PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG PENCABUTAN HAK POLITIK KORUPTOR (Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap Putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Sahuri NIM.1111045100001 KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016/1437 H
95
Embed
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG PENCABUTAN HAK ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42494/1/SAHURI... · tambahan tersebut pada kasus korupsi masih tergolong
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG PENCABUTAN
HAK POLITIK KORUPTOR
(Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap Putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Sahuri
NIM.1111045100001
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016/1437 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Mei 2016
Sahuri
ABSTRAK
SAHURI
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG PENCABUTAN
HAK POLITIK KORUPTOR ( Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014)
Untuk memberantas kejahatan korupsi harus diterapkan sanksi yang tegas
agar memberikan efek jera bagi koruptor, sekaligus diharapkan dapat meredam
siapapun untuk tidak melakukan korupsi. Salah satu terobosan terbaru dengan
menerapkan sanksi pidana tambahan pencabutan hak tertentu. Penjatuhan pidana
tambahan tersebut pada kasus korupsi masih tergolong baru. Penerapan pidana
merupakan sarana penal mencegah terjadinya tindak pidana. Penjatuhan pidana
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan nasional maupun internasional.
Penjatuhan pidana merupakan kewenangan hakim. Penjatuhan pidana tambahan
pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi tercantum dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014 adalah pelaksanaan dari sarana
penal. Penerapannya tidak dibatasi jangka waktu seperti diatur dalam Pasal 38
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Akibatnya terjadi kontroversi dengan
HAM sedangkan kejahatan yang dilakukan adalah tindak pidana korupsi. Hak
memilih dan dipilih adalah salah satu hak asasi manusia yang harus dijaga
keberlangsungannya. Masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana
pandangan hukum Islam dan HAM tentang pencabutan hak politik koruptor?; 2)
Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa hak
politik koruptor?; dan 3) Bagaimana Analisis hukum Islam dan HAM terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014? Metode penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang - undangan dan
kasus. Hasil penelitian ini adalah bahwa sanksi pidana tambahan berupa
pencabutan hak politik dalam putusan MA tersebut adalah sesuai menurut hukum
Islam, karena pencabutan hak politik dikategorikan kepada jarimah Ta’zir. yaitu
suatu bentuk hukuman atau sanksi yang tidak diatur dalam Alquran maupun
Hadist. Sedangkan dalam pandangan HAM pencabutan hak politik dalam putusan
MA No. 1195K/Pid.Sus/2014 berpotensi melanggar HAM, karena dalam
penjatuhannya Hakim tidak mengikuti aturan dalam undang-undang yang berlaku.
dalam putusan MA tersebut tidak dicantumkan batasannya pencabutan hak untuk
dipilih dalam jabatan publik terhadap LHI, sebenarnya sudah ada aturan dalam
pasal 38 KUHP tentang batasan-batasannya.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, serta berkat limpahan taufik dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai pelengkap syarat
guna mencapai gelar sarjana pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa risalah kebenaran, serta kepada
keluarganya, dan para Tabi’in dan kita semua sebagai umatnya ysng selalu
senantiasa mengaharpkan syafaatnya.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit
hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namu berkat kesungguhan dan
ketabahan hati serta kerja keras dan berdoa serta dorongan dan bantuan dari
berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung sehingga hal-hal yang
demikian rumit dapat penulis atasi dengan sebaik-baiknya. Untuk itu penulis
berterima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Seapudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag dan Bapak Nur Rohim, LLM,
sebagai ketua dan sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. Yang selalu
memberikan dorongan dan motifasi kepada penulis, dan selalu
ii
membatu serta meluangkan waktu untuk hal-hal yang berkaitan
dengan perkuliahan.
3. Bapak H. Qosim Arsyadani, MA. Selaku Dosen Penasihat Akademik
atas nasihat dan arahannya.
4. Bapak Dr. Asmawi, MA dan Dr. Burhanudin, SH, MH sebagai
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dengan penuh
kesabaran dan motivasi yang tinggi, serta telah meluangkan waktu,
tenaga, pikiran, dan perhatiannya selama membimbing penulis.
5. Dan kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya dengan
ikhlas kepada penulis, dan seluruh anggota staf perpustakaan yang
telah meminjamkan buku-buku guna menunjang kegiatan perkuliahan
hingga selesai.
6. Ayah M. Yata (Alm) dan Ibu Asminah (Alm), kakak-kakaku tercinta
( M. Yani, M. Yono, M. Yanto (Alm), Yunus, Yusman, Muhabat, M.
Sabin, dan Muhidin) dan kakak sepupuku Alkahfi S.Sy. serta sluruh
keluarga besarku yang telah memberikan do’a serta dukungan baik
moril maupun materil yang tak terhingga dalam menyelesaikan
skripsi ini.
7. Kepala Madrasah beserta Dewan Guru Tarbiyah Islamiyah Canduang
dan santriwan/i yang selalu memberi do’a dan dukungannya.
8. Teman-teman seperjuangan PI (Pidana Islam 2011) Iqbal Ramdhani,
M. Iqbal, Ahmad Rosyadi, Ahmad Syaifullah, Hadian Haris, Nurtri
Purwanto, Ahmad Suheri Harahap, dll. Terima kasih atas kesetiaan
iii
dalam pencarian ilmu di jurusan Pidana Islam, dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu- persatu.
