PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA (Analis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Nikah Wisata) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Ilmu Syari‟ah Oleh : Nama : Khusni Tamrin NPM : 1321010007 Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN INTAN LAMPUNG 1438 H/2017 M
92
Embed
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA (Analis ...repository.radenintan.ac.id/2837/1/SKRIPSI_khusni.pdfsah dan pernikahan yang tidak sah. Pernikahan yang sah merupakan pernikahan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA
(Analis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Nikah Wisata)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh :
Nama : Khusni Tamrin
NPM : 1321010007
Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN INTAN
LAMPUNG
1438 H/2017 M
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA
(Analis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Nikah Wisata)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh :
Nama : Khusni Tamrin
NPM : 1321010007
Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Pembimbing I : Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.
Pembimbing II : Drs. Susiadi, AS, M.Sos.I.
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN INTAN
LAMPUNG
1438 H/2017 M
ABSTRAK PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA
(Analisis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor
02/MUNAS-VIII/MUI/2010 Tentang Nikah Wisata)
Oleh :
Khusni Tamrin
Diantara pernikahan yang ada adalah pernikahan yang
sah dan pernikahan yang tidak sah. Pernikahan yang sah
merupakan pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat dari
pernikahan serta di catatkan di instansi yang bertugas
melakukan pencatatan pernikahan. Sedangkan pernikahan yang
tidak sah merupakan pernikahan yang tidak terpenuhinya salah
satu dari rukun dan syarat pernikahan, dan diantara pernikahan
yang tidak sah hukmunya yaitu nikah wisata. Nikah wisata
merupakan bentuk penikahan yang dilakukan dengan memenuhi
rukun dan syarat pernikahan, namun pernikahan tersebut
diniatkan dan/atau disepakati untuk sementara semata-mata
hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam
wisata/perjalanan. Nikah wisata masih diperdebatkan hukumnya
oleh para ulama, ada yang setuju dengan pernikahan tersebut
dan banyak yang tidak setuju. MUI telah memfatwakan ketidakbolehan nikah wisata, karena nikah wisata diibaratkan
hampir sama dengan nikah mut‟ah.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
praktik nikah wisata dan bagaimana analisis hukum Islam
terhadap fatwa majelis ulama Indonesia tentang nikah wisata.
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana praktik pernikahan wisata yang ada
ditengah-tengah masayarakat Indonesia dan mengetahui
bagaimana analisis hukum Islam terhadap fatwa majelis ulama
Indonesia tentang nikah wisata.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research) yang sifat penelitiannya adalah
deskriptif analisis dengan menggunakan metode berfikir
deduktif. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder, sumber data sekunder berisi bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam penelitian
ini adalah fatwa majelis ulama Indonesia tentang nikah wisata,
sedangkan bahan hukum sekundernya adalah sekumpulan data
yang akan menunjang data primer.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan
bahwa Praktik-praktik nikah wisata adalah praktik pernikahan
yang terdapat akad serah terimah (ijab dan qabul), akan tetapi
ijab qabul yang dilakukan pada pernikahan tersebut berbeda
dengan nikah yang dianjurkan dalam agama, jika dalam nikah
yang dianjurkan oleh agama proses ijab dan qabulnya antara
wali dari mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki,
namun ijab dan qabul dalam nikah wisata hanya dilakukan oleh
calon mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki sehingga
lafadz nikahnya pun berbeda dan yang membedakan nikah
wisata dengan dengan pernikahan pada umumnya yaitu dalam
nikah wisata terdapat batasan usia pernikahan sesuai
kesepakatan antara kedua belah pihak di waktu akad. Fatwa
MUI tentang nikah wisata merupakan fatwa yang dikeluarkan
untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa nikah
wisata adalah pernikahan yang hukumnya haram, fatwa tersebut
sesuai dengan kaidah hukum Islam yaitu maqâshid al-syariʻah
(tujuan hukum Islam) karena fatwa tentang nikah wisata
merupakan salah satu upaya agar tidak menghilangkan nasab
seorang anak.
MOTTO
Artinya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama
lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-
istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat
(ikatan pernikahan) dari kamu”.1
1 Departemen Agama RI Al-Hikmah, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
(Bandung: Diponegoro, Cetakan XX), h. 81.
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT.
yang telah memberikan nikmat kesehatan sehingga penulis bisa
menyelesaikan tugas akhir perkuliahan di S1. Karya skripsi ini
saya persembahkan untuk orang-orang tercinta dan terkasih
yang ada di kehidupan penulis, mereka adalah:
1. Ayahanda Hi. Mahful dan Ibunda Hj. Maskanah yang
telah mendidik dengan penuh kesabaran, memberikan
motivasi terbaik dengan nasihat-nasihatnya dan selalu
mendoakan dengan sangat tulus pada setiap saat serta
selalu mendukung langkah yang penulis jalani dalam
mewujudkan apa yang menjadi cita-cita penulis;
2. Saudara-saudariku tercinta Mba Nur Khasanah, Mba Siti
Fatimah, Mas Mukhtar Abidin, S.S.I, Mas Ali firdaus,
S.H.I, M.H, Mba Siti Aisyah, S.Pd, Mas Muhammad
Bashori, Amd.Kep, dan Adikku Yasir Arafat yang telah
memberikan motivasi dan semangat dalam belajar untuk
meraih cita-citaku. Semoga kita semua dapat
membanggakan kedua orang tua kita. Amin.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Khusni Tamrin lahir di Dusun
Pengaleman, Pekon Kresnomulyo kecamatan Ambarawa kab.
Pringsewu pada tanggal 9 Agustus 1994, merupakan anak ke
tujuh dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak
Mahful dan Ibu Maskanah.
Pendikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis
adalah:
1. Sekolah Dasar di SD Negeri 03 Kresnomulyo, lulus pada
tahun 2007
2. Madrasah Tsanawiyah di MTs Negeri Pringsewu, lulus pada
tahun 2010
3. Madrasah Aliyah di MA Negeri Pringsewu lulus, pada tahun
2013
Pada tahun 2013 penulis melanjutkan studi di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung Program
Strata 1 (S1) Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. yang
telah memberikan kenikmatan Iman, Islam dan Ihsan serta
nikmat kesehatan jasmani dan rohani, sehingga skripsi dengan
judul “Perspektif Hukum Islam Tentang Nikah Wisata” dapat
diselesaikan.
Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Hukum di Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN
Raden Intan Lampung. Dalam penulisan skripsi ini tentu saja
tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,
untuk itu melalui skripsi ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag, selaku Rektor
UIN Raden Intan Lampung;
2. Bapak Dr. Alamsyah, S.Ag, M.Ag, selaku dekan
Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Raden Intan
Lampung;
3. Bapak Marwin, S.H, M.H, selaku Ketua Jurusan Ahwal
Haris Abdullah (Semarang: CV Asy Syifa‟, 1990), h. 351.
perbuatan zina (haram), maka sunnat baginya untuk menikah
dan supaya lebih tenang lagi beribadah dan berusaha.31
3. Makruh
Pernikahan hukumnya menjadi makruh bagi seseorang
dalam kondisi campuran. Maksudnya kondisi campuran
adalah apabila seseorang yang telah mempunyai kemampuan
untuk melakukan suatu pernikahan dan tidak dikhawatirkan
akan melakukan perbuatan haram, tetapi dikhawatirkan akan
melakukan penganiayaan terhadap istrinya apabila
melangsungkan pernikahan. Maka dalam hal ini nikah
menjadi makruh hukumnya.
