Page 1
1 | P o l i t i k K a r t e l
BAB I
PENDAHULUAN
Sesuai teori demokrasi klasik pemilu adalah sebuah
"Transmission of Belt" sehingga kekuasaan yg berasal
dari rakyat bisa bergeser menjadi kekuasaan negara yg
kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah
untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin
rakyat. Berikut adalah pendapat beberapa para ahli
tentang pemilihan umum: Moh. Kusnardi & Harmaily
Ibrahim - Pemilihan umum merupakan sebuah cara untuk
memilih wakil-wakil rakyat. oleh karenanya bagi sebuah
negara yang mennganggap dirinya sebagai negara
demokratis, pemilihan umum itu wajib dilaksanakan dalam
periode tertentu. Bagir Manan - Pemilhan umum yang
diselenggarakan dalam periode lima 5 tahun sekali
adalah saat ataupun momentum memperlihatkan secara
langsung dan nyata pemerintahan oleh rakyat.
Ketika pemilihan umum itulah semua calon yang
bermimpi duduk sebagai penyelenggara negara dan juga
pemerintahan bergantung sepenuhnya pada kehendak atau
keinginan rakyatnya. Sistem Pemilihan Umum merupakan
metode yang mengatur serta memungkinkan warga negara
memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka
sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan
prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di
parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih
Page 2
2 | P o l i t i k K a r t e l
ataupun yang hendak dipilih juga merupakan bagian dari
sebuah entitas yang sama. Terdapat bagian-bagian atau
komponen-komponen yang merupakan sistem itu sendiri
dalam melaksanakan pemilihan umum diantaranya:
Sistem hak pilih.
Sistem pembagian daerah pemilihan.
Sistem pemilihan
Sistem pencalonan.
Bidang ilmu politik mengenal beberapa sistem
pemilihan umum yang berbeda-beda dan memiliki cirikhas
masing-masing akan tetapi, pada umumnya berpegang pada
dua prinsip pokok, yaitu: Sistem Pemilihan Mekanis
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai suatu massa
individu-individu yang sama. Individu-individu inilah
sebagai pengendali hak pilih masing-masing dalam
mengeluarkan satu suara di tiap pemilihan umum untuk
satu lembaga perwakilan. Kedua Sistem pemilihan Organis
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai sekelompok
individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka ragam
persekutuan hidup. Jadi persekuuan-persekutuan inilah
yang diutamakan menjadi pengendali hak pilih.
Sementara itu ada semacam kartelisasi dalam sistem
pemilu Indonesia saat iini sehingga memungkinkan setiap
partai politik mengeruk keuntungan dalam negara.
Artinya dalam paham kartel ini, negara dianggap sebagai
Page 3
3 | P o l i t i k K a r t e l
satu komoditas yang dikeruk keuntungannya untuk
kepentingan partai politik maupun individu.
Daniel Dhakidae memiliki penekanan yang berbeda
dalam membahas kartel politik ini. Menurutnya "kartel"
adalah istilah yang sangat formal dan dikenal dalam
konsep ekonomi. Kartel bertujuan mengontrol sesuatu
misalnya tujuan mengontrol harga. Kartel hanya hidup
dalam masyarakat kapitalis. Telah terjadi transmutasi
istilah kartel dari konsep ekonomi ke konsep politik.
Sebenarnya oligarkhi merupakan tempat asal muasal
kartel dalam konsep politik. Konsep mengenai oligarkhi
ini telah berumur seratus tahun lebih dan memiliki
ruang yang lebih besar dan luas dari pada kartel.
Sistem politik di Indonesia memungkinkan semua partai
membentuk oligarkhi dan makin lama praktek-praktek ini
makin menguat, sehingga gejala yang muncul
memperlihatkan kecenderungan hanya pihak yang
mengontrol kapital yang akan mendapatkan suara.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan anatara sistem pemilu terhadap
menguatnya politik kartel?
2. Bagaimana dampak dari politik kartel terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara?
BAB II
Page 4
4 | P o l i t i k K a r t e l
PEMBAHASAN
Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan
umum sejak zaman kemerdekaan. Semua pemilihan umum itu
tidak diselenggarakan dalam kondisi yang vacuum, tetapi
berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan
hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu yang telah
diselenggarakan juga dapat diketahui adanya usaha untuk
menemukan sistem pemilihan umum yang sesuai untuk
diterapkan di Indonesia.
