1 PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DOKTER MENGENAI TINDAKAN MEDIS TANPA INFORMED CONSENT Rivian Yuris Ardani Fakultas Hukum Universitas Indonesia Abstrak Jurnal ini membahas mengenai pertanggungjawaban perdata dokter mengenai tindakan medis tanpa informed consent. Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana sebenarnya hak dan kewajiban dokter dan pasien dalam hal terjadi suatu tindakan medis tanpa informed consent. Penelitian untuk penulisan jurnal ini adalah penelitian kepustakaan dengan pengolahan data secara kualitatif serta bersifat deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa di antara pasien dan dokter terdapat hubungan hukum perdata berupa perikatan. Dalam hal salah satu pihak merasa dirugikan maka yang bersangkutan dapat menuntut dengan dasar gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Penelitian ini juga menemukan bahwa dokter memiliki kewajiban untuk melaksanakan informed consent sebelum melakukan tindakan medis. Namun demikian, dokter dapat mengesampingkan kewajiban ini dalam keadaan tertentu, misalnya pada pasien gawat darurat. Kata Kunci: Hukum Perikatan, Pertanggungjawaban Perdata, Informed Consent. Abstract This journal talks about physician’s civil liability on medical treatment without informed consent. The purpose of this thesis is to get an understanding about responsibilities and rights of physicians and patient when there is a medical treatment without informed consent. The research for this thesis writing is a literature research with qualitative data processing and descriptive design. This research found that between physicians and his patient is a civil legal relationship that is obligation. If a party thinks that they have been harmed, they can sue the other party with breach of contract or tort. The research also found that physicians have an obligation to do an informed consent before doing a medical action. But, physician can override that obligation in some circumstances, such as medical emergency. Keyword: Law of Obligation; Civil Liabiltiy; Informed Consent. Pertanggungjawaban perdata…, Rivian Yuris Ardani, FH UI, 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DOKTER MENGENAI
TINDAKAN MEDIS TANPA INFORMED CONSENT
Rivian Yuris Ardani
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Abstrak
Jurnal ini membahas mengenai pertanggungjawaban perdata dokter mengenai tindakan medis tanpa informed consent. Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana sebenarnya hak dan kewajiban dokter dan pasien dalam hal terjadi suatu tindakan medis tanpa informed consent. Penelitian untuk penulisan jurnal ini adalah penelitian kepustakaan dengan pengolahan data secara kualitatif serta bersifat deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa di antara pasien dan dokter terdapat hubungan hukum perdata berupa perikatan. Dalam hal salah satu pihak merasa dirugikan maka yang bersangkutan dapat menuntut dengan dasar gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Penelitian ini juga menemukan bahwa dokter memiliki kewajiban untuk melaksanakan informed consent sebelum melakukan tindakan medis. Namun demikian, dokter dapat mengesampingkan kewajiban ini dalam keadaan tertentu, misalnya pada pasien gawat darurat.
Kata Kunci: Hukum Perikatan, Pertanggungjawaban Perdata, Informed Consent.
Abstract
This journal talks about physician’s civil liability on medical treatment without informed consent. The purpose of this thesis is to get an understanding about responsibilities and rights of physicians and patient when there is a medical treatment without informed consent. The research for this thesis writing is a literature research with qualitative data processing and descriptive design. This research found that between physicians and his patient is a civil legal relationship that is obligation. If a party thinks that they have been harmed, they can sue the other party with breach of contract or tort. The research also found that physicians have an obligation to do an informed consent before doing a medical action. But, physician can override that obligation in some circumstances, such as medical emergency.
Keyword: Law of Obligation; Civil Liabiltiy; Informed Consent.
c. Sikap solider antar sejawat dokter dan sifat isolatif terhadap profesi lain. 2
Seiring dengan perkembangan zaman, hubungan yang tidak seimbang antara dokter
dengan pasien ini sedikit demi sedikit mulai berubah ke hubungan yang lebih seimbang.
Tidak jarang ditemukan keadaan dimana pasien sampai melakukan upaya-upaya hukum
maupun pengaduan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
apabila merasa dirugikan oleh dokter. Kecenderungan dilakukannya pengaduan pasien
tersebut semakin meningkat tiap tahunnya. Hal ini sesuai dengan data MKDKI dimana
didapati bahwa terjadi peningkatan pengaduan dari tahun 2006 sebanyak 9 kasus, tahun 2007
sebanyak 11 kasus, tahun 2008 sebanyak 20 kasus, tahun 2009 sebanyak 36 kasus, tahun
2010 sebanyak 49 kasus, dan tahun 2011 sampai bulan Mei saja sudah ada 10 kasus.3
Adanya perubahan dalam hubungan antara dokter dengan pasien terjadi karena banyak
faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Kepercayaan tidak lagi tertuju kepada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada
keampuhan ilmu dan teknologi kesehatan.
