POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP ASEAN (Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community) OLEH: NABIL AHMAD FAUZI NIM: 103033227824 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/ 1429 H
82
Embed
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP ASEAN Studi …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP ASEAN
(Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community)
OLEH:
NABIL AHMAD FAUZI
NIM: 103033227824
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M/ 1429 H
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP ASEAN
(Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Sebagai Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Nabil Ahmad Fauzi
NIM: 103033227824
Di Bawah Bimbingan
Drs. Agus Nugraha, M.Si.
NIP: 150 299 478
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M/ 1429 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi dengan judul “Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap ASEAN (Studi Kasus:
Proses Pembentukan ASEAN Community)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 31 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 31 Maret 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua,
Dr. Masri Mansoer, M.A.
NIP. 150 244 493
Sekretaris,
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A
NIP. 150 270 808
Penguji I,
Drs. Zakky Mubarak, M.A.
NIP. 150 371 093
Penguji II,
Drs. Idris Thaha, M.Si.
NIP.150 317 723
Pembimbing,
Drs. Agus Nugraha, M.Si.
NIP.150 299 478
KATA PENGANTAR
SubhanAllah Walhamdulillah Wa Laa Ilaha IllAllah, Allahu Akbar. Segala
puji hanya milik Allah yang melimpahkan ketentraman dan ketenangan di batin yang
terdalam. Berkat rahmat dan kuasa-Nya serta kekuatan-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan
melimpah kepada penghulu agung, rasul junjungan Muhammad Saw beserta para
sahabat, keluarga dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan dan kelemahan penulis, skripsi
ini tidak akan bisa terselesaikan tanpa adanya bantuan, sokongan serta dukungan
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis bermaksud mengucapkan
ribuan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tinginya kepada:
Adapun kerangka umum Bali Concord II yang berisi pembentukkan ASEAN
Community tersebut menggariskan bahwa ;
An ASEAN Community shall be established comprising three pillars,
namely political and security cooperation, economic cooperation, and socio-
cultural cooperation that are closely interwined and mutually reinforcing for
the purpose of ensuring durable peace, stability and shared prosperity in the
region.5
Kerangka tersebut secara tegas mengupayakan suatu pendekatan yang dibangun untuk
mewujudkan ASEAN yang damai, stabil dan sejahtera. Oleh karena itu, politik,
2 James Luhulima, Asia Tenggara dan Negara Luar Kawasan Yang Mempengaruhinya:
Pendekatan Politik dan Keamanan (Jakarta: Kompas-Grasindo, 1998), h. 35. 3 Brunei Darussalam bergabung di ASEAN pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam menjadi
anggota ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Laos dan Myanmar bergabung pada tanggal 23 Juli 1997
dan Kamboja menjadi negara terakhir yang bergabung pada tanggal 30 April 1999. S. Pusphanathan,
“The Establishment of ASEAN Community for the Future of ASEAN”, dalam Seminar ASEAN Charter:
The Future of ASEAN ?, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, tanggal 3 September 2007 di Wisma
Syahida, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 1.
4 Dian Triansyah Djani, “The Future of ASEAN Regional Cooperation After the 40
th
Anniversary”, dalam Seminar ASEAN Charter: The Future of ASEAN ?, Fakultas Ekonomi dan Ilmu
Sosial, tanggal 3 September 2007 di Wisma Syahida, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 1.
5 S. Pusphanathan, “The Establishment of ASEAN Community for the Future of ASEAN”, h. 1.
keamanan, ekonomi dan sosial budaya menjadi bidang prioritas dan vital untuk
menuju Komunitas ASEAN.
Setidaknya ada beberapa latar belakang yang menjadikan ASEAN Security
Community sebagai pilar pertama dalam kerangka ASEAN Community yakni untuk
menjamin ASEAN mengatur stabilitas keamanan regional oleh para negara
anggotanya. Hal ini penting untuk memastikan serta menangkal pengaruh kekuatan
negara-negara besar luar kawasan (Amerika Serikat, Cina, Australia dan Rusia) secara
langsung. Selain itu, ASEAN Security Community akan semakin memperkuat posisi
ASEAN dalam konstelasi geopolitik internasional.
Dalam kaitan yang lebih luas, meminjam pendapat Juwono Sudarsono, “era
pasca-Perang Dingin”, “globalisasi ekonomi” dan “Dunia Tanpa Tapal Batas”,
masalah-masalah perimbangan kekuatan militer antar bangsa tetap menjadi sentral
dalam hubungan internasional menuju abad-21.6 Oleh karena itu kerjasama keamanan
kawasan diperlukan untuk mengimbangi kepentingan nasional negara anggota
ASEAN dalam membangun pertahanan dan persenjataan domestiknya. Selain itu
untuk menjamin setiap penyelesian permasalahan dalam lingkup ASEAN diselesaikan
tidak dengan pendekatan militer.
Unsur ekonomi yang diwujudkan dalam ASEAN Economic Community
merupakan elemen lain yang juga penting. Pertama, untuk mempercepat langkah
meminimalisir jurang pertumbuhan dan perkembangan ekonomi antar negara anggota
yang masih besar. Kedua, memperkuat pertahanan ekonomi kawasan agar tidak
mengulangi krisis ekonomi tahun 1997 yang dipicu oleh krisis mata uang Thailand
yang dengan mudahnya menyebar kesemua negara di Asia Tenggara. Tuntutan untuk
6 James Luhulima, Asia Tenggara, h. viii.
terintegrasi terhadap pasar bebas dunia juga menjadi motivasi utama kerjasama
ekonomi ini.
Sedangkan aspek ASEAN Socio-Cultural Community dalam ASEAN
Community diperlukan dalam upaya mempercepat visi integrasi ASEAN. Kedekatan
sosial budaya yang dibangun di tingkatan elit diharapkan mampu berdampak pada
integrasi sosial budaya pada level masyarakat (civil society) dari negara-negara
anggota. Selama ini, kurangnya rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kekitaan
(we feeling) dari masyarakat negara-negara anggota ditengarai sebagai faktor
lambatnya perkembangan kerjasama integrasi ASEAN.
Sejak awal, ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi berdirinya
perhimpunan tersebut, yakni keinginan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi,
sosial, dan kebudayaan kawasan melalui program-program kerjasama; menjaga
stabilitas politik dan ekonomi kawasan dari rivalitas negara besar; menyediakan
forum bagi penyelesaian perbedaan-perbedaan intra-regional.7
Pada awalnya, terlihat motivasi politik yang sangat besar melatar belakangi
berdirinya ASEAN ini, namun para negara pendiri masih terlalu riskan untuk
menempatkan masalah politik dan keamanan dalam mainstream kebijakan
perhimpunan. Hal mendasar yang melandasi sikap kehati-hatian ini adalah masalah
politik dan keamanan masih merupakan hal yang terlalu sensitif. Pasalnya ini akan
menyentuh masalah vital di mana beberapa negara pendiri baru memulihkan
hubungan diplomatiknya. Selain itu, perbedaan perspektif dalam menyikapi kehadiran
pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Asia Tenggara masih menjadi persoalan
penting. Sehingga dikhawatirkan pembahasan yang terlalu berat dalam wilayah politik
dan keamanan dapat mengancam kelangsungan hidup ASEAN yang masih baru.
7 Ibid., h. 35.
Seiring dengan perkembangan dan perubahan peta politik internasional yang
ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet
pada awal era 1990-an, ASEAN bergerak menuju ranah penguatan kerjasamanya.
Terlebih ketika tahun 1992 Amerika Serikat secara resmi keluar dari Filipina yang
sejak lama didudukinya semakin memotivasi negara-negara anggota ASEAN untuk
mulai merumuskan kembali pola kerjasama regional yang lebih luas tanpa terlalu
dicampuri oleh kepentingan-kepentingan negara luar kawasan.
Pengalaman negara-negara ASEAN yang selama puluhan tahun
“dipermainkan” oleh negara luar kawasan, menjadi titik awal kesadaran negara –
negara ASEAN untuk menciptakan kerjasama kawasan yang lebih konkret. Hal ini
diwujudkan dengan lahirnya konsep ASEAN Security Community, di mana tema
politik dan keamanan menjadi isu sentral.
Selain itu, badai krisis ekonomi yang menerjang Asia Tenggara pada tahun
1997 juga menyadarkan ASEAN bahwa diperlukan suatu kerjasama yang erat dalam
bidang ekonomi. Kesadaran akan Pasar Tunggal ASEAN sebagai wujud respon
negara-negara anggota dalam menghadapi globalisasi juga menjadi alasan penting.
Oleh karena itu, lahirlah gagasan pembentukkan ASEAN Economic Community.
Terlebih, eksistensi ASEAN masih menjadi komoditas para elit politik negara-
negara anggota. Hal ini menjadikan ASEAN tidak mengakar dalam kehidupan sosial
budaya masyarakat negara anggota. Karena itu pembentukan ASEAN Socio-Cultural
Community menjadi sangat penting. Ketiga faktor di atas menjadi pilar dalam
kerangka pembentukkan ASEAN Community, di mana hal ini menjadi sebuah
keniscayaan dalam peta konstelasi sosial politik dunia internasional kontemporer.
Dalam perspektif yang lebih khusus, proses pembentukan ASEAN Community
ini merupakan bagian penting dalam ranah politik luar negeri Indonesia terhadap
ASEAN. Peran Indonesia dalam hal ini sangat besar, dengan menjadi pelopor
pembentukan ASEAN Community ini. Hal ini terbukti di mana kelahiran Bali Concord
II pada KTT ASEAN IX di Bali di awali dengan konsep ASEAN Security Community
yang digagas oleh Indonesia.
Jika mengacu pada sejarahnya, tidak heran jika Indonesia mengambil peran
yang besar dalam proses politik di ASEAN. Sejak berakhirnya kekuasaan Presiden
Soekarno dan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto
mengambil kebijakan strategis dengan menempatkan kawasan Asia Tenggara dalam
prioritas politik luar negeri Indonesia. Hal ini merupakan langkah strategis dalam
konteks kebijakan politik luar negeri Indonesia saat itu.
Soeharto lebih memilih memperkuat kawasan Asia Tenggara daripada lingkup
politik internasional yang lebih luas, seperti Konferensi Asia Afrika dan Gerakan
Non-Blok. Hal ini diimplementasikan dengan menjadikan Indonesia sebagai pelopor
dan pendiri ASEAN. Indonesia beranggapan bahwa stabilitas kawasan merupakan
elemen penting dalam menopang stabilitas nasional. Oleh karena itu, Indonesia
menempatkan ASEAN dalam ruang yang khusus dalam politik luar negeri Indonesia
sejak saat itu.
Kebijakan politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN ini setidaknya
dilandasi oleh 3 (tiga) faktor utama, 8 yakni; pertama, orientasi politik luar negeri
Indonesia dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yaitu ”…Supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi…”.9
8 Kebijakan politik luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para
pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan
dikendalikan untuk mecapai tujuan nasional yang spesifik yang ditujukan dalam terminologi
kepentingan nasional. A.A. Banyu Perwita dan Yanyan M. Yani, Pengantar Hubungan Internasional
(Bandung: Rosda Karya, 2005), h. 49.
9 UUD 1945, P-4 dan GBHN (Jakarta: Depdiknas, 1997), h. 1.
Kedua, patron politik luar negeri Indonesia yakni Bebas dan Aktif.
Sebagaimana yang digariskan oleh pernyataan Muchtar Kusumaatmadja (mantan
Menlu Indonesia era Orde Baru), Orientasi “Bebas” berarti Indonesia tidak memihak
pada kekuatan-kekuatan yang ada, karena pemihakan kepada salah satu kekuatan pada
dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa yang mana dicerminkan dalam
Pancasila dan politik Bebas-Aktif. Adapun “Aktif diartikan bahwa dalam
menjalankan kebijakan luar negerinya Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas
kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif.10
Ketiga, Indonesia beranggapan bahwa “dalam strategi internasional, kawasan
ini berada dalam jalur yang sangat potensial dilihat dari segi sosio-ekonomi dan sosio-
politik di mata negara-negara adikuasa.”11 Faktor geografis ini menjadi penting bagi
Indonesia.12 Karenanya Indonesia menganggap sangat diperlukan mekanisme
kerjasama regional yang kuat untuk menjamin kehidupan bernegara dan bertetangga
yang aman, damai dan stabil sebagai penopang stabilitas nasional.
Dengan kerangka di atas, maka tidak heran jika Indonesia menjadi negara
penting dalam perkembangan ASEAN. Keberhasilan ASEAN membangun
masyarakat yang aman untuk bagian terbesar adalah berkat pendekatan kerja sama
dan kemitraan yang dipelopori oleh Indonesia sejak tahun 1967, yaitu politik luar
negeri yang diabdikan untuk kepentingan nasional dengan mendahulukan
pembangunan nasional. Strategi dasar inilah yang ditempuh Indonesia, diterima
sebagai hal yang membangun tindak percaya (confidence building measure) di
10 Muchtar Kusumatmadja, Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa ini
(Bandung: Alumni, 1983), h. 7.
11
Harry Kawilarang, Dunia di Tengah Kemelut; Bunga Rampai Masalah Internasional 1983-
1984 (Jakarta: UI Press, 1984), h. xi.
12
Faktor geografis merupakan salah satu dari atribut nasional yang mempengaruhi politik luar
negeri selain atribut populasi, ekonomi, politik domestic, sosial , kekuatan militer dan lain sebagainya.
Theodore A. Coulombis dan James H. Wolfe, Pengantar Hubungan Internasional; Keadilan dan
Power, terj.Mercedes Marbun (Bandung: Abardin, 1990), h. 127.
kalangan negara-negara Asia Tenggara yang kemudian diakui oleh negara–negara
besar di Asia Pasifik.13
Namun, perubahan peta politik domestik yang ditandai dengan runtuhnya era
Orde Baru menjadikan posisi Indonesia cenderung melemah dalam konstelasi politik
regional ASEAN. Kesibukan dengan pergulatan masalah-masalah domestik sedikit
melemahkan tarikan politik luar negeri Indonesia. Belum lagi citra kerusuhan, konflik
SARA (Suku, Adat, Ras dan Agama), separatisme sampai terorisme menambah
buruknya citra Indonesia dalam peta dunia internasional dan ASEAN. Namun, pada
KTT ASEAN IX di Bali itulah yang menjadi titik balik kembalinya peran penting
Indonesia di ASEAN.
Manuver Indonesia yang sejak awal menggagas terbentuknya ASEAN Security
Community menjadi fenomena tersendiri. Terlebih gagasan Indonesia ini kemudian
menggelinding menghasilkan multiplier effect. Terbukti dengan terwujudnya
kepakatan ASEAN Community dalam Bali Concord II. Bahkan hingga kini, Indonesia
masih tetap fokus untuk mengawal pengembangan dan pembangunan ASEAN
Community dalam bingkai ASEAN Charter (Piagam ASEAN) dalam forum-forum
regional.14
Maka muncul beberapa pertanyaan, yakni peran dan kepentingan apa yang
melandasi manuver politik luar negeri Indonesia tersebut.
Oleh karena itu, fenomena tersebut menjadi penting dan sangat menarik untuk
diangkat dalam penelitian akademik. Karenanya penulis mengajukan ini sebagai
skripsi dengan judul “Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap ASEAN (Studi
Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community ) ”.
13 James Luhulima, Asia Tenggara, h. ix.
14
ASEAN Charter merupakan penyempurnaan dari ASEAN Community. Piagam ASEAN ini
merupakan pijakan hukum atau yuridiasi internasional bagi negara-negara anggota ASEAN. Piagam
ini ditandatangani pada KTT ASEAN di Singapura tahun 2007 lalu. Dian Triansyah Djani, “The
Future of ASEAN Regional Cooperation After the 40th Anniversary”, h. 6.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, tetapi tetap fokus pada
pokok-pokok persoalan yang diangkat, maka penulis membatasi masalah pada politik
luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan ASEAN Community.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah:
a. Bagaimana politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN?
b. Apa yang dimaksud dengan ASEAN Community?
c. Bagaimana politik luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan ASEAN
Community?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN.
b. Untuk mengetahui gambaran umum ASEAN Community.
c. Untuk mengetahui politik luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan
ASEAN Community.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah
mampu memberikan kontribusi akademis dan ilmiah mengenai politik luar negeri
Indonesia dan ASEAN di lingkungan jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Civitas Academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
masyarakat umum.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library reseach), sumber
data penelitian ini sepenuhnya berdasarkan pada riset kepustakaan, buku-buku tentang
politik luar negeri, data dan informasi primer dari Sekretariat Jendral ASEAN dan
Departemen Luar Negeri Indonesia serta tulisan lainnya yang terkait dengan
penelitian ini.
