1 ABSTRAK Wa Ode Rosmia, 2014. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) dalam Meningkatkan Hasil belajar PKn pada materi Pemerintahan Desa/Kelurahan dan Kecamatan Siswa Kelas IV SDN 10 Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna Kata Kunci: Meningkatkan Hasil Belajar PKn, Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT). Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dapat me-ningkatkan hasil belajar PKn materi pokok Struktur Pemerintahan Desa/Kelurahan dan Kecamatan pada siswa kelas IV SDN 10 Lohia Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna? Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar PKn materi pokok Struktur Pemerintahan Desa/Kelurahan dan Kecamatan pada siswa kelas IV SDN 10 Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna melalui model pembelajaran koperatif tipe Numbered Heads Together (NHT). Prosedur dalam penelitian ini melaputi, (a) tahap perencanaan (planing), (b) pelak- sanaan tindakan (action), (c) observasi dan evaluasi (observation and evaluation) dan (d) refleksi (reflection). Penelitian ini dilaksanakan sebanyak dua siklus dan setiap siklus dua kali pertemuan. Data dalam peelitian ini terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh melalui observasi dengan menggunakan lembar observasi, sedangkan data kuantitatif diperoleh melalui hasil tes pada setiap sisklus tindakan. Data kualitatif dimaksudkan untuk melihat proses pelaksanaan pembelajaran PKn ketika guru menggunakan model pembelajaran koperatif tipe Numbered Heads Together (NHT). sedangkan data kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui pe-ningkatan hasil belajar PKn siswa kelas IV SDN 10 Lohia Kabupaten Muna ketika guru menggunakan model pembelajaran koperatif tipe Numbered Heads Together (NHT).. Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar PKn siswa kelas IV SDN 10 Lohia Kabupaten Muna. Hal ini terlihat dari ketika guru masih mengajar secara konvensional pada materi pokok Pemerintahan Desa/Kelurahan dan Kecamatan pada siswa kelas IV SDN 10 Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna tahun pelajaran 2013/2014 dari 13 siswa ada 7 siswa atau 53% berada dibawah KKM. Ketika guru menggunakan model pembelajaran koperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) pada siklus I dari 20 siswa terdapat 13 siswa atau 65% mencapai KKM, dan pada siklus II dari 20 siswa meningkat menjadi 17 siswa atau 85% mencapai KKM yang diteapkan yaitu 70 (tujuh puluh)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
ABSTRAK
Wa Ode Rosmia, 2014. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Numbered Heads Together (NHT) dalam Meningkatkan Hasil belajar PKn
pada materi Pemerintahan Desa/Kelurahan dan Kecamatan Siswa Kelas IV
SDN 10 Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna
Kata Kunci: Meningkatkan Hasil Belajar PKn, Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Numbered Heads Together (NHT).
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dapat me-ningkatkan
hasil belajar PKn materi pokok Struktur Pemerintahan Desa/Kelurahan dan
Kecamatan pada siswa kelas IV SDN 10 Lohia Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten
Muna? Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar PKn materi pokok
Struktur Pemerintahan Desa/Kelurahan dan Kecamatan pada siswa kelas IV SDN 10
Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna melalui model pembelajaran koperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT).
Prosedur dalam penelitian ini melaputi, (a) tahap perencanaan (planing), (b) pelak-
sanaan tindakan (action), (c) observasi dan evaluasi (observation and evaluation) dan
(d) refleksi (reflection). Penelitian ini dilaksanakan sebanyak dua siklus dan setiap
siklus dua kali pertemuan.
Data dalam peelitian ini terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif
diperoleh melalui observasi dengan menggunakan lembar observasi, sedangkan data
kuantitatif diperoleh melalui hasil tes pada setiap sisklus tindakan. Data kualitatif
dimaksudkan untuk melihat proses pelaksanaan pembelajaran PKn ketika guru
menggunakan model pembelajaran koperatif tipe Numbered Heads Together (NHT).
sedangkan data kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui pe-ningkatan hasil belajar
PKn siswa kelas IV SDN 10 Lohia Kabupaten Muna ketika guru menggunakan
model pembelajaran koperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)..
Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar PKn siswa
kelas IV SDN 10 Lohia Kabupaten Muna. Hal ini terlihat dari ketika guru masih
mengajar secara konvensional pada materi pokok Pemerintahan Desa/Kelurahan dan
Kecamatan pada siswa kelas IV SDN 10 Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna
tahun pelajaran 2013/2014 dari 13 siswa ada 7 siswa atau 53% berada dibawah KKM.
Ketika guru menggunakan model pembelajaran koperatif tipe Numbered Heads
Together (NHT) pada siklus I dari 20 siswa terdapat 13 siswa atau 65% mencapai
KKM, dan pada siklus II dari 20 siswa meningkat menjadi 17 siswa atau 85%
mencapai KKM yang diteapkan yaitu 70 (tujuh puluh)
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guru sebagai komponen penting dari tenaga kependidikan, memiliki tugas
untuk melaksanakan proses pembelajaran. Pembelajaran berarti upaya membela-
jarkan siswa. Guru sebagai tenaga kependidikan merupakan salah faktor penentu
keberhasilan tujuan pendidikan, karena guru yang langsung bersinggungan de-
ngan siswa. Melalui pembelajaran inilah guru membantu proses belajar siswa
melalui serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk
mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa.
Guru merupakan komponen yang sangat menentukan dalam implementasi
proses pembelajaran di dalam kelas sebagai unsur mikro dari suatu keberhasilan
pendidikan. Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran di dalam ke-
las tergantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik, dan
strategi pembelajaran.
Kenyataan yang terjadi di lapangan, banyak ditemui pelaksanaan pembela-
jaran masih kurang variatif, pross pembelajaran memiliki kecenderungan metode
tertentu (konvensional), dan tidak memperhatikan tingkat pemahaman siswa ter-
hadap informasi yang disampaikan. Siswa kurang aktif dalam proses pembelajar-
an, siswa lebih banyak mendengar dan menulis, menyebabkan isi pelajaran seba-
gai hafalan sehingga siswa tidak memahami konsep yang sebenarnya. Saat ini
dunia pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan se-
bagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Jadi, singkatnya masalah yang
dihadapi dalam dunia pendidikan adalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam
proses pembelajaran siswa kurang didorong untuk mengembangkan keterampilan
berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan
siswa untuk menghafal informasi, siswa terbiasa untuk mengingat dan menimbun
3
informasi, tanpa berusaha menghubungkan yang diingat itu dengan kehidupan
sehari-hari. Akibatnya siswa hanya pintar secara teoretis tetapi miskin dalam
aplikasi.
Fenomena seperti yang dikemukakan tersebut di atas terjadi pula dalam proses
pembelajaran PKn pada SDN 10 Lohia Kabupaten Muna. Dari dokumen guru
kelas IV SDN 10 Lohia Kabupaten Muna pada semester genap tahun ajaran
2012/2013 berupa hasil ulangan harian PKn pada materi Pemerintahan
Desa/Kelurahan dan Kecamatan menunjukkan, dari 13 siswa terdapat 7 siswa
atau 53% berada di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan
untuk mata pelajaran PKn yaitu 7.
Menyikapi kondisi tersebut, perlu dilakukan suatu upaya untuk memperbaiki
dan meningkatkan hasil belajar PKn siswa kelas IV SDN 10 Lohia Kabupaten
Muna, dengan menggunakan suatu pendekatan, metode, strategi serta model
pembelajaran yang inovatif yang membuat siswa berpikir secara kritis, kreatif
dan bahkan menyenangkan.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk memperbaiki dan
meningkatkan hasil belajar PKn siswa kelas IV SDN 10 Lohia Kabupaten Muna
adalah melalui model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together
(NHT). Melalui model pembelajaran NHT ini dirancang untuk mempengaruhi
pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisonal. Atas
dasar inilah sehingga peneliti melakukan penelitian tentang Penggunaan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) Dalam
Meningkatkan Hasil Belajar PKn Siswa Kelas IV SDN 10 Lohia Kabupaten
Muna.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti yang dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil
belajar PKn siswa kelas IV SDN 10 Lohia Kabupaten Muna?.