Pada kondisi tersebut, tidak diperbolehkan
melaksanakan pernikahan agar tidak terjadi penganiayaan
dan kenakalan, karena mempergauli istri dengan buruk
tergolong maksiat yang berkaitan dengan hak hamba.
4. Haram
Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga,
atau diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin
(impoten), haram baginya menikah, sebab akan menyakiti
perasaan wanita yang akan dinikahinya.32
Oleh karena itu,
pernikahan diharamkan bagi seseorang yang belum memiliki
kemampuan dalam melangsungkan hidup berumah tangga
dengan istrinya, belum mampu memikul kewajiban
memberikan nafkah lahir seperti pakaian, tempat tinggal dan
kewajiban batin seperti mencampuri istri. Selain itu,
pernikahan menjadi haram apabila diniatkan untuk
melampiaskan dendamnya seperti menganiaya baik dalam
bentuk penganiayaan fisik, penganiayaan psikis maupun
penganiyaan dalam hal ekonomi.
Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut,
karena nikah disyariatkan dalam Islam untuk mencapai
kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah kemaslahatan ini
tidak tercapai jika nikah dijadikan sarana mencapai bahaya,
31
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam,
(Jakarta: Siraja Prenada Media Group, 2006), h. 9. 32
Ibid
kerusakan dan penganiayaan. Nikah orang tersebut wajib
ditinggalkan.
5. Mubah
Nikah hukumnya mubah bagi seseorang yang tidak
memiliki halangan untuk nikah atau telah mampu untuk
melangsungkan pernikahan dan belum ada dorongan untuk
nikah (untuk berhubungan seksual), maka ia belum wajib
nikah dan tidak diharamkan bila ia menikah.
Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa
hukum melaksanakan pernikahan dapat berubah sesuai
dengan kondisi keadaan seseorang yang akan melaksanakan
pernikahan.
C. Dasar Hukum Pernikahan
Islam telah mengatur secara lengkap tentang
pernikahan, aturan-aturan tersebut bisa ditemukan dalam Al-
Qur‟an maupun dalam Hadis Nabi. Penulis akan menggali dan
menjelasakan dasar hukum pernikahan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Dasar hukum pernikahan dalam Al-Qur‟an disebutkan
dalam surat Al-Nisa ayat 1 Allah SWT. berfirman:
هلل
هلل ١: ﴿النساء﴾ Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasimu”33
Firman Allah, “Dan dia mengembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak.” Yakni, Allah memperbanyak dari
Adam dan Hawa laki-laki dan perempuan yang banyak. Dia
menyebarkan mereka di berbagai wilayah dunia selaras
perbedaan ras, sifat, warna kulit, dan bahasanya. Setelah itu,
mereka semua di kembalikan dan dikumpulkan kepada-Nya.
Kemudian Allah Ta‟ala berfirman, “Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan-Nya kamu saling meminta serta peliharalah
silaturahmi.” Yakni, bertakwalah kepada Allah dengan cara
kamu menaati-Nya. Adh-Dhahak berkata, “Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu mengadakan akad
dan perjanjian; dan peliharalah hubungan silaturahmi, jangan
sampai kamu memutuskannya, namun berbuat baiklah kepada
mereka dan sambunglah tali silaturahmi.” “Sesungguhnya Allah
senantiasa mengawasi kamu,” yakni, Dia mengawasi segala
tingkah lakumu dan amalmu. Allah Ta‟ala berfirman, “Allah
maha menyaksikan segala sesuatu.” 34
Selain Al-Nisa ayat 1, dasar hukum pernikahan juga
disebutkan dalam surat Al-rum ayat 21 Allah SWT. berfirman:
٢١: ﴿الروم﴾ Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
33
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung:
CV Penerbit Diponegoro, 2015), h. 77. 34
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Terjemahan Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press), h. 647.
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”35
Ibnu Abbas berkata, “mawaddah adalah kecintaan
seorang laki-laki kepada wanita, rahmah adalah rasa khawatir
jika sesuatu yang buruk akan menimpanya. Ini adalah pengikat
diantara dua jenis manusia dan penyatuan hati diantara mereka,
padahal terdapat perbedaan tabiat dan bawaan diantara mereka.
Di antara bukti nyata atas hikmah dan kekuasaan Allah adalah
Allah telah menitipkan perasaan ke dalam jiwa dan menjadikan
dalam hubungan pernikahan ketenangan jiwa dan pikiran,
kesenangan tubuh dan hati, kemapanan hidup dan kehidupan.
Tanpa itu semua manusia tidak akan bahagia dan merasa
senang.36
Ayat ini mengisyaratkan dengan lembut: “Dari diri
kalian” atau dari jenis kalian. Kalaulah Allah menjadikan wanita
dari jenis makhluk lain, seperti dari kera, atau dari anjing hutan,
atau dari bangsa jin atau dari jenis binatang lainnya, niscaya
tidak akan terwujud ikatan kasih sayang di antara pasangan
suami-istri, bahkan justru akan muncul kebencian dan
ketidaksukaan. Maka untuk tujuan inilah Allah menjadikan para
istri dari jenis bani Adam.37
Serta firman Allah SWT. dalam surat An-nur ayat 32
هلل هلل و النور﴿ :
٣٢﴾
35
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit. h. 406. 36
Muhammad Ali Ash-Shabuny, Qabas Min Nuuril-Qur‟an,
Terjemahan Munirul Abidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), h. 364. 37
Ibid
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.38
Firman Allah Ta‟ala, “jika mereka miskin, maka Allah
akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” Ibnu Abbas
berkata, “Allah memotivasi mereka agar kawin dan menyuruh
mereka kawin dengan orang yang merdeka dan budak sahaya.
Dia menjanjikan kemampuan materi kepada mereka.”
2. Al-Hadis
Selain dalam Al-Qur‟an, dasar hukum pernikahan juga
terdapat dalam hadis sebagai berikut:
عن عب اهلل بن مسعود قال لنا رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم من استلاع منكم الباءة ف ليت زوطج فإنطو أغ للبصر وأ صن ! يامعلراللطباا
مت ط عليو . لل رج ومن يستل ف عليو بالصطوم فإنطو لو وجاء
Artinya: ”Dari Abdullah bin Mas‟ud r.a, ia berkata: Rasulullah
pernah berkata kepada kami: “wahai para pemuda,
barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu
berkeluarga, hendaklah ia menikah. Karena menikah
dapat menundukan pandangan dan memelihara
kemaluan (kehormatan). Dan barang siapa yang belum
mampu, maka hendaknya ia berpuasa sebab berpuasa
dapat mengendalikan (nafsu)-mu.” Hadis muttafaq
„alaihi39
38
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit. h. 354. 39
„Abdul „Azhim Bin Abdul Qawi Xakiyuddin Al Mundziri,
Mukhtashar Shahih Muslim, Terjemahan Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1421 H/ 2001 M), h. 435.
