1 Pragmatik dan Pendidikan Bahasa oleh: Iman Santoso/NIM. 1201499 Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah : Pragmatik Lanjut Dosen Pengampu : Prof. E. Aminuddin Azis, M.A., Ph.D. Program Studi Linguistik (S3) Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia 2013 Makalah Kelas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Pragmatik dan Pendidikan Bahasa
oleh: Iman Santoso/NIM. 1201499
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pragmatik LanjutDosen Pengampu : Prof. E. Aminuddin Azis, M.A., Ph.D.
Program Studi Linguistik (S3)Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia2013
Makalah Kelas
2
A. Pendahuluan
Pragmatik merupakan salah satu bagian dari kajian Linguistik yang relatif masih
muda usianya, namun telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pragmatik
secara ringkas dapat didefinisikan sebagai studi tentang tindak komunikasi dalam konteks
sosiokultural. Sebuah tindak komunikasi tentu melibatkan interaksi antara penutur dan
mitra tutur, sehingga pragmatik dapat dipahami sebagai meaning in interaction (Thomas,
23). Kajian pragmatik dapat digunakan sebagai kerangka untuk memahami penggunaan
bahasa, yang tidak hanya meliputi tindak tutur, namun juga partisipasi dalam percakapan,
keterlibatan dalam berbagai jenis wacana dan upaya mempertahankan interaksi dalam
peristiwa tuturan yang kompleks (Kasper, 1997).
Dalam perjalanannya studi pragmatik telah memberi sumbangan yang tidak kecil
pada berbagai bidang lain, seperti dalam bidang klinis. Pragmatikpun telah diperhitungkan
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengajaran bahasa. Granger (via Bardovi-Harlig,
2005) mengatakan
Pragmatics has become a major field of study in its own right, in linguistics, and now in language learning and teaching. Pragmatic competence has come to be viewed as an essential part of learners’ competence.
Kompetensi pragmatik menjadi hal yang penting dalam pembelajaran bahasa,
karena seringkali dijumpai seorang pembelajar yang memiliki pengetahuan tatabahasa dan
kosakata yang baik, tidak dapat (kurang mampu) berkomunikasi dengan baik dalam
bahasa yang dipelajarinya. Tuturan yang dihasilkan seringkali tidak memenuhi kaidah
keberterimaan terkait dengan konteks tuturan. Salah satu penyebabnya diduga karena
dalam proses pembelajaran bahasa aspek pragmatik diabaikan.
Berkenaan dengan itu, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai peran
pragmatik dalam pembelajaran bahasa yang akan diperinci dalam beberapa aspek berikut:
(1) latar belakang munculnya pemikiran untuk mengintegrasikan pragmatik dalam
pembelajaran bahasa, (2) pentingnya pragmatik dalam pembelajaran bahasa, (3) bahan
ajar pragmatik dan (4) bagaimana aspek pragmatik dapat diajarkan. Makalah ini
merupakan hasil refleksi dari diskusi kelas dengan tema pragmatik dan pendidikan bahasa.
Dan disusun dengan mengacu pada beberapa referensi baik berupa buku maupun artikel
hasil pemikiran dan penelitian. Referensi utama berasal dari tulisan Kasper (1997), Cohen
(2008), Taguchi (2011), Roever (2009) dan Purwo (1990).
3
B. Pembahasan
1. Latar Belakang Kemunculan Pragmatik dalam Pembelajaran Bahasa
Diperhitungkannya kompetensi pragmatik sebagai bagian tak terpisahkan dari
pengajaran bahasa dapat ditelusuri dari perkembangan paradigma dan metode
pembelajaran bahasa mulai akhir abad 19 hingga pertengahan abad ke 20. Di abad 19
hingga awal abad 20 pembelajaran bahasa didominasi oleh metode tatabahasa
terjemahan (Grammar translation Method) yang menekankan pada pengenalan rasa
bahasa dan penguasaan tatabahasa. Dalam perkembangannya, metode ini ditentang oleh
penganut metode langsung (direct method). Mereka beranggapan hal yang terpenting
dalam pembelajaran bahasa adalah penguasaan bahasa lisan, bukan tulis. Dalam hal ini,
pembelajar dipajankan langsung pada bunyi-bunyi bahasa, dan penjelasan mengenai
kata-kata baru tidak melalui penerjemahan melainkan dengan keterangan dari bahasa
aslinya atau peragaan alat visual. Melalui metode ini pengajaran tata bahasa tidak
diajarkan secara deduktif seperti metode sebelumnya (Purwo, 1990:44-45).