9. Kepada teman kos-kosan kertamukti Muklis Adib, Nurdin Araniri,
Rudi Marhazi, Ramadhan Yahya terimakasih atas bantuannya dan
telah setia menemani ketika suka maupun duka.
10. Kepada teman-teman dari Organisasi PAMALAYU BABEL
terimakasih atas dorongan dan motivasinya.
Akhirnya kepada Allah SWT, jualah penulis serahkan, agar semua bantuan
dari berbagai pihak tersebut diberikan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Semoga dalam penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan
bagi para pembaca pada umumnya. Terima Kasih.
Jakarta, 10 Mei 2016
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERSTUJUAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ...........................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................7
D. Tinjauan Pusataka ...............................................................8
E. Metode Penelitian..............................................................11
F. Sistematika Penulisan .......................................................12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTAN
HAK POLITIK .....................................................................14
A. Pengertian Hak Politik ......................................................14
B. Perlindungan Hak Politik .................................................15
C. Bentuk-Bentuk Hak Politik ..............................................19
D. Pengaturan Pencabutan Hak Politik .................................23
BAB III HAK POLITIK MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HAM .............................................................................36
A. Hak Politik dalam Islam ...................................................36
B. Pengertian dan Perkembangan HAM di Indonesia ..........38
v
C. Hak Politik Sebagai Bagian dari HAM ............................47
BAB IV SANKSI PENCABUTAN HAK POLITIK (Kajian Hukum
Islam dan HAM Terhadap Putusan MA) ...........................53
A. Deskripsi Kasus Putusan MA No. 1195 K/Pid.Sus/2014 .53
B. Pertimbangan dan Putusan Hakim ....................................64
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan MA .............68
D. Analisa Pencabutan Hak Politik dalam Putusan MA
dari Perspektif HAM .........................................................71
BAB V PENUTUP ..............................................................................78
A. Kesimpulan .......................................................................78
B. Saran-Saran .......................................................................80
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi merupakan permasalahan besar yang merusak keberhasilan
pembangunan nasional. Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna meraih keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum dan negara secara spesifik. Badan Pengawas keuangan dan Pembangunan
(BPKP) mendifinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan
umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Korupsi menjadi penyebab ekonomi menjadi berbiaya tinggi, politik yang tidak
sehat, dan kemerosotan moral bangsa yang terus-menerus merosot.1
Secara umum, munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua motivasi.
Pertama motivasi intrinsik, yaitu adanya dorongan memperoleh kepuasan yang
ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Dalam hal ini, pelaku merasa mendapatkan
kepuasan dan kenyamanan tersendiri ketika berhasil melakukannya. Pada tahap
selanjutnya korupsi menjadi gaya hidup, kebiasaan, dan tradisi/budaya yang
lumrah. Kedua motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan korupsi dari luar diri pelaku
yang tidak menjadi bagian melekat dari pelaku itu sendiri. Motivasi kedua ini
misalnya melakukan korupsi karena alasan ekonomi, ambisi untuk mencapa suatu
jabatan tertentu, atau obsesi meningkatkan taraf hidup atau karier jabatan melalui
jalan pintas.2
1 A. Ubaedilah dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet 6, h. 167 2 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP (Korupsi, Money Laundring, &
Trafficking), (Jakarta: Raih Asa Sukses Penebar Swadaya Group, 2014) h. 7
2
Korupsi menjangkiti kalangan penegak hukum, mulai dari kepolisian,
hakim, kejaksaan, pengadilan sampai ke MA. Kalangan praktisi dan akademisi
hukum telah menuding lembaga-lembaga peradilan di Indonesia telah menjelma
menjadi mafia peradilan, yaitu persekongkolan diantara penegak hukum. Karena
lembaga-lembaga peradilan korup maka semakin sulit memberantas korupsi di
Indonesia. seringkali lembaga-lembaga peradilan itu justru dijadikan tempat
berlindung bagi para koruptor. Ditengah peradilan yang korup, para koruptor
banyak yang dibebaskan atau dihukum ringan.3
Masalah korupsi memang bukan semata-mata hanya terkait dengan hukum
saja, melainkan juga ada kaitannya dengan budi pekerti, moral, etika atau akhlak,
Seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi memang punya niatan atau
kesengajaan untuk berbuat tidak baik, tidak benar dan berbuat kejahatan.
Bersangkutan dengan sengaja memperkaya diri sendiri tanpa menghiraukan
apakah tindakannya merugikan orang lain atau tidak, tidak peduli negara
dirugikan ataukah rakyat akan menderita sebagai akibat dari perbuatannya.
Karenanya ada yang menyatakan bahwa koruptor termasuk orang yang akhlaknya
tidak terpuji. orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan keluarganya atau
kelompok dan golongannnya dengan mengorbankan hak-hak dan kepentingan
orang lain tanpa merasa berdosa dan bersalah.
Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
korupsi merupakan white collar crime (kejahatan orang berdasi) dengan perbuatan
yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga
dikatakan sebagai invisible crime (kejahatan tidak terlihat) yang sangat sulit
3Ardison Muhammad, KPK Serangan Balik Pemberantasan Korupsi, (Surabaya: Penerbit
Liris, 2009), h. 47
3
memperoleh prosedural pembuktiannya, karenanya seringkali memerlukan
“pendekatan sistem” terhadap pemberantasannya.4 Berbicara mengenai korupsi
tidak sekedar pemidanaan saja, tapi bagaimana kebijakan hukum pidana
menghadapi invisible crime tersebut.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi adalah UU Nomor 3 tahun 1971, UU Nomor 31 tahun 1999, dan UU
Nomor 2001. Delik korupsi sama dengan delik pidana, pada umumnya dilakukan
dengan berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit. Dengan demikian, banyak
perkara/delik korupsi lolos dari “jaringan” pembuktian sistem KUHAP. Oleh
karena itu, pembuktian Undang-Undang tindak pidana korupsi mencoba
menerapkan upaya hukum pembuktian terbalik yaitu pasal 37 ayat (1) sampai (5)
UU Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana diterapkan dalam sistem beracara pidana
di Malaysia.
