212 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta PETA D.K.I. JAKARTA
212 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
PETA D.K.I. JAKARTA
213 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
A. UMUM
1. Dasar Hukum
Provinsi DKI Jakarta berdiri berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tanggal 10
Februari 1961
2. Lambang Provinsi
Lambang Daerah Khusus lbukota Jakarta Raya adalah sebagai berikut : Lukisan Perisai segi lima yang didalamnya melukiskan gerbang terbuka. Didalam gerbang terbuka itu terdapat "Tugu Nasional" yang dilingkari oleh untaian (krans) padi dan kapas. Sebuah tali melingkar pangkal tangkai-tangkai padi dan kapas. Pada bagian atas pintu gerbang tertulis sloka “Jaya Raya”, sedang di bagian bawah perisai terdapat lukisan ombak-ombak laut. Pinggiran Perisai digaris tebal dengan warna emas. Gerbang terbuka bagian atas berwarna putih, sedang huruf-huruf sloka “Jaya Raya” yang tertulis diatasnya berwarna merah. “Tugu Nasional” berwarna putih. Untaian (krans) padi berwarna kuning dan untaian (krans) kapas berwarna
hijau serta putih. Ombak-ombak laut berwarna dan dinyatakan dengan garis-garis putih, kesemuanya ini dilukiskan atas dasar ysng berwarna biru. Lambang Daerah Khusus lbukota Jakarta Raya melukiskan pengertian-pengertian sebagai berikut : o Jakarta sebagai kota revolusi dan kota proklamasi kemerdekaan Indonesia : o Jakarta sebagai lbu-Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. o Pengertian kota dilambangkan dengan gerbang (terbuka).
Kekhususan kota Jakarta sebagai kota revolusi dan kota proklamasi dilambangkan dengan'Tugu Nasional" yang melambangkan kemegahan dan daya juang dan cipta Bangsa dan rakyat Indonesia yang tak kunjung padam. “Tugu Nasional” ini dilingkari oleh untaian padi dan kapas, dimana pada permulaan tangkai-tangkainya melingkar sebuah tali berwarna emas, yakni lambang cita-cita daripada perjuangan Bangsa Indonesia yang bertujuan suatu masyarakat adil dan makmur dalam persatuan yang kokoh erat. Dibagian bawah terlukis ombak-ombak laut yang melambangkan suatu ciri khusus dari Kota dan negeri kepulauan Indonesia. Keseluruhan ini dilukiskan atas dasar wama biru, wama angkasa luar yang membayangkan cinta kebebasan dan cinta darnai bangsa Indonesia. Dan keseluruhan ini pula berada dalam gerbang, dan pada pintu gerbang itu terteralah dengan kemegahan yang sederhana sloka "Jaya Raya' satu sloka yang menggelorakan semangat segala kegiatan-kegiatan Jakarta Raya sebagai lbu-kota dan kota perjoangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan keseluruhan ini pula berada dalam kesatuan yang seimbang pada bentuk perisai segi-lima yang bergaris tebal emas, sebagai pernyataan permuliaan terhadap dasar falsafah negara “Pancasila” Tentang arti bentuk lukisan serta wama masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut: Bentuk : pintu gerbang - Lambang kota, lambang kekhususan Jakarta sebagai pintu keluar masuk kegiatan-kegiatan nasional dan hubungan intemasional. Tugu Nasional - Lambang kemegahan, daya-juang dan cipta. padi/kapas - Lambang kemakmuran. tali emas - Lambang pemersatuan dan kesatuan.
214 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
ombak laut - Lambang kota, negeri kepulauan. sloka “Jaya Raya” - Slogan perjuangan Jakarta Bentuk perisai segi lima - Pancasila Warna mas pada pinggir perisai - Kemuliaan Pancasila. merah sloka - Kepahlawanan putih pintu gerbang - Kesucian putih tugu nasional - Kemegahan kreasi mulya kuning padi/hijau putih kapas - Kemakmuran dan keadilan biru - Angkasa bebas dan luas ombak putih - Alam laut yang kasih. Sumber : Perda No. 6 Tahun 1963
3. Pemerintahan
Pemerintahan provinsi DKI Jakarta terdiri dari 6 Pemerintahan Kota yaitu sebagai berikut :
1. Pemerintahan Kota Jakarta Jakarta Timur
2. Pemerintahan Kota Jakarta Barat
3. Pemerintahan Kota Jakarta Selatan
4. Pemerintahan Kota Jakarta Utara
5. Pemerintahan Kota Jakarta Pusat
6. Kabupaten Kepulauan Seribu
4. Letak Geografis dan Batas Wilayah
Jakarta terletak diantara 5o19’12” – 6o23’54” Lintang Selatan dan 106o22’42” – 106o58’18” Bujur
Timur, dengan batas wilayah sebagai berikut :
a. Timur : Jawa Barat
b. Barat : Banten
c. Utara : Laut Jawa
d. Selatan : Jawa Barat
5. Komposisi Penganut Agama
a. Islam : 83%
b. Kristen Protestan : 6,2%
c. Katolik : 5,7%
d. Budha : 3,5%
e. Hindu : 1.2%
f. Kong hu cu : 0,4%
6. Bahasa dan suku bangsa
Bahasa khas adalah bahasa betawi yang dipakai oleh suku betawi dalam komunikasi mereka
sehari-hari. Sedangkan secara umum masyarakat Jakarta yang majemuk menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari.
215 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
7. Budaya :
a. Lagu Daerah : Jali-jali, kicir-kicir, Surilang, Ondel-ondel b. Tarian Tradisional : Tari Topeng, Tari Ondel-ondel, Tari sembah c. Senjata Tradisional : Golok d. Rumah Tradisional : Rumah Kebaya e. Seni Musik Tradisional : Gambang Kromong, Keroncong Tugu, Tanjidor f. Makanan khas daerah : kerak telor, Gado-gado, nasi uduk
8. Bandara dan Pelabuhan Laut :
a. Bandara : Soekarno Hatta International Airport
b. Pelabuhan Laut : Tanjung Priok
9. Perguruan Tinggi : Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
10. Industri : pupuk TSP, Tekstil, Pemintalan Benang, Garment, Farmasi, Kayu
Lapis, Perakitan Mobil, Percetakan, Logam, Industri Grosir dan retail.
B. OBYEK WISATA
1. Wisata Sejarah
a. Museum Seni Rupa dan Keramik
Museum Seni Rupa dan
Keramik merupakan sebuah
museum yang menyimpan
koleksi-koleksi seni rupa,
patung, dan keramik dari
daerah-daerah di Indonesia.
Meseum ini bertempat di
sebuah bangunan tua
peninggalan zaman Belanda
yang dibangun antara tahun
1866—1870 M di Kota Batavia
(Jakarta). Pada awalnya,
bangunan tua tersebut difungsikan oleh Pemerintah Belanda sebagai kantor peradilan atau
kehakiman yang bernama
Ordinaris Raad van Justitie
Binnen Het Casteel Batavia
(Dewan Kehakiman
Benteng Batavia).
Sebelum resmi
menjadi Museum Seni
Rupa dan Keramik, gedung
antik bertiang tinggi bulat
bergaya Romawi ini dalam
sejarahnya pernah dipakai
sebagai kantor beberapa
instansi. Pada masa
penjajahan Jepang,
misalnya, gedung tua ini
216 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
digunakan oleh Pemerintah Dai Nippon sebagai asrama/barak militer dan gudang
perbekalan tentara. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1967, gedung ini beralih fungsi
menjadi Kantor Walikota Jakarta Barat dan kemudian berganti menjadi Kantor Dinas
Museum dan Sejarah Propinsi DKI Jakarta sejak tahun 1974 hingga 1975. Namun, pada
tanggal 20 Agustus 1976, gedung ini ditetapkan oleh Presiden Soeharto sebagai Gedung
Balai Seni Rupa Jakarta dan kemudian secara resmi berganti nama menjadi Museum Seni
Rupa dan Keramik pada tahun 1990. Saat ini, Museum Seni Rupa dan Keramik ditetapkan
oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu cagar budaya yang harus dilindungi.
Museum Seni Rupa dan Keramik memiliki sekitar 400 koleksi karya seni rupa di
antaranya patung, totem dari kayu, sketsa, dan batik lukis. Wisatawan yang berkunjung ke
museum ini dapat melihat koleksi andalan yang sangat penting bagi sejarah seni rupa
Indonesia, antara lain
lukisan berjudul “Bupati
Cianjur”, karya Raden
Saleh, lukisan "Ibu
Menyusui" karya Dullah,
lukisan "Laskar Tritura"
Karya S. Sudjojono, lukisan
berjudul “Pengantin
Cianjur” karya Hendra
Gunawan, dan lukisan
"Potret Diri" karya Affandi.
Jenis karya seni
rupa lain yang dapat
disaksikan oleh wisatawan
di museum ini adalah totem dari kayu yang berkesan magis karya Tjokot, dan patung berciri
khas ukiran Bali, serta totem dari kayu karya seniman modern, seperti G. Sidharta dan
Oesman Effendi. Selain itu, pengunjung juga dapat menyaksikan lukisan-lukisan karya
seniman-seniman lulusan perguruan tinggi, seperti Achmad Sadali, Srihadi S, Fajkar Sidik,
Popo Iskandar Kusnadi, Rusli, Nashar, Zaini, Amang Rahman, Amri Yahya, AS Budiman, Barli,
Sudjana Kerton, Suprapto, Irsan, Mulyadi W, Abas Alibasyah, dan banyak seniman lain dari
berbagai daerah di Indonesia.
Selain memamerkan lukisan dan patung, Museum Seni Rupa dan Keramik juga
mempunyai koleksi keramik yang beragam. Koleksi keramik yang dipamerkan di museum ini
terdiri dari keramik lokal dan asing. Keramik lokal yang bisa disaksikan oleh pengunjung,
antara lain berasal dari Aceh, Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Purwakarta,
Yogyakarta, Malang, Lombok, dan Bali. Sedangkan koleksi keramik asing di museum ini
mempunyai bentuk, ciri, fungsi, karakteristik, dan gaya yang berasal dari berbagai negara,
seperti Vietnam, Thailand, Belanda, Jerman, Timur Tengah, dan Cina. Khusus untuk keramik
yang berasal dari Cina, koleksinya kebanyakan merupakan warisan sejarah dari masa
Dinasti Ming atau Ching.
Wisatawan yang berkunjung ke Museum Seni Rupa dan Keramik juga dapat
mengunjungi museum-museum lain yang juga berada di Jakarta Barat, di antaranya
Museum Sejarah Jakarta dan Museum Wayang.
Museum Seni Rupa dan Keramik berlokasi di Jalan Pos Kota No. 2, Jakarta Barat,
Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.
Museum ini mudah dijangkau oleh wisatawan, karena banyak kendaraan umum,
seperti bus Transjakarta atau Mikrolet, yang sering melintas di sekitarnya. Pengunjung
dapat menggunakan bus Transjakarta jurusan Blok M menuju Kota, atau menggunakan
Mikrolet M-12 jurusan Senen menuju Kota, atau juga dapat menggunakan Mikrolet M-08
jurusan Tanah Abang menuju Kota. Selain menggunakan Mikrolet dan Bus Transjakarta,
217 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
pengunjung juga dapat menggunakan bus Patas AC dalam kota No. 79 jurusan Kampung
Rambutan menuju Kota.
Tarif masuk untuk wisatawan yang berkunjung ke museum ini berbeda-beda
berdasarkan rombongan (minimal 20 orang) atau perorangan. Untuk pengunjung
rombongan dewasa dikenai biaya masuk sebesar Rp 1.500, rombongan mahasiswa sebesar
Rp 750, sedangkan rombongan anak-anak (pelajar) hanya dikenai biaya sebesar Rp 500.
Berbeda dengan tarif masuk rombongan, pengunjung perorangan dewasa dikenai
tarif masuk sebesar Rp 2.000, pengunjung perorangan mahasiswa sebesar Rp 1.000,
sedangkan untuk anak-anak (pelajar) hanya dikenai sebesar Rp 600.
Museum Seni Rupa dan Keramik dibuka untuk umum pada hari Selasa hingga
Minggu, sedangkan hari Senin dan hari besar tutup. Pada hari Selasa hingga Kamis, museum
ini buka pada pukul 09.00—15.00 WIB. Pada hari Jumat dan Minggu, museum ini buka dari
pukul 09.00 hingga 14.00 WIB, sedangkan untuk hari Sabtu dari pukul 09.00 hingga pukul
12.30 WIB.
b. Masjid Istiqlal
Masjid Istiqlal merupakan masjid megah yang berdiri kokoh di pusat Ibukota
Republik Indonesia,
Jakarta. Masjid megah ini
didirikan pada tanggal 24
Agustus 1961 dan
diresmikan
penggunaannya pada
tanggal 22 Februari 1978.
Pada tahun 1970-an,
masjid ini merupakan
masjid termegah di
kawasan Asia Tenggara.
Kemegahan masjid ini
merupakan simbol rasa
syukur atas karunia
Tuhan berupa kemerdekaan bangsa Indonesia. Nama istiqlal berasal dari bahasa Arab
yang mempunyai arti sepadan dengan kata “kemerdekaan”.
Ide pembangunan masjid ini awalnya muncul pada tahun 1949, yakni setelah
penyerahan kedaulatan negara oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada rakyat
Indonesia. Ide ini lahir dari para ulama dan tokoh ternama pada saat itu, di antaranya
K.H. Wahid Hasyim (Menteri Agama RI pertama), H. Agus Salim, Anwar Cokroaminoto,
Ir. Sofyan, dan K.H. Taufiqurrahman. Ide pembanguan masjid ini disambut hangat oleh
presiden RI saat itu, Ir.
Soekarno. Bahkan pada
waktu itu Ir. Soekarno
berusaha keras
membantu realisasi
pembangunan masjid.
Setelah
mendapat persetujuan,
pada tahun 1953,
dibentuklah panitia
pembangunan masjid
yang diketuai oleh
Anwar Cokroaminoto,
yang selanjutnya
218 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
ditunjuk sebagai Ketua Yayasan Masjid Istiqlal. Kepanitiaan ini bertugas untuk
merealisasikan pembangunan masjid secara keseluruhan. Melalui kepanitiaan ini, pada
tahun 1954, Ir. Soekarno diangkat sebagai Kepala Bagian Teknik Pembangunan Masjid
Istiqlal dan juga ditetapkan sebagai juri sayembara maket pembangunannya.
Pada tahun 1955, panitia ini mengadakan sayembara membuat sketsa dan
maket pembangunan Masjid Istiqlal. Konon, sayembara ini diikuti oleh 30 peserta. Di
antara 30 peserta tersebut terdapat 27 orang yang menyerahkan sketsa dan maketnya.
Namun, dari 27 peserta hanya 22 peserta yang memenuhi persyaratan lomba. Setelah
menilai dan mengevaluasi, akhirnya dewan juri menetapkan lima peserta sebagai
nominator. Lima peserta tersebut adalah F. Silaban dengan tema “ketuhanan”, R.
Oetoyo dengan tema “istigfar”, Hans Groenewegen dengan tema “salam”, lima
mahasiswa ITB dengan tema “ilham”, dan tiga mahasiswa ITB dengan tema
“khatulistiwa”. Setelah melalui proses panjang, dewan juri kemudian menetapkan F.
Silaban sebagai pemenang. F. Silaban adalah seorang keturunan Batak yang beragama
Nasrani.
Proyek pembangunan masjid ini ternyata tidak berjalan secara mulus dan
mudah. Sejak direncanakan pada tahun 1950-an hingga 1960-an masjid ini belum
selesai didirikan. Tersendatnya pembangunan ini dikarenakan situasi politik pada saat
itu yang memang kurang mendukung dan menguntungkan. Pada tahun-tahun itu,
demokrasi parlementer diterapkan. Partai-partai politik saling bertikai dan
memperebutkan kepentingannya masing-masing. Kondisi ini memuncak pada 1965—
1966 saat meletus peristiwa G30 S/PKI. Praktis pada saat itu pembangunan masjid
terhenti sama sekali.
Setelah situasi politik mereda, Menteri Agama pada saat itu, K.H. M. Dahlan,
memelopori pembangunan kembali masjid ini. Kepengurusan Ir. Soekarno kemudian
diganti oleh K.H. Idham Chalid yang bertindak sebagai Koordinator Panitia Nasional
Pembangunan Masjid Istiqlal yang baru. Di bawah kepengurusan baru, proses
pembangunan masjid ini akhirnya selesai pada tanggal 31 Agustus 1967 dan diresmikan
pada tanggal 22 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto.
Masjid Istiqlal memang terkenal dengan kemegahan bangunannya. Luas
bangunannya sekitar 2,5 hektar dan menempati area tanah seluas 9,5 hektar dengan
tinggi sekitar 55,8 meter. Karena bangunan yang begitu besar dan luas, masjid ini dapat
menampung sekitar
200.000 jamaah.
Selain terkenal
dengan kemegahannya,
masjid ini juga mempunyai
arsitektur yang khas. Corak
bangunannya bergaya
arsitektur Islam modern.
Wisatawan yang
berkunjung ke masjid ini
dapat melihat konstruksi
kokoh bangunan masjid
yang didominasi oleh
batuan marmer dan besi
anti karat, mulai dari lantai,
dinding, hingga kubahnya. Kubah masjid ini sendiri mempunyai diameter 45 meter yang
terbuat dari kerangka baja stainless steel dari Jerman Barat dengan berat 86 ton. Bagian
luar kubah dilapisi dengan keramik. Ukuran diameter kubah (45 meter) melambangkan
penghormatan dan rasa syukur kepada Tuhan atas karunia kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 18 Agustus 1945.
219 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Masjid ini mempunyai lantai berjumlah lima. Atap kubahnya ditunjang oleh
12 kolom yang berdiameter 2,5 meter. Lima lantai melambangkan shalat lima waktu
yang menjadi kewajiban umat Islam, sedangkan 12 kolom melambangkan tanggal
kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabiul Awal).
Secara umum, bangunan masjid ini terdiri dari gedung induk, gedung
pendahulu, teras raksasa, dan emper keliling. Gedung pendahulu terletak di belakang
gedung utama. Fungsi utama gedung pendahulu adalah sebagai ruangan tambahan
menuju gedung utama, sedangkan emper keliling adalah ruangan samping yang
mengapit gedung utama yang juga disebut teras keliling. Sementara itu, bangunan teras
raksasa terletak di sebelah kiri belakang gedung utama. Bangunan teras ini sengaja
dibuat untuk menampung jamaah shalat dalam jumlah besar, seperti pada saat shalat
Idulfitri dan Iduladha. Teras raksasa juga sering difungsikan sebagai tempat acara-acara
keagamaan, seperti lomba seni baca Al-Qur‘an (MTQ) dan manasik haji.
Wisatawan yang
berkunjung ke masjid ini juga
dapat menyaksikan bedug
terbesar di Indonesia. Bedug ini
bergaris tengah sekitar 2 meter
dengan panjang 3 meter dan
berat 2,3 ton. Konon, bedug ini
terbuat dari pohon meranti yang
telah berumur 300-an tahun.