Hadis tersebut menjelaskan tentang perintah kepada
para pemuda yang sudah mampu dalam artian mampu untuk
menafkahi istrinya serta mempunyai dorongan nafsu syahwat
yang sangat kuat maka harus disegerakan untuk menikah, agar
tidak terjadi perbuatan maksiat yaitu berzina. Dalam hadis
riwayat Abdullah bin Mas‟ud tersebut juga menjelaskan bagi
para pemuda yang ingin menikah tetapi belum mampu (untuk
menafkahi) istrinya maka dianjurkan untuk memperbanyak
berpuasa, karena dengan puasa nafsu akan berkurang.
عن أنس بن مالك ي قول جاء ثحلثة رىط ل ب يوت أزواج النطب صلى اهلل عليو وسلم يسألون عن عبادة النطب صلى اهلل عليو وسلم ف لمطا أخبوا كأن طهم ت قالوىا م من ذنبو وما ف قالوا وأين نن من النطب صلى اهلل عليو وسلم ق غ رلو ما ت ق طىر ول تأخطر قال أ ىم أمطا أنا فأنا أصلى اللطيل أب ا، وقال آخر أنا أصوم ال طأفلر وقال آخر أنا أعتزل النساء فحل أت زوطج أب ا فجاء ليهم رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم ف قال أن تم الطذين ق لتم كذا وكذا أما واهلل ان لخلاكم للطو وأت قاكم لو لكن أصوم وأفلر وأصلى وأرق وأت زوطج النساء فمن رغب عن
رواه خباريسنط ف ليس من
Artinya: Dari Anas bin Malik R.A, katanya: ada tiga orang laki-
laki datang berkunjung kerumah istri-istri Nabi SAW.
bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diterangkan
kepada mereka, kelihatan bahwa mereka menganggap
bahwa apa yang dilakukan Nabi itu terlalu sedikit.
Mereka berkata: “kita tidak dapat disamakan dengan
Nabi. Semua dosa beliau yang telah lalu dan yang akan
datang telah diampuni Allah.” Salah seorang dari
mereka berkata: “untuk saya, saya akan selalu
sembahyang sepanjang malam untuk selama-lamanya.”
Orang kedua berkata: “saya akan berpuasa setiap hari,
tidak pernah berbuka.” Orang ketiga berkata: “saya
tidak akan mendekati wanita. Saya tidak akan kawin
selama-lamanya.” Setelah itu Rasulullah SAW. datang.
Beliau berkata: “kamukah orangnya yang berkata begini
dan begitu? demi Allah! saya lebih takut dan lebih
bertaqwa kepada Tuhan dibandingkan kamu. Tetapi saya
berpuasa dan berbuka. Saya sembahyang dan tidur dan
saya kawin. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti
sunnahku, tidak termasuk ke dalam golonganku.”40
Serta Hadis dari Abu Hurairoh sebagai berikut:
ت نك المرأة : وعن أب ىري رة عن النطب صلى اهلل عليو وسلم قال ين تربت : لرب لمالا واسبها ولمالا ول ينها فاظ ر بذات ال عة . ي اا ب مت ط عليو م بقيطة السط
Artinya: Dari Abu Hurairoh r.a, dari Rasulullah SAW. beliau
bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal,
yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Maka nikahilah wanita yang taat beragama, niscaya
engkau akan bahagia.” Hadis Muttafaq „Alaihi dan
riwayat Imam Lima.41
Dari hadis-hadis tersebut Rasulullah SAW.
menekankan agar umatnya menikah, karena dengan menikah
ada banyak perbuatan maksiat yang bisa ditinggalkan serta dapat
menambah amalan-amalan yang tak dapat dilakukan kecuali
dengan menikah.
3. Ijma’
Ijma‟ tentang pernikahan adalah bahwa para fuqaha dan
umat Islam telah sepakat bahwa hukum asal nikah adalah mubah
sejak zaman nabi Muhammad SAW. sampai dengan hari akhir
untuk dirinya saja, tanpa memandang dari segi syahwatnya.
Padahal mahar adalah hak bagi seorang wanita yang akan
dinikahi dan bukan hak wali dari wanita itu.63
Para fuqaha telah sepakat bahwa nikah sighar itu
hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah. SAW sebagai
berikut:
ن هى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم عن : وعن ناف عن ابن عمر قال أن ي زوج الرطجل اب نتو على أن ي زوجو لخر اب نتو وليس : الل ار، والل ار ن هما ص ا مت ط عليو وات ط قا من وجو آخر على أن ت سي ر الل ار من . ب ي
كحلم ناف
Artinya: Dari Nafi‟ dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah
SAW. melarang nikah syihar. Nikah syihar adalah
seseorang menikahkan putrinya kepada orang lain
dengan syarat orang itu menikahkan putrinya
kepadanya, dan keduanya tidak memberikan mahar.
Hadis muttafaq „alaihi. Bukhari dan muslim dari jalan
periwayatan lain, sepakat bahwa penafsiran “syighar”
di atas adalah perkataan nafi‟.64
4. Poligami
Poligami adalah seorang laki-laki yang mempunyai istri
lebih dari seorang istri dan maksimal adalah mempunyai empat
istri. Poligami diperbolehkan oleh agama Islam, berdasarkan
firman Allah SWT dalam surat Al-Nisa ayat 3 sebagai berikut:
63
Ibid, h. 663. 64
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op.Cit. h. 250.
٣: ﴿النساء﴾ Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana
kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi; dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir
tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja,
atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”. 65
Poligamai juga diatur dalam PP nomor 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal
40-44 yaitu sebagai berikut:
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih
dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang
suami kawin lagi, ialah: bahwa istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri; bahwa istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; bahwa istri tidak dapat melahirkan
keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan
lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan
persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan
didepan sidang pengadilan.
65
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit. h. 77.
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan
memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami
yang ditanda tangani oleh bendahara tempat
bekerja; atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh
pengadilan;
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat
dalam bentuk yang ditetepkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada
pasal 40 dan 41, pengadilan harus memanggil dan
mendengar istri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya surat permohonan beserta lampiran-
lampirannya.
Pasal 43
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan
bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka
pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk
beristri lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
sebelum adanya izin pengadilan seperti dimaksud dalam pasal
43.
5. Poliandri
Poliandri merupakan kebalikan dari poligami. Poliandri
yaitu seorang wanita yang mempunyai lebih dari satu orang laki-
laki (suami), maka haram hukumnya menikah seperti ini karena
sama saja dengan pekerja seks komersial (PSK) yang setiap
harinya selalu berganti-ganti pasangan.
6. Isogami
Isogami adalah perkawinan yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bertempat
tinggal di wilayah yang sama, etnis dan kesukuannya sama.66
Isogami merupakan larangan yang ditujukan kepada laki-laki
maupun perempuan agar tidak menikah dengan seorang laki-laki
atau perempuan yang berbeda etnis dan suku.
7. Esogami
Esogami merupakan kebalikan dari isogami. Esogami
merupakan perkawinan yang dilakukan oleh seorang lak-laki
dengan seorang perempuan yang berbeda suku, etnis dan tempat
tinggalnya.
8. Nikah Sirri
Nikah sirri merupakan nikah yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa memberi
tahu dan meminta izin orang tuanya yang berhak menjadi wali.
Nikah sirri dilakukan dengan syarat-syarat yang benar menurut
hukum Islam. Hanya saja dalam nikah sirri, pihak orang tua
tidak diberi tahu dan keduanya tidak meminta izin atau meminta
restu orang tua.