Adapun metode pembahasan penelitian ini menggunakan metode deskriptif -
analisis kritis. Penulisan skripsi ini, secara umum mengacu pada buku Pedoman
Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2007/2008.
E. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Pendahuluan meliputi latar belakang masalah yang membahas tentang kondisi
ASEAN sebagai sebuah organisasi regional. Selain itu, mengangkat peran politik luar
negeri Indonesia dalam pembentukkan ASEAN Community. Dalam pembatasan
masalah, penulis fokus pada proses pembentukkan ASEAN Community. Pada
perumusan masalah hanya dititik beratkan pada politik luar negeri Indonesia terhadap
ASEAN, pengertian ASEAN Community dan politik luar negeri Indonesia pada proses
pembentukan ASEAN Community. Selain itu, terdapat tujuan dan manfaat penelitian.
Dalam metodologi penelitian, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis.
Terakhir, sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Umum Politik Luar Negeri
Meliputi pengertian dan teori-teori politik luar negeri di mana penulis
mengklasifikasikan secara umum dalam tiga perspektif; realis, pluralis dan global.
Terdapat juga pengertian kepentingan nasional yang merupakan pilar tertinggi dari
politik luar negeri setiap negara. Pada definisi peran dan diplomasi dalam politik luar
negeri, penulis fokus pada fungsi utama dari diplomasi. Pengertian kerjasama regional
turut dimasukan sebagai landasan dalam memadang ASEAN.
Bab III Gambaran Umum ASEAN dan ASEAN Community
Bab ini terdiri dari dua bagian, yakni, pertama, menguraikan tentang sejarah
kelahiran ASEAN yang dideklarasikan pada 1967 dengan lima negara pendiri awal.
Posisi ASEAN dalam politik luar negeri Indonesia menempati posisi vital dan
merupakan soko guru. Kedua, membahas pengertian umum ASEAN Community yang
merupakan sebuah konsep ASEAN yang terintegrasi sebagai sebuah masyarakat antar
bangsa. Dalam penjelasan tentang ASEAN Security Community (bidang politik dan
keamanan), ASEAN Economic Community (bidang ekonomi) dan ASEAN Socio-
Cultural Community (bidang sosial budaya) difokuskan pada penegrtian umumnya.
Bab IV Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Proses Pembentukkan ASEAN
Community.
Membahas kepentingan-kepentingan Indonesia yang dilandasi pada; status
regional power center, stabilitas politik, kemanan dan ekonomi serta pengembalian
citra. Peranan Indonesia yang sangat besar dalam pembentukan ASEAN Community
serta beberapa peluang dan tantangan besar bagi Indonesia dalam ASEAN Community.
Bab V Penutup
Berisi kesimpulan bahwa Indonesia menempatkan ASEAN pada posisi vital
politik luar negerinya dan berperan penting dalam pembentukan ASEAN Community.
Saran yang penulis sampaikan difokuskan pada perbaikan sistem hukum nasional
serta membumikan semangat ASEAN Community tersebut.
BAB II
TINJAUAN UMUM POLITIK LUAR NEGERI
A. Pengertian Politik Luar Negeri
Politik luar negeri merupakan sebuah komponen penting dalam pemerintahan
suatu negara. Hal ini lebih disebabkan kebijakan politik luar negeri suatu negara
berdimensi ganda, yakni; dimensi domestik dan negara lain. Karena itu, studi politik
luar negeri atau hubungan internasional berdimensi luas yang meliputi dimensi
politik, ekonomi dan sosial budaya.
Pada dasarnya, politik luar negeri merupakan “action theory”, atau
kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu
kepentingan tertentu. Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan
suatu perangkat formula nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk mempertahankan,
mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan
internasional. Dari dimensi nasional, dukungan rakyat merupakan prasayarat bagi
presiden dalam mengemudikan politik luar negeri.15
Namun seringkali otoritas
presiden melebihi legitimasi publik dalam penentuan kebijakan luar negeri. Hal ini
kemudian melahirkan gap besar antara kebijakan dengan legitimasi publik yang
berdampak lemahnya dukungan masyarakat.
Selain itu, politik luar negeri dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
telah diformulasikan sedemikian rupa oleh satu pihak (dalam hal ini state) untuk
memperjuangkan dan mencapai kepentingan nasional satu pihak.16 Dalam konsep
15
Hans. J. Morgenthau, Politik Antar-Bangsa, terj.S. Maimoen (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1990), h. 225. 16
Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Frameworks for Understanding,
(Boston: Allyn & Bacon, 1997), p. 134.
Holsti,17 pokok dalam membuat politik luar negeri pada umumnya dititik beratkan
pada usaha untuk memecahkan berbagai persoalan, baik yang berhubungan dengan
masalah dalam maupun luar negeri dan diwujudkan melalui berbagai cara yang
bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya yang direfleksikan melalui
perumusan kebijakan politik luar negerinya. Sehingga menurutnya, kebijakan luar
negeri dibuat sebagai suatu reaksi negara terhadap lingkungan eksternal,
keseimbangan dan ketidakseimbangan semua unit dalam sistem.
Berdasarkan hal tersebut, setiap kebijakan luar negeri yang dibuat sebuah negara
akan bersifat spesifik dan tentunya sesuai dengan kebutuhan negara. Sebagaimana
akan penulis paparkan dalam BAB IV penelitian ini, langkah Indonesia mengusung
pembentukan ASEAN Security Community yang berkembang menjadi ASEAN
Community merupakan implementasi dari pendapat tersebut.
Dalam konteks lain, kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana
tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara
lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan
nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.18
Menurut
Rosenau, apabila kita mengkaji kebijakan luar negeri suatu negara maka kita akan
memasuki fenomena yang luas dan kompleks, meliputi kehidupan internal (internal
life) dan kebutuhan eksternal (eksternal needs).19
Politik luar negeri merupakan dua komponen yang berbeda tetapi membentuk
sebuah pengertian umum. Memahami konsep politik luar negeri dapat dielaborasi
dengan jalan memisahkannya dalam dua komponen: politik dan luar negeri.
17
K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Analisa, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987),
h. 175-176. 18
Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional (Bandung: Abardin, 1999),
h. 5. 19
A. A. Banyu Perwita dan Yanyan M. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional
(Bandung: Rosda Karya, 2005), h. 49.
Politik atau kebijakan (policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi
pedoman untuk bertindak, atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai
sasaran-sasaran yang telah diterapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada
konsep ”pilihan (choices)”: memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan
untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep
“wilayah” akan membantu dalam upaya memahami konsep politik luar negeri
(foreign). Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah (dalam) yang dimiliki suatu negara.
Jadi, politik luar negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih
tindakan yang ditujukan keluar wilayah suatu negara.20
Dengan kata lain, studi politik luar negeri berada intersection (persilangan)
antara aspek dalam negeri suatu negara (domestik) dan aspek internasional (eksternal)
dari kehidupan suatu negara.21 Pengaruh proses persentuhan atau persilangan ini
merupakan substansi dari perumusan kebijakan politik luar negeri, di mana
pemerintahan dituntut untuk dapat mengkompromikan kepentingan domestik dengan
kepentingan internasional di sisi lain.
Dengan menggunakan teori analisa politik luar negeri James N. Rosenau dan
Gavin Boyd, ada empat faktor sumber yang secara umum yang telah meliputi dimensi
internal dan eksternal. Sumber-sumber utama yang menjadi input dalam perumusan
kebijakan luar negeri, yaitu: pertama, sumber sistemik (systemic sources), merupakan
sumber yang berasal dari lingkungan eksternal suatu negara. Sumber ini menjelaskan
struktur hubungan antara negara-negara besar, pola-pola aliansi yang terbentuk antara
negara-negara dan faktor situasional eksternal yang dapat berupa isu area atau krisis.
Kedua, sumber masyarakat (societal sources), merupakan sumber yang berasal dari
20
Banyu Perwita dan M. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, h. 48. 21
Ibid., h. 48.
lingkungan internal. Sumber ini mencakup faktor kebudayaan dan sejarah,
pembangunan ekonomi, struktur sosial dan perubahan opini publik.
Ketiga, sumber pemerintahan (governmental sources) merupakan sumber
internal yang menjelaskan tentang pertanggung jawaban politik dan struktur dalam
pemerintahan. Keempat, sumber idiosinkratik (idiosyncratic sources) merupakan
sumber internal yang melihat nilai-nilai pengalaman, bakat serta kepribadian elit
politik yang mempengaruhi persepsi, kalkulasi dan perilaku mereka terhadap
kebijakan luar negeri.22
Keempat faktor dalam terminologi Rosenau dan Boyd
tersebut merupakan faktor-faktor yang tampak dalam menganalisis politik luar negeri
suatu negara. Beberapa faktor akan terlihat dominan di atas faktor lainnya.
Dengan demikian, politik luar negeri suatu negara ditujukan untuk memajukan
dan melindungi kepentingan negaranya. Kemudian politik luar negeri dalam aspeknya
yang dinamis adalah sebuah sistem tindakan suatu pemerintahan terhadap
pemerintahan lain atau suatu negara terhadap negara lain. Ia termasuk jumlah
keseluruhan hubungan luar negeri suatu bangsa. Penyusunan politik luar negeri
mungkin merupakan fungsi politik paling tinggi dalam suatu negara. Kesalahan dalam
perumusannya bisa membawa pada akibat yang paling serius. Karena itu, perumusan
politik luar negeri telah menjadi hak prerogatif pimpinan eksekutif suatu negara.23
Namun demikian, beberapa perkembangan kontemporer menggariskan keterlibatan
unsur pimpinan negara lainnya serta peran partisipatif dari publik turut serta
mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri.
Mengacu pada pendapat Zainudin Djafar,24 terdapat beberapa klasifikasi teori
yang sering dipakai dalam mengkaji politik luar negeri, yakni;
22
Ibid., h. 57. 23
S.L. Roy, Diplomasi (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 33. 24
Zainudin Sardar, dkk, Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa
Depan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996), h. 60-62.
1. Realis
Kaum realis mendasarkan diri pada empat asumsi. Pertama, negara
merupakan aktor yang prinsipil dan penting dalam hubungan internasional. Kedua,
negara adalah aktor yang merupakan satu kesatuan (unitary actor). Ketiga, negara
adalah aktor yang rasional. Keempat, bahwa isu-isu internasional mempunyai hierarki
di mana national security menempati urutan paling pertama, oleh karenanya tidaklah
mengherankaan kalau power menjadi konsep kunci dalam perspektif realis.
2. Pluralis
Yang tidak kalah menarik adalah perspektif kaum pluralis yang berasumsi;
pertama, bahwa aktor non state merupakan entitas penting dan tidak boleh diabaikan
dalam hubungan internasional. Kedua, bahwa negara bukanlah aktor yang satu
kesatuan. Ketiga, karena negara adalah yang rasional maka negara akan berupaya
mencapai konsensus (kesepakatan). Keempat, bahwa agenda politik internasional
bersifat ekstensif, artinya masalah internasional tidak melulu diwarnai oleh masalah
keamanan, militer, tetapi juga meluas ke masalah ekonomi dan sosial.
3. Global
Untuk kaum globalis yang baru muncul, mereka berasumsi; pertama, bahwa
titik awal analisis hubungan internasional adalah konteks global, di mana negara-
negara sebagai entitas yang berinteraksi satu sama lain. Kedua, bahwa sangat penting
dan bahkan diharuskan untuk melihat hubungan internasional dari perspektif historis.
Ketiga, mereka secara tipikal sangat memperhatikan masalah ketergantungan
(interdependensi) antar negara-negara maju dengan negara-negara berkembang.
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan utama dalam konteks
politik luar negeri, yakni; seni memajukan kepentingan nasional dalam pola relasi
hubungan dengan negara lain. Karenanya, kepentingan nasional menjadi faktor
determinan dalam politik luar negeri.
B. Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional (national interest) didefinisikan sebagai kepentingan
negara yang dicapai melalui kebijakan nasional.25
Kebijakan luar negeri suatu negara
merupakan produk dari berbagai faktor dan kondisi baik yang bersifat tetap maupun
berubah untuk suatu waktu tertentu. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, kebijakan
luar negeri jelas merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang direncanakan dan
dilaksanakan demi kepentingan nasional. Adapun kepentingan nasional tersebut,
menurut pendapat Moenir Ari Soenada,26 pada dasarnya terbagi atas dua faktor yaitu
faktor tetap dan faktor berubah yang dikaitkan dengan waktu dan totalitas bangsa.
Pertama, faktor-faktor yang tetap itu pada umumnya diputuskan sesuai
dengan sistem politik dan koridor konstitusinya, yang menyangkut perlindungan
bangsa seperti kemerdekaan politik, kemampuan memelihara kesatuan wilayah dan
penduduk, dan keselamatan lembaga-lembaga masyarakat dan negara untuk tumbuh
berkembang. Muatan dari faktor tetap tersebut dapat turut memuat sejumlah unsur
prinsipil seperti mitos nasional dan falsafah negara yang disetujui rakyat. Kedua,
faktor-faktor yang berubah diputuskan oleh eksekutif karena tekanan-tekanan
kebutuhan baik oleh pemerintah itu sendiri, oleh badan legislatif atau oleh berbagai
kelompok kepentingan yang dapat mempengaruhi para pembuat keputusan.
Kepentingan nasional merupakan sebuah faktor yang agak bias dalam
kebijakan politik suatu negara. Hal ini lebih dikarenakan rumitnya menentukan
faktor-faktor penentu sebuah hal dikatakan atau didefinisikan sebagai kepentingan
25
Daniel S. Papp, Contemporary International Relations, h. 43. 26
Moenir Ari Soenada, “Kebijakan Luar Negeri dan Strategi Indonesia di Kawasan Asia
Pasifik”, diakses pada tanggal 9 Desember 2007dari www.deplu.go.id.
nasional, terlebih membedakan antara kepentingan elit politik pembuat kebijakan
dengan kepentingan nasional secara umum.
Kepentingan nasional adalah kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk
melindungi kehidupan bangsa dan negara. Hal itu jelas berbeda dengan kepentingan
golongan, yang lebih kecil konteks permasalahannya. Walaupun demikian, terdapat
kepentingan golongan besar dari masyarakat yang dari waktu ke waktu dapat
mempengaruhi kebijakan pemerintah menjadi kepentingan nasional.
Dalam hal ini, Papp27
memberikan beberapa kriteria yang dapat digunakan
sebagai penentu apakah suatu kepentingan dapat dikatakan sebagi kepentingan
nasional. Kriteria tersebut adalah: kriteria ekonomi, ideologi, yang berkaitan dengan
penambahan power (kekuatan atau pengaruh), keamanan militer, dan moralitas-
legalitas. Namun, tidak semua kriteria tersebut terdapat dalam landasan kepentingan
nasional suatu negara.
Berbagai kebijakan yang dapat meningkatkan perekonomian suatu negara
maka dapat dilihat sebagai national interest. Kebijakan tersebut dapat meningatkan
neraca perdagangan negara yang bersangkutan, memperkuat dasar perindustrian suatu
negara, menjamin akses terhadap kebutuhan minyak serta sumber-sumber energi
lainnya dapat dikatakan sebagai national interest yang dilihat dari kriteria ekonomi.28
Ideologi merupakan salah satu faktor yang dalam beberapa kesempatan
memegang peran vital dalam perumusan kebijakan nasional suatu negara. Hal ini
dipengaruhi oleh sistem ideologi negara yang mengikat sehingga proses perumusan
kebijakan nasionalnya bergantung pada kepentingan nasional berbasis ideologinya.
Pengaruh terbesar ideologi dalam perumusan kepentingan nasional dapat kita lihat
pada negara-negara berideologi komunisme dan marxisme seperti Uni Sovyet, Cina,
27
Daniel S. Papp, Contemporary International Relations, h. 44-45. 28
Ibid., h. 45.
Vietnam Utara, Korea Utara, Kuba. Kutub ideologi seringkali menarik sebuah negara
dalam pusaran konflik dengan negara musuh dalam peta ideologi mereka.
