http://didaktika.fitk-uinjkt.ac.id/search?q=http%3A%2F%2Fha-lala.blogspot.com%2F2012%2F11%2Fpendidikan-islam-pada-masa-pembaharuan_5872.htmlPotret
Pendidikan Islam di Masa Pemerintahan BaniUmayyah
Oleh: Ahmad Harisuddin
A. PendahuluanSejarah pendidikan Islam dapat ditelusuri sejak
masa paling awal sejarah pembentukan agama ini. Sebab, sebagai
sebuah proses, pendidikan Islam lahir seiring dengan lahirnya agama
Islam itu sendiri. Dengan demikian, periodesasi pendidikan Islam
selalu berada dalam periode sejarah Islam, yang secara garis
besarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik,
pertengahan dan modern. Kemudian perinciannya dapat dibagi lima
periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode
Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah
(661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode
jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250 M-sekarang).
Tulisan ini bermaksud mengidentifikasi tampilan pendidikan Islam
dalam sejarah pemerintahan Bani Umayah di Damaskus. Sesuai ilmu
pendidikan Islam yang bercorak historis, pembahasan dalam tulisan
ini juga diarahkan untuk menganalisis beberapa fakta historis yang
dapat dihubungkan dan dikomparasikan dengan sistem pendidikan Islam
kontemporer.
B. Riwayat Singkat Pemerintahan Bani UmayahDinasti Bani Umayah
didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan ra. sekitar pertengahan
dekade 50-an Hijriyah, ketika ia menobatkan anaknya, Yazid bin
Muawiyah, sebagai putra mahkota. Namun, sesungguhnya Sejarah
pembentukan dinasti Umayyah bermula pada era dualisme kepemimpinan
di dunia Islam pasca wafatnya Khalifah Al ra. tanggal 17 Ramadlan
tahun 40 H / 660 M. Dinamakan dualisme, karena pada satu pihak
Muwiyah ra. dibaiat sebagai khalifah oleh penduduk Sym, sementara
al-Hasan ibn Al ra. juga dinobatkan sebagai khalifah oleh sebagian
sahabat dan penduduk Kufah pada tanggal 25 Ramadlan 40 H.
Melihat gelagat yang tidak baik, al-Hasan ra. segera berdamai
dengan Muwiyah ra. Karakter al-Hasan ra. memang sangat benci
pertumpahan darah sesama muslim, sehingga secara prinsipil ia
memandang bahwa kemaslahatan itu terletak pada kesatuan dan
meninggalkan pertempuran. Menurut Ahmad Syalabi, mundurnya al-Hasan
ra. disertai syarat agar jabatan khalifah sepeninggalnya nanti
diputuskan berdasarkan musyawarah di antara sesama kaum Muslimin.
Akan tetapi, tampaknya Muawiyah ra. menganggap batal syarat itu
dengan meninggalnya al-Hasan ra. terlebih dahulu di sekitar tahun
47-51 H. Bahkan, secara sepihak ia menobatkan anaknya sendiri
sebagai calon pengganti khalifah sepeninggal dirinya nanti.
Hal ini memicu penentangan para sahabat Nabi yang masih hidup
kala itu, sehingga umat Islam banyak yang beroposisi secara frontal
terhadap Dinasti Umayah yang dalam perkembangannya kemelut tersebut
berpuncak pada peristiwa Karbala tahun 61 H dan peristiwa
terbunuhnya Abdullah ibn al-Zubair ra. di Masjid al-Haram tahun 73
H.
Secara kronologis, pemerintahan Bani Umayah yang beribukota di
Damaskus, Syam (Suriah sekarang) dimulai dengan khalifah pertamanya
yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan ra. (periode 41-60 H) yang menerima
mandat kepemimpinan secara resmi dari al-Hasan bin Ali ra. Khlaifah
kedua adalah Yazid bin Muawiyah (periode 60-61 H) yang meninggal
secara mendadak di saat tentaranya menyerang kota Makkah. Khalifah
ketiga adalah putranya sendiri yang masih belia, Muawiyah bin Yazid
yang hanya memerintah selama beberapa bulan, lalu kemudian
meninggal dunia.
Dengan meninggalnya Muawiyah bin Yazid, Dinasti Umayah menjadi
kacau karena terjadi perebutan kekuasaan antar klan. Proses
perebutan kekuasaan ini akhirnya dimenangkan oleh Marwan bin
al-Hakam sehingga menjadi khalifah keempat (periode 61-63 H).
Munculnya Marwan sekaligus berarti bahwa kepemimpinan Dinasti
Umayah telah berpindah dari klan Abu Sufyan kepada klan
al-Hakam.
Di bawah pemerintahan Abd al-Malik bin Marwan, Dinasti Umayah
mengalami penguatan politik yang luar biasa sehingga stabilitas
dalam negeri dapat dikendalikan. Hal ini membuka jalan lebar bagi
pemerintahan putranya, al-Walid bin Abd al-Malik (antara 707-714 M)
untuk mengisi zaman yang kondusif tersebut dengan berbagai
kebijakan fisik dan non fisik yang berdampak positif bagi kemajuan
Islam. Hal ini berlangsung terus di masa pemerintahan saudaranya,
Sulayman bin Abd al-Malik pada 96-99 H / 715-717 M) dan mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz antara 99-101
H./ 717-720 M. Bahkan, pada masa ini dapat dikatakan pemerintahan
berjalan kembali seperti zaman Khulafa al-Rasyidin, di mana antara
kebijakan bidang agama dengan sektor-sektor lain tidak
dipisahkan.
Akan tetapi, sepeninggal Umar bin Abd al-Aziz, Dinasti Umayah
kembali mengalami degradasi moral dan politik, sehingga berakhir
dengan penggulingan kekuasaan oleh Dinasti Abbasiyyah yang didukung
oleh militer Khurasan dan propaganda Syiah.
C. Peta Pendidikan Islam di Masa Pemerintahan Bani UmayahUntuk
memetakan sejarah pendidikan di suatu kawasan dalam suatu kurun
tertentu, ada beberapa sudut pandang yang dapat dijadikan kerangka
deskripsi sekaligus pisau analisisnya, antara lain pendidikan
sebagai sistem, pendidikan sebagai institusi, dan pendidikan
sebagai sektor kehidupan. Pada tulisan ini, penulis mencoba
memetakan praktek pendidikan Islam di masa pemerintahan Bani Umayah
sebagai sebuah sistem.
Sebagai sebuah sistem, pendidikan sebenarnya dapat dan
seyogyanya dilihat dari beberapa aspek yang saling berkaitan satu
sama lain, yaitu aspek tujuan, metode, materi (kurikulum),
pendidik, anak didik, instrumen pendidikan, dan lingkungan. Akan
tetapi, terkait dengan sejarah pendidikan Islam di masa Bani
Umayah, sistem pendidikannya masih cukup sederhana, sehingga
relatif sulit untuk memetakannya sesuai lokus dan pandangan masa
kini.
Dari penelusuran terhadap beberapa literatur kesejarahan, peta
pendidikan Islam di masa pemerintahan Bani Umayah ini setidaknya
dapat dipahami dari tiga sudut pandang, yaitu materi pendidikan
(aspek ontologis), bentuk pendidikan yang mencakup metode, anak
didik, pendidik, instrumen, dan lingkungan (aspek epistemologis),
dan tujuan pendidikan (aspek aksiologis). Dari tiga sudut pandang
ini, diharapkan tergambar peta sistem pendidikan Islam di masa
Dinasti Umayah.
Berikut akan dikemukakan secara sederhana aplikasi dari tiga
sudut pandang di atas:
1. Segi Materi Pendidikan (aspek ontologis)Secara ontologis,
pendidikan dapat dipahami dari dua ranah, yaitu ranah personal dan
ranah sosial. Pendidikan pada ranah personal memiliki fokus utama
pada pengembangan potensi dasar manusia; dan pada ranah sosial
memfokuskan kepada pewarisan nilai-nilai budaya dari satu generasi
kepada generasi lain agar nilai-nilai itu terus hidup di
masyarakat.
Pada masa Pemerintahan Bani Umayah, ontologi pendidikan Islam
ini tergambar dari materi pendidikan yang bersumber dari Alquran
dan hadis. Kedua sumber ajaran Islam ini diajarkan atau
ditransmisikan melalui sistem periwayatan (al-matsur) yang ketat.
Oleh karenanya, istilah menuntut ilmu di masa itu lebih identik
dengan menuntut atau mencari dan mengkonfirmasikan hadis-hadis,
sehingga setiap materi yang belakangan termasuk dalam disiplin
tafsir dan ulum al-Quran, fiqh, akidah, akhlak (tasawuf), tata
bahasa Arab (nahwu), dan tarikh (sejarah) di kala itu masih sangat
tergantung dengan sistem periwayatan ini.
Sungguhpun demikian, menjelang akhir abad I H mulai muncul
wacana tentang takdir dan hubungannya dengan posisi manusia,
sehingga secara perlahan sistem penalaran juga mulai berkembang di
dunia Islam. Dari sinilah bisa dibaca perbedaan-perbedaan pendapat
yang terjadi di kalangan sahabat dan tabiin tentang penggunaan
nalar dalam beragama, seperti kebolehan menggunakan pikiran dalam
menafsirkan atau mengambil konklusi hukum dari Alquran, sehingga
kemudian dikenal istilah ahl al-atsar dengan ahl al-rayi. Namun
terlepas dari silang pendapat itu, satu hal yang patut
digarisbawahi adalah bahwa materi pendidikan Islam mulai kelihatan
semakin bervariasi, di mana sudah terdapat konsentrasi kajian
tafsir, konsentrasi fiqh, konsentrasi akidah, konsentrasi qiraah,
konsentrasi hadis, dan sebagainya.
