BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bahwa, lulusan SMK diharapkan menjadi peserta didik yang siap pakai di masyarakat. Di dalam kurikulum sekolah ditetapkan bahwa untuk mewujudkan program tersebut maka peserta didik diharuskan mengikuti dan melaksanakan Prakerin (Praktek Kerja Industri) yang didukung oleh sarana dan prasarana yang penting, diantaranya adalah apotek. Hal tersebut diatas sesuai dengan Kepmendiknas RI Nomor 323/U/1997, tentang Penyelenggaraan Sistem Ganda (PSG) pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Penyelenggaraan Sistem Ganda (PSG) adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja di dunia kerja, yang terarah untuk mencapai tingkat keahlian profesional tertentu.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bahwa, lulusan SMK
diharapkan menjadi peserta didik yang siap pakai di masyarakat. Di dalam kurikulum sekolah
ditetapkan bahwa untuk mewujudkan program tersebut maka peserta didik diharuskan mengikuti
dan melaksanakan Prakerin (Praktek Kerja Industri) yang didukung oleh sarana dan prasarana
yang penting, diantaranya adalah apotek.
Hal tersebut diatas sesuai dengan Kepmendiknas RI Nomor 323/U/1997, tentang
Penyelenggaraan Sistem Ganda (PSG) pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Penyelenggaraan Sistem Ganda (PSG) adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan
keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di
sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja di dunia
kerja, yang terarah untuk mencapai tingkat keahlian profesional tertentu.
Secara umum, ruang lingkup kegiatan Penyelenggaraan Sistem Ganda (PSG) ini meliputi
pelaksanaan di sekolah dan dunia usaha atau dunia industri (DU/DI). Sekolah membekali siswa
dengan materi pendidikan umum (normatif), pengetahuan dasar penunjang (adaptif), serta teori
dan keterampilan dasar kejuruan (produktif). Selanjutnya, Dunia Usaha atau Dunia Industri
(DU/DI) diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan keahlian profesi bagi
para siswa peserta Penyelenggaraan Sistem Ganda (PSG) melalui program khusus yang
dinamakan Praktek Kerja Industri (Prakerin).
Selanjutnya, sarana utama dari kegiatan penyelenggaraan praktek di Dunia Usaha atau
Dunia Industri (DU/DI) ini disamping keahlian profesional, siswa juga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas sesuai tuntutan kebutuhan Dunia Usaha atau Dunia Industri (DU/DI),
yang meliputi : etos kerja, kemampuan, motivasi, disiplin dan sebagainya. Untuk mengetahui
perkembangan para siswa peserta prakerin di Dunia Usaha atau Dunia Industri (DU/DI) tersebut,
maka diperlukan satu perangkat yang dapat memberikan informasi tentang kualifikasi dan jenis
kegiatan siswa yaitu Jurnal Kegiatan Siswa.
B. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari kegiatan praktek kerja industri antara lain sebagai berikut :
1. Salah satu syarat dapat mengikuti Ujian Nasional (UN);
2. Membandingkan dan menerapkan pengetahuan akademis yang didapat dengan maksud untuk
memberi kontribusi pengetahuan pada dunia kerja yang akan dihadapi secara jelas dan konsisten,
dengan komitmen yang tinggi;
3. Mendapat bekal pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang pengelolaan dan
pelaksanaan pelayanan farmasi sebelum memasuki dunia kerja yang sesungguhnya; dan
4. Lebih mampu memahami konsep-konsep non teknis dan non akademis di dunia kerja nyata.
C. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan Praktek kerja industri (prakerin) ini dilaksanakan pada tanggal 1 Juli samapai 06
September 2013 di Apotek Medika Utama, yang beralamat di Jalan Mesjid Agung Nomor 34
Tasikmalaya. Tlp. (0265) 332622.
Adapun jadwal pelaksanaan praktek kerja industri di Apotek Medika Utama pada hari senin
sampai hari sabtu dan dibagi ke dalam dua shift, yaitu :
Shift pagi, jam 07.00-14.00 WIB;
Shift siang, jam 14.00-21.00 WIB.
Kecuali hari Sabtu jadwal prakerin shift pagi jam 07.00-14.00 WIB, dan shift siang jam
14.00-20.00 WIB.