Menjelang perang dunia ke 2, muncul metode audiolingual. Metode ini sejalan
dengan pandangan linguistik struktural dari Bloomfield, serta dipengaruhi oleh aliran
behaviourisme dari Skinner yang mengajukan teori stimulus-respon. Proses pembelajaran
bahasanya didominasi oleh latihan mendengarkan dan mengucapkan pola-pola kalimat
terus menerus (drill dan pattern practice) sehingga pola-pola kalimat yang dilatihkan akan
terekam dan menjadi kebiasaan pada diri pembelajar. Selanjutnya, pada tahun 1965,
Noam Chomsky mengkritik pemerolehan bahasa menurut kaum behavioris tersebut.
Menurutnya belajar bahasa bukanlah soal pembentukan kebiasaan, melainkan merupakan
proses kreatif: suatu kegiatan yang rasionalistis dan kognitif, dan bukan merupakan hasil
dari suatu respon terhadap stimulus dari luar (Purwo, 1990:47). Chomsky yang
merupakan pelopor aliran linguistik tatabahasa transformasional, memperkenalkan konsep
kompetensi (pengetahuan tentang tatabahasa yang diperlukan untuk mengkodekan dan
memproduksi bahasa) dan performansi (realisasi kode bahasa dalam pemakaian bahasa
yang sebenarnya). Dalam konteks pembelajaran bahasa pembentukan kompetensi
menjadi penting. Caranya dengan memberikan kesadaran pada pembelajar mengenai
kaidah-kaidah tatabahasa bahasa target.
Keempat aliran tersebut pada dasarnya memiliki ciri yang sama yaitu menekankan
pada struktur bahasa dari bahasa target. Perbedaannya hanya terletak pada cara
4
penyajiannya. Keempatnya sama sekali tidak memperhitungkan aspek sosiokultural dari
sebuah peristiwa tuturan, dan hal itu berarti lepas dari konteks komunikatifnya. Reaksi
terhadap berbagai pendekatan dan metode tersebut muncul dari Dell Hymes yang
mengkritik pandangan Chomsky. Hymes berpandangan bahwa ada kaidah-kaidah
penggunaan bahasa yang tanpa itu kaidah-kaidah tata bahasa tidak akan ada gunanya.
Pembelajaran bahasa tidak hanya menyangkut persoalan kegramatikalan. Yang lebih
penting dari itu adalah persoalan kecocokan (appropriateness) penggunaan suatu tuturan
pada konteks sosiokulturalnya. Lebih jauh Hymes menegaskan bahwa pengertian
kompetensi perlu diperluas hingga mencakup pula kecocokan kontekstual. Pandangan
Hymes memperoleh dukungan dari Halliday yang menolak dikotomi kompetensi dan
performansi. Menurutnya kompetensi dari Chomsky hanya mencakup „apa yang diketahui
oleh si penutur“, dan bukan „apa yang dapat ditindakkan oleh si penutur“ (Purwo,
1990:49). Dari pandangan kedua ahli tersebut kemudian muncullah pendekatan
komunikatif dalam pembelajaran bahasa.
Pendekatan komunikatif menurut Richards & Schmidt (2002) adalah
an approach to foreign or second language teaching which emphasizes that the goal of language learning is communicative competence and which seeks to make meaningful communication and language use a focus of all classroom activities.
Berdasarkan pendapat tersebut terlihat jelas bahwa tujuan utama dari pendekatan
komunikatif adalah pemerolehan kompetensi komunikatif. Dalam payung kompetensi
komunikatif inilah, kompetensi pragmatik menemukan tempatnya. Hal ini bisa dilihat dari
unsur-unsur yang tercakup dalam kompetensi komunikatif menurut Canale dan Swain
seperti tergambar dalam bagan 1. Dari bagan tersebut diketahui bahwa kompetensi
komunikatif tidak hanya berupa kompetensi gramatikal, namun juga mencakup
kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis. Rincian tersebut juga menunjukan
bahwa pendekatan komunikatif sudah memperhitungkan aspek sosiokultural, meski belum
secara jelas menyebutkan pengetahuan pragmatik.
