PROBLEMATIKA PENERJEMAHAN TEKS KEAGAMAAN (Suatu Studi Pengadaptasian Seri Pedoman Penafsiran Alkitab Wahyu Kepada Yohanes Untuk Pembaca Khusus Di Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia Bogor) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Penerjemahan OLEH : SUJATMIKO S130908013 PROGRAM STUDI LINGUISTIK MINAT UTAMA LINGUISTIK PENERJEMAHAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
135
Embed
PROBLEMATIKA PENERJEMAHAN TEKS · PDF filedokumen atau naskah Alkitab yang membuat para penerjemahnya kesulitan ... Penerjemahan Alkitab merupakan tugas berat bagi penerjemahnya. ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PROBLEMATIKA PENERJEMAHAN TEKS KEAGAMAAN
(Suatu Studi Pengadaptasian Seri Pedoman Penafsiran Alkitab Wahyu Kepada
Yohanes Untuk Pembaca Khusus Di Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab
Indonesia Bogor)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Penerjemahan
OLEH :
SUJATMIKO
S130908013
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
MINAT UTAMA LINGUISTIK PENERJEMAHAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pekerjaan menerjemahkan merupakan pekerjaan yang tidak mudah dengan
adanya berbagai aspek yang harus diperhatikan oleh penerjemah. Penerjemahan
merupakan suatu proses yang kompleks. Hal ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Larson (1984: 22) bahwa “Translation is a complicated process”.
Dengan segala kompleksitasnya dalam aktifitas penerjemahan, maka secara
langsung berimbas kepada penerjemah itu sendiri. Penerjemah akan menghadapi
berbagai macam masalah–masalah dalam melakukan tugasnya. Dengan adanya
masalah-masalah yang muncul dalam menerjemahkan, maka masalah-masalah
tersebut menguji kompetensi penerjemahnya.
Penerjemah juga berpotensi mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi
apabila teks yang diterjemahkan adalah teks–teks yang sifatnya sensitif seperti teks
politik, agama, hukum, kedokteran, agama, dll. Salah satu wujud dari jenis teks-teks
yang sensitif tersebut adalah teks keagamaan. Wujud nyata dari penerjemahan teks
keagamaan yaitu penerjemahan Alkitab.
Uraian berikut adalah sekilas masalah-masalah yang dihadapi oleh para
penerjemah Alkitab. Penerjemah Alkitab menghadapi masalah dalam hal keaslian
dokumen atau naskah Alkitab yang membuat para penerjemahnya kesulitan
menentukan manakah naskah yang asli. Mereka hanya mempunyai naskah dalam
bentuk fotokopi sehingga kesulitan menentukan fotokopi mana yang benar dan mana
yang salah. Berikut kutipannya :
One basic problem inherent in Bible translation is that we do not have the original manuscript of the Bible, but copies of copies of copies... and this causes many problems because translators do not know which of all these copies is correct and which is not, since none of them are identical. (Ilias Chatzitheodorou dalam http:// accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Penerjemahan Alkitab merupakan tugas berat bagi penerjemahnya. Hal ini
karena Alkitab diterjemahkan dalam berbagai bentuk.
Bible is divided represent "a greater variety of literary styles e.g. historical narrative, prophecy, poetry, instructions and exhortation etc. than any other piece of literature in the history of mankind" (Snell-Hornby et al., 1998; 275). This variety of text types makes Bible translation a hard task for the translator. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Alkitab diperuntukkan bagi semua orang dan untuk semua kalangan atau
golongan pembaca/pendengarnya, baik itu anak–anak, orang dewasa, teolog, dan
lain–lain. Hal ini menuntut penerjemah Alkitab untuk dapat menentukan padanan
kata yang tepat dari Bsu ke dalam Bsa untuk semua pembacanya.
Another problem that many translators face in Bible translation is that the Bible is addressed to a huge variety of people, e.g. theologians, adults, children, believers and non-believers, etc. Moreover, as Snell-Hornby states, the Bible is written for different uses, i.e., for both readers and listeners. Thus, we could say that it is very difficult for a translator to translate the Bible since she/he must 'reproduce' an equivalent text in the Target Language, which can be 'used' for the same purposes as that of the Source Language.(Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Penerjemah Alkitab juga menghadapi masalah pada perbedaan struktur atau
sistem Bsu dan Bsa yang menyebabkan tidak adanya persesuaian diantara kedua
bahasa tersebut dan berakibat pada tidak tepatnya terjemahan. Terjemahan yang tepat
sulit diperoleh karena makna kata dan struktur gramatikal Bsu dan Bsa berbeda. Oleh
karena itu, penerjemah Alkitab harus memilih padanan yang paling tepat dalam
setiap situasi.
Since no two languages are identical, there can be no absolute correspondence between languages". Hence, there can be no fully exact translations. The total impact of a translation may be reasonably close to the original, but there can be no identity in detail" (cited in Venuti 2000; 127). It is accepted that exact translation is 'impossible' since meanings of words and grammatical structures in any two languages do not generally correspond.. The translator must choose the best equivalent in each situation. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Penerjemah Alkitab seringkali hanya mereproduksi makna dalam bahasa target.
Oleh karena itu, penerjemah Alkitab harus mematuhi atau mempertimbangkan
kaidah bahasa penerimanya.
Frequently the translator must grasp the meaning of the original as best he can and then seek to reproduce that meaning in the Target Language. This, however, can be done if the Bible translator "respects the features of the receptor language and exploits the potentialities of the language to the greatest possible extent. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Penerjemah Alkitab juga menghadapi masalah pemahaman terhadap bahasa
kuno tulisan Alkitab. Masalah pemahaman bahasa kuno Alkitab menjadi masalah
karena bahasa selalu berkembang setiap saat dan setiap waktu, hal ini tentunya
berpengaruh terhadap makna bahasa itu sendiri.
Oleh karena itu, untuk memahami Alkitab, bahasa harus dipelajari di seluruh
tempat di mana masyarakatnya mengetahui bahasa itu dalam bentuk tulisan dan di
bandingkan dengan dengan kata yang sama dalam bahasa sasaran, sehingga dapat
menebak makna kata yang dimaksud.
There is the problem of understanding the ancient languages in which the Bible was written. No one who spoke those languages is around to tell us
what they mean. We all know that languages continually change over time. New words are always being added and others take on different or added meaning. However, to understand the Bible, words must be studied in all the places where they occur in available writings and compared with similar words in related languages. Then, we might be able to understand or guess their meaning. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Penerjemah Alkitab menghadapi masalah tentang pemahaman budaya, di mana
pengetahuan budaya kuno tidak selalu dapat dipahami oleh penerjemah. Hal ini
sesuai dengan pernyataan bahwa “There is also the problem of cultural
understanding. With an imperfect knowledge of ancient cultures it is not always
possible to understand references of various kinds" (Ilias Chatzitheodorou dalam
http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober
2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Untuk memahami Alkitab, penerjemah Alkitab harus mempunyai semangat
rohani yang baik seperti yang dinyatakan dalam I Korintus 2 :14.
The most important problem in understanding the Bible is the spiritual problem. "The natural mind does not receive things of the Spirit of God" (1 Cor 2:14). Anyone who knows God has had the experience of reading a Bible passage a hundred times and then suddenly seeing what it means. As we grow in spiritual understanding, the Bible continually reveals its deeper meanings. The Holy Spirit guides us into all truth. (Ilias Chatzitheodorou dalam http:// accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
menyatakan bahwa salah satu masalah serius yang dihadapi oleh penerjemah adalah
menyamakan unsur-unsur stilistika dari dua bahasa yang berbeda.
Sebagai contoh, penerjemah Alkitab sebaiknya tidak memilih tingkat bahasa
yang terlalu tinggi agar pesan dapat di pahami oleh pembacanya. Tetapi di sisi yang
lain, sebaiknya juga penerjemah Alkitab tidak menggunakan tingkat bahasa yang
terlalu rendah, karena akan mengurangi pesannya.
According to Nida (1964), one of the most serious problems that face a translator is to properly match the stylistic levels of two different languages. For example, the Bible translator may not select a level of language which is too high for making the message accessible to the people to whom it is addressed. At the same time, the level chosen should not be socially low, because it would then debase the content.
Realitas profesi penerjemah Alkitab memang berat dan menguji tingkat
kompetensinya sebagai penerjemah dengan begitu banyaknya masalah–masalah yang
dihadapinya seperti yang sudah penyusun uraikan sebelumnya.
LAI dan Yayasan Kartidaya selaku mitra kerjanya adalah dua lembaga yang
bertanggung jawab dalam usaha penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa yang
ada di Indonesia berdasarkan fakta bahwa bahasa Indonesia yang secara yuridis
formal telah ditetapkan sebagai bahasa nasional Indonesia dan digunakan secara
resmi di berbagai lembaga dan perkantoran, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
bahasa daerah masih sangat luas digunakan di nusantara.
Bahasa daerah digunakan bukan saja karena masih banyak dari masyarakat
Indonesia yang tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar, tetapi
juga karena bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu cenderung lebih dapat
mengungkapkan perasaan, penghayatan dan pemaknaan yang lebih mendalam. Salah
satunya adalah perasaan, penghayatan, dan pemaknaan yang berkaitan dengan
masalah keagamaan, bahasa iman yang tidak hanya menyentuh kehidupan manusia
secara lahiriah, tetapi juga menyentuh secara kedalaman batiniah.
Usaha penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah menghadapi
berbagai kesulitan yang kompleks, termasuk menyangkut kelangkaan ketersediaan
sumber daya penerjemah yang menguasai dengan baik bahasa daerah setempat dan
sekaligus memahami bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, minimnya pengetahuan
teologi, rendahnya tingkat pendidikan, minimnya bahan-bahan pendukung, dan
masalah-masalah lainnya.
Dewasa ini Alkitab dalam bahasa Indonesia sudah tersedia dalam berbagai versi
terjemahan, antara lain: Alkitab dalam Terjemahan Baru Edisi I Tahun 1974 (atau
yang populer disebut TB-LAI), Alkitab dalam Terjemahan Baru Edisi II Tahun 1997
(disebut TB2-LAI), Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), Alkitab
dalam Bahasa Indonesia Masa Kini Edisi I Tahun 1985 (BIMK) dan beberapa
terjemahan lain. Berbagai versi terjemahan yang ada masih dianggap belum
memadai bagi para penerjemah lokal untuk menyusun Alkitab dalam bahasa
setempat.
Oleh karena itu, LAI bersama Yayasan Kartidaya terus berupaya menyediakan
bahan-bahan yang dapat digunakan oleh para penerjemah lokal yang akan membantu
mereka dalam membuat Alkitab ke dalam bahasa setempat. Salah satu upaya tersebut
ditempuh dengan menyediakan SPPA yang merupakan adaptasi dari THB berbahasa
Inggris yang diterbitkan oleh UBS yang dirancang khusus dengan target
pembacanya yaitu penerjemah lokal di daerah-daerah.
Sudah barang tentu buku-buku SPPA tersebut terbuka untuk dibaca dan
dipergunakan oleh siapapun. LAI menyebut para penerjemah SPPA dengan istilah
"Adaptor” yang tergabung dalam sebuah tim yang di sebut ”Tim Pengadaptasi”,
bukan disebut sebagai para ‘penerjemah’ (translator) sebagai mana lazimnya. Hal
tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa para adaptor berperan bukan semata-mata
sebagai penerjemah saja, namun sekaligus berperan sebagai pengadaptasi bahan-
bahan yang berbahasa Inggris untuk konteks pembaca (penerjemah lokal) yang
tingkat pendidikannya rendah, pengetahuan teologinya minim, dan tidak menguasai
bahasa Inggris.
