This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
LAPORAN PENELITIAN
HIBAH BERSAING
PENGEMBANGAN PENANGANAN GAWAT DARURAT
SEHARI-HARI BERBASIS MASYARAKAT PEMULUNG
DI KOTA SURABAYA
KETUA : LOETFIA DWI RAHARIYANI, SKp., M.Si.
NIP. 196901241992032001
ANGGOTA : ASNANI, SKep., Ns., M.Ked.
NIP. 197110111994031003
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES R.I. SURABAYA
TAHUN 2015
Kode/Nama Rumpun Ilmu : 371/Ilmu Keperawatan
2
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Pengembangan Penanganan Gawat Darurat Sehari-hari
Berbasis Masyarakat Pemulung di Kota Surabaya.
Peneliti Utama : Loetfia Dwi Rahariyani, S.Kp., M.Si.
NIP : 196901241992032001
Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
Program Studi : Prodi D III Keperawatan Kampus Sutopo Poltekkes
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh kutu / tungau / mite
(sarcoptes scabei). Kutu ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan
mikroskop. Skabies ini juga mudah menular dari manusia ke manusia , dari hewan
ke manusia dan sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara langsung
melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui
baju, seprei, handuk, bantal, air yang masih terdapat kutu sarcoptes.
Penyebab skabies adalah kondisi kebersihan yang kurang terjaga, sanitasi
yang buruk, kurang gizi, dan kondisi ruangan terlalu lembab dan kurang mendapat
sinar matahari secara langsung. Penyakit kulit skabies menular dengan cepat pada
suatu komunitas yang tinggal bersama sehingga dalam pengobatannya harus
dilakukan secara serentak dan menyeluruh pada semua orang dan lingkungan pada
30
komunitas yang terserang skabies, karena apabila dilakukan pengobatan secara
individual maka akan mudah tertular kembali penyakit skabies.
Gejala skabies ditunjukkan dengan warna merah, iritasi dan rasa gatal pada
kulit yang umumnya muncul di sela-sela jari, siku, selangkangan, dan lipatan
paha. Rasa gatal ini menyebabkan penderita skabies menggaruk kulit bahkan bisa
menimbulkan luka dan infeksi yang berbau anyir. Gejala lain adalah muncul
gelembung berair pada kulit, garis halus yang berwarna kemerahan di bawah kulit
yang merupakan terowongan yang digali sarcoptes.
Tindakan pencegahan skabies yang paling utama adalah menjaga
kebersihan badan dengan mandi secara teratur, menjemur kasur, bantal dan sprei
secara teratur serta menjaga lingkungan di dalam rumah agar tetap mendapat sinar
matahari yang cukup, tidak lembab, dan selalu dalam keadaan bersih.
Memutus mata rantai penularan adalah tindakan yang sangat penting untuk
pengobatan skabies. Pengobatan skabies biasanya dilakukan secara masal agar
mata rantai penularan dapat dibasmi secara cepat dan tuntas.
2.4 Konsep Pemulung
Banyaknya sampah di kota - kota besar menimbulkan permasalahan
tersendiri. Jumlah sampah yang terus meningkat tidak diikuti dengan kemampuan
untuk mengolah dan memanajemen sampah dengan baik, ditambah kemampuan
lingkungan untuk mengurai sampah secara alami terus menurun. Dengan
banyaknya sampah di kota besar menimbulkan daya tarik tersendiri bagi sebagian
orang, untuk mengais sampah dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan dari
sampah tersebut. Pemulung adalah orang yang mencari nafkah dengan jalan
31
mencari dan memungut serta memanfaatkan barang bekas untuk dijual kepada
pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditas (Kamus
Bahasa Indonesia). Pemulung juga bisa diartikan sebagai orang yang mencari
rezeki dari sampah. Pemulung ada dua macam yaitu: pemulung lepas, yang
bekerja secara mandiri, dan pemulung yang tergantung pada seorang Bandar yang
meminjamkan uang ke mereka dan memotong uang pinjaman tersebut saat
membeli barang dari pemulung. Pemulung berbandar hanya boleh menjual
barangnya ke Bandar. Tidak jarang bandar memberikan pemondokan kepada
pemulung, biasanya di atas tanah yang didiami bandar, atau di mana terletak
tempat penampungan barangnya.
Pandangan terhadap pemulung sebetulnya bisa dilihat dari berbagai sudut.
Bila memandang pemulung dari sisi kaca mata positif. Akan terlihat manfaat
besar yang diraih dari kegiatan memulung. Pemulung akan mengambil sampah-
sampah di rumah tangga, sehingga akan mengurangi volume sampah yang akan di
buang di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Sementara pemulung yang mengorek
sampah di TPA akan mengurangi tumpukan sampah yang jika tidak diolah akan
semakin menggunung. Pemulung membantu proses pemilahan sampah, dengan
memanfaatkan sampah yang masih bisa di daur ulang kembali, khususnya sampah
non organik. Sampah non organik adalah sampah yang sulit terurai oleh alam.
Contoh sampah non organik adalah plastik, kain, kaleng, botol atau gelas kaca.
Pemulung merupakan mata rantai pertama dari industry daur ulang. Sampah-
sampah non organik akan diolah kembali dan dimanfaatkan oleh pabrik-pabrik
tertentu untuk membuat produk baru.
32
2.5 Teori Model Community As Partner
Model Community As Partner dikembangkan (2008) oleh Anderson dan Mc
Farlane (dari model Neuman sebelumnya yaitu Comunity As Client (1972).
Model ini menjadikan masyarakat sebagai mitra tenaga kesehatan dengan 2 fokus
sentral yaitu:
1. Fokus pada komunitas sebagai mitra yang ditandai dengan roda pengkajian
komunitas dibagian atas dengan menyatukan anggota masyarakat sebagai
intinya
2. Penerapan proses keperawatan (pengkajian, analisis, diagnosa keperawatan,
perencanaan, tindakan, dan evaluasi)
Model Community As Partner digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.5 Community As Partner Model (Anderson dan Mc Farlane, 2008)
33
Gambar 2.6 The Community Assessment Wheel, featuring Lines of Resistance
and defens within the Commuity structure (Anderson dan Mc Farlane, 2008)
Model ini menjelaskan bahwa inti (core) merupakan kumpulan individu
yang membentuk komunitas. Komunitas ini dipengaruhi oleh 8 sub sistem
yaitu:1) ingkungan fisik, 2) pendidikan, 3) keamanan dan transportas, 4) politik
dan pemerintahan, 5) kesehatan dan pelayanan sosial, 6) komunikasi, 7) ekonomi,
dan 8) rekreasi. Delapan sub sistem dalam komunitas ini merupakan komponen
penting dalam pengkajian masyarakat.