9. Kawin dibawah Tangan
Kawin dibawah tangan adalah perkawinan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak
melalui prosedur yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Perkawinan seperti ini menurut undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan, perkawinan dibawah tangan dianggap
belum pernah terjadi dan dapat dibatalkan. Namun, apabila
pernikahan dibawah tangan dilakukan dengan memenuhi syarat
dan rukunnya maka dapat langsung dilaporkan ke pegawai
pencatat nikah untuk segera dibuatkan akta nikahnya.
10. Homo seksual
Homo seksual adalah perkawinan yang dilakukan
sesama jenis, yaitu laki-laki dengan laki-laki. Pernikahan jenis
ini haram hukumnya dan pelakunya harus dihukum karena telah
melanggar syari‟at.
66
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, Op.Cit. h. 81.
11. Lesbian
Lesbian adalah perkawinan yang dilakukan sesama
jenis, seperti halnya homo seksual. Perbedaannya adalah jika
homo seksual pelakunya adalah laki-laki dengan laki-laki,
sedangkan lesbian pelakunya adalah perempuan dengan
perempuan. Lesbian hukumnya haram karena tidak sesuai
dengan hukum-hukum Allah.
Lesbian adalah berupa menggesekkan atau
menyentuhkan alat vital saja dan bukannya ejakulasi. Oleh
karena itu, pelakunya hanya diberi sangsi dan tidak dijatuhi
ḫadd (hukuman yang telah ditentukan) sebagaimana juga kalau
lelaki menggesekkan alat vitalnya kepada perempuan dengan
tidak memasukkannya ke dalam farji.67
12. Nikah wisata
Nikah Wisata adalah merupakan bentuk pernikahan
yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan,
namun pernikahan tersebut diniatkan dan/atau disepakati untuk
sementara, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan
selama dalam wisata/perjalanan.68
Nikah wisata merupakan
bagian dari nikah mut‟ah karena dalam akadnya ditentukan
berapa lama akan menjalin hubungan sebagai suami-istri.
Pembahasan nikah wisata akan dirinci dan dijelaskan lebih
mendalam dalam bahasan bab III dalam skripsi ini.
G. Tujuan Pernikahan
Pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan
seorang perempuan dengan memenuhi rukun dan syarat
pernikahan, memiliki tujuan yang sangat mulia. Islam adalah
agama rahmat bagi semesta alam, dalam Islam pernikahan atau
perkawinan adalah sunnatullah karena setiap makhluk hidup
membutuhkan lawan jenis untuk menyalurkan kebutuhan
biologisnya. Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga
67
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 9, Terjemahan Moh. Nabhan Husein
(Bandung: PT Alma‟rif) h. 139. 68
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fawa MUI Bidang Sosial
Dan Budaya (Emir, 2015), h. 355.
sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta
meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di dunia ini,
juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan
ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga
dan masyarakat.69
Oleh karena itu, agama Islam mendorong
umatnya untuk tidak hidup dalam keadaan tabattul atau
mebujang, karena hidup membujang tidak diajarkan dalam
agama Islam. Islam memerintahkan umatnya untuk menyalurkan
kebutuhan biologisnya dengan cara-cara yang telah ditentukan,
yaitu dengan cara menikah.
Pernikahan mempunyai tujuan yang sangat mulia,
berikut akan penulis jelaskan dengan rinci tentang tujuan dari
pernikahan:
1. Berupaya meningkatkan kualitas iman dan memenuhi
panggilan agama, ibadah, amal shalih dan akhlaqul
karimah.
2. Berusaha mewujudkan ikatan lahir dan batin yang kokoh
antara suami dan istri.
3. Berupaya memperoleh keturunan dan mendidik putra-
putri menjadi anak-anak yang shalih-shalihah.
4. Memotivasi diri dan berjuang sungguh-sungguh untuk
memperoleh rizki atau harta yang halal agar memperoleh
berkah.
5. Berusaha melaksanakan kewajiban dan memperoleh hak
serta bertanggung jawah secara sungguh-sungguh.
6. Berusaha mengantarkan seluruh penghuni rumah tangga
untuk menuntut/menambah ilmu sehingga berilmu
pengetahuan dan berwawasan.
7. Berusaha mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.
8. Berusaha mewujudkan generasi yang berkualitas/mampu
sehingga dapat berguna bagi agamanya, dirinya,
keluarganya dan masyarakat/negara.70
69
Mardani, Op.Cit. h. 11. 70
Zakiyah Darajat, et.al. Ilmu Fikih, Jilid 3 (Departemen Agama RI,
Jakarta, 1985), h. 64.
H. Hikmah Pernikahan
Allah menjadikan setiap makhluk hidup yang ada di
bumi ini dengan berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-
laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan dan betina,
begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan. Hikmah diciptakan
manusia berpasang-pasangan agar manusia dapat hidup penuh
dengan rasa cinta dan kasih sayang kepada pasangannya. Untuk
itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh (mîtsâqan
ghâlizhan) dengan cara melaksanakan ijab qabul dalam
pernikahan.
Bila akad nikah telah dilangsungkan, maka mereka
telah berjanji dan bersedia akan membangun suatu rumah tangga
yang damai dan teratur, akan sehidup semati dalam ikatan suci
pernikahan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan dan
menganjurkan umatnya untuk melaksanakan pernikahan karena
dengan nikah akan berpengaruh baik pada diri sendiri, keluarga,
masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapaun hikmah
pernikahan adalah:
1. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai
untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks, dengan
kawin badan jadi segar, jiwa matang, mata terpelihara
dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati
barang yang berharga.
2. Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi
mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup
manusia, serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat
diperhatikan sekali.
3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling
melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan
akan pula tumbuh perasaan-perasaan ramah, cinta dan
sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang
menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung
anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-
sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan
seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan
tanggung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia
akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang
dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak
produksi. Juga dapat mendorong usaha mengeksploitasi
kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi
kepentingan hidup manusia.
5. Pembagian tugas, di mana yang satu mengurusi rumah
tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai
dengan batas-batas tanggung jawab antara suami-istri
dalam menangani tugas-tugasnya.
6. Pernikahan dapat membuahkan, diantaranya: tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta
antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat,
yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan
ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang
lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat
lagi bahagia.71
71
Tihami, Sohari Sahrani, Op.Cit. h. 19-20.
BAB III
PENYAJIAN DATA
A. Pengertian Nikah Wisata
Pernikahan wisata telah menjadi sebuah fenomena yang
serius di beberapa negara Islam pada akhir-akhir ini termasuk
negara Indonesia yang disebabkan oleh perubahan-perubahan
yang terjadi dalam kehidupan, asal usul pernikahan ini telah ada
pada orang-orang terdahulu, mereka menamai dengan
pernikahan misyar, namun pada masa saat ini pernikahan
tersebut lebih dikenal dengan istilah nikah wisata. Nikah Wisata
adalah merupakan bentuk pernikahan yang dilakukan dengan
memenuhi rukun dan syarat pernikahan, namun pernikahan
tersebut diniatkan dan/atau disepakati untuk sementara, semata-
mata hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam
wisata/perjalanan.72
Pada hakikatnya pernikahan wisata
dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan akad yang benar,
mencukupi rukun dan syaratnya, hanya saja istri harus mengalah
dari beberapa hak-haknya, seperti mendapatkan tempat tinggal,
atau tempat yang disiapkan oleh suami, dan dari hak nafkah
yaitu pembagian yang adil antara dia dengan istri lainnya. Dia
harus rela tinggal di rumah dengan orang tuanya.73
Bentuk dan cara pernikahan wisata selain mirip dengan
nikah mut‟ah juga hampir sama seperti nikah misyar.
