-
Volume 12, Nomor 1, Januari 2016Halaman 1–8
DOI: 10.14692/jfi.12.1.1ISSN: 0215-7950
*Alamat penulis korespondesi: Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jalan Kamper, Kampus
Darmaga IPB, Bogor 16680 Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362;
surel: [email protected]
1
Potensi Metabolit Sekunder Cendawan Endofit Tanaman Cabai
sebagai Penghambat Fusarium sp. Patogen Asal Biji
Secara in Vitro
The Potency of Secondary Metabolic of Pepper Endophytic Fungi as
Inhibitor Agents Againts Seed Borne Pathogenic Fusarium Sp. in
Vitro
Dewi Novina Sukapiring, Bonny Poernomo Wahyu Soekarno*, Titiek
Siti YulianiInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680
ABSTRAK
Cendawan endofit telah dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan
cendawan patogen Fusarium oxysporum. Penelitian ini bertujuan
menyeleksi cendawan endofit tanaman cabai dalam menghasilkan
metabolit sekunder sebagai penghambat patogen asal biji, Fusarium
sp., secara in vitro. Empat isolat cendawan endofit berasal dari
cabai, yakni isolat CECL 19, CECL 28, CECL 38, dan CECL 40 diuji
pada 3 medium fermentasi glukosa ekstrak khamir pepton cair,
dekstrosa kentang cair, dan dekstrosa kentang ekstrak khamir cair.
Metabolit cendawan endofit diujikan pada Fusarium sp. secara in
vitro. Peubah yang diamati ialah pertumbuhan Fusarium sp. pada
medium fermentasi dibandingkan dengan kontrol negatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jenis medium sangat menentukan
kemampuan metabolit cendawan endofit dalam menekan pertumbuhan
Fusarium sp. Medium fermentasi ADK dan DKEC merupakan medium yang
dapat mengoptimalkan produksi metabolit berturut-turut cendawan
endofit isolat CECL 28, dan CECL 19. Metabolit cendawan endofit
isolat CECL 28 dapat menghambat Fusarium sp.
Kata kunci: cendawan endofit, Fusarium sp., medium
fermentasi
ABSTRACT
Endophytic fungi was known as controlling agents to pathogenic
fungi, including Fusarium oxysporum. This research was aimed to
select endophytic fungi from pepper which produced secondary
metabolites and have beneficial effect in controlling seed borne
pathogen especially Fusarium sp. Four isolates was obtained, i.e.
CECL 19, CECL 28, CECL 38, and CECL 40; and further examined in 3
medium fermentation, i.e. yeast glucose broth, potato dextrose
broth, and potato dextrose yeast broth. Metabolites of endophytic
fungi was tested in vitro for its inhibition effect on the growth
of Fusarium sp. The result showed that the type of fermentation
medium was significantly determining the ability of endophytic
fungi in inhibiting the growth of Fusarium sp. Medium PDA and DEC
was determined as the best medium to optimize metabolite production
of CECL 28 and CECL 18, respectively. Metabolite compound produced
by CECL 28 has been effective to inhibited Fusarium sp.
Key words: endophytic fungi, fermentation medium, Fusarium
sp.
-
J Fitopatol Indones Sukapiring et al.
2
PENDAHULUAN
Cendawan Fusarium merupakan salah satu patogen terbawa benih
yang memiliki banyak inang. Patogen ini sulit dikendalikan karena
membentuk klamidospora yang dapat hidup di tanah dalam jangka waktu
tahunan dan tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem. Patogen
ini dapat menginfeksi tanaman mulai masa perkecambahan hingga
tanaman dewasa dan pasca panen. Selain menginfeksi tanaman di
lapangan, Fusarium juga menginfeksi benih selama penyimpanan. Nahar
et al. (2004) melaporkan F. chlamydosporum, F. moniliforme, F.
pallidoroseum, F. proliferatum, F. solani, F. sporotrichioides, dan
F. subglutinans terbawa oleh benih cabai. Selama ini, pengendalian
Fusarium sp. pada tanaman cabai banyak menggunakan fungisida yang
dapat berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan jika tidak
diaplikasikan secara tepat. Oleh karena itu, pengendalian yang
lebih ramah lingkungan perlu dicari. Salah satu alternatifnya ialah
penggunaan metabolit sekunder dari cendawan endofit yang bersifat
anticendawan.
Cendawan endofit telah dilaporkan menghasilkan senyawa metabolit
yang mampu menghambat dan mengendalikan pertumbuhan cendawan
patogen (Suryanarayanan et al. 2009). Senyawa saponin, terpenoid,
dan alkaloid dilaporkan bersifat antimikrob dan berpotensi sebagai
bioaktif untuk pengendalian cendawan patogen tanaman seperti
Fusarium sp. (Fitriyah et al. 2013; Rante et al. 2013). Penelitian
ini bertujuan menyeleksi cendawan endofit tanaman cabai dalam
menghasilkan metabolit sekunder sebagai penghambat patogen asal
biji, Fusarium sp., secara in vitro.
BAHAN DAN METODE
Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap dari kombinasi
perlakuan: 4 isolat cendawan endofit (CECL 19, CECL 28, CECL 38,
dan CECL 40); 3 medium fermentasi (glukosa ekstrak khamir pepton
cair [GEPC], dekstrosa kentang cair [DKC], dan dekstrosa kentang
ekstrak khamir cair [DKEC]);
3 konsentrasi metabolit (5, 10, dan 20%). Percobaan diulang 4
kali dengan menggunakan kontrol positif dan kontrol negatif.
Isolat CendawanCendawan Fusarium sp. dan 4 isolat
cendawan endofit asal cabai lokal CECL 19, CECL 38, CECL 40, dan
CECL 28 yang digunakan adalah koleksi Laboratorium Mikologi
Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Cendawan diremajakan pada medium agar-agar
dekstrosa kentang (ADK), dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7
hari.
Medium FermentasiMedium fermentasi yang digunakan
ialah: DKC, DKEC (2.4 g dekstrosa kentang instan, 3 g ekstrak
khamir dan 1 L akuades) (Kusumaningtyas et al. 2010). GEPC (20
gglukosa, 1 g ekstrak khamir, 5 g pepton, 0.5 g K2HPO4, 0.5 g
MgSO4·7H2O, 0.01 g FeSO4·7H2O dan 1 L akuades) (Agusta 2013).
Produksi Metabolit SekunderProduksi metabolit menggunakan
metode
Achmad (1997) yang dimodifikasi Octaviani (2015) dengan prosedur
sebagai berikut: Satu potong inokulum cendawan endofit berdiameter
0.5 cm, dimasukkan ke dalam 100 mL mediumfermentasi dalam labu
erlenmeyer volume 250 mL, lalu digoyang dengan kecepatan 100 rpm
selama 2 minggu pada suhu ruang. Selanjutnya suspensi dipisahkan
dari biomassa isolat dengan kertas saring Whattman no. 1 dan
disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit.
Supernatan disaring dengan pori membran berdiameter 0.2 μm.
Produksi metabolit sekunder ini mengikuti metode Achmad (1997) yang
dimodifikasi pada tahap pemisahan suspensi dengan disentrifugasi
dan penyaringan dengan pori membran.
Pengujian Medium FermentasiMetabolit cendawan endofit dari
masing-
masing medium diencerkan dalam medium ADK (konsentrasi 5, 10,
dan 20%). Setiap konsentrasi dibuat agar-agar cawannya dan
diinokulasikan Fusarium sp. berdiameter
-
J Fitopatol Indones Sukapiring et al.
3
0.5 cm. Medium ADK digunakan sebagai kontrol negatif dan medium
ADK dengan penambahan fungisida berbahan aktif mankozeb 80% sebagai
kontrol positif. Inkubasi cendawan dilakukan pada suhu ruang (27–30
°C) selama 7 hari. Peubah yang diamati ialah diameter koloni
Fusarium sp. pada medium ADK dengan campuran metabolit dibandingkan
dengan medium ADK kontrol negatif.
Daya hambat = (D1-D2) × 100%, denganD1, diameter koloni Fusarium
sp. kontrol negatif (mm); D2, diameter koloni Fusarium sp. pada
perlakuan (mm)
HASIL
Isolat cendawan endofit yang digunakan memiliki karakteristik
kultur yang berbeda (Tabel 1). Daya hambat metabolit cendawan
endofit isolat CECL 40 dan CECL 28 dari medium fermentasi DKC
terhadap
pertumbuhan Fusarium sp. yang tertinggi ialah pada konsentrasi
10 dan 20% yang diinkubasi 4 hari. Penghambatan mencapai 50%
dibandingkan dengan kontrol negatif demikian juga pada Isolat CECL
28 (Tabel 2). Metabolit sekunder yang diproduksi pada medium
fermentasi DKEC daya hambatnya tidak ada yang mencapai 50% (Tabel
3); demikian juga yang diproduksi pada medium GEPC (Tabel 4).
Persentase daya hambat optimum metabolit sekunder cendawan
endofit terjadi pada 4 hari setelah inokulasi pada 3 macam medium
fermentasi dan 3 taraf konsentrasi metabolit sekunder cendawan
endofit uji. Persentase daya hambat mengalami penurunan pada hari
selanjutnya. Pada konsentrasi metabolit sekunder tertentu, cendawan
endofit isolat CECL 28 menghasilkan metabolit yang bersifat
anticendawan dengan daya hambat tertinggi dalam menghambat
pertumbuhan Fusarium sp. (Tabel 2, 3, dan 4).
Tabel 1 Karakteristik koloni isolat cendawan endofit yang
berasal dari tanaman cabai pada medium ADK
Kode Isolat Bagian Koloni pada ADK KarakteristikCECL 19 Batang
Warna koloni putih dibagian
tengah, cokelat muda dibagian tepi dengan pertumbuhan nonaerial,
pertumbuhan lambat
CECL 28 Batang Warna koloni putih dengan pertumbuhan nonaerial,
meng-hasilkan metabolit bewarna cokelat pada medium tumbuh,
pertumbuhan cepat
CECL 38 Akar Warna koloni kuning dibagian tengah dengan tepi
bewarna putih, pertumbuhan aerial, pertumbuhan cepat
CECL 40 Batang Warna koloni hijau keabu-abuan, pertumbuhan
aerial, menghasilkan metabolit bewarna kuning kehijauan pada medium
tumbuh, pertumbuhan lambat.
ADK, agar-agar dekstrosa kentang.
-
J Fitopatol Indones Sukapiring et al.
4
Tabel 2 Daya hambat metabolit sekunder isolat cendawan endofit
dengan 3 konsentrasi terhadap pertumbuhan Fusarium sp. pada medium
dekstrosa kentang cair
Kodeisolat
Konsentrasi (%)
Daya hambat (%) .....hari setelah inokulasi1 2 3 4 5 6 7
CECL 19 5 23.3 cd 19.2 e 20.8 f 28.9e 25.1g 22.8de 21.4d10 23.3
dc 26.9 de 25.0 ef 33.3 d 28.9 fg 25.7 d 25.1 cd20 23.3 cd 29.5 cd
30.0 e 33.9 d 31.8 ef 28.3 cd 29.6 bc
CECL 28 5 40.0 b 43.4 b 36.7 d 42.2 c 32.9 def 28.3 cd 25.5 cd10
43.3 b 44.9 b 45.0 b 49.4 b 38.2 bcd 31.7 bc 29.2 bc20 46.7 b 48.7
b 47.5 b 50.0 b 39.1 bc 34.2 bc 30.7 bc
CECL 38 5 0.0 e 33.3 cd 35.8 d 42.8 c 36.7 bcde 32.9 bc 28.1
bc10 23.3 cd 38.5 bc 38.3 cd 43.9 c 34.8 cde 34.2 bc 29.2 bc20 26.7
cd 44.9 b 43.3 bc 45.6 bc 35.3 bcde 34.6 b 30.7 bc
CECL 40 5 16.7 d 25.6 de 29.2 e 26.7 e 19.8 h 19.4 e 19.5 d10
36.7 bc 46.2 b 47.5 b 49.4 b 39.6 bc 33.8 bc 31.1 bc20 40.0 b 43.6
b 48.3 b 49.5 b 40.6 b 34.2 bc 32.2 b
Kontrol (+) 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a
100.0aAngka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (Uji Duncan)
Tabel 3 Daya hambat metabolit isolat cendawan endofit dengan 3
konsentrasi berbeda terhadap pertumbuhan Fusarium sp. pada medium
dekstrosa kentang ekstrak khamir cair
Kode isolat
Konsentrasi (%)
Daya hambat (%) .....hari setelah inokulasi1 2 3 4 5 6 7
CECL 19 5 0.0 c 3.9 g 4.2 h 19.4 f 15.5 f 15.2 e 9.7 f10 26.7 b
26.9 bc 28.3 bc 31.7 bcd 28.5 bc 25.3 cd 23.6 c20 30.0 b 30.8 b
30.8 b 40.0 b 33.8 b 33.3 b 32.9 b
CECL 28 5 30.0 b 23.1 bcd 24.2 cde 32.8 bc 19.3 def 18.9 de 13.9
ef10 30.0 b 25.6 bc 26.7 bcd 34.4 bc 22.7 cdef 23.2 cd 20.6 cd20
30.0 b 29.5 b 30.8 b 35.0 bc 28.0 bc 26.2 c 22.9 c
CECL 38 5 0.0 c 7.7 fg 10.8 g 21.1 ef 21.3 cdef 19.8 cde 19.9
cde10 0.0 c 14.1 def 13.3 g 23.9 def 24.2 cde 23.2 cd 20.9 cd20
20.0 b 23.1 bcd 20.0 ef 26.7 def 27.5 bcd 24.1 cd 21.4 cd
CECL 40 5 20.0 b 11.5 efg 16.7 fg 26.7 def 18.8 ef 15.6 e 14.9
def10 23.3 b 17.9 cde 20.0 ef 28.3 cde 21.3 cdef 20.7 cde 20.6 cd20
23.3 b 19.2 cde 20.8 def 30.0 cd 25.1 cde 23.2 cd 22.9 c
Kontrol (+) 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a
100.0 aAngka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Uji Duncan)
Konsentrasi metabolit sekunder sangat menentukan besarnya daya
hambat metabolit terhadap pertumbuhan Fusarium sp. Pada penelitian
ini taraf konsentrasi 10% yang digunakan merupakan taraf
konsentrasi yang efektif dalam menghambat pertumbuhan Fusarium sp.
karena menunjukkan daya hambat yang tidak beda nyata dengan daya
hambat pada taraf konsentrasi 20% pada pengamatan 4 hari, dan besar
daya hambat
sejalan dengan semakin tingginya taraf konsentrasi.
