ABSTRAK Tujuan : Membahas manajemen pasien hamil aterm dengan fetal compromised, ketuban pecah dini infected dan riwayat perdarahan ante partum et causa plasenta letak rendah belakang. Hasil : Pada tanggal 18 Juli 2012, pukul 02.00 seorang G 1 P 0 A 0 , 17 tahun, umur kehamilan 32 +5 minggu datang kiriman dari puskesmas dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir dan ketuban pecah sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tensi 130/80 mmHg, TFU 27 cm, janin tunggal, intra uterin, memanjang, presentasi kepala, punggung kiri, TBJ 2325 gram, HIS (-), denyut jantung janin (+) regular 12-12-13. Diagnosis fetal compromised, ketuban pecah dini 7 hari infected dengan riwayat perdarahan ante partum et causa plasenta letak rendah belakang pada primigravida hamil preterm belum dalam persalinan. Dikelola dengan injeksi Vicillin 1gr/8 jam, injeksi dexamethason 1 ampul / 12 jam dan terminasi kehamilan dengan operasi section seccarea transperitoneal profunda emergency. Lahir neonatus perempuan, 2300 gram, APGAR score : 7-8-9, lubang anus (+) dan kelainan kongenital (-). Kata kunci: fetal compromised, ketuban pecah dini, perdarahan ante partum, hamil preterm 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ABSTRAK
Tujuan : Membahas manajemen pasien hamil aterm dengan fetal compromised, ketuban pecah dini infected dan riwayat perdarahan ante partum et causa plasenta letak rendah belakang.
Hasil : Pada tanggal 18 Juli 2012, pukul 02.00 seorang G1P0A0, 17 tahun, umur kehamilan 32+5 minggu datang kiriman dari puskesmas dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir dan ketuban pecah sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tensi 130/80 mmHg, TFU 27 cm, janin tunggal, intra uterin, memanjang, presentasi kepala, punggung kiri, TBJ 2325 gram, HIS (-), denyut jantung janin (+) regular 12-12-13. Diagnosis fetal compromised, ketuban pecah dini 7 hari infected dengan riwayat perdarahan ante partum et causa plasenta letak rendah belakang pada primigravida hamil preterm belum dalam persalinan. Dikelola dengan injeksi Vicillin 1gr/8 jam, injeksi dexamethason 1 ampul / 12 jam dan terminasi kehamilan dengan operasi section seccarea transperitoneal profunda emergency. Lahir neonatus perempuan, 2300 gram, APGAR score : 7-8-9, lubang anus (+) dan kelainan kongenital (-).
Kata kunci: fetal compromised, ketuban pecah dini, perdarahan ante partum, hamil preterm
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KETUBAN PECAH DINI
1. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan. Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan.
Sekitar 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini. Bila
ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini
pada kehamilan prematur. Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan
(Sarwono, 2010).
2. Etiologi
Etiologi dari KPD tidak diketahui secara jelas, namun beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya KPD (Thaddeus et al, 2009):
a. Dilatasi serviks secara dini yang berhubungan dengan berat janin atau plasenta.
b. Infeksi pada vagina, uterus atau membran sekitar
c. Persalinan prematur
d. Amniosentesis
e. Defisiensi gizi dari tembaga atau vitamin C sebagai komponen kolagen.
3. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya KPD (Hariadi, 2004):
a. Kehamilan multiple
b. Riwayat kehamilan preterm sebelumnya
c. Koitus dengan higienitas buruk
d. Perdarahan pervagina
e. Bakteriuria
f. pH vagina diatas 4,5
g. Serviks yang tipis < 39 mm
h. Flora vagina abnormal
i. Kadar Corticotropic Releasing Hormone (CRH) maternal tinggi.
2
j. Inkompetensi serviks
4. Patogenesis
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus
dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi
perubahan biokimiawi yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh.
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraseluler matriks.
Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas
kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Kolagen terdapat pada
lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan retikuler korion dan trofoblas.
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang dihambat
oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease yang disebut metallopeptidase
inhibitor 1 (TIMP-1). Ketika mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP
dan TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraseluler dan
membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan
(Sarwono, 2010).