Power, didefinisikan oleh Hans Morgenthau sebagai sesuatu yang membuat
satu pihak (dalam hal ini state) dapat mendirikan dan memelihara kendali (control)
terhadap pihak (state) lain. Menurutnya, power membuat negara bertahan, dan karena
itu semua negara berkepentingan untuk memperolehnya. Oleh karena itu,
argumentation of power adalah adalah salah satu cara mendefinisikan national
interest. Kebijakan apapun yang dapat meningkatkan power suatu negara merupakan
national interest negara yang bersangkutan.29
Dengan kata lain, power menjadi
instrumen determinan yang mampu menempatkan posisi sebuah negara dalam
konstelasi politik internasional. Karena itu, perebutan terhadap power menjadi bagian
penting dalam hubungan internasional serta dalam memahami setiap kebijakan politik
luar negeri suatu negara.
Kepentingan militer atau military security and/or advantage adalah kriteria
yang paling utama dalam menentukan national interest. Secara alami, negara hanya
berusaha untuk mempertahankan keamanan militernya yang dijadikan minimum
determinant dalam national interest mereka karena tanggung jawab suatu negara
adalah menjamin keamanan warga negaranya.30
Dalam konteks ini, terdapat benang
merah antara upaya perebutan power dengan sebuah kepentingan militer atau lebih
tepatnya disebut dengan penggunaan kekuatan militer. Singkatnya, penambahan
power selalu dilakukan seiring dengan penambahan kekuatan militer suatu negara.
Moralitas-legalitas dalam sebuah kepentingan nasional merupakan peran etika
dan budaya politik suatu negara. Hal ini dilandasi sebuah pemahaman bahwa budaya
politik merupakan perwujudan dari nilai-nilai moral dan kultur masayarakat suatu
29
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: Struggle For Power and Peace, second
edition, (New York: Alfred A. Knopf, 1956), h. 25-31 30
Daniel S. Papp, Contemporary International Relations, h. 45.
negara. Namun, hal ini seringkali tersingkirkan oleh basis moralitas-legalitas elit
politik pembuat kebijakan yang kemudian menentukan kapentingan nasional
negaranya.
Kepentingan nasional terkandung di dalam cita-cita, aspirasi dan tujuan
bangsa dan negara serta menetukan sikap satu bangsa terhadap bangsa-bangsa lain di
dunia. Kepentingan nasional ini pulalah yang menentukan cara untuk menerjemahkan
cita-cita dan wawasan suatu bangsa ke dalam bentuk-bentuk yang nyata, baik secara
bilateral, maupun secara regional ataupun internasional. Identifikasi kepentingan
nasional merupakan langkah pertama dalam penentuan politik luar negeri suatu
negara. Setelah itu barulah ditentukan tingkat atau derajat intensitas kepentingan itu
dalam bentuk strategi dan terakhir kepentingan tersebut dicapai melalui tindakan
nyata atau langkah-langkah dalam bentuk foreign policy.31
C. Peran dan Diplomasi
Peran merupakan implementasi dari perumusan kebijakan politik luar negeri
suatu negara. Beberapa peran yang dimainkan oleh suatu negara dalam politik luar
negeri seperti pelopor pembentukan organisasi regional, multilateral, sanksi-sanksi,
mediator konflik negara vis a vis negara, negara vis a vis separatis, serta aksi militer
atau invasi. Keseluruhan peran tersebut termasuk dalam konteks diplomasi dalam
aspek luasnya.
Adapun diplomasi, merupakan kata kunci dalam studi hubungan internasional.
Kata tersebut merupakan hal yang signifikan yang tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan politik luar negeri. Diplomasi diyakini berasal dari kata Yunani
“diploun” yang berarti “melipat”. Hal ini berhubungan dengan pola yang digunakan
dalam memberlakukan surat jalan lintas wilayah di masa Kekaisaran Romawi masa
31
C.P.F. Luhulima, ASEAN Menuju Postur Baru, (Jakarta: CSIS, 1997), h. 217.
itu. Adapun surat jalan tersebut disebut sebagai ‘diplomas’.32 Kata ini kemudian
berkembang dalam hubungan antar negara pada saat itu, kemudian menjadi kata baku
yang terkandung dalam hubungan internasional.
Terdapat banyak definisi tentang diplomasi, salah satunya adalah The Oxford
English Dictionary memberikan konotasi diplomasi adalah; “manajemen hubungan
internasional melalui negosiasi; yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh
duta besar dan para wakil bisnis atau seni para diplomat. 33
Namun, dalam konteks
hubungan internasional, definisi KM. Panikkar dalam bukunya The Principle and
Practice of Diplomacy terasa lebih tepat. Ia menyatakan, “diplomasi, dalam
hubungannya dengan politik internasional, adalah seni mengedepankan kepentingan
suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain.34
Dari pendapat di atas tersebut sebenarnya ada elemen-elemen pokok dalam
definisi diplomasi ini yakni, negosiasi, kepentingan nasional, seni. Tetapi juga patut
dikedepankan di sini bahwa diplomasi ada untuk tujuan damai maupun perang. Hal
ini mengingat faktor terpenting dalam diplomasi adalah kepentingan nasional. Maka
apabila kepentingan nasional suatu negara merasa terancam, pilihan kebijakan
ancaman maupun perang besar kemungkinan akan diambil.
Dengan demikian, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa diplomasi adalah seni
mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi, dengan cara-cara damai
dalam berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk
memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman
atau kekuatan sebagai cara untuk memperoleh tujuan-tujuan itu.35 Berbagai pilihan
32
S.L.Roy, Diplomasi, h. 1. 33
Ibid., h. 2. 34
Ibid., h. 3.
35
Ibid., h. 5.
tersebut diambil jika kemudian kepentingan nasional menggariskan ketentuan pilihan-
pilihan tersebut dalam kebijakan politik luar negeri suatu negara.
Bagi negara manapun, tujuan utama diplomasinya adalah pengamanan
kebebasan politik dan integritas teritorialnya. Ini bisa dicapai dengan memperkuat
hubungan dengan negara sahabat, memelihara hubungan erat dengan negara-negara
yang sehaluan dan menetralisir negara yang memusuhi. Persahabatan bisa dibina dan
sahabat-sahabat baru diperoleh melalui negosiasi yang bermanfaat. Ini akan lebih
mudah apabila terdapat persamaan kepentingan. Namun demikian tujuan-tujuan
politik diplomasi suatu negara harus seimbang dengan sumber daya dan power nya.
Hal ini mengingat daya bargaining position dari diplomasi sangat ditentukan kedua
faktor tersebut.
Oleh karena itu, efektifitas diplomasi suatu negara bergantung pada sejauh
mana kekuatannya. Sebaliknya sebuah negara besar dan kuat yang dilanda
pertentangan sipil, ketidakstabilan pemerintah yang kronis atau kebangkrutan
keuangan, dan sebagainya akan gagal untuk menimbulkan kepercayaan dari negara
lain. Dalam kasus seperti itu diplomasi jarang menghasilkan tujuan yang diinginkan.36
Faktor ekonomi ternyata juga tidak kalah penting dibanding dengan
pertimbangan politik yang menjadi faktor determinan dalam diplomasi. Selama
ratusan tahun diplomasi komersial sebagai tujuan kebijaksanaan nasional telah
memperoleh landasannya yang kuat. Negara-negara yang secara teknologi maju telah
berusaha mengeksploitasi negara-negara yang secara ekonomi lemah dan terbelakang.
Penggunaan sebutan seperti ‘imperialisme ekonomi’, diplomasi dollar dan sebagainya
membuktikan kenyataan ini.
36
Ibid., h. 8.
Dengan lahirnya laissez faire dan sistem perdagangan bebas serta
menimbulkan dampak atas penekanan ekonomi nasional, negara-negara maju maupun
terbelakang telah menjumpai kenyataan bahwa perdagangan dan keuangan bisa
digunakan sebagai alat utama kebijaksanaan nasional. Akibatnya, pencapaian
perolehan-perolehan ekonomi telah menjadi tujuan penting dari diplomasi.37
Dalam
konteks ini sebenarnya merupakan penggambaran dari dimensi lain mengenai
keterkaitan erat antara politik dengan ekonomi. Artinya, aktivitas politik selalu
memiliki dampak ekonomi.
Selain kedua faktor determinan di atas, faktor sosial dan kebudayaan menempati
posisi yang cukup penting dalam diplomasi. Untuk menggambarkan betapa sisi
kerjasama sosial budaya menjadi faktor diplomasi dapat dilihat dari meningkatnya
aktivitas pertukaran budaya antar negara. Kekuatan utama diplomasi sosial budaya
terletak pada nilai politiknya yang cenderung lebih rendah daripada diplomasi politik
dan ekonomi.
Penawaran dan negosiasi merupakan bagian utama dari diplomasi. Adapun
kedua hal tersebut adalah bagian dari sebuah proses yang kompeks, begitu rumitnya
sehingga ditandai dengan adanya dua faktor. Pertama, banyak negara yang melalui
dua level dalam penawaran yang ingin berlanjut; penawaran internasional antar
negara dan penawaran harus sesuai dengan keinginan perunding, wakil negara dan
begitu beragamnya konstituen domestik, keduanya harus menerima posisi negosiasi
dan harus “mengakui” kesepakatan antar dua negara.
Kedua, penawaran dan negosiasi, dalam konteks ini, sebuah kegiatan batas
budaya.38
Artinya dua komponen negara yang berbeda kultur menegaskan pentingya
37
Ibid., h. 10. 38
Karen Mingst, Essentials of International Relations, (New York: W.W. Norton &
Company,1999), h. 122.
pendekatan kultural dalam proses diplomasi. Dalam hal inilah, batas budaya
seringkali menjadi halangan dalam menghasilkan satu persepktif bersama dari hasil
yang diinginkan.
Jika melihat proses umum dari diplomasi tersebut, memang terlihat diplomat sebagai
aktor dari proses diplomasi dituntut untuk memainkan peran besar dalam proses
penawaran dan negoisasi. Banyak faktor yang kemudian berperan dalam mendukung
hal tersebut. Dalam hal ini kerangka tugas menjadi penting. Adapun kerangka
diplomasi memiliki empat tugas, di antaranya:
1. Diplomasi harus menentukan tujuannya selaras dengan kemampuan yang ada.
2. Diplomasi harus menilai tujuan-tujuan negara lain dan kemampuannya untuk
mencapai tujuan-tujuan itu.
3. Diplomasi harus menentukan sampai sejauh mana tujuan-tujuan yang
berlainan itu cocok satu sama lain, dan
4. Diplomasi harus menggunakan cara-cara yang selaras dengan pencapaian
tujuan-tujuannya.39
Diplomasi juga memiliki peraturan-peraturan yang bisa menjadi acuan dalam
melakukan interaksi dengan negara-negara lain baik yang bersifat bilateral maupun
multilateral. Peraturan-peraturan tersebut adalah:
a. Diplomasi harus didasarkan kepada semangat juang yang tinggi.
b. Tujuan-tujuan politik luar negeri haruslah di dasarkan kepada kepentingan
nasional dan perlu didukung oleh kekuatan yang memadai.
c. Diplomasi harus memandang pentas politik itu dari sudut pandang bangsa lain.
d. Bangsa-bangsa harus bersedia melakukan kompromi terhadap isu yang
dianggap vital bagi mereka.40
39
Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, h. 256.
Corak politik luar negeri suatu negara sebenarnya dapat terlihat dari pola
diplomasinya. Kecenderungan negara dengan pola diplomasi menekan hanya dapat
dilakukan ketika bargaining position negara tersebut di atas atau lebih kuat dari
negara lainnya. Karena itu dalam hubungan internasional akan selamanya membentuk
konstelasi dari tipologi-tipologi negara kuat-negara lemah, negara maju-negara
berkembang, Utara-Selatan dan pola-pola dikotomistis lainnya.
Berdasar paparan tersebut, di sinilah letak diplomasi memainkan peran penting
dari suatu negara. Bagaimana sebuah negara dengan berbagai perbedaannya dengan
negara lain mampu memajukan kepentingan nasionalnya melalui kekuatan diplomasi.
Jika mengacu pada pemaparan ini, akan terlihat bahwa implementasi diplomasi yang
dilakukan Indonesia terhadap negara anggota ASEAN dalam upaya pembentukkan
ASEAN Community sangat kompleks, sebagaimana akan dibahas pada BAB IV
penelitian ini.
D. Kerjasama Regional
Dalam melakukan kerja sama internasional, sekurang kurangnya harus
dimiliki dua syarat utama. Pertama, adanya keharusan untuk menghargai kepentingan
nasional masing-masing anggota yang terlibat. Tanpa adanya penghargaan, tidak
mungkin dapat dicapai suatu kerjasama seperti yang diharapkan semula, bahkan
sebaliknya akan menimbulkan konflik yang tidak diharapkan. Kedua, adanya
keputusan bersama dalam mengatasi setiap persoalan yang timbul. Untuk mencapai
keputusan bersama (komitmen) diperlukan komunikasi dan konsultasi secara
berkesinambungan. Bahkan, kedua hal itu lebih penting daripada komitmen yang
biasanya dilakukan sewaktu-waktu saja bila diperlukan.
40
Dahlan Nasution, Perang Atau Damai Dalam Wawasan Politik Internasional, (Bandung:
Remaja Karya, 1981), h. 215.
Pada dasarnya, kerjasama regional merupakan bentuk saling ketergantungan
yang diatur berdasarkan kedekatan geografis yang bisa berkembang menjadi berbagai
kepentingan bersama. Oleh karena itu, regionalisme merupakan tahap yang
diperlukan masyarakat internasional dalam menuju globalisme yang di cita-citakan.41
Tahap-tahap kerjasama regional dan subregional biasanya dibagi kepada dua
bagian: 1) tahap vertikal dan 2) tahap horisontal. Yang dimaksud dengan tahap
vertikal adalah tiga tahap sebagai berikut:
1. Tahap kerjasama (cooperation), yang didalamnya negara-negara anggota
masih belum dihadapkan kepada penyerahan kedaulatan apapun. Meskipun
demikian dalam tahap ini sudah diperlukan kebulatan tekad dan kesungguhan
niat untuk menuju cita-cita kerjasama regional serta perlu menyingkirkan
hambatan intra regional serta rumusan bidang kerjasama.
2. Tahap koordinasi (coordination) di mana sudah diharuskan penyerahan
sebagian dari kedaulatan demi mencapai tingkat interdependensi yang lebih
tinggi dan lebih teatur. Koordinasi sama artinya dengan harmonisasi usaha-
usaha nasional yang menyangkut kepentingan bersama seperti kebijaksanaan
ekonomi, rencana pembangunan dan lainnya
3. Tahap integrasi (integration) merupakan tahap akhir dalam proses
perkembangan kerjasama regional. Apabila suatu kerjasama regional telah
sampai pada puncaknya, maka tahap itu disebut tahap integrasi, di mana
negara-negara anggota telah menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada
41
Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerja Sama ASEAN, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), h.
17
suatu badan supranasional yang mempunyai yuridiksi mengatur kepentingan
bersama.42
Adapun tahap horisontal adalah mencakup bidang ekonomi dan kebudayaan.
Kedua bidang ini merupakan pilihan yang biasanya dijadikan starting point dalam
pembentukkan dan pertumbuhan sebuah kerjasama dan organisasi regional. Bahkan,
seringkali kedua bidang tersebut dijadikan landasan utama bagi kerjasama yang
dibangun. Mengingat kedua bidang inilah yang memiliki efek perbedaan dan
sensitifitas yang lebih rendah dibanding bidang politik.
42
M. Sabir, Politik Bebas Aktif, (Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1987), h. 221-222.
BAB III
GAMBARAN UMUM ASEAN DAN ASEAN COMMUNITY
B. Selayang Pandang ASEAN
1. Sejarah Berdirinya ASEAN
Istilah Asia Tenggara pertama kali diperkenalkan oleh pasukan Sekutu yang
terdapat di wilayah Asia Tenggara pada waktu itu dengan nama Komando Asia
Tenggara (South East Asia Command).43
Komando ini berpangkalan di Kolombo, Sri
Langka, wilayah Asia Selatan, hal ini dikarenakan wilayah Asia Tenggara sedang
diduduki oleh Jepang selama Perang Dunia ke-II berlangsung. Pasukan ini memang
khusus disiapkan sebagai bagian dari strategi merebut kawasan Asia Tenggara dari
Jepang dalam Perang Asia Pasifik.