Pergantian shift dilakukan seminggu sekali pada setiap hari Rabu.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Apotek
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh Apoteker.
Yang dimaksud Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluranan
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
B. Tugas dan Fungsi Apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, tentang tugas dan fungsi apotek
adalah :
1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker;
2. Sarana yang digunakan untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian;
3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi, antara lain obat,
bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetik; dan
4. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
C. Tugas dan Fungsi Apoteker di Apotek
Dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 telah diatur tentang peranan
profesi apoteker, yakni pembuatan, termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat dan obat tradisional.
Di dalam dunia kesehatan, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Pekerjaan kefarmasian
mencakup hal-hal yang tergantung pada seorang apoteker yang menjalankan profesinya sebagai
apoteker.
Setiap apotek harus memiliki seorang Apoteker yang bertugas sebagai penanggungjawab
apotek. Apoteker mempunyai peran sebagai berikut :
1. Pelayanan
Adapun tugas apoteker dalam bidang pelayanan adalah sebagai berikut :
a. Membaca resep dengan teliti, meracik obat dengan cepat, membungkus dan menempatkan obat
dalam wadah/bungkus yang cocok dan memeriksa serta memberi etiket dengan teliti; dan
b. Memberikan informasi/konsultasi tentang obat kepada pasien, tenaga kesehatan masyarakat.
c. Skrinning/pembacaan resep : seperti nama dokter, alamat, SIP, tanggal penulisan, paraf/tanda
tangan, dan lain-lain.
d. Sebagai tenaga promosi dan edukasi, melakukan :
1). Swa medikasi (dengan medication record).
2). Penyebaran brosur, poster tentang kesehatan.
e. Sebagai tenaga pelayanan residensi (home care), untuk penyakit kronis (dengan medication
record).
2. Manager
Apoteker sebagai manager mempunyai tugas :
a. Menyusun prosedur tetap.
b. Mengelola obat, Sumber Daya Manusia (SDM), peralatan dan uang di apotek.
c. Mengelola sumber daya (resources) di apotek secara efektif dan efisien.
d. Membuat prosedur tetap untuk masing–masing pelayanan.
D. Tugas dan Kewajiban Tenaga Teknis Kefarmasian
Kewajiban Tenaga Teknis Kefarmasian menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1332/Menkes/X/2002, adalah sebagai berikut :
1. Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standar profesinya yang dilandasi
pada kepentingan masyarakat serta melayani penjualan obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter.
2. Memberi Informasi
Adapun tugas dan fungsi Tenaga Teknis Kefarmasian dalam bidang pelayanan informasi antara
lain :
a. Yang berkaitan dengan penggunaan/pemakaian obat yang diserahkan kepada pasien.
b. Penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat.
Informasi yang diberikan harus benar, jelas dan mudah dimengerti serta cara
penyampaiannya disesuaikan dengan kebutuhan, selektif, etika, bijaksana dan hati-hati.
Informasi yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi:
1). Cara pemakaian obat;
2). Cara penyimpanan obat;
3). Jangka waktu pengobatan; dan
4). Makanan/minuman/aktifitas yang hendaknya dihindari selama terapi dan informasi lain yang
diperlukan.
3. Menghormati hak pasien dan menjaga kerahasian identitas serta data kesehatan pribadi pasien.
4. Melakukan pengelolaan apotek meliputi :
a. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan
penyerahan obat dan bahan obat; dan
b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan sediaan farmasi lainnya.
5. Memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) yang dikeluarkan
pejabat yang berwenang.
E. Syarat Berdirinya Apotek
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002,
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993,
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek Menteri Kesehatan, pasal 6,
dinyatakan bahwa:
1. Untuk mendapatkan izin Apotek, Apoteker atau Apoteker yang bekerjasama dengan pemilik
sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk
sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
2. Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi
lainnya di luar sediaan farmasi.
3. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.
Adapun fasilitas yang harus dimiliki oleh apotek, yaitu :
a. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien;
b. Tempat untuk menyediakan informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi
informasi;
c. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta
lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien;
d. Ruang racikan;
e. Tempat pencucian alat atau keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien; dan
f. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan
barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya
yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah
ditetapkan.