Daya hambat metabolit sekunder 4 isolat cendawan endofit lebih
rendah bila dibandingkan dengan kontrol positif. Daya hambat
tertinggi metabolit cendawan endofit hanya mampu menghambat 50%
pertumbuhan Fusarium sp., sedangkan pada kontrol positif daya
hambat mencapai 100%. Secara umum, daya hambat tertinggi terhadap
pertumbuhan
-
J Fitopatol Indones Sukapiring et al.
Tabel 4 Daya hambat metabolit isolat cendawan endofit dengan 3
konsentrasi berbeda terhadap pertumbuhan Fusarium sp. pada medium
glukosa ekstrak khamir pepton cair
Kode isolat
Konsentrasi (%)
Daya hambat (%).....hari setelah inokulasi1 2 3 4 5 6 7
CECL 19 5 0.0 f 0.0 h 1.7 g 3.3 g 2.9 g 2.5 f 2.3 g10 0.0 f 0.0
h 3.3 g 10.6 fg 5.3 g 5.1 f 4.5 fg20 3.3 f 5.1 g 5.8 fg 21.1 de
19.8d ef 18.9 de 17.2 de
CECL 28 5 36.7c 25.6 d 28.3 cd 36.7 bc 25.6 cd 26.2 bcd 25.8
bcd10 40.0 bc 33.3 c 32.5 bc 38.3 b 27.1 cd 26.6 bcd 26.2 bcd20
43.3 b 35.9 c 36.7 b 42.2 b 32.9 bc 31.7 bc 28.1 bc
CECL 38 5 0.0 f 8.9 fg 10.8 ef 21.1 de 16.9 ef 17.3 de 16.1 de10
0.0 f 14.1 e 15.8 e 28.3 cd 25.1 cde 25.3 cd 18.7 cde20 26.7 d 43.6
b 35.0 b 42.2 b 38.2 b 35.9 b 35.6 b
CECL 40 5 0.0 f 0.0h 5.0 g 17.2 ef 18.8 def 13.9 e 13.5 ef10
16.7 e 12.8 ef 15.0 e 22.2 de 16.4 f 15.2 e 14.2 ef20 20.0 e 21.8 d
23.3 d 33.3 bc 33.3 bc 27.0 bcd 26.6 bcd
Kontrol (+) 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a
100.0 aAngka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Uji Duncan)
5
Gambar 1 Perbandingan pertumbuhan Fusarium sp. pada medium
agar-agar dekstrosa kentang yang ditambahkan metabolit sekunder 20%
dari cendawan endofit isolat CECL 28 pada 3 medium fermentasi: a,
dekstrosa kentang cair; b, glukosa ekstrak khamir pepton cair; c,
dekstrosa kentang ekstrak khamir cair; d, kontrol negatif; e,
kontrol positif.
a b c d e
Fusarium sp. dimiliki oleh metabolit dari cendawan endofit CECL
28 hasil fermentasi pada semua medium dengan konsentrasi 20%
dibandingkan dengan kontrol negatif. Perbandingan pertumbuhan
Fusarium sp. pada medium agar-agar dekstrosa kentang yang
ditambahkan metabolit sekunder 20% dari cendawan endofit isolat
CECL 28 pada 3 medium fermentasi, kontrol negatif, dan kontrol
positif dapat dilihat pada Gambar 1.
PEMBAHASAN
Pembentukan metabolit sekunder cendawan sangat bergantung pada
kondisi pertumbuhannya, terutama komposisi medium tumbuh. Medium
tumbuh atau fermentasi
sangat berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan Fusarium
sp. karena perbedaan sumber nutrisi, karbon dan nitrogennya. Faktor
ini dapat menyebabkan perbedaan dalam penghambatan pertumbuhan
Fusarium sp. Medium pemicu metabolit sekunder yang umum digunakan
mengandung sumber karbon kompleks karena salah satu faktor yang
mempengaruhi pembentukannya ialah kelengkapan kandungan nutrisi
pada medium tersebut (Kumala et al. 2006). Medium DKC merupakan
medium yang paling baik untuk memicu metabolit sekunder cendawan
endofit isolat CECL 38, CECL 40 dan CECL 28, diikuti medium GEPC
dan DKEC.
Medium DKEC merupakan medium paling baik dalam memicu metabolit
bersifat
-
J Fitopatol Indones Sukapiring et al.
anticendawan untuk cendawan endofit isolat CECL 19, diikuti
medium DKC dan GEPC. Medium DKEC mengandung tambahan ekstrak khamir
yang kaya vitamin B serta mengandung karbohidrat tinggi dan
nitrogen yang berperan penting dalam mempercepat pertumbuhan
cendawan. Hal ini terbukti dari tingkat pertumbuhan cendawan
endofit isolat CECL 19 dan produksi metabolitnya yang bersifat
anticendawan pada medium DKEC. Suciatmih (2010) melaporkan
metabolit cendawan endofit yang ditumbuhkan pada medium fermentasi
menghambat pertumbuhan Absidia corymbifera dibandingkan dengan
perlakuan medium fermentasi tauge extract broth (TEB), kedelai
extract broth (KEB) dan jagung extract broth (JEB). Penelitian
lanjut penggunaan medium fermentasi DKEC diperlukan untuk dapat
mengoptimalkan produksi metabolit sekunder CECL 19 terhadap
Fusarium sp.
Secara umum medium DKC adalah medium fermentasi paling baik
untuk memicu metabolit cendawan endofit uji yang mampu menghambat
pertumbuhan Fusarium sp. dengan persentase mencapai 50% diikuti
oleh medium GEPC sebesar 42% dan DKEC sebesar 35% pada hari ke-4
setelah inokulasi. Hal ini disebabkan oleh produksi metabolit
cendawan umumnya terjadi pada minimum medium, medium DKC memiliki
komposisi yang lebih sesuai untuk pertumbuhan cendawan endofit, dan
medium yang paling baik untuk memicu produksi senyawa metabolit
yang berperan sebagai anticendawan. Medium DKC lazim digunakan
untuk kultur cendawan dan khamir karena mengandung nutrisi kaya
gizi untuk proses pertumbuhan, sporulasi, dan produksi zat warna
koloni cendawan (Pelczar dan Chan 2010). Anggraini (2012) juga
melaporkan ekstrak kultur isolat AFKR-5 pada medium DKC memiliki
kadar bioproduksi lebih besar dibandingkan dengan ekstrak pada
medium yang lebih kaya nutrisi. Kusumaningtyas et al. (2010)
melaporkan supernatan cendawan endofit Cladosporium sp. pada medium
fermentasi DKC daya hambatnya terhadap pertumbuhan bakteri
Eschericia coli lebih
besar dibandingkan dengan medium DKEC dan kontrol
negatifnya.
Daya hambat kemudian menurun pada hari selanjutnya, hal ini
dapat disebabkan oleh adanya pengaruh pertumbuhan patogen pada
pinggir cawan petri, senyawa metabolit cendawan endofit pada medium
tumbuh telah berkurang sedikit demi sedikit karena telah diabsorbsi
oleh cendawan patogen, selain itu sangat dimungkinkan cendawan
patogen dapat beradaptasi terhadap metabolit cendawan endofit.
Cendawan sebagai mikroorganisme telah diketahui memiliki kemampuan
adaptasi yang tinggi dengan lingkungan hidupnya. Cendawan dapat
bertahan hidup pada kondisi yang ekstrem dan beradaptasi dengan
lingkungannya dengan melakukan perubahan genetika untuk dapat
bertahan hidup (Kurzai et al. 2002; Agrios 2005).
Cendawan endofit yang berbeda meng-hasilkan metabolit dengan
kemampuan daya hambat yang berbeda pula terhadap pertumbuhan
cendawan maupun bakteri patogen. Cendawan endofit dari tanaman
vanili menghasilkan daya hambat yang berbeda terhadap pertumbuhan
F. oxysporum f. sp. vanillae. Adanya perbedaan daya hambat ini
dipengaruhi oleh kecepatan tumbuh dan kemampuan cendawan endofit
berkompetisi dengan patogen terutama sebagai mikoparasit (Sudantha
dan Abadi 2007), komposisi medium tumbuh dan senyawa metabolit yang
dihasilkan cendawan endofit bersifat antibiotik (Gazis et al.
2010). Umarella (2006) melaporkan pemberian filtrat Trichoderma
sp., meningkatkan resistensi semai Acacia mangium terhadap serangan
penyakit lodoh dikarenakan filtrat mampu memicu peningkatan
aktivitas peroksidase.
Tiga taraf konsentrasi metabolit yang digunakan (5, 10, dan 20%)
sangat menentukan besarnya daya hambat metabolit terhadap
pertumbuhan Fusarium sp. Metabolit sekunder konsentrasi 5% sudah
menunjukkan penghambatan terhadap per-tumbuhan Fusarium sp. tetapi
konsentrasi 10% merupakan konsentrasi yang efektif dalam menghambat
pertumbuhan Fusarium sp. Jika konsentrasinya ditingkatkan
hingga
6
-
J Fitopatol Indones Sukapiring et al.
20% tidak berbeda nyata dengan daya hambat pada taraf
konsentrasi 10%, meski besar daya hambat sejalan dengan semakin
tingginya taraf konsentrasi. Semakin meningkatnya konsentrasi
minyak sereh sejalan dengan semakin berkurang diameter F. solani
(Umarella 2006). Hal ini disebabkan semakin tingginya konsentrasi,
semakin banyak kandungan senyawa metabolit yang berperan sebagai
anticendawan. Ismaini (2011) menjelaskan semakin tingginya
konsentrasi ekstrak Centella asiatica menyebabkan semakin tinggi
pula kandungan senyawa metabolit sekunder triterpenoid.
Metabolit sekunder diproduksi oleh cendawan endofit pada ketiga
medium fermentasi dapat menghambat pertumbuhan Fusarium sp., dengan
daya hambat mencapai 50% pada medium DKC. Hasil ini belum optimal
bila dibandingkan dengan penggunaan fungisida sintetik yang mampu
menghambat hingga 100%. Kopacki dan Wagner (2006) melaporkan
fungisida berbahan aktif difenokonazol, karbendazim, flusilazol
dapat menghambat pertumbuhan Fusarium avenaceum 100%. Oleh karena
itu penelitian lebih lanjut mengenai medium fermentasi untuk
menghasilkan metabolit sekunder masih perlu dilakukan.
Medium fermentasi ADK merupakan medium fermentasi yang dapat
meng-optimalkan produksi metabolit cendawan endofit isolat CECL 28,
dan medium DKEC untuk isolat CECL 19. Medium fermentasi akan
menentukan kemampuan metabolit setiap cendawan endofit untuk
menekan pertumbuhan Fusarium sp. yang terbawa oleh benih. Isolat
cendawan endofit CECL 28 adalah isolat yang dapat menghasilkan
metabolit sekunder yang dapat menghambat pertumbuhan Fusarium
sp.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Dirjen DIKTI melalui Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana Dalam Negeri No SK 584/DIKTI/KEP/1993, tanggal 2
Oktober 1993.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad. 1997. Mekanisme serangan patogen dan ketahanan inang
serta pengendalian hayati penyakit lodoh pada Pinus merkusii
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York (US):
Elsevier Academic Pr.
Agusta A. 2013. Nerolidol komponen kimia aromatik tanaman teh
yang juga diproduksi oleh jamur endofit Schizophyllum sp. Berita
Biologi. 12(2):177–181.
Anggraini FD. 2012. Isolasi dan uji antimikrob metabolit
sekunder ekstrak kultur jamur endofit AFKR-5 dari tumbuhan akar
kuning (Arcangelisia flava (L) Merr) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Fitriyah D, Jose C, Saryono. 2013. Skrining aktivitas
antimikroba dan uji fitokimia dari kapang endofitik tanaman dahlia
(Dahlia variabilis). J Ind Che Acta. 3(2):50–55.