Upaya pembentukan Undang-Undang ini, tidak tanggung-tanggung karena
baik dalam delik korupsi diterapkan dua sistem sekaligus, yakni sistem Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 dan sekaligus
dengan KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian dilakukan
dengan cara menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau
berimbang, dan yang menggunakan sistem pembuktian negatif menurut Undang-
Undang (negatife wettelijk overtuigging). Jadi, tidak menerapkan teori
4 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Diadit Media, 2009),
h. 87
4
pembuktian terbalik murni, (zuivere omskeering bewijstlast), tetapi teori
pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.5
Dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi itu
tidak terdapat peraturan tentang usaha preventif langsung tentang perbuatan
korupsi. Menurut prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, berpendapat bahwa peraturan
pidana seperti tercantum dalam undang-undang tersebut hanya merupakan
preventif secara tidak langsung, yaitu agar orang-orang lain tidak atau takut
melakukan perbuatan korupsi atau yang bersangkutan (terpidana) jera untuk
mengulangi perbuatan korupsinya dikemudian hari. Yang jelas, korupsinya sendiri
telah berlangsung dan tidak mungkin diperbaiki lagi.6
Mengenai pengenaan sanksi pidana yang tegas dan konsisten terhadap
pelaku tindak pidana korupsi ini berkaitan dengan faktor pengungkapan.
Pengenaan sanksi pidana dimaksudkan antara lain untuk mencegah agar terpidana
tidak melakukan korupsi lagi dan orang lain tidak melakukan perbuatan serupa.
Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat dari segenap komunitas hukum
terutama aparat penyelidik, penyidik, penuntutan dan hakim dalam memberantas
korupsi yang berujung pada penjatuhan sanksi pidana yang tepat, tegas dan
konsisten kepada koruptor.
Terpidana dalam negara hukum, pada dasarnya orang yang dinyatakan
bersalah oleh sistem hukum yang telah ditetapkan oleh undangundang. Meskipun
bersalah terpidana memiliki hak-hak dasar yang bersifat non derogable rights
tersebut. Dalam konsep bernegara hukum dan welfare state, negara dan
5 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata, Dan Korupsi di
Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses Penebar Swadaya Group, 2012), h.150 6 Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005), h. 11-12
5
aparaturnya memiliki kewajiban untuk menegakkan keberlanjutan hak terpidana.
Sehingga pada saat menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana harus
diperhatikan keberlanjutan hak-hak non derogable khususnya terhadap hak
kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani. Pembatasan terhadap hak ini harus
tegas dijelaskan secara limitatif, karena menyangkut keberlangsungan kehidupan
dan masa depan manusia meskipun ia menjadi terpidana.
Penerapan pidana kepada pelaku kejahatan berdasarkan Pasal 10 KUHP,
pada hakikatnya melukai HAM pelaku. Hukum pidana yang melindungi HAM
korban kejahatan, namun dalam menjalankan fungsinya akan melukai HAM pihak
pelaku. Secara ideal perkembangan hukum pidana berbanding lurus dengan
perkembangan HAM. Keselarasan ini mengindikasikan hukum pidana
menghargai HAM baik korban maupun pelaku, oleh karena itu penerapan pidana
harus mendasarkan pada aturan yang ada, guna menghindari perlukaan HAM
pihak-pihak yang terkait dengan kejahatan.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014, LHI dipidana
dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan
publik/hak politik. Putusan tersebut, tidak dibatasi waktu lamanya pencabutan.
Hal ini mengingat jenis pidana tambahan tersebut merupakan bagian dari hak
asasi manusia. Meskipun tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang
luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penanganannya dapat dilakukan secara
luar biasa pula.
Pada dasarnya hak asasi manusia dapat dibatasi berdasarkan undang-
undang, namun dalam pembatasan tersebut harus secara tegas disebutkan secara
limitatif waktu pencabutannya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi
6
manusia pihak terpidana. Jika ini tidak dilakukan maka dapat berakibat terjadinya
faktor kriminogen terhadap terpidana yang dilakukan oleh negara melalui alat
perlengkapannya. Akibatnya terjadi pelanggaran HAM oleh negara yaitu
terpidana menjadi korban pelanggaran yang dilakukan oleh hakim sebagai pejabat
negara melalui putusannya.
Dalam sistem pemidanaan, penjatuhan pidana terhadap terpidana
merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana baik secara khusus
maupun secara umum, serta memiliki efek deterence baik spesial maupun general.
Sehingga akibat dari pemidanaan yang dijatuhkan harus dapat bermanfaat baik
bagi terpidana maupun masyarakat. Penerapan pidana yang merupakan bagian
dari penegakan hukum pidana, dipengaruhi oleh profesionalitas penegak hukum.