b. Masyarakat menganggap tugas dokter tidak hanya menyembuhkan (curing) tetapi juga
pada perawatan (caring).
c. Ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan bukan lagi merupakan
keadaan tanpa penyakit, akan tetapi lebih berarti kesejahteraan fisik, mental, dan
sosial.
d. Semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien,
sehingga pasien semakin mengetahui dan memahami hak-haknya dalam hubungan
masyarakat.
e. Tingkat kecerdasan masyarakat mengenai kesehatan semakin meningkat. 4
Selain berbagai sebab di atas, pergeseran ke arah hubungan dokter dengan pasien yang
lebih seimbang juga disebabkan dengan adanya paham konsumerisme dalam pelayanan
kesehatan. Dalam paham konsumerisme ini pasien ditempatkan sebagai pihak yang paling
mengerti apa yang terbaik untuk dirinya daripada orang lain, termasuk dokter. Pasien
2 Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan), cet. 1, (Jakarta: Ind Hill Co,
1989), hlm. 149. 3 Vera Varah Bararan, “Pasien yang Mengadukan Dokter ke MKDKI Jumlahnya Makin Banyak”,
http://health.detik.com/read/2011/06/28/164659/1670785/763/pasien-yang-mengadukan-dokter-ke-mkdki-jumlahnya-makin-banyak?881104755, diunduh pada 19 Oktober 2013.
memiliki hak untuk mengetahui (mendapat informasi) segala hal yang berkaitan dengan
tindakan pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya. Pasien juga memiliki hak untuk
menyetujui ataupun menolak dilakukannya tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
dirinya.5 Di Amerika Serikat penegasan atas hak ini terjadi di tahun ketika Hakim Benjamin
Cardozo, dalam putusannya pada kasus Schloendorff melawan Society of New York Hospital,
menyatakan bahwa :
every human being of adult years and sound mind has a right to determine what shall be done with his own body, and a surgeon who performs an operation without his patient’s consent commit an assault to which he is liable in damages.6
(setiap manusia yang dewasa dan berakal sehat berhak untuk memutuskan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri, dan seorang ahli bedah yang melakukan operasi tanpa persetujuan pasiennya telah melakukan pelanggaran hukum dimana ia bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul.)
Hak atas informasi dan persetujuan ini secara bersama-sama kemudian disebut sebagai
informed consent. Dengan adanya hak atas informed consent tersebut maka menjadi
kewajiban dokter untuk memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya dan meminta
persetujuan dilakukannya tindakan medis. Pasien perlu mendapat informasi yang selengkap-
lengkapnya kerena pada umumnya pasien adalah orang yang awam mengenai masalah
kedokteran. Sementara itu, menurut Munir Fuady setidaknya terdapat tiga teori yang menjadi
acuan kewajiban untuk memperoleh persetujuan pasien. Teori-teori tersebut adalah:
a. Teori manfaat kepada pergaulan hidup, dimana keharusan informed consent selain
bermanfaat bagi pasien juga bermanfaat bagi pergaulan hidup secara keseluruhan.
Dengan adanya informed consent dokter mendapat ketenangan dan keamanan dalam
bekerja karena tidak perlu takut lagi untuk dituntut oleh pasien. Bagi pasien hal ini
juga memberi kesiapan dalam menghadapi pengobatan.
b. Teori manfaat kepada pasien yang menyatakan bahwa keberadaan informed consent
membuat pasien dapat ikut berpartisipasi dalam menentukan tindakan dokter yang
bermanfaat bagi dirinya. Hal ini karena ia telah mengerti hal yang bermanfaat bagi
dirinya mengenai pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter.
c. Teori penentuan nasib sendiri yang menyatakan bahwa hanya pasienlah yang berhak
menentukan nasib sendiri (self-determination). Dengan demikian, segala tindakan
circumsisi (sunat) menyebabkan perubahan pada fisik pasien. Dengan demikian dalil para
tergugat yang bahwa pasien telah memberikan persetujuan tertulis tetap tidak dapat
membenarkan operasi circumsisi tersebut. Hal ini karena terhadap tindakan tersebut
persetujuan pasien harus dilakukan dalam bentuk tertulis dan tidak dapat secara lisan saja.
Terlepas dari pengertian tersebut, dalam masyarakat terdapat anggapan bahwa circumsisi
(sunat) merupakan suatu operasi yang sifatnya ringan. Selain itu, perubahan yang terjadi
terhadap fisik pasien juga relatif kecil. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk
mengurangi kewajiban adanya persetujuan tertulis menjadi sebatas lisan saja.
