POLA KETERBUKAAN DIRI ANTARA PERAWAT DAN LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL SASANA TRESNA WERDHA CIPOCOK JAYA SERANG SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi Disusun Oleh: Richa Rahayu Mtd NIM. 6662130325 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG – BANTEN 2018
171
Embed
POLA KETERBUKAAN DIRI ANTARA PERAWAT DAN LANJUT …repository.fisip-untirta.ac.id/1089/1/POLA KETERBUKAAN DIRI ANTARA... · Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
POLA KETERBUKAAN DIRI
ANTARA PERAWAT DAN LANJUT USIA
DI PANTI SOSIAL SASANA TRESNA WERDHA
CIPOCOK JAYA SERANG
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada
Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh:
Richa Rahayu Mtd
NIM. 6662130325
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG – BANTEN
2018
ii
iii
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Majulah Tanpa Menyingkirkan Orang Lain
NaiklahTinggi Tanpa Menjatuhkan Orang Lain
dan Berbahagialah Tanpa Menyakiti Orang Lain
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua yang telah
membesarkan dan membimbing hingga saat ini serta kasih sayang
dan do’a yang tiada henti-hentinya untuk kebaikan saya.
Terima kasih banyak atas dukungan dan semangat dari kalian
sehingga Allah SWT memberikan kelancaran dan kemudahan
dalam menyelesaikan skripsi ini...
vi
ABSTRAK
RICHA RAHAYU MTD. NIM. 6662130325. SKRIPSI. Pola Keterbukaan
Diri Antara Perawat dan Lanjut Usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Kedua, menemukan diri sendiri, seseorang melakukan komunikasi
interpersonal karena ingin mengetahui dan mengenali karakteristik diri pribadi
berdasarkan informasi dari orang lain. Bila seseorang terlihat komunikasi
interpersonal dengan orang lain, maka terjadi proses belajar banyak sekali tentang
diri maupun orang lain. Dengan saling membicarakan keadaan diri, minat, dan
harapan maka seseorang memperoleh informasi berharga untuk mengenai jati diri
atau dengan kata lain menemukan diri sendiri.
Ketiga, menemukan dunia luar, dengan komunikasi interpersonal diperoleh
kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi dari orang lain, termasuk
informasi penting dan aktual. Dengan komunikasi interpersonal diperoleh
18
informasi, dan dengan informasi tersebut dapat dikenali dan ditemukan keadaan
dunia luar yang sebelumnya tidak diketahui.
Keempat, membangun dan memelihara hubungan yang harmonis, sebagai
makhluk sosial, salah satu kebutuhan setiap orang yang paling besar adalah
membentuk dan memelihara kebutuhan baik dengan orang lain. Oleh karena itu
setiap orang telah menggunakan banyak waktu untuk berkomunikasi secara
interpersonal yang diabdikan untuk membangun dan memelihara hubungan sosial
dengan orang lain.
Kelima, mempengaruhi sikap dan tingkah laku, komunikasi interpersonal
adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk
memberitahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik secara langsung
maupun tidak langsung (dengan menggunakan media).
Keenam, mencari kesenangan atau sekedar menghabiskan waktu, seseorang
melakukan komunikasi interpersonal sekedar mencari kesenangan atau hiburan.
Bertukar cerita lucu adalah merupakan pembicaraan untuk mengisi dan
menghabiskan waktu.
Ketujuh, menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi, komunikasi
interpersonal dapat menghilangkan kerugian akibat salah satu komunikasi dan
salah interpretasi yang terjadi antara sumber dan penerima pesan. Karena dengan
berkomunikasi interpersonal dapat dilakukan pendekatan secara langsung,
menjelaskan berbagai pesan yang rawan menimbulkan kesalahan interpretasi.
Kedelapan, memberikan bantuan (konseling), dikalangan masyarakat juga
dapat dengan mudah diperoleh contoh yang menunjukan fakta bahwa komunikasi
interpersonal dapat dipakai sebagai pemberian bantuan (konseling) bagi orang lain
19
yang memerlukan. Tanpa disadari setiap orang ternyata sering bertindak sebagai
konselor maupun konseli dalam interaksi interpersonal sehari-hari.
2.1.5 Komunikasi Interpersonal yang Efektif
Komunikasi interpersonal dapat dikatakan efektif apabila pesan diterima dan
dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti
dengan sebuah perbuatan secara suka rela oleh penerima pesan, dapat
meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi, dan tidak ada hambatan untuk hal
itu. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa komunikasi
interpersonal yang efektif, apabila memenuhi tiga syarat, dalam AW Suranto
(2011:78-79), yaitu:
Pertama, pesan yang diterima dan dipahami oleh komunikan sebagaimana
dimaksud oleh komunikator. Salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai
ukuran komunikasi yang efektif, adalah apabila makna pesan komunikator sama
dengan makna pesan yang diterima komunikan.
Kedua, ditindak lanjuti secara suka rela. Indikator komunikasi interpersonal
yang efektif berikutnya adalah bahwa komunikan menindaklanjuti pesan tersebut
dengan perbuatan dan dilakukan secara suka rela, tidak dipaksa.
Ketiga, meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi. Efekivitas dalam
komunikasi interpersonal akan mendorong terjadinya hubungan yang positif. Hal
ini disebabkan pihak-pihak yang saling berkomunikasi merasakan manfaat dari
komunikasi itu sehingga merasa perlu memelihara hubungan antarpribadi.
20
2.1.5.1 Faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Adapun faktor keefektivitasan komunikasi interpersonal dalam AW
Suranto (2011:84-85) adalah sebagai berikut:
1. Faktor keberhasilan dilihat dari sudut komunikator
a. Kreadibilitas: ialah kewibawaan seorang komunikator dihadapan
komunikan. Pesan yang disampaikan oleh seorang komunikator yang
berkreadibilitas tinggi akan lebih banyak memberi pengaruh terhadap
penerima pesan.
b. Daya tarik: ialah daya tarik fisik maupun non fisik. Adanya daya tarik
ini akan mengundang simpati penerima pesan.
c. Kemampuan intelektual: ialah tingkat kecakapan, kecerdasan, dan
keahlian seorang komunikator.
d. Kepercayaan: jika komunikator dipercaya oleh komunikan maka akan
lebih mudah menyampaikan pesan dan mempengaruhi sikap orang.
e. Kematangan tingkat emosional: ialah kemampuan komunikator untuk
mengendalikan emosi, sehingga tetap bisa melaksanakan komunikasi
dalam suasana yang menyenangkan.
2. Faktor keberhasilan dilihat dari sudut komunikan
a. Komunikan yang cakap akan mudah menerima dan mencerna pesan.
b. Komunikan yang memiliki pengetahuan yang luas akan cepat
menerima pesan.
c. Komunikan harus bersikap ramah, supel dan pandai bergaul agar
tercipta proses komunikasi.
d. Komunikan harus memahami dengan siapa ia berbicara.
e. Komunikan bersikap bersahabat dengan komunikator.
3. Faktor keberhasilan dilihat dari sudut pesan
a. Pesan komunikasi interpersonal perlu dirancang dan disampaikan
sedemikian rupa.
b. Lambang-lambang yang digunakan harus benar-benar dapat dipahami
oleh kedua belah pihak.
c. Pesan-pesan tersebut disampaikan secara jelas.
d. Tidak menimbulkan multi interpretasi.
e. Sediakan informasi yang praktis dan berguna.
f. Berikan fakta, bukan kesan dalam penyampaian kalimat konkret,
detail, dan spesifik disertai bukti untuk mendukung opini.
4. Faktor penghambat komunikator
a. Kreadibilitas komunikator rendah.
b. Kurang memahami karakteristik latar belakang sosial dan budaya.
c. Kurang memahami karakteristik komunikan.
d. Prasangka buruk.
e. Verbalistis.
f. Komunikasi satu arah.
g. Tidak menggunakan media yang tepat.
h. Perbedaan bahasa.
i. Perbedaan persepsi.
21
2.1.6 Fungsi Komunikasi Non-Verbal dalam Komunikasi Interpersonal
Periset utama mengidentifikasikan enam fungsi utama (dalam Ekman, 1965;
Knapp, 1978 dan Nia Kurniawati (2014:38), yaitu:
Pertama, untuk menekankan. Menggunakan komunikasi non-verbal
untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal.
Kedua,untuk melengkapi (complement). Menggunakan komunikasi nonverbal
untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan
verbal. Ketiga, untuk menunjukan kontradiksi. Secara sengaja mempertentangkan
pesan verbal kita dengan nonverbal. Keempat, untuk mengatur. Gerak gerik
nonverbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan untuk mengarur
arus pesan verbal. Kelima, untuk mengulangi. Mengulangi atau merumuskan
ulang makna dari pesan verbal. Keenam, untuk menggantikan. Komunikasi
nonverbal juga dapat menggantikan pesan verbal, anda dapat mengatakan “oke”
dengan tangan tanpa berkata apa-apa.
2.1.7 Tipe-tipe Komunikasi Non-Verbal dalam Komunikasi Interpersonal
Berikut merupakan tipe-tipe komunikasi nonverbal antara lain:
Pertama, kinesik: refer to body position and body motions including those
of the face. Kedua, haptik: sentuhan. Lima makna sentuhan menurut Stanley Jones
dan Elaine Yarbough (dalam DeVito,1997) yaitu untuk mengilustrasikan 1) afeksi
positif yang berupa dukungan, apresiasi, inklusi, minat seksual, dan afeksi; 2)
bercanda; 3) mengarahkan atau mengendalikan; 4) sentuhan ritual yang terpusat
pada salam dan perpisahan; 5) keterkaitan dengan tugas, dilakukan sehubungan
dengan pelaksanaan fungsi tertentu.