Menurut Soekanto, terdapat lima faktor yang harus diperhatikan dalam penegakan
hukum, yaitu: 1) faktor hukum atau undang-undang; 2) faktor penegak hukum; 3)
faktor sarana atau fasilitas; 4) faktor masyarakat; dan 5) kebudayaan. Dengan
demikian penerapan pidana dapat diprediksikan keefektifannya di masa depan.7
Mendasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut di atas, maka
penulis berkeinginan menganalisis lebih mendalam (indept investigation) terhadap
penerapan pidana pencabutan hak politik tersebut diatas dalam bentuk skripsi
dengan judul “PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG
PENCABUTAN HAK POLITIK KORUPTOR (Kajian Hukum Islam dan
HAM terhadap Putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014)”
7 Soekanto, S., Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2008), h. 8
7
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis
pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan tentang
pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan dan perumusan masalah.
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini
penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai Perspektif Hukum Islam
dan HAM tentang Pencabutan Hak Politik Koruptor (Kajian Hukum Islam dan
HAM terhadap Putusan MA Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014)
Dari pembatasan masalah diatas dapat diuraikan beberapa masalah yang
dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:
1. Bagaimana pandangan hukum Islam dan HAM terhadap pencabutan hak
politik koruptor?
2. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan
berupa pencabutan hak politik koruptor?
3. Bagaimana analisis hukum islam dan HAM terhadap putusan MA Nomor:
1195 K/Pid.Sus/2014?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Secara umum studi bertujuan, pertama, menggambarkan secara umum
mengenai pencabutan hak politik koruptor dalam hukum Islam dan HAM;
kedua untuk menjelaskan pertimbangan hakim terhadap pencabutan hak
politik koruptor, sehingga dapat dijelaskan serta menguji kebenaran terhadap
putusan MA Nomor: 1195 K/Pid.Sus/2014. secara spesifik penelitian ini
bertujuan :
8
b. Untuk menggambarkan pandangan hukum Islam dan HAM terhadap
pencabutan hak politik koruptor.
c. Untuk menjelaskan pertimbangan hakim terhadap pencabutan hak politik
koruptor
d. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam dan HAM terhadap putusan MA
No. 1195 K/Pid.Sus/2014.
2. Manfaat Penelitian
Adapun signifikansi penelitian ini dikemukakan sebagai berikut: pertama, hasil
penelitian ini di harapkan punya nilai signifikan bagi masyarakat pembangunan
pengetahuan ilmiah di bidang hukum, baik hukum positif dan hukum Islam.
Kedua, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam
pengembangan konsep pemidanaan, khususnya dalam penjatuhan pidana
tambahan pencabutan hak politik atau hak untuk memilih dan dipilih.. Ketiga,
hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan tentang sanksi pencabutan
hak politik koruptor menurut hukum pidana Islam. Keempat, hasil penelitian ini
dapat dijadikan kontribusi pemikiran yang tepat upaya transformasi hukum pidana
Islam ke dalam hukum pidana positif. Kelima, hasil penelitian Ini diharapkan
dapat memberikan input kepada penegak hukum khususnya hakim dalam
menerapkan pidana tambahan pencabutan hak politik atau hak untuk memilih dan
dipilih.
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian tentang skripsi ini telah dilakukan, baik yang
mengkaji secara umum skripsi tersebut maupun yang menyinggung secara
spesifik. Berikut paparan tinjauan umum atas sebagian karya penelitian tersebut.
9
Jurnal karya Rendy Herlambang & Sigid Riyanto ”Pencabutan Hak Politik
Sebagai Pidana Tambahan Bagi Terpidana Korupsi”, 8
. Dalam karya ini di
jelaskan tentang bagaimana undang-undang yang mengatur tentang sanksi
pencabutan hak-hak seorang terpidana , disini di jelaskan pula bagaimana batasan-
batasan atas pencabutan hak-hak tertentu. Dalam karya ini penulis melihat ada
kesamaan dalam pembahasan yang akan teliti oleh penulis, tetapi perbedaannya
hanya bahasan yang menitikberatkan kepada pencabutan hak politik dalam
perspektif hukum Islam dan HAM.9
Diantaranya juga buku karya M. Nurul Irfan “Korupsi Dalam Hukum
Pidana Islam”,10
. Dalam buku ini di jelaskan tentang korupsi dalam hukum
pidana Islam dan dijelaskan juga bagaimana seharusnya hukuman yang pantas
buat pelaku korupsi. Dari karya tulis tersebut, penulis melihat pokok masalah
yang dikajinya mencakup korupsi dalam pandangan hukum islam dan sanksinya,
penulis tidak menemukan kajian mengenai sanksi pencabutan hak politik itu
sebagai pelanggaran HAM.
Selanjutnya buku karya Aziz Syamsuddin “Tindak Pidana Khusus”,11
.
Dalam buku ini di jelaskan macam-macam tindak pidana khusus, termasuk di
dalamnya tindak pidana korupsi. Dalam buku ini tidak dijelaskan batas- batas
sanksi pencabutan hak politik seseorang yang melakukan korupsi.
Diantaranya juga jurnal karya Aji Lukman Ibrahim “Analisis Terhadap
Penjatuhan Pidana Tambahan Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih Dalam
8 Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003)
9 Jurnal Rendy Herlambang & Sigid Riyanto, Pencabutan Hak Politik Sebagai Pidana
Tambahan Bagi Terpidana Korupsi. 10
Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2011) 11
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
10
Jabatan Publik Djoko Sosilo”,12
. Dalam jurnal ini di jelaskan tentang analisis
penjatuhan pidana tambahan terhadap Djoko Susilo. Tetapi penulis tidak
menemukan bagaimana analisis hukum islam terhadap penjatuhan sanksi
pencabutan hak politik bagi pelaku korupsi tersebut.