Konteks pembaca sangat penting dalam bidang penerjemahan, termasuk dalam
penerjemahan Alkitab dan khususnya pengadaptasian SPPA. Newmark (1988:13)
menyarankan bahwa seorang penerjemah harus mengetahui karakteristik pembaca
bahasa sumber, setelah itu melakukan proses penerjemahan, kemudian
memperhatikan dengan baik siapa yang akan menjadi calon pembacanya. Demikian
pernyataan Newmark bahwa ”... you attempt to characterize the readership of the
original and then of the translation, and to decide how much attention you have to
pay to the target language readers”.
Sejalan dengan itu, Nababan (2003:22) juga mengatakan bahwa ”penerjemah
harus tahu untuk siapa terjemahannya dan bagaimana tingkat kemampuan
pembacanya”. Hal ini sangat penting karena setiap orang memiliki kemampuan
berbeda dalam memahami isi teks terjemahan.
Tugas seorang adaptor adalah menggali arti dari naskah bahasa asli 1(eksegese).
Adaptor berperan sebagai 2‘eksegetor’ yang bukan hanya menerjemahkan teks dari
satu bahasa ke bahasa lainnya, namun juga berperan untuk menggali makna dari
1 Eksegese : Proses atau langkah-langkah yang diambil untuk menggali arti/makna sebuah teks (ataupun hasil dari seluruh proses tersebut)
2 Eksegetor : Pelaku eksegese
naskah bahasa asli dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tetap
mempertahankan makna pesan yang terkandung didalamnya dengan tanpa terjadi
reduksi dan distorsi.
Mengeksegese ayat Alkitab bukanlah hal yang mudah, adaptor harus benar-
benar menafsir dan mengetahui makna sebenarnya dibalik kata atau kalimat bahasa
sumber. Mengeksegese ayat merupakan salah satu teknik yang di gunakan adaptor
dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Dalam contoh berikut, yang
akan dieksegese yaitu Anak Domba.
Bsu : I saw a Lamb standing, as though it had been slain: RSV, TEV, and others
capitalize Lamb, indicating thereby that it is a title, but it may be better to say “a
lamb”. In languages that have two different terms for male and female lambs, here
and elsewhere in Revelation the male form should be used, and in certain languages
‘lamb” will be translated as “male child of a sheep”. In culture where sheep exist
but don’t have the economic and religious significance that they had in Palestine, it
will be helpful to give a detailed description of sheep in a glossary item for the
reader.
Bsa : Seekor Anak Domba seperti telah disembelih, penulisan Anak Domba
dengan huruf besar ini menunjukkan bahwa istilah ini adalah gelar, tetapi bisa juga
ditulis dengan huruf kecil “anak domba”. Dalam bahasa dimana domba jantan dan
domba betina dibedakan penyebutannya, terjemahannya menjadi “anak domba
jantan” . Kalau di Palestina, domba dikenal sebagai binatang kurban dalam upacara
keagamaan, dalam kebudayaan lain mungkin tidak demikian halnya. Untuk hal ini
penerjemah dapat memberikan keterangan yang terperinci tentang anak domba di
dalam catatan kaki atau daftar kata-kata sulit (Kamus Alkitab). Kata Anak Domba
disini melambangkan diri Kristus. Disembelih merujuk kepada ”penyaliban”.
Dalam contoh di atas, adaptor perlu mengeksegese ayat untuk mengetahui
makna Anak Domba yang dalam bahasa sumber masih merujuk kepada makna
konotasi yaitu hewan. Hasil dari eksegese ayat tersebut adalah Anak Domba yang
telah disembelih merujuk kepada Diri Kristus yang telah disalib sebagai makna
sebenarnya yang dimaksud oleh bahasa sumber.
Teknik lain yang juga digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu
Kepada Yohanes yaitu dengan penerjemahan deskriptif. Berikut contohnya :
Bsu : There was great earthquake: Earthquakes are frequently one of the great
events marking the end of the age (see Isa 29.6; Joel 2.10; Hag 2.6; Mark 13.8).
They are caused by God as prelude to the Last Judgment. In some languages that
have no specific word for earthquake, an explanation of it would help the reader.
Bsa : Terjadilah gempa bumi yang dahsyat : Salah satu tanda akhir zaman yang sering disebut dalam Alkitab adalah gempa bumi (Yes 29:6, YL 2:10, Hag, 2:6, Markus 13:8). Allah mengadakan gempa bumi sebagai tanda yang mendahului Hari Kiamat. Dalam bahasa tertentu yang tidak memiliki istilah khusus untuk gempa bumi, terjemahannya dapat menjadi “bumi berguncang dengan dahsyat” atau “tanah berguncang dengan dahsyat”
Dalam contoh di atas, adaptor melakukan teknik penerjemahan deskriptif pada
kata gempa bumi yang dalam bahasa sumber tidak dijelaskan secara rinci. Adaptor
mempertimbangkan untuk memberikan penjelasan tambahan berupa deskripsi dari
gempa bumi untuk mengantisipasi jikalau mungkin konsep gempa bumi tidak
dikenal dalam bahasa sasaran.
Penelitian terhadap proyek penerjemahan buku-buku asing dan novel ke dalam
bahasa Indonesia sudah cukup banyak dilakukan. Namun penelitian terhadap proyek
penerjemahan (atau ‘pengadaptasian’ sebagaimana istilah yang dipergunakan oleh
LAI) buku keagamaan dengan sasaran pembaca tertentu masih merupakan hal yang
langka. Oleh karena itu, kajian ini diharapkan menjadi sumbangsih baru yang
menyajikan sudut pandang baru dalam seluk beluk dunia penerjemahan teks
berbahasa asing, dan khususnya menyangkut teks keagamaan.
Berdasarkan uraian tersebut, penyusun tertarik untuk mengkaji problematika
penerjemahan teks keagamaan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes
dengan fokus kajian berupa strategi penerjemahan, teknik penerjemahan, jenis
metode penerjemahan, dan prosedur pengujian kualitas SPPA tersebut dalam sebuah
penelitian dengan judul "Problematika Penerjemahan Teks Keagamaan (Suatu
Studi Pengadaptasian Seri Pedoman Penafsiran Alkitab Wahyu Kepada
Yohanes Untuk Pembaca Khusus di Departemen Penerjemahan Lembaga
Alkitab Indonesia Bogor) ”.
B. Rumusan Masalah
Mencermati latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di bagian
sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai
berikut:
1. Apa saja problematika penerjemahan yang terdapat dalam pengadaptasian SPPA
Wahyu Kepada Yohanes?
2. Strategi penerjemahan dan teknik penerjemahan apa yang ditempuh adaptor
dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes?
3. Kecenderungan jenis metode penerjemahan apakah yang digunakan adaptor
dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes?
4. Bagaimanakah prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang
dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor?
C. Tujuan Penelitian
Secara spesifik, tujuan penelitian ini yaitu :
1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan jenis problematika penerjemahan yang
terdapat dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes.
2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan strategi penerjemahan dan teknik
penerjemahan yang ditempuh adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu
Kepada Yohanes.
3. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan kecenderungan jenis metode penerjemahan
yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes.
4. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu
Kepada Yohanes yang dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor.
D. Manfaat Penelitian
Hasil kajian dalam penelitian ini dapat digunakan untuk :
1. Memecahkan berbagai masalah penerjemahan Alkitab, terutama yang
menyangkut pengadaptasian bahasa untuk pembaca khusus (penerjemah lokal).
2. Memberi masukan untuk mengembangkan dan menyempurnakan upaya–upaya
pemahaman Alkitab sesuai dengan tingkat pendidikan dan kekhasan budaya
masyarakat penggunanya.
3. Melengkapi hasil–hasil penelitian sejenis yang cukup relevan sebagai sumbangsih
baru bagi linguistik terapan khususnya bidang penerjemahan bagi pengembangan
ilmu pengetahuan humaniora.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Definisi Seri Pedoman Penafsiran Alkitab (SPPA) SPPA adalah salah satu edisi studi terbitan LAI yang merupakan seri panduan
penerjemahan Alkitab yang menggali makna teks sumber, dan memberikan alternatif
terjemahan ke bahasa penerima dengan memperhatikan perbedaan dan kekayaan
bahasa dan budaya penerima. Tidak hanya bermanfaat bagi penerjemah, tetapi juga
bagi teolog dan awam yang ingin mendalami isi Alkitab (Yayasan LAI, 2008:27).
B. Definisi Penerjemahan
Ada beberapa definisi penerjemahan yang telah dikemukan oleh para ahli.
Definisi-definisi yang diajukan berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan sudut
pandangnya, sehingga definisi ini bisa lemah, kuat atau saling isi (Nababan, 2003).
Pada dasarnya penerjemahan adalah pengalihan pesan dari bahasa sumber (Bsu)
ke bahasa sasaran (Bsa). Diupayakan supaya hasil terjemahan tersebut, bila dibaca
oleh pembaca, pembaca tidak menyadari bahwa yang dibaca tersebut adalah hasil
terjemahan. Selain itu, dalam terjemahan tersebut tidak ada distorsi makna, inilah
yang dikatakan penerjemahan yang tepat dan baik.
Untuk mendapatkan hasil terjemahan yang baik, menurut Barnwell, yaitu
terjemahan yang accurate, clear, dan natural (1983:15), penerjemah harus
memperhatikan beberapa aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek non kebahasaan.
Berikutnya Bell (1991:5) melengkapinya bahwa penerjemahan adalah suatu
proses penggantian teks Bsu ke dalam teks Bsa dengan memperhatikan aspek
semantik dan gaya (style). Menurut Bell : "Translation is the expression in another
language (or target language) of what has been expressed in another, source
language, preserving semantic and stylistic equivalences".
Dalam hal ini Bell sudah mulai memperhatikan hal yang lebih jelas lagi bahwa
dalam menerjemahkan, penerjemah harus memperhatikan unsur linguistik dan gaya.
Bassnett (1991:13) memperjelas bahwa dalam pengalihan pesan dari Bsu ke
dalam Bsa ada dua unsur yang harus diperhatikan oleh penerjemah, yaitu unsur
linguistik dan unsur non linguistik. Menurut Bassnett : “…..that the translation
involves the transfer of meaning contained in one set of language signs into another
set of dictionary and grammar, the process involves a whole set of extra linguistic
criteria also".
Penerjemahan adalah suatu upaya untuk mengungkapkan kembali isi pesan dari
suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Oleh karena itu, penerjemahan tidak sekedar
upaya untuk menggantikan teks dalam satu bahasa ke dalam teks bahasa lain.
"Seorang penerjemah tidak mungkin dapat menggantikan teks bahasa sumber (Bsu)
dengan teks bahasa sasaran (Bsa) karena struktur kedua bahasa itu pada umumnya
berbeda satu sama lainnya". Materi teks Bsu juga tidak pernah digantikan dengan
materi teks Bsa (Nababan, 2003).