1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959) Pada masa
ini pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-
Baharuddin Harahap (tahun 1955). Pada pemilu ini
pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang
pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat pada bulan September dan yang kedua untuk
memilih anggota Konstituante pada bulan Desember.
Sistem yang diterapkan pada pemilu ini adalahsistem
pemilu proporsional.
Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan
demokratis dan khidmat, Tidak ada pembatasan
partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah
mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap
partai politik dan kampanye berjalan menarik.
Pemilu ini diikuti 27 partai dan satu perorangan.
Akan tetapi stabilitas politik yang begitu
Page 5
5 | P o l i t i k K a r t e l
diharapkan dari pemilu tidak tercapai. Kabinet Ali
(I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar:
NU, PNI dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam
menghadapi beberapa masalah terutama yang
berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman
Demokrasi Parlementer berakhir.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965) Setelah
pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945
tentang keleluasaan untuk mendirikan partai
politik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah
partai politik menjadi 10 parpol. Pada periode
Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan
pemilihan umum.
3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998) Setelah
turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-
otoriter, rakyat berharap bisa merasakan sebuah
sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya
yang ditempuh untuk mencapai keinginan tersebut
diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang
membicarakan tentang sistem distrik yang terdengan
baru di telinga bangsa Indonesia. Pendapat yang
dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa
sistem distrik dapat menekan jumlah partai politik
secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan
partai-partai kecil akan merasa berkepentingan
untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi dalam
sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik
Page 6
6 | P o l i t i k K a r t e l
diharapkan akan menciptakan stabilitas politik dan
pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan
program-programnya, terutama di bidang ekonomi.
Karena gagal menyederhanakan jumlah partai politik
lewat sistem pemilihan umum, Presiden Soeharto
melakukan beberapa tindakan untuk menguasai
kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang
dijalankan adalah mengadakan fusi atau
penggabungan diantara partai politik,
mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan
yakni Golongan Karya (Golkar), Golongan Nasional
(PDI), dan Golongan Spiritual (PPP). Pemilu
tahun1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai,
dan hasilnya perolehan suara terbanyak selalu
diraih Golkar.
4. Zaman Reformasi (1998- Sekarang) Pada masa
Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik
Indonesia merasakan dampak serupa dengan
diberikannya ruang bagi masyarakat untuk
merepresentasikan politik mereka dengan memiliki
hak mendirikan partai politik. Banyak sekali
parpol yang berdiri di era awal reformasi. Pada
pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi
dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah
ini tentu sangat jauh berbeda dengan era orba.
Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48
Page 7
7 | P o l i t i k K a r t e l
menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan telah
diberlakukannya ambang batas (Electroral
Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang PEMILU yang
mengatur bahwa partai politik yang berhak
mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol yang
meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi
DPR. Partai politikyang tidak mencapai ambang
batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan
cara bergabung dengan partai lainnya dan
mendirikan parpol baru. Parlementary threshold
dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti
persentasi Electroral Threshold 2009 menjadi 3%
setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu
juga selanjutnya pemilu 2014 ambang batas bisa
juga dinaikan lagi atau diturunkan.
Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari
demokrasi serta wujud paling konkret
keiktsertaan(partisipasi) rakyat dalam penyelenggaraan
negara. Oleh sebab itu, sistem & penyelenggaraan pemilu
hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena
melalui penataan, sistem & kualitas penyelenggaraan
pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan
pemerintahan demokratis. Pemilu sangatlah penting bagi
sebuah negara, dikarenakan:
Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan
rakyat.
Page 8
8 | P o l i t i k K a r t e l
Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik
untuk memperoleh legitimasi.
Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk
berpartisipasi dalam proses politik.
Pemilu merupakan sarana untuk melakukan
penggantian pemimpin secara konstitusional.
Kartelisasi Partai Politik
Era reformasi tidak serta-merta membuat sistem
kepartaian di Indonesia makin kompetitif. Sebaliknya,
yang muncul adalah sistem kepartaian yang
terkartelisasi. Itulah sistem di mana partai-partai
cenderung bertindak sebagai satu kelompok, permisif
dalam membentuk koalisi, ideologi partai memudar, dan
oposisi absen. Buku ini merupakan studi yang mengkaji
fenomena persaingan antar partai di Indonesia dalam 10
tahun terakhir-satu rentang waktu yang mencakup dua
periode pemilu. Argumen utama yang dikembangkan dalam
studi ini adalah partai-partai politik telah
mengembangkan satu pola kerja sama yang serupa dengan
sistem kepartaian yang terkartelisasi. Kebutuhan
partai-partai politik di era reformasi atas perburuan
rente (rent-seeking) di sumber-sumber dana non-bujeter
mengakibatkan terbentuknya dan langgengnya sistem
partai yang terkartelisasi (cartelized party system).
