DEMOKRASI DAN ANCAMAN DISINTEGRASI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang “Manusia, secara alami bebas, sama, dan independen, tak seorangpun dapat dilepas dari keadaan itu, dan ditundukkan pada suatu kekuasaan politik dari orang lain, tanpa persetujuannya; satu-satunya cara manusia bersedia melepaskan kebebasan alaminya, dan menyatukan diri dalam masyarakat bertatahukum (civil society) ialah melalui kesepakatan satu sama lain untuk menggabungkan diri dan bersatu menjadi komunitas, demi kehidupannya yang nyaman, aman, dan damai, antar mereka, dalam wujud penikmatan yang terjamin mengenal; hak miliknya (property) dan keamanan yang lebih mantap terhadap terhadap segala ancaman. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DEMOKRASI DAN ANCAMAN DISINTEGRASI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Manusia, secara alami bebas, sama, dan independen, tak seorangpun
dapat dilepas dari keadaan itu, dan ditundukkan pada suatu kekuasaan politik
dari orang lain, tanpa persetujuannya; satu-satunya cara manusia bersedia
melepaskan kebebasan alaminya, dan menyatukan diri dalam masyarakat
bertatahukum (civil society) ialah melalui kesepakatan satu sama lain untuk
menggabungkan diri dan bersatu menjadi komunitas, demi kehidupannya yang
nyaman, aman, dan damai, antar mereka, dalam wujud penikmatan yang
terjamin mengenal; hak miliknya (property) dan keamanan yang lebih mantap
terhadap terhadap segala ancaman.
Jadi, yang merupakan permulaan dan secara aktual membentuk tiap
masyarakat politik, adalah tidak lain persetujuan dari manusia bebas (freeman)
yang jumlahnya merupakan mayoritas, untuk menyatukan diri dalam satu
masyarakat yang seperti itu. Dan hanya inilah yang merupakan permulaan dari
tiap negara yang sah.
Filsafat Individualisme (John Locke) mengajarkan bahwa “Manusia”
dilahirkan dalam keadaan bebas sempurna, sehingga ia bebas berbuat apapun
sesuai kehendaknya tanpa perlu meminta izin dari orang lain, atau memberitahu
1
kepada orang lain; dan juga dalam keadaan sama sempurna, sehingga tak ada
seorangpun yang memiliki hak untuk memimpin orang lain, kecuali Tuhan
dengan petunjuk yang jelas menunjukkan seorang untuk memimpin yang lain.
Berhubung dengan itu bangsa yang menganut faham yang satu tidak
memaksakan fahamnya kepada yang menganut faham yang lain.1
Pada waktu manusia berada dalam keadaan alami, banyak timbul hal-hal
yang tidak mengenakan dalam arti “kerawanan” terhadap dirinya. Karena
kerawanan manusia itulah, menjadikan manusia sebagai makhluk sosial. Demi
lestarinya diri, manusia harus hidup secara damai dengan tetangganya, dan ini
berarti bahwa ia hidup di bawah aturan tertentu.
Hukum Alamiah yang memberi petunjuk mengenal asas-asas dasar yang
harus diikuti oleh masyarakat manapun dalam menciptakan aturan-aturan, bila
sistem hukum positifnya dikehendaki sesuai dengan kebutuhan alami manusia
maupun tuntutan-tuntutan yang layak.
Hukum alam ini mengajarkan pada setiap umat manusia, bahwa dalam
keadaan sama dan bebas itu, tak selayaknya orang mencederai orang lain
mengenal hidupnya, kesehatannya, kebebasannya dan pemilikannya.
Hukum alam meskipun telah diberi kekuatan hukum dalam hukum
positif, tidak akan pernah efektif, karena hak kebebasannya itu sendiri
mengandung “contradictio in conceptionis”.
Mengenal bagaimana cara meninggalkan keadaan alami dan memasuki
kehidupan bertatahukum yaitu melalui persetujuan dari semua orang. Beginilah
terjadinya kontrak sosial itu, “persetujuan semua orang”, itulah yang kemudian
1 John Locke, The Second Treatise of Government, pada Satya Arinanto, Politik Hukum I, hal. 5.
2
menjadi dasar dari kekuasaan negara, bila negara itu ingin diakui sebagai negara
demokrasi.
Dapat disimpulkan bahwa asal mula masyarakat politik atau negara
adalah kontrak sosial. Dari kontrak sosial lahirlah suatu idea tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) yang kemudian dijadikan dasar bagi penyelenggaraan negara
sekaligus sebagai tujuan dari didirikannya negara.
Demokrasi secara harfiah diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat
dan untuk rakyat. Maknanya yaitu pemerintahan yang cocok dengan keinginan
rakyat. Demokrasi yang sempurna yang dimiliki suatu pemerintahan adalah
apabila segala macam keputusannya selalu dalam keadaan secara sempurna
mewakili rakyatnya secara keseluruhan, meskipun respon yang secara penuh
yang dilakukan oleh pemerintah itu dirasa tidak ada, atau sangat sulit untuk
dicapai. Di samping demokrasi sempurna (ideal) tadi, oleh Robert Dahl
dipisahkan dengan apa yang disebutnya dengan “POLYARCHEIS” yaitu
demokrasi yang mendekati nilai ideal. Kedua pengertian demokrasi ini akan
digunakan untuk membedakan dua tipe dasar dari demokrasi ini akan digunakan
untuk membedakan dua tipe dasar dari demokrasi; yaitu:
1. Demokrasi Model Mayoritas (Model Westmister);
2. Demokrasi Model Konsensus.
3
Kedua Demokrasi ini saling bertolak belakang dan mempunyai
perbedaan dalam dimensi.
MODEL WESTMINSTER(MODEL MAYORITAS)
MODEL KONSENSUS
1. Mengkonsentrasikan pada kekuatan Eksekutif satu partai dan penguasaan kemayoritasan kabinet
2. Penggabungan kekuasaan dan pendominasian kabinet.
3. Pengawasan yang tidak seimbang4. Sistem dua Partai5. Sistem Partai Tunggal6. Pemilihan dengan sistem yang
Plural7. Penyatuan dan pemusatan
pemerintahan8. Konstitusi yang tidak tertulis dan
kedaulatan parlemen
1. Pembagian kekuasaan eksekutif2. Pemisahan kekuasaan3. Pengawasan sistem ganda yang
seimbang dan represntatif kaum minoritas
4. Sistem multi partai5. Sistem partai yang multi dimensi6. Representasi yang proporsional7. Federalisme baik teritorial maupun
non teritorial8. Konstitusi tertulis dan hak veto
minoritas
Inti dari demokrasi Westminster adalah pemerintahan yang dipimpin
oleh keuasaan mayoritas. Model ini sebagai solusi atas dilema kebingungan
dalam menentukan arti kata “Rakyat” dalam definisi Demokrasi. Model ini
mengandung 9 elemen yang saling berhubungan (lihat tabel). Contoh yang
cukup baik untuk model demokrasi Westminster ini yaitu negara Inggris dan
Selandia Baru.
Demokrasi Model Konsensus membantah pandangan yang mengatakan
“Mayoritas harus memerintah dan minoritas selalu beroposisi. Pandangan ini
tidak demokratik, karena prinsip-prinsip tersebut tertutup. Demikian pula
pandangan yang mengatakan “dengan mengeluarkan yang minor dari
partisipasi”, maka makin menyiksa arti demokrasi dan kemayoritasan
pemerintah tidak cocok sama sekali. Demokrasi model konsensus mengandung
4
8 elemen seperti dalam tabel. Contoh untuk model ini yaitu negara Belgia dan
Swiss.2
Transformasi demokrasi Indonesia berproses dengan keadaan-keadaan
sulit yang luar biasa. Ekonomi telah hancur karena krisis keuangan Asia tahun
1977 Banyak pemikiran yang dicurahkan untuk serangkaian sistem politik;
seperti UUD 1945 tidak dianggap lagi sakral, beberapa amandemen konstitusi
diadopsi MPR dan direncanakan untuk dilaksanakan pada sidang tahun 2000.
Undang-undang baru tentang otonomi daerah dilangsungkan dan pengaruh TNI
terus berkurang.
Perkembangan demokrasi di Indonesia pada masa Orde Baru yang
dipimpin oleh seorang yang otoriter dan represif, membawa ke arah disintegrasi
bangsa, dimulai di Timor-Timur yang akhirnya diikuti oleh gerakan-gerakan
separatis di daerah-daerah lain, seperti Aceh, Kalimantan, Maluku dan Irian.
Dengan lepasnya Timor-Timur, pemimpin di era Reformasi mencoba
memperbaiki dan menata kembali kehidupan politik dan bernegara di Indonesia,
salah satunya penegakan HAM, mengurangi Dwi Fungsi ABRI/TNI dan
menyiapkan peraturan otonomi daerah.
B. Pokok Permasalahan
Berkaitan dengan halaman 49 telah diuraikan di atas, maka terdapat
beberapa pokok permasalahan yang menjadi topik pembahasan dalam penulisan
makialah ini, sebagai berikut:
2 Arend Riphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries, pada Satya Arinanto, Politik Hukum I, hal. 28.
5
1. Bagaimanakah perkembangan Demokrasi di Indonesia;
2. Apakah perkembangan Demokrasi di Indonesia membawa disintegrasi
bangsa.
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui perkembangan Demokrasi di Indonesia dalam
kaitannya dengan disintegrasi bangsa.
D. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini metode yang dipakai adalah metode
penelitian normatif atau kepustakaan dengan cara mempelajari atau meneliti
bahan-bahan pustaka atau data sekunder antara lain mencakup dokumen-
dokumen resmi, buku-buku perundang-undangan.
6
II. PEMBAHASAN
Seringkali kritikan-kritikan ditingkatkan, khususnya di negara-negara
berkembang karena kurangnya kemajuan demokrasi pun sebagai pengganti
pembangunan ekonomi yang relatif berhasil. Kritikan-kritikan tersebut banyak tidak
adil dimana kritikan-kritikan tersebut berdasarkan dengan rangkaian nilai atau
kriteria yang seringkali tidak dikenal di negara-negara tersebut. Bagaimanapun
seringkali rangkaian nilai ini diduga untuk dapat diterapkan secara universal.
Kenyataannya karena prinsip-prinsip demokrasi liberal yang bekerja di negara-
negara Barat yang maju yang mendapatkan pengaruh yang layak atas pada sejumlah
negara-negara lainnya karena paham ekonomi, militer dan tradisi demokrasi liberal
yang kuat, kritikan-kritikan tersebut atas dasar nilai-nilai demokrasi liberal Barat
telah menciptakan tekanan yang kuat atas sejumlah negara-negara berkembang
untuk berusaha menyamai atau melebihi sejarah; tradisi budaya khusus mereka
masing-masing.3
Dengan demikian, pada pihak mereka negara-negara berkembang ini juga
telah mengembangkan tentang diri mereka guna menjumpai harapan-harapan barat.