Gazis R, Chaverris P. 2010. Diversity of fungal endhophyte in
leaves and stem of wild rubber tress (Heveabrasiliensis) in Peru
[CD-ROM]. Fungal Ecology. 3:240–254. DOI:
http://dx.doi.org/10.1016/j.funeco.2009.
Ismaini L. 2011. Aktivitas antifungi ekstrak (Centellaasiatica
(L.) urban terhadap fungi patogen pada daun anggrek (Bulbophyllum
flavidiflorum Carr.). J Penelitian Sains. 14(1):47–50.
Kopacki M, Wagner A. 2006. Effect of some fungicides on mycelium
growth of Fusarium avenaceum (Fr.) Sacc. pathogenic to
chrysanthemum (Dendranthema grandiflora Tzvelev). Agro Res.
4:237–240.
Kumala S, Shanny F, Wahyudi P. 2006. Aktivitas antimikroba
metabolit bioaktif mikroba andofitik tanaman trengguli (Cassia
fistula L.). J Farmasi Indones. 3(2):97–102.
Kurzai O, Barkani AE, Muhlschlegel FA. 2002. Adaptation of fungi
to alterations in ambient pH. Di dalam: Calderone RA,
7
-
J Fitopatol Indones Sukapiring et al.
Cihlar RL, editor. Fungal Pathogenesis: Principles and Clinical
Applications. USA (US): Marcel Dekker Inc. hlm 139–146.
Kusumaningtyas E, Natasia M, Darmono. 2010. Potensi metabolit
kapang endofit rimpang lengkuas merah dalam menghambat pertumbuhan
Eschericia coli dan Staphylococcus aureus dengan medium fermentasi
potato dextrose broth (PDB) dan potato dextrose yeast (PDY).Di
dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan
Veteriner; 2010 Agust 3–4; Bogor (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Kementan. hlm 819–824.
Nahar S, Mushtaq M, Pathan IH. 2004. Seedborne mycoflora of
Capsicum annuum imported from India. Pak J Bot. 36(1):191–197.
Octaviani EA. 2015. Potensi Trichoderma harzianum dan
Gliocladium sp. untuk pengendalian Botryodiplodia sp. pada jabon
(Anthocephalus cadamba) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Pelczar MJ, Chan ECS. 2010. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jilid
ke-2. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL (penerjemah).
Jakarta (ID): UI Press.
Rante H, Taebe B, Intan S. 2013. Isolasi fungi endofit penghasil
senyawa antimikroba dari daun cabai katokkon (Capsicum annuum L.
var. chinensis) dan profil KLT bioautografi. MFF. 17(2):39–46.
Suciatmih. 2010. Pengaruh konsentrasi antimikroorganisme, medium
fermentasi, dan waktu inkubasi terhadap pertumbuhan Absidia
corymbifera (cohn) sacc. & trotter dari jamur endofit Fusarium
nivale (fr.) ces. Medium Litbang Kesehatan. 20(1):17–25.
Sudantha MI, Abadi AL. 2007. Identifikasi jamur endofit dan
mekanisme antagonisme-nya terhadap jamur Fusarium oxysporum f. sp.
vanillae pada tanaman vanili. Agroteksos. 17(1):23–38.
Suryanarayanan TS, Thirunavukkarasu N, Govindarajulu MB, Sasse
F, Jansen R, Murali TS. 2009. Fungal endophytes and bioprospecting.
Fungal Biol Rev. 23(1–2):9–19. DOI:
http://dx.doi.org/10.1016/j.fbr.2009.07.001.
Umarella U. 2006. Pemanfaatan minyak sereh dan filtrat
Trichoderma sp. untuk mengendalikan cendawan patogen terbawa benih
Acacia mangium Willd [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
8
-
Volume 12, Nomor 1, Januari 2016Halaman 9–18
DOI: 10.14692/jfi.12.1.9ISSN: 0215-7950
*Alamat penulis korespondensi: Balai Penelitian Tanaman Aneka
Kacang dan Umbi.Jalan Raya Kendalpayak KM 8, Kotak POS 66, Malang
65101. Tel: 0341 801468, Faks: 0341 801 496, Surel:
[email protected]
Tanggap Genotipe Kacang Tanah Terhadap Penyakit Bercak Daun
Cercospora dan Karat Daun Puccinia
Respons of Groundnut Genotypes to Cerospora Leaf Spot and
Puccinia Rust Diseases
Alfi Inayati* dan Eriyanto YusnawanBalai Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi, Malang 65101
ABSTRAK
Penyakit bercak daun dan karat merupakan penyakit penting pada
kacang tanah yang mengganggu pertumbuhan dan mengurangi hasil
kacang tanah. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi ketahanan 13
genotipe kacang tanah terhadap penyakit bercak daun dan karat.
Penelitian disusun dalam rancangan split plot dengan 3 ulangan.
Petak utama adalah inokulasi propagul penyakit dan tanpa inokulasi,
dan anak petak adalah genotipe kacang tanah. Pengamatan dilakukan
terhadap jumlah pustul karat per daun, jumlah bercak per daun,
intensitas penyakit karat, intensitas penyakit bercak daun untuk
menentukan tingkat ketahanan genotipe, dan indeks luas daun. Peubah
komponen hasil meliputi bobot brangkasan basah, jumlah polong isi
per tanaman, jumlah polong hampa, dan bobot polong per tanaman.
Penyakit bercak daun muncul lebih awal dibandingkan dengan karat.
Semua genotipe kacang tanah yang diuji termasuk sangat rentan
penyakit bercak daun dan hanya 1 genotipe termasuk rentan.
Intensitas penyakit bercak daun dan karat berkorelasi negatif
dengan hasil kacang tanah (r = - 0.1 – (-0.4)). Penyakit bercak
daun dan karat menyebabkan berkurangnya komponen hasil, antara lain
bobot brangkasan basah (73.2 %), jumlah polong isi (68%), dan bobot
polong (72.5%). Jumlah polong hampa dan polong chipo meningkat
masing-masing sampai 81 dan 56.4%.
Kata kunci : inokulasi, intensitas penyakit, ketahanan genotipe,
rentan
ABSTRACT
Leaf spot and rust are two important diseases on groundnut. Both
diseases are frequently found at the same time that influence the
growth and reduce the yield of groundnut. This study was conducted
to evaluate thirteen groundnut genotypes resistance to leaf spot
and rust disease. The experiment was conducted using a split plot
design and three replications, with inoculated and uninoculated
treatment as main plot, and groundnut genotypes as the sub plot.
Disease assessment was conducted by counting number of pustules per
leaf, the number of spots per leaf, rust disease intensity, the
intensity of leaf spot disease, and leaf area index. Yield
components including stover weight, number of pods per plant,
number of empty pods, number of chipo pods, and weight of pods per
plant were recorded for both inoculated and uninoculated plants.
The result showed that leaf spot disease developed earlier than
rust disease. Only one genotype was susceptible to rust and the
other 12 genotypes were very susceptible, whereas all genotypes
tested were very susceptible to leaf spot. The intensity of rust
and leaf spot diseases was negatively correlated with yield (r = -
0.1 – (0.4)). Rust and leaf spot diseases reduced the yield
components including stover weight (73.2%), number of pods (68%),
and weight of pods (72.5%). The number of empty pods and chipo pods
were increase to 81 and 56.4% respectively.
Key words: disease intensity, genotype resistance, inoculation,
susceptible
9
-
J Fitopatol Indones Inayati dan Yusnawan
PENDAHULUAN
Penyakit bercak daun dan karat merupakan 2 penyakit penting pada
kacang tanah. Gejala penyakit bercak daun dapat ditemui sejak awal
pertumbuhan, yaitu 30 hari setelah tanam. Penyakit bercak awal
disebabkan oleh Cercospora arachidicola dan pada umur lebih lanjut
penyakit bercak juga dapat muncul yang disebabkan oleh C.
personatum. Gejala bercak awal adalah munculnya bercak cokelat yang
dikelilingi oleh halo berwarna kuning sedangkan penyakit bercak
lanjut mempunyai bercak yang lebih gelap kehitaman dan tanpa
halo.
Penyakit karat dapat terjadi bersamaan dengan penyakit bercak,
namun seringkali gejala penyakit karat yang disebabkan olehPuccinia
arachidicola muncul setelah penyakit bercak daun. Penyakit karat
ditandai dengan munculnya pustul (uredinium) ber-warna oranye pada
permukaan bawah daun yang kemudian berkembang menjadi nekrosis dan
menyebabkan daun mengering.
Ketahanan kacang tanah terhadap penyakit bercak dan karat
dipengaruhi oleh gen-gen tahan dan faktor lingkungan. Power et al.
(2013) menyebutkan belum pernah dilaporkan adanya ketahanan yang
lengkap pada kacang tanah, ketahanannya hanya bersifat sebagian dan
yang berperan beberapa gen minor saja. Selain itu suhu dan
kelembapan berpengaruh terhadap perkembangan penyakit dan
patogenisitas.
Penilaian ketahanan terhadap penyakit bercak dan karat dilakukan
dengan skor gejala penyakit secara visual. Pengamatan gejala dengan
skoring keparahan penyakit merupakan cara penilaian yang terbaik
karena heritabilitas ketahanan terhadap penyakit tinggi dan relatif
mudah dilakukan (Pasupuleti et al. 2013). Genotipe yang tahan
terhadap penyakit bercak daun mempunyai jumlah bercak sedikit dan
sporulasi sedikit (Pensuk et al. 2003). Selain itu, genotipe yang
tahan mempunyai masa inkubasi dan periode laten yang panjang,
diameter bercak kecil, indeks sporulasi rendah, dan area kerusakan
daun rendah (Ricker et al. 1985; Anderson et al.
1990; Dwivedi et al. 2002; Cantonwine et al. 2008). Secara
morfologi, genotipe yang tahan mempunyai jaringan kutikula dan
lapisan epidermis yang tebal, jumlah sel epidermis sedikit, ukuran
dan jumlah stomata yang besar, serta lapisan lilin yang lebih tebal
pada fase reproduktif (Sunkad dan Kulkarni 2006).
Penyakit bercak dan karat daun me-nyebabkan berkurangnya jumlah
daun sehat, menyebabkan daun gugur sebelum waktunya, dan mengganggu
proses fotosintesis sehingga berpengaruh pada berkurangnya jumlah
polong dan proses pengisian polong (Cantonwine et al. 2006).
Kehilangan hasil akibat kedua penyakit ini dapat mencapai 50–80%
(Hassan dan Beute 1977; Subrahmanyam et al. 1985). Varietas tahan
dan toleran merupakan salah satu cara pengendalian penyakit pada
kacang tanah. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi ketahanan
genotipe galur dan varietas kacang tanah.
BAHAN DAN METODE
Sebanyak 13 genotipe kacang tanah yang terdiri atas 7 galur
harapan (GH1, GH2, GH3, GH4, GH8, GH11, dan J11) serta 6 varietas
(Chico, Gajah, Kancil, Bison, Hypoma, dan Tuban) ditanam pada pot
kantong plastik. Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai
Mei 2014 di rumah kasa Balitkabi pada kelembapan berkisar antara
80–85% dengan suhu 25–28 °C. Penelitian disusun dalam rancangan
split plot dengan 3 ulangan, yang tersarang dalam perlakuan. Faktor
pertama ialah inokulasi penyakit dan tanpa inokulasi, faktor kedua
adalah genotipe kacang tanah. Setiap genotipe kacang tanah ditanam
dalam 3 pot dan setiap pot berisi 3 tanaman sehingga penelitian ini
terdiri atas 78 unit percobaan. Pemupukan dan penyiangan yang
diberikan sesuai rekomendasi (50 kg ha-1 Urea, 100 kg ha-1 SP36,
dan 50 kg ha-1 KCl), penyiraman disesuaikan dengan kebutuhan dan
diusahakan mencapai kelembapan tinggi, sehingga mendukung
perkembangan penyakit. Satu set genotipe kacang tanah yang sama
tanpa inokulasi buatan dan disemprot dengan fungisida berbahan
aktif tiofanat
10
-
J Fitopatol Indones Inayati dan Yusnawan
metil dan difenokonazol digunakan sebagai pembanding.
Inokulasi menggunakan spora dari bercak dan karat daun kacang
tanah dilakukan pada 4 minggu setelah tanam (MST). Spora untuk
inokulum dikumpulkan dari daun kacang tanah varietas Kancil yang
terserang bercak dan karat daun yang telah ditanam sebelumnya. Daun
sumber inokulum diinkubasi selama 2 hari. Selanjutnya, spora karat
dan bercak diluruhkan dalam wadah berisi air dan dihitung kerapatan
konidiumnya hingga mencapai 104 mL-1 dan disemprotkan pada daun
tanaman uji.
Pengamatan dilakukan pada seluruh daun kacang tanah pada umur
4–9 MST dengan interval pengamatan 7 hari. Pengamatan meliputi
jumlah pustul dan bercak pada setiap daun serta intensitas
serangan
penyakit karat dan bercak daun. Intensitas penyakit bercak dan
karat daun dihitung menggunakan metode Subrahmanyam et al. (1995),
demikian juga kriteria ketahanannya (Tabel 1). Genotipe kacang
tanah dengan skor 1 termasuk dalam kategori tahan; skor 2–3 agak
tahan; 4 agak rentan; 5–7 rentan; dan skor 8–9 sangat rentan.
