Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia terus mengalami sebuah proses yang tiada henti menuju perubahan demi perubahan. Paradigma perubahan selalu diawali dan dipandu oleh ilmu pengetahuan yang merupakan ranah kognitif manusia. Bersumber pada ranah perubahan kognitif selanjutnya menuju tahap perubahan nilai (afeksi) dan pada titik tertentu membentuk sebuah skill (performance) pada diri manusia dalam bentuk perilaku sikap sosial dalam kebudayaannya. Maka pergeseran paradigma kognitif dalam hal ini ilmu pengetahuan secara simultan akan melahirkan pergeseran yang signifikan pada ranah-ranah yang lain. Disinilah secara kasat mata pergeseran kehidupan manusia terus mengalami gelombang yang tiada pernah berhenti, laksana gelombang peradaban yang terus bergerak nampak tiada bertepi. Gelombang peradaban yang abadi tersebut dibingkai oleh hasrat manusia yang terus bersemayan dalam diri. Manusia senantiasa merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembangan pengetahuan pada periode-periode sebelumnya. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia terus mengalami sebuah proses yang tiada henti menuju
perubahan demi perubahan. Paradigma perubahan selalu diawali dan dipandu
oleh ilmu pengetahuan yang merupakan ranah kognitif manusia. Bersumber
pada ranah perubahan kognitif selanjutnya menuju tahap perubahan nilai
(afeksi) dan pada titik tertentu membentuk sebuah skill (performance) pada
diri manusia dalam bentuk perilaku sikap sosial dalam kebudayaannya. Maka
pergeseran paradigma kognitif dalam hal ini ilmu pengetahuan secara
simultan akan melahirkan pergeseran yang signifikan pada ranah-ranah yang
lain. Disinilah secara kasat mata pergeseran kehidupan manusia terus
mengalami gelombang yang tiada pernah berhenti, laksana gelombang
peradaban yang terus bergerak nampak tiada bertepi.
Gelombang peradaban yang abadi tersebut dibingkai oleh hasrat
manusia yang terus bersemayan dalam diri. Manusia senantiasa merasa tidak
puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembangan pengetahuan pada
periode-periode sebelumnya.
Kerangka pikir atas pergeseran pengetahuan manusia mengacu pada
sebuah frame besar yakni masa kuno/klasik, masa pertengahan, masa modern
dan postmodern. Secara siginifikan masa klasik dan pertengahan di barat,
wacana pikir dan rasionalisme manusia belum mendapatkan porsi yang
signifikan. Pada masa modern, rasio manusia seolah-olah sebuah kendaraan
yang sangat dahsyat mengantarkan manusia pada sebuah kehidupan yang
seolah-olah nyaman dan penuh kemapanan. Dengan perkembangan teknologi
yang terstruktur sedemikian rupa, modernisme dicirikan dengan gerakan
rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme telah menggiring manusia
pada sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream pemikiran
modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas.
1
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
Setelah berjalan sekian dekade, kemapanan dan kenyamanan paham
modernisme mendapat kritik dan pergeseran paradigma. Pergeseran
pemikiran modernisme itu mendapat kritik yang cukup signifikan yang
merupakan mainstream gerakan postmodernisme dengan segala lingkup dan
permasalahannya. Postmodernisme identik dengan 2 hal : 1) Dinilai sebagai
keadaan sejarah setelah zaman modern; 2) Dipandang sebagai gerakan
intelektual yang menggugat pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam
bingkai paradigma pemikiran modern.
Berdasar pada latar belakang inilah, penulis membuat makalah dengan
judul “Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya
Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam”.
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada latar bekalang diatas, maka penulis menyusun beberapa
topik pembahasan sebagai berikut:
1. Apakah Pengertian Postmodernisme?
2. Bagaimanakah Sejarah Postmodernisme Barat?
3. Siapakah Tokoh-tokoh Postmodernisme?
4. Bagaimanakah Sejarah Postmodernisme Islam (Neo-Modernisme Islam)?
5. Bagaimanakah Neo-Modernisme Islam di Indonesia?
6. Apakah Pengertian Postradisionalisme?
7. Bagaimanakah Sejarah Postradisionalisme Islam?
8. Apakah Persamaan dan Perbedaan Postmodernisme dengan
Postradisionalisme?
9. Bagaimanakah Pengaruh Postmodernisme dan Postradisionalisme Dalam
Pendidikan?
10. Bagaimanakah Pengaruh Postmodernisme dan Postradisionalisme
Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam?
2
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
C. Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah bertujuan :
1. Untuk Mendeskripsikan Pengertian Postmodernisme.
2. Untuk Mendeskripsikan Sejarah Postmodernisme Barat.
3. Untuk mendeskripsikan Tokoh-tokoh Postmodernisme.
4. Untuk Mendeskripsikan Sejarah Postmodernisme Islam (Neo-
Modernisme Islam.
5. Untuk Mendeskripsikan Neo-Modernisme Islam di Indonesia.
6. Untuk Mendeskripsikan Pengertian Postradisionalisme.
7. Untuk Mendeskripsikan Sejarah Postradisionalisme Islam.
8. Untuk Mendeskripsikan Persamaan dan Perbedaan Postmodernisme
dengan Postradisionalisme.
9. Untuk Mendeskripsikan Pengaruh Postmodernisme dan
Postradisionalisme Dalam Pendidikan.
10. Untuk Mendeskripsikan Pengaruh Postmodernisme dan
Postradisionalisme Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam.
3
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Postmodernisme
Secara etimologis postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan
modern. Kata post dalam Webste’s Dictionary Library adalah prefik,
diartikan dengan “later or after”. Bila kita menyatukannya menjadi post
modern maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri
dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab di
zaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.
Sedangkan secara terminologi menurut tokoh dari postmodernisme,
Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan postmodern secara gamblang dalam
istilah yang berlawanan antara lain: pertama, postmodernisme merupakan
kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya.
Juga postmodernisme cenderung mengkritik segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan modernitas. Yaitu pada akumulasi pengalaman
peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi,
negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan
prioritas-prioritas modern seperta karier, jabatan, tanggung jawab personal,
objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan
rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodernisme cenderung menolak apa yang
biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas,
dan sebagainya.
Menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki
dua arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang
dipandang kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-modernisme
dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap
yang lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak
jarang menjurus ke arah sekularisme.