2. Bentuk Pendidikan (Aspek Epistemologis)Di masa Bani Umayah
sudah terdapat klasifikasi bentuk pendidikan kepada pendidikan
formal dan nonformal. Sesuai klasifikasi ini, Charles Michael
Stanton menyatakan bahwa pendidikan formal adalah pendidikan yang
kurikulumnya murni mencakup ilmu-ilmu agama normatif, sedangkan
pendidikan nonformal juga memuat kurikulum umum seperti kedokteran
dan sebagainya. George Makdisi menamakan kedua bentuk pendidikan
Islam klasik ini sebagai pendidikan eksklusif untuk yang formal dan
pendidikan inklusif untuk yang nonformal.
Adapun dalam tinjauan filsafat, secara epistemologis di dalam
filsafat Islam dikenal istilah metode bayani, burhani, dan irfani.
Terkait dengan pembahasan makalah ini, pendidikan Islam di masa
Dinasti Umayah tampaknya masih didominasi oleh metode bayani,
terutama selama abad I H di mana pendidikan bertumpu dan bersumber
pada nash-nash agama yang kala itu terdiri atas Alquran, sunnah,
ijmak, dan fatwa sahabat. Baru pada masa-masa akhir pemerintahan
Umayah metode burhani mulai berkembang di dunia Islam, seiring
dengan giatnya penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab.
Dengan metode bayani, pendidikan Islam kala itu lebih bersifat
eksplanatif, yaitu sekedar menjelaskan ajaran-ajaran agama saja.
Secara khusus, metode ceramah dan demonstrasilah yang banyak
digunakan dalam institusi-institusi pendidikan yang ada di zaman
itu. Kompetisi ilmiah yang ada lebih didominasi oleh sejauhmana
kemampuan seseorang untuk menelusuri mata rantai ilmu atau
pemahaman keagamaan yang dimilikinya.
Seperti disinggung di atas, masa Dinasti Umayah adalah seiring
dengan masa sahabat kecil (junior) atau tabiin besar (senior) yang
secara keilmuan lebih dicirikan dengan penyebaran hadis (intisyr
al-riwyah) ke luar jazirah Arab, bahkan ke luar Timur Tengah. Dalam
konteks ini, terjadi perkembangan yang luar biasa dibandingkan pada
masa khulafa al-rasyidin. Usaha untuk mencari dan menghafal hadis
lebih digalakkan lagi, sehingga di beberapa daerah kekuasaan Islam
telah didirikan perguruan untuk mengajarkan Alquran dan hadis Nabi
saw. Bentuk kelembagaan pendidikan Islam kala itu sebenarnya masih
meneruskan bentuk-bentuk yang dikenal sebelumnya, yaitu kuttab dan
halaqah. Sedangkan lembaga pendidikan yang relatif baru kala itu
adalah majelis sastra dan pendidikan privat di istana. Adapun
madrasah belum dikenal dalam pengertian sekarang, meskipun sering
ditemukan istilah madrasah tafsir atau madrasah tasawuf.
Berikut akan dikemukakan lembaga-lembaga atau pusat-pusat
pendidikan Islam di masa Dinasti Umayah yang mencakup, kuttab,
halaqah (mesjid), privat istana, majelis sastra, dan
perpustakaan.
a. KuttabKuttab secara kebahasaan berarti tempat belajar
menulis. Istilah sejenisnya adalah maktab. Di dalam sejarah
pendidikan Islam, kuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis
dan membaca, menghafal Alquran serta belajar pokok-pokok ajaran
Islam. Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik, di samping
mengajarkan Alquran mereka juga mengajar menulis dan tata bahasa
serta tulisan. Perhatian mereka bukan tertumpu mengajarkan Alquran
semata dengan mengabaikan pelajaran yang lain, akan tetapi
perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat. Menurut Zuhairini,
Alquran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca,
kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari. Di
samping belajar menulis dan membaca, murid-murid juga mempelajari
tatabahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadis dan pokok agama.
Menurut Samsul Nizar, jika dilihat di dalam sejarah pendidikan
Islam pada awalnya dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu: (1) Kuttab
berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada tulis
baca; dan (2) Kuttab tempat pendidikan yang mengajarkan Al Quran
dan dasar-dasar keagamaan.
Peserta didik dalam Kutab adalah anak-anak. Para guru yang
merupakan ulama atau setidaknya orang yang ahli dalam membaca
Alquran tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada sebagian
anak miskin yang belajar di Kuttab memperoleh pakaian dan makanan
secara gratis. Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang sama
dengan anak-anak laki-laki dalam belajar.
b. Halaqah (mesjid)Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat
pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah Kuttab.
Materi pendidikannya meliputi Alquran, tafsir, hadis dan fiqh. Juga
diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan
ilmu perbintangan (astronomi). Di antara jasa besar pada periode
Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah
menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk syair,
sejarah bangsa terdahulu, diskusi dan pembahasan akidah.
Pada Dinasti Umayyah ini, masjid sebagai tempat pendidikan
terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat
tinggi. Hal ini misalnya dapat dilihat pada halaqah-halaqah di
Mesjid Nabawi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar. Hal
ini misalnya dapat dilihat pada halaqah-halaqah kecil pada paroh
akhir abad I H di Mesjid Nabawi. Sedangkan pada tingkat tinggi
gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan
keahliannya, seperti Hasan al-Bashri dengan halaqah besarnya di
Mesjid Bashrah, atau Said ibn al-Musayyab di Mesjid Nabawi.
Orang-orang yang menjadi murid pada lembaga halaqah adalah orang
dewasa tanpa dibatasi oleh usia. Bahkan, sebagian anak-anak yang
sudah menyelesaikan pendidikan dasar di kuttab juga diperkenankan
untuk mengikuti pengajian-pengajian halaqah.
Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang
demi seorang, baik di Kuttab atau di Masjid tingkat menengah.
Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah
dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh para pelajar
bersama-sama.Pusat-pusat pendidikan Alquran dengan tafsirnya,
hadis, fikih, dan tasawuf merupakan perwujudan dari lembaga halaqah
ini. Pusat pengajaran hadis kala itu yang telah tercatat oleh
sejarah adalah Madinah, Mekah, Kufah, Bashrah, Syam, Khurasan
(Iran),Yaman, Mesir, Maghribi (Afrika Utara), dan Andalusia.
Di Madinah, sebagai pusat pengajaran hadis pertama, mampu
melahirkan tokoh-tokoh besar tabiin, seperti Sad ibn al-Musayyab,
Urwah bin Zubair, Ibn Syihb al-Zuhr, Ubaidullh ibn Utbah ibn Masd,
dan Slim ibn Abdullh ibn Umar. Di Madinah ini, pengajaran hadis
banyak digabung dengan pengajaran fikih.
Di Mekah, para sahabat yang mengajarkan hadis antara lain Mudz
bin Jabal ra., Atab bin Asid ra., Hrits bin Hisym ra., Utsmn bin
Thalhh ra., dan Utbah bin Hrits. Mereka berhasil mencetak
kader-kader ulama hadis generasi tabiin seperti Mujhid, Ath bin Ab
Rabh, Thaws ibn Ksan, dan Ikrimah maul Ibn Abbs ra. para ulama dari
generasi tabiin Mekkah ini belakangan lebih terkenal sebagai pakar
tafsir ketimbang disiplin ilmu lainnya.Di Kufah, para sahabat yang
membina hadis adalah Al ra, Sad ra. dan Ibn Masd, yang melahirkan
ulama tabiin yaitu al-Rab, Kamal bin Zaid al-Nakh, Sad ibn Zubair
al-Asad, Amir al-Syab, Ibrhm al-Nakh, dan Ab Ishq al-Sab.
Di Bashrah, Anas bin Mlik ra., Abdullh bin Abbs ra, Imrn bin
Husain ra., Maqal bin Yasr ra., Abdurrahmn ibn Samrah ra, dan Ab
Sad al-Anshr adalah para sahabat yang terkenal mengembangkan hadis
di sana. Murid-murid mereka adalah al-Hasan al-Bashr, Muhammad ibn
Srn, Ayyb al-Sakhyatan, Ynus ibn Ubaid, Abdullh bin Aun, Qatdah ibn
Duamah al-Sudus, dan Hisym ibn Hasan.Di Syam, para sahabat yang
terkenal mengajarakan hadis adalah Ab Ubaidah al-Jarrah ra., Bill
ibn Rabbh, Ubadah ibn Shmit, Sad bin Ubadah, Ab Dard, Surahbil bin
Hasanah, Khlid bin Wlid, dan Iyd ibn Ghanam. Para tabiin yang
muncul dari madrasah Syam ini adalah Slim ibn Abdillh al-Muharibi,
Ab Idrs al-Khaulan, Ab Sulaimn al-Daran, dan Umar ibn Han.
Di Mesir, para sahabatnya yang terkenal adalah Amr ibn al-Ash
ra, Uqbah bin Amr ra., Kharizah ibn Huzfah ra., dan Abdullh ibn
al-Hrits ra. yang memunculkan generasi tabiin seperti Amr ibn
al-Hrits, Khair ibn Nuaim al-Hadhram, Yazd ibn Ab Habb, Abdullh ibn
Ab Jafar, dan Abdullah ibn Sulaimn al-Thawl.Di Maghribi dan
Andalus, para sahabat yang berkelana ke sana antara lain Masd ibn
al-Aswad al-Balw ra., Bill ibn Hrits ibn Ashim al-Muzn ra., Salamah
ibn al-Akwra., dan Wald ibn Uqbah ibn Ab Mud ra. Murid-murid mereka
di antaranya adalah Ziyd ibn Anam al-Muafil, Abdurrahmn ibn Ziyd
Yazd ibn Ab Manshr, al-Mughrah ibn Ab Burdah, Rifaaf ibn Raf, dan
Muslim ibn Yasar.