22
Ketiga, penampilan fisik. Kebanyakan kita lebih menyukai orang secara
fisik menarik ketimbang orang yang secara fisik tidak menarik, dan lebih
menyukai orang yang memiliki kepribadian menyenangkan ketimbang yang tidak.
Keempat, artifak. Komunikasi artifaktual mencakup segala sesuatu yang dipakai
orang atau melakukan sesuatu terhadap tubuh untuk memodifikasi
penampilannya.
Kelima, faktor lingkungan. Atlman dan Chemers (1980) (dalam
Gudykunst, 2003:253) membagi wilayah ini dalam 3 kategori yaitu primer,
sekunder dan publik. Keenam, proksemik dan tempat pribadi. Komunikasi ruang
ini pertama memusatkan perhatian pada empat jarak ruang (spatial, spasial) utama
yang dijaga oleh orang ketika mereka berkomunikasi: (a) jarak intim; (b) jarak
pribadi; (c) jarak sosial; (d) fase jauh (lebih dari 750 cm).
Ketujuh, kronemik. Komunikasi temporal ini menyangkut penggunaan
waktu – bagaimana kita mengaturnya, bagaimana kita bereaksi terhadapnya dan
pesan yang dikomunikasikannya. Kedelapan, parabahasa. Parabahasa mengacu
pada dimensi vokal tetapi nonverbal dari pembicaraan. Kesembilan, diam. Diam
melindungi individualisme dan privasi anda; juga menunjukan penghargaan
terhadap individualisme orang lain.
2.2 Keterbukaan Diri
1. Pengertian Keterbukaan Diri
Interaksi yang dilakukan antara satu individu dengan individu lainnya
terkadang memunculkan pemikiran apakah orang lain dapat menerima individu
tersebut, ataukah justru menolak. Selain itu, individu juga ingin mengetahui
tentang orang lain, begitu pula sebaliknya. Hal seperti itu ditentukan oleh
23
bagaimana individu dapat bersikap terbuka atau lebih dapat mengungkapkan
dirinya.
Devito mengemukakan bahwa keterbukaan diri adalah jenis komunikasi
dimana kita mengungkapkan informasi tentang diri kita sendiri yang biasanya kita
sembunyikan (Devito, 1997:64). Sedangkan Johnson (1981) dalam Supratiknya
(1995:14) mengatakan bahwa pembukaan diri atau keterbukaan diri adalah
mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita
hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang
berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini tersebut.
Dari beberapa pengertian tentang keterbukaan diri yang telah disampaikan
oleh para ahli, maka dapat kita simpulkan bahwa keterbukaan diri adalah sebuah
kerelaan dalam diri untuk mengungkapkan atau menyampaikan informasi,
keyakinan, perasaan, pengalaman dan masalah yang dirahasiakan kemudian
diungkapkan kepada orang lain secara apa adanya, sehingga pihak lain
memahami.
2. Aspek-aspek Keterbukaan Diri
Keterbukaan diri menurut Jourard (dalam Ditya Ardi Nugroho, 2013: 557)
memiliki tiga dimensi yaitu (a) keleluasaan atau breadth, (b) kedalaman atau
depth, (c) target atau sasaran pengungkapan diri.
Dimensi keleluasaan mengacu pada cakupan materi yang diungkap dan
semua materi tersebut dijabarkan dalam enam kategori informasi tentang diri
sendiri, yaitu sikap dan pendapat, rasa dan minat, pekerjaan atau kuliah, uang,
kepribadian dan tubuh. Dimensi kedalaman keterbukaan diri mengacu pada empat
tingkatan yaitu: tidak pernah bercerita kepada orang lain mengenai diri sendiri,
24
bercerita secara mendetail, berbicara secara umum, dan berbohong atau salah
mengartikan aspek diri sendiri sehingga yang diceritakan kepada orang lain
berupa gambaran diri yang salah. Dimensi orang yang dituju dalam keterbukaan
diri terdiri dari lima yaitu ibu, ayah, teman pria, teman wanita, dan pasangan.
Menurut Pearson ( dalam Ruth Permatasari Novianna, 2012:4) komponen
self disclosure yaitu (a) jumlah informasi yang diungkapkan, (b) sifat dasar yang
positif dan negatif, (c) dalamnya suatu pengungkapan diri, (d) waktu
pengungkapan diri, (e) lawan bicara.
3. Faktor yang Mempengaruhi Keterbukaan Diri
Keterbukaan diri adalah sebuah proses dimana seseorang membagikan
informasi kepada orang lain yang tujuannya adalah agar orang lain dapat
mengetahui, merasakan, dan memahami diri seseorang. Keterbukaan diri
dipengaruhi oleh beberapa faktor (dalam Devito 2011: 65-67). Faktor-faktor
tersebut adalah:
a. Kelompok Besar
Keterbukaan diri lebih banyak terjadi pada kelompok kecil daripada
kelompok besar. Kelompok kecil biasanya terdiri dari dua orang dan ini
merupakan kelompok yang cocok untuk seseorang dapat lebih terbuka
terhadap orang lain karena dengan satu pendengar maka seseorang yang
menjadi pendengar akan lebih cermat dan fokus menanggapi atau bahkan
menghentikan apabila dirasa situasinya kurang mendukung .
b. Persaaan Menyukai
Individu membuka diri kepada orang yang disukai dan tidak akan membuka
diri kepada orang yang tidak disukai. Hal ini dikarenakan orang yang
25
individu sukai dan mungkin juga memiliki perasaan yang sama akan
bersikap mendukung dan positif atau terbuka dengan individu tersebut.
c. Efek Diadik
Individu melakukan keterbukaan diri apabila orang yang bersamanya juga
melakukan keterbukaan diri. Efek diadik ini membuat individu merasa
aman, nyaman, dan ada kenyataannya akan memperkuat keterbukaan diri
seseorang individu.
d. Kompetensi
Individu yang berkompeten akan lebih terbuka mengenai dirinya daripada
orang yang kurang berkompeten. Individu yang berkompeten akan mampu
melakukan komunikasi interpersonal dengan baik karena individu tersebut
dapat menempatkan dirinya, mengatakan apa yang seharusnya dikatakan
dan juga dapat lebih bersikap terbuka.
e. Kepribadian
Individu yang pandai bergaul akan lebih bersikap terbuka kepada orang lain
daripada individu yang kurang pandai bergaul. Individu yang kurang
memiliki keberanian berbicara pada umumnya juga akan memiliki
keterbukaan diri yang kurang daripada individu yang merasa nyaman saat
melakukan komunikasi.
f. Topik
Individu lebih cenderung membuka diri terhadap topik tertentu. Individu
mungkin lebih terbuka terhadap informasi mengenai pekerjaan dan hobi
daripada tentang hubungan seks ataupun keuangan. Pada umumnya semakin
26
negatif dan pribadi suatu topik, maka keterbukaan diri individu juga
semakin kecil.
g. Jenis Kelamin
Faktor yang mempengaruhi keterbukaan diri seseorang adalah jenis
kelamin. Pria dan wanita mengemukakan alasan yang berbeda mengapa
mereka lebih cenderung untuk tidak membuka diri.
4. Tingkat Keterbukaan Diri
Dalam suatu proses hubungan interpersonal terdapat tingkatan-tingkatan
yang berbeda dalam pengungkapan diri. Menurut John Powel (dalam Supratiknya,
1995: 32-34), tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi adalah:
a. Tahap kelima, yakni basa-basi.
Tahap ini merupakan tahap komunikasi paling dangkal. Komunikasi
biasanya terjadi antara dua orang bertemu secara kebetulan. Kata-kata yang
diucapkan dalam tahap ini hanya kata-kata ringan seperti sapaan atau basa-
basi.
b. Tahap keempat, yakni membicarakan orang lain.
Dalam tahap ini individu sudah saling menanggapi, akan tetapi masih dalam
taraf dangkal karena pada tahap ini individu belum mau mengungkapkan
diri masing-masing.
c. Tahap ketiga, yakni menyatakan gagasan dan pendapat.
Pada tahap ini antar individu sudah mau saling membuka diri namun masih
terbatas pada taraf pikiran. Saat berbicara, individu masih berusaha keras
menghindarkan diri dan menunjukkan kesan memiliki pendapat yang
berbeda dengan individu lain.
27
d. Tahap kedua, yakni hati dan perasaan.
Setiap individu memiliki emosi atau perasaan yang berbeda seperti individu
yang menginginkan hubungan yang jujur, terbuka, dan menyatakan perasaan
secara mendalam. Individu yang memiliki keberanian untuk saling bersikap
jujur dan terbuka berarti memiliki kesepakatan untuk saling mempercayai.
e. Tahap pertama, yakni hubungan puncak.
Tahap ini ditandai dengan keterbukaan, kejujuran dan saling percaya antara
kedua belah pihak. Dalam tahap ini, individu tidak merasakan adanya
ganjalan berupa rasa takut atau khawatir untuk menceritakan hal yang
bersifat pribadi kepada individu lainnya dan dengan demikian komunikasi
tersebut telah terjadi secara mendalam sehingga kedua belah pihak
merasakan hubungan timbal balik yang sempurna.