34
Dalam komunitas terdapat suatu garis pertahanan yang mengelilingi dari
berbagai stressor. Garis pertahanan tersebut adalah:
1. Garis perthanan normal (kesehatan)
Garis pertahahan normal merupakan keadaan masyarakat yang sehat. Misalnya
masyarakat dengan kondisi imunitas yaang tinggi, kematian bayi rendah,
pendapatan menengah, kemampuan penyelesaian maslah tinggi.
2. Garis pertahanan fleksibel (buffer zone)
Garis pertahanan fleksibel merupakan garis putus-putus yang mengelilingi
komunitas dan garis pertahanan normal. Garis ini disebut sebagai area
penengah yang menunjukkan suatu tingkat dinamis akibat respon sementara
terhadap stressor, baik dari lingkungan fisik maupun sosial.
3. Garis pertahanan resistensi (kekuatan)
Garis pertahanan resistensi merupakakn mekanisme internal untuk melakukan
perlawanan terhadap stressor. Garis resistensi ada pada setiap sub sistem.
Stressor dalam model ini didefiniskan sebagai tekanan rangsangan yang
menghasilkan ketegangan yang potensial menyebabkan ketidakseimbangan dalam
sistem, baik dari internal maupun eksternal komunitas. Stressor yang memasuki
garis pertahanan normal maupun fleksibel akan menimbulkan gangguan dalam
sebuah komunitas. Pelayanan kesehatan yang tidak mencukupi, tidak terjangkau,
dan mahal dapat menyebabkan stressor bagi komunitas.
Derajat reaksi merupakan ketidakseimbangan atau gangguan akibat stessor
yang menganggu garis pertahanan komunitas, misalnya angka kematian, angka
kesakitan, kriminalitas, dan lain-lain. Stressor dan derajat reaksi menjadi bagian
dari diagnosa keperawatan komunitas.
35
Diagnosa keperawatan yang muncul menjadi dasar bagi perencanaan dan
implementasi tindakan keperawatan. Tindakan keperawatan dalam komunitas
dibedakan menjadi 3 bentuk tindakan pencegahan yaitu pencegahan primer,
sekunder, dan tersier.
Evaluasi sebagai tahap akhir dari proses keperawatan merupakan proses
penilaian apakah tindakan keperawatan tang telah dilaksnakan memberikan hasil
dan dampak bagi kesehatan komunitas.
2.6 Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan: ____: diteliti
------: tidak diteliti
Gambar 2.7 Kerangka konsep penelitian
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pemulung: 1 Pendidikan 2 Ekonomi 3 Lingkungan fisik 4 Keselamatan & Transportasi 5 Informasi & komunikasi 6. Pelayanan kesehatan & Sosial
Masalah gawat darurat
yang dialami pemulung
Ketrampilan pemulung
cara penanganan gawat
darurat sehari hari
Analisis Penegetahuan & Penanganan Gadar Pemulung tentang Kegawat daruratan : -Trauma -Keracunan Gas -Penyakit
Informasi Pendukung (Triangulasi) : -
Menyusun
Panduan
Penanganan
Gawat Darurat
sehari hari
berbasis
pemulung
Pelatihan
dengan
Panduan
penanganan
Gawat darurat
Kemandirian
penanganan
gawat darurat:
1.Pengetahuan
2.Ketrampilan
Analisis Pakar
Masukan
pakar
36
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Desain penelitian ini adalah penelitian Quasi Eksperimen ( pretest-postes
control group design), yaitu penelitian dengan perlakuan (treatments),
pengukuran-pengukuran dampak (outcome measures), dan unit-unit eksperiment.
Mulai mengidentifikasi potensi masyarakat pemulung, mengukur tingkat
pengetahuan pemulung tentang gawat darurat sehari hari, mengidentifikasi
kemampuan masyarakat pemulung dalam penanganan gawat darurat sehari-hari,
mengidentifikasi persepsi masyarakat dan pengambil kebijakan tentang
keberadaan pemulung, menyusun panduan gawat darurat berbasis masyarakat,
melakukan pelatihan gawat darurat sehari-hari dengan menggunakan panduan
berbasis masyarakat, serta mengevaluasi kemandirian masyarakat pemulung
dalam penanganan gawat darurat sehari-hari setelah intervensi.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel Dependen penelitian ini adalah Kemandirian Masyarakat Pemulung.
Kemandirian masyarakat pemulung diukur setelah diberikan intervensi dengan
menggunakan panduan penanganan gawat darurat sehari-hari berbasis
masyarakat.
37
Variabel Independen penelitian ini adalah
Potensi masyarakat pemulung dalam sub sistem lingkungan fisik, pendidikan,
keselamatan dan transportasi, pemerintahan, pelayanan kesehatan, ekonomi,
serta pegetahuan dan ketrampilan tentang Gawat Darurat .
3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah pemulung yang bekerja di Tempat
Pembuangan Sampah di Kota Surabaya. Sampel penelitian sejumlah 24 orang
pemulung kelompok perlakuan dan 24 orang pemulung kelompok kontrol.
Dengan rumus besar sampel:
n1 = n2 = 2
= 2
= 23,87 = 24 Responen
3.4 Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kuesioner terbuka
dan tertutup, lembar observasi penanganan gawat darurat sehari-hari, dan panduan
pelatihan penanganan gawat darurat sehari hari berbasis masyarakat.
( Zα ± Zß )S (x 1 – x2 )
(1,96 + 0,842) 1,48 (2,83 – 1,48 )
2
2 29
38
3.5 Kerangka Operasional Penelitian
Gambar 3.1 Kerangka Operasional Penelitian
Kajian Kelompok kontrol
Pemulung JMP :
1. Pengetahuan & Masalah
gawat darurat sehari-hari
2. Ketrampilan Penanganan
gawat darurat
Tersusunya Panduan
Penanganan Gawat Darurrat Sehari
Hari Berbasis Masyarakat
Pemulung
Pelatihan penanganan Gawat darurat
dengan menggunakan panduan berbasis
masyarakat pada kelompok control
Pemulung di TPS Sutorejo
Informasi Pendukung
(Triangulasi)
Pengambil kebijakan
- Dinas kebersihan -Kepala puskesmas -Masyarakat umum
Mengukur Kemandirian Pemulung
dalam penanganan gawat darurat sehari
hari:
1. Pengetahuan
2. Ketrampilan
Analisis Penanganan Gadar
pada Pemulung
TAHAP 1
TAHAP 2
39
3.6 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Tempat Pengolahan Sampah (TPS) Sutorejo
Surabaya dan Wilayah Pemulung Jembatan Merah.
3.7 Prosedur Pengumpulan Data
Untuk mengetahui masalah-masalah kegawat daruratan sehari-hari yang
dialami pemulung, dengan menggunakan kuesioner terbuka dan tertutup . Untuk
mengukur pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan dengan menggunakan
kuesioner tertutup, sedangkan untuk mengukur keterampilan sesudah pelatihan
penanganan gawat darurat sehari-hari dengan menggunakan lembar observasi.
