(hal~ma~@@' Pikiran Rakyat (kOIOm)OW o Senin o Selasa o Rabu • Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu 13 @ 15 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 16 1 2 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 17 18 OJan OPeb o Mar OApr OMei OJun .Jul 0 Ags OSep OOkt ONov OD'es Ironi Pendidikon Kito Kini Oleh RAHADIAN M. Mahasiswa Universitas Padjadjaran D AIAM catatan UNESCO, pada kurun 20 tahun terakhir Indone- sia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang berseko- lah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang pu- tus sekolah diperkirakan masih ada duaju- taorang. Indonesia tetap belum berhasil mem- berikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti kuali- fikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah, dan keterlibatan ma- syarakat. Sebagian besar anak usia 3 sam- pai 6 tahun kurang mendapat akses aktivi- tas pengembangan dan pemelajaran usia dini, terutama anak -anak yang tinggal di pedalaman dan perdesaan. Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik set- ing harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemer- intah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih beror-' ientasi pada guru dan anak tidak diberi ke- sempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di In- donesia. Ditambah, anak-anak dari golon- gan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak ter- jangkau bagi mereka. Di sisi lain, komersialisme pendidikan saat ini semakin menggejala. Sekolah yang seharnsnya menjadi sarana memanusiakan manusia, kini malah menjadi wahana barn segregasi manusia berdasarkan kemam- puan finansial. Akses seseorang terhadap pendidikan berkualitas hanya didasarkan pada kaya atau miskinnya dia. Padahal, berdasarkan konstitusi, pendidikan adalah barang publik yang pemenuhannya wajib dilaksanakan oleh negara tanpa kecuali. Pemyataan Paulo Freire dalam Peda- gogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, 1984), bakal terus ter- ngiang di tengah indikasi distorsi dalam pendidikan di negeri ini. Freire mene- gaskan bahwa hakikat pendidikan adalah sebagai upaya memperlakukan manusia se- bagai manusia. Dalam situasi penuh ketim- pangan sosial, tujuan dan tugas pendidikan adalah menjadi sarana refleksi kritis atas persoalan demikian. Dalam bahasa Freire, pendidikan bukan semata berfungsi sebagai transfer of knowledge. Ilmu pengetahuan mesti men- jadi sarana mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial (critical and trans- formative consciousness). Dalam konteks demikian, pendidikan se- harusnya tak pernah bisa paralel dengan situasi diskriminatif. Tak mungkin bisa beriringan dengan pemarginalan kalangan yang tak punya akses akan kuasa dan .modal. Apalagi komodifikasi yang berujung pada logika kapitalisme; eksploitasi. Atas dasar pemikiran demikian juga, setiap war- ga negara, tidak peduli berasal dari keluar- ga ningrat atau melarat, sah mengenyam Kliping Humas Unpad 2011 pendidikan dalam berbagai wujud formal- nya. Pendidikan adalah dom . netral yang bisa dimasuki siapa saja tanpa memandang "identitas sosial" yang serba diskriminatif. Hanya, realitas yang terjadi di negeri ini tidak berbicara demikian. Praktik pen- didikan nasional kita semakin jauh dari visi kerakyatan. Dengan dalih otonomi dan li- beralisasi, pendidikan kian tid cterjangkau rakyat kecil. Pendidikan yang seharusnya menampilkan wajah "teduh" dan mengayo- mi, kini justru ditakuti rakyat kecil. Takut karena harapan menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dihadapkan pada tembok pejal bernama uang. Pendidikan sendiri yang meminggirkan sisi kemanusi- aannya. Tanpa amanat konstitusi sekalipun, su- dah menjadi kewajiban hakiki pemerintah di semua level untuk menempatkan pen- didikan pada ranah yang bisa diakses se- muapihak. Tatkala kesadaran kritis dan transformatif yang menjadi inti pendidikan, sebagaimana dikutip dari ajaran Freire, kian menjauh dari pendidikan kita, tak heran jika pengelolaan pendidikan pun kini bergeser pada basis manajemen bisnis. Hal ini kemudian men- jalar pada persepsi birokrasi pendidikan ataupun masyarakat kebanyakan. Segregasi tingkat (baca: kualitas) pendidikan pun menyeruak atas dasar siapa bisa membayar berapa. Meminjam kata-kata dari Darma- ningtyas, lembaga pendidikan kita kini ha- nya sibuk mengurus aspek manajerial untuk survive semata. Bukan kesibukan untuk me- ngembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan peradaban bangsa. Pada- hal, itulah sebetulnya tugas utama lembaga pendidikan. *** r