1 PENDEKATAN PRONLEM POSSING DAN PENDEKATAN PROBLEM SOLVING (Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Desain dan Strategi Pembelajaran Matematika) NAMA : MUH. ALFIANSYAH NIM : 161050701024 KELAS : 02/B PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR MAKASSAR 2017
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENDEKATAN PRONLEM POSSING DAN
PENDEKATAN PROBLEM SOLVING
(Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Desain dan Strategi Pembelajaran Matematika)
NAMA : MUH. ALFIANSYAH
NIM : 161050701024
KELAS : 02/B
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap kegiatan pendidikan formal, pelajaran matematika selalu diajarkan
dan merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa,
menakutkan dan akhirnya mengganggap matematika sebagai momok.
Matematika sering dikeluhkan sebagai bidang studi yang sulit dan membosankan
sehingga tidak heran apabila niilai matematika siswa rendah dibandingkan dengan
nilai pelajaran lain dan penguasaan siswa terhadap matematika juga kurang.
Salah satu saran dari pakar pendidikan matematika, untuk meningkatkan mutu
pembelajaran matematika dalah dengan menekankan pengembangan kemampuan
siswa dalam pembentukan soal. Karena dengan membentuk soal merupakan inti
kegiatan matematis dan merupakan komponen penting dalam kurikulum
matematika (English, 1998).
Sebenarnya sudah sejak lama para ahli pendidikan matematika
menunjukkan bahwa pembentukan soal merupakan bagian yang penting dalam
pengalaman matematis siswa dan menyarankan agar dalam pembelajaran
matematika ditekankan kegiatan pembentukan soal (Silver et,al, 1996). Kaitan
antara tujuan pembelajaran matematika di sekolah dan pengembangan
kemampuan membentuk soal matematika paling sedikit ada dua hal yang
berhubungan yaitu pengembangan kemampuan menggunakan pola pikir
matematika dan keterampilan menyelesaikan soal serta memecahkan masalah. Hal
ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika di sekolah yaitu
2
mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir
matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan (Depdikbud, 1993).
Hasil penelitian Silver dan Cai (1996) menunjukkan bahwa kemampuan
dalam pembentukan soal berkorelasi positif dengan kemampuan memecahkan
soal. Atas dasar ini pengembangan kemampuan pembentukan soal sangat sesuai
dengan tujuan pembelajaran matematika di sekolah. Menurut Ruseffendi (1998),
untuk membantu siswa dalam memahami soal dilakukan dengan menulis kembali
soal tersebut dengan kata-katanya sendiri, menuliskan soal dalam bentuk lain atau
dalam bentuk yang operasional. Sedangkan Cars (dalam Sutawidjaya, 1998)
menyatakan secara umum untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah adalah setiap siswa atau kelompok siswa harus diberanikan
membuat soal atau pertanyaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, memberikan gambaran bahwa
disamping mengaktifkan siswa, problem posing dan problem solving juga
merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang dapat mengembangkan
kemampuan pola pikir matematika dan keterampilan menyelesaikan soal,
memecahkan masalah serta menumbuhkan sikap positif siswa terhadap
matematika. Apabila siswa dapat mengembangkan proses berpikir matematika
sejak dibangku sekolah berarti pola pikir kritisnya sudah mulai terbentuk,
sehingga dapat dipastikan bahwa siswa akan tumbuh menjadi manusia
pembangun yang tekun, kreatif, cerdas, bertanggung jawab serta mampu
menyelesaikan masalah.
3
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapatlah dikemukakan bahwa
yang menjadi permasalah dalam makalah ini, dapat dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan problem posing pada pembelajaran matematika?