4
B. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian ini
adalah, untuk meningkatkan hasil belajar PKn siswa kelas IV SDN 10 Lohia
Kabupaten Muna melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT).
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat bagi:
1. Siswa
Manfaat penelitian ini bagi siswa adalah dapat menstimuli siswa untuk
berpikir. Karena melalui model pembelajaran NHT siswa akan berpikir baik
secara mandiri maupun kelompok memikirkan jawaban kuis yang diajukan
oleh guru.
2. Guru
Kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran semakin profe-
sional sehingga membuat siswa senang belajar, dan pada akhirnya akan ber-
dampak pada hasil belajar siswa.
3. Sekolah
Manfaat penelitian ini bagi sekolah adalah, kualitas sekolah akan semakin
meningkat, seiring dengan kemampuan guru dalam mengelola proses pembe-
lajaran yang berkualitas, karena dalam proses pembelajaran dikelola oleh guru
yang professional.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Belajar dan Pembelajaran
1. Hakikat Belajar
Belajar merupakan interaksi individu dengan lingkungannya. Lingkungan
dalam hal ini dapat berupa manusia atau obyek-obyek lain yang memungkin-
kan individu memperoleh pengalaman-pengalaman atau pengetahuan, baik
pengetahuan atau pengalaman baru maupun sesuatu yang pernah diperoleh
atau ditemukan sebelumnya akan tetapi menimbulkan perhatian kembali bagi
individu tersebut sehingga memungkinkan terjadinya interaksi .
Adanya interaksi individu dengan lingkungan ini mendorong seseorang un-
tuk lebih intensif meningkatkan keaktifan jasmaniah maupun mentalnya guna
lebih mendalami sesuatu yang menjadi pehatian. Burton (dalam
Aunurrahman, 2011: 35) dalam bukunya The Guidance of Learning Acti-
vities, merumuskan pengertian belajar sebagai perubahan tingkah laku pada
diri individu berkat adanya interaksi individu dengan individu dan individu
dengan lingkungannya.
Anthony Robbins (dalam Trianto, 2010: 15), mendefinisikan belajar seba-
gai proses menciptakan hubungan antara sesuatu (pengetahuan) yang sudah
dipahami dan sesuatu (pengetahuan) yang baru. Dari definisi ini dimensi bela-
jar memuat beberapa unsur, yaitu: (1) penciptaan hubungan, (2)sesuatu hal
(pengetahuan) yang sudah dpahami, dan (3) sesuatu (pengetahuan) yang baru.
Jadi dalam makna belajar, di sini bukan berangkat dari sesuatu yang benar-
benar belum diketahui (nol), melainkan merupakan keterkaitan dari dua pe-
ngetahuan yang sudah ada dengan pengetahhuan baru.
Dalam pandangan konstruktivisme belajar bukanlah semata-mata men-
transfer pengetahuan yang ada di luar dirinya, tetapi belajar lebih pada bagai-
mana otak memproses dan menginterpretasikan pengalaman yang baru de-
6
ngan pengetahuan yang sudah dimilikinya dalam format yang baru. Proses
pembangunan ini bisa melalui asimilasi atau akomodasi (Mc Mahon, 1996
dalam Trianto, 2010: 16).
Pandangan modern mengenai belajar, lebih berorientasi pada perubahan
perilaku secara holistik dan integral. Pandangan modern menyatakan bahwa
belajar adalah proses perubahan perilaku, berkat interaksi dengan lingkungan-
nya. Perubahan perilaku mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Adapun yang dimaksud lingkungan mencakup keluarga, sekolah dan masya-
rakat, di mana siswa berada.