Seiring berjalannya waktu, pola koalisi yang
muncul di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru cenderung
Page 9
9 | P o l i t i k K a r t e l
mengarah pada kartelisasi sistem kepartaian. Perlu
digarisbawahi bahwa fenomena kartelisasi tidak selesai
hanya pada beberapa partai politik tertentu, namun juga
menjangkau hampir semua (jikalau tidak semua) partai
politik di tanah air. Akibat kartelisasi, partai
politik menjadi kehilangan ideologi dan program, mudah
bergonta-ganti arah kebijakan, dan pola koalisi yang
dibangun pun cenderung bersifat serbaboleh (promiscuous)
dan turah (oversized). Sebenarnya dalam konteks theory
building atau kontribusi teoretik dalam studi-studi
tentang kartelisasi dan sistem kepartaian kontribusi
buku ini cenderung minim; buku ini sekedar memberi
tambahan dukungan empirik terhadap thesis-nya Katz dan
Mair tentang kartelisasi partai.
Pertama, kartelisasi tidak hanya terjadi pada satu
atau dua partai namun juga terjadi pada sistem
kepartaian secara kesuluruhan. Kedua, dalam konteks
Indonesia, penyebab utama kartelisasi bukanlah
perburuan rente atas dana ‘legal’ atau bujeter
melainkan atas dana ‘bawah tangan’, ‘bawah meja’ atau
non-bujeter. Saat ini, semakin terlihat dilema-dilema
yang akan dihadapi partai, politisi dan publik di dalam
sistem demokrasi dan logika politik elektoral. Pertama,
karya klasik Przeworski dan Sprague (1986), Paper
Stones, adalah sebuah contoh baik tentang bagaimana
partai dengan militansi yang tangguh, yaitu partai-
partai Kiri, Buruh, Sosialis dan Sosial-Demokrat di
Page 10
10 | P o l i t i k K a r t e l
Eropa Barat, terpaksa harus “memoderasi” agenda-agenda
politiknya setelah memasuki laga politik elektoral.
Begitupun juga partai-partai Kanan seperti partai
Kristen Demokrat, sebagaimana digambarkan oleh Stathis
Kalyvas (1996).
Studi tentang sistem kepartaian di Indonesia era
Reformasi paling mutakhir dilakukan oleh Kuskridho
Ambardi, dalam disertasinya The Making of Indonesian
Multy Party System; A Cartelized Party System and Its
Origin, dari The Ohio State University tahun 2008.
Disertasi tersebut dipublikasikan dalam buku berjudul
Mengungkap Politik Kartel. Pemotretan terhadap dinamika
politik kepartaian itu tidak hanya berhenti dalam
kontestasi politik pemilu legislatif dan pemilu
presiden saja, tetapi jauh memasuki bagian terdalam
dari ranah kekuasaan, dimana disetiap sudut kekuasaan
(DPR juga Pemerintah) partai politik memainkan peran
penting dalam rangka memperebutkan sumberdaya politik
dan ekonomi.
Keterlibatan partai politik dalam setiap sudut
ruang kekuasaan tersebut sebagai bagian yang sangat
penting bagi mereka untuk menjaga kelangsungan hidup
partai, sekaligus menjaga keseimbangan kekuasaan. Era
reformasi terjadi perubahan perilaku partai politik
yang secara signifikan pada akhirnya merubah sistem
kepartaian di Indonesia. Perubahan perilaku partai
Page 11
11 | P o l i t i k K a r t e l
politik tersebut berkaitan dengan faktor-faktor
kepentingan setiap partai berkaitan dengan sumber daya
kekuasaan dan ekonomi yang menarik perhatian seluruh
partai politik untuk terlibat dan saling berinteraksi
untuk mendapatkan bagian dari proses bagi-bagi
kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam setiap keputusan
politik pemerintah maupun lembaga legislatif.