Pernikahan misyar adalah pernikahan yang dimana pihak
perempuan mendapatkan sebagian haknya saja yang diatur pada
saat akad nikah, seperti tidak mendapatkan tempat tinggal,
nafkah dan kelangsungan untuk tinggal bersamanya. Selanjutnya
hal ini tentu menimbulkan ketidak adilan antara para istri.
Biasanya pernikahan seperti ini dilakukan oleh laki-laki yang
sedang musafir dan perempuan yang sudah tua, namun belum
menikah, sedangkan ia sudah putus harapan untuk
72
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fawa MUI Bidang Sosial Dan
رخطص رسول اهلل صلى اهلل عليو : عن ياس بن سلمة عن أبيو قال عة ثحلثا . ثط ن هى عن ها– أي ثحلثة أيطام – وسلم عام أوطاس ف المت
رواه مسلم
Dari Iyas ibn Salamah dari ayahnya ia berkata:
“Rasulullah SAW memberikan keringanan (rukhshah)
pada Tahun Authas untuk melakukan mut‟ah selama tiga
hari kemudian melarang praktek tersebut.” (HR.
Muslim)
غذوت على رسول اهلل : عن الرطبي بن سب رة الهن عن أبو قال صلى اهلل عليو وسلم فإذا ىو قائم ب ي الركن واملقام مسن اظهره ل الكعبة ي قول يا أي ها النطاس ن أمرتكم بال ستمتاع من ى ه النساء، أل و نط اهلل ق رمها عليكم ل ي وم القيامة، فمن كان عن ه من هنط
لو، لتأخذ وا طا لت يتموىنط سيأ رواه مسلم. سيء ف لي ل سبي
Dari Rabi‟ ibn Sabrah al-Juhaini dari ayahnya ia
berkata: “Saya pergi hendak menghadap Rasulullah
SAW: namun beliau sedang berdiri antara rukun
(yamani) dan maqam (Ibrahim) dengan menyandarkan
punggungnya ke Ka‟bah seraya bersabda: Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku memerintahkan
kalian untuk istimta‟ dari para perempuan ini.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT sungguh telah
mengharamkan atas kalian hingga hari kiamat. Barang
siapa yang masih memiliki perempuan-perempuan
tersebut hendaknya melepasnya. Jangan ambil sesuatu
pun dari apa yang telah kalian bayarkan kepada
mereka”. (HR. Muslim)
عن علي كرطم اهلل وجهو أنط رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم هنى عن نسيطة عة النساء وعن أكل اوم اامر اا مت عليو. مت
Dari Ali karramallahu wajhah bahwa Rasulullah
SAW melarang untuk melakukan nikah mut‟ah dan untuk
Ulama sepakat (ijma‟) mengatakan bahwa hukum nikah
mut‟ah adalah haram untuk selama-lamanya,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Qadir karya
Ibn al-Humam 3/246-247, dan kitab-kitab fikih lainnya.
4) Atsar Sahabat:
ما بال أقوام ينكحون ىذه املتعة وق هنى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم عنها، ل أج رجحل نكها ل رمجتو بااجارة روي أنط عمر قال
عة ثحلثا، ثط : نط رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم أذن لنا ف المت . رطمها، واهلل ل أعلم أ ا ي تمتط وىو صن الط رمجتو بااجارة
أخرجو ابن ماجو بإسناد صحي
Diriwayatkan bahwa „Umar ibn Khattahab suatu
saat naik mimbar, kemudian membaca hamdalah serta
memuji Allah lantas berkata: “Bagaimana urusan
sekelompok orang yang melakukan nikah mut‟ah
sementara Rasulullah SAW telah melarangnya. Saya
tidak menemui satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah
kecuali saya rajam dengan batu.” Diriwatkan bahwa
„Umar ibn Khatthab berkata: “Sesungguhnya Rasulullah
SAW memberi izin mut‟ah selama tiga hari kemudian
mengharamkannya. Demi Allah, saya tidak mengetahui
satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah sementara dia
seorang yang telah pernah menikah kecuali saya rajam
dengan batu.” (H. Ibn Majah dengan sanad yang
shahih)
5) Pendapat, saran, dan masukan peserta Munas VIII MUI
tanggal 27 Juli 2010.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT,
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG NIKAH WISATA
Ketentuan Umum:
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan nikah wisata adalah
bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan
syarat pernikahan, namun pernikahan tersebut diniatkan
dan/atau disepakati untuk sementara, semata-mata hanya untuk
memenuhi kebutuhan selama dalam wisata/perjalanan.
Ketentuan Hukum:
Nikah wisata sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum
hukumnya haram, karena merupakan nikah mu‟aqqat (nikah
sementara) yang merupakan salah satu bentuk nikah mut‟ah.
Fatwa tersebut sangat jelas bahwa yang dimaksud
dengan nikah wisata adalah pernikahan yang dilakukan semata-
mata hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam
wisata/perjalan. Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia menegaskan bahwa nikah wisata hukumnya
adalah haram.
BAB IV
ANALISIS DATA
Setelah penulis menguraikan setiap bab yang memiliki
hubungan dengan judul skripsi penulis, maka penulis akan
menyampaikan kajian analisis data pada bab IV, penyampaian
analisis data difokuskan pada permasalahan yang telah
dirumuskan pada bab pertama. Dalam hal ini penulis akan
menganalisa terhadap praktik-praktik nikah wisata dan
menganalisa terhadap hukum nikah wisata.
A. Praktik Nikah Wisata
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan
bahwa praktik-praktik tentang nikah wisata merupakan praktik
nikah yang tidak jauh berbeda dengan praktik nikah mut‟ah
yang pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. masih
hidup, seperti adanya masa (batasan waktu) dalam pernikahan.
Praktik nikah wisata sering terjadi di daerah puncak Bogor,
umumnya nikah wisata dilakukan oleh orang muslim dari Timur
Tengah yang sedang berwisata ke kawasan puncak tanpa
membawa pasangannya, oleh karena itu turis muslim tersebut
membutuhkan pasangan untuk melampiaskan nafsu syahwatnya
selama dalam wisata dan tidak ada keinginan untuk membentuk
suatu rumah tangga yang kekal, sakinah, mawaddah dan rahmah
yang di ridhai Allah sebagaimana yang diperintahkan oleh
agama.
Dalam keadaan tidak membawa pasangannya selama
berwisata, turis muslim tersebut mencoba mengakali pernikahan
dengan cara menikahi perempuan pribumi untuk dijadikan istri
dengan tujuan agar tidak melakukan perbuatan zina serta dengan
tujuan dapat menyalurkan kebutuhan biologis selama dalam
berwisata.
Pernikahan yang dilakukan antara turis muslim dengan
muslimah pribumi tersebut pada umumnya tidak dicatatkan di
Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada di wilayah tersebut.
Tidak dicatatkannya sebuah pernikahan di Kantor Urusan
Agama akan merugikan pihak perempuan, karena tidak
mempunyai kekuatan hukum apabila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Pernikahan yang dilakukan umumnya tidak bertahan
lama yaitu ada yang berumur 2 bulan, 1 bulan, 2 minggu bahkan
3 hari, tergantung akad (perjanjian) antara laki-laki dan
perempuan yang di lakukan di awal sebelum pernikahan.