Di Yaman, para sahabat yang terkenal pernah menjadi guru agama
di sana adalah Mudz bin Jabal ra. dan Ab Ms al-Asyar ra. Para tokoh
tabiin hasil didikan mereka antara lain adalah Hammm ibn Munabbih
dan Wahb ibn Munabbih, Thws, dan Mamar ibn Rasyd.Adapun di
Khurasan, ada Buraidah ibn Husain al-Aslam ra., al-Hakam ibn Amir
al-Ghifar ra., Abdullh ibn Qsim al-Aslam ra., dan Qasm ibn al-Abbs
ra. yang melahirkan tokoh-tokoh tabiin antara lain, Muhammad ibn
Ziyd, Muhammad ibn Tsbit al-Anshr, dan Yahy bin Sabih al-Mughr.
Sementara itu, pusat-pusat halaqah tafsir yang paling terkenal
adalah Mekkah sbagai pusat pendidikan tafsir yang lebih dapat
menerima sistem penalaran (al-rayu) dengan tokoh-tokohnya seperti
Atha ibn Abi Rabah, Ikrimah maula Ibn Abbas, dan Mujahid ibn Jabar
yang semuanya merupakan murid-murid Ibn Abbas ra. Sejak akhir abad
I H, pandangan madrasah Mekkah ini mendapat dukungan dari madrasah
Kufah yang kemudian berkembang menjadi aliran mutazilah.Sedangkan
pusat halaqah tafsir yang lebih tradisionalis adalah Madinah yang
sangat menekankan jenis tafsir riwayat (al-matsur) dengan
tokoh-tokohnya seperti Said ibn al-Musayyab (w 94 H.) dan Muhammad
ibn Sirin (w. 110 H.).
c. Pendidikan Privat IstanaBagi orang yang berkemampuan,
terlebih khusus bagi kalangan istana, mereka biasa mendidik
anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan
guru-guru yang didatangkan secara khusus pula. Bentuk pendidikan
semacam ini sebenarnya dapat dilihat benang kesinambungannya dengan
tradisi pra Islam di mana orang-orang Arab hadhari (kota) sering
mengirim anak-anak mereka sejak bayi sampai usia mumayyiz ke
pedalaman (perkampungan Arab badawi) guna memperoleh didikan yang
lebih alami dan mampu berbahasa Arab seara lebih fasih. Bentuk
pendidikan semacam ini disebut badiyah, yang dalam makna harfiahnya
adalah dusun atau tempat tinggal orang-orang Arab pedalaman
(badawi), namun dimaksudkan di sini sebagai pusat pendidikan bahasa
Arab yang murni dan alami.
Di masa Nabi dan khulafa al-Rasyidin, tradisi ini tidak begitu
tampak lagi. Namun, pada masa Dinasti Umayah, tradisi ini kembali
muncul, namun sifatnya tampak lebih terbatas di kalangan bangsawan,
dan polanya pun sudah berubah, karena para pendidik yang diundang
ke istana untuk mendidik anak-anak bangsawan di dalam istana.
Inilah misalnya yang dapat dilihat pada Hajjaj ibn Yusuf yang
pernah menjadi guru bagi putra Sulaiman Nasuh seorang Menteri dari
khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Namun demikian, pendidikan yang
diberikan oleh Muawiyah ra kepada anaknya, Yazid, masih menerapkan
pola pendidikan pra Islam.
Ciri khas pendidikan privat istana ini adalah: (1) peserta
didiknya khusus anak-anak bangsawan, (2) pendidiknya adalah orang
yang dianggap ahli oleh para bangsawan dan bersedia datang ke
lingkungan istana untuk memberikan pengajaran, dan (3) materi
pendidikannya ditentukan sendiri oleh orang tua peserta didik.
Dengan ciri khas semacam ini, banyak ulama di zaman itu yang tidak
bersedia mengajar di istana.
d. Majelis SastraMajelis sastra merupakan balai pertemuan yang
disiapkan oleh khalifah dengan hiasan yang indah dan hanya
diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Jadi baik
pendidik maupun peserta didik dikhususkan bagi golongan elit
saja.
Menurut Athiyyah al-Abrasi, balai-balai pertemuan tersebut
mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan. Seseorang yang
masuk ketika khalifah hadir di majelis itu mestilah berpakaian
necis bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak
meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya.
Ia tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan
dan memberi kesempatan pada si pembicara menjelaskan pembicaraannya
serta menghindari penggunaan kata kasar dan tertawa terbahak-bahak.
Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok
persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan.
Meskipun tradisi ini sudah dapat ditemukan sejak masa Muawiyah
ra, namun menurut Ahmad Syalabi, aturan-aturan yang lebih khas di
atas dimulai di masa Khalifah Abd al-Malik bin Marwan selaku
khalifah V.Majelis sastra merupakan tempat diskusi membahas masalah
kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan
politik. Jadi, materi pendidikannya lebih khusus dan cenderung
eksklusif. Perhatian penguasa Ummayyah memang sangat besar pada
pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan
mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan
berkembangnya semi prosa, sehingga turut memicu keberlangsungan
lembaga pendidikan yang berbentuk majelis sastra ini.Usaha yang
tidak kalah pentingnya pada majelis-majelis sastra di masa Dinasti
Umayyah ini adalah dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa
lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang mulai dirintis ketika
Khalid ibn Yazid memerintahkan beberapa sarjana untuk menerjemahkan
karya-karya tulis dari bahasa Yunani dan Qibti (Mesir) ke dalam
Bahasa Arab tentang ilmu Kimia, Kedokteran dan Ilmu Falaq.
Aktivitas penerjemahan ini dimulai sejak zaman pemerintahan Yazid
bin Muawiyah selaku khalifah II.
Dari keempat bentuk pendidikan di atas, tidak ditemukan
instrumen evaluasi yang berlaku umum, karena di samping pola
pendidikannya masih sangat sederhana, evaluasi juga dilakukan per
satuan pendidikan. Hanya saja, pada skala makro, khalifah atau
gubernur di masa itu memang melakukan evaluasi terhadap berbagai
paham atau wacana keagamaan yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi menguatnya paham
qadariyyah yang dianggap mengancam eksistensi kekuasaan Bani
Umayyah, seperti tuduhan yang pernah mereka alamatkan kepada Imam
al-Hasan al-Bashri dan sebagainya.
Semua ini didukung pula oleh kenyataan bahwa lingkungan
pendidikan di masa itu masih belum kondusif, di mana antara ulama
secara umum sebagai komunitas pendidik masih tidak dapat
bekerjasama dengan pemerintah selaku pengatur kehidupan
social-politik masyarakat. Hal ini nantinya akan sangat berbeda
ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbasiyyah.
3. Segi Tujuan Pendidikan (Aspek Aksiologis)Dari segi tujuan,
pendidikan Islam di masa Bani Umayah dapat dikatakan masih
merupakan kelanjutan dari masa khulafa al-Rasyidin, yang
sebagaimana dikatakan oleh Samsul Nizar, secara ideal dan global
tujuan pendidikan Islam yang berkembang kala itu masih relatif
seragam, yaitu bertujuan sebagai wujud pengabdian baik secara
vertikal kepada Allah swt maupun secara horisontal kepada manusia
dan alam. Adapun secara khusus (praktis-pragmatis), tujuan
pendidikan di masa itu tergantung jenjang pendidikan yang ditempuh,
yaitu:
a. Pada jenjang kuttab, tujuan pendidikan adalah untuk memenuhi
kebutuhan keilmuan dasar agama dan keilmuan serta kecakapan hidup
sehari-hari seperti membaca, menulis, dan berhitung.
b. Pendidikan privat istana juga memiliki tujuan seperti kuttab,
hanya saja pendidikan istana juga menekankan pada penguasaan bahasa
Arab yang fasih.
c. Pada jenjang halaqah, karena kebanyakan yang diajarkan adalah
ilmu-ilmu syari, maka pendidikan bertujuan untuk mendalami
masalah-masalah agama yang bersifat praktis bagi kehidupan
sehari-hari.
d. Pada bentuk majelis sastra, pendidikan secara umum bertujuan
untuk mendalami masalah-masalah di bidang sastra dan sejarah, di
samping untuk mengevaluasi wacana-wacana keagamaan yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat.
Di samping itu, karena pendidikan di masa ini belum banyak
dipengaruhi oleh pemerintah, maka watak pendidikan yang ada lebih
bersifat alami dan kultural. Dari perspektif aksiologis semacam
ini, tidak ada syarat formal yang berlaku ketat bagi seorang murid
untuk menuntut ilmu yang secara riil sering menghalangi atau
membelokkan niat dan tujuan seseorang. Hanya saja, ada tradisi
bahwa di tingkat pemula atau anak-anak, pendidikan Islam biasanya
dilaksanakan di kuttab. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di
kuttab, mereka pun bisa berbaur dengan orang-orang yang lebih tua
untuk belajar di halaqah.
D. Analisis tentang Perkembangan Pendidikan Islam di Masa Bani
UmayahPada periode pemerintahannya, Dinasti Umayyah terkenal sibuk
dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah
kerajaan. Hal ini berdampak kepada kurangnya perhatian pada
perkembangan ilmiah keagamaan, termasuk pendidikannya. Bukti
menyolok yang dapat ditelusuri dalam historiografi intelektual
Islam adalah bahwa sejak pemerintahan Muawiyah ra tampak terjadi
polarisasi antara tradisi istana dengan tradisi ilmiah keagamaan,
di mana para ulama yang kala itu menjadikan Madinah sebagai basis
tradisi Islam tampak mengambil jarak dengan para pemimpin politik;
suatu fenomena yang disebut oleh Fazlur Rahman sebagai tradisi
irja.
Sejarah umat Islam kala itu bergerak mengembang dengan
terbaginya arus umum proto sunni, yang digambarkan oleh Ira M.
Lapidus sebagai Islam elit dan Islam perkotaan: Maksudnya, pada
satu sisi, Islam mengekspresikan identitas politik khilafah dan
elit politik, yang secara khusus berperan terhadap perkembangan
seni, filsafat, sains, dan bentuk-bentuk kepustakaan Hellenistik
dan Iranian ke dalam bahasa Arab; sedangkan pada sisi lain
berkembang Islam sebagai ekspresi keagamaan, moral, dan nilai-nilai
sosial masyarakat Muslim perkotaan, yang berperan dalam berbagai
kepustakaan terkait dengan tafsir, hukum, dan mistisisme
(kerohanian). Namun kedua arus ini bertemu dalam peranan yang besar
bagi tumbuh suburnya sastra (syair), sejarah, dan teologi (ilmu
kalam).