Luas daun diukur untuk semua genotipe kacang tanah yang
diinokulasi pada umur 5 minggu setelah inokulasi (MSI). Luas daun
ini digunakan untuk menghitung jumlah bercak dan pustul per 100
cm2. Pengukuran luas daun diulangi untuk semua genotipe kacang
tanah yang diinokulasi dan tanpa inokulasi pada umur 85 hari
setelah tanam (HST) menggunakan Portable Leaf Area Meter CI-202,
CID Inc. Persentase defoliasi
Penyakit bercak daun Skor Intensitas penyakit (%)
Penyakit karat
Tidak ada serangan 1 (T) 0 Tidak ada seranganBercak nekrotik
kecil pada daun tertua
2 (AT) 1–5 Pustul kecil, jarang pada daun tertua
Bercak kecil terutama pada daun tertua, sporulasi terpencar
3 (AT) 6–10 Pustul jarang, pada daun tertua, daun kering,
sporulasi tidak melimpah
Banyak bercak terutama pada daun bawah daun dan di tengah,
gejala jelas
4 (AR) 11–20 Pustul besar atau kecil, sebagian besar pada daun
tertua dan daun di tengah, gejala jelas
Bercak terlihat jelas pada daun-daun bawah dan tengah, sporulasi
sedang, daun menguning, defoliasi beberapa daun tua
5 (R) 21–30 Banyak pustul terutama pada daun terbawah dan
tengah, daun menguning terjadi nekrosis pada beberapa daun bawah
dan tengah; sporulasi sedang
Seperti skor 5 dan bercak bersporulasi melimpah
6 (R) 31–40 Seperti skor 5 pustul bersporulasi melimpah
Gejala tampak jelas dari jarak jauh, bercak pada seluruh
tanaman, defoliasi daun bawah dan tengah
7 (R) 41–60 Pustul timbul pada seluruh tanaman, daun bawah dan
tengah kering
Seperti skor 7 dengan intensitas defoliasi berat
8 (SR) 61–80 Seperti skor 7 dengan intensitas daun mengering
berat
Tanaman terserang berat, 50–100% daun mengering
9 (SR) 81–100 Tanaman terserang berat, 50–100% daun
mengering
Tabel 1 Metode skoring untuk penilaian ketahanan genotipe kacang
tanah terhadap penyakit bercak dan penyakit karat (Subrahmanyam et
al. 1995)
T, tahan; AT, agak tahan; AR, agak rentan; R, rentan;, SR,
sangat rentan
11
-
J Fitopatol Indones Inayati dan Yusnawan
akibat penyakit bercak daun dan karat dihitung per luasan
daun.
Peubah komponen hasil yang diamati meliputi bobot brangkasan
basah, jumlah polong isi per tanaman, jumlah polong hampa, dan
bobot polong per tanaman. Tingkat toleransi suatu genotipe terhadap
penyakit bercak dan karat dinilai dari persentase penurunan hasil
dan indeks toleransi terhadap cekaman penyakit (disease stress
tolerance index, DSTI). Persentase penurunan hasil dihitung
menggunakan rumus:
× 100%(hasil biji pada set tanpa inokulasi)-
hasil biji pada set tanpa inokulasi( ( hasil biji pada set
inokulasi( (
Indeks toleransi (disease stress tolerance index, DSTI) dihitung
menggunakan rumus indeks toleransi terhadap cekaman (Fernandez
1992);
DSTI =×hasil biji pada set tanpa inokulasi( ( hasil biji pada
set inokulasi( (
(hasil biji pada set tanpa inokulasi)Data yang diperoleh
dianalisis meng-
gunakan sidik ragam dengan program SAS 9.1 pada taraf nyata 95%.
Jika hasil menunjukkan beda nyata, dilakukan uji lanjut dengan beda
nyata terkecil pada taraf nyata 95%.
HASIL
Gejala penyakit bercak daun muncul lebih awal dibandingkan
dengan penyakit karat. Masa inkubasi penyakit bercak pada semua
genotipe kacang tanah uji tidak berbeda nyata. Masa inkubasi
terpendek 5.3 hari, yaitu pada genotipe GH3 dan varietas Chico dan
tepanjang 6.1 hari pada genotipe J11, demikian juga periode laten
terpendek 6.2 hari dan terlama 7 hari(Tabel 2). Pada 5 MST atau 1
MSI, bercak daun terlihat pada semua genotipe, dengan intensitas
penyakit bervariasi antara 14.3– 37.7%. Jumlah bercak cenderung
meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman, demikian juga
intensitas bercak daun. Pada 5 MSI, rerata jumlah bercak per 100
cm2 luas daun antara 42.9–137.9 bercak dengan gejala bercak daun
telah mencapai daun muda yang
sudah membuka sempurna. Intensitas bercak mencapai 91.8%
sehingga semua genotipe kacang tanah tergolong sangat rentan
penyakit bercak daun (Tabel 2).
Pustul sebagai penanda penyakit karat hanya muncul pada 5
genotipe saat 5 MST. Masa inkubasi penyakit karat lebih lama
dibandingkan dengan penyakit bercak. Rata-rata masa inkubasi
penyakit karat 11.7 hari dengan masa inkubasi terpendek 10.7 hari
dan terpanjang 12.7 hari, namun masa inkubasi semua genotipe uji
tidak berbeda nyata. Periode laten penyakit karat pada penelitian
ini berkisar 15.3 –18.0 hari dengan rata-rata 16.1 hari (Tabel 3).
Intensitas serangan karat pada 5 MST bervariasi 0–5%. Selanjutnya
perkembangan penyakit karat relatif lebih lambat dibandingkan
dengan penyakit bercak yang terlihat pada jumlah pustul pada akhir
pengamatan (9 MST), yaitu 1.0–4.5 pustul per daun dan rerata jumlah
pustul per 100 cm2 luas daun antara 8.5–51.7 pustul. Namun
demikian, gejala telah muncul sampai daun muda dibagian atas dengan
rerata intensitas penyakit 84.4% (Tabel 3) sehingga semua genotipe
tergolong rentan dan sangat rentan terhadap penyakit karat.
Luas daun yang masih berwarna hijau (sehat) sampai dengan 85 HST
pada tanaman yang terinfeksi penyakit bercak daun dan karat sangat
rendah, yakni 7.4–167.5 cm2. Tanaman sehat tanpa inokulasi
rata-rata luasnya 260.2–995.5 cm2. Persentase defoliasi semua
genotipe tergolong tinggi, yaitu 54–99%.Besarnya persentase
defoliasi juga tergambar pada rendahnya bobot brangkasan basah pada
tanaman yang terinfeksi bercak daun dan korelasi negatif antara
persentase defoliasi dan penurunan bobot brangkasan. Bobot
brangkasan basah pada tanaman yang terinfeksi 41.4–64.4 g per
tanaman, sedangkan pada tanaman yang sehat sangat tinggi,
(150.4-272.4 g per tanaman) dengan rata-rata penurunan bobot
brangkasan basah sebesar 73.2% (Tabel 4).
Infeksi penyakit bercak dan karat memengaruhi hasil dan komponen
hasil kacang tanah. Hal ini juga tampak dari adanya korelasi
negatif antara hasil dan intensitas
12
-
J Fitopatol Indones Inayati dan Yusnawan
Genotipe Masa inkubasi*
(hari)
Periode laten* (hari)
Jumlah bercak per daun
pada ...MST
Jumlah bercak(per 100 cm2)
Intensitas penyakit pada… MST
(%)
Kriteria ketahanan
5 7 9 5 7 9 GH1 5.56 a 6.22 a 0.3 1.1 9.3 83.2 19 70 90 SRGH2
5.67 a 7.00 a 0.5 2.3 14.8 110.1 25 74 93 SRGH3 5.33 a 7.00 a 0.5
3.2 12.0 137.9 30 72 92 SRGH4 5.78 a 6.89 a 0.3 3.1 9.3 89.5 14 63
92 SRGH8 6.00 a 7.00 a 0.3 3.0 14.8 107.8 14 69 90 SRGH11 6.00 a
7.00 a 0.8 2.4 17.0 132.7 34 74 100 SRJ11 6.11 a 7.00 a 0.3 2.4
13.6 111.9 15 71 90 SRChico 5.33 a 7.00 a 0.8 3.0 10.0 79.7 33 76
80 SRGajah 5.56 a 7.00 a 1.1 2.6 7.3 59.1 36 76 90 SRKancil 5.67 a
7.00 a 1.0 3.3 10.4 66.7 33 72 85 SRBison 5.56 a 7.00 a 0.4 5.3 9.0
76.1 17 76 100 SRHypoma 5.44 a 7.00 a 0.5 3.8 7.6 53.6 21 72 100
SRTuban 5.67 a 7.00 a 0.6 3.8 6.3 42.9 34 71 92 SRRerata 5.67 6.93
0.6 3.0 10.9 88.6 25.1 72.1 91.8 Sd1 0.25 0.22 0.3 1.0 3.3 29.8 8.5
3.5 5.7
Tabel 2 Masa inkubasi, periode laten, dan rerata jumlah bercak
serta intensitas penyakit bercak daun Cercosporapada genotipe
kacang tanah
*Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
beda nyata1Sd, Standar deviasiSR, sangat rentan
13
Genotipe Masa inkubasi*
(hari)
Periode laten* (hari)
Jumlah pustul per daun pada ...mst
Jumlah bercak (100 cm2)-1
Intensitas penyakit pada … MST
(%)
Kriteria ketahanan
5 7 9 5 7 9GH1 12.0 a 16.7 a 0.0 4.5 5.0 45.0 0 40 57 RGH2 13.3
a 16.7 a 0.0 4.0 3.0 22.4 0 34 92 SRGH3 10.7 a 15.3 a 11.2 9.0 4.5
51.7 5 31 100 SRGH4 10.7 a 15.3 a 6.4 7.5 2.5 24.2 5 40 80 SRGH8
12.7 a 18.0 a 0.0 2.0 2.0 14.6 0 33 90 SRGH11 12.0 a 15.3 a 0.0 2.5
5.0 39.0 0 34 80 SRJ11 11.1 a 15.1 a 0.0 1.0 2.0 16.4 0 30 100
SRChico 11.3 a 16.0 a 0.0 2.0 1.5 12.0 0 32 70 SRGajah 11.3 a 16.0
a 0.0 2.5 1.5 12.2 0 30 75 SRKancil 11.3 a 15.3 a 0.0 2.5 3.5 22.5
0 31 90 SRBison 11.6 a 16.9 a 1.4 2.0 1.0 8.5 3 25 90 SRHypoma 12.2
a 16.9 a 0.2 2.0 2.0 14.1 1 30 83 SRTuban 11.6 a 15.6 a 0.8 2.0 1.5
10.3 1 36 90 SRRerata 11.7 16.1 1.5 3.3 2.7 22.5 1.2 32.7 84 Sd1
0.8 0.9 3.4 2.3 1.4 14.0 1.9 4.1 12
Tabel 3 Masa inkubasi, periode laten dan rerata jumlah bercak
serta intensitas penyakit karat Puccinia pada genotipe kacang
tanah
*Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
beda nyata1Sd, Standar deviasiR, rentan; SR, sangat rentan.
-
J Fitopatol Indones Inayati dan Yusnawan
Genotipe Defoliasi*(%)
Bobot brangkasan basah per tanaman*(g)
Inokulasi Tanpa inokulasiGH1 81.1 g 60.0 e 148.6 dGH2 84.2 ef
47.7 e 181.8 bcdGH3 99.0 a 48.2 e 182.7 bcdGH4 89.0 cd 44.6 e 150.4
dGH8 82.7 f 43.2 e 202.3 bcdGH11 54.0 i 41.4 e 162.7 cdJ11 85.0 e
44.3 e 272.4 aChico 80.2 g 42.5 e 175.1 bcdGajah 80.4 g 55.9 e
192.2 bcdKancil 87.8 d 62.3 e 218.8 abcBison 91.5 b 51.0 e 204.6
bcdHypoma 89.6 c 64.3 e 215.7 abcTuban 78.7 h 60.5 e 227.6 ab
Tabel 4 Persentase defoliasi dan bobot brangkasan basah pada
genotipe kacang tanah uji
*Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak
beda nyata
14
serangan penyakit (r = -0.1 – (-0.4) yang berarti intensitas
penyakit yang tinggi akan menurunkan hasil. Rerata jumlah polong
isi pada genotipe yang terinfeksi bervariasi antara 8.0 dan 20.6
polong per tanaman, sedangkan pada kondisi tidak terinfeksi dapat
mencapai 29.8–61.8 polong per tanaman (Gambar 1). Secara
keseluruhan penyakit bercak dan karat menyebabkan pengurangan
jumlah polong sebesar 68%, hal ini juga terlihat dari jumlah polong
yang lebih rendah pada 8 genotipedibandingkan dengan rata-rata pada
kelompok-nya dan hanya 5 genotipe saja yang jumlah polongnya lebih
tinggi.