Catford dalam Rachmadie (1988:12) menyatakan bahwa “Translation is the
replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material
in another language (TL)”. Definisi ini menjelaskan bahwa penerjemahan sebagai
kegiatan mengganti materi teks dalam bahasa sumber (Bsu) ke materi teks yang
sepadan (equivalent) dalam bahasa sasaran (Bsa). Berdasarkan definisi ini jelas
bahwa penerjemahan merupakan proses kegiatan tulis sehingga produknya juga
dalam bentuk tertulis (teks).
Nida dan Taber (1974:12) menyatakan bahwa "Translating consists of
reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source
language massage, first in terms of meaning and secondly in terms of style".
Dari kutipan itu, dapat dipahami bahwa penerjemahan adalah upaya untuk
menghasilkan kembali dalam bahasa sasaran padanan alami yang sedekat mungkin
dari pesan dalam bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal
gaya bahasanya. Dalam hal ini penerjemah adalah sebagai reseptor pesan dalam
bahasa sumber (Bsu) dan kemudian pada saat menerjemahkan, maka ia sebagai
pengirim pesan atau penulis dalam bahasa sasaran (Bsa).
Newmark (1981:7) mengartikan penerjemahan sebagai pengalihbahasaan
keseluruhan teks, kalimat demi kalimat dengan mempertimbangkan aspek emosi,
gaya dan nuansa budaya dari penulis aslinya. Tujuan pokok menerjemahkan adalah
untuk mengalihkan pesan yang tertulis dalam Bsu ke dalam Bsa dengan
ditentukan oleh kompetensi atau kemampuan penerjemah dalam memahami Tsu dan
menuangkan pesan makna ke dalam Tsa.
Dalam bidang teori penerjemahan, terdapat istilah translation dan interpretation
yang digunakan dalam konteks yang berbeda–beda meskipun kedua istilah tersebut
terfokus pada pengalihan pesan dari Bsu ke Bsa. Pada umumnya istilah translation
mengacu pada pengalihan pesan tertulis dan lisan. Namun, jika kedua istilah tersebut
dibahas secara bersamaan, maka istilah translation menunjuk pada pengalihan pesan
tertulis dan istilah interpretation hanya mengacu pada pengalihan pesan lisan.
Perlu pula dibedakan antara kata penerjemahan dan terjemahan sebagai padanan
dari translation. Kata penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan,
sedangkan kata terjemahan artinya hasil dari suatu penerjemahan (Nababan,
1997:12).
Menurut Brislin (1976:1), "Translation is the general term referring to the
transfer of thought and ideas from one language to another whether the languages
are written form or oral form". Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu
pada pengalihan pikiran dan gagasan dari bahasa satu ke bahasa yang lain baik dalam
bentuk tertulis atau lisan.
Nida (1976:15) menjelaskan bahwa menerjemahkan berarti mengalihkan isi
pesan yang terdapat dalam Bsu ke dalam Bsa sedemikian rupa sehingga orang yang
membaca (atau mendengar) pesan itu dalam Bsa kesannya sama dengan kesan orang
yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber (bahasa asli).
Ahli lain yang membahas tentang pengertian penerjemahan adalah Samiati
(1998:1) yang menyatakan bahwa penerjemahan terkait dengan pengalihan isi atau
gagasan dari suatu bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Selain itu, ditegaskan
bahwa isi pesan atau gagasan tersebut merupakan aspek sentral dalam terjemahan.
Dengan demikian, untuk dapat menerjemahkan dengan baik, orang atau penerjemah
perlu mengacu pada makna sebagai isu sentral dalam Bsu untuk ditransfer ke dalam
Bsa.
Larson (1984:3-4) menerjemahkan berarti (1) mempelajari leksikon, struktur
gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari teks bahasa sumber.(2)
menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya dan (3)
mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan leksikon dan
struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya.
Dari beberapa pendapat di atas nampaknya definisi "translation" dari waktu ke
waktu ada perkembangan dalam artian menjadi lebih jelas dengan apa yang
dimaksud dengan penerjemahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hakekat
penerjemahan adalah pengalihan pesan dari Bsu ke dalam Bsa dengan
memperhatikan unsur linguistik (semantik) maupun unsur non lingustik (budaya).
Unsur linguistik yang terkait dengan kata, frase, klausa, kalimat serta teks. Hal
ini karena setiap bahasa mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang
lain. Yang terkait dengan budaya yaitu budaya yang ada pada Bsu karena pada
dasarnya budaya suatu bahasa akan tercermin dari bahasa itu sendiri. Hal ini
diungkapkan oleh Dollerup (1994: 25) bahwa "A part from being a vehicle of
communication, language is thus a transmitter and repository of cultural signifiers".
Pemahaman tentang linguistik dan non-linguistik tersebut sangat diperlukan
untuk menemukan kesepadanan yang sedekat-dekatnya untuk menghasilkan
terjemahan yang baik, tepat dan wajar, sehingga dapat dimengerti dengan mudah.
Penerjemahan adalah sebuah proses pemindahan pesan baik secara tulis maupun
lisan bahasa sumber ke dalam pesan yang sepadan secara tulis maupun lisan dalam
bahasa sasaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “Translation is the process
to transfer written or spoken source language (SL) texts to equivalent written or
spoken target language (TL) texts”
(Http://www.thelanguagetranslation.com/translation process, strategy, and
methods/html/13 Juni 2010/04.00 pm).
Dalam bidang penerjemahan Alkitab, penerjemahan merupakan sebuah
pekerjaan yang berhubungan dengan keteologian (berhubungan dengan ilmu
keagamaan). Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “theological factors can
influence the decision in translation” (T. David Gordon dalam http://www.bible-
researcher.com/17 Juni 2010/08.00 am).
Foster (1958:1) dalam Mahmoud Ordudari di http:
//translationjournal.net/journal/43 theory.html/volume 12 No 1 Januari 2008/ 21
Juni 2010/03.00 pm menyatakan bahwa “translation as the act of transferring
through which the content of a text is transferred from the source language into the
target language” (penerjemahan merupakan proses mentransfer isi teks bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran).
“Translation is to be understood as the process whereby a message expressed in
a specific source language is linguistically transformed in order to be understood by
readers of the target language”(Frederic Houbert dalam
http://accurapid.com//translationjournal/5 theory.html/volume 2 nomor 3 Juli
1998/21 Juni 2010/04.00 pm). Berdasarkan kutipan tersebut, penerjemahan dapat
dipahami sebagai sebuah proses dimana pesan dalam bahasa sumber secara linguistik
di transfer agar dapat dipahami oleh pembaca bahasa sasaran.
Salawu, Ph.D dalam http://www accurapid.com//translationjournal//36
yoruba.html/volume 10 nomor 2 April 2006/21 Juni 2010/02.00 pm menyatakan
bahwa “translation should be seen as an attempt to guess the mind of an author
correctly” (penerjemahan harus di lihat sebagai sebuah usaha untuk menebak pikiran
penulis bahasa sumber secara tepat).
“A good translation should play the same role in the target language as the
original did in the source language” (Mahmoud Ordudari dalam http:
//translationjournal.net/journal/43 theory.html/volume 12 nomor 1 Januari 2008/21
Juni 2010/03.00 pm). Berdasarkan pernyataan tersebut, penerjemahan yang baik
harus memiliki peran yang sama baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran.
Sejalan dengan Mahmoud, Salawu Adewuni, Ph.D dalam http://www
accurapid.com//translationjournal//36 yoruba.html/volume 10 nomor 2 April
2006/21 Juni 2010/02.00 pm menyatakan bahwa “a perfect translation whereby the
translated version may be equivalent to the original text” (penerjemahan yang
sempurna adalah terjemahan yang sepadan dengan teks bahasa sumbernya).
C. Strategi Penerjemahan
Strategi penerjemahan adalah rencana sadar yang dimiliki oleh penerjemah
untuk memecahkan masalah dalam proses penerjemahan yang dituangkan dalam
penerjemahan yang sebenarnya. Demikian pernyataan Krings (1986:18) dalam
Mahmoud Ordudari di http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni
2010/07.00 am yang menyatakan bahwa “translation strategy as "translator's
potentially conscious plans for solving concrete translation problems in the
framework of a concrete translation task".
Menurut Seguinot (1989) dalam Mahmoud Ordudari di
http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am
sedikitnya ada 3 strategi umum yang biasanya diterapkan penerjemah yaitu : (1)
sedapat mungkin menerjemahkan dengan tanpa mengurangi pesan, (2) mengkoreksi
kesalahan yang muncul dalam terjemahan, (3) mengurangi kesalahan stilistik dalam
teks untuk revisi selanjutnya. Berikut kutipannya :
Seguinot (1989) believes that there are at least three global strategies employed by the translators: (i) translating without interruption for as long as possible; (ii) correcting surface errors immediately; (iii) leaving the monitoring for qualitative or stylistic errors in the text to the revision stage.
Lebih lanjut, Loescher (1991:8) dalam Mahmoud Ordudari di
http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am
mendefinisikan strategi penerjemahan sebagai prosedur untuk memecahkan masalah
yang dihadapi dalam menerjemahkan teks atau segmen dalam teks.
Moreover, Loescher (1991:8) defines translation strategy as "a potentially conscious procedure for solving a problem faced in translating a text, or any segment of it." As it is stated in this definition, the notion of consciousness is significant in distinguishing strategies which are used by the learners or translators. In this regard, Cohen (1998:4) asserts that "the element of consciousness is what distinguishes strategies from these processes that are not strategic."
Venuti (1998:240) dalam Mahmoud Ordudari di
http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am
menyatakan bahwa strategi penerjemahan melibatkan tugas dasar dalam memilih
teks asing untuk diterjemahkan dan menerapkan metode untuk menerjemahkan teks
tersebut. Venuti menerapkan konsep idiologi penerjemahan domestikasi dan
foreignisasi untuk merujuk konsep strategi penerjemahan. Berikut pernyataan Venuti
:
Venuti (1998:240) indicates that translation strategies "involve the basic tasks of choosing the foreign text to be translated and developing a method to translate it." He employs the concepts of domesticating and foreignizing
to refer to translation strategies. Merujuk kepada proses dan produk dari penerjemahan, Jaaskelainen (2005)
dalam Mahmoud Ordudari di http://translationjournal.net//journal/41
culture.html/22 Juni 2010/07.00 am membagi strategi penerjemahan menjadi 2
kategori yaitu strategi yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam teks dan
strategi yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam proses.
Strategi yang berorientasi pada produk seperti yang Jaaskelainen (2005:15)
ungkapkan melibatkan tugas pokok dalam memilih teks sumber dan menerapkan
metode yang sesuai untuk menerjemahkan teks tersebut. Dan strategi yang
berorientasi pada proses merupakan aturan atau prinsip yang dipegang oleh
penerjemah untuk meraih tujuan yang ditentukan oleh situasi dalam penerjemahan.
Jaaskelainen (2005:16) membaginya menjadi 2 tipe yaitu global dan lokal
strategi. Global strategi merujuk kepada prinsip umum dan mode tindakan dan lokal
strategi merujuk kepada tindakan yang spesifik yang berhubungan dengan
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan oleh penerjemah. Berikut
kutipannya :
Taking into account the process and product of translation, Jaaskelainen (2005) divides strategies into two major categories: some strategies relate to what happens to texts, while other strategies relate to what happens in the process. Product-related strategies, as Jaaskelainen (2005:15) writes, involves the basic tasks of choosing the SL text and developing a method to translate it. However, she maintains that process-related strategies "are a set of (loosely formulated) rules or principles which a translator uses to reach the goals determined by the translating situation" (p.16). Moreover, Jaaskelainen (2005:16) divides this into two types, namely global strategies and local strategies: "global strategies refer to general principles and modes of action and local strategies refer to specific activities in relation to the translator's problem-solving and decision-making."