Untuk mengidentifikasi persepsi masyarakat dan pengambil kebijakan tentang
keberadaan pemulung dengan menggunakan triangulasi.
3.8 Analisis Data
Data penelitian tentang masalah gawat darurat sehari-hari dan
keterampilan penanganan gawat darurat sehari-hari dianalisis secara deskriptif
dengan menggunakan tabel frekuensi. Analisis statistik untuk mengukur
pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan dengan menggunakan uji T
(T test).
40
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 2 (dua) lokasi, lokasi pertama untuk
pengumpulan data pengkajian awal dilakukan pada pemulung di Wilayah
Jembatan Merah Plaza (JMP) Surabaya. Pemulung yang ada di wilayah ini tidak
terkoordiner, mereka mencari sampah langsung ke rumah rumah penduduk di
wilayah JMP. Tempat tinggal mereka tidak menetap dan tidak ada yang
bertanggung jawab terhadap keberadaan mereka.
Lokasi kedua adalah Tempat Pengolahan Sampah (TPS) Sutorejo
Surabaya. Di TPS Sutorejo ini semua pemulung di bawah koordinasi Dinas
Kebersihan Kota Surabaya, jadi mereka terdaftar secara resmi di TPS dan
memperoleh gaji tiap bulan dari Pemerintah Kota Surabaya. Untuk menambah
penghasilan pemulung di TPS menyisihkan barang yang bisa didaur ulang secara
bersama – sama dan ada satu orang sebagai koordinator pemulung yang mengatur
dan membagi hasil pendapatan memulung secara bersama.
4.2 Kajian Umum Pemulung
Tabel 4.1 Data Umum Pemulung Wilayah Jembatan Merah dan Pemulung di
Tempat Pengolahan Sampah Sutorejo Surabaya, 2015
Data Umum Pemulung Pemulung JMP Pemulung TPS
Sutorejo
N = 24 (%) N= 24 %
Usia (tahun):
17-25
26-35
36-45
46-55
1
5
3
9
4,17
20,83
12,5
37,5
3
6
12
0
12,5
25
50
0
32
41
Data Umum Pemulung Pemulung JMP Pemulung TPS
Sutorejo
N = 24 (%) N= 24 %
56-65
>65
5
1
20,83
4,17
1
2
4,17
8,33
Jenis kelamin:
Pria
Wanita
21
3
87,5
12,5
23
11
54,17
45,83
Pendidikan :
Tidak sekolah/tid45ak tamat SD
SD (sederajat)
SMP (sederajat)
SMA (sederajat)
17
3
4
0
70,83
12,5
16,67
0
11
6
5
2
45,83
25
20,84
8,33
Status Pernikahan:
Menikah
Tidak Menikah
Janda/duda
17
4
3
70,83
16,67
12,5
19
3
2
79,17
12,5
8,33
Jumlah anggota keluarga serumah:
Sendiri
2-5 orang
>5 orang
1
20
3
4,17
83,33
12,5
3
19
2
12,5
79,17
8,33
Lama bekerja sebagai pemulung:
<1 tahun
1-5 tahun
>5 tahun
0
7
17
0
29,17
70,83
2
15
7
8,33
62,5
29,17
Penghasilan perbulan (RP):
<1 juta
1-2,5 juta
>2,5 juta
18
6
0
75
25
0
7
14
3
29,17
58,33
12,5
Status kependudukan (KTP):
Surabaya
Kabupaten lain di Wilayah Jawa Timur
Provinsi Lain
9
15
0
37,5
62,5
0
5
14
5
20,83
58,33
20,84
Kepemilikan BPJS:
Tidak memiliki BPJS
BPJS Kesehatan/Jamkesmas
BPJS Tenaga kerja
15
9
0
62,5
37,5
0
6
2
16
25
8,33
66,67
Tabel 4.1 menunjukkan usia pemulung terbanyak di JMP maupun TPA
Sutorejo adalah usia dewasa, dengan perbedaan jika di JMP usia terbanyak adalah
dewasa tua (37,5%), sedangkan di TPA Sutorejo usia terbanyak adalah usia
dewasa muda (50%). Jenis kelamin terbanyak pada kedua kelompok pemulung ini
adalah pria denga prosentase 87,5% di JMP dan 54,17 di TPA Sutorejo.
42
Riwayat pendidikan pemulung di JMP dan TPA Sutorejo terbanyak adalah
tidak sekolah/tidak tamat SD, sejumlah 17 orang (70,83) di JMP dan 11 orang
(45,83%) di TPA Sutorejo. Namun pendidikan pemulung di TPA Sutorejo lebih
tersebar pada tingakat SD, SMP, dan bahkan 2 orang (8,33%) berpendidikan
SMA. Data pendidikan ini cukup memberikan pengaruh pada pemahaman
merekan terhadap suatu hal, termasuk pemahaman penanganan Gawat Darurat
Sehari-hari nantinya.
Sebagian besar pemulung JMP (70,83%) dan TPA Sutorejo (79,17%) telah
menikah. Data jumlah anggota keluarga serumah baik pemulung JMP maupun
TPA Sutorejo terbanyak berkisar 2-5 orang serumah dengan prosentase 83,33 di
JMP dan 79,17 di TPA Sutorejo.
Sebagian besar pemulung JPM telah bekerja selama lebih dari 5 tahun ,
sedangkan pemulung di TPA Sutorejo terbanyak berkisar 1-5 tahun. Namun
sebaliknya, walaupun pemulung JMP telah banyak beker ja lebih dari 5 tahun
ternyata duapertiga pemulung berpenghasilan kurang dari 1 juta. Penghasilan
pemulung di TPA Sutorejo terbanyak adalah 1-2,5 juta yaitu 58,33%, karena gaji
bulanan yang diperoleh dari bekerja di TPA sekitar 1,2 juta. Tiga pemulung
berpenghasilan lebih dari 2,5 juta. Pemulung yang berpenghasilan lebih dari 2,5
juta dapat digolongkan penghasilan cukup jika disetarakan dengan UMR kota
Surabaya.
Status kependudukan para pemulung di kedua wilayah sebagian besar
bukan penduduk kota Surabaya, mereka adalah penduduk dari beberapa
kabupaten di Jawa Timur dengan prosentase pemulung JMP sebesar 62,5% dan
TPA Sutorejo sebesar 58,33%. Pemulung TPA Sutorejo yang bukan penduduk
43
Surabaya sebanyak 10 orang memiliki KTP kabupaten Bangkalan. Sedangkan
pemulung JMP yang bukan penduduk Surabaya adalah penduduk kabupaten
Mojokerto dan Kabupaten Lamongan dengan jumlah masing-masing 3 orang.
