Page 1
1
PREVALENSI KOLONISASI BAKTERI METHICILLIN-RESISTANT
Staphylococcus aureus (MRSA) DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT
(ICU) RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
(Skripsi)
Oleh
Hasril Mulya Budiman
Page 2
i
ABSTRACT
PREVALENCE OF METHICILLIN-RESISTANT Staphylococcus aureus
(MRSA) BACTERIAL COLONIZATION IN THE INTENSIVE CARE
UNIT (ICU) OF THE ABDUL MOELOEK PUBLIC HOSPITAL
BANDAR LAMPUNG
By
Hasril Mulya Budiman
Background: Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) is a
bacterium Staphylococcus aureus which has a resistance to methicillin and some
beta-lactam antibiotics. MRSA can colonize as normal flora in some parts of the
human body, such as the nose, skin, hands, perineum, and so forth. Intensive Care
Unit (ICU) is the highest-risk areas for MRSA transmission.
Objective: Knowing the prevalence of MRSA in the ICU of the Abdul Moeloek
Public Hospital, Bandar Lampung (RSUDAM).
Method: This study was an observational study with a cross sectional design. The
swab specimens was obtained from the patient's nose and hand in ICU of
RSUDAM, from October to November 2018. And then, the identification of
MRSA bacteria in cultures was measured at the laboratory with the media, in
order to determine their prevalence. MRSA colonization was declared as positive,
if at least one or both specimens (of the nose or hand) were tested positive.
Results: Positive MRSA colonization was showed by 15 of the 40 samples
(37.50%). Based on the swab location, the percentage of MRSA positive were: (1)
nasal specimens at 17.50%; (2) hand specimens at 32.50%; and (3) both at
12.50%.
Conclusion: There was 37.5 % of MRSA colonization’s prevalence in the ICU of
RSUDAM.
Keywords: Antibiotic resistance, bacteria colonization, Intensive Care Unit,
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus,
Page 3
i
ABSTRAK
PREVALENSI KOLONISASI BAKTERI METHICILLIN-RESISTANT
Staphylococcus aureus (MRSA) DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT
(ICU) RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
Oleh
Hasril Mulya Budiman
Latar Belakang: Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah
bakteri Staphylococcus aureus yang memiliki resistensi terhadap methicillin dan
beberapa antibiotik beta-lactam. MRSA dapat berkolonisasi sebagai flora normal
pada beberapa bagian tubuh manusia, seperti hidung, kulit, tangan, perineum, dan
lain sebagainya. Intensive Care Unit (ICU) merupakan area risiko tinggi untuk
transmisi MRSA.
Tujuan: Mengetahui prevalensi MRSA di ruang ICU Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung (RSUDAM).
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan
potong lintang. Pengumpulan spesimen diperoleh dari swab hidung dan tangan
pasien ICU RSUDAM pada periode Oktober hingga November 2018, kemudian
dilakukan identifikasi bakteri MRSA di laboratotium dengan dilakukan kultur
pada media agar untuk mengetahui prevalensinya. Kolonisasi MRSA dinyatakan
positif jika salah satu atau kedua spesimen hidung atau tangan dinyatakan positif.
Hasil: Kolonisasi MRSA positif sebesar 15 dari 40 sampel (37,50%).
Berdasarkan lokasi pengambilan swab, MRSA positif dari spesimen hidung
sebesar 17,50%, tangan sebesar 32,50%, dan keduanya sebesar 12,50%.
Kesimpulan: Terdapat prevalensi kolonisasi Bakteri MRSA di ruang ICU Rumah
Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung sebesar 37,50%.
Kata Kunci: Intensive Care Unit, kolonisasi bakteri, Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus, resistensi antibiotik.
Page 4
i
PREVALENSI KOLONISASI BAKTERI METHICILLIN-RESISTANT
Staphylococcus aureus (MRSA) DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT
(ICU) RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
Oleh
HASRIL MULYA BUDIMAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Page 8
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 4 November
1997, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari Bapak Hasriadi Mat Akin
dan Ibu Urip Mulyati.
Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Kartika II-
5 Bandar Lampung pada tahun 2009. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
diselesaikan di SMP Islam Terpadu Ar-Raihan Bandar Lampung pada tahun 2012.
Sekolah Menegah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 2 Bandar Lampung pada
tahun 2015.
Tahun 2015, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung melalui jalur SBMPTN. Selama menjadi mahasiswa,
penulis aktif sebagai asisten dosen Histologi tahun 2016-2018 dan asisten dosen
patologi klinik tahun 2017-2018. Selain itu penulis juga pernah menjadi anggota
organisasi Forum Studi Islam Ibnu Sina pada tahun 2015-2016 sebagai anggota.
Page 9
i
Sebuah Persembahan Untuk
Keluarga Tercinta
Page 10
i
“Stood and puff your chest out
like you never lost the war”
-Arctic Monkeys
Page 11
i
SANWACANA
Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang atas berkat rahmat dan karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.
Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad
SAW dengan mengharap syafaatnya di yaumil akhir kelak.
Skripsi dengan judul “PREVALENSI KOLONISASI BAKTERI METHICILLIN-
RESISTANT Staphylococcus aureus (MRSA) DI RUANG INTENSIVE CARE
UNIT (ICU) RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Bapak Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
3. dr. Tri Umiana Soleha, S.Ked., M.Kes, selaku Pembimbing I penulis atas
kesediaaan dan kesabarannya dalam membimbing serta memberi saran dan
kritik yang membangun untuk penulis.
Page 12
i
4. dr. Dwi Indria Anggraini, S.Ked., MSc., Sp.KK, selaku Pembimbing
Kedua atas kesediaan, waktu, pikiran, saran bimbingan, serta
kesabarannya dalam membimbing penulisan skripsi ini hingga akhirnya
selesai.
5. Prof. Dr. dr. Efrida Warganegara, S.Ked., M.Kes., Sp.MK, selaku
pembahas atas kesediaannya membahas dan bemberi waktu, saran serta
kritik yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.
6. dr. Susianti, S.Ked., M.Sc, selaku dosen Pembimbing Akademik penulis
selama penulis berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
yang telah membimbing penulis dalam bidang akademik.
7. Kedua orang tua penulis, Hasriadi Mat Akin dan Urip Mulyati yang telah
membesarkan penulis serta memberi dukungan penuh kepada penulis.
8. Direktur utama diklat dan direktur SDM Rumah Sakit Umum Daerah
Abdul Moeloek Bandar Lampung yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian.
9. Kepala ruangan ICU Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar
Lampung Ns. Hotmaida, S.Kep yang telah membantu pengambilan data
penelitian di ruang dan membimbing dengan sepenuh hati.
10. Seluruh dokter, staff, dan perawat Ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit
Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung yang telah mengizinkan
dan membimbing penulis dalam pengambilan data.
11. Seluruh pasien yang di rawat di Ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit
Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung beserta keluarganya
Page 13
i
yang telah bersedia untuk menjadi sampel dalam penelitian ini, semoga
Allah SWT memberikan kesembuhan serta kesehatan, Aamiin.
12. Ibu Romiani A.Md dan ibu Roro yang telah memberikan bimbingan dan
ilmu berharga selama berada di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
13. Seluruh Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis dan seluruh Staf karyawan FK Unila.
14. Kepada kakak-kakak penulis yaitu Yulia Rahma Fitriana, Chandra
Prasetyo Hadi, dan dr. Muhammad Yogie Fadly yang selalu mendoakan,
meberikan dukungan, dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
15. Kepada mama Arda, Mbak Nur, dan Mbak Rina yang telah membantu dan
memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
16. Sahabat penulis, Reihan, Ajib, Norman, Uul, Geta, Iton, Anes, Yuri, Aldi,
Diki, Habibi, Melati, Mira, Tara, Mufid, Farhan, dan Rifath yang telah
membantu, bekerjasama, dan menemani penulis dari smester pertama
hingga sekarang dan seterusnya.
17. Teman seperjuangan skripsi di bidang mikrobiologi, Iqbal, Semadela, Eno,
Josi, Caca, Rialdi, Meiwa, dan masih banyak lagi dalam membantu,
memberi saran, dan menemani penulis dalam mengolah data di lab
maupun dalam pengambilan data.
Page 14
i
18. Teman-teman FK Universitas Lampung angkatan 2015 (Endomisium)
yang telah berjuangan bersama-sama dan saling membantu selama
menempuh pendidikan.
19. Sahabat-sahabat Asisten Dosen Histologi 2016/2018 dan Patologi Klinik
2017/2018, terimakasih atas doa, dukungan, dan kebersamaannya.
20. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
menyumbangkan pemikirannya dalam pembuatan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, akan tetapi penulis berharap skripsi ini bermanfaat dan
memberikan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya maupun
bagi penulis.
Bandar Lampung, 18 Januari 2019
Penulis,
Hasril Mulya Budiman
Page 15
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 5 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 7 2.1 Staphylococcus sp. ............................................................................. 7 2.2 Staphylococcus aureus ....................................................................... 9 2.3 Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) .................... 17 2.4 Resistensi Antibiotik ........................................................................ 28 2.5 Intensive Care Unit (ICU) ............................................................... 33 2.6 Kerangka Teori ................................................................................ 34 2.7 Kerangka Konsep ............................................................................. 35 2.8 Hipotesis .......................................................................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 36 3.1 Desain Penelitian ............................................................................. 36 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 36 3.3 Subjek Penelitian ............................................................................. 37 3.4 Variabel Penelitian ........................................................................... 39 3.5 Definisi Operasional ........................................................................ 39 3.6 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................ 40 3.7 Prosedur Penelitian .......................................................................... 40 3.8 Skema Prosedur Penelitian .............................................................. 46 3.9 Etika Penelitian ................................................................................ 47 3.10 Analisa Data ..................................................................................... 47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 48 4.1 Hasil Penelitian ................................................................................ 48 4.2 Pembahasan ..................................................................................... 51
Page 16
ii
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 53 5.1 Simpulan .......................................................................................... 53 5.2 Saran ................................................................................................ 53
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 54
LAMPIRAN..........................................................................................................59
Page 17
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perbedaan Antara CA-MRSA dan HA-MRSA. ......................................... 23
2. Definisi Operasional. ................................................................................... 39
3. Karakteristik Sampel ................................................................................... 48
4. Hasil Identifikasi MRSA Berdasarkan Asal Spesimen ............................... 50
Page 18
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Staphylococcus aureus dilihat dari mikroskop elektron ............................. 9
2. Tempat predileksi kolonisasi Staphylococcus aureus. .............................. 19
3. Kerangka Teori. ......................................................................................... 35
4. Kerangka Konsep. ..................................................................................... 35
5. Skema Prosedur Penelitian. ....................................................................... 46
6. Hasil Identifikasi Bakteri MRSA ............................................................. 49
7. Jumlah Kolonisasi MRSA Berdasarkan Asal Spesimen ........................... 50
Page 19
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pertama kali
ditemukan pada tahun 1961. Sebelumnya, infeksi Staphylococcus aureus
yang resisten terhadap Penisilin di terapi menggunakan Methicillin. Namun
setelah berjalan selama dua tahun, ditemukan juga Staphylococcus aureus
yang mengalami resistensi terhadap methicillin. Berdasarkan data The
National Healthcare-associated Infection Surveillance (NHIS) dan Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) manunjukkan bahwa 50% isolat
healthcare-associated Staphylococcus aureus telah mengalami resistensi
terhadap methicillin (Wijaya et al, 2014).
