PERUBAHAN KADAR INTERLEUKIN-2 DAN INTERLEUKIN-31 SERUM SESUDAH TINDAKAN AKUPUNKTUR PADA LI11 QUCHI DAN KORELASINYA DENGAN PERUBAHAN SKALA PRURITUS PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS DISERTASI DEDI ARDINATA NIM 168102007 PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2021 Universitas Sumatera Utara
186
Embed
PERUBAHAN KADAR INTERLEUKIN-2 DAN INTERLEUKIN-31 …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERUBAHAN KADAR INTERLEUKIN-2 DAN INTERLEUKIN-31 SERUM
SESUDAH TINDAKAN AKUPUNKTUR PADA LI11 QUCHI DAN KORELASINYA DENGAN PERUBAHAN SKALA PRURITUS
PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS
DISERTASI
DEDI ARDINATA
NIM 168102007
PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
Universitas Sumatera Utara
i
LEMBAR PRASYARAT GELAR
PERUBAHAN KADAR INTERLEUKIN-2 DAN INTERLEUKIN-31 SERUM
SESUDAH TINDAKAN AKUPUNKTUR PADA LI11 QUCHI DAN KORELASINYA DENGAN PERUBAHAN SKALA PRURITUS
PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
dalam Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran
pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
untuk dipertahankan di hadapan Sidang Ujian Terbuka
Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
DEDI ARDINATA
NIM 168102007
PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
Universitas Sumatera Utara
ii
LEMBAR PROMOTOR DAN CO-PROMOTOR
PROMOTOR
Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS., Sp.FK.
Guru Besar Tetap Departemen Farmakologi dan Terapeutik.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan.
CO- PROMOTOR
Prof. Dr. dr. Irma D. Mahadi, SpKK(K)., FINSDV., FAADV.
Guru Besar Tetap Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.
Kurniawan Ritonga dan Nabilah yang telah banyak memberikan bantuan dan
dukungan, serta kepada seluruh peserta program studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran
FK USU dan semua sahabat yang telah memberi dukungan dalam proses pendidikan
ini.
Kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Sofyan Rahimahullah dan ibunda T.
Anita Noor Rahimahullah yang telah membesarkan, mendidik, dan
mendoakan dengan penuh kasih sayang demikian pula mertua penulis
Prof. dr. Aman Nasution, MPH. dan dr. Farida Auskarani Rahimahullah,
atas segala perhatian dan ketauladanan yang diberikan kepada penulis dan sebagai
ungkapan rasa syukur dan terima kasih maka penulis hanya mampu menyampaikan
doa semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahannya Aamiin.
Kepada istri penulis tercinta dr. Tetty Aman Nasution, M.Med.Sc., yang telah
mendampingi selama ini, penulis sampaikan terima kasih yang tidak terhingga atas
kepercayaan, kesabaran, kasih sayang, pengertian, dan doa yang terus menerus
diberikan kepada penulis hingga proses pendidikan doktor ini bisa penulis selesaikan,
dan kepada kedua ananda dr, M. Fikri Ardinata dan Syifadiani Ardinata, terima kasih
untuk pengertian dan doa yang diberikan. Semoga apa yang telah dan akan ayahanda
lakukan akan memberikan tauladan bagi ananda berdua.
Universitas Sumatera Utara
x
Akhir kata, semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan bermanfaat bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat
Indonesia dan pada umat manusia.
Medan, 26 April 2021
Penulis
Dedi Ardinata
Universitas Sumatera Utara
xi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Dedi Ardinata 2. Tempat/tanggal lahir : TB. Karimun (Kep.Riau)/ 27 Desember 1968 3. Agama : Islam 4. NIP : 196812271998021002 5. Pangkat/Golongan : Lektor Kepala, Pembina/IVa 6. Pekerjaan : Dosen Departemen Fisiologi FKUSU 7. Alamat : Jl. Pendidikan no. 96, Tegal Rejo, Medan 8. No. telepon/HP : 08116362927 9. Email : [email protected] 10. Alamat kantor : Jl. Dr. Mansur no. 5 P. Bulan, Medan
II. KELUARGA Istri : dr. Tetty Aman Nasution, M.Med.Sc Anak : dr. Muhammad Fikri Ardinata : Syifadiani Ardinata
III. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD : Bhayangkari, Medan 1981 2. SMP : Bhayangkari, Medan 1984 3. SMA : Negeri 7, Yogyakarta 1987 4. Sarjana Kedokteran : Fakultas Kedokteran USU, Medan 1992 5. Profesi Dokter : Fakultas Kedokteran USU, Medan 1994 6. Magister Biomedik : Pascasarjana USU, Medan 2002
IV RIWAYAT PELATIHAN
1. Penelitian Biomedis & Reproduksi Manusia, BKKBN-PPKRM FKUSU, Medan
1999
2. Metodologi Penelitian, Lembaga Penelitian USU, Medan 2001 3. Manajemen dan Desiminasi Informasi Kesehatan dengan
Menggunakan Web-Based CDS/ISIS, Badan LITBANGKES DEPKES RI, Jakarta
2002
4. Pre-congress workshop : “Use of ICT in Teaching and Learning of Physiology and Life Science”, Faculty of Medicine, University Malaya (UM), Kuala Lumpur, Malaysia
2002
Universitas Sumatera Utara
xii
5. Pre-congress workshop : “Problem-based Learning : Processes and Assessment in PBL”, Faculty of Medicine, University Malaya (UM), Kuala Lumpur, Malaysia
2002
6. Telaah Kritis (Critical Appraisal) Makalah Hasil Penelitian Kedokteran/Kesehatan berorientasi pada Evidence-based Medicine (EBM), Unit Pengembangan Riset (UPR) FKUSU, Medan
2002
7. Implementasi Sistem Manajemen Mutu USU untuk Gugus Jaminan Mutu (GJM) & Gugus Kendali Mutu (GKM) USU
2007
8. Penyelenggaraan Praktik Kedokteran kepada Stakeholders, Konsil Kedokteran Indonesia, Medan
2007
9. Sertifikasi Auditor Penjaminan Mutu Sistem Manajemen Mutu Universitas Sumatera Utara
2007
10. Practical Obesity Management, FK_UI, Jakarta 2010 11. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Penyusunan Buku
Rencana pembelajaran dan Buku Blok Program Studi Ilmu Keperawatan, Berastagi
2012
12. Penggunaan Analisi Medan Kekuatan (Force Fiels Analysis) Sebagai Instrumen Pengambilan Keputusan Dalam Perbaikan Mutu Berkelanjutan (Quality Continuous Improvement) SMM USU Untuk GJM dan GKM Siklus Siklus 5 Periode Februari-Juni 2012
2012
13. Workshop “Menopause and Aging”, Medan 2013 14. Workshop Nasional Penguji Uji Kompetensi-OSCE, Medan 2014 15. Shortcourse Akupuntur Dasar, Medan 2015 16. Seminar dan Workshop ANTI AGING, Medan 2015 17. Kursus Good Clinical Practice (GCP) online
https://gcp.nidatraining.org. 2018
IV. RIWAYAT PEKERJAAN
1. Kepala Kesehatan Perusahaan PT. Riau Andalan Pulp Paper/P. Kerinci, Riau
1994-1995
2. Dokter Puskesmas Marike, Dinas Kesehatan Kab. Langkat
5. Perubahan Kadar Glukosa darah Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 yang terkontrol setelah mengkonsumsi Kurma
Majalah Kedokteran Nusantara Vol .41, No.1 Maret. 2008
6. Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang terhadap Hitung Lekosit dan Hitung Jenis Lekosit pada Orang Tidak Terlatih
Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 41 No. 4 y Desember 2008
7. Efek Monosodium Glutamat terhadap Fungsi Reproduksi
Jurnal Keperwatan Rufaidah Vol. 3. No. 1, November 2009
Universitas Sumatera Utara
xiv
8. Kesiapsiagaan Petugas Kesehatan dan Masyarakat dalam Menanggulangi Bencana
Jurnal Keperwatan Rufaidah Vol. 3. No. 2, November 2009
9. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan Pasien hemodialisis di RSUD. dr. Pirngadi medan
Idea Nursing Journal Vol. VI No. 3, 2015
10. Student perception of interprofessional education application at the Health Sciences University of Sumatera Utara
Enferm Clin. 2017;27 (Suppl. Part I):236-239
11. Effects of red ginger capsule supplementin reducing PGF2α concentrations and pain intensity in primary dysmenorrhea
Earth and Environmental Science 125 (2018) 012193
12. The influence of mutation gene rpoB of Mycobacterium tuberculosis cluster I (507-534) on the elimination 25-desacetyl rifampicin in urine of tuberculosis subjects
Earth and Environmental Science, 125 (2018), 012146
13. Association of ACTN-3 Gen Polymorphism (R577X) and Muscle Explosion in Soccer School Students in Medan
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 30, No. 2, 2018, pp. 121-126
14. The Effect of pncA Gene Mutation of Mycobacterium Tuberculosis to Transaminase and Uric Acid Serum in MDR TB Patient
Jurnal Respirologi Indonesia. 2018; 38: 150-7
15. Teamwork among health sciences student in Universitas Sumatera Utara which exposed in interprofessional education (IPE) learning
Journal of Physics. 2019: Conf. Ser. 1317 012212
16. Correlation of hypoxia-inducible factor-1α level with control glycemic in type 2 mellitus patients with malignancy and without malignancy
Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 2020, 8(B), pp. 408–413
17. Relationship between plasma hypoxia inducible factor 1α in type 2 diabetes mellitus with malignancy and without malignancy
Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 2020, 8, pp. 602–605
18.
The effect of health education on control glycemic at type 2 diabetes mellitus patients
Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 2020, 8(E), pp. 133–137
19. Interleukin-31 Serum And Pruritus Dimension After Acupuncture Treatment In Hemodialysis Patients: A Randomized Clinical Trial
Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences. 2021, 9(B):pp 1-6.
