PRINSIP PEMBERIAN NUTRISI DALAM PEMBEDAHAN BAB I PENDAHULUAN Nutrisi memiliki peran yang penting dan tidak dapat dipisahkan dengan persiapan pra operasi dan pasca operasi pada pasien yang menjalani prosedur utama bedah umum dan tindakan suportif pada pasien yang luka parah. Secara umum, ketika dokter memutuskan kepada pasiennya untuk menjalani prosedur operasi besar, nutrisi suportif telah menunjukkan pengurangan komplikasi luka utama seperti luka terbuka dan kebocoran anastomosis luka. (5) Pasien yang menjalani operasi menghadapi tantangan secara metabolik dan fisiologi yang dapat membahayakan status gizi. Gejala pascaoperasi seperti mual, muntah, nyeri, dan anoreksia dapat terjadi pada pasien, hal ini juga bahkan dapat terjadi pada pasien yang menjalani operasi kecil, padahal katabolisme, infeksi, dan proses penyembuhan luka menjadi faktor peyulit pada pasien setelah operasi besar. Hal-hal ini menjadi masalah yang jauh lebih besar pada pasien operasi dengan gizi yang kurang. (9) Deplesi nutrisi telah ditunjukkan menjadi penentu utama dari perkembangan komplikasi pasca operasi. Pasien bedah gastrointestinal mempunyai resiko terjadi deplesi nutrisi dari asupan gizi yang tidak memadai, stres bedah dan peningkatan tingkat metabolisme pascaoperasi. Banyak pasien tidak dapat bertahan terhadap penyakitnya tanpa bantuan nutrisi suportif yang khusus. Seperti pada pasien dengan kehilangan usus total atau hampir total yang mungkin disebabkan infark atau reseksi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PRINSIP PEMBERIAN NUTRISI DALAM PEMBEDAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
Nutrisi memiliki peran yang penting dan tidak dapat dipisahkan dengan persiapan pra
operasi dan pasca operasi pada pasien yang menjalani prosedur utama bedah umum dan tindakan
suportif pada pasien yang luka parah. Secara umum, ketika dokter memutuskan kepada
pasiennya untuk menjalani prosedur operasi besar, nutrisi suportif telah menunjukkan
pengurangan komplikasi luka utama seperti luka terbuka dan kebocoran anastomosis luka.(5)
Pasien yang menjalani operasi menghadapi tantangan secara metabolik dan fisiologi yang
dapat membahayakan status gizi. Gejala pascaoperasi seperti mual, muntah, nyeri, dan anoreksia
dapat terjadi pada pasien, hal ini juga bahkan dapat terjadi pada pasien yang menjalani operasi
kecil, padahal katabolisme, infeksi, dan proses penyembuhan luka menjadi faktor peyulit pada
pasien setelah operasi besar. Hal-hal ini menjadi masalah yang jauh lebih besar pada pasien
operasi dengan gizi yang kurang. (9)
Deplesi nutrisi telah ditunjukkan menjadi penentu utama dari perkembangan komplikasi
pasca operasi. Pasien bedah gastrointestinal mempunyai resiko terjadi deplesi nutrisi dari asupan
gizi yang tidak memadai, stres bedah dan peningkatan tingkat metabolisme pascaoperasi. Banyak
pasien tidak dapat bertahan terhadap penyakitnya tanpa bantuan nutrisi suportif yang khusus.
Seperti pada pasien dengan kehilangan usus total atau hampir total yang mungkin disebabkan
infark atau reseksi multipel, pasien malnutrisi dengan penyakit inflamasi mukosa usus kronis
yang mempengaruhi penyerapan, atau pasien dengan fistula yang menghalangi pencernaan
nutrisi secara oral, dan lain sebagainya. (5),(6)
Kekhawatiran terjadinya ileus pasca operasi dan integritas dari pembuatan anastomosis
baru menyebabkan terjadinya kelaparan, sehingga pemberian nutrisi menggunakan cairan
intravena sampai terjadinya kentut. Namun, sejak saat itu telah menunjukkan bahwa pemberian
makanan enteral secepatnya pasca operasi ialah efektif dan dapat ditoleransi dengan baik.
Pemberian makanan secara enteral juga berhubungan dengan manfaat klinis tertentu seperti
menurunnya insiden komplikasi infeksi pascaoperasi dan peningkatan respon penyembuhan luka.
Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan hubungan antara nutrisi
enteral dengan terjadinya modulasi fungsi usus.(6)
Pasien dengan kekurangan gizi pra operasi memiliki risiko yang jauh lebih tinggi
terjadinya komplikasi pasca operasi dan kematian daripada pasien yang memiliki gizi baik
sebelum operasi. Status gizi buruk dapat membahayakan fungsi sistem organ, termasuk jantung,
paru-paru, ginjal, dan saluran gastrointestinal (GIT). Fungsi kekebalan tubuh dan kekuatan otot
juga dapat berpengaruh, pasien seperti ini lebih rentan terhadap terjadinya komplikasi infeksi dan
biasanya memerlukan untuk reintubasi pascaoperasi. Penyembuhan luka yang tertunda, seperti
tertundanya kemajuan dalam mobilitas pasien, sehingga dapat memperpanjang pemulihan pasien
operasi. Semua faktor ini dapat berkontribusi terjadinya lamanya perawatan di rumah sakit, dan
meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Seperti yang dijelaskan oleh Meguid dan Laviano,
setiap dokter bedah secara intuitif mengetahui bahwa operasi pada pasien dengan kurang gizi
dapat menjadi menyedihkan (rueful) dan mahal. (8),(9)
Bahkan pasien dengan gizi yang cukup saja dapat mengalami hasil yang kurang baik jika
gizi pasca operasi tertunda secara signifikan. Kurangnya gizi untuk 10-14 hari, khususnya selama
periode meningkatnya kebutuhan (demand) metabolik dengan pemulihan pasca operasi, dapat
mengakibatkan komplikasi dan tingkat kematian yang lebih buruk daripada mereka yang
menerima nutrisi suportif. Sejalan dengan ini, pedoman yang disediakan oleh American Society
for Parenteral dan Nutrisi Enteral (ASPEN) merekomendasikan bahwa nutrisi suportif diberikan
pada pasien tidak mampu mengambil nutrisi oral yang cukup selama 7-14 hari. organisasi medis
lainnya juga telah membuat rekomendasi yang sama.(9)
Dasar dari nutrisi suportif merupakan pemberian nutrisi pada pasien yang tidak dapat
melakukan intake secara per oral. Nutrisi suportif diberikan baik secara intravena menggunakan
kateter vena dengan infus formula yang mengandung makronutrisi dan mikronutrisi maupun
secara enteral menggunakan tube yang ditempatkan pada perut atau usus halus seperti pada
pascaoperasi bypass atonia gaster atau ileus usus halus dalam periode praoperatif maupun
postoperatif. Meskipun tekhnik pemberian makanan intragastik telah diketahui selama ratusan
tahun, namun nutrisi parenteral terbilang relatif baru, memiliki dasar tekhnik yang tinggi, dan
maju pesat sejak tahun 1970-an. Tujuan dari nutrisi suportif ialah untuk mencegah perburukan
status nutrisi, untuk memperbaiki keadaan klinis, dan sebagai terapi adjuntive, yang mungkin
terjadi pada pasien malnutrisi. (5)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut Soekirman, status gizi berarti sebagai keadaan fisik seseorang atau sekelompok
orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu. (7)
Menurut I Dewa Nyoman S, status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan
dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tetentu.(2)
Status gizi merupakan suatu rangkaian interval dari pasien dengan nutrisi yang baik
sampai pasien kakexia. Pasien malnutrisi yang parah akan mudah menjadikan terjadinya luka
terbuka, infeksi, kebocoran anastomosis luka, dan komplikasi lainnya. Beberapa tekhnik dari
pengukuran status gizi dapat mengestimasi status pasien dari spektrum gizi ini.(5)
Kebanyakan penderita yang akan dibedah tidak membutuhkan perhatian khusus untuk
masalah gizi. Pada umumnya, mereka dapat berpuasa untuk waktu tertentu sesuai dengan
penyakit dan pembedahannya. Akan tetapi, tidak jarang juga penderita datang dalam keadaan
gizi yang kurang baik, misalnya yang terjadi pada penderita penyakit saluran cerna, keganasan,
infeksi kronik, dan trauma berat. (8)
2.2 Pengukuran Status Gizi
Pengukuran gizi telah dijelaskan secara komprehensif untuk menentukan status gizi
menggunakan pendekatan riwayat medis, nutrisi, dan pengobatan; pemeriksaan fisik, pengukuran
antropometrik, laboratorium, dan pertimbangan ahli. Pengukuran gizi pasien secara
komprehensif meliputi evaluasi riwayat pasien dari pola makan, pantangan makan, perubahan
berat badan, dan pengaruh lain yang mempengaruhi intake atau absorpsi nutrisi. Pengukuran