4
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
Postmodernisme disebut sebagai sebuah gerakan pencerahan atas
pencerahan, oleh karena postmodernisme sangat gigih dalam melakukan
kritikan dan gugatan terhadap modernisme yang sangat mendewakan
rasio dalam ilmu pengetahuan yang diyakini akan membawa dan
mengarahkan manusia memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dalam
kehidupannya. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni manusia bukan
lagi sebagai subjek dan pelaku untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, akan tetapi jatuh terperangkap ke dalam objek dan sasaran yang
dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Amat tragis
dan ironis manusia modernis, Postmodernisme selaku sebuah fase sejarah
ingin secara tuntas mengantisipasi dan membebaskan manusia dari
segala bentuk cengkeraman zaman yang tak menyenangkan, inklusif,
perbudakan terhadap rasionalitas, bendawi dan lain-lain1.
Jika dalam visi modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai
sumber utama ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran
universal, maka dalam visi postmodernisme hal itu justru dipandang sebagai
alat dominasi, sehingga postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya
modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik
tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa
yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’.
Meskipun postmodernisme sendiri juga berusaha menggiring manusia ke
dalam sebuah paradoks, yaitu di satu pihak telah membuka cakrawala dunia
yang serba plural yang kaya warna, kaya nuansa, kaya citra, tetapi di lain
pihak, ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan–akan tanpa
terkendali2.
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan
(realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak
bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam
1 Norris, Christopher Membongkar teori dekonstruksi Jaques Derrida, Terjemahan. Inyiak Ridwan Muzir. (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003), hlm. 344
2 Pilliang, Amir Yasraf, Posrealitas: Realitas kebudayaan dalam era posmetafisika. (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hlm. 358
5
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada
dengan definisi yang dikenal sebagai nabi dari postmedernisme. Dia adalah
suara pionir yang menentang rasionalitas, moralitas tradisional, objektivitas,
dan pemikiran-pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche berkata, “Ada
banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu
ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran”3.
B. Sejarah Postmodernisme Barat
Pencetus pemikiran postmodernist, pertama kali adalah Arnold
Toynbee pada tahun 1939. sedangkan Charles Jencks4, menegaskan juga
bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol
Frederico de Onis. Dalam tulisannya Antologia de la poesia espanola e
hispanoamericana (1934), Yang memperkenalkan istilah postmodernisme
untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme5. Toynbee dianggap
sebagai pencetus istilah tersebut dibuktikan dengan bukunya yang terkenal
berjudul Study of History. Pada tahun 1960, istilah postmodernisme berhasil
menembus benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada
pemikiran tersebut. Semisal J. Francois Lyotard, adalah satu contoh pribadi
yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya
yang berjudul “The Post-Modern Condition” sebagai kritikan atas karya “The
Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa
Modernitas6. Berdasar konseptualisasi ini, maka sekarang “kita” berada
dalam zaman postmodern. Suatu zaman, di mana pra-modern dan modern
telah dilewati.
Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-
ide zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio,
3 Pauline Marie Roesnou, Post-modernism and the social science: Insights inroads, and intrusions. (Priceton: Rinceton University Press, 1992), h. 31
4 Untuk memahami konsep utuh narasi Charles Jencks, tersimpul dalam karyanya The Language of Post-Modern Architecture, 4th ed. (London: Academy Editions, 1984) ..
5 Joko Siswanto, Sistem- system Metafisika Barat,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 159
6 Seyla Benhabib, Epistemologies of Postmodernism:A Rejoinder to Jean - Francois Lyotard, (Autum:Telos press, JSTOR,1984), hlm.111
6
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
objektivitas, totalitas, strukturalisasi/sistematisasi7, universalisasi tunggal dan
kemajuan sains. Postmodern memiliki ide cita-cita, ingin meningkatkan
kondisi sosial, budaya dan kesadaran akan semua realitas serta
perkembangan dalam berbagai bidang. Postmodern mengkritik modernisme
yang dianggap telah menyebabkan sentralisasi dan universalisasi ide di
berbagai bidang ilmu dan teknologi, dengan pengaruhnya yang mencengkram
kokoh dalam bentuknya globalisasi dunia.
Prinsip postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan
pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan
dan kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan peripheral dan
segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial
dan filsafat konvensional8. Jadi postmodern secara umum adalah proses
dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang.9 Postmodernisme
merupakan intensifikasi (perluasan konsep) yang dinamis, yang merupakan
upaya terus menerus untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi
kehidupan, yang menentang dan tidak percaya pada segala bentuk narasi
besar (meta naratif), dan penolakannya terhadap filsafat metafisis, filsafat
sejarah, dan segala bentuk pemikiran totalitas, dan lain-lain. Postmodernisme
dalam bidang filsafat diartikan juga segala bentuk refleksi kritis atas
paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya dan berusaha untuk
menemukan bentuknya yang kontemporer.10
Postmodernisme jika diperhadapkan dengan modernisme, memiliki
posisi yang beragam. Disatu sisi modernisme dianggap tidak berhasil
mengangkat martabat manusia modern. Bahkan mengantarkan manusia ke
jurang ketimpangan. Atas dasar kritik ini, maka perlu gerakan dan ide-ide
baru yang disebut dengan postmodernisme. Sedang sebagian lagi
7 Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri;sintesa filosofis makhluk paradoks, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 271
harapan pembaca cakrawala pembaca, citra yang timbul sebagai akibat
proses pembacaan terdahulu. Jadi nilai sebuah karya aspek-aspek estetis
yang ditmbulkannya bergantung dari hubungan antara unsur-unsur karya
dengan horison harapan pembaca. Menurut Jauss, sejarah sastra bukan
semata-mata rangkaian peristiwa sastra. Sejarah sastra adalah rangkaian
resepsi pembaca dimana peneliti berada pada rangkaian mata rantai
terakhir. Horison harapan mengubah penerimaan pasif menjadi aktif dari
norma-norma estetik yang telah dimiliki menjadi produksi estetika baru,
estetika sebagai pesan.
12
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
D. Sejarah Postmodernisme Islam (Neo-Modernisme Islam)
Gelombang pembaharuan dalam tubuh Islam merupakan bagian dari
jawaban "kemandulan" dunia Islam. Agama yang lahir dari wahyu ditengarai
belum mampu untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Karena ada
kecenderungan bahwa agama ini hanya menginduk pada teks-teks normatif.
Hingga pada tengah-tengah arus pembaharuan, Islam dikesankan masih tetap
berjalan di tempat.
Dalam konteks Modernisme, banyak ahli mulai memperdebatkan efek
negatif yang dibawa modernitas dalam keseluruhan segi, baik dalam struktur
sosial budaya maupun struktur keilmuan. Dari situlah muncul istilah sejenis,
yaitu neo-modernisme, yakni suatu paham yang berusaha mendekonstruksi
pemahaman yang sudah mapan sebelumnya. Neo-modernisme juga diartikan
sebagai mazhab pemikiran yang berusaha memadukan antara otentitas teks
dengan realitas sosial yang dinamis.12
Dengan demikian, secara sederhana neo-modernisme dapat diartikan
dengan "paham modernisme baru". Neo-modernisme dipergunakan untuk
memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul
sejak beberapa dekade terakhir yang merupakan sintesis, setidaknya upaya
sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme.