Diantaranya juga Jurnal Yudisial Dialektika Hukum Negara dan Agama.13
Dalam jurnal ini dibahas mengenai pencabutan hak politik terpidana korupsi
dalam perspektif HAM. Tetapi penulis tidak menemukan bahasan yang memuat
tentang bagaimana analisis HAM terhadap putusan pengadilan.
Diantaranya juga Karya ilmiah (skripsi) Gugum Ridho Putra yang berjudul
“Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah”
14Penelitian ini membahas hak narapidana untuk dipilih dalam pemilihan umum
daerah. Penulis tidak menemukan bahasan mengenai pencabutan hak politik
koruptor dalam hukum islam dan HAM.
Dari paparan di atas, terlihat penelitian yang menyinggung tindak pidana
korupsi beserta sanksinya di bahas secara umum dan dalam pengaturan hukum
positif dan hukum pidana Islam. Dalam kaitannya dengan skripsi penulis belum di
temukan pembahasan yang secara spesifik mengenai sanksi pencabutan hak
politik koruptor dalam kaitannya dengan putusan MA Nomor : 1195
K/Pid.Sus/2014.
12
Aji Lukman Ibrahim, Analisis Terhadap Penjatuhan Pidana Tambahan Pencabutan
Hak Memilih dan Dipilih Dalam Jabatan Publik Djoko Sosilo, (Vol. 3, No. 1, Juni 2014) 13
Jurnal Yudisial, Dialektika Hukum Negara dan Agama (Vol.8 No.1 April 2015 Hal. 1-
123), Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2015. 14
Gugum Ridho Putra, Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, 2012.
11
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, artinya penulis
tidak membutuhkan populasi dan sampel. Objek pembahasan ini tertuju pada
penelitian suatu putusan pengadilan, maka kajian ini termasuk pada penelitian
hukum normatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif, adalah
penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.15
Peter Marzuki mengemukakan bahwa di dalam penelitian hukum
terdapat sejumlah pendekatan, yakni pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).16
Dari sudut pandang tersebut, penelitian ini
merupakan penelitian hukum yang menerapkan pendekatan kasus (case
approach).
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan metode penelitian
studi dokumentasi, alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang penulis
perlukan, yaitu dengan cara melihat undang-undang yang terkait dengan masalah
yang diteliti. Bahan yang digunakan berupa bahan hukum primer, yaitu bahan-
bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan objek penelitian. Pada penelitian ini bahan hukum primer yang
15
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 105. 16
Peter Mahmud Mrzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008),
h. 93.
12
digunakan berupa: Putusan MA Nomor: 1195K/Pid.Sus/2014 bahan hukum
sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen tidak
resmi. Terdiri atas: buku-buku, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan
komentar-komentar atas putusan hakim.17
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis yaitu dengan menggunakan
teknik analisa data kualitatif dengan cara mengolah data kemudian diuraikan
untuk memberi gambaran (deskriptif), uraian-uraian yang berisi penafsiran dan
penalaran terhadap gambaran yang diperoleh dan argumentasi rasional (analitik)
untuk menjelaskan dan mempertahankan gambaran yang diperoleh.
4. Teknik Penulisan
Pada skripsi ini, penulis menggunakan metode penulisan skripsi yang
mengacu pada “Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2012 Fakultas Syari‟ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan ini, maka penyusun dalam penelitiannya
dibagi menjadi lima BAB, dan tiap-tiap BAB dibagi dalam sub-BAB yang
disesuaikan dengan luas pembahasan. Didalam menulis penelitian ini penulis telah
menyusun sistematikanya dengan tujuan agar pembaca dapat diarahkan kepada
satu masalah agar dapat dipahami, adapun sistematika penulisan ini sebagai
berikut:
BAB Pertama ini merupakan BAB pendahuluan yakni penulis akan
membahas tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan, pembatasan dan
17
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 54.
13
perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB kedua dibahas tentang “Tinjauan Umum Pencabutan Hak Politik”
terdiri dari 4 (empat) sub pembahsan, yaitu: (1). pengerian hak politik, (2).
Perlindungan Hak Politik, (3). Bentuk-bentuk Hak Politik (4). Penerapan
Pencabutan Hak Politik.
BAB ketiga dibahas tentang “hak politik Menurut Hukum Islam dan
HAM” terdiri dari 3 (tiga) sub pembahsan yaitu: (1). Hak Politik dalam Islam, (2).
Pengertian dan perkembangan HAM di Indonesia, (3). Hak politik sebagai bagian
dari HAM.
BAB keempat dibahas tentang “kajian Hukum Islam dan HAM terhadap
putusan MA, BAB ini menyajikan 4 ( empat ) sub bagian yaitu: (1). Deskripsi
kasus putusan MA Nomor: 1195K/Pid.Sus/2014, (2). Pertimbangan dan Putusan
hakim, (3). Pandangan Hukum pidana Islam terhadap putusan MA, dan (4).
