PRESENTASI KASUS DEMAM TIFOID Diajukan kepada Yth: dr. Heppy Oktavianto, Sp.PD Disusun oleh : Hayin Naila N. G4A013103 SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PRESENTASI KASUS
DEMAM TIFOID
Diajukan kepada Yth:
dr. Heppy Oktavianto, Sp.PD
Disusun oleh :
Hayin Naila N. G4A013103
SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
DEMAM TIFOID
Disusun oleh :
Hayin Naila N. G4A013103
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di
bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal : 2014
Dokter Pembimbing :
dr. Heppy Oktavianto, Sp. PD
BAB 1
PENDAHULUAN
Demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan di masyarakat,
baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan
kualitas higiene pribadi dan sanitasi lingkungan seperti higiene perorangan dan
higiene penjamah makanan yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan
tempat-tempat umum (rumah makan, restoran) yang kurang serta perilaku
masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat. Seiring dengan terjadinya
krisis ekonomi yang berkepanjangan, akan menimbulkan peningkatan kasus-kasus
penyakit menular termasuk tifoid ini (Kemenkes, 2006).
Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, kasus
tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5%
(Kemenkes, 2006).
Berdasarkan sensus World Health Organization (WHO) tahun 2004,
sekitar 21,6 juta kasus setiap tahunnya di seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika,
dan Amerika latin, dengan 200,000 kematian. Insidens global sekitar 0.5%,
namun insidensnya sebesar 2% telah ditemukan di daerah "Hot Spot", seperti
Indonesia dan Papua New Guinea, dimana demam tifoid masuk 5 besar dalam
penyebab kematian terbesar (Curtis, 2008; Brusch, 2008).
Pemberian antibiotik lebih dini dapat menurunkan angka kematian
penyakit ini. Pengobatan yang terlambat dilaporkan dapat menyebabkan case
fatality rate sebesar 10-50% (Brusch, 2008). Oleh karena itu penegakan diagnosis
dan penanganan dini diperlukan untuk mencegah komplikasi yang dapat
menyebabkan kematian.
BAB II
STATUS PENDERITA
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr.. M.N.
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Karangduren RT 8/05.
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal masuk : 12 September 2014
Tanggal pemeriksaan : 15 September 2014
No CM : 00097189
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan
Sakit kepala, mual.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Margono Soekarjo pada tanggal 12
September 2014 dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam dirasakan terutama pada malam hari, tidak diserta menggigil,
keluar keringat dingin. Pada pagi hari, pasien merasa demammnya turun, akan
tetapi ketika menjelang maghrib hingga malam hari pasien mengatakan bahwa
demamnya mulai terasa. Pasien juga mengeluh mual, sakit kepala, dan nafsu
makan menurun serta belum buang air besar sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat mengalami keluhan yang sama disangkal
2. Riwayat mondok di rumah sakit disangkal
3. Riwayat alergi obat atau makanan disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita keluhan yang sama
seperti pasien.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di bangsal Asoka kamar 2 RSMS, 13 September 2014.
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 94 x/menit
Respiration Rate : 24 x/menit
Suhu : 39,7 0C
4. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
Kepala : mesosefal
Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : nafas cuping hidung (-)
Telinga : Discharge (-), deformitas (-)
Hidung : Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping
hidung (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-), lidah kotor di
tengah tepi hiperemis
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2 cm
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi : hemithoraks dextra = sinistra, ketinggalan gerak
(-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada apek redup pada basal
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus -/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari lateral LMCS
Pul epigastrium (-), pul parasternal (-).