Ini telah dikandung oleh tingkat hubungan ketergantungan yang tinggi negara-
negara berkembang terhadap negara-negara barat. Konsekuensinya, banyak negara-
negara berkembang menerima dan diterima untuk menyelesaikan sesuatu yang tidak
dimaksudkan atau dilengkapi untuk menyelesaikan.
Kenyataannya tekanan merupakan dimana kemajuan dan prestasi
sesungguhnya mereka itu, sejumlah negara-negara akan dicenderungkan untuk
3 J. Soedjati Djiwandono, Democratic Experiment in Indonesia, Between Achievements and Expectations, pada Satya Arinanto, Politik Hukum 2, hal. 158.
7
menciptakan citra demokrasi mereka sendiri. Seringkali ini telah mengakibatkan
pelanggaran dan distorsi demokrasi. Sebagai contoh, diantara negara-negara
komunis rangkaian nama demokrasi rakyat telah digunakan. Dan di negara-negara
lainnya, banyak hal-hal ajaib dilakukan atas nama demokrasi.
Apa yang mendasarinya adalah usaha untuk memberikan laporan kritis
percobaan-percobaan demokrasi di Indonesia sepanjang riwayat terakhirnya. Untuk
menentukan prestasi suatu bangsa di dalam pekerjaan prinsip-prinsip demokrasi
dengan sejumlah tingkat keakuratan dan keadilan, orang perlu memahami dan
mengapresiasikan latar belakang historis, tradisi dan budayanya selain juga
gagasan-gagasan dan penerapan-penerapannya. Sejumlah pemikiran akan diberikan
untuk pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana pembangunan nasional dengan
penekanan pembangunan ekonomi yang berhubungan dengan usaha-usaha dengan
kemajuan demokrasi. Di dalam konteks ini peranan militer di Indonesia juga akan
diarahkan.
A. Demokrasi di Indonesia
1. Demokrasi Liberal
Ketika Indonesia mengproklamasikan kemerdekaannya pada tahun
1945, Indonesia mengatur untuk mendirikan negara republik modern atas
dasar prinsip-prinsip demokrasi. Negara mulai dengan mendirikan institusi-
institusi demokrasi jika dengan bentuk-bentuk provisi dan belum sempurna
seperti sistem Presidensial, kabinet, parlemen, partai-partai politik dan
sistem hukum. Tetapi sebagaimana di dalam banyak bidang lainnya,
8
Republik Indonesia yang baru memulai dari jangkauan. Negara baru tidak
mempunyai pengalaman juga tidak mempunyai tradisi praktek demokrasi
modern, yang kemudian menarik pelajaran-pelajaran sebagai dasar untuk
pertumbuhan dan pengembangan masa depannya.
Bagaimanapun pengembangan tersebut tidak merupakan persiapan
yang memadai untuk kemerdekaan masa depan bangsa untuk diwujudkan di
dalam negara demokrasi modern. Sekurang-kurangnya ada dua alasan
utama. Pertama, bahwa peluang bagi Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaan bangsa secara khusus timbul sebagai akibat perubahan
peristiwa yang tiba-tiba mengakibatkan Jepang takluk pada Perang Pasifik.
Kekalahan Jepang yang tiba-tiba yang selanjutnya telah menempatkan
Indonesia selama beberapa tahun hengkangnya Belanda dari Indonesia di
dalam menghadapi invasi Jepang. Di tengah-tengah masa chaos dan
kerancuan yang tercipta sejak akhir Perang Pasifik dan dengan demikian
pendudukan Jepang ini tanpa banyak bicara dan dengan persiapan minimum
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Alasan kedua adalah bahwa dimana penolakan untuk mengakui
kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan dan yang
mengakibatkan pendirian Republik Indonesia, Belanda kembali ke
Indonesia dalam suatu usaha untuk memperoleh kembali kontrol jajahan
terhadap negara. Sehingga Revolusi Indonesia untuk kemerdekaan bangsa
oleh perjuangan tentara terhadap Belanda pun selama revolusi, Indonesia
mencoba eksperimen baru di dalam mempraktekan demokrasi liberal. Pada
9
awal-awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengambil sistem
presidentil. Di dalam konteks diplomasi dengan Belanda, perubahan
konstitusi dipengaruhi di dalam sistem presidentil tersebut diganti dengan
pendirian sistem pemerintahan parlementer dimaksudkan sebagai suatu
pembelaan terhadap Belanda guna memenangkan simpati mereka terhadap
pendirian negara Indonesia. Proses perubahan diikuti oleh lahirnya dan
timbulnya partai-partai politik. Dengan demikian sistem mjulti partai mulai.
Sistem parlementer dilanjutkan menjadi dasar pemerintahan
Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia diakui secara luas oleh dunia luar
yang mengikuti perpindahan kekuasaan dari Belanda pada akhir tahun 1949.
Ini merupakan sisa dekade terakhir bagi penjajahan Belanda. Bagaimanapun
percobaan demokrasi parlementer liberal Barat terbukti menjadi gagal.
Sejumlah besar partai politik mengakibatkan terciptanya pemerintahan yang
tidak stabil yang kepentingan utamanya ada di dalam perjuangan mereka
untuk tetap di dalam kekuasaan menghadapi ketidaksepakatan dan
perbedaan yang serius diantara partai-partai. Selama masa demokrasi
parlementer, pemerintahan tidak mempunyai cukup waktu untuk
memberikan perhatian, membiarkan menyelesaikan sendiri masalah-
masalah rekonstruksi dan pengembangan.4
Pengalaman dan tradisi kehidupan demokrasi secara lebih dalam
berakar dengan apa yang dikenal dengan demokrasi desa masa-masa tua. Ini
semacam demokrasi langsung primitif dengan demokrasi mana orang akan
berkumpul bersama di istana melipatgandakan protes terhadap kebijakan-
4 Ibid., hal. 160.
10
kebijakan tertentu raja. Tetapi bentuk ungkapan populer ini tidak
mempunyai maksud-maksud atau mekanisme efektif dengan mana
keinginan rakyat dapat mempunyai sejumlah pengaruh dengan pengambilan
keputusan raja. Apakah raja akan memperhatikan kehendak subyek-
subyeknya yang secara hampir keseluruhan bergantung pada kepekaan dan
kemanusiannya sendiri. Jauh dari demokrasi perwakilan modern. Sejumlah
penelusuran tipe praktek demokrasi ini masih didapatkan di dalam desa-desa
tertentu yang berdasarkan prinsip konsensus sebagai contoh di dalam
pemilihan kepala desa.
Berdasarkan sistem parlementer, partai-partai politik secara utama
terbagi di dalam jalur idiologi dan agama. Ini membuat kehidupan politik
Indonesia selama tersebut sangat banyak berorientasi idiologis dibandingkan
yang berorientasi program. Pemilihan Umum pertama yang diselenggarakan
pada tahun 1955 hanya mengupayakan kehidupan politik yang khaos yang
ditandai dengan banyak sekali partai-partai politik, subordinasi kepentingan
nasional untuk kepentingan pribadi atau kelompok dan kesemuanya
orientasi ideologis yang sangat buruk. Debat di parlemen, khususnya di
dalam Dewan Konstituante yang didirikan melalui pemilihan tahun 1955
berkisar di sekeliling hal idiologi yang benar untuk negara yang akan
bertindak sebagai dasar konstitusi. Konsensus tidak pernah dicapai. Dan
tidak ada partai politik tunggal yang memerintah mayoritas sebagai akibat
pemilihan umum. Hasil akhir buntu.
11
Pada saat yang sama perjuangan untuk mendirikan negara
berdasarkan idiologi selain Pancasila sebagaimana yang diwujudkan di
dalam konstitusi yang ada dengan konstitusi tersebut kelompok-kelompok
nasionalis berjanji akan melangsungkan negara di luar parlemen juga dewan
konstituante. Kelompok komunis mengadakan pemberontakan pada tahun
1948. Selanjutnya kelompok-kelompok Muslim fanatik mengadakan
pemberontakan guna merealisasikan gagasan-gagasan mereka untuk
republik Islam.
Konsekuensi-konsekuensi percobaan “khaostik’ di dalam demokrasi
liberal merupakan pembagian diantara kekuatan-kekuatan sosial serta jalur-
jalur idiologis dan agamis; mengabaikan perkembangan ekonomi dan
meningkatkan peranan Presiden sampai selanjutnya peningkatan kepala
negara konstitusi dan peranan militer.
2. Demokrasi Terpimpin
Menghadapi situasi krisis yang diciptakan dengan buntunya dewan
konstituante, bangsa terbagi sepanjang jalur idiologis, keadaan-keadaan
ekonomi yang merugikan, pemberontakan dan tegangan yang tinggi
sehubungan dengan Belanda yang masih ingin menguasai Irian Barat,
Presiden (Sukarno) memaklumkan pembubaran Dewan Konstituante dan
menyatakan pengadopsian kembali (readoption) Undang-undang Dasar
1945. Masa yang disebut oleh Presiden Soekarno sebagai Demokrasi
Terpimpin.
12
Berdasarkan Demokrasi Terpimpin, demokrasi liberal dienyahkan.
Sampai saat ini, istilah liberal, liberalisme dan demokrasi liberal mempunyai
konotasi dan reputasi yang buruk di negeri. Sistem voting diganti dengan
konsensus. Ini berarti sekurang-kurangnya berdasarkan Demokrasi
Terpimpin, bahwa keinginan-keinginan pemimpin selalu berlaku.
Demokrasi Terpimpin mengubah sistem pemerintahan Presidensial.
Parlemen dibubarkan dan diganti dengan yang diangkat oleh Presiden. Ini
diterapkan untuk hampir semua institusi negara dalam rangka ‘retooling’,
Partai-partai politik dipaksa sejalur atau koalisi dengan nama Nasakom,
yang terdiri dari nasionalisme, agama dan komunisme, yang lebih
meningkatkan peranan dan kekuasaan Presiden. Ini merupakan suatu usaha
Presiden Soekarno untuk menyelesaikan masalah pertengkaran idiologis
yang bersifat memecah belah.5
Pada saat yang sama karena pembangunan kekuatan militer dengan
bantuan Uni Soviet untuk kampanye merebut Irian Barat, militer juga
memperoleh kekuatan dan kekuasaan khususnya dengan pengumuman
hukuman mati. Meskipun demikian antagonisme di antara dua kelompok
paling berkuasa dilakukan pengecekan oleh kekuasaan Presiden di dalam
usahanya untuk menempa persatuan bangsa yang berhadapan dengan
ancaman kolonialisme dan imperialisme yang diwujudkan dengan
pendudukan terus-menerus Irian Jaya oleh Belanda. Revolusi nasional
demikian selalu didengungkan oleh Presiden, belum pernah berakhir. Dalam
5 Ibid., hal. 163.
13
kebijakan luar negeri secara militan Indonesia menjadi anti Barat dan pro
Timur.