Perkembangan paling penting yang tentunya dapat dicatat pada
periode Dinasti Umayyah di bidang pendidikan, adalah menekankan
ciri ilmiah pada Masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu
pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di
Masjid diajarkan beberapa macam ilmu, seperti syair, sastra dan
ilmu lainnya. Meskipun terkesan agak elitis, namun dapat dikatakan
bahwa masa ini merupakan zaman pendidikan Masjid yang paling
cemerlang.Adapun bidang keilmuan yang berhasil dikembangkan secara
spektakuler dan memiliki pengaruh besar sampai masa kini adalah
bidang hadis, terutama semenjak Khalifah Umar bin Abd al-Aziz
memerintahkan sekaligus berperan langsung dalam gerakan kodifikasi
hadis di pergantian abad I-II H.
Kemudian secara komparatif, pendidikan Islam pada masa periode
Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa
al-Rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan perkembangannya,
terutama perhatian para Khulafa di bidang pendidikan agaknya kurang
memperhatikan perkembangannya sehingga menjadi kurang maksimal.
Pendidikan Islam akhirnya lebih berjalan secara kultural, tidak
banyak diatur oleh pemerintah, melainkan oleh para ulama yang
memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan
yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan.Begitu pula
misalnya dalam gerakan penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke
dalam bahasa Arab, yang mana penterjemahan itu terbatas pada
ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia,
kedokteran, administrasi, dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan
penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas
usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan.
Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan
penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada masa pemerintahan
Dinasti Umayah di Damaskus, pendidikan Islam masih belum dapat
berjalan secara tertib dan berkembang, terutama karena memang belum
melibatkan peran pemerintah secara optimal. Namun hal ini harus
juga dipahami dari segi sejarah pendidikan Islam sendiri yang masih
dalam periode pertumbuhan dan belum menemukan format-format
spektakuler seperti yang akan terlihat pada masa Dinasti
Abbasiyyah.
D. PenutupBerdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Islam di masa pemerintahan Bani Umayah berjalan
secara alami pada jalur kultural, dan belum dapat menembus
batas-batas struktural kecuali secara sangat terbatas seperti pada
disiplin sastra dan sejarah.
Mengingat pembahasan tulisan ini masih sangat terbatas dan
dangkal, kiranya penelusuran terhadap sejarah pendidikan Islam di
masa Bani Umayah masih harus dilakukan secara lebih detil dan
komprehensif.
DAFTAR PUSTAKAAl-Abrasi, Athiyyah, Tarbiyah Al Islamiyah,
dikutip dari
digilib.sunan-ampel.ac.id/files/SBUNBSK/disk1/9/sbunbsk-gdl-yuldelasha-412-1
polapen-h.docAsh-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al
Quran/Tafsir, Jakarta, Bulan Bintang, 1994.Barni, H. Mahyuddin,
Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Makalah, Banjarmasin,
t.th.Fahmi, Asma Hasan, Mabadiat Tarbiyyah Al Islamiyyah, dalam
digilib.sunan-ampel.ac.id/files/SBUNBSK/disk1/9/sbunbsk-gdl-yuldelasha-412-1
polapen-h.docal-Jazar, Izz al-Dn ibn al-Atsr Ab al-Hasan Al bin
Muhammad, Usd al-Ghbah f Marifah al-Shahbah, Beirut, Dr al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1994Lapidus, Ira M, A History of Islamic Societies,
terj. Ghufron A. Masadi, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2000.Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan
Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal dan
Indonesia, Ciputat, Ciputat Press, 2005.Rabbih, Ibn Abd, al-Iqd
al-Fard, juz 2, dalam Software al-Maktabah al-Syamilah, edisi
IIRahman, Fazlur, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic
Fundamentalism, terj. Munir, Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam
Islam, Bandung, Pustaka, 2001.Syalabi, Ahmad, al-Tarikh al-Islamiy
wa al-Hadharat al-Islamiyyah, terj., M. Sanusi Latief, Sejarah dan
Kebudayaan Islam Jilid II, Jakarta, Pustaka Al Husna Baru,
2003Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta, Raja Gradindo Persada,
2006.Susari, Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah
dalam Abuddin Nata (ed.) Sejarah Pendidikan Islam pada Periode
Klasik dan Pertengahan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004Suwedi,
Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, dalam
digilib.sunan-ampel.ac.id/
files/SBUNBSK/disk1/9/sbunbsk-gdl-yuldelasha-412-1polapen-.docal-Suyth,
Abd al-Rahmn ibn Ab Bakr Tarkh al-Khulaf, Beirut, Dr al-Fikr, t.
th.Thohir, Adjid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam:
Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam,
Jakarta, Raja Grafindo persada, 2004Zahri, Mustafa, Kunci Memahami
Ilmu Tasawuf, Surabaya, Bina Ilmu, t. th.Zuhairini, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992
Sukai ini:
SukaMemuat...
RelatedTonggak-Tonggak Sejarah Pendidikan Islam di Kesultanan
BanjarIn "Islam Banjar"
Islam Normatif dan Islam Historis: Sebuah Pemaknaan SederhanaIn
"Pendidikan Islam"
Syekh Muhammad Zaini bin 'Abd al-Ghaniy al-Banjariy: Mujaddid
Abad XIV HijriyahIn "Akhir Zaman"
POTRET PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PASCAREFORMASICategories:POTRET PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PASCAREFORMASIAnalisis Peluang dan Tantangan
Penulis : Muhaemin Muhammadiah
Abstrak
Didaktika Islamika- This article explains how the condition of
Islamic education institution today, and what reconstruction ways
which should be do, so Islamic education able to answers
challenges, moreover become education institution which qualified
and interested. Because of that, Islamic education will be primer
choice for Indonesian society, where Islam is majority. Islamic
education institution ought to manage professionally, on planning,
preparing of educator, curriculum, and education implementation, so
it is able to competitive with others education institution.
Katakunci: Pendidikan Islam, UU Sisdiknas, Sistem pendidikan
Islam, Reformasi.
Pendahuluan
Sejak beberapa tahun yang silam hingga saat sekarang ini,
masyarakat dan bangsa Indonesia berada dalam euphoria reformasi.
Segala-galanya dilimpahkan pada gelombang yang sedang mengubah
sendi-sendi dasar kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, dimana
salah satu agenda gelombang reformasi dari sembilan agendanya
adalah reformasi pendidikan (Tilaar, 2002: 48). Era reformasi
sendiri sudah berjalan sekitar 12 tahun.
Setelah reformasi berjalan, maka yang muncul kemudian adalah
refleksi apa makna reformasi bagi pendidikan. Dan bagi kita yang
berkecimpung di lembaga pendidikan Islam, tentu bertanya sejauh
mana tantangan dan peluang pendidikan Islam setelah bergulirnya
reformasi.
Pasca reformasi adalah menarik untuk melihat kembali posisi
pendidikan Islam dan memotret perkembangan lembaga pendidikan
Islam. Sedikitnya ada dua alasan untuk fokus terhadap eksistensi
pendidikan Islam pasca reformasi. Pertama, Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional memberikan ruang yang
cukup luas bagi pengembangan institusi pendidikan agama, khususnya
Pendidikan Islam. Kedua, kondisi lembaga pendidikan Islam di
Indonesia yang sebahagian besar masih bersifat tradisional dan
hanya dipandang sebagai pendidikan kelas dua, menyebabkan lembaga
pendidikan Islam kalah bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya
(Bakar dan Surohim, 2005: 3).
Menurut Azra (Arief, 2005: xi), selama kurun waktu lebih dari
beberapa dasawarsa sejak Indonesia bebas dari kolonialisme, dunia
pendidikan Islam di Indonesia dikatakan belum memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap kemajuan bangsa. Dan, bahkan pendidikan
Islam di Indonesia belum mampu memberikan tanggapan atau jawaban
ketika dituntut perannya untuk mengatasi berbagai persoalan moral
dan mentalitas bangsa, khususnya umat Islam di Indonesia. Jujur
harus dikatakan, bahwa pendidikan Islam saat ini kelihatan sering
terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan
kecenderungan perkembangan masyarakat sekarang dan masa
mendatang.
Merespon tantangan perubahan tersebut, maka menuruf Malik
Fadjar, pendidikan harus dikelola menurut manajemen modern dan
futuristik sebagai usaha yang mengantarkan peserta didik ke
posisi-posisi tertentu di masa depan. Yaitu, suatu manajemen yang
berpretensi membangun manusia profesional-intelektual dan skilled
dalam hal bagaimana mereka mampu bergaul di tengah-tengah komunitas
global secara dinamis, kreatif, dan inovatif (Barizi, 2005:
ix).
Berdasarkan latar belakang dan butiran-butiran pemikiran tokoh
yang penulis sebutkan, maka artikel ini akan membahas bagaimana
kondisi lembaga pendidikan Islam dewasa ini dan langkah
rekonstruksi apa yang dapat dilakukan sehingga pendidikan Islam
dapat menjawab tantangan yang ada bahkan menjadi lembaga pendidikan
yang diminati dan berkualitas. Dengan demikian pendidikan Islam
akan menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia yang
sebenarnya adalah mayoritas umat Islam.
Kondisi Lembaga Pendidikan Islam dan Tantangan Perubahan
Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, maka kita semua
bertanggungjawab serta berkepentingan untuk menyajikan gagasan/ide
tentang perlunya sebuah perubahan. Dalam hal ini, penulis
berpendapat bahwa pendidikan Islam di Indonesia sesungguhnya
memerlukan sebuah penegasan akan eksistensinya, khususnya bila
dilihat dari sudut kelembagaan. Dengan kata lain, dibutuhkan
rekontruksi, yang dalam hal ini mencakup dua hal: pertama,
rekonstruksi atas cara pandang semua kalangan (eksekutif,
legislatif, politisi, ilmuwan, birokrat, dan sebagainya) tentang
pendidikan Islam; kedua, memosisikan institusi/lembaga pendidikan
Islam secara wajar dalam konteks tatanan/kebijakan pendidikan
nasional.
