BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Keadaan dimana penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan penting dan dalam waktu bersamaan morbiditas dan mortalitas PTM makin meningkat merupakan beban ganda dalam pelayanan kesehatan, tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan bidang kesehatan di Indonesia. Proporsi angka kematian akibat PTM meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5% pada tahun 2007. Penyebab kematian tertinggi dari seluruh penyebab kematian adalah stroke (15,4%), disusul hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. PTM dipicu berbagai faktor risiko antara lain merokok, diet yang tidak sehat, kurang aktivitas fisik, dan gaya hidup tidak sehat. Riskesdas 2007 melaporkan, 34,7% penduduk usia 15 tahun ke atas merokok setiap hari, 93,6% kurang konsumsi buah dan sayur serta 48,2% kurang aktivitas fisik. peningkatan PTM berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas bangsa. Pengobatan PTM seringkali memakan waktu lama dan memerlukan biaya besar. Beberapa jenis PTM adalah penyakit kronik dan/atau katastropik yang dapat mengganggu ekonomi penderita dan keluarganya. Selain itu, salah satu dampak PTM adalah terjadinya kecacatan termasuk kecacatan permanen.Salah satu PTM di Indonesia yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyebab kematian terbanyak di Indonesia.
Keadaan dimana penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan penting dan
dalam waktu bersamaan morbiditas dan mortalitas PTM makin meningkat merupakan
beban ganda dalam pelayanan kesehatan, tantangan yang harus dihadapi dalam
pembangunan bidang kesehatan di Indonesia. Proporsi angka kematian akibat PTM
meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5% pada
tahun 2007. Penyebab kematian tertinggi dari seluruh penyebab kematian adalah stroke
(15,4%), disusul hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. PTM
dipicu berbagai faktor risiko antara lain merokok, diet yang tidak sehat, kurang aktivitas
fisik, dan gaya hidup tidak sehat. Riskesdas 2007 melaporkan, 34,7% penduduk usia 15
tahun ke atas merokok setiap hari, 93,6% kurang konsumsi buah dan sayur serta 48,2%
kurang aktivitas fisik. peningkatan PTM berdampak negatif pada ekonomi dan
produktivitas bangsa. Pengobatan PTM seringkali memakan waktu lama dan
memerlukan biaya besar. Beberapa jenis PTM adalah penyakit kronik dan/atau
katastropik yang dapat mengganggu ekonomi penderita dan keluarganya. Selain itu, salah
satu dampak PTM adalah terjadinya kecacatan termasuk kecacatan permanen.Salah satu
PTM di Indonesia yang prevalensinya semakin meningkat setiap tahunnya adalah
diabetes mellitus (depkes,2012).
Meneurut depkes, diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi hormone insulin atau karena penggunaan
yang tidak efektif dari produksi insulin. Indonesia menduduki peringkat ke empat Negara
penderita DM terbanyak.pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia
mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Sedangkan hasil Riset kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada
kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%.
Dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%. Untuk mengatasi hal
tersebut dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1575 tahun 2005, telah
dibentuk Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular yang mempunyai tugas pokok
memandirikan masyarakat untuk hidup sehat melalui pengendalian faktor risiko penyakit
tidak menular, khususnya penyakit DM yang mempunyai faktor risiko bersama.
Dengan latar belakang fenomena tersebut penulis ingin mengimplementasikan rencana
kegiatan apa saja yang dapat dilakukan untuk membantu program pengendalian DM di
Indonesia, agar angka morbiditas dan mortalitas akibat DM dapat menurun.
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Membina masyarakat dalam mendeteksi dini faktor resiko DM
b. Tujuan Khusus
1. Membentuk Posbindu PTM
2. Melakukan penyuluhan dan konseling pada masyarakat untuk mencegah faktor
resiko DM
1.3 Manfaat
a. Untuk Mahasiswa
Untuk mengaplikasikan kompetensi keilmuan analisis manajemen layanan kesehatan.
b. Untuk Masyarakat
1. Menciptakan derajat kesehatan masyarakat
2. Membantu masyarakat untuk melakukan deteksi dini DM
c. Untuk Pemerintah
Membantu pemerintah untuk melakukan deteksi, pencatatan, dan pelaporan kasus
diabetes mellitus.
BAB 2. PENGKAJIAN
2.1 Gambaran umum dan perilaku penduduk
1. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Jember pada tahun 2011 adalah 2.329.929 jiwa dengan kepadatan rata-rata
707,47 jiwa/km2. Mayoritas penduduk Kabupaten Jember terdiri atas Suku Jawa dan Suku
Madura, dan sebagian besar beragama Islam. Selain itu terdapat warga Tionghoa dan Suku
Osing. Rata-rata penduduk Jember adalah masyarakat pendatang, Suku Madura dominan di
Jember bertempat tinggal di daerah utara dan Suku Jawa bertemapat tinggal di daerah selatan dan
pesisir pantai. Bahasa Jawa dan Madura digunakan di banyak temapt, sehingga umum bagi
masyarakat di Jember menguasai dua bahasa daerah tersebut dan juga saling pengaruh tersebut
memunculkan beberapa ungkapan khas jember. Percampuran kedua kebudayaan Jawa dan
Madura di Kabupaten Jember melahirkan satu kebudayaan baru yang bernama Pendalungan.
Masyarakat Pendalungan di Jember mempunyai karakteristik yang unik sebagai hasil dari
penetrasi kedua budaya tersebut. Kesenian Can Macanan Kaduk merupakan suatu hasil budaya
masyarakat Pendalungan yang masih bertahan sampai sekarang di kabupaten Jember.
