i PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN DAN PERUBAHAN GARIS PANTAI DI DAS CIPUNAGARA DAN SEKITARNYA, JAWA BARAT POPPY HARYANI A14062411 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
82
Embed
perubahan penutupan/penggunaan lahan dan perubahan garis ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN
DAN PERUBAHAN GARIS PANTAI
DI DAS CIPUNAGARA DAN SEKITARNYA, JAWA BARAT
POPPY HARYANI
A14062411
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ii
RINGKASAN
POPPY HARYANI. Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan dan Perubahan Garis Pantai di DAS Cipunagara dan Sekitarnya, Jawa Barat. Dibawah bimbingan KHURSATUL MUNIBAH dan BOEDI TJAHJONO.
Pemantauan dinamika perubahan garis pantai dapat diketahui dari tahun ke
tahun dengan menggunakan data inderaja. Perubahan garis pantai dapat terjadi
karena faktor alam maupun campur tangan manusia seperti perubahan
penggunaan lahan. Adanya tekanan penduduk terhadap kebutuhan lahan untuk
pemenuhan kebutuhan akan menyebabkan perubahan penggunaan lahan. Tujuan
dari penelitian ini adalah : (a) menganalisis perubahan penggunaan lahan pada
periode tahun 1972, 1990, dan 2008, (b) menganalisis faktor fisik yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, dan (c) menganalisis perubahan
garis pantai di kawasan pesisir DAS Cipunagara dan sekitarnya tahun 1972, 1990,
dan 2008.
Penutup/penggunaan lahan yang bertambah selama periode 1972-1990 dan
periode 1990-2008 adalah permukiman, berturut-turut seluas 1,3% dan 5,3%,
semak (2,7% dan 1,2%), ladang (0,3% dan 0,5%), dan tambak (0,9% dan 0,2%).
Penurunan yang sangat besar pada dua periode tersebut terjadi pada kebun
campuran, yaitu berturut-turut 17,4% dan 0,1%, kebun jati (4,1% dan 0,5%), dan
mangrove (0,3% dan 0,4%).
Melalui analisis pendekatan binomial logit didapatkan bahwa faktor-faktor
yang diduga meningkatkan peluang perubahan penggunaan lahan hutan menjadi
lahan pertanian adalah (1) kemiringan lereng (0-8% dan 8-15%), (2) elevasi 25-
100 mdpl, (3) curah hujan 76,47 mm/bulan dan 287,88 mm/bulan, (4) tanah
aluvial, andosol, podsolik, dan (5) geologi dengan penyusun alluvium,
sedimen,dan vulkanik,. Dengan demikian lahan pertanian banyak terdapat di
daerah dengan formasi geologi dan jenis tanah yang relatif subur dan berlereng
datar dan landai serta curah hujan yang sesuai. Sedangkan faktor yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi permukiman
adalah kemiringan lereng (0-8% dan 8-15%), dan elevasi (0-25 mdpl, 100-250
mdpl dan 500-1000 mdpl). Dengan demikian permukiman banyak terdapat pada
iii
lahan-lahan yang relatif datar, landai, dan curam. Hal ini menunjukkan bahwa
keadaan lereng yang curam bukan lagi merupakan faktor pembatas untuk
membangun permukiman.
Garis pantai Kabupaten Subang cenderung mengalami penambahan dan
penurunan luas. Garis pantai yang cenderung bertambah maju dari tahun 1972
hingga tahun 2008 adalah di bagian barat (Kecamatan Blanakan) dan di bagian
delta (Tanjung Cipunagara). Pada bagian Tanjung Pamanukan dan Tanjung
Pancerwetan cenderung bertambah mundur karena proses abrasi.
Kata kunci : Perubahan, penggunaan lahan, garis pantai, Kabupaten Subang,
Jawa Barat
iv
SUMMARY
POPPY HARYANI. Land Cover/Land Use Changes and Coastline Changes at The Cipunagara Watershed and Surrounding, West Java. Under supervision of KHURSATUL MUNIBAH and BOEDI TJAHJONO.
Monitoring the dynamics of shoreline change can be examined from year
to year using remote sensing data. Shoreline changes can occur due to natural
factors and human intervention such as land use changes. The existence of
population pressure on land to supply their needs will lead to changes in land use.
The purpose of this research are: (a) to analyze land use changes in watershed in
1972, 1990, and 2008, (b) analyze the physical factors affecting land use change,
and (c) analyzing shoreline changes in watershed Cipunagara and surrounding in
1972, 1990, and 2008.
Land cover / land use increased during the periods 1972-1990 and 1990-
2008 are the settlements, each covering an area of 1.3% and 5.3%, shrub forest
(2.7% and 1.2%), paddy fields (0.3% and 0.5%), and pond (0.9% and 0.2%). A
very large decline in the two periods occurred in mixture garden (17.4% and
0.1%), garden teak (4.1% and 0.5%), and mangrove (0.3% and 0.4%).
Land use changes were analyzed using binomial logit. Based on the results
of the analysis note that the factors that allegedly increase the chances of forest
land use change to agriculture are (1) slope (0-8%, 8-15% and 15-25%), (2)
elevation 25-100 masl, (3) rainfall 76,47 mm / month and 287,88 mm / month,
and (4) soil alluvial, andosol, and podzolik, and (5) geologic parent material with
sand, claystone, and lava. Many paddy fields are in areas with geological
formations and relatively fertile soils and flat and sloping cycle and the
corresponding rainfall. Meanwhile the factors influencing changes in land use
from agricultural to settlements are slope (0-8% and 8-15%) and elevation (0-25
masl, 100-250 masl, and 500-1000 masl). There are many settlements on the land
is relatively flat, slight, and steep. This shows that the state of the steep slope is no
longer a limiting factor to build settlements.
v
The coastline north coastal areas prone Subang addition and reduction.
The coastline which tends to grow forward from 1972 to 2008 is in the western
part (District Blanakan) and in the delta (Cape Cipunagara). On the Cape and the
Cape Pancerwetan Pamanukan tend to grow back because the process of abrasion.
Keywords: land use changes, coastline.
vi
PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN
DAN PERUBAHAN GARIS PANTAI
DI DAS CIPUNAGARA DAN SEKITARNYA, JAWA BARAT
Poppy Haryani
A14062411
Skripsi
sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
vii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan dan
dan teman-teman Soil 43 lainnya terima kasih atas bantuan yang telah
diberikan.
x
8. Semua pihak yang turut membantu kegiatan penelitian dan penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada skripsi
ini. Namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.
Bogor, Juni 2011
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ...................................................................................................... ii
SUMMARY ....................................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Tujuan ..................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3
2.1. Pengertian Lahan dan penggunaan Lahan.................................................. 3
2.2. Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya....................................................................................... 3
2.2.1. Faktor Fisik Lahan dan Perubahan Penutupan Lahan .............................. 5
2.3. Pantai dan Perubahan Garis Pantai ............................................................ 6
2.4. Penginderaan Jauh .................................................................................... 7
4.7. Mata pencaharian ................................................................................... 28
4.8. Pendidikan ............................................................................................. 28
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 29
5.1. Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat ................ 29
5.2. Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1972, 1990, dan 2008 .................. 36
5.3. Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Periode 1972-1990 dan
1990-2008………………………………………………………….…….38
5.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan .......... 47
5.4.1. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Pertanian Periode 1972-2008..............................................47
5.4.2. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan
Pertanian Menjadi Permukiman Periode 1972-2008.......................49 5.5 Perubahan Garis Pantai Periode 1972-2008……………………………...51
5.6 Kajian Umum Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan Dengan Garis Pantai……………………………………………………………………..55
VI. KESIMPULAN dan SARAN ....................................................................... 58 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 59 LAMPIRAN.......................................................................................................... 61
xiii
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
Tabel 1. Tipe-tipe hasil ekstraksi data dari penginderaan jauh ............................ 8
Tabel 2. Data Teknis Landsat TM ...................................................................... 9
Tabel 3. Kegunaan masing-masing saluran pada Landsat TM........................... 10
Tabel 4. Bahan yang digunakan dalam penelitian ............................................. 13
Tabel 5. Software yang digunakan dalam penelitian ................................... ......14
Tabel 6. Rata-rata Curah Hujan Bulanan di DAS Cipunagara Tahun 2008 . ......17
Tabel 7. Ketinggian Tempat di DAS Cipunagara dan Luasannya...................... 21
Tabel 8. Kemiringan Lahan di DAS Cipunagara dan Luasannya. ..................... 22
Tabel 9. Jenis Tanah DAS Cipunagara dan Luasannya ..................................... 25
Tabel 10. Geologi DAS Cipunagara dan Luasannya ......................................... 26
Tabel 11. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan di Citra Landsat dan di Lapang ............................................................................................... 29
Tabel 12. Arah Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan .......................................44
Tabel 13. Matriks Perubahan penggunaan Lahan Tahun 1972-1990....................45
Tabel 14. Matriks Perubahan penggunaan Lahan Tahun 1990-2008....................46
Tabel 15. Penaksiran Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi
5. Formasi Geologi DAS Cupunagara.................................................66
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk yang sangat cepat disertai dengan
peningkatan pendapatan per kapita masyarakat telah mengakibatkan kebutuhan
lahan semakin meningkat. Namun, karena persediaan lahan terbatas maka
terjadilah proses alih fungsi lahan.
Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan pemanfaatan lahan yang
berbeda dengan pemanfaatan sebelumnya, baik untuk tujuan sosial, ekonomi,
budaya, maupun industri. Sumberdaya fisik suatu wilayah seperti tanah, iklim,
topografi, dan geologi sangat menentukan potensi suatu wilayah untuk berbagai
jenis penggunaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Dinamika perubahan
penggunaan lahan seringkali menyebabkan perubahan kualitas lahan termasuk
sumberdaya air dikarenakan ketidaksesuaian antara kemampuan lahan dan
pengguaannya.
Perubahan penggunaan lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap
kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan
lainnya, seperti pertanian, perumahan ataupun industri. Apabila gejala tersebut
tidak segera dikelola dengan baik, maka akibatnya dapat menyebabkan kelebihan
air (banjir) pada saat musim hujan dan kekeringan pada saat musim kemarau. Hal
ini disebabkan hujan yang jatuh sebagian besar menjadi aliran permukaan. oleh
karena itu, upaya-upaya pelestarian sumberdaya air sangat diperlukan melalui
penataan penggunaan lahan di dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).
Jenis penggunaan lahan di lokasi penelitian sampai saat ini lebih
didominasi oleh penggunaan pertanian. Hal ini tentu saja dikarenakan oleh
berbagai sebab dan salah satunya adalah faktor fisik lingkungan. Oleh karena itu
kajian faktor fisik lingkungan terhadap perubahan penggunaan lahan cukup
menarik untuk dilakukan.
Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di daerah hulu dapat
berpengaruh terhadap kondisi lingkungan di daerah hilir, bahkan di daerah pesisir,
seperti terjadinya proses sedimentasi, abrasi, dan perubahan garis pantai.
Pemantauan perubahan penggunaan lahan maupun perubahan garis pantai dapat
2
dilaksanakan dengan menggunakan data penginderaan jauh dari berbagai titik
tahun. Perubahan garis pantai pada dasarnya dapat terjadi karena faktor alam
maupun karena adanya campur tangan manusia. Contoh perubahan garis pantai
karena campur tangan manusia adalah reklamasi pantai, penambangan pasir
pantai, dan pembabatan hutan bakau di tepi pantai. Adapun perubahan garis pantai
secara alami dapat terjadi karena beberapa faktor alam seperti kekuatan aliran
sungai, gelombang air laut, maupun arus laut yang bekerja bersama di kawasan
pesisir. Perubahan garis pantai dapat berbentuk penambahan daratan baru atau
pengurangan daratan seperti yang terjadi di sepanjang pantai utara Jawa Barat.
Salah satu contohnya adalah yang terjadi di kawasan DAS Cipunagara dan
sekitarnya, lebih tepatnya di pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a) Menganalisis perubahan penggunaan lahan melalui citra Landsat tahun 1972,
1990, dan 2008 di DAS Cipunagara dan sekitarnya.
b) Menganalisis faktor fisik yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan
lahan.
c) Menganalisis perubahan garis pantai di kawasan pesisir DAS Cipunagara dan
sekitarnya berdasarkan citra Landsat tahun 1972, 1990, dan 2008.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia,
baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai,
penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi
garam (Hardjowigeno et al., 2001).
Definisi mengenai penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land
cover) pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan keadaan
fisik permukaan bumi. Lillesand dan Kiefer (1993) mendefinisikan penggunaan
lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan
penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi
lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut.
Sebagai contoh pada penggunaan lahan untuk permukiman yang terdiri atas
permukiman, rerumputan, dan pepohonan.
Sistem penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. penggunaan
lahan pertanian antara lain tegalan, sawah, ladang, kebun, padang rumput, hutan
produksi, hutan lindung dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian antara
lain penggunaan lahan perkotaan atau pedesaaan, industri, rekreasi, pertambangan
dan sebagainya (Arsyad, 1989).
2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas
terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan
komersial maupun industri (Kazaz dan Charles, 2001 dalam Munibah, 2008).
Sementara menurut Muiz (2009), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai
suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain
yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi
logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial
4
ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial
maupun industri. Perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan pada
umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan
lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh
seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan
perubahan penggunaan lahan.
Barlowe (1986) menyatakan bahwa dalam menentukan penggunaan lahan
terdapat empat faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu : faktor fisik
lahan, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor kondisi sosial
dan budaya masyarakat setempat juga akan mempengaruhi pola penggunaan
lahan. Pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan
kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan
terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk.
Demikian pula permintaan terhadap hasil non pertanian seperti kebutuhan
perumahan dan sarana prasarana wilayah. Peningkatan pertumbuhan penduduk
dan peningkatan kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan
dalam penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan
pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal,
pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan
mutu kehidupan yang lebih baik.
Beberapa kajian dan penelitian telah dilakukan untuk menganalisis faktor-
faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan. Nasoetion (1991)
menyatakan beberapa hal yang diduga sebagai penyebab proses perubahan
penggunaan lahan antara lain :
1. Besarnya tingkat urbanisasi dan lambatnya proses pembangunan di pedesaan
2. Meningkatnya jumlah kelompok golongan berpendapatan menengah hingga
atas di wilayah perkotaan yang berakibat tingginya permintaan terhadap
pemukiman (komplek-komplek perumahan)
3. Terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian yang pada gilirannya
akan menggeser kegiatan pertanian/ lahan hijau khususnya di perkotaan
5
4. Terjadinya fragmentasi pemilikan lahan menjadi satuan-satuan usaha dengan
ukuran yang secara ekonomi tidak efisien.
2.2.1 Faktor Fisik Lahan dan Perubahan Penutupan Lahan
Faktor fisik yang mempengaruhi penggunaan dan penutupan lahan adalah
faktor-faktor yang terkait dengan kesesuaian lahannya, meliputi faktor-faktor
lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
pertumbuhan dan budidaya tanaman, kemudahan teknik budidaya ataupun
pengolahan lahan dan kelestarian lingkungan. Faktor fisik ini meliputi kondisi
iklim, sumberdaya air dan kemungkinan perairan, bentuklahan dan topografi, serta
karakteristik tanah, yang secara bersama akan membatasi apa yang dapat dan
tidak dapat dilakukan pada sebidang lahan (Sys et al., 1991 dalam Gandasasmita,
2001).
Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah,
termasuk didalamnya adalah perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Peranan
topografi terhadap penggunaan lahan dibedakan berdasarkan unsur-unsurnya
adalah elevasi dan kemiringan lereng. Peranan elevasi terkait dengan iklim,
terutama suhu dan curah hujan. Elevasi juga berpengaruh terhadap peluang untuk
pengairan. Peranan lereng terkait dengan kemudahan pengelolaan dan kelestarian
lingkungan. Daerah yang berlereng curam mengalami erosi yang terus-menerus
sehingga tanah-tanah ditempat ini bersolum dangkal, kandungan bahan organik
rendah dan perkembangan horison lambat dibandingkan dengan tanah-tanah di
daerah datar yang air tanahnya dalam. Perbedaan lereng juga menyebabkan
perbedaan air tersedia bagi tumbuh-tumbuhan sehingga mempengaruhi
pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut dan seterusnya juga mempengaruhi
pembentukan tanah (Hardjowigeno, 1993).
Tanah merupakan salah satu faktor penentu yang mempengaruhi
penyebaran penggunaan lahan (Barlowe, 1986). Sehubungan dengan fungsinya
sebagai sumber hara, tanah merupakan faktor fisik lahan yang paling sering
dimodifikasi agar penggunaan lahan yang diterapkan mendapatkan hasil yang
maksimal. Tanah merupakan kumpulan benda alam dipermukaan bumi,
mengandung gejala-gejala kehidupan, dan penopang atau mampu menopang
6
pertumbuhan tanaman. Tanah meliputi horison-horison tanah yang terletak diatas
bahan batuan dan terbentuk sebagai hasil interaksi sepanjang waktu dari iklim,
organisme hidup, bahan induk dan relief. Bahan-bahan di bawah tanah atau bahan
induk tanah bukanlah selalu berasal dari batuan yang keras, tetapi dapat juga
berasal dari bahan-bahan lunak seperti bahan alluvium, abu volkan, tufa volkan,
dan sebagainya (Hardjowigeno, 1993).