Pandangan modern ini didukung oleh beberapa pakar, antara lain
Witherington (1952: 165 dalam Hanafia 2012; 7) yang menyatakan bahwa be-
lajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai
pola-pola respons baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, penge-
tahuan, kecakapan. Gagne, Berliner, dan Hilgar (1970: 256 dalam Hanafia
2012: 7) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan perilaku
yang muncul karena pengalaman.
2. Ciri-ciri Belajar
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar meru-
pakan kegiatan yang paling pokok, Ini berarti, bahwa berhasil tidaknya penca-
paian tujuan pendidikan banyak tergantung kepada bagaimana proses belajar
yang dialami oleh siswa sebagai peserta didik..
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa belajar dapat didefinisikan
setiap perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil la-
tihan atau pengalaman . Pengertian ini mencakup tiga unsur, yaitu: (1) belajar
adalah perubahan tingkah laku, (2) perubahan tingkah laku tersebut terjadi
karena latihan atau pengalaman, (3) perubahan tingkah laku tersebut relatif
permanen atau tetap ada untuk waktu yang cukup lama.
Belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam
proses internal tersebut adalah seluruh mental, yang meliputi ranah kognitif,
7
afektif dan psikomotorik. Dari segi guru proses belajar tersebut dapat diamati
secara tidak langsung. Artinya proses belajar yang merupakan proses internal
siswa tidak dapat diamati, akan tetapi dapat dipahami oleh guru. Proses bela-
jar tersebut tampak melalui perilaku siswa mempelajari bahan ajar. Perilaku
belajar tersebut merupakan respon siswa terhadap tindakan mengajar atau tin-
dakan pembelajaran dari guru. Perilaku belajar tersebut ada hubungannya de-
ngan desain instuksional guru, karena di dalam desain instrukruksional, guru
merumuskan tujuan instruksional atau sasaran belajar.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Belajar merupakan suatu proses yang menimbulkan terjadinya perubahan
atau pembaruan dalam tingkah laku dan kecakapan. Menurut Purwanto (2002:
102 dalam Thobrani, 2011: 31), berhasil atau tidaknya perubahan tersebut
dipengaruhi oleh berbagai factor yang dapat dibedakan menjadi dua golongan
sebagai berikut:
a. Faktor kematangan atau pertumbuhan
Faktor ini berhubungan dan berkaitan erat dengan kematangan atau tingkat
pertumbuhan organ-organ tubuh manusia. Kegiatan mengajarkan sesuatu
baru dapat behasil jika taraf pertumbuhan pribadi telah memungkinkan,
potensi-potensi jasmani dan rohaninya telah matang.
b. Faktor kecerdasan atau intelegensi
4. Hasil Belajar
Dari uraian tentang konsep belajar, dapat dipahami tentang makna hasil
belajar, yaitu perubahan-peruahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang me-
nyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan
belajar. Menurut Nawawi dalam K. Brahim (2007: 39) menyatakan bahwa
hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mem-
pelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor diperoleh dari
hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.
8
Secara sederhana, yang dimaksud hasil belajar siswa adalah kemampuan
yang diperoleh siswa melalui kegiatan belajar. Karena belajar itu sendiri me-
rupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu
bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Dalam kegiatan pembela-
jaran, biasanya guru menetapkan tujuan belajar. Siswa yang berhasil dalam
belajar adalah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.
Untuk mengetahui apakah hasil belajar yang dicapai telah sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki dapat diketahui melalui evaluasi. Sebagaimana dike-
mukakan oeleh Sunal (1993: 94), bahwa evaluasi merupakan proses penggu-
naan informasi untuk membuat pertimbangan seberapa efektif suatu program
telah memenuhi kebutuhan siswa. Selain itu dengan dilakukan evaluasi atau
penilaian dapat dijadikan feedback atau tindak lanjut, atau bahkan cara untuk
mengukur tingkat penguasaan siswa. Kemajuan prestasi belajar siswa tidak
saja diukur dari tingkat penguasaan pengetahuan, tetapi juga sikap, dan kete-
rampilan yang bekaitan dengan mata pelajaran yang diberikan kepada siswa.