Communicative Competence (Canale and Swain, 1980)
Grammatical Competence
(knowledge of lexical items and of rules of morphology, syntax, sentence- grammar semantics, and phonology)
Bagan 1. Kompetensi Komunikatif menurut Canale dan Swain(sumber: http://www.auburn.edu/~nunnath/engl6240/clt.html
Model yang diajukan oleh Canale dan Swain selanjutnya dimodifikasi oleh
Bachman. Kompetensi berbahasa menurut Bachmann terbagi atas dua yaitu kompetensi
organisasi dan kompetensi pragmatik. Kompetensi
unit linguistik dan aturan
gramatikal) dan dalam tataran wacana (kompetensi te
pragmatik dapat dibagi atas kompentensi ilokusi, yaitu pengetahuan tentang tindak
komunikasi dan bagaimana merealisasikannya, serta kompetensi sosiolinguistik yaitu
kemampuan untuk menggunakan b
(Kasper, 1997). Secara ringkas model yang diajukan Bachman tersajikan dalam bagan 2.
Bagan 2. Kompetensi Berbahasa menurut Bachman (sumber: http://foreign.jiangnan.edu.cn/yyzx/Detail.aspx?uid=94
Communicative Competence (Canale and Swain, 1980)
Sociolinguistic Competence
Strategic Competence
(verbal and non-verbal communication strategies that may be calledinto action to compensate for break
downs in communicaperformance variables or to
insufficient competence)
SocioculturalCompetence
(knowledge of the
relation of language use to its
non-linguistic context)
DiscourseCompetence
(knowledge of rules governing cohesion and coherence)
Kompetensi Komunikatif menurut Canale dan Swainhttp://www.auburn.edu/~nunnath/engl6240/clt.html)
Model yang diajukan oleh Canale dan Swain selanjutnya dimodifikasi oleh
. Kompetensi berbahasa menurut Bachmann terbagi atas dua yaitu kompetensi
organisasi dan kompetensi pragmatik. Kompetensi organisasi meliputi pengetahuan unit
unit linguistik dan aturan untuk merangkainya dalam tataran kalimat (kompetensi
alam tataran wacana (kompetensi tekstual). Sedang kompetensi
pragmatik dapat dibagi atas kompentensi ilokusi, yaitu pengetahuan tentang tindak
komunikasi dan bagaimana merealisasikannya, serta kompetensi sosiolinguistik yaitu
kemampuan untuk menggunakan bahasa secara tepat berdasarkan konteks yang ada
Secara ringkas model yang diajukan Bachman tersajikan dalam bagan 2.
. Kompetensi Berbahasa menurut Bachman http://foreign.jiangnan.edu.cn/yyzx/Detail.aspx?uid=94)
5
Strategic Competence
verbal communi-cation strategies that may be calledinto action to compensate for break-
downs in communication due toperformance variables or to
insufficient competence)
Model yang diajukan oleh Canale dan Swain selanjutnya dimodifikasi oleh
. Kompetensi berbahasa menurut Bachmann terbagi atas dua yaitu kompetensi
pengetahuan unit-
untuk merangkainya dalam tataran kalimat (kompetensi
. Sedang kompetensi
pragmatik dapat dibagi atas kompentensi ilokusi, yaitu pengetahuan tentang tindak
komunikasi dan bagaimana merealisasikannya, serta kompetensi sosiolinguistik yaitu
ahasa secara tepat berdasarkan konteks yang ada
Secara ringkas model yang diajukan Bachman tersajikan dalam bagan 2.
)
6
Berdasarkan model yang diajukan oleh Bachman, terlihat bahwa kompetensi
pragmatik memiliki kedudukan sejajar dengan kompetensi gramatikal yang selama ini
memperoleh perhatian lebih banyak dari pengajar bahasa. Dalam realisasinya, kompetensi
pragmatik akan berinteraksi dengan kompetensi organisasi untuk mewujudkan
kemampuan berbahasa yang komprehensif seseorang.
Meski dalam model Bachman ini sudah tergambar secara jelas bahwa kemampuan
berbahasa yang komprehensif meliputi penguasaan atas kompetensi organisasi dan
pragmatik, tetap timbul pertanyaan apakah kompetensi pragmatik perlu diajarkan dalam
pembelajaran bahasa? Pertanyaan ini muncul, karena beberapa alasan. Pertama, ada
sebagian orang beranggapan bahwa kemampuan pragmatik akan muncul dengan
sendirinya seiring meningkatnya penguasaan kompetensi organisasi, terutama
pengetahuan gramatikal dan leksikal. Hal itu kemudian menjadi terbantahkan, karena
penguasaan gramatikal dan leksikal yang baik tidak selalu ekuivalen dengan kompetensi
pragmatik yang baik pula. Boxer dan Pickering (via Salemi, Rabiee dan Ketabi, 2012)
mengatakan pembelajar yang menguasai tatabahasa dengan baik, bisa saja tidak
mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang tepat dalam situasi yang berbeda-
beda dan yang melenceng dari norma pragmatik bahasa target. Mereka seringkali
menerjemahkan secara langsung tindak tutur bahasa pertama ke dalam bahasa target
ketika mencoba untuk menyampaikan makna yang dimaksud. Hal ini bisa menimbulkan
kesalahan pragmatik. Di sinilah letak persoalannya, karena kesalahan pragmatik
(pragmatic failure) sering tidak menjadi perhatian para guru bahasa, dibandingkan
dengan kesalahan gramatikal.