Setelah habis masa liburan/berwisata maka turis
muslim yang telah melakukan pernikahan dengan perempuan
pribumi akan meninggalkan lokasi wisata untuk kembali pulang
ke negara asalnya, kembalinya turis tersebut ke negara asal juga
akan meninggalkan istri yang telah dinikahi. Kepulangannya
jelas merugikan pihak perempuan (istri) karena perempuan
tersebut harus menanggung segala dampak/resiko, dampak dari
pernikahan wisata adalah apabila dari hubungan tersebut telah
dikaruniai seorang anak maka istri harus menanggung resiko
untuk memenuhi segala kebutuhan anak dari hasil pernikahan
tersebut. Sebagai seorang istri yang seharusnya mendapatkan
nafkah dari suami untuk kebutuhan dirinya dan anak-anaknya
malah justru harus menjadi orang tua tunggal (single parent)
karena suami telah pulang ke negara asalnya dan tidak pernah
menghubunginya lagi.
Selain itu, pernikahan seperti ini berdampak pada
perwalian anak yang telah lahir dari nikah wisata, anak tidak
bisa mendapatkan hak-haknya dari wali yang telah pulang ke
negara asal, perwalian anak akan berpindah ke pihak ibu.
Hukum Islam telah mengatur praktik-praktik pernikahan
secara lengkap dan terperinci, hal ini bisa di lihat dalam Al-
Qur‟an maupun Hadis Nabi. Salah satunya dalam Al-Qur‟an
surat Al-Nisa ayat 21 yang berbunyi:
Artinya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama
lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-
istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat
(ikatan pernikahan) dari kamu”.
Ayat tersebut terdapat kata mîtsâqan ghalîzdan yang
mempunyai makna perjanjian yang kuat antara pasangan suami-
istri setelah mereka melangsungkan akad pernikahan.
Kandungan ayat tersebut juga termuat dalam undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 yang
menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 undang-undang nomor 1
tahun 1974 tersebut sangat selaras dengan ayat 21 surat Al-Nisa,
kedua dasar hukum tersebut memerintahkan agar setiap insan
manusia yang melaksanakan pernikahan hendaklah menjaga
keharmonisan dalam berumah tangga supaya rumah tangga
tersebut kekal hingga kematian yang memisahkan.
Selain surat Al-Nisa ayat 21, anjuran untuk membangun
rumah tangga yang kekal dan langgeng juga tersirat dalam Hadis
Nabi SAW. sebagai berikut:
هما قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليو : عن ابن عمر رضي اهلل عن رواه أبو داود وابن ماجو . وسلم أب ااحلل عن اهلل اللطحل
وصححو اااكم ورج أبو اا رسالو Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu „Anhuma
dia berkata: bahwa Rasul SAW. bersabda, “Perkara
halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq.” H.R.
Abu Daud dan Ibnu Majah, disahkan oleh Hakim dan
ditarjih oleh Abu Hatim.
Dalam hadis tersebut terkandung makna bahwa
perceraian merupakan suatu perkara yang dibolehkan serta
dihalalkan dalam ajaran Islam, namun perceraian yang
dilakukan oleh pasangan suami-istri adalah perbuatan yang
dibenci oleh Allah SWT. oleh karena itu, sebuah pernikahan
hendaklah dijaga dengan sebaik-baiknya agar masalah yang
datang bisa diselesaikan dengan cara-cara yang baik dan jangan
sampai pernikahan yang dibangun antara suami-istri dengan
tujuan untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan
rahmah justru mendatangkan kebencian dari Allah yaitu karena
terjadi perceraian.
B. Hukum Nikah Wisata
Melihat maraknya fenomena di tengah mayarakat yang
melakukan nikah wisata yaitu pernikahan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi serta tidak dicatatkan pada Kantor Urusan
Agama (KUA) setempat yang banyak dilakukan oleh pasangan
beda negara. Dengan adanya aktivitas di tengah masyarakat
tersebut menimbulkan keraguan dan keresahan tentang
bagaimana hukumnya serta akibat hukum dari pernikahan
wisata. Oleh sebab itu dengan berbagai alasan dan dasar-dasar
hukum yang telah dijelaskan sebelumnya maka Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memandang pentingnya untuk mengeluarkan
fatwa tentang nikah wisata supaya tidak menimbulkan keraguan
dan permasalahan dikalangan masyarakat serta mendapatkan
kepastian hukum mengenai nikah wisata
Mengenai Fatwa nikah wisata yang dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2010, penulis berpendapat
bahwa fatwa tersebut sesuai dan sejalan dengan hukum Islam.
Karena pernikahan wisata mirip sekali dengan pernikahan yang
pernah ada pada masa Rasulullah SAW. yaitu yang dikenal
dengan nikah mut‟ah. Pernikahan mut‟ah sendiri pada masa
Rasulullah pernah terjadi dan diperbolehkan yaitu pada saat
perang Authas, namun pernikhan mut‟ah kemudian dilarang
oleh Rasulullah. Pada saat ini perkembangan zaman dan
teknologi semakin canggih yaitu dibuktikan dengan mudahnya
manusia untuk berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain,
hal ini akan memunculkan berbagai problematika baru yang
timbul dari dampak perkembangan zaman tersebut, salah
satunya problem nikah wisata.
Fatwa tentang nikah wisata yang dikeluarkan oleh MUI
pada dasarnya sangatlah penting dan penulis mendukungnya.
