Top Banner
1 Pragmatik dan Pendidikan Bahasa oleh: Iman Santoso/NIM. 1201499 Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah : Pragmatik Lanjut Dosen Pengampu : Prof. E. Aminuddin Azis, M.A., Ph.D. Program Studi Linguistik (S3) Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia 2013 Makalah Kelas
18

Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

Feb 01, 2023

Download

Documents

Pipit Utami
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

1

Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

oleh: Iman Santoso/NIM. 1201499

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Pragmatik LanjutDosen Pengampu : Prof. E. Aminuddin Azis, M.A., Ph.D.

Program Studi Linguistik (S3)Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia2013

Makalah Kelas

Page 2: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

2

A. Pendahuluan

Pragmatik merupakan salah satu bagian dari kajian Linguistik yang relatif masih

muda usianya, namun telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pragmatik

secara ringkas dapat didefinisikan sebagai studi tentang tindak komunikasi dalam konteks

sosiokultural. Sebuah tindak komunikasi tentu melibatkan interaksi antara penutur dan

mitra tutur, sehingga pragmatik dapat dipahami sebagai meaning in interaction (Thomas,

23). Kajian pragmatik dapat digunakan sebagai kerangka untuk memahami penggunaan

bahasa, yang tidak hanya meliputi tindak tutur, namun juga partisipasi dalam percakapan,

keterlibatan dalam berbagai jenis wacana dan upaya mempertahankan interaksi dalam

peristiwa tuturan yang kompleks (Kasper, 1997).

Dalam perjalanannya studi pragmatik telah memberi sumbangan yang tidak kecil

pada berbagai bidang lain, seperti dalam bidang klinis. Pragmatikpun telah diperhitungkan

sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengajaran bahasa. Granger (via Bardovi-Harlig,

2005) mengatakan

Pragmatics has become a major field of study in its own right, in linguistics, and now in language learning and teaching. Pragmatic competence has come to be viewed as an essential part of learners’ competence.

Kompetensi pragmatik menjadi hal yang penting dalam pembelajaran bahasa,

karena seringkali dijumpai seorang pembelajar yang memiliki pengetahuan tatabahasa dan

kosakata yang baik, tidak dapat (kurang mampu) berkomunikasi dengan baik dalam

bahasa yang dipelajarinya. Tuturan yang dihasilkan seringkali tidak memenuhi kaidah

keberterimaan terkait dengan konteks tuturan. Salah satu penyebabnya diduga karena

dalam proses pembelajaran bahasa aspek pragmatik diabaikan.

Berkenaan dengan itu, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai peran

pragmatik dalam pembelajaran bahasa yang akan diperinci dalam beberapa aspek berikut:

(1) latar belakang munculnya pemikiran untuk mengintegrasikan pragmatik dalam

pembelajaran bahasa, (2) pentingnya pragmatik dalam pembelajaran bahasa, (3) bahan

ajar pragmatik dan (4) bagaimana aspek pragmatik dapat diajarkan. Makalah ini

merupakan hasil refleksi dari diskusi kelas dengan tema pragmatik dan pendidikan bahasa.

Dan disusun dengan mengacu pada beberapa referensi baik berupa buku maupun artikel

hasil pemikiran dan penelitian. Referensi utama berasal dari tulisan Kasper (1997), Cohen

(2008), Taguchi (2011), Roever (2009) dan Purwo (1990).

Page 3: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

3

B. Pembahasan

1. Latar Belakang Kemunculan Pragmatik dalam Pembelajaran Bahasa

Diperhitungkannya kompetensi pragmatik sebagai bagian tak terpisahkan dari

pengajaran bahasa dapat ditelusuri dari perkembangan paradigma dan metode

pembelajaran bahasa mulai akhir abad 19 hingga pertengahan abad ke 20. Di abad 19

hingga awal abad 20 pembelajaran bahasa didominasi oleh metode tatabahasa

terjemahan (Grammar translation Method) yang menekankan pada pengenalan rasa

bahasa dan penguasaan tatabahasa. Dalam perkembangannya, metode ini ditentang oleh

penganut metode langsung (direct method). Mereka beranggapan hal yang terpenting

dalam pembelajaran bahasa adalah penguasaan bahasa lisan, bukan tulis. Dalam hal ini,

pembelajar dipajankan langsung pada bunyi-bunyi bahasa, dan penjelasan mengenai

kata-kata baru tidak melalui penerjemahan melainkan dengan keterangan dari bahasa

aslinya atau peragaan alat visual. Melalui metode ini pengajaran tata bahasa tidak

diajarkan secara deduktif seperti metode sebelumnya (Purwo, 1990:44-45).

Menjelang perang dunia ke 2, muncul metode audiolingual. Metode ini sejalan

dengan pandangan linguistik struktural dari Bloomfield, serta dipengaruhi oleh aliran

behaviourisme dari Skinner yang mengajukan teori stimulus-respon. Proses pembelajaran

bahasanya didominasi oleh latihan mendengarkan dan mengucapkan pola-pola kalimat

terus menerus (drill dan pattern practice) sehingga pola-pola kalimat yang dilatihkan akan

terekam dan menjadi kebiasaan pada diri pembelajar. Selanjutnya, pada tahun 1965,

Noam Chomsky mengkritik pemerolehan bahasa menurut kaum behavioris tersebut.

Menurutnya belajar bahasa bukanlah soal pembentukan kebiasaan, melainkan merupakan

proses kreatif: suatu kegiatan yang rasionalistis dan kognitif, dan bukan merupakan hasil

dari suatu respon terhadap stimulus dari luar (Purwo, 1990:47). Chomsky yang

merupakan pelopor aliran linguistik tatabahasa transformasional, memperkenalkan konsep

kompetensi (pengetahuan tentang tatabahasa yang diperlukan untuk mengkodekan dan

memproduksi bahasa) dan performansi (realisasi kode bahasa dalam pemakaian bahasa

yang sebenarnya). Dalam konteks pembelajaran bahasa pembentukan kompetensi

menjadi penting. Caranya dengan memberikan kesadaran pada pembelajar mengenai

kaidah-kaidah tatabahasa bahasa target.