Hal tersebut pada akhirnya melahirkan sikap-sikap
dari partai politik itu sudah tidak lagi
memperbincangkan sesuatu yang bersifat ideologis
kepartaian. Isu-isu ideologis hanya bersifat pinggiran
dalam struktur kekuasaan, tergeser oleh perbincangan
politik yang lebih konkrit berkaitan dengan kepentingan
pembagian kekuasaan dan sumber daya ekonomi. Ideologi
kepartaian hanya menjadi isu menonjol dalam arena
pertarungan politik memperebutkan suara pemilih pada
saat pemilu saja. Setelah pesta pemilu, partai politik
segera melakukan penyesuaian diri di dalam lingkungan
struktur politik yang mengakomodasi berbagai
kepentingan partai untuk masuk ke dalam pusat-pusat
kekuasaan.
Analisis terhadap sistem kepartaian (system party)
adalah bagaimana menjelaskan perilaku partai politik
yang menjadi bagian dari suatu sistem dan berinteraksi
satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain
yang ada di dalam sistem itu (Budiardjo, 2008: 415).
Page 12
12 | P o l i t i k K a r t e l
Kiranya perlu dilakukan kajian kritis (review) terhadap
hasil dari temuan studi sistem kepartaian ini, oleh
karena ada beberapa hal yang masih perlu dilakukan
klarifikasi dan pengujian ulang terhadap temuan-temuan
tersebut. Utamanya berkaitan dengan apa yang disebut
dengan analisa sistem kepartaian tersebut. Pertama,
pada level interaksi antar partai, mengandaikan adanya
aktor atau agen-agen partai politik yang berperan
menjadi wakil partai, mewakili sebuah struktur partai.
Artinya perlu dibicarakan bagaimana dengan peran agen
dalam kontek sistem itu.
Kedua, pada level partai politik, adanya agen
politik dan struktur politik dalam partai politik,
memiliki dinamikanya sendiri interaksi antar agen dan
agen dengan struktur partai. Diskusi di dalam partai
mencakup nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai
ideologi menjadi landasan terbentuknya partai dan
berfungsi sebagai “jantung” hidup-matinya partai itu.
Sebagaimana para sarjana ilmu politik mendefiniskan
tentang partai politik bahwa pentingnya nilai-nilai
(ideologi) itu sebagai daya gerak partai. Ideologi juga
menjadi kajian tersendiri dalam ilmu politik. Tumbuhnya
politik kartel menandai berakhirnya ideologi partai.
Sebagimana Daniel Bell mempunyai kesimpulan bahwa
kemenangan kapitalisme menandai berakhirnya ideologi
(the end of ideology) dan Fukuyama menambahkan bahwa
pada tahap berikutnya menjadi kemenangan demokrasi
Page 13
13 | P o l i t i k K a r t e l
liberal menandai berakhirnya sejarah (the end of
history).
Perubahan perilaku partai politik pada akhirnya
akan bersentuhan dengan ideologi yang dapat menimbulkan
konflik dan kontradiksi. Konflik dan kontradiksi dalam
pengertian Marxian atau pun neo-Marxian menjadi bagian
pentinguntuk dikaji lebih lanjut. Temuan adanya
perubahan sistem kepartaian itu mengesampingkan
kemungkinan adanya konflik dan kontradiksi dalam
partai. Kajian terhadap Konflik dan kontradiksi
(Gidden, 2009) mestinya mendapt perhatian dari kajian
tentang sistem kepartaian ini. Sehingga secara
keseluruhan ini berkait dengan fokus kajian Anthony
Gidden berkaitan dengan teori strukturasi. Ketiga,
perbincangan sistem, sebagaimana dipahami dalam teori-
terori sosial, dalam temuan sistem kepartaian ini
kurang lebih mengesampingkan kemungkinan terjadinya
krisis legitimasi (Habermas, 2004) dalam kontek sistem
politik itu. Studi tentang perubahan sistem kepartaian
ini menjadi kebutuhan bagi upaya penyempurnaan teoritis
dan upaya perbaikan kepartaian secara praktis.
