-
1
PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA ALAM SUMATERA UTARA
Tuban Wiyoso, Ayi Sudrajat, Hendri Irwandi dan Manat Panggabean
Stasiun Klimatologi Sampali
I. PENDAHULUAN
Iklim adalah kondisi cuaca rata-rata pada suatu daerah,
sedangkan cuaca adalah proses fisika atmosfer, yang unsur-unsurnya
terdiri dari hujan, awan, suhu, kelembaban, angin, tekanan udara
dan penguapan. Perubahan iklim menunjuk adanya perubahan pada iklim
yang disebabkan secara langsung maupun tak langsung oleh kegiatan
manusia maupun secara natural, yang merubah komposisi atmosfer
secara global dan juga variabilitas iklim alami yang diamati selama
periode waktu tertentu.
Fakta-fakta saat ini menunjukkan temperatur global meningkat
0.74C selama abad 20, jumlah CO2 di atmosfer meningkat,
meningkatnya presipitasi tapi penyebarannya tidak merata, kenaikan
permukaan laut, pengurangan penutupan salju, gletser mencair, benua
arktik menghangat dan sebagainya. Kondisi iklim bumi sangat
ditentukan oleh kondisi atmosfer bumi karena peristiwa cuaca
terjadi di atmosfer. Atmosfer adalah adalah lapisan gas yang
melingkupi sebuah planet, termasuk bumi, dari permukaan planet
tersebut sampai jauh di luar angkasa. Di bumi, atmosfer terdapat
dari ketinggian 0 km di atas permukaan tanah, sampai dengan sekitar
560 km dari atas permukaan bumi. Atmosfer bumi terdiri atas lapisan
troposfer, stratosfer, mesosfer dan termosfer serta eksosfer.
Sedangkan peristiwa cuaca terdapat pada lapisan troposfer. Sebagai
ilustrasi bisa dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Lapisan atmosfer bumi (troposfer, stratosfer, mesosfer
dan termosfer serta eksosfer.
-
2
Adapun komposisi gas pada atmosfer bisa dilihat pada Tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Komposisi gas pada atmosfer bumi.
Bencana alam adalah suatu peristiwa yang terjadi secara
tiba-tiba atau perlahan-lahan sebagai akibat alam, ulah manusia
atau kedua-duanya yang menimbulkan korban penderitaan manusia
kerugian harta benda, kerusakan lingkungan dan kerusakan sarana dan
prasarana. Bencana alam contohnya gempa bumi, letusan gunung api,
tsunami, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, angin kencang, tanah
longsor dan lain-lain.
Dalam tulisan akan dibahas data-data terkait dengan perubahan
iklim dan bencana alam. Data bersumber dari lembaga-lembaga dunia
yang terkait dengan perubahan iklim serta data hasil pengamatan dan
analisa BMKG Sumatera Utara ditambah dari instansi terkait. Data
yang disajikan adalah data hasil pengamatan maupun data simulasi
atau model. Dengan tujuan mengetahui dampak perubahan iklim
terhadap bencana alam sehingga antisipasi ke depan, pembangunan
harus tetap memperhitungkan dampak perubanan iklim dan peluang
terjadinya bencana alam.
Nitrogen ( N2 ) 78.084 Uap Air ( H2O ) 0.04Oxygen ( O2 ) 20.948
Ozone ( O3 ) 0.12x10-4Argon ( Ar ) 0.934 Sulfur Dioxide ( SO2 ) *
0.001x10-4
Carbon Dioxide ( CO2 ) 18.18x10-4 Nitrogen Dioxide ( NO2 ) *
0.001x10-4Neon ( Ne ) 18.18x10-4 Ammonia ( NH3 ) * 0.004x10-4
Helium ( He ) 5.24x10-4 Nitric Oxide ( NO ) * 0.0005x10-4Krypto
( Kr ) 1.24x10-4 Hydrogen Sulfide ( H2S ) * 0.0005x10-4Xenon ( Xe )
0.089x10-4 HNO3 sangat kecil
Hydrogen ( H2 ) 0.5x10-4Methane ( CH4 ) 1.5x10-4
Nitrogen Oxide ( N2O ) * 0.27x10-4Carbon Monoxide ( CO ) *
0.19x10-4
KOMPOSISI GAS DI ATMOSFER (Sumber: USA Standard Atmosphere,
1976)
Catatan : * Harga konsentrasi di permukaan Bumi
GAS PERMANENT PERSEN (%) GAS TIDAK PERMANENT PERSEN (%)
