BAB I PENDAHULUAN Awal abad ke-20 menganggap kehamilan yang melebihi waktu (kehamilan postterm) bukanlah suatu masalah, kecuali kehamilan tersebut dihubungkan dengan makrosomia atau persalinan yang sulit. Induksi persalinan direkomendasikan hanya untuk mencegah pertumbuhan janin sehingga tidak terjadi distosia. Pada tahun 1950-an dipertimbangkan suatu intervensi karena meningkatnya kemungkinan kematian perinatal pada umur kehamilan lebih dari 42 minggu. 1 Adalah Ballantyne pada tahun 1902 yang pertama membuat referensi tentang kehamilan posterm di obstetrik modern. Tahun 1954 Clifford menggambarkan lebih jelas sebuah sindrom yang ditemukan pada bayi lahir setelah melewati tanggal kelahiran yang diperhitungkan , seperti misalnya ditemukan pewarnaan mekonium pada cairan amnion dan tanda distress fetus. Auberg(1962) dan Lanman(1968) juga membuktikan bahwa terjadi peningkatan risiko kematian intrapartum berhubungan dengan kehamilan lewat waktu ini dan penelitian dari Skandinavia membuktikan bahwa kehamilan lewat waktu berhubungan dengan peningkatan risiko kematian perinatal. Sebuah penelitian dari Dublin meneliti risiko postmatur pada 6301 kehamilan lewat 42 minggu. Pada kehamilan posterm ini kematian intrapartum empat kali lipat lebih besar dan kematian neonatus tiga kali lebih besar dibanding dengan mereka yang lahir tidak melewati waktu 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Awal abad ke-20 menganggap kehamilan yang melebihi waktu (kehamilan postterm)
bukanlah suatu masalah, kecuali kehamilan tersebut dihubungkan dengan makrosomia atau
persalinan yang sulit. Induksi persalinan direkomendasikan hanya untuk mencegah
pertumbuhan janin sehingga tidak terjadi distosia. Pada tahun 1950-an dipertimbangkan
suatu intervensi karena meningkatnya kemungkinan kematian perinatal pada umur
kehamilan lebih dari 42 minggu.1
Adalah Ballantyne pada tahun 1902 yang pertama membuat referensi tentang
kehamilan posterm di obstetrik modern. Tahun 1954 Clifford menggambarkan lebih jelas
sebuah sindrom yang ditemukan pada bayi lahir setelah melewati tanggal kelahiran yang
diperhitungkan , seperti misalnya ditemukan pewarnaan mekonium pada cairan amnion
dan tanda distress fetus. Auberg(1962) dan Lanman(1968) juga membuktikan bahwa
terjadi peningkatan risiko kematian intrapartum berhubungan dengan kehamilan lewat
waktu ini dan penelitian dari Skandinavia membuktikan bahwa kehamilan lewat waktu
berhubungan dengan peningkatan risiko kematian perinatal. Sebuah penelitian dari Dublin
meneliti risiko postmatur pada 6301 kehamilan lewat 42 minggu. Pada kehamilan posterm
ini kematian intrapartum empat kali lipat lebih besar dan kematian neonatus tiga kali lebih
besar dibanding dengan mereka yang lahir tidak melewati waktu
, dan kejang neonatus sepuluh kali lebih besar dibanding yang normal. Setelah tahun 1970-
an itu barulah dapat diterima bahwa kematian perinatal meningkat pada kehamilan
postterm dan hal tersebut mendorong dilakukan intervensi untuk persalinan atau penelitian
tentang kesehatan janin. 9
Crowley juga membandingkan antara 247 wanita yang melahirkan setelah 42
minggu dengan 247 wanita yang melahirkan antara 37 sampai 42 minggu sebagai kontrol
dalam penelitian : menemukan pewarnaan mekonium pada cairan amnion terjadi dua kali
lebih sering pada wanita yang hamil lewat waktu. 9
Wanita dengan kehamilan postterm cenderung memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami robekan jalan lahir yang luas karena makrosomia, peningkatan risiko terjadinya
infeksi dan komplikasi luka jalan lahir serta perdarahan post partum. Mereka juga berisiko
lebih besar menjalani seksio sesaria sehubungan dengan makrosomia, gawat janin maupun
1
kegagalan dan komplikasi induksi persalinan.2,6 Risiko morbiditas perinatal pada kehamilan
postterm 2-3 kali lebih banyak daripada kehamilan aterm. Sedangkan mortalitasnya
meningkat lebih kurang 3 kali dibandingkan kehamilan aterm dimana 30% kematian
tersebut terjadi sebelum persalinan, 55% dalam persalinan dan 15% pasca persalinan.6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Istilah postterm, postdates, prolonged dan postmature sering salah digunakan dalam
mengartikan kehamilan yang melebihi waktu dari batas normal. Menurut American
College of Obstetricians ad Gynecologist (1997), postterm adalah kehamilan 42 minggu
penuh (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT), dengan
asumsi ovulasi terjadi 2 minggu setelah haid terakhir.1,7 Sedangkan menurut Federation of
Gynecologist and Obstetrians (FIGO), postterm merupakan kehamilan yang berlangsung
lebih dari 42 minggu terhitung dari HPHT dan siklus menstruasi 28 hari.2,4
2
Umur kehamilan dan perkiraan hari kelahiran ditentukan dengan rumus Naegele.1,2,6
Meskipun kemungkinannya adalah 10% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya
mungkin bukan benar-benar postterm karena kekeliruan menentukan usia kehamilan. Hal
ini mungkin disebabkan karena kekeliruan mengemukakan tanggal haid yang terakhir,
siklus haid yang tidak teratur dan siklus haid yang terlampau panjang.1 Beberapa
kepustakaan menyebutkan bahwa postterm sinonim dengan postdate dan prolonged
pregnancy.1,2,6
Terminologi postmatur digunakan untuk menjelaskan kehamilan lewat waktu yang
disertai penampakan klinis postmatur pada bayi yang dilahirkan. Variasi dalam siklus
menstruasi menjelaskan mengapa pada kehamilan manusia yang mencapai umur 42
minggu penuh hanya sekitar 5-10% yang menghasilkan bayi dengan sindroma postmatur
yaitu: tidak ada lanugo, rambut lebat, kuku panjang, kulit keriput dan kering, pewarnaan
mekonium pada kulit, verniks tidak ada atau sedikit, wajah tampak tua, tubuh kurus,
dengan tungkai panjang.1,2,6
2.2 INSIDEN
Secara umum insiden postterm berkisar antara 4 – 14%.1 Di Indonesia angka kejadian pada
beberapa Rumah Sakit pendidikan berbeda-beda. Suastika (1997) melaporkan angka
kejadian postterm di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebesar 9,5%.3 Adenia dkk (1999)
melaporkan angka kejadian postterm di RSUP H.Adam Malik sebesar 6,71%.4 Priyono
(2003) melaporkan angka kejadian postterm di RSUP Sanglah sebesar 3,46% untuk
periode 1 Januari 2000 – 31 Desember 2002.7
Ada kecenderungan pada beberapa ibu terjadi persalinan postterm berulang. Faktor-
faktor lain yang dinyatakan berhubungan antara lain paritas, sosial ekonomi dan umur ibu.
Analisis dari 27.677 kelahiran pada wanita Norwegia ternyata ditemukan bahwa insiden
kelahiran postterm berikutnya bertambah dari 10% menjadi 27% jika kelahiran pertama
postterm dan menjadi 39% apabila mengalami 2 kali berturut-turut persalinan postterm.1
2.3 ETIOPATOFISIOLOGI
Etiologi terjadinya postterm sampai saat ini belum diketahui secara pasti dan hal ini
berkaitan dengan belum jelasnya etiologi proses persalinan.
3
Teori” Sistem Komunikasi Organ” mengatakan bahwa janin memberikan isyarat
kepada ibu bila pematangan dari organ-organ janin sudah sempurna.8 Bahwa kortisol fetus
menyebabkan plasenta mengurangi produksi progesteron. Hal ini selanjutnya akan
menimbulkan kenaikan prostaglandin dalam amnion yang berguna untuk stimulasi
penipisan serviks dan kontraksi ritmik uterus yang merupakan ciri khas proses persalinan.8
Pada kasus postterm, penurunan konsentrasi estrogen tidak cukup untuk menstimulasi
pelepasan prostaglandin dan proses persalinan sehingga kehamilan berlangsung lewat
waktu.1 Pada informasi terakhir ini diketahui ada peran hormonal Corticotropin-releasing
factor (CRF) dan urocortin yang merupakan dua neuropeptid plasenta yang terlibat dalam
mekanisme kelahiran dengan memodulasi aktivitas myometrial. CRF dan urocortin
meningkat pada plasma ibu pada kehamilan aterm, sementara CRF rendah pada wanita
yang mengalami kehamilan lewat waktu. 10
Ada beberapa faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan kehamilan postterm
antara lain: 9
1. Ketidaktahuan haid terakhir
Paling sering terjadi dan berhubungan dengan pemeriksaan antenatal yang
terlambat atau tidak sama sekali.
2. Ovulasi yang ireguler / fase folikuler yang berlebihan
Jika ovulasi dan fertilisasi dianggap terjadi 2 minggu sebelum HPHT maka fase
folikuler yang bervariasi dapat menyebabkan perkiraan usia kehamilan yang
berlebihan.
3. Perbandingan progesteron dan estrogen
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penundaan produksi estrogen yang akan
menyebabkan penundaan persalinan seperti :
o Menurunnya produksi 16-α-hidroksidehidroisoandrosteron sulfat yang
merupakan prekursor untuk produksi estriol, misalnya pada kasus
anensefalus.
o Hipoplasia adrenal mempunyai efek penurunan produksi prekursor untuk
sintesa estriol.
o Defisiensi sulfatase plasenta, suatu penyakit X-linked herediter yang dapat
mencegah konversi prekursor estrogen sulfat menjadi estrogen oleh
plasenta yang ditandai dengan kadar estriol,yang rendah.
4
4. Umur ibu
Angka kejadian postterm meningkat pada umur ibu dibawah 19 tahun dan diatas 30
tahun. Mead dan Marcus (1988) mendapatkan angka kejadian postterm yang paling
tinggi pada umur 21 – 25 tahun baik pada primi / multigravida.
5. Paritas
Angka kejadian postterm lebih tinggi pada primigravida dibandingkan dengan
multigravida.
6. Jenis kelamin janin
Janin laki -laki 5% lebih banyak menjadi postterm dibandingkan jika janinnya
perempuan. Kemungkinan terjadinya gawat janin juga lebih besar.
7. Hubungan dengan siklus haid
Angka kejadian postterm pada ibu dengan siklus haid yang panjang 13,2 % lebih
tinggi dibandingkan ibu dengan siklus haid normal.
8. Sosioekonomi
Beberapa peneliti melaporkan bahwa kejadian postterm lebih sering terjadi pada
ibi-ibu dengan sosioekonomi rendah.
9. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti anensefalus, hidrosefalus, dan kelainan congenital
lainnya berhubungan dengan bertambahnya angka kejadian postterm.
Fungsi plasenta memuncak pada usia kehamilan 38-42 minggu, kemudian menurun
setelah 42 minggu, sirkulasi uteroplasenter akan berkurang 50% dari 500-700 ml/menit
menjadi 250ml/menit akibat menurunnya fungsi plasenta ,terlihat juga menurunnya kadar
estrogen dan laktogen plasenta. Terjadi juga spasme arteri spiralis plasenta.
Akibatnya dapat terjadi gangguan suplai oksigen dan nutrisi untuk hidup dan tumbuh
kembang janin intrauterin. Volume air ketuban juga berkurang karena mulai terjadi
absorpsi. Volume cairan amnion pada kehamilan aterm ± 800 ml dan akan menurun
menjadi ± 480 ml, 250 ml dan 160 ml pada kehamilan 42, 43, 44 minggu1.
Keadaan-keadaan ini merupakan kondisi yang tidak baik untuk janin.
Risiko kematian perinatal pada bayi postmatur cukup tinggi : 30% prepartum, 55%
intrapartum, 15% postpartum.
5
2.4 DIAGNOSIS
Sangat jelas dari literatur bahwa diagnosis dari kehamilan lewat waktu adalah sulit.
Definisi waktu kehamilan dari WHO didasarkan dari data statistik dilihat dari tanggal
menstruasi. Telah dibuktikan bahwa meskipun HPHT telah diketahui secara akurat, tapi
bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya sebagai tanggal tepat konsepsi. Hal ini
karena onset ovulasi dalam siklus menstruasi mungkin bervariasi dari satu siklus ke
siklus berikutnya. Penentuan ‘waktu ‘ ini membawa implikasi klinis yang penting. 9
Diagnosis kehamilan postterm ditegakkan apabila kehamilan sudah berlangsung
melebihi 42 minggu (294 hari). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain: HPHT jelas
yang dihitung dengan menggunakan rumus Naegele jika siklus haid teratur, dirasakan
gerak janin pada umur kehamilan 16-18 minggu, terdengar denyut jantung janin (djj)
(normal 10-12 minggu dengan Doppler dan 19-20 minggu dengan fetoskop), umur
kehamilan yang sudah ditetapkan dengan USG, dan pada umur kehamilan kurang atau
sama dengan 20 minggu, tes kehamilan (urine) sudah positif dalam 6 minggu pertama dari
HPHT.1,3,4,8
2.4.1 Menilai umur kehamilan
a. Berdasarkan haid terakhir
Menilai umur kehamilan postterm kadang sulit karena kebanyakan wanita tidak
mengetahui hari pertama haid terakhir (HPHT) dan siklus haid yang tidak teratur.
Umur kehamilan berdasar HPHT dapat dihitung dengan menggunakan rumus
Naegele (tanggal +7 / bulan –3 / tahun +1) jika siklus haid teratur.1,6
b. Denyut jantung janin
Denyut jantung janin mulai terdengar pada umur kehamilan 19-20 minggu
dengan stetoskop Laenec sementara dengan Doppler denyut jantung janin mulai
didengar pada umur kehamil;an 12 minggu.1,10
c. Gerakan janin
Gerakan janin pertama kali dapat dirasakan pada umur kehamilan 18-20 minggu.
Gerakan ini akan bertambah intensitasnya secara bertahap.8
d. Ultrasonografi (USG)
Dengan pemeriksaan USG usia kehamilan dapat ditentukan secara dini. Ukuran
biparietal distance (BPD) dan lingkar abdomen (abdominal perimeter / AP atau
6
abdominal sircumference / AC) janin yang tidak bertambah atau malah mengecil
sangat bernilai untuk mendiagnosa kehamilan postterm. USG menjadi gold
standard untuk menetapkan umur kehamilan terutama jika dilakukan pada
trimester pertama. Sampai umur kehamilan 12 minggu, pengukuran crown-to-
dianggap cukup matang untuk dimulainya induksi persalinan dengan oksitosin.
Keputusan untuk melakukan induksi persalinan pada kasus ini sudah tepat karena
asumsi kesejahteraan janin baik, pelvic score = 5 , serta tidak didapatkan kontraindikasi
induksi oksitosin yaitu : janin diperkirakan bisa lahir pervaginam, tanpa ada kelainan
panggul, kelainan letak dan atau kelainan besar dan ukuran janin, presentasi janin kepala,
tidak merupakan suatu plasenta previa, solutio plasenta dan bekas sectio. Induksi oksitosin
dimulai pada pukul 11.15 WITA. Selama perjalanan induksi dilakukan monitoring dengan
electronic fetal heart rate continnue monitoring (EFHCM). Dalam perjalanannya induksi
oksitosin serial pertama yaitu pada pukul 13.30 mulai menimbulkan HIS adekuat untuk
memicu pembukaan serviks , tapi selama pemantauan monitor EFHCM pada jam 15.40
dijumpai bentuk KTG patologis ( base line di atas normal : 170, adanya variabilitas lebih
dari 25 ) yang menandakan suatu keadaan hipoksia janin. Bila takhikardi disertai gambaran
variabilitas denyut jantung janin yang masih normal biasanya janin masih dalam kondisi
baik. Tetapi pada kasus ini dengan terdapatnya variabel yang lebih dari 25 dpm merupakan
suatu keadaan patologis. Variabel Saltatory : bila variabel amplitudo lebih dari 25 dpm
Saltatory merupakan tanda peningkatan kebutuhan sirkulasi darah janin, misalnya awal
kompresi tali pusat. Disimpulkan kondisi janin dalam keadaan gawat sehingga diambil
langkah sectio cesaria. Dilakukan sectio saesaria dilahirkan bayi laki-laki dengan berat
badan 3700 gram, segera menangis, AS : 7-9, kulit yang kering , keriput dan mengelupas
disertai pewarnaan mekonium pada kulit, kelainan - , anus + , sisa air ketuban tercampur
mekonium, volume kurang, tali pusat layu. Tampak disini tanda-tanda postmatur pada
bayi, adanya pewarnaan mekonium tetapi ternyata A-S baik.
24
Dalam sehari-hari sering dijumpai dalam pemantauan gambaran kardiotokografi
yang menyimpang dari normal, namun saat lahir bayi dalam kondisi baik. Dikatakan dalam
literatur sensitivitas KTG dalam mendeteksi adanya gawat janin hanya sebesar 23 %. Tapi
bila hasil KTG didapat normal kemungkinan memang 70 % janin dalam keadaan baik.
Untuk lebih tepatnya dalam menilai adanya kegawatan janin seharusnya dilakukan
pemeriksaan tambahan Scalp Blood Sampling untuk bisa menilai tingkat keasaman darah
janin, bila didapat pH< 7,2 adalah hipoksia berarti terjadi kegawatan janin sedangkan bila
di atas 7,2 berarti janin dalam keadaan baik. Istilah gawat janin atas dasar gambaran KTG
saja sebenarnya sering menyesatkan. Ketidak pastian terjadi karena pola perubahan denyut
terjadi karena proses fisiologik (akibat reaksi reseptor kimia atau tekanan).
Pengeluaran mekonium pada masa persalinan dapat terjadi secara akut dan kronik.
Suatu keadaan akut adalah suatu tahap kompensasi gawat janin. Kalau saturasi oksigen
pada vena umbilikalis menurun sehingga menyebabkan hipoksia otot polos saluran
gastrointestinal yang mengakibatkan peristaltik dan relaksasi sfingter ani janin. Adapun
suatu keadaan kronik yang dapat terjadi pada kehamilan posterm karena semata-mata
sudah terjadi pematangan fungsi gastrointestinal, janin sudah mulai BAB mengeluarkan
mekonium. Tidak semua kasus postterm dengan pewarnaan mekonium berarti mengalami
hipoksia. Tanda asfiksisa disini tidak bisa dilihat hanya dengan adanya pewarnaan
mekonium. Bisa jadi merupakan suatu proses yang kronik, dan janin tidak mengalami
keadaan hipoksia ataupun sebelumnya sudah terjadi pewarnaan mekonium oleh suatu
proses yang kronik untuk kemudian karena fungsi plasenta menurun , atau adanya belitan
tali pusat karena oligohidramnion menyebabkan keadaan hipoksia akut lalu mewarnai air
ketuban yang sebelumnya sudah hijau oleh proses yang kronik tadi. Hanya ± 30 – 40%
kasus postterm dengan pewarnaan mekonium pada cairan amnion mengalami hipoksia.
Asfiksia janin merupakan serangkaian keadaan yang bervariasi mulai dari yang paling
ringan (berupa episode hipoksemia transien yang tidak disertai asidosis), sampai yang berat
(hipoksemia yang permanen dan disertai asidosis metabolik atau respiratorik). Hipoksia
ialah keadaan jaringan yang kurang oksigen, ,hipoksemia ialah kadar oksigen darah yang
kurang. Asidemia ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat disebabkan akumulasi
asam kemudian berakibat kegagalan multiorgan yang manifestasi pada penilaian A-S
tampak jelas nilainya kecil. Pada kasus ini bisa kemungkinan merupakan suatu episode
hipoksemia transien yang tentunya didapat gambaran KTG patologis tetapi hasil temuan
25
tanda hipoksia janin sewaktu dilahirkan didapat A-S yang bagus. Tapi tidak dapat
dipungkiri bisa ada kemungkinan dikarenakan penilaian A-S yang bersifat subyektif.
Karena itu seharusnya pemeriksaan tambahan pH darah tali pusat diperlukan.
KESIMPULAN
1. Kehamilan posterm terjadi penurunan fungsi plasenta, terjadi gangguan suplai
oksigen dan nutrisi untuk hidup dan tumbuh kembang janin intrauterin, risiko
morbiditas dan mortalitas perinatal lebih tinggi daripada bayi aterm.
2. Diagnosis kehamilan postterm ditegakkan apabila kehamilan sudah berlangsung
melebihi 42 minggu (294 hari).
3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain:
26
a. HPHT jelas yang dihitung dengan menggunakan rumus Naegele jika siklus haid
teratur
b. dirasakan gerak janin pada umur kehamilan 16-18 minggu
c. terdengar denyut jantung janin (djj) (normal 10-12 minggu dengan Doppler dan 19-
20 minggu dengan fetoskop)
d. tes kehamilan (urine) sudah positif dalam 6 minggu pertama dari HPHT.
4. Prinsip penatalaksanaan kehamilan lewat waktu adalah pengakhiran kehamilan. Setelah
diagnosis kehamilan lewat waktu telah ditegakkan selanjutnya penatalaksanaan
tergantung pada penilaian kesejahteraan janin dan pelvic score. Bila kedua penilaian di
atas tepat sehingga penatalaksanaanya rasional. Setiap kesejahteraan janin yang buruk
dilakukan langkah seksio sesaria, bila kesejahteraan janin yang baik atau
mencurigakan dengan serviks yang sudah matang dilakukan terminasi induksi
oksitosin.
5. Pemeriksaan kesejahteraan janin dilakukan dengan NST dan USG. Lebih ideal lagi
dilakukan pemeriksaan biophysical profil. Hasil sensitivitas NST yang rendah (23%)
dapat memberikan positip palsu sehingga semestinya diperlukan pemeriksaaan Scalp
Blood sampling untuk menilai pH darah janin yang dapat memberikan gambaran
asfiksia lebih baik.
6. Penilaian pelvic score didapat dari pemeriksaan dalam meliputi pembukaan portio,
pelunakkan, efficement, arah portio, dan penurunan kepala.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bankowski BJ, Hearne AE, Lambrou NC, et al. Postterm Pregnancy. In: The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2002. p: 118-9.
2. Barton JR. Prolonged Pregnancy. In: Clinical Manual Obstetric 2nd Edition. New York : McGraw Hill Inc. 1993. p: 313-29.
3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm Pregnancy.In: William Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:729-42.
27
4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm Pregnancy. In: William, Manual of Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:418-20.
5. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Phisiological and Biochemical Processes of Parturition. In: William Obstetrics. 21st Edition. New York: The Mc Graw Hill Companies.2001. p:251-87
6. Pedoman Diagnosis – Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien. Lab. / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNUD / RS Sanglah. Denpasar. 2003
7. Priyono. Profil Persalinan Postterm di RS Sanglah periode 1 Januari 2000 – 31 Desember 2002(penelitian deskriptif). Denpasar: Bag./SMF Obgin FK Unud. 2003.
8. Wibowo B, Wiknjosastro GH. Kehamilan Lewat Waktu. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1999. hal:317-20.
9. Odutayo ,Rotimi , Odunsi , Kunle , Post Term Pregnancy. Available from : http://www.Hygeia.com/clindisc/vo2no9.html.Last Updated: 1997. Accessed: October 3th 2006
10. Torriceli,M., Giovanelli, A., Maternal plasma corticotrophin-releasing factor and urocortin levels in post-term pregnancies. Available from :www.pubmed.gov/Eur J Endocrinol/vol3no7html. Last Updated: 2006 Feb. Accessed: October 3th 2006