MRSA merupakan bakteri Staphylococcus aureus yang memiliki gen
resisten terhadap methicillin dan beberapa antibiotik beta-lactam lainnya,
termasuk resistensi terhadap flucloxacilin, kombinasi beta-lactam/beta-
lactamase inhibitor, sefalosporin, dan carbapenem. MRSA bisa menjadi flora
normal pada bagian-bagian tubuh manusia, terutama di hidung dan dapat
menyebabkan infeksi terutama pada orang-orang yang dirawat di rumah sakit
dalam waktu yang lama, penyakit yang mendasarinya, atau setelah
penggunaan antibiotik (Nathwani et al, 2010). Penisilin yang merupakan obat
Page 20
2
pertama yang digunakan untuk terapi pada awalnya memberikan hasil yang
memuaskan. Namun Staphylococcus aureus menghasilkan enzim
penicillinase atau -laktamase yang menyebabkan kegagalan terapi terhadap
penggunaan penicillin (Liana, 2014).
MRSA telah menjadi masalah kesehatan global yang sangat
berhubungan dengan infeksi yang susah disembuhkan dan morbiditas yang
tinggi. MRSA juga bertanggung jawab atas peningkatan kebutuhan biaya
kesehatan. Diperkirakan saat ini terdapat sekitar 2-3% populasi populasi
umum yang memiliki MRSA dalam tubuh mereka (Meta et al, 2014).
Menurut World Health Organization (2017), MRSA merupakan patogen
prioritas 2 (tinggi) untuk diteliti dan diperdalam guna membuat antibiotik
baru (World Health Organization, 2017). Orang dengan MRSA pada tubuh
mereka diperkirakan memiliki kemungkinan 64% lebih tinggi untuk
mengalami kematian (World Health Organization, 2018). Pada beberapa
daerah di Eropa bagian selatan dan Asia-Pasifik, ditemukan bahwa 25%
sampai 50% isolat dari infeksi Staphylococcus aureus adalah MRSA (Lee et
al, 2016). Kebanyakan bakterimia Staphylococcus aureus nosokomial terjadi
pada pasien yang sebelumnya telah terkolonisasi bakteri di tubuhnya.
Ditemukan pada 80% kasus bakterimia yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, strain bakteri yang ditemukan pada darah penderita adalah identik
dengan bakteri yang sebelumnya berkolonisasi di tubuh pasien (Marzec dan
Bessesen, 2016). Berdasarkan hasil penelitian Marzec dan Bessesen (2016),
ditemukan bahwa pasien dengan kolonisasi bakteri MRSA memiliki risiko
Page 21
3
bakterimia 19,89 kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya bakterimia
dibandingkan dengan pasien tanpa kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus.
Diperkirakan terdapat 94.360 infeksi MRSA di Amerika serikat pada
tahun 2005 dan menyebabkan 18.000 kematian per tahunnya. Infeksi yang
disebabkan oleh MRSA sangat berkaitan dengan masa rawat inap yang lama
dan peningkatan biaya kesehatan. Diperkirakan di Amerika Serikat, sekitar
14,5 juta Dolar Amerika Serikat dihabiskan untuk kasus infeksi MRSA pada
tahun 2003. MRSA diperkirakan menyebabkan lebih banyak infeksi di
Amerika Serikat dibandingkan dengan AIDS, hepatitis viral, dan tuberkulosis
jika digabungkan dan menyebabkan lebih banyak kematian dibandingkan
dengan AIDS (Green et al, 2012). Progresifitas MRSA di Indonesia
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1986, didapatkan
angka kejadian MRSA di Indonesia adalah 2,5% dan terus meningkat
menjadi meningkat menjadi 9,4% pada tahun 1993 dan tahun 2006 meningkat
kembali menjadi 23,5% (Nurkusuma, 2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asian Network for
Surveillance of Resistant Patogens (ANSORP), didapatkan hasil tingginya
prevalensi MRSA di rumah sakit, yaitu 13% dan Community-aquired MRSA
sebesar 12% (Amalia, 2012). Data pada tahun 2005 dari Pusat Kontrol
Penyakit dan Pencegahan menunjukkan 59,5% dari infeksi Staphylococcus
aureus di pusat-pusat kesehatan disebabkan oleh MRSA (Nurkusuma, 2009).
ICU merupakan area risiko tinggi untuk terjadinya MRSA (Biantoro,
2008). MRSA merupakan penyebab utama infeksi yang didapatkan di rumah
sakit yang dapat menjadi endemis di ruang ICU di negara Inggris. MRSA bisa
Page 22
4
menyebar melalui staf yang bertugas dan lingkungan sekitar pasien (Sangal et
al, 2011). MRSA juga merupakan penyebab utama penumonia terutama pada
pasien yang dirawat di ICU (Giancola et al, 2016). Sekitar 20% dari semua
pasien yang dirawat di ICU mendapatkan infeksi yang berhubungan dengan
ICU sebagai akibat dari penggunaan antibiotik yang lama dan prosedur
perawatan yang intensif. Semua infeksi yang berhubungang dengan ICU, 25%
diantaranya disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Rijnders et al, 2009).
Pada skrining MRSA tahun 2011-2014 di RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta didapatkan hasil angka kolonisasi MRSA sebesar 7,6% (Linosefa et
al., 2016). Menurut Mahmudah (2013) yang meneliti tentang kolonisasi
MRSA pada tenaga medis dan paramedis di ruang ICU dan ruang perawatan
bedah Rumah Sakit Umum Daerah Abduk Moeloek Bandar Lampung yang
mengambil sampel sebanyak 68. Hasil yang didapatkan adalah terdapat
MRSA positif sebanyak 26 sampel (38,24%), 15 sampel sensitif (22,05%), 20
sampel Staphylococcus sp (29,41%), dan 7 sampel tidak ditemukan
pertumbuhan koloni pada Manitol Salt Agar (MSA) (10,3%). Berdasarkan
uraian di atas, peneliti merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut mengenai
prevalensi kolonisasi MRSA pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung.
Page 23
5
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian kali ini adalah: Berapa prevalensi
kolonisasi Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di ruang
Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek
Bandar Lampung?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umun
Mengetahui keberadaan dan prevalensi kolonisasi bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di ruangan
Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul
Moeloek Bandar Lampung.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui adanya kolonisasi MRSA pada pasien yang
dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah Abdul
Moeloek Bandar Lampung.
b. Mengetahui prevalensi kolonisasi bakteri Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) pada pasien ruangan Intensive
Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek
Bandar Lampung.
Page 24
6
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai prevalensi kolonisasi bakteri Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di ruang ICU Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung, diharapkan memberikan manfaat
kepada berbagai pihak, antara lain:
1.4.1 Bagi peneliti, dapat menerapkan ilmu yang sudah dipelajari selama
perkuliahan di kampus dan menambah pengetahuan mengenai keadaan
yang sesungguhnya terjadi di ruang ICU.
1.4.2 Bagi instansi terkait, penelitian ini dapat memberikan informasi
mengenai prevalensi kolonisasi bakteri sehingga dapat membantu
pencegahan dan penekanan kejadian MRSA di Lampung maupun di
Indonesia.
1.4.3 Bagi penelitian yang akan datang, penelitian ini dapat memberikan
informasi serta dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian
selanjutnya.
Page 25
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Staphylococcus sp.
Staphylococcus sp. merupakan sel sferis gram positif dan tersusun
secara irreguler seperti anggur. Organisme ini dapat dengan mudah tumbuh
pada banyak jenis medium dan aktif secara metabolis, memfermentasi
karbohidrat dan menghasilkan variasi pigmen dari putih hingga kuning tua.
Beberapa spesies dari genus ini merupakan flora normal kulit dan membran
mukosa manusia. Beberapa spesies dapat menginfeksi manusia dan
menyebabkan supurasi, pembentukan abses, berbagai infeksi piogenik, dan
septikemia yang fatal. Staphylococcus sp. yang bersifat patogen sering kali
menyebabkan koagulasi plasma, dan menghasilkan berbagai toksin serta
enzim ekstraseluler. Bakteri Staphylococcus sp. dapat dengan cepat menjadi
resisten terhadap berbagai antimikroba dan menyebabkan masalah terapi yang
sulit. Genus Staphylococcus mempunyai paling sedikit 40 spesies. Tiga
spesies yang paling sering dijumpai mempunyai kepentingan klinis antara
lain Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus
saprophyticus (Brooks et al., 2012).
Staphylococus epidermidis merupakan salah satu spesies
Staphylococcus koagulase negatif yang paling sering berkolonisasi pada
Page 26
8
epitel manusia, predominan pada axilla, kepala, dan juga nares dan
merupakan bagian dari flora normal komensal pada kulit. Kolonisasi bakteri
Staphylococcus epidermidis pada kulit dan mukosa memberikan mereka
kesempatan untuk menimbulkan infeksi jika keadaan memungkinkan.
Meskipun demikian, bakteri ini memiliki virulensi yang rendah. Infeksi
Staphylococcus epidermidis jarang bersifat lethal, tetapi mereka sangat
berhubungan dengan morbiditas dan peningkatan biaya kesehatan (Granslo et
al., 2011).
Staphylococcus saprophyticus berhubungan dengan infeksi saluran
kemih pada manusia. bakteri ini menempati peringkat kedua setelah
Escherichia coli sebagai penyebab tersering infeksi saluran kemih tanpa
komplikasi pada wanita, namun bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi
saluran kemuh pada laki-laki di pada semua usia. Reservoir utama dari
bakteri ini adalah saluran gastro intestinal dan menurut penelitian Latham et
al (1983), didapatkan kolonisasi Staphylococcus saprophyticus pada rektum,
vagina, dan uretra berhubungan dengan kejadian infeksi saluran kemih (Raz
et al, 2005).