Bagaimanapun keberhasilan kampanye Irian barat tidak berarti
perubahan postur militan Indonesia. Juga tidak membuat Pemerintahan
Indonesia mengalihkan perhatiannya untuk masalah-masalah dalam negeri,
khususnya pembangunan ekonomi. Sebaliknya krisis dan situasi revolusi
yang telah menandai kampanye Irian Jaya kiranya telah memperoleh
momentum sendiri. Terbentuknya Federasi Malaysia menjadi obyek
kebijakan konfrontasi Indonesia lainnya. Postur revolusioner militer
Soekarno yang anti imperialisme, anti kolonialisme dan neo kolonialisme
mendapatkan sasaran yang dibuatnya siap. Dibuat suatu permaafan terhadap
kerugian terus-menerus di dalam negeri, keperluan untuk persatuan bangsa
yang lebih kuat, dan pembangunan militer. Secara eksternal merupakan
suatu pembenaran postur militer Indonesia yang terus-menerus dan negara
yang berperang dengan kebijakan luar negeri. Dan lagi pula untuk
hubungan –hubungan yang lebih dekat dengan negara-negara komunis,
Soekarno mencoba terus mengkonsolidasikan apa yang telah diprakarsai
sebelumnya selama kampanye Irian barat, yang merupakan pengenalan
koalisi dunia apa yang disebut negara-negara yang baru muncul terhadap
orde imperialisme yang sudah lama dibuat.
Hubungan-hubungan yang lebih dekat dengan Republik Rakyat Cina
(PRC) mempunyai implikasi dalam negeri yang serius bagi Indonesia.
Untuk kedua kalinya Partai Komunis yang lebih kuat melakukan kudeta ini
14
merupakan Gerakan 30 September (Gestapu) oleh PKI dalam gerakan mana
orang-orang Cina dipercayai telah terlibat. Ini merupakan titik kulminasi
ketegangan dalam negeri dan antagonisme Partai Komunis dan ABRI.
Kristalisasi dan konflik dalam negeri dan perjuangan terhadap kekuasaan
berlangsung. Hasilnya adalah pembubaran Partai Komunis Indonesia dan
pengganyangan orang-orang komunis Indonesia dan para pendukungnya,
pendiskreditan dan pelemahan partai-partai politik yang terus-menerus dan
secara berangsur-angsur mengakhiri kekuasaan Soekarno sebagai Presiden.
Koalisi Nasakom lenyap. Tentara muncul dan mendominasi kekuasaan. Dan
era baru terbentang di Indonesia.
3. Demokrasi Pancasila
Demokrasi Terpimpin yang Soekarno dirikan dan dengan demokrasi
tersebut dia maksudkan menjadi alternatif yang lebih baik terhadap
demokrasi parlemen liberal yang lebih cocok untuk tradisi, budaya,
identitas Indonesia dan keperluan serta tuntutan masa yang dialihkan
menjadi tidak lebih baik ketimbang praktek demokrasi sebelumnya.
Demokrasi Liberal telah membuat gaya Soekarno sendiri yang otokrasi,
otoriter dan diktator. Kesejahteraan rakyat diabaikan. Ekonomi nasional ada
di dalam ambang kebangkrutan. Pinjaman-pinjaman luar negeri telah
bertumpuk dan kebanyak untuk pembayharan keperluan tentara. Inflasi
mencapai rekor dunia sebesar 600 persen. Negara di dalam krisis yang
dalam dan secara internasional terisolasi.
15
Hal-hal tersebut merupakan keadaan yang diwarisi Orde Lama
kepada Orde Baru. Dengan demikian Orde baru ditentukan untuk
membetulkan semua kesalahan, penyimpangan dan penyelewengan Orde
Lama. Menjadi pembetulan total.
Penguasa Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto secara internal
melarang Partai Komunis Indonesia. Mengadili orang-orang yang sungguh-
sungguh terlibat di dalam usaha kudeta. Merestorasikan Orde. Ditentukan
untuk memperbaiki keadaan-keadaan ekonomi. Untuk pertama kalinya sejak
Indonesia merdeka, perhatian diberikan untuk pembangunan bangsa.
Merupakan untuk tujuan rekonstruksi dan pembangunan kembali
bangsa dimana dalam suatu usaha untuk menciptakan lingkungan
internasional yang berbineka, pemerintah baru mengakhiri kebijakan
konfrontasi Indonesia. Hubungan-hubungan dengan negara-negara tetangga
ditempatkan dengan catatan baru. Indonesia membantu mendirikan
Perserikatan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) agar tercipta
masyarakat bangsa yang harmonis, damai dan sejahtera. Indonmesia
kembali ke PBB.
Sementara itu rangkaian-rangkaian dilakukan dengan negara-negara
donor dan kreditor-kreditor Indonesia untuk menjadwalkan kembali
pinjaman-pinjamannya dan memperoleh bantuan keuangan dan bantuan-
bantuan lainnya untuk usaha-usaha pembangunan bangsa dengan penekanan
pada pembangunan ekonomi. Keberhasilan awal tercapai dan inflasi di atasi.
16
Usaha-usaha untuk menata kembali kehidupan politik diluncurkan.
Secara berangsur-angsur jumlah partai politik dikurangi, dengan demikian
menyederhanakan sistem partai. Kelompok fungsi yang tidak mempunyai
hubungan dengan partai-partai politik masa lalu dikembangkan. Dan dengan
keberhasilan pembangunan ekonomi dan prestasi stabilitas politik,
pemilihan umum diselenggarakan pada permulaan tahun 1971, pertama kali
selama hampir dua dekade. Kini empat pemilihan umum telah dilakukan.
Institusi-institusi demokrasi telah ditempatkan demokrasi tempat dan fungsi-
fungsinya yang layak dalam suatu usaha melaksanakan Undang-undang
Dasar 1945 dengan lebih konsisten. Secara berangsur-angsur orientasi
terhadap idiologis digantikan dengan orientasi terhadap program.6
Tentu, Orde Baru dilahirkan karena peranan memecah belah yang
dimainkan oleh militer di dalam mengatasi krisis bangsa di bawah Orde
Lama yang memuncak dengan usaha kudeta komunis. Bukan hanya
ketimbang mendirikan semacam militerisme, militer Indonesia telah
menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkenalkan kehidupan
demokrasi. Di bawah penguasa Orde Baru, dalam orde tersebut militer
menempati posisi dominan dan peranan ‘decisive’ dimana Indonesia telah
memperlihatkan maksud-maksud damainya dengan mengakhiri kebijakan
konfrontasi yang dilakukan oleh penguasa Orde Lama. Dan bukan hanya
usaha pembangunan militer yang banyak sekali, sumber-sumber nasional
telah digunakan untuk pembangunan bangsa dengan konsekuensi kejelasan
yang ‘modest’ untuk tujuan pertahanan dan keamanan.
6 Ibid., hal. 166.
17
B. Integrasi di Indonesia
1. Stabilitas dan Integrasi Nasional
Pada awal kehadirannya sebagai satu rezim Orde baru memulai
langkah pemerintahannya dengan langgam libertarian. Dikatakan bahwa
Orde Baru telah menggeser sistem politik Indonesia dari titik ekstrem
otoriter pada jaman Demokrasi Terpimpin ke sistem demokrasi liberal.
Tetapi pada kenyataannya langgam libertarian ini tidak berlangsung lama,
sebab di samping merupakan reaksi saja terhadap sistem otoriter yang hidup
sebelumnya,7 sistem ini hanya ditolerir selama pemerintah mencari format
baru politik Indonesia. Segera setelah format baru itu terbentuk, sistem
liberal itu bergeser lagi ke sistem otoriter. Seperti telah dikemukakan obsesi
Orde Baru sejak awal adalah membangun stabilitas nasional dalam rangka
melindungi kelancaran pembangunan ekonomi. Berdasarkan pengalaman
yang sudah-sudah pergolakan politik di Indonesia ditandai oleh banyaknya
gerakan-gerakan disintegratif, sehingga pembangunan stabilitas nasional itu
akan menjadi sulit tanpa didasarkan pada integrasi nasional yang mantap.
Integrasi nasional (yang sering dipakai dalam arti sama dengan istilah
persatuan dan kesatuan bangsa) menjadi sasaran pembangunan yang harus
dicapai, apapun biayanya, sebab semakin solid tingkat integrasi suatu
bangsa akan semakin tinggi kualitas stabilitas nasionalnya, apakah yang
dimaksud dengan integrasi nasional?
7 Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti, PT Karya Unipress, Jakarta, 1983, hal. 31-32.
18
Howard Wriggins mengidentifikasi pengertian integrasi nasional itu
sebagai penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari suatu masyarakat
menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh, atau, memadukan masyarakat-
masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi bangsa.8 Dapat pula
diartikan bahwa integrasi bangsa merupakan kemampuan pemerintah yang
semakin meningkat untuk menerapkan kekuasaannya di seluruh wilayahnya.
Ada beberapa definisi yang dicatat dan dikomentari oleh Myron Weiner
tentang integrasi yang dikatakannya ada beberapa tipe, yaitu:9
1.Integrasi mungkin menunjukkan pada proses penyatuan berbagai
kelompok budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah, dan pada
pembentukan identitas nasional. Di sini integritas bangsa menunjuk
pada masalah pembangunan rasa kebangsaan dengan cara menghapus
kesetiaan-kesetiaan pada ikatan yang lebih sempit.
2.Integrasi dapat pula menunjukkan pada masalah pembentukan wewenang
kekuasaan nasional pusat di atas unit-unit atau wilayah-wilayah politik
yang lebih kecil yang mungkin beranggotakan suatu kelompok budaya
atau sosial tertentu;
3.Integrasi dapat menunjukkan pada upaya menghubungkan pemerintah
dengan yang diperintah, yakni untuk menjembatani gaya antara elite
dan massa yang ditandai dengan perbedaan-perbedaan mencolok
dalam aspirasi dan nilai-nilai mereka.
8 Howard Wriggins, “Integrasi Bangsa”, dalam Yahya Muhaimin dan Colin McAndrews, Masalah-masalah Pembangunan Politik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985, hal. 51.
9 Myron Weiner, “Political Integration and Political Development”, dalam Jason L. Finkle dan Richard W. Gable, Political Development and Social Change, pada Mahfud MD Disertasi Perkembangan Politik Hukum, hal. 374.
19
4.Kadangkala integrasi digunakan pula untuk menunjukkan adanya
konsensus nilai minimum yang diperlukan untuk memelihara tertis
sosial.
5.Integrasi nasional dapat juga menunjuk pada pembicaraan mengenai
tingkah laku untuk berorganisasi demi mencapai beberapa tujuan
bersama. Penunjukkan pada masalah yang demikian ini berarti
memilih tingkah lakju integratif sebagai obyek pembicaraan.