VII. PENGHARGAAN DAN TANDA JASA
1. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Piagam 2010
2. Presiden Republik Indonesia Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya
2015
Universitas Sumatera Utara
xv
LEMBAR PENGESAHAN ORISINALITAS
PERNYATAAN
Perubahan Kadar Interleukin-2 dan Interleukin-31 Serum Sesudah Tindakan Akupunktur pada LI11 Quchi
dan Korelasinya dengan Perubahan Skala Pruritus pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis
Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya
penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan
ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini
bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,
penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang
dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 26 April 2021
Dedi Ardinata
Materai 6000
Universitas Sumatera Utara
xvi
SUMMARY
Chronic kidney disease (CKD) patients who undergo hemodialysis show a tendency to experience pruritus with varying prevalence. Some of the largest global cross-sectional studies report Chronic kidney disease–associated pruritus (CKD-aP) undergoing hemodialysis (HD), significantly affecting patients' quality of life, causing sleep disturbances, depressive symptoms and a higher risk of death than those without pruritus. The pathogenesis of CKD-aP is still not fully understood and related to this, at least four hypotheses have been proposed, namely: dermatological disorders, disorders of the immune system resulting in an increased pro-inflammatory state, imbalance of the opioidergic endogenous system, and neuropathic mechanisms. Several other hypotheses such as the xerosis hypothesis, hyperparathyroidism, histamine release, opioid imbalance, uremic toxin, peripheral neuropathy, and immune-mediated, are fundamental to the treatment of pruritus. The systemic microinflammation that causes CKD-aP is based on enhancement T helper (Th) -1, C-reactive protein (CRP), Interleukin (IL) -6, IL-10, IL-2, Tumor Necrotic Factor (TNF) α. In addition, the response imbalance between Th-1 cells that are higher than Th-2 cells such as increased CRP, IL-6, and IL-31 are also shown to play a role, as is the increase in Mast cells that release histamine. Factors such as high creatinine levels and low hemoglobin levels also increase the risk of pruritus. Similarly, dyslipidemia, obesity, and higher levels of CRP were associated with higher pruritus intensity, whereas use of high-flux dialysers was associated with lower pruritus intensity. Factors such as age, gender, ethnicity (ethnicity) and length of undergoing HD were also associated with the occurrence of pruritus in HD patients. Pruritogenic pro-inflammatory cytokine IL-2 which is activated by T lymphocytes is found in the appearance of generalized redness and pruritus in the body after administration of high doses of recombinant IL-2 in cancer treatment, and intradermal injection of IL-2, was found to induce pruritus as well as in psoriasis. In addition, it was also reported that IL-2 levels were significantly higher in patients undergoing HD with pruritus than in patients undergoing HD without pruritus. Pruritogenic anti-inflammatory cytokine IL-31 which is mainly produced by Th-2 cells also acts as a pruritogenic, because after intradermal injection of IL-31, pruritus appears. Likewise in atopic dermatitis, T-cell skin lymphoma, urticaria, psoriasis, and allergic rhinitis. Serum IL-31 levels were significantly higher in patients undergoing HD with pruritus symptoms, and there was a positive exposure-response relationship between serum IL-31 levels and the intensity of pruritus. Dialysis techniques, topical therapy (emollient, aromatherapy, capcaisin cream, tacrolimus, gamma linolenic acid ointment), ultraviolet irradiation, rubdown with japanese dry towels, and systemic therapies such as: µ-opioid receptor antagonists (naltrexone), κ-opioid receptor agonists (nalfurafine, butorphanol), thalidomide,
Universitas Sumatera Utara
xvii
pentoxyfilline, and gabapentin are therapies given to treat pruritus in CKD patients undergoing HD. However, the use of local therapy has side effects on the skin in the form of: burning sensation and redness, whereas in systemic therapy there are: somnolence, difficulty sleeping, constipation, headache, nausea, and heartburn. These side effects may be caused by a decrease in the renal clearance mechanism for drugs and their metabolites. The way acupuncture produces anti-inflammatory effects is by affecting the Th-1 and Th-2 balance. The balance of Th-1 and Th-2 is influenced by the secretion of β endorphins that occur as a result of acupuncture. The anti-inflammatory effect of acupuncture also occurs through inhibition of cytokine synthesis pro-inflammation by acetylcholine adhering to the α7nicotinic acetylcholine receptors of macrophage cells. The anti-inflammatory effect of acupuncture is comparable to that of dexamethasone in lowering proinflammatory cytokine levels without affecting anti-inflammatory cytokine levels. However, the results of other studies suggest that acupuncture can increase levels of anti-inflammatory cytokines without decreasing pro-inflammatory cytokines. The results of previous systemic studies showed that acupuncture had a beneficial effect on CKD-aP who underwent HD. Stimulation of acupuncture points on the large intestine11 (LI11) Quchi and stomach36 (ST36) Zusanli, yielding an effective rate of up to 97%. Stimulation of the LI11 Quchi single acupuncture point for 1 hour, 3 times a week for 1 month, significantly reduced the pruritus score and is an easy and safe treatment for CKD-aP patients undergoing HD, as well as the stimulation of the LI11 Quchi single acupuncture point for 1 hour, Twice a week, 12 times, significantly reduced the pruritus scale in CKD-aP who underwent HD. In addition, other research states that the ability to reduce pruritus resulting from acupuncture, The results of previous studies that have been stated previously stated that there was a positive relationship between IL-2 levels and serum IL-31 levels with the severity of CKD-aP. On the other hand it is stated that acupuncture acts proven to improve the pruritus of patients undergoing HD, but the results of previous studies have not shown changes in levels of IL-2 andserum IL-31 levels after acupuncture were associated with improved pruritus in patients undergoing HD. This research is a purely experimental study by design pretest-posttest followed by a difference test between the two groups, single-blindly randomized to determine changes in serum IL-2 levels and serum IL-31 levels, and their correlation with changes in the pruritus scale between subjects given acupuncture (acupuncture group) and subjects given acupuncture placebo (placebo group) as a control CKD-aP subjects undergoing HD. Sixty subjects who had met the acceptance criteria and did not meet the refusal criteria started the study by taking the sample consecutively, and were randomized into two groups with the help of the online application at https://www.randomizer.org/. 30 subjects in the acupuncture group, and 30 subjects as the placebo group. Each subject in the acupuncture group was given a sterile, sterile, single-use needle stick, and a stainless-steel needle (0.25 mm diameter and 25 mm long, Bai Yi Mei®) perpendicular to the surface of the skin as deep as 1-1.5 cm at the point. LI11 Quchi, adjacent to the needle insertion in the HD procedure and left for 1 hour. Whereas each subject in the placebo group was given a sterile, single-use, and stainless-steel needle attachment (0.25 mm diameter and 25 mm
Universitas Sumatera Utara
xviii
long, Bai Yi Mei®) with the aid of a plaster at point LI11 Quchi and left for 1 hour. Acupuncture and placebo acupuncture measures are given 2 times a week for 6 weeks, Data on age, sex, ethnicity, body mass index after HD, main disease, creatinine levels, Hb levels, CRP, length of time on HD, urea reduction ratio (URR), serum IL-2 levels, serum IL-31 levels, and scale. pruritus, taken prior to acupuncture and acupuncture placebo measures. Then data on serum IL-2 levels, serum IL-31 levels, and pruritus scales, were taken again after 6 weeks of acupuncture and placebo acupuncture, and 4 weeks of evaluation (without acupuncture and placebo acupuncture).
Age, sex, ethnicity, body mass index after HD, the main disease, creatinine levels, Hb levels, CRP, length of undergoing HD, and urea reduction ratio (URR) are characteristics of the subjects that affect pruritus. The statistical test comparing the subject characteristics between the acupuncture group and the placebo group showed that there was no significant difference between the two groups (p> 0.05). This condition proves that the two study groups are matched pairs in influencing pruritus.
Examination of serum IL-2 and IL-31 levels is only used for research purposes and not for routine examinations in the laboratory where until now there has been no established normal values for serum IL-2 and IL-31 levels. Besides that, sometimes the use of placebo acupuncture in acupuncture research has an effect on the variables studied (pruritus) which is a limitation of this study. The results of this study indicate:
1. There was significant decrease in serum IL-2 levels, after 6 weeks of acupuncture LI11 Quchi compared to placebo acupuncture which then increased not significantly, after 4 weeks of evaluation.
2. There was not significant decrease in serum IL-31 levels, after 6 weeks of acupuncture LI11 Quchi compared to placebo acupuncture which then increased insignificantly, after 4 weeks of evaluation.
3. There was significant decrease in the scale of pruritus, after 6 weeks of acupuncture action LI11 Quchi compared to placebo acupuncture which then increased significantly, after 4 weeks of evaluation.
4. There was positive relationship between serum IL-2 levels and pruritus scale with was a significant and weak, after 6 weeks of acupuncture LI11 Quchi, and positive relationship that was not significant and very weak, after 4 weeks of evaluation.
5. There was positive relationship between serum IL-31 levels and pruritus scale with was not significant and very weak, after 6 weeks of acupuncture LI11 Quchi, and negative relationship, which was not significant and weak, after 4 weeks of evaluation.
6. Side effects of acupuncture LI11 Quchi: pain with VAS 2.15 in the acupuncture needle insertion area and bleeding at least 2.50% after acupuncture needle removal.
Universitas Sumatera Utara
xix
This research proves that the action of acupuncture LI11 Quchi reduces serum IL-2 levels, and was also positive associated with reduction in the pruritus scale significantly, but weak, so it is necessary to carry out further study regarding:
1. Effect of acupuncture LI11 Quchi on CD4+ Th1 and CD8+ as cells that produce IL-2 in CKD-aP subjects undergoing HD.
2. Effect of acupuncture LI11 Quchi on u and κ-opioid receptors and neuropathy in CKD-aP subjects undergoing HD.
3. Effect of acupuncture LI11 Quchi on serum IL-2 levels and TNFα in CKD-aP subjects undergoing HD.
In addition, this study also proves that the acupuncture LI11 Quchi does not significantly reduce serum IL-31 levels, so it is necessary to carry out further study with regard to:
Effect of acupuncture on LI11 Quchi along with several other acupuncture points on serum IL-31 levels and their relationship to the pruritus scale in patients undergoing HD.
Based on the results of this study it was proven that acupuncture in LI11 Quchi can be applied as an effective and safe palliative pruritus therapy in CKD-aP patients undergoing HD.