Iklim merupakan faktor fisik yang sulit dimodifikasi dan paling
menentukan keragaman penggunaan lahan. Unsur-unsur iklim seperti hujan,
penyinaran matahari, suhu, angin, kelembaban dan evaporasi, menentukan
ketersediaan air dan energi, sehingga secara langsung akan mempengaruhi
ketersediaan hara bagi tanaman. Penyebaran dari unsur-unsur iklim ini bervariasi
menurut ruang dan waktu, sehingga penggunaan lahan juga beragam sesuai
dengan penyebaran iklimnya (Mather, 1986 dalam Gandasasmita, 2001 ).
2.3 Pantai dan Perubahan Garis Pantai
Pantai merupakan kawasan peralihan antara ekosistem darat dan laut serta
tempat bertemunya dua aktivitas yang saling berlawanan yaitu gelombang laut
dan aliran sungai (Dahuri, 2001 dalam Witanto, 2004). Garis pantai adalah batas
air laut pada waktu pasang tertinggi telah sampai ke darat. Perubahan garis pantai
ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti pembukaan lahan,
eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat merubah keseimbangan
garis pantai melalui suplai muatan sedimen yang berlebihan (Tarigan, 2007).
Perubahan bentuk garis pantai yang terjadi di wilayah pesisir, terutama
disebabkan oleh faktor dari daratan akibat sedimentasi melalui aliran sungai dan
adanya tumbuhan pantai. Air sebagai media pembawa sedimen mengalir melalui
aliran sungai. Aliran ini memuat butiran lumpur halus, endapan lumpur, tanah
lempung yang dihasilkan oleh pelapukan. Pada daerah curam, aliran sungai
membawa pasir atau tanah kerikil dari hasil pengikisan formasi batuan. Sedimen
kasar juga diturunkan dari lava dan abu hasil letusan gunung berapi (Bird dan
Ongkosono, 1980 dalam Susilowati, 2004).
Air hujan yang jatuh di permukaan akan segera berubah menjadi aliran
permukaan yang dapat mengangkut butir-butir tanah dari permukaan (Gany,
7
2002). Di sisi lain butir-butir tanah yang terangkut oleh aliran permukaan akan
mengalir menuju ke sungai utama dan pada alur sungai yang kemiringan dasarnya
landai akan mengendap di dasar sungai dan akhirnya mengakibatkan sedimentasi.
Dua faktor utama dari faktor alam penyebab perubahan garis pantai adalah
faktor dari daratan dan laut. Faktor dari daratan berupa sedimentasi melalui sungai
dan adanya tumbuhan pantai. Faktor dari laut berupa arus dan gelombang laut,
pasang surut, sedimentasi dari laut dan morfologi dasar laut. Adapun arus dan
gelombang laut dipengaruhi oleh kekuatan angin yang akan berakibat
mempercepat proses erosi ataupun sedimentasi.
2.4 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena
yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1997). Karakteristik dari obyek dapat
ditentukan berdasarkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau
dipantulkan oleh obyek tersebut dan terekam oleh sensor. Hal ini berarti, masing-
masing obyek mempunyai karakteristik pantulan atau pancaran elektromagnetik
yang unik dan berbeda pada lingkungan yang berbeda (Murai, 1996).
Sistem penginderaan jauh pasif (foto udara dan citra aster), yaitu sistem
penginderaan jauh yang energinya dari matahari. Panjang gelombang yang
digunakan oleh sistem pasif, tidak memiliki kemampuan menembus atmosfer
yang dilaluinya, sehingga atmosfer ini dapat menyerab (absorp) dan
menghamburkan (scatter) energi pantulan (reflektan) obyek yang akan diterima
oleh sensor (Lillesand dan Kiefer, 1997). Faktor inilah yang menyebabkan nilai
reflektan obyek yang diterima sensor tidak sesuai dengan nilai reflektan obyek
yang sebenarnya di bumi. Secara umum, konsep perekaman obyek permukaan
bumi pada sistem penginderaan jauh pasif disajikan pada Gambar 1.
8
Gambar 1. Perekaman Obyek pada Sistem Penginderaan Jauh Pasif
Data penginderaan jauh dapat berupa : (1) data analog, misalnya foto
udara cetak atau data video, dan (2) data digital, misalnya citra satelit (Jensen,
1996). Teknologi Penginderaan jauh berkembang pesat dewasa ini seiring
peranannya yang semakin diperlukan dalam proses pengambilan dan
pengumpulan informasi mengenai obyek yang diamati. Murai (1996)
mengklasifikasikan tipe-tipe informasi yang bisa diekstrak melalui data
penginderaan jauh menjadi 5 tipe (Tabel 1).
Tabel 1. Tipe-tipe informasi hasil ekstraksi dari data penginderaan jauh Tipe Contoh Klasifikasi Land Cover, Vegetasi Deteksi Perubahan Perubahan Land Cover Ekstraksi Kualitas Fisik Temperatur, Komponen Atmosfer, Elevasi Ekstraksi Index Index Vegetasi, Index Kekeruhan Identifikasi Feature Spesifik
Identifikasi Bencana Alam seperti Kebakaran Hutan, atau Banjir, Ekstraksi of Linearment, Deteksi Feature Arkeologi.
Sumber: Murai, 1996
2.4.1 Landsat
Satelit Landsat merupakan satelit tak berawak pertama yang dirancang
untuk memperoleh data tentang sumberdaya bumi. Satelit Landsat pertama kali
diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972 dengan nama ERTS-1, dan tepat sebelum
peluncuran ERTS-B pada tanggal 22 Januari 1975 NASA secara resmi mengganti
nama program ERTS menjadi program Landsat. Program Landsat telah
9
meluncurkan beberapa generasi, yaitu : generasi pertama terdiri dari Landsat 1,
Landsat 2, dan Landsat 3, generasi kedua terdiri dari Landsat 4 dan Landsat 5, dan
generasi ketiga yang terdiri dari Landsat 6 dan Landsat 7. Citra Landsat MSS
(Multi Spectral Scanner) dan citra Landsat TM (Thematic Mapper) merupakan
citra hasil Landsat 5 yang diluncurkan pada 1 Maret 1984 dan beroperasi sampai
sekarang. Satelit generasi ini mempunyai ketinggian 705 km. Landsat TM
merupakan Landsat telah mengalami perbaikan dalam hal kualitas sensor. Sensor
TM sebenarnya adalah sensor MSS yang jauh lebih maju dengan peningkatan
teknis dan geometrik. Perbaikan Landsat MSS dalam bentuk resolusi spasial,
perolehan data, dan radiometrik (Lillesand dan Kiefer, 1997). Data teknis Landsat
TM dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Teknis Landsat TM
No. Jenis Data Keterangan 1. Ketinggian orbit 705 km 2. Sifat orbit Selaras matahari (sun synchronous) 3. Cakupan satuan citra 185 x 185 km2
4. Resolusi temporal 16 hari 5. Resolusi spektral 0.45-0.52 µm : saluran satu
0.52-0.60 µm : saluran dua 0.63-0.69 µm : saluran tiga 0.76-0.90 µm : saluran empat 1.55-1.75 µm : saluran lima 2.08-2.35 µm : saluran enam 10.40-12.50µm : saluran tujuh
6. Resolusi spasial Saluran 1-5 dan 7 : 30 x 30 m2
Saluran 6 : 120 x 120 m2 7. Resolusi radiometrik 8 bit Sumber : Lillesand dan Kiefer (1997)
Resolusi spektral merupakan fungsi dari panjang gelombang yang
digunakan dalam perekaman obyek. TM memiliki tujuh saluran spektral yang
masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Kegunaan masing-masing saluran
pada Landsat TM dapat dilihat pada Tabel 3.
10
Tabel 3. Kegunaan masing-masing saluran pada Landsat TM
Saluran Spektral Kegunaan 1 Biru Dirancang untuk membuahkan peningkatkan
penetrasi ke dalam tubuh air, dan juga untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi
2 Hijau Terutama dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil dengan maksud untuk membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan
3 Merah Untuk memisahkan vegetasi, memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi, juga menajamkan kontras antar kelas vegetasi
4 Inframerah dekat
Untuk mendeteksi sejumlah biomassa vegetasi. Hal ini akan membantu identifikasi tanaman dan memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air
5 Inframerah pendek
Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah
6 Inframerah thermal
Untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas
7 Inframerah pendek
Untuk memisahkan formasi batuan dan dapat juga untuk pemetaan hidrotermal
Sumber : Lillesand dan Kiefer (1997)
2.5 Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra
dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar dalam citra dan
menilai arti penting obyek tersebut (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto,
1986). Di dalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra, ada rangkaian
kegiatan yang diperlukan, yaitu : deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah
pengamatan atas ada atau tidaknya suatu obyek pada citra. Identifikasi adalah
upaya untuk mencirikan obyek yang dideteksi dengan menggunakan keterangan
yang cukup yaitu menggunakan unsur interpretasi citra. Pada tahap analisis
dikumpulkan keterangan lebih lanjut untuk membuat kesimpulan (Lint dan
Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986).