Rerata jumlah polong hampa dan calonpolong kacang tanah (polong
chipo) meningkat pada tanaman yang terinfeksi penyakit bercak daun
dan karat (Gambar 2 dan 3).Jumlah polong hampa pada genotipe yang
terinfeksi bervariasi antara 0.8 dan 4.1 polong per tanaman,
sedangkan pada tanaman yang sehat paling tinggi hanya 1.5 polong
per tanaman. Infeksi penyakit bercak dan karat meningkatkan jumlah
polong hampa dan chipo masing-masing sebesar 81% dan 56.4%.
Pengaruh infeksi bercak daun dan karat juga terlihat pada
potensi hasil polong atau biji per tanaman dinilai dari bobot
polong per tanaman. Bobot polong pada genotipe yang diinokulasi
berkisar antara 15.1 dan 26.9 g per tanaman,
sedangkan pada tanaman yang sehat antara 59.1 dan 103.1 g per
tanaman (Gambar 4).Penurunan hasil akibat penyakit bercak
Cercospora dan karat Puccinia bervariasi bergantung pada genotipe,
yaitu 61–85% dan rata-rata penurunan bobot polong sebesar 72.5%.
Toleransi genotipe kacang tanah yang diuji dinilai dari indeks
toleransi terhadap penyakit bervariasi dari sedang hingga tinggi
dengan nilai DSTI 0.45–0.81. Terdapat korelasi negatif yang sangat
nyata (r = -0.99, P < 0.05) antara penurunan hasil akibat
penyakit dengan toleransi tanaman (Gambar 5).
PEMBAHASAN
Tanggap genotipe kacang tanah terhadap penyakit bercak daun dan
karat bervariasi dinilai dari gejala penyakit (jumlah bercak,
jumlah pustul, dan intensitas penyakit). Semua genotipe kacang
tanah yang diuji termasuk sangat rentan terhadap penyakit bercak
daun, meskipun varietas Tuban mempunyai jumlah bercak paling
sedikit (42.9 bercak per 100 cm2 luas daun), namun intensitas
serangan bercak mencapai 91.7% sehingga dikategorikan rentan.
Jumlah bercak dipengaruhi oleh lingkungan (Ricker et al.
1985)sehingga untuk penilaian ketahanan perlu dikonfirmasi dengan
peubah lainnya seperti
-
J Fitopatol Indones Inayati dan Yusnawan
15
Gambar 1 Jumlah polong isi per tanaman pada genotipe kacang
tanah yang diinokulasi dan tanpa inokulasi patogen bercak daun
Cercospora dan karat Puccinia. , dengan diinokulasi; , tanpa
inokulasi. Huruf yang sama pada grafik menunjukkan tidak beda nyata
BNT pada α 5%.
Genotipe
gh gh fgh gh h
efgh
gh
defgh
h
fgh
h h
gh
abcd
abcde
abcd
bcdefg
abc
abcde
a
ab
cdefgh
bcde bcdef
abdce
abc
0
10
20
30
40
50
60
70
GH1 GH2 GH3 GH4 GH8 GH11 J11 Chico Gajah Kancil Bison Hypoma
TubanTubanGH1 GH2 GH3 GH4 GH8 GH11 J11 Chico Gajah Kancil Bison
Hypoma
70
60
50
40
30
20
10
0
Jum
lah
polo
ng is
i per
tana
man
Gambar 2 Jumlah polong hampa per tanaman pada genotipe kacang
tanah yang diinokulasi dan tanpa inokulasi patogen bercak daun
Cercospora dan karat Puccinia. , dengan diinokulasi; , tanpa
inokulasi. Huruf yang sama pada grafik menunjukkan tidak beda nyata
BNT pada α 5%.
abc
c
abc
abc
abc
a
ab a
abc
abc
abc
bc
abc
abc
c c c
c c
c c c
c
abc
c c
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
GH1 GH2 GH3 GH4 GH8 GH11 J11 Chico Gajah Kancil Bison Hypoma
Tuban
5.04.54.03.53.02.52.01.51.00.50.0
Genotipe
Jum
lah
polo
ng h
ampa
per
tana
man
TubanGH1 GH2 GH3 GH4 GH8 GH11 J11 Chico Gajah Kancil Bison
Hypoma
Gambar 3 Jumlah polong chipo per tanaman pada genotipe kacang
tanah yang diinokulasi dan tanpa inokulasi patogen bercak
Cercospora daun dan karat Puccinia. , dengan diinokulasi; , tanpa
inokulasi. Huruf yang sama pada grafik menunjukkan tidak beda nyata
BNT pada α 5%.
abc
abc
abc abc
bc
abc
ab
abc
abc abc
a
abc
abc
c
c
bc
c c
c
c
c
abc
c
abc
abc abc
0
5
10
15
20
25
30
GH1 GH2 GH3 GH4 GH8 GH11 J11 Chico Gajah Kancil Bison Hypoma
Tuban
30
25
20
15
10
5
0Jum
lah
polo
ng c
hipo
per
tana
man
GenotipeTubanGH1 GH2 GH3 GH4 GH8 GH11 J11 Chico Gajah Kancil
Bison Hypoma
-
J Fitopatol Indones Inayati dan Yusnawan
Gambar 4 Bobot polong per tanaman pada genotipe kacang tanah
yang diinokulasi dan tanpa inokulasi patogen bercak daun Cercospora
dan karat Puccinia. , dengan diinokulasi;
, tanpa inokulasi. Huruf yang sama pada grafik menunjukkan tidak
beda nyata BNT pada α 5%.
Gambar 5 Penurunan hasil polong per tanaman dan indeks toleransi
terhadap penyakit (Disease stress tolerance index—DSTI) bercak daun
Cercospora dan karat Puccinia pada genotipe kacang tanah. ,
penurunan hasil (%); , DSTI. Huruf yang sama pada grafik
menunjukkan tidak beda nyata BNT pada α 5%.
16
ABC
abc abc
abc
ab
c
a
AB abc abc
ab ab
ABC abc
ABCD ABCD
ABC
DC
A
D
bc
ABCD ABCD BCD
CD
abc
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
GH1 GH2 GH3 GH4 GH8 GH11 J11 Chico Gajah Kancil Bison Hypoma
Tuban
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Penu
runa
n ha
sil (
%)
Genotipe
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0D
isea
se st
ress
tole
ranc
e in
dex
(DST
I)
TubanGH1 GH2 GH3 GH4 GH8 GH11 J11 Chico Gajah Kancil Bison
Hypoma
ef ef ef f f def
f def
f def f ef def
abc
abc abc
cde
abc
bcd
ab
abc abc
abc
abc
a
abc
0
20
40
60
80
100
120
GH1 GH2 GH3 GH4 GH8 GH11 J11 Chico Gajah Kancil Bison Hypoma
Tuban
Bob
ot p
olon
g pe
r tan
aman
(g)
120
100
80
60
40
20
0
GenotipeTubanGH1 GH2 GH3 GH4 GH8 GH11 J11 Chico Gajah Kancil
Bison Hypoma
diameter bercak, masa inkubasi dan periode laten, intensitas
penyakit, dan indeks sporulasi. Genotipe kacang tanah yang tahan
penyakit bercak daun mempunyai masa inkubasi dan periode laten yang
panjang, jumlah bercak sedikit, diameter bercak kecil, dan indeks
sporulasi rendah (Ricker et al. 1985; Anderson et al. 1990; Dwivedi
et al. 2002; Pensuk et al. 2003; Cantonwine et al. 2008).
Ketahanan genotipe kacang tanah terhadap penyakit karat juga
rendah. Hanya satu genotipe, yaitu GH1 yang tergolong rentan,
sementara genotipe lainnya sangat rentan. Genotipe kacang tanah
yang tahan penyakit karat mempunyai masa inkubasi dan periode laten
panjang, jumlah pustul sedikit, indeks sporulasi rendah, dan
frekuensi infeksinya rendah (Subrahmanyam et al. 1985; Dwivedi et
al. 2002; Fávero et al. 2009). Masa inkubasi penyakit karat dan
periode laten semua genotipe uji relatif lebih panjang dibandingkan
dengan penyakit bercak, namun perkembangan penyakit yang
digambarkan oleh laju intensitas penyakitnya sangat cepat
-
J Fitopatol Indones Inayati dan Yusnawan
karena pengaruh lingkungan yang kondusif terhadap perkembangan
patogen kelembaban tinggi (80–85%) dengan suhu 25–28 °C sehingga
intensitas penyakit karat telah mencapai lebih dari 70% pada 5
MSI.
Komponen seleksi lainnya yang juga penting untuk penilaian
ketahanan terhadap penyakit daun, termasuk bercak daun dan karat
ialah jumlah daun sehat (berwarna hijau) yang masih tersisa pada
akhir pertumbuhan tanaman (Yudiwanti et al. 1998; Dwivedi et al.
2002). Infeksi bercak daun dan karat menyebabkan permukaan daun
tertutupi oleh bercak hitam kecokelatan dan pustul menyebabkan
bagian berwarna hijau yang berperan untuk fotosintesis berkurang
dan menyebabkan daun gugur sebelum waktunya (defoliasi). Persentase
defoliasi pada semua genotipe kacang tanah yang diuji relatif
tinggi (> 50%), berkorelasi positif dengan intensitas serangan
penyakit (r = 0.36) dan berkorelasi negatif dengan dengan hasil
kacang tanah (r = -0.47). Hal ini sejalan dengan penelitian Hassan
dan Beute (1977) dan Hossain et al. (2007) yang melaporkan
persentase defoliasi rendah pada genotipe kacang tahan
penyakit.
Penyakit bercak daun dan karat ber-pengaruh terhadap hasil dan
komponen hasil diantaranya jumlah polong isi, jumlah polong hampa,
jumlah polong chipo, dan bobot polong. Berkurangnya hasil dan
komponen hasil kacang tanah disebabkan karena penyakit daun
mengurangi jumlah daun produktif untuk berfotosintesis. Akibatnya
suplai fotosintat untuk pembentukan polong terbatas dan menyebabkan
hasil polong rendah. Selain itu, terbatasnya fotosintat yang
dihasilkan juga mendorong terbentuknya banyak polong hampa dan
banyak polong chipo berukuran kecil yang tidak memiliki biji.
Kondisi ini sejalan dengan adanya korelasi negatif antara tingkat
defoliasi dengan hasil kacang tanah yang terserang penyakit daun.
Kehilangan hasil akibat penyakit bercak daun dan karat pada
penelitian ini ialah 61–85% lebih tinggi daripada yang dilaporkan
Subrahmanyam et al. (1985) bahwa kehilangan hasil oleh penyakit
daun di daerah endemik di subtropik berkisar 50–80%.
Toleransi suatu genotipe terhadap cekaman biotik akibat penyakit
dapat diketahui melalui nilai indeks toleransinya. Richard (1996)
melaporkan seleksi terhadap hasil yang dilakukan pada kondisi
tercekam akan menghasilkan genotipe kacang tanah yang mempunyai
nilai heritabilitas pada komponen hasil yang juga tinggi. Genotipe
dengan nilai toleransi (DSTI) tinggi menunjukkan toleransi terhadap
penyakit yang baik, potensi hasil yang tinggi, dan penurunan hasil
yang rendah. Genotipe GH 11 mempunyai nilai DSTI paling tinggi,
demikian juga GH 4. Kedua genotipe tersebut dapat dipertimbangkan
untuk menjadi tetua persilangan untuk membentuk kacang tanah
varietas tahan. Genotipe kacang tanah dengan nilai DSTI tinggi yang
merupakan varietas yang sudah dilepas (Chico, Gajah, Tuban) dapat
dipertahankan untuk tetap berproduksi tinggi pada kondisi tercekam
penyakit daun dengan aplikasi fungisida untuk mengendalikan
penyakit daun.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Novita Nugrahaeni
(Kelompok Peneliti Pemuliaan dan Plasma Nutfah, Balitkabi), atas
materi kacang tanah yang digunakan dalam penelitian ini
DAFTAR PUSTAKA
Anderson WF, Beute MK , Wynne JC, and Wongkae S. 1990.
Statistical procedures for assessment of resistance in multiple
foliar disease complex of peanut. Phytopathology. 80(12):1451–1459.
DOI: http://dx.doi.org/10.1094/Phyto-80-1451.
Cantonwine EG, Culbreath AK, Stevenson KL, Kemerait RC,
Brenneman TB, Smith NB, Mullinix BG. 2006. Integrated disease
management of leaf spot and ppotted wilt of peanut. Plant Disease.
90(4):493–500. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-90-0493.
Cantonwine EG, Culbreath AK, Holbrook CC, Gobert DW. 2008.
Disease progress of early leaf spot and components of
17
-
J Fitopatol Indones Inayati dan Yusnawan
resistance to Cercospora arachidicola and Cercosporidium
peronatum in Runner-Type. Peanut Science. 1–10.
Dwivedi SL, Pande S, Rao JN, Nigam SN. 2002. Components of
resistance to late leaf spot and rust among interspecific
derivatives and their significance in a foliar disease resistance
breeding in groundnut ( Arachis hypogaea L .). Euphytica. 125(1):
81–88. DOI: http://dx.doi.org/10.1023/A:1015707301659.
Fávero AP, Moraes SA, De-Augusto A, Garcia F, Francisco J, Valls
M, Vello NA. 2009. Characterization of rust, early and late spot
resistance in wild and cultivated peanut germplasm. Sci Agric.
