PROBLEMATIKA PERNIKAHAN USIA DINI DALAM PENDIDIKAN KELUARGA ISLAM (Studi Kasus di Kampung Pasirputih, Sukajaya, Cilamaya Kulon, Karawang) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh UMI HANI NIM 11140110000075 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1440 H
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PROBLEMATIKA PERNIKAHAN USIA DINI DALAM
PENDIDIKAN KELUARGA ISLAM
(Studi Kasus di Kampung Pasirputih, Sukajaya,
Cilamaya Kulon, Karawang)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
UMI HANI
NIM 11140110000075
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1440 H
i
ABSTRAK
Umi Hani, (NIM: 11140110000075). “Problematika Pernikahan Usia Dini
dalam Pendidikan Keluarga Islam (Studi Kasus di Kampung Pasirputih,
Sukajaya, Cilamaya Kulon, Karawang)”. Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Drs. Aminuddin Yakub, M.Ag
Latar belakang masalah dalam penelitian ini adalah masih ditemukannya
fenomena pernikahan usia dini khususnya dikampung Pasirputih, Sukajaya,
Cilamaya kulon, Karawang. Pendidikan Agama Islam bagi keluarga adalah upaya
orang tua sebagai orang yang memiliki tanggung jawab memberikan pendidikan
Islam bagi anak dalam keluarga untuk membiming jasmani dan rohani anak agar
dapat berkembang secara maksimal sesuai dengan tujuan syariat Islam. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan dini
problematika pernikahan usai dini dalam pendidikan keluarga Islam. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data yang
digunakan ialah teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik
analisisnya adalah dengan cara mendeskripsikan data-data secara sistematik dan
diinformasikan sedemikian rupa sehingga diperoleh kesimpulan yang
komprehensif.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya pernikahan usia dini di kampung Pasirputih, Sukajaya, Cilamaya
Kulon, Karawang adalah faktor perjodohan, ekonomi, keinginan sendiri dan
pergaulan bebas. Sedangkan mengenai problematika pernikahan usia dini dalam
Pendidikan Agama Islam dalam keluarga adalah praktik pernikahan usia dini
memiliki dampak positif dan negatif bagi pelakuknya. Dampak positif dari
pernikahan usia dini ini adalah timbulnya kesadaran bahwa menjadi orang tua
tidaklah mudah perlu kesiapan fisik dan mental, menjalankan salah satu sunnah
Rosulullah dengan melakukan pernikahan, dan menghindari zina. Selain positif
ada sisi negative bagi pelaku pernikahan usia dini yaitu terjadinya perceraian,
terjadi pertengkaran dan ketidakharmonisan dalam keluarga. Selain itu
problematika atau masalah pernikahan usia dini dalam keluarga adalah
ketidakmampuan orang tua dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan agama
kepada anak karena pendidikan orang tua yang rendah terhadap agama Islam dan
kondisi jiwa yang belum matang, maka keluarga pasangan usia dini ini
membutuhkan bimbingan dan pendidikan agama dari orang lain yaitu ustadz, guru
yang dapat memberikan pengetahuan-pengetahuan agama yang lebih kepada
pasangan pernikahan usia dini.
Kata Kunci: Problematika, Pernikahan Dini, Keluarga
ii
ABSTRACT
Umi Hani, (NIM: 11140110000075). "Early Marriage Problems in Islamic
Family Education (Case Study in Pasirputih Village, Sukajaya, Cilamaya
Kulon, Karawang)". Department of Islamic Education, Faculty of Tarbiyah
and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.
Supervisor: Drs. Aminuddin Yakub, M.Ag
The background of the problem in this study is that the phenomenon of
early marriage is still found, especially in the village of Pasirputih, Sukajaya,
Cilamaya kulon, Karawang. Islamic Education for families is an effort of parents
as people who have the responsibility to provide Islamic education for children in
the family to guide the body and spirit of the child so that they can develop
optimally in accordance with the objectives of Islamic law. This study was
conducted to determine the factors that cause early marriage marriage problems
after early in Islamic family education. This study uses descriptive qualitative
methods. Data collection techniques used are observation, interview and
documentation techniques. The analysis technique is to describe the data
systematically and be informed in such a way that a comprehensive conclusion is
obtained.
The results of this study explain that the factors that led to early marriage
in the village of Pasirputih, Sukajaya, Cilamaya Kulon, Karawang are factors of
matchmaking, economics, self-interest and promiscuity. While regarding the
problem of early marriage in Islamic Education in the family is the practice of
early marriage has a positive and negative impact on the performer. The positive
impact of this early marriage is the emergence of awareness that being a parent is
not easy to need physical and mental readiness, carrying out one of the Sunnah of
the Prophet by conducting a marriage, and avoiding adultery. Besides being
positive there is a negative side for early marriage actors, namely divorce, family
disputes and disharmony. In addition, the problem or the problem of early
marriage in the family is the inability of parents to provide religious knowledge to
children because of the low education of parents to the religion of Islam and
immature mental conditions, the families of these early couples need guidance
and religious education from others, namely ustadz, teachers who can provide
more religious knowledge to early marriage partners.
Keywords: Problems, Early Marriage, Family
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Problematika
Pernikahan Usia Dini dalam Pendidikan Keluarga Islam (Studi Kasus di Kampung
Pasirputih, Sukajaya, Cilamaya Kulon, Karawang)”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada
jenjang Strata Satu (S1) di Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis mendapatkan bantuan, dukungan, dan dorongan dari berbagai
pihak dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih kepada:
1. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
FITK UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
3. Marhamah Saleh, Lc., M.A., Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. Aminudin Yakub, M.Ag., Dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya dan memberikan arahan serta masukan kepada penulis, sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Dr. Asril DT Paduko Sindo, M.A., Dosen Pembimbing Akademik yang
selama empat tahun ini menemani perjalanan studi penulis dengan arahan
dan motivasinya.
6. Bapak dan ibu dosen Pendidikan Agama Islam yang telah mengajar dan
memberikan ilmunya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
7. Abdul Ghofur Astra, S.Pd., Kepala Desa Sukajaya, Cilamaya Kulon,
Karawang beserta seluruh Staf desa Sukajaya.
8. Seluruh warga kampung Pasirputih yang terlibat dalam penulisan Skripsi
ini, penulis ucapkan terimakasih sedalam-dalamnya yang telah
iv
meluangkan waktu, memberikan informasi dan data kepada penulis untuk
membantu menyelesaikan Skripsi ini.
9. Kedua orang tua penulis, Mimi Barkah dan Bapak Kartomo tersayang.
Terima kasih telah membesarkan, mendidik, dan menjaga Hani dengan
penuh kasih sayang. Semua bantuan, dukungan, dan nasihat dari Mimi dan
Bapak tidak ternilai harganya. Segala yang telah Bapak dan Mimi berikan
semoga Allah balas dengan balasan yang terindah. Terimkasih atas segala
pengorbanan yang tiada hentinya, Pak, Mi. Hani sayang kalian, ini untuk
Mimi dan Bapak.
10. Adiku tercinta, Fahri Dwi Ramadhan, yang mewarnai hidup penulis
dengan candaan dan kenakalannya.
11. Keluarga besar Bani Tarab Indramayu, dan Keluarga besar Bani Hasbulah
Karawang. Terimakasih atas segala dukungan dan kasih sayangnya.
12. Teman-teman seperjuangan, mahasiswa-mahasiswi PAI angkatan 2014,
khususnya APACHE, penulis sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari
kalian.
13. Warga-wargi KMIK (Keluarga Mahasiswa Islam Karawang) Jakarta yang
menjadi keluarga kedua penulis mba Fikri, Incess Ila, Indini.
14. Teman-teman kosan pak Zahwan Raspiani, Liyani, Milda, Samroh, Nazma
Alumni Penghuni Asrama Purti KMIK Jakarta, Feni, Irma, Teh Nadya,
Rahma, dan Ainun, Teh Aisyah, Teh Hanan, Teh Fida, Teh Fitri.
15. Semua pihak yang telah mendoakan dan menyemangati penulis.
Semoga seluruh pihak yang mendoakan dan memberikan bantuan kepada
penulis senantiasa diberikan keberkahan oleh Allah SWT. Penulis menerima kritik
dan saran yang membangun untuk skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
memberikan kegunaan bagi seluruh pihak.
Jakarta, 10 Desember 2018
Penulis
UMI HANI
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ...................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 6
C. Pembatasan Masalah .................................................................... 7
D. Perumusan Masalah ..................................................................... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pernikahan Usia Dini ................................................................. 9
keluarga yang matang yang siap dan tahu fungsi dan cara mendidik anak
dengan baik, maka kehadiran anak menjadi sebuah anugerah dan sarana
meraih kebahagiaan di dunia maupun akhirat
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun
2003 tentang system Pendidikan Nasional bagian kedua pasal 7 Hak dan
Kewajiban orang tua, menegaskan bahwa “Orang tua berhak berperan
serta dalam memilih satuan Pendidikan dan memperoleh informasi tentang
perkembangan Pendidikan anaknya. Orang tua dari anak usia wajib
belajar, berkewajiban memberikan Pendidikan dasar kepada anaknya”.3
Dari Undang-Undang tersebut jelas dikatakan bahwa tanggung
jawab orang tua sangat besar dalam memberikan Pendidikan yang layak
bagi anaknya. seperti yang ditulis oleh Abdul Qadir Djaelani “Kewajiban
ayah dan ibu dalam mendidik anak-anaknya, baik dari segi pembawaan
maupun dari segi lingkungan”.4 karena itu dalam hukum Islam ada istilah
hadanah. Para ahli hukum Islam mendefinisikan hadanah ialah melakukan
pemelihaaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun
perempuan, atau yang telah besar tetapi belum baligh dengan menyediakan
sesuatu yang menjadikan ia baik, mendidik jasmani, rohani dan akalnya
agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul
tanggung jawabnya.
Selama anak belum menginjak usia dewasa, maka orang tua
mempunyai peranan penting bagi anak-anaknya, untuk membawa kepada
kedewasaan, maka orang tua harus memberikan contoh yang baik bagi
anaknya, anak-anak cenderung bersifat peniru terhadap apa yang
dilakukan oleh orang tuanya. dengan contoh yang baik tersebut anak
dengan otomatis meniru tanpa ada paksaan. Orang tua juga dalam
memberikan sugesti kepada anak-anaknya tidak boleh dengan cara otoriter
melainkan dengan cara mendekatkan diri dengan pergaulan anak, sehingga
3 Undang-Undang Dasar RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 4 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1995), h. 212
4
anak dengan senang hati melaksanakannya tanpa pakasaan. dan hubungan
antara orang tua dengan anak terjalin dengan rasa simpati.
Pernikahan itu merupakan sesuatu yang agung dan mulia yang
harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. orang yang
melaksanakan pernikahan hendaklah terdiri atas orang-orang yang dapat
mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya itu terhadap istri atau
suaminya, terhadap keluarganya dan tentunya terhadap Allah SWT. di
dalam Al-Qur’an surah an-Nur ayat 32 Allah menganjurkan hambanya
Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa
anak dan masa ke dewasa, di mulai dari pubertas, yang ditandai
dengan perubahan yang pesat dalam berbagai aspek
perkembangan, baik fisik maupun psikis.
Ada beberapa pengertian remaja yang ditinjau dari
beberapa segi diantaranya:
Masa remaja disebut juga adolescene, yang dalam bahasa
latin berasal dari kata adolescere. Yang berarti “to grow into
adulthood”. Adolesen merupakan periode transisi dari masa anak
ke masa dewasa.30
Zakiah Dradjat mengemukakan bahwa: “usia muda
(remaja) adalah anak yang pada masa dewasa, dimana anak-anak
mengalami perubahan-perubahan cepat di segala bidang. Mereka
bukan lagi anak-anak baik untuk badan, sikap dan cara berfikir atau
bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang,
Masa ini dimulai kira-kira umur 13 tahun dan berakhir kira-kira 21
tahun”.31
Secara psikologis masa remaja adalah “usia dimana
individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak
tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya
dalam masalah hak”.32
dalam agama Islam tidak dijelaskan batasan umur remaja,
tetapi hal ini dapat dilihat ketika seseorang telah mencapai akil
baligh, itu ditandai haid (menstruasi) yang pertama bagi perempuan
30 Syamsu Yusuf dan Nani M.Sugandhi, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2011), h. 77 31 Zakiah Drajat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, tt), Cet ke-3, h. 106 32 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1980), Cet ke-5, h.
206
20
sehingga sudah boleh dinikahkan. Dan wanita di Indonesia rata-
rata haid pada usia kurang lebih 13 tahun. Sedangkan yang laki-
laki ditandai dengan mimpi basah.33
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
kedewasaan seseorang itu tidak ditinjau hanya dari umur,
seseorang yang masih remaja pun bisa dikatakan dewasa jika ia
mampu memenuhi tanggung jawabnya dengan baik.
Kedewasaan itu dinilai dari dua sudut pandang. Pertama,
berdasarkan pendekatan umur kronologis (chronologis age), yaitu
perhitungan menurut usia kelahiran. Kedua, berdasarkan
pendekatan umur mental (mental age), yaitu tingkat usia yang
didasarkan atas kemampuan mental.34 Berdasarkan sudut pandang
pertama, para ahli didik sependapat bahwa, pada anak normal
tingkat kedewasaan tercapai pada usia antara 22 tahun untuk
wanita dan 24 tahun untuk laki-laki. Pada usai tersebut
pertumbuhan jasmani seseorang sudah mencapai puncaknya.