Berdasarkan tingkatan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa tingkatan pengungkapan diri terdiri dari tahap awal, yaitu menyapa dan
membicarakan orang lain, tahap pertengahan, yaitu memberikan ide dan pendapat,
dan tahap terakhir, yaitu mampu mengungkapkan isi hati, perasaan dan emosi.
5. Manfaat Keterbukaan Diri
Menurut DeVito (2011: 67-69), memiliki berbagai macam manfaat bagi
seseorang, yaitu:
a. Pengetahuan diri, yaitu individu mendapatkan pemahaman baru dan lebih
mendalam mengenai dirinya sendiri. Dalam sebuah proses konseling
misalnya, pandangan baru sering kali muncul pada diri konseli saat konseli
melakukan pengungkapan diri.
28
b. Kemampuan mengatasi kesulitan, yaitu ketakutan ketika tidak terima dalam
suatu lingkungan karena suatu kesalahan tertentu seperti kesalahan kepada
orang lain. Keterbukaan diri akan membantu individu dalam menyelesaikan
suatu permasalahan dengan orang lain kerena individu memiliki kesiapan
untuk membicarakan permasalahan tersebut secara lebih terbuka.
c. Efisiensi komunikasi, yaitu keterbukaan diri yang dilakukan individu dapat
mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Individu dapat lebih
memahami apa yang dikatakan oleh orang lain apabila individu tersebut
sudah mengenal baik orang lain tersebut, sehingga individu tersebut
mendapatkan pemahaman secara utuh terhadap orang lain dan mungkin
sebaliknya.
d. Kedalaman hubungan, yaitu keterbukaan diri sangat diperlukan dalam
membina suatu hubungan yang bermakna seperti sikap saling percaya,
menghargai, dan jujur. Adanya keterbukaan akan membuat suatu hubungan
lebih bermakna dan mendalam.
2.3 Perawat
Perawat (nurse) berasal dari bahasa Latin yaitu nutrix yang berarti merawat
atau memelihara. Menurut Kusnanto (2003:5), perawat adalah seseorang (seorang
profesional) yang mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan pelayanan
keperawatan. Perawat merupakan penolong utama klien dalam melaksanakan
aktivitas penting guna memelihara dan memulihkan kesehatan klien (Atilah Nur
Karumi, 2016:106).
Undang-undang Republik Indonesia No.23 tahun 1992 menyangkut
kesehatan, perawat merupakan mereka yang mempunyai kemampuan dan
29
kewenangan melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki
diperoleh melalui pendidikan keperawatan yang telah dilalui.
Perawat berperan membantu individu dan keluarga dalam menghadapi
penyakit dan disabilitas kronik dengan meluangkan sebagaian waktu bekerja di
rumah pasien bersama keluarganya. Adapun peran perawat adalah sebagai
berikut:
1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan, merupakan peran yang paling utama
bagi seorang perawat.
2. Sebagai pemberi kenyamanan, merupakan sesuatu perasaan subjektif dalam
diri manusia. Pemberian rasa nyaman yang diberikan perawat kepada klien
dapat berupa sikap atau perilaku yang ditunjukan dengan sikap peduli, sikap
ramah, sikap sopan, da sikap empati yang ditunjukkan perawat kepada klien
pada saat memberikan asuhan keperawatan.
3. Sebagai komunikator. Klien juga membutuhkan interaksi pada saat ia
menjalani asuhan keperawatan. Interaksi verbal yang dilakukan dengan
perawat sedikit banyak akan berpengaruh terhadap peningkatan kesehatan
klien.
2.4 Lanjut Usia (Lansia)
Menurut Elizabeth B. Harlock yang dikutip oleh Argyo Demartoto
menjelaskan bahwa orang yang kira-kira mulai terjadi pada usia 60 tahun ditandai
dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang cenderung
mengarah ke penyesuaian diri yang buruk dan hidupnya tidak bahagia (Argyo
Demartoto, 2016:13). Dalam UU No. 13 Tahun 1998 yang dimaksud lansia atau
lanjut usia adalah laki-laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih
30
atau seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas yang mana kemampuan
fisik dan kognitifnya semakin menurun.
Secara biologis penduduk lanjut usia (lansia) adalah penduduk yang
mengalami proses penuaan secara terus-menerus yang ditandai dengan
menurunnya daya tahan tubuh fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan
penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ.
Menurut Bernice Neurgarten dan James C. Chalhoun (dalam Suhartini,
2004:11), masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasakan suatu
kepuasan dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah
permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa
kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa secara umum lanjut usia merupakan kondisi
dimana seseorang mengalami pertambahan umur dengan disertai penurunan
fungsi fisik yang ditandai dengan penurunan masa otot serta kekuatannya, laju
denyut maksimal, peningkatan lemak tubuh, dan penurunan fungsi otak. Saat
lanjut usia tubuh tidak akan mengalami perkembangan lagi sehingga tidak ada
peningkatan kualitas otak.
2.4.1 Tinjauan Faktor Kesehatan Lansia
Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.
Faktor kesehatan fisik meliputi kondisi fisik lanjut usia dan daya tahan fisik
terhadap serangan penyakit. Faktor kesehatan psikis meliputi penyesuaian
terhadap kondisi lanjut usia.
31
1. Kesehatan Fisik
Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.
Kesehatan fisik merupakan faktor utama dari kegelisahan manusia.
Kekuatan fisik,pancaindera, potensi dan kapasitas intelektual mulai
menurun pada tahap-tahap tertentu Prasetyo (dalam Suhartini, 2004:28).
Dengan demikian orang lanjut usiaharus menyesuaikan diri kembali dengan
ketidakberdayaannya.
Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa serangan penyakit seperti
gangguan pada sirkulasi darah, persendian, system pernafasan dan mental.
Sehingga keluhan yang sering terjadi adalah mudah lelah/letih, mudah lupa,
gangguan saluran pencernaan saluran buang air kecil, fungsi indra, dan
menurunnya konsentrasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Joseph J. Gallo
(dalam Suhartini, 2004 :16) mengatakan untuk mengkaji fisik pada orang
lanjut usia harus dipertimbangkan keberadaannya,seperti menurunnya
pendengaran, penglihatan, gerakan yang terbatas, dan waktu respon yang
lamban.
2. Kesehatan Psikis
Dengan menurunnya berbagai kondisi dalam diri orang lanjut usia secara
otomatisakan timbul kemunduran kemampuan psikis. Salah satu penyebab
menurunnya kesehatan psikis adalah menurunnya pendengaran, dengan
menurunnya fungsidan kemampuan pendengaran bagi orang lanjut usia
maka banyak dari merekayang gagal dalam menangkap isi pembicaraan
orang lain, sehingga mudah menimbulkan perasaan tersinggung, tidak
dihargai, dan kurangnya rasa percayadiri. Dikarenakan ada penurunan pada
32
fungsi kognitif dan psikomotorik pada diri orang lanjut usia maka akan
muncul beberapa kepribadian lanjut usia sebagai berikut :
a. Tipe kepribadian konstruktif, pada tipe ini tidak banyak mengalami
gejolak,tenang dan mantap sampai sangat tua.
b. Tipe kepribadian mandiri, pada tipe ini ada kecenderungan mengalami
post power syndrome, apabila pada masa lanjut usia tidak diisi dengan
kegiatan yang baik pada dirinya.
c. Tipe kepribadian tergantung, pada tipe ini sangat dipengaruhi kehidupan
keluarga. Apabila kehidupan keluarga harmonis, maka pada masa lanjut
usia (lansia) tidak akan timbul gejolak. Akan tetapi jika pasangan hidup
meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi
merana apalagi jika terbawa arus kedukaan.
d. Tipe kepribadian bermusuhan, pada tipe ini setelah memasuki masa
lanjut usia akan tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya. Banyak
keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama
sehingga menyebabkan kondisi ekonomi rusak, (5) tipe kepribadian kritik
diri, padatipe ini umunya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri
sulit dibantu oleh orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
2.4.2 Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 1999). Tipe
tersebut dijabarkan sebagai berikut:
33
a) Tipe arif bijaksana. Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.
b) Tipe mandiri. Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif
dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c) Tipe tidak puas. Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga
menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik
dan banyak menuntut.
d) Tipe pasrah. Menerima dan menanggung nasib baik, mengikuti kegiatan
agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
e) Tipe bingung. Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen
(ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius, tipe
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe
putus asa (benci pada diri sendiri).
2.4.3 Proses Penuaan Lansia
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks
multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang
sampai pada keseluruhan sistem (Stanley et al. 2006).
Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang
maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah
34
sel-sel yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami
penurunan fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses penuaan
(Maryam RS, Ekasari MF, dkk, 2008).
Pengaruh proses manua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara
biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, maka
kemampuan fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan
kemunduran pada peran-peran sosialnya (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Oleh
karena itu, perlu membantu individu untuk menjaga harkat dan otonomi maksimal
meskipun dalam keadaan kehilangan fisik, sosial dan psikologis (Smeltzer, S &
Bere, 2002).