Menurut Weiner pula istilah integrasi merangkum hubungan-
hubungan dan sikap-sikap manusia yagn sangat luas, yakni integrasi unsur
berbagai kesetiaan kultural dan penciptaan rasa kebangsaan, integrasi unit-
unit politik kerangka wilayah bersama de ngan satu pemerintah, integrasi
antara pemerintah dan yang diperintah, integrasi warga-warga ke dalam
proses yang dijalankan bersama, serta integrasi individu-individu ke dalam
organisasi-organisasi dengan kegiatan-kegiatan yang berguna. Meskipun
berbeda-beda pengertian-pengertian tersebut mengandung kesamaan yang
konsisten, yakni adanya upaya mendefinisikan sesuatu yang bisa
menyatukan masyarakat dengan sistem politik. Selanjutnya Weiner
mengemukakan bahwa apabila kita berbicara tentang pembangunan politik
maka pertama-tama ia berkaitan dengan sungsi-fungsi politik, kemudian
berkenaan dengan integrasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-
fungsi itu; dan akhirnya berkenaan dengan kapasitas sistem politik untuk
menangani masalah-masalah integrasi yang baru itu. Secara garis besar,
menurut Weiner, ada dua macam strategi yang dapat dipilih pemerintah
20
dalam membangun integrasi yaitu: Pertama, penghapusan sifat-sifat
kultural utama dari komunitas-komunitas yang berbeda menjadi semacam
kebudayaan nasional; kedua, penciptaan kesetiaan tanpa menghapus
kebudayaan komunitas-komunitas yang ada. Strategi yang pertama disebut
“policy assimilasionis” sedangkan strategi yang kedua disebut “policy
Bhineka Tunggal Ika”.10
Bangsa-bangsa baru biasanya sangat memerlukan integrasi setelah
lepas dari rezim penguasa sebelumnya. Indonesia sangat memerlukan
integrasi setelah lepas dari penjajahan Belanda. Mengapa? karena
pemerintah penjajah tidak pernah memikirkan tentang kesetiaan nasional
bagi rakyat jajahannya, malahan sebaliknya yang dilakukan adalah politik
pecah belah (devide ed impera). Pemerintahan jajahan mengkonsentrasikan
diri dalam penciptaan kelas-kelas yang harus setia kepadanya sebagai
penguasa kolonial.11 Pemerintah kolonial, dengan demikian, hampir sama
sekali tidak pernah mengajarkan bahasa dan kebudayaan nasional yang
dapat mengarahkan kepembangunan integrasi nasional. Hal ini bisa
dimengerti sebab integrasi nasional tercipta maka ancaman serius bagi
kelangsungan pemerintah kolonial akan muncul. Bagi negara-negara baru
tuntutan untuk integrasi itu semakin mutlak sebab biasanya setelah merdeka
kesempatan bagi rakyat untuk berpartisipasi, menjadi terbuka dalam
kehidupan bernegara, dan itu berarti harus menampung aspirasi berbagai
komunitas yang belum tentu sama. Jadi ada semacam dilema disini:
10 Ibid., hal. 376.11 Ibid., hal. 377.
21
kemerdekaan menuntut integrasi sekaligus mengundang partisipasi,
sementara terbukanya partisipasi membuka kemungkinan munculnya
pertentangan antar komunitas.
Apa yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa tuntutan
integrasi itu menjadi pelik, lebih-lebih jika ikatan-ikatan primordial yang
menjadi unsur dari suatu bangsa menjadi menguat dalam kelompok-
kelompok aspirasi. Seperti diketahui selain kesetiaan kepada bangsa pada
umumnya masyarakat di negara-negara baru itu mempunyai kesetiaan-
kesetiaan yang didasarkan pada ikatan primordial. Penganut suatu agama
misalnya, di samping mempunyai kesetiaan kepada bangsa, dia juga
mempunyai kesetiaan pada agamanya, dan itu berlaku juga pada agama
yang lain. Oleh karena itu bersamaan dengan kesetiaan nasional itu ada pula
kesetiaan primordial yang justru mengganggu kesetiaan nasional.
Clifford Geertz mengemukakan bahwa negara-negara baru
senantiasa didorong oleh dua motif yang berbeda, yang kerapkali
bertentangan dan menimbulkan kegoncangan. Motif pertama adalah
keinginan untuk diakui sebagai pelaku-pelaku yang bertanggungjawab, yang
hasrat dan pendapatnya diperhitungkan, sedangkan motif kedua adalah
kehendak untuk membina negara modern yang efisien dan dinamis.12 Motif
yang pertama didasarkan pada harkat rakyat-rakyatnya yang berkaitan
dengan hubungan primordial, sedangkan motif kedua didasarkan pada
semakin pentingnya peranan negara berdaulat untuk mencapai tujuan
12 Clifford Greetz, “The Integrative Revolution, Primordial Sentiments and Civil Politics in The New States”, dalam Jason L. Finkle dan Richard W. Gable, pada Mahfud MD, Disertasi, Perkembangan Politik Hukum, hal. 378.
22
bersama sebagai satu bangsa. Kerapkali upaya integrasi nasional dirasakan
mengancam kepribadian otonom dari ikatan-ikatan primordial yang ada.
Itulah sebabnya upaya integrasi harus mampu mengkoordinasi ikatan-ikatan
primordial ke dalam ikatan yang lebih luas. Ini berarti bahwa proses politik
di negara baru banyak berkisar pada usaha-usaha besar agar kedua jenis
motif yang menimbulkan ketegangan itu dapat disejajarkan.13 Dari sudut
kemasyarakat negara-negara baru pada umumnya mudah menjurus kepada
ketimpangan serius akibat ikatan-ikatan primordial, yakni perasaan yang
lahir dari yang dianggap ada dalam hubungan sosial yang meliputi
hubungan kesukuan, hubungan ras (jenis bangsa), hubungan bahasa,
hubungan kedaerahan, hubungan kebiasaan, dan hubungan agama.
Greetz melihat bahwa di negara baru, seperti juga di Indonesia,
sering terjadi ketegangan sosial yang mengancam ikatan kebangsaan karena
menguatnya kelompok-kelompok primordial pada ikatan primordialnya.
Kewaspadaan akan timbulnya masalah SARA (sebutan/singkatan dari suku,
agama, ras, antar golongan) menjadi mutlak diperlukan oleh negara karena
setiap timbulnya ketidakpuasan primordial biasanya menjurus kepada akibat
pemisahan (perpecahan bangsa) atau menjurus kepada tuntutan perumusan
kembali kedaulatan. Pakistan yang menjadi negara merdeka, melepaskan
diri dari India, adalah contoh aktual dari benturan antara ikatan nasional dan
ikatan primordial (agama). Kegoncangan primordial ini bisa berakibat lebih
gawat karena yang menjadi korban adalah bangsa, bukan hanya pimpinan
13 Ibid., hal. 378.
23
nasional. Itulah sebabnya pembangunan politik ke arah Integrasi nasional
menjadi mutlak diperlukan.
Tetapi ironi. Menurut Geertz upaya integrasi bangsa itu biasanya
menghadapi dilema karena setiap proses penciptaan satu negara kebangsaan
yang berdaulat telah pula semakin meningkatkan sentimen primordial
karena negara baru itu membawa hal baru yang dapat diperebutkan oleh
berbagai kelompok primordial. Isu kedaerahan di Indonesia, Nasionalisme
di Malaysia, atau lingkuisme di India bukanlah sekedar akibat dari politik
pecah belah yang ditinggalkan pemerintah penjajahan tetapi juga merupakan
akibat dari munculnya negara kesatuan yang bebas,14 yang diperebutkan
dominasinya oleh kelompok-kelompok primordial yang ada di dalamnya.
Kenyataan inilah yang kemudian menuntut upaya pengecilan porsi
pemberian otonomi kepada rakyat sehingga peranan negara bisa lebih besar.
Ichlasul Amal mengatakan bahwa pemberian otonomi kepada rakyat
sesungguhnya memang mengandung dilema, sebab antara otonomisasi dan
konsep negara yang mempunyai porsi (peranan) yang besar itu sangatlah
kontradiktif. Tampaknya masalah yang sulit dirumuskan adalah sampai
berapa besar dan bagaimana bentuk otonomi yang mempu membangkitkan
kreativitas pada satu pihak, tetapi pada pihak lain tidak menimbulkan
tingkah laku detrimental terhadap integrasi negara.15
Apa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak awal-awal
kehadirannya di pentas politik ini dapat dipahami dari pandangan-
14 Ibid., hal. 380.15 Ichlasul Amal, “Dinamika Kelompok Pedagang dan Pengusaha”, dalam rubrik “Dialog” majalah
PRISMA, edisi, 11, tahun 1985, hal. 56.
24
pandangan Wriggins, Weiner, dan Geerts. Rezim ini menghadapi tugas
untuk membangun integrasi nasional yang bisa menjamin suasana tenang
dalam pembangunan. Itulah sebabnya slogan “persatuan dan kesatuan
bangsa” menjadi kosakata yang tak kalah seringnya disebut di bandingkan
dengan kata “pembangunan” dan stabilitas itu sendiri. Melihat pengalaman
sejarah yang pada masda lampau menunjukkan catatan yang “gonjang-
ganjing” politik yang menyebutkan negeri ini tidak mampu membangun
kehidupan ekonominya maka upaya-upaya penggolongan integrasi nasional
dapat dipahami sebagai tindakan-tindakan politik yang rasional. Gerakan-
gerakan kedaerahan yang melakukan pemberontakan atau gerakan separatis
yang didasarkan pada alternatif ideologi baru, sukuisme, dan sebagainya
yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa seperti dialami masa Orde
Lama memang menuntut penggolongan integrasi yang berorientasi pada
upaya meperkecil kesetiaan pada kelompok primordial masing-masing.
Pengalaman masa lampau tentang terakan-gerakan disintegratif itu
tetap membayangi Orde Baru sehingga rezim ini menjadikan integrasi
nasional sebagai sasaran pertama dan utama. Slogan yang sebenarnya “salah
kaprah” dimunculkan secara gencar: “Pembangunan yes, Politik no”. Slogan
yang demikian adalah salah kaprah karena tidak ada pengertian yang
kontradiktif antara pembangunan dan politik sebab pembangunan itu sendiri
merupakan bagian dari politik. Paralel dengan slogan itu pemerintah Orde
Baru pada awalnya sering menekankan agar masyarakat Indonesia
berorientasi pada program dan meninggalkan orientasi ideologi. Disebutkan
25
bahwa semua pertikaian pada masa Orde Lama bersumber pada ideologi,
dan karena pengisian kemerdekaan hanya dapat dilakukan dengan
pembangunan, maka program hendaknya dijadikan pedoman.