Staphylococcus sp. menghasilkan katalase yang membedakannya dari
bakteri Streptococcus sp. Bakteri ini dapat memfermentasi banyak karbohidrat
dengan lambat, menghasilkan asam laktat, tetapi tidak ada gas. Stafilokok
relatif resisten terhadap pengeringan, pemanasan (dapat tahan pemanasan
50C
selama 30 menit), dan natrium klorida 9%, tetapi dapat dengan mudah
dihambat dengan bahan kimia tertentu, contohnya heksaklorofen 3% (Brooks
et al, 2012).
Page 27
9
2.2 Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang berbentuk
bulat berdiameter 0,7-1,2 m, tersusun dalam kelompok-kelompok tidak
teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan
bersifat non-motil. Bakteri ini dapat tumbuh dengan optimum pada suhu
37C, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20
-25
C).
Koloni pada media solid berbentuk bulat, halus, timbul, dan mengkilap.
Staphylococcus aureus biasanya membentuk koloni berwarna abu-abu hingga
kuning emas pekat. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan bakteri
Staphylococcus aureus yang memiliki kapsul polisakarida atau selaput tipis
sebagai faktor virulensi bakteri. Staphylococcus aureus bersifat koagulase
positif. Sifat ini yang membedakann Staphylococcus aureus dengan spesies
lain (Brooks et al, 2012).
Gambar 1 Staphylococcus aureus dilihat dari mikroskop elektron (Centers for Disease
Control and Prevention, 2016).
Page 28
10
2.2.1 Klasifikasi
Menurut Rosenbach (1884), klasifikasi Staphylococcus aureus
antara lain (Mahmudah, 2013):
Kingdom : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
2.2.2 Patogenitas
Staphylococcus aureus merupakan patogen utama bagi manusia.
Hampir setiap orang akan pernah mengalami beberapa infeksi
Staphylococcus aureus dalam hidupnya dengan kisaran keparahan dari
keracunan makanan, infeksi minor, hingga infeksi berat yang
mengancam jiwa (Brooks et al, 2012).
Sebagian bakteri genus Stafilokokus adalah flora normal pada
kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan manusia. Bakteri ini juga
dapat ditemukan pada udara dan lingkungan yang ada di sekitar kita.
Staphilococcus aureus yang patogen bersifat invasif, dapat
menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan
manitol (Kusuma, 2009).
Staphilococcus aureus merupakan patogen yang berbahaya dan
dapat menyebabkan berbagai penyakit. Penyakit yang paling sering
Page 29
11
ditemukan antara lain infeksi kulit dan infeksi saluran nafas. Infeksi
pada kulit biasanya berasal dari penyebaran Staphylococcus aureus
pada komunitas, sedangkan infeksi pada paru biasanya disebabkan oleh
infeksi Staphylococcus aureus nosokomial. Berbagai patogen
nosokomial telah diidentifikasi, namun Staphylococcus aureus
merupakan yang paling sering dan menyebabkan mortalitas dan
morbiditas yang tinggi. Pneumonia akibat Staphylococcus aureus sering
berkembang pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan kondisi
yang mendasarinya, seperti pada pasien dengan defisiensi imun atau
infeksi virus. Staphylococcus aureus juga dapat menyebabkan penyakit
lain yang bervariasi yang terkadang penyakit yang sangat berat dan
mengancam jiwa (endocarditis, toxic shock syndrome, scaled skin
syndrome, osteomyelitis, dan lain sebagainya) (Otto, 2014).
Infeksi Staphylococcus aureus ditandai oleh adanya kerusakan
jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit yang
merupakan infeksi bakteri Staphylococcus aureus antara lain bisul,
jerawat, impetigo, dan infeksi pada luka. Infeksi yang lebih berat
anatara lain pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran
kemih, osteomielitis, dan endokarditis (Kusuma, 2009).
2.2.3 Struktur Antigen
Protein A merupakan komponen dinding sel pada galur
Staphylococcus aureus dan merupakan protein permukaan bakteri yang
telah dicirikan di antara adhesin yang disebut molekul matriks adhesif
pengenal komponen permukaan mikroba (microbial surface
Page 30
12
components recognizing adhesive matrix molecule, MSCRAMMS).
Protein A akan terikat pada reseptor Fc molekul IgG, kecuali pada IgG3.
Bagian Fab IgG yang terikat pada protein A, bebas untuk bergabung
dengan antigen spesifik. Protein A telah menjadi reagen yang penting
bagi dalam bidang imunologi dan laboratorium diagnostik (Brooks et
al, 2012).
Beberapa galur Staphylococcus aureus memiliki kapsul yang akan
menghambat fagositosis oleh sel leukosit PMN, kecuali jika terdapat
antibodi yang spesifik. Sebagian besar galur Staphylococcus aureus
memiliki koagulase (faktor penggumpal) pada permukaan dinding
selnya. Koagulase terikat secara nonenzimatik pada fibrinogen yang
berikutnya akan menghasilkan agregasi bakteri (Brooks et al, 2012).
2.2.4 Faktor Virulensi
Faktor virulensi dari Staphylococcus aureus memiliki variasi yang
sangat luas dibandingkan hanya sekedar toksin saja seperti yang
diketahui pada organisme-organisme tertentu lainnya. Seperti
contohnya protein pada dinding sel ekstraseluler yang disebut secretom
dan surfacome, masing-masing merupakan faktor yang penting dalam
menyebabkan kolonisasi pada host lalu menyebabkan infeksi akut
(Bonar et al, 2015).
Patogenesis Staphylococcus aureus berhubungan dengan produksi
berbagai faktor, termasuk protein membran sel, protein permukaan
membran antar sel, protein dinding sel, dan protein yang di sekresikan
secara aktif oleh berbagai jalur. Semua faktor ini memungkinkan dan
Page 31
13
menentukan patogenitas dari bakteri, memiliki peranan penting dalam
kolonisasi dan invasi pada jaringan host, memediasi sitotoksik pada sel
host, dan memicu respon imun dari host. Protein-protein di atas
merupakan bagian dari faktor virulensi (Bonar et al, 2015).
Staphylococcus aureus memproduksi tiga buah macam metabolit,
antara lain yang bersifat nontoksin, eksotoksin dan endotoksin.
Metabolit nontoksin antara lain merupakan antigen permukaan
koagulase, hialuronidase, fibrinolisin, gelatinosa, protease, lipase,
tributirinase, fosfatase, dan katalase (Mahmudah, 2013).
Bakteri Staphylococcus dapat menimbulkan penyakit melalui dua
cara, kemampuan bermultiplikasi dan menyebar dalam jaringan, dan
melalui produksi banyak zat ekstraseluler. Staphylococcus aureus
menggunakan berbagai macam strategi untuk berkolonisasi sebelum
kemudian dapat menginfeksi hostnya. Strategi ini dimediasi dengan
diproduksinya faktor virulensi. Beberapa zat ini dianggap sebagai
enzim, sementara yang lainnya dianggap sebagai toksin meskipun
berfungsi sebagai enzim. Banyak dari faktor virulensi ini didefinisikan
sebagai toksin. Toksin diartikan sebagai substansi yang beracun.
Banyak dari enzim ini di sekresikan di bawah kendali plasmid.
Beberapa enzim ini mungkin juga dapat di sekresikan berdasarkan
kontrol dari kromosom dan ekstrakromosom, sementara yang lainnya
lagi belum dapat didefinisikan dengan jelas. Berbagai zat yang berperan
penting sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim
Page 32
14
dan toksin antara lain (Brooks et al, 2012; Otto, 2014; Bonar et al,
2015):
a. Katalase
Bakteri stafilokok menghasilkan enzim katalase yang berfungsi
mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Uji
katalase akan membedakan genus bakteri apakah dari stafilokok
atau dari streptokok. Hasil uji positif akan ditemukan pada bakteri
stafilokok, sementara hasil negatif akan ditemukan pada bakteri
streptokok (Brooks et al, 2012).
b. Koagulase
Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase. Enzim ini akan
membekukan plasma oksalat atau plasma sitrat. Koagulase
nantinya akan terikat pada prothrombin yang kemudian akan
menjadi aktif secara enzimatis dan memulai proliferasi fibrin.
Koagulase mungkin dapat mendeposit fibrin pada permukaan
bakteri Staphylococcus aureus dan akan mengganggu proses
fagositosis. Produksi koagulase pada bakteri ini dianggap sebagai
potensi patogenik infeksi. Faktor penggumpalan merupakan contoh
lain dari MSCRAMM yang bertanggung jawab atas perlekatan
organisme pada fibrinogen dan fibrin. ketika bercampur dengan
plasma, Staphylococcus aureus akan menyebabkan penggumpalan
(Brooks et al, 2012).
c. Hemolisin
Page 33
15
Hemolisin merupakan toksin yang akan menyebabkan
terbentuknya zona hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin
pada bakteri Staphylococcus aureus terdiri dari -hemolisin, -
hemolisin, dan -hemolisin. -hemolisin adalah toksin yang
bertanggung jawab terhadap terbentuknya zona hemolisis di sekitar
koloni Staphylococcus aureus pada medium agar darah. -
hemolisin merupakan protein heterogen yang bekerja pada
spektrum luas membran sel eukariot. -hemolisin juga merupakan
hemolisin yang poten. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis
pada kulit manusia maupun kulit hewan. -hemolisin merupakan
toksin yang terutama dihasilkan bakteri Staphylococcus yang
diisolasi dari hewan dan dapat menyebabkan lisis pada sel darah
merah domba dan sapi. -hemolisin akan mendegradasi
sfingomielin sehingga bersifat toksin bagi berbagai jenis sel,
termasuk sel darah merah manusia. Toksin ini merusak membran
biologis dan mungkin memiliki peran dalam menyebabkan diare
yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Sedangkan
-hemolisin adalah toksin yang dapat menyebabkan lisis pada sel
darah merah manusia maupun kelinci, tetapi efek lisisnya kurang
pada sel darah merah domba. -hemolisin merujuk pada tiga
protein yang berinteraksi dengan dua protein yang menyusun
leukosidin Panton-Valentine untuk membentuk enam toksin yang
memiliki dua komponen. Dua komponen yang disebut sebagai S
dan F bekerja secara sinergis pada membran sel darah putih.