D. Metode Penerjemahan
Ada beberapa ahli yang mempunyai beragam pandangan mengenai konsep
metode penerjemahan. Dalam Macquarie Dictionary (1982):” A method is a way of
doing something, especially accordance with a definite plan” (dalam Machali
2000:48). Machali memberikan definisi metode sebagai suatu cara melakukan
sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana tertentu.
Molina dan Amparo (2001:507) menyatakan bahwa “Translation method refers
to the way a particular translation process is carried out in the term of translator’s
objectives. i.e a global option that affects the whole text”. Dari pernyataan tersebut,
metode penerjemahan merupakan pilihan cara penerjemahan pada tataran global
yang terjadi dalam proses penerjemahan yang mempengaruhi teks secara
keseluruhan dan terkait dengan tujuan penerjemah. Dapat dikatakan bahwa metode
adalah cara penerjemahan yang terjadi pada tataran makro terkait dengan tujuan
penerjemah yang mempengaruhi cara penerjemahannya pada unit mikro.
Hoed (2006:55) menyatakan bahwa penerjemahan sering didasari oleh audience
design atau need analysis. Dalam praktiknya penerjemah memilih salah satu metode
yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan dilakukan.
Newmark (1988:45) memberikan delapan (8) jenis metode penerjemahan yang
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu empat diantaranya berorientasi pada
Bsu (SL emphasis) dan empat lainnya berorientasi pada Bsa (TL emphasis).
Diagram V Newmark menggambarkan hubungan antara metode penerjemahan
dan idiologi penerjemahan yang memayungi metode-metode tersebut. Berikut
diagram V Newmark :
SL emphasis TL emphasis
Word for word translation Adaptation
Literal translation Free translation
Faithful translation Idiomatic translation
Semantic translation Communicative translation
Diagram V tersebut menggambarkan bahwa ke delapan metode penerjemahan
pada intinya hanya menganut dua idiologi yaitu beorientasi ke SL (foreignization)
dan berorientasi ke TL (domestication). Empat metode berorientasi ke SL cenderung
untuk memberikan dan mempertahankan nuansa terjemahan pada produknya.
Sebaliknya empat metode yang lain yang berorientasi ke TL akan berusaha
menghilangkan nuansa tersebut.
Masing-masing metode tersebut memberi pengaruh pada saat penerjemahan,
sehingga hasil yang berbeda akan muncul pada produk terjemahannya sesuai dengan
idiologi yang dianut penerjemah saat menerjemahkan teks bahasa sumber. Secara
singkat, kedelapan metode penerjemahan tersebut diuraikan sebagai berikut :
1. Word for word translation (Penerjemahan kata demi kata)
Penerjemahan kata demi kata adalah suatu jenis penerjemahan yang masih
terikat pada tataran kata dan struktur Bsu. Nababan (2003:31) menyatakan bahwa
dalam menerjemahkan, penerjemah hanya mencari padanan kata Bsu dalam Bsa
tanpa mengubah susunan kata dalam terjemahannya.
Susunan kata dalam kalimat Bsa sama persis dengan susunan kata dalam
kalimat Bsu. Metode ini bisa diterapkan jika kedua bahasa memiliki kaidah yang
sama sehingga tidak menyalahi struktur kalimat bahasa sasaran. Metode ini tidak
relevan diterapkan dalam penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
Karena keduanya memiliki kaidah yang berbeda, misalnya dalam struktur frase
nomina.
Dengan menggunakan metode penerjemahan kata demi kata, ide atau gagasan
suatu teks tidak akan bisa dipahami oleh pembaca. Namun, Newmark (1988:45)
mengemukakan metode ini berguna bagi seseorang yang ingin mengerti struktur
Bsu atau menguraikan teks yang sulit sebagai salah satu tahap sebelum
menerjemahkan. Demikian pernyataan Newmark : “The main use of word-for-
word translation is either to understand the mechanics of the source language or
to construe a difficult text as a pre-translation process.”
2. Literal translation (Penerjemahan harfiah)
Literal translation atau lebih dikenal sebagai penerjemahan harfiah
disebut juga “pre-translation process”. Mungkin awalnya penerjemah
menerjemahkan kata demi kata kemudian menyesuaikan susunan kata dalam
kalimat terjemahannya sesuai dengan susunan kata dalam kalimat Bsa.
Dengan kata lain penerjemah mengubah struktur kalimat Bsu ke Bsa yang
mendekati sepadan.
3. Faithful translation (Penerjemahan setia)
Metode penerjemahan ini mencoba untuk setia terhadap maksud penulis teks
bahasa sumber. Penerjemahan ini berusaha memproduksi kembali makna
kontekstual teks bahasa sumber dan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya.
Dengan kata lain penerjemahan dilakukan sebisa mungkin untuk mempertahankan
aspek bentuk seperti dalam teks puisi sehingga pembaca masih secara lengkap
melihat kesetiaan pada segi bentuknya.
Hoed mengatakan bahwa tujuan melakukan penerjemahan dengan metode ini
antara lain untuk memperkenalkan metafora asing, untuk memperkenalkan
ungkapan dan istilah baru guna mengisi kekosongan ungkapan dan istilah dalam
bahasa sasaran.
4. Semantic translation (Penerjemahan semantik)
Sebagai salah satu metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa
sumber, penerjemahan semantik lebih luwes daripada penerjemahan setia.
Newmark (1988: 46) mengatakan bahwa :
Semantic translation must take more account of the aesthetic value (that is,
the beautiful and natural sound) of the SL text, compromising on ‘meaning’
where appropriate so that no assonance, word play or repetition jars in the
finished version. It may translate less important cultural words by culturally
functional terms but not by cultural equivalents and it may make other small
concessions to the readership. It is more flexible.
Dari pernyataan tersebut, penerjemahan semantik harus mempertimbangkan
unsur estetika teks bahasa sumber dengan tetap memperhatikan makna.
5. Adaptation
Metode adaptasi merupakan metode penerjemahan paling bebas karena latar
belakang budaya, konteks sosial dan nama tokoh dari suatu karya sastra
disesuaikan dengan keadaan Bsa. Bahkan suatu cerita ditulis ulang sesuai dengan
kebudayaan Bsa.
Metode ini lebih menekankan “isi” pesan, sedang bentuknya disesuaikan
dengan kebutuhan pembaca Bsa. Metode ini sering diterapkan dalam
menerjemahkan cerita anak dimana pengetahuan mereka sangat terbatas tentang
istilah-istilah baru.
Hoed (2006:56) menyebutkan binatang rubah diganti dengan kancil
meskipun sifat liciknya berbeda. Nama diri seperti Thomas juga bisa
diterjemahkan menjadi Tono. Semua itu dilakukan agar pembaca benar-benar
mengerti isi pesan teks tersebut tanpa menghiraukan unsur budaya teks bahasa
sumber.
6. Free translation (Penerjemahan bebas)
“Free translation reproduces the matter without the manner, or the content
without the form of the originally” (Newmark, 1988:45). Pernyataan tersebut
mengindikasikan bahwa penerjemah mempunyai kebebasan yang terbatas dalam
mengungkapkan suatu pesan ke dalam bahasa sasaran, maksudnya ialah
penerjemah tidak memiliki kebebasan dalam memodifikasi karya asli.
Hoed (2006:57) menyatakan biasanya penerjemahan bebas dilakukan untuk
memenuhi permintaan klien yang hanya ingin mengetahui isi pesannya. Metode
ini tidak sama halnya dengan adaptasi dimana penerjemah memiliki kebebasan
untuk mengubah latar belakang budaya, konteks sosial maupun nama tokoh dari
suatu karya sastra.
Bahkan Nababan (2003) menyatakan bahwa pencarian padanan dalam
penerjemahan bebas cenderung terjadi pada tataran paragraf atau wacana.
Penerjemah harus mampu menangkap pesan dalam bahasa sumber pada tataran
paragraf atau wacana secara utuh dan kemudian mengalihkan dan
mengungkapkan pesan dalam bahasa sasaran. Karena penerjemahan ini dilakukan
untuk mengetahui isi pesan dari Bsu.
7. Idiomatic Translation (Penerjemahan idiomatis)
Metode penerjemahan ini, berusaha untuk mengalihkan pesan dari teks asli
tetapi nuansa maknanya cenderung sedikit menyimpang. Biasanya hal ini
dilakukan melalui penggunaaan kolokasi dan idiom yang tidak ditemukan di
dalam teks aslinya (Newmark, 1988: 47).
Kemudian Hoed (2006:58) menambahkan bahwa penerjemahan idiomatis
mengupayakan penemuan padanan istilah, ungkapan, dan idiom dari apa yang
b. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk amplifikasi
Amplifikasi menjadi salah satu teknik penerjemahan yang diusulkan
oleh Molina & Albir (2002) dari 18 teknik yang ada dan cara yang digunakan
dalam teknik ini adalah mengungkapkan detail pesan secara eksplisit atau
memparafrasekan suatu informasi yang implisit dari Bsu ke dalam Bsa.
Terjemahan dengan menggunakan teknik addition dalam bentuk amplifikasi
dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/11:4
Bsu : The two olive trees: the way in which this is stated makes it clear that it
refers to Zechariah 4:1-14, where the olive trees, on either side of the lamp
stands, are the two men chosen and anointed by God to serve him, the Lord of
the whole earth. Where olive trees are unknown, some decisions must be
made about how to represent olive trees, olives, and olive oil, all of which
appear frequently in the Bible. Because of the importance of the olive tree in
the Palestinian cultures, it will be well for the translators in cultures where
these trees are unknown to say something like ‘tree named olive”.
Bsa : Kedua pohon zaitun menunjukkan cara penyampaian bagian ini yang
memiliki hubungan dengan Zakharia 4:1-14 yang mengatakan bahwa kedua
pohon zaitun yang berada di sebelah kanan dan kiri kaki lampu, adalah dua
orang yang dipilih oleh Allah untuk melayani-Nya. Di Palestina pohon zaitun
sangat penting. Hal ini dinyatakan dengan sering munculnya kata pohon
zaitun, buah zaitun, maupun minyak zaitun dalam Alkitab. Oleh karena itu,
penerjemah harus mencari ungkapan yang cocok untuk menerjemahkannya.
Buah zaitun yang masak kira-kira mengandung 30 % minyak. Itulah
sebabnya dalam bahasa Ibrani, pohon zaitun juga disebut dengan pohon
minyak atau pohon gemuk, karena pohon zaitun merupakan salah satu
sumber minyak orang Palestina. Jadi penerjemah boleh memakai istilah
pohon minyak zaitun atau pohon minyak.
Dari contoh terjemahan tersebut, pohon zaitun dalam bahasa sumber
hanya dijelaskan secara implisit. Oleh karena itu, adaptor mengungkapkan
secara detail informasi mengenai pohon zaitun secara eksplisit dalam bahasa
sasaran. Dalam contoh di atas, kalimat yang dicetak tebal merupakan
amplifikasi adaptor yang tidak ada dalam bahasa sumber.