tubuh untuk komposisi tubuh, status cairan, dan tanda juga gejala defisiensi nutrisi, tes biokmia,
seperti albumin, prealbumin, dan transferin. Analisis komposisi tubuh, kekuatan genggaman, dan
hipersensitifitas kulit yang tertunda. Meskipun begitu, banyak dari pemeriksaan ini (seperti
albumin dan kekuatan genggaman) tidak praktis digunakan pasca operasi. (10)
Tekhnik skrining yang paling efektif meliputi riwayat dan pemeriksaan fisik yang
adekuat dengan identifikasi penurunan berat badan yang tidak disengaja. Korelasi yang kuat
muncul antara buruknya tingkat protein dan komplikasi pascaoperasi setelah operasi
gastrointestinal. Penurunan berat badan yang tidak disengaja lebih dari 10 % dalam 6 bulan
terakhir atau lebih dari 20 % dan adanya kebutuhan metabolik yang meningkat mengindikasikan
adanya resiko gangguan gizi. 2 (dua) perhitungan yang biasa digunakan ialah: (5)
Gejala lainnya seperti nyeri perut, diare kronis, anoreksia, atau letargi biasanya menyertai
perubahan klinis ini dalam berat badan. Pengukuran antropometri dengan berat dan tinggi badan
sudah cukup adekuat. Ketebalan kulit untuk menentukan massa lemak, pengumpulan urin untuk
menilai indeks kreatinin-tinggi badan, dan tekhnik spesifik lainnya tidak lagi digunakan secara
umum. Pengukuran dari status immunologis dengan hitung limfosit perifer total atau
transformasi limfosit tidak spesifik untuk defisiensi gizi dan dapat juga ditemukan pada keadaan
lain seperti infeksi yang parah. (5)
2.2.1 Wawancara Pasien, Keluarga, Atau Perawat Pasien
Setelah memeriksa rekam medis pasien, wawancara singkat dengan keluarga dekat pasien
mengenai riwayat diet pasien akan sangat berharga. Sebagai contoh, kecenderungan kehilangan
berat badan yang tidak disengaja harus lebih dahulu dicatat, contohnya pada pasien yang obes,
merupakan petunjuk yang penting intake nutrisi yang tidak optimal dalam waktu yang lama.
Dalam kasus lain, pasien yang kurus yang kelihatan malnutrisi namun memang memiliki berat
badan kurang dalam waktu yang lama. Praktisi kesehatan juga perlu menanyakan pantangan
dalam diet, dengan mengetahui makanan yang dipantangnya maka akan dapat mengarah ke arah
defisiensi beberapa nutrisi. (11)
2.2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat berguna dalam mengkonfirmasi kecurigaan adanya defisiensi
gizi. Praktisi kesehatan harus melihat tanda dari kehilangan otot dan lemak, penyembuhan luka
yang lama, buruknya integritas kulit, dan tanda lainnya dari defisiensi gizi sebagai data yang
objektif dalam menentukan adanya malnutrisi. (11)
2.2.3 Proses Penyakit
Proses penyakit juga harus dipertimbangkan ketika mempertimbangkan pilihan nutrisi
suportif untuk pasien-pasien tertentu. Nutrisi suportif baik secara parenteral maupun enteral
dapat membuat terjadinya risiko komplikasi yang dapat melebihi nilai manfaatnya pada beberapa
pasien. Klinisi harus mengevaluasi beberapa faktor, termasuk keinginan pasien dan prognosis,
tingkat keparahan penyakit, waktu durasi yang diantisipasi ketika nutrisi tidak dapat diberikan
per oral, risiko yang dapat ditimbulkan dari akses nutrisi suportif dan infus, dan dampak
potensial jika tidak diberikan nutrisi. (12)
2.2.4 Malnutrisi
Malnutrisi berat mempengaruhi morbiditas karena terganggunya penyembuhan luka dan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Namun, malnutrisi protein-kalori yang ringan
tidak banyak memengaruhi hasil operasi. Berbeda dengan malnutrisi akibat kelaparan, pada
penderita bedah terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan malnutrisi. Dua faktor utama
adalah kurangnya asupan makanan dan proses radang yang mengakibatkan katabolisme
meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat langsung tampak pada penurunan kadar
serum albumin dan hipotrofi otot.(8),(9)
Asupan nutrisi yang faali adalah melalui makanan dan minuman. Ini dapat berupa diet
yang dapat diberikan secara oral, melalui sonde hidung, atau secara intravena.(8)
Diet juga dibedakan atas diet biasa dan diet khusus, misalnya pada penderita diabetes.
Penderita kolelitiasis juga memerlukan diet khusus yang kurang mengandung lemak. Contoh lain
adalah diet tinggi serat untuk penderita obstipasi dan diet rendah kalori untuk penderita obesitas.