Universitas Sumatera Utara
xx
RINGKASAN
Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) yang menjalani hemodialisis menunjukkan kecenderungan mengalami pruritus dengan prevalensi yang bervariasi. Beberapa penelitian cross-sectional global terbesar melaporkan pruritus terkait dengan penyakit ginjal kronis (Pt-PGK) yang menjalani hemodialisis (HD), secara signifikan memengaruhi kualitas hidup pasien, menyebabkan gangguan tidur, gejala depresi dan risiko kematian lebih tinggi dari yang tidak mengalami pruritus. Patogenesis Pt-PGK masih belum sepenuhnya diketahui dan berkaitan dengan hal ini, setidaknya ada empat hipotesis yang telah diajukan yaitu: kelainan dermatologi, gangguan sistem imun tubuh yang mengakibatkan keadaan peningkatan pro-inflamasi, ketidakseimbangan sistem endogen opioidergik, dan mekanisme neuropatik. Beberapa hipotesis lain seperti hipotesis xerosis, hyperparathyroidism, pengelepasan histamin, opioid imbalance, uremic toxin, peripheral neuropathy, dan immune-mediated, menjadi dasar dalam pengobatan pruritus. Mikroinflamasi sistemik penyebab Pt-PGK didasarkan pada peningkatan T helper (Th)-1, C-reactive protein (CRP), Interleukin (IL)-6, IL-10, IL-2, Tumor Necrotic Factor (TNF)α. Selain itu, ketidakseimbangan respon antara sel Th-1 yang lebih tinggi dari sel Th-2 seperti peningkatan CRP, IL-6, dan IL-31 dinyatakan juga ikut berperan, demikian pula dengan peningkatan sel Mast yang melepas histamin. Faktor-faktor seperti kadar kreatinin yang tinggi dan kadar hemoglobin yang rendah juga meningkatkan risiko pruritus. Demikian pula dengan kondisi dislipidemia, obesitas, dan kadar CRP yang lebih tinggi dikaitkan dengan intensitas pruritus yang lebih tinggi, sedangkan penggunaan dialiser high-flux dikaitkan dengan intensitas pruritus yang lebih rendah. Faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, etnik (suku) serta lama menjalani HD juga dihubungkan dengan terjadinya pruritus pada pasien HD. Pruritogenik sitokin pro-inflamasi IL-2 yang diaktivasi oleh sel-sel T limfosit dijumpai pada munculnya kemerahan dan pruritus menyeluruh pada tubuh sesudah pemberian rekombinan IL-2 dosis tinggi pada pengobatan kanker, dan penyuntikan intradermal IL-2, ternyata menginduksi pruritus demikian pula halnya pada psoriasis. Disamping itu, dilaporkan pula bahwa kadar IL-2 lebih tinggi secara signifikan pada pasien yang menjalani HD dengan pruritus dibanding pasien HD tanpa pruritus. Pruritogenik sitokin anti-inflamasi IL-31 yang terutama dihasilkan oleh sel-sel Th-2 juga berperan sebagai pruritogenik, karena sesudah penyuntikan intradermal IL-31, muncul pruritus. Demikian pula pada dermatitis atopik, T-cell limfoma kulit, urtikaria, psoriasis, dan rinitis alergi. Kadar IL-31 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang menjalani HD dengan gejala pruritus, dan adanya hubungan positif paparan-respons antara kadar IL-31 serum dengan intensitas pruritus. Teknik dialisis, terapi topikal (emolien, aromaterapi, krim capcaisin, tacrolimus, gamma linolenic acid ointment), irradiasi ultraviolet, rubdown with japanese dry towels, dan terapi sistemik seperti: antagonis reseptor µ-Opioid (naltrexone), agonis reseptor κ-Opioid (nalfurafine, butorphanol), thalidomide, pentoxyfilline, dan
Universitas Sumatera Utara
xxi
gabapentin merupakan terapi yang diberikan untuk mengatasi pruritus pada pasien PGK yang menjalani HD. Namun penggunaan terapi lokal memiliki efek samping pada kulit berupa: rasa terbakar, rasa pedas/panas, dan memerah, sedangkan pada terapi sistemik terjadi: somnolence, sulit tidur, konstipasi, nyeri kepala, mual, dan nyeri ulu hati. Efek samping ini kemungkinan ditimbulkan oleh penurunan mekanisme bersihan ginjal (renal clearance) terhadap obat-obatan dan metabolitnya, sehingga diperlukan pilihan terapi lain yang memiliki efek samping lebih ringan untuk mengatasi pruritus, seperti akupunktur. Cara kerja akupunktur menghasilkan efek anti-inflamasi adalah dengan memengaruhi keseimbangan Th-1 dan Th-2. Keseimbangan Th-1 dan Th-2 dipengaruhi oleh sekresi β endorfin yang terjadi akibat tindakan akupunktur. Efek anti-inflamasi akupunktur juga terjadi melalui penghambatan sintesis sitokin pro-inflamasi oleh asetilkolin yang menempel pada reseptor α7nikotinikasetilkolin sel makrofag. Efek anti-inflamasi akupunktur sebanding dengan dexamethasone dalam menurunkan kadar sitokin pro-inflamasi tanpa memengaruhi kadar sitokin anti-inflamasi. Namun hasil penelitian lain menyatakan bahwa akupunktur dapat meningkatkan kadar sitokin anti-inflamasi tanpa menurunkan sitokin pro-inflamasi. Hasil dari kajian sistemik terdahulu menunjukkan bahwa akupunktur mempunyai pangaruh yang menguntungkan terhadap Pt-PGK yang menjalani HD. Perangsangan titik akupunktur pada large intestine11 (LI11) Quchi dan stomach36 (ST36) Zusanli, menghasilkan angka efektifitas mencapai 97%. Perangsangan titik akupunktur LI11 Quchi tunggal selama 1 jam, 3 kali seminggu selama 1 bulan, mengurangi skor pruritus secara signifikan dan merupakan tindakan yang mudah dan aman terhadap pasien Pt-PGK yang menjalani HD, demikian pula perangsangan titik akupunktur LI11 Quchi tunggal selama 1 jam, 2 kali seminggu, sebanyak 12 kali, berhasil mengurangi skala pruritus secara signifikan pada Pt-PGK yang menjalani HD. Disamping itu, penelitian lain menyatakan bahwa kemampuan mengurangi pruritus yang dihasilkan dari tindakan akupunktur, dapat bertahan selama 8 minggu pada pasien HD. Hasil penelitian terdahulu yang telah dikemukakan sebelumnya, menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum dengan keparahan Pt-PGK. Di sisi lain dinyatakan bahwa tindakan akupunktur terbukti memperbaiki keadaan pruritus pasien yang menjalani HD, tetapi hasil penelitian terdahulu belum mengemukakan perubahan kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum sesudah tindakan akupunktur yang dihubungkan dengan perbaikan keadaan pruritus pasien yang menjalani HD. Penelitian ini merupakan studi eksperimental murni dengan desain pretest-posttest dilanjutkan dengan test perbedaan antar kedua kelompok, tersamar tunggal dengan randomisasi untuk mengetahui perubahan kadar IL-2 serum dan kadar IL-31 serum, serta korelasinya dengan perubahan skala pruritus antara subjek yang diberikan tindakan akupunktur (kelompok akupunktur) dengan subjek yang diberi tindakan akupunktur plasebo (kelompok plasebo) sebagai kontrol pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD. Enam puluh subjek yang telah memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenuhi kriteria penolakan memulai penelitian dengan pengambilan sampel secara konsekutif, dan diacak menjadi dua kelompok dengan bantuan aplikasi online di https://www.randomizer.org/. 30 subjek pada kelompok akupunktur, dan 30 subjek
Universitas Sumatera Utara
xxii
sebagai kelompok plasebo. Setiap subjek pada kelompok akupunktur diberi penusukan jarum steril, steril, sekali pakai, dan jarum baja tahan karat (diameter 0,25 mm dan panjang 25 mm, Bai Yi Mei®) tegak lurus pada permukaan kulit sedalam 1-1,5 cm pada titik LI11 Quchi, yang berdekatan dengan penusukan jarum pada prosedur HD dan dibiarkan selama 1 jam. Sedangkan pada setiap subjek pada kelompok plasebo, diberi tindakan penempelan jarum steril, sekali pakai, dan jarum baja tahan karat (diameter 0,25 mm dan panjang 25 mm, Bai Yi Mei®) dengan bantuan plester pada titik LI11 Quchi dan dibiarkan selama 1 jam. Tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo diberikan 2 kali seminggu selama 6 minggu, kemudian dilakukan penilaian terhadap efek samping pada setiap subjek pada kelompok akupunktur dan kelompok plasebo. Data karakteristik usia, jenis kelamin, suku, indeks masa tubuh sesudah HD, penyakit utama, kadar kreatinin, kadar Hb, CRP, lama menjalani HD, urea reduction ratio (URR), kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum, dan skala pruritus, diambil sebelum tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo. Kemudian data kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum, dan skala pruritus, diambil lagi setelah 6 minggu tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo, serta 4 minggu evaluasi (tanpa tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo).
Usia, jenis kelamin, suku, indeks masa tubuh sesudah HD, penyakit utama, kadar kreatinin, kadar Hb, CRP, lama menjalani HD, dan urea reduction ratio (URR) merupakan karakteristik subjek yang memengaruhi pruritus. Uji statistik yang membandingkan karakteristik subjek antara kelompok akupunktur dengan kelompok plasebo menunjukkan adanya perbedaan diantara kedua kelompok yang tidak signifikan (p>0,05). Kondisi ini membuktikan bahwa kedua kelompok penelitian tersebut merupakan kelompok yang matched pairs dalam memengaruhi pruritus.
Pemeriksaan kadar IL-2 dan IL-31 serum hanya digunakan untuk kepentingan penelitian dan bukan untuk pemeriksaan rutin di laboratorium yang hingga saat ini belum ada ketetapan nilai normal kadar IL-2 dan IL-31 serum. Disamping itu adakalanya penggunaan akupuktur plasebo pada penelitian akupunktur memberikan pengaruh terhadap variabel yang diteliti (pruritus) merupakan keterbatasan penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan:
1. Terdapat penurunan kadar IL-2 serum yang signifikan, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo yang kemudian meningkat tidak signifikan, sesudah 4 minggu evaluasi.
2. Terdapat penurunan kadar IL-31 serum yang tidak signifikan, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo yang kemudian meningkat tidak signifikan, sesudah 4 minggu evaluasi.
3. Terdapat penurunan skala pruritus yang signifikan, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo yang kemudian meningkat signifikan, sesudah 4 minggu evaluasi.
4. Terdapat hubungan positif antara kadar IL-2 serum dengan skala pruritus yang signifikan tetapi lemah, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi, dan hubungan positif yang tidak signifikan dan sangat lemah, sesudah 4 minggu evaluasi.
Universitas Sumatera Utara
xxiii
5. Terdapat hubungan positif, antara kadar IL-31 serum dengan skala pruritus yang tidak signifikan dan sangat lemah, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi, dan hubungan negatif, yang tidak signifikan dan lemah, sesudah 4 minggu evaluasi.
6. Efek samping tindakan akupunktur LI11 Quchi: rasa nyeri dengan VAS 2,15 pada daerah penusukan jarum akupunktur dan perdarahan minimal 2,50 % setelah pencabutan jarum akupunktur.
Penelitian ini membuktikan tindakan akupunktur LI11 Quchi menurunkan kadar IL-2 serum, dan juga berhubungan dengan penurunan skala pruritus secara signifikan, positif, tetapi lemah, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berkenaan dengan:
1. Pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi terhadap CD4+ Th1 dan CD8+ sebagai sel-sel yang menghasilkan IL-2 pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD.
2. Pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi terhadap reseptor u dan κ-opioid dan neuropati pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD.
3. Pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi terhadap kadar IL-2 serum dan TNFα pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD.
Disamping itu penelitian ini juga membuktikan tindakan akupunktur LI11 Quchi menurunkan kadar IL-31 serum secara tidak signifikan, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berkenaan dengan:
Pengaruh tindakan akupunktur pada LI11 Quchi bersama beberapa titik akupunktur lain terhadap kadar IL-31 serum dan hubungannya terhadap skala pruritus pada pasien yang menjalani HD.
Berdasarkan hasil penelitian ini dibuktikan bahwa tindakan akupunktur pada LI11 Quchi dapat diaplikasikan sebagai terapi paliatif pruritus yang efektif dan aman pada pasien Pt-PGK menjalani HD.