Dengan demikian ketiga hal tersebut mempunyai
signifikansi dalam upaya review ini. Berakhirnya
kekuasaan rezim orde baru (1998) menandai terbukanya
kebebasan politik dan saluran-saluran politik, serta
partai politik untuk memobilisasi semua cleavage
Page 14
14 | P o l i t i k K a r t e l
tersebut. Era demokratisasi itu membawa dampak bagi
terbentuknya sistem kepartaian baru dengan dasar
persaingan politik dengan memobilisasi ketikg cleavage
tersebut. (Ambardi, 2008: 91-92). Paska lengsernya
kekuasaan Soeharto (1998), maka kebutuhan berikutnya
adalah menata aturan main untuk membangun sistem
politik baru melalui pemilu yang adil dan demokratis.
Akhirnya disusunlah beberapa kebutuhan-politik sebagai
aturan main dalam pemilu, meliputi penyelenggara
pemilu, peserta pemilu dan keterlibatan warga dalam
pemilu.
Netralitas militer dan korps pegawai negeri sipil
menjadi bagian yang dituntaskan. Demikian pula adanya
jaminan kebebasan ideologi sebagai basis kepentingan
kolektif digunakan sebagai asas partai diakomodasi
dengan baik. Hal lain yang menempati porsi besar adalah
diakomodasinya kepentingan daerah. Dengan
diakomodasinya kepentingan daerah, maka partai-partai
politik ideologis mengalami kesulitan untuk melakukan
mobilisasi cleavage kedaerahan. (Ambardi, 2008: 123).
Arena politik dalam pemilu 1999 diwarnai persaingan
antara dua kubu ideologis: Islam dan sekuler. Terjadi
pertarungan yang sangat keras antara golongan Islam dan
sekuler tersebut. Menurut Ambardi sistem kepartaian di
Indonesia bergerak kearah system kepartaian yang
terkartelisasi dengan beberapa bukti.
Page 15
15 | P o l i t i k K a r t e l
Pertama, beberapa partai politik membentuk koalisi
turah yang tidak lagi dibatasi oleh pandangan yang
bersifat ideologis kepartaian tetapi hanya berorientasi
pada kepentingan kekuasaan yaitu dalam pembentukan
kabinet selama dua kali kabinet pemerintahan Gus Dur-
Mega dan pemerintahan Mega-Hamzah sepanjang tahun 1999-
2004. Dinamika politik paska pemilu diwarnai adanya
pergeseran makna persaingan politik, dari persaingan
politik yang bersifat ideologis pada saat pemilu
bergerak kearah kerjasama antar partai dalam rangka
meraih sumber daya politik kekuasaan dan sumber daya
ekonomi demi keuntungan pragmatis masing-masing partai
politik.
Kedua, adanya migrasi ideologis yang dilakukan
secara kolektif oleh partai-partai politik, dimana
mereka bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok
dan secara kolektif meninggalkan program-program partai
mereka, terjadi perubahan komitmen politik dari
komitmen populis ke komitmen pro-pasar. Sistem
kepartaian yang terkartelisasi ini juga menemukan
bentuknya kembali dalam medan politik pemilu 2004.
Meski masih tetap muncul adanya isu ideologis dalam
pemilu legislatif, hingga tahap pertama pilres 2004,
namun ketika masuk pilpres tahap kedua dan dalam arena
politik penyusunan kabinet, semua partai secara
berkelompok pula memperjuangkan kepentingan politik,
posisinya masing-masing untuk memperoleh jabatan dalam
Page 16
16 | P o l i t i k K a r t e l
kabinet. Upaya kolektif partai-partai ini terus
berhasil dan semakin menemukan bentuknya dalam sebuah
system politik kartel dan terabaikannya program-program
ideologis partai. (Ambardi, 2008: 235, 281).
Ketiga, partai-partai politik secara meyakinkan
dalam beberapa hal mengabaikan “ideologi kepartaian”
yang telah digembor-gemborkan menjadi lansdasan
perjuangan, namun dalam tataran praktik politik partai-
partai politik “mengakhianati” ideologi partainya oleh
karena kepentingan yang bersifat politik dan ekonomi.
Berkaitan dengan kepentingan ekonomi, seluruh partai
politik berkepentingan terlibat dalam proses politik
dalam DPR maupun pemerintahan untuk memperoleh sumber
daya ekonomi sebagai “amunisi” bagi mesin partai
politik tersebut. Hal ini sekaligus dapat dikatakan
menandai berakhirnya ideologi kepartaian menuju
kerjasama.
