LATAR BELAKANG
Pembangunan kelautan dan perikanan merupakan bagian dari
pembangunan secara keseluruhan dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Laut Indonesia sendiri sangat luas dan memiliki sumber
daya alam yang melimpah. Potensi ini sesungguhnya dapat mendorong
pendapatan rakyat dan negara dalam jumlah besar. Pengembangan
potensi kelautan dan perikanan dapat menjadi salah satu elemen kuat
untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Selain itu sumber daya
kelautan kita memiliki peluang pasar yang relatif besar, baik pasar
domestik maupun internasional, karena ketersediaan dan kualitasnya
yang sangat memadai.. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang memiliki potensi sumber daya perikanan dan kelautan
cukup besar yang terdiri atas potensi perikanan tangkap dan
perikanan budidaya serta bioteknologi kelautan, terutama di
perairan pesisir dan laut. Secara administratif pemerintahan
wilayah Jawa Barat mempunyai panjang pantai 816,82 km dan luas
perairan wilayah laut sepanjang 16.450 km, terbagi ke dalam 17
kabupaten dan 9 kota dengan potensi sumber daya alam, termasuk
potensi sumberdaya perikanan dan kelautan, antara lain, hutan
mangrove seluas 33.740,83 ha, terumbu karang 13.224,15 ha, padang
lamun 787,8 ha, jumlah pulau 4, taman wisata laut seluas 20 ha, dan
cagar alam laut seluas 1.500 ha. Namun sampai saat ini pemanfaatan
sumber daya tersebut belum maksimal untuk pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakatnya. Provinsi Jawa Barat ditengarai
memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan baik
berupa sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources)
seperti sumber daya perikanan, terumbu karang, mangrove, dan biota
lainnya, juga sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti
pasir laut, minyak, gas bumi, dan berbagai jenis mineral. Selain
itu juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang
dapat dikembangkan untuk pembangunan perikanan dan kelautan seperti
wisata bahari, industri maritim, jasa angkutan, penyerapan limbah
dan sebagainya. Kondisi perairan laut Jawa Barat sebagaimana
umumnya kondisi laut tropis yang selalu menerima cahaya matahari
cukup optimal sepanjang tahun, yang memiliki arti penting bagi
pertumbuhan jasad renik yang merupakan salah satu penyebab besarnya
produktivitas perairan laut tersebut.Mangrove merupakan salah satu
potensi sumber daya pesisir terbesar d Jawa Barat yaitu dengan luas
sekitar seluas 33.740,83 ha. Potensi mangrove menyebar di Kabupaten
Bekasi, Subang, Karawang, Indramayu, Cirebon Leweung Sancang,
Tasik, Sukabumi, dan Pelabuhan Ratu Sayangnya, kondisi dan potensi
sumber daya hutan mangrove yang besar ini tidak diikuti dengan
perkembangan bisnis dan usaha yang baik. Terbukti dengan masih
rendahnya tingkat investasi dan produksi mangrove yang masih jauh
dari potensi yang ada. Selain itu sebagai pasar potensial dengan
jumlah penduduk Jawa Barat yang cukup besar bahkan terbanyak di
Indonesia, seharusnya pada satu sisi akan merupakan potensi yang
cukup besar bagi masyrakat jawa barat. Namun dari segi kemampuan
dan kesadaran akan arti pentingnya hutan mangrove sangat rendah,
sehingga pemafaatan mangrove sendiripun masih rendah. Rendahnya
produktivitas usaha mereka antara lain disebabkan oleh rendahnya
pendidikan, pengetahuan, keterampilan, penguasaan teknologi serta
peralatan yang dimiliki. Disamping itu kondisi dukungan permodalan
serta manajemen usaha juga masih sangat tidak memadai. Pemerintah
Provinsi Jawa Barat sebagai koordinator pembangunan di Jawa Barat,
berdasarkan pasal 18 UU no 32/2004, berwenang untuk mengelola
sumber daya laut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut. Dengan kewenangan tersebut, dengan
tujuan untuk dapat mengurangi gap yang terjadi antara potensi,
tingkat investasi dan produksi sumber kelautan,
MASALAH
Kondisi dan potensi sumber daya hutan mangrove yang besar tidak