Page 34
16
Toksin ini merupakan toksin yang potensial. Keenam toksin ini
akan dengan efisien menyebabkan lisis sel darah putih dengan
pembentukan pori pada membran sel dan menyebabkan
peningkatan permeabilitas kation. Hal ini menyebabkan pelepasan
masif dari mediator inflamasi seperti IL-8, leukotrien, dan histamin
yang bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi berat dan
nekrosis. -hemolisin adalah faktor virulensi yang penting dalam
terjadinya infeksi MRSA yang berhubungan dengan komunitas
(Kusuma, 2009; Brooks et al, 2012).
d. Toksin eksfoliatif
Toksin ini memiliki aktivitas proteolitik dan bisa melarutkan
matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan
terjadinya pemisahan intraepitelial pada ikatan sel di stratum
granulosum. Toksin ini memiliki dua protein berbeda dengan berat
molekul yang sama. Toksin A epidermolitik merupakan produk
gen kromosom dan bersifat stabil panas (tahan dididihkan selama
20 menit). Toksin B epidermolitik merupakan toksin yang
diperantai oleh plasmid dan labil panas. Toksin ini merupakan
penyebab terjadinya Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang
ditandai dengan kulit yang melepuh (Kusuma, 2009; Brooks et al,
2012).
e. Toksin sindrom syok toksik
Sebagian besar galur dari bakteri Staphylococcus aureus yang
diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan yang
Page 35
17
disebut dengan toksin-1 sindrom syok toksik (toxic shock
syndrome toxin-1, TSST-1) yang sama dengan enterotoksin F.
TSST-1 akan berikatan pada molekul MHC kelas II, lalu akan
menghasilkan stimulasi pada sel T. Mekanisme terbut nantinya
akan menyebabkan manifestasi klinis yang berubah-ubah pada
sindrom syok toksik. Toksin ini pada manusia akan menyebabkan
manifestasi klinis berupa demam, syok, ruam kulit, dan gangguan
multisistem organ tubuh. Gen untuk TSST-1 ditemukan pada 20%
isolat bakteri Staphylococcus aureus, termasuk MRSA (Kusuma,
2009; Brooks et al, 2012).
f. Enterotoksin
Enterotoksin merupakan enzim yang tahan panas dan tahan
terhadap suasana basa di dalam usus. Terdapat banyak enzim
enterotoksin (A-E, G-J, K-R, dan U, V). Sekitar 50% galur bakteri
dapat menghasilkan satu atau lebih enterotoksin. Enzim ini
bertanggung jawab atas terjadinya keracunan makanan, terutama
pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Brooks
et al, 2012).
2.3 Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Methicilline-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) terermasuk ke
dalam Emerging Infection Pathogen sebagai infeksi nosokomial yang berada
di peringkat keempat setelah Eschrericia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan
Enterococcus. Infeksi oleh MRSA bisa menimbulkan masalah masalah serius
Page 36
18
terutama bagi penderita. Infeksi MRSA dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, memperlama masa rawat pasien di rumah sakit dan biaya
perawatan akan menjadi lebih mahal. Risiko kematian pada bakterimia yang
disebabkan oleh MRSA bernilai dua kali lebih besar daripada bakterimia oleh
Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) (Sari, 2016).
Lebih dari 80% strain bakteri Staphylococcus aureus menghasilkan
penicilinase, dan penicilinase-stable betalactam antara lain seperti
Methicillin, clocacillin, dan fluoxacilin yang telah digunakan sebagai terapi
utama bakteri Staphylococcus aureus selama lebih dari 35 tahun. Bakteri
yang resistan ini muncul tidak lama setelah digunakannya agen ini sebagai
pengobatan (Mahmudah, 2013).
2.3.1 Epidemiologi
MRSA merupakan penyebab infeksi nosokomial yang sangat
penting dan tersebar di seluruh dunia. Diperkirakan saat ini terdapat
sekitar 2-3% populasi populasi umum yang memiliki MRSA dalam
tubuh mereka (Meta et al, 2014). Insiden tertinggi dari infeksi MRSA
terdapat di area yang densitasnya padat dan kebersihan individual yang
rendah. Bakteri MRSA biasanya dikaitkan dengan infeksi di rumah
sakit. Prevalensi MRSA di beberapa rumah sakit di negara Asia seperti
Taiwan, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan mencapai 70-80%
(Chuang dan Huang, 2013). Data insidensi MRSA di negara-negara
eropa barat, Jepang, dan Amerika Serikat didapatkan kenaikan insidensi
infeksi MRSA dalam 10 tahun terakhir. Angka tersebut termasuk
infeksi yang terjadi dalam komunitas. Insiden infeksi MRSA terkait
Page 37
19
komunitas di Amerika Serikat pada tahun 2001-2002 mencapai 18-25
kasus per 100.000 penduduk (Nurkusuma, 2009).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri komensal yang dapat
ditemukan berkolonisasi pada orang yang sehat. Orang sehat yang
membawa bakteri ini jarang menyebabkan kesakitan, tetapi populasi ini
memiliki risiko untuk terjadi infeksi lebih tinggi. Pada pasien dengan
kolonisasi MRSA, 19% berkembang menjadi infeksi MRSA selama
perawatan di rumah sakit, sementara pada orang yang memiliki
kolonisasi methicillin-susceptible Staphylococcus aureus (MSSA)
hanya 1,5% dan yang tidak membawa bakteri hanya 2%. Bakteri S.
aureus biasanya berkolonisasi di hidung (nares anterior), tetapi ada
beberapa tempat predileksi kolonisasi S. aureus seperti di tangan, kulit,
perineum, dan lain sebagainya (Ammerlaan and Kluytmans, 2010).
Gambar 2 Tempat predileksi kolonisasi Staphylococcus aureus (Ammerlaan dan
Kluytmans, 2010).
Page 38
20
Penelitian multisenter di negara lain diperoleh rentang angka
insidensi yang berbeda-beda. Insiden di Italia sebesar 34%, Swedia 0,1-
0,3%, dan Amerika Serikat 29% pada tahun 1991. Sedangkan di
Indonesia terjadi peningkatan empat kali lipat, tahun 1986 angkanya
2,5%, lalu pada tahun 1993 menjadi 9,4% di Jakarta. Angka di negara
Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Jepang
pada tahun 1989 (57%), Malaysia pada tahun 1991 sebanyak 35%,
Singapura pada tahun 1995 sebanyak 39%, Korea Selatan pada tahun
1994 sebanyak 50%, dan Hongkong pada tahun 1989 sebanyak 31%
(Nurkusuma, 2009).
Health care-associated MRSA (HA-MRSA) telah mengalami
peningkatan insidensi. Laporan dari US National Nosocomial Infection
Surveillance System di tahun 2000, ditemukan bahwa lebih dari 50%
isolat bakteri Staphylococcus aureus yang diambil dari ruangan
Intensive Care Unit telah resistan terhadap antibiotik methicillin.
Sebanyak 60% infeksi di dapatkan selama perawatan di rumah sakit
(Elston, 2007). Penelitian di 14 rumah sakit di Malaysia pada tahun
1985-1986 didapatkan prevalensi isolat MRSA berkisar 10%-25%.
Pada tahun 1996 prevalensi isolat MRSA di beberapa rumah sakit di
Malaysia mengalami peningkatan, yaitu lebih tinggi dari 40%.
Sementara itu di Indonesia masih belum terdapat data pasti mengenai
gambaran MRSA (Liana, 2014).
Sekitar 20% dari semua pasien yang dirawat di ICU mendapatkan
infeksi yang berhubungan dengan ICU sebagai akibat dari penggunaan
Page 39
21
antibiotik yang lama dan prosedur perawatan yang intensif. Semua
infeksi yang berhubungang dengan ICU, 25% diantaranya disebabkan
oleh Staphylococcus aureus (Rijnders et al, 2009).
Bakteremia merupakan salah satu infeksi penting yang disebabkan
oleh bakteri Staphylococcus aureus. Infeksi pada aliran darah ini telah
dilaporkan berhubungan dengan mortalitas sebesar 14%-45%.
Mortalitas pada pneumonia akan meningkat dari 8% hingga menjadi
39% jika disertai dengan bakteremia. Bakteremia yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus juga dapat menyebabkan peningkatan kecacatan
fungsional (Marzec dan T. Bessesen, 2016).
2.3.2 Klasifikasi
Sekitar awal tahun 1990, telah muncul MRSA yang ditemukan
pada individu yang sebelumnya tidak memiliki faktor risiko untuk
terinfeksi MRSA. Keadaan ini kemudian disebut sebagai community-
acquired MRSA (CA-MRSA). Laporan pertama mengenai strain CA-
MRSA yang memiliki virulensi tinggi terjadi di Australia. Kemudian
pada tahun 2002, CA-MRSA mencuri perhatian nasional setelah
terjadinya infeksi kulit yang disebabkan oleh CA-MRSA di fasilitas
umum dan sejumlah tim atletik di Los Angeles, Amerika Serikat
(Elston, 2007).
Community-Acquired MRSA (CA-MRSA) dapat terjadi pada
pasien dengan riwayat inap rumah sakit ataupun tidak. Tempat
pelayanan umum, sekolah, penjara, dan tempat yang penduduknya
padat dapat dengan mudah ditemukan bakteri tersebut. Abses, luka
Page 40
22
bakar, ataupun luka gigitan serangga dapat menjadi tempat bagi CA-
MRSA berkembang dan menyebabkan infeksi. Sekitar 75% infeksi CA-
MRSA terjadi di kulit dan jaringan lunak (Biantoro, 2008). Orang yang
berisiko untuk terinfeksi CA-MRSA antara lain orang yang berkontak
langsung dengan orang lain yang memiliki MRSA di tubuh mereka atau
dengan luka yang terinfeksi oleh MRSA. Bakteri ini juga dapat
menyebar dengan penggunaan alat-alat secara bersamaan (handuk,
pisau cukur, dan lain-lain). orang yang bekerja atau tinggal di tempat
yang ramai atau padat juga memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi
MRSA. Pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti atlet, tentara, pengasuh
bayi, pelajar, personel militer yang tinggal di barak memiliki risiko
yang lebih tinggi (Centers for Disease Control and Prevention, 2016).
CA-MRSA dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori, antara
lain (Salmenlinna, 2002):
a. Pasien dan staf di rumah sakit dengan MRSA positif.
b. Perawat di rumah dengan MRSA positif.
c. Penyebaran MRSA pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit.
d. MRSA yang timbul di lingkungan masyarakat secara de novo.
Menurut definisi Centers for Disease Control and Prevention
(CDC), Healthcare-Associated MRSA (HA-MRSA) didefinisikan
sebagai infeksi MRSA yang pernah dirawat di rumah sakit atau
menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat bantu
medis permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas
perawatan jangka panjang, atau individu yang menjalani dialisis.