F. Tenaga Kefarmasian
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009, Tentang
Pekerjaan Kefarmasian Pasal 33, dikatakan bahwa yang termasuk kedalam tenaga kefarmasian
terdiri dari :
1. Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan
sumpah jabatan Apoteker. Di dalam mengemban tugasnya apoteker dapat mengangkat seorang
apoteker pendamping yang memiliki SIPA.
2. Tenaga Teknis Kefarmasian
Tenaga Teknis kefarmasian terdiri dari : Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis
Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
G. Penggolongan Obat
Mengingat peredaran obat saat ini jumlahnya lebih dari 5000, maka perlu mengenal
penggolongan obat yang beredar. Penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan
dan ketepatan penggunaan serta pengamanan pendisribusian.
Pengertian tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 917/Menkes/Per/X/1993 yang kini telah mengalami perbaikan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000.
Penggolongan obat terdiri dari :
1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dapat dijual bebas kepada umum tanpa resep dokter, tidak
termasuk dalam daftar narkotika, psikotropika, obat keras, obat bebas terbatas, dan sudah
terdaftar di Depkes RI .
Contoh obat bebas antara lain :
a. Minyak kayu putih;
b. Obat batuk hitam;
c. Obat batuk putih;
d. Tablet paracetamol;
e. Tablet vitamin C, B kompleks, E, dan lain-lain.
Penandaan obat bebas diatur berdasarkan SK Menkes RI No. 2380/A/SK/VI/1983, tentang
tanda khusus untuk obat bebas dan obat bebas terbatas.
Adapun tanda khusus untuk obat bebas yaitu bulatan berwarna hijau dengan garis tepi warna
hitam, seperti terlihat pada gambar berikut dibawah ini :
Gambar 2.1
Penandaan Obat Bebas
2. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas atau obat yang masuk dalam daftar “W”, menurut Bahasa Belanda “W”
singkatan dari ”Waarschuwing” yang artinya peringatan. Jadi maksudnya adalah obat yang pada
penjualannya disertai dengan tanda peringatan.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI, yang menetapkan obat-obatan ke dalam daftar
obat “W” memberikan pengertian bahwa obat bebas terbatas adalah obat keras yang dapat
diserahkan kepada pemakainya tanpa resep dokter, bila penyerahannya memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Obat tersebut hanya boleh dijual dalam bungkusan asli dari pabriknya atau pembuatnya;
b. Pada penyerahannya oleh pembuat atau penjual harus mencantumkan tanda peringatan yang
tercetak sesuai dengan contoh.
Tanda peringatan tersebut berwarna hitam, berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm, dan memuat
pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut :
P No 1 : Awas! Obat Keras
Bacalah aturan memakainya
Contoh :
1) Anti Histamin
Sediaan anti histaminum yang nyata-nyata dipergunakan untuk obat tetes hidung/semprot
hidung.
2) Chloroquinum
Sediaan chloroquinum atau garamnya yang dihitung sebagai basa tidak lebih dari 160 mg setiap
takaran dalam kemasan tidak melebihi 4 tablet tiap wadah atau 60 ml tiap botol.
3) Sulfaguanidum, phtalylsulfathiazolum dan succinylsulfa thiazolum.
Tablet yang mengandung tidak lebih dari 600 mg zat berkhasiat setiap tabletnya dan tidak lebih
dari 20 tablet setiap bungkus atau wadah.
P No 2 : Awas! Obat Keras
Hanya untuk kumur jangan ditelan
Contoh :
1) Kalii Chloras dalam larutan
2) Zincum, obat kumur yang mengandung persenyawaan Zincum.
P No 3 : Awas! Obat Keras
Hanya untuk bagian luar dari badan
Contoh :
1) Air Burowi.
2) Mercurochromun dalam larutan.
P No 4 : Awas! Obat Keras
Hanya untuk dibakar
Contoh :
Rokok dan serbuk untuk penyakit bengek untuk dibakar yang mengandung Scopolaminum.
P No 5 : Awas! Obat Keras
Tidak boleh ditelan
Contoh :
1) Amonia 10% kebawah.
2) Sulfanilamidum steril dalam bungkusan tidak lebih dari 5 mg bungkusnya.