Dalam memori kasasinya, Abraham mengutip pertimbangan hakim Judex Facti
sebagai berikut:
Menimbang bahwa sepanjang acara pembuktian, penggugat tidak membuktikan tentang tindakan pembiusan total ataupun kegagalan pembiusan lokal yang dilakukan Tergugat III terhadap diri Penggugat, menurut Majelis penilaian terhadap perkara ini yang menjadi titik tolak permasalahannya adalah tentang pembuktian tindakan pembiusan tersebut baru kemudian akan ada penilaian kebenaran ada tidaknya izin yang diberikan Penggugat kepada Tergugat III.
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti sangkalan dari Tergugat-Tergugat pada faktanya Penggugat tidak berhasil membuktikan gugatannya, dalam hal mana yang dilakukan Tergugat III bukanlah pembiusan total akan tetapi pembiusan lokal.
Dari pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim menyimpulkan bahwa inti
permasalahan dalam kasus ini adalah masalah pembiusan. Penilaian ada atau tidaknya
informed consent juga akan ditentukan dengan keberadaan pembiusan total. Dengan tidak
adanya pembiusan total maka kebenaran dalil yang manyatakan bahwa tidak ada informed
consent tidak dapat dinilai.
Penilaian hakim sebagaimana tersebut di atas tidaklah tepat. Pokok permasalahan
dari perkara ini adalah keberadaan persetujuan (informed consent) itu sendiri. Keberadaan
pembiusan total maupun pembiusan lokal tidak akan mempengaruhi keberadaan informed
consent. Baik pasien dibius secara total maupun lokal, persetujuan tindakan medis tetap
harus diperoleh dan hal ini harus dibuktikan. Apabila pasien dibius secara lokal dan masih
sadar selama proses operasi maka tidak serta-merta dapat dianggap yang bersangkutan
memberikan persetujuan. Sebaliknya, dengan adanya pembiusan total dan pasien tidak
sadar bukan berarti tidak ada persetujuan dari pasien. Hal ini karena sebelum pembiusan
tersebut dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu sehingga ada kesempatan untuk
Pembuktian keberadaan persetujuan ini dapat dilakukan terpisah dan tidak harus
bergantung pada pembuktian ada atau tidaknya pembiusan total. Pembuktian ini dapat
dilakukan antara lain dengan menunjukkan formulir informed consent yang telah
ditandatangani pasien dan isi rekam medis pasien. Apabila ternyata terbukti ada
persetujuan maka harus dibuktikan pula apakah persetujuan tersebut didahuli dengan
pemberian informasi oleh dokter kepada pasien.
3. Analisis terhadap Hak Pasien atas Rekam Medis
Terkait dengan masalah rekam medis, alam memori kasasinya Abraham mengutip
pertimbangan hakim Judex Facti sebagai berikut:
Menimbang, bahwa tidak bersedianya Tergugat I memberikan salinan rekaman medis/Medical Record kepada Penggugat menurut hemat Majelis diberi atau tidak diberinya salinan rekaman medis tidak pula menyebabkan Tergugat I ada atau tidak melakukan perbuatan melawan hukum sehubungan dengan keberatan Penggugat terhadap tindakan circumsisi tersebut
Tindakan circumsisi adalah tindakan medis sedangkan tidak diberinya salinan rekaman medis adalah tindakan administrasi karenanya keberatan ataupun permasalahan tersebut bukan suatu perbuatan yang berkwalifikasi sebagai perbuatan melawan hukum dalam arti keperdataan.
Dari pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim menilai pemberian
rekam medis tidak berkaitan dengan keberadaan tindakan circumsisi terhadap Abraham.
Hal ini tidak sepenuhnya salah karena pemberian salinan rekam medis saja tidak dapat
membuktikan keberadaan informed consent. Namun demikian dengan diberikannya salinan
rekam medis maka Abraham, sebagai penggugat, dapat melihat apakah ada catatan
mengenai informed consent atas tindakan circumsisi di dalamnya. Apabila didapati bahwa
dalam rekam medis tersebut tidak dicatat adanya informed consent atas tindakan circumsisi
maka rekam medis tersebut dapat diajukan sebagai bukti di pengadilan. Hal ini
menunjukkan bahwa informed consent tidak dilaksanakan. Dengan tidak diberikannya
rekam medis maka kesempatan Abraham untuk membuktikan bahwa tidak ada persetujuan
atas tindakan circumsisi tersebut menjadi berkurang.
Dari pertimbangan tersebut juga terlihat bahwa hakim hanya memandang tindakan
pemberian salinan rekam medis sebagai tindakan administrasi semata. Hal ini
menunjukkan bahwa hakim tidak memahami bahwa di balik pemberian salinan rekam
medis tersebut terdapat hak dan kepentingan pasien. Dalam berbagai perundang-undangan
dijelaskan bahwa isi dari rekam medis adalah milik pasien. Isi/salinan rekam medis ini