yang signifikan terhadap CaO sehingga dapat diinterpretasikan
bahwa senyawa-senyawa tersebut bukan berasal dari air laut. Hasil analisis petrografi
menunjukkan bahwa pada batugamping merah juga dijumpai mineral kuarsa. Meskipun
kuarsa bukan mineral pengontrol warna merah pada batugamping, tetapi kuarsa merupakan
salah satu penciri material terigen (Nagarajan dkk, 2011).
Batugamping merah yang memiliki persebaran di sekitar struktur geologi
mengindikasikan bahwa terdapat proses paska pengendapan (post-sedimentary) yang berperan
dalan pembentukan warna merah pada batugamping. Pengamatan di lapangan dan hasil
analisis petrografi menunjukkan bahwa terdapat stylolite pada batugamping merah dan
beberapa mineral berwarna merah terkonsentrasi di sekitar stylolite. Stylolite mencirikan
terjadinya proses kompaksi kimia pada saat diagenesis batugamping (Azizi dkk, 2014). Hasil
analisis laboratorium juga menunjukkan adanya kehadiran mineral hematit dan titanit dimana
mineral-mineral tersebut dapat dipakai sebagai indikasi pengontrol warna merah pada
batugamping karena proses diagenesis (Speer dan Gibbs, 1976; Klein dan Hurlbut Jr., 1995;
Flugel, 2010). Oleh sebab itu, dapat diinterpretasikan bahwa proses diagenesis juga berperan
dalam pembentukan warna merah pada batugamping. Selain memberikan pengaruh warna
merah dengan membentuk mineral, larutan yang berperan sebagai agen diagenesis juga
membawa unsur kimia yang juga mengontrol pembentukan warna merah pada batugamping,
yaitu Fe, Mn, dan Sr.
Proses diagenesis yang terjadi pada batugamping merah juga diperkuat dengan beberapa
bukti hasil dari analisis geokimia. Batugamping merah memiliki kandungan Fe2O3 dan MnO
yang lebih tinggi daripada batugamping putih. Menurut Nagarajan dkk (2011) dan Song
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
754
(2014), pengayaan Fe2O3 dan MnO salah satu penciri proses diagenesis karena kedua senyawa
tersebut banyak terkandung oleh fluida diagenesis yang bersifat oksidatif. Selain itu, proses
diagenesis juga dicirikan dengan korelasi positif antara Mn dengan Sr (Madhavaraju dan Lee,
2009) (Gambar 13).
Selama diagenesis berlangsung, proses yang menyebabkan terbentuknya warna merah
pada batugamping adalah kompaksi mekanik dan kompaksi kimia (Flugel, 2010). Kompaksi
mekanik terjadi akibat pembebanan sedimen (burial). Efek yang ditimbulkan dari proses
kompaksi mekanik, antara lain terbentuknya retakan pada batugamping, butiran penyusun
batugamping saling berdekatan, dan berkurangnya porositas (Azizi dkk, 2014). Karena
batugamping di daerah penelitian berupa memiliki kemas terbuka (mud supported) dan
dominan tersusun oleh matriks berukuran halus maka butiran penyusun yang saling
berdekatan sulit diamati. Akan tetapi, terbentuknya retakan akibat kompaksi mekanik pada
batugamping dapat dengan mudah diamati dilapangan maupun pada pengamatan petrografi.
Proses kompaksi mekanik juga menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan tekanan
sedimen yang menginisiasi terjadinya interaksi antara ion Ca2+
, Ti4+
, dan Si4+
untuk
membentuk mineral titanit yang menyebabkan terbentuknya warna merah pada batugamping
(Speer dan Gibbs, 1976; Klein dan Hurlbut Jr., 1995).
Kompaksi mekanik yang terjadi secara terus - menerus, menyebabkan terjadinya tekanan
larutan pada kontak antar butiran penyusun batugamping. Tekanan larutan akan melarutkan
permukaan butiran sehingga menghasilkan stylolite. Peristiwa ini dinamakan sebagai
kompaksi kimiawi (Ben-Itzhak dkk, 2014). Retakan yang dihasilkan dari kompaksi mekanik
dan stylolite yang terbentuk akibat kompaksi kimiawi dapat menjadi jalan bagi larutan yang
menjadi agen proses diagenesis. Larutan yang bersifat oksidatif akan membawa koloid
lempung yang mengandung beberapa unsur kimia, seperti Fe, Mn, dann Sr. Unsur-unsur
tersebut akan dilepaskan dan masuk ke dalam batugamping. Unsur Fe akan terpresipitasi
sebagai mineral hematit apabila lingkungan diagenesis bersifat oksidatif (Flugel, 2010).