Analisa pencabutan hak politik dalam putusan MA dari Perspektif HAM
BAB kelima merupakan penutup menyimpulkan dari pernyataan yang
diajukan dan memberikan saran atau rekomendasi sebagai bahan refleksi bagi
semua pihak terkait temuan-temuan dilapangan mengenai putusan MA. Yang
terdiri dari dua sub BAB: Kesimpulan dan Saran-Saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTAN HAK POLITIK
A. Pengertian Hak Politik
Untuk mendefinisikan hak politik perlu dipisahkan terlebih dahulu
tentang pengertian hak dan politik. Secara bahasa hak berarti yang benar, tetap
dan wajib, dan kebenaran dan kepunyaan yang sah.18
Hak dapat juga disebut hak
asasi yaitu, sesuatu yang dimiliki oleh seseorang karena kelahirannya, bukan
karena diberikan oleh masyarakat atau negara.19
Sedangkan kata politik berasal dari kata pulitic (inggris) yang menunjukan
sifat pribadi atau perbuatan. Secara lekslikal, asal kata tersebut berarti acting or
judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata latin politicus dan
bahasa yunani ((Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata
tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politik kemudian
diserap ke dalam bahasa indonesia dengan tiga arti, yaitu: segala urusan dan
tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu
negara atau terhadap negara lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenagaraan, segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau
terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau mengenai
suatu masalah).20
18
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), h. 211 19
B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet. I, h. 193 20
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi ke-III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 886
15
Dari penjelasan diatas, secara garis besar hak politik dapat diartikan
sebagai suatu kebebasan dalam menentukan pilihan yang tidak dapat diganggu
Atau diambil oleh siapapun dalam kehidupan bermasyarkat disuatu negara.
Menurut para ahli hukum, hak kewarganegaraan adalah hak yang dimiliki dan
diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai anggota organisasi politik
(negara), seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang
jabatan umum dalam negara, 21
atau hak politik itu adalah hak-hak di mana
individu memberi andil melalui hak tersebut dalam mengelola masalah-masalah
negara atau pemerintahnya.22
Salah satu bentuk dari hak kewarganegaraan adalah
hak politik. dimana, hak politik adalah hak-hak yang diperoleh seseorang dalam
kapasitasnya sebagai seorang anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan
dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam negara. 23
Hak politik pada hakikatnya mempunyai sifat melindungi individu dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa. Karena itu, dalam mendukung
pelaksanaannya peranan pemerintah perlu diatur melalui perundang-undangan,
agar campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat tidak melampaui
batas-batas tertentu.
B. Perlindungan Hak Politik
Hak seorang warga negara merupakan kehadiran kewajiban di pihak
negara yang direpresentasikan oleh penyelenggara negara, maka menjadi jelaslah
bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak-hak warga negara nya.
21
A. M. Saefuddin, Ijtihad Folitik Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), cet. I, h. 17 22
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan
Al-Amin, 1984), cet. I, h. 17 23
Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam,
(Bandung: angkasa, 2003), h. 149.
16
Melihat ruang lingkup konsepsi politik yang oleh Miriam Budiardjo24
dipahami
sebagai segala kegiatan-kegiatan pokok politik menyangkut : (1) negara; (2)
kekuasaan (power); (3) pengambilan keputusan (decisionmaking); (4)
kebijaksanaan (policy, beleid); (5) pembagian (distribution) atau alokasi
(allocation).
Hak politik secara sederhana bisa dartikan sebagai segala sesuatu hal yang
menyangkut politik yang dapat dituntut oleh warga negara untuk memenuhinya.
Dengan begitu bisa dipahami bahwa hak (entittlement) dalam konteks hak politik,
adalah menyangkut segala bidang politik yang menjadi hak warga negara dimana
negara berkewajiban memenuhinya.
Jaminan hak politik warga negara dalam hukum nasional berpuncak
kepada konstitusi tertulis Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Tahun
1945. Sejarah perlindungan hak politik warga negara Indonesia mengalami pasang
surut semenjak orde lama, orde baru dan kembali bangkit ketika memasuki masa
orde reformasi. Perlindungan hak politik dalam UUD Tahu 1945 pasca
Amandemen diatur dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (3) dan pasal 28 E
ayat (3) sebagaimana berbunyi sebagai berikut25
Pertama, pasal 27 ayat (1). Pasal ini menyatakan bahwa : segala warga
negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Bunyi
pasal 27 diatas menegaskan bahwa segala warga negara dijamin kesetaraan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dengan tanpa terkecuali. Rumusan
tersebut dengan jelas menyatakan bahwa konstitusi kita mengakui prinsip equality
24
Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1998), h. 8 25
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Ps 27 ayat (1), 28, 28D, dan pasal 28E.
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
17
before the law atau persamaan kedudukan dihadapan hukum. Implikasi yuridis
dari pasal 27 ini tidak hanya menempatkan kedudukan warga negara dalam hak
yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan, tetapi juga mengemban
kewajiban yang setara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
sebaik-baiknya.
Kedua, pasal 28 UUD Tahun 1945. Pasal 28 menyatakan bahwa :
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainnya, ditetapkan dengan undang-undang. Bunyi pasal 28 UUD
Tahun 1945 ini sepintas terlihat bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul
dijamin secara ekspilsit dalam undang-undang. Akan tetapi pendapat Jimly
Asshiddiqie adalah bahwa pasal 28 ini sama sekali bukanlah jaminan hak asasi
manusia seperti yang seharusnya menjadi muatan konstitusi negara demokrasi.