Keempat aliran tersebut pada dasarnya memiliki ciri yang sama yaitu menekankan

pada struktur bahasa dari bahasa target. Perbedaannya hanya terletak pada cara

Page 4: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

4

penyajiannya. Keempatnya sama sekali tidak memperhitungkan aspek sosiokultural dari

sebuah peristiwa tuturan, dan hal itu berarti lepas dari konteks komunikatifnya. Reaksi

terhadap berbagai pendekatan dan metode tersebut muncul dari Dell Hymes yang

mengkritik pandangan Chomsky. Hymes berpandangan bahwa ada kaidah-kaidah

penggunaan bahasa yang tanpa itu kaidah-kaidah tata bahasa tidak akan ada gunanya.

Pembelajaran bahasa tidak hanya menyangkut persoalan kegramatikalan. Yang lebih

penting dari itu adalah persoalan kecocokan (appropriateness) penggunaan suatu tuturan

pada konteks sosiokulturalnya. Lebih jauh Hymes menegaskan bahwa pengertian

kompetensi perlu diperluas hingga mencakup pula kecocokan kontekstual. Pandangan

Hymes memperoleh dukungan dari Halliday yang menolak dikotomi kompetensi dan

performansi. Menurutnya kompetensi dari Chomsky hanya mencakup „apa yang diketahui

oleh si penutur“, dan bukan „apa yang dapat ditindakkan oleh si penutur“ (Purwo,

1990:49). Dari pandangan kedua ahli tersebut kemudian muncullah pendekatan

komunikatif dalam pembelajaran bahasa.

Pendekatan komunikatif menurut Richards & Schmidt (2002) adalah

an approach to foreign or second language teaching which emphasizes that the goal of language learning is communicative competence and which seeks to make meaningful communication and language use a focus of all classroom activities.

Berdasarkan pendapat tersebut terlihat jelas bahwa tujuan utama dari pendekatan

komunikatif adalah pemerolehan kompetensi komunikatif. Dalam payung kompetensi

komunikatif inilah, kompetensi pragmatik menemukan tempatnya. Hal ini bisa dilihat dari

unsur-unsur yang tercakup dalam kompetensi komunikatif menurut Canale dan Swain

seperti tergambar dalam bagan 1. Dari bagan tersebut diketahui bahwa kompetensi

komunikatif tidak hanya berupa kompetensi gramatikal, namun juga mencakup

kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis. Rincian tersebut juga menunjukan

bahwa pendekatan komunikatif sudah memperhitungkan aspek sosiokultural, meski belum

secara jelas menyebutkan pengetahuan pragmatik.

Page 5: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

Communicative Competence (Canale and Swain, 1980)

Grammatical Competence

(knowledge of lexical items and of rules of morphology, syntax, sentence- grammar semantics, and phonology)

Bagan 1. Kompetensi Komunikatif menurut Canale dan Swain(sumber: http://www.auburn.edu/~nunnath/engl6240/clt.html

Model yang diajukan oleh Canale dan Swain selanjutnya dimodifikasi oleh

Bachman. Kompetensi berbahasa menurut Bachmann terbagi atas dua yaitu kompetensi

organisasi dan kompetensi pragmatik. Kompetensi

unit linguistik dan aturan

gramatikal) dan dalam tataran wacana (kompetensi te

pragmatik dapat dibagi atas kompentensi ilokusi, yaitu pengetahuan tentang tindak

komunikasi dan bagaimana merealisasikannya, serta kompetensi sosiolinguistik yaitu

kemampuan untuk menggunakan b

(Kasper, 1997). Secara ringkas model yang diajukan Bachman tersajikan dalam bagan 2.

Bagan 2. Kompetensi Berbahasa menurut Bachman (sumber: http://foreign.jiangnan.edu.cn/yyzx/Detail.aspx?uid=94

Communicative Competence (Canale and Swain, 1980)

Sociolinguistic Competence

Strategic Competence

(verbal and non-verbal communication strategies that may be calledinto action to compensate for break

downs in communicaperformance variables or to

insufficient competence)

SocioculturalCompetence

(knowledge of the

relation of language use to its

non-linguistic context)

DiscourseCompetence

(knowledge of rules governing cohesion and coherence)

Kompetensi Komunikatif menurut Canale dan Swainhttp://www.auburn.edu/~nunnath/engl6240/clt.html)

Model yang diajukan oleh Canale dan Swain selanjutnya dimodifikasi oleh

. Kompetensi berbahasa menurut Bachmann terbagi atas dua yaitu kompetensi

organisasi dan kompetensi pragmatik. Kompetensi organisasi meliputi pengetahuan unit

unit linguistik dan aturan untuk merangkainya dalam tataran kalimat (kompetensi

alam tataran wacana (kompetensi tekstual). Sedang kompetensi

pragmatik dapat dibagi atas kompentensi ilokusi, yaitu pengetahuan tentang tindak

komunikasi dan bagaimana merealisasikannya, serta kompetensi sosiolinguistik yaitu

kemampuan untuk menggunakan bahasa secara tepat berdasarkan konteks yang ada

Secara ringkas model yang diajukan Bachman tersajikan dalam bagan 2.

. Kompetensi Berbahasa menurut Bachman http://foreign.jiangnan.edu.cn/yyzx/Detail.aspx?uid=94)

5

Strategic Competence

verbal communi-cation strategies that may be calledinto action to compensate for break-

downs in communication due toperformance variables or to

insufficient competence)

Model yang diajukan oleh Canale dan Swain selanjutnya dimodifikasi oleh

. Kompetensi berbahasa menurut Bachmann terbagi atas dua yaitu kompetensi

pengetahuan unit-

untuk merangkainya dalam tataran kalimat (kompetensi

. Sedang kompetensi

pragmatik dapat dibagi atas kompentensi ilokusi, yaitu pengetahuan tentang tindak

komunikasi dan bagaimana merealisasikannya, serta kompetensi sosiolinguistik yaitu

ahasa secara tepat berdasarkan konteks yang ada

Secara ringkas model yang diajukan Bachman tersajikan dalam bagan 2.