2.5 Teori Penetrasi Sosial
Hubungan antarpribadi merupakan hal yang hidup dan dinamis. Hubungan
ini selalu berkembang (DeVito, 2011: 250). Untuk mengetahui bagaimana suatu
hubungan antarpribadi berkembang atau sebaliknya, rusak, dapat dilakukan
dengan mempelajari sebuah teori komunikasi yang disebut Teori Penetrasi Sosial
(Social Penetration Theory – SPT) dari Irwin Altman & Dalmas Taylor (1973).
SPT merupakan sebuah teori yang menggambarkan suatu pola pengembangan
hubungan, yaitu sebuah proses yang Altman & Taylor identifikasi sebagai
penetrasi sosial.
“Interpersonal closeness proceeds in a gradual and orderly fashion
from superficial to intimate level of exchange, motivated by current and
projected future outcomes. Lasting intimacy requires continual and mutual
vulnerability through breadth and depth of self-disclosure” (Griffin, 2006 :
125)”.
35
Melalui pernyataan Griffin tersebut dapat diketahui bahwa kedekatan
interpersonal merujuk pada sebuah proses ikatan hubungan dimana individu-
individu yang terlibat bergerak dari komunikasi superfisial menuju ke komunikasi
yang lebih intim. Lebih lanjut Griffin menyebutkan bahwa keintiman yang
bertahan lama membutuhkan ketidakberdayaan yang terjadi secara
berkesinambungan tetapi juga bermutu dengan cara melakukan pengungkapan diri
yang luas dan dalam.
Keintiman di sini, menurut Altman & Taylor, lebih dari sekedar keintiman
secara fisik; dimensi lain dari keintiman termasuk intelektual dan emosional,
hingga pada batasan dimana kita melakukan aktivitas bersama (West & Turner,
2011). Artinya, perilaku verbal (berupa kata-kata yang digunakan), perilaku
nonverbal (dalam bentuk postur tubuh, ekspresi wajah, dan sebagainya), serta
perilaku yang berorientasi pada lingkungan (seperti ruang antara komunikator,
objek fisik yang ada di dalam lingkungan, dan sebagainya) termasuk ke dalam
proses penetrasi sosial.
2.5.1 Asumsi Dasar Teori Penetrasi Sosial
Berikut adalah beberapa asumsi Teori Penetrasi Sosial menurut West &
Turner dalam buku pengantar teori komunikasi (West & Turner, 2008: 197):
a. Hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim.
Hubungan komunikasi antara orang dimulai pada tahapan superfisial dan
bergerak pada sebuah kontinum menuju tahapan yang lebih intim.
Walaupun tidak semua hubungan terletak pada titik ekstrem, tidak intim
maupun intim. Sering kali, kita mungkin menginginkan kedekatan
hubungan yang ekstrem. Contohnya, kita mungkin ingin agar hubungan
36
dengan rekan kerja kita cukup jauh sehingga kita tidak perlu mengetahui apa
yang terjadi di rumahnya setiap malam atau berapa banyak uang yang ia
miliki di bank.Akan tetapi, kita perlu untuk mengetahui cukup informasi
personal untuk menilai apakah ia mampu menyelesaikan tanggung jawab-
nya dalam sebuah proyek tim.
b. Secara umum perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi.
Secara khusus para teoretikus penetrasi sosial berpendapat bahwa
hubungan-hubungan berkembang secara sistematis dan dapat diprediksi.
Beberapa orang mungkin memiliki kesulitan untuk menerima klaim ini.
Hubungan – seperti proses komunikasi – bersifat dinamis dan terus berubah,
tetapi bahkan sebuah hubungan yang dinamis mengikuti standar dan pola
perkembangan yang dapat diterima. Meskipun kita mungkin tidak
mengetahui secara pasti mengenai arah dari sebuah hubungan atau dapat
menduga secara pasti masa depannya, proses penetrasi sosial cukup teratur
dan dapat diduga. Tentu saja, sejumlah peristiwa dan variabel lain (waktu,
kepribadian dan sebagainya) memengaruhi cara perkembangan hubungan
dan apa yang kita prediksikan dalam proses tersebut. Sebagaimana
disimpulkan oleh Altman & Taylor (1973), “orang tampaknya memiliki
mekanisme penyesuaian yang sensitif yang membuat mereka mampu untuk
memprogram secara hati-hati hubungan interpersonal mereka”.
c. Perkembangan Hubungan mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan
disolusi. Mulanya, kedua hal ini mungkin terdengar aneh. Sejauh ini kita
telah memba-has titik temu dari sebuah hubungani hubungan dapat menjadi
berantakan, atau menarik diri (depenetrate) dan kemunduran ini dapat
37
menyebabkan terjadinya disolusi hubungan. Akan tetapi hubungan dapat
menjadi berantakan atau menarik diri (depenetrasi) dan kemunduran ini
dapat menyebabkan terjadinya disolusi hubungan.
Berbicara mengenai penarikan diri dan disolusi, Altman & Taylor
menyatakan kemiripan proses ini dengan sebuah film yang diputar mundur.
Sebagaimana komunikasi memungkinkan sebuah hubungan untuk bergerak maju
menuju tahap keintiman, komunikasi dapat menggerakkan hubungan untuk
mundur menuju tahap ketidakintiman. Jika komunikasi penuh dengan konflik,
contohnya, dan konflik ini terus berlanjut menjadi rusak dan tidak bisa
diselesaikan, hubungan itu mungkin akan mengambil langkah mundur dan
menjadi lebih jauh.
2.5.2 Struktur Lapisan Personal Model Bawang
Dalam teori ini, Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang
merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau
lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan
menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia.
Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka
bagi publik, apa yang biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak
ditutup-tutupi. Jika kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi,
maka di sana ada lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan
kepribadian yang lebih bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka
bagi orang-orang tertentu saja, orang terdekat misalnya. Lapisan yang paling
dalam adalah wilayah private, dimana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep
diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan
38
semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari
kekasih, orang tua, atau orang terdekat manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah
yang paling berdampak atau paling berperan dalam kehidupan seseorang.
Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat
dilihat dari sejauh mana penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi.
Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian
yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat
dengan kita. Taraf kedekatan hubungan seseorang dapat dilihat dari sini. Dalam
perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa
penjabaran sebagai berikut (Em Griffin, 2006: 115-116):
Pertama, kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada
lapisan terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang
hal-hal yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain, daripada
membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin
ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita
hadapi juga akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin
mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit
pula.
Kedua, keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik),
terutama pada tahap awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal
suatu hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka
diri, dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Akan tetapi semakin dalam atau
semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, biasanya keterbukaan tersebut
39
semakin berjalan lambat, tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka, dan
juga semakin tidak bersifat timbal balik.
Ketiga, penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang
ketika semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah
“langsung akrab”. Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu proses yang
panjang. Dan biasanya banyak dalam hubungan interpersonal yang mudah runtuh
sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya akan ada banyak faktor
yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah
goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya
hubungan tersebut akan lebih stabil, lebih bermakna, dan lebih bertahan lama.
Keempat, depenetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin
memudar. Maksudnya adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka
keduanya akan berusaha semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat
eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya
bertahap, dan semakin memudar.
2.5.3 Tahapan Proses Penetrasi Sosial
Teori pertama dari Altman dan Taylor ini disusun berdasarkan suatu
gagasan yang sangat populer dalam tradisi sosiopsikologi yaitu ide bahwa
manusia membuat keputusan didasarkan atas prinsip “biaya” (cost) dan “imbalan”
(reward). Menurut Altman dan Taylor orang tidak hanya menilai biaya dan
imbalan suatu hubungan pada saat tertentu saja, tetapi mereka juga menggunakan
segala informasi yang ada untuk memperkirakan biaya dan imbalan pada waktu
yang akan datang.
40
Ketika imbalan yang diterima lambat laun semakin besar sedangkan biaya
semakin berkurang, maka hubungan diantara pasangan individu akan semakin
dekat dan intim dan mereka masing-masing akan lebih banyak memberikan
informasi mengenai diri mereka masing-masing. Altman dan Taylor mengajukan
empat tahap perkembangan hubungan antar-individu yaitu:
a. Tahap Orientasi (Membuka sedikit demi sedikit)
Tahap dimana komunikasi yang terjadi bersifat tidak pribadi (impersonal).
Para individu yang terlibat hanya menyampaikan informasi yang bersifat
sangat umum saja. Selama tahap ini, pernyataan-pernyataan yang dibuat
biasanya hanya hal-hal yang klise dan merefleksikan aspek superfersial dari
seorang individu. Orang biasanya bertindak sesuai dengan cara yang
dianggap baik secara sosial dan berhati-hati untuk tidak melanggar harapan
sosial. Selain itu, individu-individu tersenyum manis dan bertindak sopan
pada tahap orientasi. Altman dan Taylor (1987) menyatakan bahwa orang
cenderung tidak mengevaluasi atau mengkritik selama tahap orientasi.
Perilaku ini akan dipersepsikan sebagai ketidakwajaran oleh orang lain dan
mungkin akan merusak interaksi selanjutnya. Jika evaluasi terjadi,
teoretikus percaya bahwa kondisi itu akan diekspresikan dengan sangat
halus. Selain itu, kedua individu secara aktif menghindari setiap konflik
sehingga mereka mempunyai kesempatan berikutnya untuk menilai diri
mereka masing-masing. Jika pada tahap ini mereka yang terlibat merasa
cukup mendapatkan imbalan dari interaksi awal, maka mereka akan
melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap pertukaran efek eksploratif.