-
3
II. PEMANASAN GLOBAL/PERUBAHAN IKLIM.
2.1. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca.
Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa pembangunan adalah suatu
upaya perubahan yang dilandaskan pada suatu pilihan pandangan
tertentu yang tidak bebas dari pengalaman (sejarah), realitas
keadaan yang sedang dihadapi, serta kepentingan pihak-pihak yang
membuat keputusan pembangunan. Karena banyaknya kepentingan maka
terkadang dampaknya kurang diperhitungkan. Aktivitas manusia dalam
pembangunan sering menggunakan energi yang bersumber dari fosil,
maupun energi lain yang menghasilkan gas emisi yang dapat
mempengaruhi komposisi atmosfer. Gas rumah kaca terdiri dari CO2,
CH4, NO2, H2O dan lain-lain. Salah satu gas tersebut adalah CO2.
Gambar 2 menunjukkan peningkatan konsentrasi CO2 di beberapa
tempat. CO2 adalah gas rumah kaca dimana mempunyai sifat seperti
rumah kaca yaitu akan melangsungkan gelombang pendek dari matahari
namun memantulkan atau menyerap gelombang panas dari radiasi bumi.
Sebagai ilustrasi bisa dilihat pada gambar 3.
Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa CO2 telah meningkat cukup
tajam dari tahun ke tahun
Gambar 2. Pengukuran CO2 Atmosfer di Mauna LOA
Gambar 3. Proses terjadinya efek rum ah kaca.
-
4
Sumber-sumber gas rumah kaca bisa secara alami maupun karena
hasil aktivitas manusia, namun peningkatan gas rumah kaca ini
umumnya akibat aktivitas manusia. Pada tabel 2 menunjukkan
sumber-sumber gas rumah kaca, baik di Indonesia maupun Dunia.
Tabel 2. Gas rumah kaca di Indonesia dan Dunia (ALGAS,1997 dan
UNEP, 1989)
Indonesia Dunia
Sektor Persentase dari Total Emisi GRK (%)
Kehutanan & Tata Guna Lahan 14
Energi dan Transport 49
Pertanian 13
Proses Industri 24
Total 100,0
Di Indonesia sektor kehutanan dan tataguna lahan, tranportasi
dan industri merupakan sektor yang cukup besar dalam menyumbang
emisi gas rumah kaca. Untuk dunia yang terbesar adalah dari sektor
energi transpotasi dan industri.
Sedangkan gambar 4 menunjukkan negara-negara penghasil gas rumah
kaca, urutan pertama adalah Amerika Serikat, menyusul Uni Sovyet,
China, Brazil, India, Jepang, sedangkan Indonesia berada pada
urutan ke 7. Sedangkan Jerman, Inggris, Meksiko, Kanada masih di
bawah Indonesia.
Sektor Emisi GRK Ekuivalen CO2 (Gg)
Persentase dari Total Emisi GRK (%)
Kehutanan & Tata Guna Lahan
315.290,19 42,5
Energi dan Transport 303.829,95 40,9
Pertanian 99.515,24 13,4
Proses Industri 17.900,50 2,4
Limbah 6.039,39 0,8
Total 742.575,26 100,0
-
5
Gambar 4. Negara negara penghasil emisi gas rumah kaca
2.2. Pemanasan global
Ada beberapa skenario pemanasan global dikaitkan dengan
perkembangan sosial ekonomi serta tingkat efisiensi pemanfaatan
energi. Seperti terlihat dalam gambar 5 yang bersumber dari IPCC
(Intergovermental Panel of Climate Change) yang disebut SRES.