Akan tetapi penulis akan menganalisa fatwa yang di keluarkan
oleh Majelis Ulama Indonesi pada tahun 2010 tentang nikah
wisata. Dalam hal ini penulis akan menganalisa dari hadis yang
dijadikan landasan hukum untuk menentukan fatwa tersebut,
hadis yang akan penulis analisa adalah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim sebagai berikut:
غذوت على رسول اهلل صلى : عن الربي بن سبة الهن عن أبو قال اهلل عليو وسلم فإذا ىو قائم بي الركن واملقام مسن اظهره ل الكعبة يقول يا أيها الناس ن أمرتكم بال ستمتاع من ى ه النساء، أل و ن اهلل ق رمها عليكم ل يوم القيامة، فمن كان عن ه منهن سيء
رواه مسلم. فلي ل سبيلو، لتأخذ وا ا لتيتموىن سيأ
Dari Rabi‟ ibn Sabrah al-Juhaini dari ayahnya ia
berkata: “Saya pergi hendak menghadap Rasulullah
SAW: namun beliau sedang berdiri antara rukun
(yamani) dan maqam (Ibrahim) dengan menyandarkan
punggungnya ke Ka‟bah seraya bersabda: Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku memerintahkan
kalian untuk istimta‟ dari para perempuan ini.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT sungguh telah
mengharamkan atas kalian hingga hari kiamat. Barang
siapa yang masih memiliki perempuan-perempuan
tersebut hendaknya melepasnya. Jangan ambil sesuatu
pun dari apa yang telah kalian bayarkan kepada
mereka”. (HR. Muslim)
Hadis tersebut setelah dicari dalam maktabah syamilah
hasilnya tidak ada, tetapi dalam maktabah syamilah terdapat
hadis yang redaksinya mirip dengan hadis tersebut yang sama-
sama di riwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut:
عن الرطبي بن سب رة الهن انط اباه ثو انطو كان م رسول اهلل صلطى اهلل عليو وسلطم ف قال يااي ها النطاس ان ق كنت اذنت لكم ف
ستمتاع من النساء وانط اهلل ق رم ذلك ال ي وم القيامة فمن كان اللو ول تأخ وا طا ت يتمو ىنط شيئاآعن ه من هنط شيء ف لي ل سبي
Artinya: Dari Rabi‟ ibn Sabrah al-Juhaini bahwasannya
ayahnya mengatakan dia bersama Rasul SAW. maka
beliau pun bersabda wahai manusia sesungguhnya aku
telah membolehkan bagi kalian nikah dan sesungguhnya
Allah telah mengharamkan sampai hari kiamat. Maka
barang siapa yang masih memiliki wanita yang dinikahi
secara mut‟ah maka hendaknya membebaskan dan
janganlah kalian mengambil sesuatu yang telah
diberikan kepada mereka. (HR. Muslim)
Selain hadis riwayat Imam Muslim yang penulis analisa,
penulis juga menganalisa atsar sahabat yang dijadikan landasan
dalam menentukan hukum nikah wisata. Atsar yang digunakan
dalam fatwa tersebut sebagai berikut:
ما بال أقوام ينكحون ىذه املتعة وق هنى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم عنها، ل أج رجحل نكها ل رمجتو بااجارة روي أن عمر قال
ن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم أذن لنا ف املتعة ثحلثا، ث : . رمها، واهلل ل أعلم أ ا يتمت وىو صن ال رمجتو بااجارة
أخرجو ابن ماجو بإسناد صحي
Diriwayatkan bahwa „Umar ibn Khattahab suatu
saat naik mimbar, kemudian membaca hamdalah serta
memuji Allah lantas berkata: “Bagaimana urusan
sekelompok orang yang melakukan nikah mut‟ah
sementara Rasulullah SAW telah melarangnya. Saya
tidak menemui satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah
kecuali saya rajam dengan batu.” Diriwatkan bahwa
„Umar ibn Khatthab berkata: “Sesungguhnya Rasulullah
SAW memberi izin mut‟ah selama tiga hari kemudian
mengharamkannya. Demi Allah, saya tidak mengetahui
satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah sementara dia
seorang yang telah pernah menikah kecuali saya rajam
dengan batu.” (H.R Ibnu Majah dengan sanad yang
shahih)
Atsar sahabat tersebut setelah dicari dalam maktabah
syamilah hasilnya tidak ada namun dalam maktabah syamilah
ada yang redaksinya sama dengan yang ada dalam fatwa
tersebut yaitu sebagai berikut:
عن ابن عمر قال لمطا ول عمر بن اللطاا خلاا النطاس ف قال نط رسول اهلل عة ثحلثا ثط رطمها واهلل ل اعلم صلطى اهلل عليو وسلطم اذن لنا ف المت
ا ا ي تمتط وىو صن الط رمجتو بااجارة الط ان يأتين بأرب عة يله ون أنط رسول اهلل ا لطها ب ع ذ رطمها
Artinya: Dari Ibnu Umar dia berkata ketika Umar bin Khattab
menjadi Khalifah ia berpidato di hadapan manusia dan
berkata: sesungguhnya Rasul SAW telah membolehkan
untuk kita nikah mut‟ah 3 hari kemudian
mengharamkannya, demi Allah tidak aku ketahui ada
seseorang melakukan praktik nikah mut‟ah dan dia
sudah berkeluarga melainkan aku rajam dia dengan
batu kecuali apabila dia mendatangkan kepadaku empat
orang yang bersaksi, bahwasannya Rasul
menghalalkannya setelah mengharamkannya.
Islam sebagai agama rahmatallil „alamin senantiasa
mengajurkan umatnya untuk selalu meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah SWT. yaitu dengan cara mengerjakan semua
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Perintah dan larangan
tersebut merupakan aturan yang di buat oleh Allah SWT. untuk
kebaikan manusia. Allah SWT. berfirman dalam al-Qur‟an
surat al-Mu‟minun ayat 5-7:
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui
batas”
Ayat tersebut masih berkaitan erat dengan ayat yang
sebelumnya. Kita sebagai umat muslim dianggap beruntung
apabila berhasil menjaga kemaluannya dari hal-hal yang
dilarang seperti berzina. Dalam ayat tersebut diperintahkan
untuk menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istrinya atau
budak yang dimilikinya. Oleh karena itu diharamkan dan
dilarang untuk berhubungan seksual selain dengan istri atau
budak yang dimilikinya.
Selain itu penulis dalam hal ini juga akan menganalisa
hukum nikah wisata dari sudut pandang maqâshid al-syarîʻah
(tujuan hukum Islam). Maqâsid al-syarîʻah adalah apa yang
dimaksud oleh Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju
Allah dalam menetapkan hukum atau apa yang ingin dicapai
oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum.
Kebutuhan tingkat primer adalah sesuatu yang harus
ada untuk keberadaan manusia atau tidak sempurna kehidupan
manusia tanpa terpenuhinya kebutuhan primer tersebut.
Kebutuhan yang bersifat primer ini dalam Ushul Fiqh disebut
tingkat dharȗrî ( ضرورى) . Ada lima hal yang harus ada pada
manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia.
Secara berurutan , peringkatnya adalah: agama, jiwa, akal, harta
dan keturunan (harga diri). Kelima hal ini disebut “dharȗriyyât
yang lima”.
Kelima dharȗriyyât tersebut adalah hal yang mutlak
harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk
melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya.
Sebaliknya Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat
menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima
dharȗriyyât yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat
mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah
baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala
perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur
pokok itu adalah buruk dan karenanya harus dijauhi.
Agar kelangsungan hidup manusia terus berlanjut dan
tidak berhenti, diperlukan pernikahan agar mempunyai
keturunan yang sah dan jelas nasabnya. Untuk itu, Allah SWT.
melengkapi mahkluk hidup termasuk manusia dengan nafsu
syahwat yang mendorong melakukan hubungan badan
(senggama) agar mempunyai keturunan.
Segala usaha yang mengarah pada penghapusan atau
perusakan keturunan yang sah adalah perbuatan yang buruk.
Oleh karena itu, Nabi sangat melarang sikap tabattul atau
membujang karena mengarah pada peniadaan keturunan. Islam
juga melarang zina yang dinilai sebagai perbuatan keji dan dapat
merusak tatanan sosial, mengaburkan nasab keturunan serta
akan mendatangkan bencana.
Jadi, secara umum fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2010 tentang nikah wisata
adalah sesui dengan prinsip maqâsid al-syarî‟ah karena fatwa
tersebut telah mengharamkan adanya nikah wisata yang dapat
menghilangkan asal-susul atau nasab dari anak yang dihasilkan
dari penikahan wisata.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Praktik nikah wisata adalah praktik pernikahan yang
terdapat akad serah terimah (ijab dan qabul), akan tetapi
ijab qabul yang dilakukan pada pernikahan tersebut
berbeda dengan nikah yang dianjurkan dalam agama,
jika dalam nikah yang dianjurkan oleh agama proses ijab
dan qabulnya antara wali dari mempelai perempuan
kepada mempelai laki-laki, namun ijab dan qabul dalam
nikah wisata hanya dilakukan oleh calon mempelai
perempuan dengan mempelai laki-laki sehingga lafadz
nikahnya pun berbeda dan yang membedakan nikah
wisata dengan dengan pernikahan pada umumnya yaitu
dalam nikah wisata terdapat batasan usia pernikahan
sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak di waktu
akad.