Adapun yang termasuk dalam wilayah Komando Asia Tenggara itu adalah
negara-negara yang sekarang bernama Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam,
Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina dan Indonesia. Jauh sebelumnya, kawasan ini
oleh orang Eropa disebut sebagai Wilayah Timur (oriental) atau Timur Jauh (far
east), Cina menyebutnya Wilayah Selatan (nan yang), India menyebut Hindia
Belakang, Jepang menyebut “Nan Yo” (Asia Timur Raya) dan PBB menyebutnya
Asia Timur Jauh.44
Pada dekade awal 1960-an, Asia Tenggara merupakan kawasan yang sarat
konflik dan terpecah belah. Hal ini disebabkan oleh sangat kuatnya pengaruh negara-
negara luar kawasan yang mencengkram sebagian besar negara-negara di Asia
Tenggara. Hal ini merupakan efek yang ditimbulkan oleh kemunculan dua negara
43
Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerja Sama ASEAN, h. 17. 44
Ibid., 18.
super power “pemenang” Perang Dunia ke-II yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet
yang kemudian melahirkan sekutu-sekutu dalam bentuk pakta pertahanan seperti
NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan Pakta Warsawa.
Dengan konstelasi demikian, tidak heran jika kawasan Asia Tenggara, menjadi
lahan perebutan dari kekuatan dua super power tersebut. Sebut saja Inggris yang
“bermain” di Malaysia (dulu bernama Malaya) dan Singapura, Amerika Serikat di
Filipina dan Uni Soviet di kawasan Indo Cina (Kamboja, Vietnam dan Laos).
Menyikapi fenomena ini, maka muncul upaya-upaya untuk melepaskan kawasan Asia
Tenggara dari pengaruh kekuatan negara luar kawasan.
Regionalisme Asia Tenggara pertama kali dimunculkan Dr. Abu Hanifah
ketika Asian Relations Conference berlangsung di New Delhi, India, pada tahun 1947.
Ide pembentukan kelompok Asia Tenggara muncul pada konferensi itu sebagai
jawaban atas keyakinan para anggota delegasi Asia Tenggara bahwa negara-negara
besar, India, dan China tidak dapat diharapkan untuk mendukung perjuangan nasional
mereka. Pada pertemuan itu, tulis Abu Hanifah, para anggota delegasi Indonesia,
Myanmar, Thailand, Vietnam, Filipina, serta Malaya (Singapura dan Malaysia)
membahas tentang suatu perhimpunan negara-negara Asia Tenggara yang secara erat
bekerja sama. Pada awalnya hanya dalam masalah ekonomi dan kebudayaan, dan
dalam perkembangan berikutnya barulah merajut kerja sama politik. Beberapa
delegasi bahkan bermimpi lebih jauh, yakni terbentuknya suatu Federasi Asia
Tenggara.45 Pembahasan tentang kegunaan regionalisme pada waktu itu
mencerminkan ketidakmampuan negara-negara Asia Tenggara untuk meraih
kepercayaan diri tanpa usaha bersama.
45 C. P. F. Luhulima, “Regionalisme dan Politik Luar Negeri Indonesia”, diakses pada tanggal
22 Februari 2008 dari www.csis.com..
Kemudian muncul upaya yang dilakukan oleh Thailand, Filipina dan Malaysia
yang membentuk ASA (Association of Southeast Asia) pada tahun 1961 yang
bertujuan untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Indonesia yang menganut kebijakan non-blok, menyatakan tidak tertarik untuk
bergabung dalam ASA. Faktor utamanya adalah status Thailand dan Filipina yang
saat itu masih tergabung dalam SEATO (South East Asia Treaty Organization)46
yang
diprakarsai oleh Amerika Serikat dan status Malaysia yang masih dikuasai oleh
Inggris. Namun, nasib ASA ini tidak berumur panjang. Faktor nya adalah konflik
berkepanjangan antara Malaysia dan Filipina dalam permasalahan perebutan wilayah
Sabah dan kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia47 semakin membuat
suram potensi kerjasama regional.48
Seiring dengan berputarnya bandul perjalanan sejarah, kepemimpinan
Soekarno tumbang dan digantikan oleh Soeharto dengan bendera Orde Baru di tahun
1966 berdampak pada perubahan kebijakan politik luar negeri Indonesia, khususnya
terhadap kawasan Asia Tenggara. Sejak itu, kebijakan politik luar negeri Orde Baru
46
SEATO adalah perskutuan delapan negara yang menandatangani Perjanjian Pertahanan
Kolektif Asia Tenggara (South East Collective Defense Treaty) di Manila, Filipina tanggal 8 September
1954. Kedelapan negara itu adalah Australia, Prancis, Inggris, Selandia Baru, Pakistan, Filipina,
Thailand dan Amerika Serikat. Perjanjian yang diprakarsai oleh Menlu Amerika Serikat John Foster
Dulles un tuk membendung menyebarnya komunisme di Asia Tenggara. Bantuan ekonomi menjadi
kompensasi bagi negara yang mau bergabung dalam persekutuan ini. Namun, karena dianggap gagal
dalam membendung komunisme, SEATO akhirnya dibubarkan secara resmi pada tanggal 30 Juni
1977. James Luhulima, Asia Tenggara, h. 33.
47
Kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia dipicu oleh pembentukan Federasi
Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura dan wilayah Kalimantan Utara (Sabah dan Sarawak). Kebijakan ini diambil oleh Presiden Soekarno akibat kebijakan Inggris dan Malaysia yang memutuskan
tetap membentuk Federasi Malaysia dengan mengabaikan Perjanjian London yang disepakati dengan
Indonesia dan ditandatangani pada 9 Juli 1963 di mana disepakati adanya Plebisit yang menyebutkan
bahwa rakyat di Kalimantan Utara diberikan hak menentukan pendapatnya terhadap pembentukan
federasi. Konsekuensinya Indonesia tidak akan mengganggu proses pembentukan Federasi Malaysia.
Namun Federasi Malaysia akhirnya tetap dibentuk pada 29 Agustus 1963, padahal hasil plebisit belum
diketahui. Akibat konfrontasi tersebut, Malaysia memutuskan hubungan diplomatiknya dengan
Indonesia pada 17 September 1963. Hal ini semakin membuat ‘panas’ Indonesia. Puncak dari
“kemarahan” Indonesia adalah kebijakan fenomenal Presiden Soekarno yang menyatakan Indonesia
keluar dari keanggotaan di PBB (Perhimpunan Bangsa-Bangsa) dan Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-
Peking (kini Beijing)-Pyong Yang. Ibid., h. 34-35. 48
“ASEAN”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari www.country-
studies.com/indonesia/asean.html.
adalah memberi prioritas pada kawasan Asia Tenggara dan normalisasi hubungan
bilateral maupun internasional dengan berbagai pihak. Keduanya merupakan satu
rangkaian kebijakan yang saling terkait.
Kebijakan normalisasi hubungan ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim
kondusif di kawasan Asia Tenggara, sehingga akan lebih mudah bagi Indonesia untuk
mendorong kerjasama yang lebih maju dan konstruktif. Salah satunya adalah
kebijakan untuk menormalisasi hubungan dengan Malaysia yang beku akibat
kebijakan konfrontasi. Normalisasi ini dilakukan pada tanggal 11 Agustus 1966,
ketika Menlu Adam Malik dan Menlu Malaysia Tun Abdul Razak bertemu di Jakarta
dan menandatangani persetujuan normalisasi hubungan diplomatik kedua negara.49
Membaiknya hubungan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura,
serta Malaysia dengan Filipina, memicu munculnya pemikiran untuk membangun
sebuah perhimpunan kerjasama regional baru di Asia Tenggara. Beberapa pendapat
yang mengemuka adalah menghidupkan kembali ASA. Namun hal ini ditolak
mentah-mentah oleh Indonesia yang masih berpendapat ASA adalah kepanjangan
tangan dari SEATO buatan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia tidak menginginkan
status keanggotaan baru dari perhimpunan yang sudah ada. Sebagai jalan keluar,
Indonesia mengajukan usul untuk membentuk suatu perhimpunan regional yang
semua anggotanya memiliki status dan hak yang sama.
Pada awalnya, nama yang diusulkan bagi perhimpunan tersebut adalah
SEAARC (South East Asian Association for Regional Cooperation). Namun hal ini
ditolak oleh Menlu Thailand Thanat Khoman yang berpendapat nama tersebut mirip
dengan kata shark (ikan hiu). Akhirnya, nama usulan Menlu Adam Malik, yakni
49
James Luhulima, Asia Tenggara, h. 40-41.
ASEAN (Association of South East Asian Nations) disepakati sebagai nama bagi
perhimpuan regional baru di Asia.50
Negara-negara pendiri ASEAN tersebut menginginkan keikutsertaan seluruh
negara di Asia Tenggara untuk bergabung dalam perhimpunan ini. Akan tetapi situasi
politik saat itu sangat tidak memungkinkan. Upaya yang pernah dilakukan oleh
Indonesia untuk mewujudkan keikutsertaan negara lain adalah diplomasi terhadap
Myanmar dan Kamboja.
Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan image ASEAN sebagai
organisasi pro-Barat, dikarenakan seluruh pendirinya adalah negara-negara non-
komunis. Namun, Myanmar dan Kamboja menolak bergabung dan tetap memilih
untuk netral, namun tidak akan menentang pembentukan ASEAN.
Akhirnya, setelah melalui serangkaian proses panjang, pada tanggal 8 Agustus
1967 bertempat di Bangkok, Thailand, draft Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh
Menteri Luar Negeri (Menlu) Adam Malik dari Indonesia, Perdana Menteri (PM)
Malaysia Tun Abdul Razak, Menlu Filipina Narcisco Ramos, Menlu Thailand Thanat
Khoman dan Menlu Singapura S. Rajaratnam.51
Para negara tersebut tercatat sebagai
pendiri sekaligus anggota pertama dari perhimpuan regional baru di Asia Tenggara.
Dalam perkembangannya terkini, anggota ASEAN telah mencapai sepuluh negara
Asia Tenggara yakni para negara pendiri dan negara-negara anggota baru, yakni
Berangkat dari konteks kelahirannya, ada tiga alasan utama yang melatar
belakangi berdirinya perhimpunan tersebut, yakni keinginan untuk meningkatkan
50
Ibid., h. 42.
51
Ibid., h. 35.
52
Brunei Darussalam bergabung di ASEAN pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam menjadi
anggota ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Laos dan Myanmar bergabung pada tanggal 23 Juli 1997
dan Kamboja menjadi negara terakhir yang bergabung pada tanggal 30 April 1999. S. Pusphanathan,
“The Establishment of ASEAN Community for the Future of ASEAN”, h. 1.
pembangunan ekonomi, sosial, dan kebudayaan kawasan melalui program-program
kerjasama; menjaga stabilitas politik dan ekonomi kawasan dari rivalitas negara besar;
menyediakan forum bagi penyelesaian perbedaan-perbedaan intra-regional.53
Satu hal yang disadari semua pihak dalam pembentukkan ASEAN, bahwa
setiap kerjasama regional tidak akan berguna dan bertahan lama, jika tidak didasarkan
pada landasan yang kuat. Yang dimaksud dengan landasan yang kuat adalah bidang-
bidang yang paling sedikit mengandung unsur perbedaan dan paling banyak
mengandung kepentingan bersama, serta yang berkemampuan menunjang bidang
lainnya.54
Keputusan untuk menentukkan bidang ekonomi sebagai dasar ASEAN
mencerminkan jauhnya pandangan serta penyesuaian dengan kondisi ideal masa itu.
Bagaimana tidak, konfrontasi antar negara baru berakhir, hubungan antar negara
masih diselimuti sikap kecurigaan. Oleh karena itu bidang ekonomi merupakan
pilihan tepat pada saat itu. Kemudian diikuti dengan bidang budaya mengingat dalam
bidang itu tidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan. Namun yang perlu
ditegaskan, hal tersebut akan berubah mengikuti kebutuhan dan situasi dunia
internasional yang terus berubah.
Dalam perjalanannya, ASEAN pernah terancam bubar oleh dua permasalahan
besar, yakni; pertama, krisis pada bulan Maret 1968. Saat itu muncul ketegangan
dalam hubungan Malaysia dan Filipina akibat sebuah krisis yang disebut sebagai The
Corregidor Affairs.55
Pokok persoalannya adalah adanya isu pemanfaatan Pulau Corregidor sebagai
tempat pemusatan latihan tempur bagi satuan militer khusus Muslim oleh pemerintah
Filipina untuk menyerang wilayah Sabah. Maka, meledaklah konflik diplomatik yang
53 James Luhulima, Asia Tenggara, h. 35.
54 M. Sabir, Politik Bebas Aktif, h. 224.
55 James Luhulima, Asia Tenggara, h. 36.
puncaknya adalah pemutusan hubungan dilomatik kedua negara pada tahun 1968.
Namun, atas peran besar Indonesia melalui Presiden Soeharto sebagai mediator,
konflik ini dapat diatasi. Terbukti, pada bulan Desember 1969, kedua negara
menyepakati pemulihan hubungan diplomatiknya.
Ancaman kedua yakni, ketika Pemerintah Singapura menjatuhkan hukuman
mati terhadap dua anggota KKO (Korps Komando AL) Indonesia yang tertangkap
saat melakukan sabotase di era konfrontasi Indonesia-Malaysia pada bulan Oktober
1968.56
Pada titik inilah, Indonesia menunjukkan sikap kedewasaan dan
kepemimpinannya dengan tidak melakukan tindakan gegabah. Proses penyelesaian
masalah ini dijalankan tetap dalam koridor diplomasi. Hal ini dilakukan agar
kelangsungan hidup ASEAN tetap terjaga. Setelah sempat beku, hubungan kedua
negara membaik setelah pada bulan Mei 1973, PM Lee Kuan Yew berkunjung ke
Indonesia dan melakukan acara tebar bunga di kedua makam prajurit yang digantung
di Singapura.
Walaupun seringkali diguncang dengan memanasnya hubungan antar negara
anggota, ASEAN sejak pendiriannya sampai dengan dekade 1990-an mendapatkan
pujian dari dunia internasional sebagai salah satu organisasi kawasan yang sukses di
kalangan negara-negara berkembang. ASEAN dinilai mampu menyatukan negara-
negara di kawasan yang dikenal sebagai Balkan of the East (Balkan di Timur) atau
kawasan yang penuh pergulatan,57 sebagaimana yang dipaparkan di atas.
Yang unik dari organisasi ASEAN adalah selama empat puluh tahun,
keberadaan dan bentuk kerja sama berlangsung efektif meski tanpa konstitusi,
anggaran dasar atau piagam resmi. ASEAN bergerak hanya berdasarkan dokumen
pendirian yakni Deklarasi Bangkok 1967. Sementara itu, deklarasi hanyalah
56
Ibid., h. 37. 57
“Dulu, ASEAN Pernah Berjaya”, Republika, 22 November 2007, h. 16.
merupakan pernyataan politik yang tidak mengikat dan memerlukan ratifikasi. Karena
itu kerja sama ASEAN bersifat longgar dan informal, berdasarkan musyawarah atau
konsensus dan sering dijuluki sebagai “The ASEAN Way”. Hal ini berlangsung
sampai dengan adanya Piagam ASEAN yang baru disepakati pada KTT ASEAN XIII
di Singapura, tahun 2007 lalu. Meski demikian, ASEAN mampu menciptakan dan
menjaga perdamaian serta stabilitas regional.
2. Posisi ASEAN dalam Politik Luar Negeri Indonesia
Kepemimpinan Soeharto sejak era Orde Baru telah menggariskan bahwa
ASEAN merupakan soko guru politik luar negeri Indonesia. Sejak awal Soeharto
berpendapat kawasan Asia Tenggara yang stabil, aman, damai dan kondusif ditinjau
dari berbagai aspek merupakan modal dasar yang penting untuk pembangunan di
dalam negeri. Asia Tenggara yang diidam-idamkan Soeharto ialah suatu Asia
Tenggara yang integrated, yang merupakan benteng dan pangkalan paling kuat untuk
menghadapi pengaruh atau intervensi dari luar.
Soeharto memberi prioritas utama pada hubungan yang dekat dan harmonis
pada penggalangan kerja sama yang mantap dengan negara tetangga, sebab di sinilah
terletak kepentingan nasional paling vital. Karena itu, penciptaan kestabilan dan kerja
sama regional di Asia Tenggara akan mendapat prioritas tinggi.
Dengan demikian, peran aktif Indonesia dalam mengupayakan pembentukkan
ASEAN sebagai wadah tunggal di kawasan Asia Tenggara dapat dimaknai sebagai
implementasi dari pandangan strategis Asia Tenggara dan ASEAN dalam kacamata
kebijakan politik luar negerinya. Hal ini sejalan dengan pendekatan lingkaran-
lingkaran konsentris yang digunakan oleh Indonesia dalam menjalankan politik luar
negerinya.