Diet khusus kalori dan protein telur tinggi dibutuhkan oleh penderita malnutrisi kronik yang
mampu makan secara normal. (8)
Makanan biasa yang dicairkan diberikan kepada penderita dengan obstruksi esofagus atau
pada orang yang tidak dapat mengunyah, seperti pada patah tulang rahang. (8)
Kadang penderita begitu lemah dan mengalami anoreksia, atau terdapat gangguan
mekanik dan obstruksi saluran cerna yang mengakibatkan proses faali itu tak dapat berlangsung.
Fungsi saluran cerna bisa sangat terganggu sehingga proses pencernaan dan penyerapan
sedemikian terganggu dan kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi. Keadaan ini disebut kegagalan
intestinal. Keadaan ini terdapat pada sindrom usus pendek akibat reseksi sebagian besar ileum
dan yeyunum, fistel usus, gangguan motilitas usus misalnya pada paralisis usus dan pada
peradangan usus yang luas seperti pada penyakit Crohn dan kolitis ulserosa. Pada kasus khusus
dan sulit ini diperlukan tambahan nutrisi secara enteral atau parenteral. (8)
2.3 Perubahan Pada Pasien Bedah
2.3.1 Perubahan Fisiologis Pada Pasien Bedah
Telah dibuktikan bahwa permeabiltas usus meningkat 2 (dua) sampai 4 (empat) kali pada
periode segera pascaoperasi, dan normalnya berlangsung selama 5 hari. Akhir-akhir ini
kurangnya nutrisi berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dan menurunnya tinggi dari
villus. Penemuan ini mengarah ke investigasi dari penatalaksanaan yang bertujuan menjaga
barrier mukosa yang intak. Meningkatnya permeabilitas usus mengindikasikan kegagalan dari
fungsi barrier usus untuk mengeluarkan bakteri dan toksin endogen. Hal ini menjadi salah satu
agen penyebab dalam systemic inflammatory response syndrome, sepsis dan gagal organ
multipel. Meskipun, terdapat kegagalan untuk menunjukan bahwa terdapat korelasi antara
rusaknya fungsi barrier usus dan komplikasi sepsis setelah kegagalan gastrointestinal bagian
atas.(6)
2.3.2 Perubahan Metabolik Pada Pasien Bedah
Tubuh memproduksi respon khas terhadap luka karena trauma, operasi elektif, atau
inflamasi. Semakin ringan cedera, responnya akan semakin tumpul dan cepat hilang, sedangkan
semakin besar luka yang didapat, maka respon yang muncul akan semakin lama dan parah
khususnya jika komplikasinya muncul. Respon tersebut akan meningkatkan tingkat metabolisme,
sekresi glukokortikoid dan katekolamin, produksi sitokin proinflamasi, dan retensi cairan.
Retensi cairan dan output urin yang rendah disebabkan bertambahnya sekresi vasopresin dan
mineralokortikoid sebagaimana meningkatnya edema usus disebabkan meningkatnya
permeabilitas. Pemulihan pascaoperasi tanpa komplikasi mempunyai hasil diuresis cairan ini
pada hari ketiga dan keempat pascaoperasi sejalan dengan menurunnya respon endokrin.
Hiperglikemia terjadi disebabkan oleh supresi katekolamin dari sekresi insulin oleh pankreas
(efek sentral) dan inhibisi uptake glukosa oleh jaringan perifer dalam responnya terhadap kadar
sirkulasi insulin (efek perifer). (5),(6)
Setiap respon tersebut memiliki manfaat yang khusus seperti retensi garam dan air yaitu
untuk menjaga volume darah, meningkatnya produksi glukosa hepar yaitu untuk menyediakan
"tenaga" yang cukup, dan mobilisasi dari asam amino untuk glukoneogenesis, produksi protein
hepar, proliferasi fibroblas, dan regulasi imunologi. Perubahan kecepatan katabolisme protein,
khususnya pretein otot. Katekolamin menstimulasi glikogenolisis dan glukoneogenesis hepar.