Page 41
23
HA-MRSA secara tipikal berhubungan dengan infeksi pada
seseorang yang memiliki faktor risiko seperti perawatan di rumah sakit
atau panti, menjalani dialisis, mendapatkan terapi antibiotik, atau
terpapar oleh alat atau prosedur medis yang invasif. HA-MRSA telah
menjadi infeksi nosokomial yang penting karena memiliki resistensi
yang tinggi (Mahmudah, 2013). Pada pelayanan kesehatan, MRSA
dapat menyebar dengan kontak langsung dengan luka yang terinfeksi
atau dengan tangan yang terkontaminasi, biasanya pada petugas
pelayanan kesehatan (Centers for Disease Control and Prevention,
2017). Secara genetik dan fenotipe, strain HA-MRSA berbeda dengan
strain CA-MRSA. Perbedaan lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 1 Perbedaan Antara CA-MRSA dan HA-MRSA.
HA-MRSA CA-MRSA
Faktor Risiko Pasien di ruang perawatan dalam
jangka waktu lama, pasien dengan
diabetes melitus, pasien yang
melakukan hemodialisa/peritoneal
dialisis, perawata dengan waktu
yang lama, peyebaran di ICU,
pemasangan kateterisasi pada
pasien
Anak-anak, atlet, angkatan laut,
suku tertentu (suku asli
Amerika/Suku asli Alaska,
Pulau disekitar laut Pasifik),
penggunaan obat secara
intravena, homoseksual
Tipe strain USA 100 dan 200 USA 300 dan 400
Resistensi
Antibiotik
Multidrug resistant Hanya resistan -laktam
Toksin Panton-
Valentine
Leukocidin
Jarang 5% Banyak (100%)
Sindroma klinis Pneumonia nosokomial, infeksi
nosokomial terkait infeksi traktus
urinarius dan pemasangan kateter,
infeksi melalui darah, infeksi akibat
Infeksi kulit dan jaringan
(furunkel, abses), post-
influenza, pneumonia yang
telah mengalami nekrosis
Page 42
24
Sumber: Biantoro, 2008
Bakteri yang berhubungan dengan CA-MRSA memiliki komposisi
yang lebih kecil, mengalami kejadian multidrug resistant pada obat
antimikroba non -laktam (Biantoro, 2008).
2.3.3 Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko untuk terjadinya MRSA yaitu (Mahmudah, 2013):
a. Faktor risiko CA-MRSA:
- Tempat tinggal yang padat dan berdesakan serta kumuh
(penjara, barak militer, penampungan, pengungsian).
- Populasi (penduduk kepulauan Pasifik, orang-orang asli Alaska,
asli Amerika).
- Olahraga dengan kontak fisik
- Homoseksual (gay)
- Orang yang menggunakan alat pribadi secara bersamaan
(handuk, baju, dan lain-lain)
- Kebersihan tubuh yang buruk
b. Faktor risiko HA-MRSA
- Pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya (1 tahun terakhir)
- Riwayat operasi
- Riwayat rawat inap atau rawat jalan dalam satu bulan terakhir
- Riwayat infeksi kulit
- Riwayat infeksi kulit yang rekuren di keluarga
pembedahan. jaringan.
Page 43
25
- Terdapat bukti pasti kolonisasi MRSA pada orang-orang yang
tinggal di sekitarnya
- Tinggal di fasilitas kesehatan dalam jangka waktu yang lama
atau kontak berulang dengan penghuninya
- Penggunaan obat secara intravena
- Penggunaan kateter
- Kondisi medis yang menyertai
2.3.4 Cara Penyebaran
Staphylococcus aureus banyak ditemukan pada lipatan kulit,
seperti di penineum dan aksilla, dan di nares anterior. Bakteri ini juga
dapat berkolonisasi di luka yang kronik, contohnya pada eksem,
varises, dan ulkus decubitus. Bakteri MRSA dapat menyebar dengan
cara yang sama dengan penyebaran bakteri Staphylococcus aureus yang
masih sensitif. Bakteri ini dapat menyebar dengan cara sebagai berikut
(Royal College of Nursing, 2005):
a. Penyebaran endogen
Penyebaran endogen dapat terjadi jika orang dengan bakteri
stafilokok, menyebarkan bakteri dari satu bagian tubuh mereka ke
bagian tubuh yang lain. Ajarkan pasien untuk mencuci tangan dan
jangan menyentuh luka, kulit yang rusak, atau alat-alat yang invasif.
Cara ini dapat meminimalisir penyebaran secara endogenus (Royal
College of Nursing, 2005).
Page 44
26
b. Penyebaran eksogen
Penyebaran ini terjadi dari satu individu ke individu lain melalui
kontak kulit langsung atau melalui lingkungan atau peralatan yang
terkontaminasi. Kulit yang bersisik bisa saja mengontaminasi
lingkungan jika mereka terlepas dan mengontaminasi lingkungan
sekitarnya (Royal College of Nursing, 2005).
2.3.5 Cara Mendeteksi MRSA
Terdapat dua metode untuk mengetahui adanya MRSA, yaitu
metode molekular dan metode konvensional. Beberapa penelitian telah
dikembangkan untuk menilai penggunaan metode molekuler secra
langsung mendeteksi MRSA dengan menggunakan dasar gel dan real-
time PCR, penyelidikan DNA, serta penyelidikan asam nukleat peptida.
Kelemahan cara ini adalah memerlukan alat yang khusus serta
seseorang yang ahli (Biantoro, 2008).
Untuk dapat mengidentifikasi MRSA secara konvensional,
dibutuhkan beberapa media agar, antara lain media Manitol Salt Agar
(MSA). MSA merupakan media yang mengandung manitol yang
merupakan suatu karbohidrat yang dapat dijadikan media pertumbuhan
bakteri. Media MSA peting untuk melakukan identifikasi bakteri
stafilokokus. MSA dengan kandungan natrium klorida (garam) sebesar
2% direkomendasikan oleh British Society for Antimicrobial
Chemoteraphy (BSAC) dan National Comittee for Clinical Laboratory
Standard (NCCLS) yang pada saat ini telah digunakan luas di seluruh
dunia. MSA natrium klorida (garam) yang dapat menjadi penghambat
Page 45
27
bagi pertumbuhan bakteri gram negatif. Selain itu, media MSA juga
memiliki indikator pH yang disebut sebagai phenol red. Media MSA
merupakan media yang bekerja dengan prinsip bahwa bakteri yang
dapat tumbuh pada media ini adalah bakteri yang tahan pada keadaan
garam yang tinggi dan selama pertumbuhan bakteri menghasilkan asam,
sehingga mengubah indikator pH dan mengubah warna merah menjadi
warna kuning (Mainous III et al, 2006; Yuwono, 2012).
Agar darah merupakan media yang paling banyak digunakan untuk
bakteri yang sukar tumbuh dikarenakan pada media ini terdapat darah
domba yang berguna sebagai sumber nutrisi yang dibutuhkan bakteri.
Media pada dasarnya terdiri dari sumber protein (pepton), protein
kedelai olahan (mengandung karbohidrat), NaCl, agar, dan darah
domba dengan konsentrasi 5%. Bakteri yang menghasilkan enzim
ekstraseluler dapat melisiskan sel darah domba pada media agar
(Mahmudah, 2013). Terdapat tiga bentuk hemolisis darah, antara lain:
a. -hemolisis yang hanya menghemolisa sebagian hemoglobin (tidak
sempurna) dan akan membentuk zona kehijauan (meninggalkan
pigmen hijau biliverdin) hingga coklat muda di sekitar koloni.
b. -hemolisis yang akan membentuk zona jernih di sekitar koloni,
bakteri ini memproduksi -hemolisis (Streptolisin O dan S), yang
akan melisiskan hemoglobin secara sempurna.
c. -hemolisis yang tidak dapat menghemolisis darah sama sekali
sehingga tidak terbentuk zona hemolisis di sekeliling koloni.
Page 46
28
2.4 Resistensi Antibiotik
Resistensi antibiotik didefinisikan sebagai tidak terhambatnya
pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistematik dengan
dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimal. Sedangkan
multiple drugs resistant didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua atau
lebih obat maupun golongan obat, sedangkan cross resistant adalah resistensi
suatu obat yang diikuti oleh obat lain yang belum pernah dipaparkan.
Resistensi terjadi saat bakteri berubah dalam satu dan lain hal yang
menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas terhadap obat, senyawa, atau
bahan kimia lain yang digunakan dalam pengobatan (Utami, 2012).
Penyebab utama dari resistensi antibiotik adalah penggunaannya yang
meluas dan digunakan secara irasional. Penggunaan antibiotik secara luas
dalam waktu yang lama merupakan proses seleksi, sehingga galur mutan pada
bakteri akan berkembang biak menjadi dominan pada populasi bakteri
tersebut dan pada akhirnya terjadi mutasi pada bakteri. Lebih dari separuh
pasien di rumah sakit menerima antibiotik sebagai pengobatan ataupun
profilaksis. Sekitar 80% penggunaan antibiotik dipakai untuk kepentingan
manusia dan sedikitnya 40% penggunaannya berdasarkan indikasi yang
kurang tepat, seperti pada kasus infeksi virus (Sudigdoadi, 2001; Utami,
2012).
Methicillin pertama kali diperkenalkan pada tahun 1959, dan MRSA
pertama kali ditemukan di Inggris pada tahun 1961 sebagai infeksi yang
berhubungan dengan rumah sakit. Sejak saat itu, lima strain besar dan
beberapa clone bakteri terus berkembang. Methicillin merupakan antibiotik
Page 47
29
yang tahan terhadap enzim -laktamase yang dihasilkan oleh bakteri MRSA
(Elston, 2007; Liana, 2014).
2.4.1 Kelas Resistensi Staphylococcus
Karena seringnya galur resistensi obat antimikroba, isolat bakteri
stafilokok yang bermakna harus diuji kerentanan antimikrobanya guna
memilih terapi yang cocok. Resistensi stafilokok dibagi menjadi
beberapa kelas, antara lain (Brooks et al, 2012):
a. Galur Staphylococcus aureus yang resisten terhadap penisilin G,
ampisilin, sefalosporin, tetrasiklin, piperasilin, dan obat yang serupa.
Resistensi ini terjadi karena bakteri memproduksi enzim penisilinase
(-laktamase) yang dikendalikan oleh plasmid. Galur ini meliputi
95% galur bakteri Staphylococcus aureus di dalam masyarakat
Amerika Serikat.
b. Resistensi terhadap nafsilin dan terhadap methicillin serta oksasiklin.