Sesuai dengan pendekatan lingkaran konsentris ini, kawasan Asia Tenggara
merupakan lingkaran konsentris pertama Indonesia. Sebagaimana yang terdapat
dalam tujuan nasional, Departemen Luar Negeri sebagai pemegang otoritas eksekusi
kebijakan luar negeri dari pemerintah Indonesia, menekankan pada kerja sama
diplomatik dengan negara-negara di dunia internasional dalam seri lingkaran
konsentris (concentric circles). Adapun yang menempati lingkaran
pertama adalah ASEAN yang merupakan pilar utama bangsa Indonesia dalam
menjalankan politik luar negerinya.58
Sejak semula, pemerintah Indonesia memberikan prioritas utama kepada
hubungan harmonis dengan negara-negara tetangga untuk menciptakan kestabilan dan
kerjasama regional di Asia Tenggara. Indonesia berkeinginan dan berkeyakinan
bahwa Asia Tenggara dapat berkembang menjadi kawasan yang mandiri dan cukup
kuat bertahan dari pengaruh negatif atau gangguan dari luar, mengingat luasnya
wilayah, besarnya kekayaan alam dan potensi tenaga kerja yang tersedia di kawasan
ini.
Sejalan dengan alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menggariskan bahwa
salah satu tujuan menyelenggarakan hubungan dan politik luar negeri adalah untuk
mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, yaitu melindungi kepentingan bangsa dan
negara, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
menjaga perdamaian dan ketertiban dunia. Selain itu, kepentingan nasional Indonesia
diterjemahkan ke dalam visi Departemen Luar Negeri yang menegaskan poin tentang;
58
Lingkaran konsentris kedua adalah ASEAN + 3 (Jepang, China, Korea Selatan). Di luar hal
tersebut, Indonesia juga mengadakan hubungan kerja sama yang intensif dengan Amerika Serikat dan
Uni Eropa yang merupakan partner utama ekonomi Indonesia. Dalam lingkaran konsentris yang
ketiga, Indonesia mengakui pentingnya menggalang kerja sama dengan like-minded developing
countries. Itulah yang menyebabkan Indonesia secara aktif ikut serta dalam keanggotaan Non-Aligned
Movement (NAM) atau Gerakan Non-Blok, the Organization of the Islamic Conference (OIC) atau
Organisasi Konferensi Islam, the Group of 77 (G-77) dan the Group of 15 (G-15). Moenir Ari Soenada,
“Kepentingan Nasional Indonesia di Dunia Internasional”, diakses pada tanggal 9 Desember 2007 dari
www.deplu.go.id.
peningkatan peranan dan kepemimpinan Indonesia dalam proses integrasi ASEAN;
peran aktif di Asia-Pasifik; membangun kemitraan strategis baru Asia-Afrika serta
hubungan antar sesama negara berkembang; memperkuat hubungan dan kerja sama
bilateral, regional dan internasional di segala bidang; meningkatkan prakarsa dan
kontribusi Indonesia dalam pencapaian keamanan dan perdamaian internasional; serta
memperkuat multilateralisme.59
Sejak awal berdirinya ASEAN, Indonesia telah mempromosikan suatu bentuk
kehidupan masyarakat regional di Asia Tenggara yang menjunjung tinggi nilai-nilai
saling menghormati, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, penolakan
penggunaan kekerasan serta konsultasi dan mengutamakan konsensus dalam proses
pengambilan keputusan. Salah satu contoh betapa besar peran Indonesia dalam
membidani kelahiran ASEAN ini dinyatakan oleh Mely Caballero-Anthony dari
Institute of Defence and Strategic Studies di Singapura, bahwa mekanisme
pengambilan keputusan di ASEAN dijiwai semangat musyawarah atau diterjemahkan
sebagai consultation dan mufakat atau consensus.60
Sebuah praktik yang berciri khas
pedesaan di Indonesia.
Selain itu, ahli Amerika Serikat, Bernard K. Gordon (dalam The Dimension of
Conflict in South East Asia) mengatakan kerjasama regional Asia Tenggara; tanpa
Indonesia, usaha apapun di kawasan itu tidak akan lebih dari hal yang sambil lalu
saja. Dengan partisipasi Indonesia, usaha baru dalam kerjasama regional akan
merupakan langkah raksasa ke arah stabilitas.61 Hal ini ditopang oleh kedudukan
Indonesia yang strategis sebagai negara yang menempati separuh dari wilayah Asia
59
“Tujuan Politik Luar Negeri”, diakses pada tangggal 9 Desember 2007 dari
www.deplu.go.id,. 60
“Dulu, ASEAN Pernah Berjaya”, h. 16. 61
M. Sabir, Politik Bebas Aktif, h. 216.
Tenggara, penduduknya terbanyak dan ditambah dengan kekayaan alamnya yang
terlengkap.
Salah satu penggambaran menarik mengenai pentingnya posisi Indonesia
dalam ASEAN semasa kepemimpinan Presiden Soeharto adalah;
“Dalam kurun waktu yang cukup lama, Indonesia dan mantan Presiden Soeharto dianggap sebagai pemimpin atau big brother ASEAN. Pada masa itu,
dalam setiap persidangan yang digelar ASEAN, maka sikap yang diambil indonesia pada umumnya kemudian diadopsi menjadi sikap bersama ASEAN.
Indonesia kemudian menjadi negara yang paling berpengaruh di kawasan, sehingga -tercatat dalam sejarah lahirnya APEC- Indonesia menjadi penentu
keberlangsungan gagasan pembentukan organisasi kerja sama perdagangan
bebas di kawasan Asia Pasifik tersebut. APEC lahir setelah Indonesia secara
eksplisit menyatakan dukungannya, yang kemudian diikuti oleh semua negara
anggota ASEAN lain”.62
Salah satu peran penting Indonesia dalam rangka mempertahankan dan
menjaga stabilitas regional adalah dengan berpartisipasi aktif di ASEAN. Dalam
setiap partisipasinya, Indonesia selalu menekankan dan memprioritaskan cara-cara
damai (confidence building measures) dalam menyelesaikan segala macam bentuk
konflik yang terjadi dengan tetap berpegang teguh pada prinsip politik luar negeri
bebas aktif. Selain itu secara konsisten terus mendukung setiap usaha menjaga
perdamaian di kawasan dengan memperhatikan prinsip-prinsip penghormatan
terhadap integritas wilayah dan kedaulatan negara.
Terkait kepemimpinan Indonesia di dalam ASEAN, dapat dikemukakan
bahwa berdasarkan kondisi objektif, potensi kepemimpinan Indonesia di kawasan
Asia Tenggara masih tetap besar. Namun Indonesia berkeyakinan bahwa
kepemimpinan yang bijak adalah kepemimpinan yang tidak dipaksakan, melainkan
yang diraih melalui kualitas diplomasi dan kontribusi konkrit Indonesia kepada
kawasan Asia Tenggara. Dalam kaitan ini, dapat dikatakan bahwa sejak 1997/1998,
62
Ahmad Dahlan, “Kepemimpinan Indonesia di ASEAN”.
dengan dicurahkannya perhatian pada proses reformasi politik dan penanggulangan
krisis ekonomi dalam negeri, telah terdapat dampak yang kurang menguntungkan
terhadap peran Indonesia dalam ASEAN. Namun demikian, seiring dengan pemulihan
kondisi dalam negeri, maka dalam kurang lebih dua tahun terakhir, Indonesia telah
mampu meningkatkan kembali perhatiannya kepada ASEAN. Upaya-upaya untuk
meningkatkan peran Indonesia di ASEAN terus dikembangkan.
Bagi politik luar negeri Indonesia, ASEAN berfungsi sebagai kendaraan
utama untuk melaksanakan hubungan luar negeri atau kerja sama antar negara-negara
kawasan Asia Tenggara dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Melalui ASEAN,
Indonesia juga dapat memproyeksikan norma dasarnya –prinsip regional resilience
and non-interference- terhadap wilayah sekitar kawasan. Oleh karena itu, lingkungan
yang kondusif dapat diciptakan secara kolektif untuk kemajuan ekonomi bersama.63
Walaupun terdapat perbedaan budaya, kondisi geografis, sistem politik dan
tingkat kesejahteraan, negara-negara anggota ASEAN telah menunjukan kesamaan
itikad dalam mengutamakan kerja sama untuk mencapai keuntungan dan kemakmuran
bersama. Berdasarkan hal ini, Indonesia berpandangan ASEAN di era globalisasi
harus dapat membangun dan memelihara kerja sama yang lebih luas dan efektif untuk
memperoleh kemajuan yang subtantif dalam bidang politik, keamanan, ekonomi serta
sosial dan budaya di kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan kondisi alam geografis, kemampuan ekonomi dan kemauan
politiknya untuk bergabung dalam proses regional, Indonesia akan terus memainkan
peran strategis demi kemajuan dan terciptanya integrasi ASEAN. Peranan Indonesia
ini diperkuat dengan ASEAN Community sebagai pilar regional yang utama di masa
depan.
63
Moenir Ari Soenada, “Kepentingan Nasional Indonesia di Dunia Internasional”.
B. Profil Singkat ASEAN Community
1. Pengertian Umum ASEAN Community
Dalam khazanah ilmu sosial, terminologi komunitas merujuk pengertian nilai-
nilai bersama, norma-norma, dan simbol-simbol yang memberi identitas atau perasaan
kekitaan (sense of we-ness atau we feeling). Karena itu, secara sederhana, istilah
pembangunan komunitas dapat diartikan sebagai pembangunan perasaan kekitaan.
Sedangkan dalam disiplin ilmu hubungan internasional, pembangunan
komunitas sering dianggap kerja raksasa. Alasan utamanya karena pembangunan
komunitas menyiratkan upaya meruntuhkan keyakinan kalangan pemikir realis yang
menyatakan, logika fundamental yang mengatur hubungan antarnegara di tataran
internasional adalah anarki. Menurut kalangan realis, norma-norma, simbol-simbol,
dan identitas kebersamaan hanya dapat diwujudkan pada tataran nasional, bukan pada
tataran internasional.64
Mengacu pada pernyataan Menlu Indonesia Hassan Wirajuda, -selaku Ketua
KTT ASEAN saat itu,65
hakikat dari suatu ASEAN Community adalah terwujudnya
suatu integrasi penuh kawasan yang damai dan sejahtera. Komunitas ASEAN tersebut
akan ditandai dengan semakin besarnya interaksi bidang politik dan keamanan.
Adanya pasar tunggal dan basis produksi dengan aliran bebas barang, jasa, modal, dan
orang. Terwujudnya masyarakat yang peduli dan berbagi, yang menitikberatkan pada
pembangunan sosial, pendidikan dan pengembangan manusia, kesehatan masyarakat,
kebudayaan dan informasi, serta perlindungan lingkungan.
64
Makmur Keliat, “Pembangunan Komunitas ASEAN”, diakses pada tanggal 14 Februari
2008 dari www2.kompas.com/kompas-cetak/0412/01/opini/1407756.htm.
65 “40 Tahun ASEAN, Komunitas Harus Jadi Kepentingan Indonesia”, diakses pada tanggal
14 Februari 2008 dari www.indonesiaseoul.org/ indonesia/rubrik/view.php?kat=7&id=66.
Oleh karena itu, pembentukan ASEAN Community yang ditetapkan pada KTT
IX di Bali tahun 2003 merupakan langkah raksasa dalam konteks meneguhkan rasa
kekitaan (sense of we-ness) sebagai sebuah komunitas masyarakat dan bangsa di
kawasan Asia Tenggara. Untuk menuju pada tujuan tersebut, ASEAN Community
ditopang dengan tiga pilar, yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Economic
Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Adapun para penanda tangan
Bali Concord II saat itu adalah Presiden Megawati Soekarnoputri, Perdana Menteri
Malaysia Mahathir Mohammad, PM Singapura Goh Chok Tong, PM Thailand
Thaksin Shinawatra, Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo, Sultan Brunei
Hassanal Bolkiah, PM Vietnam Phan Van Kai, PM Kamboja Hun Sen, PM Laos
Bounyang Vorachit dan PM Myanmar Khin Nyunt.66
Dalam pengertian umum, ASEAN Community akan terwujud dengan ditopang
oleh tiga pilar, yakni kerjasama politik dan keamanan, kerjasama ekonomi dan
kerjasama sosial dan budaya di mana ketiganya berperan untuk mendekatkan pada
tujuan untuk mewujudkan kawasan yang damai, stabil dan sejahtera. Namun
demikian, perlu ditekankan di sini bahwa kesemua itu baru merupakan langkah awal
mengingat implementasi atau pemberlakuan ASEAN Community baru akan
diberlakukan pada tahun 2015 mendatang. Karena itu, sampai sejauh ini proses
pembangunan berbagai elemennya masih dan dan akan berlangsung.
Sejak disepakati pada KTT ASEAN IX di Bali tahun 2003, telah berlangsung
proses penyempurnaan dari ASEAN Community ini, yakni; KTT ASEAN X di
Vientiane, Laos tahun 2004 menyepakati Plan of Actions (PoA) untuk ASC dan
66
“Declaration of Bali Concord II”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari
www.aseansec.org.
ASCC.67 Kesepakatan program dan sektor prioritas dalam integrasi ASEAN dan
menyepakati implementasi AEC pada tahun 2020 secara penuh.
Pada KTT ASEAN XI di Kuala Lumpur tahun 2005 melahirkan Deklarasi
Kuala Lumpur untuk penetapan Piagam ASEAN. KTT ASEAN XII di Cebu, Filipina
pada Januari 2007 menyepakati poin penting mengenai percepatan implementasi
ASEAN Community dari tahun 2020 menjadi tahun 2015.68
Dan akhirnya, pada KTT
ASEAN XIII di Singapura, November 2007 lalu, Piagam ASEAN ditanda tangani.
Sejauh ini, perkembangan menuju ASEAN Community terus berjalan dalam proses
diplomasi dengan kerangka kerjasama yang kian kokoh. Tentu di luar dari berbagai
riak-riak hubungan bilateral antar negara yang seringkali memanas.
2. ASEAN Security Community (ASC)
Dalam konteks komunitas politik dan keamanan, yang ingin dicapai adalah
ASEAN akan menyelesaikan perbedaan di antara negara anggota bukan dengan cara
kekerasan atau dengan ancaman penggunaan kekerasan. ASC ditujukan untuk
membangun sebuah kawasan yang hidup dalam damai dengan lingkungan yang
demokratis dan harmonis. Selain itu, ASC ini juga bukanlah merupakan pakta
pertahanan ASEAN, tetapi lebih merupakan sebuah mekanisme kerjasama politik dan
keamanan untuk mencegah penggunaan kekuatan fisik atau militer dalam
menyelesaikan permasalahan di internal ASEAN.
Adapun rencana aksi (Plan of Actions) untuk mewujudkan ASC, yakni; mulai
dari pembangunan politik (seperti menciptakan lingkungan yang adil, harmonis dan
demokratis), pembentukan norma (dengan memperkuat rezim Treaty of Amity of
67
Dian Triansyah Djani, “The Future of ASEAN Regional Cooperation After the 40th
Anniversary”. h. 1. 68
Ibid., h. 1.
Cooperation dan membentuk Piagam ASEAN), hingga pencegahan konflik, resolusi
konflik dan pembangunan perdamaian pasca konflik.69
3. ASEAN Economic Community (AEC)
Pencapaian dalam konteks komunitas ekonomi adalah pencapaian Visi
ASEAN 2020, yang akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi. Hal tersebut
melahirkan aliran barang jasa dan investasi yang bebas dan aliran modal lebih bebas
sehingga menjadi lebih kuat, dinamis, dan kompetitif secara ekonomi dalam pasar
global. Bentuk konkret dari AEC ini ditandai dengan adanya FTA (Free Trade Area)
di ASEAN mulai tahun 2003.