Penelitian yang lain mengungkapkan bahwa elastisitas selaput ketuban dapat
berkurang akibat infeksi bakteri. Bakteri penyebab infeksi adalah flora normal vagina
ataupun serviks. Selain itu, bakteriuria asimptomatik juga diduga menjadi penyebab
terjadinya ketban pecah dini. Mekanisme infeksi belum diketahui secara pasti. Namun
diduga akibat aktivitas uteri yang tidak diketahui yang menyebabkan perubahan
serviks yang memfasilitasi penyebaran infeksi. Faktor lain yang membantu
penyebaran infeksi adalah inkompetensia serviks dan vaginal toucher yang berulang-
ulang dan koitus. Proses infeksi dan inflamasi akan meningkatkan kadar interleukin 1
(IL-1) dan prostaglandin yang akan menghasilkan kolagenase jaringan sehingga
terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion yang menyebabkan selaput
ketuba menipis, lemah dan mudah pecah spontan (Hariadi, 2004).
Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD
prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang
pada korion dan amnion). Tanda-tanda infeksi pada ketuban pecah dini yaitu adanya
suhu tubuh ibu yang meningkat, angka leukosit lebih dari 15.000 ribu/ul, takikardi
maternal dan fetal, uterus pada perabaan lembek, serta air ketuban yang keruh dan
berbau.
3
5. Diagnosis
Diagnosis KPD ditegakkan dengan cara (Sarwono, 2010):
a. Anamnesis didapatkan riwayat keluarnya air ketuban berupa cairan jernih keluar
dari vagina yang bisa berlangsung tiba-tiba.
b. Inspekulo dilihat adanya cairan ketuban mengalir dari ostium uteri eksterna.
c. Pemeriksaan penunjang dengan Nitrazin tes positif ditandai dengan perubahan
warna kertas lakmus dari merah menjadi biru akibat pH cairan ketuban yang
bersifat alkalis, yaitu 7,1-7,3.
d. Pemeriksaan penunjang dengan Fern tes didapatkan hasil positif dengan ditemukan
gambaran pakis yang didapatkan dari air ketuban yang diperiksa secara
mikroskopis.
e. Pemeriksaan dengan USG mengkonfirmasi adanya oligohidramnion.
6. Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan (Sarwono, 2010):
a. Persalinan prematur
Setelah ketuban pecah, biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten
tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm, 90% terjadi dalam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan
dalam 24 jam. Pada kehamilan < 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu
b. Infeksi
Resiko infeksi ibu dan anak akan meningkat pada ketuban pecah dini. Pada
ibu terjadi korioamnionitis yaitu keadaan dimana korion, amnion dan cairan
ketuban terkena infeksi bakteri. Infeksi ini dapat berlanjut menjadi sepsis. Secara
spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum dan menjalar ke
uterus. Gejala korioamnionitis adalah demam, nadi cepat, berkeringat, uterus
pada perabaan lembek, dan cairan berbau keluar dari vagina. Pada ketuban pecah
dini prematur, infeksi lebih sering terjadi daripada aterm. Secara umum, insiden
infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan lamanya
periode laten.
c. Hipoksia dan Asfiksia
Pecahnya ketuban akan menyebabkan terjadi oligohidramnion sehingga dapat
meneka tali pusat, akibatnya sirkulasi uteroplasental terganggu dan terjadi
4
asfiksia atau hipoksia. Hipoksia yang lama, akan mengakibatkan terjadinya fetal
distress yang ditunjukkan dengan adanya deselerasi pada pemeriksan non-stress
test (NST).
d. Sindrom deformitas janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta
hipoplasi pulmonar.
7. Penatalaksanaan
KETERANGAN (Sarwono, 2010 dan Hariadi, 2004).
Terapi konservatif
- Jika umur kehamilan < 32-37 minggu dirawat di rumah sakit selama air ketuban
masih keluar atau sampai air ketuban tidak lagi keluar .
- Jika umur kehamilan 32-37 minggu belum inpartu tidak ada tanda infeksi
diberi dexamethason dosis 5 mg I.M setiap 6 jam sebanyak 4 kali dan dilakukan
observasi tanda infeksi dan kesejahteraan janin. Terminasi pada usia kehamilan
37 minggu.