41
b. Tahap Pertukaran Efek Eksploratif (Munculnya diri)
Tahap dimana muncul gerakan menuju ke arah keterbukaan yang lebih
dalam. Tahap ini menyajikan suatu perluasan mengenai banyaknya
komunikasi dalam wilayah di luar publik; aspek-aspek kepribadian yang
dijaga atau ditutupi sekarang mulai dibuka atau secara lebih perinci, rasa
berhati-hati sudah mulai berkurang. Hubungan pada tahap ini umumnya
lebih ramah dan santai, dan jalan menuju ke wilayah lanjutan yang bersifat
akrab dimulai (Budiyatna & Mona G, 2012:228). Tahap ini merupakan
perluasan area publik dari diri dan terjadi ketika aspek-aspek dari
kepribadian seorang individu mulai muncul. Para teoretikus mengamati
bahwa tahap ini setara dengan hubungan yang kita miliki dengan kenalan
dan tetangga yang baik. Seperti tahap-tahap lainnya, tahap ini juga
melibatkan perilaku verbal dan nonverbal.
c. Tahap Pertukaran Afektif (Komitmen dan nyaman)
Tahap munculnya perasaan kritis dan evaluative pada level yang lebih
dalam. Tahap ketiga ini tidak akan dimasuki kecuali para pihak pada tahap
sebelumnya telah menerima imbalan yang cukup berarti dibandingkan
dengan biaya yang dikeluarkan. Tahap ini ditandai oleh persahabatan yang
dekat dan pasangan yang intim. Di sini, perjanjian bersifat interaktif lebih
lancar dan kausal. Interaksi pada lapis luar kepribadian menjadi terbuka, dan
adanya yang meningkat pada lapis menengah kepribadian. Meskipun adanya
rasa kehati-hatian, umumnya terdapat sedikit hambatan untuk penjajakan
secara terbuka mengenai keakraban. Tahap pertukaran afektif
menggambarkan komitmen lanjut kepada individu lainnya, para interaktan
42
merasa nyaman satu dengan lainnya. Tahap ini mencakup nuansa-nuansa
hubungan yang membuatnya menjadi unik; senyum mungkin menggantikan
untuk kata “saya mengerti”, atau pandangan yang menusuk diartikan
sebagai “kita bicarakan ini nanti”. Tahap ini merupakan tahap peralihan ke
tingkat yang paling tinggi mengenai pertukaran keakraban yang mungkin.
d. Tahap Pertukaran Stabil (Kejujuran total dan komitmen)
Adanya keintiman dan pada tahap ini, masing-masing individu
dimungkinkan untuk memperkirakan masing-masing tindakan mereka dan
memberikan tanggapan dengan sangat baik (Morissan, 2014:299). Dalam
tahap ini, pasangan berada dalam tingkat keintiman tinggi dan sinkron,
maksudnya, perilaku-perilaku di antara keduanya kadang kala terjadi
kembali, dan pasangan mampu untuk menilai dan menduga perilaku
pasangannya dengan cukup akurat.
2.5.4 Mengatur Kedekatan Berdasarkan Cost dan Reward
Dalam teori penetrasi sosial, kedalaman suatu hubungan adalah penting.
Tapi, keluasan ternyata juga sama pentingnya. Maksudnya adalah mungkin dalam
beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi kita bisa sangat terbuka kepada
seseorang yang dekat dengan kita. Akan tetapi bukan berarti juga kita dapat
membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya. Mungkin kita bisa terbuka dalam
urusan asmara, namun kita tidak dapat terbuka dalam urusan pengalaman di masa
lalu. Atau yang lainnya.
Karena hanya ada satu area saja yang terbuka bagi orang lain (misalkan
urusan asmara tadi), maka hal ini menggambarkan situasi di mana hubungan
mungkin bersifat mendalam akan tetapi tidak meluas (depth without breadth).
43
Dan kebalikannya, luas tapi tidak mendalam (breadth without depth) mungkin
ibarat hubungan “halo, apa kabar?”, suatu hubungan yang biasa-biasa saja.
Hubungan yang intim adalah di mana meliputi keduanya, dalam dan juga luas.
Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori
penetrasi sosial ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis).
Setelah perkenalan dengan seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor
untung-rugi dalam hubungan kita dengan orang tersebut, atau disebut dengan
indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational satisfaction). Begitu juga
yang orang lain tersebut terapkan ketika berhubungan dengan kita. Jika hubungan
tersebut sama-sama menguntungkan maka kemungkinan untuk berlanjut akan
lebih besar, dan proses penetrasi sosial akan terus berkelanjutan.
Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold
Kelley (1952) tentang konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut
mereka dalam konsep pertukaran sosial, sejumlah hal yang penting antara lain
adalah soal relational outcomes, relational satisfaction, dan relational stability.
Thibaut dan Kelley menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan
keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan
orang lain sebelum kita melakukan interaksi. Kita cenderung menghitung untung-
rugi. Jika kita memperkirakan bahwa kita akan banyak mendapatkan keuntungan
jika kita berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita lebih mungkin untuk
membina relasi lebih lanjut.
Dalam masa-masa awal hubungan kita dengan seseorang biasanya kita
melihat penampilan fisik atau tampilan luar dari orang tersebut, kesamaan latar
44
belakang, dan banyaknya kesamaan atau kesamaan terhadap hal-hal yang disukai
atau disenangi. Dan hal ini biasanya juga dianggap sebagai suatu “keuntungan”.
Akan tetapi dalam suatu hubungan yang sudah sangat akrab seringkali kita bahkan
sudah tidak mempermasalahkan mengenai beberapa perbedaan di antara kedua
belah pihak, dan kita cenderung menghargai masing-masing perbedaan tersebut.
Karena kalau kita sudah melihat bahwa ada banyak keuntungan yang kita
dapatkan daripada kerugian dalam suatu hubungan, maka kita biasanya ingin
mengetahui lebih banyak tentang diri orang tersebut.
Menurut teori pertukaran sosial, kita sebenarnya kesulitan dalam
menentukan atau memprediksi keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam
suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Karena secara psikologis apa yang
dianggap sebagai “keuntungan” tadi berbeda-beda tiap-tiap orang. Teori
pertukaran sosial mengajukan dua standar umum tentang apa-apa yang dijadikan
perbandingan atau tolok ukur dalam mengevaluasi suatu hubungan interpersonal.
2.6 Kerangka Berfikir
Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti bagaimana membangun
keterbukaan diri antara perawat dan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
dan lanjut usia (lansia). Bagaimana perawat berkomunikasi secara interpersonal
dan lanjut usia (lansia) tersebut dalam proses interaksi ataupun beradaptasi,
dinama perawat akan menjadi objek utama dalam penelitian ini, yang akan diteliti
mulai dari proses awal berinteraksi ataupun beradaptasi, saat melakukan aktivitas
di dalam Panti Sosial atau kegiatan lain di luar Panti Sosial. Proses interaksi yang
yang terjadinya antara perawat dan lansia untuk menggambarkan suatu pola
pengembangan hubungan dari komunikasi yang superfisial menuju ke komunikasi
45
yang lebih intim, hingga ada atau tidaknya hambatan dalam proses komunikasi
dan bagaimana perawat menyelesaikan hambatan tersebut.
Proses komunikasi yang berlangsung di dalam Panti Sosial antara perawat
dan lanjut usia (lansia), memiliki faktor-faktor yang akan menjadi hambatan dan
akan menggangu proses komunikasi. Penyampaian pesan yang dilakukan juga
melalui komunikasi verbal dan non verbal. Salah satu faktornya yang dapat
menghambat proses komunikasi adalah faktor psikologis dari lanjut usia (lansia)
yang menjadi komunikan. Lanjut usia (lansia) memiliki motivasi, minat atau
emosi yang berbeda-beda, maka penyampaian pesannya pun berbeda-beda. Selain
itu faktor biologis juga dapat mempengaruhi proses komunikasi, karena tingkat
gangguan yang dialami lanjut usia (lansia) pun berbeda-beda.
Dari beberapa faktor di atas dapat menjadikan pertimbangan bagi seorang
perawat dalam menjalin komunikasi, agar tetap terjalin interaksi dengan lanjut
usia (lansia). Proses komunikasi yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan
komunikasi yang efisien dalam melakukan interaksi melalui beberapa tahap pada
teori penetrasi sosial menurut Altman & Taiylor, seperti tahap orientasi, tahap
penjajakan pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran stabil
sehingga dapat membangun dan mengembangkan hubungan interpersonal melalui
teori penetrasi sosial.
46
Gambar 2.1
Kerangka Berfikir
Tahap Pertukaran
Afektif
Pertukaran Stabil Tahap Pertukaran
Efek Eksploratif
Pola Keterbukaan diri Antara
Perawat dan Lansia
Tahap Orientasi
Komunikasi Interpersonal antara Perawat dengan
Lansia
Teori Penetrasi Sosial
(Altman & Taylor)
47
2.7 Tinjauan Penelitian
Sebagai rujukan dari penelitian terkait tentang tema yang diteliti, peneliti
berusaha mencari referensi hasil penelitian yang dikaji oleh peneliti-peneliti
terdahulu sehingga dapat membantu peneliti dalam mengkaji tema yang diteliti.