Selubung Kartel Partai Politik
Reformasi dibarengi pembukaan keran kebebasan
sempat memberi setumpuk harapan. Sekat selama 32 tahun
dalam kekang Orde Baru ambrol. Euforia kebebasan tumbuh
bak cendawan di musim hujan. Partai-partai politik
(parpol) bermunculan. Ini menjadi sebuah konstelasi
yang mengingatkan kita pada peta politik pemilu 1955.
Euforia pendirian parpol tidak bisa dilepaskan dari
keterkekangan sejak tahun 1975, melalui UU No 3/1975,
Page 17
17 | P o l i t i k K a r t e l
lalu diubah dengan UU No 3/1985 tentang Partai Politik
dan Golongan Karya. Peserta pemilu hanya parpol PPP dan
PDI serta Golkar. Berdasarkan UU No 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik, di Departemen Kehakiman
tercatat 93 parpol, namun hanya 48 parpol yang bisa
mengikuti pemilu 7 Juni 1999.
Jumlah parpol makin meningkat menjelang pemilu
2004, yakni mencapai 237. Kemudian, berkurang menjadi
50 dan hanya 24 yang ikut mengikuti pemilu 2004. Pada
pemilu 2009, peserta pemilu menjadi 38 dan 4 partai
lokal. Sedangkan pada 2014 ini, terdapat 12 parpol dan
3 partai lokal. Reformasi juga memperbanyak ideologi
partai, tak hanya Pancasila. Berdasar ideologi, parpol
tak hanya mencantumkan Pancasila sebagai tujuan dan
cita-cita. Ditilik dari warnanya, ideologi partai pada
pemilu 2004 dapat dipilah menjadi enam bagian. Ideologi
disusun dengan maksud menarik konstituen. Tetapi dalam
praktik, hanya cantolan artifisial tanpa implementasi.
Begitu pertarungan dan penggalangan suara usai,
kompetisi dengan sendirinya tutup buku.
Semua ingin terlibat dalam penyusunan dan pemben-
tukan pemerintahan. Koalisi dibangun. Ideologi tak jadi
soal. Aroma kepentingan kekuasaan terasa lebih kental
daripada persaingan. Ideologi, program, dan platform
tak lagi menjadi penghalang dalam membangun peme-
rintahan kuat. Partai-partai yang kalah berusaha
Page 18
18 | P o l i t i k K a r t e l
merapat ke pemenang. Sebaliknya, para pemenang, demi
stabilitas pemerintahan, menggandeng seluruh
stakeholder yang hendak bergabung. Ideologi telah
dikesampingkan, bahkan mati. Kepentingan, kekuasaan,
dan jabatan lebih nyaman dipilih. Bahkan, posisi
oposisi tidak dipilih secara tegas oleh parpol yang
mengatasnamakan oposisi, nyaris tanpa oposisi berarti.
Seluruh faktor persaingan luruh.
Hilang tanpa bekas. Parpol bercengkerama dalam
aturan koalisi, apalagi yang terbangun bukan sebelum,
tapi setelah pemilu. Mau tak mau, dasar koalisi yang
dirajut berlandaskan hasil elektoral dalam pemilu.
Koalisi dibangun tidak berdasarkan platform partai,
visi misi, maupun ideologinya, tapi banyaknya hasil
suara. Pemilu pertama reformasi tahun 1999 sebetulnya
juga telah mengindikasikan berakhirnya tipologi partai
ideologis, elite, dan massa. Sebagai gantinya, muncul
partai lintas kelompok, catch-all party. Pemilihan
langsung membuat partai harus bisa meraup suara
berbagai kelompok. Tak ada yang benar-benar berbasis
ideologis. Dalam konteks Indonesia, basis-basis
ideologis yang sedang diusung parpol seperti digembar-
gemborkan tidak lebih sekadar cara menarik suara.
Ada yang menilai parpol sejak reformasi bergulir
telah membangun sistem mirip kartel, antara lain
ditandai dengan hilangnya peran idelogi partai sebagai
Page 19
19 | P o l i t i k K a r t e l
penentu koalisi, sikap permisif pembentukan partai,
ketiadaan oposisi, hasil-hasil pemilu yang hampir-
hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku
parpol, serta kecenderungan partai bertindak secara
kolektif. Tak ada ruang pengaderan. Kepemimpinan partai
hanya beredar pada elite-elite tertentu, pemilik modal,
atau anak biologis pendiri partai. Kartelisasi sangat
erat kaitanya dengan tumbuhnya oligarki dalam tubuh
partai. Hal itu makin nyata ketika parpol dipimpin
segelintir elite dengan legitimasi kekuasaan sangat
besar. Legitimasi lain karena karisma, pendukung
fanatik, kekuatan modal, manajemen yang baik.