Adapun rencana aksi (Plan of Actions) untuk mewujudkan AEC, yakni;
dicanangkan agenda kerja menyeluruh, mulai dari FTA (Free Trade Area),
perdagangan barang (seperti menyelesaikan skema rules of origins, transparansi dan
tindakan non tarif), jasa (melalui tindakan liberalisasi), menyeimbangkan
pembangunan ekonomi, meminimalisir kemiskinan, investasi, hingga menyentuh
masalah hak milik intelektual dan mobilitas modal.70
4. ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC)
Dalam konteks komunitas sosio-kultural yang ingin dicapai ASEAN adalah
membangun masyarakat yang peduli (building caring society). Adapun rencana aksi
(Plan of Actions) untuk mewujudkan ASCC, yakni; mulai dari upaya menghilangkan
kemiskinan dan meningkatkan kesetaraan (antara lain melalui pembukaan pendidikan
dasar seluas-luasnya dan kesetaraan jender), mengelola dampak sosial dari integrasi
69
Ibid., h. 1. 70
Ibid., h. 1.
ekonomi (misalnya melalui pembentukan pasar tenaga kerja yang efisien,
memperkuat sistem asuransi, menangani dampak liberalisasi pada kesehatan).
Pada sisi lain juga mempromosikan sustainability lingkungan hidup (antara
lain melalui operasionalisasi ASEAN Center for Transboundary Haze Pollution
Control, memperlambat laju kerusakan keanekaragaman hayati). Memperkuat kohesi
sosial regional untuk memperkuat identitas ASEAN (antara lain melalui dialog
antarbudaya peradaban dan agama, dan mendorong pembentukan sikap bersama
ASEAN pada berbagai forum internasional).71
71
Ibid., h. 1.
BAB IV
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM PROSES PEMBENTUKAN
ASEAN COMMUNITY
A. Kepentingan-Kepentingan Indonesia
Kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam mendorong pembentukan
ASEAN Community dilandasi oleh kepentingan nasionalnya. Sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945, maka kepentingan nasional Indonesia adalah
melindungi kedaulatan negara dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, melindungi keselamatan dan kehormatan bangsa, dan ikut serta
secara aktif dalam usaha-usaha perdamaian dunia.
Oleh sebab itu, persatuan bangsa dan keutuhan kesatuan wilayah Indonesia
merupakan geopolitik bangsa Indonesia. Geopolitik tersebut berkembang dalam dua
dimensi pemikiran dasar, yakni kewilayahan sebagai suatu realita dan kehidupan
masyarakat sebagai suatu fenomena hidup.72
Kepentingan ini dirumuskan dalam
upaya Indonesia mengembalikan posisinya dalam konstelasi politik regional dan
internasional. Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa kepentingan yang
penulis tangkap dari upaya Indonesia mendorong pembentukkan ASEAN Community
ini adalah:
1. Stabilitas Politik, Keamanan dan Ekonomi.
Salah satu tujuan politik luar negeri Indonesia adalah mewujudkan dan
memelihara lingkungan kawasan yang stabil, aman dan mengarah pada kemakmuran
bersama. Hanya dengan lingkungan kawasan yang kondusif, Indonesia dapat
72
Tim Dephan RI, “Buku Putih Departemen Pertahanan Republik Indonesia”, diakses pada
tanggal 16 Februari 2008 dari http://www.dephan.go.id/buku_putih/bab_iv.htm
berkonsentrasi untuk menata kehidupan politik dan memulihkan kehidupan ekonomi
nasional yang sedang terpuruk. Oleh karena itu, tidak heran jika ASEAN di tempatkan
sebagai pilar utama politik luar negeri Indonesia. Hal ini sebagai bagian dari
perwujudan kepentingan nasional yang kemudian terumuskan dalam kebijakan politik
luar negeri Indonesia.
Pengaruh globalisasi yang sulit dibendung memungkinkan untuk melemahkan
simpul-simpul persatuan dan kesatuan bangsa maupun ketahanan nasional. Demikian
pula dengan kondisi dalam negeri yang tidak stabil dan permasalahan multidimensi
yang dihadapi akibat krisis nasional yang belum teratasi, menjadi peluang bagi
peningkatan gangguan terhadap keamanan nasional. Peningkatan gangguan
memberikan dampak negatif yang cukup serius bagi kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan bangsa.
Gangguan terhadap ketertiban publik seperti teror, konflik komunal yang
berlatar belakang primordial (etnis dan agama) radikalisme, kerusuhan atau
pembangkangan masal, perdagangan narkoba, perjudian dapat meningkat dan
berkembang menjadi ancaman terhadap kepentingan nasional.73
Kondisi ini
kemudian diperparah dengan tindakan kejahatan lintas batas, separatisme yang ada di
berbagai negara serta serangan terorisme yang semakin merusak stabilitas nasional
dan regional. Berbagai persoalan tersebut semakin merusak citra Indonesia sebagai
negara yang aman dan stabil. Terlebih implikasi utama dari hal tersebut adalah
sulitnya untuk keluar dari lingkaran krisis ekonomi nasional.
Stagnasi roda ekonomi nasional dipersulit dengan belum adanya mekanisme
riil dalam ASEAN yang menjamin perlindungan dan stabilitas regional. Sekalipun
telah ada komitmen untuk melaksanakan AFTA (ASEAN Free Trade Area) dalam
73
Ibid,.
kerangka kerjasama ekonomi, namun hal tersebut tidak berjalan pada proses
implementasinya. Sehingga yang tampak adalah kesibukan masing-masing negara
dalam menggerakkan ekonominya. Hal ini menyebabkan fundamental pertahanan
ekonomi regional menjadi sangat rapuh. Padahal sebagaimana rumus tradisional
bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai dengan kondisi negara atau
kawasan yang stabil secara politik dan keamanan.
Oleh karena itu, berpijak pada pemikiran di atas, Indonesia mendorong
pembentukkan ASEAN Community yang ditopang oleh tiga pilar utama yang saling
terkait yakni ASC, AEC dan ASCC. Pembentukkan ketiga pilar tersebut di dasari
dengan pemikiran bahwa penguatan kerjasama ekonomi, tanpa adanya jaminan
keamanan, maka perekonomian tidak akan berjalan baik begitu pula sebaliknya,
keamanan tanpa didukung pembangunan ekonomi juga akan melahirkan masalah
baru.
Salah satu poin penting dalam AEC ini adalah penyeimbangan pertumbuhan
ekonomi. Hal tersebut bertujuan untuk memperkecil jurang perbedaan ekonomi antar
angggota sehingga mampu membentuk sabuk stabilitas ekonomi regional dengan
basis ekonomi yang lebih kokoh. Dengan demikian, integrasi kerjasama politik,
keamanan dan ekonomi mampu menciptakan kawasan yang stabil dan nyaman bagi
pertumbuhan ekonomi.
2. Peran Regional Power Center di ASEAN
Sebagai negara pelopor dan pendiri ASEAN, Indonesia memang memiliki
posisi penting dalam konstelasi hubungan kerjasama di ASEAN. Proses
kepemimpinan Indonesia, baik secara tradisional maupun dalam jabatan struktural,
telah berlangsung lama. Namun demikian, terjadinya krisis ekonomi yang kemudian
berubah menjadi krisis multidimensional pada tahun 1998 menjadikan Indonesia
kehilangan peran tersebut. Praktis, sejak saat itu bargaining position Indonesia di
mata ASEAN menjadi lemah.
Proses kepentingan Indonesia untuk kembali menjadi regional power center
dapat dilihat dari kepemimpinannya sebagai Ketua Standing Committee ASEAN pada
periode Juli 2003 sampai dengan Juli 2004. Dalam periode tersebut Indonesia terbukti
mampu menjadi sosok penting dengan memaksimalkan kepemimpinan di kawasan
ASEAN.
Pencapaian itu dibuktikan dengan lebih produktif menghasilkan pemikiran
dan berbagai konsep baru, nyata dan realistis sehingga ASEAN bukan hanya sekedar
simbol saja. Namun, konsep yang akan menghasilkan akselerasi demi kemajuan
ASEAN. Terlebih dalam hal ini Indonesia mendapat otoritas lebih luas dengan jabatan
resminya tersebut. Pada momentum ini pula menjadi sarana penegasan bagi Indonesia
untuk menempatkan ASEAN sebagai pilar utama politik luar negerinya.
Setelah mengkaji perjalanan ASEAN sejak berdiri hingga saat Indonesia
menjabat Ketua Standing Committtee ASEAN, beberapa persoalan utama yang
diinventarisir oleh Indonesia adalah persoalan kerjasama politik dan keamanan yang
masih harus di tingkatkan, kerjasama di bidang ekonomi yang belum begitu kuat serta
penguatan proses integrasi masyarakat ASEAN yang masih terhalang oleh kurangnya
kerjasama di bidang sosial dan budaya. Secara khusus telah dicatat oleh Indonesia,
bahwa permasalahan politik dan keamanan di antara negara anggota ASEAN selalu
tidak pernah berhasil diselesaikan secara terbuka, dikarenakan adanya kecenderungan
ASEAN selama ini bersifat ”swept the issues under the carpet” antara sesama negara
anggota.
Selain itu fokus kerjasama ASEAN selama ini cenderung pada masalah bidang
ekonomi, padahal menurut Indonesia perekonomian dan keamanan adalah terkait satu
sama lain. Sehingga jika salah satu itu tidak ada maka kedua-duanya tidak akan
tercapai. Artinya memperkuat keamanan tanpa memperkuat perekonomian akan sia-
sia.74
Oleh karena itu, diplomasi Indonesia dengan mendorong pembentukkan ASC
sebagai pilar penguatan kerjasama menuju ASEAN Community yang kemudian diikuti
dengan pembentukkan AEC dan ASCC sebagai pilar penopang lainnya, merupakan
sebuah terobosan penting dan maju bagi ASEAN.
Gagasan dan diplomasi Indonesia tersebut menjadikan negeri ini semakin
diakui perannya, terlebih lagi jika ASEAN telah mampu menjadi motor kelembagaan
yang solid untuk menggerakkan iklim demokratisasi di kawasan. Selain itu gagasan
ini merupakan hal luar biasa dialami oleh ASEAN pada perkembangannya, karena
dibalik ide tersebut ASEAN dapat kembali memformulasikan ulang kebijakannya dan
menyegarkan kembali kerjasamanya melalui proses pembangunan politik di kawasan
guna mengatasi perbedaan sistem politik. Dengan pembentukkan ASEAN Community,
Indonesia mendorong ASEAN yang demokratis, pengelolaan pemerintahan yang
bersih yang menghargai dan melindungi HAM, serta memiliki norma-norma
pergaulan antar negara yang lebih terbuka dan maju namun juga dihormati bersama.75
Oleh karena itu, melalui konsep besar ASEAN Community yang digagas
Indonesia menjadikan negeri ini mampu meraih kembali kepemimpinannya di
kawasan regional. Sebagaimana yang diakui oleh Menlu Hasan Wirayuda,76 bahwa
pembentukkan ASEAN Community merupakan lompatan sejarah bagi ASEAN yang
akan menjadi cetak biru integrasi regional hingga tahun 2020, karena di dalamnya
74
“Peringatan untuk KTT ke-9 ASEAN di Bali,” Kompas, 5 Oktober 2003. 75
“ ASEAN’s Collective Leadership,” The Jakarta Post, 1 Oktober 2003. 76
“Peringatan untuk KTT ke-9 ASEAN di Bali.”
terdapat kerangka komperhensif untuk kerjasama politik dan keamanan, ekonomi dan
sosial budaya. Sehingga kepentingan Indonesia pada skala regional sudah dapat
tercapai dan diperkuat dengan diterimanya usulan pembentukkan ASEAN Community,
khususnya ASC.
Perlu juga dicatat bahwa terobosan Indonesia dan ASEAN dengan melahirkan
ASEAN Community menjadi pintu utama dalam memuluskan langkah organisasi
tersebut menyepakati Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang disepakati pada tahun
2007. Piagam ASEAN ini merupakan landasan hukum (yuridiksi) kelembagaan
ASEAN pertama yang menjadikan organisasi ini memiliki pijakan hukumnya.
3. Pengembalian Citra
Keterpurukkan citra Indonesia di mata dunia internasional sesungguhnya
sudah dimulai sejak krisis ekonomi yang menerjang Indonesia di tahun 1997.
Parahnya, krisis ekonomi ini kemudian menjadi bola salju yang kemudian semakin
membesar dan mengekang Indonesia dalam penjara krisis multidimensi yang
menyentuh seluruh sendi kehidupan negara dan masyarakat.
Kurun waktu tiga tahun sejak tahun 1998 membuat dinamika kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia cukup memprihatinkan. Dalam
kurun waktu tersebut, terjadi tiga kali pergantian kepemimpinan nasional yang
menggambarkan lembaga kepemimpinan nasional yang rapuh dan tatanan politik
yang belum mapan. Lembaga supra dan infra struktur politik masih mencari tatanan
politik yang tepat.
Reformasi yang bertujuan untuk menegakkan kehidupan yang demokratis dan
pemerintahan yang bersih dan baik, mendapat rintangan yang berat. Krisis ekonomi
yang belum teratasi menimbulkan dampak terhadap bidang lain yaitu instabilitas
politik dan perekonomian nasional, serta gangguan keamanan yang cenderung
meningkat.
Sebagai ekses dari kekacauan politik dan keamanan, ekonomi Indonesia ikut
terpuruk dan sulit untuk bangkit. Terlebih sektor ekonomi yang pertama kali menjadi
penyakit krisis bangsa ini. Negara hampir gagal dalam upayanya memenuhi hak
rakyat berupa pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Tidak bergeraknya sektor
riil ekonomi nasional berdampak pada gejolak di bidang sosial dan budaya.
Dengan demikan, dalam menyikapi kondisi ini pemerintahan Presiden
Megawati Sukarnoputri77
melakukan beberapa upaya perbaikan di dalam dan luar
negeri dengan melakukan peningkatan hubungan bilateral, regional maupun
multilateral di berbagai negara. Perbaikan sektor dalam negeri ditujukan pada upaya
pengembalian stabilitas keamanan nasional dari berbagai ancaman separatisme. Hal
ini diwujudkan dengan adanya kebijakan penerapan status darurat militer di Nanggroe
Aceh Darussalam yang belangsung selama satu tahun. Dalam status darurat militer
tersebut secara serentak dilancarkan operasi militer terbatas dan berbagai kegiatan
lainnya secara terpadu, yang bertujuan secepatnya memulihkan kehidupan
masyarakat, tegaknya hukum, berjalannya fungsi pemerintahan dan terjaminnya
keamanan.
Dalam upaya menanggulangi ancaman terorisme setelah tragedi serangan yang
terjadi di Indonesia, pemerintahan Megawati semakin mengintesifkan upaya-upaya
pencegahan terhadap aksi-aksi terorisme. Pada tataran politik luar negeri, Indonesia
semakin keras menyuarakan bahwa perang terhadap terorisme harus dilakukan
dengan membangun koalisi global yang komperhensif, dengan mekanisme PBB
77
Megawati Sukarnoputri menjadi Presiden Indonesia menggantikan posisi KH. Abdurahman
Wahid (Gus Dur) yang digulingkan melalui Sidang Istimewa MPR RI (Majelis Permusyawaratan
Rakyat) pada tahun 2001. Sebelumnya Megawati adalah Wakil Presiden dan juga menjabat sebagai
Ketua Umum PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang merupakan partai pemenang
Pemilu 1999.
sebagai alat utama, yang melibatkan semua peradaban dan semua agama. Hal ini
didasari oleh pemikiran bahwa jaringan terorisme bersifat lintas negara dan hanya
dapat dikalahkan oleh jaringan kerjasama antar negara. Karena itu harus terus
dibangun kerjasama internasional, baik secara bilateral, regional dan global.
Keseriusan Indonesia dalam memberantas aksi terorisme ditandai dengan
keberhasilan aparat keamanan negara menangkap pelaku peledakan Bom Bali
Oktober 2002 sekaligus membongkar jaringannya. Hal ini sekaligus menjawab
keseriusan Indonesia dalam usaha memberantas terorisme. Dengan keberhasilan ini
mampu mendorong penguatan bargaining position Indonesia dalam konstelasi politik
internasional. Proses pengembalian kepercayaan dunia internasional merupakan salah
satu pijakan untuk memulihkan citra negara. Sejak saat itu, Indonesia terus
membangun kemampuan mengatasi ancaman dan bahaya terorisme, dengan
memanfaatkan berbagai forum kerja sama bilateral, regional dan global.
Jauh sebelum Indonesia menjabat Ketua Standing Committee ASEAN pada
tahun 2003, Indonesia telah melakukan diplomasi pro-aktif dalam bidang politik dan
keamanan. Beberapa di antaranya seperti mendukung upaya ASEAN dalam
mengantisipasi ancaman terorisme melalui langkah regional bersama, jauh sebelum
serangan terorisme menghantam dunia melalui Tragedi WTC 11 September 2001,
tragedi Bom Bali Oktober 2002 maupun peledakkan Bom Marriott Agustus 2003.