Kortisol merangsang glikogenolisis, glukoneogenesis, dan proteolisis protein dan efek potensial
katekolamin pada hepar. (5)
Hormon lain disekresi sebagai respon terhadap luka. Arginine vasopresin (yang awalnya
diketahui sebagai antidiuretik hormon (ADH)), meningkatkan absorpsi air dan stimulasi
glikogenesis hepar dan glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkatkan glikolisis, lipolisis, dan
glukoneogenesis. Insulin like growth factor-I (IGF-I) dan Growth Hormone (GH) menurun, dan
hal ini menginduksi ketidakseimbangan dalam regulasi hormon mengarah penurunan hormon
anabolik dan percepatan kehilangan jaringan. (5)
Respon stress berbeda dengan kelaparan tanpa luka. Kelaparan mengurangi pengeluaran
energi dan meningkatkan lipogenesis dan produksi keton bodies. Namun tidak berkembang
menjadi respon protein fase akut. Stress meningkatkan pengeluaran energi, mempercepat
produksi protein hepar, merangsang respon protein fase akut, dan mempercepat proteolisis tanpa
produksi keton bodies. Asam lemak, keton bodies, dan gliserol merupakan substrat energi utama
dalam kelaparan dan terjadi pada 95% kebutuhan awal. Dalam keadaan stres, asam amino
merupakan sumber yang penting dari produksi glukosa melalui glukoneogenesis hepar. Protein
menyediakan 15-20 % energi, padahal lemak menyediakan energi sampai 80-85%. (5)
Kondisi hipermetabolik yang lebih lama dapat berhubungan dengan keseimbangan
nitrogen yang negatif yang muncul kemudian. Tingkat metabolik biasanya meningkat sekitar
10% pasca operasi. Jika dukungan gizi yang memadai tidak ada pada tahap ini akan terjadi
proteolisis dari otot rangka yang berlebihan dan terjadi depresi metabolisme yang lebih lanjut.
Peningkatan pengeluaran energi dikaitkan dengan berbagai tanggapan hormonal yang terjadi
sebagai akibat dari trauma bedah. Sitokin, termasuk Tumor Necrotizing Factor (TNF) dan
interleukin (IL-1 dan IL-6) memiliki peran penting dalam menentukan perubahan metabolik
jangka panjang. Perubahan ini tidak relevan secara klinis, kecuali terjadinya sepsis pasca bedah
atau trauma setelah operasi tetapi dalam hubungannya dengan kelaparan preoperatif sering
mengakibatkan keseimbangan nitrogen negatif secara signifikan. (6)
2.3.3 Peran Usus Dalam Pertahanan Tubuh
Sebagian besar konsensus menyatakan bahwa nutrisi harus diberikan melalui saluran
gastrointestinal daripada parenteral bila memungkinkan. Konsensus ini dihasilkan dari berbagai
percobaan klinis prospektif acak pada pasien trauma dan pasien bedah umum. Hasil
eksperimental yang signifikan telah mendokumentasikan bahwa terjadi perubahan dalam
histologi pencernaan serta imunitas mukosa ketika saluran pencernaan tidak diberikan makanan. (5)
Perlindungan sistemik dan intraperitoneal juga dipengaruhi oleh rute pemberian gizi.
Nutrisi enteral akan mengurangi kematian bakteri intraperitoneal dibandingkan dengan hewan
yang diberi makan diet parenteral isonitrogen dan isokalorik. Studi-studi awal telah dikonfirmasi
oleh Lin dan rekan-rekannya, yang menunjukkan bahwa makanan enteral pada tikus
menghasilkan peningkatan TNF intraperitoneal dan inhibisi proliferasi bakteri. Hal ini
menghasilkan respon sistemik TNF yang tumpul terhadap sepsis intraperitoneal. Temuan ini
telah dikonfirmasi oleh Fong dan rekan pada subyek manusia. Ketika nutrisi parenteral diberikan
secara infus maka sebenarnya diberikan pula endotoksin, respon TNF ditingkatkan pada individu
yang diberikan nutrisi secara parenteral dibandingkan dengan mereka yang makan secara enteral.
Sehingga pada beberapa aspek, rute pemberian nutrisi secara enteral lebih tetap disukai.(5)
2.4 Kebutuhan Nutrisi
Tujuan utama dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan energi untuk proses
metabolisme, pemeliharaan suhu basal, dan perbaikan jaringan. Kegagalan untuk menyediakan
sumber energi nonprotein yang memadai akan menyebabkan penggunaan cadangan jaringan
tubuh. Kebutuhan untuk energi dapat diukur dengan kalorimetri secara langsung atau
diperkirakan dari ekskresi nitrogen urin, yang sebanding dengan pengeluaran energi selama
istirahat. Namun, penggunaan kalorimetri secara tidak langsung, terutama pada pasien yang sakit
kritis, sering mengarah kepada perhitungan yang terlalu tinggi dari kebutuhan kalori. (1)
Untuk menentukan kebutuhan kalori harus diketahui metabolisme basal, sedangkan untuk
menentukan basal energy expenditure (BEE) ini digunakan suatu rumus Harris-Benedict. (1),(5),(8)