PERUMAHAN SWADAYA KONSEP, PEMBELAJARAN DAN PRAKTEK UNGGULAN Oswar Mungkasa 1 I. PENDAHULUAN Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia bahkan Persatuan bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan rumah sebagai hak asasi manusia. Hal ini didasari oleh prinsip bahwa hak untuk hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah tercapai kecuali semua hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak untuk bekerja, makan, rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi (adequately) dan tersedia (available) bagi setiap orang. Pengakuan terhadap hal ini tercantum dalam berbagai perjanjian dan regulasi baik internasional maupun di Indonesia sendiri. Sebagai konsekuensinya maka negara memiliki kewajiban untuk mengakui hak setiap warga negara atas standar hidup yang layak yaitu meliputi kecukupan atas makanan, pakaian dan perumahan serta senantiasa meningkatkan perbaikan kondisi penghidupan secara terus-menerus. Namun data menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia yang belum menempati rumah yang layak huni 2 . Hal ini menunjukkan bahwa Negara yang diwakili oleh pemerintah dan pemangku kepentingan ternyata belum berhasil memenuhi hak warga negara terhadap kebutuhan perumahan. Kondisi ini menjadi isu utama sejak beberapa dekade terakhir terkait pembangunan perumahan. Disadari oleh semua pihak bahwa penanganan isu ini tidak akan dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah, dengan berbagai keterbatasan baik pendanaan maupun kapasitas sumber daya manusia. Untuk itu, terbuka peluang keterlibatan para pemangku kepentingan mulai dari pengembang, komunitas, dan individu masyarakat. Bahkan fakta menunjukkan bahwa kontribusi masyarakat baik pada tingkat komunitas maupun individu dalam pembangunan perumahan sangat siginfikan. Tidak terdapat data yang pasti tetapi UN-Habitat menunjukkan bahwa sekitar 70 persen investasi perumahan di negara-negara berkembang dilakukan oleh masyarakat, 1 Staf Bappenas. Penulis pernah bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat (2010-2012). 2 Data ini dikeluarkan oleh Kemenpera dan merupakan hasil extrapolasi dari data RPJMN 2010-2014. Diperkirakan pertambahan backlog sekitar 800 ribu per tahun. Sementara BPS menyatakan bahwa rumah tangga yang belum memiliki rumah layak huni mencapai sekitar 13,6 juta rumah tangga. Perbedaan mendasar adalah pada konsep memiliki (BPS) dan menghuni (Kemenpera).
26
Embed
Perumahan Swadaya. Konsep, Pembelajaran dan Praktek Unggulan
Menjelaskan tentang perumahan swadaya sebagai bahan masukan pengambil keputusan khususnya yang berada di pemerintahan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERUMAHAN SWADAYA
KONSEP, PEMBELAJARAN DAN PRAKTEK UNGGULAN
Oswar Mungkasa1
I. PENDAHULUAN
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia bahkan Persatuan
bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan rumah sebagai hak asasi manusia. Hal ini didasari oleh
prinsip bahwa hak untuk hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah tercapai
kecuali semua hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak untuk bekerja,
makan, rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi (adequately) dan tersedia
(available) bagi setiap orang. Pengakuan terhadap hal ini tercantum dalam berbagai perjanjian
dan regulasi baik internasional maupun di Indonesia sendiri.
Sebagai konsekuensinya maka negara memiliki kewajiban untuk mengakui hak setiap
warga negara atas standar hidup yang layak yaitu meliputi kecukupan atas makanan, pakaian dan
perumahan serta senantiasa meningkatkan perbaikan kondisi penghidupan secara terus-menerus.
Namun data menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia yang
belum menempati rumah yang layak huni2. Hal ini menunjukkan bahwa Negara yang diwakili
oleh pemerintah dan pemangku kepentingan ternyata belum berhasil memenuhi hak warga
negara terhadap kebutuhan perumahan. Kondisi ini menjadi isu utama sejak beberapa dekade
terakhir terkait pembangunan perumahan.