Modal finansial juga telah menjadi panglima.
Akibatnya, ketika oligarki telah tumbuh subur, parpol
hanya dijadikan kendaraan politik untuk meraih
kekuasaan. Kekuasaan selanjutnya bukan sebagai lahan
pengabdian, melainkan sarana mencari penghasilan,
pengamanan bisnis, dan penguatan kelompok. Akhirnya
elite partai yang memiliki kewenangan lebih
menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan sendiri.
Watak kartel dalam tubuh partai-partai makin mengemuka
bila dianalisis dari penerapan sistem presidensial
dengan multipartai. Secara teoretis, multipartai sangat
tidak memungkinkan. Kemungkinan kemacetan antara
legislatif dan eksekutif sangat besar. Deadlock akan
sangat sering terjadi, apalagi di tengah perbedaan
ideologi partai-partai di parlemen.
Page 20
20 | P o l i t i k K a r t e l
Tetapi nyatanya, di Indonesia, sistem ini bisa
diterapkan dengan model koalisi lintas parpol dan
ideologi. Meski terkadang terjadi friksi, koalisi peme-
rintahan di parlemen terbukti cukup manjur mendukung
pemerintahan. Artinya, ada kekuatan tersembunyi yang
mengatur gerak kebijakan parpol, yaitu pemimpin-
pemimpin partai yang bisa terhubung dalam satu
kepentingan kekuasaan ansich. Kartelisasi yang tumbuh
bersama dengan oligarki dalam tubuh partai-partai
menyiratkan ada sesuatu di baliknya. Tak sekadar
kepentingan kekuasaan, perebutan konstituen, massa, dan
kepemimpinan, tetapi merembet pada aset-aset ekonomi,
yang berkaitan erat dengan sumber-sumber pendapatan dan
bisnis.
Masalah mendasar perpecahan, kartelisasi, dan
oligarki tidak lepas dari hilangnya ideologi sebagai
pandangan, cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan
pedoman normatif kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meredupnya faktor ideologi dalam tubuh parpol mela-
hirkan pragmatisme politik. Politik bak transaksi jual-
beli, untung, dan rugi yang dihitung sebagai fondasi
skema serta konsep, tak berlaku lagi keinginan mem-
bangun bangsa dan negara. Parpol wajib berbenah dengan
mengader lewat merit system agar transparan dalam
pengelolaan dana politik.
Page 21
21 | P o l i t i k K a r t e l
BAB III
KESIMPULAN
Partai politik seharusnya menjalankan fungsi-
fungsinya, seperti menjadi pusat pendidikan politik
warga negara. Pendidikan politik seharusnya bertujuan
menciptakan pemahaman ide atau gagasan politik dalam
konteks bernegara. Dari pendidikan politik inilah
seharusnya anggota partai politik diasah sense of humanity
dan rasa memiliki bangsanya. Agar tindakan ketika
dipercaya memegang jabatan-jabatan publik sesuai dengan
Page 22
22 | P o l i t i k K a r t e l
aspirasi atau kehendak rakyat yang diwakili. Selain itu
pendidikan politik adalah strategi mempertajam ideologi
para anggotanya.
Fungsi partai politik lain yang tidak berjalan
adalah Kaderisasi. Program pelatihan dan kaderisasi
partai sangat penting. Hal ini disebabkan tidak mungkin
partai politik modern hanya mengandalkan satu atau dua
orang figur untuk membesarkan partai politiknya. Selain
itu kaderisasi juga disiapkan untuk mendorong pemimpin
besar lahir dari rahim partai. Kegagalan kaderisasi
partai politik di Indonesia hari ini terlihat dengan
masih sedikitnya jumlah caleg atau calon kepala daera
berusia muda dan bergagasan baru. Kita masih
menyaksikan muka-muka lama bertarung merebut kekuasaan
politik, walaupun dengan gamblang periode kepemimpinan
sebelumnya mereka tidak melakukan hal-hal besar untuk
kepentingan rakyat. Selain itu fungsi kaderisasi partai
politik bermanfaat mengisi kepemimpinan di internal
partainya. Banyak partai politik yang mekanisme
organisasinya tidak berjalan karena gagalnya kaderisasi
Fungsi partai politik lainnya yang tidak berjalan
sebagai alat perjuangan aspirasi politk rakyat.