66(1):10–117. DOI:
http://dx.doi.org/10.1590/S0103-90162009000100015.
Fernandez, G. 1992. Effective selection criteria for assessing
plant stress tolerance. Di dalam: Proceedings of the International
Symposium on Adaptation of Vegetables and Other Food Crops in
Temperature and Water Stress; 1992 August 13–16; Tainan (TW): AVRDC
Publication. hlm 257–270.
http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Effective+selection+criteria+for+assesing+plant+stress+tolerance#
[diakses 16 Juni 2015].
Hassan HN, Beute MK. 1977. Evaluation of resistance to
cercospora leafspot in peanut germplasm potenttially useful in
breeding program. Peanut Science. 4(2):78–83. DOI:
http://dx.doi.org/10.3146/i0095-3679-4-2-9.
Hossain MD, Rahman MZ, Khatun A, Rahman. 2007. Screening of
groundnut genotypes for leaf spots and rust resistance. Int J
Sustain Crop Prod. 2:7–10.
Pasupuleti J, Ramaiah V, Rathore A, Rupakula A, Reddy RK,
Waliyar F, Nigam SN. 2013. Genetic analysis of resistance to late
leaf spot in interspecific groundnuts.
Euphytica. 193(1):13–25. DOI:
http://doi.org/10.1007/s10681-013-0881-7.
Pensuk V, Patanothai A, Jogloy S, Wongkaew S. 2003. Reaction of
peanut cultivars to late leafspot and rust. Songklanakarin J Sci
Technol. 25(3):289–295.
Power IL, Culbreath AK, Tillman BL. 2013. Characterization of
resistance of peanut to Puccinia arachidis. Online Plant Health
Progress. DOI: http://doi.org/10.1094/PHP-2013-1125-02-RS.
Richard RA. 1996. Defining selection criteria to improve yield
under drought. Plant Growth Regul. 20:157–166. DOI:
http://dx.doi.org/10.1007/BF00024012.
Ricker MD, Beute MK, Campbell CL. 1985. Components of resistance
in peanut to Cercospora arachidicolla. Plant Disease.
69(12):1059–1064. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-69-1059.
Subrahmanyam P, McDonald D, Waliayar F, Reddy LJ, Nigam SN,
Gibbons RW, Ramanatha RV, Singh AK, Pande S, Reddy M, Suba RPV.
1995. Screening methods and sources of resistance to rust and late
leaf spot of groundnut. Information Bulletin. 47:21.
Subrahmanyam P, Reddy LJ, Gibbons RW, McDonald D. 1985. Peanut
rust: a major threat to peanut production in the semiarid tropics.
Plant Disease. 69(9):813–819. DOI:
http://dx.doi.org/10.1094/PD-69-813.
Sunkad G, Kulkarni S. 2006. Studies on structural and
biochemical mechanism of resistance in groundnut to Puccinia
arachidis. Indian Phytopathol. 59(3):323–328.
Yudiwanti S. Sastrosumarj S, Hadi, Karama A, Surkati, Mattjik A.
1998. Korelasi genotipik antara hasil dengan tingkat ketahanan
terhadap penyakit bercak daun hitam pada kacang tanah. Bull Agro.
26(1):16–21.
18
-
Volume 12, Nomor 1, Januari 2016Halaman 19–26
DOI: 10.14692/jfi.12.1.19ISSN: 0215-7950
*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Jalan
Kamper, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel:
[email protected]
19
Lama Penyimpanan, Karakterisasi Fisiologi, dan Viabilitas
Bakteri Endofit Bacillus sp. dalam Formula Tepung
Storage Time, Physiological Characterization, and Viability of
Endophytic Bacteria Bacillus sp. in Powder Formulation
Diana Putri, Abdul Munif*, Kikin Hamzah MutaqinInstitut
Pertanian Bogor, Bogor 16680
ABSTRAK
Bakteri endofit sebagai agens biokontrol dapat dibuat formula
untuk mempertahankan kemampuannya sebagai pengendali penyakit. Tiga
isolat bakteri endofit yang mampu menekan serangan Meloidogyne sp.
dan meningkatkan pertumbuhan lada telah diperoleh dari penelitian
sebelumnya. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh lama
penyimpanan formula tepung dalam mempertahankan viabilitas bakteri
endofit dan karakterisasi fisiologi isolat endofit Bacillus sp.
AA2, Bacillus sp. MER dan isolat MSJ. Formula yang digunakan ialah
formula 1 (50 g talk, 1 g pepton, 0.5 g CMC, dan 1.5 g gula merah),
formula 2 (50 g talk, 1 g pepton, 0.5 g CMC, dan 1.5 g gula putih),
formula 3 (50 g talk, 1 g pepton, 0.5 g CMC, 1 g ekstrak khamir,
dan 1.5 g gula putih dan) dan formula 4 (50 g talk, 1 g pepton, 0.5
g CMC, 1 g ekstrak khamir, 3 mL molase, 1 g bentonit, 0.75 g
kalsium karbonat, dan 1 g dektrosa). Hasil karakterisasi bakteri
menunjukkan bahwa isolat Bacillus sp. AA2 dan Bacillus sp. MER
bersifat Gram positif, menghasilkan enzim kitinase, protease dan
hormon IAA, sedangkan isolat MSJ menghasilkan enzim lipase dan
hormon IAA. Sifat penambat nitrogen hanya ditemukan pada isolat
Bacillus sp. AA2 dan isolat MSJ. Bakteri dengan viabilitas
tertinggi adalah isolat MSJ, yaitu 2.5×106 cfu mL-1. dalam formula
4, sedangkan isolat Bacillus sp. AA2 dan Bacillus sp MER
masing-masing 1.9×106 cfu mL-1. dan 1.2×106 cfu mL-1 dalam formula
3.
Kata kunci: bahan pembawa, daya tumbuh, talk
ABSTRACT
Endophytic bacteria can be formulated to retain its ability as
disease control agents. Three of endophytic bacteria which had the
capability to suppress infection of Meloidogyne sp, and to enhance
pepper growth were gained from the previous study. This research
was aimed to evaluate the influence of storage time on the
viability of endophytic bacteria, Bacillus sp. AA2, Bacillus sp.
MER and MSJ, and to study its physiological charaterization during
storage. The formulation evaluated in this study was : formulation
1 (50 g talc, 1 g pepton, 0.5 g CMC, and brown sugar 1.5 g),
formulation 2 (50 g talc, 1 g pepton, 0.5 g CMC, and 1.5 g white
sugar), formulation 3 (50 g talc, 1 g pepton, 0.5 g CMC, 1 g yeast
extract, and 1.5 gwhite sugar) and formulation 4 (50 g talc, 1 g
pepton, 0.5 g CMC, 1 g yeast extract, 3 mL molasses, 1 gbentonite,
0.75 g calcium carbonate, and 1 g dextrose). The results of the
bacterial characterization showed that Bacillus sp AA2 and Bacillus
sp MER belongs to Gram positive, produced lipase and protease
enzyme, as well as IAA hormone. N2 fixation is only existed in
Bacillus sp. AA2 and MSJ isolate. The highest viability was shown
on MSJ isolate with 2.5×106 cfu mL-1. in the fourth formulation,
whereas Bacillus sp. AA2 and Bacillus sp. MER viability was 1.9×106
cfu mL-1. and 1.2×106 cfu mL-1. , respectively.
Key words: carrier agent, growth capability, talc
-
J Fitopatol Indones Putri et al.
20
PENDAHULUAN
Bakteri endofit adalah bakteri yang mengolonisasi jaringan
tanaman sehat tanpa menyebabkan gejala penyakit pada inangnya.
Bakteri endofit dapat berperan sebagai agens pengendali hayati
dengan cara meningkatkan pertumbuhan tanaman, menyediakan nutrisi,
menghasilkan hormon pertumbuhan, dan menginduksi ketahanan tanaman.
Bakteri endofit Bacillus sp. dari tanaman lada dilapor-kan efektif
dalam menekan jumlah puru akar dan populasi Meloidogyne incognita
serta memacu pertumbuhan bibit lada (Munif dan Harni 2011) demikian
juga dengan isolat MSJ dari tanaman kehutanan dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman tomat (Wibowo 2013).
Bakteri endofit yang berpotensi sebagai agens hayati perlu
dibuat dalam bentuk formula agar dapat disebarluaskan kepada
pengguna, meningkatkan daya hidup sel bakteri selama penyimpanan,
serta memudahkan aplikasi. Formula yang sesuai untuk melindunginya
akan meningkatkan kehidupanya. Bahan pembawa untuk formula harus
mengandung komponen penting yang mendukung viabilitas dan
pertumbuhan mikrob yang ada didalamnya, seperti karbohidrat,
protein, air, asam amino, lemak, dan garam mineral.
Beberapa bakteri endofit menghasilkan enzim ekstraseluler
(kitinase, protease dan lipase), pelarut fosfat, penambat nitrogen,
dan penghasil hormon IAA (Hallmann et al. 1997). Mitchell dan
Alexander (1962) melaporkan bahwa enzim kitinase dan selulase yang
dihasilkan oleh Bacillus cereus dapat mendegradasi dinding sel
patogen Fusarium oxysporum. B. circulans dilaporkan dapat
menghasilkan enzim kitinase (Chen et al. 2004). Oleh karena itu
evaluasi pengaruh lama penyimpanan formula tepung terhadap
viabilitas bakteri endofit (Bacillus sp. AA2, Bacillus sp. MER, dan
isolat MSJ) dan karakterisasi fisiologinya perlu dilakukan.
BAHAN DAN METODE
Bakteri endofit yang digunakan dalam penelitian ini ialah
Bacillus sp. isolat AA2 dan
Bacillus sp. isolat MER yang diisolasi dari tanaman lada dan
isolat MSJ yang diisolasi dari tanaman mahoni. Ketiganya merupakan
koleksi Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Uji Reaksi HipersensitifUji reaksi hipersensitif dilakukan
untuk
menentukan bakteri endofit yang diuji tidak bersifat patogen
pada tanaman. Isolat bakteri endofit dibiakkan pada medium tryptone
soya agar (TSA) selama 48 jam selanjutnya disuspensikan pada medium
tryptone soya broth (TSB) dan dikocok dengan kecepatan 100 rpm
selama 24 jam pada suhu ruang. Sebanyak 1 mL suspensi bakteri
diinjeksi pada bagian bawah daun tembakau. Ada tidaknya gejala
nekrosis pada daun tembakau diamati setelah 48 jam (Huang et al.
1988).
Karakterisasi Bakteri EdofitTiga isolat bakteri endofit diuji
terhadap
pewarnaan Gram, aktivitas kitinolitik, proteolitik, lipolitik,
pelarut fosfat, penambat nitrogen, dan produksi hormon IAA. Bakteri
dibiakkan pada medium spesifik kitin 1% (15 g bacto, 5 g glukosa, 2
g pepton, 10 g koloidal kitin, 0.5 g K2HPO4, 0.5 g MgSO4, 0.5 g
NaCl dalam 1 L akuades). Aktivitas kitinolitik ditandai dengan
terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri setelah
diinkubasi selama 24–72 jam (Hariprasad et al. 2011).
Uji proteolitik dilakukan menggunakan medium skim milk agar
(SMA) 1% (900 mLmedium TSA 100% steril dan 10 g susu skim dalam 100
mL akuades yang telah dipasteurisasi pada suhu 110 oC selama 10
menit). Bakteri endofit digores pada medium SMA 1% dan diinkubasi
pada suhu ruang selama 24–72 jam. Aktivitas proteolitik yang
diamati ialah terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri
(Baehaki et al. 2011).
Medium rhodamin-B disiapkan dengan komposisi (8 g nutrient
broth, 4 g sodium klorid, 10 g agar-agar, dan larutan rhodamin B
sebanyak 0.001% dalam 1 L dengan pH 7).Minyak zaitun 2.5%
dituangkan ke dalam rhodamin B yang telah disterilkan. Selanjutnya,
medium dimasukkan ke dalam
-
J Fitopatol Indones Putri et al.
21
cawan petri. Bakteri endofit digores pada medium dan diinkubasi
selama 48 jam.Pengamatan terpendar atau tidaknya isolat dilakukan
dibawah lampu UV (Kouker dan Jaeger 1987).
Uji kemampuan bakteri untuk memobilisasi fosfat dilakukan
menggunakan medium agar-agar pikovskaya dengan penambahan
tri-calcium phosphate (TCP) 100%. Komposisi dalam 1 L medium
terdiri atas 10 g glukosa, 0.2 g NaCl, 0.2 g KCl, 0.1 g MgSO4, 2.5
mgMnSO4, 2.5 mg FeSO4, 0.5 g ekstrak khamir, 0.5 g (NH4)2SO4, dan
15 g agar-agar. Bakteri digores pada medium dan diinkubasi pada
suhu ruang selama 4–8 hari. Zona bening di sekitar bakteri
menunjukkan kemampuan bakteri untuk melarutkan fosfat (Thakuria et
al. 2004).