Sedangkan kedewasaan menurut pendekatan umur mental
(mental age) ditandai oleh kemampuan untuk mandiri dan
tanggung jawab.35 Maksudnya apabila seseorang telah dapat
melakukan suatu perbuatan atas inisiatif sendiri dan buruk baiknya
sudah dipertimbangkan secara matang. Kemudian segala resiko
yang diakibatkan oleh perbuatan tersebut, sepenuhnya dapat
dipertanggungjawabkannya sebagai perbuatan sendiri. Ia tidak
mengadalkan orang lain. Bila sukses ia merasakan hal itu sebagai
hasil usaha sendiri, dan menyebabkan rasa bangga pada dirinya.
Sebaliknya bila gagal, juga ia tidak menumpahkan kesalahan
dengan mengkambinghitamkan yang lain. Ia sudah mampu
33 Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2016), h. 96 34 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 105 35 Ibid,. h. 105
21
menanggung segala bentuk resiko yang bakal terjadi dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab.
Dari beberapa pengertian usia muda atau remaja, penulis
mencoba menyimpulkan bahwa usia muda itu adalah mulai dari 10
tahun sampai 21 tahun. Yang tercakup didalamnya antara lain,
masa pra remaja, remaja awal dan remaja akhir. Jadi pernikahan
usia dini yang dimaksud oleh penulis disini adalah interaksi atau
hubungan antara dua insan yang berlainan jenis kelamin yang
didasari atas rasa suka sama suka sebagai landasan menjalankan
sunah rasul dengan sebuah pernikahan dengan tujuan mengharap
rumah tangganya menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan warahmah yang dilakukan oleh pasangan tersebut pada usia
antara 10-21 tahun.
b. Perkembangan jiwa keagamaan pada remaja
dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka
masa remaja menduduki tahap progresif atau arah yang paling
menentukan, Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya
terdapat beberapa factor perkembangan agama pada remaja
menurut W. Starbuck yang dikutip oleh Jalaluddin adalah sebagai
berikut:
1) Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja
dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik lagi bagi
mereka karena mereka merasa ide dan dasar keyakinan itu
sudah sering ia terima pada masa kanak-kanaknya. Sifat kritis
terhadap ajaran agama mulai timbul yang dulunya tidak
mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan agama, tapi
ketika beranjak dewasa ia mulai berfikir kritis. Selain masalah
agama juga remaja sudah mulai tertarik pada masalah
22
kebudayaan, social, ekonomi dan norma-norma kehidupan
lainnya.
Jalaludin mengungkapkan dalam bukunya bahwa agama
yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak
berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran
agamanya. Sebaliknya agama yang ajarannya kurang
konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang
pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga
mereka meninggalkan ajaran agamanya.36
2) Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja.
Perasaan social, etis, dan estetis mendorong remaja untuk
menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya.
Kehidupan religious akan cenderung mendorong dirinya lebih
dekat ke arah hidup yang religious pula. Sebaliknya, bagi
remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran
agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa
remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh
perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah
terperosok kea rah tindakan seksual yang negative.
3) Perkembangan social
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh
adanya pertimbangan social. Dalam kehidupan keagamaan
mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material.
Remaja cenderung sedang kebingungan menetukan pilihan itu.
Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan
materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk
faktor dasar yang paling penting dalam membina watak suatu
bangsa”.43
Jadi dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah
usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran Islam
secara menyeluruh yang tujuan akhirnya adalah dapat mengamalkan
serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup sebagai suatu
bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar ia dapat
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam, dan dapat
berguna bagi dirinya, lingkungan sekitar, dan dapat menciptakan
kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan
persatuan bangsa. Maka dari itu orangtua yang merupakan pendidik
utama dalam keluarga berperan penting dalam memberikan pendidikan
agama kepada anak secara maksimal guna menjadikan anak yang
sesuai dengan cita cita atau tujuan pendidikan Islam.
2. Jenis dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
Menurut sifatnya pendidikan dibedakan menjadi:
a. Pendidikan Informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang
dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar
sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga,
dalam pergaulan sehari-hari, maupun dalam pekerjaan masyarakat,
keluarga dan organisasi.
b. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara
teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat.
Pendidikan ini berlangsung disekolah
c. Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara
tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan ketat.44
43 Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta: PT Gemawindu
PancaPerkasa,tt), h. 18
27
Secara etimologis istilah tujuan sering distilahkan dengan aim,
goal, objective, dan purpose. Dan dalam bahasa Arab disebut dengan
ghayah, hadaf, jamaknya ahdaf, dan maqashid.45
Tujuan pendidikan agama Islam pada hakikatnya sama dan
sesuai dengan tujuan diturunkan agama Islam, yaitu untuk membentuk
manusia yang beriman, bertaqwa sesuai dengan perintah
diturunkannya manusia ke muka bumi yaitu menjadi pengabdi Allah
yang patuh dan setia.
Tujuan pendidikan Islam menurut Muhammad Omar al-Touny
al-Syaibany adalah untuk mempertinggi nial-nilai akhlak hingga
mencapai tingkat akhlak al-karimah.46 Tujuan ini sama dan sejalan
dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan, yaitu
membimbing manusia agar berakhlak mulia. Akhlak mulia yang
dimaksud adalah tercermin dari sikap dan tingkah laku individu dalam
hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan sesama
makhluk Allah, serta lingkungannya.
Ada beberapa tujuan pendidikan Islam yang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a. Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah
Mahdah
b. Membentuk manusai muslim yang di samping dapat melaksanakan
ibadah mahdah, juga dapat melaksanakan ibadah muamalah dalam
kedudukannya sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan
tertentu.
44 Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rineke Cipta, 2011), h.
97 45 Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun, Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga,
(Jakarta: Akademia Permata, 2013), h. 154. 46 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 92
28
c. Membentuk warga Negara yang bertanggung jawab kepada
masyarakat dan bangsanya dan bertanggung jawab kepada Allah,
penciptanya.
d. Membentuk dan mengembangkan tenaga professional yang saip
dan terampil untuk memungkinkan memasuki lingkungan
masyarakat.
e. Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu baik ilmu agama
maupun ilmu-ilmu lainnya.47
Secara umum menurut Dina Mulyati tujuan pendidikan Islam
dalam keluarga adalah “mendidik dan membina anak menjadi manusia
dewasa yang memiliki mentalitas dan moralitas yang luhur
bertanggung jawab baik secara moral, agama, maupun social
kemasyarakatan”.48 Secara sederhana orang tua menghendaki anak-
anaknya menjadi manusia mandiri yang memiliki keimanan yang
teguh taat beribadah serta berakhlak mulia dalam pergaulan sehari-hari
di tengah masyarakat dan lingkungannya.
Jika kita melihat kembali pengertian pendidikan Islam akan
terlihat dengan jelas sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang
mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian
seseorang yang dapat membuatnya menjadi “insan kamil” dengan pola
takwa insan kamil yang artinya adalah menjadi manusia yang utuh
baik jasmani maupun rohaninya, dapat hidup dan berkembang secara
wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT. ini
mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan
menghasilkan manusia yang berguna baik bagi dirinya sendiri maupun
orang lain, serta senang dan gemar menagmalkan dan mengembangkan
ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah, dan dengan manusia
sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari
47 Baharuddin, Pendidikan & Psikologi Perkembangan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016),
h. 196 48 Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun, Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga,
(Jakarta: Akademia Permata, 2013), h 155
29
alam semesta ini untuk kepentingan hidup didunia kini dan dunia yang
akan datang (akhirat).49
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Agama
Islam dalam keluarga merupakan pendidikan informal yang merupakan
suatu usaha secara sadar yang dilakukan untuk membina dan
mengasuh seseorang (anak) agar senantiasa memahami ajaran Islam
secara menyeluruh. Menghayati tujuan yang pada akhirnya dapat
mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup,
supaya ia dapat berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran
Islam.
3. Kedudukan keluarga dalam Pendidikan
Pada hakikatnya keluarga atau rumah tangga merupakan tempat
pertama dan yang utama bagi anak untuk memperoleh pembinaan
mental dan pembentukan kepribadian yang kemudian di tambah dan
disempurnakan oleh sekolah.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan
pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tuanya.
Bapak dan ibunya adalah pendidik kodrati yang sudah menjadi
kewajiban mereka sebagai orang tua. Mereka pendidik bagi anak-
anaknya karena secara kodrati seorang ibu dan bapak diberikan
anugerah oleh Allah SWT. berupa naluri orang tua. Karena naluri ini,
timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka,
hingga secara moral keduanya merasa terbebani tanggung jawab untuk
memelihara, mengawasi, melindungi serta membimbing keturunan
mereka. Menginat besarnya tanggung jawab sebagai orang tua, maka
menjadi orang tua perlu kesaiapan, mental dan umur yang cukup, tidak
bisa dilakukan oleh sembarang orang apalagi anak dibawah umur.
49 Zakiah Darajat, Dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h 29-30
30
Hadis Nabi mengatakan, yang artinya: “carilah ilmu sejak dari
ayunan/buayan sampai ke liang lahat.”50 Hal ini menunjukkan bahwa
merupakan kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya sejak si anak
masih dalam buayan ibunya.
Menurut Rasulullah SAW. fungsi dan peran orang tua bahkan
mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak. Seperti teori
tabularasa bahwa anak itu dilahirkan dalam kondisi seperti kertas putih
bersih, orang tuanya lah yang memberikan warna bagi kehidupannya.
Menurut Rasulullah SAW. setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki
potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan
dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan dan
pengaruh kedua orang tua mereka.51
Bila pendidikan agama tidak diberikan kepada anak-anak sejak
kecil, maka akan mengakibatkan hal-hal seperti mudah melakukan
segala sesuatu menurut dorongan dan keinginan jiwanya tanpa
memperhatikan norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku, selain
itu tidak terdapat unsur-unsur agama dalam kepribadiannya, sehingga
sulit baginya untuk menerima ajaran tersebut bila ia sudah dewasa.52
Keluarga merupakan basis segala segi yang berhubungan
dengan pendidikan, baik pendidikan rohani, social, fisik dan mental.
Keluarga itu bisa menentukan hari depan kehidupan anak. Disanalah ia
memperoleh dasar-dasar hidup yang akan dikembangkan di sekolah
dan di lingkungan pergaulan dnegna orang lain.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Zakiah Darajat, bahwa
“agama yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak akan
merupakan bagian dari unsur-unsur kepribadiannya, akan bertindak
menjadi pengendali dalam menghadapi segala keinginan dan
50 Alex Sobur, Anak Masa Depan, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 22 51 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 294 52 Alex Sobur, Anak Masa Depan, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 22
31
dorongan-dorongan yang timbul”.53 Karena keyakinan agama yang
menjadi bagian dari kepribadian itu, akan mengatur sikap dan tingkah
laku seseorang secara otomatis dari dalam. Ia tidak akan mau
menyelewengkan sesuatu, bukan karena ia takut akan kemungkinan
buruk seperti ketahuan akan tetapi ia takut akan kemarahan dan
kehilangan ridha Allah SWT.
Dari beberapa uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa
kedudukan Keluarga dalam Pendidikan adalah sangat besar keluarga
menjadi basis utama bagi seorang anak dalam mendapatkan
pendidikan. Anak memperoleh pendidikan pertama dan utama dari
keluarga, keluarga yang menjadikan anak baik atau buruk, laksana
sehelai kertas putih bersih, apa yang orang tuanya goreskan maka
itulah hasilnya. Maka penting sekali kedudukan keluarga yang dalam
hal ini adalah kedua orang tua dalam memberikan pendidikan bagi
anaknya agar anaknya dapat berkembang secara maksimal sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dengan ajaran Islam.
4. Peranan Orang Tua dalam Mendidik Anak
Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam
mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anak mereka untuk
mencapai tahapan tertentu. Peran orang tua adalah sebagai penyelamat
anak dunia dan akhirat, khususnya dalam menumbuhkan akhlak mulia
bukanlah tugas yang ringan. Pertumbuhan fisik, intelektual, emosi dan
sikap sosial anak harus diukur dengan kesesuaian nilai-nilai agama
melalui jalan yang diridhai Allah swt.54
Ada empat peranan orang tua dalam mendidik anak, yaitu:
a. Peran orang tua sebagai suri tauladan
Seringkali anak cenderung memandang orang tua sebagai
model dalam melakukan peran sebagai orang tua, sebagai suami
53 Alex Sobur, Anak Masa Depan, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 25 54 Aziz Mushaffa, Aku Anak Hebat Bukan Anak Nakal!, (Jogjakarta: Diva Press, 2009), h.
37.