Sebagian besar panggung-panggung kampanye dihadiri
massa karena ada proses transaksional menggunakan alat
tukar benda atau uang. Tidak sedikit juga hadir
dikarenakan adanya artis nasional atau hiburan lainnya.
Page 23
23 | P o l i t i k K a r t e l
Elit-elit politik juga tidak ada upaya memperbaiki
fungsi ini. Hanya sedikit elit berpolitik menggunakan
wadah partai politik sebagai alat perjuangan. Akumulasi
persoalan disfungsinya partai politik secara ideal.
Melahirkan proses dan hasil pemilu yang tidak
berkualitas. Ketika kampanye jualannya bukan gagasan
yang diberikan kepada rakyat dan negara, melainkan
hanya ajakan-ajakan kosong diisi hiburan tidak
mendidik. Kondisi ini semakin diperparah dengan
pragmatisnya sikap warga terhadap politik, orang baik
dalam partai politik disamakan bandit-bandit politik.
Mereka mau tergerak jika dibayar untuk menghadiri
kampanye atau memilih.
Masalah lainnya pemilu di Indonesia saat ini
mempunyai cost politik tinggi. Bahkan tingginya ongkos
politik diperparah dengan diamininya sistem pemilihan
umum terbuka menggunakan nomor urut. Para calon
legislatif yang bertarung saling jegal bukan hanya
dengan pesaingnya di partai lain, bahkan rekannya satu
partai harus disikatnya untuk merebutkan kursi anggota
dewan. Sistem terbuka dengan no urut digunakan karena
kegagalan partai politik untuk menjalankan fungsinya,
secara khusus Kaderisasi.
Daniel Dhakidae, Pemimpin Redaksi Majalah Prisma
mengatakan bahwa sumber praktek politik kartel yang
pada dasarnya merupakan praktek politik oligarki adalah
Page 24
24 | P o l i t i k K a r t e l
partai politik. Bagaimana mengatasinya? Pertama,
reformasi partai adalah pekerjaan yang besar karena
ketertutupan di partai sungguh luar biasa. Contohnya
adanya inner dan outer circle dalam partai yang
merupakan penyakit sesungguhnya dari sistem kepartaian
yang akan masuk dalam sistem parlemen melalui kontrol
yg dilakuan dewan pengurus pusat (DPP) sebuah partai
politik terhadap fraksi dan anggota. Jika ada politisi
di parlemen yang tidak berkenan di hati DPP maka akan
dilakukan penggantian antar waktu (PAW). Kedua,
sebagaimana sedang diupayakan oleh kemitraan
(Partnership-red) yaitu membagi pemilu dalam dua kali
pelaksanaan yaitu pelaksanaan pemilu nasional di dua
tahun pertama dan pelaksanaan pemilu lokal di dua tahun
berikutnya. Sistem demikian sebetulnya bisa mencegah
kongkalikong antar orang pusat dan daerah. Tapi konsep
ini tidak akan lolos begitu saja karena partai politik
dan parlemen tidak ingin dikontrol. Ide ini akan makin
sulit dilakuan dan hanya bisa dilakukan jika partai
dibubarkan. Tidak ada cara apaun untuk pecahkan
oligarkhi. Ketiga, oligarkhi terlibat dalam kapital,
oleh karena itu kasus-kasus besar tidak akan selesai
karena saling menutupi.
DAFTAR PUSTAKA
Page 25
25 | P o l i t i k K a r t e l
Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang
Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Penerbit
KPG
Duverger, Maurice. (1981). Partai Politik dan Kelompok-
kelompok penekan. Yogyakarta : BINA AKSARA.
Dahl, Robert. (1994). Analisis Politik Modern. Jakarta : BUMI
AKSARA.
Kurnia, Ferry. (2007). Mengawal Pemilu, Menatap Demokrasi.
Bandung : Idea Publishing.
http://www.harianhaluan.com/index.php/opini/29275-
selubung-kartel-parpol
http://politik.kompasiana.com/2014/04/10/analisa-
kegagalan-fungsi-partai-politik-hubungannya-dengan-
pemilu-2014-646343.html
http://kartel-indonesia.blogspot.com/2013/02/memahami-
makna-politik-kartel.html