diikuti dengan perkembangan bisnis dan usaha yang baik. Terbukti
dengan masih rendahnya tingkat investasi dan produksi mangrove yang
masih jauh dari potensi yang ada. Kebanyakan masyarakat justru
mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal perkebunan,
pemukiman, pelabuhan dan industri. Selain itu juga, meningkatnya
permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi
berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan
tambak-tambak untuk budidaya perairan, sehingga kondisi mangrove
menjadi rusak
POTENSI MANGROVE DI JAWA BARAT
Secara umum potensi sumberdaya dapat pulih pesisir Jawa Barat
terdiri atas tujuh jenis, yaitu hutan mangrove, terumbu karang,
budidaya tambak, budidaya laut, wisata bahari, perikanan laut dan
konservasi. Luas Hutan Mangrove di Pesisir Utara Jawa Barat
memiliki luas yang lebih tinggi dibandingkan Pesisir Selatan Jawa
Barat dengan luas pesisir Utara seluas 5.216,31 Ha dan Luas Pesisir
Selatan Jawa Barat pada tahun 1999 seluas 3.542, 21 Ha. Pada
perkembangannya ditahun 2012 terjadi penurunan yang besar di
Pesisir Utara Jawa Barat seluas 1.622,25 Ha atau sebesar 31%,
sedangkan pada Pesisir Selatan Jawa Barat penurunan luas mangrove
tidak terlalu besar yaitu seluas 275,02 Ha atau sebesar
8%.Perbedaan luasan Hutan mangrove di Pesisir Utara lebih luas
dibandingkan Pesisir Selatan Jawa Barat dikarenakan adanya beberapa
perbedaan, diantranya karakteristik pesisir dan pantai, jenis
tanah, kontur, dan letak geografis. Karakteristik pesisir dan
pantai Utara Jawa Barat menghadap Laut Jawa yaitu ditandai oleh
paparan landai yang luas dengan alur sungai panjang dan air
mengalir berkelok-kelok melalui rawa dan limpahan air ke pantai
berawa sehinggga menyebabkan banyak terdapat endapan lumpur dan
memiliki tutupan mangrove yang tebal pada umumnya, serta ketinggian
kurang dari 3 M diatas permukaan laut, walupun mangrove yang
teridentifikasi keberadaannya berada di lahan pertambakan karena
kondisi lahan yang landai ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
dijadikan kawasan tambak.
Gambar 1. Luas mangrove di Jawa Barat tahun 1999-2013Sumber :
Rezha et.al 2013
Pesisir Selatan memiliki karakteristik pesisir dan pantai
menghadap kearah Samudera Hindia ditandai oleh tebing perbukitan
curam dan terjal dengan gelombang yang kuat dan pantai datar
berpasir yang menyelingi pesisir ini. karakteristik ini menyebabkan
rendahnya luas hutan mangrove dan jenis mangrove yang dapat
bertahan dalam kondisi ini kebanyakan mangrove asosiasi.Persebaran
hutan mangrove Jawa Barat tersebar di 36 Kecamatan di 10 Kabupaten
di Pesisir Utara dan Pesisir Selatan Jawa Barat.1. Persebaran Hutan
Mangrove Pesisir Utara Jawa BaratKabupaten Bekasi memiliki garis
pantai 72 kilometer, berada di tiga kecamatan di wilayah utara dan
membentang dari perbatasan Jakarta sampai perbatasan Karawang.
Berdasarkan pengamatan lapangan dan penelusuran data sekunder,
kondisi hutan mangrove yang dulu tebal, kini rusak akibat abrasi
dan pengambilan manfaat langsung oleh manusia dan kebijakan yang
tidak mendukung terhadap lingkungan. Spesies yang dilindungi
seperti lutung jawa (trachypitecusauratus) dan burung Kuntul
(Ardeidae) kini menghilang.Ekosistem mangrove di Kabupaten Bekasi
terdapat di tiga wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Babelan, Muara
Gembong dan Tarumajaya, dengan luas lahan hutan bakau terluas
terdapat di Kecamatan Muara Gembong. Di beberapa lokasi hutan bakau
tersebut berada pada kondisi yang kritis, baik disebabkan oleh
abrasi pantai maupun adanya penebangan pohon bakau oleh
masyarakat.Hasil peninjauan lapangan oleh PKSPL-IPB tahun 2000,
dari 2.104,535 ha hutan mangrove, yang mengalami abrasi seluas
109,567 ha. Kerusakan hutan mangrove juga disebabkan oleh banyaknya
penebangan hutan oleh masyarakat untuk dijadikan lahan empang dan
pembuatan rumah musiman oleh nelayan khususnya sepanjang kali Muara
Bendera dengan tidak memperhitungkan dampak yang akan muncul.
Gambar 2. Kondisi Mangrove di Kecamatan Babelan Kabupaten
Bekasi
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan,
dulu terdapat sekitar 15 ribu hektar hutan mangrove yang terdiri
dari 10 ribu hektar lahan yang dimiliki PT Perhutani dan sisanya
milik masyarakat. Tetapi, sekarang hutan mangrove yang didominasi
jenis bakau milik Perhutani tinggal sekitar 10 hektare. Sedangkan
hutan mangrove yang dimiliki rakyat juga mengalami kerusakan. Luas
keseluruhan hutan yang saat ini tersisa, tercatat hanya sekitar 600
hektare.Adapun fauna yang sebelumnya berasosiasi dengan hutan bakau
di pesisir Kabupaten Bekasi, terdapat 32 jenis, sebagian besar
burung rawa seperti kuntul. Juga hewan langka dan dilindungi
seperti lutung jawa serta berbagai hewan yang mempunyai potensi
ekonomi untuk dibudidayakan, antara lain udang dan kepiting
bakau.Banyak faktor yang menjadi penyebab kerusakan hutan mangrove,
di antaranya karena faktor alam seperti banjir, juga karena
penebangan pohon bakau. Masyarakat di pesisir pada saat awal
kerusakan, umumnya memiliki kekhawatiran, jika mangrove tumbuh
subur akan membuat masyarakat kehilangan tanah tempat tinggal atau
lahan garapan. Selain itu, perilaku masyarakat di tiga wilayah
pesisir mengindikasikan ada beberapa pihak yang beralasan, jika
membiarkan di pesisir tumbuh hutan mangrove akan mengakibatkan
pihak Perhutani mengakui lahan tersebut sehingga mereka tidak dapat
lagi tinggal di sana.Sedangkan di wilayah Kabupaten Karawang
tersebar di tujuh kecamatan yang ada di Kabupaten Karawang, dengan
prosentase tegakan pohon bakau terbesar (>15%) terdapat di Desa
Sukakerta dan Sukajaya di Kecamatan Cilamaya, di Desa Sedari di
Kecamatan Cibuaya. Jenis bakau yang ada antara lain Rhizophora
apiculata, Rhizophora mucronata, Avicennia marina, Sonneratia alba,
Lumnitzera racemosa, sedangkan vegetasi lainnya adalah
Dolichandrone spatacea, Acrostichum aurecum, Acanthus ilicifoleus.
Hasil analisis data LANDSAT MSS dan MOS-MSSR melalui penelitian
Dimyati (1994) menunjukkan bahwa terdapat penurunan luasan mangrove
dari tahun 1984 hingga 1991 akibat konversi menjadi tambak dan
lahan lain.
Gambar 3. Mangrove diantara Tambak Masyarakat di Pesisir
Kabupaten KarawangHutan mangrove di Kabupaten Subang tersebar di
Kecamatan Balanakan dan Legon Kulon dengan spesies mangrove
Rhizophora stylosa, Avicennia 5 marina, Soneratia alba, Bruguiera
gymnorhiza, Bruguiera cylindrica, Nypa fruticans, Hibiscus
tiliaceus, terminalia cattapa, Exceocaria agallocha dan Achanthus
ilicifolius (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Subang
2007).Hutan mangrove yang terdapat di Kabupaten Subang merupakan
hutan bakau binaan. Hutan mangrove di kawasan pantai Subang bagian
utara berada di bawah otoritas pengelolaan Perum Perhutani BKPH
Ciasem-Pamanukan. Analisis data LANDSAT-TM Multitemporal tahun
1988, 1990, 1992 dan 1995 menunjukkan bahwa luasan mangrove di
kawasan ini dalam periode 1988-1992 mengalami pengurangan luasan
dari 2.087,7 ha pada tahun 1988 menjadi 1.729,9 ha tahun 1990 dan
958,2 ha tahun 1992. Namun antara tahun 1992 dan 1995 terjadi
penambahan luasan menjadi 3.074,3 ha. Pengurangan tersebut
berhubungan dengan kegiatan konversi lahan termasuk perluasan area
pertambakan, sedangkan penambahan luas pada periode akhir
menunjukkan keberhasilan penggalakan program perhutanan sosial yang
dilakukan melalui tambak tumpangsari.Hasil analisis data LANDSAT
tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat kerapatan kanopi mangrove
selama periode pengamatan mengalami pengurangan (Budiman dan
Dewanti, 1998). Upaya pelaksanaan budidaya dilakukan dengan
melibatkan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Sebagian
hutan bakau dimanfaatkan sebagai daerah wisata pantai seperti di
Pondok Bali, Subang.
Gambar 4. Mangrove dengan Sistem Silvofishery di Blanakan,
Subang
Area mangrove yang terdapat di Kabupaten Indramayu relatif
sedikit. Pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani Kabupaten
Indramayu. Daerah yang relatif banyak dijumpai mangrovenya adalah
daerah pesisir di Kecamatan Losarang, Kandanghaur dan Sindang
Sedangkan di Kecamatan Eretan relatif sedikit, kurangnya
pengelolaan oleh masyarakat menyebabkan adanya abrasi
pantai.Ekosistem mangrove di Kabupaten Indramayu juga mengalami
tekanan ekologis. Kerusakan hutan bakau (mangrove) di wilayah
pesisir Kabupaten Indramayu ditengarai kian meluas dari waktu ke
waktu. Kondisi itu dimungkinkan akibat terjadinya alih fungsi dari
lahan hutan menjadi tambak dan pemukiman, di samping terjadinya
perambahan dan penebangan liar.Kabupaten Indramayu yang memiliki
garis pantai sepanjang 114 km, kerusakan hutan mangrove yang ada
diketahui relatif cukup parah. Wilayah yang mengalami kerusakan
hutan mangrove paling parah diantaranya di Kecamatan Juntinyuat,
Balongan, Sukra, Krangkeng dan Kecamatan Indramayu. Pemkab
Indramayu melalui Kantor Perkebunan dan Kehutanan sejak tahun 2004
lalu, melakukan gerakan rehabilitasi hutan mangrove dengan
melakukan penanaman sedikitnya 1,4 juta pohon. Penanaman khususnya
dilakukan di wilayah-wilayah yang kondisi hutannya sudah cukup
kritis.Upaya penanaman kembali hutan pantai itu akan terus
dilakukan sehingga kondisi kerusakan yang terjadi tidak terlalu
parah. Penanaman kembali 1,4 juta pohon mangrove yang telah
dilakukan di sejumlah wilayah yang kerusakan hutannya cukup parah,
selain dapat meningkatkan kualitas sumber daya alam dan lingkungan
juga hutan mangrove yang terbentu nantinya akan dapat menjadi pagar
hidup dari abrasi. Selain itu proses reboisasi hutan mangrove
sebagai wilayah hutan payau sekaligus untuk memulihkan kembali
habitat flora dan fauna yang hidup di kawasan tersebut.Penambangan
pasir pesisir dan laut untuk reklamasi, serta pembukaan hutan bakau
untuk kawasan pertambakan memberikan dampak lingkungan terhadap
ekosistem di kawasan pesisir tersebut.Perubahan beach slope
(gradien pantai) yang sebelumnya landai menjadi terjal adalah salah
satu bukti kawasan pantai mengalami abrasi. Daerah breaker zone
(gelombang pecah) yang tadinya jauh dari garis pantai sekarang
telah berubah dekat pantai. Hal itu menunjukkan kawasan pesisir
Indramayu mengalami perubahan yang destruktif. Terutama pengaruhnya
di sekitar kawasan pesisir Dadap, Juntinyuat..Pembuatan struktur
pantai seperti tanggul pantai (sea wall), groin (groyne), dan
penahan gelombang merupakan salah satu pemecahan masalah bagi
problem abrasi pantai Indramayu. Langkah yang dianggap maju dan
berwawasan lingkungan seperti penataan kembali ekosistem pantai
Indramayu merupakan pemecahan masalah yang cukup tepat dan bijak.
Sebagai contoh, penghijauan wilayah pesisir dengan hutan bakau
dengan membuat sabuk hijau di sekitar wilayah pertambakan, yang
disertai aturan dan sanksi bagi yang tidak mengindahkan lingkungan
wilayah pesisir perlu ditegakkan.Pemangkasan hutan mangrove di
kawasan pesisir Indramayu dan sekitarnya untuk kepentingan
pertambakan ikan merupakan salah satu bentuk intervensi manusia
yang menimbulkan perubahan dinamika pesisir memicu terjadinya erosi
pesisir di kawasan tersebut. Hasil survei menunjukkan adanya pantai
di sekitar kawasan pesisir Dadap, Juntinyuat hingga Tanjung Ujungan
mengalami erosi atau pantai mundur antara 1m hingga 10m per
tahun.
Gambar 5. Pembibitan Bakau di Pesisir Cemara Kabupaten
Indramayu
Area mangrove di Kabupaten Cirebon relatif sedikit karena adanya
upaya penebangan oleh nelayan untuk pembuatan tambak. Namun
sekarang ini mulai dilakukan penanaman mangrove oleh penduduk
setempat di daerah pesisir seperti Kecamatan Babakan. Luas hutan
mangrove (bakau) yang masih terdapat di pantai wilayah Babakan
sekitar 0,25 ha (NSASD, 1999/2000).
Gambar 6. Mangrove yang Tumbuh di Muara Sungai Bondet,
Cirebon
2. Persebaran Hutan Mangrove di Pesisir Selatan Jawa Barat
Mangrove di Pesisir Selatan Jawa Barat terdiri dari mangrove sejati
dan mangrove asosiasi khususnya pada rawa payau. Hutan Mangrove di
Kabupaten Tasikmalaya tersebar di tiga kecamatan, yaitu Cikalong,
Karangnunggal dan Cipatujah dengan didominasi oleh spesies Nypa
fruticans. Hutan Mangrove di Kabupaten Sukabumi tersebar di empat
kecamatan, yaitu Pelabuhan Ratu, Simpenan, Ciemas dan Ciracap.
Spesies yang ditemukan Padanus spp, Bambusa spp, Stercoelia
foetida, Terminalia catappa, Rhizophora spp, Bruguiera spp,
Sonneratia alba, Avicennia spp, Callophylum inophylum, Nypa
frutican dan Baringtonia asiatica (Hartini 2010). Hutan mangrove di
Kabupaten Garut tersebar di Kecamatan Cibalong dengan spesies yang
ditemukan Rhizophora mucronata, Rhizophora gymnorhiza, Soneratia
alba, Aegiceras comoculatum, Bruguiera gymnorhiza, Xylocarpus
granatum, Ceriops tagal, Acanthus ilicifollus dan Avicennia alba
(Rochmah 2001). Spesies mangrove di Kabupaten Cianjur tersebar Nypa
frutican di Kecamatan Cidaun. Hutan Mangrove di Kabupaten Ciamis
tersebar di enam kecamatan, yaitu Cimerak, Cijulang, Parigi,
Sidamulih, Pangandaran dan Kalipucang. Spesies yang ditemukan yaitu
Thespesia vovulnea, Nypa fruticans, Acanthus ilicifolius,
Rhizophora apiculata, Scyphiphora 6 hydrophyllaceae, Acrosticum
aureum, Pongmia pinnata, Terminalia cattapa, Padanus tektorius,
Cerbera mangas dan Hibiscus spp (Sukmawan 2004).
KONSEP PEMBERDAYAAN HUTAN MANGROVE
Pemberdayaan Hutan Mangrove yang berdasar pada paradigma
berkelanjutan, bermakna bahwa hutan mangrove dapat dioptimalkan
peranannya untuk memenuhi kebutuhan hidup selama ini tanpa merusak
atau menurunkan kemampuan ekosistem tersebut serta menyediakan
kebutuhan generasi mendatang. Dengan demikian pemanfaatan hutan
mangrove yang berkelanjutan harus mencakup empat dimensi sebagai
berikut : Ekologis Sosial ekonomi, Budaya Sosial PolitikPemanfaatan
harus pula dilakukan secara dinamis dan berkesinambungan dengan
mempertimbangkan dimensi diatas. Berbagai aspirasi dari berbagai
pihak terkait (Stakeholders) hendaknya dijadikan pertimbangan
utama. Berdasarkan pemikiran diatas maka konsep pemberdayaan hutan
mangrove sebagai berikut :1. Obyek Wisata (Ekotourisme)Penerapan
ekowisata di kawasan hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan
dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari.Ekowisata
adalah suatu kegiatan wisata yang bertanggung jawab terhadap
lingkungan yang umumnya dilakukan pada daerah yang masih alami.
Tujuannya, selain unutk menikmasti keindahan alam juga melibatkan
unsur-unsur pendidikan, pemahaman serta dukungan terhadap
upaya-upaya konservasi alam dan meningkatkan perekonomian
masyarakat setempat (TIES, 2000). Penerapan konsep ekowisata pada
kawasan hutan mangrove secara umum diharapkan dapat mengurangi
dampak pengerusakan lingkungan kawasan tersebut oleh masyarakat dan
berpengaruh pada peningkatan ekonomi. Dengan adanya ekowisata akan
memberikan alternatif wisata dan pendapatan bagi masyarakat.2.
Wanamina (Sylvofishery)Wanamina (Sylvofishery) adalah pola
perpaduan antara kegiatan budidaya perikanan dengan kegiatan dan
kepentingan kehutanan dalam suatu wilayah dan waktu yang sama.
Wanamina merupakan pola pendekatan teknis yang berusaha mengatasi
permasalahan kelestarian hutan mangrove dan kesejahteraan
masyarakat.Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi
dampak negatif tanpa menghilangkan fungsi ekonomis areal mangrove
sebagai lahan budidaya perikanan dapat dilakukan melalui budidaya
sistem polikultur dan wanamina. Sistem polikultur adalah sistem
budidaya ikan yang dipelihara lebih dari satu jenis ikan dalam satu
wadah. Sistem ini berguna untuk efisiensi penggunaan pakan alami
yang ada di kolam. Sedangkan, silvofishery adalah suatu bentuk
kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau
dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep
silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya
perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara
konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini kemungkinan untuk
mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki
produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari
kegiatan budidaya perikanan.Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan
lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model
silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program
rehabilitasi pantai dan pesisir.3. Hutan PendidikanPotensi hutan
mangrove yang telah tercipta menjadi suatu ekosistem pantai, dapat
dimanfaatkan menjadi sarana pendidikan sebagai pusat informasi dan
penelitian. Dengan pengelolaan yang profesional dapat memacu
keikutsertaan masyarakat dalam usaha pelestarian lingkungan
khususnya dipesisir pantai.4. Pertanian Keberadaan hutan mangrove
penting bagi pertanian di sepanjang pantai terutama sebagai
pelindung dari hempasan angin, air pasang, dan badai. Budidaya
lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga dari
Sonneratia sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas baik. Tempat
di areal hutan mangrove yang masih terkena pasang surut dapat
dijadikan pembuatan garam. Pembuatan garam dapat dilakukan dengan
perebusan air laut dengan kayu bakar dari kayu-kayu mangrove yang
mati. Di Bali, garam yang diproduksi di sekitar mangrove dikenal
tidak pahit dan banyak mengandung mineral dengan harga di pasar
lokal Rp 1.500,-/kg, sedangkan bila dikemas untuk dijual kepada
turis harganya menjadi US$ 6 per 700 gram Peranan Ekologis dan
Sosial (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan) (Rp 68.000,-/kg). Air
sisa rebusan kedua dimanfaatkan untuk produksi tempe dan tahu dan
dijual dengan harga Rp 2.000, /liter (Inoue et al., 1999).5.
Pemanfaatan Kayu TerbatasPemanfaatan langsung terhadap hutan
mangrove berupa kayu adalah merupakan langkah terakhir yang harus
diambil. Hal ini dapat berakibat merugikan jika sistem pengawasan
lemah dan tak terkendali.Kayu mangrove seperti R. apiculata, R.
Mucronata, dan B. Gymnorrhiza sangat cocok digunakan untuk tiang
atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya lurus dan dapat
bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an dengan diameter 10-13
cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai harga Rp
7.000,- sampai Rp 9.000,-. Kayu ini diperoleh dari hasil
penjarangan (Inoue et al., 1999).6. Bahan MakananMasyarakat umum
belum begitu mengenal akan potensi hutan mangrove sebagai penghasil
cadangan pangan untuk membantu mencukupi kebutuhan pangan
masyarakat pesisir khususnya Jawa Barat.Komposisi buah aibon
(mangrove) jika dibandingkan dengan singkong, ubi jalar, beras dan
sagu, maka komposisi buah aibon lebih menyerupai singkong, dimana
kandungan karbohidratnya hampir sama, yaitu 92 %. Hal tersebut
didukung oleh potensi sebaran hutan mangrove yang ada di Jawa Barat
. Buah aibon memiliki prospek sangat baik untuk dikembangkan
menjadi bahan pangan alternatif pengganti beras, terutama bagi
masyarakat di sekitar pesisir pantai, juga sebagai penyedia
karbohidrat maupun sebagai bahan baku industri. Satu kendala yang
dihadapi adalah jika dibandingkan dengan komoditi lain misalnya
beras atau ubi, pengolahan buah mangrove cukup rumit dan
membutuhkan waktu yang lama. Akibatnya masyarakat sudah jarang yang
memanfaatkan untuk makanan. Masyarakat biak biasa mengolah buah
mangrove dari jenis Bruguiera sp dengan cara direbus dengan tujuan
untuk memudahkan pengupasan. Setelah dikupas kemudian diiris dan
direndam selama lebih dari 10 jam, setelah itu dikeringkan untuk
pengawetan untuk dijadikan tepung sebagai bahan dasar membuat
kue.Dewasa ini penerapan teknologi dalam pembuatan makanan berbahan
dasar buah mangrove sudah mulai dikembangkan. Bahkan ada yang
membuat permen berbahan dasar buah mangrove. Hal tersebut dilakukan
oleh ibu-ibu nelayan di Balikpapan yang terus berusaha memanfaatkan
buah mangrove menjadi makanan yang lebih berguna dan bernilai
ekonomi tinggi. Berbagai usaha dan cara dilakukan untuk membuat
bauh mangrove menjadi lebih Beberapa jenis buah mangrove yang bisa
diolah menjadi bahan pangan diantaranya adalah mangrove jenis
Avicennia alba dan Avicennia marina atau yang lebih dikenal
masyarakat dengan naman api-api lebih cocok untuk dibuat keripik
karena ukurannya kecil seperti kacang kapri dan rasanya gurih serta
renyah seperti emping melinjo. Adapun Rhizopora mucronata atau
biasa disebut bakau perempuan yang tingggi buahnya sekitar 70
sentimeter serta Rhizopora apiculata (bakau laki) yang tingginya
sekitar 40 sentimeter, lebih cocok dibuat sayur asam karena rasanya
segar. Sonneratia alba yang biasa disebut pedada yang buahnya
seperti granat nanas, lebih cocok untuk dibuat permen karena
rasanya asam. Sedang Nypa frutican lebih cocok untuk dibuat
kolak.Penemuan pemanfaatan buah-buah mangrove menjadi aneka resep
makanan dan minuman adalah hal yang sangat menguntungkan. Dengan
sedikit kreasi dan inovasi, mangrove yang dulunya dikatakan sampah
dan tak memiliki nilai ekonomis, kini dipandang sebagai tumbuhan
yang memiliki nilai jual. Dengan adanya usaha-usaha seperti ini
diharapkan masyarakat lebih tergerak untuk turut menjaga hutan
mangrove dari kerusakan.
ANALISA PENGEMBANGAN POTENSI HUTAN MANGROVE
Hasil kajian valuasi ekonomi dan konservasi mangrove untuk
jangka waktu 10 tahun yang dilakukan oleh TNC (2004) menunjukkan
bahwa nilai ekonomi hutan mangrove memberikan manfaat ekonomis
sebagai berikut:Manfaat langsung: US$ 295.78 /ha/tahunManfaat tidak
langsung: US$ 726.26 /ha/tahunManfaat Pilihan: US$ 15.00
/ha/tahunManfaat Eksistensi US$ 358.46 /ha/tahunManfaat Bersih US$
1,395,50 /ha/tahun
1. Analisis sumber daya mangrove dan daya dukungnyaJika kita
analisis, kemampuan sumber daya mangrove dan daya dukungnya di Jawa
Barat masih sangat potensial untuk dikembangkan. dengan adanya
berbagai program rehabilitasi mangrove yang sedang di galakkan di
beberapa tempat contohnya cirebon, indramayu ,dll tidak menutup
kemungkinan hutan mangrove di jawa barat ini bisa dijadikan salah
satu aset untuk mengembangkan pembangunan di Jawa BaratTidak
diragukan lagi potensi mangrove di Jawa Barat dapat dikembangkan
sesuai dengan daya dukungnya. Pemilihan jenis dan skala usaha yang
tepat akan menjadikan wilayah ini dapat bersaing secara ekonomi,
selain proses revitalisasi ekosistem dan lingkungan yang berjalan
secara natural. Untuk wilayah Pansela, sumber daya alam dan daya
dukungnya masih sangat besar untuk dikembangkan. Namun demikian
pengembangan bisnis kelautannya pun tetap harus mengacu pada
prinsip-prinsip ekologi dan optimisasi ekonomi yang
berkelanjutan.
2. Analisis kemampuan sumber daya manusia Sumber daya manusia
sebagai salah satu input yang sangat penting, merupakan kapital
yang harusnya dapat disiapkan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, sebagai Propinsi terbesar ke 2
di Indonesia, Jumlah penduduk yang cukup tinggi (39.140.812 jiwa),
sampai saat ini masyarakat yang bergerak di sektor ini masih sangat
belum cukup banyak. Namun dengan potensi yang ada sebenarnya jumlah
penduduk yang bisa dilibatkan dalam bisnis ini masih sangat besar.
Namun demikian jumlah saja tidak cukup karena harus dibarengi juga
dengan kemampuan sumber daya dalam penguasaan sains dan teknis. Hal
ini harus terus ditingkatkan dengan melakukan upaya-upaya
perekrutan dan pelatihan dalam sektor ini.
3. Analisa sumber daya dukung lainnyaKemampuan pemberdayaan
hutan mangrove di Jawa Barat akan sangat tergantung dari seberapa
besar kemampuan sumber daya pendukung yang meliputi pendanaan
sektor, permodalan usaha, sains dan teknologi, serta
jejaring(networking). Untuk pendanaan sektor yang dapat kita
analisis dari sumberpendanaan atau investasi bagi sektor kelautan,
yang terdiri dari pendanaanpemerintah yang terdiri dari : Dana
pemerintah pusat (APBN), INPRES, Pinjaman dan bantuan Luar Negeri
Dana Pemerintah daerah (APBD) Tingkat I dan Tingkat II yang berasal
dari PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak serta pinjaman daerah.
Serta pendanaan dari masyarakat yang meliputi : Perusahaan swasta
dan usaha perikanan kelautan rakyat Perusahaan penanaman Modal
Asing (PMA) Perusahaan Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN)Secara
lebih rinci, program-program pembangunan yang berkaitan dengan
pengembangan bisnis kelautan Jawa Barat pada dasarnya memiliki
beberapa alternatif sumber pendanaan baik dari pemerintah pusat
maupun dari pemerintah daerah sendiri , yaitu terdiri dari ;
Anggaran Departemen Kelautan dan perikanan (DKP)Anggaran DKP ini
beberapa diantaranya didelegasikan ke daerahdalam bentuk hibah bagi
pelaksanaan pengelolaan pesisir dankelautan. Dana Alokasi Khusus
(DAK)Dana ini digunakan untuk mendukung program di daerah.
Walaupuntidak harus didistribusikan ke daerah, dana ini dapat
digunakan untukkebutuhan khusus yang menjadi prioritas nasional,
sehingga dapatdigunakan untuk pengembangan bisnis kelautan di
daerah PropinsiJawa Barat misalnya. Dana Alokasi UmumMerupakan dana
anggaran alokasi umum untuk mendukung pembiayaan pengelolaan
pesisir dan kelautan di daerah. Pendapatan Hasil potensi hutan
mangrove (Pariwisata)Merupakan hasil berbagai pungutan/retribusi
dan lain-lain yang digunakan untuk kepentingan pengelolaan sumber
daya hutan mangrove Sumber dana daerah lainnyaBiasanya merupakan
PAD yang berasal dari retribusi daerah, BUMDdan sumber lainnya.
Pinjaman/hibah Luar negeriPemerintah daerah dapat mendapatkan
pinjaman atau hibah dari luar negeri yang diperuntukkan bagi
pelaksanaan pengelolaan pesisir dan kelautan, dengan bantuan
fasilitasi pemerintah pusat. Seluruh pendanaan yang diuraikan di
atas merupakan modal besar bagi pelaksanaan pengembangan bisnis
kelautan di Jawa Barat. Hal yang berkaitan dengan pemahaman sains
dan teknologi kelautan pada pelaku bisnis kelautan di Jawa Barat
boleh dikatakan sebagai jauh dari harapan. Sejauh ini pengembangan
teknologi dan sains yang berkaitan dengan bisnis kelautan masih
jauh dari harapan, walaupun sebenarnya Jawa Barat ditunjang oleh
berbagai institusi akademik sebagai pusat riset, seperti Institut
Pertanian Bogor, Universitas Padjadjaran.Jika dilihat dari sumber
daya pendukung bisnis kelautan yang berkaitan kebijakan pemerintah
Propinsi Jawa Barat, sebenarnya sudah sangat memadai dan dapat
menjadi suatu bentuk pemicu bagi berkembangnya bisnis kelautan
sebagai salah satu bisnis unggulan di Jawa Barat.
STRATEGI PENGIMPLEMENTASIAN HUTAN MANGROVE
1. Pemanfaatan ekosistem mangrove harus diimbangi dengan
kegiatan rehabilitasi dan konversi ekosistem mangrove
harusdikendalikan sehingga tercapai prinsip no net loss2. Peran
ekosistem mangrove dalam perlindungan keanekaragaman hayati, garis
pantai dan sumberdaya pesisir sangat penting.3. Pengelolaan
ekosistem mangrove dilaksanakan sebagai bagian integral dari
pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan DAS secara
keseluruhan.4. Pengelolaan ekosistem mangrove membutuhkan komitmen
politik dan dukungan kuat pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
para pihak terkait.5. Koordinasi dan kerjasama antar instansi baik
vertikal maupun horizontal, sangat penting untuk menjamin
terlaksananya kebijakan strategi nasional pengelolaan ekosistem
mangrove.6. Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat
dilaksanakan untuk melestarikan nilai penting ekologi, ekonomi dan
sosial budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan
mendukung pembangunan yang berkelanjutan.7. Pemerintah daerah
mempunyai kewenangan dan kewajiban mengelola ekosistem mangrove
sesuai dengan kondisi dan aspirasi local, dan strategi nasional
pengelolaan ekosistem mangrove.8. Pengembangan riset, Iptek dan
sistem informasi diperlukan untuk memperkuat pengelolaan ekosistem
mangrove yang berkelanjutan.9. Pengelolaan ekosistem mangrove
dilaksanakan melalui pola kemitraan dengan dukungan para pihak dan
masyarakat Internasional.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Hutan mangrove memiliki peranan ekologis, ekonomis, dan sosial
yang sangat mendukung untuk pembangunan wilayah pesisir. Luas hutan
mangrove di Jawa Barat yaitu seluas 33.740,83 ha namun sebagian
kondisinya rusak terutama di pantai utara, namun sebagian lagi
dalam kondisi yang baik. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi
menjadi sangat penting sebelum dampak kerusakan mangrove meluas.
Wilayah Jawa Barat yang memiliki luas hutan mangrove yang luas
sehingga berpotensi untuk dijadikan beberapa pemberdayaan seperti
objek wisata, wanamina, pariwisata, hutan pendidikan, pertanian,
bahan bangunan, dan bahan pangan. Sehingga dapat dijadikan salah
satu devisa atau pendapatan bagi masyarakat Jawa BaratUntuk dapat
mencapai tujuan yang diinginkan dalam pengeloalaan dan pemanfaatan
hutan mangrove serta menjaga kesinambungan sumber daya tersebut
diperlukan suatu perencanaan yang terpadu dan holistik. Oleh karena
itu, menjadi kewajiban kita untuk melestarikannya demi kepentingan
kita bersama di masa sekarang maupun pada masa-masa yang akan
datang.
1