11
Pengenalan obyek merupakan tahap yang sangat penting dalam
interpretasi citra, bila obyek tidak dikenal maka analisis maupun pemecahan
masalah tidak mungkin dilakukan. Tujuh unsur-unsur interpretasi citra yang
dikemukakan oleh Lillesand dan Kiefer (1990) yaitu :
1. Bentuk; ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa
obyek demikian mencirikan sehingga citranya dapat diidentifikasi
langsung hanya berdasarkan kriteria ini.
2. Ukuran; obyek harus dipertimbangkan sehubungan dengan skala foto.
3. Pola; ialah hubungan susunan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum
tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak obyek
alamiah maupun bangunan, dan akan memberikan suatu pola yang
membantu penafsir untuk mengenali obyek tersebut.
4. Bayangan; penting bagi penafsir dalam dua hal yang bertentangan, yaitu:
o Bentuk atau kerangka bayangan dapat memberikan gambaran
profil suatu obyek (dapat membantu interpretasi).
o Obyek di bawah bayangan hanya dapat memantulkan sedikit
cahaya dan sukar diamati pada foto (menghalangi interpretasi).
5. Rona; ialah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto.
6. Tekstur; adalah frekuensi perubahan rona pada citra fotografi. Tekstur
dihasilkan oleh kumpulan unit kenampakan yang mungkin terlalu kecil
apabila dibedakan secara individual, seperti daun tumbuhan dan
bayangannya.
7. Situs atau lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek yang lain, dapat
sangat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek.
Kemudian Avery (1992) memberikan penambahan karakteristik asosiasi yang
menunjukkan keterkaitan suatu obyek tehadap lokasi dimana obyek tersebut
ditemukan.
2.6 Sistem Informasi Geografis
SIG adalah sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data
yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, SIG adalah
suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi
12
spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra,
2000).
SIG adalah suatu sistem berbasis komputer yang dirancang khusus, yang
mempunyai kemampuan untuk mengelola data : pengumpulan, penyimpanan,
pengolahan, analisis, pemodelan, dan penyajian data spasial (keruangan) dan non
spasial (tabular/tekstual), yang mengacu pada lokasi di permukaan bumi (data
bergeoreferensi). Pada dasarnya, sistem informasi geografis adalah suatu “sistem”
terdiri dari komponen-komponen yang saling berkait (berhubungan) dalam
mencapai suatu sasaran, berdasarkan “informasi” (data, fakta, kondisi, fenomena)
berbasis “geografis” (daerah, spasial, keruangan) yang dapat dicek posisinya di
permukaan bumi (bergeoreferensi). Kedua jenis data, baik spasial maupun
tabular/tekstual disimpan dalam suatu sistem yang dikenal dengan basis data SIG.
Sistem basis data ini merupakan komponen utama yang harus tersedia dalam SIG,
disamping komponen lain seperti sistem komputer, sumber daya manusia dan
organisasi atau wadah pengelolaan yang mengendali penggunaan SIG (Soenarmo,
2003).
Tipe basis data ada dua macam, yaitu basis data spasial dan non spasial.
Basis data spasial (keruangan) adalah data yang dapat diamati atau
diidentifikasikan di lapangan, yang berkaitan dengan data di permukaan maupun
di dalam bumi. Data ini dapat diukur/ditentukan oleh besaran lintang dan bujur
atau sistem koordinat lain (termasuk peta, foto udara, dan citra satelit). Data
spasial (keruangan) ada tiga macam : titik, garis dan poligon (daerah), yang
diorganisasikan dalam bentuk lapis-lapis peta. Sedangkan basis data non spasial
adalah data yang melengkapi keterangan data spasial, keterangan
penampakan/feature data baik statistik, numerik, maupun deskriptif dengan
tampilan tabular, diagram, maupun tekstual.
Aplikasi SIG telah banyak digunakan untuk perencanaan pertanian,
industri, dan penggunaan lahan. Analisis terpadu terhadap penggunaan lahan,
debit air, data kependudukan dan pengaruh dari masing-masing data dapat
dilakukan. Dengan menggunakan SIG maka keterkaitan antara faktor yang
mempengaruhi sistem dapat dianalisis (Aronoff, 1989).
13
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai Februari 2011
yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya,
Kabupaten Subang, Jawa Barat. Analisis data dilakukan di Laboratorium
Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Bahan yang digunakan dalam penelitian
No. Data Skala/resolusi Sumber Fungsi 1. Citra ERTS1
Tahun 1972,Citra Landsat 1990, dan 2008
Resolusi spasial (30 x 30) m
www.glovis.usgs Interpretasi penggunaan lahan pada masing-masing tahun
2. Peta Rupa Bumi Indonesia 1:25.000
BAKOSURTANAL a) Sebagai peta dasar
b) Menghasilkan peta elevasi dengan proses DEM
3. Peta Tanah Digital Tahun 1966
1:250.000 Puslitanak Mengetahui penyebaran jenis tanah pada daerah penelitian
4. Peta Curah Hujan Tahun 2008
BMKG Darmaga Mengetahui penyebaran curah hujan pada daerah penelitian
5. Peta Geologi 1:100.000 Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Mengetahui penyebaran jenis dan bahan induk pada daerah penelitian
6. Peta Lereng 1:25.000 Peta Rupa Bumi Indonesia
Mengetahui penyebaran kelas lereng pada daerah penelitian
14
Software yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Software yang digunakan dalam penelitian
No. Software Fungsi
1. Arc View 3.3 Digitasi, query, overlay
2. ERDAS Imagine 9.1 Koreksi geometrik, subset
3. Statistica 7 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan
4. Microsoft Excel Melalukan pengolahan data atribut peta
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu persiapan, pengolahan dan
pemrosesan awal data, pengecekan lapang, dan analisis data. Secara ringkas
tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2.
3.3.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi konsultasi awal penulisan proposal, penentuan
lokasi penelitian, studi literatur, dan mengunduh citra lokasi penelitian. Studi
literatur dilakukan untuk mempelajari sumber informasi yang mendukung
pelaksanaan penelitian. Selain studi literatur, tahap ini merupakan tahap
pengumpulan data lain yang jumlah dan jenisnya sesuai dengan kebutuhan untuk
analisis dan interpretasi penutupan/penggunaan lahan. Pada tahap ini data yang
dipersiapkan antara lain seperti citra Landsat, peta topografi, peta jenis tanah, peta
geologi, data curah hujan, dan data potensi desa DAS Cipunagara.
3.3.2 Tahap Pengolahan dan Pemrosesan Awal Data
Tahap pengolahan data dari citra Landsat mencakup mengunduh citra
lokasi penelitian, koreksi geometrik, pemotongan (cropping) citra, dan
interpretasi. Sedangkan tahap pemrosesan data meliputi pembuatan peta elevasi,
dan peta curah hujan.
Proses pengunduhan citra dilakukan dari web www.glovis.usgs. Citra
yang mencakup DAS Cipunagara sebanyak 4 scene dan diunduh per scene.
Setelah itu dilakukan mosaic pada citra untuk menggabungkannya menjadi satu
scene. Koreksi geometrik atau rektifikasi yaitu mengidentifikasi Ground
Control Point (GCP) atau titik ikat yang mudah ditentukan di lapangan atau di
15
Gambar 2. Tahapan Penelitian
16
peta topografi yang dibuat merata pada seluruh citra dengan tujuan untuk
memperbaiki distorsi geometrik sehingga diperoleh citra dengan sistem proyeksi
dan koordinat seperti yang ada pada peta. Koreksi geometrik dapat dilakukan
dengan cara image to map-geo-correction atau koreksi citra yang belum
terkoreksi terhadap peta digital yang telah dikoreksi. Agar citra memiliki referensi
koordinat geografis yang sama, citra diubah menjadi proyeksi UTM WGS 84 zona
48 South.
Pemotongan citra (cropping) dilakukan untuk mendapatkan batas daerah
penelitian, dengan maksud untuk dapat dilakukan pengolahan data yang lebih
rinci pada daerah tersebut. Pemotongan citra ini dilakukan dengan menggunakan
software ERDAS Imagine 9.1 yang didasarkan pada posisi koordinat yang
terdapat di peta digital Jawa Barat dengan proyeksi UTM.
Interpretasi citra merupakan proses mengkaji citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi obyek. Interpretasi citra dilakukan secara visual dengan
pendekatan kunci interpretasi. Kunci interpretasi yang digunakan yaitu bentuk,
ukuran, pola, bayangan, rona, tekstur, dan situs/lokasi. Hasil interpretasi
kemudian dibuat ke dalam sebuah peta penggunaan lahan sementara (tentatif)
yang siap untuk dicek di lapangan.
Tahap pemrosesan data berikutnya adalah pembuatan peta elevasi dan peta
curah hujan. Peta Elevasi dibuat dengan menggunakan proses DEM (Digital
Elevation Model). DEM adalah model kuantitatif dari elevasi pada sebagian
permukaan bumi dalam bentuk digital. DEM dilakukan berdasarkan peta kontur
dengan interval 12,5 meter. Pembuatan peta elevasi diawali dengan mengkonversi
peta kontur digital dalam bentuk tiga dimensi (TIN). Hasil konversi dari tahapan
ini kemudian dikonversi dalam bentuk grid. Setelah didapatkan dalam bentuk
grid, kemudian ditetapkan kelas elevasinya. Setelah itu dilakukan digitasi.
Terdapat enam kelas elevasi, yaitu kelas elevasi 1 (0-25 mdpl), kelas elevasi 2
(25-100 mdpl), kelas elevasi 3 (100-250 mdpl), kelas elevasi 4 (250-500 mdpl),
kelas elevasi 5 (500-1000 mdpl), dan kelas elevasi 6 (1000-2000 mdpl).
Peta Curah Hujan dibuat dengan menggunakan metode isohyet.
Extensions Spasial Analyst pada Arc View 3.3 memberikan dua pilihan metode
konturing/interpolasi yaitu metode Spline dan IDW (Inverse Distance Weighted).
17
Metode Spline adalah metode yang menghubungkan titik-titik yang sama nilainya
dengan mempertimbangkan titik-titik lain yang berbeda nilainya serta mampu
memperkirakan nilai suatu daerah berdasarkan jarak titik-titik tersebut. Metode
Spline mempunyai kemiripan dengan metode isohyet dalam proses analisisnya.
Metode ini dipakai untuk menentukan hujan rata-rata pada daerah dengan
penyebaran stasiun atau pos pengamatan hujan yang tidak merata, selain itu
metode ini dapat menaksir nilai garis isohyet berdasarkan jarak terhadap nilai
garis isohyet yang mewakili suatu titik. Berbeda dengan metode IDW, metode ini
mempertimbangkan varian kumpulan titik berdasarkan fungsi jarak dari setiap
titik yang diinterpolasi dimana metode ini mempunyai kemiripan dengan metode
polygon Thiessen. Dalam pembuatan peta ini digunakan delapan titik stasiun
hujan yang mewakili daerah penelitian, yaitu kecamatan Sukamandi,
Pusakanagara, Kalijati, Manyingsal, Anjatan, Buah dua, Sindanglaya, dan
Lembang.
Tabel 6. Rata-rata Curah Hujan Bulanan di DAS Cipunagara Tahun 2008
Bulan curah hujan (mm)
sukamandi pusakanagara kalijati manyingsal anjatan sindanglaya buah dua lembang
Jan 285,5 270 358,8 540 266 359 534 229.7
Peb 529,5 405 295,1 308 551 357 243 129.4
Mar 137 110 402,1 357 139 662 480 310.4
Apr 48 45 213,2 298 66 448 349 278.4
Mei 45 0 89,4 18 12 236 71 78.6
Jun 13 20 61,6 42 28 50 10 24.5
Jul 0 0 0 0 0 0 0 0
Ags 2,5 6 20,5 25 4 75 60 53.5
Sep 0 4 0 0 4 32 10 23.8
Okt 73 40 26,5 143 32 275 155 175.73
Nop 150,2 86 223 302 207 555 588 256.8
Des 111,5 81 180,5 234 132 76 614 221.1 Keterangan : Curah hujan tidak terukur (0) Sumber : BMG Darmaga, Bogor tahun 2008
3.3.3 Pengecekan lapang
Pengecekan lapang bertujuan untuk menelaah kembali hasil interpretasi
obyek/ penggunaan lahan, pengamatan terhadap penggunaan lahan berdasarkan
peta penggunaan lahan yang sudah ada (rechecking), dan menambah data atau
18
informasi yang tidak dapat diperoleh dari citra seperti jenis tanaman dan jarak
tanam. Informasi tambahan dapat diperoleh dari masyarakat setempat yang
menunjukkan akan adanya perubahan penggunaan lahan, sehingga sumber tempat
tersebut harus di cek lagi untuk membuktikan kebenarannya. Pengecekan lapang
dilakukan pada titik sampel yang telah ditetapkan di peta yang mengikuti kondisi
di lapang. Selanjutnya dilakukan penentuan titik geografis dengan GPS (Global
Position System) di lapangan. 3.3.4 Tahap analisis data
Tahap analisis data terdiri dari tahap analisis data spasial dan non spasial.
a. Tahap Analisis Data Spasial terdiri dari analisis perubahan penggunaan
lahan. Untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan tahun 1972-1990 maka
dilakukan proses overlay (union) antara peta penggunaan akhir tahun 1972 dan
1990. Untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan tahun 1990-2008 maka
dilakukan proses overlay (union) antara peta penggunaan akhir tahun 1990 dan
2008.
b. Tahap Analisis Data Non Spasial
Tahap analisis data non spasial yaitu analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dilakukan analisis statistik
dengan menggunakan metode binomial logit. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan penggunaan lahan memiliki nilai p-level < 0.005. Variabel respon pada
regresi logistik adalah variabel binary. Variabel bebas ditunjukan oleh X dan
variabel respon Y, dimana Y mempunyai dua kemungkinan yaitu 0 dan 1. Nilai
Y=1 menyatakan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi
pertanian dan perubahan dari pertanian menjadi lahan terbangun. Sebaliknya, jika
Y=0 menyatakan bahwa tidak terjadi perubahan. Adapun persamaan umum model
logit adalah sebagai berikut :
19
푃 / = ∑
∑ ∑
Dimana:
푃 / : peluang perubahan penggunaan lahan ke-i menjadi ke-r
β0r : parameter intersep untuk perubahan penggunaan lahan ke-i menjadi ke-r
βjr : parameter koefisien variabel ke-j untuk perubahan penggunaan lahan
ke-i menjadi ke-r
Xj : variabel bebas (data kategorik dan data numerik)
R : jumlah tipe penggunaan lahan
n : jumlah variabel bebas
exp : eksponensial
20
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Lokasi DAS Cipunagara dan Sekitarnya
DAS Cipunagara dan sekitarnya terletak di empat Kabupaten, yaitu
Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Indramayu. Secara
administratif, wilayah DAS Cipunagara mempunyai 205 desa dan 33 kecamatan.
Gambar 3. Peta Administrasi DAS Cipunagara dan Sekitarnya
4.2 Kemiringan Lereng dan Elevasi
Daerah penelitian merupakan wilayah DAS yang didominasi oleh dataran
rendah (0-25 mdpl). Peta ketinggian dikelaskan dalam interval 0-25 mdpl, 25-100
mdpl, 100-250 mdpl, 250-500 mdpl, 500-1000 mdpl, dan 1000-2000 mdpl.
Luasan untuk masing-masing kelas elevasi disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 4.
Elevasi 0-25 mdpl adalah elevasi yang paling luas yaitu 56920,27 ha
(32,78%). Elevasi terluas kedua ditemui pada elevasi 25-100 mdpl seluas
45490,27 ha (26,20%). Kemudian berturut-turut adalah elevasi 250-500 mdpl
(15,93%), elevasi 500-1000 mdpl (12,68%), elevasi 100-250 mdpl (7,63%), dan
elevasi 1000-2000 mdpl (4,78%).
21
Tabel 7. Ketinggian Tempat di Daerah Penelitian dan Luasannya
Total 173646.01 100 Sumber : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1966
Gambar 7. Peta Jenis Tanah Daerah Penelitian
26
4.5 Geologi
Daerah Penelitian didominasi oleh batu pasir tuffaan dan konglomerat
dengan luasan 31935,17 ha (18,39%) dan aluvial seluas 29304,13 ha (16,88%).
Formasi geologi yang paling kecil masing-masing adalah produk gunung api tua
seluas 228,46 ha (0,13%), breksi produk batuan gunung api tua seluas 230,69 Ha
(0,13%), dan unit lempung tufaan seluas 460,77 ha (0,27%). Adapun luas dari
masing-masing formasi geologi disajikan pada Tabel 10 dan penyebaran
spasialnya disajikan pada Gambar 8.
Tabel 10. Geologi Daerah Penelitian dan Luasannya
No. Kode Keterangan Luas
(Ha) (%) 1 Qa Aluvial 29304.13 16.88 2 Msc Anggota Batu lempung 12813.61 7.38 3 Mss Anggota Batu pasir 813.31 0.47 4 Qav2 Batu pasir Tuffaan dan Konglomerat 31935.17 18.39 5 Qvb2 Breksi Produk Batuan Gunung api Tua 259.18 0.15 6 Qaf Endapan Dataran Banjir 17121.10 9.86 7 Qad Endapan Delta 4079.40 2.35 8 Qac Endapan Pantai 12777.17 7.36 9 Pt Formasi Cilanang 1809.38 1.04 10 Pk Formasi Kaliwangu 8006.27 4.61 11 Qc Koluvial 22063.46 12.71 12 Qyl Lava 7441.11 4.29 13 Qyu Produk Gunung api Muda 7413.36 4.27 14 Qob Produk gunung api tua 230.69 0.13 15 Qvu Produk Gunung api tua tak teruara 11777.72 6.78 16 Qyd Tufa pasiran 1325.04 0.76 17 Qyt Tuff berbatu apung 4015.15 2.31 18 Qol Unit lempung tufaan 460.77 0.27
Total 173646.01 100 Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
27
Gambar 8. Peta Geologi Daerah Penelitian
4.6 Kependudukan
Daerah penelitian mencakup Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang,
dan Kabupaten Indramayu. Jumlah desa yang tercakup dalam DAS Cipunagara
adalah 205 desa, yang terdiri dari 128 desa berada di Kabupaten Subang, 56 desa
di Kabupaten Sumedang, dan 21 desa di Kabupaten Indramayu. Berdasarkan data
potensi desa tahun 2008, jumlah penduduk di daerah penelitian sebanyak
1.085.285 jiwa, dengan 539.061 jiwa penduduk laki-laki dan 546. 224 jiwa
penduduk perempuan.
28
4.7 Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk yang dominan di Kabupaten Subang yang
tercakup dalam daerah penelitian adalah pertanian (Subang Dalam Angka, 2008).
Sektor pertanian masih merupakan sektor yang paling dominan dalam menyerap
tenaga kerja. Pada tahun 2008, sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar
43,28 % dari penduduk yang bekerja. Penyebab tingginya sektor pertanian dalam
menyerap tenaga kerja ini karena lapangan pekerjaan di sektor pertanian tidak
banyak membutuhkan tenaga terdidik dan terampil.
Di Kabupaten Sumedang, sebagian besar penduduk bekerja di sekitar
pertanian yaitu sebanyak 199.694 orang (43,85%), selanjutnya bekerja di sektor
perdagangan sebanyak 89.718 orang dan sektor industri sebanyak 57.876 orang,
sedangkan jumlah tenaga kerja yang paling sedikit adalah yang bekerja di sektor
keuangan yaitu sebanyak 2406 orang atau sekitar 0,53% dari sejumlah tenaga
kerja. Sementara di sektor jasa jumlah PNS di lingkungan Kabupaten Sumedang
menunjukkan jumlah yang cukup banyak yang mencapai 12.496 orang. Demikian
juga mata pencaharian di Kebupaten Indramayu yang berada di DAS Cipunagara,
didominasi oleh pertanian tanaman pangan (BPS, 2008).
4.8 Pendidikan
Jumlah SLTP umum dari 132 sekolah tahun 2008 turun menjadi 126
sekolah tahun 2008 di Kabupaten Subang (Subang Dalam Angka, 2008).
Sedangkan dari sisi jumlah siswa tahun 2009 mengalami kenaikan dari tahun
sebelumnya, yaitu dari 58.077 menjadi 59.606 siswa. Di Kabupaten Indramayu
pada tahun ajaran 2008/2009 untuk tingkat SD jumlah sekolah sebanyak 880,
SLTP sebanyak 148, SLTA sebanyak 52. Selain itu, juga banyak penduduk yang
bersekolah di sekolah madrasah seperti RA, MI, MTS, dan MA. Sebagian besar
penduduk Kabupaten Sumedang baru dapat menyelesaikan pendidikan sampai
tingkat SD (49,60 %). Sedangkan menyelasaikan pendidikan tingkat SLTP
sebesar 17,27 % dan tingkat SLTA sebesar 13,68 %.
29
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat
Berdasarkan hasil interpretasi visual citra Landsat didapatkan beberapa
kelas penggunaan lahan yaitu badan air (sungai, danau, dan laut), hutan, kebun
5.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan
Dari hasil analisis statistik dengan program Statistica 7.0, diperoleh suatu
gambaran peluang tentang nilai penaksiran (estimate) koefisien peubah yang
berpengaruh terhadap pola perubahan penggunaan lahan. Nilai penaksiran positif
menggambarkan pendugaan pengaruh peubah-peubah yang diukur bersifat
meningkatkan peluang terjadinya perubahan dari jenis penggunaan tertentu ke
penggunaan lainnya, sedangkan nilai penaksiran negatif artinya sifatnya kecil
untuk meningkatkan peluang perubahan dari jenis penggunaan lahan tertentu ke
penggunaan lain. Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis pada penelitian ini
adalah perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian dan dari
lahan pertanian menjadi permukiman.
5.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian Periode 1972-2008 Dalam penelitian ini, faktor fisik yang mempengaruhi perubahan
penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian adalah kemiringan lereng, elevasi,
curah hujan, geologi dan tanah (berpengaruh nyata pada p<0,005). Tabel 15
menunjukkan bahwa nilai yang berwarna merah mempunyai pengaruh nyata yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian. Faktor
kemiringan lereng yang berpengaruh nyata adalah kelas lereng 0-8% dengan nilai
penaksiran 0,39. Hal ini disebabkan di DAS Cipunagara dan sekitarnya sebagian
besar berupa dataran rendah dengan kemiringan lereng 0-8% yang penggunaan
lahannya didominasi oleh sawah. Kondisi lahan dengan tingkat kelerengan yang
tinggi tidak efisien untuk lahan pertanian karena membutuhkan biaya dan tenaga
yang sangat besar untuk mendapatkan hasil yang optimal.
48
Tabel 15. Penaksiran Peluang Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Pertanian
Gambar 15 menunjukkan bahwa perubahan garis pantai di pantai utara
Subang cukup dinamis selama periode 1972-2008. Namun demikian ada bagian
dari garis pantai yang cenderung mengalami penambahan daratan seperti yang
nampak pada Gambar (15a) di bagian barat (Kecamatan Blanakan) dan di Tanjung
Cipunagara (15c). Penambahan ini kemungkinan berasal dari sedimen yang
dibawa oleh aliran Sungai Cipunagara. Penambahan lebih cepat terjadi di muara
sungai Cipunagara, dimana terdapat suplai sedimen yang berlimpah dan laut
relatif dangkal, serta gelombang air laut yang cenderung kecil menyebabkan
gerakan air lebih lambat, sehingga material yang terbawa dari sungai terendap di
52
daerah sekitar muara sungai. Fenomena ini menyebabkan proses pengendapan
dari sungai lebih leluasa, tidak terganggu oleh gelombang. Tanjung Cipunagara
(15c) merupakan tempat bermuaranya Sungai Cipunagara.
Gambar 15. Garis Pantai Tahun 1972, 1990, dan 2008
(a) penambahan, (b) pengurangan, (c) penambahan
Pada bagian Tanjung Pamanukan dan Tanjung Pancerwetan (15b), garis
pantai cenderung mundur atau berkurang luasannya karena proses abrasi sehingga
garis pantai bergerak mundur ke arah daratan. Abrasi pada umumnya terjadi di
daerah terbuka dan berhadapan langsung dengan laut, dimana faktor gelombang
sangat berpengaruh terhadap pengikisan pantai.
Gelombang juga berpengaruh terhadap perubahan garis pantai. Arah
hempasan gelombang yang menuju pantai berbeda pada teluk dan semenanjung.
Gelombang pada teluk arahnya cenderung menyebar dan tekanan yang diperoleh
daerah pantai semakin kecil, sehingga proses sedimentasi masih mendominasi.
Untuk gelombang yang menuju ke semenanjung, arahnya cenderung memusat
pada satu titik, dimana sekitar titik ini merupakan pertemuan gelombang yang
datang dari arah laut sehingga tekanan yang terjadi pada daerah pantai semakin
53
besar. Gelombang tersebut cenderung mengganggu proses sedimentasi yang
sedang terjadi, sehingga proses pengendapan menjadi tidak leluasa.
Gambar 16. Hempasan Gelombang yang Tiba di Garis Pantai (Sumber : Kalay, 2008)
Berdasarkan hasil interpretasi dari citra Landsat tahun 2008, pada bagian
Tanjung delta cipunagara (15c), terdapat lahan timbul akibat proses sedimentasi
dari Sungai Cipunagara. Jika proses sedimentasi ini terus-menerus terjadi di ujung
Tanjung Cipunagara dan mengarah ke barat, maka selama beberapa tahun ke
depan dapat terbentuk laguna.
Gambar 17. Garis Pantai Tahun 1972, 1990, dan 2008
54
Laguna pantai yang biasa ditemukan di kawasan pesisir Subang berbentuk
memanjang sejajar dengan pantai yang dipisahkan oleh penghalang atau lahan
timbul baru yang terbentuk seperti dari liat dan pasir. Penghalang laguna ini
dibentuk oleh gelombang dan arus laut yang terus-menerus membuat sedimen
kasar lepas pantai. Jika penghalang laguna sudah mulai terbentuk, muatan
sedimen yang lebih besar yang berasal dari sungai bisa menetap atau berhenti di
air yang relatif tenang di belakang penghalang tersebut.
Pada awalnya Sungai Cipunagara mengalir menuju Pantai Utara Subang
dengan arah utara seperti yang nampak pada Gambar 17. Namun sekitar tahun
1962 Sungai Cipunagara mengalami proses pelurusan oleh manusia dengan
memindahkan aliran sungai menuju ke arah timur (pantai). Hal ini dilakukan
untuk mengimbangi ketimpangan pertumbuhan garis pantai di wilayah muara
Sungai Cipunagara yang mengalami pergeseran relatif cepat ke arah lautan.
Gambar 17 menunjukkan bahwa daratan baru cenderung bertambah
luasannya pada tiga titik tahun. Hal ini disebabkan karena besarnya volume
material yang dibawa oleh Sungai Cipunagara dan kecilnya gelombang air laut
merupakan faktor penentu terbentuknya daratan baru yang sangat intensif. Pada
Tanjung Cipunagara, proses sedimentasi yang berasal dari pengendapan material-
material aliran Sungai Cipunagara tidak terganggu oleh hempasan gelombang
karena letaknya tertutup atau terlindungi oleh daratan disekitarnya. Sehingga
proses sedimentasi yang terjadi lebih leluasa. Faktor lainnya adalah karena
aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi suplai sedimen melalui kegiatannya
pada kawasan DAS. Kerusakan lahan melalui penebangan hutan atau terbukanya
permukaan permukaan lahan akibat longsor dapat menjadi penyebab terjadinya
erosi tanah yang menambah muatan sedimen sungai.
Tabel 19 mengilustrasikan ketidakstabilan daratan baru yang ditunjukkan
dengan dinamika perubahan penggunaan lahan di kawasan pesisir utara Subang.
Penggunaan lahan yang paling dominan di kawasan pesisir adalah mangrove.
55
Tabel 19. Penutupan/Penggunaan Lahan di Daerah Pesisir Tahun 1972,1990, dan 2008
1972 1990 2008 1972-1990 1990-2008 Ha % Ha %
Laut Laut Laut 1954.7 22.6 1998.0 23.1 Laut Laut Mangrove 0.4 0.0 93.7 1.1 Laut Laut Tambak 362.0 4.2 237.2 2.7 Laut Mangrove Mangrove 61.1 0.7 46.0 0.5 Laut Mangrove Laut 0.3 0.0 4.5 0.1 Laut Mangrove Tambak 3.6 0.0 14.7 0.2 Laut Tambak Laut 0.3 0.0 3.0 0.0 Laut Tambak Tambak 528.0 6.1 749.7 8.7 Laut Tambak Mangrove 281.0 3.2 51.4 0.6 Laut Sawah Sawah 8.7 0.1 8.7 0.1 Mangrove Mangrove Mangrove 2132.1 24.6 2075.2 23.9 Mangrove Mangrove Tambak 411.1 4.7 412.0 4.8 Mangrove Mangrove Laut 0.0 0.0 8.2 0.1 Mangrove Mangrove Ladang 43.9 0.5 65.8 0.8 Mangrove Mangrove Sawah 0.0 0.0 39.0 0.5 Mangrove Tambak Tambak 1115.8 12.9 1020.5 11.8 Mangrove Tambak Mangrove 0.0 0.0 43.6 0.5 Mangrove Tambak Laut 0.0 0.0 4.1 0.0 Mangrove Tambak Sawah 61.0 0.7 96.8 1.1 Mangrove Laut Laut 37.2 0.4 37.2 0.4 Tambak Tambak Tambak 666.2 7.7 579.2 6.7 Tambak Tambak Laut 0.0 0.0 12.6 0.1 Tambak Tambak Mangrove 0.0 0.0 74.4 0.9 Tambak Mangrove Mangrove 820.1 9.5 760.9 8.8 Tambak Mangrove Tambak 131.4 1.5 159.8 1.8 Tambak Mangrove Laut 0.3 0.0 8.3 0.1 Tambak Mangrove Sawah 0.0 0.0 15.9 0.2 Tambak Laut Laut 9.5 0.1 9.5 0.1 Sawah Tambak Tambak 30.1 0.3 20.3 0.2 Sawah Tambak Sawah 0.0 0.0 9.8 0.1 Sawah Laut Laut 0.1 0.0 0.1 0.0 Total 8658.8 100 8660.0 100
5.6 Kajian Umum Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan
Garis Pantai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang menerima air
hujan untuk kemudian mengalirkannya kembali melalui satu sungai utama menuju
ke hilir. DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS
karena selain fungsinya yang sangat penting yaitu sebagai daerah tangkapan air
(Water Catchment Area) juga adanya keterkaitan biofisik dengan daerah tengah
56
dan hilir. Segala bentuk kerusakan yang terjadi di daerah hulu pada akhirnya tidak
hanya akan membawa dampak bagi daerah hulu saja namun akhirnya juga
berdampak pada daerah tengah, dan terutama daerah hilir.
DAS Cipunagara bagian hulu merupakan daerah tangkapan air yang saat
ini telah mengalami banyak perubahan penutupan/penggunaan lahan dari hutan
dan lahan pertanian menjadi permukiman dan perkebunan. Pada tahun 2008,
penggunaan lahan hutan di DAS Cipunagara sebesar 17379,0 ha atau 10,1% dan
kebun jati sebesar 17971,5 ha atau 10,5%. Hal ini tidak sesuai dengan UU No.41
Tahun 1999 pasal 18 ayat 2 yang menyatakan bahwa luas kawasan hutan yang
harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran
sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Besarnya luas kawasan
hutan dan kebun jati yang tidak mencapai 30% ini akan berdampak pada besarnya
tingkat erosi di daerah hulu. Faktor lain yang juga cenderung meningkatkan erosi
di daerah hulu adalah akibat praktek bercocok tanam yang tidak mengikuti
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air serta aktivitas pembalakan hutan (logging)
atau deforestasi (pengurangan areal tegakan hutan).
Pengendapan akhir atau sedimentasi terjadi pada kaki bukit yang relatif
datar, sungai, dan waduk (Sarief, 1985). Demikian juga dengan erosi yang terjadi
di hulu DAS Cipunagara, dimana material hasil erosi di daerah hulu diendapkan di
Bendung Salamdarma yang membendung Sungai Cipunagara. Bendung
Salamdarma berada di lereng bagian hilir Gunung Tangkuban Perahu yang
berfungsi sebagai sarana irigasi untuk mengairi sawah di sekitarnya. Berdasarkan
fenomena di atas, nampak bahwa Dengan demikian material hasil erosi di daerah
hulu kurang berpengaruh terhadap sedimentasi yang terjadi di daerah pantai.
Sedimentasi yang terjadi di pantai utara Subang lebih dipengaruhi oleh
erosi yang terjadi di tebing-tebing sungai, terutama di Sungai Cipunagara bagian
hilir (di bawah Bendungan Salamdarma) dan sungai-sungai kecil. Erosi ini terjadi
karena adanya gerusan air sungai dan adanya longsoran tanah pada tebing sungai.
Erosi tebing sungai tersebut memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap
sedimentasi di tepi pantai, seperti nampak pada bagian barat (Kecamatan
Blanakan), Tanjung Pamanukan, Tanjung Pancerwetan, dan Tanjung Cipunagara.
57
Jika proses sedimentasi ini terus berlangsung maka akan timbul daratan baru di
bagian hilir dan akan merubah bentuk garis pantai di kawasan pesisir DAS.
Penggunaan lahan yang terdapat pada bagian hilir dari DAS relatif tetap,
yaitu sawah dengan kemiringan lereng yang datar. Sawah merupakan vegetasi
penutup tanah yang relatif rapat, sehingga dapat memperkecil besarnya aliran
permukaan yang berdampak pada erosi yang terjadi. Selain itu, lereng yang datar
juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan aliran
permukaan yang membawa material-material erosi yang akan diendapkan di
muara sungai. Hal ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap erosi yang
berdampak pada sedimentasi yang terjadi di pantai.
58
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Penutup/penggunaan lahan di DAS Cipunagara pada tahun 1972, 1990, dan
2008 didominasi oleh sawah masing-masing 36,1%, 46,5%, 44,6%, kebun
campuran masing-masing 23%, 5,6%, 4,6%, dan kebun jati masing-masing
15,1%, 11%, dan 10,5%. Penutup/penggunaan lahan yang yang bertambah
selama dua periode adalah permukiman, semak, ladang, dan tambak.
Sedangkan penurunan yang sangat besar pada dua periode terjadi pada kebun
campuran, kebun jati, dan mangrove.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari hutan
menjadi lahan pertanian adalah lereng, elevasi, geologi, tanah, dan curah
hujan. Sedangkan faktor-faktor yang paling mempengaruhi perubahan
penggunaan lahan dari pertanian menjadi permukiman adalah elevasi dan
lereng.
3. Garis pantai daerah pesisir pantai utara Subang cenderung mengalami
penambahan dan penurunan luas. Penambahan luas terjadi di bagian barat
(Kecamatan Blanakan) dan di Tanjung Cipunagara. Sedangkan penurunan
luas terjadi di Tanjung Pamanukan dan Tanjung Pancerwetan.
SARAN
Untuk mengetahui pola perubahan secara baik harus dilakukan penelitian
lanjutan agar pola perubahan garis pantai secara multi temporal dapat diketahui.
Selain itu juga untuk melihat secara langsung pengaruh penggunaan lahan
terhadap perubahan garis pantai.
59
DAFTAR PUSTAKA Andriyani. 2007. Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-
Faktor penyebabnya di Kabupaten Serang Provinsi Banten [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim. 2008. http:// id.wikipedia.org/wiki/Laguna (diakses 1 Maret 2011).
Aronoff, S. 1989. Geografic Information System: A Management Perspective. WDL Publication. Ottawa, Canada.
Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Avery, T.E. 1992. Fundamental of Remote Sensing and Air–Photo Interpretation, 5th Ed. New Jersey: Prentice-Hall, Upper Sadle River.
Bappeda Kabupaten Sumedang. 2008. Kependudukan. http://bappeda.sumedangkab.go.id (diakses 9 April 2011).
Barlowe, R. 1978. Land Resources Economic Third Edition. Prentice Hall Inc. Englewood cliffs, New Jersey.
Barus, B dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi. Laboratorium penginderaan Jauh dan kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2008. Data Potensi Desa Jawa Barat. Jakarta.
Gandasasmita, K. 2001. Analisis Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu Jawa Barat [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gany, A.H.A. 2002. Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Dalam Pencegahan Bencana Sedimen. Yogyakarta.
Handayani, Rattri. 2004.Pemanfaatan Data Landsat TM dan Landsat 7/ETM Untuk Melihat Perubahan Garis Pantai Tahun 1995-2000 Di Teluk Cempi, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akapres. Jakarta. dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kalay, Degen Erasmus. 2009. Perubahan Garis Pantai di Sepanjang Pesisir Pantai Indramayu [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lillesand, T.M., dan R.W. Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadjah Mada University press. Yogyakarta.
Lo, C.P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan Bambang Purbowaseso. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
60
Muiz, Abdul. 2009. Analisis perubahan penggunaan lahan di kabupaten sukabumi. (Tesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Munibah, Khursatul, Asdar Iswati, dan Boedi Tjahjono. 2009. Pemetaan Partisipatif Batas Kepemilikan Lahan Timbul/Daratan Baru yang Diverifikasi Dengan Data Penginderaan Jauh Hiperspektral. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian.
. 2008. Model Penggunaan Lahan Berkelanjutan di DAS Cidanau, Kabupaten Serang, Propinsi Banten [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Murai, S. 1996. Remote Sensing Note. Japan: Japan Association on Remote Sensing.
Pemkab Indramayu. 2009. Statistik. http://www.indramayukab.go.id/ (diakses 9 April 2011).
Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. CV.
Informatika. Bandung.
Rahim, Supli Effendi. 2009. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Rosnila. 2004. Perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap keberadaan situ (studi kasus kota Depok). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sarief, Saifuddin. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana. Bandung Soenarmo, Sri Hartati. 2003. Penginderaan Jarak Jauh Dan Pengenalan Sistem
Informasi Geografi Untuk Bidang Ilmu Kebumian. Catatan Kuliah. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta.
Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh Jilid II. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta.
Tarigan, M. Salam. 2007. Perubahan Garis Pantai Di Wilayah Pesisir Perairan Cisadane, Provinsi Banten. Makara Sains.
Witanto, Beni Iriawan. 2004. Penerapan Penginderaan Jauh Untuk Mendeteksi Sedimentasi Pantai (Studi Kasus Pantai Utara Subang Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
61
LAMPIRAN
62
Lampiran 1. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1972 (Kombinasi Band 421)
63
Lampiran 2. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1990 (Kombinasi Band 542)
64
Lampiran 3. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 2008 (Kombinasi Band 542)
65
Lampiran 4. Pembuatan Peta Isohyet
1. Menampilkan peta kontur daerah penelitian dan mengaktifkan extensions
Spasial Analyst
2. Setelah extensions Spasial Analyst aktif, maka akan muncul menu Analysis
dan Surface.
3. Untuk membuat garis kontur isohyet curah hujan bulanan maka langkah
selanjutnya adalah memilih menu surface dan sub menu Create Contours.
pilih ukuran grid cell yang dipakai/dihasilkan, metode konturing dan field
yang akan digunakan. Pembuatan peta ini menggunakan ukuran grid cell
50 m dan metode konruringnya adalah Spline. Penggunaan ukuran grid
cell sebesar 50 m2 didasarkan pada garis kontur yang akan lebih halus
dimana semakin kecil ukuran grid cell maka hasil garis kontur akan
semakin halus.
4. Selanjutnya mengubah peta berbentuk polyline ke bentuk polygon,
sehingga dapat dihitung luasannya. Prosesnya adalah dengan
menggabungkan peta ini dengan peta dasar DAS Cipunagara yang
berbentuk polyline dengan bantuan extensions Xtools Extensions dengan
cara memilih menu Xtools-Merge Themes. Untuk mengubah peta ini ke
dalam bentuk polygon maka diperlukan extensions Edit Tools v3.1.
5. Menghitung curah hujan di daerah penelitian dengan persamaan sebagai
berikut :
R = …….………..
Dimana ;
A1, A2, ….. An : Luas bagian-bagian antara garis-garis Isohyet
R1, R2, ….. Rn : Curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1, A2, …... An
66
Lampiran 5. Formasi Geologi DAS Cipunagara
Formasi batuan yang ditemukan dalam wilayah penelitian sebanyak 18 formasi.
Adapun penjelasan singkat dari formasi geologi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Qa (Aluvial), material penyusunnya adalah sedimen klastik aluvium.
Proses sedimentasinya adalah sedimentasi melalui sungai.
2. Msc (Anggota batu lempung), material penyusunnya adalah sedimen
klastik dan batu liat. Proses sedimentasinya adalah sedimentasi litoral.
3. Mss (Anggota batu pasir), material penyusunnya adalah sedimen klastik
dan batu pasir. Proses sedimentasinya adalah sedimentasi terestrial-fluvial.
4. Qav2 (Batu pasir tufaan dan konglomerat), material penyusunnya adalah
sedimen klastik berukuran medium dan batu pasir. Proses sedimentasinya
adalah sedimentasi terestrial-fluvial.
5. Qvb2 (Breksi produk batuan gunung api tua), material penyusunnya
adalah sedimen klastik, kuarsa, dan breksi. Proses sedimentasinya adalah
vulkanisme subaerial.
6. Qaf (Endapan dataran banjir), material penyusunnya adalah sedimen
klastik berukuran halus dan batu liat. Proses sedimentasinya adalah
sedimentasi terestrial-fluvial.
7. Qad (Endapan delta), material penyusunnya adalah sedimen klastik
aluvium. Proses sedimentasinya adalah sedimentasi sungai.
8. Qac (Endapan pantai), material penyusunnya adalah sedimen klastik
aluvium. Proses sedimentasinya adalah sedimentasi sungai.
9. Pt (Formasi Cilanang), material penyusunnya adalah sedimen klastik
berukuran halus dan marl. Proses sedimentasinya adalah transisional.
10. Pk (Formasi Kaliwangu), material penyusunnya adalah sedimen klastik
berukuran medium. Proses sedimentasinya adalah transisional.
11. Qc (Koluvial), material penyusunnya adalah sedimen klastik, kuarsa, dan
breksi. Proses sedimentasinya adalah terestrial-aluvial.
12. Qyl (lava), lava menunjukkan kekar lempeng dan kekar tiang. Susunannya
basal dan sebagian besar telah terpropilitisasikan.
67
13. Qyu (Produk gunung api muda), merupakan hasil ekstrusif intermediate
dan bahan piroklastik.
14. Qob (Produk gunung api tua), material penyusunnya adalah breksi, lahar,
dan pasir tufa berlapis-lapis dengan kemiringan yang kecil.
15. Qvu (Produk gunung api tua tak teruara), merupakan hasil ekstrusif
intermediate dan bahan piroklastik. Proses sedimentasinya adalah
vulkanisme subaerial.
16. Qyd (Tufa pasiran), merupakan tufa pasir coklat yang mengandung kristal-
kristal hornblende yang kasar, lapisan lapilli, breksi, dan lahar lapuk