Kenyataannya slogan “pembangunan yes, politik no” serta dorongan
untuk berorientasi pada program guna memperkecil pertentangan-
pertentangan yang didasarkan pada ikatan primordial adalah juga
merupakan rekayasa politik. Oleh karena itu kita melihat bahwa sebenarnya
kegiatan politik pada masa Orde baru tidak pernah surut sedikitpun; artinya
politik tetap merupakan panglima. Hanya saja kepanglimaan politik yang
pada masa lalu berada di tangan partai-partai (Demokrasi Liberal) atau
Soekarno, PKI, militer (Demokrasi Liberal) atau Soekarno, PKI, militer
(Domokrasi Terpimpin) maka pada masa Orde Baru kepanglimaan itu
bergeser ke tangan militer; artinya ABRI-lah kekuatan politik yang sangat
menentukan pada jaman orde baru ini.16
2. Demokrasi dan Ancaman Disintegrasi
Transformasi politik Indonesia berlanjut selama tahun 1999 dan
puncaknya pada pemilihan bulan Oktober yang memilih Abdulrahman
Wahid biasanya dikenal dengan Gus Dur sebagai presiden keempat
Indonesia. Berbeda dengan dua presiden Indonesia sebelumnya yang selalu
dipilih dengan mufakat dan yang ketiga sebagai wakil presiden naik menjadi
16 Juwono Sudarsono, Demokrasi dan Pembaharuan Politik, pada Mahfud MD, Disertasi, Perkembangan Politik Hukum, hal. 328.
26
presiden menggantikan pendahulunya. Presiden Abdulrahman wahid
memenangkan jabatan deangan proses konstitusi dan kompetitif.
Transformasi demokrasi Indonesia berproses dengan keadaan-
keadaan sulit yang luar biasa. Ekonomi yang telah hancur karena krisis
keuangan Asia tahun 1997, tetap di dalam resesi yang dalam karena para
investor menunggu sampai ketidak pastian politik diselesaikan. Kekacauan
ekonomi mengakibatkan penderitaan yang besar bagi banyak penduduk dan
pecahnya konflik sosial terus-menerus termasuk pertentangan etnis dan
agama yang hebat.17
Selama setahun banyak pemikiran dicurahkan untuk rangkaian
sistem politik. Undang-undang Dasar 1945 tidak lagi sakral dan abadi.
Beberapa amandemen konstitusi diadopsi oleh MPR dan direncanakan
untuk dilaksanakan pada sidang tahun 2000. Undang-undang baru tentang
otonomi daerah dilangsungkan dalam debat terus-menerus diantara orang-
orang yang menyarankan sistem federal dan yang bertahan dengan negara
kesatuan yang ada pengaruh TNI terus berkurang dan personil militer
menghadapi prospek mendapat hukuman karena pelanggaran hak azasi
manusia.
Undang-undang Tentang Pemilihan dan Pemilihan Umum
Pemerintahan Habibie secara luas dilihat sebagai pelanjut dari
Pemerintahan Orde Baru Soeharto yang didiskreditkan tanpa kekuasaan
17 Harold Crouch, Indonesia: Democratization and The Trhreat of Disintegration, pada Satya Arinanto, Politik Hukum 2, hal. 357.
27
represif penguasa sebelumnya. Di dalam menghadapi tekanan internasional
dan tekanan dalam negeri yang menyebar untuk perbaikan demokrasi,
pemerintah melepas para narapidana politik, mencabut batasan-batasan
terhadap press dan menyelenggarakan pemilihan regional dan nasional.
Paket undang-undang pemilihan baru diadopsi pada bulan Januari,
hasil kompromi yang menghasilkan kerumitan yang luar biasa dan
sebenarnya sungguh tidak dapat dikerjakan, berdasarkan sistem tersebut,
pembagian kursi dalam setiap provinsi adalah berdasarkan perwakilan-
perwakilan proporsional tetapi secara individu dipilih untuk mewakili distrik
tertentu di dalam provinsi. Komposisi parlemen (DPR) dibuat berat sebelah
terhadap Jawa dimana hampir 60 persen penduduk tinggal dengan hanya
234 kursi dan 462 kursi yang dipilih para anggota yang mewakili para
pemilihannya di Jawa. Salah satu aspek undang-undang yang paling
kontroversial adalah dilanjutkannya pengangkatan anggota TNI untuk
lembaga legislatif walaupun anggota mereka separuh dari 75 menjadi 58 di
dalam 500 anggota DPR dan dari 20% menjadi 10% di dalam DPRD.
Undang-undang juga menetapkan 700 anggota MPR yang terdiri dari 500
anggota DPR, 135 Utusan Daerah dan 65 kelompok-kelompok yang
ditunjuk berdasarkan minoritas etnik, veteran, kaum wanita dan lain-lainnya.
MPR merupakan lembaga tertinggi dengan kekuasaan memilih presiden,
membuat Garis-garis Besar Haluan Negara.18
Pemilihan dilakukan pada tanggal 7 Juni ketika 105.720.661 pemberi
suara yang sah memberikan suaranya setelah kampanye damai yagn tak
18 Ibid., hal. 358.
28
diduga-duga. Perbedaan penting dengan pemilihan sebelumnya adalah para
aparat negara yang relatif netral. Setahun sebelumnya militer telah
memangkas hubungannya yang formal dengan Partai Golkar dan
panglimanya Jenderal Wiranto menjamin bahwa pasukannya akan tetap
netral selama kampanye pemilihan. Walaupun partai-partai yang kalah
mengangkat sejumlah keluhan, tak satu partaipun secara sungguh-sungguh
menuduh militer ikut campur dalam pemberian suara. Keluhan paling
penting melibatkan pegawai negeri sipil yang aktif menyokong Golkar di
sejumlah daerah khususnya di luar Jawa dan daerah-daerah pedesaan yang
jauh. Kontrol Golkar atas pemerintahan pusat dan daerah berarti bahwa para
penunjangnya di dalam birokrasi dapat memberikan tekanan pada para
pemberi suara walaupun pegawai-pegawai negeri sipil diperintahkan untuk
netral.
Sebagaimana telah secara luas diantisipasi sebelum pemilihan
umum, lima partai muncul sebagai pengumpul suara terbanyak. Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan memenangkan 33,76 persen suara
nasional diikuti oleh Golkar dengan 22,46%; Partai Kebangkitan Bangsa
(National Awakening Party) dengan 12,62 persen. Partai Persatuan
Pembangunan (Unity and Development Party) dengan 10,72 persen, dan
Partai Amanat Nasional (National Mandate Party) dengan 7,12 persen.
Bagaimana pun penhyebaran kursi di DPR tidak secara langsung
menggambarkan suara nasional karena para pemilih provinsi lebih banyak
dibandingkan pemilih nasional secara keseluruhan. PDI-P memenangkan
29
158 dari 462 kursi yang dipilih (33 persen) tetapi berdasarkan wilayah
sistem dimenangkan Golkar yang memanangkan 120 kursi (26 persen). Bias
wilayah juga memenangkan PPP yang meskipun memenangkan lebih sedikit
suara dibandingkan PKB yang memperolehkursi 58 suara (12,5 persen)
sementara PKB yang berbasis di Jawa hanya memenangkan 51 kursi (11
persen). PAN 34 kursi kurang lebih sesuai dengan pembagian suaranya
Partai-partai lainnya, dua partai kecil Muslim, Partai Bulan Bintang
(Crescen and Star Party) dengan 13 kursi dan Partai Keadilan (Justice Party)
dengan 5 kursi. Dalam basis wilayah (60 persen) dari 153 suara PDI-P
dimenangkan di Jawa dan Bali.19
Pemilihan Predien dan Pemerintahan Baru
Strategi Presiden Habibie yang mengisyaratkan bahwa Partai Golkar
membentuk aliansi dengan PPP dan Partai-partai kecil Muslim lainnya.
Sebagai pemimpin ICMI (Indonesia Muslim Intellectual’s’ Association)
selama era Soeharto. Habibie telah mengembangkan hubungan dengan
organisasi-organisasi Muslim dan berharap menarik dukungan dari partai-
partai Muslim modern yang menurunnya keragu-raguan kepercayaan-
kepercayaan rival utamanya Megawati Soekarnoputri. Habibie juga
berharap mendapatkan sokongan dari TNI dengan menawarkan wakil
presiden kepada Jenderal Wiranto. Selanjutnya secara luas dipercaya bahwa
kekuatan keuangan Golkar yang sangat kuat akan memberikannya maksud-
maksud untuk membujuk melepaskan anggota-anggota MPR untuk
19 Ibid., hal. 359.
30
menunjang calonnya. Dengan kata lain, Habibie tidak menyandarkan pada
tunjangan secara penuh partainya sendiri dimana ada fraksi yang kuat yang
dipimpin oleh Akbar Tanjung apa saja dilakukan untuk menunjangnya.
Prospek Habibie juga diganjal oleh persepsi publik tentang pemerintahannya
sebagai kelanjutan penguasa Soeharto yang didiskreditkan dan khususnya
keengganannya yang jelas untuk melakukan penyeleidikan yang sungguh-
sungguh tuduhan korupsi terhadap mantan Presiden Soeharto.
Penantang utama Habibie adalah Megawati Soekarnoputri, putri dari
presiden pertama Indonesia yang telah digulingkan oleh Soeharto pada
pertengahan tahun 1960-an. Walaupun Megawaki sendiri tidak pernah
memperlihatkan ketrampilan politik yang menonjol dan tampil hanya untuk
merangkul hal-hal kebijakan terbatas belaka, secara luas dia dipersepsikan
sebagai ‘korban’ penguasa Soeharto yang telah menghentikan dirinya
sebagai pemimpin PDI pada tahun 1996. Meskipun demikian dia
sesungguhnya mampu mengambil alih partai tersebut ketika mayoritas para
pendukungnya tumpah ruah berkumpul untuk partai barjunya PDI-P. PDI-P
berpihak kepada nasionalisme sekular dan menahan gerakan untuk
memperkuat pengaruh Islam atas negara.20
Sekutu awal paling penting Megawati adalah PKB yang telah
terbentuk atas prakarsa Nadhlatul Ulama (NU), berbasis di desa-desa Pulau
Jawa yang mengklaim mempunyai 30 juta pengikut. Walaupun tidak
memegang posisi formal di PKB, figur dominannya adalah Ketua NU,
Abdurrahman Wahid menolak sasaran ‘mengislamkan’ negara dan telah
20 Ibid., 360.
31
mengadakan kerjasama dengan orang-orang bukan Islam di dalam Yayasan
Forum Demokrasi selama tahun-tahun terakhir pemerintahan Soeharto. Dia
menyatakan bahwa PKB menjadi partai ‘terbuka’ yang ingin kerjasama
secara erat dengan partai-partai non agama. Ketika para pemimpin politik
secara publik memberikan dukungan kepada Megawati, termasuk Gus Dur,
yang kadang-kadang juga menjaga jarak dengannya. Suara PKI yang relatif
rendah pada pemilihan umum kiranya kemungkinan sulit mengajukan Gus
Dur sebagai calon presiden, dan dalam suatu hukum otonomi,
penglihatannya yang buta, pengaruh dua stroke pada tahun 1998 secara luas
dilihat sebagai yang tidak layak.