Terjemahan dengan teknik addition dalam bentuk amplifikasi sejumlah
5 data dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 4 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Amplifikasi
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/11:4 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/6:12 3 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/5:1 4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/7: 9 5 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/5:6
c. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk penerjemahan deskriptif
Penerjemahan deskriptif menjadi salah satu teknik penerjemahan yang
ditawarkan oleh Hoed (2006) yang dapat dilakukan jika suatu konsep dalam
Bsu tidak atau belum mempunyai padanan kata dalam Bsa-nya. Suatu konsep
akan diterjemahkan dengan bentuk uraian yang berisi makna kata yang
bersangkutan.
Terjemahan dengan menggunakan teknik penerjemahan deskriptif dapat
dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/6:12
Bsu : There was great earthquake: Earthquakes are frequently one of the
great events marking the end of the age (see Isa 29.6; Joel 2.10; Hag 2.6;
Mark 13.8). They are caused by God as prelude to the Last Judgment. In
some languages that have no specific word for earthquake, an explanation of
it would help the reader.
Bsa : Terjadilah gempa bumi yang dahsyat : Salah satu tanda akhir zaman yang sering disebut dalam Alkitab adalah gempa bumi (Yes 29:6, YL 2:10, Hag, 2:6, Markus 13:8). Allah mengadakan gempa bumi sebagai tanda yang mendahului Hari Kiamat. Dalam bahasa tertentu yang tidak memiliki istilah khusus untuk gempa bumi, terjemahannya dapat menjadi “bumi berguncang dengan dahsyat” atau “tanah berguncang dengan dahsyat”
Dalam contoh di atas, adaptor melakukan teknik penerjemahan
deskriptif pada kata gempa bumi yang dalam bahasa sumber tidak dijelaskan
secara rinci. Adaptor mempertimbangkan untuk memberikan penjelasan
tambahan berupa deskripsi dari gempa bumi untuk mengantisipasi jikalau
mungkin konsep gempa bumi tidak dikenal dalam bahasa sasaran. Kalimat
yang dicetak tebal dalam bahasa sasaran merupakan penerjemahan deskriptif
adaptor.
Terjemahan dengan menggunakan teknik penerjemahan deskriptif
sejumlah 4 data dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 5 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Penerjemahan Deskriptif
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/6:12 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/5:1 3 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/4:6 4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/17:4
d. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk membuat usulan alternatif
terjemahan dalam bahasa sasaran
Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan pembanding untuk
penerjemah lokal agar makna bahasa sumber lebih mudah dipahami. Contoh
usulan alternatif terjemahan yang diusulkan adaptor yaitu :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/6:13
Bsu : The stars of the sky fell to the earth as the fig tree sheds its winter fruit
when shaken by a gale: stars falling to the earth is another of the great events
marking the end (Mark 13:25). The sky is violently shaken, and the stars fall
out of the sky. In some languages, one must indicate where the stars fall from;
for example, “the stars fell down from the sky to the earth like…” The stars
fall like unripe figs fall from the tree when it is shaken by a strong wind. The
figure John uses to explain this great event is that of unripe figs, which grow
in the winter and usually fall off in the spring.
Bsa : Bintang-bintang dilangit berjatuhan ke atas bumi bagaikan pohon ara
menggugurkan buah-buahnya yang mentah, apabila ia diguncang angin yang
kencang : Bintang-bintang berjatuhan ke atas bumi merupakan peristiwa
besar lainnya yang menandai akhir zaman (Markus 13:25). Langit
berguncang dengan dahsyatnya dan bintang berjatuhan dari langit. Dalam
bahasa tertentu perlu dijelaskan darimana bintang-bintang itu jatuh, sehingga
terjemahannya menjadi ”bintang-bintang berjatuhan dari langit ke bumi...”.
Bagaikan pohon ara menggugurkan buah-buahnya yang mentah : Gambaran
yang dipakai Yohanes untuk menjelaskan tentang peristiwa besar pada akhir
zaman itu adalah buah-buahnya yang mentah, sedangkan jenis buah-buahnya
dalam hal ini buah ara, tidaklah penting. Jadi dalam bahasa yang tidak
mengenal sama sekali buah ara, terjemahannya dapat menjadi ”buah yang
masih hijau (atau yang masih mentah) jatuh dari pohonnya”.
Usulan Alternatif Terjemahan dari ayat ini adalah ”bintang-bintang
berguguran dari langit seperti buah pohon ara yang masih mentah jatuh dari
pohonnya ketika diguncang oleh angin ribut”
Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan sebagai pembanding
terjemahan yang baru bagi para penerjemah lokal agar di dapat pemahaman
yang lebih mengenai terjemahan ayat tertentu.
Terdapat 5 data terjemahan dengan cara membuat usulan alternatif
terjemahan dalam bahasa sasaran dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 6 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Usulan Alternatif Terjemahan
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/6:13 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/7: 9 3 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/11:4 4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/5: 6 5 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/5:1
e. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk eksegese ayat
Eksegesis berasal dari kata Yunani “exegeomai” dan dalam bahasa
Inggris “exegesis”, dan dalam bahasa Belanda ‘exegese”) yang artinya
g. Teknik penerjemahan omission dalam bentuk materi bahasa sumber
tidak semuanya diterjemahkan dalam bahasa sasaran.
Teknik omission sesuai dengan pendapat Vazquez Ayora (1977) dalam
Molina & Albir (2002). Vazquez Ayora menyatakan bahwa terdapat 2 jenis
teknik penerjemahan yaitu penghilangan (ommision) yang digunakan untuk
menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan
pemindahan/pembalikan (Displacement and Inversion) yang digunakan ketika
ada dua unsur yang berganti posisi.
Sejalan dengan Vazquez Ayora (1977), Delisle (1993) dalam Molina &
Albir (2002) menganjurkan tiga jenis teknik penerjemahan yaitu penambahan
dan penghilangan (addition and ommision), parafrase, dan discursive creation.
Teknik penambahan dikenalkan untuk ketidaktepatan unsur stilistika yang
dan informasi yang tidak ditemukan dalam bahasa sumber, sedangkan
penghilangan adalah penghilangan unsur-unsur yang tidak tepat dalam bahasa
sumber.
Terjemahan yang mengandung unsur penghilangan (omission)
mempunyai 2 tujuan yaitu untuk menghilangkan pengulangan sebagai
karakteristik dari bahasa sasaran dan penghilangan unsur-unsur yang tidak
tepat dalam bahasa sumber sesuai dengan pendapat kedua ahli tersebut.
Terjemahan dengan teknik omission dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:13
Bsu : The stars of the sky fell to the earth as the fig tree sheds its winter fruit
when shaken by a gale: stars falling to the earth is another of the great events
marking the end (Mark 13:25). The sky is violently shaken, and the stars fall
out of the sky. In some languages, one must indicate where the stars fall from;
for example, “the stars fell down from the sky to the earth like…” The stars
fall like unripe figs fall from the tree when it is shaken by a strong wind.
The figure John uses to explain this great event is that of unripe figs, which
grow in the winter and usually fall off in the spring.
Bsa : Bintang-bintang dilangit berjatuhan ke atas bumi bagaikan pohon ara menggugurkan buah-buahnya yang mentah, apabila ia diguncang angin yang kencang : Bintang-bintang berjatuhan ke atas bumi merupakan peristiwa besar lainnya yang menandai akhir zaman (Markus 13:25). Langit berguncang dengan dahsyatnya dan bintang berjatuhan dari langit. Dalam bahasa tertentu perlu dijelaskan darimana bintang-bintang itu jatuh, sehingga terjemahannya menjadi ”bintang-bintang berjatuhan dari langit ke bumi...”.
Terkadang tidak semua informasi dalam bahasa sumber semuanya di
terjemahkan adaptor. Dalam contoh ayat di atas, yang di cetak tebal dan
miring dalam teks sumber tidak diterjemahkan. Hal ini karena adaptor
menyesuiakan dengan konteks musim di bahasa penerima.
Teknik omissions dilakukan karena tidak semua informasi dalam teks
bahasa sumber relevan untuk diterjemahkan dalam bahasa sasaran.
Adapun terjemahan dengan teknik omission sejumlah 7 data dengan
nomor kode sebagai berikut :
Tabel 9 : Teknik Ommisions
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:13 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/7:9 3 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/14:20 4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:6 5 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/1:12 6 06/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/2:10 7 07/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/11:1
2. Analisis jenis teknik penerjemahan dan sub-sub teknik yang masuk kategori
problematika gaya dan tata bahasa
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian deskripsi data, terdapat 69 data
yang masuk dalam kategori problematika gaya dan tata bahasa. Ke-69 data
tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan
jumlah 26 data, alteration dengan jumlah 38 data dan omission dengan jumlah 5
data.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu membuat usulan alternatif
terjemahan sejumlah 5 data, eksegese ayat sejumlah 8 data, penambahan kata
penghubung sejumlah 12 data, dan tambahan informasi sejumlah 1 data.
Bentuk-bentuk dari teknik alterations yaitu simplifikasi sejumlah 4 data,
kronologisasi peristiwa sejumlah 7 data, dan mengubah kalimat pasif Bsu menjadi
kalimat aktif dalam Bsa sejumlah 27 data.
Materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan merupakan
bentuk dari teknik omission dengan jumlah 5 data. Ke-69 data tersebut dapat di
bahas menjadi seperti berikut :
a. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk membuat usulan alternatif
terjemahan
Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan pembanding untuk
penerjemah lokal agar makna bahasa sumber lebih mudah dipahami. Contoh
usulan alternatif terjemahan yang diusulkan adaptor yaitu :
01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/10:6
Bsu : Created heaven...the earth...and the sea: This means the whole universe.
The addition in each case of and what is in it (see also 12:12) is meant to
emphasize that everything that exists, animate and inanimate, was all created
by God (see 14:7)
Bsa : Menciptakan langit...bumi...dan laut...maksudnya adalah seluruh
dunia. Tambahan dan segala isinya menekankan bahwa segala sesuatu yang
bernyawa maupun yang tidak bernyawa, diciptakan oleh Allah (lihat 12:12 dan
14:7).
Usulan Alternatif Terjemahan: Dan ia berkata dengan khidmat memakai nama
Allah yang hidup selamanya, yang menciptakan seluruh alam semesta,
bahwa ucapannya benar. Katanya, ” Allah tidak akan menunda lagi untuk
melaksanakan apa yang telah Ia rencanakan”.
Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan sebagai terjemahan
pembanding untuk memberikan pemahaman yang lebih kepada pembaca dan
biasanya dilakukan untuk memperjelas makna suatu konsep dalam bahasa
sasaran.
Pada contoh ayat di atas, kalimat ”...yang telah menciptakan langit
dan segala isinya, dan bumi dan segala isinya, dan laut segala isinya”
dalam bahasa sumber di usulkan diganti dengan “….yang menciptakan
seluruh alam semesta” dalam bahasa sasaran.