Adapun berikut ini tinjauan penelitian yang diperoleh:
2.7.1 Triesty Aprilia (2016). Pola Komunikasi Terapeutik Dokter terhadap
Pasien Rawat Inap dalam Proses Penyembuhan (Studi Deskriptif Kualitatif
Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dokter dan Pasien di Rumah Sakit
Krakatau Medika).
Komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara dokter
dengan pasien yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan kepada pasien. Rumah Sakit Krakatau Medika memiliki fasilitas
penunjang yang cukup lengkap. Karena itu, Rumah Sakit Krakatau Medika
menjadi rumah sakit pilihan warga Cilegon. Adapun tujuan penelitiannya adalah
untuk menguraikan bagaimana komunikasi terapeutik dokter dan pasien, interaksi
verbal dan non verbal dalam proses penyembuhan, dan bagaimana upaya dokter
untuk mengatasi hambatan di ruang inap. Penelitian ini menggunakan teori
atribusi serta menggunakan metode penulisan kualitatif deskriptif untuk
menjabarkan hasil penelitian. Hasil penelitiannya adalah komunikasi terapeutik
dapat dilakukan oleh dokter secara profesional dan sabar dengan faktor
kepercayaan dan keterbukaan mengenai riwayat penyakit pasien menjadi hal yang
sangat penting. Penggunaan bahasa lebih selektif terhadap permasalahan yang
sensitif serta mempertahankan kontak mata dengan pasien. Adapun faktor
penghambat penelitiannya adalah perbedaan latar belakang pendidikan antara
48
dokter dan pasien. Kondisi pasien yang tidak fit pun mengurangi tingkat fokus
pada ucapan dokter. 1
2.7.2 Dita Putriana(2016). Pola Komunikasi Pengasuh dengan Lanjut Usia di
Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Natar, Lampung Selatan.
Berkomunikasi merupakan hal yang penting yang terjadi di kehidupan dan
dilakukan oleh semua orang tidak terkecuali komunikasi yang dilakukan oleh
pengasuh dengan lansia di dalam suatu Unit Pelayanan Lanjut Usia Tresna
Werdha Natar. Komunikasi yang dilakukan oleh pengasuh terhadap lansianya
merupakan hal yang diteliti untuk mendapatkan pola komunikasi apa yang
dihasilkan. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui data
observasi dan wawancara kemudian penulis tuangkan kedalam tulisan. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori Self-Disclosure (teori keterbukaan
diri). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengasuh membuat para lanjut usia
terbuka atas apa yang dirasakan dalam kesehariannya mengenai kegiatan yang
mereka lakukan. Hasil penelitian menunjukkan jika Pola Komunikasi Sirkular
merupakan pola komunikasi yang paling efektif digunakan diantara mereka untuk
melakukan komunikasi.2
2.7.3 Ayip Iqbal Waladi (2014). Pola Komunikasi Antarpribadi Guru
Sekolah Khusus Negeri (SKhN) 01 Kota Serang dengan Murid Penderita
Tunagrahita dalam Proses Belajar Mengajar di Kelas.
Komunikasi merupakan salah satu proses sosial yang sangat mendasar
dalam kehidupan manusia. Namun dalam kegiatan komunikasi terkadang
1Triesty, Aprilia.2016. Pola Komunikasi Terapeutik Dokter terhadap Pasien Rawat Inap dalam
Proses Penyembuhan. Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2Dita, Putriana .2016. Pola Komunikasi Pengasuh dengan Lanjut Usia di Pelayanan Sosial Lanjut
Usia Tresna Werdha Natar, Lampung Selatan. Bandar Lampung: Universitas Lampung
49
menemukan hambatan dalam proses penyampaian pesan, pengiriman pesan
sampai pemahaman pesan. Khususnya berkomunikasi dengan anak penyandang
tunagrahita sangat dibutuhkan kemampuan khusus seorang guru tentang
bagaimana mengajar dan memberikan instruksi dalam upaya memberikan
pengetahuan sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Salah satunya dengan
menerapkan komunikasi antarpribadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui tahap interaksi awal antara guru kepada murid tunagrahita,
mengetahui keterlibatan dan keakraban dan mengetahui pemutusan dalam
hubungan antarpribadi guru dengan murid tunagrahita dalam proses belajar
mengajar di kelas yang diterapkan oleh guru-guru di Sekolah Khusus Negeri
(SKhN) 01 Kota Serang. Teori yang digunakan adalah model hubungan lima
tahap deVito. Metode penelitiannya yaitu metode deskriptif kualitatif dengan
menggunakan key informan sebagai narasumber peneliti. Hasil penelitiannya
adalah hubungan lima tahap deVito yakni dari mulai kontak awal sampai
pemutusan hubungan berlaku dan sesuai dengan pola komunikasi antarpribadi
guru dengan murid tunagrahita dalam proses belajar mengajar di kelas.3
3Ayip, Iqbal W. 2014. Pola Komunikasi Antarpribadi Guru Sekolah Khusus Negeri (SKhN) 01
Kota Serang dengan Murid Penderita Tunagrahita dalam Proses Belajar Mengajar di
Kelas.Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
50
Tabel 2.1
Tabel Tinjauan Penelitian
Nama Tujuan Penelitian Teori Metode
Penelitian Hasil Penelitian
Triesty Aprilia
(2016)
Pola Komunikasi
Terapeutik Dokter
terhadap Pasien
Rawat Inap dalam
Proses
Penyembuhan
(Studi Deskriptif
Kualitatif Aktivitas
Komunikasi
Interpersonal
Dokter dan Pasien
di Rumah Sakit
Krakatau Medika)
Untuk menguraikan
bagaimana
komunikasi terapeutik
dokter dan pasien,
interaksi verbal dan
non verbal dalam
proses penyembuhan,
dan bagaimana upaya
dokter untuk
mengatasi hambatan
di ruang inap.
Teori
Atribusi
Kualitatif,
deskriptif
Hasil dari penelitian ini
adalah komunikasi
terapeutik dapat dilakukan
oleh dokter secara
profesional dan sabar
dengan faktor kepercayaan
dan keterbukaan mengenai
riwayat penyakit pasien
menjadi hal yang sangat
penting. Penggunaan bahasa
lebih selektif terhadap
permasalahan yang sensitif
serta mempertahankan
kontak mata dengan pasien.
Dita Putriana
(2016)
Pola Komunikasi
Pengasuh dengan
Lanjut Usia di
Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Tresna
Werdha Natar,
Lampung Selatan
Untuk mendapatkan
pola komunikasi apa
yang dihasilkan
Teori
Pengungkapa
n Diri (Self-
Discluosure
Theory)
Kualitatif,
deskriptif
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
pengasuh membuat para
lanjut usia terbuka atas apa
yang dirasakan dalam
kesehariannya mengenai
kegiatan yang mereka
lakukan dan pola
komunikasi sirkular
merupakan pola komunikasi
yang paling efektif
51
digunakan diantara mereka
untuk melakukan
komunikasi.
Ayip Iqbal Waladi
(2014)
Pola Komunikasi
Antarpribadi Guru
Sekolah Khusus
Negeri (SKhN) 01
Kota Serang
dengan Murid
Penderita
Tunagrahita dalam
Proses Belajar
Mengajar di Kelas.
Untuk mengetahui
tahap interaksi awal
antara guru kepada
murid tunagrahita,
mengetahui
keterlibatan dan
keakraban dan
mengetahui
pemutusan dalam
hubungan antarpribadi
guru dengan murid
tunagrahita dalam
proses belajar
mengajar di kelas
yang diterapkan oleh
guru-guru di Sekolah
Khusus Negeri
(SKhN) 01 Kota
Serang.
Model
Hubungan
Lima Tahap
(DeVito)
Kualitatif,
deskriptif
Hasil penelitian bahwa
hubungan lima tahap deVito
yakni dari mulai kontak
awal sampai pemutusan
hubungan berlaku dan
sesuai dengan pola
komunikasi antarpribadi
guru dengan murid
tunagrahita dalam proses
belajar mengajar di kelas.
52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Seperti penelitian pada umumnya, penelitian dilakukan untuk mengetahui
kebenaran dan menemukan fakta. Ketika seseorang melakukan penelitian, secara
sadar atau tidak memiliki perspektif atau cara pandang dalam memandang hal atau
peristiwa tertentu. Cara pandang peneliti merupakan satu perangkat kepercayaan
yang sudah terbentuk dalam diri peneliti yang didasarkan atas asumsi-asumsi
tertentu yang dinamakan paradigma. Paradigma penelitian menurut Guba dan
Lincoln merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang
peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti memahami suatu
masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah
penelitian (Moleong, 2004: 48).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma interpretif.
Paradigma interpretif berpandangan bahwa realitas sosial secara sadar dan secara
aktif dibangun sendiri oleh individu, setiap individu mempunyai potensi memberi
makna tentang apa yang dilakukan. Realitas itu ada dalam bentuk bermacam-
macam konstruksimental, berdasarkan pengalaman sosial bersifat lokal dan
spesifik serta tergantung pada orang yang melakukannya. Menurut Burel dan
Morgan (1979: 28), inti dari paradigma interpretif adalah memahami fundamental
dari dunia sosial pada tingkat pengamatan sosial dan tingkat subjektif seseorang
yang bersifat nominalis, antipositivis, voluntarisme denideografis.
53
Maka dalam penelitian ini, peneliti harus mampu menguraikan data yang
diperoleh melalui kegiatan observasi dengan memahami setiap bentuk kegiatan
perawat dan lanjut usia (lansia) pada proses interaksi dan beradaptasi di dalam
panti sosial.