Data kepemilikan BPJS/Jamkesmas pada kedua kelompok pemulung
sangat berbeda. Pemulung TPA Sutorejo yang merupakan pekerja di bawah
pengawasa Dinas Kebersihan dan Pertamanan kota Surabaya sebagian besar
memiliki kartu BPJS tenaga kerja, walaupun saat interview beberapa orang
menyampaikan tidak menggunakan karena tidak tahu tempat pelayanan kesehatan
yang bisa menggunakan kartu tersebut. Kondisi berbeda pada pemulung JMP,
sebagian besar mereka tidak memiliki kartu BPJS dengan berbagai alasan,
diantaranya tidak perlu, tidak punya uang untuk membayar, tidak tahu cara
mengurus.
4.3 Pengetahuan Responden
Setelah dilakukan pengukuran pengetahuan kepada pemulung tentang penanganan
gawat darurat sehari hari dengan menggunakan kuesioner tertutup, baik sebelum
dan sesudah pelatihan, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.2 Tingkat pengetahuan pemulung kelompok kontrol sebelum dan
sesudah dilakukan pelatihan / penyuluhan pada pemulung JMP
Tahun 2015.
Kategori
Pengetahuan
Sebelum Intervensi
Sesudah Intervensi
Jumlah (%) Jumlah (%)
Baik (7 - 10) 3 12,5 2 8,3
Cukup (4 - 6 ) 7 29,2 9 37,5
Kurang (0 - 3) 14 58,3 13 54,2
Total 24 100 24 100
44
Dari tabel 4.2 diatas, pengetahuan responden sebelum dilakukan
intervensi terbanyak dengan tingkat pengetahuan kurang = 14 responden (58,3
%), sedangkan pengetahuan responden setelah diberikan intervensi dengan
penyuluhan menggunakan leaflet yang disusun berdasarkan pendapat peneliti,
diperoleh hasil lebih dari separuh (54,2 %) pemulung masih memiiki pengetahuan
kurang.
Tabel 4.3 Tingkat pengetahuan pemulung kelompok perlakuan sebelum dan
sesudah dilakukan pelatihan / penyuluhan pada pemulung di TPS
Sutorejo Tahun 2015.
Kategori
Pengetahuan
Sebelum Intervensi
Sesudah Intervensi
Jml (%) Jml ( % )
Baik (7 - 10) 3 12.5 24 100
Cukup (4 - 6 ) 11 45.8 0 0
Kurang (0 - 3) 10 41,7 0 0
Total 24 100 24 100
Pada tabel 4.3 responden sebelum dilakukan intervensi memiliki tingkat
pengetahuan terbanyak cukup = 11 responden (45.8 %), sedangkan setelah
dilakukan intervensi dengan memberikan penyuluhan dan pelatihan
menggunakan buku Panduan Gawat Dadurat Sehari-hari Berbasis Masyarakat,
diperoleh hasil semua responden (100%) memiliki pengetahuan yang baik.
Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan pemulung tentang penanganan
gawat darurat sehari hari dengan menggunakan kuesioner tertutup, baik sebelum
dan sesudah pelatihan, maka dianalisa menggunakan Uji Wilcoxon dengan
bantuan Program SPSS. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa pada kelompok
Kontrol (K1 dan K2) didapatkan hasil uji Wilcoxon dengan tingkat signifikasi p >
0,05 diperoleh nilai p= 0,152 > 0,05 sehingga dapat dijelaskan bahwa pada
kelompok kontrol tidak terjadi perubahan tingkat pengetahuan yang signifikan
45
antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan/ penyuluhan, sedangkan pada
kelompok perlakuan (P1 dan P2) di dapatkan hasil uji Wilcoxon dengan tingkat
signifikasi p < 0,05 diperoleh nilai p= 0,000< 0,05 sehingga dapat dijelaskan
bahwa pada kelompok perlakuan terjadi perubahan tingkat pengetahuan yang
signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan.
4.4 Masalah Gawat Darurat Sehari Hari Yang Dialami Pemulung
Tabel 4.4 Data Kasus Gawat Darurat Pemulung JMP dan TPS Sutorejo, 2015
Data Kasus Gawat Darurat Pemulung JMP Pemulung TPA
Sutorejo
N (%) N %
Kasus Non Trauma/Infeksi:
Diare/sakit perut
Gatal-gatal tangan
Batuk/pilek/flu
Sesak napas
Demam/panas badan
Pusing/pingsan
Nyeri pinggang/pegal-pegal/kesemutan/kram
Lainnya
1
2
11
3
2
5
4
4
4,17
8,33
45,83
12,5
8,33
20,84
16,67
16,67
8
9
6
3
0
9
7
3
33,33
37,5
25
12,5
0
37,5
29,17
12,5
Kasus Trauma:
Luka tertusuk pecahan kaca-kermik/kayu/tusuk
sate/jarum/duri tanaman/seng
Jatuh dari truk sampah/terpleset saat menarik
gerobak sampah
Kecelakaan lalu lintas saat memulung
Mata terkena serpihan/cipratan air sampah
24
1
1
0
100
4,17
4,17
0
22
1
0
1
91,67
4,17
0
4,17
Riwayat kasus gawat darurat non trauma yang pernah dialami para
pemulung bervariasi. Dua kasus terbanyak yang disampaikan pemulung JMP
adalah batuk/pilek/flu yaitu 45,83%, dan pusing/pingsan sebesar 20,84%.
Berbeda dengan para pemulung TPA Sutorejo, dua kasus terbanyak mereka
adalah gatal-gatal di tangan dan pusing/pingsan dengan prosentase masing masing
37,5%, dan kasus terbanyak kedua adalah diare/sakit perut sebesar 33,33%.
Data kasus trauma yang pernah dialami kedua kelompok pemulung sama
yaitu mengalami luka karena tertusuk pecahan kaca-keramik/kayu/tusuk
46
sate/jarum/duri tanaman/seng. Kejadian luka pada pemulung TPA Sutorejo
sebesar 91,67 %, sedangkan pemulung JMP seluruhnya (100%) pernah
mengalami trauma berupa luka. Satu kejadian trauma yang perlu diperhatikan
yaitu kasus trauma mata akibat terkena serpihan sampah/cipratan air sampah
dilaporkan seorang pemulung di TPA Sutorejo.
Kejadian trauma berupa luka maupun non trauma yaitu diare; gatal-gatal
di tangan; pusing; dan sesak yang banyak dialami pemulung merupakan salah satu
resiko kerja yang berkaitan dengan penggunaan alat pelindung diri saat bekerja
(APD). Alat pelindung diri yang semestinya dipakai pemulung yaitu sarung
tangan, masker, dan sepatu kerja plastic. Sebagian besar (62,5%) pemulung JMP
tidak mengetahui istilah alat pelindung diri, dan merekapun (66,67%) tidak
menggunakannya. Berbeda dengan pemulung di TPA Sutorejo yang tercatat
sebagai pekerja TPA, walaupun masih banyak (58,33%) pemulung tidak
memahami istilah alat pelindung diri, namun sebagian besar (87,5%) mereka telah
menggunakan APD terutama sarung tangan kain dan sepatu saat bekerja.