32
atau istri, atau model hidup sebagai anggota masyarakat.55 Oleh
sebab itu untuk membawa anak kepada kedewasaan, orang tua
harus memberi teladan yang baik, karena anak suka mengimitasi
kepada orang yang lebih tua atau orang tuanya.56
Orang tua yang shaleh merupakan contoh suri tauladan
yang baik bagi perkembangan anak, jiwa, pribadi maupun
pembentukan perilaku anak. Apabila orang tua membiasakan diri
untuk berperilaku dan berakhlak baik, taat kepada Allah
menjalankan syariat agama, serta memiliki jiwa sosial, maka dalam
diri anak akan timbul dan berbentuk sifat yang ada pada orang
tuanya, karena ia akan meniru dan mencontoh apa yang ia lihat
dalam kehidupan sehari-hari dari tingkah laku orang tuanya.57
b. Peran orang tua sebagai pendidik
Orang tua juga berperan dalam mendidik anak dan
mengembangkan kepribadiannya, karena pada dasarnya pendidikan
anak adalah tanggung jawab orang tua. pendidikan anak secara
umum di dalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa disadari oleh
orang tua namun pengaruh dan akibatnya amat besar terhadap
kehidupan anak.
Orang tua sebagai keluarga menjadi lembaga pendidikan
pertama dan utama bagi anak dalam memperoleh pendidikan, anak
pertama kali diberikan pendidikan oleh orang tua sebagai
penunjang untuk kehidupan selanjutnya.
c. Peran orang tua sebagai motivator
Motivasi merupakan dasar tanggung jawab orang tua
terhadap anaknya. Sidney D Craig dalam bukunya mendidik
dengan kasih menjelaskan bahwa “orang tua dapat memotivasi
55 Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu Anak, (Jakarta: Rajawali, 1992), Cet ke-
2, h. 28 56 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.
155 57 Muhammad Nur Abdullah Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Al-
Bayan, 1995), Cet ke-2, h. 49
33
anak dengan berbicara atau bertindak terhadap anak dengan jalan
sedemikian rupa agar didalam diri anak tercipta hasrat untuk
berbuat sesuai dengan yang diharapkan orang tua”.58 karena
dengan dorongan itulah dapat memacu semangat kreativitas anak
di dalam mengembangkan sesuatu, terutama dalam menuntut ilmu
pengetahuan, sehingga dengan demikian semangat anak
bertambah, di samping itu pula ia merasakan bahwa dirinya ada
perhatian dan bimbingan dari orang tua.
d. Peran orang tua sebagai pemberi rasa cinta dan kasih saying
Allah swt. telah menitipkan dalam jiwa manusia rasa cita
yang dalam kepada anak, dan tak tertandingi dengan cinta yang
lain. Sebab, anak merupakan jantung hati, cahaya kalbu di dalam
rumah tangga. Hal tersebut bisa dilihat dari perhatian besar yang
diberikan orang tua kepada anak-anaknya, disertai dengan rasa
kasih saying yang abadi.59
Didalam al-Qur’an telah ditegaskan realita tersebut dalam
sejumlah ayat, diantaranya adalah QS. Al-Kahfi ayat 46 dan QS.
Al-Furqon ayat 74
الحاتخيرعندرب كثواب اوخيرأ والباقياتالص نيا مل االمالوالبنونزينةالحياةالد
Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia
tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
(QS. Al-Kahfi ayat 46)
وٱجعلنا عينأ ة قر تنا ي وذر زوجنا
أ من هبلنا رب نا يقولون وٱل ذين قينللمت
ا إمام
Artinya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami,
anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
58 Sidney D Craig, Mendidik dengan Kasih, (Jogjakarta: Kanisius, 1990), h. 89 59 Ibid, h. 89
34
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-
orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqon ayat 74)
5. Tugas dan Tanggung Jawab Orang Tua dalam Islam
Anak adalah makhluk ciptaan Allah swt. yang hadir ditengah
keluarga atas dasar fitrah. Mereka menjadi sumber kebahagiaan
keluarga yang harus dijaga dan dipertahankan kesuciannya oleh kedua
orang tuanya demi pertumbuhan kepribadiannya, Allah berfirman
dalam QS. At-Tahrim ayat 6
علي ها وٱل حجارة ٱلن اس وقودها نارا ليكم ه وأ نفسكم
أ قو ا ءامنوا ٱل ذين ها ي
أ ي
مرون علونمايؤ ويف مرهم أ ما صونٱلل ئكةغلاظشدادل ايع ٦مل
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-
Tahrim: 6)
Dalam firmannya tersebut, Allah swt memerintahkan segenap
orang beriman agar memilihara diri dan keluarganya dengan penuh
tanggung jawab agar terhindar dari bahaya dunia dan akhirat, untuk
menindaklanjuti tugas dan kewajibannya, orang tua dituntut menjadi
pendidik pertama dan utama bagi putra dan putrinya.
Anak adalah amanah Allah swt. maka orang tua wajib menjaga
mengupayakan biaya yang cukup untuk keperluan jasmani anak-
anaknya, tetapi lebih penting berusaha mencerdasakan anak dan
memperbaiki budi pekertinya. Dengan kata lain, pola pendidikan orang
tua terhadap anak-anak adalah keserasian antara pemenuhan
kepentingan dan kebutuhan jasmani dengan pendidikan keagamaan
dan keluhuran budi pekertinya.60
Tugas dan tanggung jawab orang tua untuk mengasuh dan
mendidik anak sejak masa bayi bukanlah suatu usaha yang mudah.
60 Aziz Mushaffa, Aku Anak Hebat Bukan Anak Nakal!, (Jogjakarta: Diva Press, 2009), h.
33-34
35
Orang tualah yang bertanggung jawab membentuk masa depan anak
mereka. Hal tersebut bukanlah persoalan yang kecil, karena berhasil
atau gagal dalam tanggung jawab ini berarti membawa pengaruh yang
luas, baik dalam lingkungan keluarga itu sendiri maupun kepada
masyarakat dan bangsa.61
Adapun tugas dan tanggung jawab orang tua yang harus dilakukan
kepada anak pada usai dua tahun hingga baligh adalah sebagai berikut:
a. Menanamkan tauhid dan aqidah
Inilah hal pertama yang harus dilakukan oleh orang tua
terhadap anaknya, yaitu menanamkan keyakinan bahwa Allah itu
maha Esa dan memiliki sifat-sifat yang mulia (asmaul husna).
Adapun langkah –langkah menanamkan tauhid dan aqidah
terhadap anak adalah sebagi berikut
1) Menanamkan tauhid ini bisa dimulai sejak masih dlaam
kandungan, yaitu dengan membiasakan anak
mendengarkan alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an,
ceramah-ceramah agama, kalimat-kalimat thayibah dan
ucapan-ucapan yang sopan, santun serta lemah lembut
2) Setelah anak bisa berbicara ajarkanlah anak agar dapat
mengucapkan kata-kata Allah, Bismillah,
Alhamdulillah, Astaghfrullah, dan sebagainya
3) Tegurlah dan berilah peringatan apabila anak
mengucapkan kata-kata yang tidak baik
4) Memberi penjelasan kepada anak bahwa diri kita,
tumbuhan, hewan dan semua yang ada di alam ini
adalah ciptaan Allah srta kepunyaan Allah yang maha
kuasa
5) Menyampaikan kisah-kisah para Nabi, Rasul dan orang-
orang yang shalih, baik secara lisan maupun berupa
buku-buku kisah, dan jelaskan hikmah atau pelajaran
yang bisa diambil dari kisah tersebut.
6) Membawa anak kepada tempat-tempat yang bisa
memperkuat aqidah dan tauhid, misalnya ke masjid,
madrasah atau tempat rekreasi seperti pegunungan,
pantai dan lain-lain. dan berilah penjelasan kepadanya
61 Wauran, Pendidikan Anak Sebelum Sekolah, (Bandung: Indonesia Publishing House,
1977), Cet ke-6, h. 20
36
betapa kuasanya Allah menciptakan tumbuh-tumbuhan,
gunung, lautan, hewan, matahari dan sebagainya.62
b. Mengajarkan Al-Qur’an
Setiap orang tua memiliki tanggung jawab mengajarkan
anak-anaknya Al-Qur’an sejak kecil. Karena pengajaran Al-Qur’an
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menanamkan aqidah
yang kuat pada jiwa anak. Pendidikan Al-Qur’an merupakan sarana
paling ideal dalam membentuk anak menjadi sosok manusia yang
sempurna yang hidupnya berlandasakan Al-Qur’an.
Adapun cara mengajarkan Al-Qur’an kepada anak adalah
sebagi berikut:
1) Mengenalkan huruf-huruf dan tata cara membaca Al-
Qur’an dengan baik dan benar
2) Mengajarkan tata cara menulis huruf dan bacaan Al-
Qur’an
3) Memerintahkan kepada anak untuk membaca dan
menghafalkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an
4) Mengecek mengenai benar tidaknya anak dalam
membaca dan menulis ayat Al-Qur’an
5) Membiasakan anak serta seluruh keluarga untuk
membaca Al-Qur’an
6) Melatih dan membiaskan untuk mengamalkan isi Al-
Qur’an secara bertahap dan sesuai kemampuan anak.63
c. Melatih mengajarkan sholat dan ibadah-ibadah lain
Pembinaan anak dalam beribadah dianggap sebagi
penyempurna dari pembinaan akhlak. Karena semakin tinggi nilai
ibadah yang ia miliki, akan semakin tinggi pula keimanannya.
Teknis mengajarkan sholat kepada anak bisa dilakukan
dengan cara:
1) Mengajak anak sholat bersama-sama ketika mereka
masih kecil (sekitar umur dua sampai empat tahun)
2) Mengajarkan bacaan dan tata cara shlat yang benar
ketika mereka berumur sekitar lima tahun sampai tujuh
ke-1, h. 88 63 Heri Juhari Muchtar, Op. cit., h. 89
37
3) Mengecek dan memantau bacaan serta tata cara shalat
yang dilakukan anak
4) Mengingatkan anak untuk senantiasa mendirikan sholat
kapan pun, dimanapun dan bagaimanapun keadaanya.
5) Membiasakan mereka untuk melaksanakan shalat
berjamaah baik dirumah maupu di masjid
6) Selain sholat orang tua juga harus mengajarkan, melatih
dan membasakan melaksanakan ibadah-ibadah lain
dalam Islam seperti puasa, zakat, zikir, doa dan lain-
lain.64
6. Fungsi keluarga dalam pendidikan Agama Islam
Keluarga merupakan satu kesatuan unit masyarakat kecil yang
terdiri dari ibu dan bapak, adik dan kakak. Setelah sebuah keluarga
terbentuk, maka masing-masing orang yang ada di dalamnya, memiliki
fungsi masing-masing. Menurut Melly Sri, Fungsi keluarga dilihat dari
segi sosiologis ada sembilan, yakni sebagai berikut:
a. Fungsi biologis, yaitu keluarga tempat lahirnya anak-anak , yang
secara biologis anak berasal dari orang tua.
b. Fungsi ekonomi, yaitu keluarga merupakan tempat pemenuhan
hasrat ekonomi yaitu kebutuhan makan, minum, dan tempat
berteduh.
c. Fungsi kasih sayang, yaitu fungsi keluarga merupakan tempat
terjadinya perasaan saling sayang menyayangi, kasih mengasihi,
yang terbentuk karena ikatan batin yang erat antar keluarga.
d. Fungsi pendidikan, yaitu keluarga merupakan pendidikan yang
pertama dan utama bagi anak. Keluarga bertanggung jawab untuk
mengembangkan anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga
tersebut untuk berkembang menjadi orang yang diharapkan oleh
bangsa, Negara dan agamanya.
e. Fungsi perlindungan, yaitu untuk menjaga dan memelihara anak
serta anggota keluarga lainnya dari tindakan negative yang
mungkin timbul, baik dari dalam maupun luar kehidupan keluarga.
64 Ibid, h. 90
38
f. Fungsi sosialisasi anak, yaitu keluarga mempunyai tugas untuk
mengantarkan anak mengenal dunia luar dalam kehidupan social
yang lebih luas. Untuk membentuk kepribadian anak-anaknya.
g. Fungsi rekrasi, yaitu keluarga harus menjadi lingkungan yang
nyaman, menyenangkan, cerah dan ceria, hangat dan penuh
smenagat untuk anak maupun anggota keluarga lainnya. Keluarga
merupakan tempat rekreasi bagi anggotanya, untuk memperoleh
afeksi, ketenangan dan kebahagiaan.
h. Fungsi status keluarga, fungsi status keluarga ini mengarah kepada
kadar kedudukan atau status keluarga dibandingkan dengan
keluarga lainnya. Dengan kata lain, status keluarga ditentukan oleh
orang-orang yang membina keluarga itu.
i. Fungsi agama, keluarga mempunyai fungsi sebagai tempat
pendidikan agama dan tempat beribadah bagi para anggotanya,
yang secara serempak berusaha mengembangkan amal saleh dan
mencipatkan anak-anak yang saleh.65
Dari penjelasan tersebut diatas dapat penulis simpulkan, bahwa
keluarga memiliki fungsi dan peran yang strategis dalam proses
pembinaan dan pendidikan anak. Karena keluarga merupakan institusi
pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Tugas dan
tanggung jawab keluarga dalam pendidikan anak meliputi segala hal,
baik yang berkaitan dengan anak di dalam rumah maupun di luar
rumah. Yang mana peran dan tanggung jawab itu meliputi pendidikan
jasmani, rohani, pembinaan moral dan intelektual, memperkuat
spiritualitas anak.