Kedua, aspek-aspek dalam pragmatik dipercayai oleh sebagian orang bersifat
universal. Ketika seseorang mempelajari bahasa ke dua (L2), pada dasarnya ia telah
mengenal aspek-aspek pragmatik dalam bahasa ibunya (L1), seperti adanya tuturan tak
langsung atau langsung, pengetahuan bahwa dalam berkomunikasi terdapat jarak sosial
dan psikologis, perlunya memahami strategi komunikasi, serta adanya berbagai jenis
tindak tutur. Kompetensi pragmatik dalam bahasa pertama itu kemudian akan ditransfer
ke dalam bahasa target saat pembelajar akan berkomunikasi menggunakan bahasa
target. Hal ini tentu tidak menjadi masalah ketika transfer yang terjadi bersifat positif,
terutama ketika bahasa target dan bahasa pertama dari pembelajar memiliki latar
belakang budaya yang tidak jauh berbeda. Walaupun begitu transfer negatif tetap saja
7
bisa terjadi, apalagi jika latar belakang budaya antara bahasa target dan bahasa pertama
jauh berbeda. Transfer pengetahuan pragmatik yang negatif berpotensi menimbulkan
Strategi lain yang bisa digunakan untuk pengembangan kompetensi pragmatik dan
interkultural adalah dengan menggunakan model 6R yang diajukan oleh Martinez-Flor dan
Uso’-Juan (via Shively, 2010:110). Model, yang pada dasarnya berbasis pendekatan
eksplisit ini terdiri atas enam tahapan yaitu researching, reflecting, receiving, reasoning,
rehearsing dan revising. Pada tahap pertama, pembelajar diberi penjelasan mengenai
konsep pragmatik dan tindak tutur tertentu seperti permohonan, permintaan maaf dan
penolakan. Pembelajar kemudian mengumpulkan data pragmatik dalam bahasa pertama.
Pada tahap kedua, pembelajar menganalisis data tersebut dibawah bimbingan guru.
Tahap ini akan meningkatkan kesadaran pembelajar mengenai faktor-faktor sosial dan
situasi yang mempengaruhi perilaku pragmatik. Pada tahap ketiga, pembelajar
memperoleh petunjuk yang eksplisit tentang bagaimana fitur-fitur pragmatik dapat
direalisasikan dalam bahasa kedua (bahasa target). Sebagai contoh pembelajar ditunjukan
serangkaian strategi yang mungkin digunakan untuk menyatakan tindak tutur permintaan
15
dalam bahasa target dan membandingkannya dengan tindak tutur bahasa pertama. Pada
tahap keempat, pembelajar menganalisis data pragmatik bahasa kedua dan
mengidentifikasi faktor sosial dan situasional, serta intensi penutur. Aktivitas ini
merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran. Tahap kelima, pembelajar
mempraktekan pengetahuan pragmatiknya dengan berpartisipasi dalam aktivitas
komunikatif, dimulai dari yang agak terkontrol hingga lebih bebas. Tahap terakhir,
pembelajar menerima umpan balik dan petunjuk lebih lanjut untuk mengembangkan
performansi pragmatiknya dalam aktivitas berkomunikasi.
C. Penutup
Pragmatik sebagai bagian dari linguistik yang mengkaji penggunaan tindak
komunikasi dalam konteks sosiokultural saat ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari pembelajaran bahasa, termasuk pembelajaran bahasa untuk anak-anak. Kemunculan
aspek pragmatik dalam pembelajaran bahasa bersamaan dengan munculnya pendekatan
komunikatif. Pendekatan ini merupakan reaksi atas beberapa metode dan pendekatan
sebelumnya yang mementingkan penguasaan tatabahasa dan mengesampingkan aspek
sosiokultural, seperti metode tatabahasa terjemahan, metode langsung, metode
audiolingual dan pendekatan yang berbasis pada tatabahasa generatif dari Chomsky.