Rekonstruksi atas cara pandang terhadap pendidikan Islam,
menjadi tema yang patut dicermati secara tajam, sebab ada
kecenderungan perbedaan pemahaman tentang pendidikan Islam pada
sementara kalangan khususnya di pihak pemerintah.
Kalangan pemerintah memiliki cara pandang yang berbeda, sehingga
membuat kebijakan berdasarkan cara pandang mereka sendiri. Dalam
tataran praktis hal ini menimbulkan ketidakadilan, misalnya bagi
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Jika dilihat dari Departemen
Agama, seperti dikutif Azyumardi Azra, bahwa peranan pemerintah
terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan
sampai sekarang dapat dikatakan sangat minimal. Data dari
Departemen Agama menunjukkan bahwa MI swasta mencapai 95,2 persen
sedangkan MIN hanya 4,8 persen. Keadaan ini terbalik dengan Sekolah
Dasar Negeri yang berjumlah 93,1 persen dan SD swasta hanya 6,9
persen. Pada tingkat MTs terdapat 75,7 MTs swasta dan hanya 24,3
MTsN. Sedangkan SMPN berjumlah 44,9 persen berbanding 55,1 persen
SMP swasta. Pada tingkat selanjutnya terdapat 70 persen MA swasta
berbanding 30 persen MAN. Sedangkan SMUN berjumlah 30,5 persen
berbanding SMU swasta sebanyak 69, 4 persen.
Kontras dengan inisiatif dan kontribusi kaum muslimin dalam
menyelenggarkan community based education adalah kebijakan yang
tidak adil dan diskriminatif dalam penganggaran dan pendanaan
pemerintah terhadap subsidi perkapita bagi anak-anak bangsa yang
belajar pada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pada tahun 2000,
anggaran biaya pendidikan persiswa MIN adalah Rp. 19.000 sedangkan
siswa SDN adalah Rp. 100.000,- (1: 5,2); MTsN per siswa adalah Rp.
33.000 sedangkan persiswa SMPN adalah Rp. 46.000 (1: 1,4);
sedangkan siswa SMUN Rp. 67.000,- per mahasiswa IAIN Rp. 50.000,-
berbanding Rp. 150.000 permahasiswa universitas/institut negeri (1:
3) (Azra dalam Arief, 2005: 42).
Sementara sebahagian besar penyelenggara pendidikan swasta Islam
menghadapi kesulitan dan keterbatasan, kepincangan anggaran bantuan
atau subsidi dari pemerintah mengakibatkan mutu pendidikan Islam
sangat rendah. Kebanyakan madrasah-madrasah swasta bukan hanya
tidak mampu memiliki prasarana dan sarana pendidikan yang memadai,
tetapi juga tidak mampu memberikan imbalan yang memadai bagi para
guru dan tenaga kependidikan lainnya. Akibatnya madrasah-madrasah
swasta ini hanya mampu memiliki jumlah guru dan tenaga kependidikan
lainnya secara sangat terbatas, dan itupun dengan imbalan
sekedarnya. Menurut Azra, situasi tersebut mengakibatkan banyak
guru dan tenaga kependidikan yang salah kamar (mismatch), kualitas
keilmuan yang tidak memadai (unqualified atau underqualified).
Hanya sekitar 20 persen dari total guru madrasah yang layak
(qualified); 20 persen mismatch, dan 60 persen belum atau tidak
layak (unqualified atau unqualified) (Azra dalam Arief, 2005:
43).
Menurut Husni Rahim (2005: 37), Madrasah biasanya menerima murid
dari kalangan rakyat bawah, maka hampir seluruh madrasah hanya
memungut bayaran sekolah sekedarnya. Malah kadang-kadang cukup
dibayar dengan singkong, pepaya dan sejenisnya. Dana yang
dikumpulkan masyarakat muslim dalam pengembangan madrasah sangat
terbatas, sementara biaya pendidikan semakin mahal, sehingga
tuntutan untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan
IPTEK menyebabkan madrasah ketinggalan terus. Pada umumnya madrasah
swasta berada dalam keadaan serba kekurangan karena menampung
siswa-siswa dari ekonomi lemah. Akibatnya biaya untuk menunjang
proses belajar mengajar dengan menggunakan berbagai fasilitas dan
teknologi tidak dapat dilakukan. Data Emis 2001 menunjukkan alokasi
dana untuk proses belajar mengajar di madrasah hanya 5,6%, dana
terbesar pada gaji dan honor serta pemeliharaan.
Dalam kondisi yang memprihatinkan seperti itu, bisa dipahami
kalau gagasan dan rencana desentralisasi dan penempatan di bawah
satu atap Departemen Pendidikan nasional menimbulkan kekhawatiran
lebih lanjut. Kedua, gagasan itu bukan hanya mengandung komplikasi
kelembagaan dan struktur, tetapi pada gilirannya juga dapat
memengaruhi masa depan dan eksistensi pendidikan Islam (Azra dalam
Arief, 2005: 43).
Situasi di atas, merupakan gambaran dari dikotomi kelembagaan
dan subtansial antara pendidikan agama dan keagamaan dengan
pendidikan umum yang harus direkontruksi sehingga diskriminasi yang
selama ini terjadikarena cara pandang yang tidak berimbangdapat
diminimalisir, jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Gejala ini
secara ekstrim oleh Umaruddin Masdar disebut sebagai colonial
mindset, yaitu suatu pemikiran yang selalu tersetting sejalan
dengan maksud-maksud kolonialisme.
Masalah kedua yang dihadapi oleh pendidikan Islam adalah dari
sisi kelembagaan. Pertanyaannya adalah mengapa lembaga pendidikan
Islam di Indonesia, sebagai agent of change masyarakat Islam
seolah-olah tidak berdaya dan tidak mampu duduk sejajar dengan
pendidikan lainnya, bahkan dianggap sebagai pendidikan kelas dua.
Tilaar, sebagaimana dikutip oleh Bakar dan Surohim (2005: 3),
mengemukakan bahwa:
Dalam realitasnya justru pendidikan Islam belum responsif
terhadap tuntutan hidup manusia dan masih menghadapi
masalah-masalah kompleks. Hal ini dapat dilihat dari ketertinggalan
dengan pendidikan lainnya, baik secara kuantitatif, maupun secara
kualitatif yang belum meraih keunggulan kompetitif, sehingga masih
cenderung dilabelkan sebagai pendidikan kelas dua. Memang terasa
janggal, dalam suatu komunitas masyarakat muslim terbesar dan
memiliki sejarah panjang dalam perjalanan pendidikan Islam di
Indonesia, justru pendidikan Islam tersisih dari mainstream sistem
pendidikan nasional.
Menurut Azra (2002: 59-60), ada beberapa fenomena yang
menyebabkan pendidikan Islam selalu berada dalam lingkaran
tersingkirkan. Pertama, pendidikan Islam sering terlambat untuk
merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat,
sekarang dan masa datang. Kedua, sistem pendidikan Islam kebanyakan
masih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora
dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika,
kimia, biologi, dan matematika moderen. Ketiga, usaha pembaruan dan
peningkatan sistem pendidikan Islam sering bersifat
sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh yang hanya
dilakukan sekenanya atau seingatnya, sehingga tidak terjadi
perubahan secara esensial di dalamnya. Keempat, sistem pendidikan
Islam tetap cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang
berorientasi ke masa depan atau kurang bersifat future oriented.
Kelima, sebahagian besar pendidikan Islam belum dikelola secara
profesional baik dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar,
kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya, sehingga kalah bersaing
dengan yang lainnya.
Sedangkan Abdurahman Masud (2002: 14) mengemukakan bahwa
kelemahan pendidikan Islam secara umum adalah (1) Dunia pendidikan
Islam kini terjangkit penyakit sindrom dikotomik, dan masalah
spirit of inquiry; (2) Kurang berkembangnya konsep humanisme
religius dalam dunia pendidikan Islam dan lebih berorientasi pada
konsep Abdullah daripada khalifatullah dan hablum minallh daripada
hablum minanns; (3) Adanya orientasi pendidikan yang timpang,
sehingga melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan
Islam, dari persoalan filosofis sampai persoalan metodologis,
bahkan sampai ke tradition of learning.
Menyinggung tentang pemikiran dikotomik antara agama dan
pendidikan umum, antara ilmu-ilmua agama dan ilmu-ilmu umum, tiada
lain adalah pengaruh dari usaha-usaha untuk mempersempit dan
mengebiri ruang lingkup pendidikan Islam. Padahal jika disimak
kembali sejarah peradaban Islam, maka puncak kemajuan peradaban
Islam empat abad pertama sejak lahirnya Islam (7-11 M), tidak
ditemukan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum
(Masud, 2002: 5). Nurcholis Madjid (2000: 135) mengemukakan bahwa,
Karena sikap orang-orang muslim klasik yang positif terhadap
berbagai budaya bangsa-bangsa lain, maka peradaban Islam-lah yang
pertama kali menyatukan khazanah ilmu pengetahuan bersama secara
internasional dan kosmopolit.
Secara teoritis, ajaran Islam tidak memberikan tempat dan pola
fikir dikotomis dalam pendidikan Islam. Kecenderungan tersebut
merupakan mainstream historis sehingga muncullah dikotomi, yang
dalam istilah Masdar (2003: 9), hal-hal seperti itu disebut dengan
colonial mindset, yang tentu saja kecenderungan seperti itu tidak
pernah disadari apalagi diakui.