Disadari oleh semua pihak bahwa penanganan isu ini tidak akan dapat dilaksanakan
sendiri oleh pemerintah, dengan berbagai keterbatasan baik pendanaan maupun kapasitas sumber
daya manusia. Untuk itu, terbuka peluang keterlibatan para pemangku kepentingan mulai dari
pengembang, komunitas, dan individu masyarakat. Bahkan fakta menunjukkan bahwa kontribusi
masyarakat baik pada tingkat komunitas maupun individu dalam pembangunan perumahan
sangat siginfikan. Tidak terdapat data yang pasti tetapi UN-Habitat menunjukkan bahwa sekitar
70 persen investasi perumahan di negara-negara berkembang dilakukan oleh masyarakat,
1 Staf Bappenas. Penulis pernah bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat (2010-2012).
2 Data ini dikeluarkan oleh Kemenpera dan merupakan hasil extrapolasi dari data RPJMN 2010-2014. Diperkirakan
pertambahan backlog sekitar 800 ribu per tahun. Sementara BPS menyatakan bahwa rumah tangga yang belum memiliki rumah
layak huni mencapai sekitar 13,6 juta rumah tangga. Perbedaan mendasar adalah pada konsep memiliki (BPS) dan menghuni
(Kemenpera).
khususnya dalam bentuk rumah tumbuh (progressive housing/incremental shelter). Bahkan di
Indonesia jumlahnya mencapai 90-95 persen (UN-Habitat, 2005). Selengkapnya pada Tabel 1.
Tabel 1
Proporsi Rumah Swadaya dibandingkan Pendapatan Nasional Bruto (PNB)/Kapita
Negara
Perkiraan
Proporsi Rumah
Swadaya (%)
Pendapatan Nasional
Bruto/Kapita (PPP $)
(WHO, 2006)
Sumber Data
Nikaragua 85 2.720 Pemerintah Nikaragua (2005)
Indonesia 90-95 3.310 UN Habitat (1993)
Peru 70 6.490 De Soto (2000)
Meksiko 50 11.990 Potter dan Lloyd-Evans (1991)
Sumber: UN Habitat, 2005.
Hal ini menunjukkan peran masyarakat sendiri dalam pemenuhan rumah tidak dapat
diabaikan. Keterlibatan masyarakat ini yang kemudian di label menjadi rumah swadaya, yang
secara sederhana diartikan sebagai upaya masyarakat baik secara individu maupun berkelompok
dalam memenuhi kebutuhannya terhadap rumah.
Kondisi ini yang memungkinkan pemerintah menjadikan perumahan swadaya sebagai
salah satu ujung tombak pemenuhan hak asasi masyarakat. Namun disadari sepenuhnya bahwa
masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan untuk menjadikan perumahan swadaya
berjalan efektif dan efisien. Dibutuhkan suatu skenario yang menyeluruh mulai dari paradigma,
prinsip dasar, kebijakan, strategi, peta jalan, sampai pada kebutuhan pendanaan dan sumber daya
manusia yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan.
II Sejarah dan Perkembangan Perumahan Swadaya3
2.1 Awal Berkembangnya Perumahan Swadaya
Perumahan swadaya terlihat seperti sesuatu yang baru terutama ketika John Turner
memformulasikan pemikiran perumahan swadaya pada tahun 1960an (Harris, 1998). Fakta
menyatakan bahwa perumahan swadaya merupakan hal yang sama tuanya dengan kehidupan
manusia (Pugh, 2001). Bahkan dikatakan bahwa perumahan swadaya telah dipraktekkan jauh
sebelum perencanaan kota diperkenalkan yaitu pada awal tahun 1900, bahkan jauh sebelumnya.
Menurut Mathey (1992) and Tait (1997), sejarah skema perumahan swadaya, khususnya
di Negara berkembang dimulai tahun 1930an ketika institusi pemerintah AS melaksanakan
percontohan di Puerto Rico, Kolombia dan Chili. Keivani and Werna (2001) mendukung
pernyataan ini dengan menyatakan bahwa di banyak tempat di Afrika penduduk membangun
sendiri rumahnya seperti skema yang dikenal sekarang sebagai perumahan swadaya. Jadi
sejatinya John Turner hanya memperkenalkan skema perumahan swadaya, dalam bentuk yang
3 Dalam literatur perumahan swadaya dikenal dengan istilah self-help housing.
lebih ilmiah. Bahkan sebelum perang dunia II, dikenal Jacob L. Crane sebagai penyuara teori
dan praktek perumahan swadaya melalui tulisan dan beberapa proyeknya. Namun kemudian
upaya dan tulisannya terlupakan (Harris, 1998).