Sebaliknya, pendekatan komunikatif yang menonjolkan aspek fungsi dan makna bahasa
mulai melibatkan aspek sosiokultural. Hal ini sesuai dengan pendapat Hymes, bahwa
belajar bahasa tidak hanya persoalan kegramatikalan tetapi yang tak kalah penting adalah
aspek kecocokan sebuah tuturan dengan konteks sosiokulturalnya. Atas dasar itulah,
pragmatik perlu diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa. Ada dua alasan yang
mendukung pembelajaran pragmatik, yaitu (1) memfasilitasi pembelajar untuk mampu
mengenali aspek-aspek sosial dan interpersonal yang terkait dalam sebuah peristiwa
tutur, sehingga ia dapat merangkai sebuah tuturan yang tepat (cocok), dan (2) untuk
menghindari adanya kesalahan pragmatik (pragmatic failure) saat melakukan tindak
komunikasi.
Pragmatik terdiri atas dua bagian yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik.
Kedua aspek tersebut harus dijadikan landasan dalam penyusunan bahan ajar serta
penentuan strategi pembelajaran pragmatik. Materi pembelajaran utama yang perlu
diajarkan terkait dengan pembentukan kompetensi pragmatik adalah tindak tutur khusus,
selain aspek implikatur, kesopanan, penanda dan strategi wacana, serta pragmatik rutin.
16
Materi tersebut dapat diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa dengan menggunakan
berbagai strategi dan pendekatan.
Pendekatan yang populer dipakai adalah pendekatan eksplisit dan implisit. Melalui
pendekatan eksplisit, pembelajar akan diberi penjelasan mengenai fitur dan norma
pragmatik yang disertai latihan. Sebaliknya dalam pendekatan implisit, pembelajar hanya
diberi latihan dan input pragmatik tanpa penjelasan. Kedua pendekatan tersebut bukan
merupakan hal yang bersifat diskrit, namun bersifat kontinyu. Hal ini berarti keduanya
dapat dipakai secara bergantian. Pendekatan eksplisit lebih tepat digunakan bagi
pembelajar bahasa kedua tingkat awal. Seiring peningkatan kemampuan berbahasa
pembelajar pendekatan yang bersifat implisit dapat diberikan. Strategi lain yang bisa
digunakan adalah strategi pembelajaran 6R yang terdiri atas researching, reflecting,
receiving, reasoning, rehearsing dan revising. Strategi ini mencakup proses penyadaran
terhadap konsep pragmatik, pemberian input dalam bahasa pertama dan bahasa target,
latihan menerapkan pengetahuan pragmatik dalam tindak komunikatif, dan umpan balik
dari pengajar.
Daftar Pustaka
Bardovi-Harlig, Kathleen. 2005. On the Role of Formulas in the Acquisition of L2 Pragmatics. Indiana University. Diakses dari http://www.slate.illinois.edu/events/lecture/documents/kbhuiuctalk.pptpada tanggal 4 Mei 2013.
Bardovi-Harlig, Kathleen, dan Mahan-Taylor, Rebecca. 2009. “Introduction” dalam Teaching Pragmatics. Diakses dari http://www.indiana.edu/~dsls/publications/introms.pdf pada tanggal 14 April 2013.
Bu, Jiemin. 2012. ”A Study of Relationships between L1 Pragmatic Transfer and L2 Proficiency” dalam English Language Teaching, Vol. 5. No. 1; January 2012. Doi:10.5539/elt.v5n1p32, diakses dari http://www.ccsenet.org/journal/index.php/elt/article/view/13874 pada tanggal 28 Maret 2013.
Chen, Yuanshan. 2009. “Learner Perceptions of Instruction in L2 Pragmatics” dalam English Language Teaching. Vol. 2, No. 4 Desember 2009, diakses dari http://ccsenet.org/journal/index.php/elt/article/view/4465 pada tanggal 16 April 2013.
Cohen, Andrew D. 2008. “Teaching and Assesing L2 Pragmatics: What can we expect from learners?” dalam Language Teaching, 41:2, pp. 213 – 235.
17
Doi:0.1017/S0261444807004880. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/217739849/13E0791E0E06D4E2306/1?accountid=31324 pada tanggal 28 Pebruari 2013.
Farrokhi, Farahman, dan Atashian, Soheil. 2012. „The Role of Refusal Instruction in Pragmatic Development” dalam World Journal of Education Vol 2, No. 4: August 2012. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/1035265911/fulltextPDF/13E11E78CBB35DDE24C/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Februari 2013.