Resistensi ini bersifat bebas dari produksi -laktamase dan insiden
klinisnya bervariasi di berbagai negara dari waktu ke waktu. MRSA
berhubungan dengan bakteri Staphylococcus aureus yang memiliki
gen mecA yang juga dikenal dengan SCCmec (Brooks et al, 2012);
Ibrahim et al, 2017).
c. Di Amerika Serikat, bakteri Staphylococcus aureus dianggap sensitif
terhadap vankomisin jika konsentrasi penghambat minimumnya
(minimum inhibitory concentration, MIC) kurang atau sama dengan
Page 48
30
4 g/mL. Kerentanan intermediate jika MIC antara 8 g/mL sampai
16 g/mL dan resistan jika MIC 16 g/mL. Mekanisme resistensi
berhubungan dengan peningkatan sintesis dinding sel serta
perubahan dinding sel dan bukan sebagai akibat dari gen van seperti
yang ditemukan pada bakteri enterokokus. Strain Staphylococcus
aureus yang kerentanan terhadap vankomisinnya intermediate,
biasanya resisten terhadap nefsilin tetapi pada umumnya sensitif
terhadap oksazolidinon dan quinupristin/dalfopristin.
d. Pada tahun 2002, strain vancomycin-resistant Staphylococcus
aureus (VRSA) yang diisolat dari pasien di Amerika Serikat
mengandung gen vanA resistan vankomisin dan enterokokus, dan
gen mecA resistan nafsilin.
e. Resistensi yang diperantai plasmid terhadap obat-obat seperti
tetrasiklin, eritromisin, aminoglikosida, dan obat-obat lain sering
terjadi pada bakteri stafilokokus.
2.4.2 Mekanisme Resistensi MRSA
Mekanisme kerja obat antimikroba antara lain dengan menginhibisi
sintesis dinding sel, inhibisi fungsi membran sel, inhibisi sintesis
protein, dan inhibisi sintesis asam nukleat. Banyak mekanisme yang
akan menyebabkan mikroorganisme menjadi resistan terhadap
antimikroba tertentu (Brooks et al, 2012).
Mekanisme terjadinya resistensi dapat melalui beberapa cara.
Pertama adalah, organisme memiliki gen yang mengode enzim yang
akan memproduksi enzim -laktamase. Enzim ini dapat
Page 49
31
menghancurkan agen antimikroba sebelum agen tersebut dapat bekerja.
Kedua, bakteri dapat memiliki pompa penembus yang akan
menghambat agen antimikroba sebelum dapat mencapai tempat
perlekatan target dan memberikan efeknya. Ketiga, beberapa bakteri
memiliki beberapa gen yang mempengaruhi jalur metabolisme yang
nantinya akan menghasilkan perubahan pada dinding sel bakteri.
Perubahan ini mengakibatkan dinding sel tidak lagi memiliki tempat
perlekatan untuk agen antimikroba, atau bakteri akan bermutasi dan
membatasi akses dari agen antimikroba ke tempat perlekatan target
intraseluler melalui down regulation gen porin (Tenover, 2006).
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat
memproduksi enzim -laktamase. Enzim ini akan menghilangkan daya
antimikroba terutama pada antimikroba golongan penisilin, oksasilin,
penisilin G, dan ampisilin. Dengan diproduksinya enzim tersebut akan
merusak cincin -laktam sehingga antimikroba menjadi non-aktif
(Sulistiyaningsih, 2010).
Semua antibiotik golongan -laktam bersifat inhibitor selektif
terhadap sintesis dinding sel bakteri, dengan begitu obat ini akan aktif
pada bakteri dengan masa pertumbuhan. Tahap awal kerja antimikroba
ini dimulai dengan pengikatan dengan reseptor sel bakteri yaitu
penicilin-binding protein (PBP). Setelah obat melekat pada suatu atau
lebih reseptor, maka reaksi transpeptidasi akan dihambat dan
selanjutnya sintesis peptidoglikan akan dihambat. Tahap selanjutnya
adalah inaktivasi serta hilangnya inhibitor enzim-enzim autolitik pada
Page 50
32
dinding sel. Akibatnya adalah terjadi aktivasi enzim-enzim litik yang
menyebabkan lisis bakteri (Sudigdoadi, 2001).
Mekanisme resistensi terhadap methicillin terjadi dengan
pembentukan PBP baru yang sudah di modifikasi, yaitu PBP2a yang
mengakibatkan menurunnya afinitas obat golongan -laktam. Suatu
strain bakteri yang memiliki resistensi terhadap methicillin berarti juga
akan memiliki resistensi terhadap semua derivat penisilin, sefalosporin,
dan karbapenem (Salmenlinna, 2002).
Klasifikasi -laktamase sangat kompleks, didasarkan pada
genetika, sifat biokimia, dan afinitas substrat untuk inhibitor -
laktamase (asam klavulanat). Asam klavulanat, sulbaktam, dan
tazobaktam adalah inhibitor -laktamase dan dapat mengikat -
laktamase misalnya pada penisilinase yang dihasilkan bakteri
Staphylococcus aureus. Pengikatan ini bersifat ireversibel tetapi tidak
dihidrolisis oleh -laktamase. Obat ini dapat menjadi terapi MRSA
melalui kombinasi dengan antimikroba golongan penisilin yang dapat
dihidrolisis dari penghancuran (ampisilin, amiksisilin, dan tikarsilin)
(Brooks et al, 2012).
Bakteri Staphylococcus aureus telah resistan terhadap beberapa
antimikroba, antara lain (Sulistiyaningsih, 2010):
a. Penisilin
Saat ini telah diketahui bahwa lebih dari 90% isolat Staphylococcus
aureus memproduksi penisilinase. Produksi enzim ini dimediasi oleh
gen blaZ.
Page 51
33
b. Methicillin
Resistensi terhadap obat ini terjadi karena adanya perubahan pada
PBP. Hal ini disebabkan oleh gen mecA yang mengode 78-kDa
penisilin pengikat protein 2a (PBP2a) yang memiliki afinitas yang
kecil terhadap agen antimikroba -laktam.
c. Kuinolon
Resistensi terhadap fluorokuinolon terjadi karena adanya mutasi
kromosomal spontan dalam target terhadap antimikroba atau dengan
induksi pompa effluks berbagai obat.
d. Vankomisin
Penurunan sensitifitas terhadap vankomisin terjadi karena adanya
perubahan dalam biosintesis peptidoglikan bakteri tersebut.
e. Kloramfenikol
Resistensi terhadap obat ini terjadi karena adanya enzim yang
menginaktivasi kloramfenikol dengan mengkatalisis proses asilasi
terhadap gugus etil berupa asetil koenzim A. Akibatnya, akan
dihasilkan derivat asetoksi kloramfenikol yang tidak mampu
berikatan dengan ribosom bakteri.
2.5 Intensive Care Unit (ICU)
Ruang perawatan intensif (Intensive Care Unit, ICU) merupakan
fasilitas untuk merawat pasien-pasien dalam keadaan yang belum stabil
sesudah operasi berat atau bukan karena operasi berat yang memerlukan
pemantauan secara intensif dan ketat atau memerlukan tindakan segera
Page 52
34
(Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2012). Pelayanan kesehatan
kritis diberikan pada pasien yang sedang mengalami penyakit yang kritis
selama kedaruratan medis dan masa kritis. Pelayanan intensif adalah
pelayanan spesialis untuk pasien yang sedang dalam keadaan yang
mengancam jiwanya dan membutuhkan pelayanan yang komperhensif dan
pemantauan secara terus menerus. Pelayanan kritis biasanya dilakukan di ICU
(Murti, 2009).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang pedoman penyelenggaraan pelayanan
ICU di rumah sakit, ICU digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit,
cidera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial
mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih reversibel
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
2.6 Kerangka Teori
Pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit
Tidak terdapat
kolonisasi MRSA
Terdapat kolonisasi
MRSA
Infeksi
Page 53
35
Keterangan:
: variabel yang diteliti
Gambar 3 Kerangka Teori.
2.7 Kerangka Konsep
Gambar 4 Kerangka Konsep.
2.8 Hipotesis
Terdapat kolonisasi MRSA pada pasien yang di rawat di ruang Intensive
Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar
Lampung dengan prevalensi 25-50%.
Pasien yang dirawat di ruang
Intensive Care Unit Rumah
Sakit Umum Daerah Abdul
Moeloek Bandar Lampung
(Variabel Bebas)
Kolonisasi MRSA (pada
pasien yang dirawat di ICU)
(Variabel Terikat)
Page 54
36
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif laboratorik dengan
pendekatan cross sectional, yaitu dengan cara mengumpulkan data pada satu
waktu dengan tujuan mendapatkan sampel swab, kemudian melakukan
kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus yang diambil dari swab hidung dan
tangan pasien yang di rawat di ruang Intensuve Care Unit (ICU) Rumah Sakit
Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung untuk mengetahui adanya
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Setelah kolonisasi
MRSA diketahui, maka dilakukan analisis untuk mengetahui prevalensinya.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan sampel untuk penelitian ini dilaksanakan di ruang Intensive
Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar
Lampung pada pasien yang di rawat di ruang tersebut, sedangkan untuk
pemeriksaan dan identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung pada bulan Oktober 2018-
November 2018.
Page 55
37
3.3 Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien yang di rawat di
ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar
Lampung.
a. Kriteria Inklusi
Pasien yang dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah
Abdul Moeloek Bandar Lampung pada periode Oktober hingga
November 2018.
b. Kriteria Eksklusi
Pasien dalam keadaan tidak kooperatif sehingga tidak
memungkinkan dilakukannya swab pada hidung dan telapak tangan.
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel yaitu
consecutive sampling. Semua pasien ICU yang datang secara berurutan
atau pergantian pasien di ruang ICU dan memenuhi kriteria inklusi akan
masuk ke dalam sampel penelitian sampai data yang dibutuhkan cukup.
Page 56
38
3.3.3 Besar Sampel
Besar sampel yang digunakan pada penelitian kali ini yaitu
menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
n : Sampel
: Tingkat kemaknaan (ditetapkan: 1,96)
P : Proporsi (dari pustaka: 0,076)
Q : 1-P (1-0,076=0,924)
d : Tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki (ditetapkan:
0,10)
Proporsi didapatkan berdasarkan hasil penelitian angka kejadian yang
dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2011
dan 2014 (7,60%) (Linosefa, 2016). Berdasarkan keterangan di atas,
maka dapat dihitung:
....
Berdasarkan rumus di atas, maka jumlah sampel yang diperlukan
adalah 30 sampel.
Page 57
39
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas (independent) pada penelitian ini adalah pasien-
pasien yang dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah Abdul
Moeloek Bandar Lampung.
3.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kolonisasi bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang ada pada
pasien ICU Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung.
3.5 Definisi Operasional
Tabel 2 Definisi Operasional.