2. Bagaimana penerapan problem solving pada pembelajaran matematika.
C. TUJUAN
Mengacu pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan makalah
ini adalah :
1. Untuk mengetahui penerapan problem posing pada pembelajaran matematika.
2. Untuk mengetahui penerapan problem solving pada pembelajaran matematika.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PROBLEM POSSING
a. Pengertian Problem Posiing
Pembelajaran Problem Posing Problem posing mulai dikembangkan pada
tahun 1997 oleh Lynn D. English dan awal mulanya diterapkan dalam mata
pelajaran matematika (Suyitno Amin, 2004). Kemudian pendekatan ini
dikembangkan pada mata pelajaran yang lain. Pendekatan pembelajaran problem
posing mulai masuk ke Indonesia pada tahun 2000. Problem posing merupakan
istilah asing sebagai padanan istilah dalam bahasa indonesia “pembentukan soal”
atau “pengajuan soal”. Kata soal dapat diartikan sebagai masalah. Sedangkan
yang dimaksud dengan masalah adalah segala sesuatu yang perlu dilakukan atau
segala sesuatu yang memerlukan pengertian (Webster Dictionary dalam Asari
1989).
Problem Posing mempunyai beberapa arti, problem posing adalah
perumusan masalah yang berkaitan dengan syarat-syarat soal yang telah
dipecahkan atau alternatif soal yang masih relevan (Suharta, 2000: 93). “problem
posing essentially means creating a problem with solutions unknown to the target
problem solver the problem create for” (Leung, 2001). “Dunker describe problem
posing in mathematics as the generation of a new problem or the formulation of a
given problem (Dunker, 1945)” (dalam Abu-Elwan). Pada prinsipnya, pendektan
problem posing adalah pendektan pembelajaran yang mewajibkan para siswa
untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar (berlatih soal) secara mandiri
5
(Suyitno Amin, 2004). Problem posing adalah perumusan soal sederhana atau
perumusan ulang masalah yang ada dengan perubahan agar lebih sederhana dan
dapat dikuasai.
2. Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika
Pengajuan masalah (problem posing) sebenarnya menempati posisi
yang strategis dalam pembelajaran matematika. Dalam hal ini siswa harus
menguasai materi dan urutan penyelesaian soal secara mendetail. Hal tersebut
akan tercapai jika siswa memperkaya khazanah pengetahuannya tidak hanya dari
guru melainkan perlu belajar mandiri.
Menurut Silver (1994), masalah yang dibentuk oleh siswa dikelompokkan
dalam tiga bentuk yaitu pertanyaan matematika, pernyataan non matematika, dan
pernyataan. Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang mengandung masalah
matematika dan mempunyai kaitan dengan informasi yang ada pada situasi inti.
Pertanyaan matematika dibagi lagi menjadi pertanyaan yang dapat diselesaikan
dan pertanyaan yang tidak dapat diselesaikan. Pertanyaan yang tidak dapat
diselesaikan adalah pertanyaan yang memiliki informasi yang tidak cukup atau
tujuan pertanyaan tidak sesuai dengan informasi yang diberikan. Seorang siswa
dikatakan sudah dapat membentuk soal jika siswa tersebut sudah dapat
membuat pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan yang sesuai
dengan situasi yang diberikan.
Selain itu Silver (1994) mengelompokkan kesukaran masalah yang dibuat
siswa dalam dua jenis. Pertama kesukaran yang berkaitan dengan struktur
6
bahasa (sintaksis), dan kedua kesukaran yang berkaitan dengan struktur
matematika (simantik) dalam masalah yang dibuat siswa. Kesukaran yang
berkaitan dengan struktur bahasa dapat dilihat dari proposisi yang terkandung
pada masalah yang dibentuk siswa.