PAN merupakan peserta potensial lainnya dalam aliansi reformis
yang menyokong Megawati. Citra terbuka dan wawasan reformis partai
telah menarik intelektual non Muslim dan Muslim yang membuat aliansi
dengan partai-partai politik ‘anti statusquo’ tetapi basis utamanya terletak
pada organisasi Muslim Modern yang besar yang mempunyai sedikit
simpati kepada Megawati. Amien Rais, pemimpin PAN sebelumnya
menjadi Ketua Umum Muhammadiyah tetapi dia bermaksud untuk
merangsang pemilih reformis yang luas tidak hanya terbatas bagi Muslim
modern. Bagaimanapun kinerja buruk PAN di dalam pemilihan umum telah
menghancurkan harapan untuk menduduki jabatan dan memaksanya untuk
merevisi strategi awalnya. Tidak lama setelah pemilihan Megawati tidak
mengadakan pendekatan terhadapnya, Amien mengambil prakarsa untuk
membuat koalisi longgar diantara PAN dan beberapa partai Muslim yang
32
mencakup PPP, PP dan PK yang secara total menentang Megawati tetapi
hanya hangat-hangat tahi ayam dalam persetujuan Habibie. Pada mulanya,
Poros Tengah (Central Axis) sebagaimana menyebut dirinya sendiri, kiranya
hanya mampu mengumpulkan sekitar 120 anggota MPR. Oleh karenanya,
Amien Rais membentuk blok Muslim yang lebih besar dengan menarik
kaum tradisionalis PKB yang masih terikat untuk menunjang Megawati
guna membawa para anggotanya jauh dari Megawati, Amien secara
berangsur-angsur mengejutkan semua pengamat dengan memilih Gus Dur
untuk menduduki jabatan presiden.21
Harapan Presiden Habibie adalah bahwa apapun komitmen yang
telah Amien lakukan terhadap Gus Dur, di dalam analisa akhir hampir
semua Poros Tengah akan memberikan sokongan lebih banyak padanya
dibandingkan kepada Gus Dur. Bagaimanapun ketika MPR mengadakan
sidang pada bulan Oktober dukungan terhadap Habibie dicabut oleh ketua
partainya sendiri Akbar Tanjung, yang dengan jelas menawarkan jabatan
wakil presiden oleh Megawati dengan hasilnya pada sore menjelang senja
laporan tanggung jawab Habibie kepada MPR ditolak oleh 355 yang
menolak dan 322 yang menyetujui dan dia memutuskan untuk menarik diri
dari perubahan jabatan presiden. 12 jam berikutnya diisi dengan manuver
yang tiada henti dengan berbagai calon yang mungkin (kecuali Megawati
yang yakin telah masuk ke kamar tidur) dan keesokan harinya, tanggal 20
Oktober, Gus Dur meskipun sebelumnya mengungkapkan sokongan
terhadap Megawati telah mengamankan tunjangan Poros Tengah dan fraksi
21 Ibid., hal. 361.
33
Habibie di Gokar yang selanjutnya siap menunjang siapapun asal jangan
Megawati. Dan kiranya bahwa hampir semua kelompok PKB memberikan
suara kepada Gus Dur. Penghianatan terhadap Megawati memacu huru-hara
oleh para pendukungnya yang dibuat marah sekali bukan hanya di Jakarta,
tetapi di Solo, Denpasar dan Medan.22
Hilangnya Timor-Timur
Berbeda dengan pemilihan presiden, MPR melakukan keputusan
historis lainnya ketika pada akhirnya mensahkan hasil-hasil referendum di
Timor-Timur dan dengan demikian mengakui penarikan Timor-Timur dari
republik. Masa depan Timor-Timur telah ditempatkan pada agenda nasional
ketika Presiden Habibie secara tiba-tiba mengumumkan dalam suatu
wawancara media pada tanggal 9 Juni 1998 bahwa dia dipersiapkan untuk
memberikan otonomi kepada Timor-Timur di dalam mengembalikan
pengakuan internasional terhadap provinsi sebagai bagian ndonesia.
Tawaran Habibie memberikan dorongan untuk pembicaraan terus menerus
yang disponsori PBB diantara Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri
Luar Negeri Portugis tetapi sampai menjelang akhir tahun, kiranya
kesepakatan belum dapat dibuat. Dalam hal ini adalah surat yang dikirimkan
kepada Habibie pada bulan Desember 1998 oleh Perdana Menteri Rusia,
John Howard bahwa sejumlah bentuk penentuan diri dilakukan setelah
lamanya masa otonomi usulan yang secara esensial mendorong posisi
resistensi Portugal dan Tomorese yang berbeda dengan Indonesia yang
22 Ibid., hal. 362.
34
melihat otonomi luas sebagai solusi akhir. Signifkansi usulan Australia
terletak pada kenyataan bahwa Australia satu-satunya negara ‘Barat’ yang
secara eksplisit telah mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor-Timur.
Walaupun Habibie dengan marah menolak usulan Howard. Pikiran Australia
yang berubah kiranya telah menset gerakan pemikiran kembali posisi
Indonesia dan pada pertemuan kabinet berikutnya pada tanggal 27 Januari
1999, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa Indonesia akan
memberikan rakyat Timor-Timur peluang untuk menerima atau menolak
usulan otonominya pada akhir tahun. Jika mereka menolak usulan,
pemerintah akan merekomendasikan pada sidang MPR mendatang bahwa
Timor-Timur diizinkan untuk menarik diri dari Republik Indonesia.23
Merupakan praktek standar bagi TNI untuk merekruit dan melatih
warganegara sipil di unit-unit yang dikenal sebagai Perlawanan Rakyat
(Wanra) untuk mengambil bagian di dalam pekerjaan-pekerjaan militer di
wilayah-wilayah yang menghadapi pemberontakan. Di Timor-Timur di
dalam melatih Wanra, kelompok-kelompok para militer baru disponsori oleh
militer di luar struktur militer formal dan biasa menteror dan mengintimidasi
para pendukung kemerdekaan. Pada awal tahun 1999 apa yang disebut
milisi sedang beroperasi pada 13 Kabupaten Timor-Timur secara bersama-
sama masuk ke dalam figur-figur Pasukan Pejuang integrasi di bawah
kepemimpinan mantan Bupati Bobonaro, Joao Taveres. PPI sendiri
mengklaim mempunyai pasukan milisi sejumlah 50.000 lebih pasukan tetapi
hampir semua pengamat percaya jumlah tersebut kurang dari 10.000.
23 Ibid., hal. 363.
35
Pendekatan baru Habibie tersebut untuk Timor-Timur
menumbuhkan harapan kelompok pro kemerdekaan dan mencemaskan
kamp pro integrasi. Konflik diantara dua pihak makin meningkat dan selama
tahun 1999 clash menjadi peristiwa sehari-hari. Pada bulan Mei, Sekretaris
Jenderal PBB menyatakan ‘laporan yang dipercaya terus diterima tentang
pelanggaran politik, termasuk intimidasi dan pembunuhan oleh milisi
bersenjata terhadap warga sipil yang tidak bersenjata dan dia menyatakan
bahwa kiranya milisi beroperasi dengan persetujuan elemen-elemen tentara.
Diperkirakan kematian ‘toll’ selama enam bulan pertama tahun 1999 telah
mencapai hampir 200. Sementara sejak tanggal pendaftaran mendekatan
pengambilan suara, jumlah pengungsi meningkat dan organisasi-organisasi
bantuan memperkirakan 50.000 tidak lagi tinggal di rumah-rumah mereka di
desa dimana mereka berharap dapat mendaftar.24
Kesepakatan diantara Portugal dan Indonesia pada tanggal 5 Mei
telah mempercayakan organisasi-organisasi referendum kepada Misi
Bantuan Perserikatan Bangsa-bangsa di Timor-Timur (UNAMET).
Pelanggaran yang terus-menerus memaksa penundaan pendaftaran
pemberian suara dua kali, tetapi akhirnya 458,513 pemberi suara didaftarkan
di Timor-Timur itu sendiri dan 13.279 di tempat-tempat lainnya di Indonesia
dan di luar negeri. Walaupun clash terus berlangsung sepanjang bulan
Agustus, pada akhirnya referendum diselenggarakan dengan suasana penuh
dampai pada tanggal 30 Agustus ketika 99 persen suara-suara yang terdaftar
sungguh-sungguh memberikan suaranya. Pada tanggal 4 September hasilnya
24 Ibid., hal. 364.
36
diumumkan yang memperhatikan bahwa 344.589 (78,5 persen) suara yang
sah menolak usulan otonomi dan hanya 94,388 (21,5 persen)
menerimanya.25
Keadaan-keadaan dengan cepat menjadi buruk ketika anggota-
anggota milisi meluncurkan kampanye pengrusakan dan pembunuhan yang
meninggalkan Dilli, kota-kota lainnya dan banyak terdapat puing-puing di
daerah pedalaman. Dalam beberapa hari beribu-ribu orang telah lari ke
bukit-bukit sekitar Dilli sementara yang lainnya di bawa oleh truk-truk
militer ke Timor Barat. Para pengamat asing seperti dari Carter Center
melaporkan bahwa para anggota mereka mempunyai banyak kesempatan
menyaksikan anggota-anggota milisi melakukan tindakan-tindakan
pelanggaran diawasi penuh oleh polisi dan personil militer bersenjata berat
yang siap siaga, berjaga-jaga atau secara aktif membantu para milisi. Tetapi
bukan hanya orang asing yang merasa terkejut dengan apa yang mereka
lihat. Surat kabar Jakarta, Kompas, melaporkan bahwa ‘kiranya pasukan
keamanan Indonesia sering tidak melakukan apa-apa ketika pelanggaran
terjadi dan Komisi Hak Azasi Manusia menyatakan bahwa kegiatan-
kegiatan teroris berlangsung disaksikan secara langsung dan diizinkan oleh
para anggota pasukan keamanan. Bagaimanapun Jenderal Wiranto secara
tegas menolak bahwa pasukannya menunjang para milisi dan menerangkan
kerusakan sebagai tanggapan alami terhadap pelanggaran-pelanggaran
pemilihan yang dilakukan oleh UNAMET. Sebagaimana di menyatakan:26
25 Ibid., hal. 364.26 Ibid., hal. 265.
37
Anda dapat melihat dan merasakan sendiri bagaimana orang yang kecewa, yang telah diperlakukan dengan tidak adil di depan matanya, yang keluhan-keluhannya diabaikan pada akhirnya akan kecewa dan marah. Selanjutnya mereka mengungkapkan kekecewaannya. Haruskah kami menghadapi mereka dengan pasukan.