Universitas Sumatera Utara
xxiv
ABSTRACT
Background: Serum interleukin 2 (IL-2) and interleukin 31 (IL-31) levels were significantly higher in patients undergoing hemodialysis with pruritus than without pruritus, whereas acupuncture has been shown to reduce pruritus. Changes in serum IL-2 and IL-31 levels correlated with pruritus after acupuncture in patients undergoing hemodialysis have never been known. Objective: to prove changes in serum IL-2 and IL-31 levels, which were correlated with the pruritusscale after acupuncture in patients undergoing hemodialysis. Method: true experimental with a pretest-posttest design followed by a test of differences between the intervention and control groups, single disguised with randomization carried out from July 2018 to November 2018 at H. Adam Malik General Hospital, Medan. Sixty patients met the inclusion criteria and did not meet the exclusion criteria study subjects with consecutive sampling and randomly divided into two groups: one group received acupuncture on LI11 Quchi (acupuncture group) and others received placebo acupuncture (placebo group) as a control. Serum IL-2, IL-31 levels and pruritus scales were measured before and after six weeks of acupuncture and after four weeks of evaluation (without intervention) in both groups.. Results: There was a decrease in serum IL-2 levels and pruritus scale (p = 0.013 and p = 0.028), while the decrease in serum IL-31 levels was not significant (p = 0.931). There was a significant relationship between decreased serum IL-2 levels and decreased pruritus scale (p = 0.031; r = 0.278) after six weeks of acupuncture LI11 Quchi with side effects of pain (VAS 2.15) and minimal bleeding (2.50%). The increase in serum IL-2 levels and serum IL-31 levels was not significant (p = 0.658 and p = 0.974) after four weeks of evaluation. Conclusion: This study proved that the decrease in serum IL-2 levels was associated with a significant reduction in the pruritus scale, while the decrease in serum IL-31 levels was not significant after six weeks of acupuncture LI11 Quchi with minimal side effects. The increase in serum IL-2 leve and, serum IL-31 level was not significant after four weeks of evaluation. Keywords: Acupuncture LI11 Quchi, Interleukin 2, Interleukin 31, Pruritus, Hemodialysis
Universitas Sumatera Utara
xxv
ABSTRAK
Latar belakang: kadar interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 31 (IL-31) serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis dengan pruritus dibandingkan tanpa pruritus, sedangkan tindakan akupunktur telah terbukti mengurangi pruritus. Perubahan kadar IL-2 dan IL-31 serum yang dikorelasikan dengan pruritus sesudah akupunktur pada pasien yang menjalani hemodialisis belum pernah diketahui. Tujuan: untuk membuktikan perubahan kadar IL-2 dan IL-31 serum yang dikorelasikan dengan skala pruritus sesudah akupunktur pada pasien menjalani hemodialisis. Metode: eksperimental murni dengan disain pretest-posttest dilanjutkan dengan test perbedaan antar kelompok intervensi dan kontrol, tersamar tunggal dengan randomisasi dilakukan selama Juli 2018 hingga November 2018 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan. Enam puluh pasien memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi menjadi subjek penelitian dengan konsekutif sampling dan secara acak dibagi menjadi dua kelompok: satu kelompok menerima akupunktur pada LI11 Quchi (kelompok akupunktur) dan yang lainnya menerima akupunktur plasebo (kelompok plasebo) sebagai kontrol. Kadar IL-2, IL-31 serum dan skala pruritus diukur sebelum dan sesudah enam minggu akupunktur dan sesudah empat minggu evaluasi (tanpa tindakan) pada kedua kelompok. Hasil: Terdapat penurunan kadar IL-2 serum dan skala pruritus (p=0,013 dan p=0,028), sedangkan penurunan kadar IL-31 serum tidak signifikan (p=0,931). Ada hubungan yang signifikan antara penurunan kadar IL-2 serum dengan penurunan skala pruritus (p=0,031; r=0,278) setelah enam minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dengan efek samping nyeri (VAS 2.15) dan perdarahan minimal (2.50%). Peningkatan kadar IL-2 serum dan kadar IL-31 serum tidak signifikan (p=0,658 dan p=0,974), setelah empat minggu evaluasi.. Kesimpulan: Penelitian ini membuktikan penurunan kadar IL-2 serum berhubungan dengan penurunan skala pruritus secara signifikan, sedangkan penurunan kadar IL-31 serum tidak signifikan sesudah enam minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dengan efek samping minimal. Peningkatan kadar IL-2 serum dan kadar IL-31 serum tidak signifikan sesudah empat minggu evaluasi
DAFTAR ISI LEMBAR PRASYARAT GELAR ........................................................................ i LEMBAR PROMOTOR DAN CO-PROMOTOR ............................................. ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii LEMBAR PENGUJI ............................................................................................ iv UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. xi LEMBAR PENGESAHAN ORISINALITAS ................................................... xv SUMMARY .......................................................................................................... xvi RINGKASAN ....................................................................................................... xx ABSTRACT ........................................................................................................ xxiv ABSTRAK .......................................................................................................... xxv DAFTAR ISI ..................................................................................................... xxvi DAFTAR TABEL .......................................................................................... xxviii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xxix DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xxx DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxxii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 7
1.6 Potensi Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) ................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 10 2.1 Penyakit Ginjal Kronis (PGK) ........................................................... 10
2.9.1 Hipotesis mayor ..................................................................... 45
2.9.2 Hipotesis minor ...................................................................... 45
Universitas Sumatera Utara
xxvii
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 47 3.1 Desain Penelitian ............................................................................... 47
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 47
3.3 Populasi dan Subjek Penelitian .......................................................... 48
BAB IV HASIL ..................................................................................................... 61 4.1 Karakteristik Subjek .......................................................................... 64
4.2 Kadar Interleukin 2 Serum ................................................................ 66
4.3 Kadar Interleukin 31 Serum .............................................................. 68
BAB V PEMBAHASAN ....................................................................................... 74 5.1 Karakteristik Subjek .......................................................................... 74
5.2 Kadar Interleukin 2 Serum ................................................................ 75
5.3 Kadar Interleukin 31 Serum .............................................................. 78
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 91 6.1 Simpulan ........................................................................................... 91
Gambar 2. 1 Jalur pruritus dari kulit ke otak ......................................................... 20
Gambar 2. 2 Lokasi titik Akupunktur LI11 Quchi (Che-yi et al. 2005) ............... 39
Gambar 2. 3 Anatomi titik Akupunktur LI11 Quchi (Kim et al., 2015) ................ 41
Gambar 2. 3 Anatomi titik Akupunktur LI11 Quchi (Kim et al., 2015) ................ 42
Gambar 2. 4 Kerangka teori ................................................................................... 44
Gambar 2. 5 Kerangka Konsep .............................................................................. 45
Gambar 3. 1 Alur Penelitian .................................................................................. 53
Gambar 3. 2 Kelompok akupunktur ...................................................................... 57
Gambar 3. 3 Kelompok akupunktur plasebo ......................................................... 57
Universitas Sumatera Utara
xxx
DAFTAR SINGKATAN
1,25(OH)2D3 = 1,25-dihydroxyvitamin D 25(OH)D3 = 25-hydroxivitamin D APOL1 = Apolipoprotein L1 AQP3 = Aquaporin 3 CGRP = Calcitonin Gene-Related Peptide CRP = C-reactive protein ELISA = The enzyme-linked immunosorbent assay ESRD = End stage renal disease fMRI = functional Magnetic Resonance Imaging GABA = Gamma-aminobutyric acid GFR = Glumerulo filtration rate HD = Hemodialisis IFNγ = Interferon γ IFSI = The International Forum for the Study of Itch IL = Interleukin IL-2A0 = Rerata kadar IL-2 serum sebelum tindakan
akupunktur IL-2A1 = Rerata kadar IL-2 serum sesudah 6 minggu
tindakan akupunktur IL-2A2 = Rerata kadar IL-2 serum sesudah 4 minggu
evaluasi (tanpa tindakan akupunktur) IL-2P0 = Rerata kadar IL-2 serum sebelum tindakan
tindakan akupunktur plasebo IL-31P2 = Rerata kadar IL-2 serum sesudah 4 minggu
evaluasi (tanpa tindakan akupunktur plasebo) IL-31R = Interleukin-31 Receptor IMT = Indeks masa tubuh ISS = Itch severity scale K/DOQI = Kidney Disease Outcomes Quality Initiative Kt/V = K - Dialyzer clearance of urea, t - dialysis time,
Universitas Sumatera Utara
xxxi
V - volume of distribution of urea. LI = Large Intestine NAU = Neural acupuncture unit NRS = Numeric rating scale PGK = Penyakit ginjal kronis Pt-PGK = Pruritus terkait penyakit ginjal kronis SP = Spleen (Limpa) SPA0 = Rerata skala pruritus sebelum tindakan
akupunktur SPA1 = Rerata skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan
Enterococcus spesies (8,5%), Proteus mirablis (4,3%),
Klebsiella pneumoniae (2,1%), H1N1 (2,1%) dan spesies lainnya dengan frekuensi
yang lebih rendah (Tzanakaki et al., 2014). Eksotoksin Staphylococcal meningkatkan
ekspresi IL-31 receptor alpha (RA) pada monosit dan makrofag, secara signifikan
(Kasraie et al., 2010).
Kadar IL-31 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang
menjalani HD dengan gejala klinis pruritus, dan menunjukkan hubungan positif
paparan-respons antara IL-31 serum dan intensitas pruritus (Ko et al., 2014),
interaksi IL-31–IL-31R mengiduksikan pruritus pada kulit melalui sel-sel saraf
sensoris (Dillon et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
19
2.3 Pruritus
2.3.1 Definisi dan klasifikasi
Gatal atau pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi tidak menyenangkan
yang membangkitkan keinginan untuk menggaruk (Potenzieri dan Undem, 2012).
The International Forum for the Study of Itch membagi pruritus menjadi akut
(kurang dari 6 minggu) dan kronis (berlangsung 6 minggu atau lebih)
(Ständer et al., 2007). Pruritus kronis berhubungan dengan banyak penyakit.
Penyakit yang paling sering menimbulkan pruritus adalah gagal ginjal kronis,
dermatitis atopik dan penyakit hati kolestatik (Bolier et al., 2012;
Weiss et al., 2015).
Pruritus dikategorikan berdasarkan dua taksonomi komplementer.