)

Page 6: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

6

Berdasarkan model yang diajukan oleh Bachman, terlihat bahwa kompetensi

pragmatik memiliki kedudukan sejajar dengan kompetensi gramatikal yang selama ini

memperoleh perhatian lebih banyak dari pengajar bahasa. Dalam realisasinya, kompetensi

pragmatik akan berinteraksi dengan kompetensi organisasi untuk mewujudkan

kemampuan berbahasa yang komprehensif seseorang.

Meski dalam model Bachman ini sudah tergambar secara jelas bahwa kemampuan

berbahasa yang komprehensif meliputi penguasaan atas kompetensi organisasi dan

pragmatik, tetap timbul pertanyaan apakah kompetensi pragmatik perlu diajarkan dalam

pembelajaran bahasa? Pertanyaan ini muncul, karena beberapa alasan. Pertama, ada

sebagian orang beranggapan bahwa kemampuan pragmatik akan muncul dengan

sendirinya seiring meningkatnya penguasaan kompetensi organisasi, terutama

pengetahuan gramatikal dan leksikal. Hal itu kemudian menjadi terbantahkan, karena

penguasaan gramatikal dan leksikal yang baik tidak selalu ekuivalen dengan kompetensi

pragmatik yang baik pula. Boxer dan Pickering (via Salemi, Rabiee dan Ketabi, 2012)

mengatakan pembelajar yang menguasai tatabahasa dengan baik, bisa saja tidak

mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang tepat dalam situasi yang berbeda-

beda dan yang melenceng dari norma pragmatik bahasa target. Mereka seringkali

menerjemahkan secara langsung tindak tutur bahasa pertama ke dalam bahasa target

ketika mencoba untuk menyampaikan makna yang dimaksud. Hal ini bisa menimbulkan

kesalahan pragmatik. Di sinilah letak persoalannya, karena kesalahan pragmatik

(pragmatic failure) sering tidak menjadi perhatian para guru bahasa, dibandingkan

dengan kesalahan gramatikal.

Kedua, aspek-aspek dalam pragmatik dipercayai oleh sebagian orang bersifat

universal. Ketika seseorang mempelajari bahasa ke dua (L2), pada dasarnya ia telah

mengenal aspek-aspek pragmatik dalam bahasa ibunya (L1), seperti adanya tuturan tak

langsung atau langsung, pengetahuan bahwa dalam berkomunikasi terdapat jarak sosial

dan psikologis, perlunya memahami strategi komunikasi, serta adanya berbagai jenis

tindak tutur. Kompetensi pragmatik dalam bahasa pertama itu kemudian akan ditransfer

ke dalam bahasa target saat pembelajar akan berkomunikasi menggunakan bahasa

target. Hal ini tentu tidak menjadi masalah ketika transfer yang terjadi bersifat positif,

terutama ketika bahasa target dan bahasa pertama dari pembelajar memiliki latar

belakang budaya yang tidak jauh berbeda. Walaupun begitu transfer negatif tetap saja

Page 7: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

7

bisa terjadi, apalagi jika latar belakang budaya antara bahasa target dan bahasa pertama

jauh berbeda. Transfer pengetahuan pragmatik yang negatif berpotensi menimbulkan

kesalahan pragmatik. Munculnya kesalahan pragmatik beresiko mengganggu kelancaran

proses komunikasi. Bardovi-Harlig (via Chen, 2009) menyatakan bahwa seorang penutur

yang secara pragmatik tidak tepat dalam menyampaikan tuturannya setidaknya akan

tampak tidak kooperatif, bahkan bisa dianggap kasar dan menghina. Berdasarkan paparan

tersebut dapat ditegaskan bahwa pembelajar bahasa sudah selayaknya difasilitasi untuk

memiliki kompetensi pragmatik yang baik.

Perlunya pembelajaran pragmatik yang bisa memfasilitasi pembelajar untuk meraih

kompetensi komunikatif ditekankan oleh V.G dan Rajan (2012). Dengan mengambil kasus

di India, mereka menyatakan bahwa banyak pembelajar tidak dapat memproduksi ujaran-

ujaran untuk mengkomunikasikan maksud khusus yang ingin disampaikan dalam bahasa

kedua (bahasa Inggris). Hal ini disebabkan karena pembelajaran bahasa kedua di India

jarang memperhatikan aspek tersebut. Padahal menurut mereka tidak dimilikinya

kompetensi pragmatik bisa menghambat pembelajar untuk memperoleh pekerjaan yang

lebih baik. Hal ini didukung oleh Campbel dan Robert (via Louw, Derwing dan Abbot,

2010) yang berpendapat bahwa kompetensi pragmatik merupakan salah satu variabel

penting dalam dunia kerja, karena kompetensi tersebut mendukung keberhasilan

berkomunikasi.

Zhang dan Yan (2012) menunjukan bahwa pembelajaran pragmatik dapat mulai

diajarkan sejak anak-anak, terutama untuk menumbuhkan kesadaran akan aspek

sosiopragmatik. Dengan membandingkan kelas imersi dan non-imersi, hasil penelitian ini

menunjukan bahwa pengajaran tipe imersi lebih efektif dalam mengembangkan kesadaran

sosiopragmatik bahasa Inggris dalam strategi permintaan sebagai lawan dari strategi

menjawab. Kesimpulan lain yang diperoleh adalah tindak tutur merupakan salah satu

variabel penting yang mempengaruhi kompetensi sosiopragmatik dari bahasa kedua

selama masa kanak-kanak. Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat ditegaskan sekali lagi

bahwa kompetensi pragmatik perlu dibangun pada pembelajar melalui sebuah

pembelajaran yang terencana.