Selain itu, pengunjung juga dapat
menyaksikan menara masjid yang
terletak di sebelah timur dengan
ketinggian 6.666 cm dengan diameter 5 meter. Ketinggian ini melambangkan jumlah
ayat dalam Al-Qur‘an. Tidak jauh dari lokasi masjid, pengunjung juga dapat mengunjungi
obyek wisata lain, seperti Monumen Nasional dan Pasar Baru. Masjid ini terletak di
Jalan Pintu Air, Jakarta Pusat, Propinsi DKI
Jakarta, Indonesia.
Lokasi Masjid Istiqlal cukup
mudah dijangkau, karena berdekatan
dengan Stasiun Gambir. Untuk mencapai
lokasi, dari Bandara Sukarno-Hatta
menuju arah stasiun, pengunjung dapat
menggunakan kendaraan umum, seperti
metronimi dan bus Transjakarta. Dari
Stasiun Gambir, pengunjung dapat
berjalan kaki atau menggunakan ojek
menuju Masjid Istiqlal.
c. Monumen Nasional
Tugu Peringatan Nasional
atau yang lebih dikenal Monumen
Nasional (Monas) merupakan salah satu
dari monumen yang didirikan untuk
mengenang perlawanan dan perjuangan
rakyat pada masa revolusi kemerdekaan
melawan penjajah Belanda. Monas
dibangun untuk memberi inspirasi dan
membangkitkan semangat patriotisme
generasi saat ini dan mendatang. Monas
adalah monumen sejarah sekaligus monumen nasionalisme bangsa Indonesia.
220 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Tugu Monas yang menjulang tinggi ini melambangkan lingga (alu atau antan)
yang penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Pelataran cawan melambangkan
yoni (lumbung). Maksudnya, alu dan lumbung merupakan alat rumah tangga yang
terdapat di hampir setiap rumah penduduk Indonesia.
Monas ini mulai dibangun pada Agustus 1959 di areal seluas 80 Ha, dan
diarsiteki olehSoedarsono dan Frederich Silaban, dengan konsultan Ir. Rooseno .
Monumen ini diresmikan pada 17 Agustus 1961 oleh Presiden RI (Soekarno ) dan
resmi dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975 .
Keistimewaan
bangunan Monas adalah
pada bentuk tugunya
yang unik. Sebuah batu
obeliks yang terbuat dari
marmer yang berbentuk
lingga yoni setinggi
137m. Di puncak Monas
terdapat cawan yang
menopang nyala
oborperunggu yang
beratnya mencapai 14,5
ton dan dilapisi emas 35
kg. Lidah api atau obor
ini sebagai simbol
perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan. Pelataran puncak dengan
luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling badan elevator
terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi .
Dari pelataran puncak Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan
hiruk-pikuk dan keramaian suasana seluruh penjuru kota Jakarta. Arah selatan, dari
kejauhan tampak Gunung Salak berdiri kokoh. Arah utara, laut lepas membentang
dengan pulau-pulau kecil berserakan. Arah barat, tampak Bandara Soekarno-Hatta yang
setiap waktu terlihat pesawat lepas landas. Di pelataran puncak, 17 m lagi ke atas,
terdapat lidah api terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton, berdiameter 6 m, dan terdiri
dari 77 bagian yang disatukan. Monumen Nasional ini terletak di Jl. Medan Merdeka,
Jakarta Pusat.
Monas adalah tempat wisata di pusat kota. Oleh karena itu, akses menuju
lokasi ini sangat mudah. Pengunjung bisa menuju ke lokasi dengan menggunakan bus
kota atau kendaraan sendiri. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari, mulai pukul
09.00 - 16.00 WIB .
Untuk memasuki Monas, wisatawan diwajibkan membayar tiket masuk
pelataran Monas sebesar Rp 2.500 per orang (tiket ini juga sudah termasuk bea masuk
ke Museum Monas). Apabila ingin mencapai Puncak Monas, pengunjung harus
membayar tiket lagi sebesar Rp 7.000 per orang. Dan jika ingin menikmati
pemandangan Jakarta dari puncak Monas, para turis dapat membeli koin seharga Rp
2.000 untuk menggunakan teropong yang disediakan di tempat tersebut.
221 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
d. Museum Sejarah Jakarta
Museum Sejarah Jakarta merupakan museum sejarah yang diresmikan pada
tanggal 4 April 1974.
Nama lain dari
museum ini adalah
Museum Fatahillah.
Sesuai dengan nama
resminya, museum ini
adalah museum yang
didirikan untuk
merekam perjalanan
sejarah Kota Jakarta
semenjak zaman
Batavia. Bangunan
museum ini terhitung
merupakan bangunan
kuno bergaya arsitektur kolonial abad ke-17 yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan
tua yang memesona.
Museum Sejarah Jakarta dalam sejarahnya merupakan salah satu gedung
peninggalan VOC. Gedung ini berfungsi sebagai Gedung Balaikota (Staadhuis) pertama
di kota Batavia yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1627 M. Namun setelah
Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1970, gedung ini kemudian dipugar dan pada
tanggal 4 April 1974 diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Selain berfungsi sebagai Balaikota, gedung ini dahulu juga digunakan sebagai
tempat oleh Dewan Kotapraja (College van Schepen) untuk menangani masalah hukum
yang terjadi di masyarakat. Seorang terdakwa yang akan diadili biasanya ditempatkan
dalam penjara bawah tanah. Dalam penjara bawah tanah ini, para terdakwa
diperlakukan secara tidak manusiawi. Tangan para terdakwa dirantai dan tubuhnya
direndam dalam air sebatas dada yang penuh dengan lintah.
Bagi para terdakwa yang telah dinyatakan bersalah dan dianggap telah
melakukan
kejahatan atau
memberontak
terhadap
pemerintah
Belanda akan
dikenai hukuman
yang sangat berat.
Salah satu
hukumannya
adalah hukuman
gantung di depan
Balaikota. Pada
saat proses
eksekusi dijalankan,
masyarakat sekitar dikumpulkan untuk menyaksikan “pertunjukan” tersebut dengan
cara membunyikan lonceng yang hingga kini masih tetap terpasang di atas bangunan
tersebut. Proses eksekusi merupakan simbol peringatan agar masyarakat tidak berusaha
melawan atau menentang pemerintah Belanda. Peninggalan benda-benda untuk
melakukan eksekusi itu masih tersimpan secara rapi di museum ini, di antaranya sebuah
222 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
pisau panjang yang dahulu sering digunakan untuk memenggal kepala orang yang
dijatuhi hukuman.
Museum Sejarah Jakarta mempunyai koleksi benda-benda bersejarah yang
beragam, misalnya benda-benda arkeologi masa Hindu, Buddha, hingga Islam, benda-
benda budaya peninggalan masyarakat Betawi, aneka mebel antik mulai abad ke-18
bergaya Cina, Eropa, dan Indonesia, gerabah, keramik, dan prasasti. Koleksi benda-
benda tersebut dipamerkan di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang
Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Sultan Agung, Ruang Fatahillah, dan Ruang M.H.
Tamrin. Bagi pengunjung yang ingin menikmati koleksi museum akan dimudahkan oleh
tata pamer Museum Sejarah Jakarta. Tata pamer tersebut dirancang berdasarkan
kronologi sejarah, yakni dengan cara menampilkan sejarah Jakarta dalam bentuk
display. Koleksi-koleksi tersebut ditunjang secara grafis oleh foto-foto, gambar-gambar
dan sketsa, peta, dan label penjelasan agar mudah dipahami berdasarkan latar belakang
sejarahnya.
Selain itu, museum ini juga memamerkan benda-benda bersejarah lainnya
seperti uang logam zaman VOC, aneka timbangan/dacinan, meriam Jagur yang dianggap
mempunyai kekuatan magis, serta bendera dari zaman Fatahillah. Selain itu,
pengunjung juga dapat melihat lukisan-lukisan karya Raden Saleh, peta-peta kuno, dan
sebuah foto gubernur VOC bernama J.P. Coen. Museum ini terletak di Jalan Taman
Fatahillah No. 2, Jakarta Barat, Propinsi DKI Jakarta.
Untuk menuju lokasi Museum Sejarah Jakarta, wisatawan dapat berkunjung
dengan menggunakan kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum. Jika memilih
menggunakan kendaraan umum, wisatawan dapat menggunakan sarana transportasi
bus Trans Jakarta dari arah Blok M menuju arah Kota. Selain itu wisatawan dapat juga
menggunakan Mikrolet M-12 dari arah Pasar Senen menuju Kota, juga dapat
menggunakan Mikrolet M-08 dari jurusan Tanah Abang menuju Kota. Alternatif lain
yang tersedia, pengunjung dapat juga memilih bus patas AC 79 dari arah Kampung
Rambutan menuju Kota.
Wisatawan yang berkunjung ke museum ini umumnya dikenai biaya masuk
yang berbeda-beda berdasarkan perorangan atau rombongan. Bagi pengunjung
perorangan, pengunjung dewasa (umum) dikenai biaya masuk sebesar Rp 2.000, untuk
mahasiswa sebesar Rp 1.000, sedangkan untuk pelajar/anak-anak hanya dikenai biaya
sebesar Rp 600. Tarif masuk untuk pengunjung berombongan (minimal 20 orang) juga
dikenai biaya masuk yang bervariasi, rombongan dewasa dikenai biaya masuk sebesar
Rp 1.500, untuk rombongan mahasiswa dikenai Rp 750, sementara rombongan
pelajar/anak-anak hanya sebesar Rp 500.
223 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
e. Museum Nasional Republik Indonesia
Museum Nasional
Republik Indonesia
merupakan situs peninggalan
bersejarah Belanda yang
masih ada dan berdiri kokoh
hingga sekarang di Kota
Jakarta (Batavia). Awal mula
berdirinya gedung ini adalah
ketika Pemerintah Belanda
membentuk sebuah lembaga
perkumpulan intelektual dan
ilmuwan Belanda yang ada di
Batavia dengan nama
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada
tanggal 24 April 1778 M. Lembaga ini bertujuan
mempromosikan penelitian di bidang seni dan
ilmu pengetahuan—khususnya dalam bidang
sejarah, arkeologi, etnografi—
dan mempublikasikan
penemuan-penemuan di
bidang bersangkutan.
Untuk menunjang
kegiatan lembaga,
Pemerintah Belanda
membangun sebuah
perpustakaan untuk
menampung koleksi buku-buku
dan benda-benda budaya yang
disumbangkan oleh para pendiri
dan anggotanya.
Karena semakin meningkatnya
jumlah koleksi, sebuah gedung baru pun dibangun. Gedung baru
ini diberi nama Literary Society. Literary Society digunakan oleh
Pemerintah Belanda sebagai tempat menampung dan merawat koleksi-koleksi buku dan
benda-benda temuan arkeologis, serta digunakan sebagai perpustakaan. Namun lambat
laun, tepatnya pada tahun 1862 M, Pemerintah Hindia Belanda akhirnya mendirikan
gedung baru lagi yang tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan maupun kantor saja,
melainkan juga sebagai museum untuk merawat dan memamerkan koleksi-koleksi yang
ada. Gedung baru inilah yang merupakan cikal bakal Museum Nasional Republik
Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tanggal 29 Februari 1950, gedung
peninggalan bersejarah Belanda tersebut kemudian beralih fungsi menjadi Lembaga
Kebudayaan Indonesia (Indonesia Culture Council). Lembaga ini tak bertahan lama.
Sejak tanggal 17 September 1962, Pemerintah Indonesia mengambil alih pengelolaan
lembaga dan menjadikannya sebagai Museum Pusat. Berdasarkan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No.0092/0/1979, pada tanggal 28 Mei 1979, museum ini
beralih nama secara resmi dari Museum Pusat menjadi Museum Nasional Republik
Indonesia.
224 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Walaupun secara resmi bernama
Museum Nasional Republik Indonesia,
namun museum ini oleh masyarakat umum
lebih dikenal dengan nama Museum Gajah.
Hal ini karena di museum ini terdapat patung
gajah yang terbuat dari perunggu di halaman
depannya. Patung gajah ini, konon,
merupakan pemberian Raja Siam (Thailand)
pada bulan Maret 1871 M. Selain itu,
museum ini juga sering disebut sebagai
Museum Arca, karena di dalamnya terdapat
berbagai jenis dan bentuk arca/patung dari
periode yang berbeda-beda dalam sejarah Nusantara.
Museum Nasional Republik Indonesia mempunyai gedung yang representatif
dan nyaman. Museum ini terdiri dari dua unit gedung, yaitu Gedung Museum Nasional
(Unit A) dan Gedung Arca (Unit B) yang dibangun sejak tahun 1996. Untuk gedung lama
(Unit A), penataan pameran didasarkan pada jenis-jenis koleksi, baik berdasarkan
keilmuan, bahan, maupun kedaerahan, seperti Ruang Prasejarah, Ruang Perunggu, dan
lain-lain. Sedangkan penataan di Gedung Arca (Unit B), tidak lagi didasarkan pada jenis
koleksi, melainkan mengarah pada tema berdasarkan aspek kebudayaan yang dibagi
menjadi empat lantai. Lantai pertama bertemakan manusia dan lingkungan, lantai
kedua bertema Iptek, lantai ketiga bertema organisasi sosial dan pola pemukiman,
sedangkan lantai empat bertema khazanah emas dan keramik. Keseluruhan penataan
ini dirangkum dalam tema “Keanekaan Budaya dalam Kesatuan”.
Museum Nasional Republik Indonesia mempunyai koleksi benda bersejarah yang
sangat banyak, yakni sekitar 109.342 buah pada tahun 2001. Pada tahun 2006 jumlah
koleksinya sudah melebihi 140.000 buah. Namun, baru sepertiganya saja yang dapat
dipamerkan kepada khalayak. Hingga
saat ini, tahun 2008, jumlah koleksi
museum telah mencapai 141.899 buah.
Karena jumlah koleksi yang begitu besar,
museum ini tercatat sebagai museum
terbesar di Indonesia dan bahkan di Asia
Tenggara.
Wisatawan yang mengunjungi
museum ini dapat menyaksikan koleksi
benda-benda peninggalan sejarah dari
seluruh Nusantara, di antaranya arca,
prasasti, patung, artefak, senjata
tradisional, alat kesenian tradisional, dan
banyak lagi lainnya yang diklasifikasikan
dalam tujuh kelompok, yakni koleksi
prasejarah, arkeologi, keramik,
numismatik (berhubungan dengan mata
uang) dan heraldik (berhubungan
dengan lambang kerajaan), sejarah,
etnografi, dan geografi. Koleksi-koleksi
tersebut dapat disaksikan dalam
sembilan ruangan yang berbeda, yakni:
Ruang Etnografi, Ruang Perunggu, Ruang Pra-Sejarah, Ruang Keramik, Ruang Tekstil,
Ruang Numismatik & Heraldik, Ruang Relik Sejarah, Ruang Patung Batu, dan Ruang
Khazanah.
225 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Dalam ruangan-ruangan tersebut pengunjung dapat memilih dan melihat
koleksi-koleksi museum sesuai dengan ketertarikan dan minatnya. Misalnya, bagi
pengunjung yang ingin melihat koleksi benda-benda bersejarah yang terbuat dari emas
dan batuan-batuan berharga peninggalan kerajaan-kerajaan yang pernah ada di
Nusantara, dapat masuk ke Ruang Khazanah Emas. Ruang Khazanah Emas dibagi
menjadi dua ruangan, yaitu Ruang Arkeologi dan Ruang Etnografi. Di ruangan ini
wisatawan dapat melihat lebih dari 200 buah benda-benda bersejarah yang terbuat dari
emas dan perak. Khusus di Ruang Etnografi terdapat
benda-benda yang terbuat dari emas 14—24 karat dan
banyak dihiasi oleh batu permata. Benda-benda di
ruangan ini, menurut sejarahnya, banyak yang
ditemukan secara tidak sengaja, bukan ditemukan
lewat penggalian arkeologis. Sedangkan bagi
pengujung yang mempunyai minat lain dapat menuju
ruang-ruang yang sudah dibagi sesuai klasifikasi-
klasifikasi ruang tersebut.
Secara umum, Museum ini mempunyai banyak
koleksi benda-benda budaya dan benda-benda zaman
prasejarah dari seluruh Nusantara, serta benda-benda
peninggalan peradaban bangsa lain, seperti Asia
Tenggara dan Eropa. Sumber koleksi di museum ini
banyak berasal dari penggalian arkeologis, hibah
kolektor, dan pembelian.
Museum Nasional Republik Indonesia terletak
di sebelah barat Lapangan Merdeka, tepatnya berada
di Jalan Merdeka Barat No.12, Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.
Museum ini terletak di jantung Kota Jakarta. Akses mengunjungi museum ini
tidak terlalu sulit. Dari kawasan Blok M, pengunjung dapat menggunakan bus
Transjakarta menuju Kota, kemudian turun di Halte Monumen Nasional (Monas).
Setelah itu, karena museum ini terletak di seberang halte, pengunjung dapat berjalan
menuju lokasi. Tarif bus Transjakarta dari kawasan Blok M ke Kota sebesar Rp 3.500
(Mei 2008).
Wisatawan yang berkunjung ke museum ini dikenai biaya yang berbeda-beda.
Untuk pengunjung dewasa dikenai biaya sebesar Rp 1.000, sedangkan untuk
pengunjung anak-anak (dibawah 17 tahun) dan pelajar dikenai biaya masuk sebesar Rp
250 (Mei 2008).
Museum ini dibuka pada hari Selasa hingga Minggu, sedangkan pada hari Senin
dan hari besar tutup. Untuk hari Selasa hingga Kamis, museum buka pada pukul 08.30
hingga pukul 02.30 WIB. Sementara pada hari Jumat buka dari pukul 08.30 sampai pukul
11.30 WIB, dan untuk hari Sabtu pada pukul 08.30 hingga pukul 01.30 WIB.
f. Museum Bahari
Museum Bahari adalah
sebuah museum yang menyimpan
dan memamerkan koleksi benda-
benda bersejarah yang
berhubungan dengan kelautan
bangsa Indonesia. Museum ini
didirikan secara bertahap sejak
tahun 1652 hingga 1774 M. Oleh
banyak kalangan, museum ini
dianggap sebagai saksi sejarah
226 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
awal-mula berdirinya Kota Batavia (sekarang Jakarta). Menurut sejarahnya, Museum
Bahari merupakan salah satu bangunan tua peninggalan VOC yang didirikan pada tahun
1652 M. Pada masa penjajahan Belanda (VOC), bangunan ini berfungsi sebagai gudang
untuk menyimpan, memilih, dan
mengemas hasil bumi komoditas
utama VOC (rempah-rempah dan
pakaian) yang sangat laris di
pasaran Eropa. Bangunan tua
bersejarah ini berdiri persis di
samping muara Sungai Ciliwung dan
terdiri dari dua bangunan yang
terletak di sisi barat dan timur.
Bangunan yang terdapat di sisi
barat sering dikenal dengan
sebutan “gudang barat”
(Westzijdsche Pakhuizen), sedangkan bangunan di sisi timur sering disebut “gudang
timur” (Oostzijdsche Pakhuizen). Menurut ceritanya, bangunan ini didirikan bersamaan
dengan selesainya pembangunan Kota Batavia (Jakarta) oleh Kongsi Dagang Belanda
(VOC). Dulu, di kompleks bangunan ini terdapat tembok/benteng yang melingkarinya.