5. Konsep Pembelajaran
Pembelajaran tidak diartikan sebagai sesuatu yang statis, melainkan suatu
konsep yang yang berkaitan dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang mele-
kat pada wujud pengembangan sumber daya manusia. Dengan demikian, pe-
ngertian pembelajaran yang berkaitan dengan sekolah ialah Kemampuan
dalam mengelola secara operasional dan efisien terhadap komponen-kompo-
nen yang berkaitan dengan pembelajaran, sehingga menghasilkan nilai tam-
bah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku
Menurut Miarso, pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja. bertu-
juan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif
menetap pada diri orang lain (Miarso, 2004: 545). Dapat pula dikatakan bah-
wa pembelajaran adalah usaha yang dilakukan oleh guru agar membuat siswa
dapat belajar dan mencapai hasil yang maksimal.
9
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa pembelajaran bukan menitik be-
ratkan pada apa yang dipelajari, melaikan pada bagaimana membuat siswa
mengalami proses belajar, yaitu cara-cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan
yang berkaitan dengan pengorganisasian materi, cara penyampaian pelajaran, dan
cara mengelola pembelajaran. Seterusnya Robert and Walter (dalam Martinus
Yamin, 2011: 71) mengemukakan pembelajaran yang efektif adalah yang
membuat siswa untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan, atau sikap-sikap
dan siswa senang belajar dalam pembelajaran tersebut. Selanjutnya menurut
Vigosky (dalam Martinus Yamin, 2011: 71) mengemukakan bahwa, suatu pem-
belajaran efektif bila pembelajar itu melanjutkan pengembangan-pengembangan.
Dalam proses pembelajaran guru perlu mengembangkan potensi kognitif siswa
melalui proses pembelajaran yang bermakna. Ausubel (dalam Dahar, 1999 112)
mengemukakan bahwa pembelajaran bermakna (meaningfull learning) merupa-
kan proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang ter-
dapat dalam struktur kognitif seseorang. Pembelajaran bermakna sebagai hasil
dari peristiwa membelajarkan yang ditandai oleh terjadinya hubungan antara
aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponen-
komponen yang relevan di dalam struktur kognitif peserta didik.
Proses pembelajaran tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-
fakta belaka, teapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk
menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipa-
hami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Agar terjadi belajar bermakna,
maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan mengenali konsep-konsep yang
telah dimiliki siswa dan mencoba memadukannya secara harmonis konsep-konep
tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan. Menurut Natawijaya
(1999: 22) kinerja guru dapat dilihat saat melaksanakan interaksi belajar menga-
jar di kelas termasuk bagaimana dia mempersiapkan dan mengevaluasinya.
Pendapat yang dikemukakan oleh Natawijaya ini menyiratkan bahwa untuk
melihat kinerja guru tidak hanya terbatas pada saat terjadi proses belajar menga-
10
jar di ruang kelas, akan tetapi termasuk juga kegiatan guru dalam mempersiapkan
proses pembelajaran tersebut.
B. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Sekolah Dasar (SD)
1. Pendidikan Kewarganegaraan di SD
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran sosial yang
bertujuan untuk membentuk dan membina warga negara yang baik yaitu warga
negara yang tau, mau dan mampu berbuat baik.
Warga negara yang baik adalah warga negara yang mengetahui dan menyada-
ri serta melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Pendidikan ke-
warganegaraan menyangkut status formal kewarganegaraan yang pada awalnya
diatur dalam UU No. 12 tahun 2006 yang isinya mengatur tentang kewarganega-
raan, peraturan tentang naturalisasi atau perolehan status sebagai warga negara
Indonesia.
Komponen penting dalam pendidikan kewarganegaraan adalah keterampilan
bermasyarakat agar warga negara dapat menjalankan hak-haknya dan menunai-
kan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat yang berpemerintahan sen-
diri, mereka tidak hanya memiliki pengetahuan berkenaan dengan materi pokok
di atas, mereka perlu pula memiliki keterampilan intelektual dan partisipasi yang
relevan.