Dimana ada 6 skenario, dari kesemua skenario tersebut menunjukkan
bahwa dalam 100 tahun mendatang suhu bumi akan meningkat 0.5 hingga
4 C. Pada dasarnya semakin efisien dan semakin rendah pemanfaat
energi maka akan semakin baik kondisi suhu bumi atau laju
peningkatan bisa diperlambat. Dan hampir semua simulasi maupun
model AOGCM Projection temperatur dalam 100 tahun mendatang
menunjukkan suhu bumi akan meningkat antara antara 0.5 sampai 7 C.
Hal ini bisa dilihat pada gambar 6.
-
6
Gambar 5. Skenario dari SRES Proyeksi peningkatan temperatur
hingga 2100
Gambar 6. Proyeksi AOGCM Untuk peningkatan suhu permukaan hingga
2090
-
7
2.3. Perubahan Iklim
Pemanasan global menunjukkan telah terjadi perubahan iklim,
berikut akan dibahas unsur iklim lainnya yang diduga juga berubah.
Presipitasi juga berubah sebagian ada yang meningkat dan adapula
yang mengalami penurunan. Di Australia, Asia dan Europa umumnya
meningkat sedangkan di Afrika dan Amerika Selatan banyak yang
mengalami penurunan. Peningkatan permukaan laut bisa mencapai
100-700 mm. Di Indonesia peningkatan mencapai 500-600 mm. Untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 7 dan 8.
Gambar 7. Trend curah hujan tahunan di seluruh dunia.
Gambar 8. Pola peningkatan permukaan laut 2090 (mm)
100 700
-
8
III. KONDISI IKLIM SUMATERA UTARA
3.1. Suhu Udara
Setelah membahas data-data perubahan iklim secara global
selanjutnya akan disajikan data dan fakta di Sumatera Utara. Hasil
pengamatan suhu udara di Sampali yang mewakili panatai timur
Sumatera Utara dan Sibolga yang mewakili pantai barat Sumatera
Utara menunjukkan bahwa kecenderungan suhu terus meningkat kurang
lebih 0.5 C dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Hal ini seiring
dengan peningkatan suhu global yang juga meningkat. Kondisi ini
bisa lebih jelas terlihat pada gambar 9.
Gambar 9. Trend peningkatan suhu udara di Sampali dan
Sibolga
-
9
3.2. Curah Hujan
3.2.1. Rata-rata Curah hujan Disamping suhu udara, curah hujan
juga menunjukkan adanya kecenderungan
meningkat, disini disajikan tiga grafik yaitu Polonia, Sampali
dan Sibolga untuk perbandingan rata-rata 30 tahun dan 5 tahun
terakhir. Pada curah hujan 5 tahun terakhir cenderung meningkat
pada bulan-bulan Juli hingga Desember kondisi ini sejalan dengan
pergerakan matahari dari Utara ke Selatan. Untuk lebih jelasnya
bisa dilihat pada gambar 10.
Gambar 10. Curah hujan rata-rata 30 th dan 5 th terakhir
Sampali, Polonia dan Sibolga
CURAHA HUJAN RATA-RATA 30 DAN 5 TAHUN TERAKHIR SAMPALI
0
50
100
150
200
250
300
350
J F M A M J J A S O N DB ULA N
CHRATA-RATA 30 TH CHRATA-RATA 5 TH TERAKHIR
RATA-RATA CURAH HUJAN 30 DAN 5 TAHUN TERAKHIR POLONIA
050
100150200250300350400450
J F M A M J J A S O N D
BULAN
MM
CHRATA-RATA 30TH CHRATA-RATA5TH TERAKHIR
RATA-RATA CURAH HUJAN 30 DAN 5 TAHUN TERAKHIR SIBOLGA
0
100
200
300
400
500
600
J F M A M J J A S O N D
BULAN
MM
CHRATA-RATA 30 TAHUN CH RATA-RATA 5 TH TERAKHIR
-
10
3.2.2. Trend Curah hujan harian Maximum
Dari data Stasiun Klimatologi Sampali sebagai sample stasiun
berada di wilayah dataran rendah (pesisir timur sumut), menujukkan
kecenderungan peningkatan intensitas hujan harian maximum baik pada
bulan Pebruari (kemarau) maupun pada bulan Oktober (musim hujan),
sehingga kondisi demikian juga potensi banjirpun cenderung
meningkat.