P No 6 : Awas! Obat Keras
Obat wasir, jangan ditelan
Contoh :
Suppositoria untuk wasir.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 2380/A/SK/VI/83, tanda khusus untuk
obat bebas terbatas berupa lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam, seperti
terlihat pada gambar berikut dibawah ini :
Gambar 2.2
Penandaan Obat Bebas Terbatas
3. Obat Keras
Obat keras atau obat daftar G menurut Bahasa Belanda ‘G” singkatan dari “Gevaarlijk”
yang artinya berbahaya, maksudnya obat dalam golongan ini berbahaya jika pemakaiannya tidak
berdasarkan resep dokter.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan/memasukkan obat-obatan ke
dalam daftar obat keras, memberikan pengertian obat keras adalah obat-obat yang ditetapkan
sebagai berikut :
a. Semua obat yang pada bungkus luarnya oleh pembuat disebutkan bahwa obat itu hanya boleh
diserahkan dengan resep dokter.
b. Semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang nyata-nyata untuk dipergunakan secara
parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain dengan jalan merobek
rangkaian asli dari jaringan.
c. Semua obat baru, terkecuali apabila oleh Departemen Kesehatan telah dinyatakan secara tertulis
bahwa obat baru itu tidak membahayakan kesehatan manusia.
d. Semua obat yang tercantum dalam daftar obat keras, obat itu sendiri dalam substansi dan semua
sediaan yang mengandung obat itu, terkecuali apabila di belakang nama obat disebutkan
ketentuan lain, atau ada pengecualian Daftar Obat Bebas Terbatas.
Contoh obat keras :
a. Acetanilidum;
b. Andrenalinum;
c. Antibiotika;
d. Anthistaminika;
e. Apomorphinum, dan lain-lain.
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
02396/A/SK/VIII/1986, tentang tanda khusus Obat Keras daftar G adalah “lingkaran bulat
berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi”,
seperti yang terlihat pada gambar berikut di bawah ini :
Gambar 2.3
Penandaan Obat Keras
4. Obat Wajib Apotek (OWA)
Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker di apotek tanpa
resep dokter. Pada penyerahan obat wajib apotek ini terhadap apoteker terdapat kewajiban-
kewajiban sebagai berikut :
a. Memenuhi ketentuan dan batas tiap jenis obat perpasien yang disebutkan dalam obat wajib
apotek yang bersangkutan;
b. Membuat catatan pasien serta obat yang diserahkan; dan
c. Memberikan informasi meliputi dosis, dan aturan pakai, kontra indikasi, efek samping, dan lain-
lain yang perlu diperhatikan oleh pasien yang bersangkutan.
Dalam peraturan ini disebutkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan, dirasa perlu ditunjang dengan
sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional.
Peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat dicapai melalui
peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan disertai dengan informasi yang tepat sehingga
menjamin penggunaan yang tepat dari obat tersebut.
Oleh karena itu, peran Apoteker di Apotek dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi
dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka
peningkatan pengobatan sendiri.
Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masyarakat, maka obat-obat
yang digolongkan dalam OWA adalah obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang
diderita pasien. Antara lain : obat antiinflamasi (asam mefenamat), obat alergi kulit (salep
hidrokotison), infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin), antialergi sistemik (CTM), obat KB
hormonal.
Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan:
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun
dan orang tua di atas 65 tahun;
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit;
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan;
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia; dan
e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri.
Disini terdapat daftar obat wajib apotek yang dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri
Kesehatan. Sampai saat ini sudah ada 3 daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep
dokter.
Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam :
a. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek,
berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1.
Contoh :
1) Obat kontrasepsi : Linestrenol (satu siklus);
2) Obat saluran cerna : Antasid dan Sedativ/Spasmodik (20 tablet);
3) Obat mulut dan tenggorokan : Salbutamol (20 tablet).
b. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib
Apotek No. 2
Contoh :
1) Bacitracin Cream (1 tube);
2) Clindamicin Cream (1 tube);
3) Flumetason Cream (1 tube).
c. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib
Apotek No. 3
Contoh :
1) Ranitidin;
2) Asam Fusidat;
3) Alupurinol.