Taksonomi pertama didasarkan pada gambaran klinis dan riwayat, yang kemudian
dibagi menjadi (Ständer et al., 2007): Grup I gatal pada penyakit kulit;
Grup II gatal pada bukan penyakit kulit; Grup III gatal pada lesi kulit sekunder
seperti prurigo nodularis; Grup IV gatal pada lesi kulit primer (reaktif terhadap
garukan) seperti dermatitis atopic; Grup V gatal dengan penyebab campuran;
Grup VI gatal yang tidak dapat diidentifikasi penyebabnya atau
“pruritus of undetermined origin”. Taksonomi kedua mengategorikan gatal
berdasarkan etiologi: dermatologi, sistemik (termasuk disebabkan kehamilan dan
obat), neurologis dan psikiatris (Ständer et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
20
Pruritus berasal dari epidermis dan dermal-epidermal junction dan diteruskan oleh serabut saraf C selektif. Beberapa serat ini sensitive terhadap histamin, tetapi sebagian besar tidak. Interaksi kompleks antara sel-sel T, sel Mast, Neutrofil, Eosinofil, Keratinosit dan sel-sel saraf (bersama peningkatan pelepasan sitokin, protease dan neuropeptida) menyebabkan eksaserbasi pruruitus. Serabut membentuk sinap dengan proyeksi orde kedua di tanduk dorsal dan sinyal pruritus naik di trakstus Spinotalamikus kontralateral, dengan proyeksi ke Thalamus. Dari Thalamus, pruritus ditransmisikan ke beberapa daerah otak yang terlibat dalam sensasi, proses evaluatif, emosi, reward dan memori.
2.3.2 Patofisiologi
Pruritus disebabkan dan diperkuat oleh sejumlah bahan kimia seperti Histamin,
Prostaglandin, Protease, Sitokin, Neuropeptide, termasuk Substansi P dan senyawa
garam dari cairan empedu, beberapa bahan kimia ini langsung bekerja pada ujung
saraf bebas sementara bahan kimia yang lain bekerja secara tidak langsung melalui
mastosit atau sel lainnya. Ketika ujung saraf bebas distimulasi pruritogenik, bagian
dari serabut C yang berada pada kulit superfisial meneruskan impuls ke dorsal horn
pada spinal cord kemudian melalui jalur spinothalamic ke thalamus dan korteks
somatosensoris (Gambar 2.1) (Twycross et al., 2003).
Gambar 2.1 Jalur pruritus dari kulit ke otak
Gambar 2. 1 Jalur pruritus dari kulit ke otak
Universitas Sumatera Utara
21
2.3.3 Pruritus terkait penyakit ginjal kronis (Pt-PGK)
a. Definis dan epidemiologi
Pruritus terkait penyakit ginjal kronis adalah pruritus pada penyakit gagal ginjal
tahap akhir (end-stage renal disease), dikenal dengan “pruritus uremik”. Namun saat
ini disebut "pruritus terkait penyakit ginjal kronis" (Mettang et al., 2015).
Prevalensi Pt-PGK di seluruh dunia dilaporkan bervariasi berkisar 10-77%
(Weisshaar, 2016). Narita et al. (2008) melaporkan pruritus terjadi pada 15-49%
pasien dengan gagal ginjal kronis dan 50-90% pada pasien yang menjalani dialisis.
Itch National Registry Study melakukan penelitian prospektif, multisenter,
longitudinal terhadap 103 pasien HD, melaporkan pruritus terjadi pada 84% pasien
(Mathur et al., 2010). The Observational Dialysis Outcomes and
Practice Patterns Study mengumpulkan data lebih dari 29.000 pasien HD dari
12 negara dan menemukan bahwa 42% dari pasien mengalami pruritus sedang
hingga ekstrim, 60,3% pada terjadi pria dan 45,4% terbangun pada malam hari
karena pruritus (Pisoni et al., 2006). Penelitian Riza (2011) mendapatkan angka
kejadian pruritus pada pasien HD sebesar 70,5% di Rumah Sakit Umum Pusat
H. Adam Malik Medan dan Wahyuni (2014) pada penelitiannya mendapatkan
prevalensi pruritus pada pasien HD reguler sebesar 50% di Klinik Rasyida Medan.
Pruritus biasanya mulai muncul sekitar 6 bulan sesudah dimulainya dialisis dan
penyebaran ditubuh dimulai lokal dan ringan hingga umum dan parah
(Narita et al., 2006; Tarikci et al., 2015).
Pruritus terkait penyakit ginjal kronis masih menjadi masalah yang sering terjadi
pada pasien ESRD (Weiss et al., 2015). Beberapa penelitian cross-sectional global
terbesar melaporkan bahwa pruritus pada Pt-PGK yang menjalani HD
Universitas Sumatera Utara
22
akan memengaruhi kualitas hidup secara signifikan, karena menyebabkan gangguan
tidur, gejala depresi dan meningkatkan risiko kematian sebesar 23% (Pisoni et al.,
2006; Braiman-Wiksman et al., 2007; Tentori and Mapes, 2010; Kimata et al., 2014).
b. Patogenesis
Patogenesis pruritus pada Pt-PGK masih belum sepenuhnya diketahui. Menurut
Aucella and Gesuete (2009) setidaknya ada empat hipotesis yang telah diajukan,
yaitu: kelainan dermatologi, gangguan sistem imun tubuh yang mengakibatkan
keadaan pro-inflamasi, ketidakseimbangan sistem endogen opioidergik, dan secara
neuropatik.
Patofisiologi pruritus pada pasien HD menurut Mettang dan Weisshaar (2010)
merupakan gabungan dari pruritogenik, neuropatik dan mikroinflamasi, tetapi lebih
difokuskan pada mikroinflamasi.
Beberapa hipotesis lain seperti hipotesis xerosis, hipotesis hyperparathyroidism,
dan Cardiotrophin-like cytokine (Sonkoly et al., 2006; Dillon et al., 2004,
Baumann etal., 2012) dan sinyal melalui reseptor yang kompleks terdiri dari IL-31
Receptor α (Rα) dan reseptor β oncostatin M (Cornelissen et al., 2012). IL-31Rα
adalah reseptor fungsional pada sub-populasi neuron pruritus yang diekspresikan
bersama TRPV-1 dan TRPA-1 dan ditemukan dalam dorsal root ganglia neuron
manusia serta merupakan hubungan penting antara Th-2 limfosit dan sensor neuron
untuk pruritus (Cevikbas et al., 2014). IL-31 juga mengaktifkan reseptor
heterodimeric IL-31Rα dan reseptor oncostatin M pada keratinosit dan ujung saraf
bebas (Heise et al., 2009).
Interleukin-31 terutama dihasilkan oleh sel-sel CD4+ Th2 dan
sel-sel skin-homing CD45R0 CLA+ T (Bilsborough et al., 2006). Sumber seluler
utama yang lain adalah sel-sel Mast yang memainkan peran penting dalam
pengembangan pruritogenesis pada Philadelphia chromosome-negative
myeloproliferative disorders. Sel-sel Mast meningkatkan kadar pruritogenik
Universitas Sumatera Utara
32
secara signifikan, termasuk histamin dan IL-31, dibandingkan dengan
sel-sel Mast normal. IL-31 juga dihasilkan oleh sel-sel keratinosit dan
limfosit Th-2 (Dillon et al., 2004).
Kadar IL-31 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien HD dengan gejala
pruritus, dan terdapat hubungan positif paparan-respons antara kadar IL-31 serum
dengan intensitas pruritus (Ko et al., 2014).
Peran IL-31 sebagai pruritogenik juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti.
IL-31 memainkan peran penting dalam patogenesis dermatitis atopik. Pruritus yang
parah adalah gejala dermatitis atopik yang utama, dan IL-31 memberikan kontribusi
untuk pruritus tersebut melalui aktivasi IL-31Rα pada sel-sel saraf sensoris
(Kasraie et al., 2010). Ekspresi IL-31 tidak hanya meningkat pada pasien dengan
dermatitis atopik, tetapi juga pada orang-orang dengan dermatitis kontak alergi
(Neis et al., 2006). Pada pasien dengan sel T limfoma kulit, menunjukkan kadar
IL-31 serum yang meningkat dibandingkan dengan kontrol (orang sehat). IL-31
memainkan peran dalam menyebabkan pruritus pada pasien urtikaria spontan kronis
(Ohmatsu et al., 2012). dan pada kondisi ini, kadar IL-31 serum meningkat secara
signifikan dibandingkan dengan non-atopik, meskipun secara signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan pasien dermatitis atopik (Raap et al., 2010).
Interleukin-31 sebagai pruritogenik tidak hanya mempunyai peran pada kulit,
tetapi juga berperan penting pada rinitis alergi dan asma. IL-31, terdeteksi terutama
pada jaringan submukosa, dan peningkatan reseptor IL-31Rα terutama di kelenjar
submukosa pasien dengan alergi rinitis (Shah et al., 2013). Kadar IL-31 serum pada
pasien asma meningkat secara signifikan dibandingkan dengan subjek
kontrol normal (Lei et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
33
2.6 Akupunktur
2.6.1 Cara kerja akupunktur secara umum
Akupunktur didefinisikan sebagai stimulasi titik anatomi tertentu pada tubuh
dengan menggunakan berbagai teknik untuk tujuan terapeutik. Teknik akupunktur
yang paling sering dipelajari secara ilmiah melibatkan penetrasi atau penusukan kulit
dengan jarum logam tipis, padat, yang dimanipulasi oleh tangan atau dengan
stimulasi listrik (Suzuki et al., 2015). Stimulasi titik akupunktur juga dilakukan
dengan laser, ultrasound, magnetik (Jun et al., 2015), farmakopunktur
(Park et al., 2015), dan tanam benang (Cho et al., 2018).
Ilmu akupunktur medik di negara barat disebut Western Medical Acupuncture
(WMA) yaitu adaptasi teknik akupunktur ke dalam ilmu kedokteran konvensional
berbasis anatomi, fisiologi dan patologi dengan paradigma Evidence Based Medicine
(EBM) (White, 2009) dengan tujuan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif
(Xu et al., 2018) dan paliatif (Romeo et al,. 2015).
Akupunktur bekerja secara lokal, segmental dan sentral, serta melalui sistem
saraf (neuron), sistem endokrin dan sistem imun (Carlsson, 2002). Cara kerja lokal
berhubungan dengan inflamasi pada area tempat jarum akupunktur ditusukkan.
Berbagai komponen neuroaktif diaktivasi dan berperan memodulasi Neural
Acupuncture Unit (NAU), yaitu sekumpulan saraf dan komponen neuroaktif yang
teraktifasi, tersebar di kulit, otot, dan jaringan ikat di sekitar area tempat jarum
akupunktur ditusukkan. Komponen NAU terdiri dari ujung saraf bebas,
reseptor-reseptor di kulit, reseptor sensoris dan serabut eferen di otot serta serabut
saraf otonom. Komponen neuroaktif adalah jaringan selain saraf, yang melepaskan
Universitas Sumatera Utara
34
berbagai jenis mediator, terutama pada sel-sel Mast, pembuluh darah yang kaya saraf
simpatik dan pembuluh limfatik yang kecil. Sel lain seperti makrofag, fibroblas,
limfosit, trombosit, dan keratonosit termasuk mediator neuroaktif, yang terdiri dari
neurotransmiter, modulator, faktor inflamasi, dan faktor imun (Zhang et al., 2012;
Cheng, 2014).