Benteng ini dipercayai sebagai pembatas Kota Jakarta (city wall) pertama dengan
daerah-daerah lama pada zaman Belanda.
Semenjak Belanda hengkang dari Indonesia dan diganti oleh Jepang, tepatnya
pada tahun 1942, bangunan tersebut dialihfungsikan menjadi tempat menyimpan
peralatan militer tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini kemudian
dikelola oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan dijadikan sebagai gudang. Pada tahun
1976, oleh Ali Sadikin (Gubernur Jakarta pada saat itu), bangunan bersejarah ini
akhirnya dipugar, dan tepat pada tanggal 7 Juli 1977 diresmikan sebagai Museum
Bahari.
Hingga saat ini, bangunan Museum Bahari memang telah mengalami banyak
perubahan dan renovasi. Masa-masa perubahan tersebut tercatat dalam setiap pintu-
pintu masuknya, yakni pada tahun 1718, 1719, dan 1771 M.
Museum Bahari mempunyai koleksi yang terbilang banyak dan beragam.
Wisatawan yang berkunjung ke museum ini dapat menyaksikan berbagai jenis perahu
dari seluruh daerah di Indonesia yang dilengkapi dengan gambar dan foto-foto
pelabuhan pada masa lalu. Koleksi-koleksi perahu tersebut di antaranya, Perahu Pinisi
dari Bugis Makasar, Perahu Kora-kora dari Maluku, Perahu Mayang dari pantai utara
Pulau Jawa, Perahu Lancang Kuning dari Riau, dan Perahu Jukung dari Kalimantan.
Koleksi-koleksi lain yang
bisa disaksikan oleh pengunjung
museum ini adalah aneka biota
laut, data-data jenis dan sebaran
ikan di perairan Indonesia, aneka
perlengkapan nelayan dan
pelayaran tradisional (seperti alat
navigasi, jangkar, teropong, model
mercusuar, dan aneka meriam),
teknologi pembuatan perahu
tradisional, peta pelayaran, foto-
foto mengenai kegiatan kebaharian
sejak masa kolonial Belanda, folklor, dan adat istiadat masyarakat nelayan Nusantara.
Selain itu, untuk melengkapi koleksi-koleksi kebaharian Indonesia, di museum ini
sekarang telah dilengkapi dengan koleksi-koleksi tambahan, seperti matra TNI AL,
227 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
koleksi kartografi, tokoh-tokoh maritim Nusantara, dan perjalanan kapal KMP Batavia—
Amsterdam, serta maket Pulau Onrust.
Semua koleksi kebaharian tersebut dipamerkan dalam delapan ruangan, yakni
Ruang Masyarakat Nelayan Indonesia, Ruang Teknologi Menangkap Ikan, Ruang
Teknologi Pembuatan Kapal Tradisional, Ruang Biota Laut, Ruang Pelabuhan Jakarta
1800—2000, Ruang Navigasi, Ruang Pelayaran Kapal Uap Indonesia—Eropa, dan
terakhir Ruang Angkatan Laut Indonesia.
Selain dapat menikmati koleksi-koleksi kebaharian, pengujung juga dapat
menyaksikan Menara Syahbandar yang masih berdiri kokoh di sekitar kompleks
museum. Konon, menara yang dibangun pada tahun 1839 M ini dulu digunakan VOC
untuk mengawasi hilir-mudiknya kapal dagang di Pelabuhan Sunda Kelapa yang
lokasinya tidak terlalu jauh dari bangunan museum tersebut. Selain itu, wisatawan juga
dapat mengunjungi peninggalan bersejarah Belanda lainnya, yaitu Pelabuhan Sunda
Kelapa, yang berlokasi cukup dekat dengan museum.
Museum ini berlokasi di Jalan Pasar Ikan No. 1 Sunda Kelapa, Jakarta Utara,
Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.
Untuk mengunjungi Museum Bahari, wisatawan dapat dengan mudah menuju
lokasi karena letaknya yang tidak terlalu sulit dijangkau. Dari Stasiun Jakarta Kota,
pengunjung dapat menggunakan kendaraan umum Mikrolet 015 jurusan Kota menuju
Tanjung Priok, lalu turun di Pelabuhan Sunda Kelapa. Dari pelabuhan ini wisatawan
dapat berjalan kaki menuju lokasi museum, karena jaraknya hanya beberapa puluh
meter saja. Sepanjang jalan, wisatawan dapat menyaksikan ataupun berbelanja aneka
kerang dan barang-barang laut yang dijual di depan museum.
Selain menggunakan mikrolet, pengunjung juga dapat menggunakan kendaraan
umum lainnya, seperti Metromini 30 dari arah Muara Angke menuju Kota, Metromini
29 dari arah Muara Baru menuju Kota, angkutan Kopaja 86 dari arah Terminal Lebak
Bulus menuju Kota, serta angkutan Kopami 02 dari arah Terminal Senen menuju daerah
Pluit.
Wisatawan yang berkunjung ke museum ini dikenai biaya yang bervariasi
berdasarkan perorangan atau rombongan. Bagi pengunjung perorangan, pengunjung
dewasa (umum) dikenai biaya sebesar Rp 2.000, untuk mahasiswa sebesar Rp 1.000,
sedangkan untuk anak-anak hanya dikenai biaya sebesar Rp 600. Sementara itu, biaya
masuk untuk pengunjung rombongan (minimal 20 orang) juga bervariasi. Untuk
rombongan dewasa dikenai biaya masuk sebesar Rp 1.500, untuk rombongan
mahasiswa dikenai Rp 750, sedangkan untuk rombongan pelajar/anak-anak hanya
dikenai biaya sebesar Rp 500 (Mei 2008).
Museum ini dibuka untuk umum pada hari Senin hingga Sabtu, sedangkan untuk
hari Minggu dan Hari Besar tutup. Untuk hari Senin hingga Kamis, museum ini dibuka
mulai pukul 08.00—14.00 WIB, sedangkan pada hari Jumat museum ini tutup pukul
11.00 WIB dan pada hari Sabtu hanya buka hingga pukul 13.00 WIB.
228 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
g. Museum Tekstil
Museum Tekstil
merupakan sebuah cagar
budaya yang secara khusus
mengumpulkan, mengawetkan,
serta memamerkan karya-karya
seni yang berkaitan dengan
pertekstilan Indonesia.
Museum ini secara resmi
dibuka pada tanggal 28 Juli
1976 dan berdiri di atas areal
seluas 16.410 meter persegi,
serta menempati gedung tua di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Dalam sejarahnya, gedung yang digunakan sebagai museum ini dahulu
merupakan rumah pribadi seorang warga keturunan Perancis yang hidup di abad ke-19.
Namun, gedung ini kemudian dijual pada seorang anggota konsulat Turki bernama
Abdul Aziz Al Musawi Al Katiri. Pada tahun 1942, gedung ini dijual lagi kepada orang
yang bernama Karel Cristian Cruq. Tidak begitu lama, gedung ini pun beralihtangan lagi
dan dijadikan Markas Besar Barisan Keamanan Rakyat (BKR) pada saat menjelang
kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1947,
kepemilikan gedung ini dipegang oleh seseorang yang bernama Lie Sion Phin. Setelah
beberapa kali beralih kepemilikan dan beralih fungsi, akhirnya pada tahun 1975, gedung
ini diserahkan kepada Pemerintah DKI Jakarta dan dijadikan sebagai Museum Tekstil.
Peresmian Museum Tekstil dilakukan oleh Ibu Tien Soeharto pada tanggal 28 Juni 1976.
Sebagai sebuah museum tekstil terbesar di Indonesia, museum ini mempunyai
koleksi-koleksi yang terhitung banyak, yakni sekitar 1.000 buah. Keistimewaan museum
ini terletak pada koleksi-koleksinya yang kebanyakan merupakan koleksi tekstil
tradisional Indonesia. Koleksi-
koleksi tersebut dikelompokkan
dalam empat bagian, yakni koleksi
kain tenun, koleksi kain batik,
koleksi peralatan, dan koleksi
campuran. Wisatawan yang
berkunjung ke museum ini dapat
menyaksikan aneka kain batik
bermotif geometris sederhana
hingga yang bermotif rumit,
seperti batik Yogyakarta, Solo,
Pekalongan, Cirebon, Palembang,
Madura, dan Riau.
Selain itu, wisatawan juga dapat menyaksikan bendera Keraton Cirebon yang
merupakan koleksi pilihan, karena usianya yang paling tua. Bendera itu terbuat dari
bahan kapas berupa batik tulis yang berhias kaligrafi Arab. Bendera mirip plakat itu,
konon, merupakan peninggalan bersejarah dari tahun 1776 M yang sangat disakralkan
di Istana Cirebon. Pada saat itu, bendera tersebut sering dipakai sebagai simbol syiar
Islam.
Selain memamerkan koleksi pertekstilan, di museum ini juga terdapat sebuah
taman di halaman belakang yang diberi nama Taman Pewarna Alam. Taman seluas
2.000 meter persegi ini berisi pohon-pohon yang dapat digunakan sebagai bahan baku
pewarna alam. Penanaman pohon-pohon itu bertujuan mendidik masyarakat agar
mengenal dan mengetahui pohon-pohon yang dapat digunakan sebagai bahan baku
pewarna alam.
229 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Keistimewaan lainnya yang terdapat di museum ini adalah kursus membatik.
Kursus ini dilaksanakan bersamaan dengan hari-hari buka museum. Kursus membuat
batik ini dilaksanakan di sebuah bangunan yang terletak di halaman paling belakang
Museum Tekstil. Bangunan ini bergaya rumah panggung lebar yang tak mempunyai
sekat di dalamnya. Semua bahan bangunannya terbuat dari kayu dengan cat berwarna
coklat tua. Di ruangan ini tidak terdapat pendingin ruangan (AC), karena telah terdapat
beberapa jendela yang mengelilingi ruangan untuk mengalirkan udara segar.
Museum Tekstil bertempat di Jalan Aipda K.S. Tubun No.4, Kecamatan Tanah
Abang, Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.
Untuk mengunjungi museum ini tidaklah terlalu sulit, karena letaknya berada di
Jakarta Pusat. Untuk menuju lokasi museum, pengunjung dapat menggunakan berbagai
jenis angkutan, seperti bus Transjakarta, metronimi, dan kendaraan umum lainnya yang
telah tersedia di dalam kota.
Museum Tekstil dibuka untuk umum pada hari Selasa hingga Minggu, sedangkan
pada hari Senin dan Hari Besar tutup. Pada hari Selasa hingga Kamis museum ini buka
pada pukul 09.00—15.00 WIB. Untuk hari Jum’at, museum buka dari pukul 09.00—
12.30 WIB dan pada hari Sabtu dari pukul 09.00—15.00 WIB. Sedangkan untuk hari
Minggu museum ini buka pada pukul 09.00 hingga pukul 15.00 WIB.
Wisatawan yang mengunjungi Museum Tekstil dikenai biaya masuk yang
berbeda-beda berdasarkan rombongan atau perorangan. Bagi pengunjung perorangan
dewasa dikenai tarif masuk sebesar Rp 3.000, untuk mahasiswa sebesar Rp 1.000, dan
untuk anak-anak/pelajar hanya sebesar Rp 650. Sedangkan untuk pengujung
rombongan, rombongan dewasa dikenai biaya sebesar Rp 1.500, untuk rombongan
mahasiswa sebesar Rp 750, dan untuk rombongan anak-anak hanya dikenai biaya
sebesar Rp 500 (Mei 2008).
h. Museum Wayang
Museum Wayang
merupakan sebuah museum
yang menyimpan, merawat, dan
memamerkan berbagai hal yang
berhubungan dengan wayang
dari daerah-daerah di Indonesia
dan luar negeri. Museum ini
bertempat di sebuah bangunan
tua yang berusia ratusan tahun
dan hingga sekarang tetap
berdiri kokoh dan anggun.
Gedung museum yang berlantai
dua ini berdiri di atas tanah seluas 935.25 meter persegi dan merupakan bangunan tua
yang masih terpelihara keasliannya. Gedung bersejarah ini bahkan oleh Persatuan
Bangsa-Bangsa (United Nations) dinyatakan termasuk dalam daftar 136 cagar budaya
yang harus dilindungi.
Dalam sejarahnya, gedung yang digunakan sebagai museum ini telah mengalami
beberapa kali perubahan dan renovasi, tetapi masih tetap mempertahankan struktur
keaslian arsitekturnya. Dahulu, pada awalnya gedung ini bernama Gereja Lama Belanda
(De Oude Hollandsche Kerk) yang dibangun pada tahun 1640 M. Pada tahun 1732 M,
gedung ini diperbaiki dan berganti nama menjadi Gereja Belanda Baru (De Nieuwe
Hollandsche Kerk). Namun, sejak terjadi gempa bumi pada tahun 1808 M, sebagian
bangunan gedung bersejarah ini hancur dan kemudian dibangun lagi pada tahun 1912.
Setelah bangunan berdiri kembali, gedung bekas gereja ini oleh Pemerintah Hindia
230 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Belanda dijual kepada sebuah perusahaan yang bernama Geo Wehry & Co dan dijadikan
kantor hingga tahun 1934.
Pada tahun 1936, kepemilikan gedung tua tersebut berpindah lagi setelah dibeli
oleh sebuah Lembaga Ilmu Pengetahuan, Seni, dan Budaya di Batavia milik Pemerintah
Belanda (Bataviaasch Genootschap van Kusten en Wetenschappen). Lembaga ini
kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Belanda dan dijadikan
sebagai Museum Batavia Lama (De Oude Bataviaasche Museum). Di masa penjajahan
Jepang, gedung ini tidak mengalami perawatan yang maksimal dan terkesan
ditelantarkan. Baru pada tahun 1957 gedung ini diserahkan pada Lembaga Kebudayaan
Indonesia.
Pada tanggal 17 September 1962, Museum Batavia Lama ini sepenuhnya
dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan
ditetapkan sebagai Museum Jakarta, sebelum diserahkan pada Pemerintah Daerah DKI
Jakarta. Pada tanggal 23 Juni 1968, Pemda DKI kemudian menyerahkan pengelolaan
gedung ini kepada Dinas Museum dan Sejarah. Semenjak dikelola oleh Dinas Museum
dan Sejarah, gedung ini akhirnya dipugar dan secara resmi dijadikan Museum Wayang
pada tanggal 13 Agustus 1975.
Museum Wayang merupakan museum yang menyimpan koleksi berbagai jenis
perlengkapan yang berhubungan dengan pembuatan dan pertunjukan wayang dari
daerah-daerah di Indonesia dan beberapa negara lain. Pengunjung museum ini dapat
melihat berbagai
koleksi wayang asli
Indonesia, seperti
wayang kulit, wayang
golek, wayang kardus,
wayang rumput,
wayang kaca, dan juga
wayang-wayang
langka, seperti wayang
suket, wayang beber,
dan wayang intan.
Wayang intan yang
terdapat di museum
ini dahulu dibuat pada
tahun 1870 M oleh Ki
Guna Kerti Wanda dan merupakan salah satu koleksi tertua.
Selain memamerkan koleksi wayang dari daerah-daerah di Indonesia, di
Museum Wayang ini juga terdapat koleksi boneka (wayang) yang berasal dari luar
negeri, seperti dari
Malaysia, Kamboja,
India, Cina, Pakistan,
Suriname, Kanada,
Amerika, Thailand, dan
Inggris. Pengunjung juga
dapat menyaksikan jenis
koleksi lainnya, seperti
topeng, patung wayang,
dokumen, peta, foto-
foto lama, dan alat
musik wayang
(gamelan).
Koleksi wayang
231 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
yang terdapat di Museum Wayang, baik dari dalam maupun luar negeri, hingga April
2001 telah mencapai sekitar 5.147 buah. Pada bulan Juni 2006 jumlah koleksi museum
terus bertambah hingga mencapai 5.500 buah.
Wisatawan yang berkunjung ke Museum Wayang juga dapat mengunjungi obyek
wisata sejarah lainnya yang terletak cukup dekat dengan lokasi museum ini, seperti
Museum Fatahillah, Museum Keramik, dan Balai Seni Rupa.
Lokasi museum ini terletak di Jalan Pintu Besar Utara No.27, Jakarta Barat,
Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.
Mengunjungi Museum Wayang cukup mudah, karena letaknya yang mudah
dijangkau baik dari jalur laut, darat, maupun udara. Museum ini berjarak sekitar 7
kilometer dari Bandara Udara Sukarno-Hatta dan berjarak 1 kilometer dari Pelabuhan
Tanjung Priok serta berjarak 100 meter dari Stasiun Kereta Api Jakarta Barat. Untuk
menuju lokasi museum, wisatawan dapat menggunakan Bus Transjakarta dari arah Blok
M menuju Kota, dan dapat menggunakan Mikrolet M-12 dari Stasiun Senen menunju
Kota, juga dapat menggunakan Mikrolet 08 dari arah Tanah Abang menuju Kota, serta
dapat juga menggunakan Mikrolet M-15 dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Kota.
Museum Wayang biasanya dibuka pada hari Selasa hingga Minggu, sedangkan
pada hari Senin dan Hari Besar tutup. Pada hari Selasa hingga Kamis, museum ini buka
pada pukul 09.00—15.00 WIB. Untuk hari Jum‘at, museum buka dari pukul 09.00—
14.30 WIB dan pada hari Sabtu dari pukul 09.00—12.30 WIB. Sedangkan untuk hari
Minggu museum ini buka pada pukul 09.00 hingga pukul 15.00 WIB.
Wisatawan yang mengunjungi museum ini dikenai biaya yang bervariasi
berdasarkan perseorangan atau rombongan. Bagi pengunjung rombongan dewasa
dikenai biaya sebesar Rp 1.500, untuk rombongan mahasiswa sebesar Rp 750,
sedangkan untuk rombongan anak-anak hanya dikenai sebesar Rp 500. Sementara itu
bagi pengunjung perorangan dikenai biaya masuk tersendiri. Untuk pengunjung
perorangan dewasa dikenai biaya masuk sebesar Rp 3.000, untuk perorangan
mahasiswa sebesar Rp 1.000, sedangkan untuk perorangan anak-anak/pelajar hanya
sebesar Rp 650 (Mei 2008).
i. Masjid Kebon Jeruk
Masjid Kebon Jeruk adalah
sebuah masjid tua yang terletak di
daerah Kebon Jeruk, Jakarta Utara yang
didirikan kira-kira pada tahun 1797 M.
Masjid ini menempati area tanah
seluas 1.350 meter persegi dan
merupakan simbol akulturasi budaya
Cina dan Islam. Masjid ini hingga
sekarang telah berumur lebih dari 300
tahun dan telah mengalami beberapa
kali renovasi, walaupun tetap
mempertahankan unsur keaslian arsitekturnya. Kini, masjid ini oleh Dinas Kebudayaan
dan Permuseuman ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya yang harus dilestarikan.
Menurut sejarah, sebelum masjid ini berdiri, di lokasi masjid ini telah berdiri
sebuah masjid kecil, yang lebih tepat disebut surau atau langgar. Bangunan surau ini
berbentuk bundar, beratap daun nipah, bertiang empat, dan dihiasi dengan ukiran-
ukiran. Pendiri surau ini sendiri tidak diketahui. Tepat pada tahun 1718 M, datanglah
sebuah rombongan yang dipimpin oleh seorang keturunan Cina bernama Chan Tsin Hwa
bersama istrinya yang bernama Fatima Hwu ke daerah yang sekarang dikenal dengan
daerah Kebon Jeruk ini. Konon, rombongan ini semuanya telah memeluk agama Islam
dan terpaksa mengungsi dari negerinya karena terdesak oleh penguasa Dinasti Chien
232 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
yang menganut agama Buddha. Rombongan ini memutuskan untuk menetap di daerah
ini dan tidak lagi berniat pulang. Setelah menetap agak lama di daerah ini, antara tahun
1780—1797 M, rombongan ini kemudian mendirikan sebuah masjid di lokasi surau
sebelumnya. Masjid inilah yang sekarang dikenal sebagai Masjid Kebon Jeruk.
Masjid ini, konon, merupakan saksi sejarah pembantaian Pemerintah Kolonial
Belanda terhadap keturunan Cina yang ramai-ramai memeluk agama Islam. Pemerintah
Belanda pada saat itu merasa tidak senang dengan perpindahan agama masyarakat Cina
ini dan berusaha keras mencegah perpindahan agama tersebut. Alasan Pemerintah
Belanda adalah dengan perpindahan agama tersebut menyebabkan jumlah penduduk
yang dikenai pajak menjadi berkurang. Pada saat itu, penduduk pribumi tidak termasuk
masyarakat yang dikenai pajak. Menjadi muslim, bagi masyarakat Cina merupakan jalur
mudah untuk berbaur dengan masyarakat pribumi dan akhirnya bisa diakui sebagai
pribumi. Akibatnya, terjadilah kerusuhan dan pembantaian oleh Pemerintah Belanda
pada bulan September 1740 M terhadap masyarakat Tionghoa yang diperkirakan
menewaskan sekitar 10 ribu orang.
Masjid ini selain mempunyai nilai historis juga mempunyai karakteristik
bangunan yang unik. Struktur bangunan masjid ini memiliki kemiripan dengan masjid-
masjid yang ada di Jawa. Masjid ini secara umum disusun dari batu bata yang terdiri dari
dua lantai yang ditopang oleh dua pilar yang terbuat dari kayu-besi yang agak lebar.
Selain dapat menyaksikan bangunan antiknya, pengunjung juga dapat melihat
benda-benda kuno peninggalan pendiri masjid ini, di antaranya sebuah jam kuno yang
dipajang sejak masjid mengalami renovasi pada tahun 1950, sebuah kalender antik
berusia 300 tahun, dan benda-benda lainnya yang rata-rata telah berusia ratusan tahun.
Kalau diperhatikan secara seksama, benda-benda tersebut memilki hiasan yang berciri
khas gaya Cina dan Arab (Islam). Di Masjid Kebon Jeruk juga telah dibangun menara
baru sebagai ganti menara lama yang telah rubuh. Menara ini mempunyai tinggi yang
sama dengan masjidnya dan masih mengikuti arsitektur asli menara lama.
Selain itu, di area masjid ini terdapat makam tokoh muslim Cina yang
merupakan pendakwah Islam pada saat itu dan sekaligus salah satu pendiri masjid ini.
Makam tersebut adalah makam Fatimah Hwu. Dalam legendanya, pada saat Chan Tsin
Hwa, suami Fatimah Hwu, pergi untuk berdakwah, istrinya ditinggal di Masjid Kebon
Jeruk. Sebelum suaminya kembali, sang istri pada tahun 1792 M wafat dan dimakamkan
di halaman masjid. Di makam ini pengunjung dapat menyaksikan batu nisan bergaya
Cina bertuliskan “Hsienpi Men Tsu Mow” yang berarti “inilah makam Cina dari keluarga
Chai”.
Masjid Kebon Jeruk berlokasi di Jalan Hayam Wuruk (Kebon Jeruk), Jakarta
Utara, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia. Untuk menuju lokasinya, wisatawan dapat
menggunakan kendaraan umum yang sering melintas di masjid ini, seperti angkutan
kota maupun minibus.
j. Pelabuhan Sunda Kelapa
Pelabuhan Sunda
Kelapa merupakan salah satu
pelabuhan bersejarah
peninggalan Kota Jakarta.
Pelabuhan tua ini sebenarnya
telah dikenal sejak abad 12
Masehi dan merupakan
pelabuhan penting pada masa
Kerajaan Hindu Sunda
terakhir yang beribu kota di
Padjajaran. Kerajaan ini
233 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
berpusat di sekitar daerah yang dikenal dengan Kota Bogor sekarang. Para pedagang
Nusantara yang dulu kerap singgah di pelabuhan tersebut di antaranya berasal dari
Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makasar, dan Madura. Selain itu, kapal-kapal asing
dari Cina Selatan, Gujarat atau India Selatan, dan Arab juga kerap singgah di pelabuhan
ini untuk memperdagangkan barang-barang, seperti porselin, kopi, sutera, kain, wangi-
wangian, kemenyan, kuda, anggur, dan zat pewarna. Para pedagang Cina sering
menyebut Sunda Kelapa dengan sebutan Kota Ye-cheng yang berarti “Kota Kelapa”. Hal
ini tidak lain karena banyaknya pohon kelapa yang tumbuh di sekitar pelabuhan
tersebut.
Pada tahun 1513 M, bangsa Portugis, di bawah kepemimpinan De Alvin tiba di
Sunda Kelapa dengan armada sejumlah empat kapal setelah menaklukkan Kota Malaka.
Mereka berniat mencari lahan perdagangan baru untuk keperluan rempah-rempah di
dunia Barat. Setelah melihat kondisinya, pada tanggal 21 Agustus 1522 M, bangsa
Portugis kemudian datang lagi ke Sunda Kelapa dengan membawa hadiah kepada Raja
Sunda. Hadiah ini merupakan simbol kerjasama antara Kerajaan Sunda dengan
pedagang Portugis. Kerjasama tersebut tertera dalam sebuah prasasti bernama Padrao
(sekarang prasasti ini tersimpan di Museum Nasional). Waktu itu, pedagang Portugis
diberi kebebasan untuk membuat pos dagang dan benteng di sekitar Pelabuhan Sunda
Kelapa. Selain itu, Kerajaan Sunda juga mengharapkan bantuan Portugis menghadapi
ekspansi kerajaan-kerajaan Islam, seperti Demak dan Cirebon, seiring menguatnya
pengaruh Agama Islam di Pulau Jawa.
Pada Tahun 1527 M, di bawah pimpinan Franscesco de Sa, armada kapal
Portugis datang kembali ke Sunda Kelapa untuk persiapan membangun benteng di sana.
Namun, gabungan kekuatan Kerajaan Islam Cirebon dan Demak yang berjumlah 1.452
prajurit di bawah pimpinan Fatahillah telah menguasai Sunda Kelapa. Sehingga, pada
saat berlabuh, armada
Portugis akhirnya dipukul
mundur oleh prajurit
gabungan dua kerajaan
Islam tersebut. Atas
kemenangannya terhadap
Kerajaan Sunda dan
Portugis, pada tanggal 22
Juni 1527 M, Fatahillah
mengganti nama kota
Pelabuhan Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta yang
berarti “kemenangan yang
nyata”.
Kekuasan Demak di Jayakarta tidak bertahan lama. Pada akhir abad ke-16,
Bangsa Belanda menjelajah ke dunia timur. Di bawah pimpinan Cornelis de Houtmen,
mereka akhirnya sampai ke wilayah Nusantara. Tepat pada tanggal 30 Mei 1619 M,
Belanda (VOC) berhasil merebut Jayakarta dari kekuasaan Demak di bawah pimpinan
J.P. Coen. J.P. Coen kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Oleh
penguasa baru ini, Pelabuhan Sunda Kelapa kemudian diperbesar dan dikelola sebagai
pelabuhan utama tempat lalu lintas perdagangan menuju Kota Batavia.
Dalam sejarahnya, bangsa Belanda berhasil menguasai Pelabuhan Sunda Kelapa
dan daerah sekitarnya selama sekitar 300 tahun. Pelabuhan ini sejak masa Kerajaan
Sunda hingga Belanda telah berganti-ganti nama sesuai keinginan penguasanya. Namun,
sejak Indonesia merdeka, tepatnya pada tanggal 6 Maret 1974, berdasarkan surat
keputusan Gubernur DKI Jakarta No.D.IV a.4/3/74, nama Sunda Kelapa ditetapkan
secara resmi sebagai nama pelabuhan ini. Pada saat ini, Pelabuhan Sunda Kelapa tidak
234 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
seramai dulu. Pelabuhan ini sekarang hanya digunakan tempat menampung kapal
Phinisi yang membawa kayu dari daerah-daerah Indonesia menuju Jakarta.
Pelabuhan Sunda Kelapa dari sisi ekonomi memang memiliki nilai strategis,
karena berdekatan dengan pusat-pusat perdagangan di Jakarta, seperti Glodok, Pasar
Pagi, Mangga Dua, dan lain-lain. Wisatawan yang berkunjung ke sini dapat melihat
keramaian aktivitas bongkar muat barang-barang kapal antarpulau berukuran 175 BRT
(500 m2) yang mengangkut barang kebutuhan sehari-hari, seperti sembako dan tekstil.
Selain itu, pengunjung juga dapat melihat aktivitas bongkar muat barang-barang
lainnya, seperti, besi beton, kayu gergajian, rotan, kaoliang, dan kopra. Yang menarik,
bongkar muat barang di pelabuhan ini masih menggunakan cara tradisional, yakni
menggunakan tenaga manusia.
Ramainya aktivitas bongkar muat barang komoditas perdagangan ini sebenarnya
memang ditunjang oleh kondisi fisik di pelabuhan tersebut. Menurut catatan,
pelabuhan ini mempunyai luas daratan sekitar 760 hektar dan luas perairan sebesar
16.470 hektar yang terdiri dari pelabuhan utama dan Pelabuhan Kalibaru. Pelabuhan
utama memiliki panjang area 3.250 meter dengan luas kolam 12.000 meter persegi,
sedangkan Pelabuhan Kalibaru mempunyai panjang area 750 meter dengan luas
daratan sekitar 343.339 meter persegi. Dengan ukuran tersebut, pelabuhan utama
setidaknya bisa menampung sekitar 70 perayu layar motor, dan untuk Pelabuhan
Kalibaru dapat menampung sekitar 65 kapal motor antarpulau.
Wisatawan yang berkunjung ke Pelabuhan Sunda Kelapa juga dapat
menyaksikan bangunan atau benda bersejarah lainnya yang masih terdapat dalam
kompleks pelabuhan, seperti Museum Bahari, bekas galangan VOC, Menara Syah
Bandar, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Wayang. Di samping itu, di kompleks
pelabuhan ini juga terdapat pasar ikan yang menjajakan aneka jenis ikan laut. Sekitar 2
kilometer dari pelabuhan, wisatawan juga dapat mengunjungi stasiun kereta api
peninggalan zaman Belanda, bernama Stasiun Kereta Api Kota atau dikenal dengan
sebutan BEOS (Batavia En Om Streken).
Pelabuhan Sunda Kelapa terletak di Jalan Baruna Raya No.2, Kelurahan
Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.
Pelabuhan Sunda Kelapa terletak di ujung sebelah utara Kota Jakarta. Bagi
wisatawan yang ingin mengunjunginya dapat menggunakan kendaraan-kendaraan
umum, seperti metromini atau mikrolet, yang sering melewati kawasan pelabuhan ini.
Dari Stasiun Jakarta Kota (Jakarta Pusat), pengunjung dapat menggunakan Mikrolet M-
015 dari jurusan Kota menuju Tanjung Priok dan turun di depan pelabuhan. Selain itu,
pengunjung juga dapat menggunakan Metromini No. 30 jurusan Muara Angke menuju
Kota, atau menggunakan angkutan Kopaja 86 jurusan Terminal Lebak Bulus menuju
Kota, serta Metromini No. 29 jurusan Muara Baru menuju Kota.
k. Museum Kebangkitan Nasional
Museum Kebangkitan
Nasional adalah sebuah
museum yang memamerkan
berbagai koleksi benda-benda
bersejarah yang berkaitan
dengan sejarah kebangkitan
bangsa Indonesia dalam meraih
kemerdekaannya. Museum ini
menempati gedung tua bekas
sekolah kedokteran yang
didirikan oleh Belanda untuk
orang-orang bumiputra
235 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
bernama STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Arsten). Bekas gedung sekolah
kedokteran ini mulai dibangun sejak tahun 1899 M dan selesai pada tahun 1901 M. Di
gedung ini, para mahasiswa bumiputra dari berbagai daerah di Indonesia dididik selama
7—9 tahun dan diharuskan tinggal dalam sebuah asrama sekolah.
Gedung STOVIA merupakan tempat berkumpulnya orang-orang terpelajar
bumiputra dari berbagai daerah di Nusantara. Di gedung inilah bibit-bibit nasionalisme
dan kebangkitan bangsa Indonesia mulai bersemai, tumbuh, dan menyebar. Pada
tanggal 20 Mei 1908, di gedung ini telah lahir organisasi pergerakan nasional Budi
Utomo yang dipelopori oleh beberapa mahasiswa STOVIA, antara lain dr. Sutomo, dr.
Ciptomangunkusumo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dan dr. Setiabudi (Douwes Dekker).
Kemunculan organisasi ini, dalam catatan sejarah, dianggap sebagai tonggak penting
dalam proses terbentuknya kesadaran nasional untuk melawan penjajah Belanda.
Tanggal lahir organisasi Budi Utomo kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia
sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Pada masa pendudukan Jepang, yakni tahun 1942, gedung eks STOVIA ini
difungsikan sebagai penjara bagi tentara Belanda yang menjadi tawanan perang.
Setelah Indonesia merdeka, gedung tua bekas sekolah STOVIA tersebut masih berdiri
kokoh dan baru direnovasi oleh Pemerintah DKI Jakarta pada tanggal 6 April 1973.
Setelah beberapa lama, gedung ini diresmikan oleh Presiden Soeharto menjadi Gedung
Kebangkitan Nasional, dan pada tanggal 27 September 1982 pengelolaannya dialihkan
dari Pemerintah DKI Jakarta kepada Pemerintah Indonesia (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan). Dengan kewenangan ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui SK
Mendikbud No. 030/0/1984 akhirnya menetapkan penyelenggaraan sebuah museum di
dalam Gedung Kebangkitan Nasional dengan nama Museum Kebangkitan Nasional.
Museum yang menempati areal seluas 14.625 meter persegi ini mempunyai
corak arsitektur khas campuran Jawa, Toraja, Minang, dan Belanda. Kekhasan ini dapat
dilihat pada corak arsitektur pada koridor-koridor panjangnya, langit-langit ruangan
yang tinggi, serta pintu dan jendelanya yang berukuran lebih dari 2 meter.
Secara umum, museum ini memamerkan berbagai benda-benda sejarah yang
berhubungan dengan sejarah Kebangkitan Nasional, seperti dokumen, kamera,
peralatan, benda, pakaian, senjata, replika, patung, foto, lukisan, diorama, vandel, dan
film. Koleksi-koleksi ini tertata rapi dalam tujuh ruang pamer koleksi, yaitu Ruang
Pengenalan, Ruang Awal Pergerakan Nasional, Ruang Kesadaran Nasional, Ruang
Pergerakan Nasional, Ruang Propaganda Studie Fonds, Ruang Memorial Budi Utomo,
dan Ruang Pers. Wisatawan yang berkunjung ke museum ini dapat mengamati detail
koleksi museum dari satu ruang ke ruangan lainnya atau sekadar masuk pada beberapa
ruangan yang disukai.
Pengunjung yang masuk ke Ruang Memorial Budi Utomo, misalnya, dapat
menikmati koleksi lukisan dr. Wahidin, kerangka manusia yang digunakan praktek
mahasiswa STOVIA, kursi kuliah STOVIA, patung pendiri Budi Utomo, foto kegiatan
mahasiswa STOVIA, dan lukisan situasi perkumpulan Budi Utomo. Ruangan ini dulu
bernama Ruang Praktek Anatomi dan dianggap sebagai ruangan paling bersejarah di
antara ruangan lainnya, karena digunakan oleh dr. Soetomo dan tokoh-tokoh
pergerakan lainnya sebagai tempat perumusan dan pendirian organisasi Budi Utomo.
Pengunjung juga dapat mengunjungi ruang-ruang lainnya yang memamerkan
koleksi-koleksi yang tak kalah menarik, seperti meja dan kursi makan pelajar STOVIA,
peralatan kedokteran, diorama dr. Wahidin, diorama berdirinya Budi Utomo, foto-foto
organisasi awal Kebangkitan Nasional, foto organisasi pemuda, lukisan perjalanan dr.
Wahidin, patung dr. Wahidin, patung pelajar STOVIA, dan lain-lainnya.
Museum Kebangkitan Nasional berlokasi di Jalan Abdurrahman Saleh No. 26,
Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.
236 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Akses menuju museum ini sangat mudah, karena berada di jantung Kota Jakarta.
Dari Terminal Pulogadung, pengunjung dapat menggunakan bus Transjakarta jurusan
Pulogadung—Harmoni dengan membayar sekitar Rp 2.000 hingga Rp 3.000 (Juni 2008)
dan kemudian turun di Halte Kwitang. Dari halte ini pengunjung dapat berjalan kaki
menuju museum. Jarak museum dengan terminal Pulogadung sekitar 2 kilometer
Wisatawan yang berkunjung ke museum ini dikenai tarif masuk berbeda-beda,
tergantung apakah perorangan atau rombongan (minimal 20 orang). Bagi pengunjung
perorangan dewasa dikenai tarif masuk sebesar Rp 750, sementara untuk perorangan
anak-anak (pelajar) hanya sebesar Rp 250. Untuk pengunjung rombongan dewasa
dikenai tarif masuk sebesar Rp 250, sedangkan rombongan anak-anak (pelajar) hanya
sebesar Rp 100 (Juni 2008)
Sama seperti museum-museum pada umumnya, Museum Kebangkitan Nasional buka
untuk umum pada hari Selasa hingga Minggu, sedangkan untuk hari Senin dan hari
besar tutup. Pada hari Selasa hingga Kamis, museum ini buka dari pukul 08.30 hingga
15.00 WIB. Untuk hari Jumat, museum ini buka dari jam 08.30—11.30 WIB, sedangkan
untuk hari Sabtu dan Minggu dari pukul 08.30 hingga pukul 14.00 WIB.
l. Museum Joang 45
Museum Joang 45
didirikan untuk
mengenang,
melestarikan, dan
merekam jejak-jejak
perjuangan bangsa
Indonesia dalam meraih
kemerdekaannya.
Museum yang diresmikan
pada tanggal 19 Agustus
1974 ini menempati
gedung tua peninggalan
Belanda yang dibangun
pada tahun 1920. Konon, di gedung ini para bapak pendiri bangsa berkumpul untuk
merumuskan gagasan nasionalisme Indonesia.
Sebelum Indonesia merdeka, gedung bersejarah ini dahulu merupakan sebuah
hotel yang dikelola oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama L.C. Schomper. Hotel
ini juga diberi nama L.C. Schomper, sesuai dengan nama pemiliknya. Pada masa
menjelang kemerdekaan, ketika Jepang telah menguasai Batavia, para pejuang
Indonesia mengambil alih gedung ini dan menjadikannya sebagai kantor yang dikelola
oleh Jawatan Propaganda Jepang (Ganseikanbu Sendenbu). Di kantor inilah para
pemuda Indonesia mendapatkan program pendidikan politik yang dibiayai secara penuh
oleh Pemerintah Jepang untuk persiapan kemerdekaan bangsa Indonesia, seperti
dijanjikan oleh Jepang.
Pusat pendidikan politik di gedung ini dikenal dengan nama Asrama Angkatan
Baru Indonesia. Konon, banyak tokoh-tokoh perjuangan ‘45 mendapatkan pendidikan di
sini, antara lain Sukarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, A.M. Hanafi, dan lain-lain. Selain
itu, juga banyak tokoh perjuangan lainnya yang menjadi pengajar program ini, di
antaranya Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Mr. Sunaryo, Mr.
Syarifuddin, M.Z. Zambek, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Seperti sudah tertulis dalam
sejarah, para tokoh-tokoh tersebut, baik pengajar maupun pesertanya, merupakan
tokoh-tokoh sentral dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
237 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Pada saat Pemerintah Jepang kedodoran karena semakin terdesak dalam Perang
Dunia II, para pemuda Indonesia mendirikan organisasi bernama Banteng di gedung ini.
Organisasi tersebut bertujuan menanamkan rasa kebangsaan dan semangat anti
penjajahan yang dilakukan oleh Jepang. Sejak Indonesia merdeka, tepatnya pada
tanggal 18 Agustus 1945, di gedung ini para tokoh-tokoh Indonesia mendirikan Komite
van Aksi untuk mempertahankan kemerdekaan. Karena peranan yang begitu besar,
gedung peninggalan Belanda tersebut akhirnya pada tanggal 19 Agustus 1974
diresmikan oleh Presiden Soeharto sebagai Museum Joang 45.
Musem ini mempunyai koleksi-koleksi benda bersejarah yang sangat penting
bagi perjalanan kemerdekaan Indonesia, khususnya atribut ataupun benda bersejarah
dari masa perjuangan kemerdekaan hingga masa mempertahankan kemerdekaan, yakni
antara tahun 1942 hingga 1950-an. Wisatawan yang berkunjung ke museum ini dapat
menyaksikan foto-foto perjuangan kemerdekaan, antara lain foto-foto perjuangan pada
masa Jepang, berbagai hal tentang proklamasi, peristiwa rapat akbar di lapangan IKADA,
dan beberapa peristiwa perlawanan terhadap penjajah, seperti Bandung Lautan Api,
Pertempuran 10
November di
Surabaya, dan
perjuangan lainnya.
Pengunjung
juga dapat
menyaksikan
beragam koleksi
lukisan yang terkait
dengan semangat
perjuangan bangsa
Indonesia, di
antaranya lukisan
pada masa revolusi fisik, lukisan tentang tokoh-tokoh nasional yang mendapat
pendidikan politik Jepang, dan lukisan perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Koleksi lain yang bernilai sejarah tinggi di museum ini adalah dua buah mobil
milik presiden dan wakil presiden RI pertama yang digunakan selama menjalankan tugas
kenegaraan pada masa awal kemerdekaan. Dua mobil dinas ini mempunyai nomor
mobil REP 1 (dipakai oleh Ir. Soekarno) dan REP 2 (dipakai oleh Mohammad Hatta).
Museum ini juga memamerkan koleksi lainnya, seperti patung pahlawan
pergerakan Indonesia, panji-panji perjuangan, pakaian Barisan Keamanan Rakyat (BKR)
dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), serta pakaian para pahlawan pejuang 45. Bagi
para pengunjung yang berminat mengenal lebih dalam tentang perjuangan kemerdekan
Indonesia juga dapat mengikuti kegiatan bertema Sejarah Bangsa yang sering diadakan
di museum. Acara-acara bertema kebangsaan dan sejarah tersebut biasanya diadakan
bertepatan pada perayaan hari besar Nasional, seperti Hari Pahlawan, Hari Kebangkitan
Nasional, dan Hari Kemerdekaan Indonesia.
Museum ini terletak di Jalan Menteng Raya 31, Kelurahan Kebon Sirih,
Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.
Karena terletak di jantung Kota Jakarta, Museum Joang 45 mudah dijangkau
oleh pengunjung, karena banyak kendaraan umum, seperti bajai dan metronimi, yang
sering lalu lalang di sekitar museum. Dari Terminal Pasar Senen, pengunjung dapat
menggunakan bajai, angkutan kota (angkot), atau metromini menuju Jalan Menteng
Raya no. 31 dan turun di depan museum.
Wisatawan yang berkunjung ke museum ini dikenai tarif yang berbeda-beda,
berdasarkan perorangan atau rombongan (minimal 20 arang). Bagi pengunjung
perorangan dewasa dikenai tarif masuk sebesar Rp 1.500, perorangan mahasiswa
238 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
sebesar Rp 1.000, sedangkan untuk perorangan anak-anak (pelajar) hanya sebesar Rp
650. Berbeda dengan pengunjung perorangan, pengunjung rombongan dewasa dikenai
tarif masuk sebesar Rp 3.000, rombongan mahasiswa Rp. 750, sedangkan untuk
rombongan anak-anak (pelajar) hanya sebesar Rp 500 (Juni 2008).
Museum ini buka untuk umum pada hari Selasa hingga Minggu, sedangkan
untuk hari Senin dan hari besar tutup. Pada hari Selasa hingga Kamis dan hari Minggu,
museum ini buka dari pukul 09.00 hingga pukul 15.00 WIB, untuk hari Jumat buka dari
pukul 09.00 hingga 14.30 WIB, dan untuk hari Sabtu dari pukul 09.00 hingga 12.30 WIB.
m. Museum Bank Indonesia
Museum Bank Indonesia
adalah sebuah museum yang
memang sengaja didirikan untuk
memberikan informasi kepada
masyarakat tentang sejarah dan
peran sentral Bank Indonesia (BI)
dalam dunia perbankan di negeri
ini. Museum ini menempati gedung
tua yang didirikan oleh Pemerintah
Belanda pada tanggal 8 April 1828
M dengan luas bangunan sekitar
14.000 meter persegi. Semula, gedung ini merupakan sebuah rumah sakit dengan nama
Binnen Hospital, namun kemudian dialihfungsikan menjadi sebuah bank dengan nama
De Javasche Bank.
Dalam sejarahnya, De Javasche Bank adalah sebuah bank sirkulasi yang didirikan
Pemerintah Belanda pada tanggal 24 Januari 1882 M. Selama berpuluh-puluh tahun,
bank ini beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi (hak cipta) dari penguasa
Kerajaan Belanda untuk mengatur sistem moneter di tanah jajahannya. Namun, sejak
pendudukan Jepang di
Nusantara, bank ini praktis
tidak beroperasi lagi.
Pada masa revolusi,
pemerintahan baru
Indonesia mengalami
dualisme kepemimpinan,
yakni antara Pemerintah
Republik Indonesia dan
NICA (Nederlandsche
Indische Civil
Administrative). Sejak saat
itu, De Javasche Bank dikuasai oleh NICA. Kondisi ini tak bertahan lama, setelah
selesainya Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Indonesia akhirnya mendapatkan
kedaulatannya secara penuh. De Javasche Bank yang sebelumnya dikuasai oleh NICA,
kemudian dinasionalisasi, dan pada tahun 1953 diresmikan sebagai bank sentral dengan
nama Bank Indonesia (BI). Namun, sejak tahun 1962, gedung BI ini kosong dan tidak
dipakai lagi, karena telah dibangun sebuah gedung baru. Karena tidak terpakai lama,
gedung ini akhirnya difungsikan sebagai museum dengan nama Museum Bank Indonesia
atau sering disingkat dengan nama Museum BI. Peresmiannya dilakukan pada tanggal
15 Desember 2006 oleh Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah.
Museum Bank Indonesia memiliki banyak koleksi, baik dalam bentuk benda
bersejarah, dokumen, informasi, dan lain-lain yang terkait dengan sistem moneter dan
kebijakan yang dilakukan oleh BI dari masa berdirinya hingga sekarang. Di antara koleksi
239 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
benda bersejarah museum ini adalah perforator manual, pintu khazanah, mesin hitung
ontel REMINGTON 77, lemari brankas, lemari besi LAMPERTZ, alat pelubang
kupon/deviden, kapstok gantung, fragmen neraca, timbangan emas, mesin penghitung
uang elektronik, prasasti pendirian gedung De Javasche Bank, alat press kertas, mesin
hitung NATIONAL, dan sebuah meja kerja gaya Belanda lama.
Selain koleksi benda-benda bersejarah, di museum ini juga terdapat ruang yang
menyediakan dokumen dan informasi seputar Bank Indonesia. Ruangan ini bernama
Pusat Informasi Bank Indonesia. Dalam ruangan ini, pengunjung akan disuguhi informasi
tentang time series yang cukup panjang mengenai sejarah dan peran Bank Indonesia.
Informasi tersebut bisa diakses melalui perangkat multimedia, sehingga bermanfaat
untuk kebutuhan penelitian dan pembuatan karya tulis ilmiah. Di samping itu, di
ruangan ini juga terdapat fasilitas untuk mencetak (printing) data dari komputer dan
fasilitas BI Virtual Museum yang memberikan informasi tentang Museum Bank
Indonesia melalui jaringan internet. Wisatawan juga dapat mengunjungi museum
lainnya yang berlokasi tidak terlalu jauh dari Museum BI, seperti Museum Fatahillah dan
Museum Wayang.
Museum ini berlokasi di Jalan Pintu Besar Utara No. 3, Jakarta Barat, Propinsi
DKI Jakarta, Indonesia.
Akses menuju museum ini sangat mudah, karena terletak tepat di seberang
Halte Bus Way, Stasiun Kota. Pengunjung dapat menggunakan bus Transjakarta ataupun
mikrolet dari jurusan manapun menuju halte tersebut. Setelah itu, pengunjung dapat
berjalan kaki menuju museum.
Wisatawan yang berkunjung ke museum ini tidak dipungut biaya. Museum ini
buka pada hari Selasa hingga Minggu, sedangkan untuk hari Senin dan hari besar tutup.
Pada hari Selasa hingga Kamis, museum ini buka pada pukul 08.00—14.30 WIB, untuk
hari Jum’at pada pukul 08.30—11.00 WIB, sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu dari
pukul 09.00 hingga pukul 16.00 WIB.
n. Gereja Portugis (Gereja Sion)
Kalau Anda berwisata ke kota tua
Jakarta, sempatkanlah mampir ke Gereja
Sion. Gereja ini terletak di sudut Jalan
Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua,
di daerah Jakarta Barat. Dulu, Gereja Sion
dikenal dengan nama Gereja Portugis
(Portugeesche Buitenkerk). Pada masa itu,
ada dua gereja yang dikenal dengan
sebutan Gereja Portugis, pertama Gereja
Sion, dijuluki “Gereja Portugis Luar Kota”
(berada di luar benteng Kota Batavia) dan
kedua “Gereja Portugis dalam Kota” (berada di dalam benteng Kota Batavia). Namun,
gereja yang terakhir telah habis terbakar pada tahun 1808 M, sementara Gereja Sion
tetap berdiri tegak dengan segala kemegahannya hingga kini.
Gereja Portugis atau Gereja Sion hingga saat ini masih dipakai sebagai tempat
ibadah. Menurut riwayat, Gereja Sion selesai dibangun pada tahun 1695 M dan
diresmikan pada hari Minggu tanggal 23 Oktober 1695 M, dengan pemberkatan oleh
Pendeta Theodorus Zas. Cerita lengkap pemberkatan gereja tersebut tertulis rapi dalam
bahasa Belanda pada papan pengumuman, yang hingga saat ini masih bisa dilihat di
dinding gereja.
Pembangunan fisik gereja yang memiliki arsitektur megah ini memakan waktu
sekitar dua tahun. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Pieter van Hoorn pada
tahun 19 Oktober 1693 M. Gereja Sion terkenal dengan kekokohan bangunannya dan
240 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
masih memiliki perabot yang sama sejak didirikan. Gereja ini hanya mengalami dua kali
renovasi, yakni pada tahun 1920 dan tahun 1978. Bahkan, konon bangunan gereja tidak
mengalami keretakan sama sekali, meski terjadi gempa bumi besar yang menjalar
sampai ke Australia, Sri Langka, dan Filipina, akibat letusan Gunung Krakatau pada
Agustus 1883 M. Bangunan gereja ini dilindungi oleh pemerintah sebagai bangunan
bersejarah lewat SK Gubernur DKI Jakarta No. CB/11/1/12/1972.
Gereja Sion dibangun di atas lahan seluas 6.725 meter persegi dengan luas
bangunan 32 X 24 meter yang ditopang oleh tiang utama berjumlah enam dan dibangun
dengan fondasi 10.000 batang balok bundar. Bangunan gereja ini dapat menampung
setidaknya 1.000 jemaat. Namun, kini, halaman gereja menyusut setelah tergusur
pelebaran Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua, masing-masing lima meter.
Sesuai namanya, Gereja Portugis merupakan gereja peninggalan bangsa Portugis
yang telah mendarat di Nusantara sejak abad ke-16. Namun, penyebutan kata
“portugis” sebagai nama gereja punya kisah sendiri. Konon, sebelum Gereja Sion berdiri,
di tempat itu berdiri sebuah kapel (gereja kecil) Katolik pada tahun 1675 M. Kapel ini
didirikan oleh bangsa Portugis untuk para budaknya yang berasal dari Bengal, Malabar,
Koromandel, dan Sri Langka. Para budak itu dibawa ke Nusantara (termasuk ke Batavia)
dan dipekerjakan untuk kepentingan niaga dan rumah tangga. Secara umum, mereka
beragama Katolik dan berbahasa Portugis.
Sejak VOC menguasai Batavia dan merebut kekuasaan Portugis, VOC
membangun benteng Kota Batavia sebagai pembatas wilayah Batavia dan wilayah di
luarnya. Selain itu, VOC juga membawa para budak Portugis dari seluruh wilayah
Nusantara ke Kota Batavia (di dalam benteng) untuk membangun prasarana kota. Tak
terkecuali para budak Portugis yang tinggal di sekitar Kapel Katholik—yang notabene
berada di luar benteng Batavia—juga dibawa ke dalam Kota. Sejak saat itulah (tahun
1628 M), bekas budak-budak Portugis ini membanjiri wilayah pusat dan pinggiran Kota
Batavia.
Gereja Sion sebenarnya merupakan gereja yang dibangun sebagai pengganti
Kapel Katolik (Portugis) sebelumnya, seiring dibebaskannya para budak Portugis yang
berada di pinggir dan pusat Kota Batavia. Syarat pembebasan budak tersebut adalah
mereka harus beralih agama (menjadi Protestan) dan menggunakan bahasa Belanda.
Para Budak yang telah bebas inilah yang dikenal dengan sebutan kaum Mardjiker.
Dalam waktu yang lama, Gereja Sion telah digunakan oleh para Mardjiker secara turun
temurun, sementara para pejabat elit Batavia (VOC) beribadah di pusat Kota. Namun,
ketika gereja di pusat Kota Batavia terbakar, komunitas VOC, petinggi, dan keluarganya
pindah beribadah ke Gereja Sion, yang terletak di pinggir kota. Lama-kelamaan gereja
ini akhirnya menjadi milik kaum elit Belanda Batavia. Kaum Mardjiker pun terusir dari
gereja, namun elit Belanda/VOC sudah kadung menyebut gereja ini dengan sebutan
Portugeesche Buitenkerk alias Gereja Portugis.
Setelah Indonesia merdeka, gereja bekas para Mardjiker ini dikelola di bawah
naungan Gereja-gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB). Pada tahun 1957, saat
persidangan Sinode GPIB, Gereja Portugis diputuskan berubah nama menjadi GPIB
Jemaat Sion. Oleh masyarakat sekitar, gereja ini dikenal dengan nama Gereja Sion. Sion
atau Zion berasal dari nama sebuah bukit di daerah Palestina dan merupakan lambang
keselamatan bagi bangsa Israel kuno.
Gereja Sion memiliki keunikan khas, jika dilihat dari corak dan bentuk arsitektur,
serta perabot-perabot yang dipunyainya. Kekhasan arsitektur tampil menonjol di tiap
detil bangunan. Dapat dilihat, bangunan gereja membentuk satu ruang panjang dengan
tiga bagian langit-langit kayu yang sama tingginya dan melengkung seperti bentuk tong.
Sejak tahun 2006, gereja yang termasuk jenis gereja bangsal (hall church) ini juga
dipercantik dengan lantai gereja yang tersusun oleh ubin granit berwarna abu-abu,
pintu masuk berlapis kaca, dan ruang tambahan berukuran 6x18 meter di sekitar gereja.
241 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Melongok rancang bangun gereja yang diarsiteki Mr. E. Ewout Verhagen dari
Rotterdam ini tentu akan menambah kesan kagum, sekaligus terpesona. Lihat saja daya
tahan dan kekokohan gereja yang telah bertahan selama ratusan tahun itu. Ternyata,
kekokohan ini memang didukung oleh konstruksi tembok bangunan yang disusun dari
batu bata yang direkatkan dengan campuran pasir dan gula tahan panas.
Selain kekhasan arsitektur, perabot-perabot gereja juga disuguhkan dengan
nuansa tersendiri. Saat memasuki pintu gereja, misalnya, segera terpampang empat
kandelar (kandil) lilin besar dengan reflektor (pemantul cahaya) berbentuk perisai
bersimbol Kota Batavia. Keempat kandelar ini tergantung pada sudut-sudut ruangan,
sejak lebih 300 tahun yang lalu.
Tepat di tengah ruangan, berdiri sebuah mimbar bergaya barok karya H. Bruyn
(1695 M). Mimbar ini ditopang dua tiang bergulir dan bertudung kanopi berukuran
besar yang bentuknya menyerupai mahkota. Pembuatan mimbar bersegi delapan
dengan paduan ukiran China, Eropa, dan India ini konon menghabiskan biaya sekitar
260 ringgit. Bandingkan dengan biaya pembangunan gereja yang menghabiskan dana
sekitar 3.000 ringgit. Ornamen pada sisi bawah juga ikut memberi corak tersendiri pada
mimbar ini. Wisatawan yang mengamati detil mimbar ini akan menemukan ornamen
berbentuk kepala malaikat lengkap dengan sayap yang dicat serupa warna kulit
manusia.
Selain Mimbar, tepat di sebelah kanan (jika wisatawan menghadap ke altar dari
pintu depan) terdapat beberapa deretan kursi berukir dan bangku dari kayu hitam
(eboni). Kursi-kursi yang sering digunakan untuk rapat gereja ini mempunyai ukiran yang
terbilang unik. Di tengah atas sandaran kursi misalnya, terukir sebuah kitab suci yang
terbuka dan di kanan kirinya terdapat dua gambar malaikat kecil. Jika wisatawan
mengalihkan pandangan ke salah satu dinding gereja, maka akan terpampang sebuah
batu bertulis dalam bahasa Belanda yang berarti: “Batu pertama gereja ini diletakkan 19
Oktober 1693 oleh Pieter van Horn”.
Selain itu, di lantai atas, bagian belakang, para pelancong juga dapat melihat alat
musik organ tiup (orgel) tua yang masih terawat secara baik. Orgel tua yang merupakan
hibah puteri Pendeta John Maurits Moor pada abad ke-17 ini masih bisa dipakai.
Wisatawan juga dapat melihat sebuah roda besi di samping kiri orgel. Roda bersabut
karet ini berfungsi mengisi angin yang meniup pipa-pipa nada ketika tuts orgel ditekan.
Dulu roda ini diputar dengan tenaga manusia (dua orang), namun sejak tahun 1982
diganti dengan tenaga listrik. Organ yang disangga oleh empat tiang langsing ini terakhir
digunakan pada tanggal 8 Oktober 2000.
Di sekitar lingkungan gereja, tepatnya di serambi gereja, terdapat 11 makam
pejabat kumpeni Belanda pada masa Batavia dulu. Di antara makam para pejabat
tersebut adalah makam Gubernur Jenderal Zwaardecroon (1718—1725 M), makam ahli
bedah utama Kota Batavia bernama Frederik Ribalt (meninggal tahun 1735 M) dan
anaknya Francois Ribalt (1695 M), serta seorang pelaut, bernama Komisaris Jenderal SH
Frijkenius.
Gereja Sion terletak di sudut Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua
Raya, Jakarta Barat, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.
Gereja Sion relatif mudah dijangkau wisatawan, karena berjarak sekitar 300
meter dengan Stasiun Kereta Api Kota (Stasiun Beos Kota) dan 200 meter dari kompleks
pertokoan Mangga Dua. Dari Stasiun Beos Kota, pengunjung cukup berjalan kaki atau
menyewa becak menuju arah Jalan Mangga Dua dan berhenti ujung jalan, tempat di
mana gereja itu berada.
242 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
o. Stasiun Beos (Stasiun Jakarta Kota)
Mengunjungi Kota Tua di Jakarta sungguh dapat mengingatkan kita pada ihwal
sejarah pendirian Kota Batavia. Kalau tak percaya, datanglah ke Stasiun Jakarta Kota
yang dikenal dengan sebutan Stasiun Beos. Stasiun Beos merupakan saksi bisu yang
mengiringi pendirian awal Kota Batavia. Stasiun kereta api ini didirikan pada tahun 1870
M oleh seorang arsitek
Belanda kelahiran
Tulungagung bernama Ir.
Frans Johan Louwrens
Ghijsel yang dibantu oleh
teman-temannya, yakni
Hein Von Essen dan Ir. F.
Stolts. Stolts sendiri
menamatkan pendidikan
arsitekturnya di Delf
(Belanda) dan merupakan
pendiri biro arsitektur
yang bernama Algemeen
Ingenieur
Architectenbureu (AIA). Karya arsitektur biro ini sekarang dapat kita lihat pada
bangunan/gedung Departemen Perhubungan Laut di Medan Merdeka Timur, Rumah
Sakit PELNI di Petamburan (kedua bangunan ini di Jakarta), dan Rumah Sakit Panti Rapih
di Yogyakarta.
Sejak awal didirikan, Stasiun Beos merupakan stasiun tujuan terakhir perjalanan,
seperti halnya Stasiun Surabaya Kota (Stasiun Semut) di Surabaya. Sebenarnya,
penulisan nama stasiun ini bukan Beos, melainkan BOS. Namun, dalam pelafalan
masyarakat Batavia, kata BOS sering dilafalkan Beos. Ada beragam versi kenapa stasiun
ini dikenal dengan nama Beos atau BOS. Satu versi mengatakan bahwa kata beos
diambil dari nama sebuah Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur yang bernama
Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij, sebuah perusahaan swasta yang mengurusi
penyediaan angkutan kereta api di Kota Batavia dan Jawa. Namun, ada juga versi lain
yang menyebutkan bahwa Beos berasal dari frase Batavia En Omstreken, yang berarti
Batavia dan sekitarnya, tempat di mana pusat transportasi kereta api berada yang
menghubungkan kota Batavia dengan kota lain, seperti Bekassie (Bekasi), Biutenzorg
(Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.
Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa Stasiun Beos juga mempunyai
nama lain, Batavia Zuid, yang berarti Stasiun Batavia Selatan. Nama ini muncul karena
pada akhir abad ke-19, Kota Batavia pada saat itu telah memiliki dua stasiun kereta api.
Yang Pertama adalah Batavia Zuid (Stasiun Batavia Selatan) dan yang kedua adalah
Batavia Noord (Stasiun Batavia Utara). Batavia Noord terletak di sebelah selatan
Museum Sejarah Jakarta sekarang.
243 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Menurut cerita, Stasiun Beos beroperasi selama 56 tahun, yakni dari tahun 1870
M hingga tutup pada tahun 1926. Sejak penutupannya, bangunan ini direnovasi menjadi
bangunan yang seperti sekarang. Selama renovasi, penggunaan stasiun dialihkan ke
Stasiun Batavia Utara (Batavia Noord). Sekitar 200 meter dari Stasiun Beos yang telah
ditutup, dibangunlah Stasiun Jakarta Kota yang masih berdiri hingga saat ini.
Pembangunan stasiun baru ini selesai pada tanggal 19 Agustus 1929 dan digunakan
secara resmi pada tanggal 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya diadakan secara besar-
besaran dengan penanaman kepala kerbau oleh Gubernur Jendral jhr. A.C.D. de Graeff
yang berkuasa di tanah jajahan Hindia Belanda selama tahun 1926—1931. Meski
dibangun dengan bangunan baru yang telah bergeser 200 meter, stasiun ini sudah
terlanjur dikenal dengan sebutan Stasiun Beos. Sejak tahun 1993, Stasiun Jakarta Kota
akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya melalui surat keputusan Gubernur DKI
Jakarta No. 475 tahun 1993.
Melongok bangunan Stasiun Jakarta Kota sungguh akan membuat wisatawan
terpana dengan dengan bangunan tua yang didukung rancang konstruksi profesional.
Menurut cerita, rancang konstruksi yang merupakan karya besar Ghijsel ini dikenal
dengan ungkapan Het Indische Bouwen, sebuah rancang bangun yang memadukan
struktur dan teknik modern Barat yang dipadu dengan bentuk-bentuk tradisional
setempat. Dengan balutan seni dekorasi (art deco) yang kental, rancangan arsitek
Belanda ini terkesan sederhana, namun bercita rasa seni yang tinggi. Mungkin Ghijsel
terilhami oleh pepatah Yunani kuno, “kesederhanaan adalah jalan terpendek menuju
kecantikan” (terjemah).
Meski terkesan sederhana, bangunan stasiun secara keseluruhan masih terlihat
kokoh dan megah. Saat memasuki pintu utama menuju loket, misalnya, wisatawan akan
merasa seolah-olah sedang berada dalam koridor panjang yang dinaungi oleh atap
lengkung setengah lingkaran. Atap lengkung berbahan besi dan tembaga ini
ditempatkan jauh di atas kepala para pengunjung. Mungkin hal ini sengaja dirancang
oleh sang arsitek agar sirkulasi udara menjadi leluasa. Dengan rancang bangun seperti
ini, selain faktor kenyamanan, wisatawan juga akan merasa berada dalam sebuah ruang
megah dan istimewa.
Tak hanya itu, jika wisatawan meluangkan waktu mengamati secara detil dari
depan, maka akan terlihat bahwa bangunan stasiun tampak memanjang dengan pintu
utama di posisi tengahnya. Di samping kanan-kiri pintu, tampak lubang-lubang
berbentuk bujur sangkar-tegak yang berderet rapi memanjang-horisontal di sepanjang
dinding bagian depan, sebagai rongga ventilasi udara. Konstruksi megah ini seolah
mengingatkan bangunan tua peninggalan Belanda dengan konstruksi yang relatif sama,
seperti Museum Sejarah Jakarta.
Selain itu, saat telah memasuki ruang tunggu stasiun, wisatawan juga disuguhi
tempat duduk yang berderet rapi dengan naungan atap sepanjang ratusan meter,
244 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
seperti layaknya atap tribun di stadion lapangan olahraga di kota-kota besar. Corak
bangunan ini tentu akan membuat para pengunjung maupun calon penumpang kereta
api menjadi lebih leluasa memilih tempat duduk, sembari menunggu kedatangan kereta
api yang ingin ditumpangi.
Di samping menyuguhkan kualitas bangunan yang representatif bagi para
pengunjung maupun calon penumpang kereta api, sejak tahun 2007, Stasiun Jakarta
Kota juga menyediakan sarana penunjang baru berupa ruang pamer, seperti museum
mini, perpustakaan, dan lain-lain, sebagai sarana pendidikan dan wisata sejarah. Di
salah satu ruang pamer ini, wisatawan dapat menonton film-film dokumenter tentang
Stasiun Beos atau melihat koleksi foto-foto sejarah tentang stasiun ini. Tak hanya itu, di
stasiun ini juga disediakan fasilitas pendidikan berupa model kereta api peninggalan
lama dan sebuah ruangan bagi komunitas pecinta kereta api dari dalam dan luar negeri.
Lokomotif listrik pertama buatan perusahaan Werkspoor Belanda yang sering dijuluki Si
Bon-Bon buatan tahun 1920-an, juga dipajang di salah satu sudut Stasiun Beos. Stasiun
Jakarta Kota berlokasi di Jalan Taman Stasiun Kota No. 1, Jakarta Barat, Propinsi DKI
Jakarta, Indonesia. Telepon (021) 6928515.
Akses menuju stasiun ini cukup mudah, karena Stasiun Beos dilalui oleh ratusan
kendaraan umum, seperti mikrolet, metromini, angkutan kota, taksi, Bus Transjakarta,
dan lain-lain. Kendaraan-kendaran yang bisa digunakan oleh para wisatawan antara lain,
Mikrolet M-15 A jurusan Kota—Tanjungpriok, Mikrolet M-39 jurusan Kota—
Pademangan, dan Metromini 02 Jurusan Muara Karang—Senen. Oleh karena kepadatan
kendaraan yang melintasi Stasiun Beos, masyarakat sekitar sering menjulukinya dengan
nama “terminal bayangan”. Selain akses dari Jakarta, wisatawan juga dapat menempuh
perjalanan menuju Stasiun Jakarta Kota dari stasiun kota di sekitar Jakarta, seperti
Bekasi, Bogor, Bandung, dan lain-lain.
p. Museum Taman Prasasti
Museum Taman Prasasti ini pada awalnya adalah pemakaman umum yang
dididirikan pada akhir
pemerintahan VOC tahun
1795 dengan nama
Pemakaman Kerkhoof
Laan. Lahan seluas 5,5
hektar dimaksudkan
untuk mengantisipasi
kepadatan penduduk Kota
Batavia yang sudah
menjadi kota
perdagangan
internasional.
Kerkhoof Laan dimaksudkan sebagai
pengganti kuburan di samping Gereja Nieuw
Hollandsche Kerk (sekarang menjadi Museum
Wayang) dan Gereja Portugeesche Buitenkerk
(sekarang gereja Sion) yang saat itu sudah penuh
terisi dengan makam.
Tahun 1808 Gubernur Jenderal Daendels
melarang tradisi mengubur jenazah di gereja atau
di atas tanah pribadi. Oleh karena itu, terjadi
pemindahan batu nisan dari kuburan yang ada di
berbagai tempat.
Setelah kemerdekaan Indonesia,
245 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Pemakaman Kerkhoof Laan diubah namanya menjadi Kebun Jahe Kober. Pada Tahun
1975, pemakaman Kebun Jahe Kober ini ditutup. Dengan alasan kebutuhan
pengembangan kota, sebagian dari lahan Kebun Kober dipakai untuk Kantor Walikota
Jakarta Pusat dan Gedung Auditorium Gelanggang Remaja.
Lahan yang semula 5,5 hektar disusutkan menjadi 1,2 hektar. Dari 4600 batu
nisan yang pernah ada di Kerkhoof Laan otomatis berkurang jumlah.
Tempat pemakaman yang masih memiliki nilai artistik ini, pada tanggal 9 Juli
1977 diubah fungsinya menjadi museum dan diresmikan oleh Gubernur Jakarta waktu
itu, Ali Sadikin. Museum Taman Prasasti dibuka untuk umum dengan koleksi prasasti,
nisan, makam, dan patung sebanyak 1.372 yang terbuat dari bahan batu dan perunggu.
Tentunya jenazah yang sudah menjadi tulang telah dipindahkan ke lokasi pemakaman
lain.
Saat ini hanya tinggal 1.242 buah prasasti yang masih tersimpan di dalam
Museum Taman Prasasti. Sebagian prasasti bahkan telah rusak dan disimpan di gudang
museum.
Museum Taman Prasasti adalah satu-satunya museum dengan konsep outdoor,
hampir seluruh prasastinya tidak terlindung dari pengaruh cuaca. Terdapat berbagai
prasasti serta patung dengan gaya arsitektur Belanda. Saat memasuki gerbang museum
kita akan mendapatkan empat pilar bulat pada setiap sudut bangunan. Biasanya pada
dindingnya tergantung berbagai prasasti besar dari batu pualam, tetapi setelah
pemugaran gerbang, prasasti-prasasti tersebut disimpan di gudang.
Memasuki Museum Taman Prasasti, kita akan disambut oleh taman yang bersih
dengan pohon tinggi yang rindang. Tidak terasa keangkeran dari bekas lokasi
pemakaman umum di sana kita dapat menemukan patung-patung artistik ini, antara lain
patung batu marmer “Gadis Berduka” yang menggambarkan seorang gadis sedang
menangis dengan duka yang mendalam di wajahnya. Ada pula patung malaikat yang
sedang berdoa. Bahkan di tengah Museum Taman Prasasti terdapat bangunan
berbentuk seperti Gereja Katedral yang terbuat dari bahan perunggu berwarna
kehijauan.
Patung Marmer Gadis Berduka
Di tempat ini terdapat prasasti dari beberapa tokoh Belanda seperti AV. Michiels (tokoh
perang Buleleng), Dr. WF Stutter Heim (Arkeolog), Dr. HF Roll (Pendiri Sekolah
Kedokteran Stovia – cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Mayor
Jendral JHR Kohler (tokoh perang Aceh), Pieter Erbeveld (tokoh peristiwa Petjah Koelit).
246 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Di samping itu, ada juga prasasti dari tokoh Inggris, yaitu Olivia Marianne Raffles (istri
Thomas Stanford Raffles). Tidak ketinggalan pula ada prasasti tokoh bangsa Indonesia,
antara lain tokoh sandiwara Miss Riboet alias Miss Tjitjih (1900-1965) dan tokoh
Mahasiswa Soe Hok Gie (1942-1969). Selain itu, juga terdapat prasasti dari 38 tentara
Kerajaan Jepang yang gugur pada saat merebut Indonesia dari kekuasaan tentara
Sekutu. Setiap dua kali dalam setahun diadakan upacara ritual keagamaan oleh
komunitas Jepang di Jakarta.
Prasasti 38 Tentara Jepang
Selain peninggalan prasasti, terdapat pula kereta kuda pengangkut peti jenazah yang
digunakan sejak tahun 1825. Selain itu, ada pula peti jenazah Presiden RI pertama Ir.
Soekarno dan Wapres RI pertama Mohammad Hatta. Koleksi Museum Taman Prasasti
juga memiliki miniatur makam khas dari 33 Provinsi di Indonesia.
Kereta Pengangkut Jenazah sejak 1825
Museum Taman Prasasti ini merupakan Taman Pemakaman Umum resmi tertua di
dunia. Oleh karenanya, museum ini tergolong sebagai warisan budaya Indonesia.
Tempat ini merupakan salah satu tempat artistik yang langka di tengah hiruk
pikuk kepadatan penduduk Jakarta. Bagi penggemar fotografi, Museum Taman Prasasti
ini menjadi surga di tengah hutan beton untuk menyalurkan bakat dan kreativitas seni
fotografi anda. Bahkan, pembuatan beberapa video klip musik dibuat di museum ini
dengan memanfaatkan nilai artistik tempat tersebut. Objek wisata Museum Taman
Prasasti ini terletak di Jalan Tanah Abang 1 / 1 Kelurahan Petojo Selatan, Kecamatan
Gambir Jakarta Pusat. Telp 021-3854060.
Untuk menuju lokasi Museum Taman Prasasti dengan kendaraan umum, kita
bisa berangkat dari Stasiun Kereta Api Kota (BEOS), menaiki Mikrolet M08, kemudian
turun di jalan Tanah Abang I dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 300 m. Apabila kita
247 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
menggunakan Busway, maka kita dapat turun di pemberhentian Monumen Nasional,
kemudian berjalan kaki menuju jalan di samping Museum Nasional. Setelah sampai di
perempatan Abdul Muis, kita berbelok ke kanan menuju Jl. Tanah Abang I, kemudian
berbelok ke kiri.
Kalau kita menggunakan kendaran pribadi, dari Jalan MH. Thamrin kita menuju ke arah
gedung Bank Indonesia, kemudian mengambil arah kiri menuju Jl. Budi Kemuliaan
hingga ujung Jl.Abdul Muis. Setelah perempatan lampu merah, kita mengambil arah
kanan hingga menemukan Jl. Tanah Abang I, kemudian belok kiri menuju Museum
Taman Prasasti.
Harga tiket masuknya relatif murah yaitu Rp2.000,00 untuk dewasa,
Rp. 1.000,00 untuk mahasiswa, dan Rp600,00 untuk anak-anak/pelajar. Waktu
beroperasi museum ini pukul 09.00 sampai dengan pukul 15.00 pada hari Selasa s/d
Minggu, sedangkan hari Senin dan hari libur museum ini tutup. Namun jika kita datang
beserta rombongan, kita dapat meminta supaya museum Taman Prasasti dibuka pada
hari libur, tetapi tentunya dengan biaya tambahan.
Apabila kita ingin mengabadikan nilai sejarah Museum Taman Prasasti, kita
dapat menggunakan kamera digital SLR atau kamera dengan kesan profesional untuk
hasil terbaik. Untuk kepentingan tersebut tentunya akan dikenai pungutan tambahan.
2. WISATA MINAT KHUSUS a. Kampung Tugu
Kalau wisatawan berminat mengunjungi kampung tua, sembari menelusuri serpih-serpih bangunan bersejarah yang tersisa, datanglah ke Kampung Tugu, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Kampung yang merupakan peninggalan sejarah Kota Batavia ini, sejak dulu, memang dikenal sebagai kampung yang dihuni oleh tawanan portugis yang telah dibebaskan oleh Pemerintah Belanda. Menurut riwayat, sejak VOC menaklukkan kekuasaan Bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1641 M, para tawanan dan budak Portugis diboyong oleh
Belanda ke pusat kota dagang baru di Batavia. Para budak dan tawanan tersebut terdiri dari orang-orang Portugis dan orang-orang dari daerah yang diduduki oleh Portugis kala itu, seperti Goa, Malabar, Bengal, dan Colomander. Rata-rata, mereka ini beragama Katolik dan menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa percakapan.
Namun, semenjak berada di Batavia, para
budak dan tawanan Portugis ini dimerdekakan oleh Belanda, dengan syarat berpindah agama menjadi Protestan dan mengganti bahasa mereka dengan bahasa Belanda. Istilah untuk menyebut para tawanan dan budak yang dimerdekakan itu dikenal dengan nama “kaum Mardjiker”, yang berarti kaum yang dimerdekakan (dekat dengan kata mardika atau merdeka). Sampai akhir abad ke-18, Pemerintah Belanda di Batavia melarang agama Katolik dipeluk oleh masyarakat Batavia. Namun, baru semenjak penaklukan Perancis atas Batavia pada masa Daendels (tahun 1808 M), Gubernur Batavia saat itu, agama Katolik diperbolehkan.
Setelah memerdekakan para tahanan dan budak Portugis (kaum Mardjiker), pengurus Gereja Batavia dengan persetujuan VOC memindahkan kaum Mardjiker ke sebuah
248 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
kampung yang berjarak sekitar 20 kilometer sebelah tenggara Batavia pada tahun 1661 M. Kampung inilah yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Tugu (Kampung Toegoe). Tidak kurang ada sekitar 22 kepala keluarga—terdiri 150 jiwa—dipindahkan ke Kampung Tugu. Sejak itu, para Mardjiker menetap di Kampung Tugu dan melakukan perkawinan dengan suku-suku lain yang beragama Kristen. Orang Belanda pada saat itu lebih suka menyebut para peranakan kaum Mardjiker ini dengan nama ‘Mustisa‘ (Mestiezen), yang berarti campuran (mestizo). Namun, oleh masyarakat sekitar, penduduk yang menempati Kampung Tugu disebut ‘orang Tugu‘, atau juga disebut ‘orang Serani‘, dengan identifikasi agama Nasrani (Kristen) yang dipeluk oleh mayoritas penduduknya.
Ada beberapa versi tentang asal-usul nama Kampung Tugu. Sejarawan Belanda, De Graff, menyebut nama Tugu berasal dari kata por tugu ese (Portugis), sebutan orang Portugis yang tinggal di kampung itu. Namun, ada juga versi lain yang mengatakan nama Tugu dikaitkan dengan penemuan sebuah prasasti (tugu) batu bertuliskan huruf Pallawa dari masa kekuasaan Raja Purnawarman, Kerajaan Taruma Negara, di sekitar perkampungan tersebut. ‘Tugu‘ sendiri berarti ‘tiang‘, ‘batu bersurat‘, atau ‘batu peringatan‘. Prasasti ini dikenal dengan nama Prasasti Tugu. Sejak tahun 1911 M, Prasasti Tugu dipindahkan ke Museum Nasional (Museum Sejarah Jakarta).
Sebuah lukisan karya F. Dancx (1703 M), yang mengisahkan keluarga keturunan Portugis di
Kampung Tugu yang dilatarbelakangi Gereja Tugu.
Kampung Tugu dikenal oleh masyarakat Batavia, salah satunya, karena keberadaan Gereja Tugu di kampung ini. Konon, gereja ini didirikan seiring dipindahkannya para Mardjiker dari Kota Batavia. Saat di Batavia, para Mardjiker biasanya beribadah di Gereja Sion—dikenal dengan sebutan gereja Portugis Luar Kota (di luar benteng Kota Batavia) atau Gereja Portugis. Namun, semenjak pindah ke Kampung Tugu, para Mardjiker menggunakan Gereja Tugu sebagai sarana ibadahnya. Ada yang menaksir, Gereja Tugu didirikan antara tahun 1676—1678 M, bersamaan dengan pendirian sekolah rakyat pertama kali di Hindia Belanda oleh Melchior Leydekker, seorang doktor ilmu kedokteran dan teologi dari Belanda yang ditempatkan di Kota Batavia. Gereja inilah yang hingga sampai sekarang menjadi landmark Kampung Tugu. Sejak tahun 1970, daerah Kampung Tugu berusaha dijaga kelestariannya oleh pemerintah DKI Jakarta melalui SK Gubernur tahun 1970, yakni radius 600 meter dari Gereja Tugu.
Menyusuri serpih-serpih sejarah di Kampung Tugu sungguh seolah membawa wisatawan ke suasana Kota Batavia jaman dulu. Saat mulai masuk perkampungan, wisatawan akan disuguhi suasana perkampungan, dengan lanskap bangunan-bagunan kuno, jalan, dan sungai/kali. Kali ini oleh masyarakat Tugu dan sekitar disebut Kali Cakung. Dulu, hingga tahun 1960, kali ini masih dipakai untuk jalur transportasi dan masih dimanfaatkan untuk mandi. Namun, sekarang sungai ini tak lagi menjadi jalan transportasi, karena telah mendangkal dan berlumpur. Meskipun begitu, tetap saja sungai ini memberi nuansa tersendiri bagi Kampung Tugu.
249 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Jika telah memasuki perkampungan, wisatawan dapat melongok salah satu landmark kota yang masih tersisa, yakni Gereja Tugu. Gereja yang dapat menampung sekitar 300 jemaat ini terbilang unik. Tidak seperti bangunan lain yang biasanya menghadap jalan, gereja ini justru menghadap sungai Cakung. Hal Ini semakin mengukuhkan bahwa, dulu,
Cakung merupakan jalur lalu-lintas transportasi air utama untuk menuju gereja.
Saat sudah memasuki halaman gereja, pengunjung segera akan melihat bangunan gereja bergaya arsitektur Portugis, berukuran 20x12 meter dengan tinggi sekitar 8 meter. Bentuk bangunannya seperti salib, dan di depan nya terdapat teras dengan empat tiang penyangga yang dikelilingi pagar kayu berkawat berwarna cokelat. Atap gereja
terbuat dari kayu bercat putih, sedangkan lantainya terbuat dari keramik yang berwarna merah polos.
Di dalam ruangan, ada banyak perabot gereja yang tertata secara apik dan rapi. Wisatawan, misalnya, masih dapat melihat kursi kayu panjang yang terbuat dari kayu jati yang diplitur, atau juga mimbar gereja untuk khutbah terbuat dari kayu setinggi dua meter. Di kanan-kiri mimbar terdapat kursi-kursi yang dipagari kayu berwarna cokelat untuk tempat duduk anggota majlis gereja dan grup paduan suara. Sementara itu, di sudut bagian belakang tempat duduk para jemaat juga masih terlihat organ pengiring lagu kebaktian.
Setelah menikmati arsitektur gereja, wisatawan yang berkunjung ke Kampung Tugu juga dapat menikmati peringatan Ritual Mandi-mandi. Meski bernama “mandi”, tak ada kegiatan mandi yang dilakukan dalam acara ini. Ritual Mandi-mandi lebih merujuk pada upacara saling memaafkan di antara warga Kampung Tugu, yang dibumbui kegiatan mencorengkan bedak di antara para warga. Ritual ini merupakan warisan kaum Mardjiker dan diselenggarakan setiap perayaan tahun baru.
Tak hanya itu, wisatawan yang berkunjung ke Kampung Tugu juga dapat menikmati kesenian musik khas bernama Keroncong Tugu. Kesenian ini sering dipentaskan pada berbagai tempat dan kesempatan, seperti pesta perkawinan, ulang tahun, peresmian, jamuan makan, menyambut tamu asing, perayaan Natal, dan perayaan tahun baru. Konon, keroncong ini telah dimainkan sejak tahun 1661 M, tahun kedatangan para Mardjiker di Kampung Tugu. Pada saat itu, kesenian ini masih disebut keroncong asli, karena jenis irama yang masih dipengaruhi Keroncong Portugis. Namun, seiring perkembangan zaman, keroncong ini telah banyak mengadopsi beberapa elemen yang membuatnya berbeda. Hal ini misalnya dapat dilihat pada jenis iramanya yang lebih cepat dan rancak, dikarenakan suara ukulele yang dimainkan dengan cara menggaruk keseluruhan senar secara cepat.
Warisan alat-alat instrumen musik Keroncong, Masyarakat Tugu
Selain itu, di Kampung Tugu wisatawan juga masih bisa melihat beberapa deretan rumah khas Batavia yang berusia ratusan tahun, atau juga beberapa kuburan kuno peninggalan zaman Belanda.
250 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Kampung Tugu secara administratif termasuk Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia. Kampung ini dilalui oleh Jalan Raya Tugu Semper 20 dan Jalan Cakung-Cilincing.
Untuk menuju Kampung Tugu cukup mudah. Jika berangkat dari Stasiun Tanjung Priok, Jakarta Utara, pengunjung cukup mencari angkutan kota bernomor 01 arah jalur Cakung-Cilincing. Setelah itu, wisatawan berhenti di jalan Tugu, kemudian tinggal berjalan kaki, dengan jarak sekitar 250 meter.
Alternatif lain, wisatawan juga dapat memilih angkutan kota 02, dari Stasiun Tanjung Priok, lalu berhenti di belakang Toserba Ramayana. Setelah itu, wisatawan disarankan untuk naik Mikrolet 07, kemudian turun di Pasar Tugu. Dari Pasar Tugu, pengunjung dapat menggunakan angkutan mini nomer 02 (warna merah) yang akan melewati Jalan Raya Tugu. Para pelancong yang berkunjung ke Kampung Tugu tidak dikenai tarif masuk.
b. Kampung Cina
Kampoeng China ini adalah kampung hunian dan niaga di Cibubur, Jakarta Timur. Kampoeng ini adalah salah satu dari hasil kerja sama Pemda Jakarta timur dengan perusahaan asing untuk menyulap area 300 Ha di kawasan wisata Cibubur menjadi Kota
Wisata, Kota Mandiri, dan Town Center. Kampoeng China ini mulai beroperasi pada 14 September 2002. Bangunan, nuansa alam, sampai pernik-pernik yang dijual di kampoeng China ini bernuansa China. Semua produk yang dijual berasal dari China dengan harga mulai ribuan sampai jutaan rupiah. Pada hari biasa, kampoeng ini ramai dikunjungi masyarakat sekitarnya.
Keramaian ini akan bertambah ketika ada perayaan hari raya Imlek. Sebelum memasuki kampoeng ini, pengunjung sudah merasakan nuansa China
yang tercermin pada pintu gerbang berbentuk naga berwarna merah yang disebut gerbang kemakmuran. Setelah itu, pengunjung akan melewati sebuah jembatan melengkung yang disebut Dragon Gate di atas kolam bernuansa China, kemudian sampailah di pusat keramaian yang dinamakan kota terlarang (the forbidden city). Alunan musik Mandarin yang terdengar sejak masuk pintu gerbang hingga ke dalam lokasi utama membawa pengunjung seolah berada di negeri tirai bambu.
Begitu memasuki Kampoeng China ini, pengunjung akan mendapatkan deretan toko yang menjual berbagai macam dagangan khas China: kipas, payung, hiasan dinding,
251 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
meja, jepit rambut, cincin, busana, lampu redup, handuk, tas, sepatu, sandal, barang elektronik, aneka keramik, guji, Hio, ang pao, hingga obat tradisional China. Lorong-lorong yang menghubungkan antarblok dihiasi sejumlah bola-bola lampion.
Jika pengunjung lelah berkeliling menikmati suasana kampoeng China atau berbelanja, pengunjung dapat bersantai di sejumlah bangku sambil menikmati pemandangan antarkios atau taman-taman yang tertata apik dengan sejumlah kolam kecil, atau mencicipi aneka makanan dan minuman yang terjajar di sebuah blok khusus.
Keunikan Kampoeng China ini di antaranya adalah mayoritas bangunan, patung, dan pernik-pernik dagangan berwarna merah menyala. Keunikan lain, sebagian besar pengunjungnya ternyata bukan warga keturunan Tionghoa, melainkan warga pribumi, baik yang berasal dari daerah sekitar maupun dari kota-kota besar lain di Indonesia. Pengunjung tidak hanya bisa berwisata, tetapi juga sambil berbelanja.
Keindahan arsitektur kampoeng China terwujud dalam bangunan 200 kios yang berjejer rapi menjual pernik-pernik China. Bangunan, tradisi budaya, dan kesenian yang disuguhtampilkan membawa imajinasi pengunjung ke budaya dan seni China. Pengunjung akan dibuat takjub dan heran dengan kelengkapan dan nuansa China yang dominan di kampoeng ini.
Kampoeng China terletak di kawasan perumahan Kota Wisata Cibubur, tidak jauh dari bumi perkemahan Cibubur, Jakarta Timur.
Kampoeng China tidak sulit dicari. Dari pusat kota Jakarta, perjalanan dapat ditempuh selama kira-kira 45 menit melalui jalan tol Jakarta, Bogor, dan Ciawi (Jagorawi). Dari Depok, perjalanan bisa ditempuh sekitar 20 menit. Dari Bogor, pengunjung bisa melalui Cileungsi atau jalan tol. Wisata kampoeng China ini dibuka setiap hari, mulai pukul 12.00 – 20.00 WIB. Khusus hari Sabtu dan Minggu dibuka mulai pukul 10.00 WIB.
c. Kebun Binatang Ragunan
Kebun Binatang Ragunan dirancang sebagai kebun binatang terbuka. Dengan koleksi satwanya yang lebih dari 4.000 ekor, terdiri dari 295 jenis, setiap satwa ditangkarkan dalam kandang menurut habitat aslinya. Sekitar 90% satwa di Kebun Binatang Ragunan adalah satwa asli Indonesia.
Sejarah kebun binatang ini dimulai dengan didirikannya kebun binatang pertama yang bernama "Planten En Dierentuin" pada tahun 1864 di Cikini, Jakarta Pusat. Kebun binatang tersebut dikelola oleh Perhimpunan Penyayang Flora dan Fauna di Jakarta (Culturule Vereniging Planten en Dierentuin at Batavia). Luas areanya sekitar 10 hektar yang dihibahkan oleh Raden Saleh, seorang pelukis Indonesia ternama.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1949 namanya diubah menjadi Kebun Binatang Cikini. Akan tetapi, karena areanya terlalu kecil dan tidak cocok untuk penangkaran satwa, maka dicari tempat baru yang lebih luas. Pada tahun 1964, kebun binatang ini dipindah ke tanah seluas 30 hektar di daerah Ragunan (Pasar Minggu), tanah hibah dari Pemerintah DKI Jakarta. Kebun binatang ini kemudian dibuka secara resmi oleh Gubernur DKI Jakarta pada 22 Juni 1966 dengan nama Taman Margasatwa Ragunan. Taman Margasatwa Ragunan ini kemudian diubah lagi namanya menjadi Kebun Binatang Ragunan dengan luas areanya mencapai 140 hektar, jumlah satwa sekitar 295 spesies, dan 4040 spesimen.
Keistimewaan kebun binatang ini adalah pada keberhasilan dalam program penangkaran. Beberapa jenis satwa yang berhasil ditangkarkan antara lain harimau putih, harimau Sumatera, orangutan, komodo, ular python, dan beberapa jenis burung seperti kakatua, bayan, kasuari, dan jenis satwa lainnya. Keistimewaan lainnya adalah udaranya yang
252 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
sejuk, segar, dan teduh karena dikelilingi oleh sekitar 50.000 pohon yang rindang dan telaga yang cukup luas.
Selain itu, kebun binatang ini juga dilengkapi dengan atraksi-atraksi khusus untuk anak-anak, seperti kebun binatang untuk anak-anak dan tempat bermain. Pada hari Minggu atau hari libur lainnya, kebun binatang ini bertambah ramai. Pada hari-hari tersebut, anak-anak dapat menunggang gajah, delman, dan perahu. Salah satu yang menyenangkan dari kebun binatang ini adalah tontonan orangutan-orangutan yang mengelilingi kebun binatang setiap hari dengan menggunakan delman. Kebun Binatang Ragunan terletak di Jl. R.M. Harsono No. 1 Ragunan, Jakarta Selatan.
Jarak Kebun Binatang Ragunan dengan pusat kota Jakarta sekitar 20 km. Kebun binatang ini mudah dijangkau karena banyak dilalui kendaraan umum. Dari Tanah Abang, pengunjung bisa naik Kopaja 19 dan Kopaja 985. Dari Blok M, bisa naik Metromini 77. Dari Kampung Melayu, bisa naik Kopaja 68 dan 602. Dari Depok menggunakan Mikrolet 17 dan KWK 02. Kebun Binatang Ragunan ini dibuka setiap hari, mulai pukul 07.00 – 17.00 WIB
Harga tiket masuk Rp. 4.000/orang, sedangkan anak di bawah usia 3 tahun tidak ditarik biaya (Maret 2008).
Kebun Binatang Ragunan ini menyediakan fasilitas seperti pusat informasi, kereta dorong, delman, restoran, tempat piknik, kios film, dan beberapa pedagang makanan, minuman, buah-buahan, dan cinderamata. Tidak jauh dari lokasi, terdapat hotel dan penginapan. Kebun binatang ini juga menyediakan sarana bermain seperti Taman Satwa Anak, Taman Perahu, Pusat Primata Schmutzer, dan Rakit Wisata. Selain itu, ada atraksi hewan, antara lain gajah tunggang dan onta tunggang, ada juga sirkus dan akrobat hewan, misalnya burung menarik gerobak, linsang bermain bola, dan ular bercanda.
d. Setu Babakan , Perkampungan Budaya Betawi
Setu Babakan adalah sebuah kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi secara
berkesinambungan. Perkampungan yang terletak di selatan Kota Jakarta ini merupakan salah satu objek wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan atau menyaksikan budaya Betawi asli secara langsung. Di perkampungan ini, masyarakat Setu Babakan masih mempertahankan budaya dan cara hidup khas Betawi, seperti membudidayakan ikan dalam keramba, memancing, bercocok tanam, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan membuat
makanan khas Betawi. Melalui cara hidup inilah, mereka aktif menjaga lingkungan dan meningkatkan taraf hidupnya.
Perkampungan yang diapit oleh dua danau (setu atau situ) ini mempunyai luas wilayah sekitar 165 hektar dan didiami setidaknya 3.000 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya adalah orang asli Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian kecil lainnya adalah para pendatang, seperti pendatang dari Jawa Barat dan Kalimantan yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun di daerah ini.
253 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Setu Babakan, sebagai sebuah kawasan Cagar Budaya Betawi, sebenarnya merupakan objek wisata yang terbilang baru. Peresmiannya sebagai kawasan cagar budaya dilakukan pada tahun 2004, yakni bersamaan dengan peringatan HUT DKI Jakarta ke-474. Perkampungan ini dianggap masih mempertahankan dan melestarikan budaya khas Betawi, seperti bangunan, dialek bahasa, seni tari, seni musik, dan seni drama.
Dalam sejarahnya, penetapan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 1996. Sebelum itu, Pemerintah DKI Jakarta juga pernah berencana menetapkan kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi, namun urung dilakukan karena seiring perjalanan waktu perkampungan tersebut semakin luntur dari nuansa budaya Betawi-nya. Dari pengalaman ini, Pemerintah DKI Jakarta kemudian merencanakan kawasan baru sebagai pengganti kawasan yang sudah direncanakan tersebut. Melalui SK Gubernur No. 9 tahun 2000 dipilihlah perkampungan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sejak tahun penetapan ini, pemerintah dan masyarakat mulai berusaha merintis dan mengembangkan perkampungan tersebut sebagai kawasan cagar budaya yang layak didatangi oleh para wisatawan. Setelah persiapan dirasa cukup, pada tahun 2004, Setu Babakan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sebelum itu, perkampungan Setu Babakan juga merupakan salah satu objek yang dipilih Pacifik Asia Travel Association (PATA) sebagai tempat kunjungan wisata bagi peserta konferensi PATA di Jakarta pada bulan Oktober 2002.
e. Taman Mini Indonesia Indah
Gagasan pembangunan suatu miniatur yang memuat kelengkapan Indonesia dengan segala isinya ini dicetuskan oleh Ibu Negara, Siti Hartinah, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Tien Soeharto. Gagasan ini tercetus pada suatu pertemuan di Jalan Cendana no. 8 Jakarta pada tanggal 13 Maret 1970. Melalui miniatur ini diharapkan dapat membangkitkan rasa bangga dan rasa cinta tanah air pada seluruh bangsa Indonesia. Maka dimulailah suatu proyek yang disebut Proyek Miniatur Indonesia "Indonesia Indah", yang
dilaksanakan oleh Yayasan Harapan Kita. TMII mulai dibangun tahun 1972 dan diresmikan pada tanggal 20 April 1975.
Berbagai aspek kekayaan alam dan budaya Indonesia sampai pemanfaatan teknologi modern diperagakan di areal seluas 150 hektar.
254 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Berbagai macam fasilitas dan sarana yang disediakan di Taman Mini Indonesia Indah
dapat di deskripsikan sebagai berikut :
Anjungan daerah Di Indonesia, hampir setiap suku bangsa memiliki bentuk dan corak bangunan yang berbeda, bahkan tidak jarang satu suku bangsa memiliki lebih dari satu jenis bangunan tradisional. Bangunan atau arsitektur tradisional yang mereka buat selalu dilatarbetakangi oleh kondisi lingkungan dan kebudayaan yang dimiliki. Di TMII, gambaran tersebut diwujudkan melalui Anjungan
Daerah, yang mewakili suku-suku bangsa yang berada di 33 propinsi Indonesia.
Sarana rekreasi Di TMII juga disediakan beberapa sarana rekreasi yang dapat dinikmati oleh setiap pengunjung TMII. Sarana rekreasi tersebut adalah sebagai berikut :
Istana Anak-anak Indonesia Keong Mas Istana Anak-anak Indonesia Kereta gantung Perahu Angsa Arsipel Indonesia Taman Among Putro Taman Ria Atmaja Taman Renang Ambar Tirta Teater IMAX Keong Emas
Di Teater IMAX Keong Mas diputar berbagai film mulai dari film bertemakan lingkungan dan nusantara sampai film-film box office yang resolusinya diubah menjadi khusus untuk teater IMAX. Beberapa diantaranya adalah Harry Potter and the Prisoner of Azkaban , dan Spiderman 2 .
Desa Wisata Teater Tanah Airku Snow Bay, kolam renang
Taman Di TMII terdapat berbagai macam taman yang menunjukkan keindahan flora dan fauna Indonesia seperti taman anggrek, taman melati, kolam akuarium air tawar dan taman burung.
Museum Museum yang ada diperuntukkan untuk memamerkan sejarah, budaya dan teknologi seperti Museum Indonesia, Museum Pusaka, Museum Transportasi, dan Pusat Peragaan IPTEK.
f. Taman Impian Jaya Ancol
255 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Sebagai kawasan wisata, Taman Impian Jaya Ancol ternyata sudah berdiri sejak abad ke-17. Waktu itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Adriaan Valckenier, memiliki rumah peristirahatan sangat indah di tepi pantai. Seiring perjalanan waktu, kawasan itu kemudian berkembang menjadi tempat wisata.
Sayangnya, ketika Perang Dunia II meletus disusul perang kemerdekaan, Ancol terlupakan. Sungai Ciliwung secara leluasa menumpahkan air dan lumpurnya ke sana sehingga mengubah kawasan tersebut menjadi kotor, kumuh, dan berlumpur. Kawasan yang semula cantik, berubah menjadi menyeramkan bagaikan 'tempat jin buang anak'.
Lalu, muncul usulan agar kawasan itu difungsikan menjadi daerah industri. Namun, usul itu ditolak mentah-mentah oleh Presiden Soekarno. Malah, Bung Karno ingin membangun kawasan itu sebagai daerah wisata. Lewat Keputusan Presiden pada akhir Desember 1965, Bung Karno memerintahkan kepada Gubernur DKI Jaya waktu itu, dr. Soemarno, sebagai pelaksana pembangunan proyek Taman Impian Jaya Ancol. Proyek pembangunan ini baru terlaksana di bawah pimpinan Ali Sadikin yang ketika itu menjadi Gubernur Jakarta. Pembangunan Ancol dilaksanakan oleh PD Pembangunan Jaya di bawah pimpinan Ir. Ciputra. Objek wisata di Ancol :
Dunia Fantasi
Gelanggang Samudra
Atlantis Water Adventure - gelanggang renang terbesar di Ancol. Banyak fasilitas permainan seperti seluncur dengan ketinggian kurang lebih 15-20m. Di salah satu bagiannya, ada sebuah kolam yang pada saat-saat tertentu membuat gelombang besar sehingga semua orang di dalam kolam tersebut terasa seperti ada di laut
Pasar Seni
Seaworld Indonesia
Marina
Pantai Carnaval
Pantai Festival
Taman Pantai
Hailai Mercure
Padang Golf Ancol
Kereta Gantung Gondola
Ice World
Pulau Bidadari
3. WISATA BELANJA a. Pasar Glodok
Daerah Glodok merupakan salah satu saksi sejarah yang mengiringi pendirian Kota Batavia. Pada masa pemerintahan Belanda di Batavia, daerah Glodok memang dikenal masyarakat sebagai salah satu daerah pecinan, karena mayoritas penduduknya ketururunan Tionghoa. Nama Glodok sendiri diambil dari suara air pancuran dari sebuah gedung kecil persegi delapan di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota Lama (Stadhuis)—pusat pemerintahan kumpeni Belanda (VOC) di Kota Batavia. Saat ini, Balai Kota Lama telah menjadi bangunan yang dikenal dengan nama Museum Sejarah Jakarta. Menurut sejarah, gedung persegi delapan ini dibangun pada tahun 1743 M dan sempat dirubuhkan, kemudian dibangun kembali pada tahun 1972.
Cerita yang beredar mengatakan, di gedung persegi delapan tersebut terdapat sebuah pancuran yang mengalirkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Selain untuk kebutuhan minum para serdadu Belanda, aliran air ini juga dimanfaatkan sebagai cadangan minum bagi kuda-kuda serdadu seusai mengadakan perjalanan jauh. Bunyi air pancurannya, grojok..grojok..grojok, oleh masyarakat diambil untuk menyebut kawasan tersebut dengan nama Glodok. Sedangkan kata ‘pancuran‘ dijadikan nama sebuah daerah yang kini dikenal sebagai daerah Pancoran, atau juga disebut Glodok Pancoran. Hingga saat ini kedua nama ini masih akrab di telinga masyarakat Jakarta. Pancoran dikenal sebagai daerah lokalisasi perjudian, sedangkan Glodok dikenal sebagai pusat perdagangan (pasar) barang-barang elektronik.
256 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Daerah Glodok pada tahun 1872 M
Sumber Foto: http://kamalmisran.wordpress.com Sejak masa berdirinya, Pasar Glodok telah beberapa kali mengalami perbaikan dan
renovasi, karena terjadi kerusakan, kebakaran, dan kerusuhan massal. Pada masa Reformasi, tepatnya 13—14 Mei 1998, pasar ini dijadikan sasaran amuk massa yang paling parah. Banyak toko yang dijarah dan dibakar oleh massa karena faktor sentimen etnis. Selain itu, pada tanggal 13 Mei 2000, pasar ini juga kembali dirusak dan dibakar massa, setelah Mabes Polri secara paksa melakukan razia terhadap para penjual VCD porno. Konon, kerusuhan ini dimaksudkan untuk menggoyang kedudukan Presiden Abdurrahman Wahid yang berkuasa saat itu. Rentetan kerusuhan massa inilah yang menyebabkan Pasar Glodok mengalami renovasi dan pembangunan kembali. Saat ini, Pasar Glodok telah memiliki bangunan baru yang secara administratif dikelola oleh PD Pasar Jaya, dengan bentuk bangunan modern (Mall Glodok), layaknya pusat-pusat perbelanjaan modern lainnya.
Berwisata belanja ke Pasar Glodok sungguh dapat memberi keuntungan tersendiri. Di Pasar ini, pengunjung dapat memilih ragam barang elektronik dengan berbagai model yang dijual dengan harga miring, seperti alat penyejuk ruangan (AC), lemari es (kulkas), personal computer, kamera digital, kamera analog, notebook, pemutar musik digital mini, VCD dan DVD player, televisi, radio, play station portable, dispenser, car music audio player, alat pembersih debu lantai, kabel listrik, kawat baja, pemotong pipa, filter air, alat pengelas, genset, dan masih banyak lainnya. Saat membeli barang-barang elektronik di sini, pengunjung disarankan untuk menawar harga yang telah ditentukan penjual. Jika pengunjung lihai, harga tawarnya bisa turun hingga Rp 5.000—10.000, dari harga yang ditetapkan.
Barang-barang elektronik di pasar ini rata-rata diimpor dari Singapura, Cina, Jepang, Eropa, dan Amerika. Selain terkenal dengan pusat penjualan barang-barang elektorik, Pasar Glodok juga terkenal sebagai pusat penjualan VCD dan DVD bajakan. Di pasar ini tersedia berbagai VCD dan DVD untuk format film, lagu, mp-3, mp-4, dan lain-lain. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum, kalau Pasar Glodok merupakan surganya VCD dan DVD porno, baik yang bajakan maupun asli. Ragam keping VCD dan DVD ini dijual dengan harga yang cukup murah dan dapat ditawar.
257 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Suasana jual beli VCD dan DVD di Pasar Glodok
Sumber Foto: ovancantfort Perlu diketahui, Pasar Glodok juga terkenal sebagai pasar yang mayoritas
penjualnya keturunan Cina yang telah menghuni Nusantara—khususnya Batavia—selama ratusan tahun. Memang, daerah Glodok, sejak zaman Batavia, sangat terkenal sebagai daerah pecinan. Konon, Belanda sengaja mensegregasi penduduk pribumi dan asing di Nusantara menjadi beberapa lapisan, yakni pribumi, timur asing (China, Arab, India, dan lain-lain), dan Eropa (Belanda, Portugis, dan lain-lain). Bahkan, penduduk pribumi dibagi lagi berdasarkan hubungan kesukuan. Pada pembagian ini, masyarakat pribumi (Hindia Belanda) ditempatkan pada strata sosial terendah.
Jejak-jejak pemisahan strata sosial ini masih terasa hingga sekarang. Tak aneh misalnya, di Pasar Glodok, para penikmat wisata belanja dapat melongok keindahan arsitektur khas Cina yang telah berbaur dengan gaya lokal. Sejak mengalami renovasi terakhir, tahun 2000, bangunan Pasar Glodok masih mempertahankan arsitektur Cina, sebagai ciri utamanya. Hal ini untuk mempertahankan keserasian dengan beberapa bangunan khas Cina yang masih bertahan di daerah Glodok.
Perayaan Cap Go Meh di daerah Glodok
Sumber Foto: linasari-tjioe Jika mau melanjutkan perjalanan wisatanya, wisatawan dapat mengunjungi tempat-
tempat bersejarah lain yang lokasinya tidak jauh dari pasar ini, seperti Museum Sejarah Jakarta dan Stasiun Beos.
Pasar Glodok secara administratif termasuk dalam Kelurahan Glodok, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia, 11120.
258 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
Akses menuju Pasar ini cukup mudah, karena Glodok dilalui oleh berbagai kendaraan umum seperti, angkutan kota (angkot), metromini, tukang ojek, bus Transjakarta, dan bajai. Jika berangkat dari Stasiun Kota (Stasiun Beos), wisatawan bisa menggunakan angkutan kota menuju arah Pasar Tanah Abang. Setelah sekitar 15 menit, pengunjung akan sampai di lokasi Pasar Glodok.
b. Pasar Tanah Abang
Siapa yang tidak tahu Pasar Tanah Abang yang terletak di Jln KH Mas Mansyur
Jakarta Pusat itu ? Terkenalnya Pasar Tanah Abang tidak hanya di Jakarta, tetapi juga luar kota Jakarta, Luar Pulau Jawa bahkan luar negeri mengenalnya sebagai pusat grosir kain di
jaman dahulu sampai sekarang. Tapi sekarang ini Pasar Tanah
Abang lebih dikenal sebagai Pusat Grosir selain kain, juga pusat grosir baju muslim atau busana muslim, grosir jilbab dewasa maupun jilbab anak-anak dan masih banyak macam produk lagi.
Perkembangan beberapa tahun ini
oleh pemda Jakarta dibangunlah dan di modernisasi Pasar Tanah Abang menjadi gedung perbelanjaan bertingkat 10 yang mewah dan modern serta nyaman yang dilengkapi air conditioner yang menjadikan pelanggan semakin betah berlama-lama belanja di Tanah Abang. Dengan jumlah kios yang lebih dari 10.000 dan suasana gedung Pasar Tanah Abang sudah modern dan nyaman tetapi tidak menjadikan harga jual produk2 kain, baju muslim, busana muslimah dan jilbab2 jadi mahal, tetap saja harga masih murah, terutama yang membeli dalam partai atau grosir. semakin ramenya Pasar Tanah Abang, dimana yang berbelanja berdatangan dari pelosok Indonesia dan dari luar negeri, menjadikan jasa pengiriman barang dan cargo (courier) sangat ramai sekali. Bayangkan dengan omzet harian puluhan milyar terjadi di Pasar Tanah Abang, yang nota bene banyak berasal dari luar kota, berapa jumlah uang yang mengalir lewat jasa pengiriman barang dan cargo tersebut ?
259 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
4. WISATA BUDAYA a. Gedung Kesenian Jakarta
Gedung Kesenian Jakarta merupakan bangunan tua peninggalan bersejarah pemerintah Belanda yang hingga sekarang masih berdiri kokoh di Jakarta Pusat. Gedung ini adalah tempat para seniman dari seluruh Nusantara mempertunjukkan hasil kreasi seninya, seperti drama, teater, film, sastra, dan lain sebagainya. Bangunan besar berwarna putih ini
dibangun pada tahun 1802 M. Ide pendirian gedung ini berasal dari Gubernur Jenderal Belanda bernama Daendels, namun realisasinya baru dilakukan oleh Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles, pada tahun 1814 M.
Dahulu, pada masa penjajahan Belanda, gedung ini berfungsi sebagai teater kota (stadtsschouwburg) dan dikenal dengan sebutan
Gedung Komedi. Namun, sejak Pemerintah Jepang mengambil alih pengelolaannya, gedung ini kemudian dijadikan sebagai markas tentara yang dikenal dengan nama Kiritsu Gekitzyoo. Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, tepatnya pada tanggal 29 Agustus 1945, pengelolaan gedung ini diambil alih oleh Pemerintah Indonesia.
Gedung ini juga merupakan saksi sejarah penting perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaanya. gedung ini pernah dipakai oleh Ir. Sukarno sebagai tempat meresmikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan digunakan sebagai tempat bersidang KNIP. Sebelum itu, gedung ini juga pernah digunakan untuk Konggres Pemoeda yang pertama pada tahun 1926.
Setelah itu, antara tahun 1968 hingga 1984, gedung tua ini beralih fungsi menjadi gedung bioskop dan juga digunakan sebagai ruang perkuliahan malam mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Hukum, Universitas Indonesia. Baru setelah dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No. 24/1984, gedung tua ini kemudian dipugar dan dikembalikan kepada fungsinya semula menjadi gedung kesenian yang bernama resmi Gedung Kesenian Jakarta.
Sebagai sebuah tempat pertunjukan seni, gedung Kesenian Jakarta memiliki fasilitas yang bagus dan memadai, di antaranya ruang pertunjukan berukuran 24 x 17.5 meter dengan kapasitas penonton sekitar 475 orang, panggung berukuran 10,75 x 14 x 17 meter, peralatan tata cahaya, kamera (CCTV) di setiap ruangan, TV monitor, ruang foyer berukuran 5,80 x 24 meter, serta fasilitas outdoor berupa electric billboard untuk keperluan publikasinya. Di samping itu, gedung kesenian ini juga menerbitkan media publikasi, seperti newsletter, rekaman audio, dan rekaman video.
Gedung Kesenian Jakarta biasa menampilkan pertunjukan seni, baik berupa kesenian tradisional, modern, maupun kontemporer. Wisatawan yang mengunjungi gedung ini dapat menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seni, seperti teater, film, wayang, drama, tari tradisonal, pembacaan puisi, pertunjukan musik, dan masih banyak pertunjukan lainnya. Salah satu pesta/festival yang pernah diselenggarakan di gedung ini adalah Jakarta
260 Kepariwisataan : Provinsi DKI Jakarta
International Festival pada tanggal 20 Agustus—5 September 2004. Festival besar ini salah satunya menampilkan pagelaran musik jazz. Pagelaran ini dimeriahkan oleh kelompok musik jazz ternama yang berasal baik dari dalam maupun luar negeri, di antaranya adalah kelompok Chicago Jazz Quartet (CJQ) dari Amerika Serikat, Bujana-Balawan dan Batuan Ethnic Fusion, dan grup Krakatau dari Indonesia.
Selain dapat menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seni, wisatawan juga dapat berkunjung ke gedung ini untuk sekedar bersantai di akhir pekan, yakni pada hari Sabtu dan Minggu. Pada akhir pekan biasanya para seniman meluangkan waktunya untuk berkumpul di gedung kesenian ini.
Gedung Kesenian Jakarta berlokasi di Jl. Gedung Kesenian No.1, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia. Gedung Kesenian Jakarta terletak di jantung Kota Jakarta. Tidak sulit mengunjungi gedung ini, karena sudah banyak kendaraan umum yang tersedia menuju lokasi, seperti metromini, bus Transjakarta, bajai, dan lain-lain.
Wisatawan yang ingin menonton pertunjukan-pertunjukan seni di Gedung Kesenian Jakarta dikenai biaya masuk yang bervariasi. Biaya masuk tersebut disesuaikan dengan jenis pertunjukan yang biasanya sudah ditentukan tarifnya sebelum pertunjukan dimulai.