Adapun terjemahan dengan menggunakan teknik membuat usulan
alternatif terjemahan yang lainnya sejumlah 5 data dengan nomor kode sebagai
berikut :
Tabel 10 : Penjelasan Tambahan Bentuk Usulan Alternatif Terjemahan
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/10:6 2 02/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/6:11 3 03/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/11:2 4 04/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/9:5 5 05/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/9:3
b. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk eksegese ayat
Eksegesis berasal dari kata Yunani “exegeomai” dan dalam bahasa
Inggris “exegesis”, dan dalam bahasa Belanda ‘exegese”) yang artinya
h. Teknik penerjemahan omission dalam bentuk tidak semua unsur bahasa
sumber diterjemahkan
Teknik omission sesuai dengan pendapat Vazquez Ayora (1977) dalam
Molina & Albir (2002). Vazquez Ayora menyatakan bahwa terdapat 2 jenis
teknik penerjemahan yaitu penghilangan (ommision) yang digunakan untuk
menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan
pemindahan/pembalikan (Displacement and Inversion) yang digunakan ketika
ada dua unsur yang berganti posisi.
Sejalan dengan Vazquez Ayora (1977), Delisle (1993) dalam Molina &
Albir (2002) menganjurkan tiga jenis teknik penerjemahan yaitu penambahan
dan penghilangan (addition and ommision), parafrase, dan discursive creation.
Teknik penambahan dikenalkan untuk ketidaktepatan unsur stilistika yang dan
informasi yang tidak ditemukan dalam bahasa sumber, sedangkan
penghilangan adalah penghilangan unsur-unsur yang tidak tepat dalam bahasa
sumber.
Terjemahan yang mengandung unsur penghilangan (omission)
mempunyai 2 tujuan yaitu untuk menghilangkan pengulangan sebagai
karakteristik dari bahasa sasaran dan penghilangan unsur-unsur yang tidak
tepat dalam bahasa sumber sesuai dengan pendapat kedua ahli tersebut.
Terjemahan dengan teknik omission dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/1:19
Bsu : The command is the same as the one in verse 11, and it will be helpful in certain languages to say “write in the book (record) the things…” or “you
must write in the book the things…” The direct object what you see included everything John will see and then record in the book. The two clauses that follow are not additional items but define explicitly the nature of what John will see: things present and things future, “both that which is happening now as well as that which will happen afterward” (FRCL; similarly SPCL, TEV) NJB shortens and combines the three into two: “Now write down all that you see of present happening and what is still to come”. The auxiliary verb “will” in “that will happen afterward” (TEV) translates a Greek verb that at times seems to express divine authority. The Arndt and Gingrich Lexicon define this use of it as follows “concerning at action that necessarily follows a divine decree, is destined, must, will certainly”. Bsa : Perintah pada ayat ini sama dengan perintah dalam ayat 11. Dalam
bahasa tertentu mungkin perintah ini lebih baik diterjemahkan dengan
”bukukanlah semua hal yang....” atau ”engkau harus menuliskan dalam buku,
semua hal yang...”. Apa yang telah kau lihat meliputi segala sesuatu yang
dilihat oleh Yohanes dan dituliskan dalam buku, yakni hal yang dilihat oleh
Yohanes pada saat itu dan juga sesudahnya. Keduanya dapat digabung
misalnya menjadi ”Sekarang tuliskanlah semua yang terjadi sekarang dan
sesudah ini”. Kata akan dalam ungkapan yang akan terjadi sesudah ini
menyatakan sesuatu yang pasti akan terjadi menurut kehendak Allah.
Teknik omissions dilakukan karena tidak semua informasi dalam teks
bahasa sumber relevan untuk diterjemahkan dalam bahasa sasaran. Pada
contoh ayat di atas, berbagai versi Alkitab bahasa Inggris dalam teks bahasa
sumber tidak adaptor terjemahkan. Adapun terjemahan dengan menggunakan
teknik omissions sejumlah 5 data dengan nomor kode data sebagai berikut :
Tabel 16 : Teknik Ommisions
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/1:19 2 02/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/19:18 3 03/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/14:20 4 04/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/18:14 5 05/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/6:11
C. Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian diarahkan pada penggunaan berbagai jenis teknik
dan sub-sub teknik penerjemahan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada
Yohanes, penggunaan strategi dan metode penerjemahan, serta prosedur pengujian
kualitas adaptasi adaptor sesuai dengan rumusan masalah. Dari hasil analisis data di
atas dapat diketahui hal-hal seperti berikut sebagai hasil akhir penelitian ini.
1. Klasifikasi penggunaan teknik dan sub teknik penerjemahan yang masuk
kategori problematika leksikal
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian analisis hasil penelitian, terdapat
48 data yang masuk dalam kategori problematika leksikal. Ke empat puluh
delapan data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu
addition dengan jumlah 34 data atau 70,83 %, alteration dengan jumlah 7 data
atau 14,58 % dan omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu penjelasan tambahan
berupa grafis (gambar) yang paling sering digunakan adaptor sejumlah 18 data
atau 37,5 %, amplifikasi sejumlah 5 data atau 10,41 %, penerjemahan deskriptif
sejumlah 4 data atau 8,33 %, membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5
data atau 10,41 %, dan eksegese ayat sejumlah 2 data atau 4,16 %.
Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data
atau 14,58 % dan materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan
merupakan bentuk dari teknik omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik additions lebih banyak
digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan
34 data atau 70,83 %. Teknik alteration dan omission memiliki kesamaan jumlah
data yaitu 7 data atau 14,58 %. Tabel 17 menunjukan klasifikasi penggunaan
teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase dalam problematika leksikal.
Tabel 17 : Jenis teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase
No Jenis Teknik Jumlah %
1 Additions :
- Penjelasan tambahan grafis - Amplifikasi - Penerjemahan deskriptif - Membuat usulan alternatif
terjemahan - Eksegese ayat bahasa sumber
18
5
4
5
2
15,38
4,27
3,41
8,54
8,54
Jumlah : 34 (70,83 %)
2 Alteration :
- Generalisasi
7
14,58
Jumlah : 7 (14,58 %)
3 Ommision :
- Materi bahasa sumber tidak semuanya diterjemahkan
7
14,58
Jumlah : 7 (14,58 %)
Jumlah total : 34+ 7 +7 = 48 data (100 %)
2. Klasifikasi penggunaan teknik dan sub teknik penerjemahan yang masuk
kategori problematika gaya dan tata bahasa
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian analisis hasil penelitian, terdapat
69 data yang masuk dalam kategori problematika gaya dan tata bahasa. Ke-69
data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition
dengan jumlah 26 data atau 37,68 %, alteration dengan jumlah 38 data atau 55,07
% dan omission dengan jumlah 5 data atau 7,24 %.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu membuat usulan alternatif
terjemahan sejumlah 5 data atau 7,24 %, eksegese ayat sejumlah 8 data atau 11,59
%, penambahan kata penghubung yang paling sering digunakan adaptor dengan
jumlah 12 data atau 17,40 %, dan tambahan informasi yang paling jarang
digunakan adaptor dengan jumlah hanya 1 data atau 1,44 %.
Bentuk-bentuk dari teknik alteration yaitu simplifikasi yang paling jarang
digunakan adaptor dengan jumlah 4 data atau 5,80 %, kronologisasi peristiwa
dengan jumlah 7 data atau 10,14 %, dan mengubah kalimat pasif Bsu menjadi
kalimat aktif dalam Bsa yang paling sering digunakan adaptor dengan jumlah 27
data atau 39,13 %.
Bentuk dari teknik omission yaitu materi bahasa sumber tidak semuanya
diterjemahkan sejumlah 5 data atau 7,24 %.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik alteration lebih banyak
digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan
38 data atau 55,07 %. Teknik addition di posisi ke 2 dengan jumlah 26 data atau
37,68 % dan teknik omission yang paling jarang digunakan adaptor dengan
jumlah 5 data atau 7,24 %.
Tabel 18 menunjukan klasifikasi penggunaan teknik, sub-sub teknik
penerjemahan, dan prosentase dalam problematika gaya dan tata bahasa.
Tabel 18 : Jenis teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase
No Jenis Teknik Jumlah %
1 Additions :
- Membuat usulan alternatif terjemahan
- Eksegese ayat bahasa sumber - Penambahan kata penghubung
5
8
7,24
11,59
- Tambahan informasi
12
1
17,40
1,44
Jumlah : 26 (37,68 %)
2 Alterations :
- Simplifikasi - Kronologisasi peristiwa - Mengubah kalimat pasif Bsu
menjadi kalimat aktif Bsa
4
7
27
5,80
10,14
39,13
Jumlah : 38 (55,07%)
3 Ommision :
- Materi bahasa sumber tidak semuanya diterjemahkan
5
7,24
Jumlah : 5 (7,24 %)
Jumlah total : 26+38 +5 = 69 data (100 %)
3. Perbandingan klasifikasi penggunaan teknik dan sub teknik penerjemahan
yang masuk kategori problematika leksikal dan problematika gaya dan tata
bahasa
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dan tercermin dalam
pembahasan, hasil penelitian ini menunjukkan adanya jenis problematika dalam
pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dan teknik-teknik penerjemahan
yang digunakan. Oleh sebab itu, perlu kiranya dibandingkan antara jenis
problematika yang muncul dan teknik-teknik penerjemahan apa saja yang
digunakan.
Pembandingan tersebut dilakukan untuk mengetahui teknik penerjemahan
mana yang lebih dominan di lakukan adaptor. Untuk maksud tersebut,
pembandingan dilakukan dalam bentuk tabel karena mudah dilihat dan diketahui.
Tabel perbandingan tersebut adalah seperti berikut :
Tabel 19 : Perbandingan klasifikasi jenis problematika, teknik dan sub-sub teknik penerjemahan, dan jumlah data
berbeda, sehingga adaptor 1 memberikan draft adaptasinya kepada adaptor 2. Hal
ini karena adaptor 2 memiliki tingkat kemampuan yang lebih daripada adaptor 1.
Adapun kemampuan lebih yang dimiliki oleh adaptor 2 antara lain :
a. Latar belakang pendidikan adaptor 2 adalah S2 atau S3 lulusan luar negeri
(Amerika, Inggris, Belanda, dll) dengan Jurusan Biblika atau Linguistik yang
notabene sudah pernah tinggal lama di luar negeri. Tingkat penguasaan
bahasa Inggris dan pengetahuan teologinya tentu tidak diragukan lagi.
b. Pengalaman menjadi adaptor THB sudah berpuluh–puluh tahun lamanya.
c. Adaptor 2 memiliki tingkat pengetahuan yang cukup tentang bahasa-bahasa
daerah.
Apabila adaptor 2 selesai melaksanakan tugasnya untuk merevisi draft
adaptasi adaptor 1, prosedur selanjutnya yaitu adaptor 2 menyerahkan draft
adaptasi tersebut kepada Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI.
Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI merupakan suatu tim khusus
yang dibentuk oleh LAI untuk menguji adaptasi para adaptor. Tim ini
beranggotakan orang–orang yang tidak sembarangan. Untuk menjadi anggota tim
ini harus memiliki keahlian multi bahasa (ahli bahasa Inggris, ahli bahasa Ibrani,
ahli bahasa Yunani, ahli bahasa Aram).
Selain menguasai berbagai bahasa, anggota tim juga harus ahli dalam bidang
teologi dan ilmu Biblika. Latar belakang pendidikan anggota tim ini juga minimal
S2 dalam kajian Ilmu Biblika dan Linguistik.
Saat ini, ada 3 orang yang menjadi Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan
LAI yang berkantor di Departemen Penerjemahan LAI Bogor.