C. Hasil Penelitian Relevan
Berikut ini beberapa hasil penelitian yang relevan yang masih ada
kaitannya dengan penelitian penulis, di antaranya:
65 Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun, Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga,
(Jakarta: Akademia Permata, 2013), h. 139-146
39
1. Barkah, Pernikahan Usia Dini dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan
Agama Islam dalam Keluarga, Skripsi UIN Jakarta tahun 2008.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
pernikahan usia dini terhadap Pendidikan Agama Islam dalam
keluarga. Perbedaan dalam penelitian tersebut dengan penelitian yang
peneliti lakukan adalah penelitian tersebut bertujuan untuk menguji
hipotesa apakah ada pengaruh yang signifikan atau tidak, tetapi
penelitian yang peneliti lakukan adalah tidak menguji hipotesa atau
penelitian kualitatif deskriptif hanya ingin mengetahui keadaan
sebenarnya bagaimana dampak pernikahan usia dini terhadap
pendidikan agama Islam anak dalam keluarga. Persamaannya adalah
sama-sama membahas mengenai pernikahan usia dini terhadap
Pendidikan Agama Islam.
2. Siti Malehah, Dampak Psikologis Pernikahan Dini dan Solusinya
Dalam Persfektif Bimbingan Konseling Islam (Studi kasus di desa
Depok Kecamatan Kalibawang kabupaten Wonosobo), Skripsi UIN
Walisongo Semarang tahun 2010. Dari hasil penelitian ini diketahui
bahwa pernikahan dini di desa Depok adalah berawal dari latar
belakang yang merupakan kebiasaan atau budaya masyarakat yang
tidak dapat dirubah sehingga turun temurun kegenerasi berikutnya.
Perbedaan dalam penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti
lakukan adalah penelitian tersebut bertujuan mengetahui dampak
pernikahan usia dini secara psikologis dan solusinya dalam persfektif
Bimbingan Konseling Islam. Persamaannya adalah sama-sama
membahas menegnai pernikahan usia dini dan penelitian kualitatif
deskriptif.
3. Rusmini, Dampak Menikah Dini Dikalangan Perempuan di Desa
Batulampa Kecamatan Batulampa kabupaten Pinrang (studi kasus
khususnya perempuan yang menikah dini di dusun Tarokko), Skripsi
Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2015. Penelitian ini bertujuan
hanya ingin mengetahui dampak dan factor-faktor apa saja yang
40
mempengaruhui pernikahan usia dini dari penelitian tersebut diketahui
bahwa pada umumnya penduduk melakukan pernikahan usia dini
karena factor perjodohan dan kekhawatiran orang tua terhadap
pergaulan anak gadisnya. Perbedaan dalam penelitian tersebut dengan
penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian tersebut hanya
membahas tentang dampak menikah usia dini dikalangan perempuan
dan tidak membahas tentang pendidikan agama Islam dalam keluarga.
Persamaannya adalah sama-sama menggunakan penelitan kualitatif
deskriptif dan sama-sama membahas pernikahan usia dini
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 9 bulan Juli 2018 sampai
dengan tanggal 21 bulan September 2018, dimana penelitian ini dilakukan
di kampung Pasirputih Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya kulon,
Kabupaten Karawang
B. Metode dan Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analisis kualitatif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
mengumpulkan informasi pada saat penelitian dilakukan. Penelitian ini
tidak dimaksudkan menguji hipotesis tertentu tetapi hanya
menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel atau keadaan.
Untuk memperoleh data yang objektif dan lengkap dalam
menyusun skripsi ini digunakan metode deskriptif analisis kualitatif
dengan pendekatan penelitian lapangan (field research) yaitu
mendeskripsikan atau menjelaskan suatu hal apa adanya sehingga
memberi gambaran yang jelas tentang informasi yang diteliti sesuai tujuan
penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti mencoba menjelaskan dan
menguraikan tentang problematika pernikahan usia dini dalam pendidikan
keluarga Islam yang ada di kampung Pasirputih, Desa Sukajaya,
Kecamatan Cilamaya kulon, Kabupaten Karawang.
C. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam sebuah penelitian, pencantuman sumber data sebagai subjek
penelitian merupakan hal yang penting. Sumber data tersebut berupa
populasi dan sampel. Namun, penelitian kualitatif tidak menggunakan
istilah populasi sebagai sumber data, melainkan istilah situasi sosial seperti
42
yang digunakan Spradley. Situasi sosial dalam penelitian kualitatif dapat
berupa orang, tempat, atau aktivitas.66
Subyek dalam penelitian ini adalah masyarakat kampung
Pasirputih, Sukajaya, Cilamaya kulon, Karawang yang melakukan
pernikahan dibawah umur. Penelitian akan difokuskan kepada masyarakat
kampung Pasir-putih pada pasangan suami istri yang melakukan
pernikahan dibawah umur dan telah memiliki anak dengan usia 4-17
tahun. Jumlah seluruh jiwa yang ada dikampung pasirputih wetan adalah
1,153 jiwa dengan total KK 361. Dari jumlah total tersebut tidak
semuanya melakukan pernikahan dibawah umur dan yang menikah
dibawah umur jumlahnya adalah 187 KK, dan dari jumlah yang menikah
dini hanya diambil yang sudah memiliki anak umur 4-17 tahun, yang
jumlahnya adalah 119.67 Mengingat luasnya populasi tersebut maka
peneliti mengambil sampel yang representative.
Penentuan informan ini ditetapkan dengan cara purposive samples,
yakni menentukan sampel atau dasar tujuan tertentu dan pertimbangan
tertentu sehingga memenuhi keinginan dan kepentingan peneliti yang
dapat memberikan data secara maksimal.68 Pertimbangan tertentu ini
misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita
harapkan sehingga memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi
sosial yang diteliti.
Adapun kriteria yang diambil yaitu penduduk yang berada di
kampung Pasir-putih, Sukajaya, Cilamaya Kulon, kab. Karawang yang
telah menikah di bawah umur dan sudah memiliki anak karena banyaknya
populasi maka diambil sampel. menurut Suharsimi Arikunto “besar
kecilnya sampel yang baik adalah sekedar ancer-ancer, maka apabila
subyeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semuanya sehingga
66 Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, (Bandung: CV. Mandar
Maju, 2011), Cet. II, h. 33 67 Sumber data: KUA Cilamaya Kulon, Karawang. 68 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT Rineke
Cipta, 2013), h. 33
43
penelitian merupakan penelitian populasi, jika subyeknya besar maka
dapat diambil antara 10-15% atau 20-25%.69 Karena seluruh populasinya
lebih dari 100 yaitu 119 maka sampel yang penulis ambil dalam penelitian
ini adalah 10% yaitu sebanyak 12 orang.
D. Sumber Data
Penelitian yang dilakukan dalam rangka penyusunan skripsi ini
adalah penelitian yang berdasarkan pada deskriptif kualitatif, untuk itu
sumber-sumber data diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan studi
lapangan sebagai sumber pokok yang ada relevansinya dengan
permasalahan di atas antara lain sebagai berikut:
1. Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara
langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengukur
atau pengambilan data langsung kepada subjek sebagai sumber
informasi yang dicari meliputi observasi, wawancara, dokumentasi dan
lain-lain. Sumber data ini berupa sumber data dan informasi yang
secara langsung.
2. Data Sekunder
Sumber data Sekunder merupakan sumber data pendukung atau
pelengkap dari data primer. Dalam penelitian ini kepustakaan
merupakan sumber data sekunder. Data ini berupa tentang
problematika pernikahan usia dini dalam pendidikan keluarga Islam
yang berasal dari buku-buku, catatan, internet. Bahan bahan dari
kepustakaan tersebut dikelompokkan, lalu dipahani dan ditafsirkan
serta mengambil kesimpulan.
E. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data merupakan cara pengumpulan data yang
telah di dapatkan untuk menyelesaikan pertanyaan dalam rumusan
masalah. Adapun instrument yang penulis gunakan dalam penelitian
adalah sebagai berikut:
69 Ibid, h. 146
44
1. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan
langsung atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau
lokasi penelitian. Observasi sering disebut juga dengan pengamatan yang
meliputi segala bentuk kegiatan yang dipusatkan perhatiannya terhadap
sesuatu objek pengamatan dan pencatatan tentang sebuah realita yang
terjadi. observasi ini dilakukan dengan cara mendatangi langsung ketempat
tinggal pelaku pernikahan usia dini di kampung Pasirputih.
2. Wawancara
Yang dimaksud dengan wawancara atau interview adalah metode
pengumpulan data dengan jalan Tanya jawab antara dua orang atau lebih
secara langsung. Wawancara merupakan alat yang paling ampuh untuk
mengungkapkan kenyataan hidup, apa yang dipikirkan dan dirasakan
orang tentang berbagai aspek kehidupan melalui Tanya jawab, peneliti
dapat memasuki alam pikiran orang lain, sehingga peneliti dapat
memperoleh gambaran apa yang mereka maksudkan.
Adapun dalam wawancara ini Penulis melakukan wawancara dengan
ibu yang memiliki anak usia 4-17 tahun yang menikah di usia dini, guru
ngaji, dan staff desa Sukajaya, Cilamaya Kulon, Karawang.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan
data yang telah ada baik dari buku-buku induk, sejarah, catatan dan lain-
lain.70
Metode dokumentasi dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan
data dengan meneliti dokumen-dokumen, disbanding metode lain, metode
ini agak tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber data
masih tetap, belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati
bukan benda hidup melainkan benda mati.
70 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2011), h. 224-240
45
Metode ini peneliti gunakan sebagai suatu pendukung dari wawancara
dan untuk mengetahui dan mencatat data-data tentang latarbelakang objek
penelitian dan untuk memperoleh data mengenai:
a. Profil Desa Sukajaya
b. Jumlah seluruh penduduk desa sukajaya yang melakukan pernikahan
usia dini
F. Teknik Analisis Data
Mengetahui penelitian ini difokuskan kepada observasi, wawancara
dan dokumentasi sebagai data primer, maka data yang telah dikumpulkan
dalam kegiatan penelitian ini selanjutnya dianalisis supaya bisa diambil
kesimpulan/pengertian.
Adapun metode analisis yang penulis gunakan adalah dengan cara
mendeskripsikan data-data secara sistematik dan diinformasikan
sedemikian rupa sehingga diperoleh kesimpulan yang komprehensif.
G. Pengecekan Keabsahan Data
Selain menganalisi data, peneliti juga harus menguji keabsahan
data agar memperoleh data yang valid, agar data yang telah diperoleh
dalam penelitian ini dijamin tingkat validitasnya maka perlu dilakukan
pengecekan atau pemeriksaan keabsahan data.
Adapun peneliti dalam melakukan pemeriksaan keabsahan data
menggunakan teknik sebagai berikut:
1. Ketekunan pengamatan
Ketekunan pengamatan dimaksudkan untuk menemukan ciri-ciri dan
usnur-unsur dalam situasi yang relevan dengan persoalan yang diteliti
kemudian memusatkan diri pada persoalan tersebut secara rinci.
Dengan kata lain memperdalam pengamatan terhadap hal-hal yang
diteliti yaitu tentang problematika pernikahan usia dini dalam
pendidikan keluarga Islam di kampung Pasir putih, Sukajaya,
Cilamaya Kulon, Karawang.
2. Observasi yang diperdalam
46
Dalam penelitian ini, peneliti harus memperdalam observasi
dilapangan dimaksudkan untuk menemukan ciri-ciri dan usnur-unsur
dalam situasi yang relevan dengan persoalan yang diteliti kemudian
memusatkan diri pada persoalan tersebut secara rinci. Hal ini berarti
bahwa peneliti mengadakan pengamatan secara teliti dan rinci secara
berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol kemudian
menelaah kembali secara rinci sampai pada suatu titik sehingga dapat
dipahami secara baik keadaan dilapangan yang sesungguhnya.
3. Triangulasi data
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil
wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan. Untuk memperoleh
data mengenai problematika pernikahan usia dini dalam pendidikan
keluarga Islam di kampung Pasir Putih, Sukajaya, Cilamaya Kulon,
Karawang, maka peneliti tidak menggali informasi dari salah satu
pihak saja, mislanya pelaku pernikahn usia dini akan tetapi, dalam hal
ini tidak menutup kemungkinan peneliti bisa mendapatkan keterangan-
keterangan tambahan dari pihak lain yang dianggap penting dalam
memberikan informasi yang berguna dalam penelitian ini.
H. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan, dalam tahap ini, penulis melakukan studi
pendahuluan untuk melakukan Observasi kepada salah satu ibu yang
memiliki anak usia 4-17 tahun yang melakukan praktik pernikahan
usai dini, dan pihak pihak terkait lainnya. Penelitian pendahuluan ini
dilakukan dalam rangka pengumpulan data.
2. Tahap Pelaksanaan, dalam tahap ini, penulis melakukan pengumpulan
data dari studi pendahuluan tersebut dan buku-buku sumber yang
diperoleh dari perpustakaan dan internet untuk penelitian dengan topic
yang berkaitan dengan penelitian tersebut, peneliti melakukan
47
wawancara dan observasi lanjutan dengan secara mendalam kepada
informan pelaku pernikahan usia dini untuk megumpulkan data yang
jelas dan rinci, selain itu peneliti juga mencatat keterangan dari
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian, peneliti berusaha
memperoleh data sebanyak-banyaknya mengenai dampak apa saja
yang ditimbulkan dari terjadinya pernikahan usia dini terhadap
pendidikan agama islam anak dalam keluarga. Sebelum melakukan
wawancara peneliti juga menyiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan
yang akan diajukan kepada informan, akan tetapi kemudian peneliti
juga dapat mengembangkan pertanyaan yang sesuai dengan bahasan
penelitian.