Beberapa langkah politik Indonesia tersebut adalah: (1) ASEAN Declaration on
Transnational Crime 1997, (2) Hanoi Plan of Action yang ditetapkan pada KTT
ASEAN di Hanoi, Vietnam 1998, dan (3) ASEAN Plan of Action to Combat
Transnational Crime 1999. 78
78
Moenir Ari Soenanda, “Kepentingan Nasional Indonesia di Dunia Internasional”.
Maka sejak tahun 2001, Indonesia turut mendorong deklarasi ASEAN untuk
memerangi terorisme ”ASEAN Declaration on Join Action to Counter Terrorism”
yang dihasilkan pada KTT ASEAN ke-VII di Brunei Darussalam pada November
2001. Selain itu terdapat beberapa upaya pendekatan kerja sama regional yang
dilakukan Indonesia untuk semakin meyakinkan keseriusan Indonesia mengembalikan
stabilitas politik dan keamanan yang pada akhirnya akan melahirkan pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi yang semakin membaik.
Selain fokus pada masalah politik dan keamanan, upaya mengembalikan citra negara
juga dilakukan dengan turut serta dalam berbagai kerja sama internasional di bidang
ekonomi dan sosial budaya. Beberapa isu yang menjadi pembahasan Indonesia juga
adalah pemberantasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup, pemberantasan
obat-obat terlarang, kejahatan lintas negara, serta penanganan beberapa virus penyakit
seperti HIV/AIDS dan SARS.
Perkembangan positif yang ditunjukkan Indonesia dengan diplomasi pro-aktifnya
dalam berbagai forum dialog dan kerjasama internasional turut mendorong
tumbuhnya semangat kebersamaan dan kepercayaan sesama anggota ASEAN.
Indikasinya tampak dalam pertemuan tahunan para Menlu ASEAN di Phnom Penh,
Kamboja pada bulan Juli 2003, yang menunjukkan gejala positif dengan pembahasan
bersama atas beberapa persoalan sensitif dalam negeri negara anggota.
Indonesia, pada pertemuan tersebut turut menyampaikan informasi seputar persoalan
Aceh dan kebijakan darurat militernya. Hal ini menghasilkan kepercayaan terhadap
Indonesia serta komitmen negara lain untuk mendukung integrasi nasional. Demikian
pula dengan Myanmar yang turut menyampaikan informasi seputar upaya
rekonsilisasi nasional, terutama seputar nasib Aung San Suu Kyi yang telah menjadi
isu politik internasional. Beberapa kemajuan ini menunjukkan perkembangan ASEAN
yang mengarah pada proses menuju integrasi regional. Terlebih selama ini negara-
negara anggota memilih untuk bungkam terhadap isu-isu domestiknya.
Dengan berbagai pertimbangan serta di latar belakangi oleh berbagai upaya
Indonesia untuk memulihkan citranya maka pada KTT ASEAN ke-IX di Bali pada
2003, Indonesia mendorong dibentuknya suatu ASEAN Community dengan pilar
utamanya ASEAN Security Community sebagai bagian dari strategi dan kepentingan
nasional untuk menciptakan kestabilan kawasan ASEAN. Hal ini secara langsung
berdampak pada pemulihan citra Indonesia di mata dunia internasional, khususnya
kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, sesungguhnya Indonesia telah mendorong
upaya ASEAN menuju perdamaian, kestabilan disegala bidang dan kemakmuran
sehingga negara anggota ASEAN dapat mewujudkan kawasan yang aman, stabil dan
makmur.
B. Peranan Indonesia
Gencarnya isu terorisme dan separatisme membawa persoalan yang rumit bagi
Indonesia. Misalnya, perang terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk
membuka diri dalam kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini menjadi isu
besar mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses
demokratisasi, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan
mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam
negeri.79
Terlebih, fakta yang tersaji di depan mata pada saat hampir bersamaan,
pemerintah Malaysia dan Singapura memilih memberlakukan Undang-Undang ISA
(Internal Security Act) yang sangat represif sebagai jalan untuk memerangi terorisme.
79
Philips. J Vermonte, Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra
Diri, dalam Bantarto Bandoro, ed., Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta:
CSIS, 2005), h. 36.
Hal ini yang kemudian menjadikan komunitas civil society di Indonesia menjadi
khawatir terhadap kemungkinan langkah politik domestik yang akan diambil
pemerintahan Megawati.
Namun demikian, kondisi tersebut menjadi suatu motivasi politik yang dikedepankan
pemerintahan Megawati untuk menstabilkan politik dalam negeri. Ditambah dengan
upaya serius dari pemerintah dalam upaya memberantas terorisme yang pada akhirnya
menumbuhkan stabilitas nasional dan kepercayaan dari dunia internasional. Upaya
Indonesia untuk bangkit dari “serangan” terorisme tersebut menghasilkan sebuah
apresiasi positif, sehingga hal ini diyakini menjadi modal penting dalam penguatan
basis politik luar negeri Indonesia. Hal tersebut dicanangkan sebagai pra-kondisi yang
akan menunjang kebangkitan politik luar negeri Indonesia, khususnya cita-cita untuk
mengembalikan peran kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Karenanya, pada saat itu,
Megawati memberikan porsi yang besar bagi Departemen Luar Negeri (Deplu) untuk
merancang langkah strategis untuk mewujudkan hal tersebut.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali
menjadi aktif pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa
pelaksanaan diplomasi di masa Megawati kembali ditopang oleh struktur yang
memadai dan substansi yang cukup. Deplu kemudian melakukan restrukturisasi yang
ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam
mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami bahwa diplomasi tidak lagi hanya
dipahami dalam kerangka meemproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar,
tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke
dalam negeri.80
80
Ibid., h. 36.
Arah dan substansi politik luar negeri negara manapun pada akhirnya akan
sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
maupun di luar negeri. Indonesia tidak dapat menghindar dari keharusan menghadapi
perubahan-perubahan tersebut. Konsekuensi dari perubahan–perubahan tersebut
adalah upaya merestrukturisasi politik luar negeri Indonesia. Sejak Januari 2002,
Deplu menunjukkan komitmennya untuk membangun struktur kebijakan dan birokrasi
baru. Tujuan restrukturusasi ini adalah untuk melibatkan seluruh sektor masyarakat
Indonesia dalam profil diplomatik Indonesia.81
Proses pembenahan yang dilakukan Deplu ini merupakan bagian dari sikap
responsif terhadap situasi politik dunia internasional yang berubah dengan cepat dan
sangat dinamis. Karenanya, keputusan yang diambil pemerintahan Megawati dinilai
sangat tepat dalam upaya untuk membangun pola dan perspektif baru politik luar
negeri Indonesia.
Perkembangan kondisi domestik Indonesia yang semakin menunjukkan gejala
perbaikan merupakan momentum awal bagi penguatan peran politik luar negeri
Indonesia. Ketika hal ini telah dirasa cukup kuat, maka Indonesia beranggapan bahwa
prakondisi politik domestik telah cukup kuat untuk menopang kebijakan politik luar
negeri Indonesia yang akan memfokuskan kepada ASEAN. Sebagaimana telah
dikemukakan di atas bahwa Indonesia bertujuan mengembalikan peran kepemimpinan
regional ASEAN yang sejak krisis tahun 1998 lepas dari Indonesia.
Dalam lingkup ASEAN, Indonesia mendapatkan momentum penting dalam
upayanya memainkan peranan penting dalam kancah politik luar negeri, yakni posisi
81
Bantarto Bandoro, The Hassan Initiative dan Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia,
dalam Bantarto Bandoro, ed., Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: CSIS,
2005), h. 44.
Indonesia sebagai Ketua Standing Committee ASEAN pada periode Juli 2003 sampai
dengan Juli 2004. Sebagai bagian dari strategi politik luar negeri Indonesia, peran
kepemimpinan Indonesia yang secara tradisional telah diakui sebagai natural leader
dari ASEAN mendapatkan legitimasi kelembagaan. Dengan demikian upaya Inonesia
untuk memberikan sebuah dorongan besar untuk kemajuan ASEAN mendapatkan
situasi, kondisi dan momentum yang ideal.
Berdasarkan hal tersebut, Indonesia yang telah lama concern pada upaya
mewujudkan sebuah kerangka kerjasama yang lebih luas dalam bidang politik dan
keamanan sebagai upaya menuju integrasi ASEAN, menggulirkan sebuah proposal
pembentukkan ASEAN Security Community sebagai pelengkap dari kerjasama
ekonomi ASEAN yang selama ini telah berjalan. Proses membangun keseimbangan
antara bidang ekonomi dengan politik dan keamanan ini merupakan proyek besar
Indonesia untuk menjadikan ASEAN lebih “bergigi”. Hal ini dikarenakan wilayah
politik dan keamanan merupakan sektor yang sangat sensitif dan paling dihindari
selama ini oleh negara anggota ASEAN.
Dalam konteks kepentingan nasional, Indonesia berpandangan bahwa
stabilitas kawasan merupakan pagar utama dalam mewujudkan stabilitas nasional.
Fakta bahwa serangan terorisme dan jaringannya yang telah menggurita dan bersifat
transnasional, khususnya di Asia Tenggara menyadarkan Indonesia untuk
memperkuat pertahanan kawasan sebagai bagian pertahanan nasional. Selain itu,
Indonesia juga termotivasi untuk menghasilkan sebuah lompatan besar bagi ASEAN
yang akan dihasilkan di Bali, yang merupakan tempat penyelenggaraan KTT ASEAN
ke IX pada 7-8 Oktober 2003.
Berdasarkan kajian tersebut, maka Indonesia meluncurkan gagasan
pembentukan ASC sebagai proyek besar yang akan dibawa pada KTT ASEAN ke IX
di Bali. ASC adalah sebuah konsep komunitas yang menempatkan diplomasi sebagai
first-liner pertahanan negara di masa damai. ASC yang digagas Indonesia tersebut
bertujuan membentuk sebuah masyarakat Asia tenggara yang bersepakat untuk
menjauhi penggunanan kekerasan atau instrumen militer dalam menyelesaikan
konflik.82
ASC juga dimaksudkan untuk mewujudkan Visi ASEAN 2020, -yang
dilahirkan pada KTT ASEAN tahun 1997, di mana dimaksudkan untuk
mengintegrasikan ASEAN.
Sebagai sebuah proyek dan gagasan besar, maka proposal ASC ini kemudian
dibawa oleh para diplomat Indonesia dalam bagian proses diplomasi dengan negara
anggota ASEAN yang lain. Dengan status sebagai Ketua ASEAN Standing
Committee, Indonesia mendapat keleluasaan untuk mengupayakan hal tersebut.
Proposal ASC Indonesia ini kemudian mendapatkan respon positif serta bergulir
menjadi konsep Bali Concord II. Konsep ini sendiri mengacu pada Bali Concord I
yang telah dilahirkan pada KTT ASEAN di Bali tahun 1976. Dokumen utama dalam
draf Bali Concord II, akan berisi konsep AEC, ASCC dan konsep yang digagas
Indonesia, ASC. Hal ini membuktikan bahwa gagasan Indonesia menjadi multiplier
effect sehingga mencakup bidang ekonomi dan sosial budaya.
Konsep Bali Concord II sendiri sudah dirumuskan dan dibahas dalam berbagai
pertemuan informal SOM (Special Official Meeting), antara lain di Lombok dan
Jakarta pada September 2003, dan telah diputuskan pada pertemuan tingkat menteri
luar negeri di New York, 29 September 2003. Pada SOM informal terakhir yang
berlangsung 20-21 September di Jakarta,83 para wakil negara-negara ASEAN telah
menyepakati keseluruhan aspek utama yang akan dimasukkan dalam Bali Concord II
82
Philips. J Vermonte, Demokratisasi dan Politik Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra
Diri, h. 38.
83
“Luncurkan Bali Concord II'', diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari
www.balipost.com/BaliPostcetak/2003/10/4/b20.htm
diajukan untuk ditandatangani para pemimpin ASEAN dalam KTT pada 7-8 Oktober
2003. Pada tahap ini, sudah terlihat sebuah langkah maju dihasilkan oleh Indonesia
dalam upayanya mendorong gagasan ASC.
Kemudian, rangkaian persiapan KTT ASEAN IX dimulai pada Jumat, 3
Oktober 2003 dengan dilakukannya pertemuan tingkat pejabat tinggi untuk
menyiapkan dokumen-dokumen yang akan dihasilkan dalam pertemuan para kepala
negara atau pemerintahan ASEAN pada 7-8 Oktober 2003. Pertemuan para pejabat
ASEAN setingkat dirjen itu dipimpin oleh tuan rumah Dirjen Asia Pasifik dan Afrika
Deplu Indonesia Makarim Wibisono, dan akan berlangsung hingga Sabtu, 4 Oktober
2003.84 Lalu pertemuan tingkat Menlu negara-negara ASEAN tanggal 5-6 Oktober
2003 menyepakati direkomendasikannya Bali Concord II untuk disahkan pada
pertemuan pemimpin ASEAN pad 7-8 Oktober 2003. 85
Akhirnya, setelah melalui jalan panjang proses diplomasi dari satu forum ke
forum, pada tanggal 7 Oktober 2003 Bali Concord II, -yang menggariskan
pembentukkan ASEAN Community berdasarkan tiga pilarnya, yakni ASC, AEC dan
ASCC, di tanda tangani oleh para pemimpin negara/pemerintahan negara anggota
ASEAN. Presiden Megawati mengatakan, disahkannya deklarasi Bali Concord
II merupakan bagian dari pernyataan kembali ASEAN sebagai satu kelompok negara
di Asia Tenggara yang terkait dalam kemitraan, pembangunan dinamis, dan
masyarakat yang peduli.86
Pada saat itu pula disepakati untuk menyusun rencana aksi yang akan di
sepakati pada KTT ASEAN X di Vientiane, Laos, 2004 sebagai tindak lanjut dari Bali
84 Ibid,. 85
“RI akan Usulkan Pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN”, diakses pada tanggal 14
Februari 2008 dari www2.kompas.com/utama/news/0308/27/021854.htm. 86 “Bali Concord II diTandatangani Siang Ini”, diakses pada tanggal 14 Februari 2008 dari
www2.kompas.com/utama/news/0308/27/021854.htm.
Concord II. Konsep ASEAN Community ini kemudian didorong maju selangkah ke
depan dengan disetujuinya rencana-rencana aksi atau Plan of Actions (PoA). PoA
merupakan program jangka panjang untuk merealisasikan konsep ASEAN Community
ini dalam ketiga bidangnya.
Proses perumusan dan pembentukkan ASEAN Community dalam Bali Concord
II merupakan buah dari diplomasi intensif dan negosiasi serta lobi kuat yang
dilakukan oleh elemen Pemerintahan Indonesia dalam mendorong upaya ini. Pada
saat itulah Indonesia menunjukkan prestasi dengan menjadikan ASEAN dari suatu
organisasi yang bersifat loose menjadi suatu organisasi yang lebih mengikat
(community). Pada titik ini sebenarnya Indonesia telah menunjukkan dirinya sebagai
leader di dalam ASEAN. Dengan demikian, Indonesia telah berhasil mewujudkan
tujuan nasionalnya untuk mengembalikan status kepemimpinan ASEAN. Hal ini
kemudian berefek dengan mulai kembali pulihnya kepercayaan dunia internasional
terhadap Indonesia dan posisi pentinganya dalam kawasan Asia Tenggara.
C. Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia.
1. Peluang
Sebagai negara utama yang mendorong pembentukan ASEAN Community,
Indonesia menempatkan peluang-peluang yang akan didapat pada komponen penting
implementasi kebijakannya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari premis yang
menyebutkan kepentingan nasional di atas politik luar negeri sebuah negara.
Setidaknya, pemaparan kepentingan-kepentingan di atas telah memberikan gambaran
awal mengenai berbagai peluang potensial yang dapat diperoleh Indonesia. Namun
demikian, penulis melihat beberapa peluang potensial yang dapat dimanfaatkan
Indonesia dari pembentukkan ASEAN Community ini.