2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor/02/Munas-
VIII/MUI/2010 yang menyatakan nikah wisata
merupakan nikah sementara (nikâh mu‟aqqat) yang
merupakan salah satu bentuk nikah mut‟ah dan
hukumnya adalah haram. Fatwa MUI tentang nikah
wisata merupakan fatwa yang dikeluarkan untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa
nikah wisata adalah pernikahan yang hukumnya haram,
fatwa tersebut sesuai dengan kaidah hukum Islam yaitu
maqâshid al-syarîʻah (tujuan hukum Islam) karena fatwa
tentang nikah wisata merupakan salah satu upaya agar
tidak menghilangkan nasab seorang anak. Fatwa ini telah
sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
B. Saran
Nikah wisata mempunyai dampak yang sangat negatif bagi
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, oleh karena itu penulis
memiliki saran-saran yang berkaitan dengan nikah wisata
sebagai berikut:
1. Pemerintah hendaknya menghentikan dan melarang
dengan keras bisnis praktik nikah wisata, dengan cara
menghukum pelaku nikah wisata baik laki-laki maupun
perempuan yang melakukan nikah wisata.
2. Bagi masyarakat agar segera melapor kepada pihak
berwajib apabila melihat praktik-praktik nikah wisata
yang ada di sekitar karena dapat merusak moral serta
generasi penerus bangsa.
3. Bagi para pelaku nikah wisata hendaknya segera
bertaubat dengan memohon ampunan kepada Allah
Ta‟ala. serta meninggalkan nikah wisata karena dapat
menimbulkan penyakit HIV/AIDS karena nikah wisata
tidak jauh berbeda dengan praktik prostitusi.
DAFTAR PUSTAKA
„Abdul „Azhim Bin Abdul Qawi Xakiyuddin Al Mundziri,
Mukhtashar Shahih Muslim, Terjemahan Ahmad
Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 1421 H/ 2001 M.
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed
Hawwas, Fiqh Munakahat, Jakarta: Amzah, 2011.
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cetakan III, Jakarta:
Prenanda Media Group, 2008.
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, 2004.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
CV Akademika Pressindo, 2001.
Ahmad anwar, Prinsip-prinsip Metodologi Research,
Yogyakarta: Sumbangsih, 1974.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Pers, 2003.
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, Cetakan VII,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2013.
Perkawinan Dalam Hukum Islam dan
Undang-Undang, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Departemen Agama RI Al-Hikmah Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
Cetakan XX, Bandung: Diponegoro.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ensiklopedia Islam 3, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
رخص رسول اهلل صلى اهلل عليو : عن ياس بن سلمة عن أبيو قال . ث هنى عنها– أي ثحلثة أيام – وسلم عام أوطاس ف املتعة ثحلثا
رواه مسلمDari Iyas ibn Salamah dari ayahnya ia berkata:
“Rasulullah SAW memberikan keringanan (rukhshah)
pada Tahun Authas untuk melakukan mut‟ah selama tiga
hari kemudian melarang praktek tersebut.” (HR.
Muslim)
غذوت على رسول اهلل صلى : عن الربي بن سبة الهن عن أبو قال اهلل عليو وسلم فإذا ىو قائم بي الركن واملقام مسن اظهره ل الكعبة يقول يا أيها الناس ن أمرتكم بال ستمتاع من ى ه النساء، أل و ن اهلل ق رمها عليكم ل يوم القيامة، فمن كان عن ه منهن سيء
رواه مسلم. فلي ل سبيلو، لتأخذ وا ا لتيتموىن سيأ Dari Rabi‟ ibn Sabrah al-Juhaini dari ayahnya ia
berkata: “Saya pergi hendak menghadap Rasulullah
SAW: namun beliau sedang berdiri antara rukun
(yamani) dan maqam (Ibrahim) dengan menyandarkan
punggungnya ke Ka‟bah seraya bersabda: Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku memerintahkan
kalian untuk istimta‟ dari para perempuan ini.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT sungguh telah
mengharamkan atas kalian hingga hari kiamat. Barang
siapa yang masih memiliki perempuan-perempuan
tersebut hendaknya melepasnya. Jangan ambil sesuatu
pun dari apa yang telah kalian bayarkan kepada
mereka”. (HR. Muslim)
عن علي كرم اهلل وجهو أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم هنى عن
مت عليو. متعة النساء وعن أكل اوم اامر االساء Dari Ali karramallahu wajhah bahwa Rasulullah
SAW melarang untuk melakukan nikah mut’ah dan untuk memakan daging keledai piaraan”. (Muttafaq ‘Alaihi)
8) Ijma‟
Ulama sepakat (ijma‟) mengatakan bahwa hukum nikah
mut‟ah adalah haram untuk selama-lamanya,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Qadir karya
Ibn al-Humam 3/246-247, dan kitab-kitab fikih lainnya.
9) Atsar Sahabat:
ما بال أقوام ينكحون ىذه املتعة وق هنى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم عنها، ل أج رجحل نكها ل رمجتو بااجارة روي أن عمر قال
ن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم أذن لنا ف املتعة ثحلثا، ث : . رمها، واهلل ل أعلم أ ا يتمت وىو صن ال رمجتو بااجارة
أخرجو ابن ماجو بإسناد صحي
Diriwayatkan bahwa „Umar ibn Khattahab suatu
saat naik mimbar, kemudian membaca hamdalah serta
memuji Allah lantas berkata: “Bagaimana urusan
sekelompok orang yang melakukan nikah mut‟ah
sementara Rasulullah SAW telah melarangnya. Saya
tidak menemui satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah
kecuali saya rajam dengan batu.” Diriwatkan bahwa
„Umar ibn Khatthab berkata: “Sesungguhnya Rasulullah
SAW memberi izin mut‟ah selama tiga hari kemudian
mengharamkannya. Demi Allah, saya tidak mengetahui
satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah sementara dia
seorang yang telah pernah menikah kecuali saya rajam
dengan batu.” (H. Ibn Majah dengan sanad yang
shahih)
10) Pendapat, saran, dan masukan peserta Munas VIII MUI
tanggal 27 Juli 2010.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT,
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG NIKAH WISATA
Ketentuan Umum:
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan nikah wisata adalah
bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun
dan syarat pernikahan, namun pernikahan tersebut diniatkan
dan/atau disepakati untuk sementara, semata-mata hanya
untuk memenuhi kebutuhan selama dalam wisata/perjalanan.
Ketentuan Hukum:
Nikah wisata sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum
hukumnya haram, karena merupakan nikah mu‟aqqat (nikah
sementara) yang merupakan salah satu bentuk nikah mut‟ah.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 13 Sya‟ban 1431 H
27 Juli 2010
KOMISI C BIDANG FATWA
MUSYAWARAH NASIONAL VIII MAJELIS ULAMA
INDONESIA
PIMPINAN SIDANG
Ketua sekretaris
ttd.
ttd.
Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA Dr. HM. Asrorun