Empat isi pokok Pendidikan Kewarganegaraan menurut Romis Zowski
(Rianto, 2006: 34):
1. Kemampuan dasar dan kemampuan kewarganegaraan sebagai sasaran pem-
bentukan.
2. Standar materi kewarganegaraan sebagai muatan kurikulum dan pembelajaran
3. Indikator pembelajaran sebagai criteria pencapaian kemampuan.
4. Rambu-rambu umum pembelajaran sebagai rujukan alternatif para guru.
11
Tujan Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membentuk watak atau
karakter warga Negara yang baik. Sedangkan tujuan mata pelajaran Pendidikan
kewarganegaraan menurut Mulyasa (2007: 126) adalah agar siswa menjadi:
a. Mampu bepikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam mengatasi per-
soalan hidup maupun isu kewarganegaraan di negaranya.
b. Mau berpartisipasi dalam segala bidang kegiatan, secara aktif dan ber-
tanggungjawab, sehingga bisa bertindak secara cerdas dalam semua ke-
giatan.
c. Bisa berkembang secara positif dan demokratis serta mampu memanfaat-
kan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik. Hal ini akan mudah
tercapai jika pendidikan nilai moral dan norma dapat ditanamkan pada
siswa sejak usia dini. Karena jika siswa sudah memiliki nilai moral yang
baik, tujuan untuk membentuk warga negara yang baik akan mudah diwu-
judkan. Dengan demikian, kelak siswa diharapkan dapat menjadi warga
negara yang terampil, cerdas, bersikap baik, serta mampu mengikuti ke-
majuan teknologi modern.
2. Maateri Pemerintahan Desa/Kelurahan dan Kecamatan
Pengertian desa menurut UU No. 32 tahun 2004 adalah kesatuan ma-
syarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwewenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal
usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem peme-
rintahan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perangkat desa terdiri dari:
a. Sekertaris Dasa (Sekdes)
Seketaris Desa bertugas di bidang administrasi dan pelayanan umum mi-
sal kegiatan surat-menyurat dan kearsipan.
b. Kepala Urusan (Kaur)
Tugas utama kepala urusan adalah membantu sekertaris desa.
12
c. Kepala Dusun
Kepala dusun melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pembangunan
dan kemasyarakatan di wilayah kerjanya.
Tugas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) meliputi
a. Menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa.
b. Menyelenggarakan pemilihan Kepala Desa.
c. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pemerintahan lurah dilaksanakan oleh lurah yang dibantu perangkat kelu-
rahan yang terdiri atas sekertaris kelurahan, kepala urusan, dan kepala ling-
kungan. Lurah dan perangkat kelurahan adalah pegaai negeri sipil (PNS) yang
mendapat gaji dari pemerintah.
Struktur Organisasi Desa
Lembaga pemerintahan kecamatan dipimpin oleh camat. Dalam menjalan-
kan tugasnya camat dibantu oleh seorang sekertaris kecamatan (Sekcam), kepa-
la urusan dan kepala-kepala seksi. Menurut PP No. 41 Tahun 2007 tugas camat
meliputi:
a. Mengkordinasikan kegiatan kegiatan pemberdayaan masyarakat.
b. Mengkordinasikan upaya penyelenggaraan ketenraman dan ketertiban
umum.
BPD Kepala Desa
Sekretaris
Kepala Dusun Kepala Dusun
Kepala
Dusun
Kaur Pemerintahan
Kaur
Pembangunan
Kaur Keuangan
Kaur Kesra
Kaur Umum
13
c. Mengkordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-
undangan
d. Mengkordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum
C. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT)
1. Hakikat Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang diguna-
kan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pem-
belajaran dalam tutorial. Sukamto, dkk (dalam Nurulwati, 2000: 10) menge-
mukakan maksud dari model pembelajaran adalah: “Kerangka konseptual
yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan penga-
laman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai
pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam meren-
canakan aktivitas pembelajaran. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh
Enggen dan Kauchak menyatakan bahwa model pembelajaran merupakan
kerangka dan arah bagi gu-ru untuk mengajar.
Menurut Johnson (dalam Samani, 2000: 34), untuk mengetahui kualitas
model pembelajaran harus dilihat dari dua aspek, yaitu proses dan produk.
Aspek proses mengacu apakah pembelajaran mampu menciptakan situasi be-
lajar yang menyenangkan (joyful learning) serta mendorong siswa untuk ak-
tif belajar dan berpikir kreatif. Aspek produk mengacu apakah pembelajaran
mampu mencapai tujuan yaitu, meningkatkan kemampuan siswa sesuai de-
ngan standar kemampuan atau kompetensi yang ditentukan. Dalam hal ini
sebelum melihat hasilnya, terlebih dahulu aspek proses sudah dapat dipas-
tikan berlangsung baik.
Model pembelajaran merupakan pola umum perilaku pembelajaran
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Joice & Weil berpen-
dapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat
digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka
14
panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembela-
jaran di kelas atau yang lain (Joice & Weil, 1980: 1). Model pembelajaran
dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembe-
lajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya.
2. Pengertian Kooperatif (Cooperative Learninug)
Cooperative mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai
tuuan bersama (Hamid Hasan, 1996 dalam Etin Solihatin, 2011: 4). Menurut
Slavin (1984, dalam Etin Solihatin, 2011: 4) mengemukakan bahwa
cooperative learning adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar
dan bekerja dalam kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri
dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya bersifat heterogen.
Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian suatu sikap
atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesame dalam
struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok yang terdiri dari dua orang
atau lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan
dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning dapat diar-
tikan pula sebagaibsuatu struktur tugas bersama dalam dalam suasana keber-
samaan di antara sesama anggota kelompok
Cooperative learning lebih dari sekedar belajar kelompok atau
kelompok kerja, karena belajar dalam Cooperative learning harus ada
“struktur dorongan dan tugas yang yang bersifat kooperatif” sehingga me-
mungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan
yang bersifat interdependensi yang efektif di antara anfggota kelompok
(Slavin 1983; Stahl, 1984 dalam Etin Solihatin, 2011: 5). Selain itu, pola
kerja seperti itu memungkinkan tim-bulnya persepsi persepsi yang positif
tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemam-
puan dirinya secara individual dan sum-bangsih dari anggota lainnya selama
mereka belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Stahl (1994, dalam
Etin Solihatin, 2011: 5) mengatakan bahwa model pembelajaran Cooperative
15
learning menempatkan siswa sebagai bagian dari suatu system kerja sama
dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar. Model pembe-
lajaran ini berangkat dari suatu asumsi mendasar dalam kehidupan masyara-
kat, yaitu “getting better together, atau “raihlah yang lebih baik secara ber-
sama-sama” (Slavin, 1992 dalam Etin Solihatin, 2011: 5).
Model pembelajaran Cooperative learning merupakan suatu model yang
membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai
dengan kehidupan nyata di masarakat, sehingga dengan bekerja secara ber-
sama-sama di antara sesame anggota kelompok akan meningkatkan motiva-
si, produktivitas, dan perolehan belajar. Model belajar Cooperative learning
mendorong peningkatan kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai
permasalahan yang ditemui selama pembelajaran, karena siswa dapat bekerja
sama dengan siswa lain dalam menemukan dan merumuskan alternatif pe-
mecahan terhadap masalah materi pelajaran yang dihadapi.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dalam pembelajaran dengan meng-
gunakan model Cooperative learning, pengembangan kualitas diri siswa
terutama aspek afektif siswa dapat dilakukan secara bersama. Belajar dalam
kelompok kecil dengan prinsip koperatif sangat baik digunakan untuk men-
capai tujan belajar, baik yang sifatnya kognitif, afektif, maupun konatif