Secara umum, peluang terbesar Indonesia adalah kembalinya pengakuan
sebagai regional power center di ASEAN. Peluang ini semakin besar jika mengacu
pada proses penyusunan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang menempatkan
Indonesia sebagai negara perumus. Pada sisi lain, sebagai tuan rumah dari kantor
Sekretariat ASEAN, menjadikan Jakarta secara otomatis akan menjadi tempat
dilahirkannya keputusan-keputusan penting ASEAN, tak ubahnya dengan New York
sebagai kota tempat Sekretariat PBB berada. Imbas dari peluang besar ini adalah akan
menaikkan leverage (bobot) Indonesia di mata dunia. Secara tidak langsung pada
gilirannya nanti akan membuat Indonesia menjadi negara yang lebih disegani dan
dihormati dalam pergaulan intenasional.
Posisi ini menjadi penting sebagai jembatan utama bargaining position dalam
konstelasi politik, ekonomi dan sosial-budaya dalam interaksi internasional tingkat
regional dan dunia pada umumnya. Tetapi jika dipaparkan lebih rinci, peluang
Indonesia sangat besar dalam setiap elemen ASEAN Community ini, yakni ASC, AEC
dan ASCC.
Pertama, peluang Indonesia dalam ASC. Indonesia merupakan negara
pengusung gagasan ASC. Oleh karena itu, beberapa peluang potensial bagi Indonesia
adalah memperkuat sikap damai dari para negara anggota dan para mitra ASEAN. Ini
menjadi langkah utama dalam menerapkan kehidupan damai dan dialogis dalam
hubungan regional di ASEAN.
Selain itu, memperkuat sikap saling percaya dan yakin di antara negara
anggota. Mempromosikan perdamaian kawasan sebagai pilar stabilitas kawasan dan
stabilitas nasional. Kemudian, ASC ini menjadikan Indonesia dan negara anggota
lainnya lebih terikat pada penyelesaian konflik dengan dialog, pembangunan sikap
perdamaian dan penyelesaian konflik melalui mekanisme internal organisasi.
Kesemua peluang tersebut, jika mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh
Indonesia, maka peran Indonesia sebagai stabilitator dan dinamisator ASEAN mampu
meningkatkan prestise dan bargaining position Indonesia di ranah politik dan
keamanan internasional.
Kedua, peluang Indonesia dalam AEC. Secara ekonomi, ASEAN merupakan
pasar yang menjanjikan. Kawasan ASEAN dengan penduduk 540 juta jiwa dan GDP
723 miliar dollar AS punya potensi untuk menjadi sebuah komunitas yang lebih
terintegrasi.87
Hal ini ditambah lagi dengan fakta bahwa negara-negara di kawasan ini
menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat dan stabilitas keamanan yang relatif
baik. ASEAN akan menjadi pemain penting dalam ekonomi dan politik internasional.
Secara makro ekonomi, Indonesia mulai menunjukkan tren positif. Hal ini ditunjang
dengan stabilitas yang semakin membaik. Peluang potensial Indonesia terdapat dalam
memperbesar dan memudahkan akses ekonomi kepada pasar yang sangat beragam.
Memperkuat ketahanan ekonomi regional sebagai salah satu pilar pertahanan dari
kemungkinan serangan krisis ekonomi, kerjasama dalam pengentasan kemiskinan.
Memperkecil biaya perdagangan yang dapat mempermurah biaya produk Indonesia
ke pasar regional.
Pada sisi lain, Indonesia berpeluang untuk meningkatkan pasar investasi dan industri
pariwisata serta peningkatan daya saing industri nasional. Selain itu, kekayaan sumber
alam Indonesia yang tidak ada duanya di Asia Tenggara merupakan local-advantage
yang tetap menjadi peluang besar. Terakhir, jumlah penduduk terbesar yang dapat
menyediakan tenaga kerja murah dapat menguntungkan Indonesia.
Ketiga, peluang Indonesia dalam ASCC. Memperkuat kerjasama melalui
mekanisme kerja pemberantasan perdagangan manusia, perdagangan obat lintas
87
”ASEAN: Catatan dari Kuala Lumpur”, diakses tanggal 14 Februari 2008 dari
www.p2p-lipi.go.id/menu/issue.aspx?kdi=53.
negara serta penanggulangan penyakit massal seperti HIV/AIDS dan flu burung.
Mempromosokan perlindungan sosial dan identitas budaya Indonesia ke negara lain.
Memperbesar ranah kerjasama people-to-people di antara negara anggota, seperti
cultural and education exchange.
2. Tantangan
Beberapa peluang bagi Indonesia memang terlihat menggiurkan. Namun
demikian, tantangan yang dihadapi Indonesia dalam implementasi ASEAN Community
ini jauh lebih besar. Sehingga harus segera diambil kebijakan strategis untuk
meminimalisir tantangan ataau hambatan ini serta mengubahnya menjadi peluang.
Dalam hemat penulis, tantangan utama bagi Indonesia dalam ASEAN
Community ini adalah implikasi akan penguatan kerjasama. Sebagai konsekuensi logis
dari pembentukkan ASEAN Community, negara anggota ASEAN akan semakin
memperkuat elemen-elemen kerjasama menuju proses integrasi sepenuhnya. Artinya,
penulis ingin menyampaikan bahwa harus segera ada perubahan paradigma dan sikap
dari seluruh komponen bangsa dalam menyikapi hal ini.
Beberapa tantangan bagi Indonesia yaitu: pertama, tantangan dalam aspek
politik. Indonesia harus melakukan perubahan mendasar dalam aspek legalitas hukum
nasional, institusi dan penyelarasan berbagai aturan dengan aturan-aturan dalam
kesepakatan pembentukkan ASEAN Community. Faktor-faktor inilah yang merupakan
tantangan terbesar. Pemerintah harus mampu meyakinkan kepada seluruh stakeholder
negara ini akan dampak positif dari ASEAN Community bagi Indonesia.
Pada sisi lain, ASEAN Community ini juga mengandung konsekuensi
penyerahan sebagian kedaulatan negara. Inilah elemen paling sensitif dalam proses
menuju integrasi penuh. Selain itu, kemampuan Indonesia untuk menjaga stabilitas
politik domestik dengan penegakan proses demokratisasi yang konsisten merupakan
elemen lain dalam memenuhi ekspektasi negara anggota lain. Hal ini akan
berdampak pada keyakinan akan status Indonesia sebagai regional power center di
ASEAN.
Kedua, dari aspek ekonomi. Sekalipun pangsa ekspor Indonesia ke negara-
negara utama ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Pilipina) cukup besar yaitu
13.9% (2005) dari total ekspor. Namun terdapat dua permasalahan yang terletak pada
sektor daya saing ekonomi Indonesia jauh lebih rendah ketimbang Singapura,
Malaysia dan Thailand serta percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila
dibanding dengan negara ASEAN lainnya.88 Hal ini merupakan fenomena sisa dari
krisis ekonomi 1997-1998 yang belum juga hilang dari negeri ini.
Dampak lainnya adalah rendahnya pertumbuhan investasi baru (khususnya
arus Foreign Direct Investment) atau semakin merosotnya kepercayaan dunia usaha,
yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Faktor buruknya
infrastruktur ekonomi, instabilitas makro-ekonomi, ketidakpastian hukum dan
kebijakan, ekonomi biaya tinggi akibaat korupsi dan pungli menjadi beban tambahan.
Mengutip dari pendapat Noer Azam Achsani,89
menyatakan salah satu
indikator kekurangsiapan Indonesia terlihat dari efek pembangunan ekonomi paska-
krisis ekonomi tahun 1997-1998. Indonesia di sejajarkan dengan Filipina sebagai New
Industrialized Country (NIC). Akan tetapi keduanya terkena krisis berkepanjangan
sejak tahun 1997 dan sampai saat ini belum juga pulih. Kedua negara ini juga
88 Jhanghiz Syahrivar, “Towards ASEAN Community 2015”, diakses tanggal 11 Maret 2008
dari www.president.ac.id/.
89 Noer Azam Achsani, “Integrasi ASEAN+3: Antar Peluang dan Ancaman”, diakses pada
tanggal 11 Maret 2008 dari http://brighten.or.id.
menghadapi masalah ekonomi yang sangat besar, yang ditandai dengan tingginya
tingkat kemiskinan dan pengangguran serta kurangnya infrastruktur.
Beberapa faktor di atas membuat posisi Indonesia berada di bawah negara
“unggulan” ASEAN seperti Singapura, Thailand, Malaysia dan Vietnam sekalipun.
Dengan demikian, Indonesia tidak bisa menunda lagi untuk segera berbenah diri, agar
tidak menjadi pelengkap di ASEAN Community tahun 2015.
Terakhir, dalam aspek sosial budaya. Tantangan bagi Indonesia adalah
menjadikan ASEAN Community sebagai mainstream and common issue bagi
masyarakatnya. Hal ini sangat penting jika mengingat bahwa ASEAN baru menjadi
isu bagi sekelompok masyarakat saja. Terlebih, proses menuju integrasi penuh
merupakan proses yang panjang. Dalam konteks ini, integrasi sosial sangat sulit
dibangun pada masyarakat plural, jika tidak didukung oleh gerakan sosial dan derajat
interaksi yang signifikan.
Indonesia harus mampu membangun sebuah masyarakat terbuka, ramah dan
kompetitif. Hal ini penting untuk menopang implementasi ASEAN Community yang
menjadikan ASEAN sebagai sebuah komunitas. Masyarakat Indonesia harus siap
berinteaksi penuh dengan warga masyarakat dari negara anggota ASEAN lainnya
dalam berbagai bidang. Sampai saat ini, belum terlihat adanya upaya ke arah itu.
Beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia masih bersifat simbolik,
sehingga kita patut khawatir bahwa toleransi dan solidaritas Indonesia bagi ASEAN
itu hanya menjadi wacana dan diskusi saja, tetapi tidak mengakar dalam struktur
sosial.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen lebih besar dan kuat dari pemerintah
Indonesia untuk mendorong penyelesaian berbagai permasalahan yang masih ada di
internal maupun yang terkait dengan negara anggota ASEAN lainnya. Dengan
demikian, proses pembangunan ASEAN Community semakin mudah mengingat waktu
tujuh tahun ke depan merupakan pertaruhan besar bagi Indonesia dan ASEAN.
Hendaknya sisa waktu yang tidak lama itu bisa dimanfaatkan secara maksimal dan
efektif untuk membenahi segala sesuatu yang diperlukan agar Indonesia betul-betul
menjadi lebih siap dan tidak kedodoran menyambut pembentukan dan implementasi
ASEAN Community tahun 2015.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis tentang politik luar negeri Indonesia
terhadap ASEAN dalam proses pembentukan ASEAN Community, maka penulis
menyimpulkan:
1. Politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN menempati posisi penting dan
merupakan lingkaran kosentris pertama dalam hubungan internasional.
Sebagai soko guru politik luar negeri, Indonesia merupakan pendiri sekaligus
regional power center di ASEAN selama era kepemimpinan Soeharto.
Pembentukan ASEAN Community merupakan salah satu peran penting
kepeloporan Indonesia di ASEAN.
2. ASEAN Community adalah produk dari ASEAN yang terdapat dalam Bali
Concord II dan pembentukannya disepakati pada KTT ASEAN IX di Bali,
Indonesia tahun 2003. ASEAN Community dimaksudkan sebagai proses
institusional menuju integrasi penuh negara-negara ASEAN pada tahun 2015
di bidang politik, keamanan, ekonomi dan sosial budaya. ASEAN Community
terdiri atas tiga pilar, yaitu; ASEAN Security Community (ASC), ASEAN
Economic Community (AEC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).
3. Politik luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan ASEAN Community
adalah titik tolak kebangkitan Indonesia di ASEAN. Peran Indonesia dalam
pembentukkan ASEAN Community di latar belakangi kepentingan untuk
mengembalikan citra positif, stabilitas politik dan keamanan demi perbaikan
ekonomi nasional serta meraih kembali status regional power center di
ASEAN. Indonesia merupakan pelopor konsep ASC yang berkembang
menjadi ASEAN Community.
B. Saran
1. Indonesia hendaknya tetap berperan dalam upaya mengawal proses
implementasi ASEAN Community ini. Selain itu, pemerintah harus segera
menyiapkan kebijakan politik, perangkat-perangkat aturan dan produk hukum
nasional yang mengatur langkah-langkah strategis untuk
mengimplementasikan ASEAN Community. Tindakan ini demi menyelaraskan
perangkat aturan dan kepentingan nasional dengan segala ketentuan dalam
ASEAN Community.
2. Hendaknya Indonesia mengambil kebijakan ekonomi strategis yang
difokuskan pada upaya-upaya; stabilisasi moneter, pertumbuhan ekonomi,
skill dan kompetensi tenaga kerja serta peningkatan kualitas industri nasional
beserta produk-produknya. Semua ini diperlukan agar Indonesia mampu
menjadi pemimpin pasar dan tidak hanya menjadi penonton dalam era ASEAN
Community nanti.
3. Pemerintah Indonesia harus menerapkan strategi kampanye nasional yang
bertujuan untuk “membumikan” dan memasyarakatkan konsep ASEAN
Community ini kepada seluruh komponen stakeholder negara dan civil society.
Sehingga ASEAN Community tidak lagi menjadi isu elitis, akan tetapi mampu
menjadi isu bersama bagi seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, Noer Azam, “Integrasi ASEAN+3: Antar Peluang dan Ancaman”, diakses
pada tanggal 11 Maret 2008 dari http://brighten.or.id.
Bandoro, Bantarto, The Hassan Initiative dan Desain Baru Politik Luar Negeri
Indonesia, dalam Bandoro, Bantarto, ed., Mencari Desain Baru Politik Luar
Negeri Indonesia, Jakarta: CSIS, 2005
Coulombis, Theodore A. dan Wolfe, James H., Pengantar Hubungan Internasional;
Keadilan dan Power, terj.Mercedes Marbun, Bandung: Abardin, 1990
Dahlan, Ahmad, “Kepemimpinan Indonesia di ASEAN”, diakses pada tanggal 11
Maret 2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0710/24/opi04.htm.
Dam, Sjamsumar dan Riswandi, Kerja Sama ASEAN, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995
Djani, Dian Triansyah, “The Future of ASEAN Regional Cooperation After the 40th
Anniversary”, dalam Seminar ASEAN Charter: The Future of ASEAN ?,
Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, tanggal 3 September 2007 di Wisma
Syahida, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Holsti, K.J., Politik Internasional: Kerangka Analisa,, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1987
Kawilarang, Harry, Dunia di Tengah Kemelut; Bunga Rampai Masalah Internasional
1983-1984, Jakarta: UI Press, 1984
Keliat, Makmur, “Pembangunan Komunitas ASEAN”, diakses pada tanggal 14
Februari 2008 dari www.kompas.com/kompas-
cetak/0412/01/opini/1407756.htm.
Kusumatmadja, Muchtar, Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa
ini, Bandung: Alumni, 1983
Luhulima, C.P.F., ASEAN Menuju Postur Baru, Jakarta: CSIS, 1997
Luhulima, James, Asia Tenggara dan Negara Luar Kawasan yang
Mempengaruhinya: Pendekatan Politik dan Keamanan, Jakarta: Kompas-
Grasindo, 1998
Luhulima,C. P. F., “Regionalisme dan Politik Luar Negeri Indonesia”, diakses pada
tanggal 22 Februari 2008 dari www.csis.com.
Mingst, Karen, Essentials of International Relations, New York: W.W. Norton &
Company, 1999
Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations: Struggle For Power and Peace,
second edition, New York: Alfred A. Knopf, 1956
Morgenthau, Hans. J, Politik Antar-Bangsa, terj. S. Maimoen, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1990
Nasution, Dahlan, Perang Atau Damai Dalam Wawasan Politik Internasional,
Bandung: Remaja Karya, 1981
Papp, Daniel S., Contemporary International Relations: Frameworks for
Understanding, Boston: Allyn & Bacon, 1997
Perwita, A.A. Banyu dan Yani, Yanyan M., Pengantar Hubungan Internasional,
Bandung: Rosda Karya, 2005
Plano, Jack C. dan Olton, Roy, Kamus Hubungan Internasional, Bandung: Abardin,
1999
Pusphanathan, S, “The Establishment of ASEAN Community for the Future of
ASEAN”, dalam Seminar ASEAN Charter: The Future of ASEAN ?, Fakultas
Ekonomi dan Ilmu Sosial, tanggal 3 September 2007 di Wisma Syahida, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
RI, Tim Dephan, “Buku Putih Departemen Pertahanan Republik Indonesia”, diakses
pada tanggal 16 Februari 2008 dari http://www.dephan.go.id/ buku_putih/bab_iv.htm