2. Kompetensi Pragmatik dan Tujuan Pembelajaran Pragmatik

Kompetensi pragmatik menurut Taguchi (2011:289 - 291) adalah kemampuan

untuk berkomunikasi dan menginterpretasi makna dalam interaksi sosial, serta mencakup

Page 8: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

8

kemampuan untuk mengatur keterkaitan yang kompleks antara bahasa, pengguna bahasa

dan konteks interaksi. Penjelasan dari Taguchi ini memperlihatkan bahwa ihwal

kompetensi pragmatik merupakan hal yang kompleks, terlebih bila dilakukan tilikan

terhadap unsur-unsur kompetensi pragmatik menurut Bachman. Begitu banyaknya unsur

yang saling terkait di dalamnya membuat penyelenggaraan program pembelajaran yang

bisa memfasilitasi pembelajar untuk meraih kompetensi pragmatik tidak mudah untuk

dilakukan.

Guna mencapai kompetensi pragmatik yang baik, pembelajar dan pengajar harus

memperhatikan dua unsur pragmatik yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik (Brown &

Levinson dalam Tan dan Farashaiyan, 2012:189). Pragmalinguistik berkaitan dengan

pengetahuan mengenai unsur-unsur linguistik yang dapat digunakan untuk melakukan

komunikasi atau merealisasikan tindak tutur tertentu. Pragmalinguistik antara lain meliputi

strategi pragmatik seperti tuturan langsung atau tidak langsung, aspek kebahasaan yang

bersifat rutin, dan serangkaian bentuk linguistik yang dapat memperkuat atau

memperhalus tindak komunikatif. Sedang sosiopragmatik berkaitan dengan penggunaan

bentuk-bentuk linguistik yang tepat sesuai konteks, peran partisipan dalam konteks

tersebut, faktor kesopanan yang terkait dengan jarak sosial antara penutur dan mitra

tutur, kekuasaan secara sosial, hak dan kewajiban dari peserta tutur dan tingkat beban

(Kasper, 1997). Sosiopragmatik merupakan perjumpaan antara faktor-faktor sosiologis

dengan pragmatik. Secara sederhana sosiopragmatik dapat dikatakan sebagai

kemampuan untuk menilai konteks sosial yang meliputi peristiwa tutur termasuk peran

penutur dan mitra tutur di dalamnya.

Dua unsur tersebut – yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik - harus dijadikan

pijakan awal dalam merancang pembelajaran pragmatik, mulai dari penetuan tujuan

pembelajaran, penyusunan bahan ajar, cara mengajarkan pragmatik hingga prosedur

untuk menakar kompetensi pragmatik.

Secara umum tujuan pembelajaran pragmatik menurut Bardovi-Harlig dan Mahan-

Taylor (2009) adalah untuk meningkatkan kesadaran pragmatik pembelajar dan memberi

mereka pilihan mengenai interaksi-interaksi dalam bahasa target. Dengan demikian

pembelajar diharapkan menjadi tidak asing dengan jangkauan perangkat pragmatik dan

mampu mempraktikannya dalam bahasa target. Sejalan dengan itu, Kasper (1997)

menjelaskan bahwa intervensi secara pedagogis pada pembelajar bertujuan untuk

Page 9: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

9

menyadarkan pengetahuan pragmatik yang telah dimiliki pembelajar, mengingat bahwa

sebenarnya pengetahuan pragmatik dalam bahasa pertama sudah dimiliki, serta untuk

mendorong mereka menggunakan pengetahuan pragmatik tersebut dalam konteks

bahasa target.

3. Materi Pembelajaran Pragmatik

Dalam penyusunan materi pembelajaran ada 3 aspek yang perlu pertimbangkan,

yaitu konteks sosial, penggunaan bahasa secara fungsional dan interaksi (Taguchi, 2011).

Jika ketiga faktor tersebut dipergunakan dalam rangka penyusunan bahan ajar pragmatik,

pembelajar akan mengetahui strategi dan bentuk linguistik yang bisa direalisasikan dalam

tindak tutur, serta bagaimana strategi tersebut dipergunakan dalam berbagai konteks

yang beragam. Secara lebih rinci, Kasper (1997) memberikan penjelasan mengenai bahan

ajar yang dapat diberikan pada pembelajar diantaranya adalah: (1) penanda wacana dan

strategi wacana, serta pragmatik rutin; (2) tindak tutur khusus seperti tuturan untuk

menyatakan penghargaan/pujian, permintaan maaf, keluhan, penolakan, salam; (3)

kesopanan dan (4) implikatur.

Bentuk-bentuk tuturan yang akan dijadikan bahan pembelajaran pragmatik

hendaknya merupakan tuturan-tuturan yang otentik. Bahan tersebut dapat diperoleh dari

rekaman pembicaraan telepon, acara bincang-bincang di televisi, film, surat elektronik

atau dari internet (Bardovi-Harlig dan Mahan-Taylor, 2008). Bahan ajar yang otentik

tersebut disampaikan dengan mengikutsertakan kegiatan menginterpretasi tuturan yang

disajikan dan aktivitas yang bersifat produktif, seperti bermain peran. Penelitian dari

Jernigan (2012:7) berhasil membuktikan bahwa pembelajaran dengan memanfaatkan

video efektif untuk meningkatkan kemampuan pragmatik interkultural pembelajar bahasa

Inggris sebagai bahasa kedua, yang ditunjukan dari peningkatan hasil tes tulis penilaian

keberterimaan pragmatis (pragmatic acceptability judgment task).