Gambar 11. Trend Curah hujan harian maximum februari dan Oktober
Sampali 1966-2008.
-
11
3.2.3. Permulaan musim hujan dan Kemarau
Dari hasil analisis permulaan musim kemarau dan musim hujan
diperoleh hasil sebagai berikut :
Analisis Permulaan Musim di Stasiun Klimatologi Sampali
Ket. Warna Merah = musim kemarau Warna Hijau = musim hujan
Dari gambar di atas terlihat bahwa di Stasiun Klimatologi
Sampali ada perubahan pola awal musim hujan dan kemarau yang
terjadi antara Normalnya dengan keadaan lima tahun terakhir,
terlihat bahwa adanya pergeseran musim hujan yang terjadi pada lima
tahun terakhir menjadi lebih awal dari normalnya. Normalnya musim
hujan mulai pada dekade 2 bulan Agustus menjadi bulan Juni dekade
1. Kemudian adanya musim hujan yang lebih panjang pada lima tahun
terakhir (22 dekade) dari normalnya (19 dekade)
Analisis Permulaan Musim di Stasiun Meteo Maritim Belawan
Ket. Warna Merah = musim kemarau Warna Hijau = musim hujan
Dari gambar di atas terlihat bahwa di Stasiun Meteo Maritim
Belawan ada perubahan pola awal musim hujan dan kemarau yang
terjadi antara Normalnya dengan keadaan lima tahun terakhir,
terlihat bahwa adanya pergeseran musim hujan yang terjadi pada lima
tahun terakhir menjadi lebih awal dari normalnya, normalnya musim
hujan mulai pada bulan Agustus bergeser menjadi bulan Mei. Kemudian
adanya musim hujan yang lebih panjang pada lima tahun terakhir (24
dekade) dari normalnya (20 dekade).
Jan Feb Mar Apr May Jun DecAug Sep Oct NovJul
Jan Feb Mar Apr May Jun DecAug Sep Oct NovJul
-
12
3.2.4. DrySpell
Dry spell merupakan istilah kondsi tidak terjadi hujan secara
berturut-turut, Dry spell ringan bila suatu lokasi tidak terjadi
hujan berturut-turutselama 7-10 hari, Dryspell sedang bila tidak
terjadi hujan berturut-turut 8-15 hari, dry spell ekstrim bila
tidak terjadi hujan berturut turut > 15 hari. Dari sampel
Stasiun Klimatoligi Sampali menunjukkan bahwa frekuensi dry spell
baik ringan, sedang atau ekstrim menunjukkan kecenderungan yang
semakin menurun.
Ploting data dry spell di Sampali 1966-2008
Gambar 12. Ploting dryspell Staklim Sampali tahun 1966-2008.
-
13
3.3. Penyebaran Iklim
Gambar. 13 Peta tipe iklim dan DAS Sumatera Utara
Berdasarkan Oldeman di Sumatera Utara terbagi menjadi 5 tipe
yaitu tipe A, B1, D1, C1, dan E2. Adapun pembagian tipe Oldeman
berdasarkan kondisi curah hujan rata-rata bulanan, disebut bulan
basah jika curah hujan > 200 mm dan bulan kering bila curah
hujan kerang dari 100 mm serta bulan lembab bila curah hujan antara
100 < CH< 200 mm. Lebih lanjut bisa dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 3. Tipe Iklim Oldeman Sumatera Utara
No Type Bulan Basah Bulan Kering 1 2 3 4 5
A B1 C1 D1 E2
9 7-9 5-6 3-4
-
14
IV. PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA ALAM SUMATERA UTARA
Beberapa jenis bencana alam yang disebabkan oleh iklim/cuaca
baik langsung maupun tak langsung antara lain banjir, kekeringan,
tanah longsor, angin kencang, penyebaran penyakit dan
lain-lain.