Sementara itu, unsur Mn dan Sr memberikan pengaruh warna merah pada batugamping merah
dalam bentuk unsur pengotor dalam struktur kristal mineral karbonat, bukan dalam bentuk
mineral.
5. Kesimpulan
Persebaran batugamping merah di daerah Siung dan sekitarnya dikontrol oleh aspek
litologi dan struktur geologi, yaitu pada batugamping floatstone yang berada di sekitar kontak
litologi dengan satuan lava andesit, serta di daerah dengan pola kelurusan struktur yang
intensif. Mineral pengontrol warna merah pada batugamping adalah hematit dan titanit,
sedangkan unsur kimia pengontrol warna merah pada batugamping adalah Fe, Mn, dan Sr.
Proses geologi yang berperan dalam pembentukan warna merah pada batugamping adalah
penambahan material terigenus yang diindikasikan berasal dari satuan lava andesit dan satuan
intrusi andesit hornblende; dan proses diagenesis, berupa kompaksi mekanik dan kompaksi
kimiawi yang dicirikan dengan kehadiran stylolite.
Acknowledgements
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan dana hibah untuk membiayai pelaksanaan
penelitian ini.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
755
Daftar Pustaka
Atmoko, D.D., Titisari, A.D., dan Idrus, A. (2016). Mineralogi dan Geokimia Batugamping Merah
Ponjong, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta – Indonesia, in: Riset Geologi dan
Pertambangan, Vol. 26 (1), p. 55 – 69.
Azizi, S.H.H., Shabestari, G.M., dan Khazaei, A. (2014). Petrography and Geochemistry of
Paleocene-Eocene Limestone in the Ching-dar Syncline, Eastern Iran, in: Geoscience
Frontiers, Vol. 5, p. 429 – 438.
Babu, K., Prabhakaran, R., Subramanian, P., dan Selvaraj, B. (2014). Geochemical Characterization
of Garudamangalam Limestone Cretaceous of Ariyalur Tamilnadu, India, in: International
Journal of Geology, Agriculture and Environmental Science, Vol. 2, p. 17 – 22.
Ben-Itzhak, L.L., Aharonov, E., Karcz, Z., Kaduri, M., dan Toussaint, R. (2014). Sedimentary Stylolite
Networks and Connectivity in Limestone: Large-scale Field Observations and Implications for
Structure Evolution, [pdf], (https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-00961075v2, diakses tanggal
18 Februari 2017).
Boggs, S. (2009). Petrology of Sedimentary Rocks, Cambridge University Press, Cambridge, 600 p.
Brahmantyo, B. (2006). Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) untuk Pemetaan Geomorfologi
pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya untuk Penataan Ruang, in: Jurnal Geoaplika, Vol. 1 (2),
p. 71 – 78.
Flugel, E. (2010). Microfacies of Carbonate Rocks. Springer, Berlin, 984 p.
Hartono, G., dan Bronto, S. (2007). Asal-usul Pembentukan Gunung Batur di daerah Wediombo,
Gunungkidul, Yogyakarta, in: Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 (3), p. 143 – 158.
Hurbut, C.S. (1952). Dana’s Manual of Mineralogy. John Wiley and Sons, Inc., New York, 530 p.
Klein, C dan Hurlbut Jr, C.S. (1995). Manual of Mineralogy. Wiley, New York, 681p.
Le Bas, M.J., Le Maitre, R.W., Streckeisen, A., dan Zanettin, B. (1986). A Chemical Classification of
Volcanic Rocks Based on Total Alkali-Silica Diagram, in: Journal of Petrology, Vol. 27 (3), p.
745 – 750.
Madhavaraju, J., dan Lee, Y.I. (2009). Geochemistry of the Dalmiapuram Formation of the Uttatur
Group (Early Cretaceous), Cauvery Basin, Southeastern India: Implications on Provenance
and Paleo-redox Conditions, in: Revista Mexicana de Ciencias Geologicos, Vol. 26 (2), p. 380
– 394.
Mottana, A., Crespi, R., dan Liborio, G. (1978). Guide to Rocks and Minerals. Simon and Schuster
Inc, New York, 607 p.
Mustakim, W.Y., Idrus, A., Setiadji, L.D., dan Warmada, I.W. (2014). Geologi dan Alterasi
Hidrotermal di Gunung Batur, Wediombo, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta,
in: Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-7, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada, p. 657 – 664.
Nagarajan, R., Madhavaraju, J., Armstrong-Altrin, J.S., dan Nagendra, R. (2011). Geochemistry of
Neoproterozoic Limestone of the Shahabad Formation, Bhima Basin, Karnataka, southern
India, in: Geoscience Journal, Vol. 15 (1), p. 9 – 25.
Nassau, K. (1978). The Origins of Color in Minerals, in: American Mineralogist, Vol. 63, p. 219 –
229.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
756
Siregar, M.S., Kamtono, Praptisih, dan Mukti, M.M. (2004). Reef Facies of the Wonosari Formation,
South of Central Java, in: Riset Geologi dan Pertambangan, Vol. 14 (1), p. 1 – 17.
Song, C., Herong, G., dan Linhua, S. (2014). Geochemical Characteristics of REE in the Late Neo-
proterozoic Limestone from Nothern Anhui Province, China, in: China Journal of
Geochemistry, Vol. 33, p. 187 – 193.
Speer, J.A., dan Gibbs, G.V. (1976). The Crystal Structure of Synthetic Titanite, CaTiOSiO4, and the
Domain Textures of Natural Titanites, in: American Mineralogist, Vol. 61, p. 238 – 247.
Surono, Toha, B., dan Sudarno, I. (1992). Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro skala 1:100.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Todd, T.W. (1966). Petrographic Classification of Carbonate Rocks, in: Journal of Sedimentary
Petrology, Vol. 36 (2), p. 317 – 340.
Van Zuidam, R.A. (1985). Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic
Mapping. ITC, Smits Publ., Enschede, The Hagu, 442 p.
Gambar 1. Peta indeks lokasi penelitian.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
757
Gambar 2. Peta geologi daerah penelitian
Gambar 3. (a) Contoh setangan batugamping merah floatstone dari sampel AH-3. (b) Contoh
setangan batugamping merah kristalin dari sampel AH-52
Gambar 4. Kenampakan stylolite pada contoh setangan batugamping merah dari sampel AH-6
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
758
Gambar 5. Interpretasi pola kelurusan struktur geologi dari digital elevation model
Gambar 6. Kenampakan mikroskopis batugamping merah. Batugamping merah floatstone (AH-54)
pada kenampakan PPL (a) dan XPL (b). Batugamping merah kristalin (AH-51) pada
kenampakan PPL (c) dan XPL (d). Keterangan: F = foraminifera besar, B = foraminifera kecil bentonik, P = foraminifera kecil plangtonik, Lbm = litik batugamping mudstone,
Hem = hematit, Ttn = titanit, Op = mineral opak, mi = mikrit, sp = sparit
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
759
Gambar 7. Kenampakan mikroskopis batugamping putih. Batugamping putih (AH-9) pada
kenampakan PPL (a) dan XPL (b). Batugamping putih (AH-21) pada kenampakan PPL
(c) dan XPL (d). Keterangan: F = foraminifera besar, A = alga merah, Hem = hematit, Op
= mineral opak, mi = mikrit, sp = sparit
Gambar 8. Kenampakan mikroskopis batuan beku. Lava andesit (AH-8) pada kenampakan PPL (a)
dan XPL (b). Intrusi andesit hornblende (AH-15) pada kenampakan PPL (c) dan XPL (d)
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
760
Gambar 9. Kurva kelimpahan oksida utama batugamping dan batuan beku
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
761
Gambar 10. Diagram bivariat antara CaO terhadap beberapa oksida utama pada batugamping
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
762
Gambar 11. Hasil pengeplotan sampel batuan beku pada diagram TAS (Le Bas dkk, 1986).
Gambar 12. Persebaran batugamping merah terhadap litologi dan struktur geologi di daerah
penelitian
Gambar 13. Diagram bivariat antara Mn dengan Sr
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
763
Tabel 1. Rangkuman hasil analisis petrografi batugamping merah dan batugamping putih Kode