Tim Konsultan Penerjemahan LAI atau yang lebih akrab disingkat menjadi
Tim TO memeriksa konsep draft adaptasi adaptor sebelum diserahkan ke
penerjemah lokal di lapangan untuk proses yang disebut dengan Field Test (uji
naskah di lapangan). Dari hasil field test inilah, akan di ketahui kualitas draft
SPPA. Jika masih ada komplain dari penerjemah lokal, berarti draft SPPA belum
berkualitas dan proses pengujian akan di ulang kembali adaptor 1.
Dalam Tim TO, akan diputuskan adaptasi final draft SPPA atau yang disebut
dengan final test (uji draft final) yaitu suatu draft hasil keputusan Tim TO setelah
mendapat input atau masukan-masukan dari penerjemah lokal dan misionaris
(penasehat linguistik) yang mendampingi penerjemah lokal. Peran misionaris
yaitu memberikan input atau masukan terkait dengan unsur linguistik dan
kebahasaan untuk penerjemah lokal.
Draft final test diberikan kepada penerjemah lokal untuk dikomentari lagi
untuk mengecek kualitasnya (dilihat dari unsur keakuratan, keberterimaan, dan
keterbacaan teks).
Masing-masing ahli dalam Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI
berjuang keras mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk menguji
kualitas SPPA para adaptor. Draft final test adaptasi yang lolos seleksi atau lolos
uji dari Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI akan dicetak dan
dipublikasikan untuk penerjemah lokal dan umum yang kemudian disebut dengan
SPPA.
Penerjemah lokal (specific readers) menggunakan SPPA sebagai acuan utama
untuk membuat Alkitab dalam bahasa daerah-bahasa daerah tertentu. Penerjemah
lokal menjadi salah satu penentu kualitas adaptasi adaptor (disamping peran Tim
TO). Ada misionaris atau ahli linguistik yang mendampingi dan membantu para
penerjemah lokal untuk menyusun Alkitab berbahasa daerah.
Apabila ada hal yang tidak di mengerti dalam SPPA oleh penerjemah lokal
dan misionaris tidak cukup bisa membantu memecahkan masalahnya, maka
penerjemah lokal akan segera mengembalikan SPPA ke Tim Konsultan/Pembina
Penerjemahan LAI. Kemudian, tim akan kembali melakukan tugasnya untuk
merevisi SPPA tersebut.
Salah satu indikator bahwa kualitas terjemahan SPPA bagus adalah tidak
adanya komplain dari penerjemah lokal. Ini merupakan proses pengujian SPPA
yang cukup rumit.
Tim TO dan penerjemah lokal berjuang keras semaksimal mungkin untuk
menghasilkan suatu karya terjemahan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmu dan iman agar Firman Tuhan dapat tersampaikan dengan benar dan tepat
untuk seluruh masyarakat di seluruh pelosok tanah air.
Pendek kata, SPPA merupakan karya bersama antara Tim Konsultan/Pembina
Penerjemahan LAI, dan penerjemah lokal, tanpa melupakan peran penting adaptor
dan misionaris (penasehat linguistik).
Demikian ketatnya proses pengujian adaptasi adaptor untuk sampai menjadi
SPPA sebagai bukti bahwa tingkat keakuratan, tingkat keberterimaan, dan tingkat
keterbacaan (unsur bahasa, teologi, budaya, makna, dll) adaptasi menjadi prioritas
utama dengan tetap mempertahankan makna dan mempertimbangkan konteks
pembacanya yaitu penerjemah lokal.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan hasil penelitian yang telah dipaparkan
pada bab sebelumnya dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Terdapat 2 jenis problematika yang ada dalam pengadaptasian SPPA Wahyu
Kepada Yohanes yaitu problematika leksikal dan problematika gaya dan tata
bahasa. Problematika leksikal yang menyangkut kosakata Alkitab tercermin dari
begitu banyaknya kosakata dalam teks bahasa sumber yang terkadang sangat sulit
dicari padanannya dalam bahasa sasaran.
Problematika gaya dan tata bahasa meliputi pengulangan, penggunaan kalimat
pasif, kata ganti orang ketiga jamak ”mereka”, kata penghubung ”dan” yang
berfungsi memperjelas, perubahan kala, kekurangan kata penghubung, perintah
atau peringatan yang tiba-tiba, dan pembalikan susunan peristiwa.
2. Adaptor menggunakan beberapa strategi penerjemahan yang digunakan untuk
mengatasi problematika yang ada dengan cara pemanfaatan alat bantu
penerjemahan (memanfaatkan kamus-kamus dan bahan-bahan referensi
pendukung), diskusi dengan sesama rekan adaptor, konsultasi dengan TO atau
Konsultan Penerjemahan Departemen Penerjemahan LAI, dan self problem
solver.
3. Secara umum ada 3 jenis teknik penerjemahan yang digunakan baik dalam
problematika leksikal maupun problematika gaya dan tata bahasa. Ketiga 3 jenis
teknik penerjemahan tersebut yaitu additions (penambahan), alterations
(pengubahan), dan omissions (penghilangan).
Ketiga jenis teknik penerjemahan tersebut masih terbagi-bagi lagi menjadi sub-
sub teknik (bentuk). Teknik additions berupa penjelasan tambahan grafis
(gambar) dan non grafis (non gambar). Bentuk penjelasan tambahan non gambar
dalam teknik addition yaitu amplifikasi, penerjemahan deskriptif, membuat
usulan alternatif terjemahan, eksegese ayat bahasa sumber, penambahan kata
penghubung, dan tambahan informasi.
Teknik alterations (penghilangan) berupa generalisasi, simplifikasi, menyusun
terjadinya peristiwa (kronologisasi peristiwa), dan mengubah kalimat pasif bahasa
sumber menjadi kalimat aktif dalam bahasa sasaran. Teknik omissions
(penghilangan) berupa materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan.
4. Terdapat 48 data yang masuk dalam kategori problematika leksikal. Ke empat
puluh delapan data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan
yaitu addition dengan jumlah 34 data atau 70,83 %, alteration dengan jumlah 7
data atau 14,58 % dan omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu penjelasan tambahan berupa
grafis (gambar) yang paling sering digunakan adaptor sejumlah 18 data atau 37,5
%, amplifikasi sejumlah 5 data atau 10,41 %, penerjemahan deskriptif sejumlah 4
data atau 8,33 %, membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data atau
10,41 %, dan eksegese ayat sejumlah 2 data atau 4,16 %.
Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data atau
14,58 % dan materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan
merupakan bentuk dari teknik omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik addition lebih banyak digunakan
adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan 34 data
atau 70,83 %. Teknik alteration dan omission memiliki kesamaan jumlah data
yaitu 7 data atau 14,58 %.
5. Terdapat 69 data yang masuk dalam kategori problematika gaya dan tata bahasa.
Ke-69 data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu
addition dengan jumlah 26 data atau 37,68 %, alteration dengan jumlah 38 data
atau 55,07 % dan omission dengan jumlah 5 data atau 7,24 %.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu membuat usulan alternatif
terjemahan sejumlah 5 data atau 7,24 %, eksegese ayat sejumlah 8 data atau 11,59
%, penambahan kata penghubung yang paling sering digunakan adaptor dengan
jumlah 12 data atau 17,40 %, dan tambahan informasi yang paling jarang
digunakan adaptor dengan jumlah hanya 1 data atau 1,44 %.
Bentuk-bentuk dari teknik alteration yaitu simplifikasi yang paling jarang
digunakan adaptor dengan jumlah 4 data atau 5,80 %, kronologisasi peristiwa
dengan jumlah 7 data atau 10,14 %, dan mengubah kalimat pasif Bsu menjadi
kalimat aktif dalam Bsa yang paling sering digunakan adaptor dengan jumlah 27
data atau 39,13 %.
Bentuk dari teknik omission yaitu materi bahasa sumber tidak semuanya
diterjemahkan sejumlah 5 data atau 7,24 %.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik alteration lebih banyak
digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan
38 data atau 55,07 %. Teknik addition di posisi ke 2 dengan jumlah 26 data atau
37,68 % dan teknik omission yang paling jarang digunakan adaptor dengan
jumlah 5 data atau 7,24 %.
6. Dapat diketahui bahwa dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes,
problematika gaya dan tata bahasa lebih dominan daripada problematika leksikal.
Jumlah data dalam problematika leksikal sejumlah 48 data atau 41,02 % dari total
data dan jumlah data dalam problematika gaya dan tata bahasa sejumlah 69 data
atau 58,98 % dari total data.
7. Dapat diketahui bahwa dari ketiga teknik penerjemahan (additions, alterations,
dan ommisions) baik dalam problematika leksikal maupun problematika gaya dan
tata bahasa, teknik additions menduduki posisi 1 dengan jumlah 60 data atau
51,28 %. Kemudian teknik alterations di posisi ke 2 dengan jumlah 45 data atau
38,46 %, dan teknik ommisions di posisi ke 3 dengan jumlah 12 data atau 10,25
%.
Dari data tersebut, dapat pula diketahui bahwa adaptor lebih sering menggunakan
teknik addition dengan cara memberikan penjelasan tambahan berupa grafis
(gambar) dalam bahasa sasaran dengan 18 data (15,38 %) dari total 60 data dan
cara penambahan informasi yang paling jarang dilakukan adaptor dengan hanya 1
data (0,85 %).
Dalam teknik alteration, adaptor lebih banyak menggunakan cara mengubah
kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif Bsa dengan jumlah 27 data atau 23,07 %
dari total 45 data. Cara simplifikasi merupakan cara yang paling jarang dilakukan
adaptor dalam teknik alteration ini dengan jumlah hanya 4 data atau 3,41 % dari
total 45 data.
Teknik omission lebih banyak dilakukan adaptor dalam problematika leksikal
dengan 7 data atau 58,33 % dari total 12 data. Teknik omission dalam
problematika gaya dan tata bahasa sejumlah 5 data atau 41,66 % dari total 12 data.
8. Jenis metode penerjemahan yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA
Wahyu Kepada Yohanes yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional dan
metode penerjemahan adaptasi yang sama-sama mempertimbangkan konteks
pembacanya dengan cara mengadaptasi teks dan adaptor melalui 3 tahap dalam
proses penerjemahan yaitu analisis, transfer, dan penyusunan kembali.
9. Prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu
Kepada Yohanes ditangani oleh Departemen Penerjemahan LAI dengan TO atau
Konsultan Penerjemahan sebagai pelaksana utamanya dengan melibatkan
berbagai pihak dalam pengujiannya. Pihak-pihak yang terlibat di dalamnya yaitu
adaptor dan penerjemah lokal (specific readers).
B. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha secara maksimal dalam pengumpulan
data maupun dalam analisis data. Kegiatan wawancara mendalam telah dilakukan
sebaik-baiknya guna mendapatkan data yang lengkap. Demikian pula dalam
pencatatan dan perekaman berbagai dokumen yang diperlukan telah dilacak
keasliannya serta kelengkapan dokumen tersebut.
Proses analisis data telah dilakukan secara interaktif antar komponennya,
sehingga disamping diadakan reduksi data, maka sekaligus dilakukan triangulasi
sebagai usaha untuk meningkatkan validitas data. Namun demikian, masih disadari
adanya keterbatasan dalam penelitian ini, misalnya :
• Dalam wawancara mendalam, informan dapat menyembunyikan sesuatu untuk
tidak disampaikan kepada peneliti, jika menurut perkiraannya dapat berdampak
negatif pada dirinya.