Neo-modernisme pada dasarnya memiliki kemiripan arti dengan term
Postmodernisme. Hanya saja, yang kedua lebih sering disinggung karena
menjadi istilah pokok dalam studi filsafat kontemporer. Namun satu hal yang
pasti, keduanya lahir pada priode pascamodernisme.
Neo-modernisme sebagaimana sejarah postmodernisme Barat muncul
sebagai kritik atas “kegagalan” manusia modern dalam menciptakan situasi
sosial yang lebih baik, kondusif dan berkeadilan. Keadaan tersebut
melahirkan sejumlah kegelisahan (epistemik) berkaitan dengan problem
pengetahuan dasar manusia mengenai modernisme yang diklaim mengusung
kemajuan, rasionalitas, dan leberalisasi. Rasio manusi oleh mayarakat modern
12 Definisi yang terakhir tersebut diungkapkan oleh Prof. Dr. Qadry. A. Azizy dalam kata pengantar buku Era Baru Fiqih Indonesia. Lihat Sumanto Al-Qurtuby, KH. MA. Sahal Mahfudh: Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin, 1999.
13
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
diyakini sebagai suatu kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisis dan
transindental. Lebih dari itu juga diyakini mengatasi semua pengalaman yang
bersifat partikular dan khusus dan ironisnya dianggap menghasilkan
kebenaran mutlak, universal dan tidak terikat waktu.
Sebagaimana postmodernisme, neo-modernisme menolak asumsi-
asumsi mutlak di atas dan berusaha membebaskan diri dari dominasi konsep
dan praktek ilmu, filsafat dan kebudayaan modern. Jika dalam visi
modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai sumber utama ilmu
pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal, maka dalam
visi neo-modernisme hal tersebut justru dipandang sebagai alat dominasi
terselubung yang kemudian tampil dalam bentuk imprealisme dan hegemoni
kapitalistik. Sebuah warna yang paling dominan dalam masyarakat modern
Secara historis, gerakan neo-modernisme lahir pada pertengahan abad
XX yang dipelopori oleh Fazlur Rahman. Fazlur Rahman mengkritik tiga
gerakan sebelumnya, yaitu revivalisme pra-modernis, modernisme klasik, dan
neo-revivalisme. Ketiga gerakan ini tidak mempunyai metode khusus dalam
menangani masalah-masalah yang berkembang dalam dunia Islam. Oleh
karena itu, Fazlur Rahman merumuskan metodenya yang terdiri dari tiga
langkah, yaitu:
1. Pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Qur’an.
2. Perbedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur’an.
3. Pemahaman dan penetapan sasaran al-Qur’an dengan sepenuhnya
memperhatikan latar belakang sosiologisnya.13
Fazlur Rahman dengan pemikiran neo-modernismenya telah
merumuskan suatu teori hukum yang disebut sebagai “the double movement
theory”, yakni dari yang khusus (partikular) ke yang umum (general) dan
yang sebaliknya. Gerakan pertama, memahami situasi dan problem historis
di mana wahyu diturunkan, kemudian dicarikan rasio-logisnya (‘illah).
Gerakan kedua, menggeneralisasikan dan mensistemasikan prinsip-prinsip
umum dari gerakan pertama untuk kemudian dihadapkan pada realitas aktual 13 Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam: Studi Tentang Kontribusi Gagasan
Iqbal Dalam Pembaruan Hukum Islam (Jakarta: Kalam Mulia,1994), hlm.42
14
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
dewasa ini.14 Gagasan neo-modernisme ini berbasiskan sintesis progresif
antara rasionalitas modern dan penguasaan khazanah klasik sebagai prasyarat
kebangkitan Islam.15
Neo-modernisme menawarkan bentuk pembaharuan dalam tubuh
Islam yang masih tetap memegang teguh tradisi atau ajaran-ajaran pokok
agama Islam. Substansi neo-modernisme yaitu menjawab tantangan
modernisme Barat dan tidak mau mengekor budaya westernisasi. Akan tetapi
Fazlur Rahman juga mampu menunjukkan identitas ke-Islaman. Walaupun
demikian, neo-modernisme juga masih mengakomodasi pemikiran Barat
dengan proses filterisasi. Dengan demikian, neo-modernisme bisa diartikan
dengan dua hal: Pertama, sebagai gerakan intelektual yang mendialogkan
antara tradisi dan modernisasi. Kedua, sebagai fase atau masa pembaharuan
setelah tidak puas dengan hedonisme dalam era modern yang sudah menjauh
dari tradisi dan pandangan ketuhanan.
Neo-modernisme merupakan gerakan kritis yang hendak melawan
kecenderungan neo-revivalis, juga menutup kekurangan modernisme klasik.
Bagi Rahman, meskipun modernisme klasik telah benar dalam semangatnya
namun ia memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, ia tidak menguraikan
secara tuntas metode pembaruannya. Kedua, karena problem yang ditangani
adalah masalah-masalah ad hoc yang ada di Barat maka ada kesan kuat
mereka itu telah terbaratkan. Neo-modernisme mempunyai karakter utama
pengembangan suatu metodologi sistematis yang melakukan rekonstruksi
Islam secara total dan tuntas serta setia pada akar spritualnya dan dapat
menjawab kebutuhan-kebutuhan Islam modern secara cerdas dan bertanggung
jawab.