3. Tahap Penyelesaian, dalam tahap ini selanjutnya penulis berusaha
menyimpulkan dan menyusun data dalam bentuk laporan/hasil
penelitian.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sejarah Desa Sukajaya
Asal usul desa Sukajaya adalah desa hasil pemekaran dari desa
Induk nya yaitu desa Sukakerta pada tahun 1978. Asalnya desa
Sukajaya membawahi tiga dusun yaitu dusun Lobang Buaya, dusun
Sambirata dan dusun Pasirputih, seiring perkembangan dan Jumlah
penduduk yang semakin meningkat di mekarkan lagi menjadi lima
dusun yaitu dusun Lobang Kulon, dusun Lobang Wetan, dusun
Sambirata, dusun Pasirputih Wetan dan dusun Pasirputih Kulon.
Dari kelima pembagian dusun yang ada di desa Sukajaya yang
menjadi pusat penelitian yaitu di dusun Pasirputih wetan, dengan
alasan karena di dusun Pasirputih Wetan banyak ditemukan kasus
pernikahan diusia yang masih sangat dini.
Sejarah dan asal usul nenek moyang penduduk di desa
Sukajaya kebanyakan berasal dari daerah Indramayu tepatnya daerah
Loh bener yang asalnya membuka lahan dan bertani di desa Sukajaya
dan kemudian menetap dan menghasilkan keturunan yang sekarang
menjadi penduduk Sukajaya.
Pada jaman perang revolusi atau agresi Belanda kedua dulu
konon katanya penduduk desa Sukajaya aktif mengadakan perlawanan
terhadap penjajah Belanda sehingga banyak pejuang yang gugur dan
wilayah desa Sukajaya mengalami gempuran hebat dari darat dan laut,
sehingga pada saat itu banyak penduduk desa Sukajaya mengungsi ke
daerah Nambo Sukaratu Kabupaten Subang dan bahkan banyak yang
menetap dan tinggal di daerah tersebut sampai sekarang.
49
Setelah kemerdekaan dan jaman pembangunan atau sekitar
tahun 1985 banyak tanah pertanian atau pesawahan yang menjadi mata
pencaharian sebagian besar masyarakat yang di ambil alih oleh
pengusaha-pengusaha keturunan yang di fasilitasi pemerintah pusat
bahkan banyak di beri kemudahan untuk mebebaskan lahan pesawahan
untuk menjadi lahan tambak udang. dan sampai sekarang penguasaan
lahan pesawahan di desa Sukajaya masih banyak yang di kuasai orang
asing tersebut.
Keadaan ekonomi masyarakat desa khususnya masyarakat
Dusun Pasirputih Mengalami perubahan drastis setelah ada proyek
inpres dari pemerintah pusat sekitar tahun 1980 yaitu bantuan mesin
perahu sehingga nelayan bisa mencari ikan dengan jangkauan yang
jauh bahkan sekarang telah mencapai pulau Sumatra dan Kalimantan.
2. Demografi Desa Sukajaya
a. Letak Geografis Desa Sukajaya
Desa Sukajaya terletak antara 6,47684’S Lintang Selatan
dan 108,46135’E Bujur Timur, dengan luas wilayah 2,223 Km2,
terdiri dari 5 Dusun, 6 RW dan 21 RT dengan rincian sebagai
berikut: Dusun Lobang Kulon terdiri dari RT 01, 02,03,04, Dusun
Lobang Wetan terdiri dari RT. 05,06,07,08, Dusun Sambirata
terdiri dari RT.09,10,11,12,13, Dusun Pasirputih Wetan terdiri dari
RT 14,15,18,19, Dusun Pasirputih Kulon terdiri dari Rt
16,17,20,21.
Dengan batas-batas wilayah administratif sebagai berikut :
sebelah utara : laut jawa
sebelah selatan : Desa Pasirjaya-Desa Pasirukem
sebelah barat : Desa Pasirjaya
sebelah timur : Desa Sukakerta
Jarak dari Desa Sukajaya ke ibu kota Kecamatan Cilamaya
Kulon 6 Km, jarak ke ibu kota Kabupaten Karawang 40 Km, jarak
50
ke Provinsi di Bandung 188,6 Km dan jarak ke ibu kota Negara di
Jakarta 120 Km.
b. Keadaan Topografi
Desa Sukajaya merupakan desa yang berada di daerah
dataran rendah pantai utara Pulau Jawa, dengan ketinggian 1,5 M
diatas permukaan air laut. Sebagian besar wilayah desa adalah
lahan pertanian/sawah.
c. Hidrologi dan Klimatologi
Sumber air yang ada di Desa Sukajaya meliputi air
permukaan dan air tanah. Air permukaan berupa sungai dan air
tanah berupa genangan, yang merupakan Daerah Aliran Sungai
(DAS). Sesuai dengan kebijakan penyediaan air baku untuk irigasi,
maka di Desa Sukajaya mendapat pasokan pelayanan irigasi
berasal dari Bendungan Walahar. sedangkan untuk kebutuhan
rumah tangga menggunakan sumur gali dan sumur pompa.
3. Keadaan Sosial Penduduk
a. Jumlah Penduduk desa Sukajaya
Penduduk Desa Sukajaya berdasarkan data terakhir hasil Sensus
Penduduk Tahun 2018 tercatat sebanyak 5.945 jiwa, dengan KK
terdiri dari 1.947. dengan data penyebaran penduduk sebagai
berikut:
Tabel 4.1
Data penyebaran penduduk
Desa Sukajaya71
No Dusun/RW Jumlah Kepadatan
per Km2 Jiwa KK
1. Lobang Kulon 870 312 139
2. Lobang Wetan 880 220 117,5
3. Sambirata 1.436 586 132,16
4. Pasirputih Wetan 1.153 361 45,56
71 Sumber Data: Kantor Kelurahan Desa Sukajaya, Cilamaya Kulon, Karawang
51
5. Pasirputih Kulon 1.606 468 160
J um l a h 5.945 1.947 -
Karena fokus penelitian dalam Skripsi ini hanya pada
kampung Pasirputih wetan maka seluruh populasi nya adalah 1.153
jiwa dengan total 361 (KK).
b. Potensi yang ada di desa Sukajaya
Dalam menanggulangi kemiskinan di desa Sukajaya ada beberapa
potensi wilayah yang dapat dimanfaatkan selain sumber daya
manusia. Potensi-potensi tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1) Potensi sumber daya alam
Potensi desa Sukajaya yang memiliki lahan persawahan
yang luas dan lokasi desa sukajaya dekat dengan laut. Sangat
baik dari segi pertanian dan kelautan. Jika dikelola dengan baik
akan membantu perekonomian warga desa Sukajaya dan bisa
dinikmati dengan jangka panjang
Sawah, laut dan hutan yang ada di desa Sukajaya adalah
potensi tersbesar sebagai penyangga hidup masyarakat, sebagai
penampung air, dan sebagai mata pencarian.
2) Potensi sumber daya manusia
Dengan adanya sumber daya alam yang memadai di desa
Sukajaya, maka peluang untuk mengurangi kemiskinan di desa
Sukajaya sangatlah terbuka lebar, dan tentu hal ini harus
didukung juga oleh sumber daya manusia yang memadai. oleh
karena itu kami memandang bahwa segala sesuatu itu terletak
pada manusianya sendiri, maka pengembangan kemampuan
kapasitas SDM merupakan prioritas, dan juga merupakan salah
satu strategi dalam penanggulangan kemiskinan di wilayah
desa Sukajaya
c. Permasalahan yang ada di desa Sukajaya
52
Masalah adalah hambatan atau kendala yang menyebabkan
terjadinya perbedaan antara harapan dengan kenyataan atau antara
yang seharusnya dengan yang sesunguhnya.
Berdasarkan hasil Pengkajian Keadaan Desa (PKD) melalui
Sketsa Desa, Kalender Musim dan Bagan Kelembagaan, telah
dijumpai beberapa permasalahan yang telah dikelompokan dalam
Bidang Pendidikan, Bidang Sosial Budaya, Bidang Pemerintahan
Desa, dan Bidang Sarana Infrastruktur.
1) Bidang Pendidikan
Kelemahan mendasar yang membuat posisi pembangunan
manusia di Desa Sukajaya terletak pada bidang pendidikan.
Tingkat Pendidikan masyarakat pada umumnya tergolong
rendah, data hasil sensus penduduk tahun 2017 memperlihatkan
bahwa penduduk usia 10 tahun keatas yang tidak/belum tamat
SD/Sederajat prosentasinya cukup tinggi, sementara yang telah
tamat SD, SLP, SLA sampai dengan Perguruan Tinggi
prosentasenya sangat rendah.
Hal ini disebabkan antara lain ; kondisi ekonomi masyarakat
yang mayoritas rendah, sarana prasarana pendidikan yang ada
untuk semua jenjang pendidikan masih relatif terbatas bahkan
ada yang sudah rusak dan tenaga pengajar belum memadai.
2) Bidang Sosial dan Budaya
Perkembangan Sosial Budaya masyarakat dipengaruhi oleh
perpaduan antara kepercayaan, adat istiadat dan pengaruh
budaya luar juga karena sistem pemerintahan yang dijalankan
dan kondisi pendidikan serta ekonomi masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka permasalahan Sosial
Budaya yang berkembang dan terjadi sampai saat ini
diantaranya: masih terbatasnya SDM yang berkualitas dibidang
kebudayan, kurangnya sarana dan fasilitas pembinaan generasi
muda baik dalam bidang olah raga, seni maupun budaya daerah
53
setempat, masih belum terkelolanya aset seni dan budaya
daerah sebagai aset yang memiliki nilai jual, rendahnya tingkat
pendidikan sebagian besar masyarakat serta tingginya angka
pengangguran dan rumah tangga miskin.
3) Bidang Pemerintahan Desa
Pemerintah Desa masih belum maksimal menjalankan tugas
pokoknya sebagai penyelenggara pemerintahan desa dan
pelaksana pembangunan, disebabkan antara lain : sarana dan
yang terjadi selama pernikahan adalah memberikan pendidikan
kepada anaknya, karena pengetahuanya yang minim ia tidak
mampu memberikan pendidikan secara maksimal untuk anaknya,
anaknya yang paling besar sulit sekali ia tangani, rasminah
menginginkan anaknya untuk terus melanjutkan pendidikannya
dengan baik, sedangkan anaknya sudah tidak menginginkan
sekolah dan lebih memilih pergi melaut, sikap anak tertuanya ini
juga sudah terpengaruh oleh pergaulan bebas, sering keluyuran,
pulang malam, dan merokok. untuk anak kedua dan ketiganya ia
titipkan kepada guru ngaji, untuk diajarkan pengetahuan agama
dengan baik, karena Rasminah sendiri tidak bisa memberikan
pengetahuan itu kepada anaknya, ia sendiri tidak bisa mengaji dan
pengetahuan agamanya sangat minim. Sedangkan suaminya tidak
ada waktu untuk memberikan pendidikan bagi anaknya karena
melaut, jarang sekali pulang. dan waktu bersama anak-anaknya
terbatas.
g. Kasus 7. Ratini dan Heri. pasangan ini menikah pada tahun 2014
dan telah dikarunai 1 anak perempuan yang usianya 5 tahun. ratini
bekerja sebagai ibu rumah tangga dan suaminya bekerja sebagai
nelayan. Pendidikan terakhir keduanya hanya sampai tingkat
sekolah dasar. pada saat menikah ratini masih berusia 15 tahun dan
heri 16 tahun. jika melihat dari umur pernikahan ini jelas sekali
dilarang oleh Undang-undang karena usianya belum mencukupi
dibolehkannya melakukan pernikahan, untuk itu Ratini dan suami
menempuh jalan dengan cara menambah umur aslinya yang mana
hal ini di kampung Pasirputih seperti sudah menjadi hal yang biasa
dan lumrah untuk dilakukan.
Dari penuturan antara peneliti dan informan dapat diketahui
bahwa pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ini disebabkan
karena dijodohkan oleh orangtua dan atas dasar rasa suka sama
63
suka antara keduanya. Ratini lebih memilih menikah dibandingkan
melanjutkan sekolahnya karena ia sudah merasa tidak kuat dan
tidak ingin lagi belajar disekolah. selama pernikahan mereka masih
tinggal bersama dengan kedua orangtua Ratini, tapi kemudian baru
dua bulan ini mereka tinggal dirumahnya sendiri yang jaraknya
juga tidak terlalu jauh dengan mertuanya yaitu orangtua dari Heri.
sehari-hari yang dilakukan Ratini adalah bercengkrama dengan
teman-teman sebayanya, sedangkan anaknya selalu ia titipkan
kepada mertua dan orangtuanya, hal ini menunjukkan
ketidaksiapan Ratini menjadi orangtua. Jangankan mengurus anak
memasak untuk suaminyapun ia belum bisa, ia masih
mengandalkan orangtua dan mertuanya.