Penggunaan masker di TPA Sutorejo prosentasenya lebih rendah yaitu 66,67%,
dengan alasan mereka merasa sumpek, tidak bisa napas, dan panas.
Tabel 4.5 Upaya mengatasi Kasus Gawat Darurat sehari hari yang dialami oleh
Pemulung JMP dan Pemulung TPS Sutorejo Surabaya Tahun 2015
Upaya Mengatasi Kasus Gawat Darurat Pemulung JMP Pemulung TPA
Sutorejo
N (%) N %
Kasus Non Trauma/Infeksi:
Berkunjung ke puskesmas/klinik/rumah sakit
Minum air putih yang banyak saat diare
Minum jamu/obat beli di warung saat diare
Minum teh kental yang banyak saat diare
Pegal/pusing minum jamu/ obat beli warung
Minum jamu jika gatal-gatal di tangan
Gatal-gatal ditangan diolesi minyak tawon/balsem
Flu/batu/sesak minum jamu/obat beli toko
Minum obat yang biberi petugas depo/TPA
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
4,17
0
0
4,17
0
0
6
2
5
0
7
1
3
2
1
25
8,33
20,84
0
29,17
4,17
12,5
8,33
4,17
47
Upaya Mengatasi Kasus Gawat Darurat
Pemulung JMP Pemulung TPA
Sutorejo
N (%) N %
Kasus Trauma:
Langsung berobat ke puskesmas/rumah sakit/mantri
Dicabut lalu dipukul-pukul saja
Luka langsung diolesi betadin/obat merah/alkohol
Luka dipukul-pukul sampai darah keluar lalu diberi
betadin
Luka dipukul-pukul sampai darah keluar lalu diberi
minyak tanah/minyak tawon /garam /puyuson
/minyak kayu putih/tembakau
Luka langsung diolesi betadin lalu dibungkus kain
bersih/hansaplas
Luka dibersihkan denga air/alkohol lalu
dibalut/pakai hansaplas
Luka dipijat dengan air hangat
Luka ditekan supaya darah keluar, jika
greges/deman minum supertetra
Jatuh berobat ke sangkal putung
0
2
3
1
7
0
0
0
0
5
0
8,33
12,5
4,17
29,17
0
0
0
0
20,83
2
1
3
1
2
3
5
1
4
2
8,33
4,17
12,5
4,17
8,33
12,5
20,83
4,17
16,67
8,33
Upaya pemulung saat mengalami kondisi gawat darurat non trauma
bervariasi. Berkunjung ke puskesmas/klinik/rumah sakit telah biasa dilakukan
oleh 25% pemulung TPA Sutorejo, sedangkan pemulung JMP tidak satupun
menempuh upaya tersbut. Kebiasaan minum jamu atau minum obat yang dibeli di
warung ketika mengalami diare, pegal/pusing, gatal-gatal ditangan maupun
flu/batuk/sesak adalah upaya yang dilakukan sebagian pemulung baik pemulung
JMP maupun TPA Sutorejo.
Saat mengalami kejadian trauma, tindakan yang dilakukan sebagian
pemulung JMP (29,17%) adalah memukul-mukul ringan sekitar luka sampai
darah keluar lalu diberi minyak tanah/minyak tawon/garam/puyuson/minyak kayu
putih/tembakau. Berbeda dengan pemulung TPA Sutorejo, sebagian mereka
melakukan tindakan berupa membersihkan luka dengan air/alkohol lalu dibalut
kain/pakai hansaplas (23,8%) dan menekan sekitar luka supaya darah keluar lalu
minum supertetra jika greges/deman (16,67%).
48
4.5 Ketrampilan Pemulung Dalam Penanganan Gawat Darurat Sehari Hari
Hasil penelitian ketrampilan yang dimiliki pemulung sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi penyuluhan/pelatihan pada pemulung di Wilayah Jembatan
Merah sebagai kelompok kontrol, dan intervensi penyuluhan / pelatihan dengan
menggunakan Panduan Gawat Darurat Bernasis Masyarakat pdai pemulung di
TPS Sutorejo Surabaya sebagai kelompok perlakuan diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel.4.6 Ketrampilan pemulung dalam mengatasi masalah gawat darurat sehari
hari sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.
Ketrampilan
Pemulung JMP Pemulung TPS
Sutorejo
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
Rawat Luka 0 (0 %) 1 (4,2 %) 2 (8,4%) 18 (75%)
Pembuatan Cairan Gula Garam
( Oralit )
0(0 %) 1 (4,2%) 2 (8,4%) 20 (83%)
Pada saat dilakukan pengkajian awal tentang ketrampilan cara mengatasi
masalah gawat darurat luka sayat atau luka tusuk di lapangan, diperoleh informasi
semua pemulung yang ada di Wilayah Jembatan Merah tidak bisa melakukan
tindakan yang benar (0%) cara mengatasi luka sayat atau tusuk. Setelah diberikan
penyuluhan / pelatihan kesehatan dengan menggunakan leafleat yang dibuat oleh
peneliti, ternyata ketrampilan yang dimiliki pemulung tidak berubah, hanya satu
orang (4,2%) yang bisa menangani rawat luka dengan benar
Hasil pengkajian pada pemulung di TPS Sutorejo sebelum dilakukan
intervensi hanya sebagian kecil (8,4%) pemulung yang bisa melakukan perawatan
luka dan membuat cairan oralit dengan benar. Dengan menggunakan panduan
berbasis masyarakat peneliti mengajarkan atau melatih pemulung . Setelah dilatih
49
(75%) pemulung bisa melakukan perawatan luka dan pembuatan cairan oralit
dengan benar.
4.6 Persepsi Masyarakat Dan Pengambil Kebijakan Tentang Keberadaan
Pemulung.
Hasil triangulasi dengan pengambil kebijakan instansi pemerintah yang
diwakili oleh Kepala Unit Pelaksana Tekhnis Dinas Kebersihan Kota Surabaya,
instansi penyelenggara pelayanan kesehatan yang diwakili Kepala Puskesmas
Krembangan Selatan, dan masyarakat umum di lingkungan pemulung dapat
disimpulkan, bahwa :
1. Kehadiran pemulung sangat dibutuhkan bagi warga Surabaya.
2. Dari hasil diskusi belum ada program yang terkait dengan pemulung, baik
secara administrasi maupun kegiatan nyata, khususnya masalah kesehatan.
3. Di dalam program puskesmas ada pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat
atau program sosial bagi masyarakat, tetapi belum pernah puskesmas
melakukan kegiatan penyuluhan atau pemeriksaan kesehatan kepada
pemulung.
4. Informasi kepala puskesmas belum pernah ada permintaan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat pemulung.
5. Dari hasil diskusi juga disimpulkan semua setuju bahwa kesehatan
pemulung perlu mendapat perhatian.