Cohen (2008) berpendapat aspek terpenting dari pragmatik bila dikaitkan dengan

pembelajaran bahasa ke dua adalah tindak tutur khusus. Oleh karena itu, tindak tutur

merupakan aspek utama yang harus diajarkan. Pandangan Cohen tersebut kemudian

direalisasikan dalam sebuah situs internet yang menyajikan hal-ihwal pembelajaran

pragmatik dengan tindak tutur sebagai titik pijaknya. Situs tersebut merupakan bagian

dari program yang disebut CARLA (The Center for Advance Research on Language

Acquisition). Khusus bidang pragmatik dapat dilihat di alamat web berikut:

Page 10: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

10

http://www.carla.umn.edu/speechacts/index.html. Situs ini sekiranya dapat digunakan

sebagai bahan tilikan dalam menyusun program pembelajaran pragmatik, khususnya bagi

pembelajaran bahasa kedua.

Situs ini juga menyediakan program khusus pembelajaran pragmatik bagi

pembelajar bahasa Spanyol sebagai bahasa kedua, yang diberi nama Dancing with Words.

Tindak tutur yang disajikan dalam Dancing with Words meliputi pujian, penyampaian

terima kasih dan perpisahan, permintaan maaf, penyampaian undangan, pemberian

pelayanan, nasihat, saran, pernyataan ketidaksetujuan, dan teguran. Setiap tindak tutur

tersebut dikemas dalam satu modul yang terdiri atas pengantar, memasuki tindak tutur,

strategi performansi pragmatik, strategi sosiopragmatik dan pragmalinguistik, faktor-faktor

sosiokultural, variasi bahasa dan kesimpulan. Dari paparan mengenai bahan ajar tersebut,

maka dapat disimpulkan bahwa aspek pragmatik yang utama untuk diajarkan adalah

tindak tutur khusus, disamping juga pengetahuan sosiopragmatik.

Salah satu tindak tutur khusus adalah penolakan (refusal). Penelitian yang

mengkaji pembelajaran pragmatik dan tindak tutur penolakan dilakukan Soler dan Pitarch

(2010). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) intervensi pedagogis memiliki

pengaruh terhadap jumlah informasi yang perlu dihadirkan selama merencanakan dan

mengeksekusi tindak tutur penolakan; (2) pembelajaran yang diberikan dalam penelitian

ini terbukti efektiv untuk mengarahkan perhatian pembelajar terhadap pengetahuan

eksplisit dari strategi penolakan (pengetahuan pragmalinguistik) dalam relasinya dengan

konteks (pengetahuan sosiopragmatik). Penelitian ini sekaligus juga menghasilkan

kesimpulan bahwa tugas peningkatan kesadaran (awareness-raising task) sebagai salah

satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengajarkan pragmatik.

4. Strategi Pembelajaran Pragmatik

Persoalan berikutnya yang terkait dengan pembentukan kompetensi pragmatik

pada pembelajar bahasa adalah strategi pembelajarannya. Persoalan ini tentu tidak

mudah untuk diuraikan, karena hal-ihwal yang terkait dengan pragmatik cukup kompleks.

Bagi guru bahasa kedua (bahasa asing) yang mengajarkan bahasa target di luar

masyarakat penutur bahasa target tersebut, tantangan untuk mengintegrasikan pragmatik

dalam pembelajaran yang diampunya semakin berat. Salah satunya adalah kesulitan

untuk menemukan konteks sosial yang nyata, yang bisa digunakan oleh pembelajar untuk

mempraktekan tindak komunikasi yang telah dipelajari. Selain itu, pengajar bahasa kedua

Page 11: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

11

(asing) harus menguasai bahasa target secara gramatikal dan leksikal yang baik dan

mampu berkomunikasi secara tepat dalam bahasa tersebut. Dia juga harus mengenal

dengan baik latar belakang budaya dari bahasa target, serta mampu memperhitungkan

adanya transfer negatif dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua.

Berbagai aspek yang terlibat dalam proses belajar pragmatik dapat dilihat pada

bagan 3 (dikutip dari Roever, 2009:562).

Dari bagan tersebut terlihat bahwa dua unsur pragmatik, yaitu sosiopragmatik dan

pragmalinguistik perlu dikembangkan bersamaan. Pada sisi sosiopragmatik, pembelajar

perlu menghadirkan fitur-fitur sosiopragmatik berdasarkan input yang terkait seperti

ekspresi dari interlokutor, bentuk relasi dan konteks. Pemrosesan fitur sosiopragmatik

tersebut akan menjadi dasar untuk membangun pengetahuan mengenai karakteristik

interlokutor seperti apa yang relevan dan bagaimana konteks bisa mempengaruhi

penggunaan bahasa. Input yang bersifat sosiopragmatik dapat diperoleh dari kontak

interpersonal, interaksi ataupun dari observasi. Pada sisi pragmalinguistik, pembelajar

Bagan 3. Model Proses Belajar Pragmatik menurut Roever (2009)

Page 12: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

12

harus dapat menghadirkan aspek pragmatik dari input kebahasaan yang bersifat umum,

misalnya penggunaan modalitas dan pertanyaan untuk mengekspreksikan tindak tutur

permintaan maaf secara tak langsung, sebagai alternatif penggunaan pernyataan

deklaratif. Input yang secara pragmalinguistik berhasil diidentifikasi relevan dengan

konteks sosial akan menjadi masukan bagi pembelajar untuk membangun pengetahuan

pragmalinguistiknya. Pengetahuan ini sewaktu-waktu dapat digunakan (dikodekan)

kembali ketika menemui situasi tutur yang cocok. Peran pengajar di sini adalah membantu

pembelajar untuk menghubungkan pengetahuan tersebut dengan pengetahuan

sosiopragmatik.

Dalam konteks pembelajaran bahasa kedua, aspek lain yang juga perlu mendapat

perhatian adalah adanya transfer dari bahasa pertama, karena berpengaruh terhadap

perkembangan pengetahuan sosiopragmatik, pragmalinguistik dan kebahasaan bahasa

target, terutama pada pembelajar tingkat pemula. Bagi pembelajar tingkat lanjut,

permasalahan tersebut relatif bekrkurang. Bu (2012) menemukan bahwa pembelajar

bahasa kedua yang cakap akan semakin sedikit melakukan transfer norma pragmatik dari

bahasa pertama karena mereka telah memiliki kontrol yang cukup terhadap bahasa

kedua.