Selain masalah dikotomi, menurut Malik Fadjar (1999: 35),
kelemahan umat Islam dalam menyelenggarakan pendidikan Islam,
faktor utamanya terletak pada dataran epistimologis, yaitu
bagaimana mencairkan nilai-nilai Islam sebagai seting sosial
kultural yang berkembang. Dengan kata lain, umat Islam masih
menghadapi keterbatasan sumber daya manusia, yaitu manusia yang
memiliki etos, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai. Dalam
rangka mewujudkan sistem nilai Islam pada bidang pendidikan menjadi
sebuah sistim pendidikan yang dapat diandalkan, paling tidak ada
dua cara. Pertama, meningkatkan kualitas berpikir dengan cara
meningkatkan kecerdasan. Kedua, memperluas wawasan dan meningkatkan
kualitas kerja melalui peningkatan etos kerja.
Mengenai tantangan pendidikan, Khaeruddin Kurniawan (1999)
sebagaimana dikutif Armai Arief (2005: 6-7), merinci beberapa
tantangan pendidikan menghadapi globalisasi: Pertama, tantangan
untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan
produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan
pembangunan berkelanjutan (continuing development). Kedua,
tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap
terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat
tradional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi
komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan
pengembangan kualitas kehidupan SDM. Ketiga, tantangan meningkatkan
daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang
berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni. Keempat, tantangan terhadap
munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang
menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan
ekonomi.
Oleh karena itu, hal yang perlu digarisbawahi adalah perlunya
para pemikir dan pengelola pendidikan Islam untuk bersikap proaktif
dalam merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat
kini dan masa datang, dengan tidak terpaku pada pemikiran sempit
tentang ruang lingkup pendidikan Islam.
Upaya Rekonstruksi Lembaga Pendidikan Islam
Lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun
2003, boleh jadi telah membuka peluang yang lebih luas bagi
pengembangan pendidikan Islam menjadi lebih maju. Banyak pihak
merasa bahwa Undang-Undang SISDIKNAS yang baru secara konseptual
merupakan titik balik pencerahan dalam mengembangkan, memberdayakan
serta meningkatkan sistem pendidikan Islam di Indonesia.
Undang_undang tersebut dalam konteks peningkatan kualitas menjadi
sangat relevan. Harapan bagi pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia, seolah menemukan energi baru (Bakar dan Surohim, 2005:
v).
Seperti dipahami bahwa di dalam Undang-Undang SISDIKNAS telah
memberikan perspektif baru yang revolusioner bagi perbaikan sektor
pendidikan, dimana pendidikan telah menjadi urusan publik secara
umum dengan mengurangi otoritas pemerintah, baik bertalian dengan
kebijakan kurikulum, manajemen, dan berbagai kebijakan pengembangan
institusi pendidikan itu sendiri. Undang-undang SISDIKNAS dipandang
sebagai salah satu bentuk reformasi di bidang pendidikan.
Menurut Toto Suharto (2005: 24), satu hal yang krusial dalam
reformasi pendidikan ini adalah bahwa, baik dari pimpinan
institusi, masyarakat sebagai stake holders maupun pemerintah
(pusat dan daerah), tampaknya telah memiliki pandangan yang
kreatif, dinamis, kolektif, dan visi yang sama dalam proses
reformasi pendidikan. Dengan ini, reformasi pendidikan diharapkan
dapat menghasilkan institusi dan lulusan yang potensial dan
kompetitif.
Karena itu, banyak kalangan menilai bahwa sudah saatnya
pendidikan Islam lebih bersikap rasional dan lebih berorientasi
pada kebutuhan masyarakat luas. Apalagi sekarang ini, yang menjadi
mainstream pemikiran pendidikan adalah mempersiapkan sumber daya
manusia di masa datang, dan bukan semata-mata sebagai alat untuk
membangun pengaruh politik atau alat dakwah dalam arti sempit
(Fadjar, 1999: 235). Kurang tertariknya masyarakat untuk memilih
lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan karena telah terjadi
pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang mulai memudar,
melainkan karena sebahagian besar kurang menjanjikan masa depan dan
kurang responsif terhadap tuntutan saat ini maupun saat yang akan
datang. Padahal paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan
masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama),
status sosial, dan cita-cita (Fadjar: 1999: 235). Bahkan dua
pertimbangan terakhir (status sosial dan cita-cita) cenderung lebih
dominan.
Dalam realitasnya, potensi pendidikan yang dimiliki oleh umat
Islam, baik yang berbentuk madrasah dan sekolah maupun pendidikan
tinggi nampak belum menjadi kekuatan aktual. Karena itu, menurut
Malik Fadjar (Fadjar, 1999: 237), perlu dilakukan pembenahan dan
pengembangan melalui dua pendekatan, yaitu microscopis (tinjauan
mikro) dan macroscopic (tujuan makro). Dalam pendekatan yang
pertama, pendidikan dianalisis dalam hubungannya dengan kerangka
sosial yang lebih luas. Sedangkan dalam pendekatan yang kedua,
pendidikan dianalisis sebagai satu kekuatan unit yang hidup dimana
terdapat saling interaksi di dalam dirinya.Oleh karena itu, kalau
kita ingin menatap masa depan serta peran pendidikan Islam yang
lebih artikulatif di masa datang, maka perlu ada keterbukaan
wawasan dan keberanian di dalam memecahkan masalah-masalahnya
secara mendasar dan menyeluruh yang berkaitan dengan: pertama,
kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah-langkah
operasionalnya; Kedua, pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang
ada dengan menata kembali sistemnya; Ketiga, perbaikan, pembaruan
dan pengembangan dalam sistem pengelolaan dan manajemennya;
Keempat, peningkatan sumber daya manusia yang diperlukan (Fadjar,
1999: 237).
Khusus bagi institusi pendidikan tinggi Islam
(STAIN/IAIN/UIN/PTAI), sudah saatnya melakukan penataan
kelembagaan, keluar dari kungkungan bonsai dalam bentuk STAIN/IAIN,
sehingga dapat lebih kreatif dalam merespon kehendak dan perubahan
sosial masyarakat. Menurut Maftuh Basyuni (2005: 5), upaya-upaya
peningkatan kualitas pendidikan Islam bisa jadi dilakukan dengan
bentuk dan model yang beraneka ragam.
Akhirnya, penulis berkeyakinan bahwa pendidikan Islam mempunyai
potensi untuk menempati leading position, minimal dengan dua modal
dasar sebagaimana yang sering diungkapkan Husni Rahim dalam
berbagai forum dan tulisan bahwa: pertama, Indonesia adalah negara
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Mereka ini
membutuhkan layanan pendidikan berciri khas Islam mulai jenjang
pendidikan Dasar hingga Pendidikan Tinggi. Kedua, kesadaran
masyarakat tentang arti pentingnya pendidikan yang berciri khas
Islam mengalami perkembangan yang signifikan.
Simpulan
Berdasarkan paparan sebelumnya tentang kondisi pendidikan Islam
dan tantangan perubahan serta rekonstruksi yang dapat dilakukan,
penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun secara jumlah lembaga
pendidikan Islam mengalami peningkatan, namun sebagian besar
lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara profesional baik
dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun
pelaksanaan pendidikannya. Hal ini menyebabkan lembaga pendidikan
Islam belum memiliki daya saing yang tinggi sehingga menuntut
adanya rekontruksi lembaga pendidikan Islam.
Pasca lahirnya Undang-Undang SISDIKNAS tahun 2003 yang
memberikan landasan yuridis yang kokoh bagi lembaga pendidikan
Islam, maka diperlukan rekonstruksi dalam pengembangan lembaga
pendidikan Islam. Secara sederhana dibutuhkan rekontruksi, yang
dalam hal ini mencakup dua hal: pertama, rekonstruksi atas cara
pandang semua kalangan (eksekutif, legislatif, politisi, ilmuwan,
birokrat, dan sebagainya) tentang pendidikan Islam, dan kedua,
memosisikan institusi/lembaga pendidikan Islam secara wajar dalam
konteks tatanan/kebijakan pendidikan nasional.
Lembaga pendidikan Islam dengan berbagai aset yang dimilikinya
memiliki peluang untuk memberikan layanan pendidikan yang lebih
komprehensif jika mampu melahirkan keluaran pendidikan yang
memiliki berbagai kompetensi, keterampilan, dan berakhlak
mulia.
Daftar Pustaka
Azra, A. (2002). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.Azra, A. (2005).
Kata Pengantar dalam, Armai Arief. Reformulasi Pendidikan Islam.
Jakarta: CRSD Press.Bakar, U.A. dan Surohim. (2005). Fungsi Ganda
Lembaga Pendidikan Islam: Respon Kreatif terhadap Undang-Undang
SISDIKNAS. Yogyakarta: Safiria Insani Pres.Barizi, A. (ed). (2005).
Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar. Jakarta:
Rajawali-UIN Malang Press.Basyuni, M. Kampus Masa Depan, artikel
dalam Swara Cendekia, No. 1, tahun 1, 2005.Fadjar, M. (1999).
Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia.Madjid, N.
(2000). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta:
Paramadina.Masdar, U. (2003). Agama Kolonial: Colonial Mindset
dalam Pemikiran Islam Liberal. Yogyakarta: Klik. R.Masud, A.
(2002). Mengggagas Format Pendidikaan Non Dikotomik: Humanismen
Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama
Media.Rahim, H. (2005). Madrasah dalam Politik Pendidikan di
Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.Suharto, T. (2005).
Rekonstruksi dan Modernisasi: Menuju Revitalisasi Lembaga
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.Tilaar, H.A.R.
(2002). Pertanggungjawaban Manajemen Pendidikan dalam Menghidupi
Pedagogik di Indonesia. Jakarta: UNJ-HSAPI.
Muhaemin Muhammadiah, dosen Tetap pada STAIN Palopo Sulawesi
Selatan. E-mail: [email protected].