6. Hingga saat belum ada buku panduan penanganan gawat darurat di
lapangan bagi pemulung, dan semua setuju perlu panduan sebagai media
informasi agar pemulung bisa menjaga kesehatan secara mandiri.
50
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Tingkat Pengetahuan
Hasil penelitian pada kelompok kontrol pemulung wilayah JMP (Jembatan
Merah Plasa) sebelum diberikan penyuluhan/pelatihan gawat darurat sehari hari
sebagian besar tidak memiliki pengetahuan yang baik, pengetahuan baik hanya
dimiliki oleh 3 orang (12,5%). Pengetahuan sangat dibutuhkan sebagai dasar
dalam prilaku sehari hari, kalau tingkat pengetahuan yang dimiliki kurang maka
informasi yang dimiliki juga kurang. Setelah diberi pelatihan/penyuluhan dengan
menggunakan leafleat yang disusun berdasarkan asumsi peneliti, ternyata
pengetahuan baik yang dimiliki pemulung justru berkurang menjadi 2 orang
(8.3%). Kondisi ini bisa terjadi karena leafleat yang digunakan sebagai media
penyuluhan/pelatihan terlalu luas topiknya, dan beberapa materi tidak sesuai
dengan kondisi lapangan, sehingga membingungkan bagi pemulung dan tidak
fokus.
Sedangkan pada kelompok perlakuan pemulung di TPS Sutorejo, Sebagian
kecil (12.5%) memiliki tingkat pengetahuan baik sebelum diberikan penyuluhan/
pelatihan . tetapi setelah diberikan pelatihan/penyuluhan dengan menggunakan
buku Panduan Penanganan Gawat Darurat Sehari-hari Berbasis Masyarakat,
terjadi perubahan seluruh (100%) pemulung memiiki pengetahuan yang baik
tentang penanganan gawat darurat sehari hari. Hasil uji statistik dapat disimpulkan
bahwa pada kelompok kontrol didapatkan hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai p=
0,152 > 0,05 sehingga dapat dijelaskan bahwa pada kelompok kontrol tidak terjadi
perubahan tingkat pengetahuan yang signifikan antara sebelum dan sesudah
42
51
diberikan pelatihan/ penyuluhan, sedangkan pada kelompok perlakuan diperoleh
nilai p= 0,000< 0,05 sehingga dapat dijelaskan bahwa pada kelompok perlakuan
terjadi perubahan tingkat pengetahuan yang signifikan antara sebelum dan
sesudah diberikan pelatihan.
Kondisi ini bisa terjadi karena pemulung kelompok perlakuan dapat fokus
terhadap materi penyuluhan/pelatihan sesuai dengan masalah gawat darurat sehari
hari yang sering mereka alami, dan pemulung merasa tertarik dengan topik karena
sesuai dengan kasus yang mereka alami sehari-hari, sehingga dirasa perlu untuk
memahami cara penanggulangannya. Berdasarkan Model Community As Partner
dikembangkan (2008) oleh Anderson dan Mc Farlane. Model ini menjadikan
masyarakat sebagai mitra tenaga kesehatan dengan fokus sentral yaitu: komunitas
sebagai mitra yang ditandai dengan roda pengkajian komunitas dibagian atas
dengan menyatukan anggota masyarakat sebagai intinya.
Buku Panduan Gawat Darurat Sehari-hari yang peneliti susun, berdasarkan
pengkajian, dan analisis masalah tentang gawat darurat sehari-hari yang sering
dialami oleh masyarakat pemulung. Berdasarkan pengkajian tersebut peneliti
bersama pemulung dan pengambil kebijakan terkait dapat menentukan secara
bersama informasi kesehatan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat pemulung.
Petugas kesehatan tidak semata mata hanya sekedar memberikan penyuluhan
kesehatan, tetapi melibatkan masyarakat dan instansi terkait tentang materi yang
akan disampaikan atau dilatih sangat diperlukan, agar sesuai dengan harapan
masyarakat. Buku panduan yang tersusun sesuai dengan informasi apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat, dengan berbasis masyarakat ini, maka petugas
kesehatan dapat memberikan pendidikan kesehatan dan pelatihan sesuai dengan
52
keinginan masyarakat, dengan sendirinya masyarakat akan tertarik untuk
mempelajari dan menerima informasi kesehatan secara maksimal, karena mereka
merasa itu perlu untuk kesehatannya.
5.2 Masalah Gawat Darurat Sehari Hari Yang Dialami Pemulung
Pemulung adalah orang yang mencari nafkah dengan jalan mencari dan
memungut serta memanfaatkan barang bekas untuk dijual kepada pengusaha
yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditas (Kamus Bahasa
Indonesia). Pemulung juga bisa diartikan sebagai orang yang mencari rezeki
dengan mengkais - kais sampah. Karena pekerjaan pemulung di lokasi sampah,
dengan sendirinya pemulung rentan untuk mengalami gawat darurat sehari hari.
Hasil penelitian kasus gawat darurat non trauma yang pernah dialami para
pemulung bervariasi. Dua kasus terbanyak yang disampaikan pemulung JMP
adalah batuk/pilek/flu yaitu 45,83%, dan pusing/pingsan sebesar 20,84%.
Masalah batuk/pilek/flu masuk dalam katagori gawat darurat sehari hari non
traumatic, karena dikhawatirkan jika masalah ini tidak segera diatasi bisa
berdampak pada kondisi yang lebih parah. Berbeda dengan para pemulung TPA
Sutorejo, dua kasus terbanyak mereka adalah gatal-gatal di tangan dan
pusing/pingsan dengan prosentase masing masing 37,5%, dan kasus terbanyak
kedua adalah diare/sakit perut sebesar 33,33%.
Kasus non traumatik pada pemulung Jembatan Merah Plasa dengan
pemulung di TPS Sutorejo berbeda karena cara mengkais sampah yang dilakukan
dua kelompok pemulung ini memang berbeda. Kelompok pemulung JMP
mengkais sampah langsung ke rumah rumah penduduk, dengan menggunakan
53
tongkat kait untuk mengaduk sampah , dengan sendirinya kelompok ini sedikit
bersentuhan secara langsung dengan sampah. Tetapi kelompok pemulung JMP
membutuhkan stamina tubuh yang lebih kuat, karena mereka harus keliling antar
rumah dengan berjalan kaki. Karena harus bersaing dengan waktu maka
pemulung JMP pukul lima pagi sudah harus bekerja mengkais sampah, agar tidak
kedahuluan sampah di angkut ke TPS (Tempat Pengolahan Sampah), karena jam
kerja yang pagi dan keliling dari rumah kerumah maka pemulung di JMP mudah
terserang flu/batuk/pilek.
Sedangkan pada pemulung di TPS Sutorejo mereka bekerja terlokalisir di
Depo pengolahan sampah. Jam kerja mulai dari jam 08.00 – 16.00. Pemulung di
TPS Sutorejo langsung memilah-milah sampah dengan menggunakan tangan,
sehingga mereka lebih rentan untuk menderita penyakit kulit/gatal – gatal.