- Jika usia kehamilan 32-37 minggu sudah inpartu, tanpa tanda infeksi berikan
tokolitik dan dexamethason, induksi persalinan sesudah 24 jam. Bila terdapat
5
TERMINASI
KETUBAN PECAH DINI
ATERM>37-40 MINGGU
BDPDP
PRETERM<32 - 37 MINGGU
KONSERVATIF TERMINASI
DENGAN INFEKSI
TANPAINFEKSI
LANJUTKAN PERSALINANSC
TERMINASIINDUKSI
SCINDUKSI
tanda infeksi berikan antibiotik, lakukan induksi, dan nilai tanda-tanda infeksi
(suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra uteri), Antibiotik yang diberikan adalah
ampisilin 4 x 500 mg dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
Terapi aktif
- Kehamilan > 37 minggu bila sudah in partu maka lanjutkan persalinan
- Kehamilan > 37 minggu, belum terjadi persalinan maka induksi dengan oksitosin
atau misoprostol dosis 25µg-50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila
gagal lakukan SC.
- Bila ada tanda-tanda infeksi, diberikan antibiotik dosis tinggi dan terminasi
persalinan dengan mempertimbangkan jumlah skor Bishop yaitu:
a. Bila skor Bishop < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika
tidak berhasil, terminasi dengan SC.
b. Bila skor Bishop >5, induksi persalinan dan partus pervaginam. Bila
terdapat infeksi berat, maka dilakukan SC
- Pada keadaan Disproporsi Kepala Panggul (DKP), letak lintang, terminasi dengan
SC
B. PLASENTA PREVIA
1) Definisi Dan Klasifikasi
Plasenta previa adalah keadaan plasenta berimplantasi rendah pada segmen
bawah rahim, menutupi atau tidak menutupi ostium uteri internum. (Saifuddin,
2008). Pada keadaan normal plasenta umumnya terletak di korpus uteri bagian depan
atau belakang agak ke arah fundus uteri.
Klasifikasi plasenta secara umum : (Saifuddin, 2008; Oppenheimer et al, 2007;
Cunningham, 2006)
1. Plasenta previa totalis atau komplit
Yaitu jaringan plasenta menutupi seluruh ostium uteri internum.
2. Plasenta previa parsialis
Yaitu apabila jaringan plasenta menutupi sebagian ostium uteri internum.
3. Plasenta previa marginalis
Yaitu plasenta yang tepinya terletak pada pinggir ostium uteri internum.
4. Plasenta previa letak rendah
Apabila jaringan plasenta berada kira-kira 2 cm di atas ostium uteri internum.
6
2) Insiden Dan Etiologi
Insiden terjadinya plasenta previa sekitar 1,7 – 2,9 % di indonesia (Saifuddin,
2008), dan di Amerika Serikat sekitar 0,3 – 0,5 % (Oyelese dan Smulian, 2006). Di
negara maju insidennya lebih rendah mungkin di sebabkan karena kurangnya wanita
hamil paritas tinggi.
Etiologi plasenta previa sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
namun ada beberapa teori dan faktor risiko yang berhubungan dengan plasenta
previa, diantaranya: (Shiner et al, 2001).
1. Ovum yang dibuahi tertanam sangat rendah di dalam rahim, menyebabkan
plasenta terbentuk dekat dengan atau di atas pembukaan serviks.
2. Lapisan rahim (endometrium) memiliki kelainan seperti fibroid atau jaringan
parut (dari previa sebelumnya, sayatan, bagian bedah caesar atau aborsi).
3. Hipoplasia endometrium : bila kawin dan hamil pada umur muda.
4. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil
konsepsi.
5. Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium.
6. Plasenta terbentuk secara tidak normal.
7. Kejadian plasenta previa tiga kali lebih sering pada wanita multipara daripada
primipara. Pada multipara, plasenta previa disebabkan vaskularisasi yang
berkurang dan perubahan atrofi pada desidua akibat persalinan masa lampau. Aliran
darah ke plasenta tidak cukup dan memperluas permukaannnya sehingga
menutupi pembukaan jalan lahir (Sumapraja dan Rachimhadi, 2005).
8. Ibu merokok atau menggunakan kokain.
9. Ibu dengan usia lebih tua. Risiko plasenta previa berkembang 3 kali lebih besar
pada perempuan di atas usia 35 tahun dibandingkan pada wanita di bawah usia 20
tahun (Sheiner et al, 2001). Plasenta previa merupakan salah satu penyebab
serius perdarahan pada periode trimester ke III. Hal ini biasanya terjadi pada wanita
dengan usia lebih dari 35 tahun. Prevalensi plasenta previa meningkat 3 kali pada
umur ibu > 35 tahun. Plasenta previa dapat terjadi pada umur diatas 35 tahun
karena endometrium yang kurang subur dapat meningkatkan kejadian plasenta
previa (Manuaba, 2008). Hasil penelitian Wardana (2007) menyatakan
peningkatan umur ibu merupakan faktor risiko plasenta previa, karena sklerosis
pembuluh darah arteli kecil dan arteriole miometrium menyebabkan aliran
darah ke endometrium tidak merata sehingga plasenta tumbuh lebih lebar
7
dengan luas permukaan yang lebih besar, untuk mendapatkan aliran darah yang
adekuat.