Peningkatan penerimaan terhadap kebijakan perumahan swadaya di Negara berkembang
sejak tahun 1960an tanpa didahului pelaksanaan uji coba sebelumnya. Disadari bahwa pemikiran
Turner lah yang banyak mempengaruhi. Sepertinya terdapat dua hal yang berpengaruh terhadap
pengembangan perumahan swadaya di dekade 1960 dan 1970. Menurut Harris (2003), para ahli
PBB memegang peran utama. Pengetahuan mereka terakumulasi dan ditularkan setelah perang
dunia II. Institusi riset juga memegang peran (Turner, 1976). Jadi pemikiran Turner sebagai
pemicu dan pendorong, sementara berbagai pihak mempraktekkannya di lapangan. Pemikiran
Turner yang merubah persepsi umum menjadi perumahan swadaya sebagai alternatif penyediaan
perumahan masyarakat miskin (Harris, 2003).
Dari literatur yang ada, dapat dibedakan tiga bentuk perumahan swadaya, (i) swadaya
mandiri (laissez-faire self-help), senyatanya tanpa campur tangan pemerintah; (ii) swadaya
berbantuan pemerintah (state-aided self-help), berupa skema penyediaan prasarana, sarana dan
utilitas (PSU) oleh pemerintah, dan (iii) swadaya terlembaga (institutionalized self-help), campur
tangan pemerintah melalui lembaga perumahan (Ntema, 2011).
Perkembangan perumahan swadaya banyak berkutat pada perumahan swadaya
berbantuan. Didasari pada pemahaman bahwa pemerintah seharusnya menolong warganya
membangun tempat tinggalnya. Pertama kali hal ini dilaksanakan di Swedia pada tahun 1904
ketika pemerintah menciptakan program pinjaman perumahan ke pemilik tempat tinggal.
Kemudian, beragam program perumahan swadaya bermunculan sepanjang tahun 1920-an di
Eropa barat dan Uni Sovyet. Namun hanya sedikit yang bertahan seperti di Stockholm dan Wina.
Dekade beikutnya, berbagai Negara mencoba melaksanakan program perumahan swadaya
dengan tujuan menyediakan rumah layak huni yang terjangkau bagi rumah tangga miskin seperti
di Perancis, Jerman, Yunani, dan Finlandia (Harris, 1998). Perumahan swadaya di Eropa Barat
sebagian besar dilaksanakan ketika krisis ekonomi setelah perang, khususnya di Jerman (Harms,
1982). Di AS, program ini mendukung keluarga miskin di perdesaan dalam bentuk perumahan
swadaya gotong royong (mutual self-help housing). Namun program sejenis yang dianggap
paling berhasil adalah di Kanada (Schulist dan Harris, 2002).
Memasuki era 1940an dan 1950an, perumahan swadaya berbantuan di AS dimulai tahun
1939 ketika Otoritas Perumahan Ponce (Puerto Rico) memulai skema lahan dan PSU (sites and
services), dengan konsekuensi pemerintah menyediakan lahan dan sertifikatnya kepada keluarga,
dan memberikan beragam bentuk bantuan teknis bagi perumahan penduduk miskin (Harris,
1998). Program sejenis juga dilaksanakan Negara lain dalam rangka memerangi masalah
perumahan dengan biaya sekecil mungkin. Setelah tahun 1945, program ini disebarkan oleh
institusi pemerintah di AS, utamanya oleh Jacob Crane dan menyusul PBB. Jacob Crane lah
yang pertama kali memperkenalkan istilah ‘aided self-help’ (perumahan swadaya berbantuan)
dan dikaitkan awalnya dengan perdesaan dan upaya meminimalkan urbanisasi. Kemudian diikuti
oleh Negara Amerika Latin. Di India dan Afrika Selatan, program ini telah dikenali sejak akhir
tahun 1940.
Perumahan swadaya berbantuan dianggap lengkap karena mencakup pandangan liberal
tetapi juga terdapat komponen sosial, tetapi terutama terlihat berseberangan dengan perumahan
publik.
Sebelum tahun 1960, perumahan swadaya sering dilihat sebagai masalah sosial dan
penggambaran kemiskinan perkotaan. Pada tahun 1960, Anthropolog Amerika William Mangin
dan Arsitek Inggris John Turner, keduanya bekerja di Peru, tertarik terhadap perumahan swadaya
yang digambarkan sebagai fenomena positip terkait perumahan sosial, khususnya di permukiman
kumuh Peru (Fernandez-Maldonado, 2007). Berbeda dengan Negara Amerika Latin lainnya,
Peru dan Kolombia sudah terbiasa dengan perumahan swadaya berbantuan sejak awal tahun
1940 (Harris, 1998). Bahkan di Peru, sejak tahun 1956 perumahan swadaya telah banyak
dipraktekkan4. Implementasi Undang-Undang Perumahan di Peru tahun 1961 banyak terbantu
oleh dukungan dari Inter-American Development Bank. Pada saat itu, John Turner merupakan
penulis terkenal tentang isu perumahan swadaya melalui tulisannya ‘Peru Experiences’
(Bredenoord, 2011).
Sebagai konsekuensi hasil karya Mangin dan Turner, sejak awal tahun 1970 Bank Dunia
mulai membiayai penyediaan tempat tinggal dan lahan bagi rumah tangga miskin. Pinjaman
berbunga rendah ditawarkan termasuk pinjaman bergaransi, subsidi, rencana rumah standar, dan
petunjuk konstruksi. Pada tahapan ini, uji coba skema ‘lahan dan layanan dasar’ (sites-and-
services) digiatkan dan mereplikasinya kemudian. Namun upaya ini kurang berhasil karena
replikasi membutuhkan pemulihan biaya (cost recovery) tetapi pengembaliannya kurang
berhasil, penerima manfaat tidak tergerak membayar kembali dan secara politis tidak didukung
pemerintah. Kelihatannya komitmen masyarakat terbatas.
Sejak awal tahun 1980, sikap optimis terhadap perumahan swadaya berbantuan mulai
berubah. Pertama, memperoleh lahan relatif sulit, kecuali pada saat dilaksanakan di Peru (lahan
dimiliki oleh pemerintah). Selanjutnya dibutuhkan investasi yang cukup besar untuk PSU.
Menjadi jelas bahwa perumahan swadaya berbantuan dengan lahan, layanan dasar, rumah inti,
dan rencana penanganan kumuh, bukan merupakan satu-satunya jawaban bagi masalah
perumahan (Mathey, 1992). Penyediaan tempat tinggal oleh pemerintah tidak realistis, tetapi
input pemerintah dapat beragam seperti bantuan teknis, penyediaan lahan baik berupa bank tanah
maupun ‘land pooling’.
Setelah tahun 1992, perumahan swadaya sepi peminat. Tema perumahan berubah
menjadi lebih luas seperti Habitat, dan pendekatan skala kota. Pada era 1990an, kecenderungan
privatisasi mempengaruhi visi pemerintah, dan perumahan dipandang sebagai barang privat,
sekedar tanggungjawab keluarga. Secara umum, di dunia internasional kepedulian terhadap
perumahan swadaya menurun tajam sejak tahun 1980an. Terkecuali di Afrika Selatan, karena
krisis perumahan tahun 1994, perumahan swadaya memperoleh perhatian kembali. Pemerintah
4 Pada tahun 1961, di Peru diluncurkan undang-undang yang mengatur tentang permukiman informal dan secara
tersistematis mempromosikan konsep rumah swadaya.
Afrika Selatan menyediakan skema lahan dan layanan dasar termasuk rumah inti sementara
penduduk meningkatkan luasan dan kualitas tempat tinggal mereka sendiri di kemudian hari
(Bredenoord, 2011).
Teori perumahan swadaya dalam konteks negara berkembang biasanya mengacu pada
JFC Turner (Turner, 1976). Namun harus diakui bahwa rumah swadaya berbantuan telah
berlangsung lama sebelum munculnya ide Turner pada tahun 1960-1970. Lebih lanjut, ide
Turner terkait erat dengan kebijakan skema PSU dan kebijakan neo-liberal yang dipromosikan
oleh Bank Dunia (Pugh, 1992). Walaupun ide Turner tidak dapat digolongkan baru tapi
implikasinya pemerintah mulai menyadari bahwa tidak seharusnya pemerintah menyediakan
sesuatu yang masyarakat dapat menyediakannya secara swadaya. Konsekuensinya Turner
menjadi pendukung skema PSU (site-and-services) atau dikenal sebagai rumah swadaya
berbantuan, yang berarti pemerintah bertanggungjawab menyediakan layanan dasar dan rumah
tangga bertanggungjawab membangun unit rumahnya (Pugh, 2001).
2.2 Pergulatan Pemikiran Perumahan Swadaya
2.2.1 Campur Tangan Pemerintah vs Kendali Penuh Masyarakat
Pemikiran Turner timbul sebagai tanggapan terhadap kegagalan pemerintah dalam
penyediaan perumahan di Negara berkembang5. Turner meletakkan sumber masalah pada
pelaksanaan sistem yang rumit dan birokratis (Ward, 1982). Turner menyarankan sejumlah
konsep yang mempengaruhi dan merubah pemikiran terhadap perumahan masyarakat miskin
pada dekade 1960 dan 1970.
Pada setiap program perumahan sebaiknya masyarakat diberi kewenangan penuh
terhadap pengambilan keputusan, misalnya bentuk dan desain lingkungan mereka. Dengan
demikian, program terlepas dari kerumitan birokrasi atau pendekatan atas-bawah (top-down).
Sebagai pelengkap pemberian kewenangan bagi masyarakat, Turner menggunakan konsep
‘freedom to build’, yang diartikan sebagai ‘who decides’. Alasannya bahwa hasil terbaik ketika
penerima manfaat mengendalikan sepenuhnya desain, konstruksi dan pengelolaan. Tidak terlalu
penting siapa yang membangunnya, terkecuali penerima manfaat sangat miskin (Harris, 2003).
Ketika masyarakat diberi kewenangan mengendalikan konstruksi rumah mereka, biasanya rumah
yang terbangun sesuai kapasitas ekonomi, sosial, budaya mereka (Marcussen, 1990). Maka,
Turner mengingatkan untuk tidak memisahkan kontribusi tenaga (sweat equity) dari ide kendali
oleh masyarakat. Maksudnya untuk memastikan kontribusi tenaga tidak secara otomatis
disamakan dengan membangun sendiri, sebagaimana yang sering terjadi (Turner, 1976).
5 Secara umum dalam setiap perdebatan pro dan kontra perumahan swadaya, terdapat 3 (tiga) penjelasan utama
yang mendukung perumahan swadaya. Pertama, kemampuan pemerintah tidak tak terbatas (Ward, 1982).
Akibatnya, kebutuhan rumah tidak dapat terpenuhi. Kedua, pemukim liar seharusnya dipandang sebagai sumber
daya pertumbuhan perumahan daripada sebuah masalah sosial. Ketiga, penyediaan rumah oleh pemerintah tidak
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat beragam secara sosial, budaya dan ekonomi termasuk
prioritasnya.
Disebutkan oleh Turner, peran pemerintah tidak seharusnya berupa mendikte persyaratan
pada masyarakat yang mampu melaksanakan pembangunan rumahnya. Dibutuhkan perubahan
peran pemerintah dalam proses penyediaan rumah bagi penduduk miskin. Pemerintah sebaiknya
(melalui peran dukungan) menyediakan beragam aspek yang tidak dapat disediakan sendiri oleh
masyarakat seperti lahan, regulasi, peralatan, kredit, know-how dan land tenure (Payne, 1984;
Ward, 1982). Kendali oleh masyarakat memastikan bahwa rumah lebih murah dan terjangkau
baik oleh masyarakat atau pemerintah dan karenanya peran yang berbeda membuat hasil
kegiatan lebih efektif.
Sebagai ilustrasi, permukiman liar yang dibangun sesuai regulasi memungkinkan rumah
dibangun lebih murah separuhnya dibanding jika dibangun oleh pemerintah (Harris, 2003).
Meskipun pada awalnya pembangunan dapat terlihat kurang rapi tetapi akhirnya akan membaik
dengan berjalannya waktu seiring meningkatnya kondisi ekonomi mereka (Turner, 1976). Turner
menyebutnya konsep “housing as a process” (perumahan sebuah proses) dan “progressive