Pemulung di TPS Sutorejo bekerja di ruangan tertutup sehingga udara yang tidak
sehat selalu mereka isap. Jenis gas beracun yang sering ada akibat penguraian
sampah terutama sampah organik yaitu hidrogen sulfur dan metana. Karena sering
menghisap gas beracun dari sampah, maka kasus terbanyak (37,5%) pemulung di
TPS Sutorejo mempunyai keluhan pusing/mual.
Gejala klinis pada keracunan akut maupun kronis hidrogen sulfida dan
karbon disulfida yaitu jika kadar ditas 50 ppm akan menyebabkan sakit kepala,
tidak dapat tidur, mual, batuk, badan lemah, mengantuk, edema paru, dan
konjungtivitis yang disertai rasa sakit. Dan jika kadar diatas 500 pmm,
menyebabkan tidak sadar dengan segera, depresi pernapasan, dan kematian dalam
waktu 30-60 menit. Pada keracunan kronik hidrogen sulfide gejala klinis yang
timbul, antara lain tekanan darah rendah, mual, kehilangan nafsu makan dan berat
54
badan, gangguan keseimbangan dan berjalan, dan batuk kronik. Kondisi penyakit
non trauma dapat terjadi karena hampir semua pemulung tidak menggunakan
APD (Alat Pelindung Diri), misal masker, sarung tangan, dan sepatu karet. Alasan
pemulung tidak menggunakan APD karena merasa tidak nyaman atau tidak enak
saat dipakai, tidak punya, dan merasa tidak perlu menggunakan APD karena
pemulung menggangap sampah adalah bagian dari kehidupan mereka, dan
sampah tidak berbahaya bagi kesehatan. Kasus diare juga terjadi, karena
mayoritas pemulung tidak melakukan cuci tangan secara benar, dan mereka tidak
pernah mendapat penyuluhan kesehatan cuci tangan secara benar.
Pemulung sangat beresiko untuk mengalami trauma, atau masalah gawat
darurat sehari hari. Data kasus trauma yang pernah dialami kedua kelompok
pemulung sama yaitu mengalami luka karena tertusuk pecahan kaca-
keramik/kayu/tusuk sate/jarum/duri tanaman/seng. Kejadian luka pada pemulung
TPA Sutorejo sebesar 91,67 %, sedangkan pemulung JMP seluruhnya (100%)
pernah mengalami trauma berupa luka. Satu kejadian trauma yang perlu
diperhatikan yaitu kasus trauma mata akibat terkena serpihan sampah/cipratan air
sampah dilaporkan seorang pemulung di TPA Sutorejo. Berdasarkan data diatas
seluruh pemulung di wilayah JMP pernah mengalami trauma luka, dan hampir
seluruh pemulung di TPS Sutorejo juga pernah mengalami trauma, hal ini dapat
terjadi karena pemulung bekerja mengkais sampah tanpa menggunakan alat
pelindung diri (APD). Disamping itu seluruh pemulung di JMP mengatakan
belum pernah mendapat penyuluhan kesehatan dan penggunaan APD. Sedangkan
pemulung di TPS Sutorejo mayoritas pernah mendapat penyuluhan tentang APD,
tetapi mayoritas tidak melaksanakan penggunaan APD dengan berbagai alasan,
55
sedangkan penyuluhan kesehatan tidak pernah diterima oleh pemulung TPS
Sutorejo.
5.3 Ketrampilan Pemulung Dalam Penanganan Gawat Darurat Sehari Hari
Hampir semua pemulung pernah mengalami trauma khususnya luka tusuk
atau sayat. Tetapi ketrampilan cara mengatasi masalah gawat darurat luka sayat
atau luka tusuk di lapangan, diperoleh informasi semua pemulung yang ada di
Wilayah Jembatan Merah Plaza (JMP) tidak bisa melakukan tindakan cara
mengatasi luka sayat atau tusuk dengan benar. Berdasarkan informasi dari
pemulung untuk mengatasi luka sayat mereka langsung membalut luka dengan
kain seadanya, atau memberi minyak tanah pada bagian luka sayat. Sedangkan
untuk luka tusuk misal terkena paku atau sujen, pemulung langsung memukuli
luka dengan menggunakan batu dan dibiarkan kering sendiri. Cara penanganan
tersebut sangat berbahaya bagi pemulung, karena dikhawatirkan bisa terkena
infeksi lebih lanjut. Setelah diberikan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan
leafleat yang dibuat oleh peneliti, ternyata ketrampilan yang dimiliki pemulung
tidak berubah, hanya satu orang (4,2%) yang bisa menangani rawat luka dengan
benar. Hal ini bisa terjadi karena pemulung kurang berminat saat diberi
penyuluhan, mereka cenderung pasif dan hanya mendengarkan saja. Disamping
itu leaflet yang peneliti buat terlalu luas topiknya atau tidak fokus, sehingga ada
beberapa topik yang tidak diperhatikan oleh pemulung.
Berbeda dengan pemulung di TPS Sutorejo sebelum dilakukan intervensi
hanya sebagian kecil (8,4%) pemulung yang bisa melakukan perawatan luka dan
membuat cairan oralit dengan benar. Karena kedua orang pemulung tersebut
56
memang memiliki pendidikan yang cukup baik yaitu lulusan SMA, dan secara
personal mereka berusaha untuk hidup sehat.
Cara penanganan luka yang biasa pemulung TPS Sutorejo lakukan hampir sama
dengan pemulung di Wilayah Jembatan Merah. Jika mengalami luka langsung
ditutup dengan kain seadanya, luka diberi minyak tanah, atau minyak tawon.
Sedangkan untuk cara pembuatan cairan oralit, mereka hampir semua tidak tahu
cara membuat larutan gula garam, karena kalau ada yang mengalami diare cukup
beli obat di warung.
Setelah dilakukan pengkajian tentang masalah gawat darurat atau penyakit
yang sering dialami pemulung, selanjutnya peneliti menyusun panduan
penanganan gawat darurat sehari hari berbasis masyarakat pemulung. Setelah
panduan selesai peneliti mengajarkan atau melatih pemulung dengan berpedoman
pada panduan. Setelah dilatih (75%) pemulung bisa melakukan perawatan luka
dan pembuatan cairan oralit dengan benar. Kondisi ini bisa terjadi karena
penyuluhan dan pelatihan yang diberikan pada pemulung lebih fokus pada
masalah-masalah yang diperlukan oleh pemulung, hal ini sesuai dengan teori
community as partner, bahwa masyarakat adalah mitra dalam menyelesaikan
masalah kesehatan yang dihadapi (Anderson.2008). Oleh karena itu dalam
program pelayanan kesehatan masyarakat harus dilibatkan secara aktif, untuk
mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya panduan
penanganan gawat darurat sehari hari berbasis masyarakat, pemulung bisa belajar
secara mandiri, dan bisa berbagi pengetahuan antar pemulung tentang cara
penanganan gawat darurat dengan benar.