3) Patofisiologi
Letak plasenta biasanya umumnya di depan atau di belakang dinding
uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri. Hal ini adalah fisiologis karena permukaan
bagian atas korpus uteri lebih luas, sehingga lebih banyak tempat untuk
berimplantasi. Di tempat-tempat tertentu pada implantasi plasenta terdapat vena-
vena yang lebar (sinus) untuk menampung darah kembali. Pada pinggir
plasenta di beberapa tempat terdapat suatu ruang vena yang luas untuk menampung
darah yang berasal dari ruang interviller di atas. Darah ibu yang mengalir di seluruh
plasenta diperkirakan naik dari 300 ml tiap menit pada kehamilan 20 minggu
sampai 600 ml tiap menit pada kehamilan 40 minggu. Perubahan-perubahan
terjadi pula pada jonjot-jonjot selama kehamilan berlangsung. Pada kehamilan 24
minggu lapisan sinsitium dari vili tidak berubah akan tetapi dari lapisan
sitotropoblast sel-sel berkurang dan hanya ditemukan sebagai kelompok-
kelompok sel-sel; stroma jonjot menjadi lebih padat, mengandung fagosit-
fagosit, dan pembuluh-pembuluh darahnya lebih besar dan lebih mendekati lapisan
tropoblast (Kay, 2003).
Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa umumnya
terjadi pada triwulan ketiga karena saat itu segmen bawah uterus lebih mengalami
perubahan berkaitan dengan semakin tuanya kehamilan. Menurut Manuaba (2008)
Implantasi plasenta di segmen bawah rahim dapat disebabkan :
a. Endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi
b. Endometrium yang tipis sehingga diperlukan perluasan plasenta untuk mampu
memberikan nutrisi janin
c. Villi korealis pada korion leave yang persisten
4) Gambaran Klinis Dan Diagnosis
Kay (2003) menyebautkan bahwa gejala plasenta previa mencakup satu atau
kedua hal berikut:
1) Tiba-tiba, tanpa rasa sakit pendarahan vagina yang berkisar dari ringan sampai
berat. Darah sering berwarna merah terang. Pendarahan dapat terjadi pada awal
minggu ke-20 kehamilan tetapi yang paling umum selama trimester ketiga.
8
2) Gejala persalinan prematur. Satu dari 5 wanita dengan tanda-tanda plasenta
previa juga memiliki kontraksi rahim.
Perdarahan plasenta previa mungkin taper off dan bahkan berhenti untuk
sementara. Tapi itu hampir selalu dimulai lagi hari atau minggu kemudian.
Beberapa wanita dengan plasenta previa tidak memiliki gejala apapun. Dalam
kasus ini, plasenta previa hanya dapat didiagnosis oleh USG dilakukan untuk
alasan lain (Kay, 2003).
Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis dapat dinyatakan beberapa hal yang berkaitan dengan
perdarahan antepartum seperti umur kehamilan saat terjadinya perdarahan,
apakah ada rasa nyeri, warna dan bentuk terjadinya perdarahan, frekuensi
serta banyaknya perdarahan.
2. Pemeriksaan luar
a. Inspeksi
Dapat dilihat perdarahan yang keluar pervaginam: banyak atau sedikit,
darah beku dan sebagainya. Jika telah berdarah banyak maka ibu kelihatan
anemis.
b. Palpasi
Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah,
sering dijumpai kesalahan letak janin, bagian terbawah janin belum turun,
apabila letak kepala, biasanya kepala masih goyang atau terapung (floating)
atau mengolak di atas pintu atas panggul (Sheiner, 2001).
3. Pemeriksaan inspekulo
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan
berasal dari ostium uetri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina.
Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta
previa harus dicurigai (Johnson, 2003).
Pemeriksaan dalam tidak dilakukan, kecuali sudah dipersiapkan dan
pasien berada di ruang operasi, karena pemeriksaan dalam dikhawatirkan dapat
menyebabkan perdarahan hebat (Cunningham, 2006).