2. Keadaan Ekonomi
Tumbuh dan berkembangnya suatu kota akan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor internal
dan eksternal, yang salah satunya adalah faktor perekonomian. Kegiatan ekonomi ini secara
langsung maupun tidak langsung dapat memperlihatkan cepat dan lambatnya proses
perkembangan kota. Selain itu dapat juga memperlihatkan kecenderungan perkembangan
ekonomi kota. Bagi kota-kota kecamatan di Indonesia, kehidupan ekonomi kotanya masih lebih
banyak ditunjang oleh kegiatan pertanian. Kondisi ini juga terjadi pada kota Jember di mana
sektor pertanian baik pertanian tanaman pangan maupun holtikultura. Gambaran tersebut
memperlihatkan bahwa perekonomian kota Jember masih dipengaruhi oleh kegiatan pertanian.
Sebagian besar penduduk masih bekerja sebagai petani, perekonomian Jember masih banyak
ditunjang dari sektor pertanian. Di Jember banyak terdapat area perkebunan, sebagian besar
peninggalan Belanda.perkebunan yang ada di kelola oleh Perusahaan nasional PTP Nusantara,
Trutama Nusantara (TTN), Perusahaan daerah yaitu PDP (Perusahaan daerah Perkebunan).
Jember terkenal sebagai salah satu daerah penghasil tembakau utama di Indonesia. Tembakau
Jember adalah tembakau yang digunakan sebagai lapisan luar/kulit cerutu. Di pasaran dunia
tembakau Jember sangat dikenal di Brehmen, Jerman, dan Belanda.
3. Keadaan Pendidikan
Fasilitas pendidikan di kota jember meliputi TK, SD, SLTP, SLTA, dan PT/Akademi.
Fasilitas-fasilitas pendidikan ini telah tersebar secara merata di wilayah kota Jember. Dan jumlah
fasilitas ini semakin mengecil sejalan dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Kota Jember
memiliki perguruan tinggi negeri Universitas Jember, STAIN Jember, dan politeknik Negeri
Jember. Selain itu terdapat beberapa perguruan tinggi swasta yaitu, Universitas Muhammadiyah
Jember, Universitas islam Jember, Universitas Moch. Seroedji, STIE Kosgoro, IKIP PGRI
Jember, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mandala Jember, Sekolah Tinggi Assuniyah
alfalah (Staifas) Kencong dan masih banyak perguruan tinggi lainnya. PPKIA (Pusat Pendidikan
Komputer Indonesia Amerika) salah satu lembaga pendidikan luar sekolah, ada juga PIKMI
(Pusat Pendidikan Program Satu Tahun) yang berbasis komputer (MAGISTRA UTAMA).
4. Keadaan Kesehatan Lingkungan
Pengelolaan sumber air bersih di Kota Jember dilakukan oleh PDAM Kab. Jember dengan
jumlah pegawai 98 orang. Sumber yang digunakan adalah sungai, mata air, sumur dalam dan
sumber air permukaan dengan kapasitas 239 lt/dt dengan kondisi baik. Debit sumber air baku
mengalami penurunan karena penebangan pohon-pohon di daerah resapan air. Pemenuhan
kebutuhan air bersih kota Jember masih sangat kurang. Dari perhitungan kapasitas produksi,
dihasilkan angka 1.555.200 liter/hari. Sementara dari perhitungan asumsi kebutuhan air bersih
utnuk penduduk kota sedang, didapatkan asumsi kebutuhan total kota Jember sebesar 24.434.100
liter/hari. Sehingga masih terdapat selisih produksi yang harus diusahakan sebesar 22.878.900
liter/hari. Sampah di kota Jember dikelola oleh DKP Kabupaten Jember, dan kemudian di olah di
TPA Kertosari dengan sistem controlled landfill. Sistem drainase di Kota Jember dikelola oleh
Sub. Dinas Cipta Karya kab. Jember. Dalam pembuangan air limbah rumah tangga sistem
saluran drainase di Kota Jember sudah memenuhi kebutuhan pelayanan kota. Keadaan sistem
drainase yang ada menunjukkan sistem saluran yang baik terutama dilingkungan permukiman.
Disepanjang jalan arteri sekunder dari saluran pembuangan air langsung ke sungai. Sistem
pembuangan yang ada terdiri atas saluran air terbuka dari batu kali, saluran air tertutup,
sungai/jaringan irigasi. Meskipun belum keseluruhan kawasan mempunyai sistem saluran yang
baik, namun kondisi pengaliran dari air saluran cukup baik sehingga tidak ada penyumbatan
ataupun hambatan yang berarti. Pengelolaan air limbah/air buangan di kota Jember dilakukan
secara on-site, yaitu secara individual pada masing-masing rumah tangga dan komunal dengan
memanfaatkan fasilitas umum seperti jamban umum, MCK, dengn tangki septik dan cubluk serta
saluran lainnya seprti sungai dan kolam. Perkiraan produksi limbah di kota Jember adalah 48.868
liter/org/hr. Jumlah truk tinja Kota Jember adalah 2 buah dengan keadaan yang baik.
5. Keadaan Perilaku Masyarakat
Hasil penelitian epidemiologis tahun 1993 di Jakarta (daerah urban) membuktikan adanya
peningkatan prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993,
kemudian pada tahun 2001 di Depok, daerah sub urban di Selatan Jakarta menjadi 12,8%.
Demikian pula prevalensi DM di Ujung Pandang (daerah urban), meningkat dai 1,5% pada tahun
1981 menjadi 3,5% pada tahun 1998 dan terakhir pada tahun 2005 menjadi 12,5%. Di daerah
rural di Jawa Barat angka itu hanya 1,1%. Di suatu daerah terpencil di Tanah Toraja didapatkan
prevalensi DM hanya 0,8%. Di sini jelas ada perbedaan antara urban dengan rural, menunjukkan
bahwa haya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Di Jawa Timur angka itu tidak berbeda
yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya
prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) yang sekarang dikategorikan sebagai
diabetes tipe pankreas di Jawa Timur sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah rural.
