Page 1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Proses penuaan akan selalu terjadi pada setiap mahluk hidup, di
mana proses tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehingga banyak
usaha untuk menunda proses penuaan dengan memberi intervensi terhadap
faktor-faktor tersebut agar kualitas hidup tetap baik pada usia lanjut.
Menjadi tua adalah suatu proses natural dan kadang-kadang tidak
tampak mencolok. Penuaan akan terjadi pada hampir semua sistem tubuh
manusia dan tidak semua sistem akan mengalami kemunduran pada waktu
yang sama. Meskipun proses menjadi tua merupakan gambaran yang
universal, tidak seorangpun mengetahui dengan pasti penyebab penuaan
dan mengapa manusia menjadi tua pada usia yang berbeda-beda. Pesatnya
perkembangan ilmu dan tehnologi secara ilmiah menemukan bahwa proses
penuaan dapat diperlambat sehingga menyebabkan sebagian orang
berusaha melakukan berbagai upaya untuk menghambat ataupun
mengobati penuaan termasuk penuaan pada kulit (Pangkahila, 2007; Afaq
dan Mukhtar, 2010).
Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses
penuaan, tapi sebenarnya dibagi dua kelompok teori yaitu teori stokastik
dan teori nonstokastik. Dan proses yang mempengaruhi penuaannya juga
dibagi dua kelompok, yaitu penuaan intrinsik (proses yang berkaitan
dengan genetik) dan ekstrinsik (proses akibat akumulasi dari kerusakan
akibat pengaruh lingkungan). Paling banyak dapat diantisipasi adalah
Page 2
2
faktor ekstrinsik (seperti gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan
yang salah, polusi lingkungan, cuaca dan iklim yang ekstrim, stres, dan
kemiskinan). Untuk kita di daerah tropis, faktor ekstrinsik ini yang sering
menyebabkan penuaan dini kulit (premature skin aging). Beberapa hal
yang menjadi faktor ekstrinsik seperti paparan sinar UV, deterjen, dan
beberapa zat topikal tertentu pada kulit.
Faktor lingkungan yang paling berperan adalah radiasi sinar
ultraviolet yang dapat merusak telomer dan menginduksi radikal bebas
sehingga menimbulkan penuaan seluler (Kosmadaki dan Gilchrest, 2004),
sehingga istilah penuaan dini kulit sering disebut pula dengan istilah
photoaging (Garmyn et al., 2004).
Photoaging akan terjadi apabila kulit terpapar sinar UV secara
kronik dan berulang dalam kurun waktu tertentu. Pajanan kronis sinar
UVA dan UVB sangat berperan dalam terjadinya photoaging dan
photocarcinogenesis (Holder dan Richard, 2004; Gloster dan Nail, 2006;
Kochevar dan Taylor, 2008). Kerusakan kulit pada photoaging dapat
terjadi pada komponen epidermis, dermis maupun jaringan appendages
kulit. Salah satu perubahan mikroskopis yang terjadi pada lapisan dermis
kulit yang mengalami photoaging dapat berupa berkurangnya jumlah serat
kolagen secara bermakna (Yaar et al., 2008; Walker et al., 2008),
berkurangnya kelenjar lemak dan kelenjar keringat sehingga menyebabkan
berkurangnya kelembaban pada kulit.
Page 3
3
Kolagen adalah salah satu komponen serat yang dominan pada
lapisan dermis kulit. Serat kolagen banyak berperan pada kekompakan dan
kekenyalan kulit. Apabila terjadi kerusakan pada dermis akibat paparan
UV, maka akan terjadi perubahan berupa berkurangnya jumlah serat
kolagen dan berakibat pada ketebalan kolagen berkurang, serat kelarutan
serat kolagen berkurang (Diegelman, 2008).
Kerusakan kolagen akibat paparan sinar UVB akibat pengaruh
radikal bebas, yang menimbulkan kerusakan pada tingkat seluler dan pada
akhirnya berakibat pada kematian sel serat kolagen maupun sel fibroblas
yang memproduksi kolagen (Diegelman, 2008; Fischer et al., 2008).
Apabila terjadi kerusakan pada serat kolagen maka akan terjadi pula
kerusakan pada gugus asam amino.
Teori radikal bebas yang dikemukakan oleh Harman pada tahun
1956 merupakan teori yang paling luas dikenal sebagai penyebab penuaan.
Tubuh manusia memiliki mekanisme perlawanan terhadap stres oksidatif
dengan membentuk antioksidan yang akan mengurangi dan menetralisir
radikal bebas, baik antioksidan enzimatik maupun non enzimatik. Namun
paparansinar ultraviolet dan sumber radikal bebas lainnya (seperti
merokok, polusi) dapat mengalahkan sistem perlawanan alami tubuh
tersebut sehingga kontrol terhadap perlawanan alami menjadi tidak
adekuat dan terbentuk kerusakan oksidatif (Pinnell, 2003).
Antioksidan merupakan molekul yang dapat bekerja pada kulit
untuk mengurangi efek reactive oxygen species (ROS), yang terbentuk
Page 4
4
sebagai akibat dari sinar ultraviolet dan mengakibatkan kerusakan kolagen.
Perkembangan terakhir banyak mengarah pada penggunaan antioksidan
baik oral maupun topikal untuk melawan penuaan kulit, namun publikasi
tentang hal ini termasuk minim. Banyak produk perawatan kulit yang
menggunakan antioksidan seperti vitamin C, vitamin E, ferulic acid,
koenzim Q-10, teh hijau, pycnogenol, sylimarin, idebenone (Baumann,
2008). Antioksidan tersebut dapat merangsang produksi kolagen dermis
dengan meningkatkan produksi Tissue Inhibitor of Matrix
Metalloproteinas-1 di dermis yang berfungsi untuk menghambat
pemecahan kolagen-1.
Dengan demikian untuk mencegah kerusakan selular yang
berhubungan dengan stres oksidatif maka penting untuk menjaga
keseimbangan antioksidan dan oksidan dengan suplementasi antioksidan
(Hanggono, 2004). Salah satu tanaman Indonesia yang bisa dimanfaatkan
untuk tujuan tersebut adalah buah manggis (Garcinia mangostana),
terutama pemanfaatan kulit buahnya. Tanaman manggis berasal dari hutan
tropis di kawasan Asia Tenggara, salah satunya Indonesia. Sudah lama
masyarakat tradisional kita mempercayai dan menggunakan kulit manggis
sebagai masker untuk mencerahkan, melembabkan dan mengencangkan
kulit. Kulit manggis mengeksudasikan resin kuning yang kaya akan xanton
(Akao et al., 2008). Mangostin adalah unsur xanton utama, dan terdapat
pada tanaman manggis (Peres et al., 2000). Priya et al., (2010)
mengekstraksi kulit manggis menemukan kandungan 95% xanton,
Page 5
5
disamping itu didapat juga kandungan isoflavon, tannin dan flavonoid
(Priya et al., 2010).
Pada penelitian pendahuluan untuk menguji efektifitas dosis kulit
manggis terhadap peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi
MMP-1 dermis pada mencit yang akan dilakukan pada penelitian ini
didapat hasil bahwa diantara dosis kulit manggis 25%, 50% dan 95%,
ternyata dosis 95% adalah yang paling optimal didalam hal peningkatan
jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 dermis pada mencit
(Ericson, 2014).
Dengan demikian penulis ingin melakukan penelitian untuk
menilai efek proteksi dan peremajaan kulit dari ekstrak kulit manggis dan
seberapa besar kandungannya sebagai antioksidan terhadap hewan
percobaan yang dipaparkan ultraviolet sehingga terjadi aging skin.
1.2 Rumusan masalah
1. Apakah pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia
mangostana) 95% meningkatkan jumlah kolagen dermis pada kulit
mencit yang dipapar UVB ?
2. Apakah pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia
mangostana) 95% menurunkan ekspresi matriks metalloproteinase-
1 pada kulit mencit yang dipapar UVB ?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Page 6
6
Membuktikan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit
manggis (Garcinia mangostana) 95% menghambat penuaan kulit pada
kulit mencit yang dipapar UVB.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Membuktikan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis
(Garcinia mangostana) 95% meningkatkan jumlah kolagen dermis
pada kulit mencit yang dipapar UVB.
2. Membuktikan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis
(Garcinia mangostana) 95% menurunkan ekspresi matriks
metalloproteinase-1 pada kulit mencit yang dipapar UVB.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat ilmiah
Memberikan informasi ilmiah mengenai peranan kulit manggis
dalam meningkatkan jumlah kolagen dermis dan menurunkan ekspresi
matriks metalloproteinase-1.
1.4.2 Manfaat aplikasi
Mendukung pengembangan penelitian kulit manggis sebagai
alternatif antioksidan topikal dalam hal menghambat penuaan kulit melalui
peningkatan jumlah kolagen dermis dan penurunan ekspresi matriks
metalloproteinase–1.
Page 7
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
Proses menua merupakan suatu akumulasi secara progresif
berbagai perubahan patologis di dalam sel dan jaringan yang terjadi seiring
dengan waktu. Disamping itu, proses penuaan akan disertai menghilangnya
kemampuan jaringan secara perlahan untuk memperbaiki atau mengganti
diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, sehingga tubuh
tidak dapat bertahan terhadap kerusakan atau memperbaiki kerusakan
tersebut (Rabe et al., 2006).
2.2 Penuaan kulit
2.2.1 Macam proses penuaan kulit
Proses menua kulit mempunyai dua fenomena yang saling
berkaitan dan sering tumpang tindih. Yang pertama adalah penuaan
intrinsik (intrinsic aging, chronological aging) (Gilchrest dan Krutmann,
2006).
1. Penuaan intrinsik dikenal juga dengan proses penuaan secara alamiah,
yang merupakan proses yang terus berlangsung, biasanya dimulai pada
usia 20 tahunan yang disebabkan oleh berbagai faktor dari faktor
fisiologis tubuh sendiri seperti faktor genetik, hormonal dan ras (Chung
et al., 2003; Yaar dan Gilchrest, 2008), maupun faktor patologis seperti
penyakit dan kekurangan gizi. Penuaan intrinsik tersebut, terjadi oleh
karena akumulasi kerusakan endogen yang disebabkan oleh
Page 8
8
pembentukan senyawa oksigen reaktif selama metabolisme oksidasi
seluler. Pemendekan telomer pada pembelahan sel juga dapat dikatakan
sebagai salah satu penyebab penuaan intrinsik pada kulit, selain oleh
karena penurunan faktor pertumbuhan dan hormon. Manifestasi klinis
penuaan kronologis kulit dapat berupa serosis, kelemahan, kerutan dan
gambaran tumor jinak seperti keratosis seboroik dan angioma buah ceri.
Proses penuaan dari seseorang ternyata dipengaruhi oleh gen
tetentu. Kondisi kulit orang tertentu, ada yang memiliki kecenderungan
mengalami proses penuaan lebih awal seperti kecenderungan untuk
timbul keriput. Di dunia ini ada berbagai macam ras dan masing-
masing mempunyai struktur kulit yang berbeda terutama struktur kulit
yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh terhadap lingkungan. Ras
kaukasia lebih mudah mengalami terbakar surya dan akan lebih mudah
mengalami penuaan dini kulit, terjadinya lesi prekanker kulit atau
kanker kulit dibandingkan dengan kulit berwarna (Yaar dan Gilchrest,
2008).
Pengaruh hormonal erat hubungannya dengan umur seseorang.
Proses menua fisiologis lebih terlihat pada wanita yang memasuki masa
menopause. Pada masa tersebut fungsi ovarium menurun, menyebabkan
estrogen berkurang yang mengakibatkan kekeringan dan penurunan
elastisitas kulit sehingga dapat menyebabkan penuaan kulit (Klatz dan
Goldman, 2003; Rabe et al., 2006).
Page 9
9
2. Penuaan ekstrinsik (photoaging), terjadi sebagai akibat kerusakan
kumulatif dari radiasi sinar ultraviolet.
Paparan sinar matahari, dapat menginduksi penuaan kulit lebih
awal dan sering disebut dengan istilah premature skin aging. Gambaran
klinis penuaan ini terbatas pada daerah terpapar sinar UV seperti wajah,
leher, lengan dan punggung tangan. Penuaan ekstrinsik pada kulit pada
umumnya disebabkan paparan sinar UV sehingga dikenal dengan istilah
photoaging (Glogau, 2004).
Radiasi sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 200 - 400 nm
merupakan 5% dari seluruh kisaran radiasi sinar matahari. Secara
umum sinar ultraviolet dibagi menjadi tiga, yaitu UVA (320 - 400nm),
UVB (290 - 320nm), UVC (300 - 290nm). UVC dapat terabsorbsi
secara langsung oleh lapisan ozone di atmosfer.
Radiasi UV dapat mengakibatkan aktivasi reseptor permukaan sel
yang mengakibatkan propagasi sinyal intraseluler dan sintesis faktor
transkripsi. Protein inti yang berikatan dengan DNA dapat
meningkatkan atau menekan gen transkripsi. Salah satu faktor
transkripsi yang secara cepat dan prominen dapat terinduksi oleh radiasi
sinar UV adalah AP-1. AP-1 dapat mempengaruhi gen transkripsi
kolagen pada fibroblas, menurunkan level prokolagen-I dan
prokolagen-III, selain itu AP-1 juga dapat merangsang gen transkripsi
yang mengkode matrix-degrading enzyme seperti metalloproteinase.
Page 10
10
Pada kulit yang mengalami photoaging tersebut dapat
memperlihatkan gambaran klinis berupa permukaan yang kasar, kerutan
halus dan kasar, bercak kekuningan, kering, dan telangiektasis (Rigel
et.al., 2004; Gilchrest dan Krutmann, 2006).
Kelembaban udara juga berpengaruh pada terjadinya proses
penuaan kulit. Kelembaban udara yang rendah, paparan angin dan suhu
dingin akan mempercepat penguapan air kulit yang akan menyebabkan
kulit menjadi kering dan mempercepat terjadi penuaan kulit. Berbagai
bahan yang meningkatkan pembentukan radikal bebas dapat
mempercepat penuaan kulit, antara lain: sinar X, sinar UV, polusi
kendaraan bermotor, gas N2O, freon, asap rokok, diet karbohidrat
dengan kalori tinggi, bahan pengawet, pewarna dan pelezat.
Penggunaan kosmetik yang tidak sesuai dengan kondisi kulit dapat
menyebabkan kekeringan kulit dan pada akhirnya dapat terjadi penuaan
kulit. Terlalu sering menggunakan sabun, detergen, pembersih berkadar
alkohol tinggi pada jenis kulit normal atau kering akan mempercepat
terjadi penuaan kulit (Chung et al., 2003; Soepardiman, 2003).
Sumber : catatan kuliah penuan kulit oleh Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna, Spkk
Gambar 2.1. Gambar perbandingan kulit muda dan tua.
Page 11
11
Tabel 2.1. Perubahan kulit secara klinis dan histologis karena penuaan kulit.
Epidermis Dermis Lain-lain
Dermal-epidermal
junction menyempit
Atrofi (kehilangan
volume dermal)
Rambut kehilangan
pigmen
Ketebalan bervariasi Fibroblas berkurang Kehilangan rambut
Ukuran dan bentuk sel
bervariasi
Sel mast berkurang Perubahan rambut
terminal menjadi rambut
vellus/halus
Nukleus atipik berkala Pembuluh darah
berkurang
Dasar kuku yang
abnormal
Melanosit berkurang Loop kapiler memendek Kelenjar berkurang
Sel Langerhans berkurang Ujung saraf abnormal
Sumber : catatan kuliah penuan kulit oleh Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna, Spkk
2.2.2 Teori terjadinya proses penuaan
Secara perspektif penuaan dibagi tiga sudut pandang : usia biologis
(kapasitas fungsi sistem organ), usia psikologis (kapasitas perilaku
adaptasi), usia sosial (perubahan peran & perilaku sesuai usia manusia).
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menjelaskan lebih kearah
sudut pandang usia biologis. Teori ini berfokus pada proses biologi dalam
kehidupan seseorang dari lahir sampai meninggal. Perubahan pada tubuh
dapat secara independen atau dapat dipengaruhi oleh faktor luar yang
bersifat patologis. Teori biologi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu (
Klatz dan Goldman, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2008) :
Page 12
12
1. Teori stokastik/ Stochastic theories
Bahwa penuaan merupakan suatu kejadian yang terjadi secara acak /
random dan akumulasi setiap waktu. Teori ini terdiri dari :
a. Free radical theory (teori radikal bebas)
Banyak teori yang menjelaskan mengenai penuaan, yang paling
banyak dianut adalah teori radikal bebas. Riset anti penuaan Dr.
Denham Harman pada tahun 1954 mengemukakan teori radikal bebas.
Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan akumulasi kerusakan
ireversibel akibat senyawa pengoksidan.
Radikal bebas adalah produk metabolisme selular yang merupakan
bagian molekul yang sagat reaktif. Molekul ini mempunyai muatan
ekstraselular kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan protein,
mengubah bentuk dan sifatnya. Molekul ini juga dapat bereaksi dengan
lipid yang berada dalam membran sel, mempengaruhi
permeabilitasnya, atau dapat berikatan dengan organel sel lainnya.
Radikal bebas adalah elektron dalam tubuh yang tidak memiliki
pasangan sehingga akan berusaha mencari pasangan agar dapat
berikatan dan stabil. Sebelum mendapat pasangan radikal bebas akan
terus menerus merusak sel tubuh termasuk sel tubuh normal. Hal
tersebut mengakibatkan sel akan cepat rusak dan menua, bahkan
mungkin dapat menimbulkan terjadi kanker atau keganasan.
Page 13
13
Radikal superoksid dan hidroksil akan terbentuk saat respirasi
mitokondria yang timbul akibat autooksidasi berbagai molekul
intraseluler serta akibat pengaruh lingkungan seperti sinar ultraviolet.
Proses metabolisme oksigen diperkirakan menjadi sumber radikal
bebas terbesar, secara spesifik, oksidasi lemak, protein dan
karbohidrat dalam tubuh menyebabkan terbentuknya formasi radikal
bebas. Polutan lingkungan merupakan sumber eksternal radikal bebas.
Enzim superoksid dismutase akan berkurang seiring bertambahnya
umur sehingga akan mengakibatkan antioksidan alami tubuh tidak
mampu lagi menetralisir oksidan yang terbentuk.
b. Teori kelainan alat (Orgell error theory)
Kesalahan transkripsi DNA akan dapat menghasilkan RNA yang
tidak sempurna, hal tersebut mengakibatkan kelainan pada berbagai
enzim dan protein intraseluler sehingga terjadi gangguan fungsi sel
dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel bersangkutan. Teori
kesalahan didasarkan pada gagasan di mana kesalahan dapat terjadi di
dalam rekaman sintese DNA. Kesalahan ini diabadikan dan
secepatnya didorong kearah sistem yang tidak berfungsi di tingkatan
yang optimal. Jika proses transkripsi dari DNA terganggu maka akan
mempengaruhi suatu sel dan akan terjadi penuaan yang berakibat pada
kematian. Jumlah enzim yang tidak aktif akan semakin bertambah
dengan meningkatnya umur.
Page 14
14
c. Teori ikatan silang (Cross-linkage theory)
Proses menua terjadi akibat DNA dan molekul lainnya akan saling
melekat, saling memilin (Crosslink) sehingga terbentuk ikatan silang
yang progresif antara protein intraseluler dan interseluler seperti
contoh pada serabut kolagen. Ikatan silang ini akan meningkat dengan
bertambahnya umur. Akibatnya protein yang sudah rusak tidak dapat
dicerna oleh enzim protease, sehingga ikatan silang ini akan
menyebabkan penurunan elastisitas dan kelenturan kolagen pada
membran basalis atau pada substansi dasar jaringan penyambung,
mengurangi elastisitas protein dan molekul. Akibatnya pada kulit bisa
terjadi kerutan, pada ginjal fungsi penyaringan menjadi berkurang dan
pada mata dapat menimbulkan katarak (kekeruhan lensa mata),
ataupun kerusakan organ yang lain.
d. Wear and tear theory (Teori pakai dan rusak)
Dipublikasikan pertama sekali oleh Dr. Augus Weistman seorang
biologis dari Jerman pada tahun 1882. Teori ini mengatakan bahwa
manusia diibaratkan seperti mesin. Sehingga perlu adanya perawatan.
Dan penuaan merupakan hasil dari penggunaan yang terus menerus
dan berlebihan.
e. Teori neuroendokrin
Vladimir Dilman, Ph.D. menjelaskan teori kerusakan akibat
pemakaian dengan berfokus pada sistem neuroendokrin, jaringan
biokimia rumit yang mengatur pelepasan hormon dan elemen-elemen
Page 15
15
vital tubuh lainnya. Ketika muda, hormon-hormon kita bekerja
bersama-sama untuk mengatur berbagai fungsi-fungsi tubuh, termasuk
respon kita terhadap panas, dingin dan aktifitas seksual kita. Kelenjar
sebesar kacang kenari ini terletak dalam otak dan bertanggung jawab
untuk reaksi berantai hormonal kompleks yang dikenal dengan nama
lain thermostat tubuh.
Hormon penting fungsinya untuk memperbaiki dan mengatur
fungsi-fungsi tubuh. Sejalan dengan bertambahnya usia, tubuh
memproduksi hormon-hormon dalam kadar yang lebih rendah dan
dapat menyebabkan efek berbahaya, termasuk penurunan
kemampuannya dalam memperbaiki tubuh dan mengatur tubuh.