4. Ultrasonografi
Menegakkan diagnosa plasenta previa dapat pula dilakukkan dengan
pemeriksaan ultrasonografi. Penentuan letak plasenta dengan cara ini
9
ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya,
dan tidak rasa nyeri. Transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung
kemih kosong dapat memberikan keakuratan sekitar 96%. Walaupun superior
dibanding transabdominal ultrasonografi, USG transvaginal relatif lebih jarang
dilakukan karena dikawatirkan dapat memprovokasi terjadinya perdarahan yang
lebih banyak. (Saifuddin, 2008.) tetapi 60 % wanita yang diperiksa dengan USG
transabdominal, mengalami klasifikasi lokasi plasenta ulang bila diperiksa juga
dengan menggunakan USG transvaginal. USG transabdominal memberikan
gambaran plasenta posterior yang kurang jelas, posis kepala janin dapat
mempengaruhi gambaran segmen bawah plasenta, obesitas dan pengisian
kandung kemih yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat mempengaruhi
keakuratan. Hal tersebut menjadikan USG transvaginal menjadi gold standard
diagnosis plasenta previa. MRI dapat juga memberikan gambaran yang lebig baik
daripada USG transabdominal tetapi manfaat tidak lebih baik daripada USG
transvaginal, dan tidak semua pelayanan kesehatan memiliki MRI.
(Oppenheimer et al, 2007)
5) Penanganan
Dengan terapi ekspektatif (pasif). Tujuan ekspektatif ialah supaya janin tidak
terlahir prematur, penderita dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui
kanalis servisis. Upaya diagnosis dilakukan secara non invasif. Pemantauan
klinis dilakukan secara ketat dan baik. Syarat-syarat terapi ekspektatif:
a) Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
b) Belum ada tanda-tanda in partu.
c) Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal).
d) Janin masih hidup.
Pada umumnya yang menentukan tindakan dalam memilih cara persalinan
yang terbaik tergantung dari (Mochtar, 2002) :
1. Jenis plasenta previa
2. Paritas
3. Jumlah perdarahan : banyak atau sedikit,
4. Keadaan umum ibu
5. Keadaan janin: hidup, gawat, atau meninggal
6. Pembukaan jalan lahir
10
7. Fasilitas penolong dan rumah sakit
Setelah memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, ada dua pilihan persalinan,
yaitu :
1. Persalinan pervaginam
Persalinan pervaginam bertujuan agar bagian terbawah janin menekan
plasenta sehingga perdarahan berkurang atau berhenti.
2. Persalinan perabdominam, dengan seksio cesarea
Persalinan dengan seksio cesarea bertujuan untuk secepatnya mengangkat
sumber perdarahan dengan demikian memberikan kesempatan kepada uterus
untuk berkontraksi menghentikan perdarahannya dan untuk menghindari
perlukaan serviks dan segmen-segmen uterus apabila dilakukan persalinan
pervaginam (Prawirohardjo, 2008). Seksio cesarea dilakukan dengan indikasi :
a) Semua plasenta previa sentralis, janin hidup atau meninggal
b) Semua plasenta previa lateralis posterior, karena perdarahan yang sulit
dikontrol dengan cara-cara yang ada.
c) Semua plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan tidak berhenti
dengan tindakan-tindakan yang ada.
d) Plasenta previa dengan panggul sempit, letak lintang (Mochtar, 2008).
Saat tepi plasenta mencapai atau melampaui OUI melalui pemeriksaan
USG transvaginal pada usia kehamilan 18 – 24 minggu, disarankan pemeriksaan
pada trimester ketiga. Bila tepi plasenta melampaui lebih dari 15 mm
meningkatkan kemingkinan terjadinya plasenta previa pada saat kehamilan sudah
aterm.
Saat tepi plasenta berada 20 mm dari OUI dan melewati OUI setelah usia
kehamilan 26 minggu, Usg ulang harus dilakukan. Tepi plasenta yang melewati
OUI lebuh dari 20 mm pada saat trimester ketiga sangat mungkin dilakukan
sectio secaria.
Pada usia kehamilan lebih dari 35 minggu, dengan jarak tepi plasenta
dengan OUI lebih dari 20 mm maka dapat dilakukan trial of labour dengan
kemungkinan berhasil cukup besar. Sedangkan bila tepi plasenta berjarak antar 0
– 20 mm kemungkinan dilakukan SC besar, meskipun dapat pula persalinan
pervaginam masih mungkin dilakukan tergantung keadaan klinis.