4.1. Banjir.
Tabel 4. Beberapa catatan banjir besar di Sumatera Utara
1994-2007
No Bencana Lokasi/tanggal
1 Banjir Bandang/ longsor
Sembahe, 22 Nopember 1994
2 Banjir / Longsor
Saipar Dolok Hole, Mei 1995
3 Banjir Nias, 31 Juli 2001 dan 2 Januari 2003
4 Banjir Medan,Asahan, D serdang 28 Des 2001
5 Banjir Medan 13 Januari 2002
6 Banjir Bandang/ Longsor
Bahorok 2 Nopember 2003
7 Banjir Bandang
Langkat 23/24 Desember 2006
8 Banjir Bandang/ longsor
Madina 24 Desember 2006
9 Banjir Madina 22 Juli 2007
Beberapa fakta menunjukkan bahwa kejadian banjir besar di
wilayah Sumatera Utara terjadi pada saat hujan lebat, dan
sebelumnya juga telah terjadi hujan, intensitas hujan harian pada
saat banjir mencapai 100 mm/hari. Sebagai contoh adalah kejadian
banjir 2001/2002, menunjukkan bahwa kejadian banjir terjadi pada
saat curah hujan diatas 100 mm, analisis neraca air lengkap
terlihat pada gambar berikut.
-
15
Gambar 14. Analisis neraca air harian Wilayah D1 Deli Serdang
tahun Des 2001/ Jan 2002.
Gambar 15. Peta rawan banjir, longsor dan kekeringan di Sumatera
Utara
4.2. Longsor
Beberapa faktor yang mempengaruhi longsor, antara lain kondisi
batuan, kemiringan lereng, vegetasi penutup lahan serta curah
hujan. Di antara faktor tersebut yang menjadi pemicu utama adalah
curah hujan. Beberapa wilayah di Sumatera Utara mempunyai tingkat
kerawanan longsor yang tinggi, sehingga dengan dipicu hujan yang
terus menerus pada musim hujan dapat mengakibatkan longsor. Dengan
adanya kecenderungan peningkatan curah hujan maka kewaspadaan
terhadap bahaya longsor perlu ditingkatkan.
PETA RAWAN BANJIR DAN LONGSOR DAN KEBAKARAN HUTAN/ LAHAN DI
SUMATERA UTARA BMGBMG
Banjir longsor Dan Kekeringan
-100
-50
0
50
100
150
200
250
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
%/mm
tanggal
JAN02HL
Chujan Gwater DST ST
-
16
4.3. Kekeringan
Dengan meningkatnya suhu udara rata-rata maka kewaspadaan
terhadap kekeringan agar tetap terus ditingkatkan, meskipun tingkat
dryspell semakin menurun. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa
kekeringan yang mengakibatkan puso masih sering terjadi, disamping
itu kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahun terjadi. Berikut
contoh kejadian kekeringan yang mengakibatkan puso ataupun
kebakaran hutan dan lahan.
Gambar 16. Kekeringan di Sumut tahun 2004 (sumber : Diperta
Sumut) dan Hotspot (sumber NOAA).
4.4. Kepekaan Vektor penyakit
Pemanasan global juga berdampak pada perkembangan serangga
khususnya nyamuk sebagai vektor penyakit seperti malaria dan demam
berdarah. Menurut WHO ada banyak penyakit yang peka terhadap
pemanasan global seperti tertera pada tabel 3.