Fazlur Rahman mencoba untuk mendialogkan antara "sesuatu yang
lama" dengan "sesuatu yang baru". Proses mendialogkan itu bukanlah hal
yang mudah. Langkah tersebut banyak memakan waktu dan kejelian dalam
menganalisis perkembangan yang terjadi. Dr. Hilmy Bakar Al-Mascaty,
14Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : The University of Chicago Press, 1982), hlm. 48-5215Yudhie R. Haryono, Gagalnya Mazhab Islam Liberal, Republika, 21 Maret 2001
15
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
seorang intelektual asal Mataram Nusa Tenggara Barat memberikan
gambaran mengenai hal ini:
Neomodernisme yang coba dikenal dan dikembangkan Fazlur Rahman kepada dunia Islam pada hakikatnya bertujuan untuk menjembatani dua elemen penting yang akan menjadi tonggak peradaban, yaitu tradisi dan modernisasi yang selama ini senantiasa dipertentangkan dengan tajamnya oleh cendekiawan muslim. Ia mengajak untuk senantiasa menganalisa dengan kritis semua tradisi dan warisan pemikiran Islam terdahulu yang telah dibangun para cendekiawan muslim terdahulu dan sikap ini juga harus diterapkan ketika mengadopsi peradaban Barat modern yang hakikatnya berjiwa sekuler. Karena sikap terlalu mempertahankan tradisi akan menjadikan ummah sebagai kaum tradisionalis yang ketinggalan zaman, sementara sikap menerima apa adanya peradaban Barat sekuler akan mengakibatkan ummah tercabut dari akar tradisi keislamannya. Untuk itulah perlu dikembangkan metode intelektual yang akan mempertautkan dialektis tradisi dan modernisasi.16
Tonggak peradaban yang dibangun memiliki niatan yang sangat
positif. Sebagai agama yang mengharuskan kepedulian sosial, Islam
mengajarkan pemberdayaan manusia dengan jalur penghormatan terhadap
nilai kemanusiaan. Sejak awal, Islam lahir mempunyai concern terhadap
fenomena ini. Sebelumnya, hampir saja manusia hanya sebagai simbol
kehidupan, dimana nyawa tidak ada harganya. Apalagi nyawa kaum
perempuan. Kehidupan di masa jahiliyyah, memperlakukan sikap inferioritas
terhadap kaum hawa. Karena mereka dianggap tidak punya "kekuatan" untuk
membentuk citra baik keluarga. Ketika melihat seorang istri melahirkan bayi
perempuan, maka langsung dikubur hidup-hidupan.
Melihat realitas semacam ini, ada satu usaha untuk mengubah Islam
yang "ganas" menjadi Islam pembebas (baca: ramah). Maksudnya agama
yang melindungi hak-hak kemanusiaan yang tidak lebih dari keganasan
binatang buas. Oleh sebab itu, dalam memandang agama Islam, Fazlur
Rahman membaginya menjadi: Islam normatif dan Islam historis. Islam
normatif adalah ajaran Islam yang merupakan doktrin-doktrin yang
berdasarkan pada al-Qur'an dan al-Sunnah yang sifatnya mutlak dan abadi.
16 Dr. Hilmy Bakar Al-Mascaty, Membangun Kembali Sistem Pendidikan Kaum Muslimin, (Jakarta: Yayasan Az-Zahra, 2000), hlm. 89.
16
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
Sementara Islam historis adalah ajaran Islam yang difahami dan dipraktekkan
oleh umat yang kemudian melahirkan peradaban Islam sepanjang sejarah
Islam yang bersifat relatif dan kondisional.
Oleh karenanya, penganut agama Islam harus tetap berpegang teguh
kepada ajaran Islam normatif, sedangkan ajaran Islam historis yang tidak
terlepas dari faktor dinamika sejarah perkembangan umat, baik maju dan
mundurnya, harus dianalisa kembali dan boleh saja diterapkan bila sesuai
dengan kondisi umat. Selain itu pula, sejarah Islam dapat saja ditinggakan
bila bertentangan, karena hal ini lebih merupakan hasil ijtihad para ulama dan
cendekiawan terdahulu yang tidak terlepas dari kondisi historisnya.
E. Neo-Modernisme Islam di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, munculnya neo-modernisme mulai terlihat
pada tahun 1970-an yang dimotori oleh generasi muda terpelajar. Umumnya
mereka yang berpendidikan modern, namun yang pasti mereka adalah
generasi yang sudah matang pemikirannya dan dibesarkan oleh berbagai
pengalaman. Gerakan Neo-modernisme memperoleh ketenaran secara
mengesankan setelah keluarnya statemen Nurcholish Madjid dalam seminar
tunggal pada bulan Januari l970 yang pada waktu itu menggunakan terma
desakralisasi dan sekularisasi.
Ahmad syafi’I maarif (1994; 138) dia menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan neo-modernisme islam adalah tidak lain dari modenisme
islam plus metodologi yang mantab dan benar untuk memahami Al-Qur’an
dan Assunnah Nabi dalam prespektif sosio-historis.
Fachry ali dan bahtiar effendi (1992; 175) memahami neo-
modernisme dalam konteks keindonsiaan. Menurut mereka istilah itu
mengacu pada pola pemikiran yang berusaha menyatukan dua kekuatan
besar, yaitu modernism ala muhammadiyah dan tradisionalsime ala nahdatul
ulama, sehingga menjadi produk baru yang berlainan dengan dua pola
pemikiran sebelumnya. Sebab neo-modernisme islam bersedia
17
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
mengakomodasikan ide-ide modernis yang paling maju dan yang paling
tradisional sekaligus.
Gerakan neo-modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam
harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau
mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang
memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti
menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan
postulat (dalil) al-muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid
alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru
yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo-modernisme cenderung
meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional.
Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisi-
kondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap
Islam itu sendiri.17
Pendukung Neo-modernisme berasal dari kalangan yang menghendaki
ditampilkannya Islam secara kultural dan berwajah demokratis. Mengingat
wacana yang diangkat relatif baru maka mengakibatkan tergusurnya pola-
pola pemikiran Islam lama yang masih bertahan pada tema-tema klasik.
Namun dampak positifnya adalah munculnya pembaruan yang ditandai
dengan mulai berkurangnya ketegangan dan konflik aliran antar masing-
masing kelompok keagamaan. Indikasinya adalah pudarnya dikotomi-
antagonistik antara tradisionalisme dan modernisme.
Pemikiran neo-modernisme Islam di Indonesia dapat ditipologikan
menjadi tiga yang masing-masing memiliki karakter tersendiri, antara lain:
1. Islam rasional yang berorientasi pada penemuan pengetahuan yang
mendasar mengenai ilmu ke-Islaman rasional, untuk mendapatkan
keyakinan yang rasional dan tingkah laku yang dapat
dipertanggungjawabkan secara epistemologis.
2. Islam peradaban yang beraksentuasi pada kepentingan praktis untuk
mendapatkan makna dari perwujudan konkrit Alqur’an. Karena itu, di 17Nurcholis Madjid, Islam : Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987),
hlm. 198
18
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
samping analisis hermaneutis dalam mengintrpretasi Alqur’an,
merekapun memberi perhatian besar pada Islam kaum salaf.
3. Islam transformatif yang berpijak pada kata kunci “emansipatoris”.
Mainstream yang selalu menjadi dasar dalam menafsirka Alqur’an adalah
visi transformasi. Mereka yakin bahwa ada proses yang bersifat empiris
dan struktural yang telah menyebabkan suatu penindasan. Misi pokok
yang diemban adalah upaya membebaskan masyarakat muslim dari
kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan.
Berdasarkan paparan di atas, secara garis besar, neo-modernisme
Islam Indonesia memiliki babarapa karakter yaitu pemikiran yang menggali
kekuatan normatif agama, mampu mengapresiasi secara kritis warisan
khazanah intelektual Islam klasik, responsif terhadap masalah-masalah aktual
dan memiliki basis pada ilmu-ilmu sosial profetik.