5. Obat Golongan Narkotika
Pengertian narkotika menurut undang Undang Nomor 35 Tahun 2009, adalah zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam
golongn I, II, dan III.
a. Narkotika Golongan I
Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
sangat tinggi yang dapat mengakibatkan ketergantungan.
Contoh narkotika golongan I : Opium, heroin, dan kokain.
b. Narkotika Golongan II
Narkotika golongan II ini berkhasiat untuk pengobatan yang dapat digunakan sebagai
pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengtahuan serta mempunyai potensi tinggi yang mengakibatkan ketergantungan.
Contoh narkotika golongan II : morfin, dan petidin.
c. Narkotika Golongan III
Narkotika golongan III ini berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan yang
mengakibatkan ketergantungan.
Contoh narkotika golongan III : codein, dan etilmorfin.
Penandaan obat narkotika seperti yang terlihat pada gambar berikut di bawah ini :
Gambar 2.4
Penandaan Obat Narkotika
6. Obat Psikotropika
Pengertian obat psikotropika menurut Undang Undang Nomor 6 Tahun 2009, adalah zat
atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.
Psikotropika termasuk dalam golongan obat keras, sehingga dalam kemasannya memiliki
tanda yang sama seperti obat keras. Sedangkan, obat narkotika memiliki tanda berupa lambang
medali berwarna merah.
Ruang lingkup pengaturan psikotropika dalam Undang Undang ini adalah psikotropika yang
mempunyai potensi sindroma ketergantungan, yang menurut Undang Undang tersebut dibagi ke
dalam 4 (empat) golongan yaitu :
a. Psikotropika Golongan I
Psikotropika golongan I tidak digunakan untuk tujuan pengobatan, tetapi digunakan untuk
ilmu pengetahuan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat.
Contoh psikotropika golongan I: Lisergida (LSD), MDMA (Metilen Dioksi Meth
Amfetamin).
b. Psikotropika Golongan II
Psikotropika golongan II berkhasiat untuk terapi, tetapi dapat menimbulkan ketergantungan.
Contoh psikotropika golongan II : ampetamina, pantobarbital, dan butalbital.
c. Psikotropika Golongan III
Psikotropika golongan III mempunyai efek ketergantungan sedang dari kelompok hipnotik
sedatif.
Contoh Psikotropika golongan III : alprazolam, diazepam, penobarbital.
d. Psikotropika Golongan IV
Psikotropika golongan IV mempunyai efek ketergantungan yang sangat ringa. Contoh
Psikotropika golongan IV : lorazepam, mazindol.
Untuk psikotropika penandaan yang dipergunakan sama dengan penandaan untuk obat
keras, hal ini karena sebelum diundangkannya UU RI No. 5 Tahun 1997, tentang psikotropika,
maka obat-obat psikotropika termasuk obat keras yang pengaturannya ada dibawah Ordonansi
Obat Keras 1949 Nomor 419, hanya saja karena efeknya dapat mengakibatkan sidroma
ketergantungan sehingga dulu disebut Obat Keras Tertentu, sehingga untuk psikotropika
penandaannya ialah lingkaran bulat berwarna merah, dengan huruf K berwarna hitam yang
menyentuh garis tepi yang berwara hitam, seperti yang terlihat pada gambar berikut di bawah
ini :
Gambar 2.5
Penandaan Obat Psikotropika
H. Pengelolaan Obat di Apotek
1. Perencanaan
Agar proses perbekalan farmasi atau obat yang ada di Apotek menjadi lebih efektif, efisien
dan sesuai dengan anggaran yang tersedia maka harus memperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut :
a. Pemilihan pemasok, yang harus diperhatikan antara lain :
1) Legalitas pemasok (PBF);
2) Service, yang meliputi : ketepatan waktu, barang yang dikirim, ada atau tidak adanya diskon,
layanan obat ED, dan tenggang waktu penagihan;
3) Kualitas obat, perbekalan farmasi lain;
4) Ketersediaan obat yang dibutuhkan; dan
5) Harga obat.
b. Ketersediaan barang atau perbekalan farmasi, yang harus diperhatikan antara lain : Sisa stok,
rata-rata pemakaian obat dalam satu periode pemesanan, frekuansi pemakaian, dan waktu tunggu
pemesanan, pemilihan metode perencanaan. Adapun metode perencanaan, yaitu :
1) Metode Konsumsi
Memperkirakan penggunaan obat berdasarkan pemakaian sebelumnya sebagai dasar perencanaan
yang akan datang.