Kerusakan yang sangat banyak telah mengurangi reputasi
internasional terhadap Indonesia. Hukuman Mati dinyatakan pada tengah
malam tanggal 6 September dan penegakkan militer ditegakkan tetapi
pelanggaran terus berlanjut. Pemimpin Dewan Keamanan PBB berkata:
‘Saya tidak mengira setiap orang di sini mempunyai suatu keraguan bahwa
telah ada kerumitan diantara elemen-elemen pasukan pertahanan dan milisi.
Di sejumlah wilayah tidak ada perbedaan diantara mereka berkenaan dengan
tindakan dan motivasi. Oleh karenanya misi merekomendasikan dimana
pasukan internasional dikirimkan ‘tanpa lambat’ dan bahwa pelanggaran
yang jelas hukum kemanusiaan internasional diselidiki. Sementara Presiden
AS, Bill Clinton secara terus-terang menegaskan bahwa militer Indonesia
membeking milisi dan mengumumkan penundaan kerjasama militer,
sementara Ketua Kepala Staf Gabungan AS, Henry Shelton berbicara setiap
hari dengan Wiranto. Dewan Moneter Internasional menunda kunjungan
team bantuan ke Indonesia.
3. Disintegrasi Nasional
Perkembangan-perkembangan di Timor-Timur dijaga secara ketat
dari daerah-daerah lainnya yang mempunyai keluhan terhadap aturan dari
Jakarta. Kedua ujung wawasan nusantara Aceh dan Irian Jaya gerakan
38
separatis yang telah lama menarik inspirasi dari perjuangan Timor-Timur
dan menyimpulkan bahwa ketidakmampuan Jakarta mencegah kemerdekaan
Timor-Timur yang menjadi harapan baik bagi prospek-prospek mereka
sendiri. Dengan kata lain, kaum nasionalis terikat untuk mempertahankan
persatuan Indonesia, sementara TNI yang telah sangat dipermalukan dengan
hilangnya Timor-Timur membuatnya jelas yang tidak akan mentolerir
pemisahan di wilayah-wilayah lainnya. Bagaimanapun pemisahan bukan
hanya masalah. Di beberapa wilayah, yang sangat serius di Maluku dan
Kalimantan Barat, peperangan antar etnis dan masyarakat agama
mengakibatkan kasualitas yang berat.
Tantangan yang paling serius adalah di Aceh dimana diketahui
secara luas bahwa referendum akan mengakibatkan suara untuk
kemerdekaan. Keluhan 4,1 juta rakyat Aceh bersifat multi. Walaupun
sumber alam provinsi membuat sumbangan yang besar terhadap anggaran
negara, tingkat kemiskinan di Aceh itu sendiri tetap tinggi. Akhir-akhir ini
banyak orang Aceh juga membenci orang-orang dari belahan Indonesia
lainnya sementara identitas ke Islaman mereka diungkapkan dengan
tuntutan pelaksanaan syariat Islam (Islamic law). Mungkin keluhan yang
paling mendasar adalah konsekuensi tingkah laku militer yang sering brutal
selama dekade setelah tahun 1989 ketika sekitar 1.500 sampai 2.000 orang
dibunuh dan banyak yang terluka dan disiksa selama operasi militer
terhadap separatis Gerakan Aceh Merdeka. Secara luas kekejaman militer
dipublikasikan pada bulan-bulan setelah kejatuhan Soeharto dan Jenderal
39
Wiranto secara pribadi membela tingkah laku tentara-tentara ‘individu’.
Walaupun status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer ditinggalkan, militer
menanggapi peningkatan kegiatan GAM dengan peningkatan represif,
termasuk beberapa pembunuhan massal warga sipil pada tahun 1999.
Selama 17 bulan sejak meninggalkan DOM pada bulan Agustus 1998
sampai akhir tahun 1999, 447 warga sipil dan 87 pasukan keamanan telah
terbunuh dan 144 lainnya hilang.27
Di Irian Jaya sentimen pro kemerdekaan juga sangat kuat. Sejak
liberalisasi paska Soeharto, kepemimpinan kemerdekaan menyebabkan telah
berubah dari gerilya di hutan menjadi tokoh utama di Jayapura dan kota-
kota lainnya. Seperti orang-orang Aceh, mereka lebih suka menyebut
dirinya orang-orang Papua yang mengeluhkan kekayaan mineral mereka
dieksploitasi oleh Jakarta sementara orang-orang mereka sendiri tertinggal
di dalam kemiskinan. Mereka juga merasa terancam oleh gelombang orang-
orang dari belahan Indonesia lainnya, termasuk hampir 300 ribu orang dari
Jawa dan Bali selama tiga puluh tahun lalu berdasarkan skema transmigrasi
resmi pemerintah pusat dan beberapa ratus ribu transmigran spontan dari
pulau-pulan terdekat. Sejak tahun 1990-an kira-kira sepertiga penduduk
Irian Jaya sebesar 2,5 juta adalah bukan penduduk asli.
Kejatuhan Soeharto yang hampir dengan segera diikuti oleh
pembaharuan agitasi untuk kemerdekaan. Sangat berbeda dengan
pendekatan pendahulunya, Presiden Habibie mengundang 100 pemimpin
dari Irian Jaya untuk ikut serta di dalam ‘Dialog Nasional’ di Istana Presiden
27 Ibid., hal. 267.
40
Jakarta pada tanggal 26 Februari. Bagaimanapun mencemaskan Habibie,
karena mereka mengeluarkan pernyataan memohon kemerdekaan. Selama
setahun agitasi berlanjut dan puncaknya pada tanggal 1 Desember 1999
dalam suatu peringatan pengibaran bendera di Jayapura. Seperti peringatan
serupa di Aceh pada tanggal 4 Desember, pemerintahan yang berwenang
mengambil tindakan lunak, yang dibalas oleh para pemimpin Papua yang
menyetujui pengibaran bendera nasional Indonesia bersama-sama dengan
bendera Papua dan menyanyikan lagi Indonesia Raya dan Lagu Papua.
Presiden Abdurrahman Wahid menanggapi dengan memerintahkan
pelepasan semua tahanan politik Papua.28
Berbeda dengan Aceh dan Irian Jaya, konflik di Ambon dan bagian-
bagian lainnya di Provinsi Maluku bukan akibat tuntutan daerah untuk
merdeka tetapi antagonism di dalam masyarakat daerah itu sendiri. Diantara
dua juga penduduk di Provinsi Maluki, Umat Islam 57 persen, Protestan 37
persen dan Katolik 6 persen, tetapi di Pulau Ambon itu sendiri Protestan 52
persen, Katolik 4 persen dan Muslim 53 persen. Di dalam dekade-dekade
terakhir ketegangan antara Kristen Islam telah didorong oleh gelombang
berdatangannya orang-orang Bugis, Buton dan Makasar yang pindah dari
Sulawesi yang secara berangsur-angsur mendominasi pasar-pasar lokal dan
bisnis transportasi. Walaupun secara etnik berbeda dengan Muslim Ambon,
para migran ini adalah orang-orang Islam dan memperkuat sisi
keseimbangan Islam. Persaingan diantara masyarakat selanjutnya membuat
sakit hati dimana pada tahun 1990-an Gubernur-gubernur Islam kian
28 Ibid., hal. 267.
41
menunjuk orang-orang Islam untuk jabatan-jabatan senior walau jabatan
apapun orang-orang Kristen tidak dimasukan. Sebab konflik yang tiba-tiba
yang menandai perpisahan provinsi pada tahun 1999 adalah konflik kecil
diantara pengemudi angkutan kota Ambon Kristen dan dua anak muda
Bugis Muslim yang menyebabkan timbulnya pertarungan tersebar di kota
Ambon pada hari raya lebaran tanggal 19 Januari 1999, yang menandai
penutup bulan puasa umat Islam. Perkelahian terus berlanjut sampai 27 Juli
ketika pertentangan besar lainnya di Ambon memacu pembaharuan konflik
di bagian-bagian lainnya di provinsi. Sampai pertengahan Desember 775
orang telah dibunuh selama setahun dan 115 gereja dan mesjid rusak. Tetapi
meskipun demikian yang paling buruk muncul. Seminggu sebelum penutup
tahun ketika orang-orang Kristen merayakan Natal dan orang-orang Islam
sedang berpuasa selama bulan ramadhan, beberapa ratus orang terbunuh dan
sampai akhir tahun kematian mencapai 1000-an orang. Pada pertengahan
bulan Desember, jumlah pengungsi di Maluku adalah 83.000 dan 80.000
orang terbang ke Sulawesi Selatan.29
Di era paska Soeharto pemikiran telah tereksploitasi dan
ketidakadilan tidak hanya dirasakan di Aceh dan Irian Jaya tetapi juga di
provinsi-provinsi lainnya seperti Kalimantan Timur dan Riau dimana suara-
suara protes juga timbul. Pemimpin PAN, Amien Rais yang dirinya orang
Jawa meneriakkan hal serupa pada tahun 1990-an. Bagaimanapun di
Indonesia, konsep federalisme di diskreditkan di masa lalu dengan
dikaitkannya dengan skema Belanda untuk menghalangi kemerdekaan pada
29 Ibid., hal. 268.
42
tahun 1940-an. Kaum nasionalis menganggap federalisme sebagai yang
tidak lebih langkah menuju disintegrasi bangsa sementara para penganut
federal membantah bahwa kenyataannya federalis diperlukan dalam keadaan
saat ini guna mencegah disintegrasi bangsa. Pada bulan November tahun
1999, DPRD Kalimantan Barat membuat resolusi yang mengajukan negara
federal sementara Kongres Rakyat Riau yang diselenggarakan pada awal
tahun 2000 juga untuk tujuan yang sama. Bagaimanapun usulan federal
secara kuat ditentang oleh para pemimpin militer dan partai-partai politik
utama, presiden baru Gus Dur menyatakan: ‘Sesungguhnya kami suka sekali
mempunyai sistem federal’, tetapi ujarnya lagi ‘Indonesia tidak suka dengan
kata ‘federalisme’. Lakukan hal-hal tanpa menyebutkannya adalah cara
Indonesia’, dia menjelaskan: ‘Jika undang-undang otonomi yang baru
dilaksanakan dengan sunguh-sungguh, pembagian kekuasaan di dalam
sistem politik Indonesia akan mengalami perubahan mendasar.30
4. Konsolidasi Demokrasi dan Peranan Militer
Demokrasi dimulai oleh Presiden Habibie mantan menteri senior
penguasa otoriter yang dilanjutkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid
pendiri oposisi Forum Demokrasi selama era akhir Soeharto. Suasana di
Istana Kepresidenan pertama kali ditransformasikan oleh Habibie kemudian
dilanjutkan oleh Gus Dur. Gus Dur bukan hanya melengkapi pelepasan
tahanan politik yang dimulai oleh Habibie tetapi dia mengundang mantan
narapidana sebagai undangan ke istana, sebagaimana di dalam hal novelis
30 Ibid., hal. 269.
43
Pramudya Ananta Toer dan di dalam buka bersama di bulan Ramadhan
berkenaan dengan pemimpin muda Partai Rakyat Demokrat, Budiman
Sujatmiko. Bukan hanya mengakhiri permusuhan dengan Timor-Timur
tetapi dia mengundang pemimpin Timor-Timur, Xanana Gusmao sebagai
teman, yang telah menjadi tahanan di masa Soeharto dan Habibie.