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari lateral LMCS
dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan hipokondriaka dextra
Perkusi : timpani di seluruh abdomen
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan
Ekstremitas
superiorEkstremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium darah tanggal 12 September 2014 Darah lengkap :
Hemoglobin : 13,8 g/dl
Leukosit : 6540 /Ul
Hematokrit : 37%
Eritrosit : 4,9 x 10e6/uL
Trombosit : 125.000 /Ul
Natrium : 130 mmol/L
Kalium : 3,7 mmol/L
Klorida : 93 mmol/L
Widal
Salmonella typhi O (+) 1/160
Salmonella typhi H (+) 1/160
Salmonella paratyphi A-H (+) 1/160
Salmonella paratyphi B-H (+) 1/160
IgG anti DHF non reaktif
IgM anti DHF non reaktif
E. RESUME
1. Anamnesis
a. Demam terutama pada malam hari
b. Mual
c. Tidak nafsu makan
d. Sakit kepala
2. Pemeriksaan fisik
a. KU/Kes : tampak sakit sedang/CM
b. Kepala : lidah kotor tepi hiperemis (+)
c. Abdomen
Palpasi : nyeri tekan pada region hipokondriaka dextra
3. Pemeriksaan penunjang
a. Widal
Salmonella typhi O (+) 1/160
Salmonella typhi H (+) 1/160
Salmonella paratyphi A-H (+) 1/160
Salmonella paratyphi B-H (+) 1/160
F. DIAGNOSIS KERJA
Demam tifoid.
G.TERAPI
a. Farmakologis:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gram IV
- Inj. Ranitidin 2x1 ampul IV
- Inj. Ondansetron 3 x 1 ampul IV
- PO paracetamol 4x500 mg
b. Non farmakologis:
- Tirah baring
- Diet rendah serat
H. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Demam tifoid atau juga disebut dengan demam enterik adalah suatu
penyakit multisistemik yang disebabkan terutama oleh Salmonella
enterica, subspesies enteric serovar typhi dan serovar paratyphi A, B, dan
C (Brusch, 2008; Kaspan et al., 2004).
2. Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi, basil Gram negatif,
bergerak dengan rambut getar, tidak berspora, dan fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein, dan envelope antigen (K) yang terdiri
dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks
yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. S.
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
resistensi terhadap multipel antibiotik (Soedarmo, 2012). Dalam serum
penderita terdapat zat anti ( aglutinin ) terhadap ketiga macam antigen
tersebut (Widoyono, 2009).
Identifikasi Salmonella dari tempat yang normalnya steril, seperti darah,
cairan serebrospinal, dan cairan sendi tidak memerlukan media khusus. Tinja
mengandung banyak mikroorganisme lain sehingga memerlukan media
selektif seperti agar sulfat bismut atau agar deoksilat, yang mengandung
penghambat flora tinja normal. Spesimen tinja yang diletakkan dalam kaldu
yang diperkaya sebelum dilapiskan pada media agar akan meningkatkan
jumlah organism (Rudolph, 2006).
3. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Pada awal penyakit pasien merasakan demam yang suhunya
naik turun. Pagi hari suhu lebih rendah atau normal, sore dan malam
hari lebih tinggi (demam intermiten), dari hari ke hari intensitas
demam semakin tinggi dan disertai banyak gejala lain seperti sakit
kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu kedua intensitas
demam semakin tinggi, kadang-kadang terus-menerus (demam
kontinyu). Bila pasien membaik pada minggu ketiga, suhu badan
berangsur turun dan dapat kembali normal. Demam yang khas tifoid
tidak selalu ada pada pasien. Hal ini mungkin karena intervensi
pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal (Kemenkes,
2006).
Gangguan pencernaan yang sering ditemukan umumnya nyeri
perut disertai mual dan muntah. Pada awal sakit, sering meteorismus dan
konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang timbul diare. Lidah keliahatan
kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan
tremor (Kemenkes, 2006).
b. Pemeriksaan fisik
Hati atau limpa ditemukan sering membesar, hati teraba kenyal dan
terdapat nyeri tekan. Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin
karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi
nadi. Patokan yang seirng dipake adalah peningkatan suhu 1oC tidak
diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Temuan lain
pada demamm tifoid adalah rose spot, yang biasanya ditemukan di regio
abdomen atas (Kemenkes, 2006).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran
leukopeni, limfositosis relatif, monositosis, an eosinofilia dan
trombositopenia ringan. Kadang ditemukan penurunan hemoglobin secara
akut pada minggu ke-3 dan ke-4 oleh karena perdarahan abdomen. Biakan
Salmonella typhi dapat diambil dari darah, sumsum tulang, feses dan urin.