2) Metode Epidemiologi
Berasarkan penyebaran penyakit yang paling banyak terdapat di daerah sekitar Apotek.
3) Metode Kombinasi
Mengkombinasikan antara metode konsumsi dan epidemiologi.
4) JIT (Just In Time)
Membeli obat pada saat dibutuhkan.
2. Pengadaan dan Pemesanan
Pengadaan dilakukan untuk mengetahui persediaan yang dibutuhkan apotek untuk
melayanai pasien. Persediaan yang habis dapat dilihat di gudang atau Kartu Stock Gudang,
sehingga jika barang habis dapat dilakukan pemesanan. Persiapan pengadaan dilakukan dengan
cara mengumpulkan data barang-barang yang akan dipesan dari buku defecta termasuk obat-obat
baru yang ditawarkan supplier.
Pemesanan dapat dilakukan jika persediaan barang habis, yang dapat dilihat dalam Buku
Defecta. Pemesanan dapat dilakukan langsung ke PBF melalui telepon maupun dipesan melalui
salesman yang datang ke apotek.
Pemesanan dilakukan dengan menggunakan Surat Pesanan (SP). SP minimal dibuat dua
lembar (untuk Supplier dan arsip Apotek) dan ditandatangani oleh Apoteker. Surat pesanan
pembelian narkotika dibuat 4 (empat) lembar (untuk PBF Kimia Farma, Dinas Kesehatan
Profinsi, BPOM, dan Arsip apotek). Narkotika (satu SP hanya untuk satu jenis obat),
Psikotropika (satu SP bisa untuk lebih dari satu macam obat).
3. Penerimaan
Setelah menerima barang kiriman, penerima barang atau tenaga teknis kefarmasian harus
mencocokkan barang dengan faktur dan SP (Surat Pesanan) lembar kedua mengenai jumlah,
nama obat, harga satuan, dan perhitungan harga.
Apabila ada obat yang mendekati ED (Expire Date), maka harus dicatat dalam buku
tersendiri dan urutan tanggalnya diurutkan oleh tenaga teknis kefarmasian.
Selanjutnya dilakukan pencatatan dengan cara dicatat dalam buku pembelian barang, setelah
faktur selesai diinput dengan rincian sebagai berikut: nama PBF, nama obat, nomer batch,
tanggal ED, jumlah harga satuan, potongan harga, jumlah harga, nomor urut, dan tanggal
penerimaan.
Untuk teknis pembayaran dapat dilakukan secara tunai atau kredit, tergantung dari jenis obat
serta perjanjian dengan pihak distributor. Untuk obat narkotika harus dibayar secara COD (Cash
On Delivery). Pembayaran dilakukan jika sudah jatuh tempo dan faktur dikumpulkan tiap
debitur. Masing-masing dibuatkan bukti kas keluar serta cek dan giro, kemudian diserahkan
kebagian keuangan untuk ditandatangani sebelum dibayar kepada supplier.
4. Penyimpanan
Apotek harus memiliki perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi, seperti :
botol dengan ukuran tertentu, jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan, lemari dan rak
penyimpanan obat, lemari pendingin untuk menjamin mutu perbekalan farmasi tersebut.
Penyusunan dan penyimpanan obat atau barang dapat dilakukan berdasarkan kelas terapetik
(farmakologis), alfabetis, FIFO (First In First Out), FEFO (first Exspire First Out), dan bentuk
sediaan.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Bahan yang mudah terbakar sebaiknya disimpan terpisah dari bahan yang lainnya;
b. Narkotika disimpan dalam lemari khusus; dan
c. Obat-obatan yang memerlukan kondisi tertentu, seperti insulin, vaksin, perlu disimpan dalam
lemari pendingin.
5. Pendistribusian
a. Pelayanan Non Resep
Pelayanan Obat Non Resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan
pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi.
Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep dokter yang
meliputi :
1) Obat Wajib Apotek (OWA);
2) Obat Bebas Terbatas; dan
3) Obat Bebas.
Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut
serta tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti
parasit dan obat kulit topical.