Suasana di MPR juga ditransformasikan. Para anggotanya tidak lagi
mendengarkan dengan diam dan tenang terhadap laporan
pertanggungjawaban presiden sebagaimana terjadi di masa lalu ketika
Soeharto mengarahkan sidang-sidang lima tahunannya. Pada bulan Oktober
1999 sejumlah anggota mengolok-olok dan secara berangsur-angsur
laporannya ditolak. Untuk point kreditnya yang besar tersebut harus diakui.
Habibie tidak kembali ke rumah tetapi duduk sampai debat yang sangat
kritis tentang laporannya. MPR terpilih di bawah kepemimpinan Amien
Rais dan DPR di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung tidak lagi
diharapkan menjadi tukang stempel usulan apapun yang diajukan dihadapan
mereka oleh presiden.31
Walaupun berdasarkan konstitusi diisyaratkan untuk mengadakan
sidang hanya sekali dalam lima tahun, diputuskan untuk mengadakan sidang
tahunan dan diharapkan bahwa presiden akan melaporkan prestasinya
selama setahun sebelumnya dengan kemungkinan laporan ini dapat ditolak.
Perubahan ini dipadukan dengan keanggotaan MPR yang dipilih secara
demokratis. Kenyataannya memperkenalkan elemen parlemen yang kuat
dengan sistem presidensial Indonesia. Walaupun presiden tidak dapat
31 Ibid., hal. 270.
44
diberhentikan jika kehilangan kepercayaan mayoritas DPR, sebagaimana
akan menjadi kasus terhadap perdana menteri dengan sistem parlementer,
presiden dapat diberhentikan pada sidang tahunan MPR jika laporannya
diduga tidak dapat diterima. Gus Dur mungkin mempunyai kemungkinan ini
mengingat ketika dia memasukkan perwakilan seluruh partai yang
signifikan di dalam kabinet ‘pelanginya’ dengan tambahan lagi
pertimbangan-pertimbangan sehubungan dengan dorongan integrasi
nasional.
Perbaikan utama adalah penarikan ‘kekaryaan’ praktek pemakaian
para perwira militer aktif untuk posisi-posisi sipil di dalam administrasi
pemerintahan. Pada tahun 1999, kira-kira 3.500 sampai 4.000 yang
menduduki pos-pos yang terdiri dari menteri kabinet, gubernur/kepala
daerah dan duta besar digantikan para pejabat yunior di dalam
pemerintahan-pemerintahan daerah. Sejak tanggal 1 April para perwira
harus pensiun dari struktur militer sebelum memangku jabatan-jabatan non
militer. Pada waktu itu empat dari 21 menteri kabinet, 10 dari 27 gubernur
dan 128 bupati dan walikota dari 306 perwira aktif. Aturan baru tidak
mencegah para perwira pensiun (purnawirawan) yang diangkat untuk
jabatan-jabatan sipil tetapi demokratisasi umum sistem politik, khususnya
pemilihan kepala-kepala daerah. Walau[pun penghapusan kekaryaan tidak
menghapus perwakilan militer yang diangkat di DPRD, DPR dan MPR,
perwakilan mereka separuh dari 2.800 perwakilan di masa lalu.
45
Ketika Presiden Abdurrahman Wahid membentuk kebinetnya pada
bulan Oktober 1999, lima dari 35 anggota kabinet (termasuk Panglima TNI
yang menikmati status kabinet) adalah para perwira aktif dan satu
purnawirawan. Jenderal Wiranto mendapatkan pos yang berpengaruh,
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan tetapi para menteri militer tidak
membentuk blok kohesif. Dua perwira telah memperoleh jabatan sebagai
gubernur/kepala daerah dan dengan jelas ditunjuk untuk alasan tersebut
ketimbang sebagai ‘perwakilan’ militer sementara dua perwira senior
lainnya yang membuat jelas bahwa mereka lebih menyukai meneruskan
karir militernya. Untuk pertama kalinya sejak tahun 1950-an, seorang sipil
Juwono Sudarsono menduduki jabatan Menteri Pertahanan dan untuk
pertama kalinya seorang perwira angkatan laut, Laksamana Widodo
Adisucipto ditunjuk sebagai Panglima TNI.
Meskipun perbaikan-perbaikan (reformasi) yang dilaksanakan
selama tahun lalu, TNI mempertahankan hadirnya politik yang kuat melalui
organisasi teritorial TNI. Secara khusus militer masih diorganisasikan lebih
banyak sebagai kekuatan pertahanan keamanan dibandingkan kekuatan
pertahanan dengan sekitar dua pertiga pasukan tersebar di seluruh negeri
dengan satuan-satuan kecil sesuai dengan pemerintahan sipil. Organisasi
teritorial TNI dijadikan alasan sebagai bagian doktrin pertahanan nasional,
tetapi di dalam kenyataan kekuatan-kekuatan teritorial secara primer terkait
untuk mempertahankan stabilitas politik dan mempunyai kapasitas yang
layak untuk ikut campur di dalam politik-politik lokal. Selama kapasitas ini
46
tetap di tempat, pemerintahan sipil terus-menerus rawan dengan tekanan
militer. Pada akhir tahun, struktur teritorial TNI menjadi fokus debat publik
yang mengejutkan diantara para perwira militer. Pemprakarsa debat adalah
yang akhir-akhir ini diangkat sebagai Pangdam (Regional Commander) di
Sulawesi dan salah seorang pemimpin reformasi, Mayor Jenderal Agus
Wirahadikusumah, yang berkata kepada komisi DPR pada bulan Desember
bahwa struktur teritorial adalah ‘instrumen kekuasaan’ yang harus dikurangi
dan secara berangsur-angsur dihapuskan. Bagaimanapun usulan-usulan
Agus secara publik ditolak oleh perwira-perwira lainnya dan Agus sendiri
mengakui bahwa hanya kira-kira 20 persen perwira yang simpati dengan
pandangan-pandangannya.32
Sementara itu otoritas pemerintahan sipil atas militer sedang
menghadapi tes mendasar tentang kasus apa yang para aktivis hak azasi
manusia sebut ‘budaya bebas dari hukuman’. Pada bulan November 1999,
komite investigasi yang diangkat oleh Presiden Habibie mempresentasikan
pemerintahan baru dengan laporan setebal 484 halaman tentang pelanggaran
militer di Aceh dan mendesak bahwa prioritas diberikan kepada lima kasus
dimana terdapat bukti yang jelas yaitu perkosaan pada tahun 1996,
penyiksaan dan pelenyapan di dalam pusat interogasi militer, dan tiga
tembakan massal secara bebas, team penemuan fakta yang dibuat oleh
pemerintahan daerah dan dikepalai oleh seorang kolonel juga telah
menyimpulkan bahwa salah satu tembakan mengenai Teuku Bantaquah dan
32 Ibid., hal. 272.
47
para pengikutnya di Aceh Barat bukan akibat ‘pertempuran bersenjata’
sebagaimana yang diklaim oleh militer tetapi ‘tembakan unilateral’.
Kasus-kasus termuat yang diajukan ke pengadilan Aceh hanya
melibatkan para perwira rangking bawah, tetapi penyeleidikan
penghancuran paska referendum di Timor-Timur memfokuskan perhatian
pada para perwira senior teermasuk Pangslima TNI dan Menteri Pertahanan
dan Keamanan, Jenderal Wiranto. Pada bulan September Presiden Habibie
mendirikan Komisi Penemuan Fakta dalam suatu usaha yang tidak berhasil
untuk mem-pre-empt pendirian penyelidikan internasional kemungkinan
‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ oleh Komisi Hak Azasi Manusia PBB.
Dalam laporan kepada Dewan Keamanan PBB pada tanggal 21 Desember,
tiga penyelidik dari PBB menyimpulkan bahwa ada alasan-alasan yang
dipercaya bahwa TNI terlibat di dalam ‘kejahatan perang’ di Timor-Timur
dan membuat rekomendasi sebagai berikut:33
Selain perkara yang dilakukan berbulan-bulan, langkah-langkah
yang diambil oleh pemerintahan Indonesia untuk menyelidiki
keterlibatan TNI di dalam kekejaman tahun lalu masih segar, dengan
cara penjelasan fakta-fakta yang dapat dipercaya dan mengajukan
para pelaku. Bagaimanapun baik secara langsung dan berdasarkan
tanggung jawab perintah berada pada tingkat tanggung jawab yang
tinggi, Dewan Keamanan harus mempertimbangkan pendirian
pengadilan kriminal internasional untuk tujuan ini.
33 Ibid., hal. 271.
48
III. KESIMPULAN
Pada permulaan tahun 2000, Indonesia menghadapi empat tantangan utama.
Pertama, pemerintah perlu menciptakan sistem politik yang stabil dan efektif
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan kemampuan mencegah kembalinya
militer ke kekuasaan politik. Ini membutuhkan sistem partai yang efektif yang dapat
menghasilkan koalisi tunjangan stabil bagi pemerintahan untuk tuntutan-tuntutan
rakyat. Kedua, pemerintah perlu mendapatkan rumusan untuk menyelesaikan
wilayah-wilayah dimana pendapat publik akhir-akhir ini secara kuat menyetujui
pemisahan dari Indonesia, selain juga untuk memenuhi wilayah-wilayah lainnya di
negeri. Ketiga, pemerintah perlu menyelesaikan tanda-tanda disintegrasi yang kuat,
khususnya konflik etnik dan agama. Dan yang keempat, pemerintah perlu
mempromosikan keadaan-keadaan kondusif untuk pemulihan ekonomi.
Selama kemajuan-kemajuan yang signifikan tahun 1999 terhadap sasaran
pertama yang telah dilakukan walaupun demokrasi Indonesia yang baru masih jauh
dari jangkauan. Sejumlah langkah tentatif telah diambil terhadap sasaran kedua.
Meskipun persepsi umum luar negeri tentang ‘balkanisasi’ Indonesia, Aceh dan
Papua hanyalah provinsi-provinsi dengan potensial separatisme yang
sesungguhnya. Tantangan ketiga dengan bentuk konflik di antara kelompok etnis
dan agama. Dan akhirnya, walaupun ekonomi telah memperlihatkan sejumlah tanda
pertumbuhan, meskipun demikian harus mengalami perbaikan-perbaikan mendasar
yang diperlukan untuk menarik investasi yang perlu untuk pemulihan jangka
panjang. Selain pemulihan ekonomi dapat diraih, prospek-prospek demokratisasi
jangka panjang, persatuan nasional dan sosial, perdamaian tetap akan diragukan.