Secara umum saat kehamilan lebih dari 35 minggu dan tepi plasenta telah
melewati OUI maka persalinan dilakukan secara perabdominal.
11
Pasien dengan plasenta previa dan terdapat riwayat SC memiliki resiko
tinggi untuk mengalami plasenta acreta.
Pada penelitian retrospektif (Bronsteen, 2009) sebagian besar pasien
dengan plasenta letak rendah melahirkan pervaginam.Lebih dari dua pertiga
wanita dengan jarak tepi plasenta dan OUI lebih dari 10 mm dapt melahirkan
pervaginam tanpa peningkatan resiko terjadinya perdarahan (Vergani et al, 2009)
Tidak terdapat bukti secara histologis adanya migrasi plasenta, tidak
terdapat bukti pergeseran plasenta dari tempat perlekatannya tetapi istilah migrasi
plasenta masih digunakan untuk perubahan posisi tepi bawah plasenta menuju
fundus, menjauhi dari OUI. Pergeseran plasenta ini terjadi karena segmen bawah
rahim berkembang lebih cepat daripada plasenta.
Penelitian ini menunjukan bahwa saat plasenta previa totalis terdiagnosis
pada saat awal trimester ketiga maka plasenta tersebut tidak mengalami
perpindahan posisi. 62,5 % dari plasenta previa tersebut mengalami perdarahan
antepartum yang berat dan memerlukan SC sesegera mungkin sebelum usia
kehamilan 36 minggu.Persalinan perabdominal terjadi lebih sering pada jenis
plasenta previa posterior daripada anterior (76,2%)
Kesimpulannnya pemeriksaan USG transvaginal ulang tidak diperlukan
pada plasenta previa totalis, atau pada pasien dengan plasenta previa posterior
yang berjarak antara 10 mm dari OUI, atau pada pasien dengan usia kehamilan
lebih dari 36 minggu.
Persalinan perabdominal diindikasikan pada pasien dengan plasenta previa
totalis totalis dan plasenta previa posterior dengan jarak antara 10 mm dari OUI.
Persalinan pervaginam masih dimungkinkan pada pasien dengan plasenta previa
anterior dan tepi bawah plasenta lebih dari 20 mm dari OUI dan kepala janin
berada lebih rendah daripada plasenta. (Ghourab dan Al-Jabar, 2000)
6) KOMPLIKASI PROGNOSIS
Ada beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada ibu hamil yang menderita
plasenta previa, yaitu :
1. Komplikasi pada ibu
a. Dapat terjadi anemia bahkan syok
b. Dapat terjadi robekan pada serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh
c. Infeksi karena perdarahan yang banyak (Manuaba, 2008).
12
2. Komplikasi pada janin
a. Kelainan letak janin.
b. Prematuritas dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
c. Asfiksia intra uterin sampai dengan kematian (Manuaba, 2008)
Prognosis ibu pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika dibandingkan
dengan masa lalu. Hal ini dikarenakan diagnosa yang lebih dini, ketersediaan
transfusi darah, dan infus cairan yang telah ada hampir semua rumah sakit
kabupaten. Demikian juga dengan kesakitan dan kematian anak mengalami
penurunan, namun masih belum terlepas dari komplikasi kelahiran prematur baik
yang lahir spontan maupun karena intervensi seksio cesarea. Karenanya kelahiran
prematur belum sepenuhnya bisa dihindari sekalipun tindakan konservatif
diberlakukan (Prawirohardjo, 2008)
B. PERSALINAN PRETERM
1. Definisi
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan
bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada umur kehamilan 22-37
minggu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bayi prematur adalah bayi yang
lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang (Sarwono, 2010).
5. Etiologi
Persalinan prematur merupakankelainan proses yang multifaktorial. Banyak kasus
persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang merupakan mediator
biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan servik,
yaitu (Sarwono, 2010) :
a. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun
janin, akibat stres pada ibu atau janin.
b. Inflamasi desisua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asenden dari
traktus genitourinaria atau infeksi sistemik.
c. Perdarahan desidua.
d. Peregangan uterus patologik.
e. Kelainan pada uterus atau serviks
6. Faktor Predisposisi
Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm adalah