• Faktor jarak peneliti dengan sumber data yang terkadang menghambat intensitas
pertemuan dan komunikasi antara peneliti dengan sumber data (informan).
• Faktor kesibukan informan dalam pekerjaannya yang terkadang tidak selalu bisa
membantu peneliti dalam usaha pengumpulan data
• Faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi jalannya penelitian, misalnya
tertundanya wawancara, kesulitan dalam menentukan jadwal wawancara, dan
faktor-faktor teknis yang lainnya.
Namun demikian, secara umum penelitian ini berjalan lancar sesuai dengan
rencana dan peneliti sudah bisa mendapatkan data-data yang diperlukan atas bantuan
dan kerjasama semua pihak yang berkaitan dalam penelitian ini.
C. Saran-saran
Sesuai dengan kesimpulan yang dapat dirumuskan pada bagian sebelumnya
beserta berbagai arti yang terkandung di dalamnya, peneliti dapat mengemukakan
beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi Departemen Penerjemahan
• Alangkah baiknya apabila Departemen Penerjemahan sering mengadakan
pelatihan-pelatihan penerjemahan, seminar-seminar penerjemahan, dan
lokakarya-lokakarya adaptor, guna meningkatkan kualitas para adaptornya.
Usaha-usaha tersebut sebaiknya dilakukan minimal 1 bulan sekali.
• Perekrutan calon tenaga adaptor dan konsultan penerjemahan sebaiknya
dilakukan dengan mempertimbangkan syarat-syarat yang sudah ditentukan
dengan harapan bahwa input calon tenaga adaptor dan konsultan
penerjemahan yang bagus, maka akan menghasilkan suatu karya yang bagus
pula.
• Departemen Penerjemahan sebaiknya merekrut tenaga-tenaga adaptor dan
konsultan penerjemahan yang bisa bekerja penuh di Departemen
Penerjemahan sehingga masalah status kepegawaian yang masih freelance
bisa segera dikurangi, mengingat dengan status freelance, akan sangat
berpengaruh terhadap kinerja pegawai dan keberlangsungan proyek-proyek
penerjemahan.
• Terpenuhinya sarana dan prasarana pendukung penerjemahan yang lengkap
akan sangat membantu kinerja para adaptor dan konsultan penerjemahan.
Sarana dan prasarana yang minim akan sangat berpengaruh terhadap kinerja
para adaptor dan konsultan penerjemahan.
• Terjalinnya komunikasi yang lebih akrab dan menjalin kerjasama dengan
semua pihak baik gereja-gereja, yayasan-yayasan kristiani, warga jemaat,
dan masyarakat luas perlu terus ditingkatkan guna menyukseskan proyek-
proyek penerjemahan.
• Departemen Penerjemahan sebaiknya segera merekrut calon tenaga adaptor
dan konsultan penerjemahan agar bisa mengatasi masalah kelangkaan SDM
di lingkungan Departemen Penerjemahan supaya pekerjaan proyek
penerjemahan tidak terhambat.
• Departemen Penerjemahan sebaiknya menghadirkan pakar-pakar
penerjemahan dalam rangka kuliah atau seminar-seminar penerjemahan di
lingkungan departemen. Sekalipun hal ini sudah ditangani oleh para
Konsultan Penerjemahan, tetapi kehadiran para pakar-pakar penerjemahan
akan sangat membantu pemahaman tentang teori-teori penerjemahan bagi
para adaptor.
• Usaha-usaha untuk menggalang dana yang termuat dalam Buku Program
Khusus (BPK) guna menunjang pendanaan proyek-proyek penerjemahan
sebaiknya terus ditingkatkan oleh Departemen Penerjemahan agar masalah
pendanaan proyek penerjemahan, tidak sepenuhnya tergantung kepada
sumber dana yang ada.
• Departemen Penerjemahan perlu lebih giat lagi mensosialisasikan proyek-
proyek penerjemahan apa yang belum dan akan dilakukan. Sosialisasi bisa
dilakukan dengan cara melibatkan Gereja-Gereja, Yayasan-Yayasan
Kristiani, warga jemaat, dll. Dengan sosialisasi, usaha untuk menggalang
dukungan, partisipasi, dan penggalangan dana akan meningkat.
• Departemen Penerjemahan lebih meningkatkan lagi kerjasama dan
komunikasi dengan pihak-pihak terkait agar dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi Departemen Penerjemahan
selama ini.
2. Bagi Konsultan Penerjemahan LAI
• Konsultan Penerjemahan (atau TO) sebaiknya lebih sering mengadakan
bimbingan-bimbingan dan pelatihan-pelatihan pengadaptasian bagi para
adaptor. Bimbingan dan pelatihan tidak hanya dilakukan jika ada adaptor yang
berkonsultasi saja, melainkan sebaiknya dijadwal misalnya minimal 1 minggu
sekali untuk lebih meningkatkan kualitas adaptor.
• Alangkah baiknya TO lebih meningkatkan pengetahuan dan wawasannya
dalam bidang teori dan praktik penerjemahan. Mengingat TO yang ada, latar
belakang pendidikannya yaitu Kajian Ilmu Biblika atau Teologia. Memang
kemampuan dan penguasaan pengetahuan seseorang tidak bisa hanya dilihat
dari latar belakang pendidikannya saja, tetapi lebih meningkatkan penguasaan
teori penerjemahan dan praktik-praktiknya, akan sangat membantu TO dalam
pekerjaannya.
• TO sebaiknya lebih sering mengontrol dan mengunjungi para penerjemah lokal
dan adaptor di lapangan untuk lebih mengetahui kesulitan-kesulitan mereka di
lapangan. Pembimbingan kuranglah efektif kalau hanya saling menunggu,
apalagi kalau menunggu para adaptor atau penerjemah lokal datang ke kantor
TO. Sikap pro aktif dari para TO akan sangat memotivasi dan mendorong
kinerja para adaptor dan penerjemah lokal.
3. Bagi Adaptor
• Alangkah baiknya jika para adaptor selalu mengikuti bimbingan-bimbingan,
kuliah penerjemahan, seminar-seminar penerjemahan, dan lokakarya-lokakarya
adaptor demi meningkatkan kompetensinya sebagai adaptor. Karena status
adaptor yang masih freelance di Departemen Penerjemahan dan adaptor
mempunyai kesibukan tersendiri dengan pekerjaannya masing-masing,
sehingga keberadaan kegiatan-kegiatan seperti di atas, terkadang kurang
mendapat perhatian yang serius dari adaptor.
• Sebaiknya adaptor lebih rajin berkonsultasi dengan para TO, berdiskusi dengan
sesama rekan adaptor atau memanfaatkan alat bantu penerjemahan yang
dimilikinya untuk memecahkan permasalahan yang muncul dalam
pengadaptasian.
• Mengingat latar belakang pendidikan para adaptor bukanlah dari bidang
penerjemahan, sehingga meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang teori
dan praktik serta seluk beluk dunia penerjemhan perlu terus ditingkatkan
dengan cara belajar sendiri dengan banyak berlatih menerjemahkan, membaca
buku-buku teori penerjemahan, dan atau sharing dengan TO.
DAFTAR PUSTAKA
Adewuni, Salawi. “Narrowing the Gap between Theory and Practice of Translation” dalam
http://www.accurapid.com//translationjournal//36 yoruba.html/volume 10 nomor 2
April 2006/21 Juni 2010/02.00 pm.
Baker, Mona. 1992. In Other Words; A Course Book on Translation. London: Routledge.
Barnwell, Katherine G.L. 1984. Introduction to Semantic and Translation. England : Summer
Institute of Linguistics.
Bell. T. Roger. 1991. Translation and Translating : Theory and Practice. New York : Longman.
Brislin, Richard, W. 1976. Translation : Application and Research. New York.
Chatzitheodorou, Illias. ”Problems of Bible translation” dalam http://
accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21
Juni 2001/08.00 am.
Dollerup, Cay and Lindegard, Annete.1994. Teaching Translation and Interpreting 2. Philadelphia
: John Benjamin Publishing Company.
Gordon, David. T. 1985. “Translation Theory” dalam http://www.bible-researcher.com//html.13
Juni 2010, 04.00 pm.
Hoed, Benny. H. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Houbert, Frederic. ”Translation as a Communication Process” dalam
http://accurapid.com//translationjournal/5 theory.html/volume 2 nomor 3 Juli
1998/21 Juni 2010/04.00 pm.
Http ://www.biblestudy.org/beginner/definition of christian terms/exegese/html. 13 Juni 2010,
04.00 pm.
Http ://www.thelanguagetranslation.com//translation process, strategy, and methods//html.13
Juni 2010, 04.00 pm.
Katoppo, P.G. 2001. Alkitab dan Komunikasi. Jakarta : Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.
Latuihamallo. P.D. ”Jenis-Jenis Metode Penerjemahan Alkitab” dalam http://www.sabda.org//sejarah/artikel/jenis metode penerjemahan Alkitab/13 Juni 2010, 03.00 pm
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia
Martinez Meliz, N. & Amparo Hurtado Albir. 2001. ”Assestments in Translation Studies :
Research Needs” dalam Meta, journal des traducteurs/Meta : Translation’s Journal
XLVI, 2. Hal 272-287
Mc. Guire, dan Susan Bassnet. 1991. Translation Studies. London : British Library.
Mildred, Larson.L.1984. Meaning-Based Translation. Boston : University Press of America.
Moleong, Lexy J.Dr. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya
Molina, Lucia and Albir, Amparo Hurtado. 2002. Translation Techniques Revisited : A Dynamic
and Functionalist Approach. Dalam META Journal Des Tradacteurs/Meta: Translator’s
Journals. XLVII, No 4 hal 498-512
Nababan, M.R. 1997. Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan. Surakarta : UNS Press.
Nababan, M.R. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Nababan, M.R. 2007. Aspek Genetik, Objektif, dan Afektif Dalam Penelitian Penerjemahan dalam
Linguistika. Vol 14, No.26, hal 15-23.
Newman. M. Barclay. 1987. Pedoman Singkat Menterjemahkan Alkitab. Jakarta : Percetakan
Lembaga Alkitab Indonesia
Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press.
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. London : Prentice Hall
Nida, Eugene A. 1976. Language Structure and Translation. California : Stanford University Press.
Odudari, Mahmoud. “Good Translation: Art, Craft, or Science?” dalam http:
//translationjournal.net/journal/43theory.html/volume 12 No 1 Januari 2008/ 21 Juni
2010/03.00 pm.
Odudari, Mahmoud. “Translation Procedures, Strategies, and Methods” dalam
http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am.
Rachmadie, Sabrony., Zuchridin Suryawinata, Ahmad Effendi. 1988. Materi Pokok Translation.
Jakarta: Karunika Universitas Terbuka.
Soesilo Daud. 2001. Mengenal Alkitab Anda Edisi Ke 4. Lembaga Alkitab Indonesia : Jakarta :
Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia
Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif ; Dasar Teori dan Terapannya dalam
Penelitian Edisi Kedua. UNS Press. Surakarta.
Tarjana, Samiati. 1998. Masalah Makna dan Pencarian Padanan dalam Penerjemahan.
Surakarta : Makalah dalam Seminar Regional.
Tim Lembaga Alkitab Indonesia. 2008. Mengenal Yayasan Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta :
Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.
Zaky, M. Magdy. “Translation and Language Varieties” dalam http: