PertusisBAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN2005I.
PENDAHULUANPertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai
batuk rejan atau batuk 100 hari merupakan salah satu penyakit
menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun
1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah kuman gram (-)
Bordetella pertussis.Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak
didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun.. meskipun anak
yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh
B.pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang
belum diimunisasi.Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat
epidemic karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang
namun juga beberapa bagian dari negara maju, seperti Amerika
Serikat, Italia, Jerman. Namun setelah mulai digalakkannya
vaksinasi untuk pertusis, angka kematian bisa ditekan hingga
10/10.000 populasi. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, pertusis diharapkan tidak diketemukan
lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan atau
kurang.Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari gejala
klinis,foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan
para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat
sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi
yang lebih lanjut, seperti ensefalopati, Respiratory distress
syndrome, dan penyakit paru-sistemik lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Batasan :Pertussis artinya batuk yang intensif, merupakan
penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang dapat menyerang
setiap orang yang rentan seperti anak-anak yang tidak diimunisasi
atau pada orang dewasa dengan kekebalan menurun. Istilah pertussis
(batuk kuat) pertama kali
diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun 1670. dimana istilah ini
lebih disukai dari batuk rejan (whooping cough). Selain itu sebutan
untuk pertussis di Cina adalah batuk 100 hari. 1,2,3Pertussis
adalah penyakit yang serius pada anak-anak kecil diseluruh dunia.
Pada orang dewasa juga sering terjadi karier yang asimptomatik atau
infeksi yang ringan.
Prevalensi pertussis di seluruh dunia sekarang berkurang karena
adanya imunisasi aktif.
EtiologiPenyebabnya adalah Bordetella pertusis. B. pertussis ini
merupakan satu-satunya penyebab pertusis endemis dan penyebab biasa
pertusis sporadis, terutama karena manusia merupaka satu-satunya
host untuk spesies ini. Penyakit serupa- disebut juga a mild
pertussis-like illness- juga dapat disebabkan oleh B. parapertussis
(terutama di Denmark, Republik Ceko, Republik Rusia, dan Slovakia)
dan B. bronchiseptica (jarang pada manusia karena merupakan patogen
yang lazim pada binatang-kucing dan binatang pengerat-, kecuali
pada manusia dengan gangguan imunitas dan terpapar secara tidak
biasa pada binatang). Kadang-kadang sindroma klinik berupa batuk
yang lama dan tidak sembuh-sembuh sehingga susah dibedakan, juga
terdapat pada infeksi adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5), Respiratory
Syncitial Virus, parainfluenza virus atau influenza virus,
enterovirus dan mycoplasma. 1,3
EpidemiologiPertussis adalah satu dari penyakit-penyakit yang
paling menular, dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk
yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun
dengan lebih dari 500.000 meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun
192-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit
menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat.
Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75
persen adalah anak kurang dari 5 tahun. 1,2,3Pertusis terutama
mewabah di negara-negara berkembang dan maju, seperti Italian,
daerah-daerah tertentu di Jerman dimana cakupan vaksin rendah atau
Nova Scatia dimana digunakan
vaksin yang kurang poten, dengan angka insidensi rata-rata
mencapai 200-500/100.000 populasi dengan angka kematian 350.000
pada anak dibawah 5 tahun.2 Di Amerika Serikat sendiri dilaporkan
insidensi tertinggi 4500 kasus sejak tahun 1967. namun setelah hal
tersebut, pertusis jarang sekali kasusnya karena sudah lebih di
galakkan vaksinasi . 3Pertusis adalah endemik, dengan ditumpangin
siklus endemik setiap 3-4 tahun sesudah akumulasi kelompok rentan
yang cukup besar. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli
sampai dengan Oktober. 1,3. Pertusis sangat menular dengan angka
serangan 100% pada individu rentan yang terpajan pada aerosol
dengan rentang yang rapat. Penyebaran terjadi melalui kontak
langsung atau melalui droplet yang ditularkan selama batuk.Dahulu
dikatakan bahwa Perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki
dengan perbandingan 0.9:1 . Namun dengan laporan terbaru (Farizo,
1992) perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi
sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan
tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama
samapai 27% pada tahun 1992-1993.
Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi
booster berulang, anakyang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan
terhadap penyakit ini jika terpajan. Sedangkan antibodi dari ibu
secara transplasental pada anak tidaklah konsisten mencegah bayi
yang baru lahir terhadap pertussis. Pertussis pada neonatus yang
berat dapat ditemukan dengan gejala-gejala pertussis normal. 3
Patogen :B. pertussis : kecil, tidak bergerak, cocobacillus gram
(-). Terbaik dibiak pada glycerin-potato-blood agar media
(border-gengou). Organisme yang didapat umumnya tipe virulen
(disebut fase I). Pasase dalam kultur dapat merangsang pembentukan
varian yang avirulen (fase II, III, dan IV). Strain fase I berperan
untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif.
4
Gambar 1. Bordetella pertussis, the agent of pertussis or
whooping cough. Gram stain. (CDC)Hanya B. pertussis yang
mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama.
B.pertussis juga menghasilkan beberapa bahan aktif, yang banyak
darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan
imunitas. Aerosol, hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa
aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein permukaannonfimbria 69-kD yang
disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel
epitel bersilia saluran pernapasan. Sitotoksin trakea, adenilat
siklase, dan TP menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin
trakea, factor dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara
dominant menyebabkan cedera epitel local yang menghasilkan
gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. 2,3,4TP
mempunyai 2 sub unit, yaitu A dan B. TP (B) akan berikatan dengan
reseptor pada sel taret dan mengaktivasi TP(A) pada membran sel
yang merangsang pengeluaran enzim. TP akan merangsang pengeluaran
Adenosin Diphosphate (ADP) sehingga akan mempengaruhi fungsi dari
leukosit, limfosit, myocardial sehingga bermanifestasi peradangan
saluran napas dengan hyperplasia kelenjar lymph peribronchial dan
meningkatkan produksi mucus yang akan menutupi permukaan silia.
Yang pada akhirnya bias mengarah ke komplikasi bronchopneumonia,
infeksi sekunder bakteri lain (ex: Pneumococcus, Haemophilus
influenzae, S.aureus, S.pyogenes), sianosis karena apnea dan
ventilation perfusion mismatch. 2,3
Patologi :
- organisme bermultiplikasi pada epitel yang bersilia dan
menghasilkan faktor-faktor virulen (termasuk toksin)- Ada bendungan
dan infiltrasi mukosa oleh sel-sel limfosit dan leukosit PMN, dan
hasil hasil peradangan dalam lumen bronki. Pada awalnya terjadi
hiperplasia limfoid peribronkial. Terjadi bronkopneumonia dengan
nekrosis dan deskuamasi epitel permukaan bronki.- Obstruksi
bronkial dan atelektasis terjadi karena penumpukan sekresi mukus.
Dapat pula timbul bronkiektasi.- Perubahan patologis juga ditemukan
pada otak dan hati. Dapat ditemukan perdarahan serebral dan atrofi
kortikal yang kemungkinannya karena adanya anoksia. Pada hati dapat
ditemukan infiltrasi lemak.
Gambar 2. Kolonisasi B. pertussis pada sel epitel trakea
Manifestasi klinik :
- masa inkubasi pertusis rata-rata 7 hari (6-20 hari).- Penyakit
dapat dibagi dalam 3 stadium : kataral
paroksismal
konvalenses
Penyakit umumnya berlangsung selama 6-8 minggu.- Manifestasi
klinik tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status
imunisasi. Penderita-penderita yang berumur 2 tahun. Jarang timbul
panas diatas 38,4C pada semua golongan umur.- Penyakit disebabkan
B. parapertussis dan B. bronkiseptika lebih ringan dan juga lama
sakitnya lebih pendek.
- Stadium kataral : 1-2 mingguGejala-gejala infeksi saluran
pernafasan bagian atas predominan rinore, conjuctival injection,
lakrimasi, batuk ringan, panas tidak begitu tinggi. Pada stadium
ini biasanya diagnosis pertussis belum dapat ditetapkan.
- Stadium paroksismal : 2-4 mingguJumlah dan berat batuk
bertambah. Khas, ada ulangan 5-10 batuk kuat selama ekspirasi yang
diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak yang menimbulkan
whoop ( udara dihisap secara kuat melalui glotis yang
sempit).Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur,
lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan.Episode
batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi
mucous plug pada saluran nafas menghilang.Pada stadium paroksismal
dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan
konjungtiva.Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup
khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada
whoop.
Anak tampak apatis dan berat badan menurun.Serangan-serangan
dapat dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, aktivitas
fisik atau malahan sugesti. Diantara serangan penderita tampak
sakit minimal dan lebih enak.
Whoop dapat tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama
bayi-bayi muda.
- Stadium Konvalesens : 1-2 mingguEpisode paroksimal batuk dan
muntah sedikit demi sedikit menurun dalam frekuensi dan
beratnya.Batuk dapat menetap untuk beberapa bulan. Pemeriksaan
fisik umumnya tidak informatif.Pada stadium paroksismal dapat
terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan
konjungtiva.
Pada beberapa penderita terjadi ronki difus. 4
Gambar 3. Pertusis pada infant
Gambar 4. Anak dengan pertusis
Diagnosis dan Diagnosis banding :- Pertusis dapat didiagnosis
selama stadium paroksismal. Sukar pada bayi-bayi yang sangat muda,
adolesens, dan pada orang dewasa oleh karena mempunyai manifestasi
yang atipis.- Riwayat kontak dengan kasus-kasus pertusis sangatlah
menolong, tetapi umumnya riwayat ini negatif pada populasi yang
telah banyak mendapat imunisasi.- Batuk lebih dari 2 minggu dengan
emesis sesudah batuk mempunyai nilai diagnostik yang penting.-
Leukositosis (20.000-50.000/mm darah) dengan limfositosis absolut
khas, pada bayi-bayi jumlah leukosit tidak dapat menolong untuk
diagnosis, oleh karena respon limfositosis terdapat pula pada
banyak infeksi.
- Foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelaktasis atau empiema.- Diagnostik spesifik tergantung dari
didapatkannya organisme, terbaik diperiksa selama fase awalpenyakit
dengan melakukan apus nasofaring yang dibiak pada media
Bordet-Gengou. Direct flourescent antibody staining dari spesimen
faring dapat membedakan diagnosis spesifik secara tepat. 1,3,4-
Diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi
toksin pertussis dari sepasang serum.- ELISA dapat dipakai untuk
menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap filamentous
hemoaglutinin (FHA) dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan
IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena
menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit
atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan
test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA
dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik
untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi
pertussis. 4,5
- Tidak ada test tunggal berlaku saat ini yang sangat sensitif
dan sangat spesifik untuk menentukan infeksi B. pertussis selama
semua fase penyakit.- Kultur paling positif pada fase kataral dan
awal paroksimal dan seharusnya dilakukan pada semua kasus yang
tersangka. Test serologis berguna pada stadium lanjut penyakit dan
untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan kultur
negatif.
Komplikasi :
- Terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.Pneumonia
komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak
< style="">B.Pertussis sendiri tetapi lebih sering karena
bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris,
S.piogenes).
- TBC laten dapat juga di aktifer.- Atelektasis dapat timbul
sekunder oleh karena ada sumbatan mukus yang kental. Aspirasi mukus
atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
- Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh
bakteria.- Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur
alveoli, empisema interstitiel/subkutan dan pneumotoraks.
Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.- Sering terjadi otitis
media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. Perdarahan
subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan
intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia
inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi.- Dapat
pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia
serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang
kejang dapat disebabkan oleh temperatur tinggi. 4
- Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap
syndrome ofinappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH).
3,4
Gambar 5. Perdarahan subkonjunctiva dan bluish
Pencegahan :
- Imunisasi aktif :Dosis total 12 unit protektif vaksin
pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan jarak 8
minggu.Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis,
difteria dan tetanus (kombinasi). jika pertusis bersifat prevalen
dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2
minggu dengan jarak 4 minggu.
Anak-anak berumu > 7 tahun : tidak rutin diimunisasi.Imunitas
tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens ;
infeksi pada penderita .besar biasanya ringan tetapi
berperansebagai sumber infeksi B.pertussis pada bayi-bayi non
imun.
Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk
mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar. Efek
samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum
seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan ,
dan sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang,
kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko
terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian
asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap
4-6 jam untuk selama 48-72 jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan :Penyakit
panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan
neurologis, riwayat kejang dll.Riwayat keluarga adanya kejang,
sudden infant death syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap
imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi
pertussis. 3,4Kontra indikasi untuk pemberian vaksin pertussis
berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi,
kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum
imunisasi, menangis 3 jam, high picth cry dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat
diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis. 4
- kontak : Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada
bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu dengan pertussis.
Kontak intim yang berumur Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7
tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan
eritromisin
profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi
penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan,
dan mengurangi gejala-gejala penyakit. 1,2,3,4 Orang-orang yang
kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi
sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak
diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin
diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin
selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan
pada waktu terjadi epidemi. 1,4
Pengobatan :- eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari
dapat mengeliminasi organisme pertussis dari nasofaring dalam 3-4
hari.
Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika
diberikan terlambat.
- Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang
menimbulkan serangan batuk,mengatur hidrasi dan nutrisi
- Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
- Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan
distres pernapasan.- Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat
mengurangi batuk paroksismal yang berat walaupun kegunaannya belum
dibuktikan melalui penelitian kontrol.
- Penekan batuk (suppressants) tidak menolong.
Prognosis :
- angka kematian telah menurun menjadi - Kebanyakan kematian
disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi
paru-paru lain.
- Sekuele pernapasan yang lama sesudah infeksi pertussis tidak
pasti. Umumnya bayi-bayi yang berumur
III. KESIMPULANPertusis merupakan salah satu penyakit menular
yang menyerang saluran pernapasan bagian atas, disebabkan terutama
oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk lama dan
kadang-kadang terdengar seperti menggonggong (whooping cough) dan
episode diakhir dengan ekspulsi dari secret trakea,silia lepas dan
epitel nekrotik.Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang
dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi lebih rentan,
demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang
dewasa.Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral,
paroxsismal, dan konvalesen. Masing2 berlangsung selama 2 minggu.
Pada bayi, gejala menjadi lebih jelas justru pda stadium
konvalesen. Sedangkan pada orang dewasa mencapai puncaknya pada
stadium paroxsismal.Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak
pada stadium paroksismal, riwayat kontak dengan penderita pertusis,
kultur apus nasofaring, ELISA, foto thorax.Terapi yang dapat
diberikan antibiotic eritromisin 50mg/kgB/hari dibagi 4 dosis
selama 14 hari, dan suportif.Prognosis baik dengan penatalaksanaan
yang tepat dan cepat. Kematian biasanya terjadi karena ensefalopati
dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA1. Law, Barbara J. Pertussis. Kendigs : Disorders
of Respiratory Tract in Children. Philadelphia, USA. WB Saunders,
1998. 6th edition. Chapter 62. h :1018-1023.2. Garna, Harry.
Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi
Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.
3. Long, Sarah S. Pertussis. Nelson : Textbook of Pediatrics.
USA. WB Saunders, 2004. 17th edition. Chapter 180. h:
908-912,1079.
4. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric
Respiratory Medicine.Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h:
693-699.5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pertusis. Staf
pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta,
Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.
6. http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html
7. www.cdc.gov/nip/publication/pink/pert.