Variabel Definisi
Operasional
Alat Ukur Cara
Ukur
Hasil
Ukur
Skala
Ukur
Pasien ICU Pasien yang dirawat
di ruang ICU
Rumah Sakit
Umum Daerah
Abdul Moeloek
Bandar Lampung
Pengamatan
di ruang ICU
Melihat
langsung
pasien
dirawat
di ruang
ICU
Ya atau
tidak
Kategorik
(nominal)
Kolonisasi
MRSA
Bakteri MRSA
yang membentuk
koloni pada tubuh
pasien
Media
tumbuh dan
disk
Cefoxitine
Kultur
pada
media
dan uji
resistensi
Ada
(diameter
hambat
cefoxitin 22mm
pada salah
satu
spesimen)
atau tidak
ada
(diameter
hambat
cefoxitin 21 mm
pada
kedua
spesimen)
Kategorik
(nominal)
Page 58
40
3.6 Alat dan Bahan Penelitian
3.6.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat
standar yang dipakai pada laboratorium mikrobiologi, seperti inkubator,
autoklaf, pinset, bunsen, cawan petri, lidi kapas steril, tabung reaksi,
ose, rak beserta tabung reaksi, mikroskop, pipet mikro, cawan petri,
serta peralatan lain yang lazim digunakan di laboratorium mikrobiologi.
3.6.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain:
a. Isolat bakteri yang diambil dari swab hidung dan telapak tangan
pasien-pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU)
Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.
b. Cakram Antibiotik cefoxitin 30 g.
c. Media Manitol Salt Agar (MSA) dan media Agar Muller Hinton
(MHA).
3.7 Prosedur Penelitian
3.7.1 Sterilisasi alat
Alat yang akan digunakan dalam penelitian dibersihkan dan
dikeringkan terlebih dahulu kemudian dibungkus dengan kertas
perkamen, sedangkan alat-alat seperti gelas (tabung reaksi) ditutup
dengan kapas lalu dibalut dengan kassa dan kemudian dibungkus
dengan menggunakan kertas perkamen. setelah itu disterilisasi di oven
Page 59
41
pada suhu 160
C selama kurang lebih 1 jam. Sterilisasi ini dilakukan
untuk membersihkan alat atau media dari jasad renik (Mahmudah,
2013).
3.7.2 Pembuatan Manitol Salt Agar (MSA)
Bahan yang digunakan pada pembuatan MSA terdiri dari 10 gr
pepton, 10 gr manitol, 15 gr agar, 75 gr sodium klorida, 0,25 Phenol
red. prosedur untuk membuat agar ini antara lain:
a. Bahan dilarutkan dalam 500 ml aquades, kemudian dipanaskan
sampai bahan-bahan tersebut terlarut sempurna.
b. Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada tekanan 1 atm dan
suhu 121
C selama kurang lebih 15 menit.
c. Media didinginkan sampai teraba hangat, kemudian dituangkan ke
dalam cawan petri steril.
d. media dibiarkan menjad padat (membeku) (Mahmudah, 2013).
3.7.3 Isolasi Spesimen Staphylococcus aureus
Isolat yang sebelumnya telah diambil dari pasien yang dirawat di
ruang ICU, kemudian ditanam pada media nutrient agar, lalu
diinkubasi pada suhu 37
C selama 24 jam (Mahmudah, 2013).
3.7.4 Pewarnaan Gram
Kolonisasi bakteri yang terdapat pada media nutrien agar
kemudian diambil untuk dilakukan pewarnaan gram. Pertama yang
harus dilakukan adalah mempersiapkan kaca objek dengan cara
dibersihkan dan dilewatkan di atas api, setelah itu diberi label pada
Page 60
42
pinggir kaca objek. Setelah kaca objek bersih, kemudian dibuat
lingkaran berbentuk oval dengan menggunakan spidol. Koloni bakteri
yang sebelumnya sudah tumbuh kemudian diambil dengan
menggunakan ose bulat yang sudah dipanaskan dan didinginkan
sebelumnya. Prosedur ini harus dilakukan di dekan lampu bunsen.
Koloni yang sudah ada pada ose bulat selanjutnya diapuskan pada
bagian tengah kaca objek di dalam bentuk oval yang sebelumnya telah
dibuat. Panaskan kembali ose yang sudah selesai dipakai dan kaca
objek yang sudah terdapat apusan selanjutnya difiksasi dengan cara
dilewatkan di atas api sebanyak tiga kali secara perlahan (Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, 2016).
Prosedur pewarnaan gram dimulai dengan meletakkan kaca objek
pada rak pewarnaan dan kemudian genangi seluruh permukaan koloni
yang sudah terfiksasi dengan crystal violet. Biarkan selama 60 detik,
kemudian bilas kaca objek dengan air mengalir selama 5 detik. langkah
berikutnya yaitu apusan pada kaca objek digenangi dengan larutan
iodine dan dibiarkan selama 60 detik, lalu dibilas kembali
menggunakan air mengalir selama 5 detik. berikutnya dilakukan
penambahan etanol selama 15-30 detik dengan cara diteteskan sedikit
demi sedikit. Langkah terakhir meliputi penambahan safranin pada
apusan dengan cara digenangi, biarkan selama 1 menit dan kemudian
apusan dibilas dengan air mengalir selama 5 detik. setelah prosedur
selesai, kaca objek dikeringkan secara perlahan dan kemudian dapat
Page 61
43
dilihat di bawah mikroskop (Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung, 2016).
3.7.5 Uji Katalase
Uji katalase dilakukan dengan cara meletakkan 1 sampai 2 tetes
H2O2 pada kaca objek. Kolonisasi bakteri yang sebelumnya sudah
tumbuh pada nutrien agar diambil dengan menggunakan ose bulat yang
sebelumnya sudah dipanaskan dan didinginkan, kemudian tambahkan
koloni tersebut ke dalam tetesan H2O2. Hasil positif akan menghasilkan
buih padan campuran H2O2 dan kolonisasi bakteri (Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma, 2016).
3.7.6 Pembuatan Larutan McFarland
Membuat larutan McFarland dilakukan dengan mencampur 0,5 ml
1,175% BaCl2 2 H2O dengan 99,5 ml larutan H2SO4 1% hingga
akhirnya volume menjadi 100 ml dan kemudian dikocok hingga larutan
homogen (Maliku, 2010).
3.7.7 Pengukuran Sensitivitas Antibiotik
a. Setelah didapatkan pertumbuhan koloni pada nutrient agar, lalu
dengan menggunakan ose bulat, koloni ditanamkan pada media
Manitol Salt Agar (MSA) dan kemudian didiamkan 2-5 menit agar
bakteri dapat meresap ke dalam media. Setelah itu kultur diinkubasi
pada suhu 37
C selama 24-48 jam. Kemudian perhatikan perubahan
warna yang terjadi pada media. Apabila media berubah menjadi
Page 62
44
kuning, dapat dipastikan bahwa bakteri tersebut dapat tumbuh di
suasana garam serta dapat memfermentasi manitol. Prubahan warna
pada media menandakan bakteri tersebut adalah Staphylococcus
aureus.
b. Kultur positif Staphylococcus aureus ditanam kembali pada media
nutrient broth dan kemudian diinkubasi selama 6 jam atau lebih
sampai kekeruhan sama dengan kekeruhan larutan McFarland 0,5.
Kemudian ditanamkan kembali pada media Agar Muller Hinton
(MHA).
c. Cakram cefoxitin kemudian diletakkan pada kultur media Agar
Muller Hinton tersebut dengan menggunakan pinset. Jarak antara
cakram satu dengan cakram lainnya diatur kurang lebih sejauh 15
mm. Jarak ini bertujuan agar didapatkan kontak yang baik antara
cakram obat dengan bakteri, kemudian diinkubasi lagi pada suhu 37
C selama 24 jam.
d. Zona hambat yang terbentuk kemudian diukur dengan menggunakan
jangka sorong. Pengukuran ini menggunakan satuan milimeter (mm)
(Mahmudah, 2013).
3.7.8 Pengambilan Spesimen
Pertama-tama, untuk mengetahui apakah pasien yang dirawat di
ruang Intensive Care Unit (ICU) memiliki koloni di tubuh mereka,
dapat dilakukan swab pada hidung dan tangan pasien. Isolat diambil
dengan menggunakan lidi kapas steril yang sebelumnya telah dibasahi
dengan Nutrien Broth. Isolat diambil dari lubang hidung dengan cara
Page 63
45
memasukkan lidi kapas steril tersebut ke dalam lubang hidung sampai
terasa adanya tahanan pada daerah turbinat sedalam kurang lebih 1,5
cm, selanjutnya lidi kapas steril ditarik keluar secara perlahan dan
jangan sampai menyentuh area cavum nasi yang lain. Isolat dari telapak
tangan pasien diambil dengan cara lidi kapas steril yang sudah dibasahi
dengan Nutrien Broth diusap dengan cukup kuat pada kedua tangan dan
selah jari. Selama melakukan swab, lidi kapas steril perlu diputar secara
perlahan (dipelintir) agar terkumpul sebanyak mungkin bakteri yang
tersebar merata di ujung kapas. Setelah prosedur swab selesai,
masukkan lidi kapas steril ke dalam media Carry and Blair dan
kemudian di bawa ke laboratirium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung dengan menggunakan cool box (Universitas
Sebelas Maret, 2015; Wati, 2015; Oktaviani dan Mas’ari, 2017).
Page 64
46
3.8 Skema Prosedur Penelitian
Gambar 5 Skema Prosedur Penelitian.
Telah lulus Ethical Clearence dan telah terbit izin
untuk melakukan penelitian
Pengambilan Spesimen pada pasien yang dirawat di
ruang ICU (swab hidung dan tangan)
Spesimen digoreskan pada nutrient agar, lalu
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37
C
Spesimen (koloni yang tumbuh di nutrient agar),
digoreskan pada media Manitol Salt Agar (MSA),
lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37
C
Tidak terdapat
perubahan warna
(tidak terjadi
fermentasi
manitol)
Terdapat perubahan
warna (merah-kuning)
yang artinya terjadi
fermentasi manitol
(sudah pasti bakteri
Staphylococcus aureus)
Spesimen digoreskan
kembali pada media
Agar Muller Hinton
(MHA) setelah
kekeruhan sama
dengan McFarland 0,5
Inkubasi selama 24 jam pada suhu 37
C
Meletakkan cakram
cefoxitin pada media
yang sudah digores
dengan bakteri
Hasil zona lisis pada
kultur yang di lakukan
di media Agar Muler
Hinton (MHA)
Sensitif
( 22mm)
Resistant
( 21 mm)
Analisis data dan
mencari
prevalensi
kolonisasi MRSA
Pewarnaan gram (bakteri coccus gram positif) dan
uji katalase (positif)
Koloni yang tumbuh
Didapatkan hasil bakteri Staphylococcus sp.