Pragmatik yang terdiri atas pragmalinguistik dan sosiopragmatik dapat

direalisasikan dalam pembelajaran bahasa dengan berbagai cara. Strategi pembelajaran

pragmatik yang cukup dikenal dan juga diteliti adalah pendekatan eksplisit yang

dilawankan dengan pendekatan implisit. Pada pendekatan yang pertama fitur-fitur

pragmatik dideskripsikan, dijelaskan guru serta didiskusikan untuk melengkapi input

kebahasaan dan latihan. Pada pendekatan implisit, input-input linguistik dan latihan

disajikan namun tidak disertai penjelasan tentang komponen metapragmatik (Kasper,

1997). Taguchi (2011:291) menambahkan, bahwa dalam pembelajaran pragmatik yang

bersifat eksplisit fitur-fitur pragmatik dari bahasa target dijelaskan secara langsung dan

diikuti dengan latihan. Sebaliknya, pada pendekatan implisit, penjelasan langsung

ditiadakan (atau setidaknya ditunda). Dengan demikian pembelajar hanya diberi input dan

kesempatan untuk berlatih. Melalui latihan-latihan tersebut, pembelajar diharapkan dapat

mengembangkan pemahaman secara implisit terhadap bentuk-bentuk pragmatik dan

penggunaannya.

Page 13: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

13

Beberapa penelitian yang mengkaji penerapan pendekatan eksplisit dan implisit

dalam pembelajaran pragmatik antara lain dilakukan oleh Fukuya dan Martinez-Flor

(2008), Farrokhi dan Atashian (2012), Tan dan Farashaiyan (2012), serta oleh Salemi,

Rabiee dan Ketabi (2012).

Fukuya dan Martinez-Flor (2008) meneliti efek interaksi antara dua bentuk tugas

penilaian (e-mail dan telepon) dengan dua tipe pengajaran (eksplisit dan implicit)

dikaitkan dengan bentuk tuturan penyampaian saran yang secara pragmatik dan linguistik

akurat. Kelompok yang memperoleh pembelajaran secara eksplisit diberi informasi

metapragmatik tentang penggunaan head acts dan Hedge dalam tindak tutur saran,

sementara kelompok yang lain tidak memperoleh informasi tersebut, namun memperoleh

aktivitas penataan kembali (recast) dan input peningkatan (enhancement input). Hasil

penelitian menunjukan bahwa kelompok eksplisit setelah pembelajaran memiliki

perkembangan yang signifikan pada tugas pembicaraan telepon dibanding kelompok yang

memperoleh pembelajaran pragmatik secara implisit. Namun dalam tugas menulis e-mail,

perkembangan kedua kelompok tersebut berjalan setara. Dari hasil penelitian tersebut

dapat disimpulkan bahwa keberhasilan penerapan pembelajaran yang bersifat eksplisit

dan implisit dipengaruhi oleh bentuk tugas yang diberikan.

Penelitian quasi-experimental dari Farrokhi dan Atashian (2012) mengkaji tindak

tutur penolakan (refusal) dikaitkan dengan pembelajaran pragmatik yang bersifat eksplisit

dan implisit. Responden dari penelitian ini ditempatkan dalam tiga kelompok, yaitu

kelompok yang menerima pembelajaran secara eksplisit, implisit dan kelompok kontrol.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pembelajaran pragmatik yang bersifat eksplisit

terbukti lebih efektif dibanding yang bersifat implisit dalam meningkatkan performansi

pragmatik pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Iran, terutama dalam tindak

tutur penolakan. Sejalan dengan penelitian tersebut, Salemi, Rabiee dan Ketabi (2012)

membandingkan pengaruh pembelajaran implisit dengan eksplisit, serta pemberian umpan

balik dalam perkembangan kompetensi pragmatik pada pembelajar bahasa Inggris

sebagai bahasa asing di Iran khususnya tindak tutur pemberian saran. Subjek penelitian

dibagi ke dalam empat kelompok eksperimental dan satu kelompok kontrol. Kelompok

eksperimen pertama menerima pembelajaran dan umpan balik yang eksplisit, kelompok

kedua memperoleh pembelajaran eksplisit dan umpan balik yang implisit, kelompok ketiga

memperoleh pembelajaran implisit dan umpan balik eksplist, dan kelompok keempat

Page 14: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

14

mendapatkan pembelajaran dan umpan balik implisit. Hasil studi ini menunjukan bahwa

pembelajaran dan pemberian umpan balik yang eksplisit memberikan pengaruh yang lebih

baik pada kompetensi pragmatik pembelajar, meskipun di sisi lain penelitian ini juga

menunjukan bahwa pembelajar cenderung melupakan materi pembelajaran setelah empat

minggu. Hasil penelitian Tan dan Farashaiyan (2012) juga mendukung penelitian

sebelumnya. Mereka menemukan bahwa pembelajaran yang berbasis pendekatan eksplisit

efektif membantu pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dalam memahami dan

memproduksi tindak tutur permintaan.

Taguchi (2011:296) lalu menawarkan bentuk tugas yang dapat mengintegrasikan

aspek konteks sosial, penggunaan bahasa secara fungsional dan interaksi. Tugas pertama

merupakan tugas untuk meningkatkan kesadaran pembelajar (consciousness-raising task).

Bentuk kegiatannya berupa kegiatan menyimak dan memperhatikan variabel pragmatik

dan sosiolinguistik dari suatu peristiwa tuturan khusus. Tugas berikutnya adalah tugas

untuk mengasah keterampilan reseptif, dimana pembelajar memperoleh input-input

pragmatik lalu mengevaluasi dan memilih bentuk pragmatik yang cocok. Tugas terakhir

adalah tugas yang bersifat produktif yaitu dengan melibatkan pembelajar untuk

melakukan role-play, membuat percakapan terstruktur atau diberi kesempatan untuk

menjawab tes melengkapi wacana (discourse completion test) atau tes rumpang (cloze

test).