Berdasarkan kerjanya, mediator ada yang menghambat atau menstimulasi. Yang
menghambat misalnya asetilkolin, noradrenalin, GABA, β endorfin, Substansi P,
somatostatin, nitrit oksida, ATP/cGMP dan adenosin. Kebanyakan sitokin,
prostaglandin, bradikinin, dan faktor pro-inflamasi lainnya, merupakan mediator
yang menstimuli, sedangkan serotonin dan xerosis merupakan mediator yang dapat
menghambat atau menstimulasi (Cabýoglu et al., 2006).
Cara kerja lokal ditandai dengan adanya kemerahan atau hiperemis pada
lokasi tempat jarum ditusukkan, hal ini terjadi karena vasodilatasi.
Cara kerja segmental berhubungan dengan segmen spinal yang berbeda
(White, 2009). Sinyal dari NAU ditransmisikan melalui jalur spinal dan supraspinal,
terutama melalui traktus spinotalamikus, traktus spinoretikuler dan traktus lemniscus
medialis kolumna dorsalis. Akupunktur merangsang refleks akson dan komunikasi
antar cabang yang dekat dari saraf tulang belakang yang berbeda segmen, melalui
mediator neuroaktif yang dilepaskan karena stimulasi akupunktur dan akhirnya
memengaruhi organ yang setingkat segmen tersebut. Cara sentral berhubungan
dengan neural-pathway yang diteruskan sampai ke batang otak, subkortikal, dan
bekerja secara sistemik. Cara sentral berhubungan dengan sistem imun dan endokrin
(Zhang et al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
35
a. Cara kerja akupunktur melalui sistem imun
Penusukan jarum Akupunktur pada titik Akupunktur akan mengeluarkan
berbagai macam mediator neurotransmiter, termasuk β endorfin (Han, 2004).
β endorfin yang dikeluarkan saat akupunktur memengaruhi keseimbangan Th-1 dan
Th-2 (Zijlstra et al., 2003; Gui et al., 2012). Pengaruh akupunktur sebagai anti
inflamasi berlangsung melalui proses keseimbangan Th-1 dan Th-2
(Kılıç Akça dan Taşcı, 2016). Zijlstra et al. (2003) mengemukakan bahwa efek
anti-inflamasi akupunktur, terjadi melalui pelepasanCalcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP) yang tergantung pada dosis dan waktu pelepasannya, sehingga menggeser
pembentukan sitokin anti-inflamasi. Sedangkan menurut Kavoussi dan Ross (2007)
efek anti-inflamasi akupunktur terjadi melalui penghambatan sintesis sitokin
pro-inflamasi oleh asetilkolin yang menempel pada reseptor α7nikotinikasetilkolin
sel makrofag; asetilkolin adalah neurotransmiter saraf parasimpatik. Anti-inflamasi
akupunktur sebanding dengan dexametason dalam menurunkan kadar sitokin
pro-inflamasi, tanpa memengaruhi kadar sitokin anti-inflamasi, namun hasil
penelitian lain menyatakan bahwa akupunktur dapat meningkatkan kadar sitokin
anti-inflamasi tanpa menurunkan sitokin pro-inflamasi (Santos et al., 2011;
da Silva et al., 2014).
b. Cara kerja akupunktur melalui sistem opioid
Akupunktur memengaruhi keseimbangan reseptor μ-opioid dan κ-opioid pada
sistem saraf pusat. Sejumlah penelitian akupunktur analgesi dan anestesi
menunjukkan peningkatan aktifitas opioid dengan meningkatkan pelepasan, kadar,
modulasi ekspresi dan fungsi opioid (Chao et al., 2013; Qi et al., 2014).
Universitas Sumatera Utara
36
Efek akupunktur terhadap β endorfin berlaku dua arah, yaitu meningkat
pada sistem sentral dan menurun pada sistem perifer atau sebaliknya (Han, 2004).
Pelepasan opioid endogen akibat akupunktur, dapat digolongkan sebagai efek sentral
yang memengaruhi hipotalamus, dan efek perifer pada sistem sirkulasi. β endorfin
juga memiliki afinitas yang sama dengan denorfin pada reseptor κ-opioid
(Li et al., 2001). Meskipun penelitian lain menunjukkan bahwa pada terapi uremik
pruritus, antara antagonis reseptor μ-opioid dengan plasebo, memberikan hasil
yang berbeda tidak bermakna secara statistik (Pauli-Magnus et al., 2000).
c. Cara kerja akupunktur memengaruhi neuropatik
Akupunktur telah lama digunakan untuk terapi nyeri neuropatik. Hasil penelitian
klinis menunjukkan bahwa akupunktur memberikan efek analgesi bermakna, pada
neuropati perifer yang menyebabkan nyeri kronik (Zhang et al., 2010). Akupunktur
juga memengaruhi mediator dari asam amino yang menginhibisi GABA dan yang
mengeksitasi glutamat (Li et al., 2013)
Di samping itu, akupunktur juga berperan pada model neuropatik melalui
inhibisi ekspresi COX2 (cyclooxygenase-2) (Kim et al., 2000), menormalkan
ekspresi protein di hipotalamus yang berhubungan dengan proses inflamasi,
metabolisme dan transduksi sinyal (Kim et al., 2003).
Pada tingkat molekuler, akupunktur menormalkan ekspresi 68 gen
yang meningkat lebih dari dua kali, pada model neuropatik, antara lain terhadap gen
yang berpengaruh kepada translasi sinyal, dan gen ekspresi yang berpengaruh
pada jalur nosiseptif (Kim et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
37
Sampai saat ini, hanya satu penelitian klinis Randomize Control Trial
yang menunjukkan bahwa akupunktur bermanfaat bagi neuropatik akibat kemoterapi.
Meskipun penelitian klinis lain memiliki keterbatasan metodologi, tetapi hasilnya
menunjukkan kemanfaatan akupunktur (Franconi et al., 2013).
2.6.2 Efek samping dan komplikasi akupunktur
Pada buletin yang diterbitkan oleh World Health Organization (WHO),
efek samping akupunktur berkisar antara 6,71%-15%, dengan keluhan yang
paling sering adalah nyeri lokal karena penjaruman (1,1%-2,9%), dan perdarahan
ringan atau hematom (2,1%-6,1%). Insiden kejadian yang serius seperti kematian,
trauma organ atau harus di rawat di rumah sakit sekitar 0,024%
(Zhang-Jin et al., 2010). Efek samping akupunktur dapat berupa: trauma, infeksi dan
kejadian lainnya. Beberapa penelitian lain, melaporkan bahwa keluhan yang paling
sering adalah nyeri penjaruman (1%-4,5%), perdarahan (0,03%-3,8%), sementara
sinkope dan rasa mau pingsan sangat jarang (Ernst dan White, 2001). Sedangkan
Wu et al. (2015) melaporkan bahwa komplikasi utama akupunktur adalah trauma
organ dalam, jaringan atau cedera saraf. Efek samping lain dapat juga terjadi,
termasuk sinkop, infeksi, perdarahan, alergi, luka bakar, afonia, histeria, batuk, haus,
demam, penurunan kesadaran dan jarum yang patah.
2.6.3 Penelitian klinis akupunktur
Kim et al. (2010) melakukan tinjauan sistematik (systematic review) terhadap
penelitian tentang tindakan akupunktur pada uremik pruritus, yang terdiri dari
penelitian uji klinis acak terkontrol (Randomized Control Trial), yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
38
oleh Che-yi et al. (2005), Gao et al. (2002), dan penelitian observasional
tidak terkontrol (Uncontrolled Observational Studies) oleh Shapiro dan Stockard
(2003). Kim et al. (2011) serta uji klinis terkontrol (Controlled Clinical Trial)
oleh Duo (1987). Hasil dari semua penelitian ini melaporkan efek menguntungkan
dari akupunktur, meskipun kebanyakan penelitian menunjukkan risiko bias
yang tinggi, sehingga laporan ini kurang meyakinkan. Dinyatakan bahwa
tidak cukup bukti kemanfaatan akupunktur, sebagai terapi yang efektif untuk uremik
pruritus karena kurang baiknya metodologi penelitian, sehingga kualitas penelitian
tidak optimal. Pada tinjauan sistematik ini, Kim et al. (2010) menyinggung tentang
hipotesis efek akupunktur akibat pengaruh sistem opioid endogen.
Che-yi et al. (2005) melakukan penelitian terhadap 40 orang pasien pruritus
uremik yang dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, 1 kelompok mendapat
perlakuan akupunktur pada titik LI11 Quchi selama 1 jam, 3 kali seminggu
selama 1 bulan, sedangkan pembanding mendapatkan akupunktur plasebo pada titik
yang berjarak 2 cm dari titik LI11 Quchi (Gambar 2.2). Hasil penelitian ini
menujukkan rerata skala pruritus mengalami perubahan dari 38,2±4,8 menjadi
17,3±5,5 sesudah akupunktur (p<0,001), dan 3 bulan kemudian, skala rerata menjadi
16,55±4,9 (p<0,001); sedangkan pada kelompok plasebo, rerata skala pruritus
dari 38,5±3,2 menjadi 37,5±3,2 sesudah akupunktur dan 3 bulan kemudian menjadi
36,5±4,6.
Che-yi et al. (2005) menduga cara kerja akupunktur berhubungan dengan sistem
opioid endogen dan Gate Theory, dimana efektifitas akupunktur
tidak berhubungan dengan perubahan magnesium, iPTH
(intact Parathyroid Hormone), fosfat dan kalsium. Efek samping akupunktur yang
Universitas Sumatera Utara
39
Gambar 2. 2 Lokasi titik Akupunktur LI11 Quchi (Che-yi et al. 2005)
dilaporkan berupa rasa pegal pada siku (2 orang pada kelompok akupunktur) dan
1 orang pada kelompok plasebo. Keluhan menghilang sesudah satu hari.
Perdarahan minimal ditemukan pada 3 orang di kelompok plasebo sedangkan
di kelompok akupunktur tidak ditemukan.
Gao et al. (2002) melakukan penelitian pada 68 orang dengan uremik pruritus
yang dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, 34 orang kelompok akupunktur dengan
titik akupunktur LI11 Quchi dan ST36 Zusanli selama 30 menit,
seminggu 2 kali selama 4 minggu (1 bulan), 34 orang lainnya adalah kelompok yang
mendapat chlortrimeton 4 mg, 3 kali sehari selama 1 bulan dan salep dermatitis
selama 2 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok akupunktur,
Universitas Sumatera Utara
40
70,6% (24 dari 34 orang) tanpa pruritus selama 1 bulan; 26,5% (9 dari 34 orang)
membaik, kemudian berkurang secara nyata selama 1 bulan. Hanya 1 orang (2,9%)
yang tidak efektif, sehingga angka efektifitas mencapai 97% (24 dari 34 orang).
16 orang tetap merasakan efek sampai 3 bulan dan 18 orang sampai 1 bulan.
Pada kelompok yang mendapat chlortrimeton 4 mg, 2 orang (5,9%) hilang
pruritusnya dalam 2 minggu, 22 orang (64,7%) membaik dan 10 orang (29,4%) tidak
berefek, sehingga angka efektifitasnya 70%. Saat obat dihentikan, seluruhnya
(100%) kembali merasakan pruritus pada kedua kelompok dengan p<0,01.
Gao et al. (2002) menduga bahwa cara kerja akupunktur adalah melalui sistem opioid
endogen dan sistem imun, dengan meningkatnya jumlah lekosit dan kekuatan pagosit
sistem retikuloendotelial.
Phan et al. (2018) melakukan penelitian pada 37 orang dengan uremik pruritus
dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, 18 orang di kelompok akupunktur dengan
titik akupunktur tunggal LI11 Quchi selama 1 jam, seminggu 2 kali selama
6 minggu; dan 19 orang lainnya di kelompok plasebo, menunjukkan perbedaan skala
pruritus yang bermakna (p=0.003) sesudah menjalani akupunktur, yaitu 7,89±0,832
(kelompok akupunktur) vs 10,63±3,166 (kelompok plasebo). Sesudah 4 minggu
selesai menjalani akupunktur, masih didapati perbedaan skala pruritus yang
bermakna (p=0,001) di antara kelompok akupunktur dengan akupunktur plasebo
(8,06±1,830 vs 10,95±3,341). Namun sesudah 8 minggu, perbedaan menjadi
tak bermakna. Akupunktur efektif mengurangi keluhan uremik pruritus, tetapi pada
beberapa subjek penelitian ditemukan efek samping perdarahan ringan (6,02%) yang
terkontrol dengan penekanan kapas beralkohol, dan hematom (1,85%).
Universitas Sumatera Utara
41
Foto-foto menunjukkan hubungan topografi struktur anatomi sekitar jarum Akupunktur disisipkan pada LI11 (panah dalam lingkaran putus-putus). LI11 terletak di ujung radial dari lipatan antecubital, setengah jarak antara tendon bisep dan epicondylus lateralis. (A) Jarum melubangi vena cephalic (ditandai dengan panah). (B) Jarum dimasukkan ke dalam otot extensor carpi radialis longus (ECRL). (C) Jarum sepenuhnya dimasukkan minimal kontak dengan saraf radialis (RN), otot brachioradialis (BR) dan saraf medialis (NM).
Gambar 2. 3 Anatomi titik Akupunktur LI11 Quchi (Kim et al., 2015)
2.6.4 Titik Akupunktur LI11 Quchi
Titik LI11 Quchi terletak pada sisi lateral siku, yaitu pada pertengahan yang
menghubungkan titik Lung (LU5) Chize dengan epicondilus lateraralis humerus.
Jika sendi siku dalam keadaan fleksi maksimal, LI11 Quchi terletak pada ujung
lekukan garis lateral lipat siku (Gambar 2.2). Pada lokasi titik ini terdapat cabang
persarafan n. radialis, n. cutaneus antebrachialis dorsalis dan
n. cutaneus antebrachialis lateralis dengan vaskularisasi dari cabang arteri
radialis rekuren (Gambar 2.3) (Kim et al., 2015).
Universitas Sumatera Utara
42
Gambar 2. 4 Anatomi titik Akupunktur LI11 Quchi (Kim et al., 2015)
2.6.4 Cara kerja akupunktur LI11 Quchi
Berbagai penelitian pada dekade terakhir secara signifikan telah memberikan
pemahaman tentang mekanisme molekuler interaksi antara sistem saraf dengan
sistem imun. Komunikasi dua arah neuroimun menandai sistem saraf sebagai bagian
penting dari sistem imun dalam mekanisme terjadinya inflamasi termasuk peran saraf
Vagus sebagai regulator fisiologis fungsi imun dan inflamasi
(Pavlov dan Tracey, 2015).
Penyisipan atau penusukan jarum akupunktur pada LI11 Quchi merangsang saraf
radialis, saraf medialis dan otot brachioradialis ekstensor carpi radialis longus.
Perangsangan ini membangkitkan sinyal pada saraf somatik sensori aferen yang
diteruskan ke medula spinalis pada segmen cervical (C) 5, C6 dan C7
(Wu et al., 2015). Pada medula spinalis, sinyal tersebut menginduksi aktivitas saraf
pada Nucleus Tractus Solitarii selanjutnya mengirimkan sinyal ke dorsal motor
nucleus serabut saraf eferen Vagus (Park dan Namgung, 2018).
Sinyal dari serabut saraf eferen Vagus disebarkan ke celiac ganglia pada
celiac plexus dimana saraf splenik berasal. Norepinefrin (NE) dilepaskan
dari saraf splenik yang berinteraksi dengan reseptor β2-adrenergik (β2-AR)
dan menyebabkan pelepasan asetilkolin (ACh) dari sel T yang mengandung
choline acetyltransferase fungsional (sel T-ChAT). ACh berinteraksi dengan
α7nicotinicacetylcholine receptor (α7nAChRs) pada makrofag
(Pavlov dan Tracey, 2017), keratinosit (Zia et al., 2000), limfosit, sel Mast,
sel dendritik dan basofil (Kawashima et al., 2007). Defisiensi atau gangguan sinyal
Universitas Sumatera Utara
43
pada α7-nAChR menyebabkan produksi sitokin yang berlebih,
dan meningkatkan kerusakan jaringan (Parrish et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
44
2.7 Kerangka Teori
Gambar 2. 5 Kerangka teori
Universitas Sumatera Utara
45
Kadar Interleukin-2 serum Kadar Interleukin-31 serum
Skala Pruritus
2.8 Kerangka Konsep
Gambar 2. 6 Kerangka Konsep
2.9 Hipotesis
2.9.1 Hipotesis mayor
Terdapat perubahan kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum sesudah tindakan
akupunktur yang berkorelasi dengan skala pruritus pada subjek Pt-PGK yang
menjalani HD.
2.9.2 Hipotesis minor
a. Terdapat penurunan rerata kadar IL-2, sesudah 6 minggu
tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo.
b. Terdapat peningkatan kadar IL-2, sesudah 4 minggu evaluasi
(tanpa tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo).
c. Terdapat penurunan kadar IL-31, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur
LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo.
d. Terdapat peningkatan kadar IL-31, sesudah 4 minggu evaluasi.
Akupunktur titik LI11 Quchi
Variabel bebas Variabel terikat
Universitas Sumatera Utara
46
e. Terdapat penurunan skala pruritus, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur
LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo.
f. Terdapat peningkatan skala pruritus, sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi.
g. Terdapat hubungan antara penurunan kadar IL-2 serum dengan penurunan
skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi.
h. Terdapat hubungan antara peningkatan kadar IL-2 serum dengan peningkatan
skala pruritus sesudah 4 minggu evaluasi.
i. Terdapat hubungan antara penurunan kadar IL-31 serum dengan penurunan
skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi.
j. Terdapat hubungan antara peningkatan kadar IL-31 serum dengan
inhibition of keratinocyte migration by nicotine involves modulations of calcium
influx and intracellular concentration. J Pharmacol Exp Ther. 293(3): 973-981.
Zijlstra, F.J., van den Berg-de Lange, I., Huygen, F.J.P.M., Klein, J. 2003.
Anti-inflammatory actions of acupuncture. Mediators Inflamm. 12(2): 59–69.
Universitas Sumatera Utara
116
Lampiran
Lampiran 1. Lembar Penjelasan dan informed consent Subjek Penelitian
RSUP H. Adam Malik- FK USU
FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN
(FORMULIR INFORMED CONSENT)
Peneliti Utama : dr. Dedi Ardinata, M.Kes
Pemberi Informasi :
Penerima Informasi :
Nama Subyek
Tanggal Lahir (usia)
Jenis Kelamin
Alamat
No. Telp (Hp)
:
:
:
:
JENIS INFORMASI
ISI INFORMASI
(diisi dengan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat awam)
TANDAI
RM.2.11/IC.SPenelitian/20... NRM : Nama : Jenis Kelamin : Tgl. Lahir :
Universitas Sumatera Utara
117
1 Judul Penelitian
Perubahan Kadar Interleukin-2 dan Interleukin-31 Serum Setelah Tindakan Akupunktur pada Titik Li11 (Quchi) dan Korelasinya dengan Perubahan Skala Pruritus pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis
2 Tujuan penelitian
Mengetahui perubahan kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum (zat dalam darah yang menyebabkan rasa gatal) setelah tindakan akupunktur pada titik LI11 (Quchi) dan korelasinya dengan perubahan skala pruritus (rasa gatal) pada subyek pruritus terkait penyakit ginjal kronis (Pt-PGK) yang menjalani hemodialisis (HD).
3 Cara & Prosedur Penelitian
a. Subyek yang berpotensi masuk ke dalam penelitian adalah semua pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
b. Pada subyek tersebut diberikan penjelasan secara lisan dan tertulis oleh tim penelitian yang sebelumnya telah dilatih untuk memberikan penjelasan tentang berbagai hal yang terkait dengan penelitian yang akan dilaksanakan, diikuti dengan pemberian formulir persetujuan turut serta sebagai subyek penelitian, untuk ditandatangani (PSP/informed consent).
c. Semua pasien Pt-PGK yang menjalani HD yang telah menandatangani informed consent diambil secara konsekutif, dan dinilai apakah memenuhi kriteria penerimaan.
d. Darah vena dari subyek penelitian diambil sebanyak 15 ml (1 sendok makan) dengan menggunakan vacuette steril dengan terlebih dahulu dilakukan tindakan aseptik dan pemberian antiseptik pada lokasi pengambilan darah. Darah vena dikirim ke laboratorium klinik untuk pemeriksaan kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum, kreatinin, hemoglobin dan CRP. Penilaian skala pruritus dengan menggunakan kuesioner Skala Gatal 5 Dimensi (Wulandani et al., 2018) dan pengukuran indeks masa tubuh dilakukan setelah prosedur HD selesai yang dilakukan oleh seorang anggota peneliti yang sudah dilatih.
e. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang mendapat tindakan akupunktur pada titik LI11 (Quchi) (A) dan kelompok yang mendapat tindakan akupunktur plasebo (P). Penentuan kelompok setiap subyek dilakukan secara random dengan bantuan aplikasi online pada https://www.randomizer.org/
f. Setelah subyek menjalani HD selama 1 jam, bila keadaan hemodinamik stabil maka pada jam ke-2, pada subyek dilakukan tindakan aseptik dan pemberian antiseptik pada titik LI11 Quchi.