Brown dan Walter (1990) menyatakan bahwa pembuatan soal dalam
pembelajaran matematika memiliki dua tahap kognitif yaitu Accepting
(menerima) dan Chalenging (menantang). Tahap menerima adalah suatu
kegiatan dimana siswa dapat menerima situasi-situasi yang diberikan guru
atau siatuasi-situasi yang sudah ditentukan. Tahap menantang adalah suatu
kegiatan dimana siswa menantang situasi yang diberikan guru dalam rangka
pembentukan atau perumusan soal. Pada tahap menantang ini dilakukan dengan
empat kegiatan, yaitu (1) membuat daftar atribut yang ada pada situasi, (2)
menantang atribut pada daftar dengan atribut lain yang relevan dengan atribut
tersebut, (3) membuat/mengajukan pertanyaan, dan (4) menganalisis pertanyaan.
Sebagai ilustrasi tentang perumusan soal, berikut disajikan contoh pembelajaran
objek matematika yang berupa teorema, ( Brown dan Walter :1990).
Amin Suyitno menjelaskan bahwa problem posing diaplikasikan dalam
tiga bentuk aktifitas kognitif matematika sebagai berikut.
a. Presolution posing, siswa membuat pertanyaan berdasarkan pernyataan yang
dibuat oleh guru atau seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan.
b. Within solution posing, siswa memcah pertanyaan tunggal dari guru menjadi
sub-sub pertanyaan yang relevan dengan pertanyaan guru atau seorang siswa
merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan.
7
c. Post solution posing, siswa membuat soal yang sejenis, seperti yang dibuat
oleh guru atau seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang
sudah diselesaikan untuk membuat soal baru.
3. Petunjuk Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Possing
a. Petunjuk pembelajaran yang berkaitan dengan guru
1) Guru hendaknya membiasakan merumuskan soal baru atau memperluas soal
dari soal- soal yang ada di buku pegangan.
2) Guru hendaknya menyediakan beberapa situasi yang berupa onformasi
tertulis, benda manipulatif, gambar, atau lainnya, kemudian guru melatih
siswa merumuskan soal dengan situasi yang ada.
3) Guru dapat menggunakan soal terbuka dalam tes.
4) Guru memberikan contoh perumusan soal dengan beberapa taraf
kesukaran, baik isi maupun bahasanya.
5) Guru menyelenggarakan reciprocal teaching, yaitu pembelajaran yang
berbentuk dialog antara guru dan siswa mengenai isi buku teks, yang
dilaksanakan dengan cara menggilir siswa berperan sebagai guru. (Sutiarso,
2000).
b. Petunjuk Pembelajaran yang Berkaitan dengan Siswa
1) Siswa dimotivasi untuk mengungkapkan pertanyaan sebanyak-
banyaknya terhadap situasi yang diberikan.
2) Siswa dibiasakan mengubah soal-soal yang ada menjadi soal yang baru
sebelum mereka menyelesaikannya.
8
3) Siswa dibiasakan untuk membuat soal-soal serupa setelah menyelesaikan soal
tersebut.
4) Siswa harus diberi kesempatan untuk menyelesaikan soal-soal yang
dirumuskan oleh temannya sendiri.
5) Siswa dimotivasi untuk menyelesaikan soal-soal non rutin. (Sutiarso, 2000).
4. Tipe-Tipe problem Possing
Elwan mengklasifikasikan problem posing menjadi 3 tipe, yaitu free
problem posing (problem posing bebas), semi-structured problem posing
(problem posing semi terstruktur), dan structured problem posing (problem
posing terstruktur). Pemilihan tipe-tipe itu didasarkan pada materi matematika,
kemampuan siswa, hasil belajar siswa, atau tingkat berpikir siswa. Berikut
diuraikan masing-masing tipe tersebut.
a. Free problem posing (problem posing bebas). Menurut tipe ini siswa diminta
untuk membuat soal secara bebas berdasarkan situasi kehidupan sehari-hari.