Suaminya yang berprofesi sebagai nelayan jarang sekali
berada didalam rumah, interaksi antara ayah dan anakpun tidak
terjalin dengan baik. Itulah mengapa di kampung Pasirputih ini
lebih banyak anak-anak yang dekat sekali dengan ibunya daripada
dengan ayahnya karena intensitas pertemuan antara ayah dan anak
sangat terbatas.
h. Kasus 8. Wiwin dan Tata. Pasangan ini menikah pada tahun 2006
dan telah dikaruniai satu orang putri berusia 8 tahun. pada saat
menikah usia Wiwin saat itu berusia 16 tahun dan Tata 17 tahun.
pendidikan terakhir Wiwin hanya pada tingkat SMP sedangkan
Tata hanya sampai tingkat SD. Wiwin bekerja sebagai Ibu Rumah
tangga yang bertugas mengurus rumah, anak dan suaminya.
terkadang disela-sela waktunya ia bekerja sebagai pengupas
rajungan untuk menambah penghasilan haraian rumah tangganya.
Tata bekerja sebagai nelayan yang terkadang penghasilannya tidak
menentu, bergantung pada cuaca dan keadaan laut.
Dari penuturan antara peneliti dan informan diketahui
bahwa pasangan ini melakukan pernikahan usia dini dikarenakan
adanya dorongan orang tua dan lemahnya ekonomi orang tua yang
64
berharap dengan menikah bisa mengurangi beban hidup keluarga.
Padahal saat itu wiwin masih meginginkan untuk melanjutkan
sekolahnya ke jenjang SMA tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa
tuntutan orang tua dan ekonomi terpaksa membuat ia memilih
melakukan pernikahan dini tersebut.
Selama pernikahan yang alasan awalnya berharap dapat
mengurangi beban hidup keluarga justru sebaliknya, dengan
menikah dalam keadaan yang belum mapan seperti ini membuat
keadaan semakin sulit, apalagi dengan hadirnya anak kebutuhan
semakin banyak. selama pernikahan wiwin dan suami juga masih
tinggal dengan orang tua Wiwin. Selama pernikahan juga wiwin
dan suami sering terlibat pertengkaran. Karena beragam alasan
emosi yang belum stabil antara ia dan suami membuat hal-hal kecil
yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan berubah menjadi
sesuatu yang besar yang menimbulkan pertengkaran, dari
penuturan wiwin pernah suatu kali ia dan suami ribut besar yang
hampir saja berujung pada perceraian. tapi untungnya hubungan
keduanya masih bisa diselamatkan dan dan masih bertahan sampai
saati ini.
wiwin menuturkan bahwa ia tidak begitu kesulitan dalam
memberikan pendidikan agama Islam pada anakanya, selama ini ia
masih bisa menangani pendidikan agama kepada anaknya dengan
baik tanpa bantuan guru ngaji disekitar rumahnya.
i. Kasus 9. Waridah dan Lambri. Pasangan ini menikah pada tahun
2001 dan telah dikaruniai 2 orang anak. 1 putra dan 1 putri. Putra
pertamanya berumur 16 tahun dan anak keduanya seorang putri
berumur 6 tahun. waridah menikah ketika masih berusia 14 tahun
sedangkan lambri berusia 18 tahun. pendidikan terakhir waridah
hanya sampai tamat sekolah dasar sedangkan Lambri tidak tamat
sekolah dasar. Pekerjaan sehari-hari yang dilakukan oleh suaminya
65
adalah sebagai tukang urut dan petani, yag penghsilannya kadang
tidak menentu. Waridah berprofesi sebagai ibu rumah tangga.
Dari percakapan antara peneliti dan responden diketahui
bahwa pasangan ini menikah karena faktor ekonomi.
Ketidakmampuan orang tua waridah membiayai sekolah
mendorong orang tuanya untuk menikahkan anak perempuannya
dengan tujuan agar dapat mengurangi beban hidup orang tua,
pemikiran seperti ini masih sering terjadi di kampung Pasirputih.
Padahal setelah diajalani ternyata tidak benar-benar mengurangi
beban hidup keluarga, beban semakin banyak apalagi ketika
hadirnya anak ditengah-tengah keluarga yang belum mapan, baik
fisik, mental dan ekonominya.
Permasalahan yang sering hadir dalam keluarga pasangan
ini adalah masalah ekonomi dan sulitnya mengatur anak-anaknya.
waridah mengaku ia kesulitan membimbing anaknya. anak
pertamanya hanya sampai pada tingkat sekolah menengah pertama,
tidak bisa melanjutkan pendidikan dikarenakan faktor ekonomi
yang sulit tidak ada biaya. Selain itu anaknya sendiri juga sudah
tidak ingin lagi melanjutkan sekolah dan lebih memilih pergi
melaut. Pergaulan anak pertamanya ini juga menghawatirkan
karena terpengaruh oleh teman-temannya ia sudah berani mencoba
minum-minuman keras dan mulai merokok, sering keluyuran
malam, dan kadang tidak segan berkata kasar kepada orang tua.
Waridah tidak bisa melakukan apa-apa ia tidak bisa mendekati,
mengarahkan dan memberikan pengetahuan-pengetahuan agama
yang maksimal. Anak keduanya masih bisa ia atur dan ia titipkan
ke guru ngaji untuk diajarkan ngaji dan pengetahuan-pengetahuan
agama.
j. Kasus 10. Sutiah dan Turmudi. Pasangan ini menikah pada tahun
2004 dan telah dikaruniai 2 orang anak. Anak pertama berusia 12
tahun anak kedua masih didalam kandungan usia 7 bulan. Sutiah
66
menikah pada usai 15 tahun sedangkan Turmudi berusia 27 tahun.
pekerjaan sutiah sebagai ibu rumah tangga dan turmudi bekerja
sebagai nelayan.
Dari percakapan antara peneliti dan informan dapat
diketahui bahwa pasangan ini menikah karena keinginan sendiri
tidak ada paksaan dari orang tua keduanya. Keduanya melakukan
pernikahan atas dasar rasa suka sama suka. Selain itu perbedaan
jarak umur yang terlalu jauh antara Sutiah dan suami tidak
menghalangi niat mereka untuk menikah.
Dari percakapan antara peneliti dan informan juga diketahui
bahwa seiring berjalannya waktu ternyata usia juga menjadi
pemicu masalah dalam keluarga ini. Sutiah masih memiliki sifat
egois dan kekanak-kanakan yang menyebabkan sering terjadinya
pertengkaran, yang pada akhirnya pernah suatu hari sutiah
memutuskan pergi meninggalkan suaminya dan memilih pulang ke
rumah orang tuanya, yang saat itu suaminya tidak tau karena
sedang bekerja dilaut. hingga suaminya kemudian menjemputnya
untuk kembali kerumah, awalnya sutiah menolak yang kemudian ia
terpaksa kembali kepada suaminya karena mengetahui bahwa ia
sedang hamil.
Selain masalah tersebut diatas dari percakapan antara
peneliti dan responden diketahui juga bahwa ia dan suami
mengalami kesulitan dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan
agama kepada anaknya yang akhirnya ia menitipkan anaknya ke
guru ngaji, dengan harapan dapat diberikan pendidikan agama
Islam yang maksimal untuk anaknya.
k. Kasus 11. Dahlia dan Arifin. Pasangan ini menikah pada tahun
2007 dan sudah dikarunai satu orang putri berusia 10 tahun. dahlia
berprofesi sebagai ibu rmah tangga dan pengupas rajungan disela-
sela kesibukannya mengurus rumah tangga. Suaminya bekerja
sebagai nelayan bubu yang berlayar hampir satu bulan penuh.
67
Pendidikan terakhir Dahlia dan suami hanya sampai pada tingkat
Sekolah Dasar. Dahlia ketika menikah masih berusia 16 tahun
sedangkan suami berusia 17 tahun.
Dari percakapan antara peneliti dan responden diketahui
bahwa alasan keduanya melakukan pernikahan di usia dini adalah
karena keinginan sendiri, melihat lingkungan sekitarnya dan
teman-temannya yang hampir semuanya telah melaksanakan
pernikahan mendorong Dahlia melakukan pernikahan juga. Selain
itu yang melakukan pernikahan dibawah umur didalam
keluarganya bukan hanya Dahlia sendiri anggota keluarganya yang
lain juga melakukan pernikahan dibawah umur seperti ibunya, dan
kedua adik perempuannya yang semuanya menikah rata-rata
diumur 15 tahun.
Masalah yang sering terjadi didalam rumah tangga Dahlia
dan Arifin adalah masalah ekonomi dan kurangnya perhatian
Dahlia dan suami terhadap pendidikan agama Islam untuk anaknya.
dahlia dan suami jarang sekali memberikan pengetahuan-
pengetahuan agama kepada anaknya, bahkan mungkin tidak
pernah, tugas dan peran mendidik ilmu ia serahkan kepada guru
sekolah dan guru ngaji. ia dan suami tidak pernah menanyakan
apapun terkait mata pelajaran dan pengetahuan-pengetahuan agama
kepada anak, selain karena anaknya tidak pernah menanyakan
apapun kepadanya ia dan suami juga merasa tidak bisa
mengajarkan dan mendidik anak dengan baik sehingga peran dan
tanggung jawab mendidik ia titipkan kepada guru ngaji.
l. Kasus 12. Meli dan Syapei. Pasangan ini menikah pada tahun 2014
dan telah dikaruniai seorang putri yang berusai 5 tahun. pada saat
menikah meli saat itu masih berusia 16 tahun. dan Syapei berusia
18 tahun. pendidikan terakhir meli hanya pada sampai sekolah
dasar dan syapei lulus SMP. Syapei bekerja sebagai nelayan dan
meli sebagai ibu rumah tangga.
68
Dari wawancara antara peneliti dan responden diketahui
bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini
pada pasangan ini adalah karena pergaulan bebas ia hamil diluar
nikah. Pergaulan bebas membuat pasangan ini hamil diluar nikah
dan melakukan pernikahan usia dini untuk menjaga nasab anak
yang akan lahir dalam kandungan ibunya.
Masalah yang sering terjadi pada pasangan ini adalah
masalah ekonomi dan sering terjadi pertengkaran adu mulut yang
disebabkan hanya karena hal-hal kecil, hal itu terjadi karena Meli
masih berpikir belum dewasa dan masih menginginkan kebebasan
tanpa kekangan suami. Selain itu Meli dan suami merasa kesulitan
dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan agama kepada
anaknya, karena ia dan suami sendiri tidak bisa mendidik dan
mengajarkan pengetahuan-pengetahuan agama kepada anak yang
akhirnya peran mendidik agama ia titipkan kepada guru ngaji.
dengan harapan guru ngaji dapat memberikan pengetahuan-
pengetahuan agama yang maksimal.
3. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Pernikahan Usia
Dini
Dari dua belas kasus pernikahan usia dini dapat
menggambarkan bahwa faktor-faktor terjadinya pernikahan usia dini di
sebabkan karena berbagai macam permasalahan, ada yang menikah
karena dijodohkan dan dorongan orang tua, ada yang menikah atas
dasar kemauan sendiri, lingkungan, ekonomi bahkan sampai pergaulan
bebas.
Dapat diberikan penjelasan seperti berikut ini:
a. Kasus 1. Faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini pada
pasangan yang pertama disebabkan karena perjodohan, hubungan
keluarga yang dekat, ibu dari suami Tati menyukai Tati dan
menginginkan ia segera menajdi menantunya. Dari pihak Tati
sendiri tidak bisa menolak karena Tati sendiri setuju untuk
69
melakukan pernikahan tersebut, selain itu alasan lain orang tua tati
mengijinkan pernikahan itu adalah kedua orang tua Tati merasa
tenang jika anaknya dinikahkan dengan keluarga sendiri, karena
kalau keluarga snediri sudah tahu baik buruknya, bibit dan
bobotnya, tidak akan mudah menyakitinyi dan lainnya. Alasan Tati
menerma perjodohan ini adalah karena Tati juga sebenanrnya
memiliki perasaan kepada laki-laki yang akan dijodohkan
dengannya pada saat itu. akan tetapi pada kenyataannya pernikahan
tersebut gagal dan terjadi perceraian. kemudian Tati menikah lagi
dengan laki-laki pilihannya, sampai sekarang.
b. Kasus 2. Faktor yang menyebabkan pasangan yang kedua ini
melakukan pernikahan usia dini adalah karena ekonomi, keluarga
Darilah sudah tidak sanggup untuk menyekolahkan anaknya,
sehingga lebih memilih menikahkan anaknya dengan tujuan agar
beban ekonomi berkurang, akan tetapi pada kenyataannya setelah
melakukan pernikahan beban ekonomi justru tidak berkurang
malah semakin banyak kareana hadirnya anak, kebutuhan juga
semakin meningkat dengan bertambahnya anggota keluarga baru.
c. Kasus 3. Pasangan yang ketiga ini menikah karena faktor dorongan
orang tua, melihat anaknya nganggur dirumah, tidak sekolah tidak
kerja, mendorong orang tua Erina untuk segera menikahkan
anaknya. dengan tujuan agar bisa mandiri dan ada kerjaan
mengurus rumah.
d. Kasus 4. Pada kasus yang keempat ini yang menyebabkan
pasangan ini melakukan pernikahan usia dini adalah karena atas
dasar keinginan dari responden sendiri, mengingat semua teman-
temannya telah mendahului menikah dan tidak ada teman yang bisa
diajak bermain oleh responden, dan responden sudah tidak sanggup
melanjutkan pendidikannya dan kebetulan lingkungan sekitarnya
yang mempengaruhi ia untuk menikah, sehingga Dayanti memilih
mengikuti jejak temannya yang lain untuk melakukan pernikahan
70
dibawah umur, tanpa memikirkan beratnya tanggung jawab sebagai
orang tua kelak ketika dikaruniai buah hati.
e. Kasus 5. Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini
pada pasangan kelima ini adalah karena pergaulan bebas,
responden hamil di luar nikah sehingga orang tua responden
terpaksa harus menikahkan anaknya meski masih di bawah umur,
selain itu kurannya pengawasan dari orang tua responden dan
kurangnya iman responden yang mengakibatkan hal seperti itu bisa
terjadi. pernikahan responden dengan suami pertamanya
mengalami kegagalan yang berujung pada perceraian, rumah
tangganya hanya mampu bertahan sleama 6 tahun. yang kemudian
baru-baru ini responden memilih menikah lagi dengan laki-laki
pilihannya yang usainya jauh lebih muda dari responden.
f. Kasus 6. Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini
pada pasangan yang keenam ini karena keinginan responden
sendiri. responden sudah tidak ingin dan tidak sanggup
melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah pertama (SMP)
dan lebih memilih melakukan pernikahan dengan laki-laki
pilihannya, padahal orang tua responden masih mengharapkan
responden melanjutkan pendidikannya.
g. Kasus 7. Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini
pada pasangan yang ketujuh ini yaitu karena di jodohkan, dengan
alasan keduanya memiliki perasaan sama-sama suka. Oleh karena
itu kedua orangtua responden memilih untuk menikahkannya, tak
lain dengan alasan agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Apalagi dengan melihat gaya model berpacaran remaja zaman
sekarang sudah pada taraf yang mengkhawatirkan apalagi bagi
orang tua yang memiliki anak perempuan.
h. Kasus 8. Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini
pada pasangan ke delapan ini adalah karena faktor ekonomi.
Sulitnya ekonomi membuat orang tua wiwin memilih menikahkan
71
anaknnya. Padahal wiwin sendiri masih menginginkan untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. tapi karena sudah
tidak ada biaya dan dorongan orang tua untuk melakukan
pernikahan ia terpakasa menurutu keinginan orang tua.
i. Kasus 9. Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini
pada pasangan kesembilan ini sama dengan pada kasus sebelumnya
yaitu kaena faktor ekonomi. Sulitnya ekonomi orang tua waridah
membuat orang tuanya mendorong ia untuk melakukan pernikahan
dengan tujuan agar dapat mengurangi beban ekonomi keluarga.
Pemikiran seperti ini masih berkembang di masyarakat Pasirputih
padahal sebenarnya pernikahan usai dini bukanlan satu-satunya
jawaban atau solusi untuk mengatasi rendahnya ekonomi justru
semakin memnabah beban ekonomi dalam keluarga.
j. Kasus 10. Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia
dini pada pasangan Sutiah dan Turmudi adalah karena keinginan
sendiri. sutiah sudah ingin menikah dan keduanya sudah saling
menyukai dan sudah berniat untuk menikah sejak memulai
pacaran.
k. Kasus 11. Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia
dini pada pasangan Dahlia dan Arifin dikarenakan faktor
lingkungan sekitar. Dahlia melihat semua teman-teman sebayanya
hampir telah melakukan pernikahan sehinga ia terdorong ingin
melakukan pernikahan juga.
l. Kasus 12. Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia
dini pada pasangan ke 12 ini adalah dikarenakan pergaulan bebas.
Pergaulan bebas menyebabkan pasangan ini hamil diluar nikah,
sehingga mereka memilih melakukan pernikahan usia dini dengan
tujuan agar anak lahir mempunyai seorang bapak dan tidak malu
kepada tetangga dan lingkungan sekitar.
72
4. Problematika Pernikahan Usia Dini dalam Pendidikan Agama
Islam Anak di Keluarga
Pernikahan yang dilakukan di usia muda atau yang biasa
disebut dengan pernikahan usia dini merupakan salah satu keputusan
yang secara tidak langsung memiliki dampak bagi pelakunya, baik itu
yang bersifat positif maupun negative. Pernikahan usia dini bukanlah
solusi yang tepat jika dilakukan untuk keluar dari sebuah masalah.
Seperti yang dituturkan oleh informan ke-2, ke-8 dan ke-9. mereka
menikah karena faktor ekonomi, yang berharap dengan melakukan
pernikahan mereka bisa mengurangi beban hidup keluarganya, tapi
pada kenyataannya justru pernikahan usia dini tidak mengurangi beban
ekonomi keluarga, bahkan beban tersebut bertambah apalagi dengan
kehadiran seorang anak ditengah-tengah keluarga yang belum mapan,
baik mentalnya maupun ekonominya.
Selain itu dampak yang akan ditimbulkan ialah permasalahan
keluarga seperti pertikaian dan juga selisih paham antara suami istri
pasangan usia dini yang diakibatkan karena permasalahan kecil yang
dapat berujung pada permasalahan yang besar, seperti yang dialami 2
informan yaitu informan ke-1 dan ke-5 mereka tidak dapat
mempertahankan rumah tangganya yang akhirnya berujung pada
perceraian. penuturan informan ke-1
Banyak, apalagi pada pernikahan pertama, karena saya sudah
dua kali menikah. Pernikahan pertama saya gagal karena,
saya mungkin dulu masih belum dewasadan ibu mertua selalu
ikut campur dalam urusan rumah tangga, selain itu saya juga
tidak bisa mengurus anak dengan baik, pada puncaknya saya
tidak boleh tidur bersama satu kamar dengan anak saya yang
masih bayi oleh ibu mertua saya hingga saya tidak kuat dan
memilih bercerai, kendala nya juga anak hasil pernikahan saya
yang pertama sama sekali tidak diperbolehkan oleh ibu mertua
saya untuk bertemu dengan saya.73
Adapun penuturan informan ke-5
73 Wawancara dengan informan ke-1 pelaku pernikahan usai dini ibu Tati 19 Juli 2018
73
Rumah tangga yang pertama banyak cekcok saya nya masih
kecil masih mau pergi-pergi sama temen-temen, sedangkan
suami saya waktu nikah sama saya udah dewasa dia umurnya
27 an. Awal-awal nikah sih baik-baik aja, udah kesini-kesini
ngga cocok berantem mulu yaudah cerai.74
Lebih daripada itu dampak pernikahan usia dini terhadap
pendidikan agama Islam anak dalam keluarga adalah ketidak mampuan
orang tua dalam memberikan pengetahuan yang maksimal bagi anak.
Hampir semua responden menitipkan anaknya ke guru ngaji untuk
diajarkan mengaji yang padahal itu adalah tugas dan tanggung jawab
orang tua dalam mendidik anak. Selain mengajarkan al-Qur’an tugas
dan kewajiban orang tua dalam mendidik anak adalah menanamkan
tauhid, aqidah dan melatih mengajarkan sholat dan ibadah-ibadah lain,
hal itu tidak bisa dilakukan oleh orang tua yang melakukan pernikahan
usia dini karena keterbatasan ilmu dan waktu yang dimiliki, hal ini
berdampak pada sikap dan perilaku anak, banyak responden yang
menuturkan bahwa anaknya suka melawan, tidak segan berkata kasar
kepada orang tua, susah diatur dan tidak mau sekolah bahkan ada yang
putus sekolah. Hal ini juga dituturkan oleh guru ngaji.
Kesulitannya paling susah diatur namanya juga anak-anak,
mereka juga tidak segan berkata kasar, padahal terus saya
bilangin kalo tidak boleh berkata kasar apalagi kepada orang
tua. terus suka lama buat nangkep pelajaran karena satu-
satunya sumber belajar hanya saya tidak dibantu orang
tuanya, padahal orangtuanya sebenarnya juga harus bisa
mengajarkan kepada anak agar anak setelah mengaji disini
bisa diajarin lagi dirumah atau istilah katanya mah ngulang
agar ingatan anak tuh kuat.75
Dari penuturan responden diatas tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa sikap anak yang tidak baik tersebut bukan hanya
karena orang tuanya yang melakukan pernikahan usia dini akan tetapi
ada hal lain yang mempengaruhi sifat dan perilaku anak tersebut yaitu
lingkungan dan masyrakat setempat.
74 Wawancara dengan informan ke-5 pelaku pernikahan usia dini ibu Pujiyanti 16
Agustus 2018 75 Wawancara dengan guru ngaji ibu Barkah pada tanggal 20 Agustus 2018
74
Selain dampak negative tersebut diatas ada dampak positif.
seperti yang dituturkan oleh responden ke-4 yang menyatakan setelah
menikah ia menjadi sadar dan lebih dewasa karena sudah berkeluarga
dan memiliki anak, ia menyesal karena dulu tidak menurut kepada
orang tua karena ia sekarang sadar susahnya mengurus anak.
Iya ada, udah eling (sadar) saya jadi lebih dewasa, karena
mungkin sudah banyak anak sih, dulu mah masih suka
seenaknya sama orang tua juga, suka ngelawan soalnya
sekarang udah punya anak sendiri jadi sadar susahnya jadi
orang tua, saya suka nyesel dulu ngelawan sama orang tua.76
dari penuturan responden diatas dapat diketahui bahwa
pernikahan usia dini tidak hanya memiliki dampak negatif terdapat
dampak positif yaitu timbulnya kesadaran bagi setiap orang tua bahwa
tanggung jawab orang tua sangatlah besar dalam mendidik anaknya
dan menjadi orang tua tidaklah mudah perlu kesiapan fisik dan mental
yang baik untuk dapat menjadi orang tua yang baik.
C. Pembahasan
keluarga merupakan salah satu lembaga pendidikan non formal
yang pertama dan utama bagi anak, dalam memperoleh pengetahuan.
Orang tua berperan penting dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan
yang diperlukan anak bukan hanya setelah lahir tapi sejak di dalam
kandungan untuk bisa berkembang sesuai dengan ajaran Islam dan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat. Mengingat pentingnya peran orang
tua, maka menjadi orang tua tidaklah mudah ia harus sudah matang dan
dewasa baik dalam mental maupun ekonominya, tidak bisa dilakukan oleh
anak yang masih di bawah umur yang belum matang fisik, mental maupun
ekonominya, hal ini justru terjadi di kampung Pasirputih, Sukajaya,
Cilamaya Kulon, Karawang pernikahan usia dini masih marak terjadi yang
disebabkan oleh beberapa faktor yang akan dijelaskan dibawah ini, dan
berdampak kepada pemberian pengetahuan agama kepada anak.
76 Wawancara dengan pelaku pernikahan usia dini ibu Dayanti pada 07 Agustus 2018
75
1. Faktor-faktor terjadinya pernikahan usia dini di kampung Pasirputih,
Sukajaya, Cilamaya Kulon, Karawang
Tabel 4.2
Faktor-faktor Pernikahan usia dini dari dua belas kasus yang terjadi di
Kampung Pasirputih, Sukajaya, Cilamaya Kulon, Karawang.
Pelaku
Pernikahan
Usia Dini
Faktor-faktor Pernikahan Usia Dini
Perjodohan Ekonomi Pergaulan
Bebas
Keinginan
sendiri
(Kasus 1)
Tati dan
Saroni
Ya - - -
(Kasus 2)
Darilah dan
Kasman
Ya Ya - -
(Kasus 3)
Erina dan
Ratim
Ya - - Ya
(Kasus 4)
Dayanti dan
Amri
- - - Ya
(Kasus 5)
Pujiyanti
dan Rohman
- - Ya Ya
(Kasus 6)
Rasminah
dan Abbas
- - - Ya
(Kasus 7)
Ratini dan
Heri
Ya - - Ya
(Kasus 8)
Wiwin dan
Tata
- Ya - -
(Kasus 9)
Waridah dan
Lambri
Ya Ya - -
(Kasus 10) - - - Ya
76
Sutiah dan
Turmudi
(Kasus 11)
Dahlia dan
Arifin
- - - Ya
(Kasus 12)
Meli dan
Syapei
- - Ya Ya
Dari Tabel diatas diketahui bahwa ada beberapa faktor yang
menyebabakna terjadinya pernikahan usia dini di kampung Pasirputih,
Sukajaya, Cilamaya Kulon, Kararwang. Diantaranya sebagai berikut:
a. Faktor Ekonomi
Lemahnya ekonomi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari membuat masyarakat menjatuhkan pilihan untuk
menikahkan anaknya di usia yang masih sangat muda, dengan
anggapan bisa mengurangi beban hidup keluarganya, padahal
realitanya pernikahan usia dini justru tidak mengurangi beban
ekonomi keluarga karena kebutuhan semakin meningkat apalagi
dengan hadirnya anak ditengah-tengah keluarga yang belum mapan
baik mental maupun fisiknya. Hal ini memicu problem dalam
rumah tangga yaitu sering terjadinya keributan dalam rumah
tangga karena ekonomi, yang berujung pada perceraian. Berikut
penuturan salah satu informan ketika ditanyakan apakah dengan
menikah dapat mengurangi beban ekonomi keluarga.
Agak berkurang saat belum punya anak, tapi setelah punya
anak ya bebannya tambah lagi.77
Dari penuturan informan tersebut diketahui bahwa
pernikahan usia dini bukanlah jawaban atau solusi terbaik dalam
mengatasi kesulitan ekonomi keluarga, dengan melakukan
pernikahan dini ekonomi keluarga akan semakin terpuruk dan
77 Wawancara dengan pelaku pernikahan usia dini ibu Darilah 07 Agustus 2018
77
kebutuhan semakin meningkat apalagi ketika hadirnya anak
ditengah-tengah keluarga yang belum mapan.
Setelah dijalani justru tidak bisa dikatakan bekurang,
memang berkurang tapi ketika ada anak kebutuhan tambah
banyak juga tambah susah juga.78
Dari uraian wawancara antara peneliti dan responden
menunjukkan bahwa persoalan banyaknya pernikahan di usia dini
dikarenakan faktor ekonomi ini menjadi salah satu faktor yang
sangat mempengaruhi terjadinya pernikahan di usia dini.
b. Faktor Kemauan Sendiri
Pernikahan usia dini disebabkan adanya kemauan sendiri dari
pasangan. Karena keduanya sudah saling mencintai sehingga
mereka ingin menikah tanpa memikirkan umur dan tanggung
jawab menjadi orang tua terlebih dahulu. Selain itu lingkungan
juga mempengaruhi terjadinya pernikahan usai dini, melihat
teman-teman dilingkungannya sudah menikah membuat ia juga
ingin menikah. Seperti yang dituturkan oleh infroman ke 4 sebagai
berikut:
Mengikuti temen, temennya pada nikah semua saya mau
main juga ngga ada temen yaudah nikah aja, ngga sekolah
juga.79
Dari penuturan informan tersebut diketahui bahwa lingkungan
sangat berpengaruh terhadap keinginan responden untuk menikah
di usia dini. Yang mereka lakukan hanya mengikuti teman tanpa
ada pertimbangan apa-apa. Yang mengakibatkan ketidakmampuan
orang tua dalam menangani dan mendidik anaknya. berikut
penuturan responden ketika ditanyakan apakah ia mengalami
kesulitan dalam mendidik dan mengarahkan anaknya
Iya sangat (kesulitan), apalagi anak saya tidak mau
sekolah, dia maunya pergi ke laut padahal saya maunya
78 Wawancara dengan pelaku pernikahan usia dini ibu Waridah 12 September 2018 79 Wawancara dengan pelaku pernikahan usia dini ibu Dayanti 07 Agustus 2018
78
dia sekolah dulu, ke laut mah gampang nanti kalo udah
selese sekolahnya. anaknya susah jadi saya biarin maunya
anak apalagi yang besar udah susah banget diatur.80
c. Faktor Perjodohan
Terjadinya pernikahan usia dini disebabkan karena perjodohan ini
adalah adanya dorongan dari orang tua untuk segera melakukan
pernikahan tanpa memikirkan usia anak yang masih di bawah umur
dengan alasan kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan anaknya
yang bebas, dan sudah tidak ada keinginan anak untuk melanjutkan
pendidikan bukan karena ekonomi tapi ketidakmampuan anak
untuk melanjutkan sekolah. Mendorong orang tua untuk
menikahkan anaknya walupun masih di usia dini. Berikut
penuturan beberapa responden yang diwawancarai oleh peneliti
Iya, (dorongan orang tua) daripada nganggur tidak ngapa-
ngapain disuruh menikah.81
Uraian wawancara tersebut menunjukkan bahwa peran
orang tua di kampung Pasir putih masih menjadi faktor yang
menyebabkan pernikahan di usia muda, hal ini terlihat dari apa
yang sudah dipaparkan oleh informan diatas. Selain itu hal ini juga
relevan dengan apa yang dilakukan oleh informan 1 saat peneliti
melakukan wawancara dengan mengajukan pertanyaan alasan
kenapa ia memilih melakukan pernikahan usai dini?
Ya karena menuruti keingininan orang tua, dijodohkan.
Saya bahkan tidak tahu menahu mengenai calon suami
saya. Calon suami saya pilihan orang tua, tapi saya senang
ya senang karena terpaksa, mau bagaimana lagi.82
Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa peran
orang tua sangat berperan dalam tingkat pernikahan diusia muda
yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang ada di kampung
Pasirputih.
80 Wawancara dengan pelaku pernikahan usia dini ibu Rasminah 04 September 2018 81 Wawancara dengan pelaku pernikahan usia dini ibu Erina 07 Agustus 2018 82 Wawancara dengan pelaku pernikahan usia dini ibu Tati 19 Juli 2018
79
d. Faktor Pergaulan Bebas
Hal ini terjadi karena pergaulan bebas dari anak dan kurangnya
pengawasan dan perhatian dari orang tuanya sehingga
menyebabkan hamil diluar nikah, yang akibatnya terjadi
pernikahan usia dini untuk menutupi aib keluarga. Berikut
penuturan informan ke 12.
Kecelakaan hamil diluar nikah, jadi ya mau ngga mau kudu
nikah, kasian sama anak nanti kalo lahir ngga ada
bapaknya, sama malu juga sama tetangga sama masarakat
sekitar kalo nanti lahiran ngga ada bapaknya.83
Dari uraian wawancara tersebut diketahui bahwa faktor
yang menyebabkan terjadinya pernikahan usai dini selain karena
faktor ekonomi, perjodohan, dan keinginan sendiri adalah karena
hamil diluar nikah atau pergaulan bebas yang mengakibatkan orang
tua terpaksa menikahkan anaknya walaupun dengan usai yang
masih muda. Selain itu kurangnya perhatian dan pengawasan orang
tua membuat hal itu bisa terjad speerti yang dituturkan oleh
informan ke-5 sebagai berikut.
Pergaulan bebas kurang diawasi sama orangtua, terus
temen-temennya pada ngajak ngga bener, minum-minum,
pulang malem, kalo ngga ikut disangkanya sombong
yaudah terjadi weh ahirnya begitu.84
Dari penuturan wawancara tersebut diketahui bahwa
pengawasan dan perhatian orang tua terhadap anak nya sangat
penting untuk mecegah hal-hal seperti tersebut diatas terjadi dan
agar pernikahan usia dini tidak terus menerus terjadi khususnya di
kampung Pasirputih, Sukajaya, Cilamaya Kulon, Karawang.
2. Problematika Pernikahan Usia Dini dalam Pendidikan Agama Islam
Anak di Keluarga
Permasalahan pernikahan usia dini yang dilakukan oleh
pasangan suami istri di lingkungan kampung Pasirputih, Sukajaya,
83 Wawancara dengan pelaku pernikahan usia dini ibu Meli 15 September 2018 84 Wawancara dengan pelaku pernikahan usia dini ibu Pujiyanti 16 Agustus 2018
80
Cilamaya Kulon, Karawang. bagi pendidikan agama Islam anak adalah
ketidakmampuan orang tua dalam memberikan pengetahuan-
pengetahuan agama yang maksimal untuk anak, sehingga anak di didik
oleh orang lain yaitu guru ngaji. yang sebenarnya mengajarkan Al-
Qur’an, menanamkan Aqidah, tauhid dan melatih mengajarkan sholat
dan ibadah-ibadah lain. adalah peran dan tanggung jawab mereka
sebagai orang tua. Akan tetapi dampak ketidakmampuan tersebut
bukan sepenuhnya karena orang tuanya yang melakukan pernikahan
usia dini itu juga disebabkan karena lingkungan sekolah dan
masyarakat sekitar yang tidak kondusif, maka dari itu orang tua yang
dalam hal ini adalah keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat
masing-masing sangat mempengaruhi pengetahuan anak tentang
agama dan perilaku anak.
Selain itu orang tua juga kurang memberikan keteladanan bagi
anak, banyak orang tua yang cuek terhadap pendidikan agama
anaknya, semua beban pengajaran ditanggungjawabkan kepada guru
ngaji. Selain itu orang tua juga jarang sekali mengajak anak-anaknya
beribadah bersama, bahkan ada orang tua yang tidak bisa mengaji dan
sering berkata kurang baik yang kemudian ditiru oleh anak-anaknya,
hal ini ditujukkan berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan
penulis.
Dampak dari ketidakmampuan orang tua dalam memberikan
keteladanan dan pengetahuan agama yang baik inilah yang
mengakibatkan sikap dan perilaku anak kurang baik, banyak
diantaranya anak-anak yang tidak segan berkata kasar bahkan kepada
orang tuanya, melawan dan sulit diatur ada beberapa anak responden
yang diwawancara oleh penulis juga yang anaknya putus sekolah
ditengah jalan karena sulit diatur dan sudah tidak menginginkan
melanjutkan sekolah dan lebih memilih pergi melaut. Namun hal ini
bukanlah satu-satunya penyebab yaitu pernikahan usia dini yang
dilakukan oleh orang tua anak, akan tetapi ada hal lain yang
81
mempengaruhi sikap dan perilaku tidak baik anak tersebut yaitu
lingkungan sekolah dan masyarakat. Maka dari itu untuk dapat
menjadikan anak baik harus selalu diperhatikan pendidikan dalam
keluarga, lingkungan sekolah yang kondusif dan ligkungan
masyarakat. yang masing-masing saling berkaitan dan saling
mempengaruhi.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan, dapat diambil
kesimpulan pernikahan usia dini yang dilakukan oleh pasangan suami
istri mempunyai dampak positif dan negative. Dampak positif dari
pernikahan usia dini ini adalah timbulnya kesadaran orang tua bahwa
menjadi orang tua tidaklah mudah perlu kesiapan fisik dan mental,
menjalankan salah satu sunnah Rosulullah dengan melakukan
pernikahan, dan menghindari zina. Selain positif ada sisi negative bagi
pelaku pernikahan usia dini yaitu terjadinya perceraian tidak bisa
mempertahankan rumah tangga karena sering terjadi pertengkaran dan
ketidakharmonisan dalam keluarga. Selain itu problematika atau
masalah pernikahan usia dini dalam keluarga adalah ketidamapuan
orang tua dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan agama kepada
anak karena pendidikan orang tua yang rendah terhadap agama Islam
dan kondisi jiwa yang belum matang.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa fenomena praktik
pernikahan usia dini masih sering terjadi di daerah Pasirputih, Sukajaya,
Cilamaya Kulon, Karawang. Faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya pernikahan usia dini dintaranya adalah faktor perjodohan, faktor
ekonomi, faktor pergaulan bebas dan faktor keinginan sendiri. dan yang
paling banyak dilakukan pasangan usia dini di kampung Pasirputih adalah
faktor keinginan sendiri.
Mengenai problematika pernikahan usia dini dalam Pendidikan
Agama Islam dalam keluarga adalah praktik pernikahan usia dini memiliki
dampak positif dan negatif bagi pelakuknya. Dampak positif dari
pernikahan usia dini ini adalah timbulnya kesadaran orang tua bahwa
menjadi orang tua tidaklah mudah perlu kesiapan fisik dan mental,
menjalankan salah satu sunnah Rosulullah dengan melakukan pernikahan,
dan menghindari zina. Selain positif ada sisi negative bagi pelaku
pernikahan usia dini yaitu terjadinya perceraian, terjadi pertengkaran dan
ketidakharmonisan dalam keluarga. Selain itu problematika atau masalah
pernikahan usia dini dalam keluarga adalah ketidkamapuan orang tua
dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan agama kepada anak karena
pendidikan orang tua yang rendah terhadap agama Islam dan kondisi jiwa
yang belum matang, maka keluarga pasangan usia dini ini membutuhkan
bimbingan dan pendidikan agama dari orang lain yaitu ustadz, guru yang
dapat meberikan pengetahuan-pengetahuan agama yang lebih kepada
pasangan pernikahan usia dini.
B. Saran
1. Upaya pencegahan kasus pernikahan usia dini akan lebih baik bila
anggota masyarakat ikut terlibat secara langsung dalam pencegahan
83
pernikahan usia dini yang ada si sekitar lingkungan mereka. Adanya
kerjasama antara pemerintah setempat dengan masyarakat menjadi
modal utama untuk dapat mencegah terjadinya pernikahan usia dini.
2. Penulis berharap ketika seseorang memutuskan untuk menikah pada
usai dini hendaknya terlebih dahulu mempersiapkan segala sesuatunya
secara matang. baik itu dari segi fisik, mental, emosi, tanggung jawab
dan kesiapan mempunyai anak sehingga pernikahannya menjadi
pernikahan yang sakinah mawaddah warrahmah.
3. Kepada masyarakat yang telah melakukan pernikahan usia dini
hendaknya tidak berhenti untuk menimba ilmu pengetahuan dan harus
memperhatikan pendidikan terutama pendidikan agama bagi anak.
84
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. Dan Nur Uhbiyati.. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineke
Cipta. 2011.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT
Rineke Cipta, 2013.
Baharuddin. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media. 2016.
Barkah, “Pernikahan Usia Dini dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Agama
Islam dalam Keluarga”, Skripsi UIN Jakarta tahun 2008. tidak
dipublikasikan.
Craig, Sidney D. Mendidik dengan Kasih, Jogjakarta: Kanisius. 1990.
Dep Dikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1994.
Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah. Surabaya: PT Bina Ilmu Offset. 1995.
Drajat, Zakiah. tt. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.
-----------------. Dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. 2004.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana PrenadaMedia
Group. 2014.
Hafizh, Muhammad Nur Abdullah Mendidik Anak Bersama Rasulullah,
Bandung: Al-Bayan. 1995.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2006.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. 1980.