Strategi lain yang bisa digunakan untuk pengembangan kompetensi pragmatik dan

interkultural adalah dengan menggunakan model 6R yang diajukan oleh Martinez-Flor dan

Uso’-Juan (via Shively, 2010:110). Model, yang pada dasarnya berbasis pendekatan

eksplisit ini terdiri atas enam tahapan yaitu researching, reflecting, receiving, reasoning,

rehearsing dan revising. Pada tahap pertama, pembelajar diberi penjelasan mengenai

konsep pragmatik dan tindak tutur tertentu seperti permohonan, permintaan maaf dan

penolakan. Pembelajar kemudian mengumpulkan data pragmatik dalam bahasa pertama.

Pada tahap kedua, pembelajar menganalisis data tersebut dibawah bimbingan guru.

Tahap ini akan meningkatkan kesadaran pembelajar mengenai faktor-faktor sosial dan

situasi yang mempengaruhi perilaku pragmatik. Pada tahap ketiga, pembelajar

memperoleh petunjuk yang eksplisit tentang bagaimana fitur-fitur pragmatik dapat

direalisasikan dalam bahasa kedua (bahasa target). Sebagai contoh pembelajar ditunjukan

serangkaian strategi yang mungkin digunakan untuk menyatakan tindak tutur permintaan

Page 15: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

15

dalam bahasa target dan membandingkannya dengan tindak tutur bahasa pertama. Pada

tahap keempat, pembelajar menganalisis data pragmatik bahasa kedua dan

mengidentifikasi faktor sosial dan situasional, serta intensi penutur. Aktivitas ini

merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran. Tahap kelima, pembelajar

mempraktekan pengetahuan pragmatiknya dengan berpartisipasi dalam aktivitas

komunikatif, dimulai dari yang agak terkontrol hingga lebih bebas. Tahap terakhir,

pembelajar menerima umpan balik dan petunjuk lebih lanjut untuk mengembangkan

performansi pragmatiknya dalam aktivitas berkomunikasi.

C. Penutup

Pragmatik sebagai bagian dari linguistik yang mengkaji penggunaan tindak

komunikasi dalam konteks sosiokultural saat ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan

dari pembelajaran bahasa, termasuk pembelajaran bahasa untuk anak-anak. Kemunculan

aspek pragmatik dalam pembelajaran bahasa bersamaan dengan munculnya pendekatan

komunikatif. Pendekatan ini merupakan reaksi atas beberapa metode dan pendekatan

sebelumnya yang mementingkan penguasaan tatabahasa dan mengesampingkan aspek

sosiokultural, seperti metode tatabahasa terjemahan, metode langsung, metode

audiolingual dan pendekatan yang berbasis pada tatabahasa generatif dari Chomsky.

Sebaliknya, pendekatan komunikatif yang menonjolkan aspek fungsi dan makna bahasa

mulai melibatkan aspek sosiokultural. Hal ini sesuai dengan pendapat Hymes, bahwa

belajar bahasa tidak hanya persoalan kegramatikalan tetapi yang tak kalah penting adalah

aspek kecocokan sebuah tuturan dengan konteks sosiokulturalnya. Atas dasar itulah,

pragmatik perlu diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa. Ada dua alasan yang

mendukung pembelajaran pragmatik, yaitu (1) memfasilitasi pembelajar untuk mampu

mengenali aspek-aspek sosial dan interpersonal yang terkait dalam sebuah peristiwa

tutur, sehingga ia dapat merangkai sebuah tuturan yang tepat (cocok), dan (2) untuk

menghindari adanya kesalahan pragmatik (pragmatic failure) saat melakukan tindak

komunikasi.

Pragmatik terdiri atas dua bagian yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik.

Kedua aspek tersebut harus dijadikan landasan dalam penyusunan bahan ajar serta

penentuan strategi pembelajaran pragmatik. Materi pembelajaran utama yang perlu

diajarkan terkait dengan pembentukan kompetensi pragmatik adalah tindak tutur khusus,

selain aspek implikatur, kesopanan, penanda dan strategi wacana, serta pragmatik rutin.

Page 16: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

16

Materi tersebut dapat diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa dengan menggunakan

berbagai strategi dan pendekatan.

Pendekatan yang populer dipakai adalah pendekatan eksplisit dan implisit. Melalui

pendekatan eksplisit, pembelajar akan diberi penjelasan mengenai fitur dan norma

pragmatik yang disertai latihan. Sebaliknya dalam pendekatan implisit, pembelajar hanya

diberi latihan dan input pragmatik tanpa penjelasan. Kedua pendekatan tersebut bukan

merupakan hal yang bersifat diskrit, namun bersifat kontinyu. Hal ini berarti keduanya

dapat dipakai secara bergantian. Pendekatan eksplisit lebih tepat digunakan bagi

pembelajar bahasa kedua tingkat awal. Seiring peningkatan kemampuan berbahasa

pembelajar pendekatan yang bersifat implisit dapat diberikan. Strategi lain yang bisa

digunakan adalah strategi pembelajaran 6R yang terdiri atas researching, reflecting,

receiving, reasoning, rehearsing dan revising. Strategi ini mencakup proses penyadaran

terhadap konsep pragmatik, pemberian input dalam bahasa pertama dan bahasa target,

latihan menerapkan pengetahuan pragmatik dalam tindak komunikatif, dan umpan balik

dari pengajar.

Daftar Pustaka

Bardovi-Harlig, Kathleen. 2005. On the Role of Formulas in the Acquisition of L2 Pragmatics. Indiana University. Diakses dari http://www.slate.illinois.edu/events/lecture/documents/kbhuiuctalk.pptpada tanggal 4 Mei 2013.

Bardovi-Harlig, Kathleen, dan Mahan-Taylor, Rebecca. 2009. “Introduction” dalam Teaching Pragmatics. Diakses dari http://www.indiana.edu/~dsls/publications/introms.pdf pada tanggal 14 April 2013.

Bu, Jiemin. 2012. ”A Study of Relationships between L1 Pragmatic Transfer and L2 Proficiency” dalam English Language Teaching, Vol. 5. No. 1; January 2012. Doi:10.5539/elt.v5n1p32, diakses dari http://www.ccsenet.org/journal/index.php/elt/article/view/13874 pada tanggal 28 Maret 2013.

Chen, Yuanshan. 2009. “Learner Perceptions of Instruction in L2 Pragmatics” dalam English Language Teaching. Vol. 2, No. 4 Desember 2009, diakses dari http://ccsenet.org/journal/index.php/elt/article/view/4465 pada tanggal 16 April 2013.

Cohen, Andrew D. 2008. “Teaching and Assesing L2 Pragmatics: What can we expect from learners?” dalam Language Teaching, 41:2, pp. 213 – 235.

Page 17: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

17

Doi:0.1017/S0261444807004880. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/217739849/13E0791E0E06D4E2306/1?accountid=31324 pada tanggal 28 Pebruari 2013.

Farrokhi, Farahman, dan Atashian, Soheil. 2012. „The Role of Refusal Instruction in Pragmatic Development” dalam World Journal of Education Vol 2, No. 4: August 2012. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/1035265911/fulltextPDF/13E11E78CBB35DDE24C/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Februari 2013.

Fukuya, Yoshinori J., dan Martinez-Flor, Alicia. 2008. “The Interactive Effects of Pragmatic-Eliciting Tasks and Pragmatic Instruction” dalam Foreign Language Annals, Fall 2008, 41, 3. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/216007140/fulltextPDF/13E11DA26EA3ED11B5/1?accountid=31324, pada tanggal 5 Februari 2013.

Jerniga, Justin. 2012. “Output and English as a Second Language Pragmatic Development: The Effectiveness of Output-focused Video-based Instruction” dalam English Language Learning Vol. 5, No. 4, April 2012. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/1009897754/fulltextPDF/13E1CF617653176B1AB/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Pebruari 2013.

Kasper, G. 1997. Can pragmatic competence be taught? (NetWork #6) [HTML document]. Honolulu: University of Hawai'i, Second Language Teaching & Curriculum Center. Diakses dari http://www.nflrc.hawaii.edu/NetWorks/NW06/ pada tanggal 16 April 2013.

Louw, Kerry J., Derwing, Tracey M., dan Abbot, Marilyn L, 2010. “Teaching Pragmatics to L2 Learners for the Workplace: The Job Interview” dalam The Canadian Modern Language Review, 66, 5 (August) 739–758. Doi:10.3138/cmlr.66.5.739. Diakses dari http://utpjournals.metapress.com/content/l4621831326406q1/fulltext.pdfpada tanggal 5 Pebruari 2013.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Richards, Jack C., Schmidt, Richard. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. London: Pearson Education Limited.

Roever, Carsten. 2009. “Teaching and Testing Pragmatics” dalam Handbook of Language Teaching. West-Sussex: Blackwell Publishing Limited

Salemi, Azin., Rabiee, Mika dan Ketabi, Saeed. 2012. “The Effects of Explicit/Implicit Instruction and Feedback on the Development of Persian EFL Learners’ Pragmatic Competence in Suggestion Structures“. Dalam Journal of Language Teaching and Research, Vol 3, No 1 (2012), 188-199, Jan 2012, doi:10.4304/jltr.3.1.188-199, diakses dari http://ojs.academypublisher.com/index.php/jltr/article/view/6467 pada tanggal 16 April 2013.

Page 18: Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

18

Shively, Rachel L. 2010. “From the VirtualWorld to the Real World: A Model of Pragmatics Instruction for Study Abroad” dalam Foreign Language Annals Vol Diakses dari http://search.proquest.com/docview/871903263/fulltextPDF/13E12FAC1BD996A4B0/1?accountid=31324 pada tanggal 16 Mei 2013.

Soler, Eva Alcon., dan Pitarch, Joseph-Guzman. 2010. “The Effect of Instruction on Learners’ Pragmatik Awareness: a Focus on Refusals” dalam International Journal of English Studies. 10 (1), 2010, pp. 65 – 80. Diakses dari http://revistas.um.es/ijes/article/view/113981/107971 pada tanggal 14 Maret 2013.

Taguchi, Naoko. 2011. Teaching Pragmatics: Trends and Issues. Dalam Annual Review of Applied Linguistics (2011). 31, 289 – 310. Cambridge: Cambridge University Press. Doi: 10.1017/S0267190511000018, diakses dari http://search.proquest.com/docview/887087627/fulltextPDF/13DFE8EE40D7CC15DE1/1?accountid=31324.

Tan, Kim Hua., dan Farashaiyan, Atieh. 2012. „The Effectiveness of Teaching Formulaic Politeness Strategies in Making Request to Undergraduates in an ESL Classroom”. Dalam Asian Social Sciences. Vol. 8, No. 15. Doi: 10.5539/ass.v8n15p189, diakses dari http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/view/22661 pada tanggal 15 April 2013.

Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: Introduction to Pragmatics. London: Longman Group Limited.

V.G, Latha, dan Rajan, Premalatha. 2012. “Non-native Student’s Communication is Affected Due to the Lack of Pragmatic Competence” dalam English Language Teaching. Vol. 5, No. 2; February 2012. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/964018740/fulltextPDF/13E1B40AA8E30EF498D/1?accountid=31324, pada tanggal 14 Maret 2013

Zhan, Lei dan Yan, Rong. 2012. „Impact of Immersion Teaching on English Sociopragmatic Awareness of Chinese Kindergarten Childern: A Polite Study” dalam International Education, Spring 2012; 41, 2. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/1022057329/fulltextPDF/13E1BECCA92670D3579/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Pebruari 2013.