Fukuya, Yoshinori J., dan Martinez-Flor, Alicia. 2008. “The Interactive Effects of Pragmatic-Eliciting Tasks and Pragmatic Instruction” dalam Foreign Language Annals, Fall 2008, 41, 3. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/216007140/fulltextPDF/13E11DA26EA3ED11B5/1?accountid=31324, pada tanggal 5 Februari 2013.
Jerniga, Justin. 2012. “Output and English as a Second Language Pragmatic Development: The Effectiveness of Output-focused Video-based Instruction” dalam English Language Learning Vol. 5, No. 4, April 2012. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/1009897754/fulltextPDF/13E1CF617653176B1AB/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Pebruari 2013.
Kasper, G. 1997. Can pragmatic competence be taught? (NetWork #6) [HTML document]. Honolulu: University of Hawai'i, Second Language Teaching & Curriculum Center. Diakses dari http://www.nflrc.hawaii.edu/NetWorks/NW06/ pada tanggal 16 April 2013.
Louw, Kerry J., Derwing, Tracey M., dan Abbot, Marilyn L, 2010. “Teaching Pragmatics to L2 Learners for the Workplace: The Job Interview” dalam The Canadian Modern Language Review, 66, 5 (August) 739–758. Doi:10.3138/cmlr.66.5.739. Diakses dari http://utpjournals.metapress.com/content/l4621831326406q1/fulltext.pdfpada tanggal 5 Pebruari 2013.
Richards, Jack C., Schmidt, Richard. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. London: Pearson Education Limited.
Roever, Carsten. 2009. “Teaching and Testing Pragmatics” dalam Handbook of Language Teaching. West-Sussex: Blackwell Publishing Limited
Salemi, Azin., Rabiee, Mika dan Ketabi, Saeed. 2012. “The Effects of Explicit/Implicit Instruction and Feedback on the Development of Persian EFL Learners’ Pragmatic Competence in Suggestion Structures“. Dalam Journal of Language Teaching and Research, Vol 3, No 1 (2012), 188-199, Jan 2012, doi:10.4304/jltr.3.1.188-199, diakses dari http://ojs.academypublisher.com/index.php/jltr/article/view/6467 pada tanggal 16 April 2013.
18
Shively, Rachel L. 2010. “From the VirtualWorld to the Real World: A Model of Pragmatics Instruction for Study Abroad” dalam Foreign Language Annals Vol Diakses dari http://search.proquest.com/docview/871903263/fulltextPDF/13E12FAC1BD996A4B0/1?accountid=31324 pada tanggal 16 Mei 2013.
Soler, Eva Alcon., dan Pitarch, Joseph-Guzman. 2010. “The Effect of Instruction on Learners’ Pragmatik Awareness: a Focus on Refusals” dalam International Journal of English Studies. 10 (1), 2010, pp. 65 – 80. Diakses dari http://revistas.um.es/ijes/article/view/113981/107971 pada tanggal 14 Maret 2013.
Taguchi, Naoko. 2011. Teaching Pragmatics: Trends and Issues. Dalam Annual Review of Applied Linguistics (2011). 31, 289 – 310. Cambridge: Cambridge University Press. Doi: 10.1017/S0267190511000018, diakses dari http://search.proquest.com/docview/887087627/fulltextPDF/13DFE8EE40D7CC15DE1/1?accountid=31324.
Tan, Kim Hua., dan Farashaiyan, Atieh. 2012. „The Effectiveness of Teaching Formulaic Politeness Strategies in Making Request to Undergraduates in an ESL Classroom”. Dalam Asian Social Sciences. Vol. 8, No. 15. Doi: 10.5539/ass.v8n15p189, diakses dari http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/view/22661 pada tanggal 15 April 2013.
Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: Introduction to Pragmatics. London: Longman Group Limited.
V.G, Latha, dan Rajan, Premalatha. 2012. “Non-native Student’s Communication is Affected Due to the Lack of Pragmatic Competence” dalam English Language Teaching. Vol. 5, No. 2; February 2012. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/964018740/fulltextPDF/13E1B40AA8E30EF498D/1?accountid=31324, pada tanggal 14 Maret 2013
Zhan, Lei dan Yan, Rong. 2012. „Impact of Immersion Teaching on English Sociopragmatic Awareness of Chinese Kindergarten Childern: A Polite Study” dalam International Education, Spring 2012; 41, 2. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/1022057329/fulltextPDF/13E1BECCA92670D3579/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Pebruari 2013.