Universitas Sumatera Utara
118
g. Pada kelompok A diberi tindakan penusukan jarum steril (diameter 0,25 mm dan panjang 25 mm, Bai Yi Mei®) tegak lurus pada permukaan kulit sedalam 1-1,5 cm pada titik LI11 Quchi, yang berdekatan dengan penusukan jarum pada prosedur HD dan dibiarkan selama 1 jam. Pada kelompok P diberi tindakan penempelan jarum steril (diameter 0,25 mm dan panjang 25 mm, Bai Yi Mei®) dengan dengan bantuan plester pada titik LI11 Quchi dan dibiarkan selama 1 jam. Tindakan ini dilakukan oleh dokter yang telah tersertifikasi oleh kolegium Perhimpunan Dokter Akupunktur Indonesia (PDAI) atau oleh dokter Spesialis Akupunktur Medik (Sp.Ak) dengan pengalaman lebih dari 2 tahun sebagai praktisi akupunktur.
h. Tindakan akupunktur dan plasebo diberikan 2 kali seminggu selama 6 minggu (Phan, 2015) dan dilakukan penilaian terhadap efek samping akupunktur dan plasebo.
i. Setelah subyek mendapat 12 kali tindakan akupunktur pada titik LI11 (Quchi) dan plasebo selama 6 minggu, darah vena subyek penelitian diambil sebanyak 5 ml (1 sendok teh) dengan menggunakan vacuette, dan dikirim ke laboratorium klinik untuk pemeriksaan kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum. Setelah pengambilan darah selesai dilanjutkan dengan penilaian skala pruritus menggunakan kuesioner Skala Gatal 5 Dimensi (Wulandani et al., 2018) yang dilakukan oleh seorang anggota peneliti yang sama pada penilaian pruritus sebelumnya.
j. Empat minggu setelah tanpa tindakan A dan P, darah vena diambil sebanyak 5 ml (1 sendok teh) dengan menggunakan vacuette dan dikirim ke laboratorium klinik untuk pemeriksaan kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum. Setelah pengambilan darah selesai dilanjutkan penilaian skala pruritus menggunakan Skala Gatal 5 Dimensi dilakukan oleh anggota peneliti yang sama pada penilaian pruritus sebelumnya.
k. Darah pasien disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -400 celcius dan apabila darah yang tidak gunakan pada penelitian ini akan digunakan untuk penelitian lain.
4 Jumlah Subyek 62 orang
5 Waktu Penelitian Bulan Agustus 2018 hingga tercapai 64 orang subyek
6 Manfaat penelitian termasuk manfaat
a. Ilmu pengetahuan: dapat menambah pemahaman mengenai mekanisme kerja tindakan akupunktur
Universitas Sumatera Utara
119
bagi subyek pada titik LI11 (Quchi) terhadap pruritus dan efek samping akupunktur pada pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
b. Aplikasi klinis: dapat menambah pemahaman tentang manfaat tindakan akupunktur pada titik LI11 (Quchi) sebagai terapi paliatif pruritus pada pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
c. Institusi pendidikan kedokteran: pengembangan akupunktur pada bidang kedokteran berdasarkan Evidence Based Medicine.
d. Masyarakat: dapat memahami bahwa tindakan akupunktur pada titik LI11 (Quchi), merupakan salah satu pilihan untuk pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
e. Subyek mendapatkan efek berkurangnya rasa gatal yang dialami.
7 Risiko & efek samping dalam penelitian
a. Reaksi alergi terhadap bahan jarum akupunktur (metal) dan vacuette diberikan antialergi topikal atau sistemik yang mungkin diberikan setelah berkonsultasi dengan dokter yang merawat.
b. Rasa nyeri dan kebas sekitar lokasi penusukan jarum saat setelah penusukan jarum akupunktur yang akan segera menghilang, bila nyeri dan kebas masih terasa sehingga menggangu kenyamanan subjek maka jarum akupunktur segera dicabut dan diberikan kompres hangat atau dingin pada lokasi penusukan.
c. Perdarahan minimal setelah pencabutan jarum akupunktur dan jarum suntik yang dapat diatasi dengan penekanan pada lokasi perdarahan menggunakan kapas mengandung alkohol 70%.
d. Infeksi pada lokasi penusukan jarum diberikan antibiotik topikal atau sistemik yang mungkin diberikan setelah berkonsultasi dengan dokter yang merawat.
8 Ketidak nyamanan subyek penelitian
Pasien merasakan nyeri dan kebas disekitar tempat penusukan yang akan segera menghilang
9 Perlindungan Subyek Rentan
Penelitian didasarkan pada prinsip etik menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person), berbuat baik (beneficence), dan keadilan (justice).
10 Kompensasi bila terjadi efek samping
Selama penelitian, peneliti menyiapkan tindakan, perlindungan dan biaya yang diperlukan kepada bapak/ibu/saudara bila terjadi risiko dan efek samping tersebut
11 Alternatif Penanganan bila ada
Tidak ada
12 Penjagaan Semua informasi yang berkaitan dengan identitas bapak/ibu/saudara (subyek penelitian) akan
Universitas Sumatera Utara
120
kerahasiaan Data dirahasiakan dan hanya akan diketahui oleh peneliti dan staf penelitian. Hasil penelitian akan dipublikasikan tanpa identitas bapak/ibu/saudara (subyek penelitian).
13 Biaya Yang ditanggung oleh subyek
Subyek tidak dikenakan biaya apapun terkait penelitian.
14 Insentif bagi subyek
Bapak/ibu/saudara akan mendapatkan uang Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) sebagai ganti waktu .
15 Nama & alamat peneliti serta nomor telepon yang bisa dihubungi
dr. Dedi Ardinata, M.Kes. Jl. Pendidikan no. 96 Tegal Rejo, Medan Perjuangan. HP no. 08116362927
(bila diperlukan dapat ditambahkan gambar prosedur dan alur prosedur).
Inisial Subyek : …………
Universitas Sumatera Utara
121
Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 hingga 3 mengenai penelitian
yang akan dilakukan oleh: dr. Dedi Ardinata, M.Kes. dengan judul : “Perubahan
Kadar Interleukin-2 dan Interleukin-31 Serum Sesudah Tindakan Akupunktur pada
Titik LI11 Quchi dan Korelasinya dengan Perubahan Skala Pruritus pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis”. Informasi tersebut sudah saya
pahami dengan baik.
Dengan menandatangani formulir ini saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam
penelitian di atas dengan suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila suatu
waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, saya berhak membatalkan
persetujuan ini.
------------------------------------------- ------------------------------------------- Tanda Tangan Subyek atau Cap jempol Tanggal ------------------------------------------- Nama Subyek ------------------------------------------- -------------------------------------------
Tanda Tangan saksi/wali Tanggal ------------------------------------------- Nama saksi/wali Ket : Tanda Tangan saksi/wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan
Universitas Sumatera Utara
122
Lampiran 2. Borang Isian Subjek Penelitian
Data Subjek Penelitian
Tanggal : ____/____/_____ No. urut penelitian : ______________ NRM : ______________ Nama : ______________ Alamat : _________________________________________ Identitas : Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan Usia : _______ (tahun) Suku : 1. Jawa 2. Toba 3. Karo 4. Melayu 5. Padang 6. Aceh 7. Tionghoa 8. India Anamnesis Keluhan pruritus : 0. Tidak ada 1. Ada Lama pruritus : ___________ minggu Lama HD : ___________ bulan Penyakit penyebab gagal ginjal kronis
1. Diabetes 2. Hipertensi 3. Penyakit ginjal obstruktif, infeksi.
Penyakit penyerta
1. HIV 0. Tidak ada 1. Ada 2. Penyakit hepatobilier 0. Tidak ada 1. Ada 3. Keganasan/kelainan darah 0. Tidak ada 1. Ada 4. Infeksi kulit 0. Tidak ada 1. Ada
Dialisis rutin Ya/ Tidak Jika ya frekuensi : ___/minggu Obat-obatan yang sedang dikonsumsi 0. Tidak ada 1. Ada Jika ada, nama obat dan dosis __________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Universitas Sumatera Utara
123
_________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________ Pemeriksaan fisik Tinggi badan : ______ m Tanggal pemeriksaan 1 : ____/____/_____ Pemeriksaan dilakukan 1 jam sesudah prosedur HD. Kesadaran : ____________________ Tekan darah : ______/_____ mmHg Frekuensi denyut nadi : _____ x/ mnt, regular/irregular Frekuensi napas : _____ x/ mnt, regular/irregular Suhu tubuh : _____ 0C Berat badan (sesudah HD) : ______ kg Tanggal pemeriksaan 2 : ____/____/_____ Pemeriksaan dilakukan 1 jam sesudah prosedur HD. Kesadaran : ____________________ Tekan darah : ______/_____ mmHg Frekuensi denyut nadi : _____ x/ mnt, regular/irregular Frekuensi napas : _____ x/ mnt, regular/irregular Suhu tubuh : _____ 0C Berat badan (sesudah HD) : ______ kg Tanggal pemeriksaan 3 : ____/____/_____ Pemeriksaan dilakukan 1 jam sesudah prosedur HD. Kesadaran : ____________________ Tekan darah : ______/_____ mmHg Frekuensi denyut nadi : _____ x/ mnt, regular/irregular Frekuensi napas : _____ x/ mnt, regular/irregular Suhu tubuh : _____ 0C Berat badan (sesudah HD) : ______ kg
Universitas Sumatera Utara
124
Lampiran 3. Penyaringan Subjek Penelitian
PENYARINGAN SUBJEK PENELITIAN
I. Kriteria penerimaan subjek penelitian ( Beri tanda √ )
Ya Tidak Kriteria Pria atau wanita dengan usia lebih dari 18 tahun. Menjalani HD rutin 2 kali seminggu selama lebih dari 6 bulan dan
dalam keadaan hemodinamik stabil Hemodialisis dengan filter polysulfane dan larutan bikarbonat Mengalami pruritus setidaknya 6 minggu sebelum dilakukan tindakan
tindakan akupunktur. Hanya menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan penyakit
utama (PGK) dan tidak memengaruhi pruritus. Menghentikan penggunaan obat-obatan yang memengaruhi pruritus
setidaknya selama periode washout obat. Belum pernah mendapatkan tindakan akupunktur atau setidaknya
8 minggu terakhir tidak mendapatkan tindakan akupunktur. Jika ada jawaban ”tidak” maka pasien tidak memenuhi kriteria untuk menjadi subjek dalam penelitian.
II. Kriteria penolakan subjek penelitian ( Beri tanda √ )
Ya Tidak Kriteria
Menolak atau tidak mengikuti protokol penelitian secara lengkap oleh karena berbagai alasan
Reaksi alergi terhadap jarum akupunktur. Infeksi pada kulit tempat penusukan jarum akupunktur. Mendapat perawatan di ruang perawatan intensif karena berbagai alasan Menggunakan obat-obatan yang dapat memengaruhi pruritus yang
diberikan oleh dokter yang merawat selama masa penelitian. Menderita psoriasis dan atau dermatitis atopik selama masa penelitian Keadaan mental dan atau fisik yang memengaruhi kemampuan
menjawab pertanyaan kuesioner Jika ada jawaban”ya” maka pasien tidak memenuhi kriteria untuk menjadi subjek dalam penelitian.
III. Kesimpulan ( Beri tanda √ )
( ) Pasien memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian ( ) Pasien tidak memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian
Universitas Sumatera Utara
125
Lampiran 4. Kuesioner The itch 5-D scale (Elman at al., 2010)