Akhir bunyi pasal 28 menyatakan bahwa hak berserikat itu ditetapkan
dengan undang-undang. Berarti dengan demikian, bisa diartikan bahwa jaminan
itu baru akan ada setelah ditetapkan dengan undang-undang. Karena itu,
sebenarnya ketentuan asli pasal 28 UUD Tahun 1945 itu bukanlah rumusan hak
asasi manusia seperti umumnya dipahami.26
Ternyata setelah ditelusuri lebih
lanjut, pada waktu diperdebatkan dalam sidang-sidang BPUPKI pada bulan juli
1945, rumusan asli pasal 28 UUD 1945 ini bermula dari usul Mohammad Hatta
dan Mohammad Yamin yang menghendaki agar ketentuan hak berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat dapat dijamin dalam rangka undang-
undang dasar yang sedang disusun.27
Akan tetapi, ide Hatta dan Yamin ini ditolak
26
Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2005), h. 8. 27
Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1997), h. 88-91.
18
dengan tegas oleh Soepomo dan Soekarno karena dianggap berbau individualisme
dan liberlisme. Ide-ide tentang perlindungan hak asasi manusia yang lazim
berkembang di negara-negara demokrasi liberal biasa dituangkan dalam jaminan
konstitusi, dinilai tidak sesuai dengan cita negara kekeluargaan yang di usung oleh
Soepomo. Karena itu, sebagai kompromi, disepakatilah rumusan sebagaimana
yang tertuang dalam pasal 28 tersebut.
Ketiga Pasal 28 ayat (3) yang menyatakan bahwa : Setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Bunyi pasal ini
menyatakan dengan tegas bahwa akses publik kepada pemerintahan seperti hak
memperoleh perlakuan dan pelayanan publik kepada pemerintahan adalah hak
setiap warga negara Indonesia. Dengan ketentuan pasal 28D ayat (3) ini setiap
orang memiliki hak yang sama dalam pemerintahan seperti hak memperoleh
perlakuan yang sama dalam pemerintahan seperti hak memperoleh perlakuan dan
pelayanan publik yang sama dalam pemerintahan, termasuk pula hak untuk
menduduki jabatan publik dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
oleh undang-undang.
Terakhir pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan bahwa : setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Sepintas bunyi
pasal ini sama dengan rumusan pasal 28 yang menyatakan bahwa kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang. Bunyi pasal 28 ini sebagaimana
dijelaskan Jimly Asshiddiqie bukanlah jaminan hak asasi manusia dalam
konstitusi, karena perlindungannya ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang.
19
Sedangkan bunyi pasal 28E ayat (3) dengan tegas menjamin hak berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Dengan demikian, menurut Jimly perlindungan hak berserikat dan
berkumpul telah ditetapkan menjadi hak asasi yang dilindungi oleh pasal 28E ayat
(3). Semestinya pasal 28 dihapuskan karena bertentangan dengan pasal 28E ayat
(3). Dengan demikian konsepsi hak berserikat warganegara yang diatur dalam bab
X UUD NRI tahun 1945 amandemen, haruslah dipahami dalam kerangka pasal
28E ayat (3) dan bukan dalam kerangka pasal 28. Hal ini karena kemerdekaan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan dan tulisan,
memang telah dijamin oleh UUD 1945, mekipun ketentuan pelaksanaannya
memang diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
C. Bentuk-Bentuk Hak Politik
Angin segar perlindungan hak asasi manusia menguat paska disahkannya
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasca masa-
masa represif dan pembungkaman hukum pada masa orde baru, gerakan
penegakan HAM mengalir deras ketika pintu reformasi 1998 terbuka. Lahirlah
kemudian undang-undang HAM ini dimana salah satu yang dijamin adalah hak
politik. Perlindungan hak politik dalam undang-undang ini meskipun banyak
kekurangan, namun diharapkan bisa memperkuat hak politik rakyat ditengah
ketidak adilan politik yang telah lama mengakar. Dalam hak politik ini, hak
politik warga negara diatur dalam bab hak turut serta dalam pemerintahan, yakni
20
diatur dalam pasal 43 ayat (1), (2) dan (3) serta pasal 44 yang berbunyi sebagai
berikut28
:
(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan
suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan
langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas,
menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan
pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah
dalam rangka pelaksanaan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan
lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dari semua perlindungan hak politik sebagaimana yang telah dibahas
diatas, maka secara general, hak politik yang dilindungi instrumen hukum
nasional bahkan hukum internasional mencakup hak-hak sebagai berikut:
1. Pertama, Hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum.
2. Kedua, Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung
atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya.
3. Ketiga, Hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan
atau usulan kepada pemerintah baik dengan lisan maupun dengan
tulisan.
4. Keempat, Hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan publik
di dalam pemerintahan.
28
Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia. No 39 tahun 1999. LN No 165 Tahun
1999. TLN. No 3886. Ps 43 ayat (1), (2), (3) dan Ps 44.
21
Hak yang pertama yakni untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum tercermin dalam bentuk partisipasi masyarkat untuk ikut memberikan suara
dalam pemilihan umum. Khusus hak politik untuk dipilih merupakan ranah politik
praktis dimana jabatan-jabatan politik yang tersedia antara lain : jabatan presiden
dan wakil presiden yang pemilihannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 48
tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Jabatan
gubernur, bupati dan walikota beserta masing-masing wakilnya yang diatur dalam
undang-undang Nomor 32 tahun 2004 sebagaimana telah direvisi melalui
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintahan Daerah. Terakhir
jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi, kabupaten dan walikota yang
peraturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang
pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan
dewan perwakilan rakyat daerah.