Dengan karakter seperti di atas, neo-modernisme di indonesi cukup
prospektif. Alasannya, karena tema-tema dan inklusivisme secara signifikan
akan menandai perkembangan masyarakat mendatang. Ideologi keagamaan
Neo-modernisme menemukan landasan yang kuat pada pemikiran klasik
Islam yang dipadukan dengan analisis-analisis tentang perkembangan sosio-
kultural masyarakat, dan bahkan kritisisme yang tajam terhadap westernisme
yang ada.
F. Pengertian Postradisionalisme
Secara etimologis postradisionalisme terbagi menjadi dua kata, post
dan tradisional. Kata post dalam Webste’s Dictionary Library adalah prefik,
diartikan dengan “later or after”. Bila kita menyatukannya menjadi post
tradisonal maka akan berarti sebagai koreksi terhadap tradisional itu sendiri
dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab di
zaman sebelum modern.
Tradisi dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai dua arti
yaitu adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan masyarakat dan
19
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang
paling baik dan benar.
Sedangkan penjelasan Muhammad Abed Al-Jabiri tentang tradisi
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) tradisi maknawi (al-turats al-maknawi),
yang berupa tradisi pemikiran dan budaya, 2) tradisi material (al-turats al-
ma’adi), seperti monumen dan benda-benda masa lalu, 3) tradisi kebudayaan,
yaitu segala sesuatu yang kita miliki dari masa lalu kita, 4) tradisi
kemanusiaan universal, yakni segala sesuatu yang hadir di tengah kita, namun
berasal dari masa lalu orang lain.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata tradisional diartikan
sebagai sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu berpegang teguh pada
norma dan adat kebiasaan secara turun temurun.
Jika tradisional dapat diartikan sebagai sikap, cara berpikir, dan
bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan secara
turun temurun, maka tradisionalisme dapat diartikan dengan paham atau
ajaran yang didadasarkan atas tradisi. Jika kita kaitkan dengan Islam, maka
tradisionalisme Islam dapat diartikan sebagai praktik-praktik keagamaan
maupun pemikiran dalam Islam yang dilakukan masyarakat secara turun
temurun. Sedangkan postradisionalisme secara etimologi bisa diartikan pasca
tradisionalisme. Meskipun kata post disini bisa diartikan dengan melampaui,
melewati dan bahkan meninggalkan tradisi, tetapi yang menjadi inti dari post
tradisionalisme disini adalah mentransformasikan dan merevitalisasi terhadap
tradisi, bukan untuk meninggalkan tradisi. Maka demikian, dalam diri
postradisionalisme terkandung nilai-nilai kontinuitas dan perubahan.
G. Sejarah Postradisionalisme Islam
Postradisionalisme Islam tidak memiliki basis epistemologi. Istilah ini
muncul untuk menamai suatu gerakan yang memiliki ciri-ciri khusus, yang
secara kategorial tidak bisa disebut Modernis, Neo-Modernis, dan tidak bisa
pula dikatakan tradisionalis atau Neo-Tradisionalis. Istilah ini memang masih
debatable, belum memiliki gambaran epistemologis yang jelas. Akan tetapi
20
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
secara simplistik, gerakan Postradisionalisme dapat dipahami sebagai suatu
gerakan “lompatan tradisi”. Gerakan ini, sebagaimana Neo-Tradisionalisme,
berangkat dari suatu tradisi yang secara terus-menerus berusaha
memperbaharui tradisis tersebut dengan cara mendialogkan dengan
modernitas. Karena intensifnya dialog dengan kenyataan modernitas, maka
terjadilah loncatan tradisi dalam kerangka pembentukan tradis baru yang
sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya. Di satu sisi memang terdapat
kontinuitas, tetapi dalam banyak bidang terdapat diskontinuitas dari bangunan
tradisi lamanya. Umumnya, bersamaan dengan pengembangan pemikiran
Post-Tradisionalisme terjadi juga nuansa “liberasi pemikiran”.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa gerakan intelektual
postradisionalisme Islam berangkat dari kesadaran untuk melakukan
revitalisasi tradisi, yaitu sebuah upaya untuk menjadikan tradisi (turath)
sebagai basis untuk melakukan transformasi. Dari sinilah komunitas post-
tradisionalisme Islam bertemu dengan pemikir Arab modern seperti
Muhammad Abed al-Jabiri dan Hassan Hanafi yang mempunyai apresiasi
tinggi atas tradisi sebagai basis transformasi.
Komunitas postradisionalisme Islam mencoba untuk melihat
tradisi secara kritis, historis, dan objektif. Dalam konteks demikian, wacana
postradisionalisme Islam sangat dipengaruhi oleh semangat perkembangan
pemikiran Arab modern yang diadopsi sebagai optik untuk membaca
tradisi dan pemikiran Islam.
Dengan menggunakan optik tradisi sebagaimana telah diuraikan, maka
problem postradisionalisme Islam sebenarnya adalah bagaimana
melakukan pembaharuan pemikiran keagamaan yang harus mengkritisi
tradisi di satu pihak, namun pada pihak lain memiliki kebutuhan untuk
“tergantung” pada tradisi sebagai basis transformasi.
21
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
H. Persamaan dan Perbedaan Postmodernisme dan Postradisionalisme
Fenomena postmodern mencakup banyak dimensi dari masyakat
kontemporer. Postmodern adalah suasana intelektual yang bersifat Ide atau
”isme” postmodernisme. Para ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek
apa saja yang termasuk dalam postmodernisme. Tetapi mereka telah
mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya
sebuah cara pandang universalisme ilmu pengetahuan modern. Postmodem
menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten yang merupakan
bagian identitas dasar yang membuat kokoh dan tegaknya modernisme. Kaum
postmodernis mengkritik dan menggantikan semua itu dengan sikap
menghargai kepada perbedaan dan penghormatan kepada yang khusus
(partikular dan lokal). Lalu membuang yang universal. Postmodernisme
menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains. Metode
ilmiah ini merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan
dunia yang seolah-olah lebih baik pada masa-masa awal masa pencerahan.
Metode ilmiah telah mengantarkan modernisme dalam bentuk praktisnya
berbagai teknologi.
Ilmu pengetahuan telah memaksa kita memahami kemodernan bukan
lagi sebagai pembebasan. Modernitas atas kuasa ilmu pengetahuan ternyata
sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillance),
lewat "penormalan", regulasi dan disiplin untuk masing-masing posisi.
Untuk itulah kehidupan dunia harus diselamatkan dari proses
kolonialisasi ilmu pengetahuan. Postmodernisme dengan gerakan
postkolonialismenya menggempur habis-habisan jerat kuasa pengetahun yang
bersembunyi atas nama bendera modernisme. Disinilah bisa kita temukan
watak menonjol dari era postmodernisme mengandung kecenderungan
diantaranya; mengangkat konsep pluralisme, Mengacu nilai yang bersifat A
Historis, penekanan pada konsepsi empiris dalam arti konsep fenomenologi
dialektis, dan Penekanan pada nilai individualitas diri manusia sebagai sang
otonom sehingga postmodernisme menolak nilai-nilai absolutisme,
22
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
universalitas, dan homogenitas.18 Watak utama postmodernisme tersimpul
dalam konsep kritik ideologi besar atas ilmu pengetahuan yang disebut
dengan dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida. Konsep dekonstruksi
Derrida ini merupakan penyempurnaan dari ide destruksi yang dipelopori
oleh Heidegger. Meski diantara derrida ada sejumlah persamaan dan
perbedaannya dalam memandang realitas sebagai sebuah inspirasi pemikiran
manusia.
Sementara Postradisionalisme berangkat dari kesadaran untuk
melakukan revitalisasi tradisi, yaitu sebuah upaya untuk menjadikan
tradisi (turath) sebagai basis untuk melakukan transformasi dan mencoba
untuk melihat tradisi secara kritis, historis, dan objektif. Dalam konteks
demikian, wacana postradisionalisme Islam sangat dipengaruhi oleh
semangat perkembangan pemikiran Arab modern yang diadopsi sebagai
optik untuk membaca tradisi dan pemikiran Islam.
I. Pengaruh Postmodernisme dan Postradisionalisme Dalam Pendidikan
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme, maka dapat dilacak
dimana letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma pendidikan.
Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses
transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah
(pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai
‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan
masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada
guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit,
yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat,
entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar
sekolah19. Proses pendidikan akan memperoleh keuntungan dari upaya
membebaskan masyarakat yang cenderung mendewakan sekolah, dengan 18 Joko Siswanto, Sistem- system Metafisika Barat,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998),
hlm. 160-16219 Illich Ivan,. Bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah. Terjemahan, Sonny Keraf.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm.33-34
23
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
demikian kegiatan sekolah tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan terhadap
upaya pencerahan budi.
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta
deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-
kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas
membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis
dan dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai)
serta transfer of knowledge (transformasi pengetahuan). Peran guru, bahkan
juga institusi sekolah seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnya
sebagai pembelenggu kreativitas anak didik, anak didik disekolah sering
diperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong yang siap diisi tanpa
boleh dibantah, pendidikan seperti ini yang dikritik oleh Freire sebagai model
pendidikan “gaya bank” (banking system)20. Sementara pola Sistem Kredit
Semester (SKS) bahkan juga ujian akhir nasional (UAN) sebagai ukuran
terakhir kemampuan anak didik adalah representasi bagi ‘penindasan’ yang
dilakukan institusi-institusi tersebut terhadap pengembangan kreativitas anak
didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat, meminimilisasikan
kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’ berdasarkan
kemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan beban-beban
yang cukup membelenggu.
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat
pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang
tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat
modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang
dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran
kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa
masyarakat modern.
20 Paulo Freire, politik pendidikan: kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan, Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 28
24
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan
jawaban atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern,
sehingga proses pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau
nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal
sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk
memanusiakan manusia21. Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian
tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif
antara nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan
berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik
mendasar postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkan
berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme,
deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah
tatanan, relativisme, dan sebagainya22.
Sedangkan postradisionalisme memberikan gambaran bahwa
pendidikan sebagai media revitalisasi tradisi secara kritis, historis dan
obyektif sebagai basis transformasi.
J. Pengaruh Postmodernisme dan Postradisionalisme Terhadap Model
Pengembangan Pendidikan Islam
Islam dengan segala jenis perangkatnya tidak berhenti pada satu titik.
Tapi ia berkembang di semua sektor, mulai dari ideologi, sosial, ekonomi,
politik dan lain sebagainya. Ini menandakan bahwa Islam tidak lari dari
tanggung jawab kemanusiaan. Termasuk di dalamnya adalah tanggung jawab
pemberdayaan intelektualitas lewat jalur pendidikan. Oleh karenanya, Islam
disebut sebagai agama ide. Artinya ide tentang masyarakat beradab dan
masyarakat kesantunan rasional (salam: kepatuhan pada hukum dan
penegakan damai serta penyelamatan kemanusiaan).23
21 Mulyasa, E.. Kurikulum berbasis kompetensi konsep, karakteristik, dan implementasi. (Bandung: Rosdakarya, 2003) hlm. 7
22 Santoso, Listiyono, “Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern, dalam Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003) hlm. 331
23 Airlangga Pribadi dan Yudhie R. Hartono, Post Islam Liberal: Membangun
25
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
Pendidikan dikatakan sebagai sektor terpenting dalam kehidupan
Islam. Karena, Islam sangat membutuhkan aktualisasi kembali terhadap
keilmuannya. Reaktualisasi tradisi keilmuan Islam berarti menghidupkan
kembali tradisi keilmuan.24 Dengan mengaktualisasikannya, berati selama ini
ia tidak aktual sesuai real yang dicanangkan dalam konteks pembaharuan.
Wajar sekali apabila Fazlur Rahman menyatakan konsep pembaharuannya:
Pembaharuan Islam yang bagaimanapun yang mau dilakukan sekarang ini, mestilah dimulai dengan pendidikan. Walaupun suatu orientasi yang islamis mesti diciptakan pada tingkat pendidikan primer, tapi pada tingkat tinggilah Islam dan intelektualisme modern harus diintegrasikan untuk melahirkan suatu waltanschauung Islam yang asli dan modern.25
Pernyataan tersebut menandakan bahwa selama proses pembaharuan
dijalankan, maka hal yang paling diprioritaskan adalah pendidikan.
Pendidikan memang sangat ampuh sebagai terapi dari segala macam penyakit
sosial. Hancurnya ekonomi, instabilitas politik, dan retaknya budaya hanya
dapat ditanggulangi dan disembuhkan dengan pendidikan. Maka posisi
pendidikan tidak cocok kalau dikekang. Sehingga Henry A. Giroux
menyebutkan konsep pendidikan secara filosofisnya Paulo Freire mempunyai
visi liberated humanity.26 Pengembangan visi kemanusiaan ini akan
mencerminkan bahwa pendidikan sangat luas geraknya. Namun gerakan
kebebasan dalam Islam sendiri terkadang dihadang oleh kekuatan wahyu.
Maksudnya, posisi Islam semakin terjepit oleh dogma ilahiyah yang dimaknai
secara normatif. Misalnya memaknai perintah sholat sebagai kewajiban ritual,
tidak mau mengembangkan pemaknaan sholat sebagai ibadah sosial. Berikut
pula proses pembaharuan lainnya, kalau Islam dipandang secara normatif,
maka Islam tidak akan maju. Islam juga bisa dilirik dari kesejarahannya. Oleh
sebab itulah Abd A'la menilai:
Islam dalam analisis Fazlur Rahman merupakan gerakan aktual
Dentuman Mentradisikan Eksperimentasi, (Jakarta: PT. Gugus Press), hlm. 40.24 A.H. Ridlwan, Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi Tentang
Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, (Yogyakarta: Ittiqa Press), hal. 25.25 Fazlur Rahman, Islam, Op.cit, hlm. 384.26 Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 25.
26
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
pertama yang dikenal dalam sejarah, yang memandang masyarakat secara serius dan menganggap sejarah itu dengan penuh arti. Pandangannya ini didasarkan pada satu kenyataan bahwa Islam-lah yang memahami pembangunan atau pemakmuran dunia ini bukan sebagai suatu usaha yang sia-sia atau hanya sekedar keterpaksaan (pis aller). Namun justru hal itu merupakan tugas yang "melibatkan" Tuhan dan manusia secara bersama-sama. Dalam perspektif itu, masyarakat dan sejarah dalam Islam merupakan dua unsur penting yang tidak dapat dipisahkan. Melalui kedua unsur itu kehidupan di dunia mempunyai nilai yang siginifikan. Sebab dalam sejarah dan masyarakat, Islam berkembang terus mewarnai kehidupan dunia.Menurut Fazlur Rahman, dalam kondisi semacam itu dinamika Islam menemukan pijakannya. Abad-abad pertama kehidupan Islam membuktikan kenyataan tersebut. Namun akhirnya perkembangan peradaban Islam menjadi lumpuh ketika penafsiran al-Qur'an dan Sunnah nabi berhenti sebagai Sunnah yang hidup (sebagai suatu proses yang terus menerus berkembang, pen.), dan dipandang sebagai perwujudan kehendak Tuhan, serta generasi awal umat Islam dipandang lebih sebagai bagian kepercayaan daripada bagian sejarah. Dalam kondisi seperti itu Islam menjadi agama yang beku dan dekaden serta kehilangan semangat kreativitasnya. Islam tidak dapat berkembang lagi dan tidak mampu menjadi acuan yang sebenarnya dalam kehidupan aktual, serta tidak berdaya dalam menyelesaikan masalah kongkrit umat Islam dan umat manusia secara keseluruhan.27
Ketika Islam dapat memahami pembangunan atau pemakmuran dunia,
disinilah posisi pendidikan sangat penting. Dalam nalar pemikiran tentang
neo-modernisme, Fazlur Rahman menetapkan "konsep perubahan" yang ada
dalam bingkai modernitas dipandang terlalu ke barat-baratan. Lain daripada
itu, nilai agama juga mulai bergeser. Dengan kata lain, modernisme sangat
kental dengan likuidasi tradisi. Oleh sebab itu, neomodernisme hendak
membangun dialog tradisi dan modernisasai. Melihat sulitnya "proyek"
tersebut, maka Islam diposisikan sebagai objek kajian, yang olehnya
dimaknai sebagai budaya.
Secara konseptual dalam rangka pengembangan pendidikan Islam,
neo-modernisme menawarkan konsep holistik dalam memahami ajaran-ajaran
keagamaan. Konsep holistik yang dimaksud adalah upaya memahami ajaran
27 Dr. Abd A'la, MA, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, hal 68-69.
27
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
dan nilai-nilai yang mendasar dalam Alqur’an dan al-Sunnah dengan
mengikut sertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual Islam klasik
serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang
ditawarkan oleh dunia teknologi modern. Dengan kata lain, neo-modernisme
selalu mempertimbangkan Alqur’an dan al-Sunnah, khazanah pemikiran
Islam klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada era
modern. Jargon yang sering dikumandangkan adalah “al-Muhâfazhah ‘ala al-
Qadîm al-Shâlih wa al-Akhzu bi al-Jadîd al-Ashlah”, yakni memelihara hal-
hal yang baik yang telah ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang
lebih baik.
Dengan demikian jargon yang dikumandangkan oleh neo-modernisme
tersebut menggaris bawahi perlunya pemikir pendidikan Islam untuk
mendudukkan nilai-nilai ilahi dan insani yang telah dibangun oleh pemikir
terdahulu, sebagai pengalaman mereka dan dalam konteks ruang dan
zamannya (kontekstualisasi). Kemudian setelah itu perlu dilakukan uji
falsifikasi, agar ditemukan relevan atau tidaknya dengan konteks sekarang
dan yang akan datang. Sementara hal-hal yang dipandang relevan akan
dilestarikan, sebaliknya yang kurang relevan akan dicarikan alternatif lainnya
atau dilakukan rekonstruksi tertentu dalam konteks pendidikan masyarakat
muslim kontemporer.
Dengan demikian pemikiran Neo-modernisme memiliki beberapa
langkah dalam kerangka pengembangan pendidikan Islam. Pertama, berusaha
membangun visi Islam yang lebih modern dengan tidak meninggalkan
warisan intelektual Islam, bahkan menggali akar-akar pemikiran tradisional
Islam yang tetap relevan dengan kemodernan. Kedua, menggunakan
metodologi pemahaman yang lebih modern terhadap Alqur’an dan al-Sunnah
dengan metode historis, sosiologis dengan pendekatan kontekstual. Ketiga,
untuk mensosialisasikan pemikirannya, kalangan Neo-modernisme Muslim
lebih dahulu melakukan kritik ke dalam diri (self critism) dan diikuti dengan
suatu terapi kejut (shock therapy) terhadap kejumudan pemikiran dan sikap
28
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
hidup umat Islam.
Sedangkan postradisionalisme memposisikan Islam sebagai nilai yang
bersifat sakral-universal. Namun ketika nilai-nilai Islam itu bersentuhan
dengan realitas sosial budaya, maka perwujudan nilai-nilai yang
kemudian menjadi institusi suatu nilai yang telah melembaga tersebut
menjadi bersifat partikular-lokal-profan. Dengan pemahaman demikian,
postradisionalisme sesungguhnya telah melakukan “kritik nalar” terhadap
konstruksi pemahaman keislaman yang selama ini ada dan berkembang
dominan dalam kehidupan umat Islam.
Kesadaran demikian, oleh kalangan postradisionalisme, berusaha
untuk ditubuhkan(dikonkretisasi) melalui basis kurikulum pendidikan agama
Islam dalam konstruksi kurikulum yang sama sekali lain (beda) dengan
konstruksi pendidikan agama Islam yang selama ini dikembangkan di
lembaga-lembaga pendidikan formal resmi selama ini.