Identifikasi dengan mengukur
diameter
Page 65
47
3.9 Etika Penelitian
Penelitian ini sudah mendapatkan Ethical Clearence Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor
3533/UN26.18/PP.05.02.00/2018.
3.10 Analisa Data
Data yang didapat pada penelitian ini akan diolah dengan menghitung
jumlah persentase dari kolonisasi MRSA dari seluruh sampel yang
dibutuhkan dan disajikan dalam bentuk tabel.
Page 66
53
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Prevalensi kolonisasi bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) pada pasien yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU)
Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung adalah sebesar
37,50%.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian dengan menambah jumlah sampel dan
pengambilan spesimen di lebih dari dua tempat.
2. Perlu pemeriksaan secara berkala untuk mengetahui prevalensi MRSA.
Page 67
54
DAFTAR PUSTAKA
Amalia B. 2012. Kejadian Kolonisasi Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus ( MRSA ) dan Hubungannya dengan Riwayat Rawat Sebelum
Masuk ICU pada Pasien ICU Pusat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
tahun 2011. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ammerlaan H and Kluytmans J. 2010. Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) colonization. Dalam: Cohen, J., Powderly, W., Opal, S.M.,
penyunting. Infectious Diseases. Edisi ke-3. Birmingham: Elsevier.
Biantoro I. 2008. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. (Tesis).
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Bonar E, Wójcik I, dan Wladyka B. 2015. Proteomics in studies of
Staphylococcus aureus virulence. Acta Biochimica Polonica. 62(3):367–81.
Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA, penyunting. 2012.
Jawetz, Melnick, & Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 25. Jakarta:
EGC.
Brown AF, Leech JM, Rogers TR, dan McLoughlin RM. 2014. Staphylococcus
aureus Colonization: Modulation of Host Immune Response and Impact on
Human Vaccine Design. Frontiers in Immunology: 4(507):1-20.
Centers for Disease Control and Prevention. 2016. General Information About
MRSA in the Community. Tersedia di:
https://www.cdc.gov/mrsa/healthcare/ (Diakses pada tanggal 26 Desember
2017).
Centers for Disease Control and Prevention. 2017. General Information About
MRSA in Healthcare Settings. Tersedia di:
http://archsurg.jamanetwork.com/
article.aspx?doi=10.1001/jamasurg.2017.0904 (Diakses pada tanggal 26
Desember 2017).
Chuang YY dan Huang YC. 2013. Molecular epidemiology of community-
associated meticillin-resistant Staphylococcus aureus in Asia. The Lancet
Page 68
55
Infectious Diseases. Elsevier Ltd. 13(8):698–708.
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. 2012. Pedoman Teknis Ruang
Perawatan Intensif Rumah Sakit. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Elston DM. 2007. Community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus
aureus. Journal of the American Academy of Dermatology. 56(1):1–16.
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. 2016. Panduan Pratikum
Mikrobiologi 2016. Depok: Fakultas Farmasi Universitas Snata Dharma.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 2016. Buku Panduan Clinical Skill
Laboratory 2 Semester 2 T . A 2015 / 2016. Bandar Lampung: Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
Granslo HN et al. 2011. Staphylococcus epidermidis - Virulence Factors and
Innate Immune Response. Norwegia: University of Tromsø.
Giancola SE, Nguyen AT, Le B, Ahmed O, Higgins C, Sizemore JA et al. 2016.
Clinical Utility of a Nasal Swab Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus Polymerase Chain Reaction Test in Intensive and Intermediate Care
Unit Patients With Pneumonia. Diagnostic Microbiology & Infectious
Disease. 86(3):307-10.
Green BN, Johnson CD, Egan JT, Rosenthal M, Griffith EA, dan Evans MW.
2012. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus: An overview for manual
therapists. Journal of Chiropractic Medicine. Elsevier B.V. 11(1):64–76.
Ibrahim OMA, Bilal NE, Osman OF, dan Magzoub MA. 2017. Assessment of
methicillin resistant Staphylococcus Aureus detection methods: analytical
comparative study. Pan African Medical Journal. 27(281):1–7.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010. Jakarta:
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Kosnik IG, Dermota U, Ribic H, Storman A, Pertovic Z, dan Cretnik TZ. 2017.
Evaluation of Single vs Pooled Swab Cultures for Detecting MRSA
Colonization. Journal of Hospital Infection. 98(2018):149-54.
Kusuma SAF. 2009. Staphylococcus aureus. Jatinangor: Universitas Padjadjaran.
Lautenbach E, Nachamkin I, Hu B, Fishman NO, Tolomeo P, Prasad P et al.
2009. Surveillance Cultures for Detection of Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus: Diagnostic Yield of Anatomic Sites and
Comparison of Provider-and Patient-Collected Samples. Infection Control
and Hospital Epidemiology. 30(4):380-2.
Page 69
56
Lee AS, Huttner B, dan Harbarth S. 2016. Prevention and Control of Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus in Acute Care Settings. Infectious Disease
Clinics of North America. 30(4):931–52.
Liana P. 2014. Gambaran Kuman Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Patologi Klnik Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Periode Januari-Desember 2010.
Jurnal kedokteran dan Kesehatan. 46(3):171–5.
Linosefa, Lestari CL, Kusumaningrum A, Karuniawati A, dan Yasmon A. 2016.
Prevalensi Isolat MRSA Penghasil Panton-Valentine Leukocidin Pada
Pasien ICU Rumah Sakit Tersier. Majalah Kedokteran Andalas. 39(1):1–10.
Mahmudah R. 2013. Identifikasi Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus
(MRSA) Pada Tenaga Medis Dan Paramedis Di Ruang Intensivecare Unit
(ICU) Dan Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Abdul
Moeloek. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Mainous III AG, Hueston WJ, Everett CJ, dan Diaz VA. 2006. Nasal Carriage of
Staphylococcus aureus and Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus in
the United States, 2001-2002. Annals of family medicine. 4(2):132-7.
Maliku P. 2010. Pola Resistensi Isolat Bakteri Pada Luka Post Operasi di Bagian
Rawat Inap Bedah RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
(Skripsi). Bandar Lampung: Universitas Lampung
Marzec NS dan Bessesen MT. 2016. Risk and Outcomes of Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) Bacteremia Among Patients Admitted
With and Without MRSA Nares Colonization. American Journal of
Infection Control. 44(4):405–8.
Meta DT, Endarin R, dan Sembiring LP. 2014. Identifikasi dan Resistensi Bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dari Ulkus
Diabetikum Derajat I dan II Wagner di Bagian Penyakit Dalam RSUD
Arifin Achmad. Pekanbaru: Universitas Riau.
Murti B. 2009. Mendesak, Kebutuhan untuk Memperbaiki Pelayanan Intensif
Bayi dan Anak. Jurnal Kedokteran Indonesia. 1(1):1–3.
Nathwani D, Davey PG, dan Marwick CA. 2010. MRSA: treating people with
infection. Clinical evidence. 10(922):1–18.
Nurkusuma DD. 2009. Faktor yang Berpengaruh Terhadap KejadianMethicillin-
Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi Luka Pasca
Operasi di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Page 70
57
Oktaviani SY dan Mas’ari N. 2017. Identifikasi Staphylococcus aureus Sebelum
dan Sesudah Mencuci Tangan Dengan Sabun Antiseptik pada Swab Tangan
Perawat di Ruang OK RSUD Petala Bumi Pekanbaru. Jurnal Analis
Kesehatan Klinikal Sains. 5(2):46–9.
Otto M. 2014. Staphylococcus aureus toxins. Current Opinion in Microbiology.
Elsevier Ltd. 17(1):32–7.
Raz R, Colodner R, dan Kunin CM. 2005. Who are you - Staphylococcus
saprophyticus?. Clinical Infectious Diseases. 40(6):896–8.
Rijnders MIA, Deurenberg RH, Boumans MLL, Hoogkamp-Korstanje JAA,
Baisser PS, Stobberingh EE et al. 2009. Population structure of
Staphylococcus aureus strains isolated from intensive care unit patients in
The Netherlands over an 11-year period (1996 to 2006). Journal of Clinical
Microbiology. 47(12):4090–4095.
Royal College of Nursing. 2005. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA), Guidance for Nursing Staff. London: Royal College of Nursing.
Salmenlinna S. 2002. Molecular Epidemiology of Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus in Finland. (Disertasi). Helsinki: University of
Helinski.
Sangal V, Girvan K, Jadhav S, Vali L, Edwards GFS, Yu J et al. 2011. Molecular
Characterization of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus from
Intensive Care Unit in Aberdeen Royal Infirm, Scotland. Journal of
Infection. 63(6):38-9.
Sari PK. 2016. Faktor Risiko Pasien Dengan Kolonisasi Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga.
Sudigdoadi S. 2001. Mekanisme Timbulnya Resistensi Antibiotik Pada Infeksi
Bakteri. Jatinangor: Universitas Padjajaran.
Sulistiyaningsih. 2010. Uji Kepekaan Beberapa Sediaan Antiseptik Terhadap
Bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus aureus Resisten
Metisilin (MRSA). Jatinangor: Universitas Padjadjaran.
Tenover F. 2006. Mechanism of Antimicrobial Resistant in Bacteria. the
American Journal of Medicine. 34(5 Suppl 1):S64-73.
Universitas Sebelas Maret. 2015. Keterampilan Pemeriksaan Telinga Hidung
Tenggorok, Buku Manual Smester 5. Surakarta: Fakultas Kedoteran
Universitas Negeri Sebelas Maret.
Page 71
58
Utami ER. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. SAINTIS.
1(1):124-38.
Wati HA. 2015. Pengaruh Berbagai Larutan Antiseptik Dalam Menghambat
Pertumbuhan Bakteri dari Swab Telapak Tangan. Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
Wijaya PR, Nuryastuti T, dan Praseno. 2014. Uji Kepekaan Bakteri Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus Terhadap Antibiotik Vancomycin Dengan
Metode Macrobroth Dilution. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
World Health Organization. 2009. WHO Guidelines on Hand Hygiene in
Healthcara. Geneva: World Health Organizaton.
World Health Organization. 2017. Global Priority List Of Antibiotic-Resistant
Bacteria To Guide Research, Discovery, And Development Of New
Antibiotics. World Health Organization.
World Health Organization. 2018. Antimicrobial resistance. [Online Article]
[diunduh pada 10 Agustus 2018]. Tersedia dari: http://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/antimicrobial-resistance.
Yuwono H. 2012. Staphylococcus aureus dan Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus ( MRSA ). Palembang: Universitas Sriwijaya.