Melihat tendensi kenaikan prevalensi diabetes secara global yang tadi dibicarakan terutama
disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat
dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan
datang kekerapan DM tipe 2 di Indonesia akan meningkat dengan drastis. Peningkatan ini
disebabkan karena faktor keturunan, faktor kegemukan, perubahan gaya hidup, pola makan tidak
sehat, kurang berolahraga.
Dalam Diabetes Atlas 2000 (International Diabetes Federation) tercantum perkiraan
penduduk Indonesia di atas 20 tahun sebesar 125 juta dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar
4,6% diperkirakan pada tahun 2000 berjumlah 5,6% juta. Berdasarkan pola pertambahan
penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti aka nada sejumlah 178 juta
penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% akan
didapatkan 8,2 juta pasien diabetes. Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Litbang Depkes yang
hasilnya baru saja dikeluarkan bulan Desember 2008 menunjukkan bahwa prevalensi nasional
untuk TGT 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5% terdiri dari pasien diabetes yang sudah terdiagnosis
sebelumnya, sedangkan sisanya 4,2% baru ketahuan diabetes saat penelitian). Angka itu diambil
dari hasil penelitian di seluruh provinsi. Kalimantan Barat dan Maluku Utara menduduki
peringkat prevalensi diabetes tertinggi tingkat propinsi. Dengan hasil penelitian ini maka kita
sekarang untuk pertama kali punya angka prevalensi nasional. Sekadar untuk perbandingan
menurut IDF pada tahun 2006 angka prevalensi Amerika Serikat 8,3% dan Cina 3,9% jadi
Indonesia berada di antaranya.
2.2 Situasi derajat kesehatan
1) Mortalitas
Hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab
kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking
ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
2) Morbiditas
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM) di
Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Penelitian terakhir yang dilakukan
oleh Litbang Depkes yang hasilnya baru saja dikeluarkan bulan Desember 2008 menunjukkan
bahwa prevalensi nasional untuk TGT 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5% terdiri dari pasien
diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya, sedangkan sisanya 4,2% baru ketahuan diabetes
saat penelitian).
Rumah Menurut data dari Sakit Umum Daerah (RSUD) Soebandi kejadian DM tipe 2 di
kabupaten Jember cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 didapatkan 250
kasus DM tipe 2 meningkat menjadi 533 kasus pada tahun 2010.
3) Dampak kesehatan akibat penyakit
DM dapat mempengahrui perubahan fisik dan psikologis dari penderitanya. Jika angka kejadian
diabetes ini tidak dilakukan penanggulangan dan pencegahan maka dampaknya akan
menurunkan kualitas kesehatan dari kabupaten Jember yang berdampak pada penurunan kualitas
hidup.
2.3 Situasi upaya kesehatan1. Pelayanan kesehatan dasar
Pada tahun 2010 Kabupaten Jember memiliki 49 puskesmas, 17 Puskesmas
perawatan dan 32 jumlah puskesmasn non perawatan serta polindes sebanyak 112.
Tahun 2011, cakupan pasien rawat jalan di puskesmas sekitar 20,2 persen dari jumlah
penduduk, yakni 474.246 orang. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan tahun 2010, di
mana cakupan pasien rawat jalan mencapai 63,43 persen dari jumlah penduduk, yakni
1,519 juta orang. Tidak hanya itu pelayanan rawat inap di puskesmas juga mengalami
penurunan Tahun 2010, cakupan pelayanan rawat inap sekitar 4 persen dari jumlah
warga Jember atau sekitar 95.843 orang. Tahun 2011 terjadi penurunan tinggal 1,6
persen, atau sekitar 39.323 orang (beritajatim.com, 2012).
2. Pelayanan kesehatan rujukan
Kabupaten Jember memiliki 2 RS rujukan yaitu RSUD dr. Soebandi dan RS
PARU Jember. RSUD dr. Soebandi merupakan rumah sakit tempat rujukan dari
rumah sakit atau puskesmas di wilayah eks Karesidenan Besuki. Dengan adanya 2 RS
rujukan tersebut secara tidak langsung Kabupaten Jember mempunyai peranan
penting dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk seluruh wilayah eks
Karisedenan Besuki. Namun dalam melayani rujukan RSUD dr. Soebandi juga
mengalami kenadala yaitu kendala pembiayaan operasi, banyaknya pasien dari luar
daerah Jember yang menggunakan SKM (surat keterangan miskin), padahal SKM
diperuntukkan hanya untuk masyarakat wilayah Jember. Namun selama ini tidak ada
kerjasamanya pihak RS dengan pemerintah diluar daerah Jember sehingga dalam
memberikan layanan kurang maksimal (Tempo, 2007).
3. Pelayanan jaminan kesehatan masyarakat
Sejak 1 Januari 2006 Pemkab Jember lalu mengeluarkan kebijakan yaitu
menggratiskan rawat jalan bagi masyarakat di puskesmas, kebijakan tersebut
mungkin baru ada di Kabupaten Jember dan hal tersebut belum pernah ada. Berobat
gratis di puskesmas tersebut bukan hanya untuk masyarakat miskin tapi juga untuk
semua kalangan , sehingga tidak alasan bagi masyarakat untuk tidak ada alasan untuk
berobat ke puskesmas. Kebijakan rawat jalan gratis tersebut juga ditunjang dengan
peningkatan dan pemeliharaan mutu lembaga pelayanan kesehatan, baik melalui
pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) secara berkelanjutan dan pemeliharaan
sarana medis, termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau oleh masyarakat
(Jemberpost.com, tanpa tahun).
Untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mendorong keinginan untuk lebih
memperhatikan kesahatan dan mau memeriksakan kesehatannya ke pusat pelayanan
kesehatan maka masyarakat di Jember di berikan kartu Jamkesmas. Penerima kartu
jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) di Kabupaten Jember, Jawa Timur, pada
tahun 2013 bertambah, dari 695.360 orang menjadi 811.144 orang. Sebelumnya data
penerima jamkesmas mengacu pada survei Badan Pusat Statistik tahun 2008 yang
tercatat sebanyak 695.360 orang dari keluarga miskin. Meski penerima jamkesmas
bertambah 115.360 orang, masih banyak warga miskin yang belum mendapatkan
kartu berobat gratis tersebut, dan sebagian kartu salah sasaran (Ciputranews,2012).
4. Pencegahan dan pemberantasan penyakit
2.4 Situasi Sumber daya kesehatan
1) Sarana Kesehatan
Untuk melayani kesehatan masyrakat di Kota Jember telah dipenuhi oleh RSU,RS khusus,
RS bersalin, Puskesmas, Puskesmas pembantu, Posyandu, dan Puskesmas keliling. Pada tahun
1990 jumlah dan jenis fasilitas kesehatan di daerah Kaliwates RS Bersalin sebanyak 2,
Puskesmas sebanyak 3, Puskesmas pembantu sebanyak 4, Posyandu sebanyak 121, dan
puskesmas keliling sebanyak 5. Di daerah Sumbersari puskesmas sebanyak 2, puskesmas
pembantu sebanyak 2, posyandu sebanyak 102, dan puskesmas keliling sebanyak 1. Di daerah
Patrang terdapat RSU sebanyak 3, RS khusus sebanyak 1, puskesmas sebanyak 1, puskesmas
pembantu sebayak 4, posyandu sebanyak 111, dan puskesmas keliling sebanyak 1. Pada tahun
2007, jumlah polindes sebanyak 116, jumlah posyandu masih belum terdata, jumlah puskesmas
sebanyak 49, dan jumlah pustu sebanyak 126. Pada tahun 2008, jumlah polindes sebanyak 110,
jumlah posyandu sebanyak 2.819, jumlah puskesmas sebanyak 49, dan jumlah pustu sebanyak
120. Sedangkan pada tahun 2011, jumlah polindes belum terdata, jumlah posyandu sebanyak
2.819, jumlah puskesmas sebanyak 1, dan jumlah pustu tidak terdata. Sedangkan sarana rumah
sakit yang tersedia berupa RS dr. Soebandi, RS Balung, RS Paru, RS Kalisat, RS Bina Sehat, RS
Citra Husada, dan RS Jember Klinik.
2) Tenaga Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan di Jawa Timur tahun 2011 yaitu dokter 8.186, perawat 21.729,
bidan 12.025, farmasi 3.026, kesehatan masyarkat 2.141, tenaga gizi 1.394. terapi fisik 243, dan
teknis medis 1.433. pada tahun 2011 tenaga kesehatan di kabupaten Jember adalah tenaga medis
59 orang, perawat dan bidan 16 orang, tenaga farmasi 2 orang, tenaga gizi 6 orang, tenaga teknisi
medis 72 orang, tenaga sanitasi 17 orang, tenaga kesehatan masyarakat 8 orang, dan dokter gigi
44 orang.
3) Pembiayaan kesehatan
Pembiayaan kesehatan provinsi Jawa Timur pada tahun 2011 sebanyak 295 menggunakan
Jamkesmas, 3% menggunakan Jamkesda, 8% menggunakan Askes, 2% menggunakan
Jamsostek. Selain itu pembiayaan kesehatan bisa di dapat dari Bantuan Operasional Kesehatan
(BOK).
2.5 Perbandingan Indonesia dengan negara anggota ASEAN dan SEARO
1. Kependudukan
Berdasarkan hasil proyeksi BPS provinsi, jumlah penduduk Jawa Timur tahun 2010 sebesar
38.026.550 jiwa. Daerah dengan penduduk terbanyak adalah kota Surabaya (2.912.197 jiwa),
Kabupaten Malang (2.485.665 jiwa), dan Jember (2.395.319 jiwa), sedangkan jumlah penduduk
paling sedikit di Kota Mojokerto (120.271 jiwa) dan Kota Blitar (130.429 jiwa). Kepadatan
penduduk Jawa Timur tahun 2010 sebesar 806 jiwa/km. Kepadatan penduduk di kota umumnya
lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten dan Surabaya dengan kepadatan penduduk tertinggi
8.203 jiwa/km. Berdasarkan komposisi penduduk, kelompok umur produktif usia 15-64 tahun
masih menominasi presentase dengan jumlah terbanyak di kelompok usia 25-29 tahun 8.8%
sedangkan kelompok bayi merupakan yang terkecil.
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2008 tercacat sebesar
228.523.342 jiwa terdiri dari 114.399.238 laki-laki dan 114.124.104 perempuan. Secara nasoinal,
dengan luas wilayah Indonesia 1.910.931,32 km2 maka tingkat kepadatan penduduk adalah
sebesar 120 jiwa /km2. Tingkat kepadatan yang tinggi masih didominasi oleh provinsi-provnsi di
Pulau Jawa. Provinsi yang memiliki kepadatan tertinggi adalah DKI Jakarta, yaitu sebesar
13.774 jiwa/km2.
Menurut World Populations Data Sheet 2008, pada pertengahan tahun 2008, Indonesia
adalah negara dengan penduduk terbanyak di antara negara-negara anggota ASEAN lainnya
dengan jumlah 239,9 juta jiwa. Dengan wilayah negara terluas, Indonesia selalu menempati
peringkat satu negara dengan jumlah penduduk tertinggi di ASEAN. Jika di kawasan ASEAN,
Indonesia menempati peringkat pertama dengan jumlah penduduk terbesar, di kawasan SEARO
Indonesia menempati peringkat kedua setelah India. Kepadatan penduduk di Indonesia sebesar
126 jiwa/km2. Bila dilihat dari tahun 2006-2008 kepadatan penduduk per km2 terus meningkat.
Indonesia di kawasan ASEAN berada pada peringkat ke lima terpadat. Sedangkan di kawasan
SEARO, Indonesia menempati peringkat k delapan terpadat di antara 11 negara.
2. Derajat Kesehatan
1. Mortalitas
Berdasarkan Laporan Kematian Ibu (LKI) Kbupaten/Kota se Jwa Timur tahun 2010, AKIdi
Provinsi Jawa Timur tahun 2010 sebesar 101,4 per 100.000 kelahiran hidup, maka kondisi
tersebut menunjukkan keberhasilan Provinsi Jawa Timur dalam menekan kematian ibu.
Berdasarkan data BPS, AKB Jawa Timur tahun 2005-2010 turun dari 36.65 menjadi 29.99 per
1.000 kelahiran hidup. Besaran angka kematian bayi di negara-negara ASEAN dan SEARO
antara 2,4 dan 88. Indonesia memiliki angka kematian bayi 34 per 1000 kelahiran hidup dan
berada di peringkat 10 diantara 18 negara tersebut. Angka Kematian Balita di SEARO berkisar
antara 7 smapai 113 per 1000 kelahiran hidup. Seperi di ASEAN, Myanmar merupakan negara
dengan angka kematian balita tertinggi, sedangkan terendah adalah Thailand. Sementara di
Indonesia terdapat 31 kematian balita per 1000 kelahiran hidup. Pada kawasan ASEAN,
Indonesia menempati peringkat ke empat tertinggi kematian balitanya, sedangkan pada kawasan
SEARO, Indonesia menempati peringkat keempat terendah kematian balita per 1000 kelahiran
hidup. Indonesia berada di peringkat ke 12 dari 18 negara di ASEAN dan SEARO untuk angka
kematian maternal yaitu 420 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007 diantara negara-
negara anggota ASEAN, Laos dan Myanmar merupaka negara dengan Angka Kematian Kasar
tertinggi yakni sebesar 10 per 1000 penduduk. Di kawasan SEARO Timor Leste merupakan
negara dengan Angka Kematian Kasar tertinggi yaitu 11 per 1000 penduduk dan terendah adalah
Maladewa yaitu 4 kematian per 1000 penduduk. Di Indonesia terdapat 6 kematian per 1000
penduduk. Di kawasan ASEAN, indonesia menduduki peringkat ke 5 tertinggi Angka Kematian
Kasar sedangkan di kawasan SEARO, Indonesia menduduki peringkat ke 2 terendah. Pada tahun
2007 di antara 10 negara anggota ASEAN, singapura merupakan negara dengan Usia Harapan
Hidup waktu lahir paling tinggi yaitu 81 tahun. Negara yang memilik Usia Harapan Hidup waktu
lahir terendah adalah Laos yauti 61 tahun, sedangkan Indonesia menempati peringkat ke 6
dengan harapan hidup waktu lahir 70 tahun. Untuk kawasan SEARO, Maladewa merupakan
negara dengan Usia Harapan hidup waktu lahir paling tinggi yaitu 73 tahun. Negara yang
memiliki umur harapan hidup waktu lahir terendah adalah Timor leste yaitu 60 tahun. Indonesia
sendiri berada di peringkat ke 5 yaitu 70 tahun.
2. Morbiditas
Penyakit terbanyak dari kunjungan pasien ke RS Sentinel di Jawa Timur adalah kasus diare
dan demam Berdarah. Kondisi tersebut memperilihatkan bahwa sampai saat ini masih banyak
masyarakat Jwa Timur yang kebersihan lingkungannya masih belum memenuhi standar sehat.
Dari kunjungan ke Puskesmas Sentinel diketahuinbahwa influenza, diare, dan hipertensi
merupakan penyakit yang mendominasi.
3. Upaya Kesehatan
Di kawasan SEARO, 7 dari 11 negara mencapai cakupan imunisasi BCG 90%. Negara-
negara tersebut adalah Thailand, Bangladesh, Bhutan, Korea Utara, Maladewa, Indonesia, dan sri
Lanka. Sedangkan Timor Leste merupakan negara dengan cakupan imunisasi BCG rendah yaitu
74%. Pada tahun 2007, 50% negara anggota ASEAN telah mencapai cakupan imunisasi polio
90%. Cakupan tertinggi dicapai oleh Brunei Darussalam yaitu 99% dan terndah adalah Laos
yaitu 46%. Di kawasan SEARO telah mencapai cakupan imunisasi polio 90% dengan cakupan
tertinggi adalah Korea Utara 99% dan terendah adalah India 62%. Negara ASEAN juga
mencapai target imunisasi campak yaitu 90%, di kawasan SEARO 5 dari 11 negara mencapai
cakupan imunisasi campak 90%. Hampir seluruh negara ASEAN dan SEARO imunisasi
hepatitis merupakan imunisasi dasar yang diberikan pada bayi, namun tidak dengan yang terjadi
di India. Di Indonesia sebanyak 91% bayi telah mendapatkan imunisasi BCG, 83% mendapatkan
imunisasi polio, dan 80% mendapatkan imunisasi campak. Dari 10 negara anggota ASEAN,
Indonesia merupakan negra dengan presentase pemeriksaan ibu hamil tertinggi yaitu sebesar
81%. Sedangkan yang terendah tercatat di Kamboja yaitu sebesar 27%. Untuk kawasan SEARO
cakupan pemeriksaan ibu hamil tertinggi dicapai oleh Korea Utara yaitu sebesar 95% diikuti oleh
Maladewa 91% dan yang terendah adalah bangladesh sebesar 21%. Cakupan pertolongan
persalinan di negara-negara ASEAN bervariasi dengan cakupan tertinggi di Negara singapura,
Brune Darussalam, dan Malaysia masing-masing sebesar 100% dan yang terendah di Laos
dengan cakupan 20%. Indonesia dengan cakupan 73% berada pada peringkat ke 6 dari 10 negara.
Untuk kawasan SEARO cakupan tertinggi dicapai oleh Sri Lanka yauti sebesar 99% dan yang
terendah di Bangladesh sebesar 18%. Persentase KB aktif pada wanita subur negara-negara
anggota ASEAN yang tertinggi dicapai oleh Vietnam dengan cakupan sebesar 78% dan yang
terendah di Laos sebesar 32%. Indonesia dengan cakupan peserta KB aktif sebesar 61% berada
pada peringkat ke 4 dari 10 negara anggota ASEAN. Untuk negara-negara anggota SEARO
cakupan peserta KB aktif tertinggi dicapai oleh Thailad sebesar 72% dan yang terendah di Timor
Leste sebesar 10%.
2.6 Analisis Situasi
1) Perencanaan
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2007) menunjukkan penyebab kematian telah terjadi
pergeseran dari penyakit menular ke Penyakit Tidak Menular. Penyakit menular menyumbang
28,1% kematian sedangkan Penyakit Tidak Menular sebagai penyumbang terbesar penyebab
kematian terbesar (59,5%). Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
pada BAB X, Bagian Kedua Tentang Penyakit Tidak Menular pasal 158-161: antara lain
disebutkan: “Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan upaya pencegahan,
pengendalian, penanganan PTM beserta akibat yang ditimbulkan serta upaya sebagaimana
dimaksud di atas untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan berperilaku sehat dan
mencegah terjadinya PTM beserta akibat yang ditimbulkan”.
Kementerian kesehatan Indonesia membentuk Sub Direktorat Diabetes Melitus dan Penyakit
Metabolik (Subdit DM dan PM) untuk menangani permasalahan diabetes di Indonesia.Tugas dan
Fungsi dari Subdit DM dan PM adalah menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis,
penyusunan standar, norma, pedoman kriteria, prosedur, bimbingan teknis, evaluasi dan
penyusunan laporan di bidang pengendalian diabetes mellitus dan penyakit metabolik.
Pemerintah sudah mencanangkan program pengendalian DM dan PM pada emapat tahun
pratama (2006-2010) yang diprioritaskan pada:
1. Pengendalian Diabetes Melitus Tipe 2
2. Pengendalian Obesitas
Namun nampaknya program tersebut belum sepenuhnya berhasil dilakukan mengingat masih
meningkatnya penderita diabetes di Indonesia. Di Jember sendiri penderita DM menenigkat
setiap tahunnya mengingat dari faktor resiko dari DM di Jember sangat mendukung. Selain dari
perilaku hidup masyarakat Jember yang tidak sehat dan juga di dukung dari sektor pertanian di
Jember yang penghasilan pertanian tertinggi adalah tembakau sehingga perilaku merokok
masyarakat Jember juga tinggi. Organisasi masyarakat maupun LSM yang berkicumpung dalam
menangani DM memang sudah ada akan tetapi belum dapat berjalan secara optimal karena
kurangnya kesadaran dari masyarakat itu sendiri dalam menanggapi DM. Kurangnya dukungan
kebijakan dan pembiayaan dari pemda dalam pengendalian DM juga merupakan salah satu
penghambat keberhasilan program ini karena pemda lebih cenderung ke penanganan penyakit
menular misalnya TBC.
2) Pengorganisasian
WHO telah merekomendasikan bahwa strategi yang efektif perlu dilakukan secara terintregasi
dan menyeluruh, berbasis masyarakat dengan kerjasama lintas program, lintas sektor dan swasta
(organisasi profesi dan organisasi masyarakat). Menyadari upaya pengendalian diabetes tidak
dapat hanya dilakukan oleh sektor kesehatan atau pemerintah saja, WHO untuk kawasan Asia
Tenggara / South East Asian Regional Office (SEARO) telah mengembangkan South East Asian
Networking for Non-Communicable Disease (SEANET-NCD) sebagai jejaring regional dengan
memfasilitasi Negara ASEAN dalam bentuk dukungan tekhnik dan manajemen serta InfoBase
yang diperlukan untuk Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular.
Salah satu langkah strategi pengendalian penyakit tidak menular di Indonesia melalui kerja sama
lintas program dan lintas sektor serta kemitraan dengan dunia usaha. Sejak tahun 2009 sudah ada
jejaring kemitraan yang dikembangkan antara lain Tim jejaring kerja Nasional Pengendalian
Penyakit Menular (TIM JKN PPTM) yang dikukuhkan melalui keputusan menteri kesehatan.
Kemenkes malakukan kemitraan dengan PT. Sanofi, Perkeni, PT. Askes, dan American
Diabetes Association (ADA). Kemitraan akan dilaksanakan selama 5 tahun dalam program
Train the Trainer bagi 500 dokter spesialis penyakit dan 5.000 dokter umum.
Di Jember sendiri untuk pengendalian DM sendiri sudah tercakup dalam kegiatan posbindu.
Namun, belum berhasil dikarenakan kurangnya keaktifan kader, kurang dilibatkannya TOMA
dan TOGA dalam mempromosikan program pengendalian DM dan mengerakkan masyrakat
untuk sadar akan pentingnya pengendalian diabetes. Tidak meratanya kegiatan posbindu di
Jember juga merupakan salah satu faktor penghambat keberhasilan program ini. Hal tersebut
menyebabkan sebagian besar masyarakat merasa asing bahkan tidak tahu bahwa pemerintah
mempunyai program bukan hanya dalam menangani penyakit menular namun juga pemerintah
mempunyai program dalam pengendalian penyakit tidak menular seperti DM.
3) Pengarahan
Sebenarnya program untuk penanganan penyakit menular di Indonesia pada umumnya sudah
ada. Namun, semua kegiatan tersebut memang relatif baru karena pengendaliannya dimulai pada
2006-2007. Ini berbeda dengan penanganan penyakit menular yang sudah dimulai sejak 1950-an.
Selama ini, pemerintahmelakukan program pengendalian Diabetes Melitus dengan sungguh-
sungguh, secara komprehensif dan integritas dengan pendekatan continuum care yaitu
pendekatan yang dilakukan dari hulu ke hilir, dengan memberikan perhatian melalui
Pengendalian Penyakit Tidak Menular yaitu no tobacco, healthy diet, and healthy activity yang
dimulai sejak janin sampai dewasa tua.
Sampai saat ini, PERKENI telah membuat berbagai macam buku dan modul untuk penanganan
diabetes. Di antaranya pembuatan buku panduan mengenai Konsensus Penatalaksanaan dan
Pencegahan Diabetes Tipe 2, Pengelolaan Dislipidemia, Petunjuk Praktis Terapi Insulin Bagi
Pasien Diabetes, dan modul untuk pelatihan kepada tenaga kesehatan hingga tenaga medis untuk
penanganan diabetes. Di sisi lain, Askes yang juga akan berperan sebagai Badan Pelaksana
Jaminan Sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia ikut serta bekerja sama berfokus pada
pengendalian biaya dalam penanganan penyakit diabetes. Upaya yang dilakukan Askes melalui
peningkatan pelatihan bagi dokter keluarga sampai pegembangan sistem informasi manajemen
aplikasi dokter keluarga (Jurnalmedika,2012).
4) Pengawasan
Monitoring dilakukan dengan metoda pengumpulan dan analisis informasi secara teratur dan
dilakukan secara internal. Sumber data yang penting dalam monitoring adalah laporan verifikasi
kegiatan dan keluaran output internal berupa laporan bulanan/triwulan/tahunan, catatan kerja
atau laporan perjalanan, catatan hasil penelitian dan notulen rapat. Monitoring dilakukan dengan
dua cara yaitu:
a. Monitoring dengan melakukan kunjungan lapangan (field visit)
b. Monitoring dengan mendapatkan laporan kemajuan (progress report) yang diperoleh dari
laporan masing-masing pengelola program. Biasanya berbentuk persentase target dan
realisasi penyerapan dana serta realisasi kemajuan kegiatan.
Monitoring dan evaluasi pengendalian DM dan PM dilakukan sebagai berikut:
a. Pelaksana monev adalah direktorat Pengendalian PTM dibantu Dinas Kesehatan Propinsi
b. Sasaran monev adalah UPT, Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten /
Kota dan Puskesmas
c. Monitoring dilakukan setiap satu tahun sekali dan evaluasi output/outcame dilakukan
setiap 3 tahun sekali
d. Hasil dari monitoring dan evaluasi pengendalian DM dan PM disosialisasikan kepada
lintas program dan lintas sektor terkait dan masyrakat untuk mengambil langkah-langkah
upaya tindak lanjut.
BAB 3. MASLAH PROGRAM MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
3.1 Analisis Masalah Fish Bone
PLANNING
Belum optimalnya pelaksanaan program pengendalian DM
Kurangnya kesadaran masyrakat untuk mengendalikan DM
Keterbatasan dana dalam pelaksanaan program
Kecenderungan pemerintah lebih mementingkan penyakit menular
ORGANIZING
Pelaksanaan program belum berbasis pemberdayaan
masyarakat
Tidak meratanya kegiatan posbindu PTM
TOGA dan TOMA tidak dilibatkan secara optimal
Kurang aktifnya peran serta kader dalam pelaksanaan program
CONTROLLING
Tidak adanya pengampu program pengendalian DM di puskesmas
Kurangnya dukungan peralatan dan kegiatan deteksi dini faktor resiko
DM
Kurangnya pencegahan faktor resiko berbasis masyarakat dalam
pengendalian DM
ACTUATING
Masih lemahnya survailence epidemiologi DM
Lemahnya sistem informasi dalam pengendalian DM
Masalah Manajemen:
1. Sistem pelaporan kasus DM belum terintegrasi dengan optimal
2. Keberhasilan program pengendalian DM masih rendah
3. Belum optimalnya pelayanan kesehatan masayrakat dalam menangani DM
4. Kurang optimalnya dukungan kemitraan berbasis pemberdayaan masyarakat
5. Pelaksanaan program pengendalian DM belum optimal
6. Sistem pengelolaan program pengendalian DM masih belum optimal
3.2 Daftar Masalah Manajemen Pelayanan Kesehatan
1. Kurang optimalnya dukungan kemitraan berbasis pemberdayaan masyarakat berhubungan
dengan kurang aktifnya peran serta kader dalam pelaksanaan program; TOGA dan TOMA tidak
dilibatkan secara optimal.
2. Belum optimalnya pelayanan kesehatan masayrakat dalam menangani DM berhubungan dengan Keterbatasan dana dalam pelaksanaan program; tidak adanya pengampu program pengendalian DM di puskesmas; kurangnya dukungan peralatan dan kegiatan deteksi dini faktor resiko DM.
3.3 Prioritas Masalah
Table 1.1 penentuan peringkat masalah
No Masalah
Besarnya Masalah
Tingkat Kegawatan Masalah
Kemudahan Penanggulangan Masalah
P E A R L
0-10 0-10 0,5-1,5 0/1 0/1 0/1 0/1 0/1
1 1 8 7 1,1 1 1 1 1 1
2 2 8 7 1,3 1 0 1 0 1
BAB 4. PERENCANAAN
4.1 Perencanaan
No
Diagnosa Tujuan Rencana Kegiatan
Aktivitas Evaluasi
Indikator Evaluator
1 Kurang optimalnya dukungan kemitraan berbasis pemberdayaan masyarakat berhubungan dengan kurang aktifnya peran serta kader dalam pelaksanaan program; TOGA dan TOMA tidak dilibatkan secara optimal.
TUM: Aktifnya kader, TOGA dan TOMA dalam program pengendalian DM
TUK: 1. Terbentuknya pos pembinaan terpadu DM yang difasilitasi oleh kader
2. terbentuknya komunitas kontrol DM yang difasilitasi oleh TOGA dan TOMA
1. Pemberday
aan
masyarakat
melalui
pelatihan
TOGA dan
TOMA,
dan kader.
1.1 memberi
kan
pengarah
an
kepada
TOGA
dan
TOMA
tentang
pengenda
lian DM.
1.2 memberikan pelatihan kepada kader tentang program pengendalian DM
1.1.1 terlaksan
anya pengarahan
Toga dan Toma
tentang
pengendalian
DM
1.1.2 terbentuk
nya komunitas
kontrol DM
1.2.1 terlaksananya pelatihan kader tentang program pengendalian DM
1.2.2 terbentuknya pos pembinaan terpadu DM
1.2.3 terselenggaranya pos pembinaan terpadu DM setiap sebulan 2 kali
Mahasiswa
Masyarakat
TOGA dan
TOMA
Mahasiswa
Masyarakat
Kader
2. Belum optimalnya pelayanan kesehatan masyarakat dalam menangani DM berhubungan dengan keterbatasan dana dalam pelaksanaan program; tidak adanya pengampu program pengendalian DM di puskesmas; kurangnya dukungan peralatan dan kegiatan
TUM: pelayanan kesehatan dalam menangani DMmencapai target MDG’s 2015
TUK: Terselenggaranya program pengendalian DM di Puskesmas
Menjalin
kerjasama
antara
lintas
program
dan lintas
sektor
serta pihak
swasta
(praktek
dokter,
bidan,
perawat,
dan LSM)
1.1 Skrening DM
1.2 Promosi program pengendalian DM
1.3 Pelyanan rujukan DM
1.1 penemuan kasus DM di masyrakat 100%
1.2 terselenggaranya acara peringatan hari DM
1.3 terorganisirnya penderita DM
Mahasiswa
Masyarakat
Pihak Swasta
Puskesmas
deteksi dini faktor resiko DM
4.2 POA
No Rencana Kegiatan Tujuan Kegiatan Sumberdaya
Penanggung Jawab Waktu Pelaksanaan
Alokasi Dana
1 Kurang optimalnya dukungan kemitraan berbasis pemberdayaan masyarakat berhubungan dengan kurang aktifnya peran serta kader dalam pelaksanaan program; TOGA dan TOMA tidak dilibatkan secara optimal.
1. Pengarahan TOGA dan
TOMA tentang
pengendalian DM
2. Terbentuknya komunitas
kontrol DM
3. Pelatihan kader tentang
pelaksanaan program
pengendalian DM
4. Kader terlatih mampu
memberikan pelayanan
secara mandiri
5. Terselenggaranya pos
pembinaan terpadu DM
Mahasiswa
Kader
Masyarakat
Minggu I s/d minggu IV
Swadaya masyarakat
Donatur
2. Belum optimalnya pelayanan kesehatan masyarakat dalam menangani DM berhubungan dengan keterbatasan dana dalam pelaksanaan program; tidak adanya pengampu program pengendalian diabetes di puskesmas; kurangnya dukungan
1. Terselenggaranya
program pengendalian
DM
2. Terjalinnya kerjasama
antara lintas program dan
lintas sektor serta pihak
swasta (praktek dokter,
bidan, perawat, dan LSM)
Mahasiswa
Masyarakat
Pihak swasta
Puskesmas
Minggu I s/d minggu VII
Pemerintah
Swadaya masyarakat
Donatur
peralatan dan kegiatan deteksi dini faktor resiko DM.
BAB 5. IMPLEMENTASI
5.1 Pilot Project
5.1 Pilot Project
1. Judul program : Pos Pembinaan Terpadu DM
2. Deskripsi komunitas
Masyarakat di Desa A merupakan masyarakat yang kurang peduli terhadap
kesehatan. Di Desa tersebut banyak warga yang menderita penyakit tidak menular seperti
diabetes mellitus. Penyakit tersebut bisa muncul karena masyarakat kurang peduli
terhadap kesehatan, pola hidup yang tidak baik, dan karena proses penuaan. pola hidup
yang ada pada masyarakat Desa A yaitu suka merokok, jarang berolahraga, dan makanan
yang tidak sehat. masyarakat Desa A juga kurang mengerti tentang pencegahan DM dan
menjaga pola hidup yang sehat agar terhindar dari DM. Dari hal tersebut maka perlu
adanya posbindu PTM untuk pembinaan pada masyarakat desa A supaya bisa
mengendalikan faktor resiko penyakit DM secara mandiri.