Diposkan olehINDRA -
POSTARdi22.50http://didaktika.fitk-uinjkt.ac.id/2010/02/potret-pendidikan-islam-di-indonesia.htmlhttp://pandidikan.blogspot.com/2010/04/masa-pembaharuan-pendidikan-islam.htmlSejarah
Pendidikann Islam Periode modern atau penbaharuan dalam sejarah
islam beermula dari tahun 1800M dan berlangsung sampai
sekarang,periode ini meruoakan zaman kebangkitan islam setelah
mengalami kemundurann. Berbagai usaha pemnaharuan telah
digggerakkan baik dalam bidang, pendidikan, dan kebudayaan.
Mulanya sebagai mana yang telah disebutkan ketika tiga kerajaan
besar islam mengalami kemundurn di abad 18, eropa barat mengalami
kemajuan dengan pesat. Kekuatan islam terakhir yang masih disegani
pleh lawan(eropa) tinggal kerajaan turki usmani.Tapi sejak
kekalahan dalam pertempuran di wina itu kerajaann usmani juga
menyadari atas kemundurannya dan kemajuan barat. Usaha-usaha
pembaharuan mulai dilaksanakan dengan mengirim duta-duta kenegara
negara eropa terutama prancis untuk mempelajari suasana kemajuan
lebih dekat tapi rupanya tantangan dari pihak ulama dan golongan
tentara yang sudah ada sebelumnya yaitu pasukan yenissari terlalu
kuat sehinggga usaha pembaharuan teersebut tidak dapat
berkembang.
Usaha penbaharuan turki usmani baru mengalami kemajuan setelah
tentara yenissari dibubarkan oleh Sultan mahmud II(1807-1899M) pada
tahun 1839 M. Pendidikan diperbaharui oleh beliau dengan mendirikan
sekolah-sekolah model barat seperti sekolah satra, militer, teknik
kedokteran dan sebagainya.Sehingga terbentuk turki modern, akan
tetapi meski mendatangkan kemajuan hasil gerakan pembaharuan tidakk
dapat menghentikan barat kedunia islamm diabad ke-19.Gerakan
pembaharuan justru malah mengancam kekuasaan para sultan yang
absolute sehingga lahir gerakan tanzimat untuk menangani program-
programnya yang dipimpin oleh ali pasya(1815-1871M)dan fuad pasya
(1815-1869M), gerakan turki muda, dan partai persatuan dan kemajuan
dengan gagasan bahwa teknologi modern yang bermanfaat dapat
diperkenalkan dalam suatau masyarakat sambil tetap bisa memelihara
tradisis masyarakat yang bersangkutan ini adalah pendirian
mayoritas orang-orang tanzimat. Tetapi bagi usmani- nsmani muda
seperti ziya pasya dan nanik kemal ada modernisasi dengan tetap
mempertahankan intergritas bangsa.
Pada paruh abad kedua yaitu abad ke-19, lima orang modernis
muslim terkemuka muncul yitu sayid ahmad khan di India(1817-1898M),
Jmaludin Al-Afgani(1838-1897M), dan sayd Amir Ali dari India, Nanik
Kemal dan syeh Muhammad Abduh dari Turki.
Nmun ketika terjadi Perang Dunia Itahu 1915M turki usmani berada
dipihak yang lkalah dann kekhaliahan dihapuskan. Sejak itu
seakan-akan tidak ada lagi kerajaan islam yang betul- betul
merdeka.
B. Pola Pembaharuan Pendidikan IslamDengan memerhatikan berbagai
maam sebabb kelamahan dan kemunduran umat islam dan juga kemajuan
dan kekuatan yang dialami oleh bangsa- bangsa eropa, maka garis
besarnya terjadi tiga pla pekiran pembaharuan pendidikan islam:
1.Pola pembaharuan pendidikan islam yang berorientasi pada
barat.pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dab
kisejahteraan hidup yag dialami oleh brat sdalah sebagai hasil dari
perkembanagan ilmu pengetahuan dan teknolgi modern yang mereka
capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh
bangsa-bangsa barat sekarang, tidak lain adalah pengembangan dari
ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia
islam. Atas dasar demikian , maka untuk mengembangkan kekuatan dan
kejayaan umat islam, sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut
harus dikuasai kembali.
2.Pola pembaharuan yang berorientasi pada isla sendiri untuk
memurnikan ajaran islam. Pla ini diribtis oleh muhammadbn abduh
(akhir abad 19).
3.UIsaha pembaharuan yang berorientasi pada kekayaan dan sumber
budaya bangsa yang bersifat nasionalisme.
C. Dualisme Sistem PendidikanSebagai akibat dari usaha
pembaharuan pendidikan islam untuk mengejar ketertinggalan dari
barat sehingga yang berupaya melakukan reformasi westeernisasi,
maka ada kecenderungan dualisme pendidikan.
Sistem modern pada umumnya dilaksanakan oleh pemerintakk
sedangkan sistem pendidikan tradisional pada umumnya yang merupakan
sisa-sisa dan perkembangansistem pesantren hanya mempeerdalam ilmu
agama. Dulisme inilah yang selanjutnya mewarnai pendidikan islam
disemua negara islam dizaman modern.
Sedangkan pembaharuan yang dikehendaki oleh oleh Al-Afgani,
Muhammad Abduh dann kawan- kawan adalah memadukan antara keduanya
dalm prakteknya. Sehingga sanpai sekarang prtoses pembaharuan
pendidikann islsm masih berlangsung.
ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKANMAKALAHDisusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :Ilmu Pendidikan IslamDosen Pengampu:Dr. H.
Darmuin,M.Ag.
DI SUSUN OLEH :1.MUHAMMAD KHOIRUL ANAM( 133111023 )2.MUSTOFA(
133111043 )3.YUSUFHAMDANI( 133111044)4.SITI CHAIZATUL MUNASIROH(
133111045 )FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUANIAIN WALISONGO
SEMARANG2014I.PENDAHULUANKondisi perkembangan abad terkini
menghendaki adanyanya suatu sistem pendidikan yang kompreshensif
dan representative. Karena perkembangan masyarakat dewasa ini
menghendaki adanya pembinaan yang dilaksanakan secara seimbang
antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan dan
kemampuan berkomunikasi.
Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup
manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah umat
manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak mengunakan
pendidikan sebagai alat pembudayaan dan meningkatkan kualitasnya,
sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang.
Apabila demikian, maka pendidikan memegang peranan exixtensi dan
perkembangan manusia, karena pendidikan merupakan usaha
melestarikan dan mengalihkan serta menstransformasikan nilai-nilai
kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi
penerus, untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.
Begitu juga dalam Islam, Pendidikan Islam pada dasarnya
dilaksanakan atas dasar perintah yang ada di dalam Al Quran
terutama yang tertuang pada surat Al-Alaq: 1-5. Sebagimana hanya
Islam yang mula-mula diterima Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat
jibril di gua Hira. Ini merupakan salah satu contoh dari
opersionalisasi penyampaian dari pendidikan. Adapun Pendidikan
Islam ini pada intinya dilaksanakan dalam upaya menyahuti kehendak
umat Islam pada masa itu dan pada masa yang akan datang yang
dianggap sebagai kebutuhan hidup (need of life).
Mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap
manusia, agama, Negara, maupun pemerintah, maka pendidikan harus
selalu di tumbuh kembangkan secara sistematis oleh para pengambil
kebijasanaan yang berwenang di republik ini. Berangkat dari
kerangka ini, maka upaya pendidikan disuatu bangsa selalu memiliki
hubungan yang siknifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa
datang, sebab pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan baik
perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Oleh karena itu, mau
tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan
tersebut, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan zaman.
II.RUMUSAN MASALAHA.Apa saja aliran pendidikan itu?
B.Bagaimana pandangan islam tentang aliran-aliran pendidikan
tersebut?
III.PEMBAHASANA.ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKANSejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda
antara satu daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan
pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses
pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan, di mana
pemikiran-pemikiran ini adalah kemungkinan yang menjadi faktor
penyebab keberhasilan dalam pendidikan.Karenannya, banyak teori
yang dikemukakan para pemikir yang bermuara pada munculnya berbagai
aliran pendidikan, di antaranya[1]:
1.Aliran Empirisme
Tokoh aliran Empirisme ini adalah John Locke, filosof inggris
yang hidup pada tahun 1632-1704. Teorinya dikenal dengan Tabulae
rasae ( Meja lilin ), yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke
dunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas prutih akan
mempunyai corak dan tulisan yang digores oleh lingkungan. Faktor
bawaan dari orang tua ( Faktor keturunan ) tidak dipentingkan.
Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan lingkungan (
sosial alam dan budaya ). Pengaruh empiris yang diperoleh dari
lingkungannya berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut
aliran ini, pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat
penting sebab pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak,
dan anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman. Pengalaman
tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap, serta watak anak
sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Misalnya, suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya
menjadi pelukis. Segala alat yang dibutuhkan untuk melukis
diberikan dan pendidik ahli lukis didatangkan guna untuk mengajari
anak itu menjadi pelukis handal. Dari faktor pengaruh lingkungan
dan faktor pendidik ini maka anak tersebut berhasil menjadi seorang
pelukis.
Contoh lain, ketika dua anak kembar sejak lahir dipisahkan dan
dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu dari mereka dididik di
desa oleh keluarga petani golongan miskin, yang satu dididik di
lingkungan keluarga kaya yang hidup di kota dan disekolahkan di
sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman.
Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir
dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil
meskipun lingkungan tidak mendukung.
2.Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhauer. Ia adalah
filosofJerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini
berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan olehfaktor
bawaansejak lahir. Faktor lingkungna kurang berpengaruh terhadap
pendididkan dan perkembangna anak. Oleh karena itu hasil pendidikan
ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian
menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu
itu sendiri.Nativisme berpendapat jika anak memiliki bakat jahat
dari lahir ia akan menjadi jahat dan sebaliknaya jika anak memiliki
bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak akan
berguna bagi perkembangna anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak
mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat
orang tua. Prinsipnya pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang
adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia,
yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter,
serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri
tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik
maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik
tertentu. Misalnya,seorang anak yang berasal dari orangtua yang
ahli seni musik akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin
melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada
setengah kemampuan orangtuanya.