Tabel 5. Kepekaan penyakit terhadap pemanasan Global (WHO Task
Group Report 1990 (WHO/PEP/90/10/1990) dalam Ridad Agus, 2005
Jenis Penyakit Derajat kepekaan
Malaria Schistosomiasis Filariasis Onchocerciasis Leismaniasis
Dracunculiasis Penyakit tidur Afrika DBD dengue Demam kuning
3 2 1 1 1 0 1 2 1 1
Keterangan: Terkena: Puso
(1422)(435)
(1397)
(21)
(105)(425)
(209)
(130)
0
(40)
kilometers50
100
Serdang BedagaiLangkat
D a i r i
Pak-pak barat
Kota Pd. Sidimpuan
Tapanuli Selatan
Toba Samosir
Asahan
Deli Serdang
Kota Medan
Kota Teb.Tinggi
Humbang Hasundutan
0N
1N
2N
3N
96E
4N
101E
100E
99E
98E
97E
Labuhan Batu
K a r o
Nias Selatan
N i a s
Tapanuli Utara
Samosir
Mandailing Natal
Kota Binjai
Simalungun
Tapanuli Tengah
Kota Sibolga
-
17
Ensefalitis Japan Ensefalitis St. Louis Arbovirus lain
1 1
Keterangan : Score 3 = sangat terpengaruh 0 = tidak
terpengaruh
4.5. Kualiatas air hujan
Di samping itu pengamatan kualitas air hujan di Sumatera Utara
juga menunjukkan kecenderungan asam atau nilai PH sudah di bawah
5.5. Hal ini perlu diwaspadai bahwa aktivitas industri,
transportasi dan rumah tangga yang menggunakan bahan bakar fosil
sudah perlu dievaluasi agar hujan asam yang berbahaya tidak terjadi
di Sumatera Utara gambar 12 menunjukkan grafik PH rata-rata tahunan
di Sampali
Gambar 17. PH dan curah hujan tahunan Sampali
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Pembangunan merupakan aktivitas manusia, yang
berdampak juga pada
komposisi/ konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, akibatnya
terjadi pemanasan global atau suhu bumi meningkat.
Akibat pemanasan ini juga berdampak pada unsur iklim lainnya,
seperti curah hujan dan suhu. Di Sumatera Utara curah hujan dan
suhu udara cenderung meningkat.
Peningkatan suhu bumi, curah hujan dan perubahan unsur iklim
lainnya, bila berinteraksi dengan faktor lingkungan lainnya yang
juga berubah dapat mengakibatkan bencana alam, seperti banjir,
longsor, kekeringan, kebakaran, kesehatan dan lain-lain.
44.24.44.64.8
55.25.4
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
2003050010001500200025003000
PH Curah HUjan
-
18
5.2. Saran Untuk mengurangi laju pemanasan global maka kegiatan
reboisasi agar terus
dilaksanakan dan budaya menanam pohon agar tetap
disosialisasikan pada masyarakat.
Sosialisasi peningkatan pemahaman masyarakat tentang perubahan
iklim dan antisipasinya.
Dalam perencanaan pembangunan agar tetap mempertimbangkan
faktor-faktor iklim/cuaca.
Peningkatan kualitas dan kuantitas jaringan pemantau
iklim/cuaca.
DAFTAR PUSTAKA
Bruce J. P., and R.H. Clark, 1977. Introduction to
Hydrometeorology. Pergamon Press. Oxford, New York, Toronto,
Sydney, Paris, Frankfurt.
Gunawan T., 1992. Penginderaan Jauh Terapan Untuk Hidrology.
Fakultas Geografi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Hutapea S G dan Tuban W, 2007. Potensi Curah Hujan Sumatera
Utara. Seminar Nasional Sistem Pertanian Hemat Air. Faperta USU.
Medan
Thornthwaite C. W. dan J.R. Mather, 1957. Instructions and
Tables for Computing Potential Evapotranspiration and The Water
Balance. Drexel Institut of Technologi. Publication In Climatologi.
Vol. X : 3. New Jersey.
Tuban W, Tarigan H dan Esty S, 2002. Curah Hujan Berpotensi
Banjir. Seminar sehari. Pemprovsu. Medan
Van Dam J. C., W.R. Raaff dan A. Volker, 1992. Climatology.
PUSPICS. UGM. Yogyakarta.