Uji penambat nitrogen menggunakan medium semi padat NFB
(nitrogen free malat bromthymol Blue). Bakteri endofit dibiakkan
pada medium TSB 100%, kemudian 1 mL suspensi bakteri dengan
kerapatan 108 cfu mL-1dibiakkan pada 9 mL medium NFB dan diinkubasi
selama 48 jam. Kemampuan bakteri menambat nitrogen ditandai dengan
perubahan warna medium menjadi biru atau biru tua serta
terbentuknya lapisan lendir atau pellicle pada permukaan medium
(Yim et al. 2009).
Penentuan hormon IAA dilakukan menggunakan spektrofotometer.
Satu ose isolat bakteri endofit dibiakkan pada 10 mL medium NB yang
ditambahi L-triptofan
0.2 mM, kemudian dikocok selama 48 jamdengan kecepatan 150 rpm
pada suhu ruang. Sebanyak 3 mL biakkan bakteri uji dimasukkan ke
dalam tabung mikro, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10 000
rpm selama 15 menit. Sebanyak 2 mL supernatan yang diperoleh
dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril dan ditambahi 2 mL reagen
Salkowski (150 mL H2SO4 pekat, 250 akuades, 7.5 mL FeCl3·6H2O 0.5
M). Suspensi diinkubasi selama 120 menit pada suhu ruang dan IAA
diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm
(Widyawati 2008).
FormulaTepung Bakteri EndofitSebanyak 4 jenis formula tepung
bakteri
endofit dirancang dalam penelitian ini (Tabel 1). Penelitian
diulang 3 kali. Bahan keempat formula dikemas dalam plastik tahan
panas ukuran 250 g dan disterilkan dalam autoklaf. Bahan yang telah
steril ditambahi 5 mL suspensi bakteri endofit (108 cfu mL-1),
kemudian dicampur rata secara aseptik dan diinkubasi selama 1
minggu pada suhu ruang (Muis 2006).
Uji viabilitas bakteri endofit dalam kemasan dilakukan dengan
mengambil 1 g tepung dan dibiakkan dengan teknik pengenceran
berseri sampai dengan peng-enceran 10-4. Suspensi bakteri endofit
dibiak-kan pada medium TSA dan diinkubasi pada suhu ruang selama
24–48 jam. Jumlah koloni yang tumbuh setiap bulan dihitung dan
dikonversikan ke dalam satuan cfu mL-1.
Bahan Jenis formula1 2 3 4Talk (g) 50.0 50.0 50.0 50.00Pepton
(g) 1.0 1.0 1.0 1.00CMC (g) 0.5 0.5 0.5 0.50 Gula merah (g) 1.5 0.0
0.0 0.00Gula putih (g) 0.0 1.5 1.5 0.00Ekstrak khamir (g) 0.0 0.0
1.0 1.00Bentonit (g) 0.0 0.0 0.0 1.00 Kalsium karbonat (g) 0.0 0.0
0.0 0.75 Dekstrosa (g) 0.0 0.0 0.0 1.00 Molase (mL) 0.0 0.0 0.0
3.00
Tabel 1 Komposisi bahan yang digunakan untuk pembuatan formula
tepung bakteri endofit
-
J Fitopatol Indones Putri et al.
22
HASIL
Karakter Fisiologi Bakteri EndofitBacillus sp. isolat AA2 dan
Bacillus sp.
isolat MER tergolong bakteri Gram positif, sedangkan isolat MSJ
merupakan bakteri Gram negatif. Tiga isolat bakteri endofit
tersebut dapat menghasilkan hormon IAA. Bacillus sp. isolat AA2 dan
Bacillus sp. isolat MER menghasilkan enzim protease dan kitinase,
sedangkan enzim lipase hanya dihasilkan oleh isolat MSJ. Uji
penambatan nitrogen menunjukkan bahwa Bacillus sp. isolat AA2 dan
isolat MSJ mampu menambat nitrogen. Ketiga isolat dalam penelitian
ini menunjukkan reaksi hipersensitif negatif.Ketiga isolat bakteri
tidak mampu memobilisasi fosfat (Tabel 2).
Formula Tepung Bakteri EndofitViabilitas bakteri endofit dalam 4
macam
tepung mengalami fluktuatif selama 6 bulan penyimpanan pada suhu
ruang. Bacillus sp. isolat AA2 memiliki viabilitas tertinggi
1.9×106 cfu mL-1 pada penyimpanan bulan ke-3, tetapi pada bulan
ke-5 dan ke-6 tidak ada lagi bakteri yang tumbuh. Viabilitas
bakteri pada formula 2 dan 3 cenderung stabil sampai 6 bulan
penyimpanan, sedang-kan pada formula 1 hanya bertahan sampai
penyimpanan bulan ke-5. Bacillus sp. isolat MER memiliki viabilitas
tertinggi 1.2×106 cfu mL-1 pada penyimpanan bulan ke-3 dan menurun
sampai penyimpanan bulan ke-6. Viabilitas bakteri pada formula 1,
2,
dan 4 meningkat dari bulan pertama sampai bulan ke-3 penyimpanan
dan menurun pada penyimpanan bulan ke-4 sampai bulan ke-6. Isolat
MSJ memiliki viabilitas paling tinggi dibandingkan dengan Bacillus
sp. Isolat AA2 dan Bacillus sp. Isolat MER, yaitu 2.5×106 cfu mL-1
pada formula 4 di pe-nyimpanan bulan ke-3, tetapi pada bulan ke-6
penyimpanan tidak ada lagi bakteri yang tumbuh. Viabilitas bakteri
pada formula 1 cenderung stabil sampai penyimpanan 6
bulan,sedangkan pada formula 2 dan 3 mampu tumbuh masing-masing
sampai penyimpanan bulan ke-5 dan ke-2 (Gambar 1).
PEMBAHASAN
Kemampuan bertahan bakteri endofitselama penyimpanan dalam
formula berbeda-beda antarbakteri. Kemampuan tersebut akan
menentukan viabilitas sel selama penyimpan-an. Hal ini dikarenakan
viabilitas sel bakteri dipengaruhi oleh kandungan nutrisi pada
medium pembawa dan tambahan, kemampuan bertahan bakteri, dan
lamanya penyimpanan. Perbedaan nutrisi yang tersedia pada medium
berpengaruh terhadap pembentukan sel mikroorganisme (Giyanto et al.
2009).
Tiga bakteri endofit yang digunakan dalam formula dengan bahan
pembawa talk mampu bertahan sampai penyimpanan bulan ke-5 dan ke-6.
Talk merupakan jenis tanah mineral yang dominan berasosiasi dengan
kaolinit dan gibsit. Stabilitas talk relatif berbeda dengan mineral
liat yang lain karena komponen talk
Karakter fisiologis Jenis bakteri endofitBacillus sp. isolat AA2
Bacillus sp. isolat MER Isolat MSJUji gram + + -Reaksi
hipersensitif - - -Aktivitas kitinolitik + + -Aktivitas proteolitik
+ + -Aktivitas lipolitik - - +Produksi IAA + + +Pelarut fosfat - -
-Penambat Nitrogen + - +
Tabel 2 Karakter fisiologi bakteri endofit
+, bakteri bereaksi positif tehadap uji-uji fisiologis; -,
bakteri bereaksi negatif terhadap uji-uji fisiologis
-
J Fitopatol Indones Putri et al.
mempunyai kandungan tanah liat yang sangat kuat. Talk juga
memiliki sifat halus, licin, penghisap minyak dan lemak,
konduktivitas listrik rendah, penghantar panas tinggi, dan
berkekuatan tinggi (Dixon 1989). Talk dengan penambahan selulosa,
glukosa, silica copper, kalsium, besi, dan natrium dapat
mempertahankan viabilitas Pseudomonas GanoEB3 sampai penyimpanan 12
bulan dan meningkatkan pertumbuhan kelapa sawit (Wahab et al.
2014). Formula talk dari kelompok Pseudomonas dan
Enterobacteriaceae yang telah diatur tekanan osmotiknya di dalam
medium dengan penambahan sukrosa dan
metalselulosa 1% dapat bertahan 10–12 bulan (Caesar dan Burr
1991).
Isolat MSJ memiliki viabilitas tertinggi dibandingkan dengan
Bacillus sp. isolat AA2 dan Bacillus sp. isolat MER, yaitu 2.5×106
cfu mL-1 pada formula 4. Tingginya pertumbuhan bakteri endofit
menunjukkan tingginya daya viabilitas bakteri. Pertumbuhan optimum
bakteri endofit karena bahan tambahan atau substrat dalam formula
masih mampu memberikan nutrisi atau masih mendukung bagi kehidupan
populasi bakteri yang terus meningkat. Viabilitas cukup tinggi
karena bakteri mensintesis zat-zat yang terkandung
Gambar 1 Kerapatan populasi bakteri endofit.a, Bacillus sp. AA2;
b, Bacillus sp. MER dan;c, isolat MSJ dalam beberapa formula
tepung. , formula 1; , formula 2; , formula 3 dan; , formula 4.
23
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
1 2 3 4 5 6
7
6
5
4
3
2
1
01 2 3 4 5 6
Log
( cfu
mL-
1 )
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
1 2 3 4 5 6
7
6
5
4
3
2
1
01 2 3 4 5 6
Log
( cfu
mL-
1 )
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
1 2 3 4 5 6
7
6
5
4
3
2
1
01 2 3 4 5 6
Log
( cfu
mL-
1 )
Penyimpanan bulan ke-
a
b
c
-
J Fitopatol Indones Putri et al.
dalam formula yang dapat memicu bakteri dalam mensekresi
metabolit selnya untuk pertumbuhan sel secara optimal (Ankardani et
al. 2010). Formula dengan penambahan CMC berfungsi sebagai zat
aditif dan sebagai pengembang, kalsium karbonat sebagai sumber
kalsium untuk pertumbuhan bakteri dan menetralkan pH pada medium
bahan pembawa (Ankardani et al. 2010). Bentonit berupa bubuk sangat
halus dan ringan berfungsi dalam penyerapan cairan. Kapasitas serap
yang tinggi menyebabkan jumlah sel bakteri yang terikat lebih
banyak (Ting et al. 2009).
Penurunan jumlah koloni bakteri disebab-kan oleh berkurangnya
nutrisi yang terkandung dalam medium karena penyimpanan. Sulistiani
(2009) menyatakan bahwa bahan pembawa yang komplit dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi bakteri dan mendukung ketahanan hidup bakteri
endofit selama penyimpanan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata populasi bakteri
endofit pada bulan pertama rendah dan meningkat pada bulan
ke-2.Pada bulan ke-2 sampai ke-4, penyimpanan populasi cenderung
stabil. Hal ini terjadi karena pada awal penyimpanan bakteri
endofit membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Setelah mampu beradaptasi dengan baik maka populasi akan cenderung
stabil. Penyimpanan bulan ke-5 sampai ke-6, viabilitas bakteri
rata-rata mengalami penurunan. Penurunan viabilitas bakteri
disebabkan karena berkurangnya nutrisi dalam formula penyimpanan
karena telah lama disimpan. Jika nutrisi kurang maka pertumbuhan
akan menurun. Selain itu penurunan populasi tersebut disebabkan
oleh adanya kompetisi antarbakteri dalam memperoleh nutrisi untuk
pertumbuhannya (Sulistiani 2009).
Indikator yang digunakan untuk menentu-kan potensi bakteri
endofit sebagai agens antagonis ialah karakter fisiologinya, di
antaranya kemampuan bakteri menghasilkan enzim ekstrasel (kitinase,
protease, dan lipase), potensi dalam mobilisasi fosfat, penambat
nitrogen, dan produksi hormon IAA. Bacillus sp. isolat AA2 dan
Bacillus sp. isolat MER menghasilkan enzim protease dan
kitinase, enzim lipase hanya dihasilkan oleh isolat MSJ. Uji
penambat nitrogen dihasilkan oleh Bacillus sp. isolat AA2, dan
isolat MSJ. Ketiga isolat tersebut mampu menghasilkan hormon IAA
tetapi tidak menunjukkan kemampuannya dalam memobilisasi
fosfat.
Enzim ekstrasel yang dihasilkan bakteri endofit ini berpotensi
digunakan sebagai agens biokontrol nematoda pada tanaman lada.
Bacillus sp. isolat AA2 dan Bacillus sp. isolat MER menghasilkan
enzim kitinase dan protease. Enzim tersebut diketahui dapat menekan
populasi nematoda (Kumar et al. 2005). Enzim tersebut mampu
mendegradasi telur dan larva nematoda. Sikora et al. (2007)
melaporkan bahwa mekanisme bakteri endofit sebagai biokontrol
nematoda, diantaranya dengan mempengaruhi penetrasi, reproduksi,
dan populasi nematoda. Hormon IAA yang dihasilkan bakteri endofit
diketahui dapat memacu pertumbuhan tanaman lada. Puspita et al.
(2013) menyatakan bahwa kandungan hormon IAA yang dihasilkan
berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dengan merangsang
pembelahan sel dan pengatur pembesaran sel serta memacu menyerap
air dan nutrisi yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada DIKTI yang telah
memberikan beasiswa melalui jalur BPPDN tahun 2013–2015.
DAFTAR PUSTAKA
Ankardani SS. Heydari A, Khorasani N, Arjmandi R. 2010.
Development of the bioformulation of Pseudomonas fluorescens and
evaluation of these products against damping-off of cotton
seedlings. J Plant Pathol. 92:83–88.