3.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dalam
kasus ini adalah sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif
mengenai kata-kata lisan maupun tertulis dan tingkah laku yang diamati.
Penelitian deskriptif ditujukan untuk: (1) mengumpulkan informasi aktual
secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengidentifikasi masalah atau
pemeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan
dan evaluasi, (4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi
masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan
rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
Dalam uraian di atas, maka penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif ini bertujuan untuk memaparkan dan mendeskriptifkan masalah-masalah
yang ada secara terperinci dalam mengumpulkan informasi mengenai bagaimana
pola keterbukaan diri antara perawat dan lanjut usia di Panti Sosial.
3.3 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pendekatan kualitatif
dimana peneliti hanya melakukan pemaparan situasi atau kondisi dan tidak
54
mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat
prediksi.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen)
dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Obyek dalam
penelitian kualitatif adalah obyek yang alamiah, atau natural setting, sehingga
metode penelitian ini sering disebut sebagai metode naturalistik. Dalam penelitian
kualitatif, peneliti menjadi instrumen. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif
instrumennya adalah orang atau human instrument. Untuk dapat menjadi
instrumen, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga
mampu bertanya, menganalisis, memotret, dan mengkonstruksi obyek yang
diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna (Sugiyono, 2008: 1-2).
3.4 Subjek Penelitian
Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling,
teknik yang mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar riset kriteria-kriteria
tertentu yang dibuat periset berdasarkan tujuan riset (Krisyantono, 2006: 156)..
Subjek penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumber data yang
berkaitan dengan sumber informasi yang menjadi fokus penelitian. Subjek
penelitian yang diteliti dalam penelitian ini adalah Perawat dan Lansia di Panti
Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Peneliti memilih perawat dan
lansia yang dijadikan subjek inti dalam penelitian ini dengan kriteria sebagai
berikut: (a) perawat yang telah bekerja di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
55
lebih dari satu tahun; (b) perawat perempuan satu orang dan laki-laki satu orang;
(c) umur perawat antara 25 hingga 45 tahun; (d) umur lansia berkisar 65 hingga
78 tahun; (e) lansia yang tinggal di wisma tempat perawat bekerja.
3.5 Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan masalah yang diteliti. Objek dari penelitian ini
adalah pola keterbukaan diri antara perawat pada lanjut usia. Menurut Husein
Umar (2005: 303), bahwa objek penelitian adalah sebagai berikut: “Objek
penelitian menjelaskan tentang apa dan atau siapa yang menjadi objek penelitian,
dan juga dimana dan kapan penelitian dilakukan, biasa juga ditambahkan dengan
hal-hal lain jika dianggap perlu”.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data akan mempengaruhi kualitas dari data hasil
penelitian. Kualitas pengumpulan data berkenaan dengan ketepatan cara-cara yang
digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dapat dilakukan
dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara (Sugiyono, 2012:137).
Untuk mendapatkan informasi atau data yang peneliti inginkan, maka dalam
teknik pengumpulan data ini penelitian menggunakan teknik yang dilakukan,
yakni observasi, wawancara dan dokumentasi.
a. Observasi
Observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan
peneliti untuk mendapatkan data. Pada Penelitian kali ini peneliti
mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan secara langsung
terhadap objek yang diteliti. Peneliti menggunakan teknik observasi
berpartisipasi. Metode ini memungkinkan peneliti terjun langsung dan
56
menjadi bagian yang diteliti bahkan hidup bersama-sama di tengah individu
atau kelompok yang diobservasi dalam jangka waktu tertentu (Rachmat
Kriyantono, 2009: 110). Observasi dilakukan di Panti Sosial Sasana Tresna
Cipocok Jaya Serang.
b. Wawancara
Wawancara menurut Lexy Moleong (2013:135), mengatakan bahwa
percakapan dengan maksud tertentu. Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode wawancara, sedangkan alat bantu yang akan
digunakan adalah alat perekam berupa voice recorder, perekam gambar
(handycam). Wawancara adalah percakapan dengan maksud dan tujuan
tertentu dimana percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak
pewawancara (interviewer) yang mengajukan perrtanyaan dan pihak yang di
wawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang
diberikan.
Pada proses wawancara ini pertanyaan yang diberikan tidak berstruktur, dan
dalam suasana bebas yang santai maksudnya adalah menghilangkan kesan
formal dengan menyesuaikan keadaan yang lebih kekeluargaan. Maksud
mengadakan wawancara adalah untuk mengkonstruksi mengenaiseseorang,
kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan
sebagainya. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada
penanggung jawab Panti Sosial, perawat dan lanjut usia (lansia) di Balai
Perlindungan Sosial, Dinas Sosial Provinsi Banten tepatnya di Panti Sosial
Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.
57
c. Dokumentasi
Dokumentasi sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data
yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.
Dokumentasi menjadi salah satu teknik pengumpulan data yang penting.
Disini peneliti melakukan dokumentasi saat studi lapangan di Panti Sosial
Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.
3.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
interaktif. Model ini ada 4 komponen analisis, yaitu: pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Menurut Moleong (2004:280-
281), “Analisis data adalah proses menyusun dan mengurutkan data kedalam pola,
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan tempat yang
sesuai dengan hasil sementara dari data”.
Menurut Miles dan Huberman (1992:15-19) menuturkan langkah analisis
data adalah sebagai berikut (dalam Anis Fuad dan Kandung S Nugroho, 2013:92):
Pertama, pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data di lokasi penelitian
dengan melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi dengan menentukan
strategi pengumpulan data yang dipandang tepat dan untuk menentukan fokus
serta pendalaman data pada proses pengumpulan data berikutnya. Kedua, reduksi
data, yaitu sebagai proses seleksi, pemfokusan, pengabstrakan, transformasi data
kasar yang ada dilapangan langsung dan diteruskan pada waktu pengumpulan
data, dengan demikian reduksi data dimulai sejak peneliti memfokuskan wilayah
penelitian.
58
Ketiga, penyajian data, yaitu rangkaian penyusunan informasi yang
memungkinkan penelitian dilakukan. Penyajian data diperoleh berbagai jenis,
jaringan kerja, keterkaitan kegiatan atau tabel. Keempat, penarikan kesimpulan,
yaitu dalam pengumpulan data, peneliti harus mengerti dan tanggap terhadap
sesuatu yang diteliti langsung di lapangan dengan menyusun pola-pola
pengarahan dan sebab-akibat.
3.8 Metode Keabsahan Data
Metode keabsahan data diperlukan untuk menilai kesahihan (validitas) data
dalam penelitian kualitatif. Triangulasi data merupakan teknik pemeriksaan
keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk
keperluan pengecekan data atau sebagai perbandingan terhadap data itu.
Menurut Sugiyono (2006:267), Validitas merupakan “derajat ketetapan
antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan
oleh peneliti”. Ada tiga macam triangulasi, yang pertama, triangulasi sumber data
yang berupa informasi dari tempat, peristiwa dan dokumen yang memuat catatan
berkaitan dengan data yang dimaksud. Kedua, triangulasi teknik atau metode
pengumpulan data yang berasal dari wawancara, observasi dan dokumen. Ketiga,
triangulasi waktu pengumpulan data merupakan kapan dilaksanakannya
triangulasi teknik atau metode pengumpulan data.
Berdasarkan pemaparan di atas penelitian ini menggunakan dua macam
triangulasi, pertama tiangulasi sumber data yang berupa observasi dan wawancara
dengan narasumber secara langsung dan dokumen yang berisi catatan terkait
dengan data yang diperlukan oleh peneliti.
59
3.9 Lokasi dan Jadwal Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Balai Perlindungan Sosial Dinas Sosial
Provinsi Banten tepatnya di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya
Serang.Adapun jadwal penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Tabel Jadwal Penelitian
Kegiatan
Bulan
April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov
De
s
Acc judul
Pra Observasi
Penyusunan Bab I
Penyusunan Bab II
Penyusunan Bab III
Sidang Outline
Observasi
Penyusunan Bab IV
Penyusunan Bab V
Sidang Skripsi
60
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Deskripsi objek penelitian adalah penjelasan mengenai objek penelitian
yang meliputi lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi, sejarah berdirinya,
visi dan misi serta hal-hal lain yang berkaitan dengan objek penelitian.
4.1.1 Sejarah Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No. 06/Huk/1979 tentang
kesejahteraan lanjut usia, maka didirikanlah Panti Wreda di Banten, tepatnya pada
28 Februari 1979. Panti tersebut dinamakan Sasana Tresna Wreda (STW). Karena
lokasinya di Kelurahan Cipocok Jaya Kabupaten Serang, masyarakat lebih
mengenalnya sebagai panti wreda Cipocok Jaya. Pada tahun 1994, berganti nama
kembali menjadi Panti Sosial Tresna Wreda (PSTW) Cipocok Jaya Serang.
Pergantian nama tersebut dikuatkan dalam Surat Keputusan Menteri Sosial RI No.
14 tahun 1994 tanggal 23 April 1994.