Produksi hormon sangat interaktif : produksi satu tetes hormon
apapun akan mempengaruhi mekanisme secara keseluruhan, seperti
menyampaikan sinyal pada organ-organ lain untuk melepaskan
hormon lainnya dalam kadar yang lebih rendah sehingga bagian-
bagian tubuh lainnya juga akan mengeluarkan hormon dalam kadar
yang lebih rendah. Dan bilamana salah satu hormon produksinya
berkurang akan menyebabkan produksi hormon yang lain dapat
berubah, bisa berkurang dan bahkan malah bertambah.
f. Teori telomerase
Teori penuaan telomerase adalah teori baru tentang penuaan yang
menawarkan banyak kemungkinan yang menjanjikan dalam bidang
obat-obatan anti penuaan. Teori ini lahir dari hasil temuan kemajuan
Page 16
16
ilmu-ilmu genetika dan teknologi genetika. Pertama kali ditemukan
oleh sekelompok ahli dari Geron Corporation di Menlo Park,
California, telomer adalah sekumpulan asam nukleat yang merupakan
perpanjangan dari ujung kromosom. Telomer bertugas untuk
mempertahankan integritas kromosom. Setiap kali sel-sel kita
membelah, telomer akan memendek. Terutama, saat ujung telomer-
DNA terlalu pendek, pembentukan sel akan melambat dan kemudian
akan berhenti sama sekali. Hal ini diyakini kemungkinan sebagai
mekanisme untuk jam selular penuaan.
Para ahli menemukan bahwa elemen kunci dalam membentuk
kembali telomer-telomer kita yang hilang adalah enzim telomerase
abadi sebuah enzim yang hanya ditemukan dalam sel-sel kuman dan
kanker. Telomerase berfungsi untuk memperbaiki dan memperbaharui
telomer, memanipulasi mekanisme berdetaknya jam yang mengatur
jangka waktu terbelahnya sel.
2. Teori nonstokastik/Nonstochastic theories
Proses penuaan disesuaikan menurut waktu tertentu
a. Programmed theory (teori kontrol genetik)
Pembelahan sel dibatasi oleh waktu, sehingga suatu saat tidak
dapat regenerasi kembali. Teori ini mengatakan bahwa kita sudah memiliki
program genetik dalam DNA masing-masing, yang akan mengatur fungsi
fisik dan mental masing-masing individu. Keturunan genetik ini yang
menentukan berapa usia kita yang mulai menua, usia berapa kita akan
Page 17
17
meninggal, setiap manusia seakan memiliki jam waktu (seperti bom
waktu) yang berdetik terus sampai masanya habis. Dan setelah itu kita
meninggal.
b. Immunity theory
Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi, dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan system imun tubuh mengenali
dirinya sendiri. Mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada
antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan system imun
tubuh mengalami perubahan, dan dapat dianggap sebagai sel asing. Hal
inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Di lain pihak,
system imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada
proses penuaan dan daya serangnya terhadap sel kanker mengalami
penurunan.
2.2.3 Penyebab penuaan kulit
Proses penuaan itu berhubungan dengan perubahan yang terjadi
secara terus-menerus pada semua jaringan termasuk pada kulit.
Perubahan ini termasuk kehilangan interstitial matriks protein dalam sel.
(Jenkins, 2002). Penuaan kulit secara intrinsik berupa pengurangan
ketebalan kulit dan perubahan karakteristik dari susunan jaringan.
Gambaran klinis dari perubahan karakteristik tersebut, seperti terjadinya
kerutan halus, permukaan jaringan yang lebih kasar dan timbulnya
hiperpigmentasi.
Page 18
18
Secara umum diasumsikan penyebab dari proses penuaan kulit ini
dapat dipengaruhi oleh latar belakang etnis, gaya hidup dan paparan sinar
matahari secara terus-menerus (Gilchrest dan Krutmann, 2006).
2.3 Photoaging
2.3.1 Definisi
Photoaging adalah kelainan dan kerusakan kulit yang diakibatkan
paparan kronis sinar UV pada kulit yang memang sudah mengalami
penuaan intrinsik. Banyak fungsi kulit yang menurun seiring dengan
bertambahnya usia kronologis, akan tetapi pada photoaging terjadi lebih
cepat. Jadi photoaging dianggap sebagai kondisi makroskopis,
mikroskopis dan fungsional kulit akibat pajanan kronik dan berulang
terutama disebabkan radiasi ultraviolet matahari atau sumber sinar
buatan (Glogau et al., 2004).
2.3.2 Kondisi kulit akibat photoaging
2.3.2.1 Perubahan klinis kulit pada photoaging
Penuaan merupakan proses multifaktorial yang kompleks dan
mengakibatkan sejumlah perubahan fungsional dan estetik pada kulit.
Perubahan ini dipengaruhi faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Proses
menua kulit berlangsung secara lambat tetapi pasti, mulai tampak jelas
adanya keriput pada wajah, lipatan kulit dan garis ekspresi lebih nampak
serta penurunan kulit (kendor) terutama pada dagu. Kulit muka menjadi
kering, tipis dan kasar serta berkurangnya elastisitas, tidak jarang disertai
bercak-bercak hiperpigmentasi dan tumor jinak kulit sehingga akan
Page 19
19
sangat mempengaruhi penampilan seseorang (Kochevar dan Taylor,
2008).
Proses penuaan pada orang-orang tertentu dapat terjadi sesuai usia,
tetapi pada sebagian orang proses menua kulit lebih awal atau disebut
premature skin aging. Salah satu faktor yang sering dikambing-hitamkan
mempercepat penuaan kulit adalah pengaruh sinar UV, sehingga sering
disebut pula dengan photoaging. Tanda klinis yang berhubungan dengan
photoaging adalah depigmentasi, kekenduran, kerutan, telangiektasia,
penampakan seperti kulit hewan yang disamak (leather), dan keganasan
kulit. Seborrhoeic keratosis adalah pertumbuhan proliferatif jinak,
merupakan salah satu contoh dari ciri karakteristik kulit yang telah
mengalami penuaan dan berhubungan dengan paparan matahari.
Fenotipe spesifik yang merupakan akibat dari paparan matahari dapat
terlihat jelas pada kasus actinic elastosis dan sindroma Favré-Racouchot
(elastosis noduler dengan kista dan komedo) (Moyal dan Fontainer,
2004).
2.3.2.2 Perubahan histopatologi pada kulit photoaging
Secara histopatologis, kulit yang telah mengalami photoaging
memperlihatkan hilangnya polaritas epidermal atau kekacauan proses
maturasi sel keratinosit. Keratinosit menunjukkan gambaran atipik,
terutama pada lapisan epidermis yang lebih dalam. Ketebalan epidermis
yang terlindung dari matahari pun dapat berkurang seiring dengan
bertambahnya usia, walaupun beberapa laporan memperlihatkan bahwa
Page 20
20
jumlahnya masih relatif konstan. Terjadi penipisan atau pendataran taut
dermoepidermal yang dapat menyebabkan penampakan menyerupai
atrofi seperti yang terlihat pada poikiloderma (Garmyn et al., 2004;
Rabello-Fonseca et al., 2008).
Secara menyeluruh, jumlah sel-sel pada dermis yang mengalami
photoaging akan meningkat. Fibroblas mengalami hyperplasia dengan
banyak ditemukan infiltrat radang. Inflamasi kronis yang terjadi pada
kulit yang mengalami photoaging disebut heliodermatitis.
Mikrovaskuler juga mengalami perubahan dan dinding pembuluh
darah menebal akibat penumpukan basement membrane-like material.
Fibroblast pada kulit yang telah mengalami photoaging memanjang dan
kolaps. Pada kulit yang mengalami penuaan intrinsik akan
memperlihatkan berkurangnya kolagen-1 dan kolagen-3, namun hal
yang sama akan terjadi lebih cepat pada daerah yang terpapar sinar
matahari (Fenske et al., 2012; Fisher et al., 2001). Jumlah serat elastin
menurun seiring bertambahnya usia, namun pada kulit yang terpapar
matahari, jumlah serat elastin meningkat secara proporsional. Elastin
yang terakumulasi pada kulit abnormal akan menempati daerah yang
seharusnya ditempati serat serat kolagen. Suatu teori yang diajukan
menyatakan bahwa peningkatan elastin yang abnormal merupakan akibat
dari proses bifasik yang berawal dari hiperplasia jaringan elastik normal.
Elastin menjadi abnormal dalam penampilannya karena efek peradangan
kronis (Fisher et al., 2002; Chung et al., 2003; Chung et al., 2004).
Page 21
21
2.3.2.3 Patogenesis terjadi photoaging
Matriks ekstraseluler dermis terutama terdiri dari kolagen-1 (85%),
sejumlah kecil kolagen-3, elastin, proteoglikan dan fibronektin. Serat
kolagen yang terdapat pada dermis manusia berperan penting untuk
kekuatan dan kekenyalan kulit, terdiri sekitar 85% kolagen-1 dan sekitar
10% kolagen-3 (Uito et al., 2008).
Biosintesis kolagen-1, berawal dari pembentukan prokolagen-1
dalam sel fibroblast dermis dan terdiri dari kolagen-1 tripel helix, ujung
karboksipeptida dan ujung aminopeptida. Begitu disekresikan dari
fibroblast ke matriks ekstraseluler, prokolagen-1 melalui proses
enzimatik, maka akan pecah dari kedua ujungnya dan membentuk
kolagen-1 matang (Varani et al., 2001).
Matriks metalloproteinase merupakan sekelompok enzim yang
bertanggung jawab terhadap degradasi kolagen. Sampai saat ini sudah
ditemukan 18 jenis matriks metalloproteinase, akan tetapi yang berperan
pada kulit dapat diklasifikasikan menjadi empat sub family yaitu:
kolagenase, gelatinase, stromelisin, dan MMPs membrane.
Penghancuran kolagen tergantung pada aktivitas kolagenase.
Enzim kolagenase dapat diklasifikasikan lagi menjadi MMP-1
(kolagenase-1 atau kolagen interstitial), MMP-8 (kolagenase-2 atau
kolagen netrofil) dan MMP-13 (kolagenase-3). Masing-masing
kolagenase akan memecah kolagen dengan spesifisitas tertentu. Misalnya
MMP-8 lebih memecah kolagen-1 dibanding kolagen-3.
Page 22
22
Lokasi pemecahan kolagen juga spesifik dan akan menghasilkan
fragmen yang terdiri dari ¾ dan ¼ bagian. Kolagen yang telah hancur
disebut gelatin dan lebih lanjut gelatin akan dihancurkan oleh gelatinase
dan stromelisin, dan selanjutnya diekskresi dari tubuh (Uito et al., 2008;
Varani et al., 2010).
2.3.2.4 Pecegahan dan pengobatan photoaging
Pada prinsipnya penatalaksanaan photoaging, lebih mengutamakan
faktor pencegahan primer. Pencegahan dilakukan dengan menghindari
paparan sinar matahari seperti penggunaan perlindungan fisik (topi,
pakaian ataupun payung), serta penggunaan tabir surya dengan daya
perlindungan yang memadai dan disesuaikan dengan kondisi kulit. Faktor
pencegahan sekunder dalam hal ini dengan menggunakan asam retinoat,
antioksidan, faktor pertumbuhan sitokin (Kullavanijaya dan Lim, 2005;
Cuninghan et al., 2005).
Apabila sudah terjadi photoaging, setiap tindakan yang dilakukan
untuk mengatasi atau mengkoreksi kelainan tersebut sudah merupakan
tindakan pengobatan (Sterm, 2004; Kullavanijaya dan Lim, 2005;
Cuninghan et al., 2005). Pengobatan ini adalah pengobatan dari suatu
proses penyakit simtomatik yang ada untuk memperbaiki efeknya atau
menunda kemajuannya.
Pengobatan tersebut meliputi penggunaan chemical peeling, teknik
seperti mikro-dermabrasion resurfacing, penggunaan sistem ablatif dan
Page 23
23
non-ablatif laser, teknologi frekuensi radio, penggunaan racun Botulinum
eksotoksin dan augmentasi jaringan lunak, juga dikenal sebagai filler.
2.4 Sinar matahari dan ultraviolet
2.4.1 Sinar matahari
Sinar matahari merupakan energi elektromagnetik yang dipancarkan
dalam bentuk gelombang yang terdiri dari sinar gama, sinar X, sinar UV,
sinar kasat mata, infra merah dan gelombang radio. Spektrum sinar
matahari yang mencapai permukaan bumi dan berperan dalam
fotobiologi adalah radiasi sinar UV, sinar tampak dan sinar infra merah.
Radiasi sinar UV dapat dibagi menjadi UVA (320-400 nm), UVB (290-
320 nm) dan UVC (200-290 nm). Radiasi UVC tidak mencapai
permukaan bumi (kecuali pada dataran yang tinggi sekali) karena
seluruhnya diserap oleh lapisan ozon. Lapisan ozon di permukaan bumi
juga menghambat sekitar 95% sinar UVB (Walker et al., 2008).
Spektrum elektromagnetik yang ditransmisikan oleh sinar matahari
berkisar antara sinar kosmik yang sangat pendek hingga gelombang radio
yang sangat panjang. Sebagian besar perubahan kulit akibat sinar yang
terjadi berhubungan dengan radiasi UV. Terdapat tiga kategori radiasi
UV, yaitu : UVC, dengan panjang gelombang yang terpendek, yaitu 200-
290 nm. Tidak ada panjang gelombang yang lebih pendek dari 290 nm
yang mencapai permukaan bumi, terutama disebabkan oleh fitrasi oleh
lapisan ozone, kecuali bila ada keruskan pada lapisan ozone. Berbeda
dengan UVB dengan panjang gelombang 290-320 nm yang mencapai
Page 24
24
permukaan bumi dan bertanggung jawab terhadap atas sebagian besar
terjadinya fotobiologi pada kulit. Sinar UVA dengan panjang gelombang
320-400 nm mampu melewati kaca jendela dan dibagi menjadi UVA-satu
dengan panjang gelombang 340-400 nm dan UVA-dua dengan panjang
gelombang 320-340 nm (Rigel et al., 2004). Menipisnya lapisan
stratosfer dari ozone mengakibatkan semakin banyak jumlah radiasi
UVB yang mencapai permukaan bumi yang selanjutnya menimbulkan
efek langsung terhadap kesehatan manusia. Paparan ultraviolet ini
memegang peranan penting terhadap terjadinya penuaan dini kulit.
Menariknya hasil akhir dari proses glikasi atau advance glycation end
product (AGE) yang terakumulasi pada protein yang berusia panjang
seperti matriks ekstraseluler juga berfungsi sebagai sensitiser untuk
ultraviolet sehingga merusak sel fibroblas di dermal. Sinar ultraviolet
juga terbukti meningkatkan degradasi kolagen melalui aktivasi matriks
metalloproteinase (MMP). Dan juga sinar ultra violet dapat memacu
sintesis MMP-1 dan MMP-3 melalui pelepasan TNF-α oleh keratinosit
dan fibroblas. UVB secara langsung berefek pada kerusakan DNA
terutama pada dua lesi besar yaitu cyclobutane dimer dan pyrimidine
pyrimidone photo product. Yang secara langsung mempengaruhi sintesis
asam nukleat. Walaupun DNA inti mempunyai kemampuan untuk
memperbaiki diri, kerusakan DNA jarang sekali di perbaiki secara
komplit dan bisa menjadi sel kanker (Gilchrest, 2004).
Page 25
25
Pada beberapa penelitian juga dikatakan bahwa radiasi sinar UVB
menyebabkan penurunan dari sintesis TGF-β (Gilchrest dan Krutmann,
2006). TGF-β dapat menghambat sintesis melanin dengan memecah
enzim tyrosinase (Martinez-Esparza et al., 2001).
Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi
Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk
Gambar 2.2. Gambar sinar ultraviolet
Sebanyak 95-98% radiasi UV yang mencapai permukaan bumi
terdiri dari UVA, sedangkan sisanya sekitar 2-5% adalah sinar UVB.
Intensitas UVA dalam sinar matahari mencapai 500-1000 kali lebih besar
dibandingkan UVB. Namun penyebab utama dari photoaging dan
photocarsinogenesis adalah UVB. Dahulu UVA dianggap tidak
berbahaya, akan tetapi ternyata paparan kronik ikut berperan pada
photoaging dan photocarsinogenesis (Hawk dan Young, 2004; Walker et
al., 2008).
Kedalaman penetrasi sinar UV dipengaruhi panjang gelombang.
Semakin besar panjang gelombang semakin dalam penetrasinya pada
Page 26
26
kulit. Sinar UVA maupun UVB dapat menembus sampai ke lapisan
dermis (Hawk et al., 2004).
2.4.2 Pengaruh sinar UV pada matriks ekstraseluler dermis
Radiasi UV memiliki banyak efek negatif terhadap kulit, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Diperkirakan bahwa sekitar
50% kerusakan yang disebabkan oleh UV terjadi karena pembentukan
radikal bebas, sedangkan kerusakan seluler langsung dan mekanisme
lainnya merupakan penyebab untuk sisanya. Kerusakan matriks
ekstraseluler kulit dermis akibat sinar UV pada dasarnya diperantarai
mekanisme seluler dan molekuler antara lain melibatkan reseptor
permukaan sel, jalur transduksi sinyal protein kinase, faktor transkripsi,
matriks metalloproteinase (MMP) (Rabe et al., 2006).
Radiasi UV dapat mengaktivasi reseptor sitokin faktor
pertumbuhan (growth factor), pada permukaan keratinosit di epidermis
dan sel fibroblast pada dermis. Diperkirakan sekitar 15 menit setelah
paparan UV, akan terjadi aktivasi reseptor untuk epidermal growth factor
(IL-1 dan TNF-α) pada keratinosit dan fibroblast. Aktivasi reseptor ini
akan menginduksi sinyal intraseluler seperti MAP kinase yang
selanjutnya mengaktivasi kompleks faktor transkripsi nukleus activator
protein-satu (AP-1) (Rigel et al., 2004).
Bukti yang ada terus bertambah dari penelitian in vitro bahwa
radiasi UV memicu aksi ligand reseptor melalui pembentukan ROS.
Telah didahlilkan bahwa ROS bersifat sebagai oksidan dan melalui
Page 27
27
proses oksidasi tersebut akan menurunkan ensim protein-tyrosine
phosphatase. Penurunan ensim ini akan menyebabkan terjadi up-
regulation reseptor growth factor dan pada akhirnya akan mengaktivasi
AP-satu (Rabe et al., 2006). Reactive oxygen species (ROS) juga
berpengaruh dalam tranduksi sinyal yang diperantarai oleh MAP kinase
(MAPKs), p38 dan JNK. Enzim ini sama baiknya dengan seramid dari
membran sel yang selanjutnya menyebabkan induksi AP-1. Activator
protein-1 terdiri dari dua subunit, yaitu c-fos yang diekspresikan secara
konstitutif dan c-jun yang dapat terinduksi UV. Ekspresi komponen c-
Jun dari AP-1 yang berlebihan pada fibroblast hasil kultur dapat
mengurangi jumlah ekspresi kolagen-1. Pada dermis dan epidermis, AP-1
menginduksi ekspresi MMP kolagenase (MMP-1), stromelysin-1 (MMP-
3) dan gelatinase 92-kd (MMP-9) yang merusak kolagen dan protein lain
yang menyusun matriks ekstraseluler dermis. AP-1 dapat menekan
ekspresi gen prokolagen-1, prokolagen-3 dan TGFβ sel fibroblas dermis
sehingga terjadi penurunan sintesis kolagen. Pada manusia dalam waktu
beberapa jam terpapar sinar UV akan terbentuk MMPs khususnya
gelatinase dan kolegenase yang pada akhirnya menurunkan jumlah
kolagen pada lapisan dermis (Fisher et al., 2002; Rhein dan Santiago,
2010).
Up-regulation MMPs dapat terjadi walau hanya menerima dosis
minimum UV yang besarnya jauh di bawah dosis yang diperlukan untuk
menyebabkan terjadinya eritema serta didapat hubungan dosis antara
Page 28
28
paparan UV dan induksi MMPs. Paparan terhadap sinar UV dalam
jumlah yang tidak cukup untuk menyebabkan terbakarnya kulit (sunburn)
dapat memfasilitasi terjadinya degradasi kolagen kulit yang
menyebabkan terjadi photoaging. Paparan dosis sangat rendah berulang
sinar UV pada dosis yang setara dengan lima sampai dengan 15 menit
paparan terhadap matahari siang setiap dua hari sekali adalah cukup
untuk mempertahankan tingkat MMP yang meningkat ini (Cuningham et
al., 2005).
Faktor transkripsi Nuclear Factor-kB (NF-κB) juga diaktivasi oleh
sinar UV melalui mekanisme iron-dependent. Mekanisme ini
memperkuat respon UV dengan menstimulasi transkripsi sitokin untuk
peroses inflamasi dan menarik neutrofil yang mengandung neutrophil
collagenase (MMP-8) yang telah terbentuk sebelumnya (Fisher et al.,
2007). Nuclear Factor-kB (NF-κB) juga dapat meningkatkan ekspresi
MMP-9 (Kim et al., 2007; Rhein dan Santiago, 2010).
Produksi kolagen berkurang pada kulit yang mengalami
photoaging. Setelah radiasi UV, persediaan prokolagen tampak jelas
berkurang dan tidak ada sama sekali saat 24 jam setelah paparan in vivo.
AP-1 dan transforming growth factor β (TGF-β) terlibat dalam down-
regulation sintesis kolagen yang dimediasi oleh UV ini (Chung et al.,
2004; Rabe et al., 2006).
Secara keseluruhan, efek radiasi UV pada dermis menghasilkan
degradasi kolagen, hambatan sintesis kolagen, inflamasi dan stres
Page 29
29
oksidatif, serta penurunan kemampuan sel dan pada akhirnya terjadi
proses apoptosis (Cuningham et al., 2005; Rabe et al., 2006).
Gambar 2.3 Efek radiasi UV pada keratinosit (KC) dan fibroblas (F).