Baehaki A, Rinto, Budiman A. 2011. Isolasi dan karakterisasi
protease dari bakteri tanah rawa Indralaya Sumatera Selatan. J
Teknol Indust Pangan. 1(22):37–42.
Caesar AJ, Burr TJ. 1991. Effect of conditioning, betaine, and
sucrose on
24
-
J Fitopatol Indones Putri et al.
survival of rhizobacteria in powder formulations. Appl Environ
Microbiol. 57(1):168–172.
Chen CY, Wang YH, and Huang CJ. 2004. Enhancement of the
antifungal activity of Bacillus subtilis by the chitinase encoded
by Bacillus circulans chiA gene. J Microbiol. 50:451–454. DOI:
http://dx.doi.org/10.1139/w04-027.
Dixon JB. 1989. Minerals in Soil Environments. Ed ke-2. Madison
(US): Soil Science Society of America Inc. Hlm 357–398.
Giyanto A, Suhendar, Rustam. 2009. Kajian pembiakan bakteri
kitinolitik Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. pada limbah
organik dan formulasinya sebagai pestisida hayati (BIO-Pesticide).
Prosiding seminar hasil penelitian. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor. hlm 849–858.
Hallmann J, Quadt-Hallmann A, Mahaffe WF, Kloepper JW. 1997.
Bacterial endophytes in agricultural crop. J Microbiol. 43:895–914.
DOI: http://dx.doi.org/10.1139/m97-131.
Hariprasad P, Divakara S, Niranjana S. 2011. Isolation and
characterization of chitinolytic rhizobacteria for the management
of Fusarium wilt in tomato. Crop Protec. 30(12):1606–1612. DOI:
http://dx.doi.org/10.1016/j.cropro.2011.02.032.
Huang HC, Schurink R, Denny TP, Atkinson MM, Baker CJ, Yuce l,
Hutcheson SW, Collmer A. 1988. Molecular cloning of a Pseudomonas
syringae pv. syringae gene cluster that enables Pseudomonas
fluorescens to elicit the hypersensitive response in Tobacco
plants. J Bacter. 10(170):5748–5756.
Kouker G, Jaeger K. 1987. Spesific and sensitive plate assay for
bacterial lipases. Appl Environ Microbiol. 53(1): 211–213.
Kumar RS, Ayyadurai N, Pandiaraja P, Reddy AV, Venkateswaru Y,
Prakash O. 2005. Characterization of fungal metabolite produced by
a new strain Pseudomonas aeruginosa that exhibits broad-spectrum
antifungal activity and biofertilizing traits. J Appl Microbiol.
98(1):145–154. DOI:
http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2672.2004.02435.x.
Mitchell R, Alexander M. 1962. Lysis of soil fungi by bacteria.
J Microbiol. 9:169–177.
Muis A. 2006. Biomass production and formulation of Bacillus
substilis for biological control. J Indones Agri Sci.
7(2):51–56.
Munif A, Harni R. 2011. Keefektifan bakteri endofit untuk
mengendalikan nematoda parasit Meloidogyne incognita pada tanaman
lada. Bul Ristri. 2(3):377–382.
Puspita F, Zul D, Khoiri A. 2013. Potensi Bacillus sp. asal
rizosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu sebagai rhizobacteria pemacu
pertumbuhan dan antifungsi pada pembibitan kelapa sawit. JOM
FAPERTA. 2014:1–2.
Sikora RA, Schafer K, Dababat. 2007. Modes of action associated
with microbially induced in planta suppression of plant parasitic
nematodes. Aus Plant Pathol. 36:124–134. DOI:
http://dx.doi.org/10.1071/AP07008.
Sulistiani. 2009. Formulasi Spora Bacillus subtilis sebagai
agens hayati dan PGPR (plant growth promoting rhizobacteria) pada
berbagai bahan pembawa [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Thakuria D, Talukdar NC, Goswami C, Hazarika S, Boro RC, Khan
MR. 2004. Characterization and screening of bacteria from
rhizosphere in rice grown in acidic soil from Assam. Curr Sci.
86:978–985.
Ting ASY, Fang MT, Tee CS. 2009. Assesment on the effect of
formulative materials on the viability and efficacy of Serratia
marcescens a biocontrol agent againts Fusarium oxysporum f.sp.
cubense race 4. J Agri Bio Sci. 4:283–288. DOI:
http://dx.doi.org/10.3844/ajabssp.2009.283.288.
Wahab NIA, Nulit R, Seman IA, Omar H. 2014. Capability of powder
fromulation of bioorganic containing Pseudomonas GanoEB3 for
promoting the growth of Oil Palm seedling. Int J Agri Crop Sci.
7(12):988–992.
Wibowo AR. 2013. Isolasi bakteri endofit dari tanaman kehutanan
dan potensinya untuk pengendalian Meloidogyne spp. pada tanaman
tomat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
25
-
J Fitopatol Indones Putri et al.
Widyawati A. 2008. Bacillus sp. asal rizosfer kedelai yang
berpotensi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan biokontrol fungi
patogen akar [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Yim WJ, Poonguzhali S, Madhaiyan M, Palaniappan P, Siddikee M,
Sa T. 2009. Characterization of plant-growth
promoting diazotrophic bacteria isolated from field grown
Chinese cabbage under different fertilization conditions. J
Microbiol. 47(2):147–155. DOI:
http://dx.doi.org/10.1007/s12275-008-0201-4.
26
-
Volume 12, Nomor 1, Januari 2016Halaman 27–33
DOI: 10.14692/jfi.12.1.27ISSN: 0215-7950
*Alamat penulis korespondensi: Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus
Darmaga, Jalan Meranti, Bogor 16680 Tel: 0251-8629350, Faks:
0251-8629352, Surel: [email protected].
27
Pelet Bakteri Probiotik untuk Biokontrol Xanthomonas oryzae pv.
oryzae dan Viabilitas Benih Padi
Probiotic Bacteria Pellet to Xanthomonas oryzae pv. oryzae
Biocontrol and Rice seed Viability
Anak Agung Keswari Krisnandika, Eny Widajati*, Wawan Hermawan,
Giyanto Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680
ABSTRAK
Bakteri probiotik yang berasal dari jaringan tanaman padi
(endofit 467 dan endofit 748), rhizosfer (Ralstonia pickettii
TT47), dan tanah (aktinomiset 6) diketahui mampu mengendalikan
patogen penyebab penyakit. Pengaruh pelet yang mengandung bakteri
probiotik dalam menekan patogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada
benih padi belum diketahui. Penelitian ini bertujuan menguji apakah
pelet yang mengandung bakteri probiotik dapat mempertahankan
viabilitas benih padi terinfeksi Xanthomonas oryzae pv. oryzae.
Metode biakan ganda digunakan untuk menentukan kemampuan antagonis
bakteri probiotik terhadap X. oryzae pv. oryzae. R. pickettii TT47,
endofit 467 dan aktinomiset 6 terbukti antagonis terhadap X. oryzae
pv. oryzae. Uji kompatibilitas bakteri probiotik menunjukkan isolat
yang kompatibel ialah endofit 467 dan aktinomiset 6. Aplikasi
formula pelet (talk + CMC 1.5% + gliserol 1%) yang mengandung
aktinomiset 6 tunggal atau kombinasi dengan endofit 467 pada benih
padi Ciherang yang terinfeksi, mampu menekan populasi X. oryzae pv.
oryzae pada 6 minggu penyimpanan. Perlakuan pelet yang mengandung
R. pickettii TT47 mampu mempertahankan daya berkecambah dan
kecepatan tumbuh benih padi terinfeksi X. oryzae pv. oryzae selama
6 minggu penyimpanan, masing-masing 86.67% dan 17.17% etmal-1,
berbeda nyata dengan benih terinfeksi yang tidak diberi perlakuan
pelet (62.67% dan 11.02% etmal-1). Aplikasi bakteri probiotik R.
pickettii TT47, endofit 467 atau aktinomiset 6 dalam bentuk pelet
terbukti efektif menurunkan populasi patogen X. oryzae pv. oryzae
dan mempertahankan viabilitas benih padi terinfeksi selama 6 minggu
penyimpanan.
Kata kunci: aktinomiset, bakteri endofit, hawar daun bakteri,
Ralstonia pickettii
ABSTRACT
Probiotic bacteria collection from the rice plant tissue (i.e.
endophytic 467 and endophytic 748 isolates), the rhizosphere
(Ralstonia pickettii TT47) and that from the ground (actinomycetes
6) has been reported as biocontrol agents. The effect of pellet
containing probiotic bacteria to suppress Xanthomonas oryzae pv.
oryzae pathogen in rice seed has not been known thoroughly. This
research was carried out to evaluate the effect of pellet
containing probiotic bacteria in maintaining viability of rice
seeds infected by X. oryzae pv. oryzae. A dual culture method was
used to test the antagonistic activities between probiotic bacteria
and X. oryzaepv. oryzae. Isolates R. pickettii TT47, endophytic 467
and actinomycetes 6 showed antagonistic activities against X.
oryzae pv. oryzae. Among them, only endophytic 467 and
actinomycetes 6 that showed compatibility. Pellet formulation (talc
+ CMC 1.5% + glycerol 1%) contain actinomycetes 6 singly or
combination with endophytic 467 in infected Ciherang rice seed was
able to suppress population X. oryzae pv. oryzae as long as 6 weeks
storage. While, the highest percentage of
-
J Fitopatol Indones Krisnandika et al.
28
seed germination and seedling growth rate during 6 weeks storage
was obtained on pellet formulation with R. pickettii TT47, i.e.
86.67% and 17.17% etmal-1 respectively and significantly different
with infected nonpelleted rice seed (62.67% and 11.02% etmal-1). In
conclusion, the application of probiotic bacteria R. pickettii
TT47, endophytic 467 and actinomycetes 6 in pellet formulation was
effective to decrease X. oryzae pv. oryzae and maintain viability
of infected rice seed in 6 weeks storage.
Key words: actinomycetes, endophytic, rice sheath blight,
Ralstonia pickettii
PENDAHULUAN
Xanthomonas oryzae pv. oryzae meng-infeksi pertanaman padi mulai
dari fase bibit (penyakit kresek) sampai menjelang panen (penyakit
hawar daun bakteri). Penurunan hasil hingga 70% dapat terjadi pada
padi varietas rentan (IRRI 2014). Pada tahun 2009–2013 sekitar 27.6
ha lahan pertanaman padi di Indonesia mengalami puso dari total 94
246 halahan yang terserang hawar daun bakteri (HDB) (Ditlitanpang
2014).
Pengendalian X. oryzae pv. oryzae umumnya menggunakan
bakterisida sintetik, namun teknik ini dinilai kurang ramah
lingkungan. Oleh sebab itu, pengendalian X. oryzae pv. oryzae
secara biologi menggunakan bakteri probiotik mulai
dikembangkan.
Bakteri kelompok Bacillus, Pseudomonas dan Streptomyces
diketahui mampu menekan X. oryzae pv. oryzae dengan menghasilkan
antibiotik (difficidin, bacilysin, iturin), siredofor, HCN, maupun
hormon pertumbuhan (indole acetic acid; IAA) (Miliute dan Buzaite
2011; Beric et al. 2012; Lukkani dan Reddy 2014; Harikrishnan et
al. 2014; Wu et al. 2015). Pemanfaatan B. subtilis dengan merendam
benih padi terinfeksi terbukti mampu menurunkan populasi X. oryzae
pv. oryzae serta meningkatkan pertumbuhan bibit padi (Agustiansyah
et al.2010).
Sulitnya menyediakan inokulum bakteri aktif dalam jumlah banyak
di lapangan merupakan salah satu masalah pemanfaatan bakteri
probiotik. Upaya alternatif yang dapat dilakukan ialah aplikasi
bakteri langsung pada benih dalam bentuk formula kering (pelet).
Pelet yang baik mampu melindungi benih dan bakteri dari kondisi
ekstrem ketika di penyimpanan, transportasi dan aplikasi
dilapangan.
Pelet terdiri atas bahan pembawa, perekat, dan inokulan. Bahan
pembawa dan perekat yang baik mempertahankan viabilitas benih padi
ialah campuran CMC 1.5% dan talk 1%(Palupi et al. 2012). Perlakuan
benih padi dengan formula tersebut dapat mem-pertahankan viabilitas
bakteri P. flourescens RRb-11 hingga 90 hari (30.1×107 cfu g-1)
serta efektif mereduksi keparahan penyakit HDB sampai 83.87%
(Jambhulkar dan Sharma 2014).
Informasi pemanfaatan bakteri probiotik dalam formula pelet dan
pengaruhnya terhadap viabilitas benih padi yang terinfeksi X.
oryzae pv. oryzae belum tersedia. Oleh sebab itu, penelitian ini
bertujuan mengevaluasi kemampuan pelet yang mengandung bakteri
probiotik dalam menekan patogen X. oryzae pv. oryzae dan
mempertahankan viabilitas benih padi terinfeksi.
BAHAN DAN METODE
Benih padi yang digunakan adalah padi varietas Ciherang yang
diproduksi PT. Sang Hyang Seri, Indonesia. Bakteri probiotik
Ralstonia pickettii TT47, endofit 467, endofit 748 dan aktinomiset
6 diperoleh dari Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, IPB. B