Delapan tahun kemudian, seiring dengan diberlakukannya Otonomi Daerah
dan dimekarkannya Banten menjadi provinsi tersendiri, maka status Panti Sosial
Tresna Wreda (PSTW) Cipocok Jaya Serang juga berganti nomenklatur menjadi
'Balai Perlindungan Sosial'. Dari segi struktur, Balai Perlindungan Sosial Provinsi
Banten merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Sosial Provinsi
Banten yang memiliki tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan dan
perlindungan sosial kepada lanjut usia (lansia) terlantar, balita terlantar, Wanita
Korban Tindak Kekerasan (WKTK), dan tuna grahita. Penetapan ini diatur dalam
61
Surat Keputusan Gubernur Banten No. 40 Tahun 2002 tanggal 13 Desember
2002.
Tahun 2008, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja mengalami perubahan susunan
organisasi dan tata kerja sehingga menjadi Dinas Sosial sesuai dengan Peraturan
Daerah Nomor 3 tahun 2008. Namun begitu posisi Balai Perlindungan Sosial
(BPS) tetap tidak berubah.
Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten adalah salah satu alternatif dari
sekian banyak lembaga pemerintah atau swasta yang memberikan pelayanan
sosial kepada para penyandang masalah kesejahteraan sosial khususnya Lanjut
Usia terlantar, Wanita Korban Tindak Kekerasan (WKTK), Tuna Grahita dan
balita terlantar.
Tugas dan fungsi Balai Perlindungan Sosial merujuk pada tugas dan fungsi
panti sosial pada Departemen Sosial RI tahun 1998, yaitu :
1. Sebagai Pusat Pelayanan dan Kesejahteraan Sosial
Menggugah, meningkatkan dan mengembangkan kesadaran sosial, tanggung jawab sosial, prakarsa, dan peran serta perorangan, kelompok
dan masyarakat.
Memberikan pelayanan dan perlindungan kepada Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban Tindak Kekerasan, Balita Terlantar dan Tuna Grahita.
Penyantunan dan penyediaan bantuan sosial.
Mengadakan bimbingan lanjut.
2. Sebagai Pusat Informasi Masalah Kesejahteraan Sosial
Menyiapkan dan menyebarluaskan informasi tentang data penyadang masalah kesejahteraan sosial dan teknis penanganannya.
Menyelenggarakan konsultasi pelayanan sosial bagi masyarakat.
3. Sebagai Pusat Pengembangan Kesejahteraan Sosial.
Mengembangkan kebijaksanaan dan perencanaan sosial.
Mengembangkan metode pelayanan sosial.
62
4. Fungsi Pendidikan dan Pelatihan kepada klien secara langsung dalam
meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial (Menurut Tim
Peneliti Depsos RI tahun 2003).
Tugas Pokok dan Fungsi Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
Berdasarkan Keputusan Gubernur Banten No. 40 tahun 2002 tentang
pembentukan, susunan organisasi, dan tata kerja Balai Perlindungan Sosial
Provinsi Banten.
A. Tugas Pokok
Melaksanakan sebagian kewenangan Dinas di bidang desentralisasi,
dekosentrasi, dan tugas pembantuan yang berkaitan dengan urusan
pelayanan dan perlindungan sosial.
B. Fungsi
Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Balai Perlindungan Sosial Provinsi
Banten mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Pengelolaan di bidang pelayanan sosial.
2. Pengelolaan di bidang perawatan.
3. Pengelolaan di bidang pelatihan dan keterampilan.
4.1.2 Visi dan Misi Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
VISI : Kesejahteraan Sosial bagi Penyangdang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS).
MISI :
1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya aparatur.
2. Meningkatkan akses penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam
memperoleh pelayanan sosial melalui rehabilitasi sosial, pemberdayaan
sosial, perlindungan sosial dan jaminan sosial.
63
3. Mengembangkan prakarsa, peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Visi dan misi tersebut diturunkan dalam program dan kegiatan yang
mengacu pada maksud dan tujuan Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah yang menangani permasalahan sosial
Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban Tindak Kekerasan, Tuna Grahita, dan Balita
terlantar yaitu :
"Memberikan perlindungan dan pelayanan dalam suatu
penampungan guna terselenggaranya proses rehabilitasi fisik, mental, dan
sosial serta bimbingan keterampilan".
Adapun tujuan secara spesifik diantaranya :
1. Terlindungi dan terawatnya para Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban
Tindak Kekerasan (WKTK), Tuna Grahita dan Balita terlantar.
2. Meminimalisasi permasalahan kesejahteraan sosial yang ada di
masyarakat.
3. Pemenuhan kebutuhan dasar dalam rangka perubahan sikap dan perilaku
para penyandang masalah kesejahteraan sosial.
4. Pemulihan kemauan, kemampuan dan harga diri penyandang masalah
kesejahteraan sosial sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam
kehidupan bermasyarakat.
5. Menumbuhkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang keadaan,
permasalahan, dan kebutuhan Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban
Tindak Kekerasan (WKTK), Tuna Grahita, dan Balita terlantar sehingga
64
masyarakat dapat mendukung dan berpartisipasi dalam kegiatan usaha
kesejahteraan sosial.
4.1.3 Struktur Organisasi
Struktur organisasi di Balai Perlindungan Provinsi Banten terbagi dalam
beberapa divisi pelayanan yaitu:
1. Kepala Balai
2. Kepala Sub Bagian Tata Usaha
3. Kepala Seksi Penerimaan dan Penyaluran
4. Kepala Seksi Pelayanan dan Perawatan
5. Pelaksana (kantor/lapangan).
Dan dari segi struktur, Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
merupakan UPTD dari Dinas Sosial Provinsi Banten yang memiliki hak otonom
mengelola Balai secara optimal melalui sejumlah program peningkatan kapasitas
diantaranya program Peningkatan Sarana, Prasarana Perkantoran dan Kapasitas
Aparatur dan Program Rehabilitasi Sosial.
65
Gambar 4.1
Bagan Struktur Organisasi Balai Perlindungan Sosial
Dinas Sosial Provinsi Banten
Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang
66
4.1.4 Program Kegiatan Penghuni Panti
Adapun program kegiatan di Panti Jompo Hargodedali adalah sebagai
berikut:
a. Pendekatan awal, meliputi orientasi dan konsultasi, seleksi,
identifikasi/registrasi, motivasi, diagnosa masalah, penempatan klien pada
program pelayanan.
b. Bimbingan fisik meliputi pelayanan kesehatan/olahraga, pemberian
makanan bergizi, pengasramaan, gotong royong.
c. Bimbingan sosial, meliputi bimbingan peran, bimbingan relasi/etika sosial,
pembinaan disiplin.
d. Bimbingan mental, meliputi bimbingan mental spiritual, bimbingan mental
psikologi, bimbingan tentang kebersihan.
e. Bimbingan keterampilan. Bagi pasien potensial diberikan binaan, seperti
membuat kerajinan keset kaki, tas, sendal, bunga dan lain-lain.
f. Resosialisasi dan perawatan kematian, meliputi penyiapan keluarga dan
masyarakat untuk dapat menerima kembali klien yang potensial dan
memberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat, memberikan perawatan yang layak bagi klien yang meninggal
dunia.
4.1.5 Sasaran dan Kriteria
Setiap warga negara pria dan wanita yang berusia mencapai 60 tahun ke
atas, baik potensial maupun tidak potensial yang oleh karena sesuatu sebab
mengalami hambatan fisik, psikologis dan sosialnya. Kriterianya adalah sebagai
berikut:
a. Usia 60 tahun ke atas;
b. Tidak mempunyai penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok,
meliputi sandang, pangan, dan kesehatan yang layak;
c. Tidak ada keluarga, sanak saudara, dan atau orang lain yang mau dan
mampu mengurus;
d. Tidak mempunyai penyakit menular;
e. Mampu mengurus diri sendiri.
Adapun data klien lansia Panti Sosial Sasana Tresna Cipocok Jaya Serang
sebagai berikut:
67
Tabel 4.1
Tabel Data Klien Lansia
No Nama L/
P Usia Alamat
1. JUNARIAH P 74 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
2. MASITI P 77 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
3. KAWILAH P 87 Th Ds. Sukalaba Kec. Gunungsari Kab. Serang.
4. KAMBRAH P 79 Th Kel. Lontar Kec. Serang Kota Serang.
5. TUMINEM P 74 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
6. DEWI P 81 Th Ds. Ranjeng Kec. Ciruas Kab. Serang.
7. MISJAYA L 79 Th Ds. Batukuwung Kec. Padarincang Kab. Serang.
8. FATMAWATI P 74 Th Kel. Sumur Pecung Kec. Serang Kota Serang.
9. HAMZAH L 85 Th Desa/Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang.
10. SANAH P 77 Th Desa Pringwulung Kec. Pamarayan Kab. Serang.
11. KASMERI P 78 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
12. SARIKAH P 79 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
13. SUTINAH P 77 Th Kel. Sukawana Kec./Kota Serang.
14. A. HOW P 68 Th Kel. Kota Baru Kec./Kota Serang.
15. SOFI P 71 Th Kp. Kalang Anyer Kec. Cibeber Kota Cilegon.
16. IAH HASANAH P 74 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
17. MURNI P 76 Th Kp. Sayabulu Kota Serang.
18. RAHARJO L 72 Th Taman Adiyasa Blok C No. 32 Kab. Tangerang.
19. IYAN L 73 Th Ling. Ciwaru Rt. 01/08 Kel Banjaragung
Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
20. SOFIAN L 76 Th Kepandaian Kota Serang.
21. ANIYAH P 74 Th Kp. Cipocok Jaya Rt. 01/01, Kec. Cipocok Kota