3.Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah J.J. Rousseau. la adalah filosof Prancis
yang hidup tahun 1712-1778. Naturalisme mempunyai pandangan bahwa
setiap anak yang lahir di dunia mempunyaipembawaan baik, namun
pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan,
sehingga aliran Naturalisme sering disebut Negativisme. Dalam
aliran Naturalisme memiliki tiga prinsip tentang proses
pembelajaran dintaranya adalah :
a. Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian
terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan
dan perkembangan didalam dirinya secara alami.
b. Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang
menyenangkan. Pendidik berperan sebagai fasilitator atau narasumber
yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak
didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan
untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung
jawab belajar terletak pada diri anak didik sendiri.
c.Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat
dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi
kepada pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas diberi
kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai
dengan minat dan perhatiannya.
Dengan demikian, aliran Naturalisme menitikberatkan pada
strategi pembelajaran yang bersifat paedosentris; artinya, faktor
kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan proses
belajar-mengajar.
4.Aliran Konvergensi
Tokoh aliran ini adalah William Stern. Ia seorang tokoh
pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1939 . Aliran konvergensi
merupakan kompromi ataukombinasi dari aliran Nativisme dan
Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini
telah memiliki bakat baik dan buruk,sedangkan perkembangan anak
selanjutnya akan di pengaruhi oleh lingkungan. Jadi fakotrpembawaan
dan lingkungan sama-sama berperan penting.
Anak yang mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh lingkungan
pendidikan yang baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat
yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa
dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu
sendiri. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan
perkembangna anak secara optimal jika tidak didukung oleh bakat
baik yang dibawa anak.
Dengan demikian,aliran konvergensi menganggap bahwa pendidikan
sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan.
Hanya saja, William Stern tidak menerangkan seberapa besar
perbandingna kpengaruh kedua faktor tersebut. Sampai sekarang
pengaruh dari kedua faktor tersebut belum bisa ditetapkan.
5.Aliran Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini
berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar
dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan,
ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya. Aliran ini
memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal
itu ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan jika
dibanding makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif
yang didukung oleh ke-cerdasannya sebagai bekal menghadapi dan
memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama
pendidik, yang secara teori mengerti karakter peserta didiknya.
Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan
rohani, namun juga termanifestasikan di dalam tingkah laku dan
perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani,
terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik
diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian
dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga
suasana belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.
6.Aliran Esensialisme
Aliran Esensialisme bersumber dari filsafat idealisme dan
realisme. Sumbangan yang diberikan keduanya bersifat eklektik.
Artinya, dua aliran tersebut bertemu sebagai pendukung Esensialisme
yang berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-nilai
yang dapat mendatangkan kestabilan. Artinya, nilai-nilai itu
menjadi sebuah tatanan yang menjadi pedoman hidup, sehingga dapat
mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang
berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat
abad yang lalu, yaitu zaman Renaisans.
Adapun pandangan tentang pendidikan dari tokoh pendidikan
Renaisans yang pertama adalah Johan Amos Cornenius (1592-1670),
yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui indra, karena indra
adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich
Herbart (1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan Tuhan. Artinya, perlu
ada penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai
tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut sebagai pengajaran.
Tokoh ketiga adalah William T. Harris (1835-1909) yang berpendapat
bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas
berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke-satuan
spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang
telah turun-temurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada
masyarakat. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran
Esensialisme menghendaki agar landasan pendidikan adalah
nilai-nilai esensial, yaitu yang telah teruji oleh waktu, bersifat
menuntun, dan telah turun-temurun dari zaman ke zaman sejak zaman
Renaisans.
7.Aliran Perenialisme
Tokoh aliran Perenialisme adalah Plato, Aristoteles, dan Thomas
Aquino. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman
kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan
sekarang. Pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah belajar
untuk berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan
untuk berlatih berpikir sejak dini. Pada awalnya, peserta didik
diberi kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis, dan
berhitung. Selanjutnya perlu dilatih pula kemampuan yang lebih
tinggi seperti berlogika, retorika, dan bahasa.
8.Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, ia
seorang epistemolog Italia. Ia dipandang sebagai cikal-bakal
lahirna Konstruksionisme. Ia mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta
alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan ( Paul Suparno,
1997: 24). Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui.
Hanya Tuhan yang daapt mengetahui segala sesuatu karena dia
pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu
yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi vico, pengaetahuan dapat menunji
pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas
dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piget. Melalui teori
perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan
merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan
lingkungannya. Artinya pengetahuan merupakan suatu proses bukan
suatu barang. Menurut Peaget mengerti adalan prossis adaptasi
intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan
yangtelah dimilikinya sehingga dapat terbentuk pengertian baru
(Paul Suparno, 1997: 33).
Peaget juga berpendapat bahwa perkembangna kognitif dipengaruhi
oleh tiga proses dasar yaitu asimilasi akomodasi dan ekuilibrasi.
Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang
telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif
terhadap situasi baru dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali
ang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (
Suwardi, 2004: 24)
Kesimpulannya aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak
diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri seseorang
melalui pengalaman yang diterima lewat panca indra yaitu indra
penglihatan, pendengaran, peraba, peciuman dan perasa. Dengan
demikian aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang
dilakukan dari seseorang kepada orang lain dengna alasan
pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan, sehingga jika
pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu akan
sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berrbeda jida
pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.
B.PANDANGAN ISLAM TENTANG ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKANDalam masalah
aliran-aliran pendidikan ini, Islam mempunyai pandangan yang
berbeda dengan pendirian yang dikemukakan para pemikir-pemikir di
atas. Islam menampilkan teori potensi positif ( Fitrah ) sebagai
dasar perkembangan manusia[2]. Potensi ini dapat berupa keyakinan
beragama perilaku untuk menjadi baik atupun menjaddi buruk dan lain
sebagainya yang kesemuanya harus di kembangkan agar ia bertumbuh
secara wajar sebagai hamba Allah.[3]Dasar konseptualisasinya
mengacu pada firman Allah SWT maupun sabda Nabi SAW.
Allah dalam salah satu firman-Nya menyatakan :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. ( QS. Ar
Rum: 30 )
Sementara dalam salah satu hadits nabi disebutkan : setiap anak
dilahirkan dalam firtrahnya ( potensi untuk beriman-bertauhid
kepada Allah dan kepada yang baik). Kedua orangtuanyalah yang
menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Makna yang terkandung dalam ayat dan hadits di atas ialah bahwa
setiap manusia pada dasarnya baik, memiliki fitrah dan jiwanya
sejak lahir tidak kosong seperti kertas putih, tetapi berisi
kesucian dan sifat-sifat dasar yang baik. Pandangan ini sama sekali
berbeda dengan konsep perkembangan manusia menurut aliran-aliran
pendidikan di atas.
Fitrah yang dibawa anak sejak lahir bersifat potensial sehingga
memerlukan upaya-upaya manusia itu sendiri untuk
mengembangtumbuhkannya menjadi faktual dan aktual. Untuk melakukan
upaya tersebut, islam memberikan prinsip-prinsip dasarnya berupa
nilai-nilai islami sehingga pertumbuhan potensi manusia terbimbing
dan terarah. Dalam proses inilah faktor ajar sangat besar
peranannya bahkan menentukan bentuk dan corak kepribadian
seseorang.
Berdasarkan konseptualisasi itulah pendidikan islam dapat
berfungsi sebagai wahana mengembangkan potensi peserta didik sesuai
dengan fitrahnya. Pendidikan merupakan proses pengembangan fitrah
peserta didik tersebut agar menjadi aktual sehingga mampu membentuk
kepribadian muslim yang bermoral ( berakhlaqul karimah ). Dengan
demikian, tampak jelas bahwa islam mengakui peranan faktor dasar
dan ajar dalam perkembangan anak. Hanya saja konsep islam mengenai
sifat dasar manusia maupun proses ajar yang diperlukan berbeda
dengan pendirian aliran-aliran di atas. Fitrah ataupotensi (
ketauhidan,kebenaran,dan kemanusiaan ) seseorang akan berkembang
secara dinamis dengan bantuan pendidikan.[4]IV.KESIMPULANAdapun
aliran-aliran pendidikan itu antara lain :
A.Aliran Empirisme
B.Aliran Nativisme
C.Aliran Naturalisme
D.Aliran Progresivisme
E.Aliran Konvergensi
F.Aliran Esensialisme
G.Aliran Perenialisme
H.Aliran Konstruktivisme
pandanganIslamberbeda dengan pendirianyang dikemukakanoleh para
ahli mengenai aliran-aliran pendidikan.Islam menampilkan teori
potensi positif ( Fitrah ) sebagai dasar perkembangan
manusia.Potensi ini dapat berupa keyakinan beragama perilaku untuk
menjadi baik atupun menjaddi buruk dan lain sebagainya yang
kesemuanya harus di kembangkan agar ia bertumbuh secara wajar
sebagai hamba Allah.
DAFTAR PUSTAKARoqib, Moh . 2009.Ilmu Pendidikan Islam.
Jogjakarta : LkiS yogyakarta.
Suwarno, Wiji . 2009.Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Uhbiyati, Nur . 2012.Dasar-dasar Ilmu pendidikan Islam.Semarang
: FITK IAIN WS Semarang.
http://schaizatul.blogspot.com/2014/04/v-behaviorurldefaultvmlo_2.html
[1]Wiji suwarno,Dasar-dasar Ilmu Pendidikan,(Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009), hlm. 48-58
[2]Moh Roqib,Ilmu Pendidikan Islam, ( Jogjakarta : LkiS
yogyakarta, 2009), hlm. 61
[3]Nur Uhbiyati,Dasar-dasar Ilmu pendidikan Islam, (Semarang :
FITK IAIN WS Semarang, 2012), hlm. 127
[4]Moh Roqib,Ilmu Pendidikan Islam, ( Jogjakarta : LkiS
yogyakarta, 2009), hlm. 62