Radiasi UV memicu terbentuknya reactive oxygen species (ROS) yang
dapat merusak DNA dan menghambat kerja enzim tirosin fosfatase. UV
juga dapat menurunkan reseptor asam retinoat (RA) dan memicu
peningkatan nuclear factor-kB (NFk), dengan efek akhir penurunan
produksi kolagen, pemecahan kolagen, akibat aktivitas matriks
metaloproteinase (MMP).
(Sumber: Rigel et al., 2004; Rabe et al., 2006)
2.4.3 Efek ultraviolet
Ultraviolet B (UVB) merupakan spektrum radiasi ultraviolet
dengan panjang gelombang 290 – 320 nm, dan merupakan sinar
ultraviolet yang paling efektif menembus bumi dan mengakibatkan
kerusakan pada kulit manusia. Kerusakan yang terjadi oleh karena
ultraviolet B adalah lebih pada kerusakan DNA sel yang merupakan
kromofornya. Sinar UVB banyak terserap ke epidermis dan menembus
ke papila dermis. Gejala kerusakan yang terjadi akibat penyerapan UVB
ke epidermis berupa eritema. Panjang gelombang dari ultraviolet yang
Page 30
30
paling efektif menyebabkan eritema yaitu 250-290 nm dan semakin
berkurang efek eritemanya seiring dengan bertambahnya panjang
gelombang. Pada paparan sinar UVB tunggal dengan dosis suberitema,
gejala eritema berangsur berkurang dalam waktu 24 jam. Pada paparan
berulang akan terjadi efek kumulatif dan terjadilah eritema. Gejala
eritema setelah paparan sinar UVB akan terjadi kemudian dalam waktu
tiga-lima jam dan maksimal pada 12-24 jam kemudian, dan berkurang
dalam 72 jam. Sebelum terjadi eritema maka akan terjadi vasodilatasi
pembuluh darah. Secara histopatologis pada studi dengan potongan kulit
1-µm yang disinari UVB tunggal dengan dosis tiga MED terjadi
kerusakan sel keratinosit pada 30 menit setelah paparan, dan paling jelas
pada 24 jam kemudian. Setelah 72 jam sel keratinosit yang rusak berubah
menjadi parakeratotik dan pembesaran sel endotel terjadi setelah 30
menit sampai maksimal 24 jam setelahnya (Gilchrest, 2004). Lihat
lampiran-1 (Tabel 2.2 Efek UV terhadap kulit).
2.4.3.1 Efek akut ultraviolet
2.4.3.1.1 Eritema
Eritema (sunburn) merupakan reaksi inflamasi akut pada kulit
berkaitan dengan kemerahan yang timbul akibat setelah paparan yang
berlebihan radiasi sinar ultraviolet. Eritema yang terbentuk tergantung
pada panjang gelombang. UVA yang memiliki dua kategori oleh karena
memiliki perbedaan eritemogenik di mana UVA-2 lebih meningkatkan
eritema dibandingkan UVA-1. Efektivitas eritema menurun dengan
Page 31
31
bertambahnya panjang gelombang. Eritema yang diinduksi oleh UVB
berespon lebih lambat, mencapai puncaknya setelah enam sampai 24 jam
tergantung dosis. Intensitas kemerahan sangat tergantung dosis. Eritema
ini dapat bertahan satu hari atau lebih, tergantung dosis dan tipe kulit.
Meskipun reaksi akhirnya adalah peningkatan kemerahan kulit, lamanya
dan dosis yang mengakibatkan eritema akibat UVB dan UVA sangat
berbeda, radiasi UVA sangat kurang efektif mengakibatkan kemerahan
dibandingkan dengan UVB. Dosis terendah yang mengakibatkan
kemerahan minimal yang dapat dilihat dengan jelas 24 jam setelah
radiasi disebut minimal erythema dose (MED). Nilai MED ini bervariasi
antara satu orang dengan lainnya tergantung fototipe kulit, warna kulit,
dan lokasi anatomi (Rigel et al., 2004).
2.4.3.1.2 Pigmentasi
Respon pigmentasi kulit mengikuti paparan sinar matahari terdiri
dari reaksi kecoklatan (tanning) dan pembentukan melanin baru. Respon
kecoklatan pada kulit tergantung panjang gelombang radiasi. Eritema
yang diinduksi UVB diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi yang terjadi
akibat paparan kumulatif UVA bertahan lebih lama dibandingkan dengan
yang terjadi akibat paparan UVB. Perbedaan ini kemungkinan terjadi
akibat lokalisasi pigmen yang diinduksi oleh UVA lebih basal.
Melanisasi yang diinduksi oleh UVB menghilang dengan turn-over
epidermis dalam satu bulan (Fisher et al., 2001; Rigel et al., 2004). Jadi
pigmentasi dapat terjadi karena meningkatnya fungsi melanosit,
Page 32
32
meningkatnya sintesis melanin dan meningkatnya transfer melanosom ke
keratinosit.
2.4.3.1.3 Kerusakan DNA
DNA seluler secara langsung menyerap UVB, dan penyerapan ini
menyebabkan lesi pada basa pirimidin, yang menjadi ikatan kovalen dan
merusak heliks DNA. Apabila kerusakan DNA ini tidak diperbaiki maka
akan mengakibatkan kesalahan pembacaan kode genetik, mutasi, dan
kematian sel. Radiasi UVA juga merusak DNA tetapi kurang jika
dibandingkan dengan UVB (Rigel et al., 2004; Placzek et al., 2005;
Gilchrest dan Krutmann, 2006).
2.4.3.1.4 Penekanan sistem imun
Paparan sinar ultraviolet ternyata dapat menekan sistem imunitas.
Fenomena ini disebut photo immunosuppresion. Fenomena ini berperan
penting terhadap terjadinya kanker kulit, meningkatnya insiden penyakit
infeksi dan virus, serta menurunnya efektivitas vaksin. Suatu penelitian
menunjukkan bahwa dosis tunggal suberitemal dari radiasi simulator
sinar matahari (0,25 atau 0,5 MED) menekan induksi dari respon
hipersensitifitas kontak terhadap dinitroklorobenzena hingga 50-80%
(Rigel et al., 2004).
Page 33
33
Tabel 2.2. Efek akut UV terhadap kulit
Efek Mikroskopik Efek seluler Efek Fungsi
Infiltrat sel radang
Vasodilatasi
Produksi sitokin
Imunosupresi
Sel sunburn (Apoptosis) Proses repair Sintesis vit D
Pengurangan sel
Langerhans
Berhentinya siklus sel
Hiperkeratosis Hiperproliferasi
(Penebalan epidermis)
Akantosis
Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi
Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk
2.4.3.2 Efek kronis ultraviolet
2.4.3.2.1 Photoaging
Beberapa perubahan molekuler dan seluler yang diinduksi oleh
paparan tunggal radiasi ultraviolet tidak memiliki relevansi dengan
kerusakan kronis. Perubahan seluler dan jaringan yang terlibat pada
beberapa efek akibat paparan ultraviolet, tidak sesederhana yang terjadi
sebagai respon akut. Kromofor terbesar menyerap UVB adalah asam
nukleat dan protein, kromofor lainnya menyerap UVA tetapi pada
konsentrasi yang rendah (Gichrest, 2004). Kulit yang mengalami
photoaging secara klinis menunjukkan karakteristik kasar, kerutan halus
dan kasar, hiperpigmentasi yang tidak merata dapat berupa lentigen atau
Page 34
34
bercak (freckles), kelemahan, bengkak, dan telangiektasis (Rigel et al.,
2004).
2.4.3.2.2 Fotokarsinogenesis
Telah banyak penelitian yang menyokong peranan langsung
paparan sinar matahari terhadap perkembangan kanker kulit, khususnya
kanker kulit non melanoma, seperti melanoma sel skuamosa dan
karsinoma sel basal. Sangat sulit mengevaluasi efek paparan ultraviolet
pada induksi dan progresi kanker kulit pada manusia. Perkembangan lesi
ini membutuhkan waktu bertahun-tahun, dan frekuensi maupun intensitas
paparan menyerupai keadaan yang sebenarnya di alam sangatlah sulit
(Rigel et al., 2004). Dikatakan juga kerusakan DNA yang disebabkan
oleh radiasi UV merupakan penyebab utama perkembangan kanker kulit
(Pleczek et al., 2005).
Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi
Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk
Gambar 2.4. Efek positif dan negatif sinar matahari
Page 35
35
Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi
Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk
Gambar 2.5. Gambar patogenesa efek radiasi UV
Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi
Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk
Gambar 2.6.Patofisiologi photoaging.
Page 36
36
2.5. Kolagen
Merupakan protein (polipeptida) ekstraseluler utama dalam tubuh
manusia yang ditemukan pada hampir semua organ tubuh. Sampai saat
ini sudah ditemukan sebanyak 21 tipe kolagen, jumlah dan jenisnya
berbeda-beda pada berbagai organ tubuh manusia (Rhein dan Santiago,
2010).
Kolagen-1 merupakan jenis serabut kolagen terbanyak yang
dijumpai dalam tubuh manusia seperti pada tendon, tulang, kulit. Serabut
kolagen-1 berperan penting dalam pembentukan jaringan parut. Kolagen-
2, kolagen-9, kolagen-10, kolagen-11 ditemukan pada kartilago.
Kolagen-3 banyak dijumpai pada kulit, dinding pembuluh darah, pada
jaringan yang ada serabut retikuler, seperti pada jaringan yang
mengalami pertumbuhan cepat terutama pada tahap awal penyembuhan
luka. Kolagen-3 penyebarannya hampir sama dengan kolagen-1.
Sedangkan kolagen-7 kebanyakan lokasinya terletak pada anchoring
fibril di dermal epidermal junction pada kulit, mukosa dan servik.
Kolagen-7 juga banyak terdapat pada dinding pembuluh darah (Uito et
al., 2008).
Telah banyak dibuktikan bahwa tipe kolagen yang mendominasi
organ kulit adalah kolagen-1 dan kolagen-3 yang berfungsi pada
pertahanan mekanik. Akan tetapi tipe kolagen lain yang juga ada pada
kulit, seperti kolagen-5, kolagen-6, kolagen-7, kolagen-12 ditemukan
dalam jumlah minimal yang diperkirakan ikut menunjang, akan tetapi
Page 37
37
peran yang pasti belum jelas (Uito et al., 2008; Rhein, 2010). Karena
kolagen-1 yang mendominasi organ kulit, maka kolagen-1 yang akan
diukur pada penelitian kali ini.
Pada umumnya jumlah kolagen akan berkurang dengan bertambah
umur. Akan tetapi beberapa tipe kolagen mengalami hal yang tidak sama.
Pada kulit anak mempunyai banyak kolagen-3 (biasanya pada jaringan
dengan pertumbuhan cepat). Pada proses penuaan intrinsik akan terjadi
penurunan kolagen-3 dan peningkatan kolagen-1. Kolagen-1 terus
meningkat sampai umur 35 tahun, saat kulit mencapai puncak kekuatan
mekanik, setelah itu kolagen-1 akan menurun. Hubungan umur dengan
jumlah kolagen sampai saat ini belum jelas, akan tetapi jumlah kolagen
manusia setelah umur 60 tahun secara keseluruhan secara signifikan
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kulit umur lebih muda
(Rhein dan Santiago, 2010).
Kolagen merupakan serat utama pada lapisan dermis kulit dan
merupakan protein yang berfungsi untuk kekuatan mekanik dan
penyangga kulit. Semakin bertambah umur maka struktur protein kulit
dan komponen kulit lain akan berubah dan hal ini menyebabkan penuaan
kulit. Perubahan jumlah kolagen merupakan bagian integral dari proses
penuaan kulit. Diperkirakan bahwa akan terjadi penurunan kolagen
sekitar 1% pertahun perunit area kulit akan tetapi pada kulit yang
terpapar sinar UV dijumpai penurunan sampai 59% seperti yang
Page 38
38
ditemukan pada kulit yang mengalami photodamage (Uito et al., 2008;
Griffits et al., 2009).
Walaupun kolagen-1 merupakan kolagen utama pada lapisan
dermis kulit akan tetapi kolagen tipe lain juga tidak kalah peranan
pentingnya. Kolagen-7 yang terbanyak pada anchoring fibril terletak
pada membrana basalis yang melekatkan membrana basalis ke papila
dermis. Pada pasien dengan paparan sinar UV kronis akan menurunkan
jumlah kolagen-7 dan akan mengakibatkan perlekatan antara membrana
basalis dengan papilla dermis menurun sehingga ikatan epidermis dan
dermis menjadi lemah Pada satu penelitian didapatkan bahwa kerutan
kulit terbentuk akibat lemahnya ikatan antara dermis dan epidermis oleh
karena degenerasi anchoring fibril. Hal ini ditambah adanya bukti adanya
penurunan kolagen-7 pada pada dasar kerutan kulit di samping juga
ditemukan penurunan kolagen-4 pada tempat yang sama (Rhein dan
Santiago, 2010).
2.6 Martiks Metalloproteinase-satu (MMP-1)
MMP adalah suatu protease dengan aktivitas degradasi terhadap
protein jaringan ikat seperti kolagen, elastin, proteoglikan dan laminin.
Pada setiap organisme, MMP merupakan endopeptidase yang
mengandung domain aktif Zn² (zinc-dependent endopeptidase). MMP
memiliki gene family pada manusia terdiri dari 28 tipe dengan struktur
dan spesivitas yang berbeda. MMPs berhubungan dengan proses
Page 39
39
fisiologis dan patologis yang berkaitan dengan turn over matriks
ekstraseluler, wound healing, angiogenesis, dan kanker.
Sejumlah MMPs mampu menimbulkan degradasi terhadap
kolagen-1 yaitu antara lain MMP-1, MMP-8, MMP-13, MT1-MMP
(MMP-14), MT2-MMP (MMP-15), dan MT3-MMP (MMP-16). Pada
kulit hanya MMP-1 yang paling banyak dipicu pembentukannya oleh
pajanan sinar ultraviolet dan tampaknya paling bertanggung jawab
terhadap pemecahan kolagen akibat paparan matahari. Oleh karena itu,
kadar MMP-1 yang akan diukur pada penelitian kali ini. Kadar MMP-1
akan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, yang mana hal ini
diperkirakan sebagai akibat dari fragmentasi serat kolagen dan
disorganisasi susunan serat kolagen pada dermis (Seltzer dan Eisen,
2006).
Matriks Metalloproteinase juga bertanggung jawab terhadap
tejadinya degradasi kolagen. MMP juga telah dikenal perannya dalam
pertumbuhan sel kanker dan metastase dan telah sering menjadi target
terapi anti kanker oleh karena ekspresinya yang berlebihan. Berbagai
jenis Matriks Metalloproteinase dan target sasaran yang didegradasi
dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Rhein dan Santiago, 2010).
Page 40
40
Tabel 2.3 Jenis Matriks Metalloproteinase dan target sasaran yang terdegradasi
SINGKATAN NAMA NAMA ALTERNATIF TARGET SASARAN
MMP-1 Matrix collagenase Collagens I,II.II.VII dan
X
MMP-2 Gelatinase Gelatin, Collagens I,V,
VII, XI, Fibronectin
laminin dan elastin
MMP-3 Stromelysin I Agreccan, Gelatin,
Laminin Fibronectin,
Collagens tipe IV, IX, X
MMP-7 Matrilisyn Agreccan, Fibronectin
MMP-8 Neutrophil colagenase Agreecan, Gelatin,
Fibronectin, Laminin,
Collagens II, IV, IX, X
MMP-9 Gelatinese B Agrecan dan Fibronectin
MMP-10 Stromelysin 2 Agrecan
MMP-11 Stromelysin 3 Fibronectan
MMP-12 Metalloelastase Elastin
MMP-13 Collagenase 3 Collagens I, II, III
MMP-14 Membran Type Collagens I, II, III,
Lamininn
MMP-18 Colagenase IV Agrecan
Sumber : Rhein dan Santiago (2010)
Page 41
41
2.7 Radikal bebas
2.7.1 Definisi
Radikal bebas adalah molekul oksigen yang tidak stabil atau
molekul lainnya yang tidak stabil. Molekul-molekul tersebut hanya
mengandung satu atau lebih elektron bebas (elektron yang tidak
berpasangan = unpaired electrons). Adanya satu atau lebih elektron
bebas menyebabkan senyawa itu menjadi sangat reaktif. Molekul tersebut
akan berusaha secara reaktif mencari pasangan elektron dengan
mengambil atau mencuri dari elektron sel lainnya, sel yang diambil
elektronnya akan menjadi molekul reaktif juga, demikian seterusnya
secara berantai, sehingga sering disebut ROS (Bauman, 2002; Chen et
al. 2012).
2.7.2 Jenis dan sumber radikal bebas
Terbentuknya radikal bebas dapat terjadi melalui sistem internal
yang melibatkan sistem biologis tubuh maupun pengaruh eksternal
seperti faktor lingkungan. Reaksi inflamasi ataupun setiap respirasi di
mitokondria dapat menghasilkan oksidan. Kelebihan gizi juga dapat
menimbulkan radikal bebas. Pada saat terjadi proses metabolisme lemak
di samping terbentuk energi ternyata dapat menimbulkan oksidan. Faktor
lingkungan antara lain seperti paparan sinar UV, polusi asap rokok atau
pabrik, emisi kendaraan bermotor, konsumsi alkohol akan dapat
menyebabkan terbentuk radikal bebas (Pinnel, 2003; Ardhie, 2011).
Page 42
42
Oksigen penting untuk kehidupan organisme aerob, akan tetapi
oksigen dapat mengalami reduksi parsial menjadi radikal bebas seperti
anion superoksida, hidrogen peroksida pada saat metabolisme normal di
mitokondria dan di peroxisomes. Radikal bebas dapat terbentuk akibat
aktivitas dalam berbagai sistem ensim seperti sitokrom p-450, ensim
yang berhubungan dengan oksidasi pada plasma membran seperti
lipoksigenase dan xanthine oxidase. Hidrogen peroksida merupakan
oksidan yang lemah dibanding anion superoksida, berfungsi sebagai
intermediasi dalam produksi metabolisme oksigen yang reaktif dan
toksik seperti hypochlorous acid yang terbentuk dari aktifitas
mieloperoksidase dan radikal hidroksil, serta melalui oksidasi metal
transisi (Moini et al., 2002; Pinnel, 2003; Chen, 2012).
Sebagian hasil reduksi metabolik oksigen yang dikenal dengan
istilah ROS, ternyata reaktifitasnya relatif lebih tinggi dibanding oksigen.
Nitrit oksida (NO) yang diproduksi berlebihan juga merupakan sumber
oksidan toksik yang dikenal dengan istilah RNOS, seperti peroxynitrite,
nitroxyl, oxide nitrogen. Oxide nitrogen merupakan reaksi dari NO
dengan anion superokside atau molekul oksigen (Moini et al., 2002).
Fungsi utama ROS atau RNOS adalah untuk mekanisme
pertahanan imunologis, yang akan mengalami degenerasi dibantu oleh
makrofag dan netrofil untuk mengeliminasi mikroba dan benda asing.
Fakta terakhir menunjukkan bahwa NO penting dalam neurotransmisi
dan mengatur tekanan darah. Fakta lain, sel non fagosit beberapa sitokin,
Page 43
43
growth factor, hormon dan neurotransmiter produksi meningkat akibat
pacuan ROS dan atau RNOS yang berperan dalam signal molekul atau
sebagai tranduksi signal (Moini et al., 2002).
Akan tetapi ROS atau RNOS level tinggi cenderung menyebabkan
kerusakan makromolekul seluler seperti lemak, protein dan DNA. Efek
merusak radikal bebas dapat dinetralkan oleh sistem pertahanan
antioksidan, seperti sistem enzim endogen yang menetralkan radikal
bebas seperti superoksid dismutase, katalase, glutation peroksidase dan
antioksidan non enzim dengan berat molekul rendah seperti glutathione
(GSH) dan thioridoksin (Moini et al., 2002; Chen et al., 2012).
Apabila terjadi pembentukan radikal bebas melebihi antioksidan
dalam tubuh ataupun antioksidan dari konsumsi makanan akan
menyebabkan kerusakan secara berantai sampai ke tingkat seluler dikenal
dengan istilah stres oksidatif. Jadi stres oksidatif didefinisikan secara luas
sebagai ketidak seimbangan antara kapasitas produksi oksidan dan
antioksidan yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel.
Walaupun beberapa reaksi sistem biologis berperan dalam menjaga
keseimbangan konsentrasi anion superoksida dan hidrogen peroksida
akan tetapi mitokondria rupanya menjadi sumber yang paling penting
untuk terbentuk radikal bebas. Produk berlebihan ROS dan RNOS
berperan dalam patogenesis dan perkembangan penyakit peradangan
kronis, aterosklerosis, kanker, diabetes dan proses aging (Moini et al.,
2002; Pinnel, 2003).
Page 44
44
ROS yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan sampai ke
tingkat seluler oleh karena pengambilan elektron baik dari komponen
lemak, protein, DNA termasuk kerusakan pada sel yang berhubungan
dengan proses penuaan. Diperkirakan setiap hari terjadi kerusakan
sebanyak 10.000 DNA akibat proses oksidatif dalam tubuh yang
menimbulkan radikal bebas. Oksigen yang kita hirup digunakan dalam
metabolisme tubuh, sebanyak 95% mengalami metabolisme lengkap, 5%
menghasilkan ROS (semi Reduce oxygen species) (Moini et al., 2002;
Pinnel, 2003; Ardhie, 2011).
Berbagai jenis radikal bebas yang ada dalam tubuh dapat
dibedakan menjadi dua bagian besar. Pertama adalah molekul oksigen
dengan elektron yang tidak berpasangan di antaranya adalah anion
superoksida (+O2-), radikal hidroksil (OH-), radikal peroksil lipid
(LOO) sedangkan yang kedua adalah molekul oksigen tunggal (Bauman,
2002; Ardhie, 2011).
Anion superokside merupakan radikal bebas yang pertama kali
terbentuk saat metabolisme lipid maupun protein. Segera setelah
terbentuk radikal ini melalui sistem enzim akan diubah menjadi hidrogen
peroksida (H2O2). Hidrogen peroksida merupakan oksidan lemah dan
mampu menginisiasi proses oksidatif sehingga dapat membentuk radikal
bebas. Perubahan H2O2 menjadi OH- melalui reaksi yang dikatalasi oleh
transisi metal (Fe2+ atau Cu2+) (Moini, 2002; Pinnel, 2003).
Page 45
45
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan sinar UV
menimbulkan kerusakan pada kulit. Sinar UVB memicu produksi anion
superokside melalui aktivasi NADPH oksidase dan rantai reaksi
pernafasan di mitokondria. Sinar UVB yang diserap DNA dapat juga
menyebabkan kerusakan langsung pada DNA. Sedangkan UVA melalui
reaksi fotokimia diserap kromofor seperti riboflavin atau porpirin dan
menimbulkan radikal bebas. Biasanya UVA memicu terbentuk ROS
berupa molekul oksigen tunggal, sedangkan UVB memicu radikal
hidroksil dan lipid peroksidase (Masaki, 2010).
Sumber : catatan kuliah free radical oleh Prof.Dr.dr.A.A.Gd.Budhiarta
Gambar 2.7. Radikal Bebas
2.7.3 Tahap pembentukan radikal bebas
Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga
tahapan reaksi berikut:
1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas, misalnya:
Fe ++
+ H2O2 Fe +++
OH- + •OH
Page 46
46
R1 _H + •OH R1• + H2O
2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal.
R2_H + R1• R2 • + R1_H
R3_H + R2• R3 • + R2_H
3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal
lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya
rendah. (Winarsi, 2011).
R1 • + R1 • R1_R1
R2 • + R1 • R2_R1
R2 • + R2 • R2_R2 dan seterusnya
2.7.4 Spesies oksigen reaktif
Radikal bebas, yang sering disebut senyawa oksigen reaktif (ROS),
dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa
oksigen reaktif juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres
ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan
antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif.
Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan senyawa oksigen
reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Akibatnya,
sistem pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja lebih keras untuk
memusnahkan senyawa oksigen reaktif. Salah satu sistem pertahanan
tubuh itu adalah sistem antioksidan enzimatis dan non enzimatis, yang
bekerja menekan senyawa oksigen reaktif yang berlebihan. Sebagai
akibatnya adalah gangguan metabolik yang mengakibatkan stres
Page 47
47
oksidatif. Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O2), yaitu
senyawa yang sangat dibutuhkan oleh organisme aerob seperti halnya
manusia (Winarsi, 2010).
Tabel 2.4. Spesies Oksigen Reaktif (Caimi et al., 2004)
2.7.5 Dampak positif radikal bebas
Oksigen aktif atau ROS adalah bagian dari radikal bebas. ROS ini
penting dalam produksi energi, fagositosis, sistem imun, transduksi
signal (Hanggono, 2004).
2.7.6 Dampak negatif radikal bebas
Namun ROS juga berperan terhadap terjadinya penyakit kanker,
jantung dan proses penuaan. Radikal bebas dapat merusak DNA, protein,
membran fosfolipid (Hanggono, 2004). Radikal bebas mempengaruhi
peroksidasi lipid yang menyebabkan produksi MDA yang mengikat
protein dan menyebabkan gangguan fungsi biologik protein tersebut.
Pengaruh radikal bebas secara molekuler berupa serangkaian peristiwa
yang menyebabkan oksidasi organik oleh oksigen molekuler, peristiwa
ini mengakibatkan kerusakan fungsi seluler melalui terjadinya. Di dalam
sel, peroksidasi lipid berhubungan dengan kondisi kerusakan seluler dan
sitotoksisitas. Di mana terjadi perubahan pada struktur membran dan
Page 48
48
fluiditas, peningkatan permeabilitas, kerusakan biologis seperti DNA dan
protein menghasilkan penyakit kronis (Halliwell dan Gutteridge, 2006).
2.7.7 Stres oksidatif
Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan
tubuh kurang dari yang diperlukan, untuk meredam efek buruk radikal
bebas, yang dapat merusak membran sel, protein dan DNA, dan berakibat
fatal bagi kelangsungan hidup sel atau jaringan. Jika hal ini terjadi dalam
waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan hasil
kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan
sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati
(Bagiada, 2001). Stres oksidatif dihipotesiskan berperan penting terhadap
terjadinya berbagai penyakit kronis (Wu et al., 2004). Dengan demikian
penting untuk menjaga keseimbangan antioksidan dan oksidan dengan
suplementasi antioksidan (Hanggono, 2004).
Sumber : catatan kuliah free radical oleh Prof.Dr.dr.A.A.Gd.Budhiarta
Gambar 2.8. Ketidakseimbangan ROS dan antioksidan
Page 49
49
2.8 Antioksidan
2.8.1 Definisi
Antioksidan (AO) merupakan molekul yang menghambat proses
oksidasi molekul oksidan. Oksidasi merupakan reaksi kimia yang
memindahkan elektron atau hidrogen dari satu substansi ke agen oksidan
(McDaniel, 2007).
Sebagai pertahanan terhadap kerusakan oksidatif, sel tubuh
manusia dilengkapi berbagai antioksidan yang bekerja melalui berbagai
mekanisme. Integritas seluler dipertahankan dengan menggunakan
berbagai AO enzimatik seperti katalase, glutation peroksidase, glutation
reduktase yang akan menghambat dampak negatif H2O2. Sedangkan
area ekstra seluler dilindungi AO superoksid dismutase (SOD) dari
dampak anion superokside. Membran sel dilindungi AO non enzimatik
seperti glutation dan vit C pada fase air, vit E dan ubiquinol pada fase
lipid (Ames et al., 1993; Stahl dan Sies, 2003).
Sumber : catatan kuliah free radical oleh Prof.Dr.dr.A.A.Gd.Budhiarta
Gambar 2.9. Mekanisme antioksidan menetraliser oksidan.
Page 50
50
2.8.2 Mekanisme kerja antioksidan (Tandon, 2005; Ardhie, 2011)
1. Antioksidan primer.
Anti oksidan primer ini bekerja untuk mencegah pembentukan
senyawa radikal bebas baru. Ia mengubah radikal bebas yang ada
menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal
bebas ini sempat bereaksi. Antioksidan tipe ini akan menetralisir radikal
bebas dengan mendonasi satu elektronnya. Akibat kehilangan satu
elektron molekul AO tersebut akan menjadi radikal bebas yang baru.
Radikal yang baru terbentuk ini relatif stabil yang selanjutnya akan
dinetralisir oleh AO lain seperti vit C, vit E, LA, CoQ10, flavonoid, asam
urat, bilirubin (Moini et al., 2002).
Contoh antioksidan ini adalah enzim SOD yang berfungsi sebagai
pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses
peradangan karena radikal bebas. Enzim SOD sebenarnya sudah ada
dalam tubuh kita. Namun bekerjanya membutuhkan bantuan zat-zat gizi
mineral seperti mangan, seng dan tembaga. Selenium (Se) juga berperan
sebagai antioksidan. Jadi, jika ingin menghambat gejala dan penyakit
degeneratif, mineral-mineral tersebut hendaknya tersedia cukup dalam
makanan yang dikonsumsi setiap hari.
2. Antioksidan sekunder.
Antioksidan ini berfungsi menangkap senyawa serta mencegah
terjadinya reaksi berantai. Mekanisme ini bekerja dengan mengikat
logam, transisi pemicu ROS dan selanjutnya menyingkirkannya.
Page 51
51
Antioksidan yang termasuk dalam antioksidan sekunder adalah:Vitamin
E, Vitamin C, beta karoten, asam urat, bilirubin, transferin, laktoferin,
seruloplasmin, Xanton dan albumin.
3. Antioksidan tertier.
Proses menumpuknya biomolekul yang telah rusak dapat
menimbulkan kerusakan sel sekitarnya. Agar tidak menjadi parah seperti
terjadinya kerusakan DNA (contohnya enzim metionin sulfaoksida
reduktase), maka protein yang teroksidasi akan diproses oleh sistem
enzim proteolitik dan lipid teroksidasi diproses oleh enzim lipase,
peroksidase.
2.8.3 Klasifikasi antioksidan
2.8.3.1 Klasifikasi antioksidan berdasarkan sumbernya (Ames et al., 1993)
1. Antioksidan endogen dari dalam tubuh sendiri
a. Sistem AO enzimatik: SOD, katalase, glutation Reduktase (GDR),
glutation peroksidase (GPx), Glukosa 6 phosfatase dehidrogenase
(G6PD), sistem sitokrom oksidase, peroksidase.
b. Sistem AO non enzimatik: glutation, bilirubin, albumin, tranferin,
plasmin, feritin, sistein dan lainnya.
2. Antioksidan sintetik (eksogen) berasal dari luar tubuh
a. Mikonutrien: terdapat dalam makanan sehari hari seperti wortel,
minyak ikan, hati, jeruk, manggis, ubi jalar ungu, nanas, sayuran
hijau. Antioksidan tersebut berupa beta caroten, vitamin C,vit E, zinc,
selenium,likopen, alpha lipoic acid, xanton.
b. Antioksidan sintetik (butylated hydroxyl anysol).
Page 52
52
2.8.3.2 Klasifikasi antioksidan berdasarkan interaksinya (Tandon, 2005)
a. Antioksidan enzimatik: mengkatalisator pemusnahan radikal bebas
dalam sel.
b. Antioksidan pencegah: mengikat ion logam transisi untuk mencegah
pembentukan radikal bebas.
c. Antioksidan pemutus reaksi rantai: merupakan donor elektron kuat dan
bereaksi dengan radikal bebas sebelum merusak molekul sasaran.
2.8.3.3 Klasifikasi antioksidan berdasarkan kelarutannya (Bauman, 2002)
a. Antioksidan larut dalam lemak (vitamin A, vitamin E dan CoQ10,
Xanton).
b. Antioksidan larut dalam air, misalnya vitamin C dan glutation.
c. Antioksidan larut dalam lemak maupun air, misalnya alpha lipoic acid.
2.8.4. Metode pengujian DPPH antioksidan
Salah satu metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas
antioksidan adalah metode DPPH. Metode DPPH didasarkan pada
kemampuan antioksidan untuk menghambat radikal bebas dengan
mendonorkan atom hidrogen. Perubahan warna ungu DPPH menjadi
ungu kemerahan dimanfaatkan untuk mengetahui aktivitas senyawa
antioksidan. Metode ini menggunakan kontrol positif sebagai
pembanding untuk mengetahui aktivitas antioksidan sampel. Kontrol
positif ini dapat berupa tokoferol, BHT, dan vitamin C. Uji aktivitas
antioksidan dengan metode DPPH menggunakan 1,1-difenil-2-
pikrilhidra-zil (DPPH) sebagai radikal bebas. Prinsipnya adalah reaksi
Page 53
53
penangkapan hidrogen oleh DPPH dari senyawa antioksidan , misalnya
troloks, yang mengubahnya menjadi 1,1-difenil-2-pikrilhidrazin.
2.9 Manggis
Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah Brazil
yang mempunyai biodiversitas (keanekaragaman hayati). Biodiversitas
tersebut meliputi : ekosistem, jenis maupun genetik. Termasuk dalam
biodiversitas jenis adalah keanekaragaman tanaman di Indonesia yang
sangat besar, termasuk tanaman yang berpotensi sebagai obat. Seiring
dengan ada slogan “back to nature”, maupun krisis ekonomi yang
berkepanjangan sehingga mengakibatkan daya beli masyarakat terutama
masyarakat golongan menengah ke bawah, penggunaan obat tradisional
menjadi alternatif pengobatan di samping obat modern. Salah satu
tanaman Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan tersebut adalah
buah manggis (Garcinia mangostana L.), terutama pemanfaatan kulit
buahnya. Manggis juga merupakan salah satu buah favorit yang digemari
oleh masyarakat Indonesia. Dari tahun ke tahun permintaan manggis
meningkat seiring dengan kebutuhan konsumen terhadap buah manggis
(Nugroho, 2011).
2.9.1 Pembudidayaan manggis
Pohon manggis telah dibudidayakan di seluruh dunia area tropis.
Pohon ini berasal dari Asia Tenggara terutama di Indonesia juga
Myanmar, Thailand, Vietnam, Malaka (Akao et al., 2008). Pohon
manggis dapat tumbuh di dataran rendah sampai di ketinggian di bawah
Page 54
54
1.000 m dpl. Pertumbuhan terbaik dicapai pada daerah dengan ketinggian
di bawah 500-600 m dpl. Pusat penanaman pohon manggis adalah
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Barat (Jasinga, Ciamis,
Wanayasa), Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jawa Timur dan
Sulawesi Utara (Prihatman, 2000). Sentra produksi manggis di Pulau
Jawa antara lain Bogor, Subang, Purwakarta, Sukabumi, Cilacap,
Banjarnegara, Purworejo, Banyuwangi, Trenggalek, dan Blitar
(Kuntarsih, 2006).
2.9.2 Karakteristik manggis
Nama ilmiah manggis adalah Garcinia mangostana, diameter
buahnya secara keseluruhan 2,4-7,5cm, ketebalan kulit 0,6-1cm dengan
pigmen warna ungu (Akao et al., 2008). Garcinia mangostana
merupakan buah tropis yang dikenal sebagai "superfruits" karena
karakteristik rasa, bau, penampilan yang berkualitas juga kekayaan
nutrisi juga kekuatan antioksidannya (Priya et al., 2010). Kulit buah
manggis yang dibuang, ternyata dapat dikembangkan sebagai kandidat
obat (Nugroho, 2011). Kulit manggis telah digunakan secara luas sebagai
obat tradisional selama bertahun-tahun (Pedraza et al., 2008).
Page 55
55
Gambar2.10. Pohon Garcinia mangostana Linn (A), penampilan buah
manggis (B) dan struktur kimia xanthones (C). (Akao et al., 2008)
2.9.3 Kandungan
Kulit manggis mengeksudasikan resin kuning yang kaya akan xanton
(Akao et al., 2008). Priya et al., (2010) mengekstraksi kulit manggis
menemukan kandungan 95% xanton, disamping itu didapat juga
kandungan isoflavon, tannin dan flavonoid (Priya et al., 2010). Selain itu
kulit buah manggis juga mengandung antosianin (Pradipta et al., 2009).
Dan pada uji fitokimia kulit manggis dengan metode DPPH tgl 7 mei 2013
di fakultas tehnologi pertanian unit pelayanan laboratrium uji fitokimia
UNUD diketahui kulit manggis memiliki kandungan vitamin C, fenol dan
antosianin yang cukup tinggi (Ericson,2014). Jadi kandungan xanton,
vitamin C, fenol dan antosianin yang ada dalam kulit manggis ini
merupakan antioksidan yang mampu mencegah penuaan kulit dini. Xanton
adalah kelompok pigmen kuning yang terdapat pada beberapa famili
Page 56
56
tanaman tinggi, jamur, tanaman lumut. Mangostin adalah unsur xanton
utama, dan terdapat pada tanaman manggis (Peres et al., 2000). Xanton
telah diisolasikan dari buah, kulit, daun dari manggis. Beberapa penelitian
menunjukkan xanton dari manggis memiliki aktivitas biologis
(Suksamrarn et al., 2006).
IPB melakukan evaluasi biomassa, kadar, profil xanton dan potensi
antioksi dan pada beberapa sentra produksi manggis
(Kaligesing/Purworejo, Wanayasa/Purwakarta, Puspahiang/Tasikmalaya,
Watulimo/Trenggalek, Leuwiliang/Bogor). Pada sentra produksi manggis
di Purworejo didapat bobot kulit dibanding buah 62,84%, derivat xanton
18,07%. Derivate xanton yang diisolasi pada manggis Kaligesing antara
lain Dehydration 6-0-methilmangostanin, 3-isomangostin, Mangostanol,
Gartanin, Mangoxanthone, 8-deoxygartanin, Mangostenone, α-
mangostin, mangostenone B, 9-hydroxycalabaxanthone, β-mangostin,
mangostenone B, Garciniafuran. Aktivitas antioksidan sangat kuat
sebagai penangkap radikal bebas (radical scavenging) (IPB, 2009). Hasil
penelitian yang banyak dilaporkan tentang xanton lebih banyak pada
isolasi, identifikasi struktur dan efikasinya (Chairungsrilerd et al., 2007).
Terdapat 50 jenis xanton alami yang dilaporkan terdapat pada kulit
manggis (Pedreza et al., 2008). Lihat Lampiran-2 (Tabel 2.6. Xanton
yang diisolasikan dari kulit manggis (Pedraza et al., 2008).
Xanton merupakan senyawa polifenolik dengan struktur kimia
yang mengandung cincin trisiklik aromatik. Struktur ini yang memiliki
Page 57
57
aktivitas biologis seperti antioksidan, antinflamasi, antibakteri,
antikanker (Nakagawa et al., 2007).
2.9.4 Aktivitas biologis
A. Antioksidan
Ekstrak kulit manggis diuji aktivitas antioksidan dengan metode
2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) berdasar parameter nilai Effective
Consentration 50 (EC50) didapat 8,5539ug/ml (< 50ug/ml) berarti
aktivitas antioksidan tinggi (Supiyanti et al., 2010). Ekstrak kulit buah
manggis berpotensi sebagai antioksidan (Moongkarndi et al., 2004).
Penelitian aktivitas antioksidan dilakukan terhadap beberapa
ekstrak kulit buah manggis yaitu ekstrak air, etanol 50% dan 95%, serta
etil asetat. Metode yang digunakan adalah penangkapan radikal bebas
DPPH (Weecharangsan et al., 2006). Pemberian α-mangostin
menunjukkan efek protektif melawan peroksidasi lipid dan
mempertahankan antioksidan (Sampath dan Vijayaraghavan., 2007).
Jung et al. (2006) mengukur kapasitas penangkal peroksinitrit (ONOO_)
dari 13 xanton dengan memonitor oksidasi dihidrorhodamin 123 (DHR-
123) . Xanton yang memiliki kapasitas penangkal ONOO_ terbesar
adalah smeathxanthone A, 8-hydroxycudraxanthone G, γ-mangostin,
gartanin, a-mangostin, garcinone E, garcimangosone B, 1-isomangostin
dan garcinone D (Jung et al., 2006). Peneliti lain menemukan adanya
tujuhxanton yaitu 3-isomangostin, 8-desoxygartanin, gartanin, α-
mangostin, garcinone E, 9-hydroxycalabaxanthone dan β-mangostin
Page 58
58
yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Zarena dan Sankar,
2009).
B. Antikanker
Terdapat laporan bahwa ekstrak metanol kulit buah manggis
menunjukkan aktivitas sangat poten dalam menghambat proliferasi sel
kanker payudara SKBR-3, dan menunjukkan aktivitas apoptosis
(Moongkarndi et al., 2004). Berdasarkan penelitian tersebut, senyawa
garsinon E menunjukkan aktivitas sitotoksisitas paling poten terhadap sel
kanker hati (Ho et al., 2002).
Di lain pihak, terdapat uji serupa yaitu aktivitas antiproliferatif dan
apoptosis pada pertumbuhan sel leukimia manusia HL60. α-mangostin
menunjukkan aktivitas anti-proliferasi dan apoptosis terpoten diantara
senyawa xanton lainnya (Matsumoto et al., 2003). Nabandith et al.,
(2004) melakukan penelitian in vivo aktivitas kemopreventif α-
mangostin pada lesi preneoplastik putatif yang terlibat pada
karsinogenesis kolon tikus, disimpulkan senyawa tersebut menurunkan
terjadinya lesi fokal dan epitelium kolon tikus (Nabandith et al., 2004).
Penelitian α-mangostin (0,10,20 mg/kgBB/hari) memicu peningkatan
supresi pertumbuhan tumor dan metastase lodus limfatik pada model
kanker payudara dengan mutasi p53 (Shibata et al., 2011).
C. Aktivitas anti-histamin
Dalam reaksi alergi, komponen utama yang mengambil peran
penting adalah sel mast, beserta mediator-mediator yang dilepaskannya
Page 59
59
yaitu histamin dan serotonin. Setelah adanya interaksi kembali antara
antigen-antibodi, akan merangsang sel mast untuk melepaskan histamin
(Kresno, 2001). Berhubungan dengan reaksi alergi atau pelepasan
histamin tersebut, Chairungsrilerd et al. (2007) melakukan pengujian
ekstrak metanol kulit buah manggis terhadap kontraksi aorta dada kelinci
terisolasi yang diinduksi oleh histamin maupun serotonin. Dari penelitian
ini disimpulkan bahwa α-mangostin tersebut dikategorikan sebagai
penghambat reseptor histaminergik khususnya H-1, sedangkan γ-
mangostin sebagai pengeblok reseptor serotonergik khususnya 5-
hidroksitriptamin 2-A atau 5-HT-2A (Chairungsrilerd, 2007).
D. Anti-inflamasi
Penelitian mengenai aktivitas anti-inflamasi dari kulit buah
manggis sampai saat ini baru dilakukan pada tahapan in vitro. Dari hasil
penelitian diduga bahwa senyawa yang mempunyai aktivitas anti-
inflamasi adalah γ-mangostin. Nakatani et al., (2002) melakukan
penelitian aktivitas anti-inflamasi in vitro dari γ-mangostin terhadap
sintesa PGE-2 dan siklooksigenase (COX) dalam sel glioma tikus C-6. γ-
mangostinmenghambat secara poten pelepasan PGE-2. γ-mangostin
menghambat perubahan asam arakidonat menjadi PGE-2 dalam
mikrosomal, ini ada kemungkinan penghambatan pada jalur
siklooksigenase. Pada percobaan enzimatik in vitro, senyawa ini mampu
menghambat aktivitas enzim COX-1 dan COX-2 (Nakatani et al., 2002).
E. Antibakteri
Page 60
60
Selain memiliki beberapa aktivitas farmakologi seperti di atas,
kulit buah manggis juga menunjukkan aktivitas antimikroorganisme
termasuk Staphylococcus aereus, Staphylococcus epidermidis,
Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhimurium, spesies
Enterococcus, Mycobacterium tuberculosis dan propionibacterium
acnes. Penelitian fitokimia menunjukkan komponen yang berperan
adalah derivat xanton seperti α-, β-, γ- mangostin, gartinin, 1- dan 3-
isomangostin (Chomnawang et al., 2005). Ekstrak kulit manggis efektif
melawan Staphylococcus aureus, Staphylococcus albus dan Mikrococcus
lutus (Priya et al., 2010). Ekstrak kulit manggis juga memiliki aktivitas
antibakteri terhadap streptococcus mutans dimana bakteri ini
berhubungan dengan pembentukan plak gigi dan caries gigi
(Torrungruang, 2007). Suksamrarn et al. (2006) bersama kelompoknya
asal Thailand, melakukan penelitian potensi antituberkulosa dari senyawa
xanton terprenilasi yang diisolasi dari kulit buah manggis. Dari beberapa
penelitian diantara semua derivat xanton, α-mangostin memiliki aktivitas
antibakteri yang paling poten (Suksamrarn et al.,2006; Chomnawang et
al., 2005).
2.9.5 Toksisitas
Untuk menentukan dosis letal kulit manggis Priya et al. (2010)
menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak kulit buah manggis pada tikus
dengan dosis 1-3 g/kgBB perhari tidak menghasilkan efek toksik selama
periode 14 hari (Priya et al., 2010). Penelitian subakut oleh Towatana et
Page 61
61
al. (2010) pada tikus wistar selama 12 minggu mendapat ekstrak dosis
400, 600, dan 1200 mg/kgBB/hari. Hewan percobaan diamati setiap hari
klinis dan perubahan tingkah lakunya. Kesimpulan penelitian ini ekstrak
tiap dosis tidak menghasilkan efek yang merugikan (Towatana et al.,
2010). Penelitian secara kronis dilakukan oleh Chivapat et al. (2011)
terhadap ekstrak etanol kulit manggis 95% selama enam bulan dosis 10,
100, 500, 1000 mg/kgBB/hari pada 180 tikus percobaan. Ekstrak tidak
mempengaruhi prilaku, status kesehatan hewan, keadaan klinis dan nilai
hematologis. Namun pada dosis 500 mg/kgBB ke atas mempengaruhi
berat badan, meningkatkan ALT, BUN, adanya degenerasi hepatoseluler
(Chivapat et al., 2011). Dosis akut lethal (LD50) dari kulit manggis
adalah 9,37 g/kgBB (Pongphasuk et al., 2005).
2.10 Mencit (Mus musculus)
Mencit banyak diternakan untuk tujuan komersil dan keperluan
penelitian, selain itu beberapa mencit juga di kembang biakan sebagai
hewan peliharaan, pakan reptil dan keperluan praktikum.
Mencit (Mus musculus) merupakan hewan yang masuk dalam
familia dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Para ahli zoology
(Ilmu hewan), setelah melakukan penelitian dan pengamatan yang
memakan waktu yang lama dan pemikiran yang seksama, sepakat untuk
menggolongkan hewan ini ke dalam ordo rodensia (hewan pengerat), sub
ordo Mymorpha, famili Muridae, dan sub famili Murinae. Untuk lebih
jelasnya mencit (Mus musculus) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Page 62
62
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Class : Mamalia
Sub class : Theria
Ordo : Rodentia
Sub ordo : Myomorpha
Famili : Muridae
Sub family : Murinae
Genus : Mus
Species : Mus musculus
2.10.1 Anatomi kulit mencit
Secara garis besar kulit mencit dibagi menjadi lapisan epidermis,
dermis dan subkutis. Epidermis terdiri dari lapisan malpigi yang
merupakan lapisan sel yang terletak sebelah dalam dan dikenal juga
dengan istilah sel basah (moist cells). Lapisan paling luar (stratum
korneum) atau lapisan tanduk yang terdiri dari lapisan sel tanpa inti
(anucleate), pipih, mati (non viable) yang disebut sel kering. Substrata
sel hidup pada epidermis terdiri dari sel basal, sel spinosa dan lapisan
granular (Marshall dan Huge, 2013).
Lapisan dermis terletak di bawah epidermis yang sebagian besar
tersusun dari jaringan ikat konektif. Terdapat suatu matriks tiga dimensi
dari jaringan ikat longgar yang tersusun dari komponen protein fibrosa
Page 63
63
(kolagen dan elastin) dan digulung dalam jelly amorphous dari
glikosaminoglikan. Selain matriks fibrosa juga terdapat sistem pembuluh
darah, saraf dan sistem limfe (Marshall dan Huge, 2013).
Kolagen merupakan 77% dari berat jaringan kulit dan berperan utama
sebagai kekuatan lentur dari dermis. Kolagen-1 merupakan kolagen
utama, sedangkan kolagen-3 hanya 15% dari jumlah masa kolagen
(Marshall dan Huge, 2013).
Serabut elastin terdiri dari mikrofibril yang terikat dalam
amorphous matrix, disusun dari asam amino lysin dan disebut elastin.
Jaringan adiposa disebut juga hipodermis atau panikulus adiposus
(Marshall dan Huge, 2013).
Sebuah penelitian eksperimental yang dilakukan Kim S.Y. et al.
(2004) dengan menggunakan mencit balb/c yang diberi sinar UVB
dengan dosis total 600 mJ//cm2, yaitu 50 mJ/cm2 pada minggu pertama,
70 mJ/cm2 pada minggu ke dua dan 80 mJ/cm2 pada minggu ke tiga dan
diberikan tiga kali seminggu akan menyebabkan photoaging pada kulit.
Sedangkan penelitian Wahyuningsih (2010) menemukan terjadi
kerusakan kolagen secara bermakna pada kulit (photoaging) didapat
dengan pemberian dosis total UVB sebesar 840 mJ/cm2.
Page 64
64
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Paparan sinar ultraviolet terutama sinar UVB merupakan salah satu
faktor yang sangat berperan untuk terjadinya penuaan dini kulit
(photoaging) terutama yang hidup di daerah tropis. Paparan sinar UVB
secara kronis dan berulang dapat menyebabkan kerusakan pada
komponen epidermis, dermis dan appendages kulit. Hal ini dapat dinilai
dengan adanya penurunan jumlah kolagen akibat degradasi yang
disebabkan oleh meningkatnya MMP-1 secara bermakna.
Ekstrak kulit manggis mengandung xanton, isoflavon, tannin,
flavonoid, vitamin C, Fenol dan Antosianin menunujukan adanya
aktivitas antioksidan tinggi. Atas dasar ini timbul pemikiran untuk
menggunakan kulit manggis secara topikal sebagai antioksidan
khususnya untuk memberi efek perlindungan terhadap kolagen dermis
dan penghambatan peningkatan ekspresi MMP-1 yang berakibat pula
menghambat photoaging.
Pada penelitian pendahuluan untuk menguji efektifitas dosis kulit
manggis terhadap peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi
MMP-1 dermis pada mencit yang akan dilakukan pada penelitian ini
didapat hasil bahwa diantara dosis kulit manggis 25%, 50% dan 95%,
ternyata dosis 95% adalah yang paling optimal didalam hal peningkatan
Page 65
65
jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 dermis pada mencit
(Ericson, 2014).
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.1 Konsep penelitian
3.3 Hipotesis
1. Pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana)
95% meningkatkan jumlah kolagen dermis pada kulit mencit yang
dipapar UVB.
2. Pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana)
95% menurunkan ekspresi matriks metalloproteinase–1 pada kulit
mencit yang dipapar UVB.
Ekstrak kulit manggis Faktor Eksterrnal
Lingkungan
Gizi
Polusi
Kelembaban
Sinar UVB
Polusi
Makanan
Faktor Internal
Genetik
Ras
Usia
Mencit balb/c, yang dipapar sinar
UVB
- Jumlah kolagen dermis
- Ekspresi MMP-1 dermis
Page 66
66
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan penelitian
Penelitian ini adalah animal experimental dengan memakai post
test only control group design.
Skema rancangan penelitian adalah sebagai berikut :
Keterangan
P= Populasi S= Sampel R= Random
P1 = Perlakuan-1 (kontrol), diberi paparan UVB dan hanya diberikan
solutio plasebo (bahan dasar solutio saja).
P2 = Perlakuan-2, diberi paparan UVB dan diberikan solutio ekstrak
etanol kulit manggis 95%.
O1 = Observasi jumlah kolagen dermis dan ekspresi MMP-1
perlakuan-1 post test.
O2 = Observasi jumlah kolagen dermis dan ekspresi MMP-1
perlakuan-2 post test.
P S R
P1
P2
O2
O1
O1
Page 67
67
4.2 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukkan di Laboratory Animal Unit Bagian
Farmakologi FK UNUD, Denpasar, Bali. Penelitian ini secara keseluruhan
dilakukan selama 4 minggu.
4.3 Sampel
4.3.1 Besaran sampel
Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan
rumus (Federer, 2008):
(n-1) x (t-1) ≥ 15
t = jumlah perlakuan / kelompok = 2
(n-1) x (2-1) ≥ 15 n = 15 + 1
n = jumlah replikasi n = 16
Tiap kelompok ditambah 10% sebagai cadangan ( 10% x 16 = 2 ).
Jadi total sampel (16 x 2) + (2 x 2) = 36 ekor mencit yang
dibutuhkan untuk penelitian secara keseluruhan.
4.3.2 Teknik penentuan sampel
Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara berikut :
a. Dari populasi mencit Balb/c diadakan pemilihan sampel berdasarkan
kriteria inklusi.
b. Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat inklusi diambil secara
random untuk mendapatkan hewan percobaan.
c. Dari hewan percobaan yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi dua
kelompok secara random yaitu kelompok perlakuan-1 (kontrol) dan
Page 68
68
kelompok perlakuan-2, masing-masing kelompok mendapatkan jumlah
mencit yang sama.
Hewan percobaan yang dipakai dalam penelitian ini diperoleh dari
Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi FK UNUD.
Kriteria inklusi sampel hewan percobaan adalah:
a. Mencit betina sehat dan normal.
b. Strain balb/c.
c. Umur 6-8 mingu (berat badan 20-25 gram).
d. Tampak aktif.
Kriteria drop out mencit tidak mau makan, sakit atau mati selama
penelitian.
4.4 Variabel penelitian
Variabel penelitian yang akan diukur adalah :
1. Variabel tergantung, yaitu: jumlah kolagen dermis dan ekspresi enzim
MMP-1.
2. Variable bebas, yaitu : Solutio ekstrak etanol kulit manggis 95%.
3. Variabel kendali, yaitu : strain, usia, dan berat badan mencit.
4.5 Definisi operasional
1) Kulit buah manggis
Kulit buah manggis adalah bagian terluar dari buah manggis yang
berwarna merah keunguan. Mempunyai bobot 62,84% bila dibandingkan
dengan buahnya. Priya et al. (2010) mengekstraksi kulit manggis
menemukan kandungan 95% xanton, disamping itu didapat juga
Page 69
69
kandungan isoflavon, tannin dan flavonoid (Priya et al., 2010). Selain itu
kulit buah manggis juga mengandung antosianin (Pradipta et al., 2009).
Dan pada uji fitokimia kulit manggis dengan metode DPPH tgl 7 mei 2013
di fakultas tehnologi pertanian unit pelayanan laboratrium uji fitokimia
UNUD diketahui kulit manggis memiliki kandungan vitamin C, fenol dan
antosianin yang cukup tinggi (Ericson, 2014). Kulit buah manggis yang
dipakai pada penelitian berasal dari buah manggis Purwokerto, dengan
kriteria sebagai berikut: diameter ± 55-65 mm, warna kulit merah
keunguan, tidak cacat, tidak busuk, tidak ada serangga, kotoran, warna isi
buah putih bersih, stadia kematangan 4-6.
2) Ekstrak kulit manggis
Ekstrak kulit buah manggis yang didapat diproses dengan pelarut
etanol di laboratrium biopestisida UNUD.
3) Solutio
Solutio adalah sediaan cair yang merupakan campuran homogen
antara dua atau lebih zat yang terdiri dari hanya satu fase. Solutio
digunakan secara topikal.
Solutio Ekstrak etanol kulit manggis 95%
Solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% di proses dari
ekstrak etanol kulit manggis menjadi bentuk solutio dengan
perbandingan ekstrak etanol kulit manggis : bahan dasar solutio
(solutio plasebo) 95:5 di PT. Fanita Estetika. Kemudian solutio
ekstrak etanol kulit manggis 95% diberikan secara topikal di
Page 70
70
punggung mencit dua kali sehari selama empat minggu pada
kelompok perlakuan-2.
4) Sinar ultraviolet B
Sinar ultraviolet B adalah salah satu jenis sinar ultraviolet dengan
panjang gelombang 290-320 nm. Sinar UVB pada penelitian ini didapat
dari simulator UVB buatan China, tipe KN-4003 B. Paparan sinar UVB
diberikan sebanyak tiga kali seminggu selama empat minggu dengan
dosis total penyinaran sebesar 840 mJ/Cm2.
5) Mencit
Mencit (Mus musculus) merupakan hewan yang masuk dalam
familia dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Mencit yang dipakai
pada penelitian ini balb/c betina berumur 6-8 minggu dengan berat 20-25
gram. Didapat dari Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi FK
UNUD.
6) Kolagen
Adalah protein (polipeptida) ekstraseluler yang merupakan
jaringan ikat di dalam dermis yang diproduksi oleh fibroblast.
Kolagen pada penelitian ini diambil dari jaringan kulit dari
punggung mencit yang telah dipapar sinar UVB. Biopsi kulit mencit
diambil dengan punch biopsy dengan diameter lima mm dan ke dalaman
sampai sub kutan. Setelah itu dibuat preparat histologisnya, kemudian
dilakukan pengecatan Sirius red. Selanjutnya perhitungan jumlah kolagen
dilakukan dengan analisis digital menggunakan piranti lunak adobe
Page 71
71
photoshop Cs2 versi-9 (Rabello-Fonseca et al., 2008). Satuan yang
digunakan adalah %.
7) Matriks Metalloproteinase-1
MMP-1 adalah suatu protease di dalam dermis yang diproduksi di
dalam fibroblast dengan aktivitas degradasi terhadap protein jaringan ikat
kolagen. Preparat histologisnya didapat dari jaringan kulit hasil biopsi
kulit mencit yang telah dipapar sinar UVB masing-masing dengan
diameter lima mm dan ke dalaman sampai sub kutan.
Pengecatan enzim MMP-1 mempergunakan Kit MMP-1 (DAKO
LSAB plus, universal detection kit, DAB 5ml) dengan menggunakan
metode imunohistokimia. Setelah pengecatan selesai, baru dapat dihitung
ekspresi MMP-1 dengan metode analisis digital dengan menggunakan
format JPEG menggunakan perangkat lunak Optilab Viewer 1.0 dan
Image Raster 2.1 (Miconos, Indonesia). Satuan yang digunakan adalah
%.
4.6 Bahan, hewan percobaan dan prosedur penelitian
4.6.1 Bahan dan hewan percobaan
a. Mencit balb/c berumur 6-8 minggu dengan berat 20-25 gram.
b. Lampu broadband Ultraviolet buatan tipe KN-4003 B.
c. Pengukur dosis radiasi (Dosimetri).
d. Kandang dan alat khusus untuk fiksasi mencit selama penyinaran.
e. Ekstrak etanol kulit manggis di dapat dari bagian laboratrium
biopestisida UNUD, sedangkan pembuatan menjadi solutio dilakukan
Page 72
72
di PT Fanita Estetika. Dosis solutio etanol ekstrak kulit manggis
ditentukan 95% didapat setelah melakukan penelitian pendahuluan
untuk menentukan dosis optimal (ericson, 2014).
Penelitian dengan menggunakan mencit dilakukan di Laboratory
Animal Unit Bagian Farmakologi FK UNUD.
Bahan dan peralatan laboratorium untuk tindakan pengecatan dan
mikroskop serta pembuatan foto untuk perhitungan jumlah kolagen,
juga Kit LSAB (DAKO, Denmark), antibodi primer anti-mouse MMP-
1 (BIOS, USA), bahan-bahan lain untuk pengecatan MMP-1 yang
menggunakan bahan dari Sigma-Aldrich (USA), semuanya didapat
dari bagian histologi FK UNUD.
4.6.2 Prosedur penelitian
4.6.2.1. Hewan coba
4.6.2.1.1. Sebelum perlakuan
1. Dari populasi mencit, dipilih sebanyak 36 ekor mencit sesuai kriteria
inklusi untuk dijadikan sampel.
2. Sebanyak 36 ekor mencit sampel diadaptasi terlebih dahulu selama satu
minggu.
3. Kandang yang digunakan untuk memelihara mencit percobaan berupa bak
plastik berukuran 50x40x20 cm dan pada bagian atas diberi penutup
kawat, di dalam kandang terdapat tempat makanan dan botol minuman,
serta pada dasar bak diberikan sekam padi untuk menyerap kotoran
mencit. Ada tujuh kandang, tiap kandangnya berisi 6 ekor mencit.
Page 73
73
4. Dari 36 ekor mencit percobaan tersebut dibagi menjadi dua kelompok
secara random dan dilakukan pencukuran pada punggung mencit (area
yang mendapat penyinaran). Semua mencit percobaan diaklimatisasi di
unit Animal Laboratorium Farmakologi Universitas Udayana. Mencit
dikandangkan dan setiap kandang berisi mencit sebanyak 6 ekor dan
diberikan makanan standar berupa jenis pakan ayam petelur dengan
komposisi KLK super 35%, ditambah dedak padi 15% dan jagung 50%.
sehari dua kali selama lima minggu, dan diberi minum secara ad libitum
juga. Mencit ditempatkan pada kondisi 12 jam pada pagi hari tanpa lampu,
sedangkan pada 12 jam berikutnya (malam hari) diberi penerangan berupa
lampu kuning 10 watt. Suhu kandang dijaga pada kisaran suhu 25°C dan
kelembaban 70%, kebersihan dan kenyamanan kandang harus selalu dijaga
dan mencit diperlakukan dengan kasih sayang.
4.6.2.1.2. Saat perlakuan
1. Kelompok pertama (18 ekor mencit) dipapar UVB tiga kali seminggu
selama 4 minggu dan diberikan solutio plasebo (bahan dasar solutio)
sebanyak 0,5ml setiap kali sebelum penyinaran. Kemudian setelah 4
minggu penyinaran, mencit dibiarkan terlebih dahulu selama dua puluh
empat jam untuk menyingkirkan pengaruh efek penyinaran akut (Vayalil,
2004). Selanjutnya dilakukan biopsi plong 5mm pada kulit punggung
mencit yang dipapar sinar UVB.
2. Kelompok kedua (18 ekor mencit) dipapar UVB tiga kali seminggu selama
4 minggu dan diberikan solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% sebanyak
Page 74
74
0,5ml setiap kali sebelum penyinaran. Kemudian setelah 4 minggu
penyinaran, mencit dibiarkan terlebih dahulu selama dua puluh empat jam
untuk menyingkirkan pengaruh efek penyinaran akut (Vayalil, 2004).
Selanjutnya dilakukan biopsi plong 5mm pada kulit punggung mencit yang
dipapar sinar UVB.
3. Penyinaran UVB yang dilakukan dengan menggunakan simulator sinar
UVB buatan merek KN-4003, dengan dosis total penyinaran pada
kelompok perlakuan-1 (kontrol) dan perlakuan-2 sebesar 840 mJ/cm2,
dengan perincian: 50 mJ/cm2 .
pada minggu pertama, 70 mJ/cm2 pada
minggu ke dua dan 80 mJ/cm2 pada minggu ke tiga dan ke empat.
Penyinaran diberikan tiga kali seminggu selama empat minggu, sehingga
dosis totalnya mencapai 840 mJ/cm2.
4.6.2.1.3. Sesudah perlakuan
Pada akhir penelitian mencit dieuthanasia melalui cara di suntik
dengan Ketamin 20mg/25g Xylazin 20mg/25g i.m., bila belum mati di
tambahkan lethal dose of barbiturat (pentotal) i.m. Bila sudah mati, mencit
ditempatkan dalam ruang kaca yang tertutup dan transparan. Setelah itu
kadaver mencit dikubur.
4.6.2.2. Langkah pembuatan ekstrak kulit manggis
Kulit buah manggis yang digunakan dalam penelitian ini, diambil
zat aktifnya dengan cara ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan cara
membersihkan kulit manggis (segar) Purworejo yang telah terkumpul,
kemudian dicincang kecil-kecil dan dikeringanginkan. Kulit yang telah
Page 75
75
kering digiling hingga menjadi serbuk simplisia. 500 g serbuk simplisia
kulit manggis dimaserasi di dalam 1 liter etanol 96% selama 48 jam
dengan tujuan menarik zat aktif pada bahan yang akan digunakan. Filtrat
diperoleh dengan penyaringan melalui empat lapis kain kasa dilanjutkan
dengan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman nomor satu
atau dua. Filtrat yang diperoleh ditampung disebut filtrat satu, sedangkan
ampasnya direndam atau diekstrak lagi dengan etanol 96% dan
diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar. Lakukan kegiatan
penyaringan sehingga akan diperoleh filtrat dua, dan ampasnya direndam
lagi seperti prosedur sebelumnya, lakukan penyaringan sehingga
diperoleh filtrat tiga. Filtrat satu, dua dan tiga digabung dan dievaporasi
menggunakan vacum rotary evaporator pada suhu 40°C, sehingga
diperoleh ekstrak kasar (crude extract).
4.6.2.3. Langkah pembuatan solutio
4.6.2.3.1 Solutio plasebo
Solutio plasebo dibuat di PT. Fanita Estetika dengan komposisi
glycerin 0,6, propylene glycol 1,0, triethanolamine 0,3, croduret 1,0,
transqutol 2,0, microcare MT 0,1, aqua 95,0. Bentuk solutio plasebo
berupa cairan minyak putih bening dengan pH 6.5, baunya khas.
Proses pembuatan solutio plasebo sebagai berikut :
1. Timbang glycerin sebagai emolient agar dapat masuk ke fase minyak,
tambahkan propyleneglikol sebagai emolient fase minyak, kemudian
diaduk hingga homogen.
Page 76
76
2. Tambahkan TEA (trietanolamin) untuk mengatur pH solutio, kemudian
diaduk hingga homogen selama 5-10 menit.
3. Tambahkan croduret sebagai solubulizer, kemudian diaduk hingga
homogen.
4. Tambahkan transqutol sebagai pendispers masuk ke dalam kulit agar
hasil yang diperoleh dapat maksimal, kemudian diaduk hingga
homogen.
5. Tambahkan microcare MT sebagai pengawet, kemudian diaduk hingga
homogen.
6. Diaduk kembali hingga menjadi soloutio yang homogen.
4.6.2.3.2. Solutio ekstrak etanol kulit mangis 95%
Solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% di proses di PT. Fanita
Estetika dengan komposisi glycerin 0,6, propylene glycol 1,0,
triethanolamine 0,3, croduret 1,0, transqutol 2,0, Extract manggis 95,0,
microcare MT 0,1, aqua 0,0. Bentuk solutio cair, ada sedikit endapan, agak
kasar, agak lengket, warna merah tua dengan pH 4,57.
Proses pembuatan solutio ekstrak etanol kulit manggis 95%
sebagai berikut :
1. Timbang glycerin sebagai emolient agar dapat masuk ke fase minyak,
tambahkan propyleneglikol sebagai emolient fase minyak, kemudian
diaduk hingga homogen.
2. Tambahkan TEA (trietanolamin) untuk mengatur pH solutio, kemudian
diaduk hingga homogen selama 5-10 menit.
Page 77
77
3. Tambahkan croduret sebagai solubulizer, kemudian diaduk hingga
homogen.
4. Tambahkan transqutol sebagai pendispers masuk ke dalam kulit agar
hasil yang diperoleh dapat maksimal, kemudian diaduk hingga
homogen.
5. Tambahkan microcare MT sebagai pengawet, kemudian diaduk hingga
homogen.
6. Diaduk kembali hingga menjadi soloutio yang homogen.
7. Tambahkan ekstrak etanol kulit manggis ke dalam solutio pasebo yang
sudah jadi itu dengan perbandingan ekstrak etanol kulit manggis :
solutio plasebo adalah 95:5.
8. Diaduk kembali hingga menjadi soloutio yang homogen.
4.6.2.4. Pembuatan sediaan histo1ogis
Pembuatan sediaan histologis dibagi menjadi empat tahapan yaitu
tahap fiksasi, dehidrasi, clearing dan embeding. Jaringan kulit hasil
biopsi kulit mencit masing-masing dengan diameter lima mm dan ke
dalaman sampai sub kutan diperlakukan mengikuti tahapan tersebut.
Tahap fiksasi artinya kulit hasil biopsi direndam dalam formalin bufer
fospat 10% selama 24 jam kemudian dilakukan triming bagian jaringan
yang akan diambil. Selanjutnya jaringan tersebut direndam dengan
alkohol bertingkat (tahap dehidrasi) direndam berturut turut 50%, 70%,
90%, 96% dan 100% masing masing dua kali selama dua jam.
Selanjutnya masuk ke tahap clearing dengan memasukkan jaringan ke
Page 78
78
clearing agent (xylene) selama 24 jam sampai transparan. Tahap
embeding diawali dengan proses infiltrasi sebanyak dua kali selama
masing-masing satu jam dengan parafin murni (Histoplast) cair (suhu 60o
C) kemudian jaringan ditanam ke dalam parafin cair dan dibiarkan
membentuk blok yang memakan waktu selama satu hari agar mudah
diiris dengan mikrotom. Pemotongan menggunakan mikrotom rotari
(Jung Histocut Leica 820), tebal lima mikro meter secara seri dan diambil
irisan ke lima, 10, 15 untuk selanjutnya dilakukan penempelan pada gelas
objek, lalu diinkubasi pada suhu 60o C selama dua jam. Khusus untuk
slide yang dicat dengan immunohistokimia (pemeriksaan MMP-1),
menggunakan objek glass yang sudah dilapisi daya rekat seperti Poly-
Lysine atau yang sejenis.
4.6.2.5. Pewarnaan kolagen dengan Sirius red dan perhitungan jumlah
kolagen
Kolagen merupakan polipeptida dengan struktur utama berbentuk
triple helix. Setiap rantai komposisinya merupakan pengulangan Gly-X-Y
dan apabila rangkaian ini rusak dengan enzim tertentu maka gugus
Glycine yang tampak. Pengecatan glycine dapat dilakukan dengan
menggunakan pewarna Sirius red.
Sebelum dilakukan pengecatan, slide melalui proses deparafinisasi
dan rehidrasi meliputi perendaman dalam larutan xylene 2x5 menit,
etanol 100% selama dua menit, etanol 96% 2x2 menit, etanol 70%
selama dua menit dan aquadest selama dua menit. Selanjutnya dilakukan
Page 79
79
pewarnaan inti sel dengan Hematoxilin Gill selama 10 menit dan dicuci
selama 10 menit dengan air mengalir. Dilakukan pewarnaan dengan
picro Sirius red selama satu jam yang bertujuan memberikan pewarnaan
mendekati seimbang. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian dengan air
asam sebanyak dua kali. Air yang berlebihan selanjutnya dihilangkan
secara fisik dengan menggoyang secara perlahan. Dehidrasi dalam etanol
70% selama 10 detik, etanol 96% 2x 10 detik, etanol 100% selama 10
detik dan xylene 2x2 menit, keringkan selama dua jam dalam suhu
ruang, lalu mounting pada medium berbasis xylene (DPX).
Pengamatan hasil jumlah ekspresi kolagen sediaan dilakukan
dengan metode analisis digital dengan pembesaran 10 dan 40 kali,
menggunakan mikroskop Olympus CX41 (Japan), difoto dengan kamera
Optilab Pro (Miconos, Indonesia). Masing masing preparat difoto
sebanyak tiga kali dengan menggunakan format JPEG menggunakan
perangkat lunak Optilab Viewer 1.0 (Miconos, Indonesia). Penghitungan
jumlah kolagen dermis dengan menggunakan piranti lunak Adobe
PhotoShop CS3 dan Image J. Jaringan kolagen yang tampak berwarna
merah terang dipilih menggunakan fungsi “Magic Wand” oleh Adobe
PhotoShop CS3. Kemudian dengan menggunakan fungsi “inverse” maka
terpilihlah pixel selain warna merah, lalu dihapus menggunakan fungsi
“delete” sehingga pada gambar hanya tersisa pixel dengan warna merah.
Ekspresi kolagen dihitung sebagai persentase pixel area kolagen yang
berwarna merah dibandingkan dengan pixel area seluruh jaringan.
Page 80
80
Pertama-tama gambar yang sudah dihilangkan pixel selain warna merah,
dipisah channel warna merahnya melalui fungsi “RGB stack” pada Image
J. Setelah didapatkan channel warna merah kemudian dibuat nilai
“threshold” untuk warna merah, lalu dijalankan fungsi “measure”
sehingga didapatkan presentase pixel warna merah dari total pixel secara
otomatis.
Jumlah kolagen = pixel area kolagen x 100%
pixel area seluruh jaringan
4.6.2.6. Pengecatan dan perhitungan ekspresi Matriks Metalloproteinase-1
Pengecatan enzim MMP-1 mempergunakan Kit MMP-1 (DAKO
LSAB plus, universal detection kit, DAB 5ml) dengan menggunakan
metode imunohistokimia.
Kit MMP-1 adalah suatu bahan yang digunakan untuk proses
pengukuran MMP-1 pada manusia dalam bentuk pro dan aktif yang ada
dalam serum, plasma, supernatan kultur sel dan urin. Kit ini terdiri dari
lempengan mikro dengan 96 sumuran yang sudah dilapisi dengan anti-
human MMP-1, larutan buffer untuk pencuci, larutan standar yang
mengandung recombinant human MMP-1, assay dilluent, pendeteksi
antibody MMP-1 (biotynilated anti-human MMP-1), HRP-conjugated
streptavidine, tetramethylbenzidine (TMB) dan Stop Solution.
a. Sebelum dilakukan pengecatan, slide melalui proses deparafinisasi dan
rehidrasi meliputi perendaman dalam larutan xylene 2x5 menit, etanol
100% selama dua menit, etanol 96% 2x2 menit, etanol 70% selama dua
menit dan PBS selama dua menit.
Page 81
81
b. Selanjutnya dilakukan antigen retrieval, yaitu slide direndam dalam
buffer Tri Sodium Citrat lalu dipanaskan dalam microwave selama lima
menit dengan menggunakan daya 800 Watt, dinginkan lalu cuci dengan
PBS 2x5 menit.
c. Kemudian dilakukan bloking peroksidase endogen dalam boks plastik
dengan H2O2 3% selama 30 menit. Kemudian dicuci dengan PBS 1X
selama lima menit masing-masing dua kali. Diteteskan 5% FBS 100 µL
selama dua jam dalam suhu ruang dan boks dalam keadaan tertutup.
Dilanjutkan dengan dicuci PBS 1X selama lima menit masing-masing
dua kali, kemudian diteteskan antibodi primer 100 µL selama satu malam
dalam boks tertutup. Setelah satu malam dicuci dengan PBS 1X selama
lima menit dalam glass jar masing-masing sebanyak dua kali sambil
digoyangkan. Karena biotinylated link dapat berikatan dengan antibodi
MMP-1, maka dilanjutkan dengan biotinylated link yang diteteskan pada
seluruh permukaan jaringan kemudian diinkubasi selama 30 menit dalam
boks tertutup, kemudian dicuci dalam PBS 1X selama lima menit dalam
glass jar masing-masing dua kali sambil digoyangkan. Selanjutnya
diteteskan streptavidin peroxidase kemudian didiamkan selama 30 menit
dalam boks tertutup, dicuci kembali dalam glass jar menggunakan PBS
1X sebanyak empat kali masing-masing selama tiga menit sambil
digoyangkan. Agar streptavidin peroxidase yang mengandung HRP
dapat berikatan dengan biotinylated link. HRP dari streptavidin
peroxidase dapat berikatan dengan DAB. Sehingga fibroblas yang
Page 82
82
mengandung HRP dapat berubah warna menjadi coklat yang
menandakan adanya enzim MMP-1. Jadi proses selanjutnya diteteskan
DAB hingga berwarna coklat kemudian dicuci dengan PBS 1X hingga
bersih dan dikeringkan. Diteteskan Hematoxylin Gill didiamkan selama
lima menit kemudian dicuci dengan air mengalir. Direndam dalam etanol
absolut sebanyak dua kali masing-masing selama lima menit, dilanjutkan
perendaman pada xylene sebanyak dua kali masing-masing selama lima
menit. Setelah kering slide di-mounting dengan medium berbasis xylene
(DPX) dan ditutup cover glass.
d. Perhitungan jumlah ekspresi MMP-1 sediaan dilakukan dengan metode
analisis digital dengan pembesaran 10 dan 40 kali, menggunakan
mikroskop Olympus CX41 (Japan), difoto dengan kamera Optilab Pro
(Miconos, Indonesia). Masing masing preparat difoto sebanyak tiga kali
dengan menggunakan format JPEG menggunakan perangkat lunak
Optilab Viewer 1.0 dan Image Raster 2.1 (Miconos, Indonesia). Ekspresi
MMP-1 berwarna coklat dan dihitung berdasarkan sel fibroblast yang
mengekspresikan MMP-1. Kuantifikasi MMP-1 adalah jumlah sel
fibroblast yang mengekspresikan MMP-1 dibagi total sel fibroblast dalam
lapangan pandang dihitung masing-masing untuk tiga lapangan pandang.
Jumlah = fibroblast yang mengandung MMP-1 x 100%
ekspresi MMP-1 fibroblast keseluruhan
Page 83
83
4.6.2.7. Langkah paparan sinar UVB pada mencit balb/c.
Tabel 4.1 jadwal dan waktu paparan UVB
Jadwal Paparan Dosis Sinar UVB Lama Paparan
Minggu I
( Senin, Rabu, Jumat )
50 mJ/cm2
50 detik
Minggu II
( Senin, Rabu, Jumat )
70 mJ/cm2
70 detik
Minggu III dan IV
( Senin, Rabu, Jumat )
80 mJ/cm2 80 detik
4.6.2.8. Alur penelitian
Gambar 4.1 Alur Penelitian
Gambar 4.1 Alur Penelitian
36 ekor mencit Balb/c , umur 6-8 minggu, berat badan 20-25 g
Mencit diadaptasi selama 1 minggu
Kelompok 1
Diolesi Solutio Plasebo
Kelompok 2
Diolesi solutio kulit manggis 95%
Paparan UVB dengan dosis total 840mj/cm², 3 x seminggu selama 4 minggu
Mencit didiamkan selama 24 jam
Periksa jumlah kolagen dan ekspresi MMP-1
Analisis Data
Page 84
84
4.7. Analisis Data
Data yang telah terkumpul diproses dengan SPSS 17.0 for
windows, dan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Analisis deskriptif
Dilakukan sebagai dasar untuk statistik analitis (uji hipotesis)
untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki Analisis deskriptif
dilakukan dengan program SPSS.
b. Uji normalitas data
Normalitas data diuji dengan uji Shapiro-Wilk. Distribusi data
normal dengan p ≥ 0,05.
c. Uji Homogenitas
Homogenitas data diuji dengan Levene’s test. Varian data homogen
dengan p ≥ 0,05.
d. Analisis Komparatif
Karena data berdistribusi normal dan homogen, maka analisis
komparatif dilakukan dengan uji t-independent pada taraf kemaknaan α =
0,05
Page 85
85
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian eksperimental ini menggunakan mencit balb/c sebagai subyek
penelitian dan seluruh kegiatan penelitian dapat berjalan sesuai dengan waktu
yang direncanakan tanpa menemui kendala yang berarti. Pada akhir penelitian
semua pengukuran dapat diselesaikan dengan lancar dan tidak ditemukan adanya
mencit balb/c yang mati atau tidak ada drop out dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 36 ekor mencit sehat dan
normal, Strain balb/c, umur 6-8 minggu dan berat badan 20-25 gram secara
random sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing
berjumlah 18 ekor, yaitu kelompok perlakuan-1 (UVB dan solutio plasebo),
perlakuan-2 (UVB dan solutio ekstrak etanol kulit manggis 95%). Sebelum dipapar
sinar UVB terlebih dahulu mencit sampel diadaptasi 1 minggu. Setelah itu ke dua
kelompok sampel dipapar sinar UVB buatan 3 x seminggu dengan dosis total
840mJ/cm² selama 4 minggu. Setelah itu mencit dari kedua kelompok didiamkan
selama 24 jam untuk mengurangi efek akut dari paparan UVB, kemudian
dilakukan biopsi plong pada kulit punggung yang dipapar UVB dengan alat punch
biopsi nomor lima (diameter lima mm). Selanjutnya dibuat sediaan histologis dan
dilakukan pengecatan dengan Sirius red untuk kemudian dihitung jumlah
kolagen. Sedangkan untuk pemeriksaan ekspresi MMP-1 pembuatan sediaan
histologisnya menggunakan objek glass yang sudah dilapisi daya rekat seperti
Poly-Lysine atau yang sejenis, dan pengecatannya dicat dengan pewarnaan
immunohistokimia menggunakan kit MMP-1 LSAB (DAKO, Denmark) dan
Page 86
86
antibodi primer anti-mouse MMP-1 (BIOS, USA) . Bahan-bahan lainnya
menggunakan bahan dari Sigma-Aldrich (USA). Selanjutnya dinilai ekspresi
enzim MMP-1.
Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas, uji homogenitas, uji
komparabilitas, dan efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data
Data jumlah kolagen dermis dan ekspresi MMP-1 pada masing-masing
kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya
menunjukkan bahwa data jumlah kolagen dermis dan ekspresi MMP-1 berdistribusi
normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Kolagen Dermis dan Ekspresi MMP-1
Masing-masing Kelompok
Kelompok Perlakuan N P Keterangan
Jumlah kolagen perlakuan-1
Jumlah kolagen perlakuan-2
Ekspresi MMP-1 perlakuan-1
Ekspresi MMP-1 perlakuan-2
18
18
18
18
0,373
0,885
0,105
0,403
Normal
Normal
Normal
Normal
5.2 Uji Homogenitas Data antar Kelompok
Data jumlah kolagen dan ekspresi MMP-1 diuji homogenitasnya dengan
menggunakan Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05),
disajikan pada Tabel 5.2.
Page 87
87
Tabel 5.2
Hasil Uji Homogenitas antar Kelompok Data Jumlah Kolagen dan Ekspresi
MMP-1 Sesudah Perlakuan
Variabel F P Keterangan
Jumlah kolagen
Ekspresi MMP-1
0,428
1,297
0,518
0,263
Homogen
Homogen
5.3 Jumlah Kolagen
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata jumlah kolagen antar
kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-
independent disajikan pada Tabel 5.3 berikut.
Tabel 5.3
Rerata Jumlah kolagen antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek N
Rerata
Jumlah Kolagen
( % )
SB T
P
Perlakuan-1 (Kontrol)
Perlakuan-2
18
18
53.76
63,02
10,00
9,41
2,86 0,007
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata jumlah kolagen kelompok
Perlakuan-1 (kontrol) adalah 53,7610,00 dan rerata kelompok Perlakuan-2
adalah 63,029,41. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan
bahwa nilai t= 2,86 dan nilai p = 0,007. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah
kolagen pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p<0,05).
Page 88
88
Grafik 5.1 Jumlah kolagen
Grafik 5.1 diatas menunjukan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol
kulit manggis 95% (kelompok perlakuan-2) menyebabkan peningkatan
rerata jumlah kolagen sebesar 63,02% yang cukup bermakna bila
dibandingkan kelompok perlakuan-1 (kontrol) yang diberi solutio plasebo
yang sebesar 53,76% .
45,00
50,00
55,00
60,00
65,00
53,76
63,02
solutio solutio ekstrak plasebo kulit mangis 95%
solutio plasebo
solutio ekstrak kulit manggis
Page 89
89
Foto Kolagen ( Solutio Placebo )
Keterangan : Fragmen yang berwarna merah merupakan gambaran kolagen
dermis mencit yang diolesi solutio plasebo dan telah dipapar UVB selama 4
minggu dengan dosis total 840mJ/cm². Terlihat di kedua gambar atas fragmen
kolagennya sedikit.
Foto Kolagen ( Solutio Ekstrak kulit manggis 95% )
Keterangan : Fragmen yang berwarna merah merupakan gambaran kolagen
dermis mencit yang diolesi solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% dan telah
dipapar UVB selama 4 minggu dengan dosis total 840mJ/cm². Terlihat di kedua
gambar atas fragmen kolagennya banyak memenuhi lapangan pandang.
Gambar 5.1 Foto Kolagen Hasil Penelitian
Page 90
90
5.4 Ekspresi MMP-1
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata ekspresi MMP-1 antar
kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-
independent disajikan pada Tabel 5.4 berikut.
Tabel 5.4
Rerata Ekspresi MMP-1 antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek N
Rerata
Ekspresi
MMP-1
( % )
SB F
P
Perlakuan-1(kontrol)
Perlakuan-2
18
18
10,44
6,72
4,37
3,23
2,91 0,006
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata ekspresi MMP-1 kelompok
Perlakuan-1 adalah 10,444,37 dan rerata kelompok Perlakuan-2 adalah
6,723,23. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa
nilai t = 2,91 dan nilai p = 0,006. Hal ini berarti bahwa rerata ekspresi MMP-1
pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p<0,05).
Grafik 5.2 Ekspresi MMP-1
0,00
5,00
10,00
15,0010,44
6,72
solutio solutio ekstrak plasebo kulit manggi 95%s
solutio plasebo
solutio plasebo kulit manggis
Page 91
91
Grafik 5.2 diatas menunjukan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit
manggis 95% (kelompok perlakuan-2) menyebabkan penurunan rerata
ekspresi MMP-1 sebesar 6,72% yang cukup bermakna bila dibandingkan
kelompok perlakuan-1 (kontrol) yang diberi solutio plasebo sebesar 10,44%.
Page 92
92
Foto MMP-1 ( Solutio Placebo )
KETERANGAN : Menunjukkan fibroblas dengan MMP-1
Menunjukkan fibroblas tanpa MMP-1
Keterangan : Terlihat dari kedua gambar diatas memperlihatkan fibroblas dengan
MMP-1 (lingkaran hijau/panah merah) jumlahnya banyak terlihat pada dermis
mencit yang diolesi solutio plasebo dan telah dipapar UVB selama 4 minggu
dengan dosis total 840mJ/cm².
Foto MMP-1 ( Solutio Ekstrak kulit manggis 95% )
KETERANGAN : Menunjukkan fibroblas dengan MMP-1
Menunjukkan fibroblas tanpa MMP-1
Keterangan : Terlihat dari kedua gambar diatas memperlihatkan fibroblas dengan
MMP-1 (lingkaran hijau/panah merah) jumlahnya sedikit pada dermis mencit
yang diolesi solutio ekstrak etanol kulit manggis 95% dan telah dipapar UVB
selama 4 minggu dengan dosis total 840mJ/cm².
Gambar 5.2 Foto MMP-1 Hasil Penelitian
Page 93
93
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1. Subyek Penelitian
Sebelum dilakukan penyinaran dengan UVB, mencit dicukur terlebih
dahulu pada daerah punggung dan tindakan pencukuran selalu diulang lagi
sebelum jadwal penyinaran. Tindakan ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh
bulu terhadap transmisi sinar UVB.
Dosis sinar UVB yang dipakai pada penelitian ini sebesar 840mj/cm²
dengan dosis terbagi. Dosis sinar UVB yang dapat menimbulkan kerusakan pada
kolagen dermis (photoaging) pada kulit mencit dari beberapa penelitian sangat
bervariasi. Kim et al. (2004) pada penelitiannya tentang pengaruh isoflavon oral
dalam perlindungan (efek fotoprotektif) pada kulit mencit, menggunakan UVB
dengan dosis 600 mJ/cm2 yang diberikan dengan dosis terbagi. Pada penelitian
lain menggunakan dosis total UVB sampai 840 mJ/cm2 yang diberikan dengan
dosis terbagi, juga menggunakan mencit balb/c dan hasilnya terjadi kerusakan
kolagen secara bermakna dan terjadi penurunan jumlah ekspresi kolagen dermis
kulit mencit mus musculus (Wahyuningsih, 2010). Penelitian lain menggunakan
dosis 90 mJ/ cm2 selama 2 bulan (dosis total: 1440 mJ/cm
2) dengan dosis selang
sehari berhasil menyebabkan kerusakan kolagen bermakna pada mencit yang
diteliti (Vayalil et al., 2004).
Untuk menguji pemberian ekstrak etanol kulit manggis terhadap
peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 mencit, maka
Page 94
94
dilakukan penelitian pada mencit sehat yang dipapar dengan UVB dan diberikan
solutio ekstrak etanol kulit manggis 95%.
Sebagai hewan coba digunakan mencit sehat dan normal, Strain balb/c,
umur 6-8 mingu dan berat badan 20-25 gram. Pada penelitian ini menggunakan
mencit sebagai hewan percobaan karena mencit termasuk vertebrata mamalia, dan
mempunyai struktur kulit yang mirip dengan manusia. Hal ini memiliki
persamaan dengan manusia usia dewasa muda yang belum mengalami penuaan
intrinsik. Mencit ini merupakan strain mencit albino yang tidak memiliki pigmen
termasuk pada folikel rambut. Vayalil et al. (2004) pada penelitiannya tentang teh
hijau serta efeknya dalam mencegah pengaruh paparan ultraviolet, menggunakan
SKH-1 hairless mice. Mencit tanpa bulu (hairless mice) sangat ideal untuk
penelitian yang memerlukan perlakuan paparan sinar pada kulit oleh karena lebih
praktis dan tidak perlu lagi melakukan tindakan pencukuran. Namun mencit
strain tanpa bulu belum bisa di dapatkan di Indonesia.
Mencit yang digunakan sebanyak 36 ekor sebagai sampel, yang terbagi
menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing berjumlah 18 ekor mencit, yaitu
kelompok perlakuan-1 (kontrol) yang dioleskan dengan solutio plasebo dan
kelompok perlakuan-2 yang dioleskan dengan solutio ekstrak kulit manggis 95%.
Kedua kelompok dipapar sinar UVB 3 x seminggu dengan total 840 mj/cm²
selama 4 minggu untuk membuat kondisi premature aging pada kulit mencit.
6.2. Pengaruh Ekstrak Etanol Kulit Manggis terhadap Jumlah kolagen
Data jumlah kolagen pada kelompok perlakuan-1 (kontrol) dan kelompok
perlakuan-2 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas (Uji Shapiro Wilk)
Page 95
95
menunjukkan hasil p>0,05 yang artinya distribusi data kedua kelompok adalah
normal. Sedangkan hasil uji homogenitas (Levene test) pada kedua kelompok
menunjukkan hasil p>0,05 yang artinya varian data kedua kelompok adalah
homogen.
Setelah dilakukan analisis komparatif atas kelompok perlakuan-1 (kontrol)
dan kelompok perlakuan-2 dengan menggunakan uji t-independent didapat hasil
bahwa terdapat perbedaan secara bermakna rerata jumlah kolagen antara
kelompok perlakuan-1 (kontrol) dengan kelompok perlakuan-2 dengan p < 0,05.
Dari Data hasil penelitian juga didapatkan rerata jumlah kolagen
kelompok perlakuan-2 sebesar 63,029,41 sedangkan pada kelompok perlakuan-1
(kontrol) sebesar 53,7610,00 yang berarti kelompok perlakuan-2 mempunyai
hasil jumlah kolagen yang lebih banyak dibandingkan kelompok perlakuan-1
(kontrol). Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan jumlah kolagen secara
bermakna pada kelompok perlakuan-2 sesudah diberikan solutio ekstrak etanol
kulit manggis 95% dengan p<0,05.
Pada penelitian yang memberikan LA oral 0,87mg pada mencit yang
dipapar UVB didapat rerata jumlah kolagennya sebesar 48,7%. (Sudarjana, M.,
2012). Hal ini menunjukkan pemberian solutio ekstrak kulit manggis 95% lebih
baik daripada pemberian oral LA oral 0,87mg dalam hal peningkatan jumlah
kolagen dermis mencit yang dipapar UVB.
Paparan kronis sinar UVB akan menimbulkan gejala klinis seperti kerutan,
kekenduran, kulit kasar, pigmentasi yang tak beraturan dan hal ini tidak dinilai
pada penelitian ini. Pengaruh paparan sinar ultraviolet termasuk ultraviolet B pada
Page 96
96
kulit secara histologis banyak berdampak pada kolagen dermis. Kulit yang
mengalami penuaan dini akan memperlihatkan perubahan yang nyata pada
berbagai komponen matriks intra dan ekstra seluler pada jaringan konektif seperti
terjadi akumulasi dan tidak teratur serabut elastin, serta berkurang atau hilangnya
serabut kolagen (Chen et al.,2012 ).
Faktor utama yang diduga bertanggung jawab pada terjadinya kerusakan
kolagen pada kasus photoaging adalah adanya radikal bebas yang dipicu sinar
ultraviolet B yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan matriks ekstra
seluler terutama kerusakan kolagen (Uito et al., 2008)
Radikal bebas juga dapat menyebabkan kerusakan dan penurunan relatif
anti oksidan baik antioksidan enzimatik maupun non enzimatik yang merupakan
sistem pertahanan pada kulit serta pada akhirnya dapat menyebabkan berbagai
kelainan seperti kanker kulit, menekan sistem imun termasuk terjadi penuaan dini
kulit (Kochevar, 2008; Chen et al., 2012). Radical oxygen species diyakini dapat
mengaktifkan jalur tranduksi signal sitoplasma pada fibroblast kulit yang akan
mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi dan penuaan dan degradasi jaringan
konektif dan juga dapat menimbulkan kelainan genetik permanen (Chen et al.,
2012).
Ultraviolet dapat menimbulkan radikal bebas melalui berbagai mekanisme.
Bila kulit terpajan sinar ultraviolet maka kromofor kulit akan mengabsorpsi energi
ultraviolet tersebut. Jenis kromofor yang dapat menyerap sinar ultraviolet di kulit
adalah DNA, asam urukanat, 7-dehidrokolesterol, ribovlavin dan melanin.
Kromofor akan menjadi tereksitasi setelah mengabsorpsi energi dan akan terjadi
Page 97
97
reaksi fotokimia dan menghasilkan photoproduct. Reaksi fotokimia dapat berupa
reaksi langsung dan sensitized photoproduct. Reaksi fotokimia langsung
merupakan photoproduct yang timbul apabila molekul tersebut menyerap photon.
Sedangkan sensitized photoproduct dihasilkan melalui perpindahan ke molekul
lain, pada molekul yang tidak menyerap foton. Photoproduct yang dihasilkan
dapat berupa ROS seperti sinlglet oksigen dan radikal bebas lainnya (Hawk,
2004). Spesies oksigen reaktif ini dapat meyebabkan oksidasi lipid dan protein
sampai ke tingkat DNA, menginduksi matriks metalloproteinase yang
menyebabkan photoaging dan dapat pula menyebabkan photocarsinogenesis
(Kochevar, 2008; Yaar and Gichrest, 2008).
Satu penelitian yang menggunakan paparan sinar ultraviolet dan
pengaruhnya pada factor transkripsi NF-κB memperlihatkan bahwa sinar UV
akan memacu NF-κB dan mengaktifkan AP-1 akan tetapi sifatnya sementara.
Aktivasi terdeteksi dua jam setelah paparan sinar UV dan menetap sampai
delapan jam. Setelah dilakukan perlakuan pemberian antioksidan LA ternyata
didapatkan penekanan NF-κB dan AP-1 yang dievaluasi tiga jam setelah paparan
(Saliou et al., 2014).
Kulit manggis mengeksudasikan resin kuning yang kaya akan xanton (Akao
et al., 2008). Priya et al. (2010) mengekstraksi kulit manggis menemukan
kandungan 95% xanton, disamping itu didapat juga kandungan isoflavon, tannin
dan flavonoid (Priya et al., 2010). Selain itu kulit buah manggis juga mengandung
antosianin (Pradipta et al., 2009). Xanton adalah kelompok pigmen kuning yang
terdapat pada beberapa famili tanaman tinggi, jamur, tanaman lumut. Mangostin
Page 98
98
adalah unsur xanton utama, dan terdapat pada tanaman manggis (Peres et al.,
2000). Xanton merupakan senyawa polifenolik dengan struktur kimia yang
mengandung cincin trisiklik aromatik. Struktur ini memiliki aktivitas biologis
seperti antioksidan, antinflamasi, antibakteri, antikanker (Nakagawa et al., 2007).
Dan pada uji fitokimia kulit manggis dengan metode DPPH tanggal 7 mei 2013 di
fakultas tehnologi pertanian unit pelayanan laboratrium UNUD diketahui kulit
manggis memiliki kandungan vitamin C, Fenol dan Antosianin yang cukup tinggi
(Ericson, 2014). Aktivitas antioksidan pada kulit manggis sangat kuat sebagai
penangkap radikal bebas (radical scavenging) (IPB, 2009). Sehingga sifat
antioksidan dari kulit manggis ini dapat menghambat terbentuknya ROS, dan
selanjutnya menghambat penghancuran kolagen oleh paparan sinar UVB dan
meningkatkan jumlah kolagen dermis.
6.3. Pengaruh Ekstrak Etanol Kulit Manggis terhadap Ekspresi MMP-1
Data ekspresi MMP-1 pada kelompok perlakuan-1 (kontrol) dan kelompok
perlakuan-2 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas (Uji Shapiro Wilk)
menunjukkan hasil p>0,05 yang artinya distribusi data kedua kelompok adalah
normal. Sedangkan hasil uji homogenitas (Levene test) pada kedua kelompok
menunjukkan hasil p>0,05 yang artinya varian data kedua kelompok adalah
homogen.
Setelah dilakukan analisis komparatif atas kelompok perlakuan-1 (kontrol)
dan kelompok perlakuan-2 dengan menggunakan uji t-independent didapat hasil
bahwa terdapat perbedaan secara bermakna rerata ekspresi MMP-1 antara
kelompok perlakuan-1 (kontrol) dengan kelompok perlakuan-2 dengan p < 0,05.
Page 99
99
Dari Data hasil penelitian juga didapatkan rerata ekspresi MMP-1
kelompok perlakuan-2 sebesar 6,723,23 sedangkan pada kelompok perlakuan-1
(kontrol) sebesar 10,444,37 yang berarti kelompok perlakuan-2 mempunyai hasil
ekspresi MMP-1 yang lebih sedikit dibandingkan kelompok perlakuan-1
(kontrol). Hal ini berarti bahwa terjadi penurunan ekspresi MMP-1 secara
bermakna pada kelompok perlakuan-2 sesudah diberikan solutio ekstrak etanol
kulit manggis 95% dengan p<0,05.
Pada penelitian yang memberikan astaxanthin gel 0,02% pada kulit mencit
yang dipapar UVB didapat rerata ekspresi MMP-1 sebesar 6,11%, ekstrak bulung
boni gel 0,4% pada kulit mencit yang dipapar UVB didapat rerata ekspresi MMP-
1 sebesar 5,52%. (Wiraguna, 2013). Hal ini menunjukkan pemberian solutio
ekstrak kulit manggis 95% mempunyai kemampuan yang hampir sama dengan
pemberian astaxanthin gel 0,02% maupun pemberian ekstrak bulung boni gel
0,4% dalam hal penurunan ekspresi MMP-1 dermis mencit yang dipapar UVB.
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa ekspresi MMP-1 pada
kelompok perlakuan-1 (kontrol) lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekspresi
MMP-1 kelompok perlakuan-2. Hal ini disebabkan karena saat kulit terekspos
dengan sinar UVB, akan mengaktivasi respon molekuler yang dapat merusak
jaringan ikat kulit. Untuk menimbulkan efek biologisnya, molekul kulit yang
disebut kromofor harus menyerap sinar UVB, dan energi yang terserap harus
diubah menjadi reaksi kimia. Tergantung pada kromofornya, apakah akan
menyebabkan perubahan kimia langsung terhadap kromofor itu sendiri atau akan
diteruskan pada molekul lain kemudian mengalami perubahan kimia. Kromofor
Page 100
100
utama kulit adalah DNA, asam urokanik, asam amino aromatik, bilirubin,
retinoid, karotenoid, flavin, melanin, hemoglobin, dan NADPH (nicotinamide
adenine dinucleotide phophatae) (Rigel et al., 2004).
Selain itu radiasi UVB juga memproduksi ROS (Fisher et al., 2008), yang
mengaktivasi reseptor permukaan sel seperti EGF (epidermal growth factor), IL-1
(interleukin-1), insulin, keratinosicyte growth factor, dan TNF-α (tumor
necrotizing factor-α). Aktivasi reseptor ini, sebagian karena ROS menginduksi
penghambatan enzim protein tirosin fosfatase-κ, yang fungsinya mempertahankan
reseptor seperti reseptor EGF dalam keadaan inaktif (terfosforilasi). Aktivasi
reseptor menyebabkan aktivasi signal intraseluler melalui stimulasi mitogen
activated protein (MAP) kinase p38 dan c-Jun amino terminal kinase (JNK).
Aktivasi kinase merangsang transkripsi komplek nukleus AP-1 yang menyusun
protein c-Jun dan c-Fos. AP-1 kemudian akan meningkatkan transkripsi MMP dan
menurunkan ekspresi gen prokolagen I dan III dan reseptor TGF-β, yang
konsekuensi akhirnya berupa penurunan pembentukan matriks ekstraseluler (Yaar
and Gilcrest, 2008).
Ditemukan bahwa hanya dengan satu kali ekspos terhadap paparan radiasi
UV sinar matahari dapat mengganggu jaringan konektif dengan menyebabkan
gangguan sintesis kolagen yang hampir komplit, selama 24 jam yang kemudian
diikuti dengan recovery 48-72 jam setelahnya ( Fisher et al., 2001). Selain itu juga
terjadi degradasi kolagen karena terjadi peningkatan kadar MMP-1 yang cukup
signifikan yaitu sekitar 4,4 ± 0,2 kali lipat jika dibandingkan dengan kulit yang
tidak dipapar radiasi UV (Fisher et al., 2001).
Page 101
101
MMP adalah mediator utama terhadap timbulnya degradasi kolagen pada
kulit yang mengalami photoaging. Enzim MMP kolagenolitik mendegradasi fibril
kolagen dan elastin, yang penting untuk kekuatan dan elastisitas kulit. Aktivitas
MMP di kulit akan meningkat walaupun hanya dengan radiasi UV yang singkat,
yang akan menyebabkan timbulnya kerutan pada kulit, yang menjadi tanda
photoaging (Yaar and Gilchrest, 2008). Dengan demikian, hambatan terhadap
MMP adalah salah satu cara untuk mencegah kerusakan kulit akibat paparan sinar
UV. Stres oksidatif berpengaruh besar dalam proses photoaging dan
fotokarsinogenesis dan juga dalam patogenesis fotodermatosis (Stahl et al., 2002).
Kulit manggis mengeksudasikan resin kuning yang kaya akan xanton
(Akao et al., 2008). Priya et al., (2010) mengekstraksi kulit manggis menemukan
kandungan 95% xanton j, pada penelitiannya didapat juga kandungan isoflavon,
tannin dan flavonoid (Priya et al., 2010). Selain itu kulit buah manggis juga
mengandung antosianin (Pradipta et al., 2009). Xanton adalah kelompok pigmen
kuning yang terdapat pada beberapa famili tanaman tinggi, jamur, tanaman lumut.
Mangostin adalah unsur xanton utama, dan terdapat pada tanaman manggis (Peres
et al., 2000). Xanton merupakan senyawa polifenolik dengan struktur kimia yang
mengandung cincin trisiklik aromatik. Struktur ini memiliki aktivitas biologis
seperti antioksidan, antinflamasi, antibakteri, antikanker (Nakagawa et al., 2007).
Dan pada uji fitokimia kulit manggis dengan metode DPPH tanggal 7 mei 2013 di
fakultas tehnologi pertanian unit pelayanan laboratrium uji fitokimia UNUD
diketahui kulit manggis memiliki kandungan vitamin C, Fenol dan Antosianin
yang cukup tinggi (Ericson, 2014). Aktivitas antioksidan pada kulit manggis
Page 102
102
sangat kuat sebagai penangkap radikal bebas (radical scavenging) (IPB, 2009).
Sehingga sifat antioksidan dari kulit manggis ini dapat menghambat terbentuknya
ROS, dan selanjutnya menekan peningkatan MMP. Hal ini yang menjelaskan
hasil dari penelitian ini pada kelompok perlakuan-2 yang dipapar dengan UVB
terjadi penghambatan peningkatan MMP-1.
Page 103
103
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian terlihat hasil terjadinya penghambatan
penuaan kulit pada dermis mencit dikarenakan sebagai berikut:
1. Pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana)
95% meningkatkan jumlah kolagen dermis pada kulit mencit yang dipapar
UVB.
2. Pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana)
95% menurunkan ekspresi matriks metalloproteinase–1 pada kulit mencit
yang dipapar UVB.
7.2 Saran
Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan ekstrak kulit
manggis dalam menghambat timbulnya tanda-tanda penuaan dini lainnya
selain akibat paparan sinar ultra violet.
2. Perlu melakukan penelitian uji klinis pada manusia untuk mengetahui
efektivitas pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis terhadap
peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 pada kulit
manusia.
Page 104
104
DAFTAR PUSTAKA
Afaq, F., Mukhtar H., 2010. Antioxidants for The Prevention of Photoaging. In :
Rhein, L.D., Fluhr J.M., editors. Aging Skin : Current and Future
Therapeutic Strategis 1st ed.USA: Allu Red Bussiness Media. P. 273-93.
Akao, Y., Nakagawa, Y., Linuma, M. and Nozawa, Y., 2008. Anti-Cancer Effects
of Xanthones from Pericarps of Mangosteen. International Journal of
Molecular Sciences 9, 355-370.
Ames, B.N., Shigenaga M.K., and Hagen T.M. 1993. Oxidant and Antioxidant
and the Generative of Disease of Aging. Proc. Natl. Acad. Sci. USA.Vol
90 : 7915-22 Ardhie, A.M., 2011.
Ardhie, A.M., 2011. Radikal Bebas dan Peran Antioksidan dalam Mencegah
Penuaan. Medicinus. Vol. 24(1) : 4-9.
Bagiada, N.A., 2012. Materi kuliah Proses Penuaan dan Penanggulangannya.
Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Baumann, L., 2002. Antioksidant in: Cosmetic Dermatology. Prinsiple and
Practise. Hongkong : Mc Graw Hill. P. 105-6.
Baumann, L., 2008. How to Prevent Photoaging. J. Invest. Dermatol, vol,125 :
xii-xiii.
Caimi, G.C., Carollo, R. and Presti., 2004. Chronic Renal Failure : Oxidative
Stress, endothelial dysfunction and wine. Journal Cline Nephrology 62 :
331-335
Chairungsrilerd, N.K., Takeuchi, Y., Ohizumi, S., Nozoe and T. Ohta., 2007.
Mangostanol, a prenyl xanthone from Garcinia mangostana. Journal
Phytochemistry 43 (5) : 1099-1102.
Chen, L., Hu, J.Y. and Wang, S.Q., 2012. The Role Antioxidant in
Photoprotection : a critical review. (cited 2012 May 15). J.Am.Acad.
Dermatol July. Vol.496907. available online 2013 May URL. http : //www
. Sciencedirect.com/science/article/pii/SO1909622120013.
Page 105
105
Chivapat, S., Chavalittumrong, P., Wongsinkongmani, P., Phisalpong, C. and
Rungsipipat, A., 2011. Chronic Toxicity Study of Garcinia mangostana
Linn. pericarp Extract. Thai Journal Veterinary Medical. 41(1) : 45-53.
Chomnawang, M.T., Surassmo, S., Nukoolkarn, V.S. and Gritsanapan, W., 2005.
Antimicrobial effects of Thai medicinal plants against acne-inducing
bacteria. Journal Ethnopharmacology; 101 : 330-333.
Chung, J., Cho, S. and Kang, S. 2004. Why does The Skin Ages. in: Rigel, D.S.,
Weiss, R.A., Linn, H.W., Dover, J.S. editors. Photoaging, 2nd.
ed.
Canada: Maarced Decker inc. p 1-5.
Chung, J., Hanf, V.N. and Kang, S., 2003. Aging and Photoaging. J.Am.Acad. Of
Dermatol July. Vol. 49 : 690-7.
Cunningham, W., Baran, R. and Maibah H., 2005. Aging and Photoaging. In :
Textbook of Cosmetic Dermatology. Francis : Taylor 3rd. ed. London. p.
443-5.
Diegelmann, R.F., 2008. Collagen Metabolism., [cited 2013 July 18]. Available
from [online] : URL. http : /www.medscape.com/viewarticle/423231.
Federer, W. 2008. Statistics and Society : Data Collection and Interpretation. 2nd
Edition. New York : Marcel Dekker.
Fenske, N.A., Lober, C.W., 2012 Aging and its Effect on the skin. In :
Dermatology 3rd ed.. Moschela, S.L., Hurley H.J., editors. Philadelpia :
W.B Saunders Company. P 107-122.
Fisher, G.J., Choi, H.C., Batta-C., Sorgo Z., Shao, Datta, ZQ., Kang, W.S. and
Voorhess, J.J., 2007. Ultraviolet Irradiation Increase Matrix
Metalloproteinase-8 Protein in Human Skin Invitro. J. Invest Dermatol
117-26.
Fisher, G.J., Kang, S., Varani J., 2002. Mechanism of Photoaging and
Chronological skin aging. http/www. arch. dermatol. com. vol 138.
Fisher, G.J., Wang, Z.Q., Datta , S.C., Varani, J. and Kang, S., 2001.
Pathophysiology of Premature Skin Aging. N. Eng. J. Med. Vol. 337:
1419-29.
Page 106
106
Fisher, G.J., Wang, Z.Q., Datta , S.C., Varani, J., Kang, S. and Voorhees, J.J.,
2008. Pathophysiologi of Premature Skin Aging Induce by Ultraviolet
Light. [cited:2013June12]. Available from URL
http//Wikipedia.org/wiki/Antioxidan.
Fisher, G.J., Wang, Z.Q., Datta , S.C., Varani, J., Kang, S., and Voorhees, J.J.
2008. Pathophysiologi of Premature Skin Aging Induce by Ultraviolet
Light. [cited:2013June12]. Available from URL
http//Wikipedia.org/wiki/Antioxidan.
Garmyn, M., Vander Oord, J. Ch., Cho, S. and Kang S., 2004. Clinic and
Histological change in Photoaging in : Rigel, D.S., Weiss, R. A., Linn,
H.W., Dover, J. S. editors. Photoaging, 2nd ed. Canada : Maarced Decker
inc. p33-55.
Gilchrest, B.A. dan Krutmann, J., 2006. Skin Aging. Germany : Springer-Verlag
Berlin Heidelberg, Germany. p.10-11, 34-42.
Glogau, R.G.S., 2004. Photo Aging and Aging Skin. in: Rigel D.S., Weiss R.A.,
Linn H.W., Dover J.S. editors. Photoaging, 2nd ed. Canada : Maarced
Decker inc. p 65-73.
Gloster, H.M., Neal, K., 2006. Skin Cancer in Skin Colour. J.Am.Acad. Dermatol.
Vol.55 : 741-60.
Gorido, N., Meseguer, C., Simon, A., Pellicer and Remohi, J., 2004. Pro-oxidative
and anti-oxidative imbalance in human semen and its relation with male
fertility. Asian Journal Andrology 6: 59-65.
Griffits, C., Russman, A.N.,Majmudar, G. and Singer R.S., 2009. Restoration of
collagen Formation in photodamage Human Skin by Tretinoin. [cited
2013 April 23]. Available from: URL : http :
//conten.nemj.org/cgi/conten/full/329/8/530.
Halliwell, B. and Gutteridge, J.M.C., 2006. Free Radicals in Biology and
Medicine. London : Oxford Univ.
Hanggono, T., 2004. Biomolekular mechanism of antioxidant activity aging
process. Available from : http :
Page 107
107
//pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/10/biomolecular _
mechanism. pdf. Accessed October 20, 2013.
Hawk, J. and Young, A., 2004 . Cutaneus Photobiology. In : Burn, T.,
Breathnach, CoxN., Griffiths, editors. Rook’s Textbook of Dermatology.,
7th
Oxford Blackwell Scientific Publication. Vol. 24: 241-9.
Ho, C.K., Huang, Y.L. and Chen, C.C., 2002. Garcinone E, a xanthone derivative,
has potent cytotoxic effect against hepatocellular carcinoma cell lines.
Journal Planta Medical., 68(11) : 975-979.
Holder, R.M. and Richard, G., 2004. Photo Aging in Patients of Skin Colour in :
Rigel D.S., Weiss, R.A., Linn, H.W., J.S. editors. Photoaging, 2nd ed.
Canada : Maarced Decker inc. p 55-65.
IPB, 2009. Evaluasi biomassa, kadar dan profil derivates Xanthone serta potensi
antioksidan kulit buah manggis (garcinia mangostana l). Dari beberapa tipe
Agroekologi sentra produksi manggis. Available at : http : //www.search-
document.com/pdf/7/10/kandungan-kulit-manggis.html#. Accessed
Agustus 14, 2013.
Jenkins, G., 2002. Molecular mechanism of skin ageing. Mech Ageing Dev, 123 :
801-810.
Jung, H.A., Su, B.N., Keller, W.J., Mehta, R. G. and Kinghorn, A.D., 2006.
Antioxidant xanthones from the pericarp of Garcinia mangostana
(Mangosteen), Journal Agriculture Food Chemical 54 (6) : 2077-2082.
Kierman, J.A., 2010. Sirius Red Staining Protocollagen. IHC World, [cited 2013
Apr, 15]. Available from: URL : http//print/Sirius Red 20% Protocol/html.
Kim, H.S., Kim, H.J., Kim, Y.N., Kwon, T.K., Kim, J.G. and Lee, I.K., 2007.
Alpha Lipoic Acid Inhibit matrix metalloproteinase-9 expresion by
inhibiting NF-kB transcription activity. Experimental and Molocular
Medicine. Vol. 39, No 1: 106-13.
Kim, S.Y., Kim , S.J., Lee, J.Y., Kim W.G., Park,W.S., Sim Y.C., Lee, S.J., 2004.
Protective Effects of Dietary Soy Isoflavones against UV-Induced Skin
Aging in Hairless Mouse Model. Original Research Journal of the American
College of Nutrition , vol 23: p.157-162.
Page 108
108
Klatz, R. and Goldman, R., 2003. Anti Aging Revolution.Third Edition. Boulevard
East : Basic Health Publication.
Kochevar, I.E, Taylor, C.R., 2008. Photophysics, Photochemistry and
Photobiology. In : Feedberg I.M., Eisen, A.Z., Wolff, K., Austen, K.F.,
Goldsmith L.A., Katz, S.I., editors. Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine; 7th ed. New York : McGraw-Hill. p. 1267-75.
Kochevar, I.E. and Taylor, C.R., 2008. Photophysics, Photochemistry and
Photobiology. In : Feedberg I.M., Eisen, A.Z., Wolff K, Austen, K.F.,
Kosem, N., Ichikawa, K., Utsumi, H., Moongkarndi, P., 2012. In vivo
toxicity and anti tumor activity of mangosteen extract. Journal of Natural
Medicine. 05/2012; DOI : 10.1007/s11418-012-0673-8.
Kosmadaki, M.G., Gilchrest, B.A., 2004. Role of Telomeres in Skin Aging /
Photoaging. Micron; 35 : 155-9.
Kresno, S.B., 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, Jakarta :
137-145, Balai Penerbit FKUI. Hal 137-145.
Kullavanijaya, P. and Lim, H.W., 2005. Photoprotection. J.Am.Acad. of
Derm.Vol. 52 : 937-958.
Kuntarsih, S., 2006. Program Pengembangan Manggis di Indonesia. Makalah
dalam Seminar harteknas dan ritech expo. Puspiteks Serpong Tangerang
31 Agustus 2006.
Marshall, PT. and Huge GM., 2013. The Physiologi of mammal and other
vertebrate. Cambridge. University Press.
Martinez-Esparza, M., Ferrer, C., Castells, M.T., Garcia-Borron, J.C. and Zuasti,
A., 2001. Transforming growth factor beta1 mediates hypopigmentation of
B16 mouse melanoma cells by inhibition of melanin formation and
melanosome maturation. Int. J. Biochem, 33 : 971–983.
Masaki, H., 2010. Role of antioxidant in the Skin: Anti Aging effects. J Dermatol
Science. Vol 58 : 85-90.
Matsumoto, K., Akao, Y., Kobayashi, E., Ohguchi, K., Ito, T., Tanaka, T.,
Iinuma, M. and Nozawa, Y., 2003. Induction of apoptosis by xanthones
Page 109
109
from mangosteen in human leukemia cell lines. Journal Nature Product,
66(8) : 1124-1127.
Matsumoto, K., Akao, Y., Yi, H., Ohguchi, K., Ito, T., Tanaka, T., Kobayashi, E.,
Iinuma, M. and Nozawa, Y., 2004. Preferential target is mitochondria in
alpha-mangostin-induced apoptosis in human leukemia HL60 cells.
Journal Bioorganism Medical Chemical.12(22) : 5799-5806.
Mc.Daniel, C.F., 2007. Understanding Antioksidan. [cite 2013 June 18].
Available from: URL http : //www fisherinstitute.org.live-pages
antioksidan.
Moini, H., Packer, L. and Saris, N.E.L., 2002. Antioxidant and Prooxidant
Activities of Alpha Lipoic Acid. Toxicol. Appl. Pharmacol.182, 84.
Moongkarndi, P., Kosem, N., Kaslungka, S., Luanratana, O., Pongpan, N. and
Neungton, N., 2004. Antiproliferation, antioxidation and induction of
apoptosis by Garcinia mangostana (mangosteen) on SKBR3 human breast
cancer cell line, Journal Ethnopharmacology 90(1 ) : 161-166.
Moyal, D. and Fountainer, A., 2004. Acute and Chronic Effect of Ultraviolet.
What are they and How to Study. in : Rigel, D.S., Weiss R,A., Linn H.W.,
Dover J.S. editor. Photoaging 2nd ed. Canada: Marceed Decker Inc. p.15-
54.
Nabandith, V., Suzui, M., Morioka, T., Kaneshiro, T., Kinjo, T., Matsumoto, K.,
Akao, Y., Iinuma, M.and Yoshimi, N. 2004, Inhibitory effects of crude
alpha-mangostin, a xanthone derivative, on two different categories of
colon preneoplastic lesions induced by 1, 2-dimethylhydrazine in the rat,
Asian Pacific Journal Cancer Preventive 5(4) : 433-438.
Nakagawa, Y., Iinuma, M., Naoe, T., Nozawa, Y. and Akao, Y., 2007.
Characterized mechanism of alpha-mangostin induced cell death : caspase
independent apoptosis with release of endonuclease-G from mitochondria
and increased miR-143 expression in human colorectal cancer DLD-1
cells. Journal Bioorganism and Medica Chemical 15 (16) : 5620-5628.
Nakatani, K., Atsumi, M., Arakawa, T., Oosawa, K., Shimura, S., Nakahata, N
and Ohizumi, Y., 2002. Inhibitions of histamine release and prostaglandin
Page 110
110
E2 synthesis by mangosteen, Journal Thai medicinal Plant Biology
Pharmacology Bull 25, 1137-1141.
Nugroho, A.E. Manggis (Garcinia mangostana L.), 2007 : Dari kulit buah yang
terbuang hingga menjadi kandidat suatu obat. Available from : http ://mo
t.farmasi.ugm.ac.id/files/69 Manggis_Agung % 20 Baru. pdf. Accessed
November 30, 2011.
Pangkahila, W. 2007. Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup.
Anti-Aging Medicine.Cetakan ke-1. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Hal :
8-9, 13, 15-17, 20, 39-41.
Pedraza-Chaverri J., Cárdenas-Rodríguez, N., Orozco-Ibarra, M. and Pérez-Rojas,
J.M. 2008. Medicinal properties of mangosteen (Garcinia mangostana).
Journal Food Chemical. Toxicology, 46 : 3227-3239.
Peres V, Naem TJ, de Oliviera FF., 2000. Antioxidant and antimicrobial activities
of crude extracts from mangosteen (Garcinia mangostana L.) parts and
some essential oils. Available from: http : //www. International Food
Research Journal 17: 583-589 (2010). Accessed October, 20, 2013.
Pinnel, S.R., 2003. Cutaneus Photodamage, Antioxidant Stress and Topical
Antioksidan . J.Am.Acad Dematol. Vol 48 : 1-19.
Placzek, M., 2005. Ultraviolet B-Induced DNA Damage in Human Epidermis Is
Modified by the Antioxidants Ascorbic Acid and D-α-Tocopherol. Journal
of Investigative Dermatology, 124, 304-307.
Pongphasuk, N., Khunkitti, W., Chitcharoenthum. M., 2005. Anti-Inlammatory
and Analgesic Activities of the Extract from Garcinia mangostana LINN.
Acta Hort. (ISHS) 680 : 125-130. Available from : http :
//www.actahort.org/books/680/680_18.htm. Accessed October, 20, 2013.
Pradipta, I.S., Nikodemus, T.W., Susilawati, Y., (2009), “Isolasidan Identifikasi
Senyawa Golongan Xanton dari KulitBuah Manggis (Garcinia
mangostana L.)”, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Prihatman, K., 2000, Manggis (Garcinia mangostana L.), Kantor Deputi
Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi BPP Teknologi, Jakarta.
Page 111
111
Priya, V., Jainu, M., Mohan, S.K., Saraswati, P. and Gopan, C.S., 2010.
Antimicrobial activity of pericarp extract of garcinia mangosatan linn.
International Journal of Pharma Sciences and Research vol 1 (8) p 278-
281.
Rabe, J.H., Mamelak, A.J., Mc Elgunn, P.J.S. and Morison, W.L., 2006.
Photoaging Mechamism and Repair . J.Am.Acad of Dermatol. Vol 55: 1-
19.
Rabello-Fonseca, R.M., Azulay, Luis, R.R., Mandarine-Lacerda C.A., Cuzzi,
Manela-Azulay, M., 2008 Oral Isotretinoin in Photoaging : Clinical and
Histophatological of efficacy of an Label indication. J. Euro Acad.
Dermatol and venerology.
Rhein, L.D. and Santiago, J.M., 2010. Matrix Metallo Proteinase, Fibrosis, and
Regulationby Transforming Growth Factor Beta: A new Frontier in
Wrinkle Repair. In : Rhein, L.D., Fluhr J.M., editors. Aging Skin :
Current and Future Therapeutic Strategis 1st
ed.USA: Allu Red Bussiness
Media. P. 26-81.
Rigel, D.S., Weiss, R.A., Lim, H.W., Dover, J.S. 2004. Photoaging. New York :
Marcel Dekker, Inc.S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffel, D.J., editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th. ed. New York :
McGraw-Hill. p. 517-41.
Saliou, C.,Kitazawa,M., McLaughlin, L., Yang, J.P., Lodge, J.K.Tetsuka,
T.,Iwasaki K., Cillard, J., Okamoto, T., and Packer L. 2014. Antioxidant
Modulate acute Solar Ultraviolet Radiation-induce NF-kB activation in a
human keratinocyte cell line. Free Radical Biology and Medicine. Vol.26
Issues 1-2: p.174-8
Sampath, P. and Vijayaraghavan, K., 2007. Cardioprotective effect of alpha
mangostin,a xanthone derivative from mangosteen on tissue defense
system against isoproterenol-induced myocardial infarction in rats. Journal
Biochemical Molecular Toxicology 21: 336–339.
Page 112
112
Seltzer, J.L., Eisen, A.Z., 2006. The Role of Extracellular Matrix
Metalloproteinases in Conective Tissue Remodelling. In: Fitzpatrick T.B. et
al, editors. Dermatology. Mc Graw-Hill Book co, p 200-209.
Shibata, M., Linuma, M., Morimoto, J., Kurose, H., Kanako, A., Okuno, Y.,
Akao, Y. and Otsuli, Y., 2011. a-Mangostin extracted from the pericarp of
themangosteen (Garcinia mangostana Linn) reduces tumor growth and
lymph node metastasis in animmuno competent xenograft model of
metastatic mammary cancer carrying a p53 mutation. BioMed Journal .
Cytotoxic prenylated xanthones from the young fruit of Garcinia
mangostana.Central Medicine 2011, 9 : 69.
Soepardiman, L., 2003. Etiopatogenesis Kulit Menua. In : Peremajaan Kulit.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. P. 1-9.
Stahl, W., and Sies, H., 2002. Carotenoid and protection agains solar UV
Radiation. Skin Pharmacol Appl. Skin Physiol. Vol.15 : 291-96.
Sterm, R.S., 2004. Treatment of Photoaging. N. Eng. J. Med. Vol. 35 1526-34
Tandon, R. 2005. Antioxidant: Past and Present. [cite 2013 June, 18].
Available from : URL http : //www pharmainfo-net/reviews/antioxidant
past and present. 3(4).
Sudarjana, M., 2012. Pemberian Alpha-Lipoic Acid Oral Menghambat Penurunan
Kolagen Dermis Kulit Mencit Balb/c Dengan Pajanan Sinar Ultraviolet.
(Tesis). Denpasar : Universitas Udayana.
Suksamrarn, S., Komutiban, O., Ratananukul, P., Chimnoi, N., Lartpornmatulee,
N. and Suksamrarn, A., 2006 Journal Chemical Pharmcology Bull. 54,
301–305.
Supiyanti, W., Endang, D.W., Lia, K., 2010 Uji Aktivitas antioksidan dan
Penentuan Kandungan Antosianin pada kulit buah manggis (Garcinia
Mangostana). Majalah Obat Tradisional 15(2), 64-70.
Tandon, R., 2005. Antioxidant : Past and Present. [cite 2013 June, 18]. Available
from : URL http : //www pharmainfo-net/reviews/antioxidant past and
present. 3(4).
Page 113
113
Torrungruang, K., Vichienroj, P. and Chutimamorapan, S., 2007. Antibacterial
activity of mangosteen pericarp extract against cariogenic streptococcus
mutans. CU Dental Journal 30 : 1-10.
Towatana, N.H., Reanmongkol, Wand Wattanapiromsakul, C., 2010. Acute and
subchronic toxicity evaluation of the hydroethanolic extract of mangosteen
pericarp. Journal of Medicinal Plants Research Vol. 4(10), pp. 969-974.
Uito, J., Chu, M., Gallo, R. and Eizen, A.Z., 2008. Collagen, Elastic fibers and
Extracellular Matrix of the Dermis. In : Wolff, K., Gold Smith, L.A., Katt.
Varani, J., Quan, T.H. and Fisher GJ., 2010. Mechanism and Pathophysiologi of
Photoaging and Chronological Skin Aging. In : Rhein, L.D., Fluhr J.M.,
editors. Aging Skin : Current and Future Therapeutic Strategis 1st
ed.USA : Allu Red Bussiness Media. P. 1-25.
Vayalil, P.K., Mitta, A., Hara, Y., Elmets, C.A., Hara, Y. and Katiyar, S.K., 2004.
Green Tea Polyphenol Prevent Ultraviolet Light Induce Oxidative Damage
and Matrix Metalloproteinase Expression in Mouse Skin. J Invest
Dermatol Vol. 122 : 1480-87.
Wahyuningsih, K.A., 2010. Pemberian Asthaxantine Topikal Menghambat
Penuaan Dini Kulit akibat Pajanan Sinar Ultraviolet B dengan
Memberikan Efek Proteksi Terhadap Kolagen pada Mencit (Mus
Musculus). (Tesis). Denpasar : Universitas Udayana.
Walker, S.L., Hawk, J.L.M. and Young, A.R., 2008. Acute and Chronic
Collagenase Degradeed Collagen in Vitro. Am.J. Pathology. Vol 158; 931-
42.
Weecharangsan, W., Opanasopit, P., Sukma, M., Ngawhirunpat, T., Sotanaphun,
U. and Siripong, P., 2006. Antioxidative and neuro protective activities of
extracts from the fruit hull of mangosteen (Garcinia mangostana Linn.).
Journal Medical Princ Practice 15(4) : 281-287.
Winarsi, H., 2011. Antioksidan Alami & Radikal Bebas. Potensi dan Aplikasinya
dalam Kesehatan. Cetakan ke-5. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.Hal 18.
Wiraguna, 2013. Pemberian Gel Ekstrak Bulung Boni (Caulerpa spp.) Topikal
Mencegah Penuaan Kulit Melalui Peningkatan Ekspresi Kolagen,
Page 114
114
Penurunan Kadar dan Ekspresi MMP-1 Serta Ekspresi 8-OhdG Pada
Tikus Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B. (Disertasi). Denpasar :
Universitas Udayana.
Wiraguna, A.A.G.P., 2012. Materi kuliah Foto Fisik, Foto kimia, Foto Biologi.
Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Wirohadidjojo, Y.W., and Dahlan I., 2007. The effect of narrow and broad band
ultraviolet B onto Keloid fibroblast-VEGF Expression. Berkala Ilmu
Kedokteran. Vol. 39(2) : 82-87.
Wu, T., Rifai, N., Roberts, L.J., Willett, W.S. and Rimm, E.B., 2004. Stability of
Measurements of Biomarkers of Oxidative Stress in Blood Over 36 Hours.
Journal Cancer Epidemiology Biomarkers Preventive August 2004 13;
1399.
Yaar, M., 2006. Clinical and Histological Features of Intrinsic versus Extrinsic
Skin Aging. Dalam : Gilchrest, B.A., Krutmann, J., editors. Skin Aging.
Berlin : Springer. P. 10-52.
Yaar, M., Gilchrest, B.A., 2008. Aging of Skin. In : Wolff, K., Goldsmith, L.A.,
Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York : McGraw-Hill. P.
963-74.
Zarena, A.S. and Sankar, U., 2009. Screening of xanthone from mangosteen
(Garcinia mangostana L.) peels and their effect on cytochrome c reductase
and phosphomolybdenum activity. Journal of Natural Products, Vol.
2(2009) : 23-30.