LKiS sejak tahun 1997 sampai sekarang menyelenggarakan suatu
program yang diidentifikasi dengan “Belajar Bersama Islam
Transformatif dan Toleran.” Program ini merupakan program pendidikan
alternatif bagi kalangan anak muda kritis sebagai salah upaya penguatan
civil society dengan mengembangkan wacana kritisisme baik kepada teks
keagamaan, tradisi dan sebagainya. Dengan model belajar bersama ini,
terbentuk suatu jaringan kaum intelektual muda progresif yang
menjadikan gagasan dan wawasan Islam transformatif dan toleran
menjadi tersebar luas ke berbagai daerah dan kampus-kampus.
Sedangkan P3M mengembangkan wacana kerakyatan dengan
menggunakan tradisi keagamaan sebagai basis transformasinya. Tema-
tema yang diangkat misalnya fiqh al-nisa’, fiqh al-siyasah, Islam dan
demokrasi, halaqah ideologi-ideologi besar dunia, demokrasi pesantren dan
yang paling populer kini adalah program Islam emansipatoris.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agenda-agenda
intelektual yang dirumuskan dalam silabus pendidikan komunitas
29
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
postradisionalisme Islam adalah “wacana subversif ” yang sangat diilhami
oleh denyut postmodernisme yang menolak adanya sentralisme
(decentering) dan segala bentuk hegemoni. Dengan semangat “subversif
akademik”dan kritik nalar inilah, kalangan postradisionalisme melancarkan
pembaruan pemikirannya yang sangat menentukan terhadap konstruksi
dan muatan materi pendidikan agama Islam salah satunya adalah
pemaknaan baru Aswaja.
30
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Postmodernisme adalah sebuah gerakan pencerahan atas pencerahan dan
kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya dalam memenuhi janji-
janjinya serta mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan
modernitas.
2. Sejarah postmodernisme Barat pertama kali dicetuskan oleh Arnold
Toynbee pada tahun 1939 dalam bukunya Study of History. Kemudian
dilanjutkan oleh J. Francois Lyotard dengan karyanya The Post-Modern
Condition.
3. Diantara tokoh-tokoh postmodernisme adalah Frederich Wilhelm
Nietzche, Charles Sanders Pierce, Michel Foucault, Jacqeues Derrida, Jean
Francois Lyotard, Jan Mukarovsky, dan Hans Robert Jauss.
4. Sejarah postmodernisme Islam (Neo-Modernisme Islam) merupakan
sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Gerakan
ini dipelopori oleh Fazlur Rahman pada abad XX dengan teorinya “The
Double Movement Theory”.
5. Neo-Modernisme Islam di Indonesia dimotori oleh generasi muda yang
terpelajar dan mencapai ketenaraanya pada masa Nurcholis Madjid dan
setelahnya.
6. Postradisionalisme adalah gerakan revitalisasi dan transformasi tradisi
yang mengandung nilai-nilai kontinuitas dan perubahan.
7. Sejarah Postradisionalisme Islam berangkat dari kesadaran untuk
melakukan revitaslisasi tradisi, yaitu sebuah upaya untuk menjadikan
tradisi (turath) sebagai basis untuk melakukan transformasi.
8. Persamaan postmodernisme dengan postradisionalisme adalah sebagai
sintesa terhadap realitas yang terjadi. Perbedaannya adalah
postmodernisme menekankan pada sintesa terhadap modernitas, tetapi
postradisonalisme menekankan pada revitalisasi dan transformasi tradisi.
31
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
9. Pengaruh postmodernisme dalam pendidikan adalah pada tema yang
diusung yaitu pluralitas, heterogenitas dan deferensiasi, sedangkan
postradisionalisme memberikan gambaran pendidikan sebagai media
revitalisasi tradisi secara kritis, historis, dan obyektif sebagai basis
transformasi.
10. Pengaruh postmodernisme terhadap model pengembangan
pendidikan Islam adalah pertama, berusaha membangun visi Islam yang
lebih modern dengan tidak meninggalkan warisan intelektual Islam,
bahkan menggali akar-akar pemikiran tradisional Islam yang tetap relevan
dengan kemodernan. Kedua, menggunakan metodologi pemahaman yang
lebih modern terhadap Alqur’an dan al-Sunnah dengan metode historis,
sosiologis dengan pendekatan kontekstual. Ketiga, melakukan kritik ke
dalam diri (self critism) dan diikuti dengan suatu terapi kejut (shock
therapy) terhadap kejumudan pemikiran dan sikap hidup umat Islam.
Sedangkan postradisionalisme berusaha mengkonkretisasikan kurikulum
pendidikan agama Islam. Sebagai contoh suatu program yang
diidentifikasi dengan “Belajar Bersama Islam Transformatif dan
Toleran.” Dan mengembangkan wacana kerakyatan dengan
menggunakan tradisi keagamaan sebagai basis transformasinya. Tema-
tema yang diangkat misalnya fiqh al-nisa’, fiqh al-siyasah, Islam dan
demokrasi, halaqah ideologi-ideologi besar dunia, demokrasi pesantren
dan yang paling populer kini adalah program Islam emansipatoris.
B. Saran
Berdasar pada pembahasan, maka penulis memberikan saran sebagai
berikut :
1. Memperluas cakupan materi yang berkaitan postmodernisme dan
postradisionalisme yang dikaitkan dengan model pengembangan
pendidikan Islam.
2. Membuat peta konsep dari pembahasan ini yang bertujuan untuk
memudahkan para pembaca memahami secara singkat.
32
Postmodernisme dan Postradisionalisme serta Pengaruhnya Terhadap Model Pengembangan Pendidikan Islam
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mascaty, Hilmy Bakar. 2000. Membangun Kembali Sistem Pendidikan
Kaum Muslimin. Jakarta: Yayasan Az-Zahra.
A'la, Abd. 2003. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur
Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Al-Qurtuby, Sumanto. 1999. KH. MA. Sahal Mahfudh: Era Baru Fiqih
Indonesia. Yogyakarta: Cermin.
Benhabib, Seyla. 1984. Epistemologies of Postmodernism:A Rejoinder to
Jean - Francois Lyotard. Autum:Telos press.
Freire, Paulo. 2002. politik pendidikan: kebudayaan, kekuasaan dan
pembebasan, Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haryono, Yudhie R. Gagalnya Mazhab Islam Liberal, Republika, 21
Maret 2001.
Iqbal, Muhammad. 1994. Rekonstruksi Pemikiran Islam: Studi Tentang
Kontribusi Gagasan Iqbal Dalam Pembaruan Hukum Islam. Jakarta: Kalam
Mulia.
Jencks, Charles. 1984. The Language of Post-Modern Architecture, 4th ed.