57
5.4 Persepsi Masyarakat Dan Pengambil Kebijakan Tentang Keberadaan
Pemulung.
Keberadaan pemulung di kota- kota besar menimbulkan permasalahan
tersendiri, tetapi apapun permasalahan yang timbul pemulung adalah bagian dari
masyarakat perkotaan. Hasil diskusi dengan masyarakat Kota Surabaya,
pengambil kebijakan Dinas Kebersihan Kota Surabaya, dan Kepala Puskesmas
Krembangan Selatan Surabaya, diperoleh informasi kehadiran pemulung sangat
dibutuhkan bagi warga Surabaya, karena pemulung membantu untuk mengurai
sampah sehingga sampah tidak menumpuk. Dengan adanya pemulung volume
sampah yang akan dibuang di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) juga menjadi
berkurang. Pemulung membantu membersihkan barang-barang yang sudah tidak
diperlukan, sehingga bisa dimanfaatkan kembali. Hal yang tidak disukai
masyarakat terhadap keberadaan pemulung, karena terlihat kumuh, dan pemulung
sering mengaduk - aduk sampah tanpa merapikan kembali.
Dari hasil diskusi belum ada program yang terkait dengan pemulung, baik
secara administrasi maupun kegiatan nyata. Hal ini disebabkan pemulung bukan
merupakan tanggung jawab dari dinas kebersihan maupun puskesmas setempat,
demikian juga dengan pendapat masyarakat bahwa pemulung bukan anggota
masyarakat atau warga, karena tempat tinggal pemulung selalu berpindah-pindah
dan tidak pernah lapor kepata RT/ RW. Informasi dari Dinas Kebersihan, hingga
saat ini belum pernah ada pendataan pemulung di TPS (Tempat Pengolahan
Sampah), tetapi beliau setuju dan dirasa perlu untuk mendata pemulung di tiap
TPS. Demikian juga dengan pendapat Kepala Puskesmas, setuju jika pemulung
yang ada di wilayah puskesmas juga di data, agar bisa direncanakan kegiatan
kesehatan yang dibutuhkan oleh pemulung.
Puskesmas memiliki program pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat atau
program sosial bagi masyarakat, tetapi belum pernah puskesmas melakukan
58
kegiatan penyuluhan atau pemeriksaan kesehatan kepada pemulung. Alasan tidak
dilakukan karena pemulung bukan warga masyarakat di wilayah puskesmas
berada. Dan hingga saat ini belum pernah ada koordinasi untuk masalah kesehatan
bagi masyarakat pemulung. Informasi kepala puskesmas belum pernah ada
permintaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pemulung. Dengan sendirinya
pemulung bukan merupakan sasaran pelayanan kesehatan di wilayahnya.
Berdasarkan hasil diskusi dapat disimpulkan semua setuju bahwa kesehatan
pemulung perlu mendapat perhatian. Karena kesehatan pemulung akan
berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung kepada kesehatan
masyarakat kota. Oleh karena itu pemulung juga perlu mendapat pendidikan
kesehatan dan cara pencegahan penyakit, melalui cuci tangan dan cara
penanganan kesehatan di lapangan. Hingga saat belum ada buku panduan
penanganan gawat darurat di lapangan bagi pemulung, dan semua setuju perlu
panduan sebagai media informasi agar pemulung bisa menjaga kesehatan secara
mandiri.
59
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tingkat pengetahuan pemulung kelompok perlakuan mengalami
perubahan tingkat pengetahuan yang signifikan antara sebelum dan
sesudah diberikan pelatihan dengan menggunakan Panduan Penanganan
Gawat Darurat Sehari Hari Berbasis Masyarakat
2. Masalah gawat darurat sehari hari yang sering dialami pemulung adalah
luka sayat dan luka tusuk, sedangkan penyakit infeksi yang terbanyak
adalah penyakit kulit dan diare.
3. Ketrampilan pemulung dalam penanganan gawat darurat sehari hari lebih
baik setelah diberi penyuluhan dan pelatihan dengan menggunakan
panduan berbasis masyarakat.
4. Hasil triangulasi masyarakat setuju bahwa keberadaan pemulung sangat
dibutuhkan bagi masyarakat Kota Surabaya, dan kesehatan pemulung
perlu mendapat perhatian agar derajad kesehatannya dapat meningkat.
6.2 Saran
1. Keberadaan pemulung perlu ditertibkan secara administrasi sesuai dengan
wilayah kegiatannya
2. Kesehatan pemulung perlu mendapat perhatian dari puskesmas setempat,
melalui program - program pelayanan kesehatan terkait.
51
60
3. Pemulung perlu dibekali panduan penanganan gawat darurat sehari hari
berbasis masyarakat, agar bisa mengatasi masalah kesehatan secara mandiri
dan benar.
4. Panduan penangan gawat darurat sehari-hari berbasis masyarakat ini belum
sempurna, sehingga perlu dianalisis oleh pakar dan diuji coba kembali
melalui penelitian selanjutnya.
61
DAFTAR PUSTAKA
Anderson & McFarlane. (2008). Community As Partner: Theory and Practice in
Nursing. Fifth edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Azizah, IN & Setiyowati, W. (2011). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu
Pemulung Tentang Personal Higiene Dengan Kejadian Skabies Pada Balita
di Tempat Pembuangan Akhir kota Semarang. Dinamika Kebidanan.
Vol.1/no.1/januari 2011. www.academia.edu. Diakses tanggal 29
Desember 2014.
Fita, C. (2014). Panduan P3K yang Perlu Kamu Tahu. Solo: Tiga Serangkai.
Lubis, AS. (2013). Keterpaparan Pemulung Sampah Dapat Menimbulkan
Penyakit Kulit Akibat Kerja di TPA Terjun Kota Medan.
http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 29 Desember 2014.
Pratiwi, dkk. (2011). Pengembangan Model Safe Commmunity Berbasis
Masyarakat. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Volume 14. No.1
Januari 2011. www.google search. Diakses Tgl.29 Desember 2014.
Syafrina, N. (2013). Fakta Luka: Mengenal Luka dan penanganannya. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo.
Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
(2014). SPDGT Membawa Perubahan IGD RS. http://buk.depkes.go.id.
Diakses tanggal 29 Desember 2014.
Saanin, S. (2013). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu.
www.angelfire.com. Diakses 29 Desember 2014.
Tim Dapur Naskah. (2013). Bahan Kimia Beracun. Editor Rissa Yanuar. Cet.2.
Bandung : Sarana Ilmu Pustaka.
Yayasan IDEP. (2007). Panduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis
Masyarakat. www.Idepfaoundation.org/pbbm. Diakses tanggal 22