Spesimen darah diambil pada minggu 1 sakit dengan demam tinggi.
Spesimen fese dan urin pada minggu ke-2 dan minggu-minggu
selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu 5-7 hari. Bila pada minggu ke-
4 biakan feses masih positif, maka pasien sudah tergolong karier. Tes
serologi widal dilakukan untuk memeriksa reaksi antara antigen
Slamonella typhi dengan antibodi yang ada di dalam darah manusia.
Prinsip tes ini adalah terjadi aglutinasi antara antigen dan agglutinin yang
dideteksi yaitu agglutinin O dan H. Diagnosis pasti demam tifoid apabila
didapatkan kenaikan titer 4x lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval
5-7 hari. Namun reaksi widal (-) tidak menyingkirkan diagnosis demam
tifoid (Kemenkes, 2006).
4. Patofisiologi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus
dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Widodo, 2009).
5. Penatalaksanaan
Penatalaksaan demam tifoid menurut Kemenkes (2006) dalam buku Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid adalah :
1) Tirah baring
2) Diit beri makanan cukup kalori dan protein, dan sebaiknya rendah
selulosa atau rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi.
Klasifikasi diit yaitu diit cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa. Diit
diberikan parenteral apabila terdapat tanda komplikasi perdarahan atau
perforasi. Pada pasien dengan penurunan kesadaran dapat diberikan
melalui nasogastric tube (NGT)
3) Cairan diberikan parenteral apabila sakit berat, komplikasi, penurunan
kesadaran, dan pasien kesulitan makanan.
4) Terapi simtomatik diberikan untuk memperbaiki keadaan umum.
Dapat diberikan vitamin, antipiretik parasetamol 10 mg/kgBB/6 jam, dan
antiemetk.
5) Antimikroba
Sebelum diberi antimikroba, diambil spesimen darah untuk biakan dan
Widal pertama untuk mengetahui sensitivitas antibiotik yang diberikan.
Pilihan terapi antimikroba dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Antibiotik untuk Demam Tifoid
6) Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala, dinilai :
a) Tanda vital : suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan
b) Keseimbangan cairan
c) Deteksi dini komplikasi, terutama minggu ke-2 dan ke-3 demam
d) Koinfeksi atau komorbid
e) Efek samping atau efek toksik obat
f) Resistensi antimikroba
g) Kemajuan pengobatan
7) Menentukan diagnosis pasti atau diagnosis tifoid konfirmasi dengan
melakukan biakan yang kedua dan Widal kedua.
8) Menilai efikasi antibiotik (3-5 hari setelah pemberian) dan kemajuan
pengobatan dengan monitoring dan evaluasi
9) Kira-kira 2-3 hari pasien bebas panas, melakukan program mobilisasi dan
diit.
10) 5-7 hari pasien bebas panas, keadaan umum baik, dan sudah diatasinya
komorbid dan komplikasi mengindikasikan pasien dapat pulang.
11) Sebelum pulang, pasien dianjurkan untuk dilakukan kultur feses atau urin
untuk mendeteksi apakah pasien karier atau tidak. Kultur dilakukan
maksimal 3 bulan setelah sembuh. Apabila pasien terbukti karier,
diberikan kuinolon selama 4 minggu.