Prosedur penjualan obat bebas atau obat yang dibeli tanpa resep dokter mempunyai aturan
yang berbeda dengan penjualan obat menggunakan resep dokter, adapun prosedur penjualan
obat bebas adalah sebagai berikut:
1) Setiap pembelian obat bebas diberikan tanda bukti transaksi penjualan berupa kuitansi penjualan
rangkap 3 dan diberi nomor, tanggal, nama barang, banyak harga satuan dan jumlah;
2) Bukti transaksi tersebut digunakan untuk membayar pada kasir sejumlah kuitansi. Tembusan 1
(satu) dipegang sebagai arsip kasir setelah diberi stempel lunas;
3) Asli dan tembusan 2 (dua) diserahkan kepada pelayan apotekuntuk pengambilan barang, setelah
tembusan 2 (dua) dan asli diberi tanda barang telah diambil. Tembusan 2 (dua) sebagai arsip
pelayanan apotek yang menyerahkan barang;
4) Bon yang asli dan obat-obatan bebas diserahkan kepada pasien.
b. Pelayanan Obat dengan Resep
Pelayanan resep sepenuhnya tanggung jawab APA (Apoteker Pengelola Apotek). Apoteker
tidak diizinkan untuk mengganti obat yang ditulis dalam resep dengan obat lain. Dalam hal
pasien tidak mampu menebus obat yang ditulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan
dokter untuk pemilihan obat yang lebih terjangkau .
Pelayanan resep didahului proses skrinning resep yang meliputi pemeriksaan kelengkapan
resep, keabsahan dan tinjauan kerasionalan obat. Resep yang lengkap harus ada nama, alamat
dan nomor ijin praktek dokter, tempat dan tanggal resep, tanda R/pada bagian kiri untuk tiap
penulisan resep, nama obat dan jumlahnya, kadang-kadang cara pembuatan atau keterangan lain
(iter, prn, cito) yang dibutuhkan, aturan pakai, nama pasien, serta tanda tangan atau paraf dokter.
Tinjauan kerasionalan obat meliputi pemeriksaan dosis, frekuensi pemberian, adanya medikasi
rangkap, interaksi obat, karakteristik penderita atau kondisi penyakit yang menyebabkan pasien
menjadi kontraindikasi dengan obat yang diberikan.
Adapun prosedur dalam penjualan obat dengan resep dokter:
1) Resep yang diterima dari pasien diberi harga sambil mengontrol ketersediaan obat dan
diserahkan kembali kepada pasien;
2) Pasien membayar ke kasir sejumlah harga obat yang akan diambil sesuai dengan resep tersebut
dan ditandai jumlah yang akan diambil serta diberi nomor urut resep dan catat nama, umur,
alamat pasien dengan lengkap di belakang resep;
3) Resep yang sudah lunas diserahkan kepada Tenaga Teknis Kefarmasian yang bertugas untuk:
a) Menghitung komposisi obat;
b) Menyiapkan etiket;
c) Menyiapkan obat/bahan baku obat;
d) Meracik obat sesuai ketentuan yang berlaku;
e) Pengemasan obat yang sudah selesai diracik.
4) Obat yang sudah selesai diracik dan dikemas kemudian dikontrol kembali. Adapun hal yang
harus diperhatikan ialah:
a) Resep obat yang sesuai dengan nama pasien;
b) Komposisi obat dan perhitungan dosis;
c) Kelengkapan bahan obat yang sudah diracik.
5) Penyerahan obat oleh petugas yang ditentukan dengan kontrol yang ketat antara nomor dan
nama pasien harus sesuai;
6) Paraf pasien yang telah mengambil obat tersebut;
7) Resep yang sudah dikerjakan dilampirkan dengan kalkulasi perhitungan harga pokok obat + laba
+ uang resep (rangkap dua);
8) Resep yang sudah dikerjakan dengan kalkulasi harga obat, disimpan secara teratur sesuai
tanggal, bulan dan tahun.
9) Kalkulasi harga pokok obat diserahkan ke bagian pembukuan untuk dicatat.
6. Pelaporan
a. Pelaporan dan Pemusnahan obat narkotika
Undang Undang Nomor 22, Tahun 1997, Pasal 11 Ayat 2, menyatakan bahwa importer,