Tugas yang diberikan kepada siswa dapat berbentuk: ”buatlah soal yang
sederhana atau kompleks”, buatlah soal yang kamu sukai, buatlah soal untuk
kompetisi matematika atau tes, „buatlah soal untuk temanmu “, atau “buatlah
soal sebagai hiburan (for fun).
b. Semi-structured problem posing (problem posing semi terstruktur). Dalam hal
ini siswa diberikan suatu situasi bebas atau terbuka dan diminta untuk
mengeksplorasinya dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, atau
konsep yang telah mereka miliki. Bentuk soal yang dapat diberikan adalah
9
soal terbuka (open–ended problem) yang melibatkan aktivitas investigasi
matematika, membuat soal berdasarkan soal yang diberikan, membuat soal
dengan konteks yang sama dengan soal yang diberikan, membuat soal yang
terkait dengan teorema tertentu, atau membuat soal berdasarkan gambar yang
diberikan.
c. Structured problem posing (problem posing terstruktur). Dalam hal ini siswa
diminta untuk membuat soal yang diketahui dengan mengubah data atau
informasi yang diketahui. Brown dan Walter merancang formula pembuatan
soal berdasarkan soal-soal yang telah diselesaikan dengan memvariasikan
kondisi atau tujuan dari soal yang diberikan.
5. Langkah-Langkah Umum Pembelajaran dengan Pendekatan Possing
Pembelajaran dengan pengajuan soal menurut Menon dapat dilakukan
dengan tiga cara berikut:
a. Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi
yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah
membuat pertanyaan berdasarkan informasi tadi.
b. Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok.
Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya.
Selanjutnya soal-soal tersebut dipecahkan oleh kelompok- kelompok lain.
Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan
kesiapannya. Soal-soal tersebut nanti digunakan sebagai latihan. Nama
pembuat soal tersebut ditunjukkan tetapi solusinya tidak. Soal-soal tersebut
10
didiskusikan dalam masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan
memberi nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar
apakah soal tersebut ambigu atau tidak. Soal yang dibuat siswa tergantung
ketertarikan siswa masing-masing. Sebagai perluasan, siswa dapat
menanyakan soal cerita yang dibuat secara individu.
c. Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang
berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari
daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan
pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan
mendaftar pertanyaan yang berhubungan dengan masalah tersebut akan
membantu siswa “memahami masalah”, sebagai salah satu aspek pemecahan
masalah oleh Polya.
Adapun langkah-langkah problem posing secara berkelompok adalah
sebagai berikut :
a. Guru menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa untuk belajar.
b. Guru menyajikan informasi baik secara ceramah atau tanya jawab selanjutnya
memberi contoh cara pembuatan soal dari informasi yang diberikan.
c. Guru membentuk kelompok belajar antar 5-6 siswa tiap kelompok yang
bersifat heterogen baik kemampuan, ras dan jenis kelamin.
d. Guru memberikan tugas yang berbeda pada setiap kelompok untuk membuat
pertanyaan. Pertanyaan yang dibuat ditulis pada lembar problem posing 1.
e. Semua tugas membuat pertanyaan dikumpulkan kemudian guru melimpahkan
pada kelompok lainnya untuk dikerjakan. Setiap siswa dalam kelompok
11
berdiskusi untuk menjawab pertanyaan yang mereka terima dari kelompok
lain. Setiap jawaban atas pertanyaan ditulis pada lembar problem posing 2.
f. Selama kerja kelompok berlangsung guru membimbing kelompok- kelompok
yang kesulitan membuat soal dan menyelesaikannya.
g. Pertanyaan yang telah ditulis pada lembar problem posing 1 dikembalikan
pada kelompok asal untuk kemudian diserahkan pada guru dan jawaban yang
ditulis pada lembar problem posing 2 diserahkan pada guru.
h. Guru mengevalusi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dengan
cara masing-masing kelompok mempresentasikan hasil pekerjaannya.
6. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Problem Possing
a. Kelebihan
1) Memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau memperkaya
konsep-konsep dasar
2) Diharapkan melatih siswa meningkatkan kemampuan dalam belajar.
3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada
dasarnya adalah pemecahan masalah.
4) Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru (menuntut keaktifan
siswa).
5) Minat siswa dalam pembelajaran matematika lebih besar dan siswa lebih
mudah memahami soal karena dibuat sendiri.
6) Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal.
7) Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan
siswa dalam menyelesaikan masalah.
12
8) Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang adadan yang
baru diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang
mendalam dan lebih baik, merangsang siswa untuk memunculkan ide-ide
yang kreatif dari yang diperolehnya dan memperluas pengetahuan , siswa
dapat memahami soal sebagai latihan untuk memecahkan masalah.
b. Kekurangan
1) Persiapan guru lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat
disampaikan.
2) Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan
penyelesaiaannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.
B. PENDEKATAN PROBLEM SOLVING
1. Pengertian Pendekatan Problem Solving
Metode pembelajaran Problem Solving adalah penggunaan metode dalam
kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah
baik itu masalah pribadi atau peorangan maupun masalah kelompok untuk
dipecahkan sendiri atau bersama-sama. Orientasi pembelajarannya adalah
investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah. Ketika
dihadapkan dengan situasi pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan
pemecahan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak
hanya dengan cara menghapal tanpa berpikir, keterampilan pemecahan masalah
membuat siswa berpikir kreatif.
13
Hudojo menyatakan bahwa suatu soal akan merupakan masalah jika
seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat
dipergunakan untuk menemukan jawaban soal tersebut. Menurut Muser dan
Burger terdapat perbedaan antara soal dan masalah, meskipun perbedaan ini tidak
dapat dibuat secara tepat. Untuk menyelesaikan soal, seseorang dapat secara
langsung menggunakan prosedur rutin untuk mendapat suatu jawaban, sedangkan
untuk menyelesaikan masalah seseorang harus berhenti sejenak, merefleksi, dan
mungkin melakukan beberapa langkah untuk dapat memperoleh suatu jawaban.
Charles dan Lester menyatakan bahwa masalah harus memuat syarat-
syarat:
a. Ingin mengetahui secara mendalam tentang sesuatu.
b. Tidak adanya cara yang jelas untuk menemukan jawaban.
c. Diperlukan suatu usaha untuk mencari jawabannya.
Nampak di sini bahwa memecahkan masalah itu merupakan aktivitas
mental yang tinggi. Perlu diketahui bahwa suatu pertanyaan merupakan suatu
masalah bergantung pada individu dan waktu. Artinya, sutau pertanyaan
merupakan suatu masalah bagi seorang anak, tetapi mungkin bukan masalah bagi
anak lain. Bagi banyak pihak, terutama di kalangan penyelenggara pendidikan,
memandang bahwa pemecahan masalah (problem solving) bukanlah suatu hal
yang asing, karena menurut Hudojo memecahkan suatu masalah adalah suatu
aktivitas dasar bagi manusia. Pendidikan pun pada hakekatnya adalah suatu proses
secara terus menerus yang ada pada manusia untuk menanggulangi masalah-
masalah dalam hidupnya, sehingga siswa sebagai salah satu komponen dalam
14
pendidikan harus selalu dilatih dan dibiasakan berfikir mandiri untuk
menyelesaikan masalah.
Sementara itu, beberapa pandangan mengenai pemecahan masalah dalam
pembelajaran dikemukakan oleh para ahli. Gagne mengelompokkan delapan tipe
belajar, yaitu sinyal, stimulus-respons, merangkai tingkah laku, asosiasi verbal,
diskriminasi, konsep, aturan, dan pemecahan masalah. Dari urutan tersebut di atas,
pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang paling tinggi karena lebih
kompleks dari tipe belajar sebelumnya. NCTM telah menetapkan bahwa
pemecahan masalah menjadi fokus matematika di sekolah.
2. Langkah-Langkah Pendekatan Problem Solving
a. Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang
dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah
yang dipilih.
b. Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas,
jadwal, dll).
c. Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan