PERUBAHAN MUTU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN SURIMI KERING BEKU IKAN LELE (Clarias sp.) WAHYU RAMADHAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
1
PERUBAHAN MUTU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN
SURIMI KERING BEKU IKAN LELE (Clarias sp.)
WAHYU RAMADHAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
2
3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Mutu dan
Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.) adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis
saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Wahyu Ramadhan
NIM C351110181
4
5
RINGKASAN
WAHYU RAMADHAN. Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi
Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan
WINI TRILAKSANI.
Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun 2012 baru
mencapai 30.17 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih
jauh di bawah Singapura dengan tingkat konsumsi 48.1 kg/kapita/tahun bahkan
Malaysia mencapai tingkat konsumsi 56,61 kg/kapita/tahun. Salah satu komoditas
perikanan budidaya yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan
dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat Indonesia adalah ikan lele. Ukuran ikan
lele sangat menentukan nilai jualnya, karena ukuran ikan disesuaikan dengan
target pasarnya. Ikan lele ukuran konsumsi (8-12 ekor/kg) penjualannya tidak
menemui permasalahan karena tingginya permintaan pasar. Permasalahan yang
dihadapi adalah pemasaran ikan lele yang bobotnya melebihi ukuran konsumsi
(oversize). Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10% dalam setiap siklus
produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para pembudidaya
akibat dari banyaknya lele oversize yang tidak laku dijual. Oleh karena itu salah
satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan ikan lele dalam pembuatan surimi
sebagai bahan baku produk intermediate. Penelitian dan kajian tentang surimi
telah banyak mengalami perkembangan, namun masalah ketersediaan dan
keberlangsungan bahan baku menjadi masalah utama. Lele sebagai komoditas
unggulan budidaya di Indonesia diharapkan mampu menjadi bahan baku baru
dalam industri surimi. Surimi mengalami peningkatan permintaan di beberapa
negara, termasuk di kawasan Asia dan Eropa. Pengolahan lebih lanjut surimi
menjadi bentuk tepung merupakan salah satu kajian yang penting dalam beberapa
tahun ini. Pengeringan surimi dianggap mampu menekan biaya instalasi
pembekuan selama penyimpanan dan transportasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi dan waktu
perendaman garam alkali (NaHCO3) terbaik terhadap penurunan kandungan lemak
daging lele, menentukan frekuensi pencucian dan dryoprotectant terbaik dalam
pembuatan surimi kering beku ikan lele, menentukan sifat fungsional dan
mikrostruktur surimi kering ikan lele serta menentukan umur simpan surimi
kering beku dengan jenis kemasan yang berbeda. Penelitian ini diharapkan
bermanfaat sebagai langkah awal pemanfaatan bahan baku lokal dalam hal ini
ikan lele oversize sebagai bahan baku produk surimi (intermediate product) dan
memberikan teknologi alternatif dalam pembuatan surimi serta meningkatkan
potensi industri surimi dengan pemanfaatan jenis-jenis ikan ekonomis rendah
yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu proses pembuatan surimi kering ikan
lele dan tahap pendugaan umur simpan surimi kering (tepung surimi). Penelitian
tahap satu terdiri atas proses defatting daging ikan, pemilihan frekuensi pencucian
surimi, penentuan jenis dryoprotectant, serta perbandingan sifat fisikokimia
surimi basah dan surimi kering. Proses deffating dilakukan untuk menentukan
konsentrasi penggunaan sodium bikarbonat dan waktu perendamannya terhadap
penurunan kadar lemak daging lele. Konsentrasi dan waktu perendaman terpilih
pada tahap defatting digunakan sebagai perlakuan dalam pembuatan surimi pada
6
tahap selanjutnya. Penentuan frekuensi pencucian surimi terbaik dilakukan
dengan pengujian derajat putih, daya ikat air (WHC), kekuatan gel, kadar protein
larut garam, nilai pH dan nilai sensori (uji lipat dan uji gigit) pada surimi lele.
Penentuan dryoprotectant terbaik dengan menggunakan trehalosa 6%, karagenan
2%, dan dryoprotectant campuran, yaitu sorbitol 4%, sukrosa 4% dan fosfat 0.5%.
Pengujian yang dilakukan untuk mengukur dan menentukan dryoprotectant
terbaik adalah analisis rendemen, daya ikat air, kekuatan gel, protein larut garam,
densitas, rehidrasi, sifat emulsi dan daya buih. Setelah itu dilakukan perbandingan
mikrostruktur daging ikan, surimi basah, surimi kering dan kamaboko yang
dihasilkan menggunakan SEM, analisis rendemen, proksimat, daya ikat air,
kekuatan gel, pengukuran nilai pH, kekuatan gel serta uji sensori (uji gigit dan uji
lipat). Penelitian tahap dua dilakukan pendugaan umur simpan surimi kering
menggunakan metode air kritis, dengan model Labuza dalam penentuan kurva
ISA surimi kering.
Hasil pengamatan pada tahap defatting menunjukkan bahwa perlakuan
sodium bikarbonat 0.75% selama 10 menit menjadi faktor terpilih dengan kadar
lemak lele 1.52%. Penggunaan sodium bikarbonat terbukti mampu mereduksi
konsentrasi lemak 27-78% dari lemak awal. Frekuensi pencucian surimi satu kali
merupakan perlakuan terpilih dengan nilai derajat putih 57.21%, daya ikat air
73.28%, protein larut garam 7.17%, pH 6.69, kekuatan gel 482.3 g/cm2, uji lipat
4.84 dan uji gigit 8.26. Trehalosa menunjukkan perlakuan dryoprotectant terpilih
karena mampu menjaga sifat fisikokimia surimi selama proses pengeringan. Daya
ikat air surimi kering yaitu 8.01 mL/g, kekuatan gel 826.3 g/cm2, protein larut
garam 18.98%, densitas kamba 0.12 g/100 mL, kapasitas rehidrasi 3.81, nilai
kapasitas emulsi 69.3%, stabilitas emulsi 59.3%, kapasitas daya buih yang paling
tinggi adalah 25.33%, dan stabilitas emulsi 9.40%. Hasil analisis SEM
menunjukkan penampang mikrostruktur surimi menunjukkan bahwa penambahan
trehalosa menunjukkan jaringan yang lebih baik dibandingkan surimi dengan
dryoprotectant lainnya. Surimi kering mengalami penurunan kualitas sifat fisik
dan kimia terutama pada nilai sensori uji gigit dan uji lipat. Surimi kering
menghasilkan surimi kualitas B.
Analisis pendugaan umur simpan surimi kering terdiri dari lima tahap
yaitu penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan, nilai
atribut kemasan dan perhitungan umur simpan dengan menggunakan model
Labuza. Kadar air awal surimi kering beku berkisar antara 7-12%. Kadar air kritis
merupakan hubungan antara kadar air dan aktivitas air surimi kering. Berdasarkan
hasil percobaan diperoleh persamaan y = 4.250x - 4.078 dengan nilai R² = 0,914
dan kadar air kritis produk, dimana x = 0.80 yaitu 0.2098 gH2O/g solid. Kurva
ISA kadar air kesetimbangan surimi kering yang dihasilkan cukup halus dan
sigmoid. Model persamaan kurva sorpsi isotermis surimi kering terpilih adalah
persamaan Hasley log Me = (log(ln(1/aw))+1.893)/-2.209 dengan nilai MRD
2.31. Berdasarkan persamaan Labuza umur simpan surimi kering adalah selama
6.1 bulan (dengan kemasan OPP), 4.5 bulan (dengan kemasan HDPE) dan 22.6
bulan dengan menggunakan retort pouch pada RH 70%.
Kata kunci: lele, mikrostruktur, surimi kering beku, trehalosa, umur simpan.
7
SUMMARY
WAHYU RAMADHAN. Quality Changes of Freeze Dried Catfish Surimi and
Predicting of Shelf Life. Surpervised by JOKO SANTOSO and WINI
TRILAKSANI.
Indonesian fish consumption rate in 2012 reached 30.17 kg/capita/year,
but still lower than Singapore fish consumption levels of 48.1 kg/capita/year, even
Malaysia reached the high level of fish consumption up to 56.61 kg/capita/year.
Catfish as surimi raw material has a tremendous opportunity to be developed in
order to utilize oversized catfish as an alternative efficiency in trade. Catfish
easily cultivated and affordable for the grassroots level. Selling price of catfish is
determined by its size, because it was adapted to the target market. Catfish with
the normal size (7-10 fishes/kg) did not encounter sales problems due to high
market demand. The problem faced is marketing catfish that weighs more than the
consumption size (oversize) that accounted for 10% in each production cycle. The
aforemention problems can occur lossing for farmers due to the many oversized
catfish that will not sold. Therefore one of the proposed solutions is utilization of
catfish in the manufacture of surimi as intermediate raw materials. Research and
study of surimi has evolved, but the major problems are the sustainability and
continuity of raw materials. Catfish as a aquaculture commodity is expected to be
the solution. Surimi products have increased demand in several countries,
including in Asia and Europe region. Further processing of surimi into powder
form to be one of the important studies in recent years, surimi drying installations
are considered to reduce the cost of freezing during storing and transporting. This study aims to determine the best concentration of NaHCO3 duration
of soaking, surimi washing frequency and the best dryoprotectant, to evaluate
quality changes of dried surimi and to estimate its shelf life. This research is
expected to be useful as an initial step oversized catfish used as raw material for
surimi products (intermediate product). This study provides an alternative
technology in the manufacture of surimi and surimi industry to increase the
potential raw material through using inexpensive types of fish that have not been
used optimally. This study is conducted into two step mainly the process on making dried
catfish surimi and surimi shelf life estimation. The first step research consisted of
defatting process, selecting of surimi washing frequency, determination of
dryoprotectant, as well as the comparison of the physicochemical properties of
wet surimi and dried surimi. Lipid concentration is a key in the process of
deffating, the best determination washing frequency is measured through
whiteness value, WHC, gel strength, salt soluble protein content, pH value and
sensory parameters (folding test and teeth cutting test) analysis.
The second step is determination of the best dryoprotectant, the treatments
given are trehalose 6%, carrageenan 2%, and mixture dryoprotectant (4% sorbitol,
4% sucrose and 0.5% phosphate). Some test were performed in order to measure
and to find out the best dryoprotectant such as yield, water holding capacity, gel
strength, salt soluble proteins, density, rehydration ratio, emulsion and foaming
properties and the microstructure. The final step were comparison of fish meat,
8
wet surimi, dried surimi and kamaboko through measuring of SEM
(microstruture) testing, yield, proximate, water holding capacity, gel strength,
measurement of pH, gel strength and sensory testing (folding test and teeth cutting
test). In the last part of the study is to estimate the self life of dried surimi using
critical water methode with the Labuza model in determining of dried surimi
moisture sorption isotherm (MSI) curve. The result in defatting step shows that soaking in NaHCO3 0.75% for 10
minutes was selected treatment, contained fat of 1.52%. One washing cycle surimi
was the best treatment, with the whiteness valuev of 57.21%, water holding
capacity of 73.28%, salts soluble protein of 7.17%, pH of 6.69, the gel strength of
482.3 g/cm2, and 4.84 in folding test and 8.26 in cutting test. Determination of
best dryoprotectant shows trehalose was chosen treatment for being able to
maintain the physicochemical properties of surimi during the drying process.
Dried surimi had characteristic of water holding capacity 8.01 mL/g, gel strength
826.3 g/cm2, salt soluble protein 18.98%, density 12.12 g/100 mL, rehydration
ration 3.81, emulsion capacity 69.3%, emulsion stability 59.3%, foaming capacity
25.33%, and 9.40% for foaming stability. Microstructure of surimi added by
trehalose showed compact tissue than surimi with other dryoprotectant and the
tissue consisted no damaged and cloted properly. Dried surimi has deteriorated
physical and chemical properties, especially the teeth cutting test and folding test
value. Estimation of shelf life of dried surimi, consists of several steps. Initial
moisture content of surimi powder ranged from 7-12%. Determined the critical
moisture content of the linearity between moiture content and water activity of
surimi powder, from the experiment equation y = 4.250x - 4.078 with a value of
R² = 0.914 and critical moisture content of the product, with x = 0.80 was equal to
0.2098 gH2O/g solid. Moisture sorption isotherm models of surimi powder
produced quite smooth and sigmoid curve. The choosen model was Me = log (log
(ln (1/aw)) + 1.893) /-2.209 (Hasley Formula) with a value of MRD 2.31. Shelf
life estimation of surimi powder at 70% RH with oriented poly prophlene (OPP),
high density polyethylene (HDPE), and retort pouch (PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40)
packaging were 6.1 months, 4.5 months and 22.6 months, respectively.
Keyword: catfish, freeze dried surimi, microstructure, shelf life, trehalose.
9
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
10
11
PERUBAHAN MUTU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN
SURIMI KERING BEKU IKAN LELE (Clarias sp.)
WAHYU RAMADHAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
12
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Eng. Uju, S.Pi, M.Si
13
Judul tesis : Perubahan Mutu dan Pendugaan Umur Simpan Surimi
Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.)
Nama : Wahyu Ramadhan
NIM : C351110181
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Joko Santoso, MSi
Ketua
Dr Ir Wini Trilaksani, MSc
Anggota
Tanggal Ujian : 23 September 2013 Tanggal Lulus :
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
14
15
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segenap
limpahan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini. Penelitian ini mengangkat tema dengan judul Perubahan Mutu
dan Pendugaan Umur Simpan Surimi Kering Beku Ikan Lele (Clarias sp.).
Tesis ini merupakan salah satu syarat mendapatkan gelar magister di Program
Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini
tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima
kasih yang setulusnya kepada:
1. Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku ketua komisi pembimbing yang telah
banyak mencurahkan waktu dalam membimbing penulis dan banyak
memberikan nasihat untuk lebih bijak dalam kehidupan.
2. Dr Ir Wini Trilaksani, MSc sebagai anggota komisi pembimbing atas
kesedian waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan
selama penyusunan tesis ini. Bimbingan dan nasihat Ibu akan menjadi
panutan dalam menjalani hidup.
3. Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi, selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan tesis.
4. Dr.Eng Uju, SPi, MSi sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak
memberikan saran dan perbaikan dalam penyelesaian tesis ini.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, staf administrasi dan laboran Program Studi
Teknologi Hasil Perairan FPIK IPB yang telah banyak membantu dan
kerjasamanya yang baik selama penulis menempuh studi.
6. Dr Nurul Huda (Universitas Sains Malaysia) yang telah banyak memberikan
arahan teknis selama proses pembuatan surimi kering.
7. Ibu Rubiyah yang telah banyak meluangkan waktu membantu penulis di
Laboratorium hingga di akhir masa pensiun, semoga semua kebaikan Ibu
dibalas dengan yang lebih baik.
8. Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan yang telah memberikan
beasiswa Unggulan DIKTI selama penulis menempuh pendidikan magister
serta Kementerian Keuangan atas Beasiswa Penelitian yang diberikan
melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
9. Ayahanda Ir Tjandra Buana, MSi dan Ibu Ir Hermin Puspa Rahayu yang
telah mengasuh, memberikan kasih sayang, serta dukungan moril dan
material selama penulis menempuh pendidikan di Bogor sejak tahun 2006.
10. Lia Astriani, SPi atas dukungan, semangat, doa dan kasih sayang yang
diberikan, serta keluarga besar Bapak Prof Dr Ir Toto Toharmat, MAgrSc
yang telah banyak memberikan semangat, kasih sayang dan kehangatan
keluarga selama penulis menempuh pendidikan di Bogor.
11. Keluarga di Bogor, Jakarta, Surabaya dan Kendari yang selalu memberikan
semangat dan kehangatan keluarga.
16
12. Teman-teman THP 43 dan S2 THP 2010, 2011 dan 2012 atas kerjasama
yang baik selama studi.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga
penelitian ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan
masyarakat Indonesia umumnya.
Bogor, Juli 2013
Wahyu Ramadhan
17
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xvii
DAFTAR GAMBAR xvii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SURIMI KERING
BEKU LELE (Clarias sp.) 7
Pendahuluan 7
Metode 8
Hasil dan Pembahasan 16
Simpulan 43
3 PENDUGAAN UMUR SIMPAN SURIMI KERING BEKU 44
Pendahuluan 45
Metode 46
Hasil dan Pembahasan 52
Simpulan 62
4 PEMBAHASAN UMUM 63
5 SIMPULAN DAN SARAN 65
DAFTAR PUSTAKA 66
RIWAYAT HIDUP 75
DAFTAR TABEL
1 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap nilai L (lightness), a (redness),
b (yellowness) dan derajat putih surimi lele 20
2 Hasil komposisi proksimat, sifat fisik, dan sifat kimia pada surimi
kering dan surimi basah ikan lele 40
3 Beberapa larutan garam jenuh dan nilai RH pada suhu 30 C 49
4 RH larutan garam jenuh 53
5 Kadar air kesetimbangan (Me) surimi kering dan waktu
tercapainya pada beberapa RH penyimpanan 54
6 Model persamaan kurva sorpsi isotermis surimi kering 57
7 Parameter penentuan umur simpan surimi kering beku ikan lele 61
pada kemasan dan RH yang berbeda
DAFTAR GAMBAR
1 Formulasi pembuatan surimi kering beku ikan lele (tepung surimi)
(*Modifikasi, Ohkuma et al. 2008). 10
2 Pengaruh waktu perendaman dan persentasi NaHCO3 terhadap
lemak fillet lele ( 0% NaHCO3, 0.25% NaHCO3, 0.50%
NaHCO3, 0.75% NaHCO3, 1% NaHCO3) 17
18
3 Kamaboko dengan frekuensi pencucian surimi yang berbeda 19
4 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap daya ikat air surimi lele 21
5 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kandungan miofibril 22
6 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap pH surimi 23
7 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel surimi 24
8 Penerimaan uji lipat pada frekuensi pencucian surimi 25
9 Penerimaan uji gigit pada frekuensi pencucian surimi 26
10 Surimi kering beku 27
11 Kadar air surimi kering pada beberapa jenis dryoprotectant ;
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%,
4. karagenan 2% 28
12 Daya ikat air surimi kering pada beberapa jenis dryoprotectant
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%,
4. karagenan 2% 29
13 Kekuatan gel surimi dengan perbedaan jenis dryoprotectant :
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,
3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 31
14 Nilai protein larut garam surimi kering : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%,
sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 32
15 Densitas surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant :
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%,
4. karagenan 2% 34
16 Kapasitas rehidrasi surimi kering lele pada beberapa jenis
dryoprotectant : 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,
3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 35
17 Sifat emulsi surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant :
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,
3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 36
18 Daya buih surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant :
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%,
3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2% 37
19 Mikrostruktur surimi kering (a. Tanpa penambahan dryoprotectant;
b.Penambahan sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5% ; c. Penambahan
trehalosa 6%;d. Penambahan karagenan 2 %) (a.Perbesaran 250 kali,
b.Perbesaran 1000 kali) 38
20 Penampang mikrostruktur surimi kering (SK),
surimi basah (SB), kamaboko kering (KK), dan kamaboko
basah (KB) (Perbesaran 250 kali) 42
21 Penentuan umur simpan surimi kering beku dengan
model air kritis (Arpah 2007) 48
22 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan nilai aktivitas air (aw). 52
23 Kurva penentuan kadar air kritis surimi kering berdasarkan
aktivitas air 53
24 Pengkondisian kelembaban penyimpanan surimi kering beku dengan
desikator modifikasi kelembaban menggunakan garam jenuh 54
25 Grafik hubungan aktivitas air dengan kadar air kesetimbangan (ISA) 55
26 Kurva sorpsi isotermis model Hasley ( ) dan hasil percobaan ( )
untuk surimi powder 57
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi gizi protein masyarakat Indonesia belum merata di setiap
daerah baik di pedesaan maupun perkotaan, bahkan belum mencapai angka
kecukupan gizi yang dianjurkan. Kualitas konsumsi pangan masyarakat juga
masih rendah yang diindikasikan dengan masih rendahnya kontribusi protein
hewani dalam menu makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ikan masyarakat
Indonesia pada tahun 2009 mencapai 30.17 kg/kapita/tahun, dan naik pada tahun
2010, 2011 dan 2012 berturut-turut meningkat 30.48, 32.25, 33.89 kg/
kapita/tahun. Walaupun sampai tahun 2012 mengalami peningkatan hingga 5.44%
namun tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih jauh di bawah Singapura
dengan tingkat konsumsi 48.1 kg/kapita/tahun bahkan Malaysia mencapai tingkat
konsumsi 56.61 kg/kapita/tahun (KKP 2012). Sumbangan protein ikan terhadap
angka kecukupan gizi masyarakat Indonesia baru mencapai 12%, lebih rendah
dari Malaysia yang mencapai 18%. Hal ini mernjadi ironi karena kondisi negara
Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga wilayahnya
adalah lautan mempunyai potensi lestari perikanan laut yang begitu besar.
Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan 6.4 juta ton per tahun
yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 5.12 juta ton per tahun atau sekitar
80 persen dari potensi lestari. Disamping itu juga terdapat potensi perikanan
lainnya yang berpeluang untuk dikembangkan, yaitu budidaya air tawar, laut dan
perairan umum. Pada tahun 2015 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
menargetkan Indonesia menjadi penghasil produk perikanan terbesar di dunia dan
telah ditetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombaknya. Produksi
perikanan budidaya akan ditingkatkan menjadi 16.89 juta ton pada tahun 2014
atau naik 353% dibandingkan produksi tahun 2009 yang baru mencapai 4.78 juta
ton (KKP 2011). Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya peningkatan konsumsi
ikan melalui program penganekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan
protein hewani khususnya yang bersumber dari ikan. Salah satu komoditas
perikanan budidaya yang memiliki peluang sangat besar untuk dikembangkan
dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat Indonesia adalah ikan lele.
Ikan lele mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau oleh lapisan
masyarakat bawah. Perkembangan produksi lele secara nasional mengalami
kenaikan 18.3% per tahun dari 24.991 ton pada tahun 1999 menjadi 57.740 ton
pada tahun 2003. Tahun 2011 produksi ikan lele yang diproduksi menembus batas
340.674 ton, terjadi peningkatan 39.82% dari tahun 2007-2011 dan pada tahun
2010-2011 meningkat hingga 40.30% (KKP 2011). Hal ini mengindikasikan
tingginya minat dan konsumsi ikan lele. Ukuran ikan lele sangat menentukan nilai
jualnya, karena ukuran ikan disesuaikan dengan target pasarnya, misalnya pasar
retail (supermarket), restoran, dan industri olahan (processing), serta untuk pasar
negara-negara tertentu misalnya Taiwan, Singapura, Hongkong, Jepang, Belanda,
Perancis, Italia, Spanyol, USA, Turki, Uni Emirat Arab dan Afrika Selatan. Ikan
lele ukuran konsumsi (8-12 ekor/kg) penjualannya tidak menemui permasalahan
2
karena tingginya permintaan pasar, namun kendala pemasaran ada pada ikan lele
yang bobotnya melebihi ukuran konsumsi (oversize).
Ikan lele oversize memiliki ukuran lima ekor per kilogram atau bahkan
mencapai 1-2 ekor per kilogram. Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10%
dalam setiap siklus produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para
pembudidaya akibat dari banyaknya lele oversize yang tidak laku dijual (Trobos
2008). Pemanfaatan ikan lele oversize masih kurang, hal ini disebabkan preferensi
masyarakat yang sangat rendah terhadap ikan lele oversize, bau lumpur yang
disebabkan oleh kandungan geosmin dan ukurannya yang besar. Oleh karena itu,
diperlukan suatu upaya diversifikasi untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan lele
yang berukuran besar. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan ikan
lele dalam pembuatan surimi sebagai intermediate product.
Park dan Lin (2005) menjelaskan bahwa surimi merupakan protein
miofibril hasil dari pemisahan tulang secara mekanis kemudian mendapat
perlakuan pencucian dengan air dingin dan ditambahkan cryoprotectant sebagai
penstabil. Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di
seluruh dunia dan sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat
menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Salah
satu keunggulan dari surimi ikan adalah kemampuannya untuk diolah menjadi
bermacam-macam produk lanjutan dalam berbagai bentuk dan ukuran (Lanier
1992).
Bahan baku surimi diawali dengan penggunaan ikan-ikan berdaging putih
dari perairan dingin misalnya Alaska pollock (pada tahun 2000 mensuplai 50%
kebutuhan surimi di dunia), Pacific whiting (1990-2003), arrowtooth flounder
(1998-2001), southern blue whiting dan hoki (1988-1998), northern blue whiting
(1990-2003) dan jenis-jenis lain dari perairan Amerika Selatan. Dekade ini ikan-
ikan tropis mulai dilirik misalnya threadfin bream (Nemipterus spp.), lizardfish
(Saurida spp.), bigeye snapper (Priacanthus spp.), croaker (Sciaenidae) dan
spesies lainnya. Alaska pollock diketahui sebagai bahan baku surimi dengan grade
premium dan telah diproduksi sampai 250.000 ton selama 1998-2003. Walaupun
pada tahun 1990-an produksi surimi stabil dan pada tahun 2000 dan 2003
meningkat hingga 2-3%, namun ikan-ikan komersial sebagai bahan baku surimi
misalnya atka mackerel dan Alaska pollock mengalami penurunan secara nyata.
Saat ini tercatat bahwa terjadi penurunan kurang lebih 50% dari populasi Alaska
pollock dan sedang dalam kondisi yang sangat kritis untuk diselamatkan
(Greenpeace 2008). Tahun 2010 produksi Alaska pollock kembali mengalami
penurunan drastis (Poowakanjana et al. 2013), sehingga perlu dilakukan kajian
mengenai pecarian bahan baku yang murah dan mudah diperoleh sebagai bahan
baku surimi (Park dan Lin 2005).
Pemanfaatan ikan-ikan alternatif lain sebagai bahan baku surimi harus
dikembangkan. Ikan-ikan budidaya serta ikan pelagis misalnya sardin, tilapia,
rainbow trout, grass crap saat ini menjadi fokus utama dalam pengembangan
industri surimi, dikarenakan ikan-ikan tersebut mudah ditangkap atau
dibudidayakan dan murah (Luo et al. 2001, Nopianti et al. 2011). Lele sebagai
salah satu komoditas unggulan budidaya Indonesia diharapkan mampu menjadi
salah satu sumber alternatif bahan baku surimi. Kandungan protein lele menjadi
kunci utama dalam pengembangan lele sebagai bahan baku surimi dan olahannya,
3
karena kualitas akhir surimi sangat ditentukan oleh kandungan dan kualitas
protein ikan.
Negbenebor et al. (1999) menyatakan bahwa kandungan protein catfish
adalah 9.8-11.9%. Penelusuran paten surimi menunjukkan pengembangan surimi
catfish diawali oleh Miyakama et al. (1992) dengan nomor paten 5141766 (USA
Patent), dalam patennya dinyatakan bahwa surimi catfish memiliki keunggulan
pada kekuatan gel dan derajat putih yang lebih baik dibandingkan dengan surimi
berbahan baku ikan walleye pollack, selain itu diungkapkan juga bahwa catfish
memiliki komponen heat-stable protein lebih baik dibandingkan dengan walleye
pollack. Catfish memiliki kandungan miofibril yang baik, terutama kandungan
miosin yang tinggi (Kim et al. 2006; Raghavan dan Kritinsson 2008).
Chomnawang et al. (2007) menyatakan bahwa catfish mengandung protein 17.25-
18.68% dengan komposisi miofibril 45.14 mg/g. Kandungan protein yang tinggi
terutama kandungan miofibril menjadikan ikan lele sebagai komoditas yang
memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi surimi.
Pengolahan surimi berbahan baku ikan lele telah banyak dikaji, namun
sebagai upaya optimasi pemanfaatan surimi diperlukan sediaan pangan lain yang
lebih praktis dan mudah digunakan salah satunya adalah dalam bentuk tepung
surimi. Kajian mengenai tepung surimi dari ikan air tawar masih sangat jarang
dilakukan. Lanier dan Lee (1992) pertama kali melakukan kajian terhadap proses
pembuatan surimi kering beku (tepung surimi) menggunakan spray drying dan
freeze drying menjadi bubuk surimi.
Perkembangan penelitian tepung surimi terus berlanjut. Penelitian tentang
surimi kering beku atau tepung surimi dimulai oleh Lanier dan Lee (1992),
mengkaji sifat fungsional dan nilai gizi surimi ikan Allaska pollock. Ikan lain
yang telah dikaji sebagai bahan baku tepung surimi adalah capelin (Mallotus
villosus), dan thread bream (Nemipterus sp.) (Venugopal et al. 1994, 1996),
tilapia (Oreochromis nilotica) dan fat sleeper (Dormitator moculatus) (Ramirez
et al. 1999), lizardfish (Saurida tumbil.) (Huda et al. 2000), pacific whiting
(Merluccius productus), thread bream (Nemipterus sp.), purple-spotted bigeye
(Priacanthus tayenus) dan lizardfish (Saurida tumbil) (Huda et al. 2001), marlin
(Makaira sp.) (Pratiwiningsih 2004), carp (Cyprinus carpio) (Ohkuma et al.
2008), dan saithe (Pollachius virens) (Shaviklo et al. 2010; 2012; 2013).
Penelitian mengenai tepung surimi berbahan baku ikan lele belum banyak dikaji
sehingga pengembangan penelitian tersebut perlu dilakukan. Kajian mengenai
proses pembuatan tepung surimi telah menggunakan banyak metode pengeringan
antara lain solar drying, oven drying, drum drying, spray drying, dan freeze
drying (Santana et al. 2012). Metode freeze drying masih menunjukkan
keunggulan dalam mempertahankan sifat-sifat fungsional surimi, sehingga produk
akhir surimi dengan pengolahan freeze drying biasanya disebut surimi kering
beku.
Surimi kering beku (freeze dried surimi) adalah salah satu olahan surimi
yang telah mengalami proses pengeringan beku dan berbentuk tepung. Konsumen
produk berbasis surimi di Jepang semakin meningkat (Phatcharat et al. 2006),
demikian juga di negara-negara berkembang misalnya Indonesia, diestimasikan
telah diproduksi 315.800 juta ton produk-produk surimi di daerah Asia Tenggara
selama tahun 2005. Surimi telah banyak dipakai sebagai emulsifier dalam produk-
produk artificial misalnya crab lag, crab stick, scallop, shrimp imitation, pork
4
meat (Zhou et al. 2003). Surimi telah banyak dijumpai di pasar-pasar swalayan di
kota besar Indonesia, sehingga peluang pengembangan tepung surimi sebagai
bahan intermediate pangan sangat menjanjikan.
Melihat peluang tersebut ikan lele sebagai komoditas unggulan budidaya
Indonesia memiliki potensi besar untuk diolah menjadi surimi kering beku.
Pengolahan lele ukuran oversize menjadi tepung surimi atau surimi kering beku
memberikan keuntungan kepada petani ikan dan juga memberikan keuntungan
kepada pelaku industri surimi dalam proses penyimpanannya. Kondisi
penanganan, distribusi dan kapasitas penyimpanan surimi beku memerlukan biaya
yang tinggi (Parvathy dan Sajan 2011). Bentuk kering dari surimi merupakan
alternatif dalam perdagangan dikarenakan biaya transportasi yang lebih murah,
penyimpanan produk lebih mudah, lebih praktis (ringkas) dan efisien karena tidak
memerlukan pembekuan selama proses distribusi, memungkinkan penyedian stok
yang banyak, serta perbaikan warna dan penghilangan bau yang dapat mengatasi
masalah pada pengolahan tepung ikan untuk konsumsi manusia.
Produk kering merupakan salah satu produk pangan yang memiliki masa
simpan yang cukup lama, namun produk kering yang memiliki porositas yang
tinggi akan memiliki kepekaan terhadap kelembaban udara yang tinggi. Penentuan
masa simpan produk kering dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun
eksternal. Penentuan umur simpan produk kering dapat dilakukan dengan
pendugaan menggunakan model air kritis. Model air kritis ditentukan oleh variasi
kelembaban udara dan model sorpsi air dari bahan pangan.
Keunggulan produk surimi kering serta potensi pengembangannya yang
begitu besar menjadikannya sebagai salah satu alternatif produk intermediate
instant pilihan di masa akan dating. Kajian terhadap pembuatan dan penentuan
sifat fungsional dari surimi kering beku dengan bahan utama ikan lele serta
penentuan masa simpan surimi kering belum banyak dilakukan sehingga menjadi
salah satu kajian awal yang perlu dilakukan.
Rumusan Masalah
Ikan lele merupakan salah satu komoditas unggulan di Indonesia.
Peningkatan produksi budidaya lele diikuti dengan peningkatan jumlah lele
oversize di setiap siklus budidayanya. Lele dengan ukuran oversize kurang
diminati dan memiliki nilai jual yang rendah. Pemanfaatan lele oversize menjadi
surimi sebagai bahan pangan intermediate merupakan salah satu upaya
diversifikasi. Pengolahan surimi menjadi bentuk tepung merupakan alternatif
pengolahan pangan yang memiliki banyak keuntungan dalam penyimpanan dan
distribusi. Dalam bentuk kering, surimi lele memiliki keuntungan dan kelemahan.
Perubahan menjadi bentuk kering diduga banyak menghilangkan komponen
fungsional protein di surimi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
mengkaji perubahan mutu surimi kering dibandingkan dengan surimi basah serta
pendugaan umur simpannya.
5
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
a. Menentukan konsentrasi dan waktu perendaman garam alkali terbaik
terhadap penurunan kandungan lemak daging lele.
b. Menentukan proses pembuatan terbaik surimi kering beku ikan lele.
c. Mengevaluasi sifat fisikokimia dan mikrostruktur surimi kering ikan lele.
d. Menentukan umur simpan surimi kering beku dengan jenis kemasan
plastik yang berbeda.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai langkah awal pemanfaatan bahan
baku lokal dalam hal ini ikan lele oversize sebagai bahan baku produk surimi
(intermediate product). Selain itu dari penelitian ini akan diperoleh proses
pembuatan surimi kering beku terbaik serta umur simpannya. Penelitian ini
memberikan teknologi alternatif dalam pembuatan surimi serta meningkatkan
potensi industri surimi dengan pemanfaatan jenis-jenis ikan ekonomis rendah
yang belum dimanfaatkan secara optimal.
6
7
2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SURIMI KERING
BEKU LELE (Clarias sp.)
Pendahuluan
Latar belakang
Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal
di seluruh dunia dan sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi
dapat menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut.
Salah satu keunggulan dari surimi ikan adalah kemampuannya untuk diolah
menjadi bermacam- macam produk lanjutan dalam berbagai bentuk dan ukuran
(Lanier 1992). Huda et al. (2001) dan Nopianti et al. (2011) menyatakan bahwa
penggunaan ikan-ikan alternatif yaitu ikan-ikan pelagis, air tawar serta ikan non-
ekonomis merupakan salah satu kajian yang saat ini banyak dikembangkan untuk
melihat peluang pemanfaatan komoditas tersebut menjadi bahan baku surimi.
Pemanfaatan ikan air tawar sebagai bahan baku surimi diperkirakan dapat
menjamin ketersediaan stok bahan baku serta dapat menjadi salah satu alternatif
sumber bahan baku surimi yang selama ini sudah mengalami penurunan pasokan
akibat overfishing. Ikan lele sebagai salah satu komoditas unggulan budidaya di
Indonesia berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku surimi. Kegiatan
budidaya ikan lele sebagaimana yang disebutkan sebelumnya memiliki kendala
dalam penanganan dan manajemen terkait ukuran di atas permintaan pasar
(Trobos 2008). Lele dengan ukuran oversize memiliki harga yang rendah dan
kurang dimintai oleh konsumen, sehingga pengolahan lele yang berukuran besar
menjadi surimi berpotensi untuk dikembangkan.
Surimi dengan bahan baku ikan lele belum banyak dikembangkan.
Miyakama et al. (1992) memulai pemanfaatan ikan lele sebagai surimi, namun
secara umum masih sangat jarang kajian mengenai pemanfaatan ikan lele dengan
ukurun besar (oversize) untuk menjadi surimi. Pencucian merupakan salah satu
faktor penting yang harus diperhatikan. Pencucian bertujuan untuk
menghilangkan kandungan lemak, pigmen, protein larut air serta komponen lain
yang dapat mengganggu terbentuknya gel yang baik pada surimi (Chen et al.
1997). Kandungan lemak merupakan salah satu faktor kritis yang biasanya
diperhatikan dalam pengolahan surimi, terkadang pencucian dengan air dingin
biasa tidak cukup untuk mereduksi kandungan lemak di ikan. Salah satu metode
yang biasa dilakukan untuk mengurangi kandungan lemak adalah dengan proses
defatting. Karayannakidis et al. (2007) melaporkan bahwa pencucian daging ikan
sardin (Sardina pilchardus) dengan larutan alkali efektif untuk menghilangkan
lemak dari daging. Pencucian dengan asam maupun alkali dapat meningkatkan
indeks lightness (kecerahan) dan derajat putih, sehingga penelitian mengenai
pengaruh proses defatting pada daging bahan baku surimi menjadi menarik untuk
dikaji lebih dalam. Kualitas akhir produk surimi ditentukan oleh kekuatan gel,
derajat putih yang secara langsung ditentukan oleh proses atau teknik pencucian,
jenis ikan dan jenis cryoprotectant yang digunakan. Pencucian memberikan
pengaruh terhadap kandungan protein miofibril serta tingkat kecerahan pada
8
surimi, begitupun jenis cryoprotectant memberikan pengaruh langsung terhadap
kandungan protein surimi selama penyimpanan beku.
Surimi kering merupakan bentuk kering dari surimi yang telah dihilangkan
sebagian besar kandungan airnya, sehingga biasa disebut sebagai tepung surimi.
Lanier dan Lee (1992) di Jepang serta Montejano et al. (1994) di Mexico telah
memulai mengkonversi surimi menjadi bentuk kering atau tepung protein.
Kondisi kering surimi menunjukkan banyak keunggulan antara lain lebih mudah
dalam penyimpanannya. Namun dalam proses pengeringan surimi basah banyak
air yang akan dihilangkan yang akan menyebabkan hilangnya komponen gizi
salah satunya adalah protein miofibril yang mempengaruhi nilai kekuatan gel pada
produk akhir. Cryoprotectant atau dryoprotectant berperan dalam menjaga
komponen air sehingga menghindari terjadinya driploss saat proses thawing atau
kehilangan air secara berlebihan saat pengeringan beku (Suzuki 1981). Park dan
Lin (2005) melaporkan bahwa poliol dan beberapa jenis gula terbukti mampu
menjadi cryoprotectant, walaupun perkembangan penelitian terakhir penggunaan
cryoprotectant dengan jenis gula yang berkalori tinggi sudah mulai dihindari
dikarenakan isu mengenai kesehatan (Nopianti et al. 2011).
Surimi kering akan mengalami kehilangan air yang besar pada struktur
jaringan dagingnya. Proses rehidrasi kembali diharapkan mampu mengembalikan
struktur jaringan daging surimi. Perubahan sifat fisiko kimia surimi kering, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan surimi kering menjadi kajian yang
perlu dilakukan untuk mengetahui potensi pengembangan ikan lele sebagai bahan
baku surimi di masa mendatang.
Tujuan
Tujuan penelitian pada tahap awal ini antara lain :
1. Menentukan konsentrasi dan waktu perendaman sodium bikarbonat terbaik
pada fillet lele
2. Menentukan frekuensi pencucian surimi terbaik
3. Menentukan jenis dryoprotectant terbaik
4. Mengevaluasi perbedaan sifat fisiko kimia surimi kering dan surimi basah.
Metode
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Maret
2013. Bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Departemen Teknologi
Hasil Perairan FPIK, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan,
Laboratorium Saraswati Indo Genetech Bogor, serta Laboratorium Geologi
Kuarter Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung.
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku, bahan
tambahan dan bahan pembantu, serta bahan kimia untuk analisis. Bahan baku
yang digunakan adalah ikan lele dengan ukuran 1-3 ekor/kg yang diperoleh dari
9
kolam Budidaya Lebak Sirna Ciampea, Bogor. Bahan-bahan kimia yang
digunakan antara lain K2O4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, HCl
(MERCK).
Alat yang digunakan adalah pengering beku/freeze dryer ( Christ Alpha 2-
43360 Harz tipe 10042), alat dekstruksi dan destilasi Kjeldahl, labu lemak, alat-
alat gelas, alat ekstraksi soxhlet, pH meter (THERMO tipe orion 3 star portable),
refrigerator (Glacio-Toshiba tipe GR K262/262PD), freezer (SHARP tipe FRV-
200), sentrifuge (JOUAN tipe CR 412), texture analyzer (TA-XT21), Scanning
electron microscope (SEM-JSM tipe 6360 LA).
Tahapan penelitan
Penelitian dilakukan dalam empat tahap meliputi tahap proses deffating
daging ikan, pengaruh frekuensi pencucian surimi, pengaruh jenis dryoprotectant,
serta tahap perbandingan sifat fungsional surimi kering beku dan surimi basah.
Konsentrasi dan waktu perendaman terpilih pada tahap pertama digunakan dalam
proses pembuatan surimi, selanjutnya frekuensi pencucian dan jenis
dryoprotectant terpilih menjadi formula yang digunakan dalam pembuatan surimi
kering yang pada tahap akhir dibandingkan dengan surimi basah.
Pengaruh perendaman garam alkali Ikan lele oversize diuji kandungan proksimat awalnya (air, protein, lemak,
abu, dan karbohidrat). Lele difillet dengan panjang 10-20 cm, tebal 0.5-1.5 cm.
Fillet direndam pada larutan NaHCO3 dengan konsentrasi 0%, 0.25%, 0.5%,
0,75% dan 1% (b/v) masing-masing 10, 20 dan 30 menit, kemudian dilakukan
pengujian kadar lemak (AOAC 2005) untuk mendapatkan waktu dan konsentrasi
NaHCO3 terbaik.
Penentuan frekuensi pencucian terbaik
Fillet ikan lele digiling kemudian dicuci dengan air dingin (suhu 10 C)
sebanyak satu, dua, tiga dan empat kali. Masing-masing frekuensi pencucian
diukur rendemennya, derajat putih (Debusca et al. 2013), daya ikat air (WHC)
(McCord et al. 1998), kekuatan gel (Huda et al. 2012), kadar protein larut garam
(Zhou et al. 2006), nilai pH dan nilai sensori (uji lipat dan uji gigit) (Lanier 1992).
Penentuan dryoprotectant terbaik
Tahap penentuan konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terbaik
dilanjutkan dengan penentuan dryoprotectant terbaik. Perlakuan yang diberikan
adalah trehalosa 6% (Huda et al. 2012), karagenan 2% (Uju et al. 2007), dan
dryoprotectant campuran, yaitu sorbitol 4%, sukrosa 4% dan fosfat 0.5% (Park
dan Lin 2005). Pengujian yang dilakukan untuk mengukur dan menentukan
dryoprotectant terbaik adalah rendemen, daya ikat air (McCord et al. 1998),
kekuatan gel (Huda et al. 2012), protein larut garam (Zhou et al. 2006), densitas
(Venugopal et al. 1996), rehidrasi (Xu et al. 2004), sifat emulsi (Yatsumatsu et al.
1972) dan daya buih (Huda et al. 2012).
Karakteristik kualitas akhir surimi basah dan surimi kering beku
Setelah diperoleh konsentrasi NaHCO3, frekuensi pencucian dan jenis
dryoprotectant terbaik dalam proses pembuatan surimi kering beku, maka pada
tahap selanjutnya produk akhir dibandingkan dengan surimi basah dengan melihat
beberapa parameter yaitu mikrostruktur daging ikan, surimi basah, surimi kering dan olahan produk yang dihasilkan menggunakan SEM, analisis rendemen,
10
proksimat, water holding capacity, kekuatan gel, pengukuran nilai pH, profil
tekstur serta uji sensori (uji gigit dan uji lipat). Surimi juga diolah menjadi
kamaboko dengan cara surimi dicampur dengan 3% (b/b) garam dan 30% (b/v) air
dingin. Pencampuran dilakukan selama 15-20 menit. Pasta tersebut dimasukkan
ke dalam casing aluminium. Selanjutnya dilakukan pemanasan I pada suhu 40 C
selama 20 menit dan dilanjutkan dengan pamanasan II pada suhu 90 C selama 20 menit. Diagram alir pembuatan surimi kering beku ikan lele (Ohkuma et al. 2008)
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Pembuatan surimi kering beku ikan lele (tepung surimi)
(*Modifikasi Ohkuma et al. 2008).
11
Metode analisis
Analisis yang dilakukan berupa karakterisasi sensori, fisika dan kimia
yang meliputi uji lipat dan uji gigit, analisis rendemen, pengkuran pH, derajat
putih, kekuatan gel, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar protein larut
garam, dan daya ikat air.
Uji lipat dan gigit surimi (Lanier 1992)
Penentuan uji lipat (folding test) dan uji gigit (teeth cutting test) dilakukan
dengan membuat kamaboko terlebih dahulu. Surimi dicampur dengan 3% (b/b)
garam dan 30% (b/v) air dingin. Pencampuran dilakukan selama 15-20 menit.
Pasta tersebut dimasukkan ke dalam casing aluminium. Selanjutnya dilakukan
pemanasan I pada suhu 40 C selama 20 menit dan dilanjutkan dengan pemanasan
II pada suhu 90 C selama 20 menit. Setelah itu kamaboko didinginkan dan dipotong dengan ketebalan 4-5 mm untuk uji lipat dan 1-2 cm untuk uji gigit.
Uji lipat dilakukan dengan cara melipat kamaboko menjadi setengah
lingkaran. Jika tidak putus atau retak maka dilipat lagi menjadi seperempat
lingkaran. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut :
5 : tidak retak bila dilipat 4
4 : sedikit retak bila dilipat 4
3 : sedikit retak bila dilipat 2
2 : retak tapi masih menyatu bila dilipat 2
1 : patah seluruhnya bila dilipat 2
Uji gigit dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi
seri atas dan gigi seri bawah. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut :
10 : amat sangat kuat kekenyalannya
9 : amat kuat kekenyalannya
8 : kuat kekenyalannya
7 : agak kuat kekenyalannya
6 : kekenyalannya masih dapat diterima
5 : agak lunak
4 : lunak
3 : sangat lunak
1 : hancur
Analisis fisika
(a) Analisis rendemen
Pengamatan meliputi rendemen fillet dan surimi terhadap bahan baku :
Rendemen fillet ikan (%) = berat daging fillet
berat daging utuh x 100%
Rendemen surimi basah (%) = berat surimi basah
berat ikan utuh x 100%
Rendemen surimi kering (%) = berat surimi kering
berat ikan utuh x 100%
(b) Derajat putih (Debusca et al. 2013)
Analisis warna dilakukan dengan Chromameter. Mula-mula alat
dikalibrasi dengan warna putih sampai monitor menunjukkan nilai L, a dan b
sesuai dengan nilai yang tertera pada warna putih standar. Selanjutnya sampel
12
diletakkan dalam tabung dengan ditutupi lensanya dan nilai reflektan (L, a dan b)
terbaca pada alat pengukur. Perhitungan nilai derajat putih dilakukan dengan
menggunakan rumus :
Derajat putih (%) = 100 – (100 − 𝐿∗)2 + 𝑎∗2 + 𝑏∗2
(c) Sifat rehidrasi (Xu et al. 2004)
Sampel sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam gelas piala 500 mL,
kemudian ke dalam gelas dimasukkan air sejumlah persen kehilangan air selama
proses pengeringan beku. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap waktu
rehidrasi dan kapasitas rehidrasi. Sebanyak 20 g sampel ditambahkan dengan air
diaduk merata hingga menjadi bubur yang kental. Waktu rehidrasi dihitung saat
sampel mulai diberi air hingga menjadi bubur. Kapasitas rehidrasi (Kr) dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Kr = Selisih berat sampel awal dan sampel akhir (g)
Berat contoh tepung surimi (g)
(d) Densitas (Venugopal et al. 1996)
Densitas nyata surimi kering ditentukan dengan menempatkan sampel
dalam labu 10 mL. Berat surimi kering dicatat dan kepadatan volume yang
dinyatakan sebagai mL per 10 g tepung surimi. Selanjutnya pengukuran densitas
kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur. Gelas ukur 100 mL ditimbang
(a), kemudian sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur sampai tanda tera.
Kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b).
Densitas kamba diukur dengan rumus :
Densitas kamba (g/ml) = b−a g
100 ml
(e) Daya ikat air (Water Holding Capacity) (Nopianti et al. 2011; McCord
et al. 1998)
Pengamatan daya ikat air pada surimi kering mengacu pada Nopianti et al.
(2011), sedangkan pada surimi basah untuk metode pengukuran daya ikat air
mengacu pada McCord et al. (1998). Sampel dengan berat yang ditentukan
disentrifugasi pada 4500 rpm selama 15 menit, setelah itu supernatan dipisahkan
dan bagian padatan ditimbang (W1). Selanjutnya bagian padatan ditentukan kadar
airnya dengan mengeringkan dalam oven seperti prosedur penentuan kadar air,
sehingga diperoleh berat setelah dikeringkan (W2).
Daya ikat air (WHC) (%) = W1−W2
W1 x 100%
(f) Kekuatan gel (Hayes et al. 2005)
Pengukuran kekuatan gel (kekerasan) gel kamaboko dilakukan secara
obyektif dengan menggunakan texture analyzer (TA-XT21). Tingkat gel dari
surimi dinyatakan dalam gram force tiap cm2
(g/cm2) yang berarti besarnya gaya
tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan di bawah probe
berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian
dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan
alat ketika menekan sampel adalah 1.5 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu
13
kali. Hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi
saat sampel benar-benar pecah.
(g) Daya buih (Huda et al. 2012)
Tepung surimi (1 g) ditambahkan ke dalam 100 mL air dan
dihomogenisasi selama satu menit. Campuran larutan surimi dipindahkan ke
dalam 250 mL beaker glass. Kapasitas daya buih atau busa dilihat dari busa yang
terbentuk dibandingkan dengan kapasitas volume awal. Stabilitas daya buih
merupakan rasio dari kapasitas daya buih selama waktu observasi dibandingkan
dengan kapasitas daya buih awal.
(h) Sifat emulsi (Yatsumatsu et al. 1972) Kapasitas emulsi diukur dengan cara 5 g surimi kering ditambahkan
20 mL air dan 20 mL minyak jagung, kemudian dihomogenisasi selama 1 menit
dan disentrifugasi pada 7500 rpm selama 5 menit. Stabilitas emulsi ditentukan
dengan cara yang sama namun sebelum sampel disentrifugasi, emulsi dipanaskan
di waterbath pada suhu 90 C selama 30 menit kemudian didinginkan di air dingin selama 10 menit. Kapasitas dan stabilitas emulsi dihitung dengan
menggunakan rumus :
Emulsi = volume emulsi setelah disentrifugasi
volume awal x 100%
(i) Pengamatan mikrostuktur (Lin et al. 2002)
Prinsipnya adalah sampel diiradiasi dengan pancaran elektron, sehingga
elektron ada yang meloncat dan ada yang diserap. Jika sampel tidak memiliki
konduktivitas elektrik, elektron yang diserap akan memberikan arus pada sampel,
sehingga terjadi kesalahan pengamatan. Oleh karena itu dilakukan pelapisan metal
dalam ruang hampa, pengamatan dengan accelerating voltage rendah dan
pengamatan dalam tingkat kehampaan untuk mencegah sampel menerima arus.
Pengamatan mikrostruktur dilakukan menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM). Sampel yang akan diamati terlebih dahulu dikeringkan dalam
pengering beku. Setelah preparasi sampel selesai, dilakukan pelekatan sampel
pada logam yang telah dilapisi lem karbon untuk dilakukan pelapisan
menggunakan emas atau logam di dalam magnetron sputtering device yang
dilengkapi dengan pompa vakum, pada proses vakum terjadi loncatan logam emas
ke arah sampel sehingga melapisi emas. Proses vakum berlangsung sekitar
20 menit. Sampel yang telah dilapisi diletakkan pada lokasi sampel dalam
mikroskop elektron dan dengan terjadinya tembakan elektron kearah sampel maka
akan terekam ke dalam monitor dan dilakukan pemotretan.
Analisis kimia
(a) Analisis kadar protein (AOAC 2005)
Sampel ditimbang 2 g bahan dalam labu Kjeldahl kemudian ditambahkan
1.9±0.1 g K2O4, 40±10 mg HgO, 2.0 mL H2SO4. Selanjutnya larutan dididihkan
selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutan didinginkan dan
diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 mL
larutan NaOH-Na2S2O3. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang telah
berisi 5 mL H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol) dengan
perbandingan 2:1. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan larutan HCl
0.1 N hingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hasil yang
14
diperoleh adalah total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6.25.
Kadar protein yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan:
Kadar N (%) = ml HCl −ml blanko x N HCl x 14.007
mg sampel x 100%
Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (6.25)
(b) Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Prinsip penetapan kadar abu yaitu abu dalam bahan pangan ditetapkan
dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu
sekitar 550-600 °C. Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102-
105 °C selama 30 menit. Sebanyak 1-2 g sampel ditimbang dalam cawan porselin
yang telah diketahui beratnya. Contoh kemudian dikeringkan dalam oven dan
diarangkan, selanjutnya diabukan dalam tanur pada suhu 600 °C selama 6-8 jam
sampai pengabuan sempurna (abu berwarna putih). Sampel didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang. Untuk menghitung kadar abu digunakan rumus
sebagai berikut:
Kadar abu (%) = Bera t Abu
Berat Sampel x 100%
(c) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)
Sampel ditimbang labu alas bulat kosong (A g). Kemudian ditimbang 2 g
homogenat contoh (B g) yang dimasukkan dalam selongsong lemak. Kemudian
berturut-turut dimasukkan 150 mL kloroform ke dalam labu alas bulat,
selongsong lemak ke dalam extractor soxhlet, dan dipasang rangkaian soxhlet
dengan benar. Ekstraksi dilakukan pada suhu 60 °C selama 6 jam. Selanjutnya
campuran lemak dan chloroform dalam labu alas bulat dievaporasi sampai kering.
Labu alas bulat yang berisi lemak dimasukkan dalam oven suhu 105 °C selama
±2 jam untuk menghilangkan sisa kloroform dan uap air. Labu dan lemak
didinginkan di dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang berat labu
alas bulat yang berisi lemak (C g) ditimbang beratnya hingga konstan.
Perhitungan lemak pada sampel adalah:
Kadar lemak (%) = C−A
B x 100%
Keterangan: A = Berat labu alas kosong (g) ; B = Berat contoh(g) ;
C = Berat labu alas bulat dan lemak hasil ekstraksi (g)
(d) Kadar protein larut garam (miofibril) (Zhou et al. 2006)
Prinsip penetapan adalah membuang lemak dan protein yang terlarut pada
contoh surimi. Adonan daging ditimbang 3 g (A) dihomogenisasi dalam 30 mL
0.08 M bufer borat dingin pH 7.1 selama 4 menit. Wadah sampel ditempatkan
dalam es. Setiap 20 detik proses homogenisasi diikuti dengan istirahat selama 20
detik untuk menghndari kelebihan panas selama ekstraksi. Homogenat
disentrifugasi pada 8370 g selama 30 menit pada 4 C. Padatan yang diperoleh
ditimbang (B). Penentuan kadar protein miofibril menggunakan rumus :
Kadar protein miofibril (%) = B
A x 100%
15
(e) Pengukuran nilai pH
Prinsip penetapan pH adalah bahwa konsentrasi ion H+ dalam sampel yang
bersifat buffer dapat diukur dengan menggunakan pH meter. Prosedur pengukuran
nilai pH diawali dengan penimbangan sampel yang telah dihomogenisasi
sebanyak 20 g kemudian dimasukkan ke dalam blender, ditambahkan 40 mL
akuades dan diblender selama 1 menit, hasilnya dituangkan ke dalam gelas piala
100 mL. Alat pH meter dikalibrasi dengan larutan buffer standar yang memiliki
pH 7 dan pH 4 sebelum digunakan. Pembacaan nilai pH setelah jarum petunjuk
pH meter konstan kendudukannya.
Analisis data
Rancangan Percobaan (Steel dan Torrie 1993)
Rancangan yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah rancangan
acak lengkap faktorial dengan dua faktor. Perlakuan yaitu waktu peredaman dan
konsentrasi garam alkali. Model rancangan yang digunakan adalah:
𝑌𝑖𝑗𝑘 = 𝜇 + 𝛼𝑖 + 𝛽𝑖 + (𝛼𝛽)𝑖𝑗 + 𝜀𝑖𝑗𝑘
Keterangan :
Yij : Respon pada perlakuan k dengan kombinaasi perlakuan taraf ke-i pada
A, dan taraf ke-j pada B.
μ : Rataan umum
𝛼𝑖 : Pengaruh perlakuan ke-i pada A
𝛽𝑖 : Pengaruh perlakuan ke-j pada B
(𝛼𝛽)𝑖𝑗 : Pengaruh perlakuan taraf ke -i dari faktor A, dan taraf ke-j dari faktor B
εij : Galat percobaan perlakuan k dengan kombinasi rafa ke-i dan ke-j
Sebelum dilakukan analisis ragam dilakukan terlebih dahulu uji
kenormalan data dengan uji distribusi normal. Uji kenormalan yang digunakan
adalalah uji Kolmogorov Smirnov. Pengujian dengan menggunakan software
Minitab 16 dengan output berupa P value.
Pada tahap dua dan tiga yaitu pengaruh frekuensi pencucian dan jenis
dryoprotectant, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL).
Model rancangan yang digunakan adalah:
Yij = µ + σi + εij Keterangan:
Yij : hasil pengamatan parameter pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ : nilai rata-rata pengamatan terhadap parameter
σi: : pengaruh perlakuan ke-i
εij : galat pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i : perlakuan ke-i
j : ulangan ke-j
Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% untuk menyatakan
perbedaan nyata. Selanjutnya data dianalisis dengan analisis ragam. Jika dari hasil
analisis ragam berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji
Tukey. Rumus untuk uji berpasangan tukey (multiple comparisons) adalah:
Ri-Rj >< 𝑍𝛼
2 p
(𝑛+1)
6𝑘
P = 𝐾 (𝐾−1)
2
16
Keterangan:
Ri = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i
Rj = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j
k = jumlah perlakuan
N = jumlah data yang dibandingkan
α = 0.05 (5%)
Pengujian nilai kesukaan panelis menggunakan analisis non-parametrik
yaitu Kruskall-Walis. Data organoleptik dianalisis menggunakan Kruskall-Walis
dengan uji chi square. Apabila nilai x2 hitung > x
2 tabel maka tolak Ho. Prosedur
pengujian kruskall wallis menggunakan rumus.
(1) 𝐻 =12
𝑛 (𝑛+1)∑
𝑅𝑖2
𝑛𝑖− 3(𝑛 + 1)
(2) FK= ∑𝑇
𝑛−1 𝑛(𝑛+1) (3) H’=
𝐻
𝐹𝐾
Keterangan:
ni = banyaknya pengamatan tiap perlakuan atau jumlah panelis
n = banyaknya data
Ri = jumlah rata-rata tiap perlakuan ke-i
T = banyaknya pengamatan yang seri dalam tiap ulangan
H’
= H terkoreksi (ki-kuadrat)
FK = faktor koreksi
Apabila hasil uji chi-square menunjukkan di antara perlakuan tersebut
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap parameter yang diamati maka
pengujian dilanjutkan dengan uji lanjut multiple comparison dengan
menggunakan Uji Dunn.
Hasil dan Pembahasan
Surimi merupakan konsentrat protein miofibril dari ikan, komponen selain
protein larut garam dianggap dapat mengganggu proses pembentukan gel pada
produk akhir. Lemak adalah salah satu komponen yang dihindari dan harus
dihilangkan selama proses pencucian surimi. Beberapa jenis ikan mengandung
komponen lemak yang tinggi. Kehadiran lemak dapat mengganggu sifat
fungsional protein. Proses pencucian selama pembuatan surimi belum tentu dapat
menghilangkan komponen lemak secara signifikan, sehingga proses pre-treatment
deffating sebelum proses pengolahan surimi dianggap penting untuk dilakukan.
Salah satu syarat mutu surimi yang baik adalah memiliki kandungan lemak tidak
lebih dari 0.5%. Proses defatting diharapkan dapat menurunkan lemak secara
signifikan dan dapat menghasilkan surimi dengan kualitas yang lebih baik.
Defatting fillet ikan lele
Defatting adalah proses penghilangan atau peluruhan komponen lemak
permukaan pada daging menggunakan larutan bersuhu rendah dan atau dengan
larutan alkali. Komponen lemak yang cukup tinggi memberikan pengaruh buruk
terhadap pembentukan gel surimi sehingga proses pre-treatment dengan garam
alkali diharapkan dapat mereduksi lemak yang ada. Gambar 2 memperlihatkan
17
pengaruh waktu perendaman dan konsentrasi sodium bikarbonat pada kandungan
lemak fillet ikan lele.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 2 Pengaruh waktu perendaman dan persentasi NaHCO3 terhadap
lemak fillet lele ( 0% NaHCO3, 0.25% NaHCO3, 0.50%
NaHCO3, 0.75% NaHCO3, 1% NaHCO3).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama waktu perendaman tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kandungan lemak fillet ikan lele
(p>0.05), namun perbedaan konsentrasi NaHCO3 memberikan pengaruh nyata
terhadap kandungan lemak fillet lele. Selain itu interaksi perlakuan waktu dan
persentasi kandungan NaHCO3 tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan
lemak fillet lele. Penurunan kandungan lemak seiring dengan peningkatan
konsentrasi sodium bikarbonat yang digunakan. Kadar lemak awal ikan lele
adalah 3.37%. Penggunaan suhu dingin terbukti dapat menurunkan kandungan
lemak hingga 2.86-3.66%. Berdasarkan uji lanjut multiple comparison
penggunaan sodium bikarbonat dengan konsentrasi 0%, 0.25% serta 0.5% menunjukkan hasil yang tidak nyata terhadap penurunan kadar lemak fillet lele,
namun berpengaruh nyata pada penggunaan sodium bikarbonat 0.75% dan 1%.
Penggunaan sodium bikarbonat terbukti dapat mereduksi kadar lemak 27-78%.
Metode defatting dengan menggunakan larutan alkali, menurut Srinivasan
et al. (1996) selain dapat mereduksi lemak juga merupakan bufer yang mampu
mencegah terjadinya oksidasi pada lemak dan protein selama penyimpanan.
Sodium bikarbonat juga berperan sama dengan NaH2PO4 yang mampu berperan
mengikat komponen lipida pada permukaan daging ikan. Kandungan lemak
surimi merupakan salah satu penentu kualitas surimi. Kandungan lemak maksimal
adalah 0.5% (% b/b) (BSN 1992), sehingga pengaruh proses defatting di tahap
awal akan sangat berpengaruh dalam menghasilkan surimi dengan kualitas yang
baik. Karayannakidis et al. (2007) melaporkan bahwa pencucian daging ikan
sardin (Sardina pilchardus) dengan larutan alkali efektif untuk menghilangkan
lemak. Pencucian dengan asam maupun alkali dapat meningkatkan indeks
2.3
6a
2.0
3a
1.9
7a
2.5
4a
2.2
4a
1.7
9a
1.8
9ab
1.8
4ab
1.9
3ab
1.5
2bc
1.2
8bc
0.9
8bc
1.4
3c
0.9
8c
1.0
0c
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
10 menit 20 menit 30 menit
Kad
ar
lem
ak
(%
)
Waktu Perendaman
z z z
18
lightness (kecerahan) dan derajat putih surimi (Chen 2002; Chanarat dan Benjakul
2013).
Penggunaan NaHCO3 0%, 0.25% dan 0.5% menunjukkan hasil yang nyata
terhadap penurunan lemak fillet lele. Lanier dan Lee (1992) menggunakan 0.2%
NaHCO3 dalam proses defatting. Penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan
0.5% NaHCO3 mampu mereduksi komponen lemak surimi (InfoFish International
1989; Suvanich and Prinyawiwatkul 1999). Penggunaan alkali dalam pencucian
daging ikan menghasilkan kualitas surimi yang lebih baik dibandingkan dengan
pencucian air dingin saja. Penurunan kadar lemak menunjukkan bahwa
penggunaan NaHCO3 0.75% dan 1% menghasilkan fillet lele dengan kandungan
lemak lebih rendah dibandingkan penggunaan konsentrasi 0%, 0.25% dan 0.5%,
walaupun penggunaan NaHCO3 0.75% dan 0.5% menunjukkan hasil yang tidak
nyata (p>0.05) terhadap penurunan kadar lemak. Bledso et al. (2000) menyatakan
bahwa pada pengolahan surimi yang menggunakan ikan dengan lemak tinggi
sebaiknya digunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) yang berfungsi untuk
membantu mengurangi kandungan lemak.
Karakteristik kimia merupakan indikator awal kemampuan daging ikan
membentuk surimi yang baik. Komponen kimia yang dianalisis adalah
karbohidrat, air, lemak, protein, dan abu. Kandungan protein pada fillet daging
awal 16.32%, dan lemak 1.66%. Setelah proses defatting lemak mengalami
penurunan hingga 89.64% namun diikuti juga dengan penurunan protein 18.81%.
Proses leaching dengan sodium bikarbonat terbukti dapat menurunkan kandungan
lemak secara nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kadar lemak pada fillet.
Kandungan lemak yang rendah pada lele setelah defatting tentunya akan sangat
berpengaruh terhadap kualitas surimi akhir yang dihasilkan. Konsentrasi sodium
bikarbonat yang dipilih adalah 0.75% dengan waktu perendaman selama 10 menit.
Penentuan frekuensi pencucian terbaik
Surimi merupakan daging lumat hasil pencucian dengan air dingin dengan
frekuensi satu hingga empat kali pencucian. Proses pencucian diulang tiga hingga
empat kali untuk memastikan penghilangan fraksi sarkoplasma. Komponen
terbesar yang hilang adalah komponen-komponen larut air (Lanier 1992).
Pencucian dilakukan bergantung pada karakteristik ikan dan komponen kimia
ikan yang digunakan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kandungan
lemak, protein larut air, darah, enzim, pigmen dan kotoran lain yang mengganggu
pembentukan gel surimi. Pencucian akan mempengaruhi rendemen, derajat putih,
daya ikat air, protein larut garam, nilai pH, kekuatan gel, serta nilai sensori
terhadap uji lipat dan uji gigit surimi.
Rendemen surimi lele
Rendemen merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk dapat
memperkirakan bahan baku yang dibutuhkan dalam produksi, dan secara ekonomi
mempengaruhi nilai jual akhir produk. Uji ragam rendemen membuktikan bahwa
frekuensi pencucian secara langsung mempengaruhi rendemen massa dari daging
surimi yang dihasilkan. Rendemen daging lumat 34.74%, selanjutnya pada
pencucian pertama menghasilkan rendemen 25.24% dari massa awal daging ikan,
berturut-turut rendemen pencucian kedua, ketiga dan keempat adalah 22.08%,
19.00% dan 17.96%. Hasil uji lanjut multiple comparison memperlihatkan bahwa
19
frekuensi pencucian satu, dua dan tiga kali berbeda nyata, namun pencucian ketiga
dan keempat tidak berbeda nyata.
Hasil rendemen surimi menunjukkan bahwa frekuensi pencucian
berbanding terbalik dengan rendemen surimi yang dihasilkan, yaitu semakin
banyak frekuensi pencucian surimi maka semakin rendah rendemen surimi yang
dihasilkan. Hal ini terjadi karena pencucian menyebabkan leaching beberapa
komponen dari daging ikan, terutama protein sarkoplasma. Darah, pigmen, lemak
dan komponen larut air lainnya akan hilang dengan meningkatnya frekuensi
pencucian. Rendemen produk surimi dipengaruhi oleh bahan bakunya (jenis,
ukuran, musim dan kondisi biologis ikan), serta metode pencucian yang
digunakan.
Derajat putih surimi lele
Warna merupakan salah satu atribut awal yang mempengaruhi kualitas
suatu produk. Ikan lele oversize memiliki daging yang cenderung gelap dan
berwarna merah sehingga akan sangat mempengaruhi kualitas produk surimi.
Frekuensi pencucian surimi secara nyata mempengaruhi derajat putih kamaboko
yang dihasilkan, secara visual perbedaan kamaboko dengan pencucian surimi
yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kamaboko dengan frekuensi pencucian surimi yang berbeda.
Semakin tinggi frekuensi pencucian surimi maka semakin baik warna
putih yang dihasilkan. Pencucian satu kali dan dua kali menunjukkan penampakan
warna surimi yang sama, tingkat kecerahan mulai meningkat pada surimi dengan
tiga hingga lima kali pencucian. Uji ragam yang dilakukan menunjukkan
frekuensi pencucian memberikan pengaruh nyata terhadap derajat putih surimi.
Hasil pengamatan nilai L (lightness), a (redness), dan b (yellowness) dan derajat
putih dengan menggunakan Chromameter disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap nilai L (lightness), a (redness),
b (yellowness) dan derajat putih surimi lele
Frekuensi
Pencucian L (lightness) a (redness) b (yellowness) Derajat putih
1 57.20 + 2.20b +5.07 + 0.84
a +9.91+ 0.04
a 55.77 + 2.00
b
2 58.64 + 0.95b +4.81+ 0.28
ab +9.83+ 0.15
a 57.09 + 0.89
b
3 67.20 + 5.13a +4.67 + 0.15
b +9.48+ 0.73
a 65.16 + 4.60
a
4 68.55 + 3.52a +4.60 + 0.04
b +9.42+ 0.17
a 64.91 + 3.31
a
Nilai dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
20
Derajat putih menunjukkan tingkat derajat warna atau kecerahan pada
suatu bahan. Indeks nilai (<50) dinyatakan sebagai warna gelap, sedangkan nilai
indeks (>50) dinyatakan sebagai warna yang cerah. Berdasarkan data hasil
penelitian ini dapat dilihat bahwa surimi dengan pencucian satu dan dua kali
menghasilkan nilai derajat putih yang tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata
dengan pencucian tiga dan empat kali (p<0.05).
Surimi lele menunjukkan nilai lightness yang cukup rendah. Lightness
meningkat seiring dengan peningkatan frekuensi pencucian. Derajat putih surimi
lele (Clarias sp.) lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Benjakul
et al. (2010) yang menghasilkan surimi dari goatfish dengan derajat putih 73-
77%. Huda et al. (2001) melaporkan hasil penelitiannya bahwa surimi dari ikan
lizardfish memiliki nilai lightness, redness dan yellowness berturut-turut adalah
85.59, 0.30, 16.38, ikan threadfin bream 89.57, 0.19, 12.22, dan purple-spotted
bigeye 88.83, 0.23, 13.16. Secara umum nilai kecerahan dari beberapa ikan
tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan surimi lele hasil
penelitian ini, sedangkan untuk nilai redness surimi dari lele menunjukkan nilai
kemerahan yang cukup tinggi di semua frekuensi pencucian. Hal ini sesuai yang
dijelaskan oleh Park dan Lin (2005) bahwa proses pencucian menghilangkan
sebagian lemak dan pigmen dalam daging ikan, warna surimi natural adalah putih
mengkilap, dan mioglobin serta hemoglobin berperan dalam memberikan warna
kemerahan pada daging. Yellowness surimi lele menunjukkan nilai yang lebih
rendah dibandingkan ketiga ikan pada penelitian Huda et al. (2001). Surimi
komersial memiliki 4-5 grade mutu yang berbeda berdasarkan indeks L* dan b*
(Park dan Lin 2005).
Kristinsson et al. (2005) menyatakan dalam konsentrat protein ikan
peningkatan jaringan dapat meningkatkan nilai L*(lightness). Pilar dan Reyes
(2007) menjelaskan bahwa nilai yellowness biasanya disebabkan oleh lipida,
sedangkan redness dipengaruhi oleh presipitasi protein. Denaturasi atau oksidasi
juga dapat menyebabkan tingginya nilai kuning kecoklatan pada produk.
Penentuan pencucian surimi didasarkan pada nilai derajat putih dan parameter
lainnya, walaupun pencucian satu kali menunjukkan nilai derajat putih yang lebih
rendah (55.77%) dibandingkan dengan pencucian dua hingga empat kali namun
parameter lain terutama kualitas gel masih harus tetap dipertimbangkan. Nilai
indeks di atas 50% masih dikategorikan cerah dan masih bisa diterima oleh
konsumen. Selain itu persyaratan derajat putih pada surimi ekspor kelas I adalah
lebih besar dari 46% (Lanier 1992).
Daya ikat air surimi lele
Water holding capacity adalah daya ikat air dalam bahan pangan.
Kapasitas mengikat air atau water holding capacity (WHC) pada bahan pangan
merupakan kemampuan untuk mempertahankan kandungan air dalam pangan
dengan kata lain sifat fisik dan kemampuan struktur pangan mencegah air keluar
dari struktur 3 dimensi protein (Zayas 1997). Kemampuan surimi untuk menahan air yang berperan dalam pembentukan gel yang baik serta menjaga komponen
protein tetap stabil di dalam bahan pangan turunannya. Frekuensi pencucian
memberikan pengaruh nyata penurunan nilai daya ikat air surimi. Hasil uji daya
ikat air surimi disajikan pada Gambar 4.
21
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 4 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap daya ikat air surimi lele.
Daya ikat air merupakan faktor penting dalam kemampuan pembentukan
gel surimi. Daya ikat air akan berbanding lurus dengan kekuatan gel yang
dihasilkan. Daya ikat air dipengaruhi oleh protein melalui interaksi dengan
molekul air dan sisi komponen larut air protein melalui ikatan hidrogen (Zayas
1997), yang sangat dipengaruhi oleh pK, kekuatan ion, suhu, komponen dari suatu
bahan pangan, lemak, garam, kondisi penyimpanan.
Data daya ikat air surimi lele menunjukkan semakin banyak frekuensi
pencucian maka nilai pengikatan terhadap air juga semakin rendah, hal ini juga
dibuktikan dengan semakin menurunnnya kekuatan gel dari surimi tersebut.
Surimi dengan pencucian satu dan dua kali menunjukkan hasil daya ikat air yang
tidak berbeda nyata (p>0.05), pencucian tiga dan empat kali menunjukkan nilai
daya ikat air yang menurun secara nyata. Daya ikat air memegang peranan penting
dalam pembentukan gel dan emulsi (Zhou et al. 2006). Nopianti et al. (2012) juga
melaporkan penggunaan dryoprotectant pada surimi memberikan pengaruh pada
nilai daya ikat air surimi.
Protein larut garam surimi lele
Protein miofibril atau protein larut garam yaitu miosin, aktin, tropomiosin
dan troponin merupakan bagian terbesar dari protein otot ikan. Tekstur produk
ikan dan kemampuan membentuk gel pada daging ikan dan surimi dipengaruhi
oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada protein ini (Shahidi et al. 1999).
Pencucian memberikan pengaruh langsung pada penurunan kandungan miofibril
daging ikan. Berdasarkan hasil analisis ragam, frekuensi pencucian pada surimi
berpengaruh nyata terhadap kandungan miofibril atau protein larut garam.
Kandungan protein larut garam disajikan pada Gambar 5.
Tahap pencucian dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu
surimi. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan komponen-komponen
pengganggu dalam pembentukan gel misalnya darah, protein sarkoplasma, enzim
pencernaan, garam anorganik dan senyawa berberat molekul rendah (Benjakul
et al. 1996).
73.28a
67.58a
46.74b
27.39c
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4
Daya i
kat
Air
(%
)
Frekuensi Pencucian
22
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 5 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kandungan miofibril.
Oleh karena itu surimi pada pencucian dua kali memperlihatkan nilai protein larut
garam yang lebih tinggi dibandingkan dengan pencucian pertama, namun kembali
menurun pada pencucian ketiga dan keempat. Hal ini diduga akibat hilangnya
komponen protein miofibril, bahkan pencucian dapat menghilangkan 25% dari
protein yang ada di ikan (Suzuki 1981). Bagian kepala globular dari miofibril
memiliki 80% komponen hidrofilik sehingga akan larut air saat proses pencucian
surimi (Lanier and Lee 1992)
Nilai PLG tertinggi sebesar 7.39% pada perlakuan pencucian dua kali dan
nilai terendah pada perlakuan pencucian 4 kali sebesar 4.74%. Frekuensi
pencucian pertama dan kedua menghasilkan nilai protein larut garam yang tidak
berbeda nyata. Penurunan kadar protein miofibril menjadi indikator dari
denaturasi protein selama proses pencucian. Yathavamoorthi et al. (2010) juga
menyatakan bahwa terjadi kehilangan protein miofibril sebesar 12.82% selama
proses leaching dalam pembuatan surimi.
Derajat keasaman (pH) surimi lele
Derajat keasaman mempunyai pengaruh penting dalam proses kelarutan
protein larut garam. Menurut Suzuki (1981), pH berpengaruh terhadap kelarutan
protein larut garam (PLG). Nilai pH optimum bagi kelarutan PLG adalah pH yang
berada pada kisaran pH sedikit di bawah netral hingga netral. Pengukuran kisaran
nilai pH penting karena mempunyai peranan penting dalam pembentukan gel yang
kuat. Analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian memberikan
pengaruh nyata terhadap nilai pH yaitu semakin banyak frekuensi pencucian,
maka nilai pH semakin meningkat mendekati pH optimum (Gambar 6).
7.17a 7.39a
5.29b
4.74c
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1 2 3 4
PL
G (
%)
Frekuensi pencucian
23
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 6 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap pH surimi.
Uji lanjut multiple comparison surimi dengan pencucian tiga dan empat
kali tidak berbeda nyata namun berbeda nyata terhadap pencucian satu kali.
Pratiwiningsih (2004) melaporkan bahwa kisaran pH optimum untuk
menghasilkan gel yang elastis dan kenyal adalah 6.0-8.0 dan yang paling baik
adalah 6.5-7.5. Jika pH sol yang terbentuk kurang dari 6 maka akan dihasilkan gel
yang mudah pecah, sedangkan pada pH lebih dari 8.0 gel yang terbentuk tidak
kompak. Pencucian dua dan tiga kali tidak memberikan pengaruh yang nyata pada
pH surimi, karena masih di dalam kisaran pH yang baik dalam produk surimi.
Kisaran pH asam harus dihindari karena nilai pH yang jauh di bawah normal
mengakibatkan sifat hidrofilik ikan meningkat, sehingga terjadi pengembangan
dan gel tidak terbentuk. Suzuki (1981) menambahkan bahwa aktomiosin relatif
lebih stabil pada kisaran pH 6-8 namun akan lebih stabil pada pH 7. Kestabilan
aktomiosin akan membantu proses pembentukan gel. Derajat keasaman lebih dari
7 juga tidak baik karena akan mengakibatkan penyerapan air meningkat, sehingga
akan terjadi kesulitan pada proses dewatering.
Kekuatan gel surimi lele
Kekuatan gel merupakan parameter utama yang menentukan kualitas
surimi. Hasil uji kekuatan gel (gel strength) menunjukkan bahwa semakin tinggi
frekuensi pencucian kekuatan gel semakin menurun. Kekuatan gel kamaboko
pada perlakuan pencucian satu kali mempunyai nilai yang paling tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Analisis ragam menunjukkan bahwa peningkatan frekuensi pencucian
berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel surimi. Pencucian pertama
menghasilkan kekuatan gel 482.3 g/cm2 berbeda nyata dengan pencucian kedua
dan ketiga. Pencucian keempat menghasilkan kekuatan gel sebesar 208 g/cm2.
Pencucian empat kali menghasilkan kekuatan gel terendah. Ini menunjukkan
bahwa siklus pencucian yang meningkat cenderung menurunkan kekuatan gel.
Chen et al. (1997) menyatakan bahwa penambahan siklus pencucian dengan
waktu yang lama akan meningkatkan hidrasi daging lumat dan degradasi protein
miofibril, yang akhirnya menghambat kemampuan pembentuakn gel surimi. Data
lengkap hasil uji kekuatan gel dapat dilihat pada Gambar 7.
6.69b 6.8ab 6.84a 6.85a
5
5,2
5,4
5,6
5,8
6
6,2
6,4
6,6
6,8
7
1 2 3 4
pH
Frekuensi Pencucian
24
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 7 Pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel surimi.
Protein miofibril merupakan komponen utama yang akan berpengaruh
terhadap pembentukan gel kamaboko. Benjakul et al. (2004) menyatakan bahwa
semakin lama proses pencucian menyebabkan penurunan kekuatan gel dari surimi
ikan dan meningkat kandungan airnya. Pencucian merupakan tahapan yang
penting dalam pembuatan surimi. Pencucian bertujuan untuk mereduksi bahan-
bahan yang larut dengan air terutama protein sarkoplasma, lemak dan komponen
lain seperti pigmen. Penurunan konsentrasi protein sarkoplasma berpengaruh
terhadap kandungan protein miofibril yang merupakan komponen utama
pembetukan gel surimi. Frekuensi dan lama proses pencucian setiap jenis ikan
berbeda-beda dan akan berpengaruh terhadap kualitas surimi yang dihasilkan
(Hossain et al. 2004). Ikan dalam keadaan segar merupakan sumber protein yang
bagus dan mempunyai asam amino seimbang dan daya cerna yang baik (Karmas
dan Lauber 1987). Santoso et al. (2008) melaporkan kekuatan gel surimi dari ikan
cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan pari kelapa (Trygon sephen) dengan
pencucian air dingin sebanyak tiga kali adalah 276.24 g/cm2 dan 339.82 g/cm
2.
Kristinsson and Ingadottir (2006) melaporkan bahwa perbedaan pencucian pada
pembuatan surimi menghasilkan perbedaan komposisi nilai protein dan kekuatan
gel.
Pencucian dua dan tiga kali menghasilkan rerata kekuatan gel berturut-
turut 337.3 dan 234.8 g/cm2. Pencucian satu kali menghasilkan kamaboko dengan
nilai kekuatan gel 482.3 g/cm2 sehingga terlihat pencucian satu kali memberikan
kualitas surimi yang paling baik, nilai minimal dari kekuatan gel surimi adalah
300 g/cm2 (BSN 1992). Berdasarkan hasil uji karakteristik mutu surimi dan
kamaboko, maka diketahui bahwa perlakuan pencucian satu kali merupakan
perlakuan pencucian terbaik yang akan digunakan pada penelitian tahap
selanjutnya.
Uji sensori surimi lele
Prinsip uji sensori adalah menilai kesesuaian antara nilai hedonik dengan
standar mutu kamaboko. Penerimaan hedonik merupakan penentu kualitas utama
482.3a
337.3b
234.8c
208.0c
0
100
200
300
400
500
600
1 2 3 4
Kek
uata
n g
el (
g/c
m2)
Frekuensi Pencucian
25
mutu surimi atau produk kamaboko. Uji gigit dan uji lipat merupakan parameter
sensori utama. Sebagai makanan berbasis jelly product surimi diharuskan
memiliki karakteristik penerimaan yang baik terhadap konsumen. Tingkat
kekenyalan serta daya gigit mempengaruhi kualitas surimi.
Uji lipat surimi lele
Uji lipat (folding test) kamaboko berhubungan dengan kekuatan gel yang
diukur secara kualitatif. Pengukuran uji lipat dari suatu produk dilakukan dengan
menggunakan panelis sebagai alat pengukurnya dan berdasarkan pada spesifikasi
penilaian yang sudah ditentukan. Uji lipat ini berhubungan dengan uji kekuatan
gel yang diukur menggunakan alat texture analyzer. Menurut Lanier (1992),
metode uji lipat digunakan untuk membedakan gel bermutu tinggi dan rendah.
Data hasil uji lipat surimi disajikan pada Gambar 8.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) Gambar 8 Nilai uji lipat pada frekuensi pencucian surimi.
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan frekuensi pencucian berpengaruh
nyata terhadap nilai penerimaan uji lipat panelis, semakin banyak frekuensi
pencucian nilai uji lipat kamaboko semakin menurun. Frekuensi pencucian satu
kali menghasilkan nilai uji lipat tertinggi dengan nilai rata-rata 4.84 dan perlakuan
pencucian empat kali menghasilkan nilai uji lipat terendah dengan nilai rerata
3.19. Berdasarkan uji lanjut Dunn, terlihat bahwa pencucian satu kali tidak
berpengaruh nyata dibandingkan pencucian dua kali, namun berbeda nyata dengan
pencucian tiga dan empat kali. Pencucian satu kali menghasilkan nilai mendekati
5 atau kualitas AA yang berarti tidak patah saat dilipat menjadi empat bagian.
Benjakul et al. (2004) menyatakan bahwa semakin lama proses pencucian
menyebabkan penurunan kekuatan gel surimi ikan. Kehilangan miofibril lebih
banyak akan menyebabkan tingkat gelasi juga semakin rendah sehingga elastisitas
gel juga akan menurun. Pencucian satu kali menunjukkan hasil paling baik yaitu
dengan nilai uji lipat 4.84 atau hampir mendekati grade AA untuk kualitas surimi.
Nilai minimal uji lipat yang disyaratkan adalah 4 (Suzuki 1981) atau sesuai syarat
dan mutu surimi beku yaitu 7 (grade A) (BSN 1992).
Uji gigit surimi lele
Uji gigit (teeth cutting test) ini memberikan taksiran panelis secara
subyektif seperti halnya pada uji lipat. Nilai uji gigit merupakan tingkat
kekenyalan serta tekstur yang diterima oleh panelis. Berdasarkan uji Kruskal-
Wallis frekuensi pencucian memberikan pengaruh nyata terhadap penerimaan uji
gigit panelis pada surimi (p<0.05). Uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa masing-
4.84a 4.48a
3.55b
3.19c
0
1
2
3
4
5
1 2 3 4
Pen
erim
aan
uji
lip
at
Frekuensi Pencucian
26
masing frekuensi pencucian berbeda nyata terhadap nilai uji gigit surimi. Nilai
hasil uji gigit terhadap surimi ikan lele dengan perbedaan frekuensi pencucian
disajikan pada Gambar 9.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 9 Nilai uji gigit pada frekuensi pencucian surimi.
Seperti halnya uji lipat surimi, uji gigit memberikan gambaran penerimaan
sensori terhadap kamaboko dengan rentang nilai 1-10. Berdasarkan hasil
penerimaan uji gigit terlihat bahwa peningkatan frekuensi pencucian memberikan
pengaruh nyata terhadap nilai penerimaan panelis terhadap nilai uji gigit surimi.
Pencucian satu kali menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan pencucian
dua, tiga dan empat kali. Hal ini juga dipengaruhi oleh kadar air serta kandungan
protein larut garam. Semakin tinggi kadar air maka tekstur kamaboko akan
semakin lembek dan membuat kualitas surimi semakin rendah. Pencucian satu
kali menghasilkan nilai uji gigit 8.26, sedangkan pencucian empat kali
menunjukkan nilai kualitas uji gigit 4.71. Nilai uji gigit dipengaruhi oleh
elastisitas atau kekuatan gel dari surimi.
Penentuan dryoprotectant terbaik
Konsentrasi NaHCO3 dan frekuensi pencucian terbaik telah diperoleh,
kemudian dilanjutkan dengan penentuan dryoprotectant terbaik. Perlakuan yang
diberikan adalah trehalosa 6%, karagenan 2%, dan dryoprotectant campuran,
yaitu sorbitol 4%, sukrosa 4% dan fosfat 0.5%. Parameter pengujian dalam
penentuan kualitas surimi tepung adalah rendemen, daya ikat air, kekuatan gel,
protein larut garam, densitas, rehidrasi, sifat emulsi, dan daya buih.
Rendemen surimi kering beku
Pengeringan merupakan proses menghilangkan air dari produk dengan
mengurangi kandungan air sampai level yang cukup rendah. Hal ini akan
mengurangi kerusakan oleh mikroba dan laju reaksi kerusakan yang lain secara
nyata. Selain berfungsi untuk pengawetan yang dapat meningkatkan masa simpan,
pengeringan juga mengurangi masa dan volume produk sehingga efisien dalam
transportasi dan penyimpanan. Prinsip proses pengeringan beku atau liofilisasi
yaitu air dipindahkan dari padat langsung menjadi uap dengan sublimasi.
Pengeringan terjadi dalam dua langkah yaitu pertama air berpindah dengan
sublimasi, dan kedua adalah penguapan cairan pada molekul air yang tidak beku.
8.26a
6.77b
6.09c
4.71d
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1 2 3 4
Pen
erim
aan
uji
gig
it
Frekuensi Pencucian
27
Bahan pangan kering terdiri atas berbagai senyawa kimia pangan seperti
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Semua senyawa tersebut
cenderung menyerap atau mengikat air dengan berbagai mekanisme kimia-fisik
dan menghasilkan berbagai sifat, mutu dan daya awet produk pangan (Soekarto
et al. 2012).
Rendemen memegang peranan penting dalam produk surimi. Proses
pengeringan beku pada suhu -40 C akan menghilangkan air dalam daging hingga
80%. Penggunaan mixdryoprotectant yaitu sukrosa 4%, sorbitol 4% dan fosfat
0.5% menghasilkan rendemen 27.99%, sedangkan penggunaan trehalosa 6%,
karagenan 2% dan tanpa pengunaan dryoprotectant berturut-turut menghasilkan
rendemen 26.88%, 23.05% dan 20.42%.
Uji ragam menunjukkan bahwa jenis dryoprotectant berpengaruh nyata
terhadap rendemen surimi yang dihasilkan. Berdasarkan uji multiple comparison
penggunaan sukrosa, sorbitol dan fosfat sebagai dryoprotectant tidak berbeda
nyata dengan penggunaan trehalosa, namun berbeda nyata terhadap penggunaan
karagenan dan surimi tanpa dryoprotectant. Rendemen surimi secara umum
dipengaruhi oleh kehilangan kadar air, sehingga dapat dilihat bahwa
dryoprotectant yang memiliki kemampuan daya ikat air yang tinggi dapat
mempertahankan berat atau komponen air di dalam surimi. Keberadaan air akan
mempengaruhi komponen-komponen utama lainnya seperti miofibril yang
bertanggung jawab terhadap kemampuan pembentukan gel surimi. Produk surimi
kering dengan beberapa jenis dryoprotectant dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Surimi kering beku.
Daya ikat air surimi kering beku
Daya ikat air pada daging ikan dan produknya adalah kemampuan untuk
mengabsorbsi dan menahan air selama perlakuan mekanis (pemotongan,
penggilingan, pengadonan, penyusunan), perlakuan panas, transportasi dan
penyimpanan. Daya ikat air mempengaruhi mutu daging seperti juiciness,
tenderness, cita rasa, dan warna. Interaksi antara protein dan air mempengaruhi
sifat-sifat tekstur daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi jaringan dan
Tanpa penambahan
dryoprotectant Trehalosa 6 %
Sukrosa 4%, Sorbitol
4%, Fosfat 0.5%
Karagenan 2 %
28
berpengaruh pada daya ikat air selama pengolahan adalah kondisi fisiologis
hewan, komposisi jaringan ikat, struktur histologi dan mikroskopik, pH, garam
dan suhu saat penggilingan. Daya ikat air erat kaitannya dengan kadar air surimi.
Kadar air awal air surimi kering pada penggunaan beberapa jenis dryoprotectant
dapat dilihat pada Gambar 11.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 11 Kadar air surimi kering pada beberapa jenis dryoprotectant ;
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa
6%, 4. karagenan 2%.
Daya ikat air dipengaruhi oleh struktur dari miofibril, 97% daya ikat air
ditentukan oleh miofibril (Zayas 1997). Terdapat jaringan tiga dimensi filamen
dalam miofibril menyediakan ruangan terbuka untuk terjadinya imobilisasi air.
Pada denaturasi protein terjadi pengkerutan ruangan tersebut sehingga air yang
terimobilisasi berkurang. Trehalosa (C12H22O11.2H2O) dapat mempertahankan
kadar air surimi kering, diikuti oleh surimi dengan penggunaan sukrosa, sorbitol
dan fosfat. Huda et al. (2012) menyatakan bahwa trehalosa 6% menunjukkan
keunggulan karakteristik dalam mempertahankan mutu surimi kering. Penggunaan
karagenan menghasilkan surimi kering yang berbeda nyata terhadap surimi tanpa
dryoprotectant (p<0.05). Sukrosa, sorbitol, fosfat dan trehalosa mampu menjaga
komponen air di dalam daging selama proses pengeringan beku. Komponen
polisakarida yang banyak memiliki gugus –OH mampu memerangkap air
sehingga mampu menjaga komponen miofibril di dalam daging. Nilai daya ikat
air dapat dilihat pada Gambar 12.
Berdasarkan hasil analisis ragam jenis dryoprotectant berpengaruh nyata
terhadap nilai daya ikat air surimi kering. Tidak ada perbedaan nyata antara surimi
dengan penggunaan mixdryopotectant dan penggunaan karagenan. Surimi kering
memiliki nilai daya ikat air berkisar 1.22-8.01 mL/g. Penggunaan trehalosa
menunjukkan nilai daya ikat air surimi kering yang lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan surimi dengan dryoprotectant lainnya. Hasil penelitian Huda
et al. (2012) pada surimi kering menghasilkan nilai daya ikat air 2.80-3.00 mL/g.
Shaviklo et al. (2010) memperoleh nilai daya ikat air surimi pada ikan saithe
2.53 mL/g.
9.06c 9.86bc
12.71a
10.82b
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
1 2 3 4
Kad
ar
air
(%
)
Jenis Dryoprotectant
29
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 12 Daya ikat air surimi kering pada beberapa jenis dryoprotectant
1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa
6%, 4. karagenan 2%.
Surimi kering dengan penggunaan trehalosa menunjukkan nilai daya ikat
air tertinggi. Hal ini disebabkan karena trehalosa memiliki tingkat higroskopisitas
yang rendah dan stabil selama proses pengolahan (Schiraldi et al. 2002).
Karagenan juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan sukrosa, sorbitol dan fosfat. Karagenan merupakan hidrokoloid yang
banyak memiliki gugus aktif yang mampu memerangkap air (Necas dan
Bartosikova 2013) dan secara tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan gel
dari surimi.
Trehalosa mampu menghambat secara nyata Ca2+
-ATPase selama periode
penyimpanan sehingga mampu mempertahankan kekuatan gel yang baik.
Trehalosa juga dapat menahan struktur molekul air di dalam protein, sehingga
dapat menekan induksi denaturasi protein dan menjaga kekuatan gel (Osako et al.
2005). Secara umum trehalosa berperan dalam pembuatan surimi dimana
molekulnya berinteraksi dan terikat dengan molekul protein melalui gugus
fungsional dari dryoprotectant sehingga setiap molekul protein tertutup oleh
molekul trehalosa yang terhidrasi. Trehalosa dapat mengurangi frekuensi kontak
antar molekul protein sehingga meningkatkan hidrasi dan mengurangi agregasi
protein.
Penambahan dryoprotectant sebelum pembekuan mengakibatkan trehalosa
terlarut dan tetap terikat pada molekul protein sehingga meningkatkan hidrasi dari
molekul protein. Kondisi ini memperlambat pembentukan kristal es yang
disebabkan meningkatnya resistensi terhadap perpindahan air dari permukaan
protein, dan pembekuan tidak sempurna dari air disebabkan meningkatnya jumlah
air terikat. Hal ini mengurangi derajat denaturasi protein (terbukanya lipatan).
Surimi yang tidak diberi dryoprotectant menghasilkan nilai derajat air paling
rendah dibandingkan dengan surimi yang diberi perlakuan dryoprotectant. Hal
lain ditunjukkan pada penggunaan sukrosa, sorbitol dan fosfat sebagai
dryoprotectant, nilai daya ikat airnya lebih baik dibandingkan dengan surimi
tanpa dryoprotectant. Sorbitol sebagai salah satu mixdryoprotectant memiliki
bobot molekul rendah yang dapat mempertahankan daya ikat air melalui ikatan
hidrogen (Park 2005).
1.22c
4.60b
8.01a
5.40b
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 2 3 4
Daya i
kat
air
(m
L/g
)
Jenis Dryoprotectant
30
Ramadhan et al. (2011) menyatakan bahwa nilai daya ikat air surimi pada
suhu 40 C adalah 9.38 ml/g. Nopianti et al. (2012) juga melaporkan bahwa
penggunaan surimi tanpa cryoprotectant, dan dengan penggunaan sukrosa,
laktisol, maltodekstrin, palatinosa, polidekstrosa, sorbitol dan trehalosa berturut-turut
menghasilkan nilai daya ikat air sebesar 28.12%, 76.46%, 88.50%, 57.50%, 86.25%,
87.50%, 75.72%, dan 79.75%. Pengikatan air dengan protein berhubungan dengan
grup polar hidrofilik misalnya amino, karboksil, hidroksil, karbonil dan sulfhidril.
Protein yang mengandung banyak asam amino akan lebih banyak mengikat air.
Protein miofibril bertanggung jawab terhadap pengikatan air, dan sekitar 97%
daya ikat air berhubungan pada kontraksi protein miofibril (Zayas 1997).
Kekuatan gel surimi kering beku
Kekuatan gel merupakan faktor utama yang menentukan kualitas surimi
dan dipengaruhi secara langsung oleh nilai daya ikat air dan kandungan protein
larut garam. Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan
daging dalam membentuk gel dengan campuran antara surimi dan garam,
pencetakan dalam casing yang sesuai dan perebusan (Suzuki 1981).
Berdasarkan analisis ragam diperoleh bahwa perbedaan penggunaan jenis
dryoprotectant berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel surimi yang dihasilkan
(p<0.05). Nilai kekuatan gel diperoleh pada surimi yang telah direhidrasi kembali
dengan sejumlah air yang hilang selama proses pengeringan beku. Surimi tanpa
panambahan dryoprotectant menunjukkan nilai kekuatan gel yang sama dengan
surimi basah awal dengan pencucian satu kali. Nilai kekuatan gel surimi kering
disajikan pada Gambar 13.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 13 Kekuatan gel surimi dengan perbedaan jenis dryoprotectant : 1.
kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%,
4. karagenan 2%.
Trehalosa terbukti menunjukkan nilai gel surimi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan surimi tanpa penambahan dryoprotectant. Trehalosa dapat
mempertahankan kandungan air di dalam daging dan juga terlihat pada nilai daya
ikat air yang cukup tinggi (8.01 mL/g). Karagenan memiliki nilai daya ikat air
420.7c
555.9c
826.5b
1077.8a
0
200
400
600
800
1000
1200
1 2 3 4
Kek
uata
n g
el (
g/c
m2)
Jenis Dryoprotectant
31
yang lebih rendah dibandingkan dengan daya ikat air pada surimi dengan
trehalosa, namun kekuatan gel pada karagenan menunjukkan nilai yang lebih
tinggi karena karagenan memiliki sifat fungsional gel yang tinggi dengan
kehadiran gugus 3.6 anhidro galaktosa (Necas dan Bartosikova 2013). P´erez-
Mateos dan Montero (2000) menyatakan bahwa hidrokoloid dapat digunakan
sebagai bahan tambahan pada produksi surimi untuk meningkatkan daya ikat air
dan kekuatan gel surimi yang dihasilkan.
Uju et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan karagenan 2% pada
surimi dapat mempertahankan kekuatan gel selama proses penyimpanan dengan
nilai 566.25 - 906.25 g/cm2. Berdasarkan Codex Code for Frozen Food (1999)
dalam Park dan Lin (2005), kualitas terbaik nilai kekuatan gel untuk industri
surimi adalah 960 g/cm2 (grade A), sedangkan pada surimi dengan grade 'E'
dengan nilai kekuatan gel 320 g/cm2 merupakan batas bawah kualitas ideal yang
digunakan, khususnya di Jepang.
Setelah penambahan dryoprotectant terjadi peningkatan kekuatan gel yang
nyata, karena dryoprotectant berperan dalam mencegah agregasi rantai protein
selama pengeringan terjadi. Keutuhan struktur miosin merupakan faktor penting
dalam pembentukan gel surimi. Denaturasi pada rantai miosin selama pengeringan
beku menghasilkan bentuk jaringan gel dengan mutu yang rendah, menurunkan
nilai elastisitas dan kapasitas daya ikat air pada matriks gel surimi (Zhou et al.
2006). Zhou et al. (2006) juga menambahkan bahwa penggunaan trehalosa 8%
memberikan hasil terbaik dalam menjaga kualitas surimi terutama kekuatan gel
surimi tilapia selama 24 minggu. Trehalosa masih menjadi pilihan utama
dibandingkan penggunaan sukrosa dan sorbitol atau karagenan. Upaya untuk
mencari pengganti sukrosa dengan bahan-bahan cryoprotectant yang mempunyai
tingkat kemanisan dan kalori yang rendah telah lama dilakukan (Park dan Lanier
1987; Park et al. 1988; Sych et al. 1990a; 1990b; 1991). Sukrosa sudah mulai
banyak dihindari dikarenakan isu konsumsi gula dan rasa manis yang diberikan
cenderung kurang disukai oleh konsumen di negara Barat (Sultanbawa dan Li-
Chan 1998).
Protein larut Garam (PLG) surimi kering beku
Perubahan mutu daging ikan sangat dipengaruhi oleh denaturasi protein,
khususnya protein miofibril (Suzuki 1981). Miofibril atau protein larut garam
adalah salah satu faktor yang menentukan kualitas surimi. Selama proses
pengeringan beku pada suhu -40 C terjadi proses hidrasi yang tinggi sehingga
keberadaan dryoprotectant sangat penting untuk menjaga komponen air terikat
daging sehingga miofibril masih dapat dipertahankan. Nilai protein larut garam
surimi kering beku disajikan pada Gambar 14.
Jenis dryoprotectant memberikan pengaruh nyata terhadap nilai protein
larut garam surimi kering beku (p<0.05). Penggunaan trehalosa menunjukkan
nilai miofibril paling tinggi dibandingkan dengan mixdryoprotectant dan
karagenan. Hasil uji lanjut multiple comparison menunjukkan bahwa surimi
dengan trehalosa memiliki nilai kandungan miofibril yang berbeda nyata terhadap
surimi lainnya.
32
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 14 Nilai protein larut garam surimi kering : 1. kontrol, 2. sukrosa
4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%, 4. karagenan 2%.
Surimi tanpa penambahan dryoprotectant memiliki kandungan miofibril
yang paling rendah. Hal ini disebabkan besarnya kandungan air yang hilang
selama proses pengeringan beku yang turut menyebabkan kandungan miofibril
juga ikut terdegradasi. Carvajal et al. (2005) menjelaskan bahwa surimi dalam
bentuk kering mengalami kehilangan air hingga 70%. Proses pengeringan menjadi
titik kritis karena protein sangat sensitif, baik pemanasan ataupun pengeringan
selama proses dapat menyebabkan denaturasi protein. Proses pembekuan dan
vakum dapat menyebabkan denaturasi dan agregasi prematur yang terjadi pada
surimi. Yoo dan Lee (1993) telah melakukan kajian terhadap pembentukan gel
pada surimi kering beku dengan perbedaan konsentrasi penambahan sorbitol.
Peningkatan penambahan sorbitol (0%, 2.8%, 4.0%) pada surimi signifikan
mempertahankan kekuatan gel yaitu berturut-turut 209, 218 dan 220 g/cm2. Secara
tidak langsung kekutan gel dipengaruhi oleh kandungan miofibril ikan sehingga
penambahan cryoprotectant terbukti dapat menjaga kadar miofibril di surimi
selama proses pengeringan beku. Kanna et al. (1971) juga menyatakan bahwa
proses freeze drying dapat menyebabkan sedikit terjadi denaturasi protein pada
surimi. Perubahan protein selama proses pembekuan menyebabkan agregasi
struktur aktin-miosin (Egelandsdal et al. 1986) dan denaturasi ekor miosin
(Benjakul et al. 2001).
Penurunan kadar PLG terjadi karena pada pengeringan beku dengan suhu -
40 C, denaturasi protein masih tetap terjadi. Trehalosa menunjukkan kemampuan
menjaga daya ikat air yang tinggi sehingga menjadikan PLG di dalam daging
tetap terjaga dengan baik, walaupun protein dalam daging telah mengalami
pembekuan. Selama protein membeku, menimbulkan ikatan intermolekuler antara
grup protein. Dryoprotectant berfungsi untuk meningkatkan hidrasi molekul
protein melalui ikatannya dengan protein (Park 2005).
Trehalosa terbukti mampu menjaga kualitas surimi dengan baik. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hama (1999) yang menunjukkan
bahwa penggunaan trehalosa 5% menghasilkan kekuatan gel, firmness dan atribut
gel lainnya yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan sukrosa. Trehalosa
adalah gula alami yang terdapat di alam, memiliki fungsi mirip dengan sukrosa
16.50c17.62b
18.98a
17.36b
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
1 2 3 4
PL
G (
%)
Jenis Dryoprotectant
33
namun dengan kestabilan yang lebih tinggi dan kemanisan yang lebih lembut.
Trehalosa merupakan disakarida tak tereduksi yang mengandung 2 molekul
glukosa a,a -1,1 yang mampu memberikan proses yang sempurna dan kestabilan
produk akhir. Trehalosa mampu mempertahankan kondisi kering untuk menjaga
komposisi air dan komponen gizi lainnya dalam bahan pangan (Hama 1999).
Secara umum dalam sistem pangan, trehalosa berfungsi mencegah penurunan
kualitas pati, mencegah denaturasi protein selama proses produksi, penyimpanan
dan distribusi sehingga kualitas makanan menurun, mencegah penurunan kualitas
lemak akibat oksidasi dan stabilisasi vitamin-vitamin selama pemanasan terutama
vitamin E.
Trehalosa juga mencegah oksidasi, degradasi atau browning dari vitamin C
karena interaksi dengan mineral, interaksi dengan mineral seperti mineral-mineral
alkali (kalsium dan magnesium) agar tidak keluar dari daging, menekan bau dan
rasa yang kurang enak karena mencegah terbentuknya amina, aldehida dan sulfida
(belerang). Trehalosa menghilangkan kerusakan akibat proses pembekuan atau
thawing disebabkan oleh air yang berubah menjadi kristal es akan merusak
komposisi daging ikan, dan trehalosa akan menghilangkan atau mengurangi
ukuran kristal yang terbentuk selama proses pembekuan (Higashiyama 2002).
Densitas surimi kering beku
Densitas adalah kerapatan suatu campuran (larutan) dalam suatu sistem
padatan tertentu ataupun sebaliknya, merupakan perbandingan antara berat suatu
bahan terhadap volumenya. Pengukuran densitas pada surimi kering untuk
mengetahui seberapa besar kehilangan air dalam daging sehingga menyebabkan
kehilangan ruang dan berat. Densitas nantinya akan dapat memperlihatkan
kepadatan dari suatu sistem bahan pangan kering. Hal ini penting sehingga bentuk
amorpous yang ada bisa dicegah untuk menyerap lebih banyak dan lebih cepat
kandungan air dari luar sistem atau lingkungan. Secara umum terdapat perbedaan
antara densitas kamba (bulk density) dan densitas massa (mass density). Kamba
atau densitas kamba merupakan perbandingan massa bahan dengan volume bahan
yang ditempatinya, termasuk ruang kosong diantara jaringan bahan pangan,
dengan pengertian lain perbandingan antara massa bahan dengan volume ruang-
ruang kosong di antara bahan. Densitas secara umum sering diartikan sebagai
perbandingan massa bahan dengan volume yang ditempati oleh padatan namun
ruang kosong tidak termasuk. Densitas dari surimi kering disajikan pada Gambar
15.
Jenis dryoprotectant terbukti memberikan pengaruh terhadap densitas
surimi kering yang dihasilkan (p<0.05). Berdasarkan uji lanjut multiple
comparison surimi dan penambahan dryoprotectant, sukrosa, sorbitol dan fosfat,
trehalosa dan karagenan menunjukkan nilai densitas secara nyata. Trehalosa
memperlihatkan nilai densitas yang paling tinggi (4.06 mL/10g), nilai ini lebih
tinggi dibandingkan dengan surimi kering yang dihasilkan oleh Huda et al. (2001)
yang menunjukkan densitas surimi kering 2.43 mL/10g (lizardfish), 2.26 mL/10g
(threadfin bream) dan 2.36 mL/10g (purple-spotted bigeye). Penggunaan
trehalosa menghasilkan surimi threadfin bream dengan densitas 7.12 mL/g,
7.15 mL/g untuk sukrosa dan 6.60 mL/g untuk surimi dengan sorbitol. Hal ini
membuktikan bahwa jenis ikan, teknik pengeringan, serta jenis dryoprotectant
34
berpengaruh terhadap densitas surimi kering (Lanier dan Lee 1992; Venugopal
et al. 1996; Shaviklo et al. 2012).
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 15 Densitas surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant : 1.
kontrol, 2. Sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa 6%,
4. karagenan 2%.
Parameter densitas dapat digunakan untuk melihat kesempurnaan proses
pengeringan atau keseragaman bentuk dan ukuran surimi kering. Surimi kering
yang diproses dengan cara pengeringan lambat dan cenderung menggunakan
panas maka akan mempunyai densitas kamba yang lebih tinggi dibandingkan
dengan surimi yang diproses dengan cara kering beku atau dengan pengeringan
cepat. Surimi dengan penambahan sukrosa, sorbitol dan fosfat, trehalosa,
karagenan dan surimi tanpa penambahan dryoprotectant berturut-turut
menghasilkan densitas kamba sebesar 0.176, 0.123, 0.134, dan 0.127 g/100mL.
Surimi dengan penambahan sukrosa, sorbitol dan fosfat menunjukkan densitas
kamba lebih tinggi. Hal ini dimungkinkan karena besarnya bagian dari
dryoprotectant tersebut yang berbentuk basah mengisi komponen surimi. Surimi
kering beku ikan lele memiliki nilai densitas kamba Surimi dengan penambahan
trehalosa menunjukkan nilai densitas kamba terendah (0.123 g/100 mL).
Nilai densitas kamba surimi kering lele sesuai dengan surimi tepung dari
marlin yaitu 0.19 g/100 mL (Pratiwiningsih 2004). Nilai densitas kamba
menunjukkan porositas dari suatu bahan. Perhitungan densitas kamba ini sangat
penting. Selain dalam hal konsumsi terutama juga dalam hal pengemasan dan
penyimpanan surimi, surimi dengan densitas kamba yang tinggi menunjukkan
kepadatan produk ruang yang kecil.
Kapasitas rehidrasi surimi kering beku
Rehidrasi merupakan sifat penting dalam mengukur kualitas pangan
kering. Surimi kering mengalami kehilangan air selama proses liofilisasi,
sehingga proses rehidrasi kembali dengan air menjadi paramater utama untuk
melihat perubahan surimi kering. Analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan
jenis dryoprotectant berpengaruh nyata terhadap kapasitas rehidrasi surimi kering
yang dihasilkan.
2.42c
3.84b 4.06a
3.67b
0
1
1
2
2
3
3
4
4
5
1 2 3 4
Den
sita
s (
ml/
10 g
)
Jenis Dryoprotectant
35
Rehidrasi merupakan faktor penting dalam bahan pangan kering. Rehidrasi
menggambarkan bagaimana kemampuan atau daya kembali suatu bahan pangan
kering. Rehidrasi menggambarkan kemampuan suatu bahan pangan kering
menerima kembali air baik itu untuk tujuan konsumsi atau untuk pencampuran
dengan bahan lain. Waktu rehidrasi yang diperlukan adalah 15 menit, dengan nilai
rehidrasi tertinggi diperoleh trehalosa dengan nilai 3.813. Hal ini tidak jauh
berbeda dibandingkan dengan surimi kering dari marlin yang memiliki nilai
kapasitas rehidrasi berkisar antara 3.5-5.4 (Pratiwiningsih 2004). Gambar 16
menyajikan histogram nilai kapasitas rehidrasi surimi kering lele.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 16 Kapasitas rehidrasi surimi kering lele pada beberapa jenis
dryoprotectant : 1. Kontrol, 2. Sukrosa 4%, Sorbitol 4%, Fosfat
0.5%, 3. Trehalosa 6%, 4. Karagenan 2%.
Sifat emulsi surimi kering beku
Surimi sebagai konsentrat protein miofibril memiliki kemampuan sebagai
emulsifier sebagaimana umumnya protein. Sifat-sifat emulsi terdiri dari kapasitas
emulsi dan stabilitas emulsi. Nilai kapasitas emulsi surimi kering ikan lele
berkisar antara 28.0-69.3%, sedangkan stabilitas emulsi berkisar antara 15.3-
59.3%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan dryoprotectant
memberikan pengaruh nyata terhadap sifat emulsi. Berdasarkan uji lanjut multiple
comparison terlihat bahwa surimi tanpa penambahan dryoprotectant memiliki
nilai yang paling rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan surimi dengan
penambahan dryoprotectant. Kapasitas dan stabilitas emulsi antara surimi dengan
penggunaan dryoprotectant sukrosa, sorbitol dan fosfat, trehalosa dan karagenan
menunjukkan hasil yang tidak nyata. Sifat-sifat emulsi surimi kering ikan lele
disajikan pada Gambar 17.
2.04d
2.67c
3.81a
3.07b
0,000
0,500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
4,500
5,000
1 2 3 4
Kap
sita
s R
ehid
rasi
Jenis Dryoprotectant
36
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 17 Sifat emulsi surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant
: 1. kontrol, 2. sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5%, 3. trehalosa
6%, 4. karagenan 2% ( kapasitas emulsi, stabilitas emulsi).
Emulsi merupakan faktor penting bagi surimi untuk bisa menjadi bahan
pangan intermediate. Penelitian sebelumnya telah banyak dilakukan antara lain
pada ikan lizardfish (Saurida sp.) dengan kapasitas emulsi (EC) 90% dan
stabilitas emulsi (ES) 77.5%, threadfin bream (Nemipterus sp.), EC 95%, ES
82.8%, purple spotted bigeye (Priacanthus tayenus) EC 95%, ES 80.4% (Huda
et al. 2001), saithe (Pollachius virens) EC 82.5%, ES 76.5% (Shaviklo et al.
2012), dan capellin (Mallotus villosus) dengan nilai EC 90%, dan ES 38%
(Venugopal et al. 1994).
Nilai emulsi baik kapasitas dan stabilitas emulsi surimi kering ikan lele
masih jauh di bawah hasil beberapa penelitian yang terdahulu, namun masih lebih
tinggi dibandingkan dengan surimi kering beku dari ikan marlin dengan aktivitas
emulsi 0.44 dan stabilitas emulsi 71.03% (Pratiwiningsih 2004). Hal ini diduga
karena komposisi protein dari ikan lele yang cukup rendah dan stadia ikan lele
yang digunakan sudah sangat besar, yang menyebabkan kemampuan emulsi yang
tidak begitu baik dibandingkan hasil penelitian dengan menggunakan ikan yang
lain. Kapasitas emulsi terbaik adalah ketika komposisi protein hidrofilik dan
hidrofobik seimbang. Surimi dengan penambahan trehalosa menunjukkan nilai
kapasitas dan stabilitas emulsi yang paling baik dibandingkan dengan surimi tanpa
penambahan dryoprotectant. Hal serupa juga dihasilkan oleh surimi ikan saithe
dengan menggunakan freeze drying, tepung surimi dengan penambahan
cryoprotectant menghasilkan kapasitas emulsi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan surimi tanpa cryoprotectant (Shaviklo et al. 2012). Hal ini diduga karena
trehalosa dapat menjaga komponen hidrofilik setelah pengeringan protein agar
tidak mengalami denaturasi yang dapat menurunkan kapasitas emulsi dari surimi
tepung.
Daya buih surimi kering beku
Foam atau busa didefinisikan sebagai fase dispersi antara gas di dalam air
(g/L) atau cairan di dalam gas (L/g) (Foegeding dan Davis 2011). Kekuatan
protein dalam memerangkap gas merupakan faktor utama yang menentukan
karakteristik daya buih protein. Kapasitas daya buih adalah kalkulasi volume
28.00b
59.33a
69.33a 68.67a
15.33b
38.67a
59.33a
43.33a
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
1 2 3 4
Sif
at
Em
uls
i (%
)
Jenis Dryoprotectant
37
campuran tepung surimi dan air dibandingkan dengan larutan volume awal,
sedangkan stabilitas daya buih adalah rasio dari kapasitas daya buih setelah
periode waktu tertentu dibandingkan dengan kapasitas daya buih awal (Miller and
Groninger 1976). Karakteristik daya buih surimi kering ikan lele dengan periode
waktu selama lima menit disajikan pada Gambar 18.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Gambar 18 Daya buih surimi kering lele pada beberapa jenis dryoprotectant :
1. Kontrol, 2. Sukrosa 4%, Sorbitol 4%, Fosfat 0.5%, 3. Trehalosa
6%, 4. Karagenan 2%. ( kapasitas buih, stabilitas buih).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis dryoprotectant
memberikan pengaruh nyata terhadap karakteristik daya buih surimi kering beku
ikan lele. Hasil uji lanjut multiple comparison memperlihatkan bahwa surimi
tanpa penambahan dryoprotectant berbeda nyata dibandingkan surimi dengan
dryoprotectant. Trehalosa menunjukkan nilai kapasitas daya buih yang paling
tinggi (25.33%), diikuti dengan dryoprotectant dengan penambahan sukrosa,
sorbitol, fosfat adalah 19.33%, dan karagenan 17.33%. Kapasitas daya buih yang
baik mengindikasikan stabilitas protein yang baik (Huda et al. 2001; Shaviklo et
al. 2012). Penelitian lain menghasilkan surimi dari ikan lizardfish (Saurida sp.)
dengan kapasitas daya buih 28.8% dan stabilitas emulsi menurun setelah 5 jam,
threadfin bream (Nemipterus sp.) 34.6%, dan purple spotted bigeye (Priacanthus
tayenus) 29.9%, tetap stabil selama 8 jam (Huda et al. 2001), saithe (Pollachius
virens) dengan kapasitas daya buih 189.7% dan stabilitas daya buih 145.5%
(Shaviklo et al. 2012). Daya buih akan bermanfaat terutama jika surimi berfungsi
sebagai pengembang dan pengemulsi pada produk pangan.
Mikrostruktur surimi kering beku
Penentuan mikrostruktur bahan pangan sulit dilakukan, karena komponen
yang terlibat sangat kompleks. Penampang struktur daging surimi kering dengan
penambahan dryoprotectant disajikan pada Gambar 19. Studi tentang
mikrostruktur bahan pangan dibutuhkan untuk memahami komponen bahan
pangan dan hubungan antara mikrostruktur bahan pangan dengan sifat-sifat bahan
pangan penting lainnya yang menentukan kualitas bahan pangan tersebut
(Aquilera dan Stanley 1999).
6.67c
19.33b
25.33a
17.33bc
2.9b5.3c
9.4a
5.3b
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
1 2 3 4
Daya b
uih
(%
)
Jenis Dryoprotectant
38
Gambar 19 Mikrostruktur surimi kering (1. tanpa penambahan dryoprotectant ;
2. penambahan sukrosa 4%, sorbitol 4%, fosfat 0.5% ; 3. penambahan
trehalosa 6%; 4. penambahan karagenan 2%) (a. perbesaran 250 kali,
b. perbesaran 1000 kali).
Struktur daging ikan sangat halus, karena itu ikan sangat mudah menjadi
busuk oleh bakteri. Proses pengeringan akan banyak meninggalkan ruang-ruang
kosong dalam daging ikan, mikrostruktur daging ikan akan mengalami hidrasi.
Dryoprotectant berperan dalam menjaga kekompakan dan matriks protein agar
1a
1b
3a 4a
2a
2b
3b 4b
2b
39
tetap stabil di dalam jaringan. Struktur daging surimi tanpa penambahan
dryoprotectant terlihat rapuh dengan struktur jaringan yang patah (Gambar 19-
1a,1b). Terlihat banyak filamen-filamen daging yang tidak beraturan dan tidak
menggumpal, disebabkan proses pengeringan hingga -40 C yang berakibat
terjadinya hidrasi air yang begitu besar di dalam jaringan daging sehingga tanpa
bahan pengikat semua komponen nutrisi serta miofibril cenderung rusak atau
terdenaturasi. Hal ini senada dengan hasil parameter lainnya yang menunjukkan
bahwa nilai daya ikat air, sifat emulsi, daya buih, kekuatan gel cenderung lebih
rendah dibandingkan surimi dengan penambahan dryoprotectant.
Surimi dengan penambahan dryoprotectant sukrosa 4%, sorbitol 4% dan
fosfat 0.5% menunjukkan penampang mikrostruktur daging yang lebih baik,
struktur daging dan matriks protein cenderung menggumpal akibat proses
pelapisan dari dryoprotectant (Gambar 19-2a, 2b), walaupun dalam kondisi kering
banyak meninggalkan ruang-ruang kosong (yang berwarna gelap).
Julavittayanukul et al.( 2005) menyatakan bahwa penggunaan fosfat pada surimi
ikan big eye snapper menunjukkan mikrostruktur daging yang baik.
Penggunaan trehalosa 6% menunjukkan mikrostruktur daging yang lebih
baik dibandingkan dengan surimi dengan penambahan dryoprotetant sukrosa 4%,
sorbitol 4% dan fosfat 0.5%. Trehalosa terlihat dapat menyaluti komponen surimi
dengan baik (Gambar 19-3a,3b). Pelapisan dan penggumpalan trehalosa lebih
merata di matriks daging walaupun tetap menghasilkan beberapa celah atau ruang
kosong di dalam jaringan. Hal ini serupa dengan nilai daya ikat air dan sifat fisik
surimi lainnya yang menunjukkan keunggulan trehalosa sebagai dryoprotectant.
Zhou et al. (2006) juga menyatakan bahwa penggunaan trehalosa 8% pada surimi
tilapia menunjukkan kemampuan yang baik dalam melindungi protein dari
denaturasi. Pada konsentrasi 8% menunjukkan nilai breaking force dan deformasi
yang paling baik selama penyimpanan pada suhu -18 C selama 24 minggu. Surimi dengan penambahan karagenan juga memperlihatkan hasil yang baik,
karagenan mampu melindungi struktur daging dan matriks jaringan, juga celah
kosong yang ditinggalkan sangat sedikit, namun terlihat banyak jaringan yang
patah.
Karakteristik akhir surimi basah dan surimi kering beku
Setelah diperoleh konsentrasi NaHCO3, frekuensi pencucian dan jenis
dryoprotectant terbaik dalam proses pembuatan surimi kering beku, maka pada
tahap selanjutnya produk akhir dibandingkan dengan surimi basah. Parameter
yang dievaluasi adalah komposisi proksimat, sifat fisik, kimia dan parameter
mikrostruktur. Perbandingan antara surimi basah dan surimi kering disajikan pada
Tabel 2.
Nilai proksimat antara surimi basah dan surimi kering terdapat perbedaan
nyata pada kadar air, surimi kering telah mengalamai rehidrasi dengan proses
liofilisasi. Kehilangan air yang besar tidak bisa dihindarkan, penggunaan
dryoprotectant dimaksudkan untuk melindungi komponen-komponen nutrisi dan
miofibril yang berpengaruh terhadap kualitas akhir surimi. Kandungan air surimi
kering masih cukup tinggi dibandingkan standar bahan pangan kering yang
ditetapkan oleh Uni Eropa yaitu 6%.
40
Tabel 2 Hasil komposisi proksimat, sifat fisik dan sifat kimia pada surimi kering
dan surimi basah ikan lele
Parameter Surimi basah (bk) Surimi kering
Komposisi Proksimat Air (%) - 12.23
Abu (%) 3.75 1,26
Protein (%) 63.39 41.4
Lemak (%) 1.85 1.76
Sifat Fisik Rendemen (%) 25.24 6.7
Warna (L) 67.79 60.47
Daya ikat air (%) 85.28 75.03
Kekutan gel (g/cm2) 482.3 626.5
Uji lipat 4.83 (AA) 3.23 (B)
Uji gigit 8.27 5.27
Sifat Kimia
Protein larut garam (%) 34.23 18.97
Sifat emulsi Kapasitas emulsi (%) 78.4 69.4
Stabilitas emulsi (%) 68.7 57.3
Sifat daya buih Kapasitas daya buih (%) 41 24.7
Stabilitas daya buih (%) 18.5 9.0
Penelitian surimi kering yang dilakukan oleh Huda et al. (2012)
menghasilkan surimi dengan kadar air 5.2-6.4%. Masih tingginya kadar air pada
surimi kering diduga disebabkan oleh pengaruh tingginya RH lingkungan
sehingga perubahan menuju kesetimbangan sangat cepat terjadi. Proses adsorpsi
air dari lingkungan ke dalam sistem pangan terjadi sampai kandungan air dalam
sistem pangan setimbang dengan kondisi RH lingkungan.
Nilai lemak dan protein surimi kering mengalami penurunan dibandingkan
dengan surimi basah. Hal ini disebabkan karena proses pengeringan beku selama
24 jam mengakibatkan hidrasi yang besar terhadap air, kerusakan terhadap
komponen lemak dan protein pun tidak dapat dihindari. Kandungan lemak dari
surimi kering masih cukup tinggi yaitu 1.76% masih di atas standar FAO untuk
KPI yaitu 0.75% untuk KPI tipe A. Nilai protein surimi kering juga masih rendah
dibandingkan dengan hasil penelitian Huda et al. (2012) yang menghasilkan
surimi dengan kandungan protein hingga 77%. Standar KPI tipe A FAO juga
mensyaratkan kandungan protein yaitu minimal 65%. FAO membagi beberapa
tipe FPC yaitu :1) Tepung yang secara umum aroma dan rasa ikannya kurang
dengan kandungan lemak maksimun 0.75% dan total protein minimal 65-80%
(tipe A), tidak ada spesifikasi batas aroma dan rasa, tetapi minimal memiliki
aroma ikan dengan kandungan lemak maksimal 3% (FPC tipe B), dan FPC yang
memiliki kandungan lemak lebih besar dari 3% dan protein lebih rendah dari 65%
41
serta diolah tidak dalam kondisi yang hygiene (FPC tipe C). Berdasarkan nilai
proksimat dari surimi kering, surimi lele ini bisa dikategorikan sebagai KPI tipe
B. Tingginya nilai kekuatan gel ternyata tidak seiring dengan peningkatan kualitas
sensori. Hal ini diduga terkait dengan menurunnya komponen nutrisi terutama
miofibril.
Sifat fisik surimi kering banyak mengalami perubahan yaitu pada nilai
daya ikat air, kekuatan gel, dan penilaian sensori. Rendemen surimi kering sangat
kecil hingga 6.70% dari berat awal ikan. Daya ikat air surimi kering lebih rendah
dibandingkan dengan surimi basah. Proses pengeringan menyebabkan hidrasi di
jaringan yang menjadikan matriks protein terurai dan terdenaturasi sehingga
menyebabkan berkurangnya nilai daya ikat surimi kering. Kekuatan gel yang
dihasilkan oleh surimi kering lebih tinggi dibandingkan dengan surimi basah,
namun berdasarkan analisis gambar dari profile texture surimi terdapat dua
puncak yang menandakan adanya nilai hardness pada surimi kering. Kekenyalan
atau sifat gel cukup rendah juga dibuktikan dengan menurunnya nilai uji lipat dari
4.84 menjadi bernilai 3.23 (surimi tipe B).
Nilai protein larut garam mengalami penurunan dikarenakan agregasi dan
denaturasi protein selama proses pengeringan beku dan vakum. Sifat emulsi dan
daya buih dari surimi kering mengalami penurunan dibandingkan dengan surimi
basah. Kapasitas dan stabilitas surimi basah menunjukkan nilai yang lebih tinggi,
hal ini disebabkan oleh masih tinggi dan kompleksnya komponen protein
sehingga kapasitas daya buih dan sifat emulsi dari surimi masih baik. Kehilangan
air selama proses pengeringan menyebabkan komponen protein juga mengalami
hidrasi dan secara tidak langsung mempengaruhi sifat fisik surimi. Perubahan
kualitas surimi kering tidak signifikan terutama ditunjukkan pada nilai kapasitas
emulsi dan stabilitas emulsi yang masih tinggi masing-masing 69.4% dan 57.3%.
Hal ini diduga karena protein surimi cenderung memiliki asam amino non polar
lebih dari 30%. Protein yang memiliki komponen asam amino non polar lebih
tinggi mempunyai sifat emulsi dan daya buih yang baik namun memiliki keuatan
gel yang rendah. Reynolds et al. (2002) juga menyatakan bahwa surimi kering
beku selama penyimpanan suhu chilling 1, 3 hingga 6 bulan menunjukkan nilai
reologi yang masih baik dan tidak berbeda nyata. Hal tersebut mengindikasikan
potensi surimi kering beku lele untuk dikembangkan sebagai emulsifier. Santana
et al. (2013) telah mengkaji penggunaan tepung surimi atau surimi kering beku
dari ikan Nemipterus japonicus sebagai emulsifier dalam pembuatan sosis.
Mikrostruktur surimi kering dan kamaboko
Mikrostruktur merupakan komponen penting yang menggambarkan
penampang komponen jaringan daging serta interaksinya terhadap lingkungan
berupa bahan pangan lain, suhu, asam dan komponen lainnya. Serabut daging ikan
merupakan serabut yang bersatu membentuk lempengan-lempengan yang tersusun
secara sistematis dari arah depan kebelakang sepanjang tubuh ikan. Gambar 20
menunjukkan penampang mikrostruktur surimi kering serta kamaboko yang
diolah dari surimi kering, surimi basah dan kamaboko yang diolah dari surimi
basah.
42
KK
KB KK
Gambar 20 Penampang mikrostruktur surimi kering (SK), surimi basah (SB),
kamaboko kering (KK), dan kamaboko basah (KB)
(perbesaran 250 kali).
Mikrostruktur surimi ikan secara umum terlihat tidak teratur dan banyak
terdapat jaringan-jaringan yang pecah. Daging yang mengalami penggilingan atau
penghalusan secara mikrostruktur akan berubah, serabut-serabut otot terlihat tidak
beraturan, karena proses penggilingan yang dilakukan sehingga serabut-serabut
otot pecah dan akan saling bergabung menjadi bentuk yang tidak beraturan.
Serabut tersusun secara sistematis dari arah depan kebelakang tubuh ikan (Suzuki
1981). Penggunaan trehalosa terbukti dapat melindungi surimi selama proses
pengeringan beku walaupun setelah diolah menjadi kamaboko terlihat struktur
daging menggumpal namun memiliki poros kosong. Hal ini terjadi akibat
pengaruh garam dan pemanasan terhadap protein. Berbeda halnya dengan
kamaboko yang dihasilkan dari surimi basah (SB) menunjukkan jaringan yang
rapat dan menggumpal sempurna.
Proses penggumpalan setelah pengolahan dengan penambahan garam dan
panas akan mempercepat terjadinya pemecahan matriks protein dan terkoagulasi
menjadi daerah padat atau menghasilkan tekstur yang keras (Aquilera dan Stanley
1999). Penambahan garam pada saat pembuatan kamaboko dapat mengekstrak
protein miofibril (miosin dan aktin) yang bertindak sebagai stabilizer dalam
menghasilkan komponen emulsi kamaboko. Pada surimi kering dehidrasi jaringan
meningkat bersamaan dengan distorsi miofibril (Kimura et al. 1991). Hal ini
membuktikan walaupun surimi kering memiliki karakteristik kimia, fisika yang
tidak jauh menurun dibandingkan dengan surimi basah namun secara
mikrostruktur terdapat perbedaan yang jelas saat surimi kering kembali direhidrasi
dengan air. Tidak semua bagian air mampu kembali mengisi celah-celah kosong
di surimi kering.
SK SB
43
Kamaboko menunjukkan struktur yang kompak dan seragam, karena
selama proses pemasakan protein akan saling terlarut dan berikatan di antara
partikel daging (Lee et al. 1984). Keadaan air bebas dan air terikat dipengaruhi
oleh susunan molekul miofibril. Struktur tiga dimensi filamen di dalam miofibril
menghasilkan suatu ruang terbuka untuk air bergerak, sedangkan menurunnya
atau meningkatnya daya ikat air berhubungan dengan pembengkakan miofibril
karena ekspansi kisi-kisi atau ruang antar filamen sehingga diameter meningkat
2.5 kali dari diameter normal (Zayas 1997). Daya ikat air surimi kering
menunjukkan nilai yang sama dengan penampang mikrostruktur surimi kering.
Daya ikat air surimi kering lebih rendah dibandingkan dengan surimi basah. Dua
pertiga dari penurunan daya ikat air terjadi akibat penurunan kandungan miofibril
karena proses pengeringan kering.
Pengikatan air oleh jaringan otot terjadi karena perubahan intensitas
pembengkakan miofibril. Struktur tiga dimensi menghasilkan ruang terbuka untuk
air bergerak. Pengikatan air oleh protein dipengaruhi oleh konsentrasi protein, pH,
kekuatan ionik, adanya komponen lain (polisakarida, lemak dan garam),
kecepatan, suhu dan lamanya pemanasan serta kondisi penyimpanan. Kapasitas
protein untuk menahan air dipengaruhi oleh jenis dan jumlah grup polar dalam
rantai polipeptida. Proses pengeringan yang cepat dengan suhu yang sangat dingin
menyebabkan protein diduga tetap terdenaturasi sehingga menyebabkan terjadinya
penurunan daya ikat air. Diduga bahwa beberapa komponen protein berkurang
termasuk miofibril. Grup amino polar dari molekul protein (imino, amino,
karboksil, hidroksil, karbonil dan grup sulfihidril ) merupakan sisi utama dari
interaksi protein-air yang berperan dalam pengikatan sejumlah air melalui ikatan
hidrogen (Zayas 1997).
Simpulan
Berdasarkan surimi kering lele yang diproduksi, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Sodium bikarbonat terbukti secara nyata mampu mereduksi lemak fillet lele
dengan konsentrasi dan waktu perendaman terpilih 0.75% selama 10 menit.
2. Pencucian surimi satu kali menunjukkan parameter kualitas surimi yang
paling baik dibandingkan frekuensi pencucian lainnya, terkecuali untuk nilai
warna menunjukkan masih rendahnya derajat putih surimi pencucian satu kali
3. Trehalosa 6% terpilih menjadi dryoprotectant terbaik dalam menjaga kualitas
surimi kering selama proses liofilisasi
4. Terdapat penurunan kualitas fisikokimia produk akhir surimi kering
dibandingkan surimi basah, begitu pula jaringan daging pada surimi kering
belum mampu kembali rehidrasi sempurna ke bentuk awal. Parameter
hedonik surimi kering menghasilkan surimi kualitas tipe B.
44
45
3 PENDUGAAN UMUR SIMPAN SURIMI KERING BEKU
Pendahuluan
Latar belakang
Keamanan bahan pangan merupakan faktor terpenting dalam parameter
mutu atau penentu kualitas pangan yang ada. Salah satu unsur penjamin kualitas
keamanan pangan adalah dengan kewajiban pencantuman label tanggal kadaluarsa
pada bahan pangan. Arpah (2007) menyatakan bahwa pencantuman tanggal
kadaluarsa pada kemasan pangan menjadi informasi yang penting ketika suatu
produk akan dipasarkan guna menjaga keamanan pangan bagi konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
telah mengatur bahwa masyarakat wajib mendapat perlindungan hak paling asasi,
yaitu mendapatkan informasi dan keamanan terhadap makanan yang dibeli di
pasaran. Peraturan mengenai ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa juga
diatur pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Republik Indonesia Nomor : HK.03.1.2.07.11.6664 Tahun 2011, tentang
Pengawasan Kemasan Pangan. Hal ini juga didukung dan dipertegas dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang label dan iklan pangan yang
menyatakan bahwa setiap industri pangan wajib mencantumkan waktu atau
tanggal kadaluarsa pada setiap kemasan produk. Pencantuman informasi tanggal
kadaluarsa merupakan jaminan produsen pangan kepada konsumen bahwa hanya
produk bermutu baik saja yang dipasarkan dan produk tersebut aman untuk
dikonsumsi sebelum tercapai waktu kadaluarsa.
Umur simpan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat
konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang sesuai dengan parameter
mutu produk (Labuza dan Schmidl 1985). Pendugaan umur simpan suatu produk
pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu, metode konvesional dan
akselerasi. Pendugaan umur simpan secara konvesional membutuhkan waktu yang
cukup lama karena dilakukan pada kondisi penyimpanan normal, sehingga metode
ini terbilang kurang efisien dalam menentukan umur simpan suatu produk.
Metode pendugaan umur simpan secara akselerasi telah banyak mengalami
perkembangan selama beberapa periode terakhir ini. Salah satunya adalah metode
akselerasi dengan melakukan pendekatan model kadar air kritis. Menurut Arpah
(2007), pendekatan model kadar air kritis umumnya cocok digunakan untuk
menentukan umur simpan produk-produk kering dimana perubahan kadar air
menjadi kriteria kadaluarsa. Oleh karena itu, metode akselerasi menjadi alternatif
metode yang dapat diterapkan secara lebih efisien dalam uji pendugaan umur
simpan pada berbagai produk pangan. Berbagai jenis produk pangan secara umum
terbagi atas pangan basah, semibasah dan pangan kering. Pangan kering
merupakan salah satu pangan yang memiliki masa simpan yang lebih lama
dikarenakan sedikitnya jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Akan
tetapi untuk beberapa pangan kering faktor kelembaban yang tinggi selama
penyimpanan dapat menjadi parameter yang menentukan kualitas produk pangan
kering. Penyimpanan bahan pangan kering saat ini masih menjadi masalah
terutama disebabkan oleh kondisi iklim Indonesia yang merupakan negara tropis,
46
dengan kelembaban 70-95% sulit untuk menjaga kestabilan kadar air dan aktivitas
air dalam bahan pangan. Hal ini menyebabkan penyimpanan produk pangan-
pangan kering membutuhkan perlakuan khusus untuk menjaga mutu dan
memperpanjang umur simpan produk. Tepung surimi yang dihasilkan merupakan
produk kering dengan kadar air 7-12%. Surimi kering merupakan produk surimi
yang didehidrasi dari surimi basah. Mutu utama produk surimi kering ditentukan
oleh kandungan protein miofibril, dan faktor utama yang mengalami kemunduran
pada surimi kering adalah aktivitas air dan kadar air. Surimi kering yang
berbentuk tepung memerlukan kajian lebih dalam mengenai perubahan mutu dan
faktor-faktor yang menyebakan kemunduran muru surimi selama penyimpanan
dengan menggunakan model-model pendugaan umur simpan.
Karakteristik gel, nilai aw dan kadar air pada produk surimi dapat
dipertahankan dengan proses pengemasan yang baik, walaupun proses
pengemasan hanya dapat memperpanjang umur simpan suatu produk pangan
dalam waktu tertentu. Keunggulan dari produk surimi kering serta potensi
pengembangannya yang begitu besar menjadikannya sebagai salah satu alternatif
produk intermediate instant pilihan di masa datang. Pendugaan umur simpan
produk surimi kering yang baru dikembangkan ini penting dilakukan sebagai
kajian awal, sehingga produk tersebut dapat dipasarkan dan dikonsumsi dengan
aman oleh konsumen.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pendugaan umur simpan surimi
kering beku ikan lele dengan berbagai kemasan dan kondisi kelembaban udara.
Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian tahap dua ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai
dengan Mei 2013, di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium
Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan
FPIK; Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Laboratoirum Teknologi
Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian
Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku, bahan
tambahan serta bahan kimia untuk analisis. Bahan baku yang digunakan adalah
tepung surimi lele. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah garam Pro Analis
MgCl2, NaCl, KCl, KI, K2CO3, NaNO2, K2SO4, NaI, NaBr, NaOH (MERCK)
kemasan plastik Oriented polypropylene (OPP), HDPE, retort pouch (PET
12/Aluvo 7/LLDPE 40), vaselin, dan akuades.
Alat yang digunakan meliputi alat penyimpanan, dan alat analisis. Alat
penyimpanan surimi kering berupa desikator modikasi sebagai pengkondisian RH.
Alat pengering surimi yang digunakan adalah pengering beku/freeze dryer (Christ
Alpha 2-4 3360 Harz tipe 10042). Peralatan yang digunakan untuk analisis adalah
alat dekstruksi dan alat-alat gelas, refrigerator (Glacio-Toshiba tipe GR
47
K262/262PD), freezer (SHARP tipe FRV-200), aw meter (Shibaura Electronics
WA-360).
Metode Percobaan Penelitian yang dilakukan meliputi tahap penentuan parameter utama
pengujian, pengukuran isorpsi air dengan kurva ISA, dan pengukuran parameter-
parameter lingkungan serta sifat kemasan.
Pendugaan umur simpan surimi kering beku
Perlakuan terbaik pada proses pembuatan surimi pada tahap awal
kemudian dijadikan formula utama dalam pembuatan surimi kering beku. Tahap
selanjutnya tepung surimi dikemas dengan tiga jenis kemasan yaitu OPP, HDPE
dan Retort pouch (PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40). Surimi kering beku ditentukan
umur simpannya dengan menggunakan model air kritis.
Percobaan berikutnya dilakukan dengan tujuan menghasilkan kurva
isotermi sorpsi air (ISA) surimi kering yang digunakan untuk melakukan analisis
pendugaan umur simpan. Beberapa model pendekatan juga digunakan untuk
menentukan parameter kemunduruan mutu surimi kering beku. Pengamatan
meliputi pengukuran kadar air kesetimbangan, kadar air kritis dan analisis
pendugaan umur simpan berdasarkan transport uap air ke dalam bahan pangan
kemasan dan penyerapan air oleh bahan pangan dan menggunakan model
matematik dengan analisis regresi sebagai berikut:
Keterangan:
t = waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan (hari)
Me = kadar air kesetimbangan produk (gH2O/g solid)
Mi = kadar air awal produk (gH2O/g solid)
Mc = kadar air kritis produk (gH2O/g solid)
k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2hari mmHg)
A = luas permukaan kemasan (m2)
Ws = bobot padatan per kemasan (g)
Po = tekanan uap air pada ruang penyimpanan (mmHg)
b = kemiringan kurva sorpsi isotermis
Prinsip utama dari model pendekatan kadar air kritis adalah menentukan
kadar air kesetimbangan (Me) surimi kering beku yang disimpan pada berbagai
RH. Hubungan data kadar air kesetimbangan surimi kering beku dengan RH
tempat penyimpanan surimi akan dihasilkan kurva sorpsi isotermis produk surimi
kering beku. Kurva sorpsi isotermis digunakan untuk mengetahui pola penyerapan
uap air dari lingkungan, sehingga umur simpan surimi kering beku dapat
ditentukan. Diagram alir pendugaan umur simpan dengan model kadar air kritis
dapat dilihat pada Gambar 21.
48
Gambar 21 Penentuan umur simpan surimi kering beku dengan model air kritis
(Arpah 2007).
Prosedur pengujian variabel-variabel pendugaan umur simpan Pendugaan umur simpan surimi kering beku dengan model pendekatan
kadar air kritis, diawali dengan penentuan beberapa variabel yang akan digunakan
dalam perhitungan umur simpan. Prosedur pengujian variabel tersebut meliputi
penentuan kadar air awal, penentuan kadar air kritis, penentuan kadar air
kesetimbangan, penentuan kurva sorpsi isotermis, penentuan model persamaan
sorpsi isotermis, evaluasi model, penentuan nilai slope (b) kurva sorpsi isotermis,
serta penentuan bobot padatan per kemasan dan luas permukaan kemasan.
a. Penentuan kadar air awal (Mi) (AOAC 2005) Penentuan kadar air awal perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi awal
produk. Penentuan kadar air awal surimi kering beku dilakukan pada sampel yang
baru saja dibuka dari kemasan. Penentuan kadar air ini diawali dengan
mengeringkan cawan kosong dalam oven pada suhu 102-105 C selama 30 menit. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator (kurang lebih 40 menit) hingga
dingin dan kemudian ditimbang. Sampel surimi kering beku sebanyak kurang
lebih 5 g kemudian diletakkan dalam cawan kosong yang sudah ditimbang
beratnya. Cawan yang berisi sampel kemudian ditutup dan dimasukkan ke dalam
oven dengan suhu 105 C selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah
selesai, cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan
sampai dingin lalu ditimbang kembali. Kadar air dapat dihitung dengan rumus:
Kehilangan berat (g) = berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g)
Kadar air (berat kering) (%) = Ke hilangan berat (g)
Berat sampel setela h dikeringkan (g) x 100%
49
b. Penentuan kadar air kritis (Mc) Penentuan kadar air kritis diawali dengan menyimpan produk surimi
kering beku tanpa kemasan pada suhu ruang atau kamar (30 ± 1 C) selama 5 jam.
Setiap jam dilakukan pengambilan sampel untuk diuji aktivitas air dan dianalisis
kadar airnya. Kadar air surimi kering beku diukur berdasarkan AOAC (2005).
Kadar air kritis dapat diperoleh dari persamaan regresi linier yang
menghubungkan nilai aktivitas air dengan nilai kadar air. Kadar air kritis
ditentukan pada saat nilai aktivitas air bernilai 0.80. Kondisi kritis surimi kering
beku tersebut ditentukan pada saat nilai aw berada di batas akhir kriteria produk
pangan kering.
c. Penentuan kadar air kesetimbangan (Me) Penentuan kadar air kesetimbangan diawali dengan melarutkan garam
tertentu hingga jenuh atau tidak larut kembali. Garam yang digunakan antara lain
MgCl2, NaCl, KCl, KI, K2CO3, NaNO2, K2SO4, NaI, NaBr, CH3COOK, NaOH.
Sebanyak 100 ml larutan garam jenuh dimasukkan kedalam desikator yang
dimodifikasi untuk mengatur RH ruangan (desikator modifikasi). Sekitar 2-5 g
sampel surimi kering beku diletakkan pada cawan porselin yang telah diketahui
beratnya. Cawan berisi sampel tersebut diletakkan di dalam desikator yang telah
berisi larutan garam jenuh. Desikator kemudian disimpan pada suhu ruang (30 ±
1 C) dan sampel ditimbang secara periodik tiap 24 jam hingga mencapai bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai (Arpah 2007).
Beberapa larutan garam jenuh yang biasanya digunakan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Beberapa larutan garam jenuh dan nilai RH pada suhu 30 C
No Larutan Garam Jenuh RH
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Natrium Hidroksida (NaOH)
Lithium Klorida (LiCl)
Potassium Asetat (CH3COOK)
Magnesium Klorida (Mg Cl2)
Natrium Iodide (NaI)
Potassium Karbonat (KaCO3)
Magnesium Nitrat (Ma(NO3)2)
Natrium Bromida (NaBr)
Natrium Nitrit (NaNO2)
Potassium Iodida (Kl)
Strontium Klorida (SrCl2)
Natrium Nitrat (NaNO3)
Natrium Klorida (NaCl)
Potassium Bromida (KBr)
Potassium Klorida (KCl)
Natrium Sulfat (Na2SO4)
Potassium Kromat (K2CrO4)
Barium Klorida (BaCl2)
Ammonium Fosfat (NH4H2PO4)
Potassium Nitrat (KNO3)
Potassium Sulfat (K2SO4)
6.9
11.2
22.6
32.4
36.3
43.0
51.3
57.5
64.0
69.0
71.0
73.8
75.5
80.7
84.0
85.9
86.4
90.3
92.7
93.0
97.0
Sumber : Rockland dan Nishi (1980) ; Labuza dan Schmidl (1985).
50
Bobot yang konstan ditandai dengan selisih bobot antara tiga kali
penimbangan tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di
bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di
atas 90% (Lievonen dan Ross 2002). Sampel yang telah mencapai bobot konstan
kemudian diukur kadar airnya berdasarkan AOAC (2005).
d. Penentuan kurva sorpsi isotermis Penentuan kurva sorpsi isortermis dibuat dengan cara memplotkan nilai
kadar air kesetimbangan hasil percobaan dengan nilai kelembaban relatif (RH)
atau aktivitas air (aw). Labuza dan Bilge (2007) menyatakan bahwa aktivitas air
suatu bahan pangan dapat dihitung dengan membandingkan tekanan uap air bahan
(P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada kondisi sama atau dengan membagi
ERH lingkungan dengan nilai 100. Rumus aw tersebut adalah:
aw = P
Po =
ERH
100
Keterangan:
aw = aktivitas air
P = tekanan uap air bahan (mmHg)
Po = tekanan uap air murni pada suhu yang sama (mmHg)
ERH = kelembaban relatif seimbang
e. Penentuan model persamaan sorpsi isotermis (Arpah 2007) Penentuan model persamaan sorpsi isotermis dilakukan untuk memperoleh
kemulusan kurva yang terbaik. Persamaan yang dipilih adalah persamaan yang
dapat diaplikasikan pada bahan pangan dengan kisaran RH 0-95% sehingga dapat
mewakili ketiga daerah pada kurva sorpsi isotermis. Model persamaan yang
digunakan pada penelitian ini ada 5, yaitu model Hasley, Henderson, Caurie,
Oswin, dan Chen Clayton. Henderson mengemukakan persamaan yang
menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan
kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk bahan pangan pada
semua aktivitas air dan merupakan salah satu persamaan yang paling banyak
digunakan pada bahan pangan kering. Model Caurie berlaku untuk kebanyakan
bahan pangan pada selang aw 0.0-0.85 dan model Oswin berlaku untuk bahan
pangan pada RH 0-85%. Model Chen Clayton berlaku untuk bahan pangan pada
semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley mengemukakan suatu persamaan
yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer.
Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban
relatif 10-81% (Cirife dan Iglesias 1978a)
Model-model persamaan sorpsi isotermis yang digunakan merupakan
persamaan yang diubah ke dalam bentuk persamaan linier, sehingga nilai-nilai
konstanta yang ada dalam persamaan juga dapat ditentukan dengan metode
kuadrat terkecil. Model persamaan Hasley, Henderson, Caurie, Oswin dan Chen
Clayton sebagai berikut:
Model persamaan Hasley : aw = exp[-P1/(Me)P2]
Model persamaan Henderson : 1-aw = exp(-KMen)
Model persamaan Caurie : ln Me = ln P1-P2*aw
Model persamaan Oswin : Me = P1[aw/(1- aw)] P2
Model persamaan Chen Clayton : aw = exp[-P1/exp(P2*Me)]
51
Keterangan:
Me = kadar air kesetimbangan ; aw = aktivitas air ;
K dan n = konstanta ; P1 dan P2 = konstanta
f. Evaluasi model (Cassini et al. 2006) Evaluasi model dilakukan untuk mengetahui ketepatan dari beberapa
model persamaan sorpsi isotermis yang terpilih untuk menggambarkan
keseluruhan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan. Evaluasi model dilakukan
dengan menghitung nilai Mean Relative Deviation (%MRD) dari masing-masing
model. Rumus MRD tersebut adalah:
Keterangan:
Mi = kadar air percobaan
Mpi = kadar air hasil perhitungan ; n = jumlah data
g. Penentuan nilai kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis (Labuza dan
Schmidl 1985) Nilai kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis ditentukan pada daerah linier
(Arpah 2007). Menurut Labuza dan Schmidl (1985), daerah linier untuk
menentukan kemiringan kurva sorpsi isotermis diambil antara daerah kadar air
awal dan kadar air kritis. Kurva sorpsi isotermis yang digunakan adalah kurva
yang dihasilkan berdasarkan model sorpsi isotermis yang terpilih. Titik-titik
hubungan antara aktivitas air dan kadar air kesetimbangan memiliki persamaan
linier y = a + bx. Nilai b dari persamaan linier tersebut merupakan nilai
kemiringan kurva sorpsi isotermis. Penentuan nilai kemiringan (b) dilakukan
untuk melihat pengaruhnya terhadap umur simpan produk melalui persamaan
Labuza.
h. Penentuan bobot padatan per kemasan dan luas permukaan kemasan Bobot produk awal (Wo) dalam suatu kemasan ditimbang dan dikoreksi
dengan kadar air awalnya (Mo) yang kemudian dinyatakan sebagai bobot padatan
produk per kemasan (Ws). Luas permukaan kemasan (A) yang digunakan
dihitung dengan mengalikan panjang dengan lebar kemasan, dengan rumus
sebagai berikut:
A = P x L
Keterangan:
A = luas kemasan (m2)
P = panjang kemasan (m)
L = lebar kemasan (m)
Analisis data umur simpan
Data lama penyimpanan dengan kadar air dan aktivitas air dianalisis
dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana (satu peubah bebas).
Peubah bebas adalah peubah yang nilainya tidak tergantung pada peubah lain.
Lama penyimpanan merupakan peubah bebas, sedangkan kadar air dan aktivitas
air merupakan peubah terikat. Persamaan regresi linier yang digunakan adalah:
52
y = a + bx
Keterangan:
y = nilai peubah terikat
a = konstanta
b = kemiringan kurva
Nilai kadar air kritis dapat ditentukan dari persamaan regresi linier yang
menghubungkan skor tekstur dengan nilai kadar air. Nilai kadar air kritis dan nilai
aktivitas air pada saat kadar air kritis tercapai ditentukan ketika aw bernilai
minimal 0.80. Pengujian selanjutnya pada pendugaan umur simpan menggunakan
model Labuza dan beberapa model pendekatan ISA lainnya.
Hasil dan Pembahasan
Kadar air awal (Mi) surimi kering beku
Penentuan karakteristik awal surimi kering berupa analisis proksimat dan
aktivitas air produk. Kadar air merupakan parameter utama surimi kering yang
mudah mengalami perubahan disebabkan perubahan RH lingkungan selama
penyimpanan dibandingkan dengan parameter-parameter lainnya. Perubahan
kadar air akan mempengaruhi secara langsung aw dan kandungan protein dari
produk surimi yang bersifat higroskopis ini. Oleh karena itu kadar air dan aw
ditentukan sebagai faktor utama perubahan awal dari surimi kering. Kadar air
awal surimi kering beku berkisar antara 7-12%.
Kadar air kritis (Mc) surimi kering beku
Informasi mengenai kadar air kritis (Mc) dari produk kering sangat
diperlukan dalam penentuan umur simpan dengan pendekatan kurva sorpsi
isotermis. Surimi kering merupakan produk intermediate sehingga paramater
hedonik tidak dapat diterapkan secara langsung. Aktivitas air dan kadar air
merupakan faktor-faktor awal yang diduga dapat diamati dan menjadi parameter
penentu kemunduran surimi kering. Kadar air kritis surimi kering pada penelitian
ini ditentukan berdasarkan persamaan linier yang diperoleh dari kurva hubungan
antara nilai logaritmik kadar air dengan aktivitas air. Nilai aw 0.80 ditetapkan
sebagai batasan penolakan produk dikarenakan merupakan ambang batas aw
produk kering.
Kadar air awal surimi kering adalah 7.56% dan kadar air kritis pada
penelitian adalah 19.65% pada aktivitas air 0.807. Grafik hubungan lama
penyimpanan dengan nilai aktivitas air (aw) dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan nilai aktivitas air (aw).
0,6
0,65
0,7
0,75
0,8
0,85
0 2 4 6 8 10 12
Ak
tiv
ita
s a
ir (
aw)
Hari
53
Gambar 23 menunjukkan hubungan antara lama penyimpanan dengan
hasil aktivitas air (aw). Nilai aktivitas air pada surimi kering meningkat seiring
dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Nilai aktivitas air awal surimi kering
adalah 0.7 yang dikategorikan sebagai pangan kering. Kurva penentuan kadar air
kritis berdasarkan nilai aktivitas air dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Kurva penentuan kadar air kritis surimi kering beku berdasarkan
aktivitas air.
Kadar air kritis diperoleh dengan memplotkan nilai aktivitas air kritis (0.8) ke
dalam persamaan linier hasil regresi dari kurva hubungan antara logaritmik kadar air
dengan nilai aktivitas air. Taraf kritis dipilih sebagai batas minimal syarat aktivitas air
pangan kering menuju ke pangan semi basah. Persamaan linier yang diperoleh adalah
y= 4.250x – 4.078 dengan nilai R² = 0.914. Nilai R2 menunjukkan ketepatan dalam
menggambarkan kondisi sebenarnya. Semakin tinggi nilai tersebut semakin tinggi
tingkat keeratan hubungan antara kedua faktor yang dibandingkan. Berdasarkan
persamaan di atas dapat ditentukan kadar air kritis produk dimana x = 0.80 yaitu
untuk surimi kering sebesar 0.2098 g H2O/g solid.
Kadar air kesetimbangan (Me) surimi kering beku
Kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan adalah kadar air bahan
pangan ketika tekanan uap air bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan
lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami penambahan atau
pengurangan bobot produk. Beberapa jenis garam yang digunakan dan RH
masing-masing pada suhu 30 C dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 RH larutan garam jenuh
No. Garam RH (%)
1 Natrium Hidroksida (NaOH) 6.90
2 Potassium Asetat (CH3COOK) 22.60
3 Magnesium Klorida (Mg Cl2) 32.40
4 Potassium Karbonat (K2CO3) 43.00
5 Natrium Bromida (NaBr) 57.50
6 Natrium Nitrit (NaNO2) 64.00
7 Potassium Iodida (Kl) 69.00
8 Natrium Klorida (NaCl) 75.50
9 Potassium Klorida (KCl) 84.00
10 Potassium Nitrat (KNO3) 93.00
11 Potassium Sulfat (K2SO4) 97.00
y = 4.250x - 4.078
R² = 0.914
-1,2
-1
-0,8
-0,6
-0,4
-0,2
0
0,68 0,7 0,72 0,74 0,76 0,78 0,8 0,82
Log k
ad
ar a
ir (
g H
2O
/ g s
oli
d)
Aktivitas Air (aw)
54
Kadar air kesetimbangan ditentukan dengan cara menyimpan surimi
kering dalam desikator (modifikasi) yang berisi larutan garam jenuh dengan RH
tertentu pada suhu ruang. Produk disimpan pada kondisi RH yang ekstrim dan
bervariasi dari kondisi RH umumnya saat penyimpanan. Penggunaan garam jenuh
sebanyak 11 jenis diharapkan mampu mengkondisikan RH pada selang 10%.
Desikator modifikasi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Pengkondisian kelembaban penyimpanan surimi kering beku
dengan desikator modifikasi kelembaban menggunakan garam
jenuh.
Penggunaan nilai kelembaban relatif (RH) yang bervariasi ini bertujuan
untuk memperoleh kurva sorpsi isotermis (sigmoid) yang paling mulus dan tepat
dalam menentukan umur simpan produk. Selama penyimpanan pada berbagai
selang kelembaban udara (RH) terjadi interaksi molekul air antara produk dengan
lingkungannya dimana uap air akan berpindah dari lingkungan yang bertekanan
tinggi ke dalam produk yang bertekanan rendah ataupun sebaliknya hingga
tercapai kondisi aw yang setimbang pada produk. Perpindahan ini terjadi sebagai
akibat perbedaan kelembaban relatif lingkungan dengan aktivitas air produk yang
menyebabkan uap air bergerak dari RH tinggi menuju RH rendah. Kesetimbangan
kadar air akan tejadi setelah adanya proses adsorpsi ataupun desorpsi.
Tabel 5 Kadar air kesetimbangan (Me) surimi kering dan waktu tercapainya
pada beberapa RH penyimpanan
RH Kesetimbangan (%) Me (g H2O / g solid) Waktu (hari)
6.90 0.099 22
22.60 0.129 20
32.40 0.152 18
43.00 0.154 16
57.50 0.197 14
64.00 0.217 13
69.00 0.251 11
75.50 0.203 9
84.00 0.176 9
93.00 0.496 12
97.00 0.664 12
55
Kondisi setimbang dalam penyimpanan ditandai oleh kenaikan atau
penurunan bobot sampel yang konstan. Selisih bobot sampel harus kurang dari
2 mg/g selama 3 kali penimbangan berturut-turut pada RH di bawah 90% dan
kurang dari 10 mg/g selama 3 kali penimbangan berturut-turut pada RH di atas
90% (Arpah 2007). Peningkatan atau penurunan bobot sampel selama
penyimpanan menunjukkan fenomena hidrasi.
Kecepatan kesetimbangan tiap produk berbeda-beda bergantung dari
kondisi aktivitas air awal produk, pada RH 60-70% produk lebih cepat mencapai
kesetimbangan hal ini sejalan dengan nilai aktivitas air surimi kering awal yaitu
0.701. Kelembaban relatif pada selang 90% kemudian mencapai setimbang pada
hari ke 12, dan diikuti dengan garam-garam yang memiliki RH lebih rendah
hingga hari ke 22 pada RH 6.9%.
Kurva dan model sorpsi isotemis surimi kering beku
Kurva sorpsi isotermis merupakan kurva yang menggambarkan hubungan
antara aktivitas air (aw) atau kelembaban relatif kesetimbangan pada ruang
penyimpanan (ERH) dengan kandungan air per gram suatu bahan pangan (Labuza
dan Schmidl 1985). Gambar 25 menyajikan sorpsi air (ISA) surimi kering.
Gambar 25 Grafik hubungan aktivitas air dengan kadar air kesetimbangan (ISA)
surimi kering beku.
Kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari percobaan diplotkan dengan
nilai aktivitas air atau RH lingkungannya untuk mendapatkan sebuah kurva yang
disebut sebagai kurva sorpsi isotermis. Kurva yang terbentuk hampir menyerupai
huruf S (sigmoid), yang berbeda dan khas untuk masing-masing bahan pangan.
Kurva sorpsi isotermis dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan
tersebut sebagai keadaan relatif tempat penyimpanan. Anguilera dan Stanley
(1990) juga menyatakan bahwa keunikan bentuk kurva ISA disebabkan oleh
perbedaan struktur fisik, komposisi kimia dan kondisi pengikatan air di dalam
bahan pangan.
Kurva ini menunjukkan aktivitas penyerapan air (adsorpsi) dan pelepasan
air yang dikandung (desorpsi) pada bahan pangan sehingga banyak digunakan dalam penentuan umur simpan, penyimpanan, pengemasan, dan pengeringan.
Kurva sorpsi isotermis juga menggambarkan proses hidrasi yang terjadi dalam
hubungannya dengan interaksi kimiawi air pada molekul permukaan, pelepasan
0,000
0,100
0,200
0,300
0,400
0,500
0,600
0,700
0,069 0,226 0,324 0,430 0,575 0,640 0,690 0,755 0,840 0,930 0,970
kad
ar
air
(g H
20/g
slo
id)
aktivitas air (aw)
56
struktur molekul dalam mempercepat perpindahan, dan perubahan volume oleh
molekul yang terbuka (Ballesteros dan Walters 2007).
Kurva sorpsi isotermis terbagi menjadi 3 daerah yang dipengaruhi oleh
keberadaan air dalam suatu bahan pangan. Daerah A merupakan bagian adsorpsi
yang bersifat satu lapis molekul air (monolayer), daerah B merupakan bagian
terjadinya penambahan lapisan-lapisan di atas satu lapis molekul air (multilayer),
dan daerah C merupakan bagian terjadinya kondensasi air pada pori-pori bahan.
(kondensasi kapiler). Pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan
berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S), sebagaimana kurva ISA yang dihasilkan
oleh surimi kering. Kurva adsorpsi (penyerapan uap air) dan kurva desorpsi
(pelepasan uap air) tidak pernah berhimpit. Keadaan seperti ini disebut sebagai
fenomena histeresis. Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam
tergantung pada beberapa faktor seperti sifat alami bahan pangan, perubahan fisik
yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi atau adsorpsi dan
tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi atau adsorpsi.
Fenomena histeresis menjelaskan bahwa nilai aw yang berbeda diperoleh
pada pengukuran makanan dengan kadar air sama, tergantung pada bagaimana
cara tercapainya kadar air tersebut, melalui proses adsorpsi atau desorpsi. Secara
umum dapat dikatakan bentuk kurva sorpsi isotermis khas untuk setiap bahan
pangan. Sorpsi isotermis dapat menggambarkan karakteristik bahan pangan dan
memberikan informasi-informasi tentang kondisi relatif serangan dari mikroba
selama penyimpanan (Kapseu 2006). Kurva sorpsi isotermis juga dapat
menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan
relatif tempat penyimpanan.
Penelitian-penelitian terdahulu telah banyak mengembangkan model-
model persamaan matematik untuk menjelaskan fenomena sorpsi isotermis
tersebut secara teoritis (Cirife dan Iglesias 1978a). Penelitian ini hanya
menggunakan lima model persamaan yaitu model Hasley, Chen Clayton,
Henderson, Caurie dan Oswin. Model-model persamaan tersebut dipilih karena
mampu menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada jangkauan nilai aktivitas air
yang luas (Cirife dan Iglesias 1978b). Oleh karena itu, pengerjaannya akan lebih
sederhana dan lebih mudah penyelesaiannya sesuai dengan pernyataan Labuza
dan Schmidl (1985) bahwa jika tujuan penggunaan kurva sorpsi isotermis tersebut
untuk mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka lebih cocok menggunakan
model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya.
Model-model persamaan nonlinier tersebut kemudian diubah ke dalam
bentuk persamaan linear (y = a + bx) untuk mempermudah perhitungannya. Nilai-
nilai tetapannya dapat ditentukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil.
Metode kuadrat terkecil ini dapat memilih suatu regresi terbaik diantara semua
kemungkinan garis lurus yang dapat dibuat pada suatu diagram pencar.
Persamaan-persamaan linier dari model-model persamaan kurva sorpsi isotermis
dapat dilihat pada Tabel 6.
Persamaan-persamaan pada Tabel 6 kemudian digunakan untuk
menentukan kadar air kesetimbangan pada surimi kering. Keakuratan dan
kemulusan kurva sorpsi isotermis dalam menggambarkan fenomena sorpsi yang
ditentukan berdasarkan semakin berhimpitnya kurva sorpsi isotermis hasil
percobaaan dengan kurva sorpsi isotermis dari model-model persamaan.
57
Tabel 6 Model persamaan kurva sorpsi isotermis surimi kering
Model Persamaan Linear (y = a + bx) MRD
Hasley log Me=(log(ln(1/aw))+1.893)/-2.209 2.310
Chen Clayton Me=(ln(ln(1/aw))-0.733)/-6.83 9.784
Henderson log Me=((log(ln(1/(1-aw)))-1.059)/1.704 5.634
Caurie ln Me = -2.509 + 1.629 aw 4.098
Oswin ln Me = 1.707 + 0.297 ln (aw/1-aw)) 2.516
Model-model persamaan tersebut kemudian diuji ketepatannya dengan
menghitung nilai Mean Relative Determination (MRD) (Isse et al. 1983). Uji
ketepatan persamaan sorpsi isotermis dilakukan untuk mengetahui ketepatan dari
beberapa model persamaan sorpsi isotermis yang terpilih sehingga memperoleh
kurva sorpsi isotermis dengan menggunakan perhitungan Mean Relative
Determination (MRD).
Model persamaan yang dapat menggambarkan kurva sorpsi isotermis yang
paling tepat untuk surimi kering adalah model Hasley. Model persamaan Hasley
terpilih sebagai model yang memiliki kurva paling berhimpit dengan kurva sorpsi
isotermis percobaan dibandingkan model-model persamaan lainnya. Model
persamaan Hasley memiliki nilai MRD paling rendah dibandingkan model-model
persamaan yang lain yaitu 2.31. Nilai tersebut menunjukkan bahwa model
persamaan Hasley dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis
surimi kering dengan tepat (MRD < 5). Sugiyono et al. (2010) dan Limonu et al.
(2008) juga memperoleh model Hasley sebagai model terpilih dengan nilai MRD
terkecil dalam penentuan umur simpan tepung jagung. Model persamaan Caurie
dan Oswin juga menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan tepat
(MRD < 5), sedangkan model persamaan Chen Clayton dan Henderson masih
memiliki nilai MRD > 5. Persamaan kurva sorpsi isotermis model Hasley untuk
surimi kering yang dimaksud adalah log Me=(log(ln(1/aw))+1.893)/-2.209. Kurva
sorpsi isotermis berdasarkan model persamaan terpilih untuk surimi dapat dilihat
pada Gambar 26.
Gambar 26 Kurva sorpsi isotermis model Hasley ( ) dan hasil percobaan
( ) suntuk surimi powder
0,000
0,100
0,200
0,300
0,400
0,500
0,600
0,700
0,800
0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000
Ka
da
air
kes
etim
ba
ng
an
((M
e) (
g H
2O
/g s
oli
d)
Aktivitas Air (aw)
58
Berdasarkan nilai aw yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa produk
surimi berada diambang batas aman untuk diolah pada produk pangan tertentu,
pada saat kadar air kritisnya tercapai. Nilai-nilai tersebut berada pada kisaran
akhir dari pertumbuhan mikroorganisme berbahaya seperti kapang, khamir, dan
bakteri. Beberapa jenis kapang misalnya Mucor, Neurospora, dan Rhizopus yang
tumbuh cepat pada bahan pangan berkadar air tinggi dan tidak berbahaya selama
nilai aw bahan pangan tersebut di bawah 0.90. Jenis xerofilik saja yang umumnya
dapat tumbuh pada nilai aw di bawah 0.85. Semua jenis kapang xerofilik bersifat
mikotoksik yang diproduksi pada nilai aw sekitar 0.75 (Labuza dan Bilge 2007).
Berdasarkan pengamatan penentuan kurva ISA, pada garam jenuh dengan RH
tinggi dengan rentang 80-90% surimi kering mengalami pertumbuhan kapang
setelah masa simpan selama dua bulan, dan merupakan kondisi penyimpanan
pertama yang mengalami kemunduran mutu secara fisik.
Nilai slope (b) kurva sorpsi isotermis surimi kering beku
Nilai slope (b) kurva sorpsi isotermis ditentukan pada daerah linear (Arpah
2007). Daerah linear tersebut diambil antara daerah kadar air awal dan kadar air
kritis (Labuza dan Schmidl 1985). Titik-titik hubungan antara aktivitas air dan
kadar air kesetimbangan memiliki persamaan linier y = a + bx. Nilai b persamaan
tersebut merupakan slope kurva sorpsi isotermis.
Penelitian ini menggunakan dua daerah dalam menentukan nilai b untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap umur simpan surimi. Slope 1 merupakan hasil
perbandingan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih
antara aktivitas air awal dengan aktivitas air kritis. Nilai aktivitas air awal dan air
kritis surimi diperoleh dari perhitungan dengan persamaan terpilih yaitu model
Hasley. Slope 2 diperoleh dari garis lurus pada daerah linier yang melewati kadar
air awal.
Slope 1 merupakan hasil kemiringan kurva yang diperoleh dari hasil
percobaan, sedangkan slope 2 diperoleh dari hasil perhitungan. Nilai slope 1
untuk surimi kering adalah 1.416 berdasarkan perhitungan antara selisih kadar air
awal dan kadar air kritis dengan selisih antara aktivitas air awal dengan aktivitas
air kritis. Nilai slope 2 diperoleh dari persamaan linear yang terbentuk pada kurva
sorpsi isotermis model Hasley yang melewati kadar air awal. Slope 2 kurva sorpsi
isotermis model Hasley adalah 0.478.
Variabel pendukung umur simpan surimi kering beku
Selain penentuan parameter-parameter yang disebutkan sebelumnya,
dalam penentuan umur simpan perlu diperhatikan pula beberapa variabel
pendukung misalnya permeabilitas kemasan, luas kemasan, bobot padatan per
kemasan, dan tekanan uap murni pada suhu 30 C. Permeabilitas uap air kemasan
(k/x) adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan
dengan ketebalan tertentu sebagai akibat adanya perbedaan unit tekanan uap air
antara permukaan produk dengan lingkungannya pada suhu dan kelembaban
tertentu (Labuza dan Bilge 2007). Semakin tinggi suhu yang dipakai pengujian
maka pori-pori plastik akan semakin membesar dan nilai k/x meningkat. Oleh
karena itu dalam penentuan permeabilitas uap air kemasan harus dilakukan pada
suhu konstan dan terkontrol. Nilai k/x digunakan untuk mengetahui pengaruh kemasan terhadap umur simpan produk. Nilai tersebut tidak dipengaruhi oleh
ketebalan kemasan.
59
Karakteristik bahan pengemas juga mempengaruhi nilai permeabilitas uap
air kemasan. Semakin rendah nilai k/x suatu kemasan maka semakin baik
digunakan sebagai pengemas atau barrier terhadap uap air sehingga umur simpan
bahan pangan yang dikemas semakin lama. Semakin sedikit proses difusi yang
terjadi maka aw produk dapat dipertahankan tetap rendah. Parameter permeabilitas
kemasan menggunakan hasil pengukuran data sekunder yaitu untuk retort pouch
(PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40) adalah 0.02 g/m2.mmHg.hari, HDPE adalah
3.19 g/m2.mmHg.hari dan OPP tebal adalah 0.0739 g/m
2.mmHg.hari (Histifarina
2004).
Polypropylene adalah salah satu jenis plastik yang sering digunakan
sebagai pengemas bahan pangan. Plastik polypropylene (PP) memiliki sifat antara
lain tembus pandang, mempunyai kekuatan tarik yang lebih besar dari polietilen,
rapuh pada suhu rendah, lebih kaku, tidak gampang sobek, permeabilitas uap air
rendah, permeabilitas gas sedang, tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam
kuat, basa, dan minyak serta memiliki titik lebur yang tinggi.
Plastik HDPE merupakan jenis plastik turunan dari polyester yang
memiliki sifat penampakan bervariasi, dari transparan hingga keruh, mudah
dibentuk, lemas dan mudah ditarik, daya rentang tinggi tanpa sobek, meleleh pada
suhu 120 C. HDPE banyak digunakan untuk laminasi dengan bahan lain, tidak
cocok untuk digunakan mengemas bahan berlemak atau mengandung minyak,
tidak cocok untuk mengemas produk beraroma karena transmisi gas cukup tinggi.
HDPE tahan terhadap asam, basa, alkohol dan deterjen. Selain itu dapat
digunakan untuk menyimpan bahan pada suhu pembekuan hingga -50 C dan kedap air serta uap air (Syarief 1990).
Aluminium merupakan jenis kemasan dari logam yang saat ini banyak
digunakan karena memiliki banyak keunggulan dalam mempertahankan mutu
bahan pangan. Kombinasi aluminium foil dengan bahan kemasan lain dapat
menghasilkan jenis kemasan baru yang disebut dengan retort pouch. Kemasan ini
memiliki sifat memliki luas permukaan lebih besar dibandingkan kaleng dan
kemasannya tipis sehingga memungkinkan terjadinya penetrasi, memiliki sifat
perambatan panas yang lebih cepat dan lebih efisien, dengan demikian waktu
sterilisasi akan berkurang. Mutu produk dapat diperbaiki, karena nilai gizinya
lebih tinggi dan sifat-sifat sensori seperti rasa, warna dan tekstur dapat
dipertahankan (Manley 2000).
Variabel lainnya seperti luas kemasan, bobot padatan per kemasan, dan
tekanan uap murni pada suhu 30 C juga dianalisis dalam pengaruhnya terhadap
umur simpan produk. Luas kemasan OPP, HDPE dan retort pouch yang diperoleh
dari hasil percobaan adalah 4.2 m2. Kemasan dengan luas permukaan yang lebih
besar dapat memperlambat laju difusi uap air. Sehingga untuk mencapai kadar air
kritisnya menjadi lebih lama dan umur simpan produk menjadi lebih panjang.
Bobot padatan per kemasan sama pada surimi kering yaitu 500 g. Tekanan uap
murni pada suhu 30 C diperoleh dari pembacaan pada tabel uap air Labuza dan Bilge (2007) yaitu sebesa 31.824 mmHg.
Umumnya produk pangan kering mempunyai kadar air rendah, sehingga
harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai daya tembus atau permeabilitas
uap air yang rendah untuk mencegah produk menjadi basah. Selain itu salah satu
usaha untuk mencegah kerusakan oksidatif adalah dengan menurunkan kandungan
oksigen di sekitar bahan yaitu dengan menggunakan modified atmosphere
60
packaging (MAP) atau dalam kondisi vakum. Pengemasan vakum adalah sistem
pengemasan dengan gas hampa (tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan
O2 dari kemasan sehingga dapat menambah umur simpan. Plastik yang digunakan
untuk pengemasan vakum adalah plastik yang memiliki permeabilitas O2 rendah
dan tahan terhadap bahan yang dikemas. Pengemasan vakum membuang udara
dari head space dalam kemasan dan dari produk itu sendiri, untuk mengurangi
kerusakan oksidatif pada makanan. Pengemasan vakum dapat menghindari
pertumbuhan organisme aerobik pada makanan yang merupakan media yang
potensial untuk pertumbuhannya.
Umur simpan surimi kering beku
Umur simpan surimi kering dalam penelitian ini ditentukan melalui
metode akselerasi. Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi
dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model Arrhenius dan model kadar
air kritis. Model Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga umur simpan
produk pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu. Metode akselerasi yang
banyak diterapkan pada produk pangan kering adalah melalui pendekatan kadar
air kritis. Model kadar air kritis dapat dilakukan melalui pendekatan kurva sorpsi
isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Pendekatan kurva sorpsi
isotermis digunakan untuk produk pangan yang mempunyai kurva sorpsi
isotermis berbentuk sigmoid (Labuza dan Schmidl 1985). Keuntungan metode ini
adalah memerlukan waktu yang relatif singkat tetapi tetap memiliki ketepatan dan
akurasi yang tinggi.
Metode akselerasi kadar air kritis dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis
Penentuan umur simpan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis
dilakukan dengan menyimpan surimi kering pada RH umumnya penyimpanan RH
penyimpanan yang dipakai yaitu pada RH 70% dan 90% dimana kisaran RH
tersebut dipilih karena umumnya dipakai pada penyimpanan produk pangan di
daerah tropis. Kondisi laboratorium penelitian yang digunakan tercatat berada
pada pada kondisi suhu ruang dengan RH 85% berdasarkan hasil pengukuran
Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor. Kelembaban relatif ruang penyimpanan
cukup tinggi dikarenakan waktu penelitian yang dilakukan pada bulan selama
musim penghujan (Februari - Maret 2013). Kelembaban relatif lingkungan (RH)
juga sangat mempengaruhi umur simpan. Nilai RH yang tinggi maka akan
mengandung lebih banyak uap air sehingga akan terjadi penyerapan uap air ke
dalam bahan pangan yang lebih banyak dibandingkan dengan RH yang lebih
rendah. Semakin banyak uap air yang diserap bahan pangan maka akan
mempercepat kerusakan sehingga umur simpan produk lebih singkat (Rahayu
et al. 2005). Hasil perhitungan parameter-parameter penentuan umur simpan
surimi kering dapat dilihat pada Tabel 7.
Umur simpan terendah untuk surimi kering dengan kemasan HDPE pada
RH 90% yaitu 1 bulan, sedangkan umur simpan tertinggi diperoleh dari surimi
kering dengan kemasan retort pouch yaitu 22.6 bulan pada RH penyimpanan
70%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hayati et al. (2004)
yang menghasilkan ikan tongkol kering yang dikemas dengan almunium memiliki
umur simpan yang lebih lama (91 bulan) dibandingkan dengan ikan tongkol
kering yang dikemas dengan HDPE hanya memiliki umur simpan selama 40
bulan. Semakin tinggi kelembaban relatif penyimpanan maka perbedaan tekanan
61
juga semakin besar. Perbedaan tekanan dipengaruhi oleh RH lingkungan dan RH
produk. RH produk dapat dihitung melalui aw produk yang terukur. Oleh karena
itu perbedaan tekanan juga dipengaruhi oleh aw produk yang dapat mengalami
perubahan selama penyimpanan. Penggunaan kemasan retort pouch menunjukkan
surimi kering dengan umur simpan terlama. Hal ini disebabkan karena rendahnya
tingkat permeabilitas kemasan tersebut dibandingkan dengan OPP dan HDPE.
Pertimbangan penggunaan kemasan nantinya juga akan mempertimbangkan masa
distribusi serta faktor ekonomi pada produk akhir surimi kering.
Tabel 7 Parameter penentuan umur simpan surimi kering beku ikan lele pada
kemasan dan RH yang berbeda
Parameter OPP HDPE Retort Pouch
RH 70% RH 90% RH 70% RH 90% RH 70% RH90%
KA awal (Mi) (g H2O)/g solid) 0.0697 0.0697 0.0697 0.0697 0.0697 0.0697
KA kritis (Mc) (g H2O)/g solid) 0.2099 0.2099 0.2099 0.2099 0.2099 0.2099
Model persamaan Hasley = log Me=(log(ln(1/aw)) + 1.893) /-2.209
Slope kurva sorpsi isotermis (b) 1.416 1.416 1.416 1.416 1.416 1.416
KA Kesetimbangan (Me)
(g H2O/g solid) 0.222 0.385 0.222 0.385 0.222 0.385
Permeabilitas kemasan (k/x)
(g/m2.hari.mmHg) * 0.074 0.074 0.100 0,100 0.020 0.020
Luas Kemasan (A) (m2) 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2
Berat padatan per kemasan (Ws) (g) 500 500 500 500 500 500
Tekanan uap jenuh suhu 30 C
(Po) (mmHg) * 31.824 31.824 31.824 31.824 31.824 31.824
Ln (Me-Mi)/(Me-Mc) 2.556 0.588 2.556 0.588 2.556 0.588
A/Ws 0.0084 0.0084 0.0084 0.0084 0.0084 0.0084
Po/b 22.478 22.478 22.478 22.478 22.478 22.478
Umur simpan (hari) 183 42 135 31 677 156
Umur simpan (bulan) 6.1 1.4 4.5 1.0 22.6 5.2 Keterangan :
OPP = Oriented Poly Prophlene
HDPE = High Density Polyethylene
RP = Retort Pouch (PET 12/Aluvo 7/LLDPE 40)
* = data sekunder
Simpulan
Berdasarkan percobaan pendugaan umur simpan surimi kering beku menggunakan model air kritis diperoleh kurva ISA yang cukup halus dengan 11
garam jenuh. Model Hasley merupakan model terpilih dalam penentuan umur
simpan surimi kering. Berdasarkan persamaan Labuza diperoleh dugaan umur
simpan surimi kering pada RH 70% dan 90% adalah 6.1 dan 1.4 bulan pada
surimi dengan kemasan plastik OPP, 4.5 bulan dan 1 bulan untuk surimi yang
menggunakan plastik HDPE, 22.6 bulan dan 5.2 bulan untuk surimi dengan
kemasan retort pouch.
62
63
4 PEMBAHASAN UMUM
Lele merupakan salah satu komoditas lokal yang saat ini menjadi produk
unggulan. Lele menjadi produk budidaya yang dalam lima tahun terakhir
mengalami permintaan yang nyata. Meningkatnya kegiatan budidaya lele juga
menimbulkan masalah pada timbulnya produk-produk lele afkir (oversize) di
setiap proses budidaya, yang harganya cenderung lebih rendah dibandingkan lele
ukuran konsumsi. Pemanfatan lele oversize sebagai bahan baku surimi,
diharapkan mampu meningkatkan nilai jual komoditas tersebut. Lele sebagai ikan
air tawar memiliki kualitas yang prima sebagai bahan baku surimi. Bahan baku
ikan air tawar memiliki peluang untuk dikembangkan karena memiliki sifat dan
karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan surimi berbahan dasar ikan air laut
(Ganesh et al. 2006).
Proses defatting pada perlakuan awal berguna untuk menghilangkan lemak
dari daging selain itu pencucian dengan asam maupun alkali dapat meningkatkan
indeks lightness (kecerahan) dan derajat putih. Penggunaan garam alkali
menunjukkan penurunan konsentrasi lemak yang nyata pada perendaman 0-1%
NaHCO3 selama 10-30 menit. Lama perendaman 10 menit menjadi perlakuan
terpilih karena perendaman selama 20 dan 30 menit menunjukkan hasil yang tidak
nyata (p>0.05), sehingga optimasi serta penghematan waktu menjadi prioritas
utama dalam skala industri pangan. Konsentrasi 0.75% menjadi konsentrasi
NaHCO3 terpilih karena tidak menunjukkan hasil yang nyata (p>0.05) dengan
perlakuan sodium bikarbonat 1%. Dalam skala indsutri pangan perbedaan
penggunaan NaHCO3 dengan kisaran 0.25% dan selisih waktu 10 menit menjadi
hal yang krusial terutama dalam segi ekonomi.
Pembuatan surimi kering diawali dengan optimasi frekuensi pencucian
serta jenis dryoprotectant yang digunakan. Pencucian satu kali menjadi perlakuan
terpilih walaupun masih menunjukkan tingkat kecerahan surimi yang rendah
(57.21%), namun parameter lain terutama daya ikat air sebagai parameter utama
menunjukkan nilai yang cukup baik (73.28%) pada surimi dengan pencucian satu
kali. Kekuatan gel surimi dengan pencucian satu kali menunjukkan nilai gel yang
paling tinggi. Nilai rendemen, protein larut garam, serta pH surimi dengan satu
kali pencucian juga menunjukkan kisaran nilai surimi dengan kualitas yang baik,
pada parameter hedonik surimi dengan pencucian satu kali menghasilkan kualitas
surimi dengan nilai uji lipat 4.84 atau hampir mendekati grade AA.
Selanjutnya dryoprotectant digunakan untuk mencegah proses kehilangan
banyak air selama proses pengeringan. Penggunaan sukrosa, sorbitol dan fosfat
dimaksudkan sebagai perlakuan mixcryoprotectant yang selama ini sudah
digunakan sebagai kombinasi cryoprotectant terbaik di industri surimi, karagenan
digunakan sebagai cryoprotectant alami, yang saat ini sedang banyak dikaji
penggunaanya sebagai bahan tambahan di surimi. Trehalosa juga digunakan
sebagai dryoprotectant untuk mewakili penggunaan single cryoprotectant, dan
terbukti pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa trehalosa merupakan single
cryoprotectant terbaik yang dapat menjaga kualitas surimi dibandingkan dengan jenis gula yang lain. Berdasarkan hasil parameter fisikokimia surimi kering beku,
menunjukkan bahwa surimi dengan penambahan trehalosa 6% memiliki kualitas
surimi yang lebih baik dibandingkan surimi dengan penambahan dryoprotectant
64
yang lainnya. Namun pada nilai kekuatan gel surimi dengan penambahan
karagenan menunjukkan nilai gel tertinggi, hal ini disebabkan oleh sifat
fungsional dari karagenan sebagai gelling agent.
Secara mikrostruktur jaringan surimi kering dengan penambahan trehalosa
menunjukkan penampang jaringan yang lebih baik dibandingkan surimi tanpa
dryoprotectant, tidak banyak celah kosong yang ditinggalkan dan struktur
jaringan daging masih baik. Secara umum surimi kering menunjukkan parameter
fisikokimia yang lebih rendah dibandingkan dengan surimi basah, terjadi
penurunan yang drastis pada nilai protein larut garam serta nilai penerimaan
hedonik (uji lipat dan uji gigit). Hal ini diguna karena proses histerisis yang cepat
saat hidrasi surimi basah. Tingginya komponen air yang hilang secara tidak
langsung menyebabkan komponen miofibril ikut terdenaturasi yang menyebabkan
menurunnya nilai penerimaan hedonik uji lipat. Surimi kering beku ikan lele
menghasilkan kamaboko dengan nilai atau kualitas B.
Proses pendugaan umur simpan surimi kering menggunakan metode air
kritis menghasilkan model Hasley sebagai model terpilih dalam pendugaan umur
simpan. Labuza dan Bilge (2007) menyatakan bahwa model Hasley suatu
persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan
multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan
kelembaban relatif 10-81%. Berdasarkan persamaan Labuza dihasilkan
penggunaan jenis kemasan terbaik adalah retort pouch yang menunjukkan masa
simpan surimi kering yang lebih lama yaitu 22.6 bulan pada RH 70%.
65
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakuan dapat disimpulkan bahwa ikan
lele memiliki potensi sebagai bahan baku surimi kering. Sodium bikarbonat
0.75% dan waktu perendaman selama 10 menit merupakan perlakuan defatting
terpilih, frekuensi pencucian satu kali menunjukkan parameter kualitas surimi
yang paling baik, dan trehalosa 6% merupakan dryoprotectant terbaik yang
mampu menjaga kualitas atau mutu surimi kering beku. Terdapat perbedaan yang
signifikan pada surimi kering dan surimi basah terutama pada kondisi jaringan
daging setelah dikeringkan, nilai protein larut garam dan penerimaan hedonik juga
mengalami penurunan. Surimi kering dapat disimpan selama 22.6 bulan pada
RH 70% dengan menggunakan kemasan retort pouch.
Saran
Disarankan untuk pengembangan penelitian selanjutnya adalah :
1. Diperlukan teknik atau metode tambahan pada pre-treatment daging ikan
untuk meningkatkan nilai kecerahan surimi kering
2. Diperlukan optimasi penggunaan trehalosa pada berbagai konsentrasi
penggunaan
3. Perlunya upaya perubahan fisik untuk menghomogenkan bentuk surimi
kering
4. Diperlukan bahan tambahan antidenaturan sebagai penghambat kerusakan
protein selama proses pembuatan surimi kering
5. Perlunya analisis lanjutan mengenai jenis fraksi air terikat yang ada pada
surimi kering, dan
6. Pengembangan surimi kering sebagai emulsifier dalam bahan pangan perlu
dikaji lebih lanjut.
66
DAFTAR PUSTAKA
Aguilera JM, Stanley DW. 1999. Microstructural Principles Food Processing and
Engineering. 2nd
ed. Maryland (USA): An Aspen Publ. Inc. Gainthersburg.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington
(USA): The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Arpah M. 2007. Penetapan Kadaluarsa Pangan. Bogor (ID): Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Ballesteros D, Walters C. 2007. Water properties in fern spores: sorption
characteristics relating to water affinity, glassy states, and storage stability.
J Exp Bot. 58(5):1185-1196.
Benjakul S, Seymour TA, Morrissey MT, Haejung AN. 1996. Proteinase in
Pacific whiting surimi wash water : identification and characterization. J
Food Sci. 61(6):1165-1170.
Benjakul S, Visessanguan W, Ishizaki S, Tanaka M. 2001. Differences in gelation
characteristics of natural actomyosin from two species of bigeye snapper,
Priacanthus tayenus and Priacanthus macracrnthus. J Food Sci. 66(9):
1311–1318.
Benjakul S, Visessanguan W, Thongkaew C, Tanaka M. 2004. Effect of frozen
storage on chemical and gel-forming properties of fish commonly used for
surimi production in Thailand. Food Hydrocol. 19(2):197-207.
Benjakul S, Yarnpakdee S, Visessanguan W, Phatcharat S. 2010. Combination
effects of whey protein concentrate and calcium chloride on the properties
of goatfish surimi gel. J Texture Stud. 41(3):341–357.
Bledso GE, Rasco BA, Piggot GM. 2000. The effect of bicarbonate salt addition
on the gel forming properties of allaska pollock (Theragra chalcogramma)
and pacific whiting (Merchuccus products) surimi. J Aquat Food Prod
Technol. 9(1):31-45.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional.1992. Syarat dan Mutu Surimi Beku. Jakarta
(ID): Departemen Perindustrian RI. SNI 01-2693-1992.
Cassini AS, Marczak LDF, Norena CPZ. 2006. Water adsorption isotherms of
texturized soy protein. J Food Eng. 77(1):194-199.
Chanarat S, Benjakul S. 2013. Impact of microbial transglutaminase on gelling
properties of Indian mackerel fish protein isolates. Food Chem. 136:929-
937.
Chen HH, Chiu EM, Huang JR. 1997. Color and gel-forming properties of horse
mackerel (Trachurus japonicus) as related to washing conditions. J Food
Sci. 62(5):985-991.
67
Chen HH. 2002. Decoloration and gel-forming ability of horse mackerel mince by
airflotation washing. J Food Sci. 67(8):2970.
Chomnawang C, Nantachai K, Yongsawatdigul J, Thawornchinsombut S,
Tungkawachara S. 2007. Chemical and biochemical changes of hybrid
catfish fillet storead at 4 C and its gel properties. Food Chem. 103:420- 427.
Cirife J, Iglesias HA. 1978a. Equations for fitting water sorption isotherms of
foods: part 1. A review. J Food Technol. 13(3):159-174.
Cirife J, Iglesias HA. 1978b. Equations for fitting water sorption isotherm of food
: part II. Evaluation of various two parameter models. J Food Technol. 13:
319-327.
Debusca A, Tahergorabi R, Beamer SK, Partington S, Jaczynski J. 2013.
Interactions of dietary fibre and omega-3-rich oil with protein in surimi
gels developed with salt substitute. Food Chem. 141(1):201–208.
Egelandsdal B, Fretheim K, Samejima K. 1986. Dynamic rheological
measurements on heat-induced myosin gels: Effect of ionic strength,
protein concentration and addition of adenosine triphosphate or
pyrophosphate. J Sci Food Agri. 37(9):915–926.
Foegeding EA, Davis JP. 2011. Food protein functionality: A comprehensive
approach. Food Hydrocol. 25(8):1853-1864.
Ganesh A, Dileep AO, Shamasundar BA, Singh U. 2006. Gel-forming ability of
commoncarp fish (Cyprinus carpio) meat: effect of freezing and frozen
storage. J Food Biochem. 30(3):342-61.
Greenpeace. 2008. Overfishing of Pollock Risks Collapse of World's Largest
Food Fishery, Endangers Sea Lions, Fur Seal.
http://www.greenpeace.org/usa/en/media-center/news-releases/. [1 Juli
2012].
Hama K. 1999. Crystalline Trehalosa Dihydrate, A Multi-functional Sugar
Extract. Hayashibara Trehalosa Symposium. Hokkaido (JAP): Department
of Agriculture, University of Hokkaido.
Hayati R, Abdullah A, Ayob MK, Soekarto ST. 2004. Isotermi sorpsi air dan
analisis umur simpan ikan kayu tongkol (Euthynnus affinis) dari Aceh.
JTIP. XV( 3): 207-213.
Hayes JE, Desmond EM, Troy D, Buckle DJ, Mehra R. 2005. The effect of whey
protein-enriched on the physical and sensory properties of frankfurters.
Meat Sci. 71:238-243.
Higashiyama T. 2002. Novel functions and applications of trehalosa. Pure Appl.
Chem. 74(7):1263-1269.
Histifarina D. 2004. Pendugaan umur simpan kentang tumbuk instan berdasarkan
kurva isotermi sorpsi air dan stabilitasnya selama penyimpanan. J Hort.
14(2):113-120.
68
Hossain MI, Kamal MM, Shikha FH, Hoque MDS. 2004. Effect of washing and
salt concentration on the gel forming ability of two tropical species. Int J
Agr Biol. 6(5):762-766.
Huda N, Abdullah A, Babji AS. 2000. Effects of cryoprotectants on functional
properties of dried lizardfish (Saurida tumbil) surimi. Malaysian Applied
Biol. 29:9-16.
Huda N, Aminah A, Abdul SB. 2001. Functional properties of surimi
powderfrom three Malaysian marine fish. Int. J. Food Sci. Technol.
36(4):401-406.
Huda N, Santana P, Abdullah R, Yang TA. 2012. Effect of different
dryoprotectant on funtional properties of Thredfin Bream surimi powder.
J. Fish. Aquat. Sci. 7(3):215-223.
Isse MG, Schuchmann H, Schubert H. 1983. Devided sorption isotherm concept,
an alternative way to describe sorption isotherm data. J Food Eng. 16:147-
157.
Julavittayanukul O, Benjakul S, Visessanguan W. 2005. Effects of phosphate
compounds on gel-forming ability of surimi from bigeye snapper
(Priacanthus tayenus). J Food Hydrocoll. 20(8):1153-1163.
Kanna K, Tanaka K, Kakuda K, Shimidzu T. 1971. Denaturation of fish protein
by drying, III. Protein denaturation and histological changes in dehydrated
fish muscle. Bull Tokai Reg Fish Res lab. 68:51-60.
Kapseu C, Nkouam GB, Dirand M, Barth D, Perrin L, Tchiegang C. 2006. Water
vapour sorption isotherms of sheanut kernels (Vitellaria paradoxa
Gaertn.). J Food Technol. 4(4): 235-241.
Karmas E, Lauber E. 1987. Novel products from underutilized fish using
combined processing technology. J Food Sci. 52(1):7-9.
Karayannakidis PD, Zotos A, Petridis D, Taylor KDA. 2007. The effect of initial
wash at acidic and alkaline pHs on the properties of protein concentrate
(kamaboko) products from sardine (Sardina pilchardus) samples. J Food
Eng. 78(3):775-783.
Kim JM, Liu CH, Eun JB, Park JW, Oshimi R, Hayashi K, Ott B, Aramaki T,
Sekine M, Horikita Y, Fujimoto K, Aikawa T, Welch L, Long R. 2006.
Surimi from fillet frames of channel catfish. J Food Sci. 61(2):428-432.
Kimura I, Sugimoto M, Toyoda K, Seki N, Arai K, Fujita T. 1991. A study on the
cross-linking reaction of myosin in kamaboko suwari gels. Nipp Suis
Gakkai. 57(7):1389-96.
Kristinsson HG, Theodore AE, Demir N Ingadottir B. 2005. A comparative study
between acid and alkali-added processing and surimi processing for the
recovery of proteins from channel cat fish muscle. J Food Sci. 70(4):98-
306.
69
Kristinsson HG, Ingadottir B. 2006. Recovery and properties of muscle proteins
extracted from tilapia (Oreochromis niloticus) light muscle by pH shift
processing. J Food Sci. 71(3):132-141.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam Angka 2011. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Cerdaskan Anak Bangsa,
KKP Ajak Masyarakat Konsumsi Ikan. http:// www. kkp.go.id/
index.php/arsip/c/7701/Cerdaskan-Anak-Bangsa-KKP-Ajak-Masyarakat-
Konsumsi-Ikan/. [4 Juli 2012].
Labuza TP, Schmidl MK. 1985. Accelerated shelf life testing of foods. Food
Technol. 39(9):57-62.
Labuza TP, Bilge A. 2007. Water Activity in Foods: Fundamental and
Applications. State Avenue (USA): Blackwell Publishing and IFT Press.
Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and functional properties.
Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York
(USA) : Marcel Dekker, Inc
Lee CM. 1984. Surimi process technology. Food Technol. 38(11):69–80.
Limonu M, Sugiyono, Kusnandar F. 2008. Pengaruh perlakuan pendahuluan
sebelum pengeringan terhadap jagung instan muda. JTIP. XIX(2).139-
148.
Lin S, Huff HE, Hsieh F. 2002. Exrusion process paramaters, sensory
characteristics and structural properties of a high moisture soy protein
meat analog. J Food Sci. 67(3):1066-1072.
Lievonen SM, Ross YH. 2002. Water sorption of food models for studies of glass
transition and reaction kinetics. J Food Sci. 65(5):1758-1766.
Luo YK, Kuwahara R, Kaneniwa M, Murata Y, Yokoyama M. 2001. Comparison
of gel properties of surimi from Alaska pollock and three freshwater fish
species: effects of thermal processing and protein concentration. J Food
Sci. 66(4):548-54.
Manley D. 2000. Technology of Biscuits, Crackers, and Cookies 3rd
Edition.
Cambridge (UK) : Woodhead PublishingLimited.
McCord A, Smyth AB, O'Neill EE. 1998. Heat-induced gelation properties of
salt soluble muscle proteins as affected by non-meat proteins. J Food
Sci. 63(4):580−583.
Miller R, Groninger HS. 1976. Functional properties of enzyme modified
acylated fish protein derivates. J Food Sci.41:268-272.
Miyakama M. 1992. Surimi Walleye Pollack and Catfish. [patent] US 141766 25
Agustus 1992.
Montejano JG, Morales OG, Diaz SR. 1994. Rheology of gels of freeze-dried
surimi of trout (Cyanoscion nothus) and tilapia (Oreochromis niloticus).
Rev Esp Cien Tec. 34:165-177.
70
Necas J, Bartosikova L. 2013. Carrageenan: a review. Vet Med-Czech. 58(4): 187-
205.
Negbenebor CA, Godiya AA, Igene JO. 1999. Evaluation of Clarias anguillaris
treated with spice (Piper guineense) for washed mince and kamaboko-type
product. J Food Comp Anal. 12:315-322.
Nopianti R, Nurul H, Noryati I. 2011. A Review of the loss of the functional
properties of protein during frozen storage and the improvement of gel
forming properties of surimi. Am. J Food Technol. 6(1):19-30.
Nopianti R, Nurul H, Fazilah A, Ismail N, Easa AM. 2012. Effect of different
types of low sweetness sugar on physicochemical properties of threadfin
bream surimi (Nemipterus spp.) during frozen storage. Int Food Res J.
19(3):1011-1021.
Ohkuma C, Kiyoshi K, Chotika V, Thanachan M, Sumate T, Rikuo T, Toru S.
2008. Glass transition properties of frozen and freeze-dried surimi
product : Effects of sugar and moisture on the glass transition temperature.
Food Hydrocol. 22(2):255–262.
Osako K, Hossain MA, Kuwahara K, Nozaki Y. 2005. Effect of trehalosa on the
gel-forming ability, state of water and miofibril denaturation of horse
mackerel Trachurus japonicus surimi during frozen storage. Fish Sci. 71
(2):367-373.
Park JW, Lanier TC. 1987. Combined effects of phosphates and sugar or polyol
on protein stabilization of fish myofibrills. J Food Sci. 52:1509-1513.
Park JW, Lanier TC, Green DP. 1988. Cryoprotective effects of sugar, polyols
and/or phosphate on Alaska pollock surimi. J Food Sci. 53:1-3.
Park JW, Lin TMJ. 2005. Surimi : Manufacturing and evaluation. Di dalam : Park
JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. Florida (USA): CRC Press.
Parvathy U, Sajan G. 2011. Influence of cryoprotectant levels on storage stability
of surimi from Nemipterus japonicus and quality of surimi based products.
J Food Sci Technol. 1-6. doi:10.1007/s13197-011-0590-y.
P´erez-Mateos M, Montero P. 2000. Contribution of hydrocolloids to gelling
properties of blue whiting muscle. Z Lebensm Unters Forsch. 210(6):383-
90.
Phatcharat S, Benjakul S, Visessanguan W. 2006. Effects of washing with
oxidising agents on the gel-forming ability and physicochemical
properties of surimi produced from bigeye snapper (Priacanthus tayenus).
J Food Chem. 98:431-439.
Pilar T, Reyes P. 2007. Simultaneous application of transglutaminase and high
pressure to improve functional properties of chicken meat gels. Food
Chem. 100(1):264–272.
Poowakanjana S, Park JW. 2013. Biochemical characterisation of Alaska pollock,
Pacific whiting, and threadfin bream surimi as affected by comminution
conditions. Food Chem. 138:200–207.
71
Pratiwiningsih I.T. 2004. Kajian sifat fungsional, mikrostruktur, dan pendugaan
umur simpan surimi kering dari ikan Marlin (Makaira sp.). [tesis]. Bogor
(ID): Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor.
Raghavan S, Kristinsson HG. 2008. Conformational and rheological changes in
catfish myosin during alkali-induced unfolding and refolding. Food Chem.
107:385-398.
Rahayu WP, Arpah, Diah E. 2005. Penentuan waktu kadaluwarsa dan model
sorpsi isotermis biji dan bubuk lada hitam (Piper ningrum L). JTIP. XVI
(1):31-38.
Ramadhan K, Huda N, Ahmad R. 2011. Physico-chemical characteristics of
surimi gels made from washed and mechanically deboned Peking duck
meat. J. Food Ag-Ind. 4(2):114-121.
Ramirez JA, Diaz-Sobac R, Moralez OG, and Vazques M. 1999. Evaluation of
freeze dried surimi from tilapia and fat sleeper as emulsifier. Cienc
Technol Aliment. 2(4):210-214.
Rockland LB, Nishi SK. 1980. Influence of water activity on food product
quality and stability. Food Technol. 34(4):44-51.
Santana P, Huda N, Yang TA. 2012. Mini review: Technology for production of
surimi powder and potential of applications. Int Food Res J. 19(4):1313-
1323.
Santana P, Huda N, Yang TA. 2013. Physicochemical properties and sensory
characteristics of sausage formulated with surimi powder. J Food Sci
Technol. In Press. doi: 10.1007/s13197-013-1145-1.
Santoso J, Yasin AWN, Santoso. 2008. Perubahan karakteristik surimi ikan cucut
dan pari akibat pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin
daging lumat. JTIP. 19(1):57-66.
Schiraldi CI, Lernia D, de Rosa M. 2002. Trehalose production: Exploiting novel
approaches. Trends Biotechnol. 20(10):420-425.
Shahidi F, Arachchi JKV, Jeon Y. 1999. Food applications of chitin and
chitosans. Trend Food Sci Tech. 10(12):37-51.
Shaviklo GR, Thorkelsson G, Arason S, Kristinsson HG, Sveinsdottir K. 2010.
The infulence of additives and drying methods on quality attributes of fish
protein powder made from saithe (Pollachius virens). J Sci Food Agric.
90:2133-2143
Shaviklo GR, Thorkelsson G, Arason S, Sveinsdottir K. 2012. Characteristics of
freeze-dried fish protein isolated from saithe (Pollachius virens). J Food
Sci Technol. 49(3):309-318.
Shaviklo GR, Thorkelsson G, Sveinsdottir K, Pourreza F. 2013. Studies on
processing, consumer survey and storage stability of ready-to-reconstitute
fish culet mix. J Food Sci Technol. 50(3):900-908.
72
Soekarto ST, Adawiyah DR. 2012. Keterkaitan berbagai konsep interaksi air
dalam produk pangan. JTIP. XXIII(1):107-116.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Sumantri B,
Terjemahan. Jakarta (ID): Gramedia. hal 168-171, 647.
Srinivasan S, Xiong YL. 1996. Gelation of beef heart surimi as affected by
antioxidants. J Food Sci. 61(4):707-711.
Sultanbawa Y, Li-Chan ECY. 1998. Cryoprotective effects of sugar and polyol
blends in ling cod surimi during frozen storage. Food Res Int. 31:87-98.
Suvanich VW, Prinyawiwatkul ML, Jahncke WJ, Lyon, Marshall DL. 1999.
Quality characteristics of catfish surimi as affected by different processing
protocols. 60th
Annual Meeting of the Institute of Food Technologists, July
24-28, Chicago (USA): Technical Program Book of Abstracts, No. 50D-9,
p.147.
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Tecnhology. London (UK):
Applied Sci Publ Ltd.
Syarief R. 1990. Peranan Pengemasan dalam Mempertahankan Mutu Pangan.
Pusat Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor (ID) : Institut Pertanian
Bogor.
Sych J, Lacroix C, Adambounou LT, Castaigne F. 1990a. Cryoprotective effect of
lactitol, palatinit, and polydextrose on cod surimi proteins during frozen
storage. J Food Sci. 55:356-360.
Sych J, Lacroix C, Adambounou LT, Castaigne F. 1990b. Cryoprotective effect of
some materials on cod surimi proteins during frozen storage. J Food Sci.
55:1222-1227,1263.
Sych J, Lacroix C, Adambounou LT, Castaigne F. 1991. The effect of low-or non-
sweet additives on the stability of protein functional properties of frozen
cod surimi. Int J Food Sci Technol. 26:185-197.
Trobos. 2008. Fillet Lele: Membalik Nasib Lele Bapukan. http://www. trobos.com
/show _article. php? rid=35&aid=1231 [20 April 2012].
Uju, Maryana F, Santoso J. 2007. Pemanfaatan refined carrageenan sebagai
cryoprotectant pada penyimpanan beku surimi ikan nila. Buletin
Teknologi Hasil Perikanan. X(2):48-59.
Venugopal V, Martin AM, Omar S, Patel TR. 1994. Protein Concentrate from
capelin (Mallotus villosus) by spray drying process and its properties. J
Food Proces Pres. 18(6):509-519.
Venugopal V, Doke SN, Nair PM. 1994. Gelation of shark myofibrillar proteins
by weak organic acids. Food Chem. 50(2):185-190.
Venugopal V, Chawla SP, Nair PM. 1996. Spray dried protein powder from
threadfin bream preparation, properties and comparison with FPC type B.
J Muscle Foods. 7(1):55-71.
73
Xu Y, Zhang M, Tu D, Sun J, Zhou L, Mujumdar AS. 2004. A two-stage
convective air and vacuum freeze-drying technique for bamboo shoots.
Int. J. Food Sci. Technol. 40(6):589-595.
Yathavamoorthi R, Sankar TV, Ravishankar CN. 2010. Effect of ice storage and
washing on the protein constituents and textural properties of surimi from
Labeo calbasu (Hamilton, 1822). Indian J. Fish. 57(4):85-91.
Yasumatsu K, Sawada K, Moritaka S, Misaki M, Toda J, Wada T, Ishi K. 1972.
Whipping and emulsifying properties of soybean products. Agric Biol
Chem. 36(5):719-727.
Yoo B, Lee CM. 1993. Thermoprotective effect of sorbitol on protein during
dehydration. J Agric Food Chem. 41:190-192.
Zayas JF. 1997. Functional of Protein in Foods. Berlin (GER): Springer-Verlag
Heidelberg.
Zhou AM, Zeng QX, Liu X, Sun YM. 2003. The physicochemical changes of fish
muscle protein during frozen storage and their affecting factors. J Food
Sci. 24(3):153–157.
Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective effect of
threhalosa and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi
during frozen storage. Food Chem. 96(1):96-103.
74
75
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 April 1988 di Kendari, Sulawesi
Tenggara. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan
Ir.Tjandra Buana, M.Si dan Ir.Hermin Puspa Rahayu. Tahun 2006 penulis
diterima di Program Strata-1 Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Tahun 2011 penulis menyelesaikan program sarjana (S1)
Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Pada tahun yang sama penulis
mendapatkan Beasiswa Unggulan untuk Pendidikan Magister Sains dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan melanjutkan program Magister
di kampus dan program studi yang sama. Selama masa kuliah di Sekolah
Pascasarjana IPB penulis juga aktif sebagai asisten dosen mata kuliah Ilmu dan
Teknologi Surimi dan Mata Kuliah Teknologi Formulasi Hasil Perairan. Penulis
juga memperoleh beasiswa penelitian dari Kementerian Keuangan melalui
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).