6. Komplikasi
Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi ringan hingga
berat bahkan kematian (Kemenkes, 2006).
a. Tifoid toksik (tifoid ensefalopati)
Terdapat penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium sampai koma
yang disertai atau tanpa kelainan neurologis lain (Kemenkes, 2006).
b. Syok septik
Adalah akibat lanjut dari inflamasi sistemik karena bakterimia Salmonella.
Pada kondisi ini, tekanan darah turun, nadi cepat dan halus, berkeringat,
serta akral dingin. Beberapa hal yang dapat menyebabkan syok septik
antara lain (Kemenkes, 2006) :
1) Perdarahan dan perforasi intestinal
Perdarahan dan perforasi terjadi pada minggu ke-2 demam atau lebih.
Perdarahn dengan gejala berak berdarah (hematoskhezia) atau dideteksi
dengan tes perdarahan tersembunyi (occult blood test). Perforasi
intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang dan nyeri tekan
yang paling nyata di kuadran kanan bawah abdomen. Suhu tubuh tiba-
tiba menurun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir syok.
Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda-tanda ileus, bising usus
melemah dan pekak hati menghilang. Perforasi dapat dipastikan dengan
pemeriksaan foto polos abdomen tiga posisi. Perforasi intestinal adalah
komplikasi tifoid yang serius dan sering menimbulkan kematian
(Kemenkes, 2006).
2) Peritonitis
Ditemukan gejala-gejala abdomen akut, yakni nyeri perut hebat,
kembung dan nyeri tekan dan nyeri lepas (Kemenkes, 2006).
3) Hepatitis tifosa
Demam tifoid yang disertai gejala-gejala ikterus, hepatomegali, dan
kelainan tes fungsi hati. Pada histopatologi hati didapatkan nodul tifoid
dan hiperplasi sel-sel kuffer (Kemenkes, 2006).
4) Pancreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Penderita mengalami nyeri
perut hebat disertai mual, muntah warna kehijauan, meteorismus, dan
bising usus menurun. Enzim amilase dan lipase meningkat (Kemenkes,
2006).
5) Pneumonia
Disebabkan karena basil Salmonella atau koinfeksi dengan mikroba lain
yang sering menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan didapatkan
gejala klinis pneumonia dan gambaran khas pneumonia pada foto
thoraks (Kemenkes, 2006).
6) Komplikasi lain
Karena basil Salmonella bersifat intramakrofag dan beredar ke seluruh
bagian tubuh, maka dapat mengenai berbagai macam organ dan
menimbulkan infeksi yang bersifat fokal seperti :
a) Osteomielitis, arthritis
b) Miokarditis, perikarditis, endokarditis
c) Pielonefritis, orchitis
d) Peradangan di tempat-tempat lain (Kemenkes, 2006)
KESIMPULAN
1. Demam tifoid atau demam enterik adalah suatu penyakit multisistemik yang
disebabkan terutama oleh Salmonella enterica, subspesies enteric serovar
typhi dan serovar paratyphi A, B, dan C.
2. Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
3. Penatalaksaan demam tifoid terdiri dari non farmakologis berupa tirah baring
dan diet rendah serat serta terapi farmakologis dengan antibiotik
4. Komplikasi demam tifoid yang terutama dapat menimbulkan kematian
adalah syok septik.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Brusch, J. L. Tifoid Fever. In: http://www.emedicine.com/JVlED/ pic2331.htm. Akses: 10 Oktober 2014.
Curtis, T. Tifoid Fever. In: http://wwvv.emedicine.com/MED/ topic6S6.htm. Akses: 10 Oktober 2014.
Kaspan MF, Soegijanto S. 2004. Demam Tifoid In:Pedoman Diagnosis danTerapi. Surabaya : Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD Dr.Soetomo.
Kemenkes. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 364/MENKES/SK/V/2006.
Rudolph, abraham, 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 2 Volume 1. Jakarta : EGC.
Soedarmo, Sumarmo. 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : InternaPublishing.
Widoyono. 2011. Penyakti Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya Edisi kedua. Jakarta : Erlangga.