Hak yang kedua yakni hak untuk turut serta dalam pemerintahan langsung
atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya. Hak politik masyarakat pada
dasarnya luas, namun kondisi yang dipahami masyarakat sekarang hak politik
justru direduksi hanya pada saat pemilihan umum saja. Padahal pemilihan umum
hanyalah mekanisme untuk memilih wakil rakyat dan merupakan salah satu dari
sekian hak politik yang bisa di charge masyarakat. Terkait hak yang kedua ini
misalnya, masyarakat bisa turut serta dalam pemerintahan secara langsung. Secara
tidak langsung telah dilakukan dengan memilih wakil rakyat melalui pemilu.29
Partisipasi masyarakat secara langsung misalnya dalam hal memberikan
aspirasi dan masukan-masukan terkait kerja-kerja DPR dalam pembuatan
29
Gugum Ridho Putra, Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah, (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, 2012), h. 40
22
perundang-undangan. Pemberian masukan-masukan dari masyarakat sangat
penting bagi subtstansi produk DPR. Hal ini karena nantinya produk undang-
undang itu akan berdampak secara luas kepada kehidupan masyarakat. Selain itu
juga pada dasarnya masyarakat punya hak untuk mengawasi kerja DPR selaku
wakil yang mereka berikan amanah jabatan parlemen. Sifat rapat-rapat DPR pada
dasarnya terbuka, kecuali rapat memang ditentukan tertutup. Hanya saja persoalan
publikasi dan penguatan animo masyarakat men-support aspirasi yang belum
berhasil dijalankan DPR sehingga masyarakat seakan tidak tahu kalau mereka
memiliki hak.
Bentuk hak politik yang ketiga adalah hak mengajukan pendapat,
permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah baik dengan lisan
maupun dengan tulisan. Bentuk yang ketiga ini adalah bentuk saluran aspirasi
masyarakat secara langsung kepada pemerintah. Saluran aspirasi terkait
pengaduan atas pelayanan publik yang kurang memuaskan bisa diajukan kepada
lembaga pemerintah, termasukpun kepada lembaga yang secara khusus
menangani pelanggaran adminitrasi pelayanan publik yang dikenal dengan
sebutan Ombudsman Republik Indonesia.
Bentuk hak politik yang keempat yakni hak untuk duduk dan diangkat
dalam setiap jabatan publik di dalam pemerintahan. Hak atas jabatan publik di
dalam pemerintahan. Hak atas jabatan publik adalah milik masyarakat. Sangat
logis bahwa hak untuk menduduki jabatan publik wajib dilindungi karena hak ini
salah satu yang menjamin keberlanjutan negara demokrasi. Pos jabatan yang
23
berhak di isi masyarakat terdapat cukup banyak. 30
Setidaknya terdapat 34 jabatan
publik yang disebutkan dalam konstitusi. Ke- 34 jabatan itu adalah tiada lain dan
tiada bukan merupakan hak masyarakatlah untuk mengisinya.
D. Pengaturan Pidana Pencabutan Hak Politik.
1. Menurut Hukum Positif
Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Idealnya
sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem kedaulatan hukum atau
supermasi hukum yaitu hukum mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam
negara.31
Dalam hal ini, putusan pengadilan merupakan tonggak yang penting
bagi cerminan keadilan, termasuk putusan pengadilan yangberupa penjatuhan
pidana dan pemidanaan. Lahirnya penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan
muncul begitu saja, melainkan melalui proses peradilan. Seperti yang dikutip oleh
Bambang Waluyo, G.P. Hoefnageles mengatakan bahwa sanksi dalam hukum
pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang-
undang dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada
penjatuhan vonis oleh hakim.32
Hukum pidana Indonesia telah memberikan dasar yuridis untuk melakukan
pencabutan hak tertentu sebagai bentuk pidana tambahan. Pencabutan hak tertentu
itu salah satunya berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik, hal ini
dilakukan agar memberikan perlindungan kepada masyarakat dari perilaku pejabat
30
Gugum Ridho Putra, Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah, h. 41 31
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 33 32
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010),
h. 79.
24
yang menyimpang. Dalam penjatuhan sanksi pidana ada dua bentuk sanksi yang
diatur dalam KUHP, yaitu:
a. Pidana pokok
Pidana pokok adalah pidana yang dapat dijatuhkan tersendiri oleh hakim,
yang bersifat imperatif yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, pidana denda dan pidana tutupan.
b. Pidana tambahan
Pidana tambahan menurut Andi Hamzah, adalah pidana yang hanya dapat
dijatuhkan di samping pidana pokok. Jenis pidana tambahan yaitu pencabutan
beberapa hak tertentu, pengumuman putusan hakim.
Dalam pengaturan pencabutan hak-hak, itu diatur dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka ada beberapa jenis Pidana
tambahan terdiri atas:
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.33
1. Pencabutan hak-hak tertentu juga di atur sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 35 KUHP, yaitu:
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
b. Hak memasuki angkatan bersenjata
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-
aturan umum.
d. Hak menjadi penasehat (roadmans), atau pengurus menurut hukum
(gerechtelijk bewindvperder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas, terhadap orang yang bukan anaknya sendiri.
e. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.34
2. Perampasan barang tertentu diatur dalam pasal 39 KUHP, yaitu: